Oleh:
Erta Priadi Wirawijaya
132121090502
Oleh:
ERTA PRIADI WIRAWIJAYA
132121090502
KARYA TULIS AKHIR
Untuk memenuhi salah satu syarat ujian guna memperoleh gelar
DOKTER SPESIALIS JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH
Program Pendidikan Dokter Spesialis-1
Telah disetujui pada tanggal yang tertera dibawah ini
Bandung, 17 Juni 2014
Tim Pembimbing
1.
...
2.
3.
...
...
ii
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1.
Karya tulis ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan
gelar akademik (sarjana, magister atau doktor), baik di Universitas
Padjadjaran maupun di perguruan tinggi lain.
2.
Karya tulis ini adalah murni gagasan, rumusan dan penelitian saya sendiri
tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan tim pembimbing.
3.
Dalam karya tulis ini tidak terdapat pendapat atau karya yang telah ditulis
atau dipublikasikan orang lain kecuali secara tertulis dengan jelas,
dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama
pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka.
4.
Karya tulis ini telah mendapatkan persetujuan dari Komisi Etik Penelitian
Kesehatan seperti yang dilampirkan dibagian belakang karya tulis ini.
5.
iii
ABSTRAK
Latar Belakang: Infark miokard akut (IMA) memiliki angka mortalitas dan
morbiditas tinggi. Elektrokardiografi adalah pemeriksaan yang mudah, murah dan
menjadi standar baku dalam diagnosis dan stratifikasi risiko. Fragmentasi QRS
(fQRS) adalah penanda EKG baru yang berpotensi dapat digunakan memandu
tatalaksana pasien IMA, namun informasi mengenai penggunaannya masih
terbatas. Penelitian ini berusaha mencari hubungan antara fQRS sempit dengan
skor GRACE pada pasien IMA yang datang ke RSUP Dr. Hasan Sadikin.
Metode: Bentuk ini penelitian ini adalah retrospektif analitik dengan rancangan
penelitian potong lintang. Keberadaan fQRS ditentukan oleh penilai independen.
Skor GRACE saat masuk rawat dihitung dengan menggunakan aplikasi mobile
resmi skor GRACE 2.0. Data yang terkumpul diolah menggunakan SPSS 20. Uji
statistik yang digunakan adalah chi-square untuk data bersifat kategorik dan t-test
untuk data numerik.
Hasil: Pasien IMA dengan fQRS memiliki usia (58 banding 56 tahun; p=0,016),
laju jantung (median 88 banding 77 kali/menit; p=0,002), ureum darah (median 31
banding 29 mg/dL; p=0,004), kreatinin (median 0,96 banding 0,9 mg/dL;
p=0,037), troponin T (median 1,1 banding 3 ng/mL; p=<0,001), CKMB (median
103 banding 66 U/L; p=0,010), kelas killip (p=0,44) yang lebih tinggi
dibandingkan pasien IMA tanpa fQRS. Uji statistik t-test menemukan perbedaan
skor GRACE yang bermakna antara kelompok pasien IMA dengan dan tanpa
fQRS sempit. Pasien IMA dengan fQRS sempit memiliki skor GRACE rata-rata
11,7 lebih tinggi dibandingkan pasien IMA tanpa fQRS (median 112 banding 101,
p=0,001). Pasien IMA dengan fQRS sempit memiliki risiko 2,2 kali (IK 95%
1,33,8) lebih besar mendapatkan skor GRACE >120 dan risiko 1,94 kali (IK
95% 1,13,4) lebih besar mengalami gagal jantung.
Kesimpulan: Pasien IMA dengan fQRS sempit memiliki skor GRACE rata-rata
lebih tinggi dibandingkan pasien IMA tanpa fQRS sempit (p=0.001).
Kata Kunci: infark miokard akut, fragmentasi QRS, skor GRACE.
iv
ABSTRACT
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat dan
rahmatnya sehingga karya tulis ini dapat diselesaikan. Karya tulis ini merupakan
salah satu syarat Program Pendidikan Dokter Spesialis I untuk memperoleh
keahlian dalam bidang Kardiologi dan Kedokteran Vaskular di Fakultas
Kedokteran (FK) Universitas Padjajaran (UNPAD). Penulis pada kesempatan ini
melakukan penelitian mengenai hubungan antara temuan fragmentasi QRS
dengan skor GRACE pada pasien infark miokard akut yang datang ke Instalasi
Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Hasan Sadikin.
Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan, pengarahan, dorongan semangat,
sumbangan pikiran dan bantuan dari banyak pihak maka tugas ini tidak akan
terlaksana.
Melalui tulisan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada Rektor
Universitas Padjadjaran, Dekan FK UNPAD, Direktur Utama RSUP dr. Hasan
Sadikin Bandung, dan ketua Tim Koordinator Pelaksana Program Pendidikan
Dokter Spesialis-I Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, atas kesempatan
yang telah diberikan sehingga penulis dapat mengikuti Program Pendidikan
Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah dan membuat karya
tulis ini.
Kepada yang terhormat Toni Mustahsani Aprami, dr., SpPD, SpJP(K)
selaku Kepala Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FK UNPAD dan
Dr. Hj. Augustine Purnomowati, dr., SpPD, SpJP(K) selaku Ketua Program Studi
vi
Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah FK UNPAD, atas dorongan, arahan,
serta bimbingan selama mengikuti pendidikan hingga penyusunan tesis ini.
Kepada yang terhormat Achmad Fauzi Yahya, dr., SpJP(K), Erwan
Martanto, dr., SpPD, SpJP(K), M. Rizki Akbar, dr., MKes, SpJP(K) selaku
pembimbing I, II dan III karya tulis ini, penulis menyampaikan terimakasih
setinggi-tingginya atas bantuan, bimbingan, petunjuk dan saran yang telah
diberikan sehingga karya tulis ini dapat diselesaikan. Kepada yang terhormat dr.
Dwi Agustian MPH selaku konsultan statistik penulis juga menyampaikan
terimakasih yang setinggi-tingginya atas bantuan, bimbingan petunjuk dan saran
yang telah diberikan.
Penulis juga menyampaikan rasa terimakasih atas bimbingan dan bekal
yang berharga yang selama ini telah diberikan oleh guru-guru kami di Bagian
Kardiologi dan Kedokteran Vaskular Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran/
RS Dr. Hasan Sadikin Prof. Ernijati Sjukrudin, dr., SpPD, SpJP, PhD; Eko
Antono, dr., SpPD, SpJP(K); Abidin Prawirakusumah, dr., SpJP(K); Pintoko
Tedjokusumo, dr., SpJP(K); Erwinanto dr., SpJP(K);
SpJP., Januar Wibawa Martha dr., SpPD-SpJP; Syarief Hidayat, dr., SpPD, SpJP;
Rien Afrianti, dr., SpJP; Badai B. Tiksnadi, dr., SpJP, MM; dan Triwedya Indra
Dewi, dr., SpJP.
Terimakasih kepada seluruh residen KOREJAT atas semua bantuannya dan
dukungannya dalam penelitian ini. Terimikasih teman-teman PPDS penyakit
dalam yang selalu memberikan kesempatan dan ruang berbagi dalam keilmuan
sehingga memperkaya ruang lingkup ilmu kardiologi dan kedokteran vaskular.
Terimkasih kepada Staf administrasi Departemen Kardiologi dan Kedokteran
vii
Vaskular FK UNPAD yang banyak sekali membantu segala urusan yang tampak
sederhana tapi bernilai sangat besar.
Penulis juga mengucapkan terimasih yang tidak terhingga kepada ibunda
tercinta Hj. Mutiara Suyadi, drg., ayahanda H. Yedi Suyadi, dr., SpPD., MM,
adik-adik Dear Mochtar Wirawijaya , dr.; Riva Aradi, drg.; dan Dara Metia, dr.;
bapak mertua H. Awang Yogi Suwarto dr., SpA. dan ibu mertua Atty Suryati
Yogi yang selama ini telah memberikan bantuan dan dukungannya selama penulis
menempuh pendidikan PPDS. Kepada istri tercinta Sri Utami Suwarto, dr. dan
anak tercinta Kiera Alisha Wirawijaya penulis mengucapkan terimakasih yang
tidak terhingga atas pengorbanan, pengertian, dorongan dan bantuan selama
penulis menjalani pendidikan.
