Anda di halaman 1dari 20

Evaluasi Implementasi Clinical Pathway Apendisitis Akut

Terhadap Tagihan Pasien Di Rumah Sakit “X”


Khoirun Nimah1), Atik Nurwahyuni2)
1) Master Student of Health Policy and Administration Department, Faculty of Public Health, University of
Indonesia, Depok, Jawa Barat, 16425, Indonesia
Email: nikmah.apt@gmail.com
2) Health Policy and Administration Department, Faculty of Public Health, University of Indonesia, Depok,
Jawa Barat, 16425, Indonesia
Email: atik.nurwahyuni@ui.ac.id, atikn.akk@gmail.com

Abstrak
Latar Belakang: Sebagai salah satu rumah sakit swasta di Jakarta, Appendisitis akut
merupakan kasus bedah terbesar ke-3 di RS “X”. Pada tahun 2012, CP merupakan salah satu
persyaratan yang harus dipenuhi dalam standar akreditasi rumah sakit. Berdasarkan hasil
wawancara singkat dengan Komite Medik (2017), telah dilakukan evaluasi implementasi CP
Apendistis akut dari sisi kendali mutu. Sedangkan sebagai kendali biaya, belum pernah
dilakukan. Metode: Penelitian ini menggunakan metode Mix Methods. Sampel kuantitatif
adalah rekam medis Appendisitis akut secara total sampling (Juli 2016 – Juni 2017, n=35).
Informan penelitian adalah orang-orang yang terlibat implementasi CP Appendisitis akut
dengan teknik purposive sampling. Kesimpulan: Dalam penelitian ini terdapat perbedaan
antara tagihan pasien yang sesuai CP dan tidak sesuai CP, selisih antara tagihan total sesuai
clinical pathway dan rata-rata tagihan total pasien paling besar ditemukan pada pasien kelas II
sebesar 176%, sedangkan pada kelas III sebesar 65% dan kelas I sebesar 83%. Besarnya
selisih pada variabel outcome disebabkan oleh kepatuhan clinical pathway (Variabel Output)
sebesar: 37% pasien untuk lama hari rawat, 94% pasien untuk tatalaksana medis, 29% pasien
untuk medikasi dan pemeriksaan penunjang, 36% untuk konsultasi anastesi. Kepatuhan
clinical pathway 100% hanya pada pemantauan medis dan nutrisi.
Kata kunci: appendisitis akut;tagihan pasien;implementasi CP; clinical pathway; pathway akut

The Evaluation of Implementation of Acute Appendicitis Clinical Pathway


on Patient Bill

Abstract
Background: Acute Appendicitis is the 3rd largest surgical case in RS "X". In 2012, Clinical
Pathway is one of the requirements that must be met in the hospital's accreditation standards.
An evaluation of the implementation of Acute Appendicitis pathway has been conducted in
terms of quality control. As for cost control, it has never been done. Methods: This research
use Mix Methods. The quantitative sample is the medical record of Acute Appendicitis in total
sampling (July 2016 - June 2017, n = 35). Indepth interviews done to staffs who is involved in
the implementation of clinical pathway of acute appendicitis with purposive sampling
technique. Conclusion: There is difference of patients bill between comply with and not
comply with clinical pathway. The difference between total bill according to the clinical
pathway and the average total patient billing rate in class II patients was 176%, while in class
III was 65% and class I was 83%. The magnitude of the outcome variables was attributed to
clinical pathway compliance (37% of patients for length of stay, 94% of patients for medical
management, 29% for medication and investigation, 36% for anesthesia consultation). 100%
clinical pathway compliance was found in medical monitoring and nutrition.
Keyword: acute appendicitis; patient bill; pathway implementation; clinical pathway; acute
pathway.
Pendahuluan
Apendisitis akut adalah salah satu penyakit yang sering ditemukan pada kasus emergency,
dengan sekitar 250.000 kasus di Amerika dan 40.000 di Inggris setiap tahunnya (Deng et al.,
2010; Simpson et al., 2008). Apendisitis akut merupakan salah satu penyakit yang memiliki
angka prevalensi cukup tinggi. Pada abad ke-20 angka prevalensi Apendisitis di negara barat
cukup stabil. Pada tahun 2015, di Amerika Utara angka insiden mencapai 100 tiap 100.000
orang/tahun dengan diagnosis Apendisitis 400.000. Sebaliknya, di negara-negara industri baru
seperti Asia, Timur Tengah, Amerika Selatan dan Africa, angka kejadian Apendisitis
meningkat. Sejak tahun 2000, angka insiden di negara-negara Asia, Amerika Selatan, Timur
Tengah lebih tinggi dibandingkan dengan negara barat (Ferris et.al., 2017)
Kejadian Apendisitis akut di negara berkembang tercatat lebih rendah dibandingkan dengan
negara maju. Di Asia Tenggara, Indonesia menempati urutan pertama sebagai angka kejadian
Apendisitis akut tertinggi dengan prevalensi 0.05%, diikuti oleh Filipina sebesar 0.022% dan
Vietnam sebesar 0.02%. Dari hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2014 di
Indonesia, Apendisitis menempati urutan tertinggi di antara kasus kegawatdaruratan abdomen
(Departemen Kesehatan, 2015).
Apendisitis akut merupakan kasus bedah terbesar ke-3 di RS “X”. Walaupun sebagai salah
satu penyakit yang sering terjadi, penegakan diagnosis Apendisitis akut cukup sulit.
Keterlambatan dalam diagnosis dan waktu operasi dapat mengakibatkan komplikasi yang lebih
parah pada pasien Apendisitis akut, yang mengakibatkan memperpanjang lama hari rawat di
rumah sakit dan meningkatkan tagihan atau biaya yang dibebankan kepada pasien.
Clinial pathway (CP) pada awalnya ditujukan untuk mempersingkat lama hari rawat di
rumah sakit dan menurunkan biaya pelayanan kesehatan. Di Jepang, CP juga digunakan untuk
melakukan standarisasi pelayanan medis dan meningkatkan kepuasan pasien (Kenji et.al.,
2003). Dalam kasus Apendisitis akut, CP dinilai penting karena Apendisitis mempunyai gejala
klinis yang cukup bervariasi sehingga penegakan diagnosis cukup sulit. Penegakan diagnosis
Apendisitis akut terkadang sulit untuk dilakukan, meskipun oleh dokter yang berpengalaman
(Guo C, 2016).
Di Indonesia, CP dianggap sebagai dokumen dan alat yang penting dalam mewujudkan
Good Clinical Governance di rumah sakit (Djasri, 2006). Di sisi lain, seiring dengan
meningkatnya biaya kesehatan, CP dapat dipertimbangkan sebagai salah satu kendali biaya di
rumah sakit (Drummond, 2016). CP dinilai memegang peranan penting untuk mampu
meningkatkan kualitas pelayanan dan menurunkan biaya operasional, oleh karena itu
pengembangan CP penting untuk selalu dilakukan (Timothy A. Pritts, et al., 1999) (Guo C,
2016).
Pada tahun 2012, CP merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi dalam standar
akreditasi rumah sakit. RS “X” telah menerapkan lima CP sejak akhir tahun 2015, yaitu:
Demam tifoid anak, TB Haemoptu, Apendisitis akut, Stroke non hemoragik, Eklamsi. Selama
masa implementasi CP Apendisitis Akut telah dilakukan evaluasi sebanyak satu kali (dari sisi
kendali mutu). Sedangkan sebagai kendali biaya, belum pernah dilakukan (Komite Medik RS
“X”, 2017).
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Long et. al pada tahun 2001, diperoleh biaya
per pasien untuk tindakan operasi Apendisitis di Amerika, berkisar antara $ 11,577 to $ 13,965
(Long et al., 2001). Sebagai salah satu kasus bedah yang sudah mempunyai CP, apendisitis akut
termasuk salah satu kasus di RS “X” yang membutuhkan biaya penanganan cukup besar. Tarif
penanganan pasien appendisitis untuk tindakan operasi, berkisar antara Rp 8.000.000,- sampai
dengan Rp 15.000.000,-. Berdasarkan penelitian Flum (2002), penanganan kasus apendisitis
dengan penegakan diagnosis yang tepat dapat menurunkan biaya perawatan cukup signifikan.
Berdasarkan hal di atas, dalam penelitian ini penulis ingin mengevaluasi implementasi CP pada
kasus Apendisitis akut, dengan mengetahui gambaran variasi output (kepatuhan implementasi
CP) dan outcome (tagihan pasien) serta input dan proses penyusunan CP Apendisitis akut.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi (memberikan gambaran) implementasi
clinical pathway Apendisitis akut yang dirawat di RS “X” dan dampaknya terhadap tagihan
pasien.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan mix method dengan sampel kuantitatif adalah rekam medis
Apendisitis akut secara total sampling (Juli 2016 – Juni 2017, n=35). Sampel kualitatif adalah
orang-orang yang terlibat implementasi CP Apendisitis akut dengan teknik purposive sampling.
Kerangka konsep penelitian ini menggunakan teori pengembangan CP (Davis, 2005) dan teori
sistem yang terdiri dari input, proses, output dan outcome.
Hasil Penelitian
Variabel input
Berdasarkan telaah dokumen dan hasil wawancara, sebagian besar informan
mengungkapkan bahwa SDM di RS ‘X” sudah cukup dan siap untuk melaksanakan CP
Apendisitis Akut. Salah satu informan mengungkapkan bahwa tenaga perawat masih kurang,
namun bukan menjadi kendala selama pelaksanan CP Apendisitis Akut.
Berdasarkan hasil wawancara, semua informan mengungkapkan bahwa tidak ada dana atau
biaya yang dianggarkan secara khusus untuk penyusunan, implementasi dan evaluasi CP. Tim
CP sebelumnya mendapatkan pelatihan dari KARS, namun ditujukan untuk persiapan
akreditasi RS.
Berdasarkan hasil telaah dokumen yang dilakukan, diperoleh informasi mengenai dokumen
yang mendukung pelaksanaan CP, antara lain: Panduan Praktek Klinik (PPK) Apendisitis Akut
yang dibuat oleh RS “X”, Formularium Obat yang berisi tentang ketersediaan obat di RS “X”
tahun 2016, Standar Prosedur Operasional Layanan Keperawatan. Berdasarkan hasil
wawancara, pelaksanaan CP ini sudah sesuai dengan kebijakan RS yang ada. Namun demikian
kebijakan RS terkait tim CP tidak dalam bentuk SK, melainkan surat dari direktur yang
ditujukan kepada semua bagian yang terkait CP.
Berdasarkan hasil wawancara, didapatkan informasi bahwa tidak ada kendala dalam hal
ketersediaan atau stok obat dan alat kesehatan. Hal ini disebabkan CP Apendisitis Akut dibuat
memang berdasarkan kemampuan dan kebijakan di RS saat ini. Pada pasien BPJS pemberian
obat-obatan disesuaikan dengan daftar formularium nasional. Sedangkan pada pasien asuransi
swasta non bpjs, diberikan obat di luar formularium nasional, namun tetap disesuaikan dengan
plafon yang disepakati bersama pihak asuransi dan rumah sakit.
Jumlah pasien Apendisitis akut sebanyak 35, menempati kelas III yaitu sebanyak 11 pasien
(31%), lalu kelas IIA sebanyak 10 pasien (28%), kelas VIP sebanyak 6 pasien (17%), kelas IIB
sebanyak 3 pasien (9%), kelas I dan IA masing-masing sebanyak 2 pasien (6%), kelas VVIP
sebanyak 1 pasien (3%). Menurut semua informan, jumlah bed dan kamar operasi sudah
mencukupi untuk penanganan kasus Apendisitis akut. Formulir CP tidak pernah mengalami
kekosongan di ruang rawat.

