Anda di halaman 1dari 16

Khazanah Open Journal System

Ilmu e-ISSN : 2621-9441


Berazam p-ISSN : 2623-1041
PENGARUH PENERAPAN EARLY WARNING SKORE SYSTEM ( EWSS ) TERHADAP
PROGNOSIS PASIEN PPOK DIRUMAH SAKIT UMUM DAERAH dr. DRADJAT
PRAWIRANEGARA SERANG – BANTEN TAHUN 2017

Erny Yusnita¹, Kusnanto², Fitrian Rayasari³

Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Muhamadiyah Jakarta


Email: yoesnita04@gmail.com

ABSTRAK
Early Warning Score System (EWSS) merupakan suatu alur intervensi yang dijalankan menggunakan
skor total untuk mengawasi prognosis pasien terhadap frekuensi pernapasan, saturasi oksigen, suhu,
tekanan sistolik, frekuensi nadi, dan level kesadaran (AVPU) dengan skoring EWS di setiap jam
pengawasan. Sistem ini bertujuan sebagai peringatan dan bantuan untuk mengidentifikasi pasien
PPOK terhadap perubahan prognosis. PPOK merupakan penyakit yang mempunyai resiko terjadinya
gagal napas tanpa kontrol serta mengalami perburukan bahkan sampai keadaan kematian, Kondisi ini
memerlukan penilaian, pengawasan dan perawatan dengan segera. Tujuan penelitian ini untuk
mengetahui pengaruh penerapan Early Warning Skore System (EWSS) terhadap prognosis pasien
PPOK. Desain penelitian ini menggunakan metode quasy-experimental, dengan pendekatan pre test
and post test non equivalent control group. Sampel yang akan digunakan sebanyak 36 orang, dengan
metode Consecutive Sampling. dilakukan selama 48 jam. Hasil penelitian didapatkan perbedaan
yang bermakna antara rata-rata total skor EWS pre kelompok kontrol & intervensi p = 0.002 dengan
total skor EWS post kelompok kontrol & intervensi p = 0.000. p < α (0.05). Saran: EWSS bisa
diterapkan pada ruangan medikal bedah ataupun ruangan kritis untuk menilai dan mengawasi
prognosis pasien PPOK.
Kata Kunci : Early Warning Skore System (EWSS), EWS, PPOK, Prognosis pasien.

ABSTRACT
Early Warning Score (EWS) is an assessment tool by using scores in order to monitor vital sign of
vital parameters of scoring used, normaly respiratory rate, oxygen saturation, inspired O²,
temperature, systolic blood pressure, pulse rate, and level of consciousness (AVPU). This measure
shows early detection, timely respond and the competence of clinical response, is important to
determine the time to respond and competence of clininal response which is important to determine
the results of clinical outcome and identify those patients who have the condition worsening of
COPD. COPD is a desease has the risk of respiratory failure without control and worsening even
this deadly. Purpose this study was to determine the effect of implementation of the early warning
scores system (EWSS) on early detection of the patients prognosis COPD. Design quasy method used
in the research was experimental, with approach one group pre – post test design with control.
Sample use were 36 people, using consecutive sampling. The result of this study showed that , these
where difference between EWSS pre intervention in group control and intervention (p=0.002), while
post intervention (p=0.000). p<α(0.05). This study recommend that medical surgical ward and ICU
implement EWSS in order to observe patient with COPD.
Keywords : EWSS, PPOK, Vital sign, measuring tools, in patient wards

PENDAHULUAN
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) merupakan salah satu penyakit pernafasan
yang dapat menyebabkan kematian dan ditemukan secara luas dimasyarakat. PPOK adalah
penyakit paru kronis yang disertai gangguan aliran nafas. Ditandai dengan keterbatasan aliran
udara yang terus – menerus yang biasanya progresif dan berhubungan dengan respons
inflamasi kronis pada saluran nafas dan paru-paru terhadap partikel atau gas yang beracun
Volume 2, Nomor 4, Desember 2019 586
ejournal.ymbz.or.id
Khazanah Open Journal System
Ilmu e-ISSN : 2621-9441
Berazam p-ISSN : 2623-1041
(GOLD, 2015). Mereka yang menderita PPOK akan mengalami kekurangan oksigen.
Kekurangan asupan oksigen didalam tubuh juga mempengaruhi kadar oksigen dalam
sirkulasi dan jaringan tubuh, hal ini dapat berakibat pada risiko tinggi terhadap beberapa
kondisi serius yang akan dialami pasien.
World Health Organization, (2012) melaporkan terdapat 600 juta orang menderita
PPOK di dunia dengan 65 juta orang menderita PPOK derajat sedang hingga berat.
Berdasarkan data WHO, (2012). PPOK diperkirakan menjadi penyebab utama ketiga
kematian di seluruh dunia pada tahun 2030. Lebih dari 3 juta orang meninggal karena PPOK,
yang setara dengan 5% dari semua kematian secara global (WHO,2015). Pada tahun 2013, di
Amerika Serikat PPOK adalah penyebab utama kematian ketiga dan lebih dari 11 juta orang
telah didiagnosis dengan PPOK ( American Lung Association, 2015 ). Menurut data
penelitian dari Regional COPD Working Group yang dilakukan di 12 negara di Asia Pasifik
rata-rata prevalensi PPOK sebesar 6,3%, terendah 3,5% di Hongkong dan Singapura,
tertinggi di Vietnam sebanyak 6,7%. Sedangkan di Indonesia menunjukkan prevalensi
sebanyak 5,6% atau 4,8 juta kasus untuk PPOK derajat sedang sampai berat ( Regional
COPD Working Group, 2013 ).
Berdasarkan catatan Riskesda Kemenkes tahun 2013, penderita PPOK lebih tinggi
terjadi pada laki-laki, sedangkan asma lebih tinggi terjadi pada perempuan. Data yang
didapatkan dari hasil wawancara yang tercatat dalam analisis Penyakit Tidak Menular (PMT),
diketahui prevalensi usia penderita PPOK pada umur ≥ 30 tahun berkisar 508.303 jiwa. Di
Provinsi Banten penderita PPOK tercatat 2,7% dari 37% penderita PPOK yang ada di
Indonesia. Hal ini sesuai dengan data yang diperoleh Riskesda yang menyatakan bahwa
kejadian PPOK lebih tinggi terjadi didaerah pedesaan dari pada daerah perkotaan, cenderung
lebih tinggi pada masyarakat dengan pendidikan rendah, dan dari hasil evaluasi yang didapat
PPOK lebih besar angka kejadiannya pada nelayan, petani atau buruh dan pada masyarakat
dengan status pendidikan rendah.
Rumah Sakit Umum Daerah dr. Dradjat Prawiranegara merupakan rumah sakit
rujukan dengan kelas Tipe B di Provinsi Banten. Penyakit PPOK merupakan penyakit yang
angkanya cukup tinggi didaerah Kabupaten Serang. Dari data statistik rekam medis RSUD dr.
Drajat Prawiranegara tahun 2014-2016 didapatkan angka rawat pasien dengan PPOK sebesar
765 kasus, angka kematian pada pasien PPOK sebesar 92 kasus, dan pasien dengan pulang
paksa sebesar 65 kasus. Dari data tersebut diatas penulis menyimpulkan bahwa angka
kejadian PPOK di RSUD dr. Drajat Prawiranegara dapat dikatakan cukup besar, hal tersebut
dapat dijadikan perhatian bagi tenaga kesehatan setempat untuk meningkatkan pelayanan
lebih intensif pada pasien dengan PPOK, terutama pasien yang mengalami perburukan dan
mengancam kematian diruang perawatan bangsal.
PPOK erat sekali hubungannya dengan mereka yang memiliki kebiasaan merokok,
selama ini belum banyak diketahui oleh masyarakat, padahal hampir 80% perokok dipastikan
akan mengalami PPOK. Merokok merupakan faktor resiko utama dalam menyebabkan
perkembangan dan peningkatan PPOK (GOLD, 2015). Akan tetapi faktor resiko lain juga
berperan dalam peningkatan kasus PPOK. Faktor resiko lain diantaranya adalah paparan dari
asap rokok terhadap perokok pasif, paparan polutan lingkungan atau pekerjaan, penyakit
pernafasan ketika kanak-kanak, dan riwayat PPOK di keluarga., (Decramer et al., 2012).
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Prabaningtyas dan Octaria (2010). Mengatakan bahwa
ada hubungan yang signifikan antara derajat merokok dengan kejadian PPOK. Pada
penelitian ini didapatkan hasil dari 70 sampel, dari perokok berat mempunyai resiko terkena
PPOK 3 kali lebih besar dari pada perokok ringan dan sedang (OR = 2,89; p = 0,008). Dari

