Anda di halaman 1dari 13

PROFIL KLINIK DAN LABORATORIUM PASIEN

COMMUNITY ACQUIRED PNEUMONIA SEMBUH DAN


MENINGGAL DI RSUP DOKTER KARIADI

JURNAL MEDIA MEDIKA MUDA

Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai gelar sarjana


Program Strata-1 Kedokteran Umum

STEFANUS CHRISTIAN SETIAWAN

22010111120009

PROGRAM PENDIDIKAN SARJANA KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2015
 
   
LEMBAR PENGESAHAN JURNAL MEDIA MEDIKA MUDA

PROFIL KLINIK DAN LABORATORIUM PASIEN COMMUNITY


ACQUIRED PNEUMONIA SEMBUH DAN MENINGGAL DI RSUP
DOKTER KARIADI

Disusun oleh

STEFANUS CHRISTIAN SETIAWAN


22010111120009

Telah disetujui

Semarang, 7 Juli 2015

Pembimbing

dr. Muhammad Hussein Gasem, Sp.PD-KPTI, Ph.D


NIP. 195203031978121001

Ketua Penguji Penguji

dr. Nur Farhanah, Sp.PD dr. Helmia Farida, M.Kes, Sp.A


NIP. 197204072008122001 NIP. 196612132001122001
PROFIL KLINIK DAN LABORATORIUM PASIEN COMMUNITY
ACQUIRED PNEUMONIA SEMBUH DAN MENINGGAL DI RSUP
DOKTER KARIADI
Stefanus C Setiawan1, Moh. Hussein Gasem2, Nur Farhanah2, Helmia Farida3

ABSTRAK
Latar belakang: Community acquired pneumonia (CAP) merupakan penyakit
infeksi pada paru yang sering terjadi dan menyebabkan kematian. Diperlukan
penelitian lebih lanjut mengenai bagaimana profil klinik dan laboratorium pasien
CAP, serta deteksi awal pada pasien yang beresiko meninggal.

Tujuan: Untuk mengetahui perbandingan profil klinik dan laboratorium (saat


pasien masuk rumah sakit) pasien CAP yang sembuh dan meninggal (30 days
mortality rate) di RSUP Dokter Kariadi Semarang.

Metode: Penelitian komparatif retrospektif dengan rancangan belah lintang ini


menggunakan data sekunder yang diambil dari case record form CAPSIN di
RSUP Dr.Kariadi Semarang pada tahun 2007 sampai 2009. Sampel adalah 133
data pasien CAP. Analisis statistik menggunakan uji regresi logistik.

Hasil: Profil klinik yang paling sering muncul adalah batuk (94%), dyspnea
(88,7%), demam (88%), dan sputum (68,4%). Profil laboratorium yang paling
sering terdapat abnormalitas adalah leukosit (69,9%), hemoglobin (68,4%), ureum
(63,9%), dan hematokrit (63,9%). Pada uji regresi logistik, penurunan kesadaran
(p = 0,002) dan kadar kreatinin (p = 0,016) berpengaruh terhadap luaran dari
pasien CAP.

Kesimpulan: Penurunan kesadaran dan kadar kreatinin yang abnormal


berkontribusi terhadap luaran pasien CAP. Adanya penurunan kesadaran dan
kadar kreatinin yang abnormal pada pasien CAP meningkatkan risiko kematian
sebesar 85,7%.

Kata kunci: Community acquired pneumonia, profil klinik, profil laboratorium

1.
Mahasiswa Program Pendidikan S-1 Kedokteran Umum Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro
2.
Staf Pengajar Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro
3.
Staf Pengajar Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro
CLINICAL AND LABORATORY PROFILES OF CURED AND DIED
COMMUNITY ACQUIRED PNEUMONIA PATIENTS IN DR. KARIADI
HOSPITAL
Stefanus C Setiawan1, Moh. Hussein Gasem2, Nur Farhanah2, Helmia Farida3

ABSTRACT
Background: Community acquired pneumonia (CAP) is an infectious disease of
the lungs that frequently occurs and causes of death. Further research is needed
to understand the clinical and laboratory profiles of CAP patients and early
detection on patients with high risk of death.