Variabel Proses:
Proses penyusunan CP terdiri dari: identifikasi stakeholder dan pimpinan, identifikasi
pimpinan dan tim CP, memutuskan CP yang akan dikembangkan, proses pemetaan (alur)
pasien, audit awal dan pengumpulan data, pengembangan CP, tahap uji coba dan implementasi,
evaluasi secara berkala.
Menurut informasi yang didapatkan dari informan, sebagian informan menyatakan tidak
tau terkait proses identifikasi stakeholder dan pimpinan. Sedangkan salah satu informan
mengungkapkan bahwa proses ini dilakukan bersamaan dengan adanya penelitian PKMK
UGM. Sebagian informan mengungkapkan tidak mengetahui proses identifikasi ketua dan tim
CP. Menurut salah satu informan, identifikasi pimpinan dan tim yang bertanggungjawab
dilakukan oleh direktur rumah sakit. Keputusan ini tidak dinyatakan dalam bentuk SK Direktur
namun secara lisan.
Semua informan mengungkapkan bahwa penentuan CP yang akan dikembangkan sudah
sesuai dengan data yang ada, yaitu high volume, high cost, high risk. Sesuai dengan penelusuran
data dari rekam medis, Apendisitis termasuk dalam 5 kasus bedah terbesar. Sebagian informan
mengungkapkan bahwa proses pemetaan atau alur pasien tidak ada masalah dan sudah
dipertimbangkan dalam pembentukan CP, sebagian lain mengungkapkan tidak mengetahui
terkait hal ini.
CP merupakan salah satu tools bagi rumah sakit yang dibuat berbasis bukti (evidence-
based). Sebelum memutuskan clinical pathway yang akan dibuat, tim CP melakukan audit awal
dan pengumpulan data. Sebagian besar informan mengungkapkan bahwa pengambilan data
adalah kasus terbanyak. Sebagian informan menyatakan tidak mengetahui.
Menurut hasil wawancara, proses pengembangan CP sudah melibatkan tim medis,
perawat, farmasi dan tim penunjang. Semua informan menyatakan bahwa penyusunan CP
sudah melibatkan semua pihak yang seharusnya terlibat. Proses penyusnan CP dimulai oleh tim
CP (komite medik) menyusun draft, kemudian diajukan ke KSM Bedah. Setelah itu diadakan
rapat bagian lain yang terdiri dari perawat, farmasi, penunjang untuk menilai apakah CP sudah
sesuai dengan panduan masing-masing bagian. Setelah semuanya dinyatakan sesuai, kemudian
dilakukan launching.
Pada tahap uji coba dan implementasi, semua informan mengungkapkan bahwa sudah
menerima sosialisasi CP. Salah satu cara yang digunakan oleh pihak rumah sakit untuk
sosialisasi implementasi CP adalah pihak tim CP melakukan sosialisasi dalam bentuk rapat
dengan para staf se-tingkat manajer dan kemudian para manajer yang akan meneruskan ke staf
masing-masing. Hambatan yang dirasakan saat itu adalah sulitnya tim medis untuk dapat hadir
secara bersama-sama. Sehingga untuk tim medis yang tidak dapat hadir pada pertemuan
tersebut, tim CP akan menyampaikan informasinya secara personal.
Berdasarkan hasil wawancara, diperoleh informasi bahwa clinical pathway Apendisitis
akut sudah pernah dilakukan evaluasi sebanyak satu kali. Menurut salah satu informan hal ini
dirasa kurang, seharusnya dilakukan minimal setahun dua kali. Namun hal ini bisa dipahami
karena kurangnya staf untuk melakukan evaluasi implementasi CP, dimana hanya dilakukan
oleh 2 orang anggota tim komite medik. Evaluasi yang dilakukan lebih pada evaluasi mutu,
belum sampai ke evaluasi biaya. Hasil evaluasi disampaikan dalam sebuah pertemuan yang
dihadiri oleh para dokter DPJP, direksi dan kepala ruang perawatan.
Variabel Output:
Lama hari rawat paling singkat adalah 3 hari dan paling lama adalah 5 hari, dengan rata-rata
lama rawat adalah 3.7 hari. Rencana lama rawat pada CP dan Panduan Praktik Klinis (PPK)
pasien Apendisitis akut adalah 3 hari.
Pemantauan Medis
Tabel 1. Utilisasi Pemantauan Medis
PPK CP Rata-rata Hari ke- Hari ke- Hari ke- Hari ke- Hari ke-
1 2 3 4 5
Tidak Tercantum 3.66 1.00 1.00 1.00 0.57 0.09
tercantum
Rata-rata utilisasi kunjungan dokter penanggung jawab adalah 3,66. Hal ini menandakan
dengan rata-rata lama rawat 3,7 hari, pasien divisite oleh dokter sebanyak 3.66 kali atau dapat
diartikan bahwa setiap hari dokter melakukan visite selama masa perawatan.
Pemeriksaan laboratorium yang paling sering dilakukan adalah HbSAg, dengan rata-rata
utilisasi 1,00. Artinya selama rata-rata lama hari rawat 3,7 hari, terdapat 1 kali pemeriksaan
HbSAg. Pada hari pertama perawatan, nilai utilisasi 0,51, artinya pada 35 pasien yang dirawat
terdapat 18 kali pemeriksaan HbSAg. Begitu pula pada hari kedua perawatan dengan nilai
utilisasi sebesar 0,49, yang artinya pada 35 pasien yang dirawat terdapat 17 kali pemeriksaan
HbSAg.
Tabel 2. Utilisasi Pemeriksaan Penunjang yang sesuai dengan CP
Nama Rata-rata Hari Hari Hari Hari Hari
ke-1 ke-2 ke-3 ke-4 ke-5
Hematologi rutin 0,86 0,51 0.34 0,00 0,00 0,00
