ABSTRAK
Early Warning Score System (EWSS) merupakan suatu alur intervensi yang dijalankan menggunakan
skor total untuk mengawasi prognosis pasien terhadap frekuensi pernapasan, saturasi oksigen, suhu,
tekanan sistolik, frekuensi nadi, dan level kesadaran (AVPU) dengan skoring EWS di setiap jam
pengawasan. Sistem ini bertujuan sebagai peringatan dan bantuan untuk mengidentifikasi pasien
PPOK terhadap perubahan prognosis. PPOK merupakan penyakit yang mempunyai resiko terjadinya
gagal napas tanpa kontrol serta mengalami perburukan bahkan sampai keadaan kematian, Kondisi ini
memerlukan penilaian, pengawasan dan perawatan dengan segera. Tujuan penelitian ini untuk
mengetahui pengaruh penerapan Early Warning Skore System (EWSS) terhadap prognosis pasien
PPOK. Desain penelitian ini menggunakan metode quasy-experimental, dengan pendekatan pre test
and post test non equivalent control group. Sampel yang akan digunakan sebanyak 36 orang, dengan
metode Consecutive Sampling. dilakukan selama 48 jam. Hasil penelitian didapatkan perbedaan
yang bermakna antara rata-rata total skor EWS pre kelompok kontrol & intervensi p = 0.002 dengan
total skor EWS post kelompok kontrol & intervensi p = 0.000. p < α (0.05). Saran: EWSS bisa
diterapkan pada ruangan medikal bedah ataupun ruangan kritis untuk menilai dan mengawasi
prognosis pasien PPOK.
Kata Kunci : Early Warning Skore System (EWSS), EWS, PPOK, Prognosis pasien.
ABSTRACT
Early Warning Score (EWS) is an assessment tool by using scores in order to monitor vital sign of
vital parameters of scoring used, normaly respiratory rate, oxygen saturation, inspired O²,
temperature, systolic blood pressure, pulse rate, and level of consciousness (AVPU). This measure
shows early detection, timely respond and the competence of clinical response, is important to
determine the time to respond and competence of clininal response which is important to determine
the results of clinical outcome and identify those patients who have the condition worsening of
COPD. COPD is a desease has the risk of respiratory failure without control and worsening even
this deadly. Purpose this study was to determine the effect of implementation of the early warning
scores system (EWSS) on early detection of the patients prognosis COPD. Design quasy method used
in the research was experimental, with approach one group pre – post test design with control.
Sample use were 36 people, using consecutive sampling. The result of this study showed that , these
where difference between EWSS pre intervention in group control and intervention (p=0.002), while
post intervention (p=0.000). p<α(0.05). This study recommend that medical surgical ward and ICU
implement EWSS in order to observe patient with COPD.
Keywords : EWSS, PPOK, Vital sign, measuring tools, in patient wards
PENDAHULUAN
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) merupakan salah satu penyakit pernafasan
yang dapat menyebabkan kematian dan ditemukan secara luas dimasyarakat. PPOK adalah
penyakit paru kronis yang disertai gangguan aliran nafas. Ditandai dengan keterbatasan aliran
udara yang terus – menerus yang biasanya progresif dan berhubungan dengan respons
inflamasi kronis pada saluran nafas dan paru-paru terhadap partikel atau gas yang beracun
Volume 2, Nomor 4, Desember 2019 586
ejournal.ymbz.or.id
Khazanah Open Journal System
Ilmu e-ISSN : 2621-9441
Berazam p-ISSN : 2623-1041
(GOLD, 2015). Mereka yang menderita PPOK akan mengalami kekurangan oksigen.
Kekurangan asupan oksigen didalam tubuh juga mempengaruhi kadar oksigen dalam
sirkulasi dan jaringan tubuh, hal ini dapat berakibat pada risiko tinggi terhadap beberapa
kondisi serius yang akan dialami pasien.