Kepada semua pihak yang telah membantu terwujudnya tulisan ini, namun
karena keterbatasan sehingga tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, penulis
ucapkan terimakasih.
Semoga Allah Subhanahu Wataala Yang Maha Pengasih dan Maha
Bijaksana melimpahkan rahmat dan berkat-Nya kepada kita semua, Amiinn.
Wassalaamualaikum warahmatullahi wabarakaatuh
viii
DAFTAR ISI
ix
xi
DAFTAR GAMBAR
xii
DAFTAR TABEL
xiii
DAFTAR SINGKATAN
ACC/AHA
ALQTS
ARVD
CFR
CKMB
DCM
EKG
Elektrokardiografi
ESC
FK
Fakultas Kedokteran
fQRS
Fragmentasi QRS
FRISC
Ga-MRI
GDS
GRACE
GUSTO
IGD
IKP
IMA
ISFC
LAD
LBBB
LCX
MRI
NQMI
NSTEMI
NYHA
PAK
xiv
PERSUIT
PJB
PRELUDE
PVC
RBBB
RCA
RISKESDAS
SKA
SKRT
SPECT
SPM
STEMI
TIMI
IK
Interval Kepercayaan
TMP-Grade
TOF
Tetralogy of Fallot
UA
Unstable Angina
WHO
OR
Odd ratio
SD
Standar Deviasi
BAB I
PENDAHULUAN
digunakan dalam statifikasi risiko SKA adalah fragmentasi QRS (fQRS) yang
pertama kali diteliti secara oleh Das dkk.18 pada tahun 2006. Definisi fQRS pada
studi tersebut adalah keberadaan gelombang R tambahan (R) atau bertakik pada
titik terendah gelombang S, atau keberadaan lebih dari >1 R (fragmentasi) pada
setidaknya 2 sadapan yang berhubungan sesuai wilayah arteri koroner utama.18
Sejak penelitian pertama Das dkk.18 telah ada penelitian lanjutan yang
mempelajari peranan fQRS pada SKA. Keberadaan fQRS yang menetap pasca
infark miokard meningkatkan kemungkinan terbentuknya aneurisma ventrikel
kiri,19 ejeksi fraksi yang lebih rendah,20-22 meningkatnya risiko kejadian
kardiovaskular mayor,23,24 dan meningkatnya risiko kematian seiring banyaknya
temuan fQRS pada sadapan jantung.25-28 Penelitian lanjutan Das dkk.25
menemukan fQRS dapat digunakan sebagai penanda infark dengan sensitivitas
sedang (55%) dan spesifitas tinggi (96%). Penelitian Guo dkk.29 menemukan
fQRS pada kasus NSTEMI dapat digunakan untuk memprediksi pembuluh
koroner mana yang bertanggung jawab dengan sensitivitas (77.1%) dan spesifitas
(71.5%) total yang lebih tinggi dibandingkan inversi gelombang T.
Kocaman dkk.30 menemukan fQRS pada STEMI dihubungkan dengan
temuan kelas killip, leukosit, Creatine Kinase-Myoglobin Binding (CKMB) &
Troponin yang lebih tinggi, waktu pain to balloon time yang lebih lama,
gelombang QRS yang lebih lebar, skor Gensini yang lebih tinggi, dan timbulnya
gelombang Q yang lebih sering dibandingkan pasien tanpa fQRS. Pasien STEMI
dengan fQRS ditemukan lebih banyak memiliki lesi anterior di LAD proksimal
sehingga jaringan miokardium yang berpotensi mengalami infark lebih luas.30
Cetin dkk.31 enemukan keberadaaan fQRS saat masuk rawat yang menetap pasca
Intervensi Koroner Perkutan (IKP) sangat berhubungan dengan rendahnya
penurunan elevasi segmen ST dan parameter reperfusi miokard. Temuan tersebut
serupa dengan temuan Erdem dkk.32 yang menemukan bahwa keberadaan fQRS
dihubungkan dengan kegagalan reperfusi pada pasien STEMI dengan TIMI
Myocardial Perfusion (TMP) grade dan fraksi ejeksi yang lebih rendah.
Beberapa penelitian memiliki hasil yang berbeda. Wang dkk.33 menemukan
bahwa fQRS dan gelombang Q memiliki sensitifitas yang buruk dalam
mendeteksi gangguan perfusi miokard. Penelitian Ahn dkk.34 menemukan fQRS
tidak lebih baik dari gelombang Q dalam memprediksikan infark. Tibrewala
dkk.35 tidak menemukan hubungan bermakna antara fQRS dengan adanya
jaringan parut pada pemeriksaan Single-Photon Emission Computed Tomography
(SPECT) atau tanda suatu PAK yang bermakna pada angiografi.
Berdasarkan uraian diatas maka disusunlah tema sentral penelitian sebagai
berikut; infark miokard akut (IMA) memiliki angka morbiditas dan mortalitas
yang tinggi. Diagnosis dan tatalaksana IMA membutuhkan parameter yang
mudah, murah, tersedia luas dengan kekuatan prognosis yang kuat sehingga dapat
digunakan sebagai salah satu modalitas stratifikasi risiko. Pemeriksaan EKG rutin
dikerjakan pada pasien SKA memenuhi semua syarat tersebut dan fQRS menjadi
penanda baru yang berpotensi dapat digunakan untuk memandu tatalaksana IMA.
Penelitian sebelumnya menemukan pasien IMA dengan fQRS memiliki prognosis
lebih buruk karena dihubungkan dengan daerah infark yang lebih luas dan kelas
killip yang lebih tinggi. Penelitian lain menemukan semakin tinggi kelas killip
semakin tinggi skor GRACE. Berdasarkan penelitian hal tersebut kemungkinan
pasien dengan fQRS akan memilki temuan skor GRACE yang tinggi. Belum ada
penelitian yang secara khusus meneliti hal tersebut, sehingga menjadi menarik
untuk meneliti perbedaan skor GRACE diantara kedua kelompok tersebut.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN,
PREMIS DAN HIPOTESIS
Beratnya
permasalahan
kardiovaskular
di
Indonesia
tersebut
kemungkinan besar berhubungan erat dengan temuan lainnya bahwa pasien infark
miokard di Indonesia lebih banyak memiliki faktor risiko PAK seperti diabetes
(36% versus 12%), dislipidemia (46% versus 19%), atau merokok (68% versus
31%) dibandingkan pasien di negara maju seperti Belanda.37
Masuk
Rawat
Nyeri Dada
Diagnosis
Kerja
EKG
Bio-Kimia
STEMI
Diagnosis
Abnormalitas Segmen
ST / Gelombang T
Normal / Non
Diagnostik
Troponin Naik /
Turun
Troponin Normal
NSTEMI
Unstable Angina
kriteria diagnosis SKA adalah setidaknya ditemukan dua dari tiga komponen
berikut:
1.
Adanya
nyeri
dada,
2.
Adanya
evolusi
atau
perubahan
dengan
nyeri
dada
harus
diperiksa
EKG
12
sadapan.
10
11
merupakan sebuah proses dinamis yang dimulai saat kontak medis pertama
hingga saat pasien dipulangkan.9 Pasien berisiko tinggi membutuhkan perawatan
untuk terapi agresif berupa revaskularisasi cepat yang dapat dicapai melalui
pemberian fibrinolitik, intervensi koroner perkutan atau pembedahan. Pasien
risiko sedang dapat menjalani terapi konservatif serta evaluasi yang lebih
terencana. Pasien berisiko rendah dapat dipulangkan dengan instruksi jelas untuk
rawat jalan / tindak lanjut.
Prognosis pasien SKA ditentukan oleh setidaknya 3 hal yaitu: 1) Luasnya
kerusakan miokard, 2) Beratnya penyakit arteri koroner, dan 3) Ketidakstabilan
penyakit dan refrakter terhadap terapi yang diberikan.45 Skor yang digunakan
dalam stratifikasi risiko bertujuan untuk mengidentifikasi pasien mana yang
memiliki risiko kematian tinggi di rumah sakit (RS) atau risiko jangka pendek.