HbSAg 1,00 0,51 0,49 0,00 0,00 0,00
Masa pembekuan 0,60 0,14 0,46 0,00 0,00 0,00
Masa Perdarahan 0,60 0,14 0,46 0,00 0,00 0,00
Tes Kehamilan (Wanita Usia Subur) 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
USG Abdomen 0,06 0,00 0,06 0,00 0,00 0,00
EKG (usia >40 th) 0,03 0,03 0,00 0,00 0,00 0,00
Ro Thorak (usia >40 th) 0,08 0,06 0,00 0,03 0,00 0,00
Pada pemeriksaan hematologi rutin, rata-rata utilisasinya adalah 0,86, artinya selama
masa perawatan (rata-rata lama hari rawat 3,7), terdapat 0,86 kali pemeriksaan hematologi rutin.
Pemeriksaan masa pembekuan dan perdarahan mempunyai utilisasi sebesar 0.6, artinya selama
masa rata-rata lama hari rawat dilakukan 0.6 kali pemeriksaan masa pembekuan dan masa
perdarahan. Untuk pemeriksaan EKG dan rontgen thorak dilakukan pada pasien dengan usia
lebih dari 40 tahun, sebanyak 0,03 kali dan 0,08 kali. Selain pemeriksaan penunjang medik di
atas, ditemukan pemeriksaan penunjang medik lain yaitu: Chlorida, creatinine darah, kalium,
natrium, PT, APTT, SGOT, SGPT, Ureum darah, Urine Lengkap, Kultur Pus dan PA Jaringan.
Pemberian medikasi pada CP Appendisitis Akut adalah Antibiotika (Cefotaxime atau
Ceftriaxone) dan Analgetik (Ketorolac Injeksi atau Ketorolac Tablet). Pada penelitian ini
didapatkan utilisasi penggunaan antibiotika dan analgetik yang sesuai dengan CP adalah
sebagai berikut:
Tabel 3. Utilisasi obat sesuai clinical pathway Apendisitis akut
Nama Obat Utilisasi
Antibiotika
Cefotaxime 0.72
Ceftriaxon 1.86
Analgetik
Ketorolac inj 3.19
Ketorolac tab 0.08
Untuk obat-obat diluar rencana terapi yang tertulis dalam formulir CP Apendisitis akut, semua
informan mengatakan bahwa obat tersebut diberikan sesuai dengan indikasi pasien saat itu.
Varians pemberian obat-obatan pada pasien Apendisitis akut, menurut salah satu informan
diberikan sebagai obat jalan. Pada formulir CP Apendisitis akut, hanya dituliskan pemberian
obat pada saat pasien rawat inap.
Tatalaksana Medis
Tabel 4. Utilisasi tatalaksana medis pada pasien Apendisitis akut.
Nama Rata-rata Hari ke-1 Hari ke-2 Hari ke-3 Hari ke-4 Hari ke-5
Pasang Infus 0,17 0,17 0,00 0,00 0,00 0,00
Open Appendiktomi 0,94 0,23 0,66 0,06 0,00 0,00
Pasang kateter 0,03 0,03 0,00 0,00 0,00 0,00
Tindakan Anastesi 1,00 0,23 0,71 0,06 0,00 0,00
Lepas Infus 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Rata-rata utilisasi open Appendiktomi adalah 0,94, artinya tidak semua pasien
dilakukan open apendiktomi. Rata-rata utilisasi anastesi adalah 1.00 artinya setiap pasien yang
dirawat mendapatkan tindakan anastesi. Dengan utilisasi open appendiktomi dan anastesi pada
hari pertama sebesar 0,23, yang artinya dari 35 pasien dirawat terdapat 8 pasien mendapatkan
tindakan open apendiktomi dan anastesi. Pada hari kedua, nilai utilisasi open appendiktomi
sebesar 0,66, yang artinya pada 35 pasien yang dirawat terdapat 23 pasien yang mendapatkan
open appendiktomi. Pasien yang mendapatkan tindakan open apendiktomi adalah sebanyak 33
pasien, sedangkan 2 pasien lainnya dilakukan laparoskopi. Rata-rata utilisasi pasang infus
adalah sebesar 0,17. Artinya, pada 35 pasien yang mendapatkan perawatan terdapat 6
pemasangan infus. Pemasangan infus ini semua dilakukan pada hari pertama. Pada tatalaksana
medis untuk lepas infus, memiliki utilisasi sebesar 0,00. Artinya tidak ada satu pun pasien yang
mendapatkan tindakan lepas infus. Berdasarkan hasil wawancara, pemasangan infus dilakukan
untuk pasien yang masuk melalui IGD. Untuk pasien yang berasal dari poli bedah, pemasangan
infus dan kateter sudah termasuk dalam salah satu asuhan keperawatan.
Rata-rata utilisasi konsultasi Spesialis Anastesi adalah sebesar 0,39, artinya tidak semua
pasien diberikan konsultasi. Dengan utilisasi pada hari pertama dan kedua adalah 0,15 dan 0,24.
Artinya pada 35 pasien yang dirawat terdapat 5 kali konsultasi anastesi pada hari pertama dan
8 kali pada hari kedua. Berdasarkan clinical pathway, konsultasi anastesi dilakukan pada hari
pertama.
Variabel Outcome:
Hampir semua rata-rata tagihan kamar inap yang tidak sesuai dengan CP lebih besar 33%
dibandingkan dengan pasien yang sesuai CP yaitu pada kelas rawat inap I, IA dan IIB.
Persentase selisih paling besar pada ruang rawat VIP yaitu sebesar 56%. Pada ruang VVIP
hanya terdapat satu pasien dengan lama hari rawat selama 4 hari (tidak sesuai CP) dengan besar
tagihan rawat inap sebesar Rp 5.000.000,-.
Tabel 5. Gambaran rata-rata tagihan kamar inap pasien Apendisitis Akut RS “X”
Sesuai CP* Tidak Sesuai CP*
Kelas Rawat Inap (Rata-rata ± Std Dev) (Rata-rata ± Std Dev) Persentase
(Minimum-Maximum) (Minimum-Maximum) Selisih
I 1.200.000 ± 0 1.600.000 ± 0 33%