World Health Organization, (2012) melaporkan terdapat 600 juta orang menderita
PPOK di dunia dengan 65 juta orang menderita PPOK derajat sedang hingga berat.
Berdasarkan data WHO, (2012). PPOK diperkirakan menjadi penyebab utama ketiga
kematian di seluruh dunia pada tahun 2030. Lebih dari 3 juta orang meninggal karena PPOK,
yang setara dengan 5% dari semua kematian secara global (WHO,2015). Pada tahun 2013, di
Amerika Serikat PPOK adalah penyebab utama kematian ketiga dan lebih dari 11 juta orang
telah didiagnosis dengan PPOK ( American Lung Association, 2015 ). Menurut data
penelitian dari Regional COPD Working Group yang dilakukan di 12 negara di Asia Pasifik
rata-rata prevalensi PPOK sebesar 6,3%, terendah 3,5% di Hongkong dan Singapura,
tertinggi di Vietnam sebanyak 6,7%. Sedangkan di Indonesia menunjukkan prevalensi
sebanyak 5,6% atau 4,8 juta kasus untuk PPOK derajat sedang sampai berat ( Regional
COPD Working Group, 2013 ).
Berdasarkan catatan Riskesda Kemenkes tahun 2013, penderita PPOK lebih tinggi
terjadi pada laki-laki, sedangkan asma lebih tinggi terjadi pada perempuan. Data yang
didapatkan dari hasil wawancara yang tercatat dalam analisis Penyakit Tidak Menular (PMT),
diketahui prevalensi usia penderita PPOK pada umur ≥ 30 tahun berkisar 508.303 jiwa. Di
Provinsi Banten penderita PPOK tercatat 2,7% dari 37% penderita PPOK yang ada di
Indonesia. Hal ini sesuai dengan data yang diperoleh Riskesda yang menyatakan bahwa
kejadian PPOK lebih tinggi terjadi didaerah pedesaan dari pada daerah perkotaan, cenderung
lebih tinggi pada masyarakat dengan pendidikan rendah, dan dari hasil evaluasi yang didapat
PPOK lebih besar angka kejadiannya pada nelayan, petani atau buruh dan pada masyarakat
dengan status pendidikan rendah.
Rumah Sakit Umum Daerah dr. Dradjat Prawiranegara merupakan rumah sakit
rujukan dengan kelas Tipe B di Provinsi Banten. Penyakit PPOK merupakan penyakit yang
angkanya cukup tinggi didaerah Kabupaten Serang. Dari data statistik rekam medis RSUD dr.
Drajat Prawiranegara tahun 2014-2016 didapatkan angka rawat pasien dengan PPOK sebesar
765 kasus, angka kematian pada pasien PPOK sebesar 92 kasus, dan pasien dengan pulang
paksa sebesar 65 kasus. Dari data tersebut diatas penulis menyimpulkan bahwa angka
kejadian PPOK di RSUD dr. Drajat Prawiranegara dapat dikatakan cukup besar, hal tersebut
dapat dijadikan perhatian bagi tenaga kesehatan setempat untuk meningkatkan pelayanan
lebih intensif pada pasien dengan PPOK, terutama pasien yang mengalami perburukan dan
mengancam kematian diruang perawatan bangsal.
PPOK erat sekali hubungannya dengan mereka yang memiliki kebiasaan merokok,
selama ini belum banyak diketahui oleh masyarakat, padahal hampir 80% perokok dipastikan
akan mengalami PPOK. Merokok merupakan faktor resiko utama dalam menyebabkan
perkembangan dan peningkatan PPOK (GOLD, 2015). Akan tetapi faktor resiko lain juga
berperan dalam peningkatan kasus PPOK. Faktor resiko lain diantaranya adalah paparan dari
asap rokok terhadap perokok pasif, paparan polutan lingkungan atau pekerjaan, penyakit
pernafasan ketika kanak-kanak, dan riwayat PPOK di keluarga., (Decramer et al., 2012).
