Anda di halaman 1dari 34

0

HUBUNGAN GEJALA AWAL DENGAN


KETERLAMBATAN PRE HOSPITAL PADA PASIEN
SINDROM KORONER AKUT

METODOLOGI PENELITIAN

PIPIT BUDI KUNCORO


201713015

STIKES JAYAKARTA JAKARTA

2018
1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit jantung koroner merupakan penyakit pada organ jantung yang


disebabkan oleh adanya penurunan suplai darah yang diterima oleh otot jantung
(Black & Hawks, 2014). Penyakit ini umumnya ditandai dengan adanya
aterosklerosis dari pembuluh darah koroner. Keadaan menurunnya suplai oksigen
ke otot jantung akan menimbulkan sekumpulan gejala atau sindrom. Sindrom
Koroner Akut (SKA) merupakan kondisi kegawatdaruratan akibat
ketidakseimbangan antara kebutuhan oksigen miokardium dengan aliran darah
yang berperan memberikan suplai oksigen melalui arteri koroner.

Menurut (Nichols et al., 2014; Gomar et al., 2016) Penyakit SKA sering
menyebabkan kerusakan otot jantung ireversibel hingga kematian di negara-
negara maju. Menurut WHO (2016), terhitung sebanyak 17,3 juta kematian
disebabkan oleh serangan jantung. Prevalensi penyakit jantung koroner di
Indonesia berdasarkan diagnosis dokter atau gejala sebesar 1,5% atau
diperkirakan sekitar 2.650.340 orang dalam setahun (KEMENKES, 2014).
Prevalensi penyakit jantung koroner di Jakarta menduduki posisi ketiga di
provinsi Banten yaitu sebesar 0,6 % (RISKESDAS, 2013).

Penyebab kematian dari responden dengan penyakit sindrom koroner akut salah
satunya adalah keterlambatan pre hospital. Penelitian di Amerika menunjukkan
bahwa keterlambatan pre hospital mengakibatkan dari 193 responden 95,9 %
diantaranya responden mengalami coronary artery disease (CAD) dan harus
menjalani kateterisasi jantung. 11,4 % dilakukan CABG, dan 3,6 % meninggal di
rumah sakit (Frisch et al., 2017).

Menurut (Shan & Mcmahon, 2014), penanganan reperfusi pembuluh darah


koroner yang tidak melebihi onset dapat menurunkan angka morbiditas dan
mortilitas penderita SKA, penelitian menyatakan bahwa penanganan penyakit
SKA dengan intervensi koroner perkutan dapat meningkatkan kualitas hidup.
2

Menurut American College of Cardiology Foundation dan American Heart


Association (ACCF/AHA), tahun 2013 bahwa standar waktu saat munculnya
gejala hingga responden tiba di instalasi gawat darurat adalah ≤120 menit (O’Gara
et al., 2013). Tetapi fenomena yang terjadi di lapangan adalah waktu
keterlambatan prehospital yang panjang. Keterlambatan prehospital didefinisikan
sebagai titik awal waktu ketika gejala ketidaknyamanan nyeri dirasakan oleh
responden hingga responden tiba di IGD (George, 2013).

Penelitian pada tahun 2009 dilakukan oleh Global Registry Of Acute Coronary
Events (GRACE), di empat negara bagian ditemukan bahwa angka tertinggi
keterlambatan diduduki oleh Brazil dan Argentina yaitu 3,1 jam pada kasus
STEMI dan 4,1 jam pada NSTEMI. Selanjutnya angka keterlambatan terendah
diduduki oleh Australia dan New zeland yaitu 1,7 jam pada kasus STEMI dan 1,9
jam pada kasus NSTEMI (Shan & Mcmahon, 2014). Penelitian di Yordania
menunjukkan angka keterlambatan pre hospital rata-rata lebih tinggi yaitu 7,8 jam
( Darawad et al., 2016). Secara garis besar sebanyak 75 % responden mengalami
keterlambatan prehospital dan hal ini belum mampu diubah dalam periode 10
tahun terakhir ini (Xie, Huang dan Hu, 2016).

Menurut (O’Gara et al., 2013), kondisi keterlambatan penanganan reperfusi dapat


memperburuk prognosis. Hal ini dikarenakan kondisi kekurangan oksigen dapat
merusak seluruh lapisan miokard, sehingga jantung kesulitan memompa darah ke
seluruh tubuh dan terjadi syok kardiogenik, hingga kematian Kematian mendadak
yang diakibatkan oleh sindrom koroner akut teridentifikasi memiliki persentasi
sumbatan ≥ 85%.

Beberapa faktor dapat menjadi penyebab keterlambatan pre-hospital sehingga


sebagian responden datang ke rumah sakit telah melebihi onset. Faktor
diantaranya adalah penurunan sensasi nyeri, pengetahuan terhadap penyakit SKA,
persepsi terhadap gejala, keseriusan dalam respon, dukungan keluarga, dan
dukungan sosial dari orang sekitar (Chandiran & Madhavi, 2018). Studi literatur
dilakukan di Cina (Xie, Huang, & Hu, 2015), menunjukkan keterlambatan dapat
dipengaruhi oleh presentasi gejala yang meliputi nyeri dada atipikal. Investigasi
menunjukkan bahwa sekitar 20%-30% responden,
3

ACS hanya mengalami nyeri dada atipikal seperti sesak napas, ansietas, rasa tidak
nyaman pada bagian perut atas, dan keringat dingin. Selain itu, responden juga
mengeluhkan penurunan intensitas dan durasi nyeri dapat memperpanjang waktu
keterlambatan prehospital

Berdasarkan studi pendahuluan ada bulan Mei 2018 di Rumah Sakit Gatot
Subroto Jakarta dilakukan wawancara kepada dua orang responden dengan
diagnosis medis sindrom koroner akut pertama kali. Responden pertama
mengatakan bahwa sesak napas saat berjalan jauh yang dirasakan selama 4 hari
sebelum masuk rumah sakit dikarenakan kelelahan biasa kemudian berobat ke
klinik. Selanjutnya responden kedua mengatakan nyeri pada dada kiri menjalar ke
pundak dianggap oleh responden sebuah gejala masuk angin yang kemudian
diobati dengan kerokan. Wawancara diatas menunjukkan bahwa representasi
gejala sindrom koroner akut yang dirasakan oleh responden memiliki perbedaan
dari segi tipe nyeri, skala nyeri, lokasi nyeri, kualitas nyeri, dan gejala yang
menyertai.

Pada 2.703 responden dengan diagnosa medis sindrom koroner akut, gejala awal
adalah nyeri atau sensasi tidak nyaman di bagian dada (84,4 %), nyeri menjalar ke
lengan kiri (31,4%), sesak napas (45,2%), kelelahan (24,9%), nyeri punggung
(5,5%), keringat dingin (37%), nyeri perut bagian atas (30,6%), menurut (McKee,
2013). Dapat disimpulkan dari data tersebut bahwa sebagian responden
mengalami gejala yang menyertai dan memiliki hubungan signifikan dengan
keterlambatan prehospital .

Gejala awal SKA yang dirasakan responden berbeda-beda tergantung kondisi


klinis yang dialami oleh responden. Sedangkan di sisi lain, sindrom koroner akut
harus segera mendapatkan penanganan untuk menghindari keterlambatan
prehospital. Berdasarkan permasalahan diatas maka peneliti tertarik dengan
fenomena yang terjadi pada responden SKA di Rumah Sakit Gatot Subroto
Jakarta. Oleh sebab itu peneliti melakukan penelitian tentang hubungan gejala
awal dengan keterlambatan prehospital pada responden sindrom koroner akut.
4

1.2 Rumusan Masalah

Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan kondisi kegawatdaruratan akibat


ketidakseimbangan antara kebutuhan oksigen miokardium dengan aliran darah.
Penanganan reperfusi pembuluh darah koroner yang tidak melebihi onset dapat
menurunkan angka morbiditas dan mortilitas penderita SKA. Gejala awal sindrom
koroner akut dapat mempengaruhi keterlambatan pre-hospital sehingga sebagian
responden datang ke rumah sakit telah melebihi onset. Namun masih belum
banyak penelitian yang mengidentifikasi hubungan gejala awal dengan
keterlambatan Pre hospital.