Objective: To compare the clinical and laboratory profile of CAP patients (when
patient entered the hospital) of cured and died (30 days mortality rate) at Dr.
Kariadi Hospital.

Methods: This was a retrospective comparative with cross sectional study. It used
secondary data from case record form CAPSIN at Dr. Kariadi Hospital Semarang
on 2007 until 2009. The subjects were 133 CAP patients. Statistical analysis used
logistic regression test.

Results: The most frequent clinical profiles that appeared were cough (94%),
dyspnea (88.7%), fever (88%), and sputum (68.4%). Leukocytes (69.9%),
hemoglobin (68.4%), urea (63.9%), and hematocrit (63.9%) were the most
frequently abnormal laboratory results. Decrease of consciousness (p = 0.002)
and creatinine levels (p = 0.016) had a significant relationship to the outcome of
patients with CAP with logistic regression test
Conclusions: Decrease of consciousness and abnormality creatinine levels
contributes to the CAP patient outcomes. A decrease in consciousness and
abnormality of creatinine levels in patients with CAP increases the risk of death
by 85.7%.

Key words: Community acquired pneumonia, clinical profile, laboratory profile

1.
Undergraduate Students, Faculty of Medicine Diponegoro University
2.
Staff of Internal Medicine Department, Faculty of Medicine Diponegoro
University
3.
Staff of Microbiology Department, Faculty of Medicine Diponegoro
University
PENDAHULUAN
Infeksi saluran napas bawah masih tetap menjadi masalah utama dalam bidang
kesehatan, baik di negara berkembang maupun negara maju.1 Infeksi ini
merupakan penyebab yang sering menimbulkan kematian di dunia dan penyebab
kematian akibat penyakit infeksi.2 Data SEAMIC Health Statistic 2001, influenza
dan pneumonia merupakan penyebab kematian nomor 6 di Indonesia, nomor 9 di
Brunei, nomor 7 di Malaysia, nomor 3 di Singapura, nomor 6 di Thailand dan
nomor 3 di Vietnam.3 Data WHO menunjukkan bahwa pneumonia mengakibatkan
kematian pada 935.000 anak dibawah 5 tahun pada tahun 2013.5
Pneumonia merupakan infeksi saluran napas bawah akut pada jaringan paru oleh
mikroorganisme. Community acquired pneumonia (CAP) atau pneumonia
komunitas adalah sindrom infeksi paru akut yang menyerang pada orang yang
belum pernah dirawat di rumah sakit.6 CAP sering menyerang pada orang usia
lanjut dan berpotensi untuk menyebabkan kematian.7
Insiden CAP di Inggris meningkat 34% dari 1997 sampai 2005, dan
mengakibatkan komplikasi yang serius, seperti efusi paranapneumonic.8 CAP
menjadi penyebab infeksi nomor satu dan penyebab kematian keenam di Amerika
Serikat.9 Pada studi terakhir menunjukkan bahwa 10% pasien CAP membutuhkan
perawatan intensif.4 Data di RSUD Dr. Soetomo, menunjukkan angka kematian
akibat CAP sebesar 20 – 35%.1
Di dunia, Streptococcus pneumoniae menjadi penyebab utama (hampir 50%
kasus) pada penyakit community acquired pneumonia.8,10 Penyebab umum
lainnya adalah virus pernapasan (terutama influenza tipe A) dan bakteri atipikal
Chlamydophila pneumoniae dan Mycoplasma pneumoniae. Haemophilus
influenzae, Staphylococcus aureus, Moraxella catarrhalis, dan Legionella
pneumophila juga dapat menjadi penyebab pada CAP.10 Namun, pada negara
berkembang, bakteri gram negatif menjadi penyebab paling banyak. Berdasarkan
studi tentang community acquired pneumonia di Indonesia, Klebsiella
pneumoniae menjadi agen utama penyakit ini.8
Pada studi CAP Northeastern Ohio Universities College of Medicine di Ohio
menunjukkan bahwa terdapat berbagai macam gejala klinik pasien CAP. Gejala
klinik meliputi demam, myalgia, dyspnea, batuk, fatigue, dan lain-lain. Rata-rata
pemulihan dari demam adalah 3 hari, 5 hari untuk myalgia, 6 hari untuk dyspnea,
14 hari untuk batuk dan fatigue. Gejala dapat memanjang pada pasien dengan
CAP lanjut.7 Keadaan dua atau lebih yang meliputi mental confusion, respiratory
rate > 30/menit, tekanan darah diastolik < 60 mmHg, dan urea dalam darah > 7
mmol/L akan mengakibatkan kematian hingga 80%.11
Banyaknya angka kejadian CAP di dunia termasuk Indonesia menunjukkan masih
diperlukannya penelitian yang lebih lanjut mengenai berbagai aspek pada CAP.
Minimnya data epidemiologis di Indonesia, membuat penulis merasa tertarik
untuk meneliti mengenai profil klinik dan laboratorium, terutama untuk deteksi
awal pada pasien CAP yang beresiko meninggal di RSUP Dokter Kariadi.