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Prabaningtyas dan Octaria (2010). Mengatakan bahwa
ada hubungan yang signifikan antara derajat merokok dengan kejadian PPOK. Pada
penelitian ini didapatkan hasil dari 70 sampel, dari perokok berat mempunyai resiko terkena
PPOK 3 kali lebih besar dari pada perokok ringan dan sedang (OR = 2,89; p = 0,008). Dari
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di ruang perawatan penyakit dalam Rumah Sakit Umum
Daerah dr. Dradjat Prawiranegara Serang dan RSUD Kota Cilegon, dari bulan Mei 2017
sampai dengan bulan Juli 2017, menggunakan rancangan Quasy-Experimental, dengan
rancangan Pre test and Post Test non equivalent control group. Pada penelitian ini, kelompok
intervensi diberi perlakuan sedangkan kelompok kontrol tidak. Kedua kelompok dilakukan
pengukuran awal (pre-test), setelah pemberian perlakuan diadakan pengukuran kembali (post
test).
Dalam penelitian ini populasi yang jadikan objek penelitian adalah pasien penderita
PPOK yang menjalani perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Dradjat Prawiranegara
Serang dan RSUD Kota Cilegon. Populasi penderita PPOK setiap tahunnya ± 383 pasien di
Rumah Sakit Umum Daerah dr. Dradjat Prawiranegara Serang dan setiap bulannya ± 32
orang. Sampel pada penelitian ini adalah 18 pasien PPOK yang menjalani perawatan ruang
perawatan penyakit dalam Rumah Sakit Umum Daerah dr. Dradjat Prawiranegara Serang dan
18 RSUD Kota Cilegon.
Tabel 5.1 . Distribusi rerata pasien PPOK berdasarkan Karakteristik Umur pada kelompok
intervensi di Ruang Perawatan Medikal RSUD dr. Dradjat Prawiranegara Serang dan
kelompok control di Ruang Perawatan Medikal RSUD Kota Cilegon Serang - Banten Tahun
2017.
Berdasarkan tabel diatas didapatkan rata-rata umur responden pada kelompok intervensi
adalah 43,28 tahun, pada kelompok kontrol adalah 51,67 tahun, dengan standar deviasi pada
kelompok kontrol sebesar 8,609 dan untuk kelompok intervensi sebesar 11,994. Usia termuda
pada kelompok intervensi adalah 24 tahun dan usia tertua adalah 60 tahun. Pada kelompok
kontrol usia termuda adalah 32 tahun dan usia tertua 62 tahun.
.
Tabel 5.2. Distribusi Karakteristik pasien PPOK berdasarkan Jenis Kelamin, dan Riwayat
Perokok pada kelompok intervensi di Ruang Perawatan Medikal RSUD dr. Dradjat
Prawiranegara Serang dan kelompok kontrol di Ruang Perawatan Medikal RSUD Kota
Cilegon Serang - Banten Tahun 2017.
Berdasarkan tabel ini diperoleh data distribusi jenis kelamin responden laki-laki pada
kelompok intervensi sebanyak 14 orang dengan persentase 77,8%, jenis kelamin perempuan
sebanyak 4 orang dengan persentase 22,2% dan pada kelompok kontrol jenis kelamin laki-
laki sebanyak 14 orang dengan persentase 77.8%, jenis kelamin perempuan sebanyak 4 orang
dengan persentase 22.2%. Jumlah keseluruhan untuk distribusi responden laki-laki sebanyak
28 orang dengan presentase 77.7% dan responden perempuan secara keseluruhan sebanyak 8
orang dengan jumlah presentase 22.3%.