Berdasarkan uraian tersebut maka pertanyaan penelitian ini dirumuskan menjadi


“Apakah ada hubungan gejala awal dengan keterlambatan pre hospital responden
sindrom koroner akut di Rumah Sakit Gatot Subroto Jakarta”

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum


Tujuan dari penelitian ini untuk mengidentifikasi hubungan gejala awal dengan
keterlambatan pre hospital pada responden sindrom koroner akut.

1.3.2. Tujuan Khusus


a. Mengidentifikasi gambaran karakteristik responden dengan sindrom koroner
akut
b. Mengidentifikasi gambaran keterlambatan prehospital pada responden
dengan sindrom koroner akut
c. Mengidentifikasi hubungan tingkat nyeri dada dengan keterlambatan
prehospital pada responden dengan sindrom koroner akut.
d. Mengidentifikasi hubungan lokasi nyeri dada dengan keterlambatan
prehospital pada responden dengan sindrom koroner akut.
e. Mengidentifikasi hubungan kualitas nyeri dada dengan keterlambatan
prehospital pada responden dengan sindrom koroner akut.
f. Mengidentifikasi hubungan adanya gejala penyerta dengan keterlambatan
prehospital pada responden dengan sindrom koroner akut.
5

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi pelayanan Kesehatan


Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi refrensi dan dasar bagi perawat
dalam menyusun asuhan keperawatan dalam bentuk edukasi untuk
meningkatkan tingkat pengetahuan responden terhadap representasi gajala
sindrom koroner akut khususnya selain nyeri dada, sehingga dapat menurunkan
angka keterlambatan prehospital dan mendapat penanganan optimal di rumah
sakit.

1.4.2 Bagi pendidikan dan Keilmuan Keperawatan


Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memperkaya ilmu
keperawatan terkait gejala awal pada responden dengan penyakit sindrom
koroner akut.

1.4.3 Bagi Penelitian Lain


Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi referensi guna mengembangkan
dan menyempurnakan penelitian sebelumnya terkait dengan faktor yang
mempengaruhi keterlambatan prehospital pada responden sindrom koroner akut.
6

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Sindrom Koroner Akut


2.1.1. Pengertian
Penyakit jantung koroner (PJK) adalah penyakit pada organ jantung yang
disebabkan oleh adanya penurunan suplai darah yang diterima oleh otot
jantung (Black & Hawks, 2014). Penyakit ini umumnya ditandai dengan
adanya aterosklerosis dari pembuluh darah koroner. Aterosklerosis pada
pembuluh darah arteri koroner secara bertahap akan merusak lapisan
pembuluh darah sehingga menurunkan elastisitas dari pembuluh darah arteri
koroner. Pada keadaan akhir dari PJK yang tidak ditangani dengan baik dan
disertai adanya faktor resiko internal dan eksternal maka akan menimbulkan
Sindrom Koroner Akut (SKA).

Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah suatu kondisi dimana berkurangnya


aliran darah ke jantung yang mengakibatkan kurangnya asupan oksigen bagi
otot jantung sehingga timbul nyeri dada yang khas penyakit jantung (Black &
Hawk, 2014). Menurut American Heart Association (2015), infark miokard
akut dan angina pektoris tidak stabil merupakan bagian dari ACS (Acute
Coronary Syndrome). Sindrom koroner akut merupakan masalah
kardiovaskuler yang utama karena yang menyebabkan angka perawatan
rumah sakit dan angka kematian yang tinggi (PERKI, 2015). Dari pengertian
diatas dapat disimpulkan bahwa SKA merupakan gangguan kardiovaskuler
yang disebabkan oleh berkurangnya asupan oksigen bagi otot jantung dan
dapat menimbulkan kematian. Pada kasus STEMI, NSTEMI, dan UAP
peningkatan terjadinya kematian memiliki kaitan dengan keefektifan dalam
penanganan gagal jantung (Kaul et al., 2013).

2.1.2. Etiologi dan faktor resiko


Sindrom Koroner Akut (SKA) yang dikarenakan infark miokard akut
merupakan fase puncak dari penyakit jantung koroner (PJK).
7

Menurut Black & Hawk (2014), faktor yang menyebabkan terjadinya PJK
yang tidak dapat dimodifikasi seperti keturunan, umur, dan jenis kelamin.
Hasil penelitian (Jim & Joseph, 2016), memperlihatkan 126 kasus SKA,
kasus Laki-laki sebanyak 90 kasus (71,4%) dan perempuan 36 kasus (28,6%),
kelompok umur 31-40 tahun sebanyak 2 kasus (1,6 %), kelompok umur 41-
50 tahun sebanyak 15 kasus (11,9%), umur 51-60 tahun sebanyak 42 kasus
(33,3%), umur 61-70 tahun sebanyak 48 kasus (38,1%), 71-80 tahun
sebanyak 16 kasus (12,7%), dan >80 tahun sebanyak 3 kasus (2,4%), hal ini
dapat disimpulkan bahwa prevalensi sindrom koroner akut lebih sering terjadi
pada jenis kelamin laki-laki dan pada rentang usia 40-80 tahun.

Faktor resiko yang dapat dimodifikasi seperti merokok, hipertensi,


peningkatan kadar kolestrol serum, diabetes melitus, inaktivitas fisik, dan
obesitas. Tekanan darah pada responden sindrom koroner akut yang
terbanyak yaitu hipertensi dengan jenis hipertensi kombinasi sebanyak 60 %.
Kelompok usia terbanyak yaitu usia 46-55 tahun dengan jenis kelamin laki-
laki (Meidiza Ariandiny, Afriwardi, 2014). Menurut (Firdiansyah, 2014)
pada 117 orang didapatkan sebanyak 53,8 % memiliki nilai High Density
Lipid (HDL) yang tinggi pada kasus penyakit jantung koroner. Penumpukan
lemak di tubuh juga mengakibatkan obesitas atau memiliki indeks masa
tubuh >25 m2 sebanyak 26,7 % yang mengalami penyakit jantung koroner
(Iskandar, Hadi, & Alfridsyah, 2017). Selain itu, perilaku tidak sehat seperti
merokok 2 hingga 4 batang setiap hari sebanyak 77,8 % mengalami PJK.

Kondisi penyakit kronis seperti diabetes melitus juga menimbulkan


perubahan komposisi dan viskositas darah. Hasil penelitian dilakukan RS Dr.
M. Djamil Padang dengan mengambil data responden SKA dari Januari 2012
sampai Desember 2012 ini didapatkan jenis SKA dengan gula darah yang
tidak normal yang mengalami UAP sebanyak 25%, mengalami NSTEMI
sebanyak 35%, dan STEMI sebanyak 40% (Valerian, Willy, Masrul, 2015).

Penyebab dari terjadinya SKA pada umumnya dikarenakan oleh adanya


oklusi penuh maupun sebagian pada arteri koroner. Adapun faktor internal
dan eksternal pada terjadinya SKA. Faktor internal meliputi : karakteristik
plak seperti ukuran dan konsistensi dari inti lipid, lapisan fibrosa pada
pembuluh
8

koroner, dan status koagulasi. Hal ini menunjukkan bahwa sekitar 70% plak
dengan bentuk ekstrensik, tidak beraturan, tidak berbatas tegas, memiliki inti
lipid besar, dan lapisan fibrosa yang tipis memiliki resiko ruptur yang tinggi.
Sedangkan faktor eksternal meliputi aktivitas fisik berat, stress emosional
(Black & Hawk, 2014).