Volume 2, Nomor 4, Desember 2019 587


ejournal.ymbz.or.id
Khazanah Open Journal System
Ilmu e-ISSN : 2621-9441
Berazam p-ISSN : 2623-1041
peneliti lain yang dilakukan Sri.WB, dkk.,(2013), menjelaskan bahwa dari 40 sampel yang
diteliti untuk mengetahui perbedaan volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) orang
dengan perokok dan tidak perokok, didapat hasil 2,03 ml dan 2,532 ml dengan nilai p =
0,020. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan volume paksa pada saat
ekspirasi pertama (VEP1) antara perokok dan bukan perokok. Orang yang merokok
mempunyai nilai VEP1 yang lebih rendah dari orang yang tidak merokok sehingga dapat
mempengaruhi kemampuan fungsi paru menjadi lebih buruk.
PPOK merupakan penyakit yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara didalam
saluran nafas yang tidak sepenuhnya reversible (GOLD, 2015). Gangguan yang bersifat
progresif ini disebabkan karena terjadinya inflamasi kronik akibat pajanan partikel atau gas
beracun yang terjadi dalam waktu yang cukup lama dengan gejala utama sesak nafas, batuk
dan produksi sputum (PDPI, 2011). Sesak nafas merupakan masalah yang utama pada
penderita PPOK dan sebagai alasan penderita untuk mencari pengobatan. Sesak nafas dapat
bersifat persisten serta progresif dan juga dapat menyebabkan ketidakmampuan penderita
untuk beraktivitas. Gejala sesak nafas harus dievaluasi sedini mungkin sehingga dapat
diketahui tingkatan gejala PPOK dan penanganan yang harus dilakukan (Dr. Bronwyn. A, et.
Al., 2011).
PPOK merupakan salah satu penyakit yang mempunyai resiko menyebabkan
terjadinya gagal nafas tanpa kontrol serta mengalami perburukan bahkan sampai keadaan
kematian. Gagal nafas pada kasus ini merupakan prioritas pada penanganan PPOK dengan
perburukan. Pada keadaan pasien yang sudah pada tahap terinfeksi atau mengalami
eksaserbasi lanjut, pasien akan mengalami kondisi menurunnya fungsi. Eksaserbasi PPOK
(peningkatan secara periodik terhadap gejala batuk, dyspnea dan produksi sputum)
merupakan penyumbang utama memburuknya fungsi paru-paru, dan penurunan kualitas
hidup sehingga perlu perawatan segera atau rawat inap dan tingginya biaya perawatan (Criner
et. al., 2015)
Keadaan dilapangan menunjukan banyaknya angka kejadian pada pasien PPOK.
Beberapa permasalahan yang sempat tergali dari hasil wawancara dengan beberapa tenaga
kesehatan di RSUD dr. Dradjat Prawiranegara, didapatkan fenomena tidak sesuainya jumlah
tenaga perawat berbanding dengan jumlah pasien yang harus ditangani di bangsal. Hal
tersebut mengakibatkan kurangnya pengawasan terhadap keadaan klinis pasien secara
intensif. Fasilitas yang kurang memadai untuk menunjang dalam pengawasan dan tindakan
lanjut pada pasien PPOK menjadikan salah satu resiko angka kematian menjadi semakin
tinggi. Jumlah tempat tidur yang tidak sesuai dengan kebutuhan bagi pasien rawat inap di
bangsal untuk dipindahkan diruang perawatan khusus juga menjadi salah satu dari beberapa
faktor penyebab pengawasan pada pasien PPOK tidak tertangani, kurangnya pengetahuan
dan keterampilan dari tenaga profesional untuk menyingkapi suatu masalah yang harus
direspon dengan cepat juga merupakan titik penentu dari keberhasilan perawatan pasien.
Permasalahan sosial ekonomi juga menjadi permasalahan klasik yang melatar belakangi
angka kejadian tersebut, sehingga keluarga pasien menempatkan pasien PPOK diruang
bangsal sebagai pilihan.
Early Warning Score System (EWSS) adalah suatu sistem permintaan bantuan untuk
mengatasi masalah kesehatan pasien secara dini. EWSS didasarkan atas penilaian terhadap
perubahan keadaan pasien melalui pengamatan yang sistematis terhadap semua perubahan
tanda-tanda vital pasien. Sistem ini merupakan konsep pendekatan proaktif untuk
meningkatkan keselamatan pasien dan hasil klinis pasien yang lebih baik dengan standarisasi
pendekatan asessment dan menetapkan skoring parameter fisiologis yang sederhana dan

Volume 2, Nomor 4, Desember 2019 588


ejournal.ymbz.or.id
Khazanah Open Journal System
Ilmu e-ISSN : 2621-9441
Berazam p-ISSN : 2623-1041
mengadopsi pendekatan ini dari Royal College of Physicians – National Health Services,
(2012).
Alat ukur ini menunjukkan bahwa deteksi dini, ketepatan waktu merespon, dan
kompetensi respon klinis, sangat penting untuk menentukan hasil klinis yang diharapkan.
Dengan menggunakan sistem yang sederhana pendekatan ini didasarkan kepada dua
persyaratan utama, yaitu metode yang sistematis untuk mengukur parameter fisiologis
sederhana pada semua pasien untuk memungkinkan identifikasi awal pasien yang mengalami
penyakit akut atau kondisi perburukan, dan definisi yang jelas tentang ketepatan urgensi dan
skala respon klinis yang diperlukan, disesuaikan dengan beratnya penyakit.
(Dr. Bronwyn. A. et. Al. 2011). Tim Cooksley, dkk, (2012) dari Departement of
Critical Care, England menjelaskan bahwa penilaian EWS juga digunakan untuk
memprediksi pasien masuk perawatan kritis dengan 30 hari dari ancaman kematian pada
pasien onkologi. Dengan hasil skor penilaian EWS yang digunakan bermakna secara statistik
(CCU masuk P=0,037 dan 30 hari kematian P=0,004), menggunakan kunci penilaian klinis
secara fisiologis dengan menilai tingkat pernafasan, suhu, tekanan darah, dan denyut nadi.
Penelitian lain diungkapkan oleh Garry. B. Smith, dkk, (2012), tentang kemampuan sistem
skor penilaian dini (EWSS) untuk membedakan pasien beresiko terhadap serangan jantung,
yang tak terduga masuk di unit perawatan intensif. Penelitian ini dapat mendeteksi pasien
beresiko pada terjadinya serangan jantung dan pasien yang tidak terduga masuk ICU serta
kematian dalam waktu 24 jam dengan menggunakan pengawasan tanda-tanda vital (EWS).
Penelitian deteksi dini perburukan kondisi klinis pasien dengan penyakit akut
menggunakan sistem skoring EWS telah banyak dilakukan terutama diberbagai rumah sakit
luar negeri, dan disimpulkan bahwa sistem skoring tersebut sangat membantu dan dibutuhkan
oleh tenaga medis terutama perawat yang bertugas memantau kondisi pasien selama 24 jam.
Dari semua jurnal yang membahas mengenai penggunaan penilaian EWSS di rumah sakit,
seluruhnya menilai akan keefektifan penilaian tersebut guna menindaklanjuti pada keadaan
kegawatan. Tindakan penilaian yang melihat kemajuan atau perburukan terhadap tanda-tanda
vital diharapkan dapat menilai prognosis selanjutnya dari pasien sehingga dapat memberikan
penilaian dan tindakan yang tepat untuk menolong pasien menuju perbaikan, (Dr. Bronwyn.
A.,et. Al., 2011).