Distribusi responden dengan riwayat merokok pada kelompok intervensi pada perokok
sebanyak 15 orang dengan persentase 83.3%, dan tidak perokok pada kelompok ini
sebanayak 3 orang dengan presentase 16.7%. Pada kelompok kontrol responden dengan
perokok sebanyak14 orang dengan presentase 77.8% dan dengan tidak perokok sebanyak 7
orang dengan presentase 22.2%. Nilai keseluruhan responden dengan perokok sebanyak 29
orang (80.6%) dan tidak perokok sebanyak 7 orang (19.4%).
Tabel 5.3. Distribusi rerata skor EWS pre test dan Post Test pada kelompok intervensi di
Ruang Perawatan Medikal RSUD dr. Dradjat Prawiranegara Serang dan di Ruang Perawatan
Medikal RSUD Kota Cilegon. Serang - Banten Tahun 2017. Dari tabel 5.3 menggambarkan
bahwa untuk rerata Pre Test kelompok intervensi adalah 4,17 dan rerata skor EWS post test
kelompok intervensi adalah 2,61 sehingga didapat nilai perbedaan kedua skor tersebut
sebesar 1,56 dan hasil uji paired t-test didapat nilai p= 0,000. Nilai p tersebut lebih kecil dari
nilai α (0,05), maka dapat disimpulkan adanya pengaruh yang bermakna (penurunan rerata
skor EWS). Pengaruh tersebut diperkuat oleh perbedaan nilai rerata skor EWS pre test
(sebelum intervensi) dengan rerata skor EWS post test (sesudah intervensi) sebesar 1,56.
Volume 2, Nomor 4, Desember 2019 591
ejournal.ymbz.or.id
Khazanah Open Journal System
Ilmu e-ISSN : 2621-9441
Berazam p-ISSN : 2623-1041
Sedangkan pada kelompok kontrol didapatkan nilai rerata skor EWS pre test sebesar 5,83 dan
rerata skor EWS post test sebesar 5,67 sehingga didapat nilai perbedaan kedua skor tersebut
sebesar 0,16, dan hasil uji paired t-test didapat nilai p = 0,331 dimana nilai tersebut lebih
besar dari nilai α (0,05), maka dapat diartikan tidak ada pengaruh yang bermakna (penurunan
rerata skor EWS) tanpa dilakukan intervensi. Tidak adanya pengaruh tersebut diperkuat oleh
perbedaan nilai rerata skor EWS pre test dengan rerata skor EWS post test pada kelompok
kontrol sebesar 0,16.
Tabel. 5.4. Distribusi rerata total skor EWS pre test dan post test pada kelompok
intervensi Serang dan kelompok kontrol di Ruang Perawatan Medikal RSUD dr. Dradjat
Prawiranegara Serang dan di Ruang Perawatan Medikal RSUD Kota Cilegon. Serang -
Banten Tahun 2017.
Pada tabel diatas, distribusi rerata total skor EWS pre test responden pada kelompok
intervensi didapat nilai mean sebesar 4,17 dengan standar deviasi 1,295 dan rerata total skor
EWS post test didapat nilai sebesar 2,61 dengan standar deviasi 1,420. Pada kelompok
kontrol didapat rerata total skor EWS pre test sebesar 5.83 dengan standar deviasi 1,150 dan
rerata total skor EWS post test didapat sebesar 5,67 dengan standar deviasi 0,840.
Tabel 5.5. Hasil Analisis Skor EWS untuk Pengukuran Pre pada Kelompok Intervensi
dan kontrol serta pengukuran Post pada kelompok intervensi dan kontrol di Ruang Perawatan
Medikal RSUD dr. Dradjat Prawiranegara Serang dan di Ruang Perawatan Medikal RSUD
Kota Cilegon. Serang - Banten Tahun 2017.
