22010111120009
Disusun oleh
Telah disetujui
Pembimbing
ABSTRAK
Latar belakang: Community acquired pneumonia (CAP) merupakan penyakit
infeksi pada paru yang sering terjadi dan menyebabkan kematian. Diperlukan
penelitian lebih lanjut mengenai bagaimana profil klinik dan laboratorium pasien
CAP, serta deteksi awal pada pasien yang beresiko meninggal.
Hasil: Profil klinik yang paling sering muncul adalah batuk (94%), dyspnea
(88,7%), demam (88%), dan sputum (68,4%). Profil laboratorium yang paling
sering terdapat abnormalitas adalah leukosit (69,9%), hemoglobin (68,4%), ureum
(63,9%), dan hematokrit (63,9%). Pada uji regresi logistik, penurunan kesadaran
(p = 0,002) dan kadar kreatinin (p = 0,016) berpengaruh terhadap luaran dari
pasien CAP.
1.
Mahasiswa Program Pendidikan S-1 Kedokteran Umum Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro
2.
Staf Pengajar Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro
3.
Staf Pengajar Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro
CLINICAL AND LABORATORY PROFILES OF CURED AND DIED
COMMUNITY ACQUIRED PNEUMONIA PATIENTS IN DR. KARIADI
HOSPITAL
Stefanus C Setiawan1, Moh. Hussein Gasem2, Nur Farhanah2, Helmia Farida3
ABSTRACT
Background: Community acquired pneumonia (CAP) is an infectious disease of
the lungs that frequently occurs and causes of death. Further research is needed
to understand the clinical and laboratory profiles of CAP patients and early
detection on patients with high risk of death.
Objective: To compare the clinical and laboratory profile of CAP patients (when
patient entered the hospital) of cured and died (30 days mortality rate) at Dr.
Kariadi Hospital.
Methods: This was a retrospective comparative with cross sectional study. It used
secondary data from case record form CAPSIN at Dr. Kariadi Hospital Semarang
on 2007 until 2009. The subjects were 133 CAP patients. Statistical analysis used
logistic regression test.
Results: The most frequent clinical profiles that appeared were cough (94%),
dyspnea (88.7%), fever (88%), and sputum (68.4%). Leukocytes (69.9%),
hemoglobin (68.4%), urea (63.9%), and hematocrit (63.9%) were the most
frequently abnormal laboratory results. Decrease of consciousness (p = 0.002)
and creatinine levels (p = 0.016) had a significant relationship to the outcome of
patients with CAP with logistic regression test
Conclusions: Decrease of consciousness and abnormality creatinine levels
contributes to the CAP patient outcomes. A decrease in consciousness and
abnormality of creatinine levels in patients with CAP increases the risk of death
by 85.7%.
1.
Undergraduate Students, Faculty of Medicine Diponegoro University
2.
Staff of Internal Medicine Department, Faculty of Medicine Diponegoro
University
3.
Staff of Microbiology Department, Faculty of Medicine Diponegoro
University
PENDAHULUAN
Infeksi saluran napas bawah masih tetap menjadi masalah utama dalam bidang
kesehatan, baik di negara berkembang maupun negara maju.1 Infeksi ini
merupakan penyebab yang sering menimbulkan kematian di dunia dan penyebab
kematian akibat penyakit infeksi.2 Data SEAMIC Health Statistic 2001, influenza
dan pneumonia merupakan penyebab kematian nomor 6 di Indonesia, nomor 9 di
Brunei, nomor 7 di Malaysia, nomor 3 di Singapura, nomor 6 di Thailand dan
nomor 3 di Vietnam.3 Data WHO menunjukkan bahwa pneumonia mengakibatkan
kematian pada 935.000 anak dibawah 5 tahun pada tahun 2013.5
Pneumonia merupakan infeksi saluran napas bawah akut pada jaringan paru oleh
mikroorganisme. Community acquired pneumonia (CAP) atau pneumonia
komunitas adalah sindrom infeksi paru akut yang menyerang pada orang yang
belum pernah dirawat di rumah sakit.6 CAP sering menyerang pada orang usia
lanjut dan berpotensi untuk menyebabkan kematian.7
Insiden CAP di Inggris meningkat 34% dari 1997 sampai 2005, dan
mengakibatkan komplikasi yang serius, seperti efusi paranapneumonic.8 CAP
