Semua komponen, memiliki peran masing-masing untuk itu; pelaksana, penyaran, pemberi
masukan-pikir, dll. Maka, kondisi masa lalu, Snouck itu sebagai peneliti dan akademisi kita akui,
tapi nasehat-nasehat bernuansa politis darinya, telah menyebabkan tidak bisa terbendung
analisis subjektivitas dalam memberi nasehat untuk pengambil kebijakan di Aceh.
Hal yang sama terjadi sekarang ketika banyak orang berilmu di Aceh yang menjadi pelaksana,
penyaran, dan pemberi masukan-pikir dalam menyelesaikan Aceh secara utuh. Masalahnya,
sering tak dapat membuang unsur subjektivitasnya.
***
Dalam Snouck Hugronje dan Islam (1989), Van Koningsveld, mengecam keterbelahan jiwa
Snouck yang di satu pihak berdiri di wilayah peneliti, tapi di pihak lain menggadai itu semua
untuk dapat berdiri di wilayah kepentingan politik penjajahan. Ada dua asumsi untuk
mendukung pernyataan itu. Pertama, posisi Snouck yang sangat berkepentingan dengan politik
kolonialisasi (penaklukkan) dari pemerintah Belanda. Kedua, analisis-analisisnya kemudian yang
sangat subjektif-menurut ukuran peneliti-demi memenuhi kepentingan pertama itu. Sebagai
peneliti, Snouck sudah menampakkan usaha maksimal.
Snouck berangkat dengan jaringan ulama sehingga ia menjadi bagian sejarah terpenting dalam
perjalanan perlawanan Aceh terhadap Belanda. Ia mendekati ulama untuk bisa memberi fatwa
agama. Masalahnya, fatwa-fatwa itu berdasarkan politik devide et impera -politik Belanda yang
diadopsi secara utuh oleh sebagian penganut kapitalisme dunia hingga sekarang. Demi
kepentingan keagamaan, ia berkhutbah untuk menjauhkan agama dan politik, karena Islam
(agama) politik akan berpotensi terlaksananya ide pan-Islamisme.
Kemudian ia dengan jitu bisa memperdaya dan mengaduk konsep al-Quran dan azimat.
Sedangkan untuk adat, ia justru mendorong orang-orang untuk memperbesar pelaksanaan ritual
adat-adat yang bermasalah, yang dalam konteks Aceh dapat disebut syirik, bid'ah, dan yang
semacam dengannya. Kelebihan Snouck, setidaknya tampak pada keberhasilan membuat peta
konflik antar orang Aceh sendiri, tetapi bola konflik itu ada pada mereka sebagai penjajah.
Jadi, seberapa pun besarnya biaya yang dikeluarkan untuk pendidikan dan penelitian Snouck
oleh Belanda, tak ada yang patut ditangisi, apalagi sampai disesali, karena sumbangsih Snouck
untuk Belanda, jauh lebih besar dari biayai yang telah dikeluarkan.
***
Perang di Aceh-tepatnya klimaks perlawanan terhadap penjajahan Belanda-telah membuat
Belanda kehabisan akal selama 16 tahun. Aceh telah menjadi fenomena sejarah yang paling
menempatkan Belanda pada keterpurukan. Malu karena tak bisa menguasai Aceh, dan rugi
dengan biaya yang dikeluarkan tidak sedikit. Malu karena Belanda sebagai bangsa yang sudah
berhasil menaklukkan beberapa bangsa besar di dunia penjajahan (imperialisme). Rugi karena
ternyata, kecerdasan mereka yang dianggap lambang modernitas saat itu, terpaksa kalah
dengan sebuah kerajaan yang pernah terpuruk dalam sejarah.
Dari segi kekuatan, bagaimana pun, Belanda lebih unggul. Mereka memiliki senjata mutakhir
yang digambarkan dengan senapan. Mereka memiliki tentara elite, yang digambarkan dengan
Peukan Aceh, Lambhuek (Lambuk), Lampuuk, Peukan Bada, sampai Lambada, Krueng Raya.
Beberapa ribu orang juga berdatangan dari Teunom, Pidie, Peusangan, dan beberapa beberapa
wilayah lain.
Sebanyak 70.000 rakyat Aceh menjadi korban. Hampir 35.000 pasukan Belanda dikorbankan
dalam perang itu. Maka pasukan marsose yang dibayangkan sebagai inti, tapi turut menjadi
korban. Marsose itu sebuah kekuatan bersenjata inti dan disegani dalam korps militer Belanda.