IA 1.950.000 ± 0 2.600.000 ± 0 33%

IIA 1.200.000 ± 0 1.666.667 ± 163.299 39%


(1.600.000 – 2.000.000)

IIB 960.000 ± 0 1.280.000 ± 0 33%

III 555.000 ± 0 766.429 ± 69.923 38%


(740.000 – 925.000)
VIP 56%
2.550.000 ± 0 3.966.667 ± 490.748
(3.400.000 – 4.250.000)

*: dinyatakan dalam Rupiah


Tabel 6. Gambaran rata-rata tagihan pemantauan medis pasien Apendisitis Akut RS “X”
Sesuai CP* Tidak Sesuai CP*
Kelas Rawat Inap (Rata-rata ± Std Dev) (Rata-rata ± Std Dev) Persentase
(Minimum-Maximum) (Minimum-Maximum) Selisih
I 484.000 ± 0 594.000 ± 0 23%

IA 374.000 ± 0 481.500 ± 3.356 29%


(484.000 – 479.000)

IIA 299.000 ± 0 425.875 ± 69.587 42%


(384.000 – 574.000)

IIB 299.000 ± 0 489.000 ± 0 64%

III 237.750 ± 57.500 316.857 ± 68.426 33%


(209.000 – 324.000) (264.000 –424.000)

VIP 694.000 ± 229.129 1.044.000 ± 377.492 50%


(494.000 – 944.000) (644.000 – 1.394.000)
*: dinyatakan dalam Rupiah
Persentase selisih paling kecil terdapat pada kelas I yaitu sebesar 23%, diikuti kelas IA
sebesar 29%, kelas III sebesar 33% dan kelas VIP sebesar 50%. Persentase selisih paling besar
terdapat pada kelas IIB yaitu sebesar 64%. Pada kelas VVIP tidak diukur persentase selisih
karena hanya terdapat satu pasien dengan lama hari rawat selama 4 hari (tidak sesuai clinical
pathway) dengan besar tagihan atas layanan pemantauan medis sebesar Rp 748.000,-.

Tabel 7. Gambaran rata-rata tagihan pemeriksaan penunjang pasien Appendisitis Akut RS “X”
Sesuai CP* Tidak Sesuai CP*
Kelas Rawat Inap (Rata-rata ± Std Dev) (Rata-rata ± Std Dev) Persentase
(Minimum - Maximum) (Minimum - Maximum) Selisih

IIA 97.000 ± 0 1.152.250 ± 470.244 1.088%


(535.000 – 1.450.000)

226.439 ± 142.836 1.246.000 ± 0 450%


IIB (125.439 – 327.439)
119.466 ± 0 998.480 ± 470.263
III (482.466 – 1.735.000) 736%

*: dinyatakan dalam Rupiah.


Persentase selisih paling besar terdapat pada kelas rawat inap IIA yaitu sebesar 1.088%,
sedangkan pada kelas rawat inap III sebesar 736% dan pada kelas rawat inap IIB sebesar 450%.
Pada kelas rawat inap I tidak dapat dihitung persentase selisih, semua pasien (n=2) sesuai
dengan CP dengan besar rata-rata tagihan adalah Rp.343.359,-. Begitu pula pada kelas rawat
inap VIP dan VVIP persentase selisih tidak dapat dihitung, dikarenakan semua pasien tidak
sesuai dengan CP. Rata-rata tagihan pada kelas rawat inap VIP adalah sebesar Rp. 1.939.500,-
, dengan tagihan paling kecil adalah sebesar Rp. 794.466,- dan paling besar adalah Rp.
4.511.000,-. Rata-rata tagihan pada kelas rawat inap VVIP sebesar Rp. 1.030.000,-.
Tabel 8. Gambaran rata-rata tagihan medikasi dan tatalaksana medis pasien Appendisitis Akut RS “X”
Sesuai CP* Tidak Sesuai CP*
(Rata-rata ± Std Dev) (Rata-rata ± Std Dev) Persentase
Aktivitas Layanan (Minimum - Maximum) (Minimum - Maximum) Selisih

Medikasi 132.315 ± 50.068 1.840.893 ± 1.424.054 1.291%


(74.138 – 228.978) (147.045 – 6.056.772)
Tatalaksana Medis 6.904.586 ± 3.339.276 18.928.628 ± 4.398.347 174%
(2.756.594 – 13.174.663) (15.818.527 – 22.038.729)
*: dinyatakan dalam Rupiah.