METODE
Penelitian ini merupakan penelitian komparatif retrospektif dengan menggunakan
studi belah lintang atau cross sectional terhadap kelompok pasien CAP. Penelitian
dilakukan di RSUP Dr. Kariadi Semarang selama bulan Maret - April 2015.
Subyek penelitian ini adalah semua pasien yang tercatat dalam case record form
CAPSIN pada tahun 2007 sampai 2009.
Variabel penelitian ini adalah gambaran ciri – ciri karakterisktik (usia dan jenis
kelamin), profil klinik yang meliputi demam, sakit kepala, chills, batuk, sputum,
hemoptysis, dyspnea, pleuritic pain, dan penurunan kesadaran, laboratorium yang
meliputi kadar hemoglobin, hematokrit, jumlah eritrosit, leukosit, trombosit, nilai
laju endap darah, kadar ureum, kreatinin, gula darah sewaktu, dan elektrolit
(natrium, kalium, klorida, dan kalsium) pasien CAP yang sembuh dan meninggal
di RSUP Dokter Kariadi.
Data dikumpulkan dan diperoleh dari case record form tiap individu pasien
kemudian diolah, diperiksa kelengkapan dan kejelasan masing – masing data.
Kemudian dilakukan skoring untuk data yang menggunakan skala ordinal. Data
kemudian diolah dengan program komputer. Hasilnya bersifat distributif,
frekuensi, disajikan dalam bentuk tabel, dan grafik serta penjelasannya. Data
dianalisis secara univariat, univariat (uji chi-square), dan multivariat (regresi
logistik).

HASIL
Pada penelitian yang telah dilakukan, didapatkan 133 pasien CAP yang memenuhi
kriteria inklusi. Berikut merupakan hasil analisis univariat dan multivariat.

Tabel 1. Frekuensi Pasien CAP berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin


Variabel N Kategori Frekuensi %
Usia 133 15 – 24 10 7,5
25 – 34 8 6,0
35 – 44 18 13,5
45 – 54 22 16,5
55 – 64 29 21,8
≥ 65 46 34,6
Jenis kelamin 133 Laki-laki 60 45,1
Perempuan 73 54,9

Tabel 2. Frekuensi Profil Klinik pada Pasien CAP


Variabel N Kategori Frekuensi %
Profil Klinik 133 Demam 117 88
Sakit kepala 38 28,6
Chills 28 21,1
Batuk 125 94,0
Sputum 91 68,4
Hemoptysis 12 9,0
Dyspnea 118 88,7
Pleuritic pain 7 5,3
Penurunan
27 20,3
kesadaran
Jumlah Profil Klinik 133 1–3 32 24,1
4–6 99 74,4
6–9 2 1,5
Tabel 3. Frekuensi Profil Laboratorium pada Pasien CAP
Variabel N Kategori Frekuensi %
Hemoglobin 133 Tidak normal 91 68,4
Hematokrit 133 Tidak normal 85 63,9
Eritrosit 125 Tidak normal 72 57,6
Leukosit 133 Tidak normal 93 69,9
Trombosit 133 Tidak normal 64 48,1
Ureum 133 Tidak normal 85 63,9
Kreatinin 133 Tidak normal 47 35,3
GDS 133 Tidak normal 50 37,6
Na 133 Tidak normal 67 50,4
K 133 Tidak normal 55 41,4
Cl 133 Tidak normal 53 39,8
Ca 106 Tidak normal 57 53,8
*Untuk data LED tidak dicantumkan karena data pada case record form tidak
lengkap.

