Anda di halaman 1dari 7

::Snouck dan Implikasi Sejarah Aceh::

Oleh: Sulaiman Tripa*)


Entah berapa juta gulden yang dikeluarkan Belanda untuk membiayai pendidikan dan penelitian
(research and education) Snouck Hurgronje. Kalau di Aceh, hasil dari Snouck tampak bukan
hanya untuk menyelesaikan perlawanan yang baru berakhir abad ke-20-sebuah perlawanan
paling dahsyat di seantero dunia yang pernah dijajah Belanda-tapi juga untuk menaklukkannya
secara utuh.
Lalu apakah Aceh pernah takluk?
Pertanyaan sederhana itu ternyata jauh tak penting bila melihat pengaruh Snouck bagi Aceh
masa lalu, sekarang, bahkan untuk masa mendatang. Masa dulu, Snouck-lah sebagai orang yang
paling berperan untuk menaklukkan kesultanan pada 1903-walau dalam sejarahnya, ia meralat
dengan mengatakan, menaklukkan kesultanan tidak serta merta dapat menjadi simbol bahwa
Aceh secara utuh telah tertaklukkan. Masa sekarang, kita lihat bagaimana konsep-konsep
Snouck diadopsi secara utuh dalam menyelesaikan kasus Aceh yang ternyata telah berkelindan
parah dalam lingkaran kekerasan yang seperti labirin. Untuk masa depan, konsep Snouck
tersebut, ternyata masih menjadi salah satu konsep kebijakan yang dominan dalam
menyelesaikan masalah Aceh sampai ke akar.
Yang paling menarik dari Snouck, adalah ambivalensinya dalam memberikan nasehat. Awal
penyelesaian perang Aceh, Snouck dengan gagah memerintahkan militer Belanda untuk
memusnahkan kantong-kantong perlawanan secara keras, agar masyarakat biasa takut
berhubungan dengan mereka. Akhir perang, Snouck pula yang mengatakan bahwa kekerasan
akan melahirkan rasa kebencian mendalam rakyat terhadap Belanda, makanya harus (segera)
dihentikan.
Masalah takluk atau tidak dan ambivalensi nasehat Snouck, menampilkan sebuah gambaran lain
bahwa secara politik, ada hubungan sipil dan militer Belanda yang terganggu di Aceh saat itu.
Snouck-pun, dengan demikian, dapat berarti sebuah landasan pijak pada nilai tawar kedua
elemen itu. Terganggunya hubungan sipil-militer, dapat terlihat dengan jelas juga akhir-akhir
ini, terutama saat Darurat Militer (DM) yang berlangsung di Aceh selama setahun menimbulkan
perdebatan, apakah dilanjutkan atau tidak? Ternyata, akhirnya memang tidak dilanjutkan, tapi
diganti dengan Darurat Sipil (DS) yang bagi sebagian orang ini dipandang sebagai
"kemenangannya" pihak sipil.
Diskursus sipil-militer, seakan mendapat momentum klimaks di Aceh masa akhir DM. Hal ini
ditambah lagi dengan munculnya sosok Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang purnawirawan
militer terpilih sebagai Presiden RI yang selama menjadi Menkopolkam masa Presiden Megawati,
memiliki perhatian besar dalam pemberantasan korupsi di Aceh di mana yang dominan
bermasalah dari komponen sipil.
Masalah sipil-militer tak akan dibahas dalam tulisan ini. Sekilas di atas hanya sebagai pemantik
bahwa masalah itu memang ada, terlepas, apakah sipil akan lebih militer dari militer itu
sendiri. Design kebijakan itu searah dari atas, sehingga siapa pun yang menjadi penguasa di
sana, hanya berwenang menjalankan tugas, bukan membuat kebijakan, khususnya dalam
menyelesaikan masalah Aceh yang berkepanjangan.
Konstelasi politik masa lalu dalam penyelesaian masalah Aceh, sampai sekarang begitu kentara.