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di ruang perawatan penyakit dalam Rumah Sakit Umum
Daerah dr. Dradjat Prawiranegara Serang dan RSUD Kota Cilegon, dari bulan Mei 2017
sampai dengan bulan Juli 2017, menggunakan rancangan Quasy-Experimental, dengan
rancangan Pre test and Post Test non equivalent control group. Pada penelitian ini, kelompok
intervensi diberi perlakuan sedangkan kelompok kontrol tidak. Kedua kelompok dilakukan
pengukuran awal (pre-test), setelah pemberian perlakuan diadakan pengukuran kembali (post
test).
Dalam penelitian ini populasi yang jadikan objek penelitian adalah pasien penderita
PPOK yang menjalani perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Dradjat Prawiranegara
Serang dan RSUD Kota Cilegon. Populasi penderita PPOK setiap tahunnya ± 383 pasien di
Rumah Sakit Umum Daerah dr. Dradjat Prawiranegara Serang dan setiap bulannya ± 32
orang. Sampel pada penelitian ini adalah 18 pasien PPOK yang menjalani perawatan ruang
perawatan penyakit dalam Rumah Sakit Umum Daerah dr. Dradjat Prawiranegara Serang dan
18 RSUD Kota Cilegon.

Volume 2, Nomor 4, Desember 2019 589


ejournal.ymbz.or.id
Khazanah Open Journal System
Ilmu e-ISSN : 2621-9441
Berazam p-ISSN : 2623-1041
Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah, pasien PPOK yang baru mengalami
perawatan dan tidak berpindah ruangan minimal 48 jam, Pasien dewasa (umur 18 tahun ke
atas) dan pasien yang bersedia menjadi responden. Kriteria eksklusi nya adalah Pasien PPOK
yang masuk rumah sakit dengan penyebab lain dan pasien PPOK dengan nilai awal skoring
sama dengan 0. Alat pengumpulan data berupa : 1). Formulir data identitas dan demografi
responden, terdiri dari nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, alamat, riwayat merokok,
riwayat pengobatan, tanggal masukrumah sakit dan tanggal pemeriksaan. 2). Formulir
penilaian Early Warning Score. Formulir penilaian yang berisi skoring terhadap status
respirasi, Sturasi oksigen, penggunaan oksigen tambahan, tekanan darah sistolik, frekuensi
nadi, status AVPU dan temperatur. Instrumen yang digunakan untuk penilaian Early Warning
Score menggunakan formulir EWS yang direkomendasikan oleh Dr. Bronwyn Avard, et. Al.,
dalam Compass (2011), instrumen ini telah terstandar dan baku serta telah digunakan pada
penelitian sebelumnya sehingga tidak perlu dilakukan uji reliabilitas dan validitas instrumen.
Formulir penilaian EWS ini memiliki 7 (tujuh) komponen penilaian (scorring), yakni :
frekuensi pernafasan dengan skor 0 – 3, saturasi oksigen dengan skor 0 – 3, oksigen
tambahan dengan skor tanpa oksigen tambahan 0 dan dengan oksigen tambahan 3, tekanan
sistolik dengan skor 0 – 3, frekuensi nadi dengan skor 0 – 3, AVPU dengan skor sadar penuh
0 dan penurunan kesadaran 3, dan suhu tubuh dengan skor 0 – 3. Berdasarkan formulir EWS
tersebut, maka nilai (skor) total terendah EWS adalah 0, dan nilai (skor) tertinggi adalah 21.
3). Protokol Eskalasi (EWSS). Sebuah formulir alur intervensi yang sudah ditetapkan
sebelumnya, berisikan tentang alur intervensi yang dapat dijalankan setelah mendapatkan
skor EWS. Protokol ini berisikan Jumlah total skor keseluruhan dari EWS untuk menentukan
frekuensi jam pengawasan sesuai dengan kondisi responden, di sertai dengan petugas
pelaksana dan intervensi yang dilakukan. Protokol terakhir berupa evaluasi atau skoring akhir
setelah pelaksanaan intervensi. Protokol eskalasi dalam penelitian ini dapat dilaksanakan
selama 48 jam.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Analisa Univariat pada penelitian ini terdiri dari umur, jenis kelamin, pekerjaan, riwayat
merokok, dan riwayat pengobatan PPOK.

Karakteristik Jenis kelp Mean Med SD Min-Maks

Umur Intervensi 43.28 48 11.994 24 – 60


Kontrol 51.67 55 8.609 32 – 62

Tabel 5.1 . Distribusi rerata pasien PPOK berdasarkan Karakteristik Umur pada kelompok
intervensi di Ruang Perawatan Medikal RSUD dr. Dradjat Prawiranegara Serang dan
kelompok control di Ruang Perawatan Medikal RSUD Kota Cilegon Serang - Banten Tahun
2017.
Berdasarkan tabel diatas didapatkan rata-rata umur responden pada kelompok intervensi
adalah 43,28 tahun, pada kelompok kontrol adalah 51,67 tahun, dengan standar deviasi pada
kelompok kontrol sebesar 8,609 dan untuk kelompok intervensi sebesar 11,994. Usia termuda
pada kelompok intervensi adalah 24 tahun dan usia tertua adalah 60 tahun. Pada kelompok
kontrol usia termuda adalah 32 tahun dan usia tertua 62 tahun.
.

Volume 2, Nomor 4, Desember 2019 590


ejournal.ymbz.or.id
Khazanah Open Journal System
Ilmu e-ISSN : 2621-9441
Berazam p-ISSN : 2623-1041
n = 18
Karakteristik Kelomp
Kelompok Kontrol N %
Responden Intervensi
N % N %
Jenis Kelamin
Laki-laki 14 77.8 14 77.8 28 77.7
Perempuan 4 22.2 4 22.2 8 22.3
Riwayat
Perokok
Perokok 15 83.3 14 77.8 29 80.6
Tidak Perokok 3 16.7 4 22.2 7 19.4

Tabel 5.2. Distribusi Karakteristik pasien PPOK berdasarkan Jenis Kelamin, dan Riwayat
Perokok pada kelompok intervensi di Ruang Perawatan Medikal RSUD dr. Dradjat
Prawiranegara Serang dan kelompok kontrol di Ruang Perawatan Medikal RSUD Kota
Cilegon Serang - Banten Tahun 2017.
Berdasarkan tabel ini diperoleh data distribusi jenis kelamin responden laki-laki pada
kelompok intervensi sebanyak 14 orang dengan persentase 77,8%, jenis kelamin perempuan
sebanyak 4 orang dengan persentase 22,2% dan pada kelompok kontrol jenis kelamin laki-
laki sebanyak 14 orang dengan persentase 77.8%, jenis kelamin perempuan sebanyak 4 orang
dengan persentase 22.2%. Jumlah keseluruhan untuk distribusi responden laki-laki sebanyak
28 orang dengan presentase 77.7% dan responden perempuan secara keseluruhan sebanyak 8
orang dengan jumlah presentase 22.3%.
Distribusi responden dengan riwayat merokok pada kelompok intervensi pada perokok
sebanyak 15 orang dengan persentase 83.3%, dan tidak perokok pada kelompok ini
sebanayak 3 orang dengan presentase 16.7%. Pada kelompok kontrol responden dengan
perokok sebanyak14 orang dengan presentase 77.8% dan dengan tidak perokok sebanyak 7
orang dengan presentase 22.2%. Nilai keseluruhan responden dengan perokok sebanyak 29
orang (80.6%) dan tidak perokok sebanyak 7 orang (19.4%).