Menurut (O’Gara et al., 2013), faktor resiko SKA meliputi diabetes melitus,
usia, kurang olahraga, perokok atau aktivitas fisik, riwayat keluarga, obesitas,
kadar kolestrol darah tinggi dan diet rendah sayuran dan buah serta serat.
Selain faktor resiko adapun karakteristik yang menjadi faktor terjadinya SKA
seperti jenis kelamin pria dan riwayat penyakit karvaskuler sebelumnya.
Penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa faktor resiko tertinggi yang
muncul adalah kolestrol dan trigliserida yang tinggi dalam darah (Hadil &
Hadi, 2017).

2.1.3. Klasifikasi dan penegakan diagnosis SKA


PERKI (2015), sindrom koroner akut dibagi menjadi Infark miokard dengan
elevasi segmen ST (STEMI) dan Infark miokard dengan non elevasi segmen
ST (NSTEMI), dan Angina pektoris tidak stabil. Infark miokard disertai
kenaikan segmen ST akut merupakan indikator terjadinya sumbatan total
pada pembuluh darah arteri koroner. Hal ini memerlukan tindakan
revaskularisasi secara cepat.

Menurut (Hong & Herzog, 2009), diagnosis STEMI ditegakkan dengan


keluhan angina pektoris yang disertai dengan adanya elevasi segmen ST yang
persisten di dua sadapan yang bersebelahan dan adanya peningkatan
bermakna pada pemeriksaan laboratorium yang meliputi pemeriksaan darah
lengkap, PT/APTT, INR, magnesium, profil lipid, Troponin I/T dan
CPK,CKMB. Perubahan ektrokardiogram (EKG) pada STEMI dikarenakan
adanya sumbatan pada arteri koroner dan sedang terjadi iskemia atau
kematian jaringan otot jantung (O’Gara et al., 2013).
9

Menurut (PERKI, 2015), diagnosis NSTEMI dan angina pektoris tidak stabil
ditegakkan jika terdapat keluhan nyeri dada khas yang akut tanpa disertai
adanya elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan.
Rekaman EKG yang muncul dapat berupa depresi segmen ST, inversi
gelombang T, gelombang T yang datar, gelombang T pseudo-normalization,
atau bahkan tanpa perubahan. Hal yang membedakan antara NSTEMI dengan
angina pektoris tidak stabil adalah adanya peningkatan marka jantung melalui
pemeriksaan laboratorium pada diagnosis NSTEMI.

2.1.4. Patofisiologi
Menurut (Black & Hawk, 2014), kerusakan lapisan endotelium pembuluh
darah koroner terjadi kemudian kompensasi yang dilakukan tubuh adalah
mengeluarkan zat vasoaktif seperti makrofag, fibroblast dan platelet pada
lapisan endotel yang rusak. Aterosklerosis terbentuk karena akumulasi lipid-
filled macrophages (foam cells) dan massive extracellular lipid pada
endotelium pembuluh darah sehingga terbentuknya plak. Pembuluh darah
mengalami penyempitan karena adanya plak tersebut. Jika seseorang
memiliki hipertensi, maka akan meningkatkan resistensi pembuluh darah dan
hal ini mengakibatkan kerusakan sehingga terjadi perdarahan subendotel.
Perdarahan ini menstimulasi menempelnya komponen darah (agregasi, adhesi
trombosit, dan pembentukan fibrin) pada lapisan subendotel dan lama
kelamaan membentuk trombus yng semakin menyumbat pembuluh darah.
Penyempitan ini menyebabkan suplai darah ke pembuluh darah koroner dan
jaringan sekitar jantung berkurang. Sifat sel miokard yang akan mengalami
iskemia jika dalam 8-10 detik tidak teroksigenisasi maka akan berkurang
fungsi kelisktrikan dan menurunnya kontraksi otot. Hal ini mengakibatkan sel
yang iskemia melakukan metabolisme anaerobik dan menghasilkan asam
laktat. Penumpukan asam laktat akan menimbulkan nyeri dada yang biasa
disebut angina.

Nyeri dada pada SKA termasuk dalam nyeri dada viscera yang merupakan
akibat dari adanya jejas atau nekrosis terjadi pada organ dengan saraf
simpatis. Munculnya nyeri dada yang dirasakan dipengaruhi oleh beberapa
faktor seperti usia, jenis kelamin, dan penyakit kronis seperti diabetes
melitus.
10

Pada wanita dengan usia ≥65 tahun menunjukan bahwa peningkatan


signifikan pengalaman IMA tanpa merasakan nyeri dada dan hal ini
menimbulkan keterlambatan pre hospital selama 153 menit (Ladwig, Fang,
Wolf, & Hoschar, 2017).

Menurut (Black & Hawk, 2014), Patogenesis angina pectoris tidak stabil
terjadi dikarenakan erosi atau fisur pada plak aterosklerosis berukuran kecil
sehingga menimbulkan oklusi trombus sementara. Thrombus masih dapat
mengalir pada pembuluh koroner yang lebih besar dan sewaktu-waktu dapat
manjadi oklusi pada pembuluh koroner yang lebih kecil. Gejala yang timbul
hanya berlangsung antara 10-20 menit dan menurun saat dipakai istirahat.
Patogenesis NSTEMI jika terjadi kerusakan pada plak yang cukup besar dan
thrombus lebih besar sehingga oklusi lebih menetap namun pada distal
pembuluh darah terjadi saluran kolateral atau terjadi lisis thrombus yang
cepat sehingga tidak merusak seluruh lapisan miokard. Sehingga kondisi
kegawatdaruratan pada NSTEMI dinilai lebih rendah daripada STEMI.

Menurut (O’Gara et al., 2013). kegawatdaruratan STEMI terjadi jika


penyumbatan plak di daerah pembuluh darah yang lebih besar dan
menyebabkan terbentuknya thrombus yang menetap dan persisten sehingga
perfusi miokard terhenti tiba-tiba, berlangsung lebih dari 1 jam menyebabkan
nekrosis miokard (gelombang Q infark) yang merusak seluruh lapisan
miokard, sehingga jantung kesulitan memompa darah ke seluruh tubuh dan
terjadi syok kardiogenik, hingga kematian , kematian mendadak yang
diakibatkan oleh sindrom koroner akut teridentifikasi memiliki persentasi
sumbatan ≥ 85%.

2.1.5. Manifestasi klinis


Manifestasi klinis yang muncul pada responden sindrom koroner akut
bervariasi. Beberapa responden menggambarkan sensasi dan gejala nyeri
yang berbeda-beda, menurut (Black&Hawk, 2014), manifestasi klinis yang
muncul pada responden SKA adalah Nyeri dada yang menjalar ke perut
hingga punggung (angina pektoris), mual atau pusing, sesak atau kesulitan
bernapas, kecemasan, kelemahan, atau kelelahan yang tidak dapat dijelaskan,
sedangkan
11

Presentasi angina tipikal berupa rasa tertekan atau ditimpa benda berat di
daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher,rahang, area intrascapular,
bahu atau epigastrium menurut PERKI (2015). Gejala ini bisa berlangsung
intermitten atau persisten (>20 menit). Keluhan angina tipikal disertai dengan
gejala seperti diaphoresis, mual atau muntah, nyeri abdominal, sesak napas,
dan sinkop. Selain munculnya angina tipikal yang mungkin muncul pada
responden SKA adalah angina atipikal.

Nyeri di daerah penjalaran angina tipikal, Gangguan pencernaan, sesak napas


yang tidak bisa dijelaskan, dan rasa lemah mendadak yang tidak dapat
diuraikan merupakan presentasi gejala atipikal yang muncul pada responden
dengan responden SKA.Terutama responden pada usia 25-40 tahun dan >75
tahun, dengan riwayat penyakit diabetes, wanita, gagal ginjal menahun dan
demensia PERKI (2015).

Menurut (Chang, Fischman, & Hollander, 2017), nyeri dada merupakan


gajala yang sering dikeluhkan di unit gawat darurat tetapi kurang dari 15 %
responden yang dapat di diagnosis sebagai SKA. Penelitian pada 619
responden STEMI menunjukkan gejala penyerta yang muncul pada
responden adalah keringat dingin sebanyak 54%, mual sebanyak 42%, kepala
pusing sebanyak 37 %, dan dyspnea sebanyak 30% (Ladwig et al., 2017).
Nyeri dada atipikal dinilai sulit debedakan dengan nyeri dada non kardiak.

