Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Rumah Sakit adalah penyedia layanan kesehatan peseornagan secara

paripurna. Untuk menyelenggarakan pelayanan yang bermutu, Pemerintah

Indonesia melalui PERMENKES RI Nomor 30 tahun 2022 tentang Indikator

Nasional Mutu Pelayanan Kesehatan, menetapkan bahwa Indikator Mutu

Nasional (IMN) untuk rumah sakit ada 13 indikator, antara lain : Kepatuhan

kebersihan tangan, Kepatuhan penggunaan Alat Pelindung Diri (APD),

Kepatuhan identifikasi pasien, Waktu tanggap operasi seksio sesarea

emergensi, Waktu tunggu rawat jalan, Penundaan operasi elektif, Kepatuhan

waktu visite dokter, Pelaporan hasil kritis laboratorium, Kepatuhan

penggunaan formularium nasional, Kepatuhan terhadap alur klinis (clinical

pathway), Kepatuhan upaya pencegahan risiko pasien jatuh, Kecepatan waktu

tanggap komplain dan Kepuasan pasien

Rumah Sakit Bhina Bhakti Husada merupakan salah satu rumah sakit

swasta tipe C di kota Rembang, Jawa Tengah. Berdasarkan laporan bulanan

IMN rumah sakit Bhina Bhakti Husada, yang telah terakreditasi Paripurna,

angka kepatuhan clinical pathway (CP) masih dibawah standar, rata-rata

capaian kepatuhan pada triwulan 1 (bulan Januari – Maret) tahun 2023 sebesar

65,4%, masih dibawah standar nasional (80%) dan capaian privinsi Jawa

Tengah (januari 86,51%, Februari 88,43%, Maret 86,61%) (data primer, 2023)
Clinical pathway merupakan pedoman dalam merawat pasien dengan tujuan

mengurangi variasi penanganan pasien yang tidak diperlukan, efisiensi sumber

daya dan meningkatan outcome klinik. Clinical pathway disusun berdasarkan

evidence based medicine (EBM) terbaru yang disesuaikan dengan sumber daya

yang ada di rumah sakit (Marrelli, 2008). Mutu pelayanan salah satu tercermin

dari kepatuhan Profesional Pemberi Asuhan (PPA) terhadap Clinical pathway.

Kepatuhan adalah kesesuaian sikap dengan peraturan yang ditetapkan

(Fattori et al., 2015). Kepatuhan CP adalah kepatuhan menjalankan kegiatan

yang termasuk kategori harus dilakukan pada CP (Ardian Prasetyo, 2018). Dari

hasil penelitian Triono (2018) di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta,

evaluasi dimensi dengan Integrated Care Pathways Appraisal Tool (ICPAT)

dan kepatuhan CP appendisitis menunjukkan masalah kepatuhan terhadap CP

pada kepatuhan terapi. Hasil penelitian Wijaya (2018) di RSU PKU

Muhammadiyah Bantul, evaluasi kepatuhan pelaksanaan clinical pathway

appendicitis akut menunjukkan terdapat tiga malasah dalam kepatuhan CP

yaitu kepatuhan visite, kepatuhan terapi, dan kepatuhan lama rawat inap. Hasil

observasi di RS Bhina Bhakti Husada kepatuhan terendah adalah kepatuhan CP

abortus inkomplit, rata-rata capaian selama triwulan 1 tahun 2023 sebesar

59,6% dengan masalah pada kepatuhan assessment farmasi, kepatuhan

assessment gizi, dan kepatuhan terapi.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan permsalahan di atas maka rumusan masalah pada penelitian ini

adalah :
1. Bagaimana akar masalah pada perawatan pasien dengan abortus inkomplit

di RS Bhina Bhakti Husada?

2. Bagaimana rekomendasi penyelesaian masalah pada perawatan pasien

dengan abortus inkomplit di RS Bhina Bhakti Huasada?