Tatalaksana medis yang direkomendasikan pada formulir CP terdiri dari: pasang infus,
open apendiktomi, pasang kateter, tindakan anastesi, lepas infus. Berdasarkan hasil telaah
dokumen dan wawancara, semua komponen pada tatalaksana medis sudah dilakukan.
Persentase selisih rata-rata tagihan tatalaksana medis antara yang sesuai dan tidak sesuai dengan
CP adalah sebesar 174%. Sedangkan persentase selisih pada rata-rata tagihan medikasi sebesar
1.291%.
Pembahasan
Komponen paling besar dalam tagihan pemeriksaan penunjang adalah pemeriksaan
Patalogi Anatomi (PA) Jaringan. Tagihan atas pemeriksaan PA Jaringan dapat mencapai >50%
dari total tagihan atas pemeriksaan penunjang. Besarnya tagihan atas pemeriksaan PA Jaringan
dibedakan berdasarkan kelas kamar rawat inap dan jenis pemeriksaan PA Jaringan
(Besar/Kecil). Terdapat 66% (23 pasien) pemeriksaan PA Jaringan (14.3% PA Jaringan Kecil
dan 51.4% PA Jaringan Besar). Pemeriksaan PA Jaringan diperlukan untuk memastikan bahwa
open appendiktomi dilakukan pada jaringan yang benar. Dalam penyusunan clinical pathway,
mengikuti dari PPK Appendicitis Akut dan menyesuaikan dengan kemampuan rumah sakit.
Pemeriksaan PA Jaringan tidak terdapat pada PPK Appendicitis Akut, oleh karena itu PA
Jaringan tidak masuk dalam salah satu pemeriksaan penunjang yang direkomendasikan dalam
clinical pathway. Sehingga pada pasien yang dilakukan pemeriksaan PA Jaringan akan
menambah tagihan pasien.
Dalam clinical pathway Appendisitis akut, terdapat 7 jenis pemeriksaan penunjang yang
direkomendasikan, yaitu: hematologi rutin, HbSAg, masa pembekuan dan masa perdarahan,
USG Abdomen, tes kehamilan (bagi wanita usia subur), EKG dan rontgen thoraks (bagi pasien
yang berumur lebih dari 40 tahun). Berdasarkan hasil penelitian, semua pasien dilakukan
pemeriksaan HbSAg, sebanyak 86% pasien dilakukan pemeriksaan hematologi rutin, 60%
pemeriksaan masa pembekuan dan perdarahan. Pemeriksaan hematologi rutin merupakan salah
satu pemeriksaan yang harus dilakukan. Dalam penelitian ini beberapa pasien berasal dari poli,
dan sudah dilakukan pemeriksaan hematologic rutin. Sehingga sebelum dilakukan open
appendiktomi, hematologic rutin tidak dilakukan pemeriksaan. Pemeriksaan EKG dan Rontgen
Thoraks masing-masing sebanyak 3% dan 23%. Pemeriksaan EKG dilakukan pada pasien usia
72 tahun (1 pasien), sedangkan Rontgent Thoraks dilakukan pada pasien dengan umur lebih
dari 40 tahun. Terdapat 29% (10 pasien) yang sesuai dengan clinical pathway dan 71% (25
pasien) yang tidak sesuai clinical pathway. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak terdapat
variasi dalam pemeriksaan penunjang medik.
Appendisitis akut adalah salah satu penyakit yang umum terjadi dengan kemungkinan
terjadi sebanyak 7% (Addis, et.al 1990). Gejala utama Appendisitis adalah adanya nyeri pada
perut bagian bawah kanan dengan disertai mual dan muntah. Pemeriksaan yang paling penting
adalah pemeriksaan fisik, namun pemeriksaan laboratorium dapat menunjang ketepatan
penegakan diagnosis (Memisoglu et al, 2010). Pemeriksaan penunjang tidak hanya bermanfaat
untuk penegakan diagnosis, namun juga untuk keperluan tindakan operasi. Dari varian
pemeriksaan penunjang, pemeriksaan PT/APTT dan PA Jaringan dimasukkan dalam clinical
pathway revisi pertama (Rev B). Pemeriksaan penunjang diberikan sesuai dengan kondisi
pasien, namun di lain sisi semakin banyak jenis varian (tidak sesuai dengan clinical pathway)
akan menambah beban tagihan pasien (Panella, 2003).
Dalam clinical pathway direkomendasikan lama rawat adalah 3 hari, sedangkan dalam
penelitian ini hanya 37% pasien yang memiliki lama rawat 3 hari. Semakin panjang lama hari
rawat akan memperbesar tagihan pasien. Persentase selisih antara sesuai dan tidak sesuai
clinical pathway yang paling besar (64%) bukan terdapat pada kelas VVIP, melainkan pada
kelas IIB. Hal ini disebabkan terdapat pasien di kelas IIB yang diberikan konsultasi anastesi
dan 2 kali konsultasi spesialis penyakit dalam. Konsultasi anastesi adalah prosedur wajib pada
pasien operasi. sedikitnya presentase konsultasi anastesi disebabkan sistem billing (SIRS) di
RS “X” hanya menghitung konsultasi anastesi yang dilakukan oleh dokter anastesi di ruang
rawat, sedangkan konsultasi anastesi yang dilakukan di ruang operasi tidak dihitung. Data
penelitian ini diambil dari data billing, sehingga konsultasi anastesi yang tidak terhitung pada
tagihan billing, tidak dapat dianalisa. Pada pasien yang masuk melalui poli (poli bedah dan poli
penyakit dalam), mempunyai tagihan lebih sedikit dibandingkan dengan pasien yang masuk
melalui IGD. Jasa medis dokter IGD di RS “X” adalah sebesar Rp. 105.000,-, sehingga apabila
pasien masuk melalui jalur IGD, maka untuk jasa medis assesmen klinis akan lebih besar Rp.
105.000,- dibandingkan dengan pasien yang masuk melalui Poli.
Dalam clinical pathway Appendisitis Akut, open appendiktomi dilakukan pada hari
pertama dengan discharge planning pasien pada hari ketiga. Dari 35 pasien terdapat 25 pasien
yang dilakukan tindakan operasi appendiktomi pada hari kedua, dan discharge planning pada
hari keempat sebanyak 18 pasien. Selain itu, terdapat 1 pasien dengan masa rawat pasca operasi
selama 4 hari dan 1 pasien dengan masa rawat pasca operasi selama 3 hari. Lama hari rawat
pasien dapat dipengaruhi antara lain: terdapat penyakit penyerta, komplikasi pasca anastesi,
infeksi luka operasi, melengkapi penegakan diagnosis. Dalam penelitian lain didapatkan rata-
rata lama hari rawat pasien appendisitis akut adalah 3.56 hari (Wijaya, dkk., 2017), rentang
lama hari rawat 3-5 hari (Solikhah, 2014), rentang lama hari 2-4 hari (Muzammil, 2014). Jika
dibandingkan dengan penelitian tersebut, rata-rata lama hari rawat dan rentang waktu lama
rawat sama dengan penelitian sebelumnya (Solikhah), namun masih memiliki rata-rata lama
rawat lebih lama jika dibandingkan dengan hasil penelitian Wijaya (2017).
Pada pemberian medikasi, terdapat selisih tagihan cukup besar (1.291%) antara sesuai
dan tidak sesuai clinical pathway. Varian terbesar pemberian antibiotika di luar golongan
Sefalosporin, yaitu Metronidazole dan Co-Amoxyclave. Berdasarkan hasil wawancara
pemberian Co-Amoxyclave diberikan sebagai obat jalan pasien dan Metronidazole dikarenakan
ditemukan pus pada pasien. Menurut The American Society of Health System Pharmacists
merekomendasikan pemberian metronidazole untuk pasien yang mempunyai riwayat alergi
obat golongan penisilin. Appendisitis dapat disebabkan oleh bakteri aerob dan anaerob. Salah
satu antibiotik yang direkomendasikan untuk bakteri anaerob adalah Metronidazole (Mazuski,
et al. 2016).
Pemberian Metronidazole dan Ceftriaxone memberikan efektifitas yang hampir sama
pada sebagian besar kasus bedah (St Peter, et al., 2008). Pada penelitian yang dilakukan oleh
Solikhah (2014) pemberian antibiotika pada pasien Apendisitis akut juga terdapat variasi yang
sama dengan penelitian ini yaitu diberikannya Metronidazole, Amoksisilin, Gentamicin.
Penelitian yang dilakukan oleh Banani dan Talei, membandingkan pemberian Metronidazole
(sebelum dan sesudah operasi) dengan Ceftizoxim (jika tidak ditemukan adanya pus) atau obat
kombinasi 3 obat yaitu Penisilin, Kloramfenikol dan Gentamisin (jika kemungkinan ditemukan