Menurut PERKI (2015), nyeri non kardiak memiliki karakteristik nyeri


pleuritic yaitu nyeri tajam yang berhubungan dengan respirasi dan batuk.
Kemudian nyeri abdomen tengah atau bawah, nyeri dada yang dapat ditunjuk
dengan satu jari, nyeri dada yang diakibatkan oleh gerakan tubuh atau
palpasi, serta nyeri dada yang menjalar ke ekstremitas bawah . nyeri dada
yang tidak termasuk akut koroner sindrom meliputi diseksi aorta, pericarditis,
efusi perikard, emboli paru, stenosis aorta, dan hipertropi kardiomiopati
(Hong & Herzog, 2009). Gejala yang muncul berupa nyeri dada tersebut
dapat diukur menggunakan instrument.
12

Munculnya gejala diukur menggunakan SPQ (Symptom presentation


Questionaire). Kuesioner ini berisi pertanyaan yang mengarah pada presentasi
gejala yang meliputi tiga kategori yaitu : lokasi, kualitas, dan gejala yang
berhubungan atau menyertai. Menurut King & McGuire (2007), kuesioner ini
telah dilakukan validasi oleh empat pakar bidang kardiologi dan diujikan
pada responden dengan diagnosis infark miokard akut. Lokasi yang dimaksud
dalam kuesioner meliputi : Di tengah dada, bahu kanan, bahu kiri, Lengan
kanan, Lengan kiri, di tengah punggung, bagian kiri dada, bagian kanan dada,
tenggorokan, dan bagian bawah tenggorokan. Kemudian kualitas nyeri dada
yang mungkin timbul meliputi :rasa tidak nyaman, nyeri, rasa tertekan
,tumpul, seperti diikat (sesak), sangat berat, dan kekakuan otot. Selanjutnya
dalam kuesioner ini juga disebutkan beberapa gejala penyerta yang terkadang
muncul seperti Kelemahan, Keringat dingin, Nafas pendek, Ketakutan, Mual,
Muntah, Gangguan pencernaan, Bersendawa, hingga Pandangan kabur.

Menurut (Eslick, 2005), bahwa lokasi nyeri dada di kelompokan lebih


sederhana yaitu meliputi dada bagian atas, dada bagian tengah, dada bagian
tengah hingga tembus ke belakang, dada bagian kiri menjalar ke lengan.

Gambar 2.1 Pengelompokan lokasi nyeri dada


(Eslick, 2005)
13

2.2 Keterlambatan Penatalaksanaan (Delay pre hospital)

2.2.1. Definisi dan dampak keterlambatan penatalaksanaan


Menurut (O’Gara et al., 2013), responden dengan sindrom koroner akut harus
segera mendapatkan penanganan di rumah sakit kurang dari 90 menit hingga
120 menit setelah terjadinya onset. Keterlambatan pada responden STEMI
memiliki dampak yang signifikan. Angka mortalitas dan komplikasi dapat
meningkat seiring lamanya waktu penanganan. Sedikit berbeda pada
responden dengan kasus NSTEMI. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
tidak ada perbedaan terhadap dampak dari responden yang mendapatkan
intervensi kurang dari 24 jam atau early PCI dengan yang mendapatkan
intervensi lebih dari 24 jam atau elektif PCI (Mol et al., 2016). Keterlambatan
pre hospital menjadi rantai terpanjang dan menghabiskan banyak waktu.
Penelitian di yordania menunjukkan keterlambatan dengan rentang waktu 7-
12 jam dengan rata-rata waktu 7,8 jam (Darawad et al., 2016).

2.2.2. Pembagian keterlambatan/ delay


Menurut PERKI (2015), delay dibagi menjadi 3 yaitu Delay responden /
keterlambatan pre hospital, keterlambatan antara kontak medis pertama
dengan diagnosis, dan keterlambatan system. Keterlambatan responden
merupakan waktu responden mengalami sensasi tidak nyaman atau nyeri
dada pertama kali hingga responden masuk ke pintu IGD rumah sakit.
Menurut AHA waktu yang dibutuhkan adalah kurang dari 120 menit (O’Gara
et al., 2013). Selanjutnya keterlambatan kontak medis pertama dengan
diagnosis, merupakan waktu yang dibutuhkan saat responden masuk untuk di
pengkajian hingga penegakkan diagnosis. Berikutnya keterlambatan sistem,
merupakan waktu penegakkan diagnosis hingga dilakukan intervensi berupa
reperfusi menggunakan trombolitik atau intervensi koroner perkutan. Pada
penelitian ini terfokus pada keterlambatan pre hospital yang disebabkan oleh
munculnya gejala awal.
14

Gambar 2.2 Komponen delay dalam STEMI


PERKI (2015)

2.2.3. Faktor yang mempengaruhi terjadinya delay prehospital


Menurut (Xie et al., 2015), faktor yang mempengaruhi keterlambatan berasal
dari internal maupun eksternal yaitu karakteristik responden yang meliputi
usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan sosial ekonomi. Faktor
selanjutnya adalah gejala yang timbul, faktor kontekstual, faktor Kognitif dan
afektif, pengkajian pada gejala yang timbul meliputi tipe nyeri tipikal atau
atipikal, intensitas nyeri dan, durasi nyeri.

Penilaian tingkat nyeri secara subyektif memiliki hubungan yang signifikan


dengan keterlambatan penanganan, semakin menurun tingkat nyeri maka
semakin lama waktu keterlambatan (Chandiran et al., 2018). Sedangkan
penelitian lain menunjukkan keterlambatan di yordania dipengaruhi oleh
faktor adanya riwayat akut koroner sindrom, pengetahuan, perilaku,
keyakinan, persepsi sehat (Darawad et al., 2016).

Faktor keterlambatan prehospital juga dipengaruhi oleh faktor sosial


demografi seperti usia, jenis kelamin, status pernikahan, tingkat Pendidikan,
dan pekerjaan. Berdasarkan penelitian pada 1.894 responden dengan sindrom
koroner akut, diperoleh keterlambatan prehospital rata-rata 4,31 jam dialami
oleh kelompok usia 60-75 tahun. Sedangkan pada rentang usia < 45 tahun
15

keterlambatan prehospital hanya sekitar 3,09 jam (Mckee et al., 2013). Hal ini
dapat disimpulkan bahwa waktu keterlambatan dipengaruhi oleh usia.

Selain usia, jenis kelamin dan tingkat pendidikan merupakan karakteristik


selanjutnya yang dapat mempengaruhi keterlambatan. Wanita yang mengalami
SKA memiliki ambang nyeri lebih tinggi. Hasil penelitian di irlandia didapatkan
rata rata keterlambatan prehospital pada perempuan adalah 4,71 jam, sedangkan
keterlambatan pada laki-laki hanya sekitar 4 jam (Mckee et al., 2013).
Selanjutnya keterlambatan juga dipengaruhi tingkat Pendidikan. Keterlambatan
prehospital pada tingkat Pendidikan tingkat pertama adalah 4,58 jam. Sedangkan
pada responden dengan tingkat Pendidikan tingkat ketiga keterlambatan
prehospital rata-rata adalah 4 jam (Mckee et al., 2013).

Data demografi yang menjadi faktor yang mempengaruhi keterlambatan waktu


prehospital adalah status pernikahan dan pekerjaan. Penelitian menunjukkan
bahwa seseorang yang belum menikah, duda atau janda memiliki waktu
keterlambatan lebih tinggi (4,4 jam) daripada seseorang yang menikah dan tinggal
dengan keluarga yaitu 4 jam (Mckee et al., 2013). Selain itu, menurut McKee et
al (2013), keterlambatan prehospital lebih tinggi juga dialami oleh seorang
pekerja yaitu 4,52 jam daripada yang tidak bekerja yang hanya sekitar 2,68 jam.
Selain data demografi riwayat penyakit juga menjadi faktor dari keterlambatan
prehospital.