Semua komponen, memiliki peran masing-masing untuk itu; pelaksana, penyaran, pemberi
masukan-pikir, dll. Maka, kondisi masa lalu, Snouck itu sebagai peneliti dan akademisi kita akui,
tapi nasehat-nasehat bernuansa politis darinya, telah menyebabkan tidak bisa terbendung
analisis subjektivitas dalam memberi nasehat untuk pengambil kebijakan di Aceh.
Hal yang sama terjadi sekarang ketika banyak orang berilmu di Aceh yang menjadi pelaksana,
penyaran, dan pemberi masukan-pikir dalam menyelesaikan Aceh secara utuh. Masalahnya,
sering tak dapat membuang unsur subjektivitasnya.
***
Dalam Snouck Hugronje dan Islam (1989), Van Koningsveld, mengecam keterbelahan jiwa
Snouck yang di satu pihak berdiri di wilayah peneliti, tapi di pihak lain menggadai itu semua
untuk dapat berdiri di wilayah kepentingan politik penjajahan. Ada dua asumsi untuk
mendukung pernyataan itu. Pertama, posisi Snouck yang sangat berkepentingan dengan politik
kolonialisasi (penaklukkan) dari pemerintah Belanda. Kedua, analisis-analisisnya kemudian yang
sangat subjektif-menurut ukuran peneliti-demi memenuhi kepentingan pertama itu. Sebagai
peneliti, Snouck sudah menampakkan usaha maksimal.
Snouck berangkat dengan jaringan ulama sehingga ia menjadi bagian sejarah terpenting dalam
perjalanan perlawanan Aceh terhadap Belanda. Ia mendekati ulama untuk bisa memberi fatwa
agama. Masalahnya, fatwa-fatwa itu berdasarkan politik devide et impera -politik Belanda yang
diadopsi secara utuh oleh sebagian penganut kapitalisme dunia hingga sekarang. Demi
kepentingan keagamaan, ia berkhutbah untuk menjauhkan agama dan politik, karena Islam
(agama) politik akan berpotensi terlaksananya ide pan-Islamisme.
Kemudian ia dengan jitu bisa memperdaya dan mengaduk konsep al-Quran dan azimat.
Sedangkan untuk adat, ia justru mendorong orang-orang untuk memperbesar pelaksanaan ritual
adat-adat yang bermasalah, yang dalam konteks Aceh dapat disebut syirik, bid'ah, dan yang
semacam dengannya. Kelebihan Snouck, setidaknya tampak pada keberhasilan membuat peta
konflik antar orang Aceh sendiri, tetapi bola konflik itu ada pada mereka sebagai penjajah.
Jadi, seberapa pun besarnya biaya yang dikeluarkan untuk pendidikan dan penelitian Snouck
oleh Belanda, tak ada yang patut ditangisi, apalagi sampai disesali, karena sumbangsih Snouck
untuk Belanda, jauh lebih besar dari biayai yang telah dikeluarkan.
***
Perang di Aceh-tepatnya klimaks perlawanan terhadap penjajahan Belanda-telah membuat
Belanda kehabisan akal selama 16 tahun. Aceh telah menjadi fenomena sejarah yang paling
menempatkan Belanda pada keterpurukan. Malu karena tak bisa menguasai Aceh, dan rugi
dengan biaya yang dikeluarkan tidak sedikit. Malu karena Belanda sebagai bangsa yang sudah
berhasil menaklukkan beberapa bangsa besar di dunia penjajahan (imperialisme). Rugi karena
ternyata, kecerdasan mereka yang dianggap lambang modernitas saat itu, terpaksa kalah
dengan sebuah kerajaan yang pernah terpuruk dalam sejarah.
Dari segi kekuatan, bagaimana pun, Belanda lebih unggul. Mereka memiliki senjata mutakhir
yang digambarkan dengan senapan. Mereka memiliki tentara elite, yang digambarkan dengan

Marechaussee. Memiliki strategi perang modern juga.