C. Tujuan penelitian

1. Tujuan Umum

Menigkatkan kepatuhan clinical pathway abortus inkomplit di RS Bhina

Bhakti Husada

2. Tujuan Khusus

a. Menganalisis akar masalah kepatuhan clinical pathway abortus

inkomplit di RS Bhina Bhakti Husada

b. Memberikan rekomendasi penyelesaian masalah pada perawatan pasien

dengan abortus inkomplit di RS Bhina Bhakti Husada

D. Manfaat penelitian

1. Manfaat teoritis

Melengkapi teori untuk meningkatkan kepatuhan terhadap clinical pathway

abortus inkomplit

2. Manfaat praktis

Melengkapi panduan untuk meningkatkan kepatuhan terhadap clinical

pathway abortus inkomplit


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Rumah Sakit

Rumah sakit merupakan institusi penyedia layanan kesehatan yang

memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara komprehensif di

pelayanan rawat jalan, gawat darurat, dan rawat inap (PERMENKES RI

Nomor 3, 2020). Upaya pemerintah dalam menjaga kualitas pelayanan rumah

sakit dengan cara menetapkan indikator mutu rumah sakit. Tiga belas indikator

mutu rumah sakit meliputi (PERMENKES RI Nomor 30, 2022) :

1. Kepatuhan kebersihan tangan,

Kepatuhan kebersihan tangan berfungsi untuk menjamin keselamatan

pasien dan petugas dengan mengurangi risiko infeksi terkait pelayanan

kesehatan.

2. Kepatuhan penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)

Kepatuhan penggunaan APD sesuai indikasi saat melakukan tindakan yang

berisiko tubuh atau membran mukosa terkena darah atau cairan tubuh atau

cairan infeksius lainnya.

3. Kepatuhan identifikasi pasien

Proses identifikasi yang dilakukan pemberi layanan dengan menggunakan

minimal 2 dari 4 identitas : nama lengkap; tanggal lahir; nomor rekam

medik; NIK pasien.


4. Waktu tanggap operasi seksio sesarea emergensi.

Waktu yang diperlukan operasi seksio sesarea emergensi sejak

diputuskannya operasi sampai dimulainya insisi operasi di kamar operasi.

5. Waktu tunggu rawat jalan

Waktu pasien menunggu dari pasien kontak dengan petugas pendafatarn

sampai mendapat pelayananan dokter/dokter spesialis.

6. Penundaan operasi elektif

Operasi elektif merupakan operasi yang waktu operasinya terencana atau

bisa dijadwalkan. Penundaan operasi elektif berupa mundurnya jadwal

operasi lebih dari 1 jam dari jadwal yang ditentukan.

7. Kepatuhan waktu visite dokter

Waktu yang telah ditetapkan untuk kunjungan/visite dokter penanggung

jawab kepada pasien rawat inap adalah pukul 06.00 – 14.00.

8. Pelaporan hasil kritis laboratorium

Hasil kritis adalah hasil pemeriksaan yang termasuk kategori kritis sesuai

kebijakan rumah sakit dan membutuhkan penatalaksanaan segera.

Pelaporan hasil kritis laboratorium yang telah dibaca oleh dokter/analis

yang diberi kewenganan adalah ≤ 30 menit

9. Kepatuhan penggunaan formularium nasional

Dokter penanggung jawab pasien meresepi obat sesuai dengan daftar obat

di formularium nasional dalam penyelenggaraan program jaminan

kesehatan.
10. Kepatuhan terhadap alur klinis (clinical pathway)

Proses pelayanan secara terintegrasi yang diberikan Profesional Pemberi

Asuhan (PPA) kepada pasien yang sesuai dengan clinical pathway yang

ditetapkan rumah sakit.

11. Kepatuhan upaya pencegahan risiko pasien jatuh

Pelaksanaan tiga upaya pencegahan jatuh (assessement awal risiko jatuh,

assessement ulang risiko jatuh, intervensi pencegahan risiko jatuh) sesuai

dengan standar yang telah ditetapkan rumah sakit.

12. Kecepatan waktu tanggap komplain

Rentang waktu menanggapi keluhan tertulis, lisan atau melalui media

massa yang disampaikan oleh pasien/keluarga/pengunjung melalui tahapan

identifikasi, penetapan grading risiko, analisis hingga tindak lanjutnya.

Grading merah (ekstrim) : cenderung berhubungan dengan polisi,

pengadilan, kematian, mengamcam sisitem/kelangsungan organisasi,

potensi kerugian material, dan lain-lain. Grading merah ditanggapi dan

ditindak lanjuti maksimal 1 x 24 jam sejak keluhan disampaikan.

Grading kuning (tinggi) : cenderung berhubungan dengan pemberitaan

media, potensi kerugian immaterial dan lain-lain. Grading kuning

ditanggapi dan ditindak lanjuti maksimal 3 hari sejak keluhan disampaikan.

Grading hijau (rendah) : tidak menimbulkan kerugian berarti baik material

maupun immaterial. Grading hijau ditanggapi dan ditindak lanjuti

maksimal 7 hari sejak keluhan disampaikan.