menjadi penyebab infeksi nomor satu dan penyebab kematian keenam di Amerika
Serikat.9 Pada studi terakhir menunjukkan bahwa 10% pasien CAP membutuhkan
perawatan intensif.4 Data di RSUD Dr. Soetomo, menunjukkan angka kematian
akibat CAP sebesar 20 – 35%.1
Di dunia, Streptococcus pneumoniae menjadi penyebab utama (hampir 50%
kasus) pada penyakit community acquired pneumonia.8,10 Penyebab umum
lainnya adalah virus pernapasan (terutama influenza tipe A) dan bakteri atipikal
Chlamydophila pneumoniae dan Mycoplasma pneumoniae. Haemophilus
influenzae, Staphylococcus aureus, Moraxella catarrhalis, dan Legionella
pneumophila juga dapat menjadi penyebab pada CAP.10 Namun, pada negara
berkembang, bakteri gram negatif menjadi penyebab paling banyak. Berdasarkan
studi tentang community acquired pneumonia di Indonesia, Klebsiella
pneumoniae menjadi agen utama penyakit ini.8
Pada studi CAP Northeastern Ohio Universities College of Medicine di Ohio
menunjukkan bahwa terdapat berbagai macam gejala klinik pasien CAP. Gejala
klinik meliputi demam, myalgia, dyspnea, batuk, fatigue, dan lain-lain. Rata-rata
pemulihan dari demam adalah 3 hari, 5 hari untuk myalgia, 6 hari untuk dyspnea,
14 hari untuk batuk dan fatigue. Gejala dapat memanjang pada pasien dengan
CAP lanjut.7 Keadaan dua atau lebih yang meliputi mental confusion, respiratory
rate > 30/menit, tekanan darah diastolik < 60 mmHg, dan urea dalam darah > 7
mmol/L akan mengakibatkan kematian hingga 80%.11
Banyaknya angka kejadian CAP di dunia termasuk Indonesia menunjukkan masih
diperlukannya penelitian yang lebih lanjut mengenai berbagai aspek pada CAP.
Minimnya data epidemiologis di Indonesia, membuat penulis merasa tertarik
untuk meneliti mengenai profil klinik dan laboratorium, terutama untuk deteksi
awal pada pasien CAP yang beresiko meninggal di RSUP Dokter Kariadi.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian komparatif retrospektif dengan menggunakan
studi belah lintang atau cross sectional terhadap kelompok pasien CAP. Penelitian
dilakukan di RSUP Dr. Kariadi Semarang selama bulan Maret - April 2015.
Subyek penelitian ini adalah semua pasien yang tercatat dalam case record form
CAPSIN pada tahun 2007 sampai 2009.
Variabel penelitian ini adalah gambaran ciri – ciri karakterisktik (usia dan jenis
kelamin), profil klinik yang meliputi demam, sakit kepala, chills, batuk, sputum,
hemoptysis, dyspnea, pleuritic pain, dan penurunan kesadaran, laboratorium yang
meliputi kadar hemoglobin, hematokrit, jumlah eritrosit, leukosit, trombosit, nilai
laju endap darah, kadar ureum, kreatinin, gula darah sewaktu, dan elektrolit
(natrium, kalium, klorida, dan kalsium) pasien CAP yang sembuh dan meninggal
di RSUP Dokter Kariadi.
Data dikumpulkan dan diperoleh dari case record form tiap individu pasien
kemudian diolah, diperiksa kelengkapan dan kejelasan masing – masing data.
Kemudian dilakukan skoring untuk data yang menggunakan skala ordinal. Data
kemudian diolah dengan program komputer. Hasilnya bersifat distributif,
frekuensi, disajikan dalam bentuk tabel, dan grafik serta penjelasannya. Data
dianalisis secara univariat, univariat (uji chi-square), dan multivariat (regresi
logistik).
HASIL
Pada penelitian yang telah dilakukan, didapatkan 133 pasien CAP yang memenuhi
kriteria inklusi. Berikut merupakan hasil analisis univariat dan multivariat.
Dari tabel diatas, profil laboratorium yang memiliki hubungan yang bermakna
terhadap luaran dari pasien CAP adalah kadar kreatinin (p = 0,002) dan klorida (p
= 0,022).
Hasil analisis regresi logistik ganda menunjukkan adanya 2 variabel bebas yang
berpengaruh terhadap besar kemungkinan pasien CAP meninggal, yaitu
penurunan kesadaran (p = 0,002) dan kadar kreatinin (p = 0,016).
Rumus untuk memprediksi kemungkinan pasien CAP hidup dan meninggal, yaitu
1 / 1 + EXP (1+k+b1(var1)+b2(var2)+b3(var3)...)
Didapatkan hasil sebagai berikut.