Dari tabel 5.5. Terlihat bahwa hasil uji independent t-test untuk total skor EWS pre test
kontrol – intervensi didapat nilai p (p value) 0,002 dan untuk total skor EWS post test kontrol
– intervensi didapat nilai p (p value) 0,000. Total skor EWS pre test dan post test pada kedua
Volume 2, Nomor 4, Desember 2019 592
ejournal.ymbz.or.id
Khazanah Open Journal System
Ilmu e-ISSN : 2621-9441
Berazam p-ISSN : 2623-1041
kelompok memiliki nilai p (p value) < α (0,05), maka hipotesis nol ditolak. Dapat diartikan
bahwa terdapat perbedaan secara bermakna total skor EWS antara kelompok intervensi
dengan kelompok kontrol. Kelompok intervensi mengalami perbedaan penurunan total skor
EWS (peningkatan status kesehatan pasien PPOK) secara signifikan bila dibandingkan
dengan total skor EWS pada kelompok kontrol. Perbedaan kekuatan pada table ini terlihat
dari nilai t sebesar 3.266 pada total skor pre kelompok kontrol - intervensi dan pada total skor
EWS post kontrol – Intervensi sebesar 7.857.
PEMBAHASAN
Karakeristik pasien PPOK
Umur
Umur merupakan faktor resiko terjadinya gangguan fungsi paru, semakin
bertambahnya umur maka kemampuan organ akan mengalami penurunan secara alamiah,
tidak tekecuali fungsi paru dalam hal ini kapasitas paru (Guyton & Hall, 2008). Hasil
penelitian ini menunjukan bahwa rentang umur pasien PPOK pada kelompok intervensi
berada pada rentang 24 sampai dengan 60 tahun dengan rata-rata 43,28 tahun. Pada
kelompok kontrol, umur pasien PPOK berada pada rentang 32 sampai 62 tahun dengan rata-
rata 51,67 tahun. Dari hasil penelitian ini, nilai rata-rata total skor EWS pada kelompok
intervensi didapati nilai pre test sebesar 4,17 dan post test 2,61, dan nilai rata-rata total skor
EWS dari kelompok kontrol didapati nilai pre test 5,83 dan post test 5,67.
Jika nilai rata-rata total skor EWS dihubungkan dengan umur pasien PPOK pada
kelompok intervensi berdasarkan data hasil penelitian diatas terdapat adanya pengaruh umur
terhadap total skor EWS. Hal ini dapat dilihat dari pasien PPOK kelompok intervensi
memiliki umur lebih rendah dari kelompok kontrol, begitu pula dengan rata-rata total skor
EWS pre test dan post test. Pada kelompok intervensi didapatkan umur maksimal 60 tahun
dan kelompok kontrol umur maksimal 62. Dihubungkan dengan total skor EWS yang
didapat, pasien PPOK umur 60 tahun setelah diintervensi terlihat penurunan nilai rata-rata
total skor EWS sebesar 1,56. Sedangkan pada pasien PPOK yang tidak diintervensi dengan
umur maksimal 62 tahun terlihat penurunan nilai rata-rata total skor EWS sebesar 0,16. Hal
ini menunjukan bahwa semakin tinggi umur pasien PPOK maka tingkat penurunan total skor
EWSnya terlihat sedikit.
Berdasarkan teori, umur dapat mempengaruhi kekenyalan pada paru sebagaimana
jaringan lain dalam tubuh. Semakin bertambahnya umur, dinding dada dan jalan napas
menjadi lebih kaku dan kurang elastis, jumlah pertukaran udara juga menurun (Kozier,
Barbara, dkk. 2010). Kemampuan elastisitas paru yang berkurang akan menyebabkan
menurunnya kemampuan untuk mengikat oksigen.
Dalam penelitian Nugraha. I, (2010) yang menyatakan bahwa presentase pasien
PPOK dalam penelitianya mengenai hubungan derajat merokok berdasarkan indeks
Brinkman dengan derajat berat merokok diperoleh hasil dari laki-laki sepenuhnya pada usia
rata-rata 50-59 tahun. Penelitian lain oleh Susanti, (2013). Fakultas Universitas Lampung
yang menyatakan bahwa penderita PPOK dengan hipersekresi mukus didapati sebanyak
15-53% pada pria paruh umur dengan prevalensi yang lebih rendah pada wanita sebanyak 8-
22%. Seiring dengan bertambahnya waktu fungsi parupun menurun diperjelas dari hasil
penelitian (Barnes, 2003 dalam Octaria. P, 2010) yang mengatakan gejala PPOK muncul
pada usia 40 tahunan dan semakin lama akan bertambah buruk terutama pada musin dingin.