Melihat perlawanan di Aceh saat itu, sepertinya mustahil untuk ditaklukkan. Tapi sejarah juga
menampakkan kenyataan lain. Jalan tanpa perang untuk Aceh, tak hanya mampu menaklukkan,
tapi juga sanggup memetakan masyarakat Aceh secara sempurna; semua elemen terikat erat
dengan kepentingan Belanda: ulama, golongan menengah, sampai rakyat jelata.
Mempertahankan identitas itu, sampai sekarang, telah membuat gaduh beberapa generasi.
Penaklukan Aceh, akhirnya harus dipahami tidak hanya dalam konteks lokal. Snouck Hurgronje,
sebagai orang yang sangat menentukan berhasilnya penaklukkan Belanda di Aceh, harus dilihat
pula sebagai kepentingan global, dengan menyebarnya ideologi kapitalisme di seluruh dunia.
Barangkali, apa yang terjadi di Aceh merupakan satu sasaran antara, saat kemudian,
kapitalisme memang menjadi pemenang.
Dalam peta geografis, Aceh berada di jalur strategis perdagangan dunia, Selat Malaka. Snouck,
melalui Atjeh Verslag dan De Atjeher, memberi gambaran itu, khususnya setelah berhasil
memetakan sehingga konflik dapat terjadi di Aceh-sehingga kekuasaan mereka terselamatkan.
Peran itu dengan sempurna dilaksanakan Snouck, seorang antropolog dan sosiolog yang paling
kesohor sepanjang sejarah itu. Sekali lagi, seberapa pun besar biaya yang dikeluarkan atas
nama Snouck untuk memerangi Aceh, tentu tidak sebanding dengan keuntungan yang diperoleh;
Aceh didapat.
Pengamatan Snouck sebenarnya sudah dimulai saat ia berada di Mekkah. Mekkah adalah
pemompa darah segar Islam di Hindia. Dia pun tercengang melihat orang Arab sering
memperbincangkan Perang Aceh. Orang Aceh cukup banyak dan begitu fanatik dalam melawan
Belanda. Ia ingin sekali menyumbangkan usulan ilmiah kepada pemerintah guna menundukkan
Aceh. Hal yang segera disampaikan kepada pemerintah Belanda, adalah mengusahakan
pemisahan Islam dan politik di negeri jajahan. Para jamaah haji diawasi, karena berpotensi
membawa ide pan-Islamisme ke Aceh. Ini bertentangan dengan kepentingan Belanda.
Usaha ini sangatlah logis, apalagi Snouck memang tahu bahwa Kohler mati di tanah Aceh. Kohler
mati saat penyerangan sejak 8 April 1873 melalui Pantai Cermin dan langsung bisa menguasai
Majid Raya Baiturrahman. Kohler saat itu bersama 3.198 tentara. Sebanyak 168 di antaranya
para perwira. Kohler mati pada 14 April 1873, karena ditusuk pejuang Aceh. Pasukan mereka
tidak mampu bertahan, sebanyak 45 orang mati, hampir 500 orang luka-luka.
Sebelum Kohler ke Aceh, daerah itu sudah lebih dahulu dimaklumatkan perang. Memang gagah,
daerah kecil dengan senjata seadanya, dipimpin seorang uleebalang, lantas mau diperangi
dengan peralatan perang yang luar biasa. Itu kenyataan sejarah yang tidak mungkin terhapus.
Makanya maklumat perang itu, sangat penting, karena disampaikan oleh orang penting pula.
Nieuwenhuyzen, Komisaris Gubernemen Hindia Belanda, melakukannya dari sebuah kapal
perang, Cidatel van Antwerpen pada tanggal 26 Maret 1873. Hari itu, Rabu, mereka berlabuh
sekitar kawasan Ulee Lheue.
Sepuluh hari kemudian, perang berkecamuk di mana-mana. Yang paling besar saat merebut
kembali Masjid Raya Baiturrahman, yang dibantu oleh beberapa kelompok pasukan. Ada di