pus selama operasi). Perbedaan angka komplikasi diantara variasi obat tersebut tidak signifikan
(Banana, 1999) (Talei, 1999). Pada studi lain, pasien diberikan Ampisilin-Sulbactam dan
Amoksisilin-Klavulanat (untuk pasien di atas 18 tahun), Levofoksasin (untuk pasien di bawah
18 tahun). Diperoleh hasil, tidak ada perbedaan secara signifikan diantara variasi pemberian
obat tersebut (Taylor., et al. 2004)
Rasa nyeri yang timbul setelah tindakan operasi dapat diatasi dengan pemberian
analgesic seperti opioid, ketamine, nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs),
Asetaminofen atau gabungan obat dengan mekanisme yang berbeda-beda (Buvanendran,
2007). Pada pemberian analgetik terdapat varian paling besar adalah Asam Mefenamat. Dalam
clinical pathway dituliskan analgetik yang diberikan pada pasien adalah Ketorolac injeksi. Pada
penelitian ini terdapat 13 jenis variasi pemberian analgesik. Varian paling besar diberikan
adalah Asam Mefenamat. Berdasarkan hasil wawancara, Asam Mefenamat diberikan sebagai
obat jalan untuk pasien.
Varian lain terhadap pemberian obat-obatan adalah antiemetik dan antiulkus. Pada
pasien pasca operasi saluran cerna, adanya rasa mual dan/atau dyspepsia sangat umum terjadi.
Untuk mengurangi gejala tersebut diberikan antiemetik dan antiulkus. Pemberian antiemetik
yang paling besar adalah Ondansetron. Dalam penelitian ini, terdapat 29% pasien yang
mendapatkan obat-obatan sesuai clinical pathway. Variasi paling besar adalah pemberian Asam
Mefenamat, Metronidazole, Co-Amxyclave dan Ondansetron. Menurut Cheah (2000) analisa
terhadap perbedaan/variasi sangat vital dalam perbaruan clinical pathway untuk menyesuaikan
dengan kebutuhan dan praktik terbaik yang ada (Cheah, 2000). Melihat hal ini, tim pathway
perlu melakukan evaluasi, apakah obat rawat jalan (Asam Mefenamat dan antibiotik),
antiemetik perlu dimasukkan dalam clinical pathway. Sehingga, clinical pathway sebagai salah
satu tool kendali mutu kendali biaya, dapat mendekati praktek terbaik di lapangan.
Komponen lain yang mempunyai selisih cukup besar adalah rata-rata tagihan sesuai
clinical pathway dan tidak sesuai clinical pathway adalah tatalaksana medis. Dalam clinical
pathway prosedur operasi pada pasien Appendisitis akut adalah Open Appendiktomi. Pada
penelitian ini ditemukan 2 pasien yang dilakukan Laparoskopi (1 pasien VIP dan 1 pasien
VVIP). Metode Laparoskopi adalah metode apendiktomi dengan membuat beberapa sayatan
kecil di perut dan memasukkan sebuah kamera mini dan alat bedah di buat sebanyak tiga atau
empat potongan. Dokter spesialis bedah kemudian menghilangkan/mengangkat apendiks
dengan alat bedah, sehingga biasanya tidak perlu untuk membuat potongan besar diperut.
Namun kekurangan dari metode ini adalah dibutuhkan biaya relative lebih mahal dari open
apendiktomi (Kazemier, 2005) (Frazee, 2016).
Dalam menerapkan clinical pathway, sumber daya manusia (SDM) memegang peranan
penting. Karena keberhasilan suatu program bergantung dari SDM yang menjalankan, baik
secara kuantitas maupun komitmen. SDM RS”X” dinilai sudah mencukupi dalam segi
kuantitas, namun masih kurang dalam segi komitmen (kesiapan dan awareness). Menurut
Cheah (2000) komitmen SDM sangat penting untuk kesuksesan implementasi clinical pathway
sebagai salah satu tools kendali mutu kendali biaya. Menurut Spath (1994) kerjasama dan
penerimaan dokter dalam implementasi clinical pathway merupakan kunci kesuksesan
implementasi clinical pathway.
Pemeriksaan penunjang dilakukan oleh dokter sesuai dengan kondisi pasien, oleh
karena itu melihat banyaknya varian dalam pemeriksaan penunjang, tim clinical pathway perlu
mempertimbangkan kembali untuk memasukkan pemeriksaan tersebut sebagai rekomendasi
dalam clinical pathway appendicitis akut untuk kondisi tertentu atau sesuai indikasi.
Pemeriksaan masa pembekuan, masa perdarahan, PT, APTT dilakukan untuk
kepentingan selama tindakan operasi, untuk memastikan tidak terjadi perdarahan berlebihan.
Sedangkan pemeriksaan gula darah sewaktu dilakukan pada pasien dengan usia lebih dari 40
tahun untuk melihat kemungkinan terdapat gula darah yang tinggi. Dalam tindakan operasi,
adanya stress selama masa operasi seringkali memicu naiknya kadar gula darah, oleh sebab itu
pada beberapa pasien dilakukan pemeriksaan gula darah sewaktu sebelum dilakukan operasi
appendiktomi. Pemeriksaan fungsi ginjal (Ureum, Creatinin, Albumin, Natrium, Kalium,
Chlorida) dan fungsi hati (SGOT, SGPT) dilakukan karena terdapat beberapa penyakit yang
mempunyai gejala klinis hampir mirip dengan appendisitis akut (diagnosa banding). Diagnosa
banding pada Appendisitis akut antara lain: infeksi saluran kencing, batu ginjal, peradangan
hati, kandung empedu dan prankeas. Penyakit-penyakit tersebut memiliki gejala yang mirip
dengan Appendisitis akut (Supraba, 2014). Salah satu tujuan dilakukannya pemeriksaan
hematologi rutin adalah untuk dapat mengetahui kadar Hb (memastikan pasien tidak anemia),
kadar leukosit (status infeksi) dimana apabila pemeriksaan leukosit menunjukkan hasil lebih
dari normal (3200-10.000/mm3) maka menandakan terjadinya inflamasi, kadar trombosit untuk
mengetahui fungsi pembekuan darah (Kemenkes, 2010). Pada beberapa penelitian, jumlah
leukosit juga dapat dijadikan sebagai acuan terjadinya perforasi pada pasien appendisitis
(Kamran, 2008).
Banyaknya varian dalam pemeriksaan penunjang dan medikasi disebabkan oleh:
kondisi klinis pasien, belum sempurnanya clinical pathway (belum mempertimbangkan obat-
obat jalan dan simtomatis, pemeriksaan penunjang atas indikasi pasien) dan masih kurangnya
komitmen dari para DPJP terhadap implementasi clinical pathway. Komitmen yang kuat dari
semua staf juga dapat dihasilkan dari cukup atau tidaknya sosialisasi, evaluasi. Untuk lebih
meningkatkan komitmen seluruh staf pihak manajemen RS dapat menghubungkan data layanan
(berdasarkan clinical pathway) terhadap pengeluaran dan pendapatan RS. Sehingga semua staf
yang terlibat dapat mengetahui dampak keberhasilan implementasi clinical pathway tidak
hanya berkaitan dengan mutu layanan pasien, namun juga keuangan operasional RS. Hal ini
diharapkan akan meningkatkan komitmen semua staf terhadap pentingnya keberhasilan
pelaksanaan clinical pathway.
Pada tahap sosialisasi, komunikasi antar semua pihak yang terlibat dalam implementasi
clinical pathway merupakan faktor penting pada keberhasilan pelaksanaan clinical pathway.
Semua staf yang terkait implementasi clinical pathway harus memahami peran pentingnya
masing-masing dalam keberhasilan clinical pathway dan pentingnya keberhasilan clinical
pathway bagi keberlangsungan operasional rumah sakit. Pada tahapan sosialisasi terdapat
beberapa hal penting yang harus dilakukan adalah (Cheah, 2000):
• Dukungan pimpinan kepada staf yang terlibat dalam implementasi clinical pathway.
• Dukungan manager pada tiap-tiap area pada minggu pertama implementasi.
• Dilakukan re-launch apabila terdapat perbaikan, termasuk pemberitahuan terhadap apa
yang direvisi.
• Form terdahulu harus dilakukan penarikan dan diganti dengan yang versi terbaru yang
sudah diperbaiki.
Kelebihan clinical pathway adalah dimungkinkannya perbaikan-perbaikan secara terus
menerus, dimana perbaikan tersebut dibuat untuk memberikan akibat positif terhadap