PDPI, 2011 PPOK seringkali timbul pada usia pertengahan 15 - 60 tahun akibat merokok
dalam jangka waktu lama. Catatan GOLD, (2011) mengemukakan bahwa PPOK lebih tinggi
Volume 2, Nomor 4, Desember 2019 593
ejournal.ymbz.or.id
Khazanah Open Journal System
Ilmu e-ISSN : 2621-9441
Berazam p-ISSN : 2623-1041
terjadi pada perokok dan bekas perokok dibanding bukan perokok usia lebih dari 40 tahun
dibanding pada usia di bawah 40 tahun dan prevalensi laki–laki lebih tinggi dibanding
perempuan.
Dari hal tersebut diatas disimpulkan bahwa umur berhubungan erat dengan proses
penuaan, bahwa semakinbertambahnya umur seseorang maka dapat mengakibatkan
penurunan pada elastisitas paru sehingga akan mempengaruhi proses pernafasan. Semakin
bertambahnya umur pula akan mengakibatkan rentannya seseorang terhadap penyakit
khususnya gangguan pada saluran pernafasan, faktor lain yang akan berperan serta dalam
penentuan nilai kapasitas tersebut adalah aktivitas dari refleks saluran pernafasan yang
berkurang pada bertambahnya umur yang dapat juga mengakibatkan berkurangnya daya
bersihan pada jalan nafas, sehingga resiko terhadap obstruksi dan infeksi.
Jenis kelamin
Jenis kelamin berhubungan erat dengan frekuensi merokok pada pasien PPOK yang
sebagian besar di konsumsi oleh laki-laki. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jenis
kelamin pasien PPOK untuk kelompok intervensi sebagian besar adalah laki-laki 77,8%,
begitu pula dengan kelompok kontrol. Sedangkan pasien PPOK perempuan baik pada
kelompok intervensi maupun kontrol diperoleh hasil 22,2%. Bila dihubungkan secara
langsung jenis kelamin dengan nilai rata-rata total skor EWS tidak terlihat adanya pengaruh.
Tetapi pasien PPOK laki-laki dengan riwayat perokok akan mempengaruhi nilai rata-rata
total skor EWSnya.
Hasil penelitian Nugraha. I, (2010) menjelaskan mengenai hubungan derajat merokok
dengan kejadian PPOK. Berdasarkan penelitiannya, menunjukan bahwa pasien PPOK dengan
jenis kelamin laki-laki 40 orang (100%). Penelitian lain Aini, F, (2007) tentang pengaruh
breathing retraining terhadap peningkatan fungsi ventilasi paru pada asuhan keperawatan
pasien PPOK mengatakan bahwa penderita PPOK paling tinggi ditunjukan pada jenis
kelamin laki-laki 62% dan perempuan 38%
.Hal ini dapat mejelaskan dan membuktikan bahwa penderita PPOK lebih dominan pada jenis
kelamin laki-laki.
Hiperseksreksi mukus merupakan suatu gejala yang sering muncul pada pasien PPOK
dan batuk kronis merupakan mekanisme pertahanan terhadap hipersekresi mukus. Gambaran
ini muncul karena adanya pembesaran pada kelenjar dibronkus terutama pada perokok.
Berdasarkan hubungan jenis kelamin dengan frekuensi penyakit, jenis kelamin laki-laki lebih
berpotensi beresiko mengalami berbagai macam penyakit berat seperti jantung, paru dan
stress. Hal ini dapat dihubungkan dengan fungsinya sebagai orang nomor satu dikeluarga.