13. Kepuasan pasien

Penilaian kepuasan pasien sebagai dasar upaya-upaya peningkatan mutu

dan terselenggaranya pelayanan di semua unit yang mampu memberikan

kepusan pasien.

B. Clinical Pathway

Pengertian

Clinical pathway merupakan pedoman yang dibuat dari multidisiplin ilmu

untuk meningkatkan kualitas dan efisiensi perawatan berbasis bukti. Clinical

pathway juga sebagai alat komunikasi antar profesional untuk mengelola dan

menstandarkan perawatan yang berorientasi pada hasil (Vanhaecht et al.,

2006).

Clinical pathway merupakan pedoman perawatan pasien dalam jangka

waktu tertentu berdasarkan guideline Evidence Based Medicine (EBM), best

parctice, dan kepuasan pasien dengan mengkoordinasikan multidisiplin ilmu.

Clinical pathway bertujuan untuk meningkatkan kualitas perawatan,

mengurangi resiko-resiko, meningkatkan kepuasan pasien dan meningkatkan

efisiensi sumber daya (De Bleser et al., 2006).

Clinical pathway merupakan pedoman kolaboratif untuk perawatan pasien

dalam diagnosis, masalah klinis, dan tahapannya yang diberikan oleh rumah

sakit. Clinical pathway memadukan standar asuhan antar tenaga kesehatan

secara sistematik serta memperhatikan aspek individu pasien (Marrelli, 2008).

Clinical pathway adalah suatu konsep pelayanan terpadu dalam setiap

langkah perawatan pasien selama di rumah sakit berdasarkan standar pelayanan


dan asuhan keperawatan berbasis bukti dengan hasil yang terukur (Firmanda,

2016).

Clinical pathway memberikan dampak positif terhadap perawatan pasien,

alur kerja tenaga kesehatan, dan kolaborasi antara tenaga kesehatan. selain itu

juga clinical pathway mengurangi lama perawatan dan biaya perawatan,

sehingga meningkatkan kualitas pelayanan (Buchert & Butler, 2016) (Bai et

al., 2018) (Asmirajanti et al., 2018).

Tujuan clinical pathway

Tujuan utama implementasi clinical pathway adalah kualitas dan efisiensi

(Sastrawan & Wardhani, 2022). Departemen kesehatan mengemukakan tujuan

clinical pathway, yaitu :

1. Menentukan terapi terbaik untuk pasien dari banyaknya variasi terapi yang

ada.

2. Menstandarkan perawatan pasien untuk lama perawatan, pemeriksaan dan

prosedur klinis lainnya.

3. Memudahkan penilaian langkah dan kondisi yang berbeda dalam

perawatan dan meningkatkan koordinasi dalam memberikan pelayanan

yang lebih efisien.

4. Menetapkan peran petugas yang terlibat dalam proses perawatan.

5. Efisiensi dokumentasi klinis.

6. Memudahkan penyedia layanan untuk mengevaluasi pelayanan.

7. Meningkatkan kepuasan pasien dengan meningkatkan kesadaran pasien

akan langkah pengobatan yang akan diterimanya.


Langkah – langkah penyususnan clinical pathway

Langkah-langkah penyusunan clinical pathway sebagai berikut (Pertiwi,

2014):

1. Menentukan topik

Kasus yang dipilih untuk disusun clinical pathwaynya adalah yang high

volume, high cost, high risk, problem prone, atau kasus yang memiliki

gap besar dalam pembiayaan disbanding kan biaya INA CBG’s

2. Menunjuk koordinator

Penyususunan tim yang beranggota dari multidisiplin ilmu yang berkaitan

dengan topik yang dibahas dan menuntuk koordinator sebagai fasilitator

3. Mentukan pemian kunci

Pemain kunci yang dimaksud adalah petugas yang terlibat dalam

pelayanan pasien, contoh kasus appendicitis akut tanpa komplikasi, yang

menjadi pemain kunci dalah dokter spesialis bedah, dokter spesialsis

anestesi, dokter umum, perawat, dan ahli gizi

4. Kunjungan lapangan

Kunjungan lapangan meliputi mencari pedoman paktik klinis, SPO, SPM

dan SAK. Langkah ini bertujuan unutk menilai sejauh mana elayanan

dapat dilakukan dan menilai hambatan pelayanan yang saat ini terjadi

sehingga dapat membuat rekomendasi dalam penyususnan clinical

pathway.