Kelompok Mean Mean Diff SD T p value


Pre Post

Intervensi 4.17 2.61 1.56 1.042 6.336 0.000

Kontrol 5.83 5.67 0.16 0.707 -1.000 0.331

Tabel 5.3. Distribusi rerata skor EWS pre test dan Post Test pada kelompok intervensi di
Ruang Perawatan Medikal RSUD dr. Dradjat Prawiranegara Serang dan di Ruang Perawatan
Medikal RSUD Kota Cilegon. Serang - Banten Tahun 2017. Dari tabel 5.3 menggambarkan
bahwa untuk rerata Pre Test kelompok intervensi adalah 4,17 dan rerata skor EWS post test
kelompok intervensi adalah 2,61 sehingga didapat nilai perbedaan kedua skor tersebut
sebesar 1,56 dan hasil uji paired t-test didapat nilai p= 0,000. Nilai p tersebut lebih kecil dari
nilai α (0,05), maka dapat disimpulkan adanya pengaruh yang bermakna (penurunan rerata
skor EWS). Pengaruh tersebut diperkuat oleh perbedaan nilai rerata skor EWS pre test
(sebelum intervensi) dengan rerata skor EWS post test (sesudah intervensi) sebesar 1,56.
Volume 2, Nomor 4, Desember 2019 591
ejournal.ymbz.or.id
Khazanah Open Journal System
Ilmu e-ISSN : 2621-9441
Berazam p-ISSN : 2623-1041
Sedangkan pada kelompok kontrol didapatkan nilai rerata skor EWS pre test sebesar 5,83 dan
rerata skor EWS post test sebesar 5,67 sehingga didapat nilai perbedaan kedua skor tersebut
sebesar 0,16, dan hasil uji paired t-test didapat nilai p = 0,331 dimana nilai tersebut lebih
besar dari nilai α (0,05), maka dapat diartikan tidak ada pengaruh yang bermakna (penurunan
rerata skor EWS) tanpa dilakukan intervensi. Tidak adanya pengaruh tersebut diperkuat oleh
perbedaan nilai rerata skor EWS pre test dengan rerata skor EWS post test pada kelompok
kontrol sebesar 0,16.

Variabel Jenis Kelompok Mean Median SD

Pre 4.17 4 1.295 2–6


Intervensi
Total Skor Post 2.61 2 1.420 0–5
EWS Pre 5.83 6 1.150 3–7
Kontrol
Post 5.67 6 0.840 4– 7

Tabel. 5.4. Distribusi rerata total skor EWS pre test dan post test pada kelompok
intervensi Serang dan kelompok kontrol di Ruang Perawatan Medikal RSUD dr. Dradjat
Prawiranegara Serang dan di Ruang Perawatan Medikal RSUD Kota Cilegon. Serang -
Banten Tahun 2017.
Pada tabel diatas, distribusi rerata total skor EWS pre test responden pada kelompok
intervensi didapat nilai mean sebesar 4,17 dengan standar deviasi 1,295 dan rerata total skor
EWS post test didapat nilai sebesar 2,61 dengan standar deviasi 1,420. Pada kelompok
kontrol didapat rerata total skor EWS pre test sebesar 5.83 dengan standar deviasi 1,150 dan
rerata total skor EWS post test didapat sebesar 5,67 dengan standar deviasi 0,840.

EWS Mean SD Mean Diff t p value


pre kontrol-
intervensi
Kontrol 5,83 1,150 1,333 3.266 0,002
Intervensi 4,17 1,295 1,333 3,266 0,003
EWS Mean DS Mean Diff t p value
post kontrol -
intervensi
Kontrol 5,67 0,840 3,056 7,857 0,000
Intervensi 2,611 1,420 3,056 7,857 0,000

Tabel 5.5. Hasil Analisis Skor EWS untuk Pengukuran Pre pada Kelompok Intervensi
dan kontrol serta pengukuran Post pada kelompok intervensi dan kontrol di Ruang Perawatan
Medikal RSUD dr. Dradjat Prawiranegara Serang dan di Ruang Perawatan Medikal RSUD
Kota Cilegon. Serang - Banten Tahun 2017.
Dari tabel 5.5. Terlihat bahwa hasil uji independent t-test untuk total skor EWS pre test
kontrol – intervensi didapat nilai p (p value) 0,002 dan untuk total skor EWS post test kontrol
– intervensi didapat nilai p (p value) 0,000. Total skor EWS pre test dan post test pada kedua
Volume 2, Nomor 4, Desember 2019 592
ejournal.ymbz.or.id
Khazanah Open Journal System
Ilmu e-ISSN : 2621-9441
Berazam p-ISSN : 2623-1041
kelompok memiliki nilai p (p value) < α (0,05), maka hipotesis nol ditolak. Dapat diartikan
bahwa terdapat perbedaan secara bermakna total skor EWS antara kelompok intervensi
dengan kelompok kontrol. Kelompok intervensi mengalami perbedaan penurunan total skor
EWS (peningkatan status kesehatan pasien PPOK) secara signifikan bila dibandingkan
dengan total skor EWS pada kelompok kontrol. Perbedaan kekuatan pada table ini terlihat
dari nilai t sebesar 3.266 pada total skor pre kelompok kontrol - intervensi dan pada total skor
EWS post kontrol – Intervensi sebesar 7.857.

PEMBAHASAN
Karakeristik pasien PPOK
Umur
Umur merupakan faktor resiko terjadinya gangguan fungsi paru, semakin
bertambahnya umur maka kemampuan organ akan mengalami penurunan secara alamiah,
tidak tekecuali fungsi paru dalam hal ini kapasitas paru (Guyton & Hall, 2008). Hasil
penelitian ini menunjukan bahwa rentang umur pasien PPOK pada kelompok intervensi
berada pada rentang 24 sampai dengan 60 tahun dengan rata-rata 43,28 tahun. Pada
kelompok kontrol, umur pasien PPOK berada pada rentang 32 sampai 62 tahun dengan rata-
rata 51,67 tahun. Dari hasil penelitian ini, nilai rata-rata total skor EWS pada kelompok
intervensi didapati nilai pre test sebesar 4,17 dan post test 2,61, dan nilai rata-rata total skor
EWS dari kelompok kontrol didapati nilai pre test 5,83 dan post test 5,67.
Jika nilai rata-rata total skor EWS dihubungkan dengan umur pasien PPOK pada
kelompok intervensi berdasarkan data hasil penelitian diatas terdapat adanya pengaruh umur
terhadap total skor EWS. Hal ini dapat dilihat dari pasien PPOK kelompok intervensi
memiliki umur lebih rendah dari kelompok kontrol, begitu pula dengan rata-rata total skor
EWS pre test dan post test. Pada kelompok intervensi didapatkan umur maksimal 60 tahun
dan kelompok kontrol umur maksimal 62. Dihubungkan dengan total skor EWS yang
didapat, pasien PPOK umur 60 tahun setelah diintervensi terlihat penurunan nilai rata-rata
total skor EWS sebesar 1,56. Sedangkan pada pasien PPOK yang tidak diintervensi dengan
umur maksimal 62 tahun terlihat penurunan nilai rata-rata total skor EWS sebesar 0,16. Hal
ini menunjukan bahwa semakin tinggi umur pasien PPOK maka tingkat penurunan total skor
EWSnya terlihat sedikit.
Berdasarkan teori, umur dapat mempengaruhi kekenyalan pada paru sebagaimana
jaringan lain dalam tubuh. Semakin bertambahnya umur, dinding dada dan jalan napas
menjadi lebih kaku dan kurang elastis, jumlah pertukaran udara juga menurun (Kozier,
Barbara, dkk. 2010). Kemampuan elastisitas paru yang berkurang akan menyebabkan
menurunnya kemampuan untuk mengikat oksigen.
Dalam penelitian Nugraha. I, (2010) yang menyatakan bahwa presentase pasien
PPOK dalam penelitianya mengenai hubungan derajat merokok berdasarkan indeks
Brinkman dengan derajat berat merokok diperoleh hasil dari laki-laki sepenuhnya pada usia
rata-rata 50-59 tahun. Penelitian lain oleh Susanti, (2013). Fakultas Universitas Lampung
yang menyatakan bahwa penderita PPOK dengan hipersekresi mukus didapati sebanyak
15-53% pada pria paruh umur dengan prevalensi yang lebih rendah pada wanita sebanyak 8-
22%. Seiring dengan bertambahnya waktu fungsi parupun menurun diperjelas dari hasil
penelitian (Barnes, 2003 dalam Octaria. P, 2010) yang mengatakan gejala PPOK muncul
pada usia 40 tahunan dan semakin lama akan bertambah buruk terutama pada musin dingin.
PDPI, 2011 PPOK seringkali timbul pada usia pertengahan 15 - 60 tahun akibat merokok
dalam jangka waktu lama. Catatan GOLD, (2011) mengemukakan bahwa PPOK lebih tinggi
Volume 2, Nomor 4, Desember 2019 593
ejournal.ymbz.or.id
Khazanah Open Journal System
Ilmu e-ISSN : 2621-9441
Berazam p-ISSN : 2623-1041
terjadi pada perokok dan bekas perokok dibanding bukan perokok usia lebih dari 40 tahun
dibanding pada usia di bawah 40 tahun dan prevalensi laki–laki lebih tinggi dibanding
perempuan.
Dari hal tersebut diatas disimpulkan bahwa umur berhubungan erat dengan proses
penuaan, bahwa semakinbertambahnya umur seseorang maka dapat mengakibatkan
penurunan pada elastisitas paru sehingga akan mempengaruhi proses pernafasan. Semakin
bertambahnya umur pula akan mengakibatkan rentannya seseorang terhadap penyakit
khususnya gangguan pada saluran pernafasan, faktor lain yang akan berperan serta dalam
penentuan nilai kapasitas tersebut adalah aktivitas dari refleks saluran pernafasan yang
berkurang pada bertambahnya umur yang dapat juga mengakibatkan berkurangnya daya
bersihan pada jalan nafas, sehingga resiko terhadap obstruksi dan infeksi.

