Anda di halaman 1dari 7

Analisis Faktor-Faktor Keterlambatan Tindakan Primary Percutaneous

Coronary Intervention Pada Pasien Sindrome Koroner Akut Di Era Pand


emi COVID 19

The Seven Research Gaps :


1. Evidence Gaps :
1.1 Era Sebelum COVID 19 :

1.1.2 Faktor Pra Rumah Sakit


Faktor utama penyebab keterlambatan pra-rumah sakit adalah keterlam

batan dalam keputusan pasien untuk mencari perawatan, di mana pasien ragu-

ragu untuk mencari bantuan medis segera (McKinley et al., 2009). Waktu tun

da rata-rata adalah 2,2 jam di AS (McKinley et al., 2009) dan China (Peng et a

l., 2014), dan 4,1 jam di Yordania (Eshah, 2013) dan Irlandia (Mooney et al.,

2014). Selanjutnya, persentase pasien SKA yang datang terlambat adalah 65%

di Iran (Taghaddosi et al., 2010), dan 72% di Yordania (Eshah, 2013). Banya

k faktor yang ditemukan mempengaruhi keputusan pasien untuk mencari pera

watan termasuk kurangnya pengetahuan pasien tentang SKA dan kurangnya ri

siko yang dirasakan dari SKA.

Pemeriksaan elektrokardiogram (EKG) pra-rumah sakit secara konsist

en dikaitkan dengan pengurangan keterlambatan IKP primer pada pasien SKA

mulai dari 15 hingga 50 menit (Squire, Tamayo-Sarver, Rashi, Koenig, & Nie
mann, 2014). The American Heart Association Pedoman Perawatan Kardiovas

kular Darurat merekomendasikan pemeriksaan EKG pra-rumah sakit. Banyak

sistem layanan medis darurat memerlukan hasil pemeriksaan EKG untuk inter

pretasi dokter sebelum diputuskan dilakukan IKP primer.

1.1.3 Faktor Intra Rumah Sakit

Pasien yang datang ke IGD di luar jam kerja secara konsisten melapor

kan keterlambatan terapi IKP primer (Sim, et al., 2017). Pada penelitian Sim,

et al. (2017), selama jam kerja normal, semua pasien SKA dapat menjalani IK

P primer tepat waktu, namun sebaliknya pada luar jam kerja. Memiliki tim IK

P on call dan memiliki kardiologi yang hadir di tempat 24 jam setiap harinya

akan mengurangi keterlambatan selama di luar jam kerja. Namun, ini akan me

njadi beban kerja yang sangat besar di rumah sakit.

Klasifikasi triase secara signifikan terkait dengan keterlambatan ter

api IKP primer.Pada tahun 2011, Atzema, Schull, Austin, dan Tu m

enemukan bahwa 26% pasien IMA-EST ditempatkan dalam kelom

pok triase prioritas rendah, yang dikaitkan dengan rawat inap yan

g berkepanjangan dan peningkatan mortalitas. Hal ini terjadi karena

pasien datang dengan presentasi klinis atipikal atau tidak adanya nyeri dad

a (Sim, et al., 2017). Selain triase, mengidentifikasi EKG sangat pent

ing untuk segera dilakukan. American College of Cardiology / Ameri

can Heart Association menyatakan bahwa EKG harus diperoleh


dalam waktu 10 menit setelah kedatangan di rumah sakit pada pasien de

ngan gejala IMA-EST (Antman, Anbe, & Armstrong, 2013).

1.2 Era Pandemi COVID 19

Terjadi penurunan penerimaan pasien Sindrome Koroner Akut di Rumah Sakit di

Perancis pada saat dimulai nya Pandemi COVID dan pemerintah Perancis

melakukan Lockdown.

Di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, pada saat dimulai Pandemi di bulan

Maret 2020, terjadi penurunan Bed Occupacy Rate sampai 20-30%, sedangkan

kedatangan pasien SKA juga mengalami penurunan. Faktor - faktor yang

mempengaruhi pengurangan pasien SKA mendapatkan tindakan Primary PCI

diantaranya, ketakutan dan kecemasan pasien tertular COVID, terlambatnya


pemeriksaan prosedur Swab PCR atau TCM di IGD pada pasien SKA, terdapat

pasien SKA terconfirm COVID, yang dimana ruangan Angiografi bukan ruangan

infeksi, sehingga pasien di kirim ke ruangan infeksi dan pasien tidak mendapat

tindakan reperfusi koroner, selain faktor yang memperlambat adalah para petugas

angiografi yang terconfir COVID 19, sehingga pasien negatif covid tidak

mendapatkan tindakan reperfusi.

2. Knowledge Gap

Sebelum Pandemi COVID :

Pengetahuan pasien tentang gejala serangan jantung masih

rendah, sehingga meyebabkan lambat meminta pertolongan,

Selama Pandemi COVID :

Ada kecemasan dan ketakutan tertular COVID, serta keterlambatan

penanganan yang diberikan oleh rumah sakit.prosedur pemeriksaan swab

PCR/TCM di Triage IGD, pasien terkonfirmasi COVID sedangkan

ruangan angiografi bukan ruangan infeksi, keterbatasan tenaga medis

karena terkonfirmasi COVID (Marie, et.al, 2020)

3. Practical-Knowledge Gap
Prosedur pemeriksaan swab PCR/TCM di Triage IGD, pasien

terkonfirmasi COVID sedangkan ruangan angiografi bukan ruangan

infeksi, keterbatasan tenaga medis karena terkonfirmasi COVID

(Phenomena di RSHS).

4. Methodology Gap

Penelitian sebelumnya menggunakan metode Scooping Review dimana

penelitian tersebut, memberikan penilaian tentang ukuran potensial

terhadap ruang linkup literature yang bertujuan untuk mengidentifikasi

sifat dan bukti-bukti penelitian sedangkan yang akan digunakan pada

penelitian selanjutnya akan menggunakan systematic review.

5. Empirical Gap

Hasil penelitian sebelumnya didapat sebelum masa pandemi, sedangkan

penelitian sekarang dilakukan pada saat pandemi sehingga faktor-faktor

keterlambatan tersebut akan berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya.

6. Theoritical Gap

Penelitian sebelumnya hanya membahas teori SKA, PCI, Faktor

keterlambatan pada pasien SKA, penelitian yang akan dilakukan

menambahkan teori COVID 19.


7. Population Gap

Populasi pada penelitian sebelumnya, megambil sample penelitain dari

negara AS, Iran, dsb sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan diambil

pada saat pandemi COVID 19 yang situasi serta kondisi yang berbeda dari

sebelumnya.

Anda mungkin juga menyukai