Tabel 4. Frekuensi Hasil Perawatan (Luaran) pada pasien CAP


Luaran Frekuensi %
Meninggal 38 28,6
Hidup 95 71,4

Tabel 5. Hasil Analisis Univariat Profil Klinik berdasarkan Luaran


Luaran
Meninggal Hidup
Profil Klinik p OR CI 95%
(38) (95)
n % n %
Demam 34 29,1 83 70,9 0,736 1,229 0,370 – 4,080
Sakit kepala 9 23,7 29 76,3 0,430 0,706 0,297 – 1,679
Chills 7 25 21 75 0,638 0,796 0,307 – 2,063
Batuk 36 28,8 89 71,2 0,818 1,213 0,234 – 6,296
Sputum 25 27,5 66 72,5 0,680 0,845 0,380 – 1,880
Hemoptysis 0 0 12 100 0,022 – –
Dyspnea 38 32,2 80 67,8 0,009 – –
Pleuritic pain 1 14,3 6 85,7 0,390 0,401 0,047 – 3,447
Penurunan kesadaran 17 63 10 37 0,000 6,881 2,754 – 17,190

Berdasarkan tabel diatas, didapatkan bahwa penurunan kesadaran memiliki


hubungan yang bermakna terhadap luaran dari pasien CAP.
Tabel 6. Hasil Analisis Univariat Profil Laboratorium berdasarkan Luaran
Luaran
Meninggal Hidup
Laboratorium p OR CI 95%
(38) (95)
n % n %
Hemoglobin 25 27,5 66 72,5 0,680 0,845 0,380 – 1,880
Hematokrit 24 28,2 61 71,8 0,909 0,956 0,437 – 2,087
Eritrosit 18 25 54 75 0,126 0,550 0,255 – 1,188
Leukosit 26 28 67 72 0,811 0,905 0,401 – 2,043
Trombosit 20 31,3 44 68,8 0,510 1,288 0,606 – 2,737
Ureum 28 32,9 57 67,1 0,138 1,867 0,814 – 4,283
Kreatinin 21 44,7 26 55,3 0,002 3,278 1,499 – 7,169
GDS 12 24 38 76 0,365 0,692 0,312 – 1,537
Na 21 31,3 46 68,7 0,476 1,316 0,618 – 2,801
K 13 23,6 42 76,4 0,290 0,656 0,300 – 1,436
Cl 21 39,6 32 60,4 0,022 2,432 1,128 – 5,242
Ca 16 28,1 41 71,9 0,774 0,885 0,382 – 2,046

Dari tabel diatas, profil laboratorium yang memiliki hubungan yang bermakna
terhadap luaran dari pasien CAP adalah kadar kreatinin (p = 0,002) dan klorida (p
= 0,022).

Tabel 7. Hasil analisis regresi logistik ganda


No Variabel B P
1 Hemoptysis 20,094 0,998
2 Dsypnea -20,128 0,998
3 Penurunan Kesadaran -1,646 0,002
4 Kreatinin -1,106 0,016
5 Klorida -5,54 0,226
Konstanta -18,511 0,999

Hasil analisis regresi logistik ganda menunjukkan adanya 2 variabel bebas yang
berpengaruh terhadap besar kemungkinan pasien CAP meninggal, yaitu
penurunan kesadaran (p = 0,002) dan kadar kreatinin (p = 0,016).
Rumus untuk memprediksi kemungkinan pasien CAP hidup dan meninggal, yaitu
1 / 1 + EXP (1+k+b1(var1)+b2(var2)+b3(var3)...)
Didapatkan hasil sebagai berikut.
1. Bila terdapat penurunan kesadaran pada seorang pasien CAP, maka pasien
tersebut memiliki risiko kematian sebesar 67,9%.
2. Bila terdapat kadar kreatinin yang abnormal pada seorang pasien CAP,
maka pasien tersebut memiliki risiko kematian sebesar 49,4%.
3. Bila terdapat penurunan kesadaran dan kadar kreatinin yang abnormal
pada seorang pasien CAP, maka pasien tersebut memiliki risiko kematian
sebesar 85,7%.