Risiko ini terus berubah seiring evolusi faktor penyebab (berkembangnya
trombosis di arteri koroner, obstruksi, embolisasi, dll), berkembangnya
komplikasi, dan respon terhadap terapi yang diberikan. Karena beragam hal
tersebut, stratifikasi merupakan sebuah proses dinamis yang dimulai saat kontak
medis pertama hingga saat pasien dipulangkan.9
Metode skoring untuk membedakan pasien SKA yang akan mendapat
keuntungan terbesesar dari terapi agresif telah banyak dikembangkan. Sistem
skoring tersebut antara lain adalah Platelet glycoprotein IIb/IIIa in Unstable
angina:
Receptor
Suppression
Using
Integrilin
(PERSUIT),
Fast
12
Coronary Events (GRACE). Temuan EKG berupa depresi atau deviasi segmen ST
menjadi bagian dalam semua sistem skoring tersebut. Panduan American College
of Cardiology / American Heart Association (ACC/AHA) dan European Society
of Cardiology (ESC) merekomendasikan pentingnya stratifikasi risiko dini dalam
managemen NSTEMI / UAP. Diantara semua skor risiko tersebut, yang paling
sering digunakan dan disarankan penggunaannya dalam panduan ESC adalah
TIMI dan GRACE.10 Berdasarkan perbandingan langsung kedua skor risiko
tersebut skor risiko GRACE ditemukan lebih akurat.11,12
13
Nilai
0
20
39
59
Usia (tahun)
< 30
30-39
40-49
50-59
50-69
70-79
80-89
> 90
Nilai
0
8
25
41
58
75
91
100
Tekanan Darah
Sistolik (mmHg)
< 80
80-99
100-119
120-139
140-159
160-199
> 200
Kadar Kreatinin
(md/dL)
0-0,39
0,40-0,79
0,80-1,19
1,20-1,59
1,60-1,99
2,00-3,99
>4.00
Nilai
58
53
43
34
24
10
0
Nilai
1
4
7
10
13
21
28
Laju Jantung
(x/menit)
< 50
50-69
70-89
90-109
110-149
150-199
>200
Faktor Risiko Lain
Nilai
0
3
9
15
24
38
46
Nilai
Henti Jantung
Saat masuk rawat
39
Deviasi Segmen ST
28
Biomarka Jantung
Meningkat
14
Fox dkk.47 mempelajari 43.810 pasien dalam registri GRACE antara april
1999 hingga september 2005 menemukan risiko kematian selama perawatan lebih
tinggi pada mereka yang memiliki skor GRACE >140. Penelitian oleh Mehta dkk.
membagi 3.031 pasien SKA kedalam 2 kelompok yaitu yang menjalani strategi
invasif dini (dikerjakan <24 jam, median 14 jam) dan elektif (dikerjakan >24 jam,
median 50 jam). Strategi intervensi dini berhasil menurunkan risiko kematian,
infark miokard, atau stroke hingga 35% (IK95%;p=0.006) pada kelompok pasien
dengan skor risiko GRACE lebih dari 140.48 Berdasarkan temuan tersebut
panduan ESC menyarankan bahwa pada pasien SKA tanpa ST elevasi dengan
skor risiko GRACE > 140 sebaiknya menjalani strategi invasif dini (<24 jam).1
14
Angka kematian pasien SKA dengan ST elevasi masih tetap tinggi, 12%
diantaranya akan meninggal dalam 6 bulan.47 Skor GRACE tidak memiliki
peranan dalam memandu tatalaksana akut pasien SKA dengan ST elevasi,49
namun skor GRACE dapat digunakan untuk mengidentifikasi mereka yang
memiliki risiko tinggi mengalami kematian dalam 6 bulan pasca infark miokard.50
Hal tersebut memungkinkan klinisi untuk terus memperbaiki kualitas terapi yang
diberikan pada pasien STEMI dengan skor GRACE yang tinggi.49 Hubungan skor
risiko GRACE dan risiko kematian selama perawatan dan dalam 6 bulan pasca
rawat pada pasien SKA dapat dilihat pada tabel dibawah.
Tabel 2.2. Skor risiko GRACE dan risiko kematian pada pasein SKA
47
Skor Risiko
GRACE
Risiko Kematian
di RS (%)
Skor Risiko
GRACE
Risiko Kematian
dalam 6 bulan (%)
Rendah
1-108
<1
1-88
<3
Sedang
109-140
1-3
89-118
3-8
Tinggi
141-372
>3
119-263
>8
Skor Risiko
GRACE
Risiko Kematian
di RS (%)
Skor Risiko
GRACE
Risiko Kematian
dalam 6 bulan (%)
Rendah
49-125
<2
27-99
<4.4
Sedang
126-154
2-5
100-127
4.5
Tinggi
155-319
>5
128-263
>11
15
Penelitian Khan dkk.51 yang melibatkan 1.033 pasien dengan infark miokard
(STEMI & NSTEMI) menemukan bahwa risiko kematian saat perawatan
ditemukan tinggi pada mereka yang memiliki skor GRACE >149, risiko kematian
dalam 6 bulan ternyata ditemukan tinggi pada mereka yang memiliki skor
GRACE > 120. Temuan tersebut didukung oleh penelitian Stavileci dkk.52 yang
menemukan salah satu prediktor mortalitas yang bermakna kuat pada 296 pasien
STEMI adalah skor GRACE >120 dengan OR=4,765.
16
17
18
19
seperti ini adalah kandidat untuk angiografi koroner dan revaskularisasi dini.64
Gambar 2.2. Gambaran EKG dengan stenosis berat proximal LAD pada
three vessel disease
Keterangan : Depresi segmen ST dapat ditemukan disemua sadapan kecuali V1, V2 dan elevasi di aVR.64
20
terganggunya
konduksi
ventrikel
saat
melalui
daerah
21
juga incomplete right bundle branch block tidak dianggap sebagai fragmentasi
QRS.
RSR
rSr
rSR
S bertakik
R bertakik
fQRS
22
fQRS pada
RBBB
fQRS pada
LBBB
fQRS pada
irama pacing
fQRS pada
PVC
23
24
25
26
Gambar 2.6. Temuan fQRS tanpa gelombang Q pada EKG, pada SPM ditemukan
defek di inferior.18
34
juga
27
28
29
Penelitian Cetin dkk.31 menemukan bahwa pasien dengan fQRS yang timbul
saat masuk rawat atau timbul setelah tindakan IKP primer memiliki marka
inflamasi dan biomarka jantung yang lebih tinggi, pain to ballon time yang lebih
lama, durasi QRS lebih panjang, keterlibatan arteri koroner lebih banyak, dan
gelombang Q abnormal yang lebih sering dibandingkan pasien yang tidak
memiliki fQRS atau yang fQRS-nya menghilang. Fragmentasi QRS yang menetap
pasca IKP primer sangat berhubungan dengan rendahnya penurunan elevasi
segmen ST dan parameter reperfusi miokard.31 Temuan tersebut serupa dengan
temuan Erdem dkk. yang menemukan bahwa keberadaan fQRS berhubungan
dengan kegagalan reperfusi pada pasien IMA dengan ST elevasi. Pasien STEMI
dengan fQRS ditemukan memiliki grade TIMI Myocardial Perfusion (TMP) dan
fraksi ejeksi yang lebih rendah.32
Sheng dkk.24 pada sebuah penelitian retrospektif yang melibatkan 300
pasien IMA menemukan insidensi aritmia, disfungsi ventrikel kiri dan kematian
pada pasien yang memiliki fQRS sebesar 13,6%, 29,2% dan 23,7%. Nilai tersebut
secara bermakna lebih besar (nilai p <0,05) dibandingkan pasien yang tidak
30
memiliki fQRS. Angka kejadiannya secara bermakna lebih tinggi (nilai p <0,01)
pasien STEMI dengan fQRS dibandingkan NSTEMI. Pasien IMA dengan fQRS
yang menjalani IKP tidak mengalami penurunan kejadian aritmia yang bermakna,
sedangkan gagal jantung dan kematian ditemukan lebih rendah secara bermakna
(nilai p 0,031 dan <0,001).24 Berdasarkan penelitian tersebut, temuan fQRS pada
pasien NSTEMI dapat digunakan sebagai salah satu indikasi tindakan
revaskularisasi segera.