Jenis kelamin
Jenis kelamin berhubungan erat dengan frekuensi merokok pada pasien PPOK yang
sebagian besar di konsumsi oleh laki-laki. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jenis
kelamin pasien PPOK untuk kelompok intervensi sebagian besar adalah laki-laki 77,8%,
begitu pula dengan kelompok kontrol. Sedangkan pasien PPOK perempuan baik pada
kelompok intervensi maupun kontrol diperoleh hasil 22,2%. Bila dihubungkan secara
langsung jenis kelamin dengan nilai rata-rata total skor EWS tidak terlihat adanya pengaruh.
Tetapi pasien PPOK laki-laki dengan riwayat perokok akan mempengaruhi nilai rata-rata
total skor EWSnya.
Hasil penelitian Nugraha. I, (2010) menjelaskan mengenai hubungan derajat merokok
dengan kejadian PPOK. Berdasarkan penelitiannya, menunjukan bahwa pasien PPOK dengan
jenis kelamin laki-laki 40 orang (100%). Penelitian lain Aini, F, (2007) tentang pengaruh
breathing retraining terhadap peningkatan fungsi ventilasi paru pada asuhan keperawatan
pasien PPOK mengatakan bahwa penderita PPOK paling tinggi ditunjukan pada jenis
kelamin laki-laki 62% dan perempuan 38%
.Hal ini dapat mejelaskan dan membuktikan bahwa penderita PPOK lebih dominan pada jenis
kelamin laki-laki.
Hiperseksreksi mukus merupakan suatu gejala yang sering muncul pada pasien PPOK
dan batuk kronis merupakan mekanisme pertahanan terhadap hipersekresi mukus. Gambaran
ini muncul karena adanya pembesaran pada kelenjar dibronkus terutama pada perokok.
Berdasarkan hubungan jenis kelamin dengan frekuensi penyakit, jenis kelamin laki-laki lebih
berpotensi beresiko mengalami berbagai macam penyakit berat seperti jantung, paru dan
stress. Hal ini dapat dihubungkan dengan fungsinya sebagai orang nomor satu dikeluarga.
Sebagai pemimpin didalam keluarga laki-laki mempunyai tanggung jawab didalam beban
pekerjaan, dimana salah satu cara untuk mengurangi tingkat stress dalam pekerjaannya kaum
laki-laki memiliki gaya hidup yang dipilihnya dengan “merokok”, gaya hidup inilah yang
dengan dan tanpa disadari dapat merusak kesehatan terutama sistem pernafasan.

Riwayat Merokok
Riwayat merokok (perokok aktif, perokok pasif dan bekas perokok) berkaitan erat
dengan PPOK. Perokok menanggung resiko yang lebih besar terhadap penurunan fungsi
paru. Sehingga berhenti merokok dapat mencegah progresifitas perburukan fungsi paru
(Amin,2004 dalam Nugraha. 2010). Perokok aktif memiliki prevalensi lebih tinggi
mengalami gejala respiratorik, abnormalitas fungsi paru, dan mortalitas yang lebih tinggi
daripada orang yang tidak merokok. Resiko untuk penderita PPOK bergantung pada berapa

Volume 2, Nomor 4, Desember 2019 594


ejournal.ymbz.or.id
Khazanah Open Journal System
Ilmu e-ISSN : 2621-9441
Berazam p-ISSN : 2623-1041
banyak konsumsi merokoknya, lamanya merokok, dan usia mulai merokok. Berdasarkan
hasil penelitian ini menjelaskan bahwa penderita PPOK dengan riwayat perokok mempunyai
nilai persentase yang tinggi sebesar 83,3% pada kelompok intervensi dan 77,8% pada
kelompok kontrol sedangkan pada pasien PPOK dengan yang tidak perokok pada kelompok
intervensi sebesar 16,7% dan pada kelompok kontrol sebesar 22,2%. Dari data tesebut diatas
dapat dihubungkan dengan hasil total skor EWS yang disimpulkan bahwa dari hasil total skor
rata-rata pada kelompok intervensi pre test sebesar 4,17 dan post test sebesar 2,61 yang
menunjukan penurunan nilai rata-rata dengan perbedaan 1,56. Sedangkan pada kelompok
kontrol disimpulkan hasil rata-rata total skor EWS pre test sebesar 5,83 dan post test sebesar
5,67 dengan perbedaan nilai sebesar 0,16. Hal ini menunjukan pasien PPOK dengan riwayat
merokok setelah diintervensi memiliki penurunan nilai yang lebih tinggi dari pasien PPOK
yang tidak dintervensi. Dari hasil tersebut disimpulkan bahwa intervensi dapat menurunkan
prognosis pasien PPOK.
Penelitian yang dilakukan Nugraha. I, (2010) menjelaskan bahwa penderita PPOK
sedang yang masuk kedalam perokok sedang sebesar 30%, sedangkan penderita PPOK berat
yang masuk kedalam perokok berat sebesar 70%, hal tersebut menjelaskan bahwa perokok
sedang atau berat memiliki resiko untuk mengalami PPOK derajat berat atau lebih. Diperkuat
lagi oleh Nababan dan Natanael, (2013) dari penelitiannya didapat dari 92 pasien PPOK
dengan 50% memiliki derajat merokok berat, 44,6% memiliki derajat merokok sedang dan
5,4% memiliki derajat perokok ringan. Pasien PPOK dengan derajat PPOK berat sebanyak
33.7%, PPOK sedang sebanyak 41.3% dan PPOK ringan sebanyak 12%. Disimpulkan bahwa
perokok derajat berat memiliki kecenderungan untuk mendapatkan PPOK derajat berat-
sangat berat 9,1 kali lebih besar dibandingkan dengan perokok dengan derajat ringan-sedang,
maka semakin berat derajat merokok semakin berat derajat PPOK yang akan dialami.
Kebiasaan merokok mencakup juga lamanya merokok, jumlah rokok yang
dikunsumsi dan jenis rokok menjadi pertimbangan akan kerusakan atau pengaruhnya
terhadap organ pernafasan. Merokok dapat menyebabkan perubahan struktur, fungsi saluran
pernafasan dan jaringan paru. Saluran nafas besar, sel mukosa dan kelenjar mukus akan
bertambah banyak dan pada saluran nafas kecil akan terjadi inflamasi ringan. Dalam asap
rokok terdapat ribuan radikal bebas dan bahan-bahan iritan yang dapat merugikan kesehatan.
Bahan iritan tersebut masuk kedalam saluran pernafasan dan selanjutnya menempel pada silia
yang selalu berlendir. Disamping itu bahan iritan mampu membakar silia sehingga lambat
laun terjadi penumpukan bahan iritan yang dapat mengakibatkan infeksi. Sementara itu
produksi mucus semakin bertambah dan kondisi ini menjadi kondusif untuk tumbuhnya
kuman. Apabila kondisi ini berlanjut maka akan mengakibatkan inflamasi dan penyempitan
pada saluran nafas, serta dapat berkurangnya elastisitas pada paru. Besar kecilnya intensitas
dan waktu paparan bahan iritan pada asap rokok akan mempengaruhi saluran pernafasan.
Dengan kata lain bahwa kebiasaan dan lamanya merokok dapat meningkatkan resiko
terjadinya kelainan
pada saluran nafas berupa penyempitan dalam hal ini dikaitkan dengan kejadian
PPOK. Analisis Hubungan Total Skor EWS Pre Test dan Post Test Pasien PPOK pada
Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol
EWS merupakan penilaian yang dilakukan dengan mencatat serta mencari penyebab
dari tanda awal penurunan keadaan pasien melalui penilaian tanda-tanda vital. (Dr. Brownyn.
A, et. al., 2011). EWS sebagai alat komunikasi yang menyampaikan perubahan tanda-tanda
vital yang terjadi dari hasil observasi. Dari hasil penilaian yang didapat pada hasil analisa
bivariat antara rata-rata total skor EWS pre test dan post test pada kelompok intervensi