PEMBAHASAN
Profil klinik yang memiliki nilai yang bermakna terhadap luaran dari pasien CAP
pada penelitian ini adalah penurunan kesadaran (p = 0,000 pada analisis univariat
dan p = 0,002 pada analisis multivariat). Dari 27 pasien yang mengalami
penurunan kesadaran, 17 pasien diantaranya meninggal.
Penurunan kesadaran pada penelitian ini menggunakan kriteria Glasgow Comma
Scale (GCS), dimana yang dimasukkan dalam keadaan penurunan kesadaran
(unconsciousness) adalah nilai GCS pasien kurang dari 15. Hal ini berbeda
dengan penilaian menggunakan kriteria CURB dan PSI.
Kriteria CURB menggunakan Abbreviated Mental Test (AMT) untuk menilai
kesadaran secara mental (confusion atau disorientasi) seorang pasien. Penurunan
kesadaran kurang dari sama dengan 8 pada AMT digunakan sebagai pedoman
untuk skoring pada kriteria CURB.11 Pada kriteria PSI, penurunan kesadaran
(altered mental status) yang dimaksud adalah gangguan disorientasi terhadap
orang, tempat, dan waktu yang bersifat kronis, stupor, dan koma.12
Penurunan kesadaran biasanya ditemukan pada pasien usia tua pada semua jenis
pneumonia dan mungkin merupakan manifestasi dari pneumonia itu sendiri atau
dari penyakit penyerta lain yang sudah diderita sebelumnya. Hal ini memperbesar
peluang masuknya bakteri anaerob sehingga memperparah keadaan pasien.13
Tekanan darah dan glukosa darah menurun pada pasien pneumonia yang
mengalami penurunan kesadaran.14 Oleh karena itu, penurunan kesadaran
merupakan tanda kegawatan yang seharusnya diwaspadai karena berpengaruh
terhadap luaran seorang pasien.
Kadar kreatinin yang abnormal pada penelitian ini memiliki nilai yang bermakna
terhadap luaran dari pasien CAP (p = 0,002 pada analisis univariat dan p = 0,016
pada analisis multivariat). Dari 47 pasien yang mengalami abnormalitas kadar
kreatinin (terdiri dari 45 pasien mengalami kenaikan dan 2 pasien mengalami
penurunan), 21 pasien diantaranya meninggal.
Kreatinin merupakan hasil pemecahan dari kreatin fosfat pada otot yang biasanya
ditemukan dalam jumlah yang konstan dalam tubuh. Serum kreatinin merupakan
tanda yang penting untuk menilai fungsi ekskresi ginjal.15
Peningkatan kreatinin sering ditemukan pada pasien usia lanjut dengan pneumonia
derajat berat. Pada pneumonia derajat berat dapat terjadi syok septik yang
menyebabkan gangguan ginjal akut yang mengakibatkan peningkatan kreatinin.20
Peningkatan kreatinin juga terjadi akibat rhabdomyolysis. Hal ini merupakan tanda
kegawatan pada pasien pneumonia. Kejadian rhabdomyolysis dapat terjadi pada
pneumonia akibat Streptococcus pneumoniae, Mycoplasma pneumoniae, dan
Legionella pneumophila.16,17,18
Rhabdomyolysis sering terjadi pada pasien dengan cidera otot, alkoholik, dan
kejang.18 Kurang dari 5% pasien pneumonia mengalami rhabdomyolysis. Pada
pasien pneumonia hal ini terjadi akibat invasi langsung bakteri pada otot dan
toksin dari bakteri. Pada pasien dengan rhabdomyolysis terdapat pemecahan
protein dari otot skelet yang mengakibatkan myoglobin, dan protein lain keluar ke
sirkulasi.17 Gangguan ginjal pada kejadian sebelumnya dan dehidrasi juga dapat
menyebabkan peningkatan kreatinin.19
Oleh karena itu, deteksi awal peningkatan kreatinin pada pasien pneumonia
diperlukan untuk pengelolaan dan terapi lebih lanjut mengingat beratnya
komplikasi yang ditimbulkan akibat hal ini.
DAFTAR PUSTAKA