31
32
33
34
yang tidak terpisahkan dalam tatalaksana pasien NSTEMI atau unstable angina.10
Skor GRACE disarankan penggunaannya dalam panduan ESC10 karena terbukti
lebih akurat13,14 dibandingkan skor risiko lainnya. Namun penggunaan skor
GRACE terbentur kompleksitas sistem skoring tersebut sehingga membutuhkan
bantuan komputer atau smartphone dan serangkaian pemeriksaan yang jarang bisa
dikerjakan di Indonesia. Dibutuhkan parameter yang mudah, murah, tersedia luas
dengan kekuatan prognosis yang kuat sehingga dapat digunakan sebagai salah
satu modalitas stratifikasi risiko untuk memandu tatalaksana SKA yang optimal.
Pemeriksaan EKG yang rutin dikerjakan pada pasien SKA memenuhi semua
syarat tersebut dan fQRS menjadi salah satu penanda baru yang berpotensi dapat
digunakan untuk memandu tatalaksana SKA.
Fragmentasi QRS timbul akibat gangguan konduksi karena adanya jaringan
miokard yang mengalami fibrosis. Pasca infark keberadaan fQRS ditemukan lebih
sensitif dan spesifik sebagai penanda infark miokard dibandingkan gelombang
Q.18 Depresi segmen ST atau inversi gelombang T adalah penanda iskemia yang
selama ini digunakan untuk diagnosis pasien NSTEMI atau UA.16 Penelitian Das
dkk.25 menemukan bahwa fQRS dapat menjadi penanda infark yang dapat
membedakan pasien NSTEMI dari pasien UA dengan sensitivitas sedang (50%)
dan spesifitas yang tinggi (96%). Guo dkk. bahkan menemukan sensitivitas dan
spesifitas fQRS lebih tinggi dibandingkan inversi gelombang T untuk
memprediksi arteri koroner yang menjadi penyebab SKA.29 Penelitian lainnya
menemukan pasien SKA dengan fQRS memiliki daerah infark yang lebih luas,30
hitung jenis leukosit serta biomarka jantung yang lebih tinggi,30 kejadian aritmia
35
yang lebih sering,23,24 dan angka kematian yang lebih tinggi25-28 dibandingkan
pasien SKA tanpa fQRS. Studi terbaru oleh Shen dkk. bahkan menyimpulkan
fQRS dapat digunakan sebagai indikasi perlunya intervensi cepat pada kasus
NSTEMI.24
Fragmentasi QRS telah banyak dihubungkan dengan prognosis yang lebih
buruk pada pasien SKA, walau demikian hingga kini belum ada sistem stratifikasi
risiko yang menggunakan fQRS sebagai salah satu variabel yang bermakna.
Penelitian yang secara khusus mencari hubungan antara fragmentasi QRS dengan
sistem skoring, khususnya GRACE belum ada. Penelitian retrospektif Stavileci
dkk.52 mencari hubungan temuan fQRS yang sempit pada pasien STEMI dengan
keluaran klinis menemukan fQRS yang sempit meningkatkan risiko mendapatkan
skor GRACE yang tinggi (>120) hingga 2 kali lipat. Penelitian yang menemukan
bahwa pasein IMA dengan fQRS memiliki skor GRACE yang lebih tinggi
dibandingkan tanpa fQRS dapat memperluas khasanah pengetahuan di bidang
tatalaksana SKA dan memungkinkan penggunaan fQRS sebagai parameter EKG
yang mudah dan murah untuk membantu identifikasi pasien infark miokard
berisiko tinggi yang dapat diuntungkan dari terapi yang lebih agresif.
36
STEMI
NSTEMI
FOKUS
PENELITIAN
fQRS (-)
fQRS (+)
Daerah infark
lebih luas30,31
Hubungan
antara
fQRS(+)
dan skor
GRACE?
Skor
GRACE
Laju jantung
Kadar kreatinin
Tekanan darah
sistolik
STEMI :
prognosis
NSTEMI :
memandu
tatalaksana dan
prognosis1
Risiko terjadinya
henti jantung
37
2.4. Premis-premis
Berdasarkan fakta-fakta empiris objektif yang telah dijabarkan diatas, maka
disusun premis-premis sebagai berikut :
Premis 1 :
Fragmentasi QRS adalah penanda EKG baru akibat proses depolarisasi ventrikel
inhomogen pada daerah infark29 atau fibrosis.18,76
Premis 2 :
Pasien IMA dengan fQRS memiliki daerah infark lebih luas, biomarka jantung
lebih tinggi,30 fraksi ejeksi lebih rendah,21 komplikasi gagal jantung lebih sering
dan berat, kejadian aritmia lebih sering,23,24 dan angka kematian lebih tinggi.25-28
Premis 3 :
Panduan ESC10 menyarankan penggunaan skor GRACE karena lebih akurat.13,14
Premis 4 :
Risiko mendapatkan skor GRACE yang tinggi (>120) dua kali lebih besar pada
pasien STEMI dengan fQRS.52
Premis 5 :
Semakin banyak sadapan EKG dengan fQRS (> 3) pada pasien IMA, semakin
tinggi angka kematian dan perawatan kembali akibat gagal jantung.28
2.5. Hipotesis
Berdasarkan premis-premis diatas dapat disusun hipotesis sebagai berikut :
Skor GRACE pasien IMA dengan fQRS sempit secara bermakna akan lebih tinggi
dibandingkan pasien IMA tanpa fQRS.
38
BAB III
SUBJEK / BAHAN DAN METODE PENELITIAN
! ! + ! ! !!!/! + !!!
=
2 1
Keterangan :
n = jumlah sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini, 1= Standar deviasi grup 1, 2= Standar
deviasi grup 2, 1 = rata - rata grup 1, 2 = rata - rata grup 2
39
Pasien yang meninggal dalam 24 jam pertama (tidak menjadi bagian dalam
register GRACE).46,47
40
Variabel terikat (tergantung) pada penelitian ini adalah skor risiko GRACE.
41
sirkumflek kiri (LCX), dan fQRS pada >2 sadapan inferior (II,III, dan aVF)
karena lesi arteri koroner kanan (RCA).18
-
Tekanan darah sistolik adalah tekanan darah tertinggi yang dihasilkan saat
jantung berkontraksi. Variablel tekanan darah sistolik yang digunakan
dalam penelitian ini adalah tekanan darah sistolik saat masuk rawat yang
tercantum dalam rekam medik pasien.
Laju jantung yang dijadikan variabel dalam penelitian ini adalah laju
jantung saat masuk rawat yang tercantum dalam rekam medik pasien.87
Variabel usia yang digunakan dalam penelitian ini adalah usia pasien yang
tercantum dalam rekam medik pasien saat masuk rawat.
Variabel kadar kreatinin yang digunakan dalam penelitian ini adalah kadar
kreatinin yang tercantum dalam rekam medik pasien.
42
Henti jantung pada penelitian ini henti jantung adalah adanya riwayat
ventrikular fibrilasi atau ventrikular takikardia yang mengakibatkan
gangguan sirkulasi mendadak saat pasien datang atau selama perawatan di
IGD RSUP Dr. Hasan Sadikin.
Deviasi segmen ST dalam skor risiko GRACE adalah elevasi atau depresi
segmen ST yang terjadi pada pasien SKA.89 Variabel ada tidaknya deviasi
segmen ST pada penelitian ini ditemukan pada rekam medis EKG pasien
yang terdiagnosis SKA.
antara lain :
-
43
komplek QRS yang lebar dengan durasi >120 ms akibat Bundle Branch
Block (BBB), pacing, atau premature ventricular contraction (PVC).
Fragmentasi QRS pada PVC dianggap ada jika takik / fragmentasinya
terpisah >40 ms dan terjadi pada 2 sadapan yang berhubungan.76
-
Infark miokard lama dalam penelitian ini adalah pasien yang memiliki
riwayat perawatan karena infark miokard dengan pengantar pulang yang
jelau, atau temuan defek irreversible pada sidik perfusi miokard, atau
temuan ekokardiografi sebelumnya dengan gerakan regional dinding
jantung akinetik / diskinetik, atau temuan EKG sebelumnya yang
menunjukkan adanya gelombang Q yang bermakna pada 2 sadapan yang
berhubungan, atau tim dokter yang menangani mendiagnosis infark miokard
lama / old myocardial infaction.