pemberian layanan kepada pasien. Salah satu langkah yang sangat penting adalah perubahan
itu dilakukan dengan berbasis data yang ada. Pada implementasi clinical pathway, evaluasi
secara berkala perlu dilakukan dengan memperhatikan tiga hal berikut (Cheah, 2000):
• Pengisian form clinical pathway: Apakah diisikan untuk kasus yang sesuai,
bagaimanakah pengisian form clinical pathway, apakah staff menggunakan buku rekam
yang lain selain clinical pathway?
• Pencatatan jenis variasi: apakah variasi dituliskan dalam form, apakah variasi yang
diberikan memang sesuai dengan kondisi klinis, apakah staf mengetahui apakah variasi
terrsebut dan bagaimana cara menuliskannya?
• Kepuasan staf: apakah kuesioner sudah diisi?
Evaluasi clinical pathway Appendisitis Akut telah dilakukan satu kali oleh RS “X” dan
hasilnya disampaikan dalam forum akreditasi RS. Saat dilakukan penelusuran dokumen dan
berdasarkan hasil wawancara, pengisian form masih sulit dilakukan. Terdapat beberapa form
yang diisikan untuk kasus Appendisitis akut dengan perforasi, Appendisitis akut dengan
penyakit penyerta. Hal ini menunjukkan bahwa staf masih belum memahami dengan baik,
kasus kasus manakah yang seharusnya masuk dalam kategori clinical pathway dan mana yang
tidak masuk kategori. Kepala ruangan sebagai penanggung jawab pengisian form, bertanggung
jawab atas dua ruang rawat. Hal ini dapat menjadi kendala dalam pengisian form. Menurut
Cheah (2000), pengisian form clinical pathway merupakan hal yang sangat penting, karena
pengumpulan data dan analisis varian layanan (perbedaan layanan yang diberikan dengan
rekomendasi yang tertulis di dalam formulir clinical pathway), sangat penting untuk
pengembangan clinical pathway.
Form yang diisikan terdapat dua jenis, yaitu form clinical pathway (kendali mutu) dan
form kendali biaya dengan isi sesuai clinical pathway disertai dengan biaya yang diberikan.
Pengisian dua kali pada dua hal yang hampir sama ini menambah beban kerja, sehingga
pengisian form clinical pathway terlihat masih kurang. Selain itu, terdapat beberapa kesalahan
dalam pengisian form clinical pathway (tidak sesuai kriteria inklusi dan eksklusi clinical
pathway Appendisitis akut). Dalam pengisian form clinical pathway kepala ruangan harus
mampu mengklasifikasikan manakah kondisi pasien yang masuk dalam kriteria inklusi dan
eksklusi. Berdasarkan informasi yang diperoleh saat wawancara, terdapat kepala ruangan yang
masih ragu dalam klasifikasi kriteria inklusi dan eksklusi. Hal ini menggambarkan bahwa
secara kualitas SDM belum siap sepenuhnya. Menurut penulis, tanggung jawab pengisian form
clinical pathway sebaiknya diberikan kepada dokter ruangan bekerja sama dengan DPJP.
Karena dokter yang lebih mengerti terhadap varian yang diberikan dan kondisi pasien yang
masuk kategori inklusi atau eksklusi. Dalam evaluasi ke depan, tim clinical pathway membuat
kuesioner mengenai pengisian form clinical pathway. Selain untuk mengetahui kendala pada
saat pelaksanaan, juga dapat meningkatkan awareness dari pihak terkait mengenai pentingnya
clinical pathway.
Menurut Cheah (2000) keunikan dari clinical pathway adalah memungkinkan adanya
variasi. Clinical pathway adalah guidelines dan gambaran, bukan petunjuk pelaksanaan yang
kaku atau tidak fleksibel. Karena clinical pathway menggambarkan layanan yang paling
dibutuhkan oleh suatu rumah sakit. Namun demikian, clinical pathway diharapkan mampu
menjadi alat kontrol terhadap pemberian layanan kepada pasien. Melihat hal ini, tim pathway
perlu mempertimbangkan untuk memasukkan obat rawat jalan (analgetik dan antibiotik) dan
antiemetik dalam clinical pathway.
Implementasi clinical pathway menjadi suatu kewajiban bagi rumah sakit, selain
sebagai salah satu tools untuk kendali mutu kendali biaya, juga menjadi salah satu poin
penilaian pada akreditasi rumah sakit. Clinical pathway dapat mengurangi risiko proses asuhan
klinis, mengurangi variasi, ketepatan waktu pemberian asuhan klinis sehingga akan tercipta
sistem manajemen klinik yang baik (good clinical governance) (Kemenkes, 2016).
Berdasarkan hasil wawancara, RS “X” tidak menyediakan dana khusus untuk
implementasi clinical pathway, karena dianggap sudah melekat dalam fungsi/tugas masing-
masing anggota tim yang terkait. Pimpinan RS memiliki peranan penting dalam memberikan
arahan dan contoh pada seluruh staf pada implementasi clinical pathway. Selain itu, pimpinan
RS harus menterjemahkan visi dan misi dari clinical pathway dengan mengkomunikasikan
kepada semua staf pada setiap rapat dan pertemuan. Hal ini merupakan salah satu bentuk
pendekatan dan dukungan dari pihak pimpinan atau manajemen RS kepada seluruh staf terkait
clinical pathway sehingga diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan clinical pathway.
Tanggung jawab atas keberhasilan implementasi clinical pathway merupakan tanggung jawab
semua pihak, mulai dari pimpinan RS hingga staf yang melaksanakan clinical pathway.
Berdasarkan hasil wawancara, tanggung jawab penyusunan hingga evaluasi, terkesan hanya
pada tim clinical pathway saja yaitu dua orang staf komite medik.
Kepatuhan terhadap clinical pathway dinilai penting sebagai salah satu alat bagi
manajemen untuk melakukan kendali mutu kendali biaya. Pada penelitian ini diperoleh tidak
ada kendala dalam jumlah SDM, kebijakan, ketersediaan obat dan alkes, sarana dan prasarana.
Dari segi proses secara keseluruhan tidak terdapat kendala kecuali pada proses evaluasi secara
berkala dan tahap uji coba dan implementasi clinical pathway. Kendala ini disebabkan karena
kurangnya dukungan dana dan komitmen dari para staf terkait. Menurut Cheah (2000),
hambatan dalam penerapan clinical pathway antara lain: kurangnya dukungan dan penerimaan
dokter, kecemasan dan keragu-raguan diantara perawat dan staf medis, masalah
hukum/kebijakan rumah sakit, masalah pendokumentasian, kurangnya dukungan sistem
informasi, kurangnya dukungan dari pihak manajemen rumah sakit. Meningkatnya kepatuhan
terhadap clinical pathway diharapkan mampu menurunkan tagihan pasien, namun secara
khusus penurunan ini dapat digambarkan dengan turunnya lama hari rawat (Pritts, 1999). Kunci
dari keberhasilan clinical pathway terletak pada penerimaan dan kerjasama dari klinisi,
kepemimpinan dan dukungan dari manajemen RS, dan dedikasi dari para case manager, dokter,
perawat dan profesi terkait lainnya (Cheah, 2000).
Saran
Dalam evaluasi selanjutnya selalu dilakukan hingga ke komponen biaya, sehingga tujuan
CP sebagai kendali mutu kendali biaya dapat lebih mudah dievaluasi dan diberikan pembaruan
jika diperlukan. Dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menghitung unit cost, sehingga
mampu menggambarkan biaya riil yang harus dikeluarkan oleh rumah sakit.
Kepustakaan
Barlas Sulu (2012). Demographic and Epidemiologic Features of Acute Appendicitis,
Appendicitis - A Collection of Essays from Around the World, Dr. Anthony Lander
(Ed.), ISBN: 978-953-307-814-4, InTech,
Banani, SA, Talei, A. (1999). Can oral metronidazole substitute parenteral drug therapy in acute
appendicitis? A new policy in the management of simple or complicated appendicitis
with localized peritonitis: A randomized controlled clinical trial. Am Surg 65(5):411–
416