Volume 2, Nomor 4, Desember 2019 595


ejournal.ymbz.or.id
Khazanah Open Journal System
Ilmu e-ISSN : 2621-9441
Berazam p-ISSN : 2623-1041
didapatkan nilai p (p value) sebesar 0,000. Nilai p <α (0,05) maka nilai tersebut dikatakan
bermakna. Hasil analisis menunjukan hipotesis nol ditolak. Artinya terdapat hubungan yang
bermakna antara rata-rata total skor EWS sebelum intervensi dengan rata-rata total skor EWS
sesudah intervensi. Hasil dari penelitian ini juga didukung oleh adanya perbedaan
(penurunan) rata-rata total skor EWS yang signifikan pada kelompok intervensi. Nilai rata-
rata total skor EWS sebelum intervensi (pre test) didapatkan sebesar 4,17 dan setelah
diberikan intervensi (post test) selama 2x24 jam diperoleh rata-rata total skor EWS sebesar
2,61. Dari data tersebut terlihat bahwa telah terjadi penurunan rata-rata total skor EWS
sebesar 1,56. Penurunan rata-rata total skor EWS ini berarti telah terjadi peningkatan status
kesehatan pasien PPOK yang signifikan setelah diberikan intervensi.
Disamping itu, skor EWS yang didapat dari hasil pengukuran yang intensif dapat
mencegah terjadinya penurunan status kesehatan pasien PPOK. Pengukuran skor EWS yang
intensif mampu memberikan peringatan dini terhadap penurunan status pasien PPOK karena
dengan total skor EWS yang buruk memberikan informasi kepada tenaga kesehatan dengan
cepat dan tepat kepada perawat dan tenaga kesehatan lain untuk segera melakukan tindakan
penanganan dalam mempertahankan serta meningkatkan status kesehatan pasien.
Hasil analisis bivariat pada kelompok kontrol antara rata-rata total skor EWS pre test
dan rata-rata total skor EWS post test dengan uji paired t-test didapatkan nilai p sebesar
0,331. Nilai p >α ( 0,05 ) memiliki arti hipotesis nol ditolak. Dengan demikian, tidak ada
hubungan antara rata-rata total skor EWS pre test dengan rata-rata total skor EWS post test
pada kelompok kontrol. Hasil analisis tersebut juga didukung oleh nilai rata-rata total skor
EWS pre test sebesar 5,83 dan setelah 2x24 jam tanpa dilakukan perlakuan (intervensi)
didapatkan rata-rata total skor EWS post test sebesar 5,67. Perbedaan nilai rata-rata total skor
EWS pre test dan post test sebesar 0,16. Perbedaan rata-rata total skor EWS ini sangat kecil
yang menunjukan perubahan status pasien PPOK bisa dikatakan tidak signifikan dan
cenderung nilai EWS tidak mengalami perubahan. Hal ini terjadi karena dengan tidak
dilakukannya pemantauan dan pengukuran skor EWS secara intensif menyebabkan
penurunan status kesehatan (perburukan) pasien PPOK tidak dapat diketahui karena tidak ada
peringatan dini sehingga mempengaruhi respon tenaga kesehatan termasuk perawat dalam
tindakan penanganan kondisi pasien.
Penelitian terkait dengan EWS dijelaskan oleh Kane. B, Decalmer. S, et. Al, (2013)
mengatakan bahwa EWS dapat menilai tingkat kondisi dan keparahan pasien PPOK yang
beresiko T2RF. Penelitian lain juga menjelaskan, EWS dapat direkomendasikan sebagai
bagian untuk menilai kemunduran keadaan klinis pasien dewasa (Gary. B, David R.et. al,
2012). Penelitian menurut Mitchell, et al. (2011), yang mengatakan bahwa EWS merupakan
skor peringatan dini yang dapat dikembangkan untuk memfasilitasi dalam deteksi dini dalam
menilai tingkat keparahan pasien dengan mengkategorikan skor dan mendorong perawat
untuk meminta tinjauan medis selanjutnya.Dari beberapa penelitian tersebut dapat
disimpulkan bahwa dengan penilaian menggunakan EWS mampu mendeteksi secara dini dan
menilai kondisi klinis pasien.

Analisis Komparatif Total Skor EWS pasien PPOK antara Kelompok Intervensi
dengan Kelompok Kontrol
Analisis bivariat (perbandingan) antara rerata total skor EWS pasien PPOK kelompok
intervensi dengan rerata total skor EWS pasien PPOK kelompok kontrol dilakukan dengan
menggunakan uji independent t-test. Sebelum dilakukan uji independent t-test terlebih dahulu
dilakukan uji homogenitas data total skor EWS pre test dan post test dari dua kelompok