44
45
Pasien dengan alat pacu jantung yang dikeluarkan dalam penelitian ini
adalah pasien yang memiliki riwayat pernah dipasang alat pacu jantung
sebelumnya.
Pasien yang dimaksud memiliki sindrom WPW pada penelitian ini adalah
pasien yang pernah terdiagnosis WPW atau memiliki gambaran EKG
dengan pola sebagai berikut : 1) Interval PR <120 ms dengan gelombang P
yang normal, 2) Gelombang QRS lebar dengan durasi lebih dari 110 ms
atau lebih, 3) Ada slurring pada permulaan gelombang QRS atau ada
gelombang delta, 4) Perubahan sekunder pada segmen ST dan gelombang
T.91
Pasien dengan kelainan bawaan yang kompleks dapat memiliki fQRS, hal
ini ditemukan pada pasien tetralogy of fallot pasca koreksi.84 Data yang
tersedia mengenai fQRS pada populasi PJB masih sangat terbatas,
karenanya diambil keputusan untuk mengeluarkan seluruh populasi PJB dari
46
penelitian ini. Pasien yang diduga memiliki PJB pada ekokardiografi atau
tercatat memiliki PJB sebelumnya, atau didiagnosis PJB saat masuk rawat.
-
Faktor risiko kardiovaskular adalah faktor risiko yang tercatat dalam rekam
medik pasien.
47
Pasien IMA di
IGD RSUP Dr. Hasan Sadikin
Pengumpulan Data
Analisis Data
Laporan Hasil
Penelitian
Gambar 3.1. Skema Alur Penelitian
48
49
Maret
April - Juni
Februari 2014
2014
2014
Persiapan
Pengambilan
sampel dan data
Pengolahan data dan
analisis statistik
Presentasi Hasil
Rp. 3.000.000,00
Rp. 2.000.000,00
Total :
Rp. 5.000.000,00
2.
3.
50
51
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama bulan Maret hingga Mei 2014.
Berdasarkan data rekam medis RSUP Dr. Hasan Sadikin dari akhir 2011 hingga
awal 2014 ditemukan 425 IMA. Sebanyak 40 pasien datanya ditemukan tidak
lengkap sehingga tidak memenuhi kriteria inklusi dan tidak dimasukkan kedalam
penelitian. Sebanyak 129 pasien memenuhi kriteria eksklusi sehingga dikeluarkan
dari penelitian. Akhirnya didapat 256 pasien yang menjadi subjek penelitian.
Berikut alur proses mendapatkan sampel penelitian.
385 memenuhi
kriteria inklusi
Subjek Penelitian
256 pasien
52
Data rekam medik pasien seperti usia, jenis kelamin, kedatangan sejak onset
nyeri di RSUP Dr. Hasan Sadikin, faktor risiko yang dimiliki, tekanan darah
sistolik, laju jantung, nilai leukosit, gula darah sewaktu, nilai ureum, kreatinin,
troponin T, CKMB, kelas killip dan riwayat henti jantung dicatat. Data mengenai
ada tidaknya fQRS dalam EKG dibaca oleh penilai independen. Skor GRACE dan
risiko kematian selama perawatan di RS dan dalam 6 bulan kedepan dihitung
menggunakan aplikasi resmi GRACE 2.0. Seluruh data yang diperoleh kemudian
diolah dengan menggunakan program SPSS ver 20.
Uji normalitas data numerik menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov
mengingat data yang digunakan berjumlah >50. Hasil uji normalitas menunjukkan
seluruh variabel numerik dalam penelitian ini tidak terdistribusi normal, sehingga
data numerik disajikan menggunakan nilai median dan rentang (minimummaksimum). Data kategorik disajikan menggunakan nilai frekuensi dan
persentase. Karakteristik dasar 256 subjek penelitian dapat dilihat pada tabel 4.1.
Setelah dilakukan analisis data didapatkan median usia 56 (31 86) tahun,
jenis kelamin laki-laki lebih banyak dari perempuan (200 (78,1%) banding 56
(21,9%)). Median waktu kedatangan ke RSUP Dr. Hasan Sadikin adalah 8 (1168) jam. Sebanyak 112 (43,8%) orang datang <6 jam setelah timbul keluhan
nyeri dada. Faktor risiko utama PAK yang dimiliki subjek penelitian adalah
merokok 76,2% diikuti oleh hipertensi 55,5%, diabetes 12,1%, dan riwayat
keluarga memiliki penyakit jantung atau meninggal mendadak 10,2%. Faktor
risiko dislipidemia tidak bisa dihitung karena data yang tidak lengkap. Sebanyak
52% subjek penelitian memiliki 2 faktor risiko atau lebih (multipel).
53
Median tekanan darah sistolik 130 (70-230) mmHg, median laju jantung 80
(42-128) kali/menit. Median nilai leukosit sebesar 12.100 (4.080-27.300)/mcL,
median gula darah sewaktu (GDS) sebesar 135 (74-633) mg/dL, median ureum 29
(4-197) mg/dL, median kreatinin 0,92 (0,1-19,3) mg/dL, troponin-T 0,5 (0,01 2)
ng/mL, CKMB 72 (12-989) U/L. Riwayat henti jantung didapatkan pada 9 (3,5%)
subjek penelitian. Sebanyak 189 (73,8%) orang memiliki kelas killip I, 49
(19,1%) memiliki kelas killip II, dan 9 (3,5%) memiliki kelas killip III dan IV.
Median skor GRACE 106 (48-194), median risiko kematian selama di RS 2%
(0,2-44%) dan median risiko kematian dalam 6 bulan pertama 4,85% (0,8-116).
Subjek penelitian dengan skor GRACE >120 ditemukan sebanyak 74 (28,9%)
orang, sedangkan fQRS ditemukan pada 105(41%) orang.
Pasien NSTEMI datang lebih lama ke RS dibandingkan pasien STEMI
(11,5 banding 7 jam; p=0,010%). Faktor risiko hipertensi (70,6% banding 50%,
p=0,003) dan faktor risiko multipel (64,7% banding 47,3%; p=0,014) lebih sering
ditemukan pada NSTEMI dibanding STEMI. Tekanan darah sistolik (138,5
banding 122,5 mmHg; p=0,007) ditemukan lebih tinggi pada NSTEMI. Nilai
leukosit (10.550 banding 12.650/L, p=0,000), GDS (122 banding 141 mg/dL,
p=0,001), troponin-T (0,4 banding 0,6 ng/mL; p=0,016) dan CKMB (53 banding
86,5 U/L; p=<0,001) ditemukan lebih tinggi pada kelompok STEMI. Pasien
STEMI lebih banyak yang mengalami gagal jantung dan memiliki kelas Killip
yang lebih tinggi dibandingkan pasien NSTEMI (Kelas killip I: 67,6% pada
NSTEMI banding 75,5% pada STEMI; p=0,001).