Peukan Aceh, Lambhuek (Lambuk), Lampuuk, Peukan Bada, sampai Lambada, Krueng Raya.
Beberapa ribu orang juga berdatangan dari Teunom, Pidie, Peusangan, dan beberapa beberapa
wilayah lain.
Sebanyak 70.000 rakyat Aceh menjadi korban. Hampir 35.000 pasukan Belanda dikorbankan
dalam perang itu. Maka pasukan marsose yang dibayangkan sebagai inti, tapi turut menjadi
korban. Marsose itu sebuah kekuatan bersenjata inti dan disegani dalam korps militer Belanda.
Seorang sarjana tentang Islam yang namanya kesohor di dunia, ternyata lebih hebat ketimbang
seorang serdadu dalam menganjurkan kebijaksanaan yang tak kenal ampun terhadap kaum
ulama. Kebijakan ini bahkan mendapat dukungan luas. Anthony Reid, menyebutnya dengan
politik penghukuman jasmani terhadap seorang pelawan.
Akhirnya, bentuk penaklukkan harus terbelah. Snouck merupakan tokoh yang paling penting
berada di balik itu. Setelah proses politik hampir selesai, Belanda sudah menuai untung.
Kepenguasaan Aceh menjadi terbagi. Satu sama lain saling curiga sampai saling sikat-sikut.
Nasehat Snouck mematahkan perlawanan para ulama, karena awalnya Snouck sudah
melemparkan isu bahwa yang berhak memimpin Aceh bukanlah uleebalang, tapi ulama yang
dekat dengan rakyat kecil. Komponen paling menentukan sudah pecah, rakyat berdiri di
belakang ulama, lalu Belanda mengerasi ulama dengan harapan rakyat yang sudah berposisi di
sana menjadi takut. Untuk waktu yang singkat, metode yang dipakai berhasil.
Untuk melaksanakan itu, tentu butuh proses penajaman pengetahuan. Dan itu dilaksanakan
Snouck secara langsung dengan berbagai cara sehingga ia bisa masuk ke mana-mana. Mulai dari
Mekkah sampai ke Aceh dan Batavia. Walau untuk semua itu, mungkin sudah ia pertaruhkan
segalanya.
Teolog yang juga temannya, Theoder Noldeke, mengatakan bahwa perjalanan Snouck memiliki
dua tujuan. Pertama, tujuan ilmiah. Snouck dengan mudah mendapatkan pengetahuan tentang
kehidupan Islam. Kedua, tujuan politik. Walau berisiko tinggi, Snouck berhasil menilai pengaruh
Mekkah atas Hindia Belanda, Aceh khususnya.
Dalam hal-hal tertentu juga nampak kelebihan Snouck. Itu wajar karena Snouck memang
bermukim, sehingga ia akrab dengan adat-istiadat dan cara berpikir orang Aceh. Snouck malah
menyelami cara berpikir orang-orang secara langsung. Dalam suratnya kepada Van der Maaten
(29 Juni 1933), Snouck mengatakan bahwa ia bergaul dengan orang-orang Aceh yang menyingkir
ke Penang.
Usaha Snouck memang sudah lama. Jadi kalau kemudian ia sangat mengerti bagaimana
mendapatkan kepercayaan orang Aceh, itu bukan suatu kebetulan. Orang Aceh sangat menaruh
kepercayaan kepada ulama pribumi, maka yang dilakukan Snouck adalah memperkenalkan
kenalan dan guru-gurunya di Mekkah untuk ulama-ulama pribumi yang pernah belajar di
Mekkah. Tak mengherankan bahwa dalam sekejap ia bisa memperdaya orang Aceh, sampaisampai orang-orang Muslim yang kemudian berkirim surat kepadanya, menyebut Snouck sebagai
syaikhul'alim.
Selama tujuh bulan Snouck berada si Aceh, sejak 8 Juli 1891. Di Aceh, dia dibantu beberapa