Riwayat penyakit hipertensi dan diabetes merupakan faktor yang mempengaruhi


keterlambatan prehospital. Menurut (Mckee et al., 2013) bahwa responden
dengan riwayat hipertensi dan diabetes memiliki waktu keterlambatan yang lebih
tinggi, responden dengan riwayat hipertensi mengalami keterlambatan lebih tinggi
18 menit daripada seorang tanpa riwayat hipertensi. Hal tersebut juga terjadi pada
responden dengan riwayat diabetes yang mengalami keterlambatan lebih tinggi
yaitu 4,55 jam.
16

Setiap responden mempersepsikan dan merepresentasikan nyeri dada yang


dirasakan berbeda-beda. Penelitian di Indonesia menunjukkan sebanyak 61,9%
responden SKA mengalami keterlambatan saat tiba di IGD (Irman, Poeranto, &
Toni, 2017).

Penelitian pendukung yang lain juga menunjukkan bahwa keterlambatan


prehospital juga dipengaruhi munculnya gejala awal. Keterlambatan lebih tinggi
terjadi pada responden yang tidak merasakan gejala nyeri dada yang khas (4,62
jam), nyeri menjalar ke lengan kiri (4,36 jam), kelelahan (6,57 jam), nyeri
punggung (5,38 jam), hal ini dikarenakan responden beranggapan bahwa nyeri
dada yang dirasakan adalah bukan dari sakit jantung (Mckee et al., 2013).
17

2.3. Kerangka Teori

Faktor Resiko PJK

Dapat dimodifikasi :
Tidak dapat dimodifikasi : -Merokok Pendukung :
- Keturunan, ras -hipertensi -stress
- Usia -peningkatan kolestrol -kadar homosistein
- Jenis Kelamin -diabetes melitus
-inaktivitas fisik
-obesitas

Arterosklerosis

Faktor Resiko :
Internal : Penyakit Jantung Koroner
- Karakteristik trombus
Eksternal :
- Aktivitas fisik berat
Penyumbatan arteri
- Stress emosional koroner

- Usia
- Jenis kelamin Penurunan suplai O2
Tingkat Pendidikan pada otot jantung
-
- Tingkat pegetahuan
- Status pernikahan
- Persepsi nyeri kardiak Sindrom Koroner Akut
- Faktor jarak rumah
dengan rumah sakit
- Riwayat penyakit
UAP NSTEMI STEMI

Representasi Gejala :
Waktu Prehospital
- Skor nyeri dada
- Kualitas nyeri dada
- Lokasi nyeri dada
- Gejala penyerta

Terlambat Tidak Terlambat


>120 menit dari awal onset ≤ 120 menit dari awal onse

Bagan 2.1 kerangka teori penelitian


Sumber : Black & Hawk (2014) ; O’Gara et al., (2013) ;
PERKI (2015)
18

BAB 3
KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFINISI
OPERASIONAL

3.1. Kerangka konsep


Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan munculnya gejala awal
sindrom koroner akut dengan keterlambatan pre hospital. variabel dependen
penelitian ini adalah keterlambatan pre hospital dan variabel independennya
adalah gejala awal sindrom koroner akut.

Variabel Dependen
Variabel Independen
Keterlambatan
Gejala awal Prehospital
- Tingkat nyeri 1. Terlambat
- Lokasi nyeri
- Kualitas nyeri 2. Tidak
- Gejala penyerta

Bagan 3.1. Variabel


penelitian

Keterangan
: variabel yang diteliti
19

3.2. Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap pertanyaan penelitian.


Hipotesis menggambarkan hubungan antara dua atau lebih variable. Hipotesis
yang baik disusun secara sederhana, jelas dan menggambarkan isi variabel.

3.2.1. Hipotesis Mayor


Hipotesis penelitian ini adalah ada hubungan representasi gejala dengan
keterlambatan prehospital pada responden dengan diagnosis medis sindrom
koroner akut.

3.2.2. Hipotesis Minor


1. Ada hubungan tingkat nyeri dada dengan keterlambatan prehospital pada
responden dengan diagnosis medis sindrom koroner akut.
2. Ada hubungan lokasi nyeri dada dengan keterlambatan prehospital pada
responden dengan diagnosis medis sindrom koroner akut.
3. Ada hubungan kualitas nyeri dada dengan keterlambatan prehospital
pada responden dengan diagnosis medis sindrom koroner akut.
4. Ada hubungan adanya gejala penyerta dengan keterlambatan prehospital
pada responden dengan diagnosis medis sindrom koroner akut.

3.3. Definisi Operasional Variabel Dependen dan Independen

Variabel Definisi Alat Ukur Dan Cara Hasil Ukur Skala


Operasional Ukur

Keterlambatan Durasi dari awal Pengukuran 1. Terlambat (jika > Ordinal


Pre hospital munculnya gejala menggunakan metode 120 menit)
(onset)sampai wawancara kepada
responden tiba di responden dan 2.Tidak terlambat (jika
IGD. keluarga jika ≤ 120 menit)
diperlukan. Wawancara
berisi waktu kapan
gejala nyeri dada
muncul. Kemudian
dibandingkan dengan
check lock yang
terdapat di rekam medis
pada pengkajian
responden masuk ke
IGD.
20

Gejala Sensasi tidak Pengukuran Tingkat nyeri Ordinal


nyaman yang menggunakan 1. Nyeri ringan,
awal
dirasakan Symptom jika skor nyeri 0-
responden berupa Questionaire 3
nyeri khas (Kuesioner B) yang 2. Nyeri sedang,
kardiak di bagian berisi : jika skor nyeri
dada retrosternal 4-6
kiri yang Pertanyaan tentang 3. Nyeri berat, jika
menjalar hingga adanya nyeri dada yang skor nyeri 7-10
dagu, lengan kiri dijawab “ya” atau
atau punggung “tidak” Lokasi nyeri
yang diakibatkan 1. Dada bagian
oleh Pertanyaan berapa skala tengah Nominal
tersumbatnya nyeri yang dirasakan 2. Dada bagian
pembuluh darah yaitu : atas
koroner sehingga 3. Bagian dada
menurunnya 1. Nyeri ringan (nilai 1- tembus ke
suplai oksigen di 3) belakang
jaringan otot 4. Dada bagian kiri
2. Nyeri sedang menjalar ke
jantung.
(nilai 4-6) lengan kiri
3. Nyeri berat (nilai 7-1 Nominal
0) Kualitas nyeri
1. Tidak nyaman
a. Pertanyaan tentang 2. Tertimpa
kualitas nyeri yang benda berat
dijawabdengan 3. Rasa terbakar
“ya”atau “tidak”. Gejala yang
b. Pertanyaan tentang Nominal
gejala yang menyertai
menyertai dijawab 1. Ada gejala
dengan “ya” atau penyerta
“tidak”. 2. Tidak ada
gejala
Kemudian cara penyerta
mengukurnya dengan
wawancara menanyakan
keluhan klien saat gejala
pertama kali dirasakan.
21

3.4.Definisi Operasional Karakteristik Responden

Variabel Definisi Cara ukur dan Alat Hasil ukur Skala


Operasional ukur
Usia Lamanya Kuesioner data 1 = 26 – 35 tahun Ordinal
kehidupan demografi responden 2 = 36 – 45 tahun
seseorang (kuesioner A) 3 = 46 – 55 tahun
berdasarkan tahun 4 = 56 – 65 tahun
lahir sampai (DEPKES, 2009)
penelitian
dilakukan.