54
Variabel
Usia (tahun)
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Kedatangan sejak onset nyeri
1-6 jam
7-12 jam
>12 jam
Faktor Risiko
Merokok
Diabetes
Hipertensi
Riwayat Keluarga
Faktor Risiko Multipel
Tekanan darah sistolik
Laju jantung
Nilai leukosit
GDS
Ureum
Kadar kreatitinin
Kadar troponin T
Kadar CKMB
Kelas killip
I
II
III
IV
Riwayat henti jantung
Skor GRACE
Risiko Kematian di RS
Risiko Kematian / 6 bulan
Skor GRACE > 120
Fragmentasi QRS
Tidak
Ada
fQRS >3 sadapan
Keterangan : n = jumlah sampel
Total
N = 256(100%)
56 (31 86)
48 (70,6%)
20 (29,4%)
11.5 (1 - 168)
23 (33,8%)
19 (27,9%)
26 (38,2%)
152 (80,9%)
36 (19,1%)
7 (1 - 144)
89 (47,3%)
32 (17%)
67 (35%)
200 (78,1%)
56 (21,9%)
8 (1 - 168)
112 (43,8%)
51 (19,9%)
93 (36,3%)
37 (69,1%)
11 ( 16,2%)
48 (70,6%)
9 (13,2%)
44 (64,7%)
138,5 (70-190)
86,5 (45-128)
10.550
(4080-24.600)
122 (77 - 480)
31,5 (15-192)
0,92 (0,1710.85)
0,4 (0,01-2)
53 (12 348)
148 (78,7%)
20 (10,6%)
94 (50%)
17 (9%)
89 (47,3%)
122,5 (70-230)
78,5 (42 -127)
12.650
(4800-27.300)
141 (74-633)
29 (4 197)
0,98 (0,1019)
0,6 (0,01-2)
86,5 (15 989)
195 (76,2%)
31 (12,1%)
142 (55,5%)
26 (10,2%)
133 (52%)
130 (70 -230)
80 (42 128)
12.100
(4080 27.300)
135 (74-633)
29 (4 197)
0.92 (0,10-19,3)
0.5 (0,01 2)
72 (12 - 989)
46 (67,6%)
19 (27,9%)
1 (1,5%)
2 (2,2%)
1 (1,5%)
108,5 (66 178)
2,1% (0,6 -37%)
5,3% (1,4-44%)
23 (33,8)%)
142 (75,5%)
30 (16%)
9 (4,8%)
7 (3,7%)
8 (4,3%)
104,5 (48 194)
2 (0,2-44%)
4,4%(0,8-62%)
51 (27,1%)
188 (73,4%)
49 (19,1%)
10 (3,9%)
9 (3,5%)
9 (3,5%)
106 (48-194)
2 (0,2-44)
4,85(0,8-116)
75 (29,3%)
39 (57,4%)
29 (42,6%)
18 (26,6%)
112 (59,6%)
76 (40,4%)
54 (28,7%)
145 (56,6%)
105 (41%)
72 (28,1%)
55
fQRS
Rata-rata
Standar
Deviasi
Tidak Ada
151
103,85
22,65
Ada
105
115,59
29,36
Nilai p
(2 arah)
IK 95%
Rentang
0,001
5 18,5
56
57
Nilai P
fQRS(-)
n=151(59%)
56 (31-82)
fQRS(+)
n=105 (41%)
58 (34-86)
121 (81,1%)
30 (19,9%)
8 (1-168)
68 (45%)
32 (21,2%)
51 (33,8%)
79 (75,9%)
26 (24,8%)
8 (1-168)
44 (41,9%)
19 (18,1%)
42 (40%)
118 (78,1%)
19 (12,6%)
82 (54,3%)
15 (9,9%)
81 (53,6%)
130 (70-230)
77 (44-127)
11.800
(4080-27.300)
134 (74-633)
29 (4-102)
0,9 (0,1-3,99)
0,3 (0,1-2)
66 (15-786)
5 (3,3%)
77 (73,3%)
12 (11,4%)
60 (57,1%)
11 (10,5%)
52 (49,5%)
130 (70-200)
88 (42-128)
12.900
(4800-21.400)
136 (81-594)
31 (14-197)
0,96 (0,44-19)
1,1 (0,1-2)
103 (12-989)
4 (3,8%)
0,795
0,004
0,037
<0,001
0,010
0,831
32 (21,2%)
36 (34,3%)
0,02
101 (48-162)
1,8 (0,2-23)
4,3 (0,8-23)
34 (22,5%)
112 (67-194)
2,5 (0,6-44)
5,95 (1,4-62)
41 (39%)
0,001
0,002
<0,001
0,004
0,016
0,351
0,337
0,578
0,374
0,781
0,653
0,888
0,517
0,587
0,002
0,074
Keterangan : Analisis statistik menggunakan chi-square untuk data kategorik dan t-test
untuk data numerik, p bermakna bila nilainya < 0,05
Pasien IMA dengan fQRS berjumlah 105 (41%) orang, mereka yang
memiliki skor GRACE >120 ditemukan lebih banyak dibandingkan pasien IMA
tanpa fQRS (39% banding 22,5%; p=0,004). Setelah dilakukan perhitungan
estimasi risiko pasien IMA dengan fQRS memiliki risiko lebih besar (OR 2,2 kali;
58
4.4. Pembahasan
Rata-rata usia pasien IMA dalam penelitian ini adalah 56 tahun, lebih tinggi
dibandingkan usia rata-rata pasien STEMI dalam penelitian Juwana dkk.37 di RS
Puri Cinere Jakarta yaitu 54 tahun. Usia rata-rata tersebut lebih rendah
dibandingkan pasien STEMI di klinik Isala Belanda (mean 63 tahun) dan juga
pasien IMA di perancis dalam penelitian Montalescot dkk.92 (mean 61 tahun).
Rata-rata usia pasien STEMI ditemukan lebih muda dibandingkan pasien
NSTEMI (mean 60 banding 65 tahun; p=<0,0001) pada penelitian Montaleskot
dkk.92 Usia rata-rata pasien STEMI pada penelitian ini juga ditemukan lebih muda
dibandingkan pasien NSTEMI.
Mayoritas pasien dalam penelitian ini berjenis kelamin pria (78,1%),
temuan ini serupa dengan proporsi di Belanda (75%)37 dan Perancis (76%).92
Secara tradisional PAK dianggap sebagai penyakit yang terutama dialami lakilaki, risiko laki-laki mendapatkan PAK di usia 40 tahun lebih besar dibandingkan
wanita (50% banding 33%).93 Hal tersebut mengakibatkan wanita lebih jarang
menjalani pemeriksaan atau terapi untuk SKA dibandingkan laki-laki.94,95 Pasien
wanita dengan infark miokard memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan
laki-laki.96,97 Penelitian terbaru yang dikerjakan oleh Shacham dkk.98 menemukan
59
pasien wanita dengan infark miokard mengalami gangguan fungsi sistolik dan
diastolik yang lebih berat dibandingkan laki-laki walau telah mendapat perlakuan
yang sama.
Pasien IMA yang merokok dalam penelitian ini jauh lebih banyak (76,2%)
dibandingkan pasien IMA di Belanda (31%)37 atau Perancis (36,6%).92 Salah satu
alasan yang menyebabkan tingginya hal tersebut adalah regulasi anti-terbakau
yang buruk dan cukai rokok yang relatif murah di Indonesia, akibatnya konsumsi
rokok di Indonesia terus meningkat dari 173 milyar rokok di 2004 menjadi 265
milyar rokok di 2010. Prevalensi perokok di Indonesia merupakan yang tertinggi
di dunia dimana 67,4% pria dan 4,5% wanita merokok.99
Profil faktor risiko kardiovaskular pasien IMA di RSUP Dr. Hasan Sadikin
yang memiliki kemiripan dengan pasien IMA di RS Puri Cinere dalam penelitian
Juwana dkk.37 adalah merokok (76,2% dan 68%) dan tekanan darah tinggi (55,5%
dan 46%), faktor risiko lainnya seperti diabetes (12,1% dan 36%) dan riwayat
keluarga (10,2% dan 32,%) berbeda cukup jauh. Faktor yang dapat menjelaskan
adanya perbedaan tersebut adalah kelas sosioekonomi yang dimiliki pasien. RSUP
Dr. Hasan Sadikin adalah RS pemerintah yang banyak mengelola pasien tidak
mampu, sedangkan pasien RS Puri Cinere adalah RS Swasta yang kebanyakan
pasiennya memiliki status sosioekonomi menengah keatas. Penelitian Adedoyin
dkk.100 di Nigeria menemukan semakin tinggi kelas sosial ekonomi semakin
tinggi tekanan darah sistolik (r=0,255; p<0,01) dan gula darah puasa (r=0,270;
p<0,01). Penelitian tersebut memiliki hasil yang berbeda dengan penelitian yang
dikerjakan di negara maju dimana kelas sosial ekonomi justru berbanding terbalik
60
RS Puri
Cinere
Klinik Isala
Belanda
Perancis
(OPERA)
Merokok
76,2%
68%
31%
36,6%
55,5%
46%
42%
47,1%
Diabetes
12,1%
36%
12%
15,6%
46%
19%
49%
10,2%
32%
37%
11,1%
52%
Dislipidemia
Faktor Risiko Keluarga
Faktor Risiko >2
Sumber:
1) Juwana dkk. Primary coronary intervention for ST-elevation myocardial infarction in
Indonesia and the Netherlands: a comparison. Netherlands heart journal.