5. Mencari literature
Literature yang digunakan dapat berupa best practice dalam skala nasional

yaitu PNPK, guideline/ jurnal internasional, atau evidence based medicine

bila PNPK belum/ tidak dikeluarkan oleh organisasi profesi yang

bersangkutan dengan menyesuaikan sumber daya rumah sakit.

6. Melaksanakan customer focus group

Hal ini untuk mengidentifikasi kebutuhan customer dan menyesuaikan

kemampuan rumah sakit sehingga gap antara harapan dan pelyanan yang

diterima dapat diketahui dan diperbaiki

7. Telaah pedoman praktik klinis (PPK)

Clinical pathway bersifat pelengkap PPK, maka sebelum menyusun

clinical pathway, PPK harus sudah ada atau harus dibuat terlebih dahulu

jika belum ada

8. Analisis casemix

Penyusunan clinical pathway perlu mengidentifikasi LoS per kasus,

kebutuhan biaya perkasus, penyesuaiana obat yang diberikan dengan

formularium nasional, dan ketepatan pemerikasaan penunjang diagnostik.

Hal ini terkait dengan besarnya pembiayan dan mencegah terjadinya fraud.

9. Menetapkan desain clinical pathway serta pengukuran proses dan outcome

Langkah ini menetapkan item-item aktivitas yang telah dilih sesuai

literature dan kondisi rumah sakit. Item-item yang telah ditetapkan harus

mudah dimengerti. Item – item disusun dalam kolom dengan

menambahkan kolom pencatatan informasi tambahan, variasi, kolom

tanda tangan dan kolom verifikasi bagian rekam medis.


10. Sosialisasi dan edukasi

Sosialisai dan edukasi kepada petugas yang terlibat dalam penerapan

clinical pathway. Sosialisai ini harus intensif dilakukna minimal selama 6

bulan sekali. Selain untuk meningkatkan kepatuhan, juga untuk

mendapatkan feedback penyesuaian agar sesuai dengan kondisi di

lapangan dan mendapatkan bentuk yang user friendly.

Audit Clinical Pathway

Perawatan pasien tidak selalu sejalan dengan clinical pathway hal tersebut

dapat disebabkan oleh beerapa hal, seperti : pasien intoleran dengan obat yang

tercantum di clinical pathway, komorbiditas pasien, perjalanan penyakit

pasien, dan lain-lain. Hal tersebut yang menjadikan penerapan clinical pathway

tidak selalu berjalan dengan baik. Namun pelayanan tetap harus sesuai dengan

patients centered care, tidak bisa perawatan dipaksakan harus sesuai clinical

pathway. Oleh karena itu implementasi clinical pathway harus dipersiapkan

dengan baik, dengan menentukan topik yang spesifik dan dapat diprediksi,

menentukan kriteria inklusi dan ekslusi guna meminimalisir variasi,

memastikan sumber daya dan sarana prasarana yang tersedia, koordinasi antar

petugas yang terlibat dalam proses perawatan, dan dijalankannya audit rutin.

Clinical pathway selain sebagai alat kendali biaya, clinical pathway juga

sebagai alat kendali mutu sebagaimana yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

Oleh karena itu agar implentasi clinical pathway dapat berjalan dengan baik

maka clinical pathway perlu diaudit. Berikut beberapa hal yang perlu dilakukan

dalam proses audit clinical pathway :


1. Menentukan waktu pelaksanan audit rutin.

2. Menentukan parameter yang akan diaudit, seperti lama waktu perawat

pasien, penggunaan obat-obatan, pemeriksaan penunjang yang diperlukan,

variasi selama pelayanan, kepatuhan petugas, hambatan yang terjadi

selama proses penerapan clinical pathway.

3. Mengumpulkan berkas rekam medis.

4. Koordinasi para SMF RS dan komite kendali mutu.

5. Dokumentasi serta membuat laporan dan rekomendasi kepada direktur

untuk dilakukannya revisi atau perbaikan clinical pathway.

C. Kepatuhan

Kepatuhan berasal dari kata patuh, dalam KBBI yang artinya suka menurut;

taat pada perintah, aturan, dan sebagainya; berdisiplin (KBBI Daring, 2022).

kepatuhan adalah bukti menjalankan apa yang diperintahkan. Kepatuhan

merupakan kesesuain sikap dengan peraturan, menerima hukum tanpa

pertanyaan, kemampuan untuk merenungkan kesesuain tindakan dengan

peraturan (Fattori et al., 2015)

Faktor – faktor yang berpengaruh terhadap kepatuhan

Kepatuhan merupakan sebuah bentuk perilaku. Berikut teori-teori perilaku

yang dapat digunakan unutk menjabarkan faktor – faktor yang berpengaruh

terhadap kepatuhan :

1. Theory of planned behavior (TPB)

TPB atau dalam bahasa indonesia Teori Perilaku Terencana menjelaskan

bahwa perilaku berasal dari niat individu dan Perceived behavioral control
(PBC)/kontrol perilaku yang dirasakan. Niat didefinisikan sebagi indikator

seberapa keras seseorang bersedia untuk melakukan sesuatu. Perilaku

didasarkan pada tiga prediktor yaitu: sikap, norma subjektif, dan PBC.