Jenis kelamin Ciri biologis yang Kuesioner data 1 = laki-laki Nominal


dimiliki oleh demografi responden 2 = Perempuan
responden (kuesioner A)

Pendidikan Pendidikan formal Kuesioner data 1 = SD Ordinal


terakhir secara demografi responden 2 = SMP
yang responden (kuesioner A) 3 = SMA/ Sederajat
dapatkan. 4 = Perguruan Tinggi
Penghasilan Jumlah Kuesioner data 1 = < Rp. 3.603.531 Ordinal
pendapatan yang demografi responden 2 = ≥ Rp. 3.603.531
di terima dalam 1 (kuesioner A)
bulan disesuaikan
dengan indicator
kebutuhan hidup
layak tahun 2018
Pekerjaan Mata pencaharian Kuesioner data 1 = Tidak bekerja Nominal
responden berupa demografi responden 2 = Bekerja
aktivitas profeseio (kuesioner A)
Status Status pernikahan Kuesioner data 1 = Belum menikah Nominal
pernikahan responden demografi (kuesioner 2 = Menikah
berdasarkan A) 3 = Duda/ Janda
pernyataan
responden.
22

BAB 4
METODE PENELITIAN

4.1. Desain Penelitian


Desain penelitian yang digunakan ialah desain penelitian analitik dengan
pendekatan Cross sectional, yaitu mengumpulkan data sekaligus pada suatu
waktu (point time approach). Setiap responden hanya dilakukan observasi
sekali saja, namun tidak berarti semua responden diamati dalam satu waktu.
Studi Cross sectional untuk mempelajari etiologi dari suatu penyakit
(Sastroasmoro, 2011).

4.2. Populasi dan Sampel

4.2.1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh responden dengan penyakit
sindrom koroner akut yang melakukan pengobatan di IGD, ruangan
perawatan jantung dan poli jantung Rumah Sakit Gatot Subroto Jakarta pada
tahun 2018.

4.2.2. Sampel
Sampel adalah sebagian dari responden dengan sindrom koroner akut yang
melakukan pengobatan di IGD, ruangan perawatan jantung, dan poli jantung
Rumah sakit Gatot Subroto pada periode Januari-Mei 2019. Tekhnik
pengambilan sampel menggunakan purposive sampling, yang merupakan
tekhnik pengambilan sampel didasarkan pada suatu pertimbangan dan dibuat
oleh peneliti sendiri. Hal ini berdasarkan dengan kriteria inklusi dan eksklusi
yang ditetapkan.
Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah:
(1)Responden menderita sindrom koroner akut yang dikonfirmasi
berdasarkan hasil pemeriksaan EKG dan uji laboratorium,
(2) Tidak ada riwayat sakit jantung/ nyeri dada sebelumnya,
(3) Sudah tidak ada keluhan nyeri dada dan tanda vital stabil,
(4) Setuju untuk menjadi responden,
(5) Mampu berkomunikasi dengan baik,
(6) Rentang usia 25 – 65 tahun.
23

Sedangkan kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah:


(1) Responden yang mengalami serangan jantung berulang,
(2) Memiliki riwayat penyakit diabetes melitus,
(3) Usia ≥ 65 tahun dan memiliki riwayat demensia. Penelitian ini merupakan
penelitian analitik untuk mengidentifikasi hubungan antara variabel
independen dan dependen. Besar sampel minimal dihitung berdasarkan rumus
korelasi menggunakan rumus berikut :

Perhitungan besaran sample yaitu menggunakan metode rumus estimasi


proporsi rumus Slovin karena populasi yang akan dilakukan penelitian di
ketahui ( Sastroasmoro, 2014).

N
n=
N.d2 + 1

Keterangan :

n : besaran sampel yang diteliti

N : Jumlah populasi

d : deviasi dari prediksi proporsi atau presisi absolut

Dalam penelitian ini responden ditambah kemungkinan drop out, loss to


follow up atau subyek yang tidak taat agar jumlah sampel tetap terpenuhi
(Sastroasmoro & Ismael, 2014), berikut ini formulasi sederhana :

n
n =
(1-f)

keterangan :

n : besar sampel yang dihitung

f : perkiraan proporsi drop out


24

4.3. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di ruangan


perawatan jantung, IGD, poli jantung
Rumah Sakit Gatot Subroto Jakarta

4.4.Waktu Penelitian

Penelitian ini rencana dimulai dari tanggal 24 Nopember 2018 sampai


Desember 2018. Pengambilan data penelitian dilakukan pada Januari 2019-
Mei 2019.

4.5.Etika Penelitian

Etika dalam penelitian merupakan sebuah prinsip etis yang di aplikasikan


dalam kegiatan penelitian. Prinsip etika yang diaplikasikan dalam penelitian
ini meliputi menghargai martabat dan keputusan responden, menghormati
privasi responden dengan menyediakan ruang khusus, bersikap adil antara
satu responden dengan yang lain. menyampaikan manfaat dan kerugian ikut
serta dalam penelitian.

4.5.1. Menghargai martabat manusia


Peneliti harus memperhatikan hak-hak responden untuk mendapatkan
informasi berkenaan dengan tujuan dan manfaat dari penelitian yang akan
dilakukan. Peneliti juga harus memberikan kebebasan kepada responden
untuk memberikan informasi yang memang dibutuhkan. Dalam hal ini
peneliti harus memberikan formulir persetujuan, mempersilahkan membaca
dengan seksama, dan tidak memaksa untuk bersedia menjadi responden.

4.5.2. Menghormati privasi


Peneliti memberikan kuesioner yang menampilkan informasi mengenai
identitas responden. Nama responden menggunakan inisial sebagai wujud
menjaga privasi. Infomasi berkaitan dengan identitas responden akan
dirahasiakan dan hanya diketahui oleh peneliti dan responden itu sendiri.
Selanjutnya proses pengerjaan kuesioner disediakan ruang tersendiri dan
tertutup
25

4.5.3. Keadilan
Peneliti memberikan formulir persetujuan dan menjelaskan manfaat dari
penelitian. Prinsip keadilan menjamin bahwa setiap responden mendapatkan
kuesioner dengan jumlah dan waktu pengerjaan yang sama. Pada awal
pembagian kuesioner dijelaskan kepada responden bahwa partisipasi dalam
penelitian ini adalah bersifat sukarela.

4.5.4. Memperhitungkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan


Peneliti menjelaskan manfaat bagi subjek penelitian dan populasi dimana
hasil data yang diperoleh membantu responden untuk mengidentifikasi
karakter nyeri yang dirasakan saat serangan jantung. Sehingga jika ada
keluhan serupa yang dirasakan oleh responden dapat segera mendapat
penanganan yang optimal. Selanjutnya meminimalisir dampak yang
merugikan subjek penelitian misalnya terlalu menggunakan banyak dalam
pengerjaan kuesioner.

4.6. Alat Pengumpul Data


4.6.1. Kuesioner A
Kuesioner A merupakan kuesioner mengenai karakteristik responden yang
terdiri dari usia, jenis kelamin, status pernikahan, pekerjaan, tingkat
Pendidikan dan jumlah pendapatan. Pengisian dengan cara checklist yang
sesuai.

4.6.2. Kuesioner B
Kuesioner yang digunakan merupakan kuesioner yang dibuat oleh King dan
McGuire (2007) dan telah dimodifikasi. Jawaban dari pernyataan bersifat
tertutup, dimana responden diminta untuk menjawab pernyataan dengan cara
memberikan tanda cheklist (√) pada salah satu pilihan jawaban “ya” atau
“tidak” yang ada pada kolom yang tersedia. Kuesioner menggunakan 4 item
pernyataan yang meliputi pertanyaan :
1. Berkaitan dengan tingkat nyeri dengan pilihan jawaban nyeri ringan,
nyeri sedang, dan nyeri berat.
2. Berkaitan dengan lokasi nyeri dengan pilihan jawaban dada bagian atas,
dada bagian tengah, dada bagian belakang sternum, dan dada bagian kiri
menjalar ke lengan.
26

3. Berkaitan dengan kualitas nyeri dengan pilihan jawaban tidak nyaman,


seperti tertimpa benda berat, dan rasa terbakar.
4. Berkaitan dengan tidak adanya gejala penyerta atau adanya gejala
penyerta seperti keringat dingin, mual, muntah, nyeri abdomen, dan
pingsan.
5. Berkaitan dengan kapan waktu saat gejala nyeri dada dirasakan. Waktu
tiba di IGD di isi oleh peneliti berdasarkan cheklock yang dicetak di
formulir pengkajian di IGD. Selanjutnya di kategorikan terlambat bila
onset waktu > 120 menit, dan di kategorikan tidak terlambat bila onset
waktu ≤ 120 menit.