Seorang sarjana tentang Islam yang namanya kesohor di dunia, ternyata lebih hebat ketimbang
seorang serdadu dalam menganjurkan kebijaksanaan yang tak kenal ampun terhadap kaum
ulama. Kebijakan ini bahkan mendapat dukungan luas. Anthony Reid, menyebutnya dengan
politik penghukuman jasmani terhadap seorang pelawan.
Akhirnya, bentuk penaklukkan harus terbelah. Snouck merupakan tokoh yang paling penting
berada di balik itu. Setelah proses politik hampir selesai, Belanda sudah menuai untung.
Kepenguasaan Aceh menjadi terbagi. Satu sama lain saling curiga sampai saling sikat-sikut.
Nasehat Snouck mematahkan perlawanan para ulama, karena awalnya Snouck sudah
melemparkan isu bahwa yang berhak memimpin Aceh bukanlah uleebalang, tapi ulama yang
dekat dengan rakyat kecil. Komponen paling menentukan sudah pecah, rakyat berdiri di
belakang ulama, lalu Belanda mengerasi ulama dengan harapan rakyat yang sudah berposisi di
sana menjadi takut. Untuk waktu yang singkat, metode yang dipakai berhasil.
Untuk melaksanakan itu, tentu butuh proses penajaman pengetahuan. Dan itu dilaksanakan
Snouck secara langsung dengan berbagai cara sehingga ia bisa masuk ke mana-mana. Mulai dari
Mekkah sampai ke Aceh dan Batavia. Walau untuk semua itu, mungkin sudah ia pertaruhkan
segalanya.
Teolog yang juga temannya, Theoder Noldeke, mengatakan bahwa perjalanan Snouck memiliki
dua tujuan. Pertama, tujuan ilmiah. Snouck dengan mudah mendapatkan pengetahuan tentang
kehidupan Islam. Kedua, tujuan politik. Walau berisiko tinggi, Snouck berhasil menilai pengaruh
Mekkah atas Hindia Belanda, Aceh khususnya.
Dalam hal-hal tertentu juga nampak kelebihan Snouck. Itu wajar karena Snouck memang
bermukim, sehingga ia akrab dengan adat-istiadat dan cara berpikir orang Aceh. Snouck malah
menyelami cara berpikir orang-orang secara langsung. Dalam suratnya kepada Van der Maaten
(29 Juni 1933), Snouck mengatakan bahwa ia bergaul dengan orang-orang Aceh yang menyingkir
ke Penang.
Usaha Snouck memang sudah lama. Jadi kalau kemudian ia sangat mengerti bagaimana
mendapatkan kepercayaan orang Aceh, itu bukan suatu kebetulan. Orang Aceh sangat menaruh
kepercayaan kepada ulama pribumi, maka yang dilakukan Snouck adalah memperkenalkan
kenalan dan guru-gurunya di Mekkah untuk ulama-ulama pribumi yang pernah belajar di
Mekkah. Tak mengherankan bahwa dalam sekejap ia bisa memperdaya orang Aceh, sampaisampai orang-orang Muslim yang kemudian berkirim surat kepadanya, menyebut Snouck sebagai
syaikhul'alim.
Selama tujuh bulan Snouck berada si Aceh, sejak 8 Juli 1891. Di Aceh, dia dibantu beberapa
orang pelayannya. Baru pada 23 Mei 1892, Snouck mengajukan Atjeh Verslag, laporannya
kepada pemerintah Belanda tentang pendahuluan budaya dan keagamaan, dalam lingkup
nasehat strategi kemiliteran Snouck. Sebagian besar Atjeh Verslag kemudian diterbitkan dalam
De Atjeher dalam dua jilid yang terbit 1893 dan 1894. Dalam Atjeh Verslag-lah pertama
disampaikan agar kotak kekuasaan di Aceh dipecah-pecah. Itu berlangsung lama, karena sampai
1898, Snouck masih saja berkutat pada perang kontra-gerilya.
Apa yang kemudian dinasehati Snouck, menjadi kebijakan Belanda yang semua elemen harus
ikut. Berubahnya isi nasehat, sebenarnya juga berpengaruh, tapi itu kebijakan pemerintah. Van
Heutsz melaksanakan pendekatan keras secara lengkap. Tapi suatu saat itu berubah, ia juga
harus ikut. Di sinilah memperlihatkan bagaimana politik juga lebih dominan berlangsung di
Aceh.
Van Heutsz adalah seorang petempur murni. Sebagai lambang morsose, keinginannya tentu
menerapkan nasihat pertama Snouck; mematahkan perlawanan secara keras. Tapi Van Heutsz
ternyata harus melaksanakan nasihat lain dari Snouck, yang kemudian beranggapan pelumpuhan
perlawanan dengan kekerasan akan melahirkan implikasi yang tambah sulit diredam.