Sebagai pemimpin didalam keluarga laki-laki mempunyai tanggung jawab didalam beban
pekerjaan, dimana salah satu cara untuk mengurangi tingkat stress dalam pekerjaannya kaum
laki-laki memiliki gaya hidup yang dipilihnya dengan “merokok”, gaya hidup inilah yang
dengan dan tanpa disadari dapat merusak kesehatan terutama sistem pernafasan.
Riwayat Merokok
Riwayat merokok (perokok aktif, perokok pasif dan bekas perokok) berkaitan erat
dengan PPOK. Perokok menanggung resiko yang lebih besar terhadap penurunan fungsi
paru. Sehingga berhenti merokok dapat mencegah progresifitas perburukan fungsi paru
(Amin,2004 dalam Nugraha. 2010). Perokok aktif memiliki prevalensi lebih tinggi
mengalami gejala respiratorik, abnormalitas fungsi paru, dan mortalitas yang lebih tinggi
daripada orang yang tidak merokok. Resiko untuk penderita PPOK bergantung pada berapa
Analisis Komparatif Total Skor EWS pasien PPOK antara Kelompok Intervensi
dengan Kelompok Kontrol
Analisis bivariat (perbandingan) antara rerata total skor EWS pasien PPOK kelompok
intervensi dengan rerata total skor EWS pasien PPOK kelompok kontrol dilakukan dengan
menggunakan uji independent t-test. Sebelum dilakukan uji independent t-test terlebih dahulu
dilakukan uji homogenitas data total skor EWS pre test dan post test dari dua kelompok
KESIMPULAN
Rata–rata umur responden pada kelompok intervensi adalah 43,28 tahun, pada
kelompok kontrol adalah 51,67 tahun. Sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki 28
orang (77,7%). Sebagian besar responden dengan riwayat perokok sebanyak 29 orang
(80,6%) dan tidak perokok sebanyak 7 orang (19,4%). Distribusi untuk mean total skor EWS
pre test responden pada kelompok intervensi didapat nilai mean sebesar 4,17 dan mean total
skor EWS post test didapat nilai sebesar 2,61.
Tidak ada hubungan antara rata-rata total skor EWS pre dengan rata-rata total skor
EWS post pada kelompok kontrol dengan didapatkan nilai p sebesar 0,331. Nilai p >α (0,05),
sedangkan rata-rata total skor EWS pre dan post pada kelompok intervensi didapatkan nilai p
(p value) sebesar 0,000. Nilai p <α (0,05) maka nilai tersebut dikatakan bermakna. Hasil
analisis menunjukan hubungan yang bermakna antara rata-rata total skor EWS sebelum
intervensi dengan rata-rata total skor EWS sesudah intervensi. Adanya perbedaan yang
bermakna antara rata-rata total skor EWS pre kelompok kontrol – intervensi dengan
didapatkan nilai p (p value) 0,002 sedangkan rata-rata total skor EWS Post kelompok kontrol
– intervensi didapatkan nilai p (p value) 0,000, dengan simpulan bahwa nila p (p value)< α
(0,05).
Hasil dari penelitian ini membuktikan bahwa EWS dapat bermanfaat sebagai media
komunikasi untuk menyampaikan perubahan tanda-tanda vital sebagai simpulan suatu
prognosis pasien yang tejadi dari hasil observasi dengan melibatkan tenaga kesehatan lain
secara komperhensif dan penerapan Early Warning Score System (EWSS) ini bermanfaat
sebagai acuan prosedur / protokol tindakan selama pasien masih dalam pengawasan sampai
dengan pasien selesai dari pengawasan.
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Aini. F., Ratna. S., Budi. H., (2007). Pengaruh Breathing Retraining terhadap peningkaan
fungsi ventilasi paru pada asuhan keperawatan pasien PPOK. Jakarta.