4.7.Validitas dan Reliabilitas

4.7.1. Uji Validitas Penelitian


Validitas sebagai syarat mutlak dari alat ukur yang akan untuk suatu
pengukuran. Menurut Dharma (2011) nilai korelasi antara skor total yaitu
lebih dari atau sama dengan 0,3. Nilai r ≥ 0,3 diharapkan koefisien alpha
menjadi lebih tinggi.

4.7.2. Uji Reliabilitas Penelitian


Metode yang digunakan untuk pengukuran reliabilitas adalah formula
Cronbach Alpha. Reliabilitas adalah instrument yang ditentukan berdasarkan
perhitungan statistik rentang nilai 0-1. Pengukuran dengan cara one shot atau
diukur sekali saja, pengukuran hanya hanya sekali kemudian dibandingkan
dengan pertanyaan. Menurut Hastono (2016) Jika Cronbach Alpha ≥0,6 yang
artinya reliabel, dan jika Cronbach Alpha <0,6 yang artinya variabel tidak
reliabel.

4.8. Prosedur Pengumpulan Data

4.8.1 Prosedur administrasi


a. Mendapatkan surat izin dan uji etik penelitian ke Stikes jayakarta Jakarta.
b. Mendapatkan izin dan uji etik untuk melakukan penelitian kepada direktur
RS Gatot Subroto Jakarta.
27

4.8.2 Prosedur pelaksanaan

a. Peneliti mendapatkan persetujuan penelitian dari kepala ruangan,


kemudian melihat status responden untuk mengidentifikasi diagnosis
medis mengidentifikasi responden sesuai dengan kriteria inklusi.
b. Peneliti datang ke ruangan Bersama perawat penanggung jawab pasien.

c. Peneliti serta mengucapkan salam, memperkenalkan diri dan


menjelaskan tujuan
d. Peneliti membacakan aturan dalam pengisian kuesioner dan
mempersilahkan responden jika ada pertanyaan.
e. Setelah kuesioner selesai diisi maka peneliti memeriksa kembali
kelengkapan pengisian kuesioner, apabila ada pernyataan yang belum
diisi maka meminta responden untuk melengkapi data yang ada di dalam
kuesioner.
f. Peneliti berpamitan kepada responden dan mengucapkan terima kasih.

4.9. Pengolahan Data dan Analisis Data


4.9.1 Pengolahan Data
Data yang dikumpulkan dilanjutkan dengan pengolahan dataa, ada beberapa
tahap menurut Notoatmodjo (2010) yaitu :

a. Pengeditan Data
Langkah ini dilakukan peneliti untuk memeriksa kembali kelengkapan data
karakteristik responden meliputi usia, jenis kelamin, status pernikahan,
pekerjaan, tingkat pendidikan, jumlah pendapatan dan kelengkapan isi
kuesioner.

b. Pengkodean Data
Coding adalah kegiatan untuk mengklasifikasikan data dengan cara memberi
kode, sehingga mempermudah dalam melakukan pemasukan data ke program
komputer. Data yang telah terkumpul dari responden selanjutnya diberikan
kode, hal ini bertujuan untuk perhitungan statistik

c. Tabulasi Data

Setelah dilakukan koding data, maka dilakukan tabulasi data dengan


mengelompokkan data yang sama agar mudah dianalisis.
28

d. Memproses Data
Setelah data dikumpulkan kemudian diproses dengan program komputer
untuk dianalisis.

e. Cleaning Data
Kegiatan pemeriksaan kembali data yang telah dimasukkan. Bila ditemukan
adanya jawaban yang tidak konsisten dengan pertanyaan sebelumnya maka
dilakukan perbaikan seperlunya.

4.9.2 Analisis Data

Setelah dilakukan pengolahan data berikutnya analisis data. Peneliti


melakukan analisis dengan pendekatan analisis kuantitatif. Dalam penelitian
ini digunakan analisis data univariat dan analisi bivariat.

a. Analisis Univariat

Menurut (Hastono, 2007), data yang akan dianalisis bersifat kategorik, maka
data akan disajikan dengan menghitung ditribusi frekuensi dan presentase.
Peneliti akan melakukan uji normalitas data sebelum dilakukan analisa data.

Tabel 4.1. Analisis Univariat

Variabel Jenis Data Uji Statistik

Tingkat nyeri Kategorik Proporsi

Lokas i Nyeri Kategorik Proporsi

Kualitas Nyeri Kategorik Proporsi

Gejala Penyerta Kategorik Proporsi

Waktu Prehospital Kategorik Proporsi

Usia Kategorik Proporsi

Jenis kelamin Kategorik Proporsi

Tingkat Pendidikan Kategorik Proporsi

Tingkat Penghasilan Kategorik Proporsi

Pekerjaan Kategorik Proporsi

Status Perkawinan Kategorik Proporsi


29

b. Analisis Bivariat

Analisa bivariat dilakukan untuk mengetahui adanya hubungan antara


gejala awal dengan keterlambatan prehospital. Uji yang digunakan
dalam penelitian ini adalah uji non parametrik chi square karena data bersifat
kategorik baik variabel dependen maupun variabel independen. Peneliti
menetapkan derajat kemaknaan 95 % atau ά 0,05. Hasil uji statistik akan
dibandingkan antara p value dengan nilai ά (alpha). Bila nilai P value ≤ ά,
maka keputusan uji adalah Ho ditolak, sedangkan bila nilai p value ≥ ά maka
keputusan uji adalah Ho gagal ditolak. Hasil analisis menggunakan chi
square (Sastroasmoro, 2016).

Tabel 4.2. Analisis Data Bivariat

Variabel Jenis Data Variable Jenis Data Uji Statistik


Independen Dependen
Tingkat nyeri dada Kategorik Keterlambatan Kategorik Chi-Square

Prehospital

Lokasi nyeri dada Kategorik Keterlambatan Kategorik Chi-Square

Prehospital

Kualitas nyeri dada Kategorik Keterlambatan Kategorik Chi-Square

Prehospital

Gejala penyerta Kategorik Keterlambatan Kategorik Chi-Square

Prehospital
30

DAFTAR PUSTAKA

Albarqouni, L., Smenes, K., Meinertz, T., Schunkert, H., Fang, X., Ronel, J., &
Ladwig, K. H. (2016). Patients’ knowledge about symptoms and adequate
behaviour during acute myocardial infarction and its impact on delay time:
Findings from the multicentre MEDEA Study. Patient Education and
Counseling, 99(11), 1845–1851. https://doi.org/10.1016/j.pec.2016.06.007

American Heart Association (2016, September 23). Acute Coronary Syndrome.


February 20, 2018. http://www.heart.org

Black, J.M., & Hawks, J.H. (2014). Keperawatan medikal bedah: manajemen
klinis untuk hasil yang diharapkan Ed.8. alih bahasa Aklia Suslia. Singapura:
Elsevier Inc.
Chandi ran, V., Madhavi, S., R., S. K., & P., K. (2018). A study to explore the
factors related to treatment seeking delay among adults diagnosed with acute
myocardial infarction at KMCH, Coimbatore. Indian Heart Journal.
https://doi.org/10.1016/j.ihj.2018.01.007

Chandiran, V., Madhavi, S., R., S. K., & P., K. (2018). A study to explore the
factors related to treatment seeking delay among adults diagnosed with acute
myocardial infarction at KMCH, Coimbatore. Indian Heart Journal.
https://doi.org/10.1016/j.ihj.2018.01.007

Chang, A. M., Fischman, D. L., & Hollander, J. E. (2017). Evaluation of Chest


Pain and Acute Coronary Syndromes. Cardiology Clinics, 36(1), 1–12.
https://doi.org/10.1016/J.CCL.2017.08.001
Donovan, H. S., Ward, S., Sherwood, P., & Serlin, R. C. (2008). Evaluation of the
Symptom Representation Questionnaire ( SRQ ) for Assessing Cancer-Related
Symptoms,35(3),242–257.
https://doi.org/10.1016/j.jpainsymman.2007.04.017

Eslick, G. D. (2005). Usefulness of chest pain character and location as diagnostic


indicators of an acute coronary syndrome. American Journal of Cardiology,
95(10), 1228–1231. https://doi.org/10.1016/j.amjcard.2005.01.052

Firdiansyah, M. (2014). Hubungan antara Rasio Kadar Kolesterol Total terhadap


High Density Lipoprotein dengan Kejadian PJK, 1–6.