orang pelayannya. Baru pada 23 Mei 1892, Snouck mengajukan Atjeh Verslag, laporannya
kepada pemerintah Belanda tentang pendahuluan budaya dan keagamaan, dalam lingkup
nasehat strategi kemiliteran Snouck. Sebagian besar Atjeh Verslag kemudian diterbitkan dalam
De Atjeher dalam dua jilid yang terbit 1893 dan 1894. Dalam Atjeh Verslag-lah pertama
disampaikan agar kotak kekuasaan di Aceh dipecah-pecah. Itu berlangsung lama, karena sampai
1898, Snouck masih saja berkutat pada perang kontra-gerilya.
Apa yang kemudian dinasehati Snouck, menjadi kebijakan Belanda yang semua elemen harus
ikut. Berubahnya isi nasehat, sebenarnya juga berpengaruh, tapi itu kebijakan pemerintah. Van
Heutsz melaksanakan pendekatan keras secara lengkap. Tapi suatu saat itu berubah, ia juga
harus ikut. Di sinilah memperlihatkan bagaimana politik juga lebih dominan berlangsung di
Aceh.
Van Heutsz adalah seorang petempur murni. Sebagai lambang morsose, keinginannya tentu
menerapkan nasihat pertama Snouck; mematahkan perlawanan secara keras. Tapi Van Heutsz
ternyata harus melaksanakan nasihat lain dari Snouck, yang kemudian beranggapan pelumpuhan
perlawanan dengan kekerasan akan melahirkan implikasi yang tambah sulit diredam.
Akhirnya taktik militer Snouck memang diubah. Memang pada 1903, kesultanan Aceh takluk.
Tapi persoalan Aceh tetap tak selesai. Sehingga Snouck terpaksa membalikkan metode, dengan
mengusulkan agar di Aceh diterapkan kebijakan praktis yang dapat mendorong hilangnya rasa
benci masyarakat Aceh karena tindakan penaklukkan secara bersenjata. Inilah yang
menyebabkan sejarah panjang ambivalensi dialami dalam menyelesaikan Aceh. Snouck pula
yang menyatakan bahwa takluknya kesultanan Aceh, bukan berarti seluruh Aceh takluk.
Dalam lingkup internal mereka, perubahan paradigma ini memunculkan konflik kepentingan
yang lain yaitu tentang posisi penguasa di Aceh. Pendekatan tanpa kekerasan, otomatis
pengurangan pasukan harus dilakukan. Sedangkan Van Heutsz merupakan orang yang sangat
menantang itu. Ia bahkan mengusulkan status di Aceh tetap dipegang Gubernur Militer.
Sepanjang 1898-1903, ada sisi sejarah yang gelap. Snouck yang mendampingi Van Heutsz-dalam
konteks pengaruh Snouck pada pemerintah atas perang Aceh-terlibat konflik sipil-militer yang
tergambar lewat tokoh Snouck yang sipil dan militer yang tergambar lewat Van Heutsz. Situsi ini
tak bisa disembunyikan. Walau Van Heutsz menyerah, dalam tataran kepatuhan kebijakan, ia
menjadi penumpang dalam mobil yang disopiri Snouck. Tetapi di lapangan, Van Heutsz tetap
memiliki kekuatan lain yang Snouck tidak punya.
Perjalanan Snouck
Setelah kembali ke Leiden selama dua tahun, Snouck menawarkan diri untuk ditugaskan ke
Aceh. Dia pun masih terus berkorespondensi dengan ulama-ulama Serambi Mekkah. Jabatan
lektornya dilepas pada pertengahan Oktober 1887. Proposal penelitian kepada Gubernur
Jenderal segera diajukan pada 9 Februari 1888. Niatnya didukung penuh oleh Direktur
Pendidikan Agama dan Perindustrian (PAP), juga Menteri Urusan Negeri Jajahan. Proposal pun
berjalan tanpa penghalang.
Snouck segera berangkat. Tempat yang dituju adalah Aceh. Sayang, begitu sampai di pelabuhan
Penang (Malaya), Gubernur Van Teijn melarangnya masuk Aceh, pada 1 April 1889. Alasannya,
Snouck bergaul dengan kaum pelarian dan berusaha masuk ke Aceh secara gelap. Akhirnya

Snouck meluncur ke Batavia (Jakarta) dan tiba pada 11 Mei 1889.


Sebenarnya, Snouck mau melakukan tugas penting ke Aceh (1889) atas perintah Belanda. Ini
sangat rahasia, ia naik kapal pos Inggris sampai ke pantai Sumatra. Melalui Pelabuhan Penang ia
masuk pedalaman Aceh sampai ke istana sultan dengan cara memanfaatkan tradisi menghormat
sesama Muslim yang dikenalnya di Mekkah. Tapi di pihak lain, perjalanan itu dianggap matamata oleh militer Belanda di Aceh. Mereka keberatan, maka ia harus dipulangkan.
Di Batavia, Snouck bekerja sebagai pegawai pemerintah. Snouck langsung akrab dengan pribumi
Batavia, termasuk ulama. Ini membuat Direktur PAP terkesan dan mendesak Gubjen C.
Pijnacker Hordijk agar mengabulkan permohonan penelitian itu. Keluarlah beslit yang
mengizinkan Snouck melakukan penelitian selama dua tahun, sejak 16 Mei 1889, disusul beslit
Raja Belanda pada 22 Juli 1889. Bahkan ia diangkat menjadi Penasihat urusan Bahasa-Bahasa
Timur dan Hukum Islam sejak 15 Maret 1891.
Sejak menjadi penasihat itu, naluri politik Snouck mulai mempengaruhi posisinya sebagai
ilmuwan. Meja kerja penasihat terus menggiring pemikirannya untuk selalu menyertakan
tendensi politis di setiap analisisnya. Sifat seorang ilmuwan yang mengedepankan objektivitas
dalam diri Snouck mulai luntur. Menurut Schroder, ilmuwan Belanda, tangan kotor Snouck telah
jauh terlibat dalam fungsi politik kolonial.
Pada tanggal 9 Juli 1891, Snouck ke Aceh, bahkan menetap di Kutaraja Aceh. Ia menjadi orang
"kepercayaan" Van Heutz, jenderal Aceh yang kemudian menjabat Gubernur Jenderal Hindia
Belanda (1904-1909). Pengamatannya menghasilkan tulisan Atjeh Verslag, berisi laporan kepada
Belanda tentang alasan mengapa Aceh harus diperangi. Sekitar tujuh bulan kemudian kembali
ke Batavia. Pekerjaannya bertambah menjadi Penasihat urusan Pribumi dan Arab. Lembaga
yang didirikan 1899 ini bisa dipandang sebagai cikal bakal Departemen Agama.
Pengembaraannya berakhir 1906 dan kembali ke Belanda. Pada 1910, di Belanda, ia kawin
dengan Ida Maria, putri seorang pensiunan pendeta di Zutphan, Dr AJ Gort. Setelah dikukuhkan
sebagai guru besar Universitas Leiden pada 1907 (tiga tahun setelah menikah), ia menekuni
profesi sebagai penasihat Menteri Urusan Koloni. Pekerjaan ini diemban hingga akhir hayatnya,
16 Juli 1936.
***
Aceh menjadi laboratorium sosial yang sangat menarik. Proses sejarah kekuasaan dan
kepenguasaan di Aceh berlangsung berulang-ulang lewat episode yang satu ke episode
berikutnya. Dan, ini sudah dimulai saat Perang Aceh belum selesai; saat Snouck dipercayakan
sebagai seorang penasihat Belanda. Fenomena kekinian menampakkan perulangan itu. Tolaktarik kekuasaan kerap terjadi. Lihatlah bagaimana sipil dan militer beradu taktik untuk
mendapatkan kepenguasaan di sana.
Untuk mendapatkan pengaruh, semua menggunakan komponen berpengaruh di Aceh untuk
mendukung kedudukannya; salah satunya ulama. Sama seperti dulu, ulama sampai kini masih
menempati urutan teratas sebagai elemen yang paling berpengaruh di Aceh. Jangan heran,
dalam segenap acara, ulama selalu ikut serta. (Maaf; dalam sebuah acara kampanye partai yang
menghadirkan penyanyi dangdut Jakarta, ulama pun dihadirkan).