Bailey, H., (1992). Apendisitis Akut. Dalam: Dudley, H.A.F., ed. Ilmu Bedah Gawat Darurat
Edisi 11 Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 441 – 452.

Buvanendran A, Kroin JS. Useful adjuvants for postoperative pain management. Best Pract Res
Clin Anaesthesiol. 2007;21:31–49. Available at
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17489218
Coffey, R. J., Richards, J. S., Remmert, C. S., LeRoy, S. S., Schoville, R. R. & Baldwin, P. J.
(1992) An introduction to critical paths. Quality Management in Health Care, 1 (1), 45–
54.

Craig, S, (2011). Appendicitis Treatment & Management. Available from


http://emedicine.medscape.com/article/773895-treatment. Accessed September 1, 2017

Cohen, J., Chernov, K., Shapiro, M., Grozovski, E., Kogan, A. & Singer, P. (2003) The
intensive care unit course of patients undergoing liver transplantation: a report on
success with a clinical pathway. Transplantation Proceedings, 35 (2), 669.

Davis, Nicola. (2005). Integrated care pathway, A guide to good practice. National Leadership
Innovation and Health, Wales UK.

Daskalakis. K., et al. (2013). The use of pre- or postoperative antibiotics in surgery for
appendicitis: A sistematic review. Scandinavian Journal of Surgery Vol 103, Issue 1,
pp. 14 – 20 https://doi.org/10.1177/1457496913497433

D’Inca R, Neri L, Daperno M, et al. (2015). Poor adherence is associated with impaired quality
of life and increased illness intrusiveness in patients with ulcerative colitis and Crohn
disease. Digest Liver Dis 2015; 47: e183.

Ferris, Mollie BSc, DVM, MD, et al, (2017). The Global Incidence of Appendicitis: A
Sistematic Review of Population-based Studies, Annals of Surgery: August 2017
Volume 266 - Issue 2 - p 237–241.

Flum DR, Koepsell T. (2002). The Clinical and Economic Correlates of Misdiagnosed
AppendicitisNationwide Analysis. Arch Surg. 2002;137(7):799–804.
doi:10.1001/archsurg.137.7.799
Guo, C. and Zou, Z.H. (2016) The Effect of Clinical Pathway in Patients with Acute
Complicated Appendicitis. Surgical Science, 7, 286-290.
http://dx.doi.org/10.4236/ss.2016.77040

Hirasaki, S.,et al. (2004). Efficacy of clinical pathway for the management of mucosal gastric
carcinoma treated with endoscopic submucosal dissection using an insulated-tip
diathermic knife. Internal Medicine, 43 (12), 1120–1125.

Hindle, D. & Yazbeck, A. M. (2005) Clinical pathways in 17 European Union countries: a


purposive survey. Australian Health Review, 29 (1), 94–104.
J. Collins, MD, et al,. (2017). Inpatient Pathway for the Evaluation/Treatment
of the Child with Appendicitis. http://www.chop.edu/clinical-pathway/appendicitis-
inpatient-care-clinical-pathway

Kawahara, H., Yanagisawa, S., Kashiwagi, H., Hirai, K., Yamazaki, Y. & Yanaga, K. (2005)
Implementation of a clinical pathway for laparoscopic colorectal surgery. International
Surgery, 90 (3), 144–147.

Lang, M., et al. (2001). Outcome and resource utilization in gastroenterological surgery. British
Journal of Surgery, 88 (7), 1006–1014.

Liu CD, McFadden DW. (1997). In: Surgery: scientific principles and practice. Acute abdomen
and appendix. Philadelphia: Lippincott-Raven
Memisoglu, K., Karip, B., Mestan, M., & Onur, E. (2010). The value of preoperative diagnostic
tests in acute appendicitis, retrospective analysis of 196 patients. World Journal of
Emergency Surgery: WJES, 5,5. http://doi.org/10.1186/1749-7922-5-5

Midleton, Sue dan Roberts, Adrian. (2000). Integration Clinical Pathways: A Practical
Approach To Implementation. USA: McGraw-Hill.

Pritts, T. A., Nussbaum, M. S., Flesch, L. V., Fegelman, E. J., Parikh, A. A., & Fischer, J. E.
(1999). Implementation of a Clinical Pathway Decreases Length of Stay and Cost for
Bowel Resection. Annals of Surgery, 230(5), 728.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1420929/
Panella, M., Marchisio, S. & Di, S. F. (2003) Reducing clinical variations with clinical
pathways: do pathways work? International Journal of Quality in Health Care, 15 (6),
509–521. https://doi.org/10.1093/intqhc/mzg057

Rahmawati, Cecilia M dkk. (2016). Evaluasi implementasi clinical pathway elektif di RS


Bethesda Yogyakarta. Jurnal Berkala Duta Ilmiah dan Wacana, Vol 2, September 2017.

Stowers M, Lemanu D, Hill A. (2015). Health economics in Enhanced Recovery After Surgery
programs. Can J Anesth/J Can Anesth, 62: 219-230.

Said, Khadiga M et al., Integrated Clinical Pathway Regarding Care of Children with Typhoid
Fever Available at www.iosrjournals.org. DOI: 10.9790/1959-0602040112

Takegami, K., et al. (2003). Impact of a clinical pathway and standardization of treatment for
acute appendicitis. Surgery Today (2003) 33: 336. Available at:
https://doi.org/10.1007/s005950300077. (Diakses Oktober 23, 2017)

Tan, J. J. , Foo, A. Y. & Cheong, D. M. (2005). Colorectal clinical pathways: a method of


improving clinical outcome?. Asian Journal of Surgery, 28 (4), 252–256.
Taylor, E, Berjis, A, Bosch, T. (2004) The efficacy of postoperative oral antibiotics in
appendicitis: A randomized prospective double-blinded study. Am Surg :70(10):858–
862. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15529837
Tsafrir Vanounou, et al., (2007). Deviation-Based Cost Modeling: A Novel Model to Evaluate
the Clinical and Economic Impact of Clinical Pathways., Journal of the American
College of Surgeons, Volume 204, Issue 4, April 2007, Pages 570-579.

Uchiyama, K., Takifuji, K., Tani, M., Onishi, H. & Yamaue, H. (2002) Effectiveness of the
clinical pathway to decrease length of stay and cost for laparoscopic surgery. Surgical
Endoscopy, 16 (11), 1594–1597

Value Health. (2016). Clinical Guidelines: A NICE Way to Introduce Cost-Effectiveness


Considerations Drummond M1. International Society for Pharmacoeconomics and
Outcomes Research (ISPOR). Elsevier Inc.

Vanhaecht, K., Bollmann, M., Bower, K., et al. (2006). Prevalence and use of clinical pathways
in 23 countries – an international survey by the European Pathway Association. Journal
of Integrated Care Pathways, 10 (1), 28–34.

Wichmann, M. W., Roth, M., Jauch, K. W. & Bruns, C. J. (2006). A prospective clinical
feasibility study for multimodal ‘fast track’ rehabilitation in elective pancreatic cancer
surgery. Rozhledy Chirurgii, 85 (4), 169–175.

Warner B W, Kulick R M, Stoops M M, Mehta S, Stephan M, Kotagal U R, (2001) An


evidenced-based clinical pathway for acute appendicitis decreases hospital duration and
cost,

Widyanita, Anietya dkk. (2016). Evaluasi implementasi clinical pathway appendicitis akut pada
unit rawat iap bagian bedah di RSUD Panembahan Senopati Bantul. Prosiding
interdisciplinary postgraduate conference 3rd.
Wijaya, Adi I, dkk., (2017). Appendicitis Clinical Pathway Implementations Compliance
Evaluation in Hospital. Kes Mas: Jurnal Fakultas Kesehatan Masyarakat Volume 11,
Issue 2, September 2017, pp. 84-88
Zambouri, A. (2007). Preoperative evaluation and preparation for anesthesia and
surgery. Hippokratia, 11(1), 13–21.
Zander, K. (2002). Integrated care pathways: eleven international trends. Journal of Integrated
Care Pathways, 6 (3), 101–107.

Anda mungkin juga menyukai