Sikap didefinisikan sebgai evaluasi perilaku yang menyenangkan atau tidak

menyenangkan dari individu. Norma subjektif mengacu pada tekanan

sosial yang dirasakan terhadap perilaku. PBC adalah penilaian pribadi atas

kelayakan pelaksanaan perilkau dalam kontek tertentu. TPB juga

menjabarkan bahwa terdapat tiga prediktor tidak langsung yang

mempengaruhi niat, yaitu keyakinan perilaku, keyakinan normatif, dan

keyakinan kontrol. Keyakinan perilaku mengacu pada keuntungan dan

kerugian yang dirasakan saat melakukan suatu hal. Keyakinan normatif

adalah kemungkinan subjektif seseorang terhdapa suatu norma yang

mempengaruhi keinginan sesorang melakukan suatu hal. Keyakinan

kontrol terkait dengan berbagai faktor (waktu, biaya, infrastruktur yang

tersedia, dan lain-lain) yang menghalangi atau memfasilitasi suatu perilaku

(Yuriev et al., 2020).

2. Theory Reasoned Action (TRA)


TRA menjelaskan bagaimana berbagai faktor memprediksi perilaku

sesorang. Niat adalah prediktor yang paling faktor utama dari perilaku yang

aktual. Sikap seseorang terhadap perilaku tertentu dan tekanan sosial yang

dirasakan (yaitu, norma subjektif) merupakan dua faktor utama yang

berkorelasi langsung dengan niat seseorang untuk melakukan suatu

tindakan (Xiao, 2020).


D. Evaluasi Clinical Pathway

Instrumen evaluasi clinical pathway yang telah divalidasi untuk menilai isi dan

mutu dari suatu clinical pathway adalah Integrated Care Pathways Appraisal

Tool (ICPAT). ICPAT berisikan enam dimensi yang mampu mengidentifikais

kualitas dan komponen esensial dari suatu clinical pathway. Enam dimensi

ICPAT meliputi (Whittle, 2009):

1. Dimensi 1 : identifikasi clinical pathway

Dimensi satu merupakah evaluasi yang menilai bahwa clinical pathway

bersifat kohesif dan multidisiplin

2. Dimensi 2 : dokumentasi clinical pathway

Bagian ini mengevaluasi proses dokumentasi clinical pathway.

Dokumentasi yang dimaksud adalah dokumentasi pelayanan kepada

pasien. Dimensi ini untuk menilai ketelitian dan kepatuhan terhadap

standar operasional.

3. Dimensi 3 : Proses pengembangan clinical pathway

Pengembangan clinical pathway perlu dilakukan untuk memberikan

perubahan yang lebih baik dalam pelayanan. Pada dimensi tiga terkait

peran audit dan evaluasi selama proses pengembangan.

4. Dimensi 4 : Penerapan clinical pathway

Dalam penerapan clinical pathway apakah telah dilakukan uji coba terlebih

dahulu sebelumnya oleh tim pelayanan medis, sehingga clinical pathway

benar-benar siap digunakan untuk pelayanan. Dimensi ini menilai

efektifitas dari penerapan clinical pathway.


5. Dimensi 5 : Maintenance clinical pathway

Dimensi lima menilai tinjauan rutin konten dan dokumentasi clinical

pathway untuk pembaharuan, termasuk penerimaan masukan-masukan

dari staff yang terlibat. Hal ini bertujuan untuk efisiensi yang pelayanan

sesuai evidence based medicine.

6. Dimensi 6 : Peran organisasi untuk clinical pathway

Tahapan ini berfungsi unutk menilai dukungan dari pihak rumah sakit

untuk proses penerapan clinical pathway.

E. Abortus Inkomplit

Pengertian Abortus Inkomplit

Abortus inkomplit merupakan pengeluran sebagian hasil konsepsi pada

kehamilan sebelum usia kehamilan 20 minggu dengan masih ada sebagian

yang tertinggal dalam uterus. Pada pemeriksaan vagina, kanalis servicalis

terbuka dan jaringan dapat diraba dalam cavum uteri atau sudah menonjol dari

ostium uteri eksternum.