Dalam berbagai hal, porsi yang diberikan jauh lebih kecil ketimbang keberadaannya yang
dianggap menentukan itu. Seorang ulama hampir tidak punya daya untuk mengatakan tidak
untuk hal-hal yang seharusnya tidak. Inilah yang teradopsi penuh dari bagaimana Snouck
memperlakukan ulama dalam sejarah perang Belanda di Aceh.
Dulu, Snouck memperkuat basis ulama agar ia tahu mana saja kekuatan yang melawan. Dengan
begitu ia akan dengan mudah mengusulkan penyerangan secara keras terhadap orang-orang
yang sudah terpeta. Tesa keliru Snouck yang sangat politis bermain di Aceh adalah harus
memerangi perlawanan sampai ke akarnya. Perlawanan yang didapat jauh lebih besar,
menyebabkan Snouck berbalik arah, sehingga dengan tegas ia mengatakan bahwa penguasaan
keraton tidak berarti semua persoalan telah selesai.
Ketika banyak orang Belanda mengatakan orang Aceh sebagai musuh, Zentgraaff berkata: "Siapa
yang musuh? Sebenarnya itu 'kan kata-kata kita. Kita tidak mengakui bahwa kita sedang
melakukan penjajahan. Makanya kalau bangsa-bangsa terjajah, kita tidak pernah mengakui
keunggulan-keunggulan mereka."
"Selama berabad-abad, orang Aceh telah membuktikan kesanggupan mereka dalam bidang
perdagangan, pertanian, bahkan peperangan. Mereka telah membuktikan bahwa mereka layak
memperoleh perhatian yang besar dari orang Eropa dan kaum Muslimin dunia," kata Anthony
Reid.
"Selama 69 tahun, Belanda tak henti-hentinya bertempur di Aceh dan ini sudah lebih dari
cukup," kata Paul Van 't Veer dalam Atjeh-Oorlog.
Nah, Snouck Hurgronje merupakan bagian proyek raksasa yang digarap berdasarkan fenomena
dan kepentingan. Ia menjadi pengendali alternatif kekuatan perang di Aceh. Maka proyeksi
Snouck merupakan proyek besar, untuk menuntaskan masalah besar yang telah menempatkan
Belanda dan kekuasaan penjajahannya di tempat yang hina dalam sejarah peradaban.
Keberhasilannya ternyata masih didukung dengan banyak pihak mengadopsi penuh pengetahuan
dan apa yang pernah dipraktekannya sampai sekarang. Ya, hingga kini! [Acehkita.com]* 200410-24 22:40:40 (*Pekerja kebudayaan, tinggal di Banda Aceh

Anda mungkin juga menyukai