Volume 2, Nomor 4, Desember 2019 596


ejournal.ymbz.or.id
Khazanah Open Journal System
Ilmu e-ISSN : 2621-9441
Berazam p-ISSN : 2623-1041
pasien PPOK. Hasil analisis bivariat untuk rerata total skor EWS pre test Kontrol – Intervensi
didapatkan nilai p (p value) 0,002. Rerata total skor EWS post test Kontrol – Intervensi nilai
p (p value) 0,000. Hasil analisis skor EWS pre test dan post test pada kedua kelompok
memiliki nila p (p value) < α (0,05) artinya terdapat hubungan (perbedaan) bermakna. Hasil
analisis ini menunjukan bahwa terdapat pengaruh penerapan Early Warning Score System
(EWSS) terhadap perubahan nilai EWS pasien PPOK di Rumah Sakit dr. Dradjat
Prawiranegara Serang.
Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Bronwyn. A. et. al., (2011) tentang Early
Warning Score (EWS) adalah penilaian dengan mencatat dan mencari penyebab dari tanda-
tanda awal penurunan keadaan pasien melalui penilaian dari tanda-tanda vital. EWS
merupakan alat tambahan yang diciptakan untuk mempermudah kerja tenaga profesional
untuk memfasilitasi dalam mendeteksi dini perburukan pasien, khususnya di bangsal rumah
sakit. Dengan demikian, bila perawat melakukan pemantauan dan pencatatan secara periodik
dan intensif terhadap tanda-tanda vital yang mengarah kepada perburukan pasien PPOK
maka kondisi perburukan pasien PPOK dapat diketahui secara dini kemudian ditindaklanjuti
dengan tindakan pencegahan dan penanganan perburukan.
Hasil penelitian ini juga membuktikan bahwa EWS bermanfaat sebagai media
komunikasi yang menyampaikan perubahan tanda-tanda vital yang tejadi dari hasil observasi
dengan melibatkan tenaga kesehatan lain secara komperhensif untuk segera mengambil
tindakan agar dapat mengurangi keadaan perburukan pada pasien. Terbukti bahwa pasien
PPOK yang dirawat dengan menerapkan Early Warning Score System mengalami penurunan
rata-rata skor EWS. Hal ini menunjukan hasil pengukuran skor EWS dikomunikasikan oleh
perawat kepada perawat berikutnya dan petugas kesehatan lainnya sehingga perubahan skor
EWS yang mengarah kepada perburukan segera diketahui dan dilakukan penanganan melalui
komunikasi yang efektif.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Robert. S, Young. MD, at. Al., ( 2013 )
mengenai penggunaan EWS pada pasien onkologi, dikemukakan bahwa sistem ini bertujuan
untuk mengidentifikasi secara dini pasien onkologi yang memburuk secara klinis dan untuk
memfasilitasi transfer pasien ke unit perawatan intensive (ICU). Sistem protokol eskalasi
yang digunakan dapat mengurangi kondisi perburukan pasien dan kondisi tersebut dapat
dicegah tanpa disertai dengan transfer pasien ke ICU. Penelitian Kane B, Decalmer, et. Al.,
(2013), menyatakan bahwa EWS dapat menilai 34 dari 108 pasien PPOK yang memiliki
faktor resiko terhadap T2RF (30 COPD, 4 apneu karena obstruktif), sehingga dapat
mendorong perawat untuk meningkatkan oksigen tambahan, hal ini menjelaskan bahwa
dengan pengawasan dengan menggunakan skoring EWS dapat lebih tepat untuk menilai
keadaan pasien terutama yang mengalami masalah kegawatan (pengawasan) sehingga dapat
lebih mudah untuk diberikan intervensi. EWS mencatat keadaan yang secara periodik
mengidentifikasikan keadaan pasien secara serius untuk menandakan kondisi pasien selama
dalam perawatan (Bronwyn. A., et. Al., dalam COMPASS, 2011). Dari beberapa penelitian
ini dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan protokol eskalasi dapat merubah prognosis pasien
dari perburukan kearah perbaikan. Seiring dengan hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian
yang telah dilakukan oleh peneliti terhadap 18 pasien PPOK yang diterapkan model EWSS
mengalami penurunan skoring yang menandakan pasien mengalami perbaikan, disamping itu
terhadap 18 pasien yang tidak diterapkan model EWSS hanya mengalami sedikit penurunan
skoring, yang menandakan pasien mengalami sedikit perbaikan.

Keterkaitan Hasil Penelitian dengan Teori Keperawatan “Calista Roy”

Volume 2, Nomor 4, Desember 2019 597


ejournal.ymbz.or.id
Khazanah Open Journal System
Ilmu e-ISSN : 2621-9441
Berazam p-ISSN : 2623-1041
Keterkaitan hasil penelitian dengan teori adaptasi Roy pada penelitian ini adalah pasien
PPOK dalam masa perawatan, harus mampu beradaptasi terhadap gangguan fungsi fisiologis
(respirasi, sirkulasi dan kesadaran) untuk bertahan sampai kondisi perbaikan. Proses input
pada pasien PPOK sebagai suatu sistem adaptasi dengan menerima masukan dari lingkungan
luar berupa sistem pelaksanaan EWSS.
Berdasarkan teori Roy, pada penelitian ini untuk menilai klinis pasien dengan
melakukan pengkajian perilaku, mengumpulkan data yang didapat kelainan fisiologis pasien
PPOK berdasarkan tujuah item (Respirasi rate, saturasi oksigen, penggunaan oksigen lain,
tekanan darah sistol, nadi, temperature dan tingkat kesadaran). Tahap pengkajian yang
dilaksanakan dengan melakukan pengkajian berupa pengukuran, observasi dan wawancara
terhadap jenis kelamin, usia, riwayat merokok pada pasien tersebut. Sehingga dapat
disimpulkan masalah keperawatan yang didapat pada pasien PPOK tersebut. Sehingga
berdasarkan analisis fisiologi ini dapat dinilai kebutuhan pasien PPOK untuk dipenuhi dan
dapat beradaptasi menuju prilaku adaptif. Tujuan akhir dari teori yang disampaikan Roy
bahwa secara umum tujuan akhir pada pelaksanaan intervensi keperawatan ini adalah untuk
mempertahankan dan mempertinggi perilaku adaptif dan mengubah perilaku inefektif menjadi
adaptif.

KESIMPULAN
Rata–rata umur responden pada kelompok intervensi adalah 43,28 tahun, pada
kelompok kontrol adalah 51,67 tahun. Sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki 28
orang (77,7%). Sebagian besar responden dengan riwayat perokok sebanyak 29 orang
(80,6%) dan tidak perokok sebanyak 7 orang (19,4%). Distribusi untuk mean total skor EWS
pre test responden pada kelompok intervensi didapat nilai mean sebesar 4,17 dan mean total
skor EWS post test didapat nilai sebesar 2,61.
Tidak ada hubungan antara rata-rata total skor EWS pre dengan rata-rata total skor
EWS post pada kelompok kontrol dengan didapatkan nilai p sebesar 0,331. Nilai p >α (0,05),
sedangkan rata-rata total skor EWS pre dan post pada kelompok intervensi didapatkan nilai p
(p value) sebesar 0,000. Nilai p <α (0,05) maka nilai tersebut dikatakan bermakna. Hasil
analisis menunjukan hubungan yang bermakna antara rata-rata total skor EWS sebelum
intervensi dengan rata-rata total skor EWS sesudah intervensi. Adanya perbedaan yang
bermakna antara rata-rata total skor EWS pre kelompok kontrol – intervensi dengan
didapatkan nilai p (p value) 0,002 sedangkan rata-rata total skor EWS Post kelompok kontrol
– intervensi didapatkan nilai p (p value) 0,000, dengan simpulan bahwa nila p (p value)< α
(0,05).
Hasil dari penelitian ini membuktikan bahwa EWS dapat bermanfaat sebagai media
komunikasi untuk menyampaikan perubahan tanda-tanda vital sebagai simpulan suatu
prognosis pasien yang tejadi dari hasil observasi dengan melibatkan tenaga kesehatan lain
secara komperhensif dan penerapan Early Warning Score System (EWSS) ini bermanfaat
sebagai acuan prosedur / protokol tindakan selama pasien masih dalam pengawasan sampai
dengan pasien selesai dari pengawasan.
Saran

DAFTAR PUSTAKA
Aini. F., Ratna. S., Budi. H., (2007). Pengaruh Breathing Retraining terhadap peningkaan
fungsi ventilasi paru pada asuhan keperawatan pasien PPOK. Jakarta.

Volume 2, Nomor 4, Desember 2019 598


ejournal.ymbz.or.id
Khazanah Open Journal System
Ilmu e-ISSN : 2621-9441
Berazam p-ISSN : 2623-1041