Frisch, A., Heidle, K. J., Frisch, S. O., Ata, A., Kramer, B., Colleran, C., &
Carlson, J. N. (2017). Factors associated with advanced cardiac care in
prehospital chest
pain patients. American Journal of Emergency Medicine.
https://doi.org/10.1016/j.ajem.2017.12.003

Frisch, A., Heidle, K. J., Frisch, S. O., Ata, A., Kramer, B., Colleran, C., &
Carlson, J. N. (2017). Factors associated with advanced cardiac care in prehospital
chest
pain patients. American Journal of Emergency Medicine.
https://doi.org/10.1016/j.ajem.2017.12.003
31

Gomar, F.S., Quilis, C.P., Leischik, R & Lucia, A (2016) Epidemiology of


coronary heart disease and acute coronary syndrome. Ann Transl Med
2016, 4(13),256

George, S. (2013). Prehospital Delay, Procrastination and Personality in Patients


with Acute Coronary Syndrome. Dissertation: The University of Texas
Medical Branch December 2013

Gould, Harry J. (2007). Understanding Pain : What it is, Why it Happens, and
How it's managed. Demos Medical Publishing. USA

Hadil, A., & Hadi, A. (2017). Faktor Risiko Terjadinya Penyakit Jantung Koroner
Pada Pasien Rumah Sakit Umum Meuraxa Banda Aceh ( Ris k factors of
coronary heart disease in Meuraxa hospital of Banda Aceh ), 2(July 2015),
32– 42.
Hastono, S.P. (2016). Analisis data kesehatan. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada

Iskandar, Hadi, A., & Alfridsyah. (2017). Faktor Risiko Terjadinya Penyakit
Jantung Koroner pada Pasien Rumah Sakit Umum Meuraxa Banda Aceh.
Aceh Nutrition Journal, 2(July 2015), 32–42.

Jaya, Irvantry Aji.(2008). Respon Terhadap Gejala Dan Waktu Meminta


Pertolongan Pertama Pada Pria Dan Wanita Yang Mengalami Infark
Miokard Akut. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Depok

Jim, E. L., & Joseph, V. F. F. (2016). Prevalensi sindrom koroner akut di RSUP
Prof . Dr . R . D . Kandou Manado periode 1 Januari 2014 – 31 Desember
2014 Biancha Tumade Kandidat Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas
Sam Ratulangi Manado Penyakit kardiovaskular merupakan penyakit tidak
menul, 4.

Kaul, P., Ezekowitz, J. A., Armstrong, P. W., Leung, B. K., Savu, A., Welsh, R. C.,
… McAlister, F. A. (2013). Incidence of heart failure and mortality after
acute coronary syndromes. American Heart Journal, 165(3), 379–385.e2.
https://doi.org/10.1016/j.ahj.2012.12.005

King, K. B., & McGuire, M. A. (2007). Symptom presentation and time to seek
care in women and men with acute myocardial infarction. Heart and Lung:
Journal of Acute and Critical Care, 36(4), 235–243.
https://doi.org/10.1016/j.hrtlng.2006.08.008

Ladwig, K., Fang, X., Wolf, K., & Hoschar, S. (2017). Comparison of Delay
Times Between Symptom Onset of an Acute ST-elevation Myocardial
Infarction and Hospital Arrival in Men and Women < 65 Years Versus ≥ 65
Years of Age . Findings From the Multicenter Munich Examination of Delay
in Patients Experiencing A. The American Journal of Cardiology, 120(12),
2128–2134. https://doi.org/10.1016/j.amjcard.2017.09.005

Mckee, G., Mooney, M., Donnell, S. O., Brien, F. O., Biddle, M. J., & Moser, D.
K. (2013). Multivariate analysis of predictors of pre-hospital delay in acute
coronary syndrome ☆. International Journal of Cardiology, 168(3), 2706–
2713. https://doi.org/10.1016/j.ijcard.2013.03.022
32

Lily, L. (2011).Pathophysiologi of Heart Disease. Philadelphia: Lippincott


Wiliams and Wilkins.

Meidiza Ariandiny, Afriwardi, M. S. (2014). Gambaran tekanan darah pada pasien


sindrom koroner akut di RS Khusus Jantung Sumatera Barat tahun 2011-
2012. Jurnal Kesehatan Andalas, 3(2), 191–195.

Mol, K. A., Rahel, B. M., Meeder, J. G., Casteren, B. C. A. M. Van, Doevendans,


P. A., & Cramer, M. J. M. (2016). Delays in the treatment of patients with
acute coronary syndrome : Focus on pre-hospital delays and non-ST-elevated
myocardial infarction. International Journal of Cardiology, 221, 1061–1066.
https://doi.org/10.1016/j.ijcard.2016.07.082

Momeni, Maryam. Arsalan S., Shora S., Atefeh g., dan Fardin M. (2012). Factor
Influencing Prehospital Delay Among Patient With Acute Myocardial
Infarction In Iran. Chinese Medical Journal 2012 ;125 (19):3404-3409.

O’Gara, P. T., Kushner, F. G., Ascheim, D. D., Casey, D. E., Chung, M. K., de
Lemos, J. A., Zhao, D. X. (2013). ACCF/AHA Guideline for the
Management of ST-Elevation Myocardial Infarction: A Report of the
American College of Cardiology Foundation/American Heart Association
Task Force on Practice Guidelines.Circulation,127(4),e362–e425.
https://doi.org/10.1161/CIR.0b013e3182742cf6

Irman, K. (2017). Sindrom Koroner Akut Di Igd The Correlation Perception Of


The Cardiac Pain And Prehospital Delay To Patients With Acute Coronary
Syndrome In Emergency Departmentof Regional Public Hospital Of Dr . T .
C . Hillers Mahasiswa Program Studi Magister Keperawat, 2(1), 24–30.

Rn, M. W. D., Rn, N. A., Lecturer, M. S. N., Rn, Z. S., & Rn, A. H. (2016).
Predictors of delay in seeking treatment by Jordanian patients with acute
coronary syndrome. International Emergency Nursing, 26, 20–25.
https://doi.org/10.1016/j.ienj.2015.09.003
Sastroasmoro, S., Ismail, S., (2014). Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis.
Jakarta: Sagung Seto.

Shan, L., & Mcmahon, R. (2014). A Systematic Review on the Quality of Life
Benefits after Percutaneous, 2500, 46–54. https://doi.org/10.1159/000360603

Titterington, Hung, Saraf, & Wenger. (2018). Gender differences in acute


coronary syndromes: focus on the women with ACS without an obstructing
culprit lesion. Expert Review of Cardiovascular Therapy, 16(4), 297–304.
https://doi.org/10.1080/14779072.2018.1443808
33

valerian, Willy., Masrul S., Z. D. R. (2015). Artikel Penelitian Hubungan Kadar


Gula Darah saat Masuk Rumah Sakit dengan Jenis Sindroma Koroner Akut
di RS Dr . M . Djamil Padang, 4(2), 430–433.

Xie, L., Huang, S., & Hu, Y. (2015). Factors in fl uencing pre-hospital patient
delay in patients with acute myocardial infarction. Chinese Nursing
Research, 2(2– 3), 75–79. https://doi.org16/j.cnre.2015.04.002

Anda mungkin juga menyukai