2) Montalescot dkk. STEMI and NSTEMI: are they so different? 1 year outcomes in acute
myocardial infarction as defined by the ESC/ACC definition (the OPERA registry). European
heart journal.
61
62
63
NSTEMI. Prevalensi fQRS pada IMA dalam penelitian ini lebih rendah
dibandingkan temuan oleh Das dkk.25 yang menemukan prevalensi fQRS pada
IMA sebesar 51%, namun lebih tinggi dibandingkan temuan Stavileci dkk.52 yang
menemukan prevalensi sebesar 27% pada pasien STEMI. Faktor yang dapat
menyebabkan hal tersebut diduga adalah metodologi penelitian yang berbeda.
Penelitian Das dkk.25 melakukan pemeriksaan EKG sesuai pengaturan yang
direkomendasikan Das dkk.18 dalam penelitian sebelumnya. Penelitian ini dan
penelitian Stavileci dkk.52 menggunakan data retrospektif sehingga ada
kemungkinan fQRS tidak terdeteksi karena pemeriksaan EKG yang dilakukan
tidak sesuai rekomendasi Das dkk.18
Penelitian ini menemukan bahwa pasien IMA dengan fQRS memiliki usia
yang lebih tua dibandingkan pasien tanpa fQRS (p=0,016). Temuan ini serupa
dengan temuan Guo dkk.29 yang menemukan bahwa pasien NSTEMI berusia
lanjut (>65 tahun) memiliki frekuensi fQRS yang lebih tinggi (p=0,005). Literatur
lain yang mendukung pernyataan bahwa fQRS memiliki hubungan dengan usia
tidak ada. Penelitian ini tidak menemukan hubungan antara faktor risiko
kardiovaskular dengan fQRS, sedangkan Guo dkk.29 menemukan pasien dengan
fQRS memiliki faktor risiko diabetes yang lebih banyak (p=0,033). Literatur lain
yang menemukan hubungan antara fQRS dengan faktor risiko yang dimilikinya
tidak ditemukan.
Penelitian ini menemukan perbedaan skor GRACE yang bermakna antara
kelompok pasien IMA dengan dan tanpa fQRS, pasien IMA dengan fQRS sempit
64
memiliki rata-rata skor GRACE yang lebih tinggi dibandingkan pasien IMA tanpa
fQRS sempit. Temuan ini sesuai dengan hipotesis awal penelitian.
Penelitian mengenai peranan fQRS dalam SKA masih terbatas, belum ada
penelitian yang secara khusus mencari hubungan antara fQRS dengan skor
GRACE pada pasien IMA. Stavileci dkk.52 meneliti kegunaan fQRS untuk
memprediksi prognosis jangka pendek pasien STEMI menemukan bahwa pasien
STEMI dengan skor GRACE >120 memiliki keluaran klinis yang lebih buruk
(OR = 4,765). Pasien STEMI dengan fQRS pada penelitian tersebut memiliki
risiko hampir 2 kali lebih besar untuk memiliki skor GRACE >120 dibandingkan
pasien STEMI tanpa fQRS. Pasien IMA dengan fQRS pada penelitian ini
memiliki risiko 2,2 kali (IK 95% 1,33,8) lebih besar untuk mendapatkan skor
GRACE >120 sehingga dapat disimpulkan terdapat konsistensi antara penelitian
ini dan pelelitian Stavileci dkk.52
Faktor yang dapat menyebabkan adanya hubungan antara fQRS dengan skor
GRACE diduga berhubungan dengan daerah infark yang lebih luas pada pasien
IMA dengan fQRS. Biomarka jantung (troponin-T dan CKMB) secara bermakna
ditemukan lebih tinggi pada pasien IMA dengan fQRS. Pasien IMA dengan fQRS
memiliki infark yang lebih luas sehingga mengakibatkan gangguan fungsi
ventrikel yang lebih berat dibandingkan dengan pasien IMA tanpa fQRS. Pasien
IMA dengan fQRS ditemukan memiliki risiko 1,94 (IK 95% 1,13,4) kali lebih
besar mengalami gagal jantung.
Pasien IMA dengan fQRS pada penelitian ini umumnya memiliki kelas
killip yang lebih tinggi (p=0,011), laju jantung yang lebih cepat (median 88
65
banding 77 kali/menit; p=0,000), ureum yang lebih tinggi (median 31 banding 29;
p=0,004), kreatinin yang lebih tinggi (median 0,96 banding 0,9 mg/dL; p=0,037),
troponin-T yang lebih tinggi (median 1,1 banding 0,3 ng/mL; p=<0,001), CKMB
yang lebih tinggi (median 103 banding 66 U/L; p=0,01) dan skor GRACE yang
lebih tinggi (112 banding 101; p=0,001) dibandingkan pasien IMA tanpa fQRS.
Temuan ini serupa dengan temuan oleh Kocaman dkk.30 yang menemukan bahwa
pasien STEMI dengan fQRS yang menjalani IKP primer memiliki nilai leukosit
(p=0,001), CKMB (p=0,001), troponin-T (p=0,005), dan kelas killip (p=0,001)
yang lebih tinggi dibandingkan pasien tanpa fQRS. Nilai leukosit pada penelitian
ini ditemukan lebih tinggi pada pasien IMA dengan fQRS namun secara statistik
tidak bermakna (12.900 banding 11.800; p=0,074). Pasien IMA dengan fQRS
pada penelitian Kocaman dkk.30 ditemukan memiliki laju jantung (mean 82
banding 86 kali/menit) dan kreatinin (mean 1 banding 1,1 mg/dL) yang lebih
tinggi namun secara statistik tidak bermakna (p=0,16 dan p=0,26). Berdasarkan
temuan yang konsisten pada penelitian ini dan penelitian sebelumnya dapat
disimpulkan bahwa keberadaan fQRS pada pasien IMA berhubungan erat dengan
luasnya infark, hal tersebut dapat meningkatkan beragam parameter yang pada
akhirnya meningkatkan skor GRACE.
66
Pembacaan EKG pada penelitian ini dikerjakan oleh satu orang kardiologis
penilai independen sehingga interobserver variability tidak diketahui.
2)
3)
67
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan
Skor GRACE pasien IMA dengan fQRS sempit secara bermakna ditemukan
lebih tinggi dibandingkan pasien IMA tanpa fQRS.
5.2. Saran
Penelitian mengenai fQRS masih terbatas sehingga masih diperlukan
penelitian lanjutan di bidang ini. Kualitas EKG dalam penelitian ini dapat
diperbaiki melalui penelitian yang bersifat prospektif dengan mesin EKG yang
sama dengan pengaturan sesuai rekomendasi Das dkk.
Temuan tambahan penelitian ini adalah pasien IMA di RSUP Dr. Hasan
Sadikin memiliki faktor risiko kardiovaskular yang lebih banyak, lebih muda,
datang lebih lama ke RS dengan presentasi klinis yang lebih buruk dibandingkan
pasien IMA di negara maju. Pemerintah khususnya kementrian kesehatan
karenanya perlu menjadikan upaya penanggulangan penyakit kardiovaskular
sebagai salah satu prioritas pembangunan kesehatan. Upaya prevensi primer harus
lebih intensif dikerjakan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai
penyakit kardiovaskular dan mengendalikan faktor risikonya.
68
DAFTAR PUSTAKA
1.
Hamm CW, Bassand JP, Agewall S, Bax J, Boersma E, Bueno H, et al. ESC
Guidelines for the management of acute coronary syndromes in patients
presenting without persistent ST-segment elevation: The Task Force for the
management of acute coronary syndromes (ACS) in patients presenting
without persistent ST-segment elevation of the European Society of
Cardiology (ESC). Eur Heart J. 2011;32(23):2999-3054.
2.
3.
Go AS, Mozaffarian D, Roger VL, Benjamin EJ, Berry JD, Borden WB, et
al. Heart disease and stroke statistics--2013 update: a report from the
American Heart Association. Circulation. 2013;127(1):e6-e245.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
69
Hamm CW, Bassand JP, Agewall S, Bax J, Boersma E, Bueno H, et al. ESC
Guidelines for the management of acute coronary syndromes in patients
presenting without persistent ST-segment elevation: The Task Force for the
management of acute coronary syndromes (ACS) in patients presenting
without persistent ST-segment elevation of the European Society of
Cardiology (ESC). Eur Heart J.32(23):2999-3054.