Gambar 2.1. anatomi abortus inkomplit

Keluhan pada pasien abortus inkomplit berupa perdarahan aktif, nyeri perut

hebat seperti kontraksi saat persalinan, pengeluaran sebagian hasil konsepsi,


mulut Rahim terbuka dengan sebagian sisa hasil konsepsi tertinggal, terkadang

pasien datang dengan keadaan syok Karena perdarahan.

Faktor resiko yang dapat menyebabkan abortus

1. Faktor maternal

a. Penyakit infeksi

b. Kelainan hormonal, seperti hipotiroidisme

c. Gangguan nutrisi yang berat

d. Penyakit menahun dan kronis

e. Alkohol, merokok dan penggunaan obta-obatan

f. Anomali uterus dan serviks

g. Gangguan imunologis

h. Trauma fisik dan psikologis

2. Faktor janin

Adanya kelainan genetic pada janin

3. Faktor ayah

Terjadinya kelainan sperma

Hasil pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik

F. Penelitian Terdahulu

Penelitian yang telah dilakkukan oleh Duane Ayu Fitri (2017), The

Evaluation of Clinical Pathway Implementation on Cerebral Infarction in the

Inpatient Care Unit of Bantul X Hospital, metode penelitian dengan mix-

method, evaluasi clinical pathway dengan ICPAT. Penelitian dilakukan di


rawat inap Rumah Sakit di Bantul. Hasil penelitian menunjukkan ICPAT

dimensi 1 konten dan mutu baik, dimensi 2 konten moderate dan mutu baik,

dimensi 3 konten moderate dan mutu baik, dimensi 4 konten dan mutu kurang,

dimensi 5 konten dan mutu moderate, dimensi 6 konten dna mutu baik. Tingkat

kepatuhan formulir CP sebesar 22 % dan kepatuhan pengisian CP sebesar 0%.

Perbaikan kepatuhan implementasi CP infark cerebri memerlukan sosialisasi,

pelatihan dan evaluasi rutin serta fasilitator waktu.


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian dengan design action research untuk

mengevaluasi clinical pathway abortus inkomplit. Action research merupakan

penelitian dengan proses spiral yang terdiri dari lebih dari satu siklus, setiap

siklus terdiri dari 4 tahap yaitu plan (1), action (2), observation (3), reflection

(4) setelah itu re-plan pada siklus kedua (Kemmis et al., 2014).

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Rumah sakit Bhina Bhakti Husada, Rembang pada

bulan April – Juni 2023

C. Populasi Sample dan Sampling

1. Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh tenaga medis yang menangani

pasien dengan abortus inkomplit pada bulan maret 2023 di RS Bhina Bhakti

Husada, Rembang.

2. Sampel

Sample pada penelitian kualitatif biasanya disebut informan. Informan

pada penelitina ini adalah staf medis KSM obstetric gynecology, anggota

komite medis dan bidang pelayanan medis di RS Bhina Bhakti Husada.


3. Sampling

Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini dalah purposive

sampling, pemilihan siapa informan terbaik untuk memberikan informasi

yang dibutuhkan.

D. Prosedur Penelitian

Siklus pertama

1. Plan

Permasalahan kepatuhan clinical pathway abortus inkomplit di RS Bhina

Bhakti Husada. Rumusan masalah : Bagaimana permasalahan kepatuhan

clinical pathway abortus inkomplit di RS Bhina Bhakti Husada?

2. Action

Mencari data rekam medis abortus inkomplit lalu dievaluais dengan ICPAT

3. Observation

Melakukan FGD dengan informan

4. reflection

Hasil tindakan dilanjut ke siklus kedua

Siklus kedua

1. Plan

Bagaimana rekomndasi penyelesaian masalah kepatuhan clincal pathway

abortus inkomplit?

2. Action

Mengundang informan untuk melakukan FGD


3. Observation

Melakukan FGD dengan informan

4. Reflection

Melihat, mengkaji kegiatan yang telah dilakukan memberikan efek positif

atau perbaikan.

E. Etika Penelitian

1. Mengajukan persetujuan penelitian ke Panitia Kelaikan Etik Fakultas Pasca

sarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta sebelum penelitian.

F. Alur Penelitian

Gambar 3.1. Cycle of action research


(adapted from Kemmis et al., 2014)

Anda mungkin juga menyukai