1. Bila terdapat penurunan kesadaran pada seorang pasien CAP, maka pasien
tersebut memiliki risiko kematian sebesar 67,9%.
2. Bila terdapat kadar kreatinin yang abnormal pada seorang pasien CAP,
maka pasien tersebut memiliki risiko kematian sebesar 49,4%.
3. Bila terdapat penurunan kesadaran dan kadar kreatinin yang abnormal
pada seorang pasien CAP, maka pasien tersebut memiliki risiko kematian
sebesar 85,7%.
PEMBAHASAN
Profil klinik yang memiliki nilai yang bermakna terhadap luaran dari pasien CAP
pada penelitian ini adalah penurunan kesadaran (p = 0,000 pada analisis univariat
dan p = 0,002 pada analisis multivariat). Dari 27 pasien yang mengalami
penurunan kesadaran, 17 pasien diantaranya meninggal.
Penurunan kesadaran pada penelitian ini menggunakan kriteria Glasgow Comma
Scale (GCS), dimana yang dimasukkan dalam keadaan penurunan kesadaran
(unconsciousness) adalah nilai GCS pasien kurang dari 15. Hal ini berbeda
dengan penilaian menggunakan kriteria CURB dan PSI.
Kriteria CURB menggunakan Abbreviated Mental Test (AMT) untuk menilai
kesadaran secara mental (confusion atau disorientasi) seorang pasien. Penurunan
kesadaran kurang dari sama dengan 8 pada AMT digunakan sebagai pedoman
untuk skoring pada kriteria CURB.11 Pada kriteria PSI, penurunan kesadaran
(altered mental status) yang dimaksud adalah gangguan disorientasi terhadap
orang, tempat, dan waktu yang bersifat kronis, stupor, dan koma.12
Penurunan kesadaran biasanya ditemukan pada pasien usia tua pada semua jenis
pneumonia dan mungkin merupakan manifestasi dari pneumonia itu sendiri atau
dari penyakit penyerta lain yang sudah diderita sebelumnya. Hal ini memperbesar
peluang masuknya bakteri anaerob sehingga memperparah keadaan pasien.13
Tekanan darah dan glukosa darah menurun pada pasien pneumonia yang
mengalami penurunan kesadaran.14 Oleh karena itu, penurunan kesadaran
merupakan tanda kegawatan yang seharusnya diwaspadai karena berpengaruh
terhadap luaran seorang pasien.
Kadar kreatinin yang abnormal pada penelitian ini memiliki nilai yang bermakna
terhadap luaran dari pasien CAP (p = 0,002 pada analisis univariat dan p = 0,016
pada analisis multivariat). Dari 47 pasien yang mengalami abnormalitas kadar
kreatinin (terdiri dari 45 pasien mengalami kenaikan dan 2 pasien mengalami
penurunan), 21 pasien diantaranya meninggal.
Kreatinin merupakan hasil pemecahan dari kreatin fosfat pada otot yang biasanya
ditemukan dalam jumlah yang konstan dalam tubuh. Serum kreatinin merupakan
tanda yang penting untuk menilai fungsi ekskresi ginjal.15
Peningkatan kreatinin sering ditemukan pada pasien usia lanjut dengan pneumonia
derajat berat. Pada pneumonia derajat berat dapat terjadi syok septik yang
menyebabkan gangguan ginjal akut yang mengakibatkan peningkatan kreatinin.20
Peningkatan kreatinin juga terjadi akibat rhabdomyolysis. Hal ini merupakan tanda
kegawatan pada pasien pneumonia. Kejadian rhabdomyolysis dapat terjadi pada
pneumonia akibat Streptococcus pneumoniae, Mycoplasma pneumoniae, dan
Legionella pneumophila.16,17,18
Rhabdomyolysis sering terjadi pada pasien dengan cidera otot, alkoholik, dan
kejang.18 Kurang dari 5% pasien pneumonia mengalami rhabdomyolysis. Pada
pasien pneumonia hal ini terjadi akibat invasi langsung bakteri pada otot dan
toksin dari bakteri. Pada pasien dengan rhabdomyolysis terdapat pemecahan
protein dari otot skelet yang mengakibatkan myoglobin, dan protein lain keluar ke
sirkulasi.17 Gangguan ginjal pada kejadian sebelumnya dan dehidrasi juga dapat
menyebabkan peningkatan kreatinin.19
Oleh karena itu, deteksi awal peningkatan kreatinin pada pasien pneumonia
diperlukan untuk pengelolaan dan terapi lebih lanjut mengingat beratnya
komplikasi yang ditimbulkan akibat hal ini.
DAFTAR PUSTAKA