B. Kane, S Decalmer, P Turkington, BR O’Driscoll, (2012). The Proposed National Early


Warning System (NEWS) Could Be Hazardous For Patients Who At Risk Of
Hypercapnic Respiratory Failur. Salford Royal Foundation Trust. Mancester. UK.
http:// www. Elsevier.com
Barnes, (2003), dalam Prabaningtyas dan Oktaria, (2010). Pengaruh Rokok terhadap VEP1
pada pasien PPOK .http:/id.m.wikipedia.org.
Budi. A, Susanthy. D dan Pradjnaparamita, (2011). Diagnosa dan Penatalaksanaan.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) : Jakarta. Juli 2011. http//www. PDPI.
03/17.
D.R Goldhill, A.F McNarry, G. Manfersloot, and A. McGinley, (2005) A Physiologicall
based early warning score for ward patients: the association between score and
outcome. UK. http://gen.lib.rus.ec/scimag /physiologically based early warning
score.ec.
Dahlan M. S. (2013). Statistik untuk kedokteran dan kesehatan: Deskriptif, Bivariat dan
Multivariat, Dilengkapi Aplikasi dengan Menggunakan SPSS. Ed. 5. Salemba Medika;
Jakarta.
Dharma. K. (2011). Metodologi Penelitian Keperawatan: Panduan melaksanakan dan
Menerapkan Hasil Penelitian. Trans Media : Jakarta.
Dr. Bronwyn. A,Ms. Heather. M, and Nicole S. et. al (2011). Training Manual for The
National Early Warning Score and Associated Education Programme. COMPASS.
Australia. http://gen.lib.rus.ec/scimag /NEWS Training Manual for NEWS.ec.
Emily F, Eleanor. C, jeniffefer. H, and Clive Kelly, (2009). Evaluation of modified early
warning system for acute medical admission and comparasion with C-reactive
protein/albumin ratio as a protector of patients outcome. Clinical Medicine. Vol. 9.
Royal Collage of Physicians. http:/www.ncbi.nlm.ni.gov
Eni. M., (2014). Instrimen deteksi dini paparan kronis peptisida dalam pengendalian faktor
resiko PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Koronis), pada petani di Kecamatan Gubuk.
Tanggung Harjo dan Tegowanu Kabupaten Grobogan. Univ Nusantara: Semarang.
Garry B. Smith, david. R. Prytherch, Paul Meredith, Paul E. Schmidt, Peter I. Featherson,
(2013). The ability National Early Warning Score (NEWS) to discriminate patients at
risko early cardiac arrest, unanticipated intensive care unit admission and death.
Center of post graduate Medical Research and education Ireland; Elsevier. http://
www.elsevier.com/locate/resusitation
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease Global Strategy for Diagnosis,
(2015). Management and Prevention of Chronic Obstruktive Lung Disease Update.
http://www. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease/’17.03.
Global Initiative for Chronic Obstruktive Lung Disease (2017). Global Strategi for the
Diagnosis Management and Prevention of Chronic Obstruktive Pulmonary Disease.
http://www. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease./’17.04.
Groarke J. D, J. Gallagher, J. Stack, A. Aftab., C. Dwyer, R. McGovern, G Coutney, (2008).
Use of Admission Early Warning Score to Predict Patient Morbidity and Mortality and
Treatment Success. Departement of Medicine St. Luke Hospital Kilkenny. Ireland;
Elsevier. http://gen.lib.rus. Use of Admission Early Warning Score to Predict Patient
Morbidity and Mortality and Treatment Success.scimag/17.03.

Volume 2, Nomor 4, Desember 2019 599


ejournal.ymbz.or.id
Khazanah Open Journal System
Ilmu e-ISSN : 2621-9441
Berazam p-ISSN : 2623-1041
Guerra S and Martinez F, (2009), Epidemiology of the Origins of Airflow Limitation in
Asthma. UK. http://gen.lib.rus. Epidemiology of the Origins of Airflow Limitation in
Asthma/scimag/17.03.
Guyton. A. C., & Hall. J. E., (2008). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (Edisi II). Penerjemah,
Irawati. D, Dian. R., Fara. I., Fans. D, Iman. N, Srie. S. P. R, Titiek. R &Y. Joko. S.
EGC : Jakarta.
Handayani. D, (2014). Perbandingan Validitas system scoring APACHE II, untuk
memperkirakan mortalitas pasien non bedah yang dirawat diruang perawatan intensif.
Jakarta. http://www . APACHE II/17. 03.
James W. D, Rebecca A. C and Martin D. (2013). Cognitive Dysfunction in Patients
Hospitalized With Acute Exacerbation of COPD: London. http://Journal. Publication.
Chesnet. Org/ by David Kinnison. 2013/07/ 03.17
Jeroen. E. Beth Smith, Josep. C. Chiovaro, Maya O’Neiel, (2012), Early warning System
Scores for clinical deteration in hospitalized patients. England.
http://gen.lib.rus.ec/scimag. England/17. 03.
Joyce M. B and Jane Hokanson Hawks, (2014). Edisi 8. Manajemen klinis hasil yang
diharapkan. Keperawatan Medikal Bedah. Elsevier; Singapura. Alih bahasa: dr. Joko
Mulyanto, M. Sc. Dr. Nurhuda Hendra. S., Kusrini. S. kadar, Sari Kurniasih, dr. Rindra
Martanti, dr, Natalia, dr. Yudi Wibowo.
Kozier. B. Erb. G., Berman. A. & Snyder. S. J, (2010). Buku Ajar Fundamental
Keperawatan; Konsep, Proses & Praktik. Edisi. 7. Vol. 2. Penerjemah: Esty. W., Devi.
Y., Yuyun: Esty. W., Devi. Y., Yuyun., Y & Ana. L. Jakarta: EGC.
Nationl Institute for Health and Clinical Excellence, (2010) National Clinical guideline 01:
Chronic Obstruktive Pulmonary Disease. London, http://www. Clinical Guideline
Chronic Obstruktive Pulmonary Disease . Maret 2017.
Notoatmodjo, S. (2012). Metodologi Penelitian Kesehatan. Rienka Cipta: Jakarta.
Oka. W., Teguh. R., Susanthy. D, Asri. M., (2012). Peningkatan Presentase Makrofag &
Netrofil pada sputum penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronis berhubungan dengan
tingginya skor COPD Assesment Test (CAT). Vakultas UNBRAW: Malang
Paterson. R, MacLeod D.C. Thetford. D, A. Beattie, S. Lam aand D. Bell, (2006) . Prediction
of in-hospital mortality and length of stay using an early warning score system:Clical
audit. Clin Med Htpps://www.ncbi.nlm.nih.gov
Polit, D. F., Beck, C. T, (2006). Nursing Research: Principles and Methods. Philadelphia.
Htpps://www.ncbi.nlm.nih.gov
Putri F. S, (2015). Pengaruh merokok terhadap derajat Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK). Universitas Lampung.
Putri. F. E. S., (2013). Pengaruh Rokok Pada Penyakit Paru Obstriktif Kronik (PPOK).
UNILA. Lampung.
Rekam Medik RSUD dr. Drajat Prawiranegara (2016). Indek Angka Rawat, Meninggal dan
Pulang Paksa pasien PPOK di Instalasi rawat Inap RSUD dr. Drajat Prawiranegara.
Serang - Banten.
Riskesda Kemenkes (2013). Data Prevalensi pasien PPOK tahun 2012-2013.Kemenkes;
Jakarta
Robert.S, Young MDl (2013). Evaluation of modified early warning system for acut medical
admissions and caomparation. Clinical Medicine. Http://www.journal.sagepub.com
Royal Collage of Physicians dalam National Clinical Guideline I, (2013). National Early
Warning Score (NEWS): Systematically Development statement, based on a through

Volume 2, Nomor 4, Desember 2019 600


ejournal.ymbz.or.id
Khazanah Open Journal System
Ilmu e-ISSN : 2621-9441
Berazam p-ISSN : 2623-1041
evaluation of the evidence, to assist practitioner and service userdecision about
appropriate healthicare for specific clinical circumsances across the entire clinical
system. Irland. http://gen.lib.rus.ec/scimag/ National Early Warning Score. / 17.03.
Soemantri.I, (2008). Keperawatan Medikal Bedah: Asuhan keperawatan pada pasien dengan
gangguan sistem pernafasan. Salemba Medika: Jakarta.
St. Andrew. P, Regant’s. P, (2012). Royal Collage of PhysicianNational Early Warning Score
(NEWS): Standardising the assessment of acute illness severity in the NHS. London.
http/www.rcplondon.ac.uk/national early-warning score. RCP ISBN 978-1-860 16-
471-2
Sugiyono, (2013). Statistika untuk penelitian. Alfabeta; Bandung
Sylvia. A.P and Lorraine. M. Wilson, (2006) Vol. 3. Edisi 6. Konsep Klinis Proses-proses
penyakit. Alih bahasa : dr. Brahm U, Pendit, dr. Huriawati Hartanto, dr. Pita
Wulandari, dr. Natalia Susi dan dr. Dewi Asih M. EGC ; Jakarta
Tim Cooksley, (2012). Effectiveness of Modified Early Warning Score in Predicting
outcomes in Oncology Patients. Departement of Critical Care. England; Elsevier
Tim penyusunan Modul Tesis Universitas Muhamadiyah Jakarta (2017). Buku Pedoman
Penulisan Tesis Program Studi Magister Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Muhamadiyah Jakarta. Cempaka Putih . Jakarta.

Volume 2, Nomor 4, Desember 2019 601


ejournal.ymbz.or.id

Anda mungkin juga menyukai