11.
12.
with
revascularization
in
NSTE-ACS.
Eur
Heart
J.
2005;26(9):865-72.
13.
Diercks DB, Peacock WF, Hiestand BC, Chen AY, Pollack CV, Jr., Kirk
JD, et al. Frequency and consequences of recording an electrocardiogram
>10 minutes after arrival in an emergency room in non-ST-segment
elevation acute coronary syndromes (from the CRUSADE Initiative). Am J
Cardiol. 2006;97(4):437-42.
14.
15.
Thygesen K, Alpert JS, White HD, Jaffe AS, Apple FS, Galvani M, et al.
Universal
definition
of
myocardial
infarction.
Circulation.
2007;116(22):2634-53.
16.
70
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
71
25.
Das MK, Michael MA, Suradi H, Peng J, Sinha A, Shen C, et al. Usefulness
of fragmented QRS on a 12-lead electrocardiogram in acute coronary
syndrome for predicting mortality. Am J Cardiol. 2009;104(12):1631-7.
26.
27.
28.
29.
30.
coronary
intervention.
Turk
Kardiyol
Dern
Ars.
2012;40(3):213-22.
31.
32.
72
33.
Wang DD, Buerkel DM, Corbett JR, Gurm HS. Fragmented QRS complex
has poor sensitivity in detecting myocardial scar. Ann Noninvasive
Electrocardiol. 2010;15(4):308-14.
34.
Ahn MS, Kim JB, Yoo BS, Lee JW, Lee JH, Youn YJ, et al. Fragmented
QRS complexes are not hallmarks of myocardial injury as detected by
cardiac magnetic resonance imaging in patients with acute myocardial
infarction. Int J Cardiol. 2013;168(3):2008-13.
35.
36.
37.
Juwana YB, Wirianta J, Ottervanger JP, Dambrink JH, van 't Hof AW,
Gosselink AT, et al. Primary coronary intervention for ST-elevation
myocardial infarction in Indonesia and the Netherlands: a comparison. Neth
Heart J. 2009;17(11):418-21.
38.
39.
40.
Thygesen K, Alpert JS, Jaffe AS, Simoons ML, Chaitman BR, White HD, et
al. Third universal definition of myocardial infarction. Eur Heart J. 2012.
41.
42.
Panteghini M, Cuccia C, Bonetti G, Giubbini R, Pagani F, Bonini E. Singlepoint cardiac troponin T at coronary care unit discharge after myocardial
73
infarction correlates with infarct size and ejection fraction. Clin Chem.
2002;48(9):1432-6.
43.
44.
statement
from
the
American
Heart
Association
Khalill R, Han L, Jing C, Quan H. The use of risk scores for stratification of
non-ST elevation acute coronary syndrome patients. Exp Clin Cardiol.
2009;14(2):e25-30.
46.
Granger CB, Goldberg RJ, Dabbous O, Pieper KS, Eagle KA, Cannon CP,
et al. Predictors of hospital mortality in the global registry of acute coronary
events. Arch Intern Med. 2003;163(19):2345-53.
47.
Fox KA, Dabbous OH, Goldberg RJ, Pieper KS, Eagle KA, Van de Werf F,
et al. Prediction of risk of death and myocardial infarction in the six months
after presentation with acute coronary syndrome: prospective multinational
observational study (GRACE). BMJ. 2006;333(7578):1091.
48.
Mehta SR, Granger CB, Boden WE, Steg PG, Bassand JP, Faxon DP, et al.
Early versus delayed invasive intervention in acute coronary syndromes. N
Engl J Med. 2009;360(21):2165-75.
49.
74
50.
Fox KA, Carruthers KF, Dunbar DR, Graham C, Manning JR, De Raedt H,
et al. Underestimated and under-recognized: the late consequences of acute
coronary
syndrome
(GRACE
UK-Belgian
Study).
Eur
Heart
J.
2010;31(22):2755-64.
51.
Khan SQ, Narayan H, Ng KH, Dhillon OS, Kelly D, Quinn P, et al. Nterminal pro-B-type natriuretic peptide complements the GRACE risk score
in predicting early and late mortality following acute coronary syndrome.
Clin Sci (Lond). 2009;117(1):31-9.
52.
53.
O'Rourke RA, Hochman JS, Cohen MC, Lucore CL, Popma JJ, Cannon CP.
New approaches to diagnosis and management of unstable angina and nonST-segment
elevation
myocardial
infarction.
Arch
Intern
Med.
2001;161(5):674-82.
54.
55.
56.
57.
Kontos MC, Kurdziel KA, Ornato JP, Schmidt KL, Jesse RL, Tatum JL. A
nonischemic electrocardiogram does not always predict a small myocardial
75
59.
Cannon CP, McCabe CH, Stone PH, Rogers WJ, Schactman M, Thompson
BW, et al. The electrocardiogram predicts one-year outcome of patients
with unstable angina and non-Q wave myocardial infarction: results of the
TIMI III Registry ECG Ancillary Study. Thrombolysis in Myocardial
Ischemia. J Am Coll Cardiol. 1997;30(1):133-40.
60.
61.
62.
Hyde TA, French JK, Wong CK, Straznicky IT, Whitlock RM, White HD.
Four-year survival of patients with acute coronary syndromes without STsegment elevation and prognostic significance of 0.5-mm ST-segment
depression. Am J Cardiol. 1999;84(4):379-85.
63.
Gorgels AP, Vos MA, Mulleneers R, de Zwaan C, Bar FW, Wellens HJ.
Value of the electrocardiogram in diagnosing the number of severely
narrowed coronary arteries in rest angina pectoris. Am J Cardiol.
1993;72(14):999-1003.
64.
76
65.
de Zwaan C, Bar FW, Janssen JH, Cheriex EC, Dassen WR, Brugada P, et
al. Angiographic and clinical characteristics of patients with unstable angina
showing an ECG pattern indicating critical narrowing of the proximal LAD
coronary artery. Am Heart J. 1989;117(3):657-65.
66.
67.
Flowers NC, Horan LG, Wylds AC, Crawford W, Sridharan MR, Horan CP,
et al. Relation of peri-infarction block to ventricular late potentials in
patients with inferior wall myocardial infarction. Am J Cardiol.
1990;66(5):568-74.
68.
69.
70.
de Bakker JM, van Capelle FJ, Janse MJ, Tasseron S, Vermeulen JT, de
Jonge N, et al. Slow conduction in the infarcted human heart. 'Zigzag'
course of activation. Circulation. 1993;88(3):915-26.
71.
de Bakker JM, van Capelle FJ, Janse MJ, Tasseron S, Vermeulen JT, de
Jonge N, et al. Fractionated electrograms in dilated cardiomyopathy: origin
and relation to abnormal conduction. J Am Coll Cardiol. 1996;27(5):1071-8.
72.
73.
74.
77
75.
76.
77.
78.
79.
marker
of
arrhythmogenic
right
ventricular
dysplasia-
81.
82.
78
83.
84.
Park SJ, On YK, Kim JS, Park SW, Yang JH, Jun TG, et al. Relation of
fragmented QRS complex to right ventricular fibrosis detected by late
gadolinium enhancement cardiac magnetic resonance in adults with repaired
tetralogy of fallot. Am J Cardiol. 2012;109(1):110-5.
85.
86.
87.
and
possibilities
of
drug
intervention].
Kardiologiia.
2009;49(9):82-9.
88.
89.
Eagle KA, Lim MJ, Dabbous OH, Pieper KS, Goldberg RJ, Van de Werf F,
et al. A validated prediction model for all forms of acute coronary
syndrome: estimating the risk of 6-month postdischarge death in an
international registry. JAMA. 2004;291(22):2727-33.
90.
World
Health
Organizational/International
Society
and
Surawicz
B,
Gering
LE,
Knilans
TK,
Tavel
ME.
Chous
79
92.
93.
94.
95.
96.
97.
98.
Elevation
Myocardial
Infarction
Treated
With
Primary
100. Adedoyin RA, Afolabi A, Adegoke OO, Akintomide AO, Awotidebe TO.
Relationship between socioeconomic status and metabolic syndrome among
Nigerian adults. Diabetes Metab Syndr. 2013;7(2):91-4.
80