1. Pokja Infeksi Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pneumonia Komunitas:


Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Di Indonesia. 2003
2. Bartlett JG, Scott F, Dowell, Lionel A, Mandell, et al. Practice Guidelines for
the Management of Community-Acquired Pneumonia in Adults. Clinical
Infectious Diseases. 2000; 31: 347–82
3. South East Asian Medical Information Center. Seamic health statistics 2000.
2001
4. Mongardon N, Max A, Bougle A, Pene F, Lemiale V, Charpentier J, et al.
Epidemiology and outcome of severe pneumococcal pneumonia admitted to
intensive care unit: a multicenter study. Critical care. 2012; 16(4): R155
5. WHO. Pneumonia. 2014. Available from:
www.who.int/mediacentre/factsheets/fs331/en/
6. Musher DM, Anna R. Thorner. Community-Acquired Pneumonia. The New
England Journal Of Medicine. 2014: 371; 17
7. File TM. Community-Acquired Pneumonia. Lancet. 2003: 362; 1991

8. Brown JS. Community-Acquired Pneumonia. Clinical Medicine 2012, Vol


12, No 6: 538–543
9. Dharmadhikari V, Joseph T, Kulkarni A. Bacteriological and Clinical Profile
of Community Acquired Pneumonia in Hospitalized Patients. International
Journal of Pharma and Bio Sciences. 2013: 695–702

10. Farida H, Juliëtte A. Severin, M. Gasem MH, et al. Nasopharyngeal Carriage


of Klebsiella pneumoniae and Other Gram-Negative Bacilli in Pneumonia-
Prone Age Groups in Semarang, Indonesia. Journal of Clinical Microbiology.
2013: 1614–1616
11. Lim WS, Eerden MM, Laing R, et al. Defining community acquired
pneumonia severity on presentation to hospital: an international derivation
and validation study. Thorax. 2003; 58: 377–382
12. Fine MJ, Auble TE, Yealy DM, Hanusa BH, Weissfeld LA, Singer DE, et al.
A prediction rule to identify low-risk patients with community-acquired
pneumonia.N Engl J Med 1997; 336: 243–50
13. Prasad R. Community Acquired Pneumonia: Clinical Manifestations. Uttar
Pradesh. Supplement to JAPI 2012 VOL. 60: 10
14. Yamakawa S, et al. Recurrent Pneumonia with Unconsciousness. Yokohama,
Japan. Journal of Internal Medicine 2002; 251: 278-279
15. Wyss M, Daouk RK. Creatine and Creatinine Metabolism. Massachusetts.
Physiological Reviews Vol. 80, No. 3, July 2000: 1114
16. Khan FY, Sayed H. Rhabdomyolysis associated with Mycoplasma
pneumoniae pneumonia. Doha, Qatar. Hong Kong Med J Vol 18 No 3, June
2012: 247-248
17. Blanco RJ, Zabalza M, Salcedo J, Roman SJ. Rhabdomyolysis as a results of
Streptococcus pneumoniae: report of a case and review. Spain. European
Society of Clinical Microbiology and Infectious Diseases 2003 : 944-947
18. Mortron SE, Mathai M, Byrd RP, Fields CL, Toy TM. Influenza a Pneumonia
with Rhabdomyolysis. Johnson City. South Med J. 2001; 94 (1)
19. Garcia MC, Ebeo CT, Byrd RP Jr, Roy TM. Rhabdomyolysis associated with
pneumococcal pneumonia: an early clinical indicator of increased morbidity?.
Mountain Home. Tenn Med 2002 Feb; 95(2): 67-9.
20. Ali A, El S, Sikka P, Ramadan F, Davies J. Etiology of Severe Pneumonia in
the Very Elderly. American Journal of Respiratory and Critical Care
Medicine, Vol. 163, No. 3 (2001), pp. 645-651

Anda mungkin juga menyukai