Akhirnya taktik militer Snouck memang diubah. Memang pada 1903, kesultanan Aceh takluk.
Tapi persoalan Aceh tetap tak selesai. Sehingga Snouck terpaksa membalikkan metode, dengan
mengusulkan agar di Aceh diterapkan kebijakan praktis yang dapat mendorong hilangnya rasa
benci masyarakat Aceh karena tindakan penaklukkan secara bersenjata. Inilah yang
menyebabkan sejarah panjang ambivalensi dialami dalam menyelesaikan Aceh. Snouck pula
yang menyatakan bahwa takluknya kesultanan Aceh, bukan berarti seluruh Aceh takluk.
Dalam lingkup internal mereka, perubahan paradigma ini memunculkan konflik kepentingan
yang lain yaitu tentang posisi penguasa di Aceh. Pendekatan tanpa kekerasan, otomatis
pengurangan pasukan harus dilakukan. Sedangkan Van Heutsz merupakan orang yang sangat
menantang itu. Ia bahkan mengusulkan status di Aceh tetap dipegang Gubernur Militer.
Sepanjang 1898-1903, ada sisi sejarah yang gelap. Snouck yang mendampingi Van Heutsz-dalam
konteks pengaruh Snouck pada pemerintah atas perang Aceh-terlibat konflik sipil-militer yang
tergambar lewat tokoh Snouck yang sipil dan militer yang tergambar lewat Van Heutsz. Situsi ini
tak bisa disembunyikan. Walau Van Heutsz menyerah, dalam tataran kepatuhan kebijakan, ia
menjadi penumpang dalam mobil yang disopiri Snouck. Tetapi di lapangan, Van Heutsz tetap
memiliki kekuatan lain yang Snouck tidak punya.
Perjalanan Snouck
Setelah kembali ke Leiden selama dua tahun, Snouck menawarkan diri untuk ditugaskan ke
Aceh. Dia pun masih terus berkorespondensi dengan ulama-ulama Serambi Mekkah. Jabatan
lektornya dilepas pada pertengahan Oktober 1887. Proposal penelitian kepada Gubernur
Jenderal segera diajukan pada 9 Februari 1888. Niatnya didukung penuh oleh Direktur
Pendidikan Agama dan Perindustrian (PAP), juga Menteri Urusan Negeri Jajahan. Proposal pun
berjalan tanpa penghalang.
Snouck segera berangkat. Tempat yang dituju adalah Aceh. Sayang, begitu sampai di pelabuhan
Penang (Malaya), Gubernur Van Teijn melarangnya masuk Aceh, pada 1 April 1889. Alasannya,
Snouck bergaul dengan kaum pelarian dan berusaha masuk ke Aceh secara gelap. Akhirnya
Dalam berbagai hal, porsi yang diberikan jauh lebih kecil ketimbang keberadaannya yang
dianggap menentukan itu. Seorang ulama hampir tidak punya daya untuk mengatakan tidak
untuk hal-hal yang seharusnya tidak. Inilah yang teradopsi penuh dari bagaimana Snouck
memperlakukan ulama dalam sejarah perang Belanda di Aceh.
Dulu, Snouck memperkuat basis ulama agar ia tahu mana saja kekuatan yang melawan. Dengan
begitu ia akan dengan mudah mengusulkan penyerangan secara keras terhadap orang-orang
yang sudah terpeta. Tesa keliru Snouck yang sangat politis bermain di Aceh adalah harus
memerangi perlawanan sampai ke akarnya. Perlawanan yang didapat jauh lebih besar,
menyebabkan Snouck berbalik arah, sehingga dengan tegas ia mengatakan bahwa penguasaan
keraton tidak berarti semua persoalan telah selesai.
Ketika banyak orang Belanda mengatakan orang Aceh sebagai musuh, Zentgraaff berkata: "Siapa
yang musuh? Sebenarnya itu 'kan kata-kata kita. Kita tidak mengakui bahwa kita sedang
melakukan penjajahan. Makanya kalau bangsa-bangsa terjajah, kita tidak pernah mengakui
keunggulan-keunggulan mereka."
"Selama berabad-abad, orang Aceh telah membuktikan kesanggupan mereka dalam bidang
perdagangan, pertanian, bahkan peperangan. Mereka telah membuktikan bahwa mereka layak
memperoleh perhatian yang besar dari orang Eropa dan kaum Muslimin dunia," kata Anthony
Reid.
"Selama 69 tahun, Belanda tak henti-hentinya bertempur di Aceh dan ini sudah lebih dari
cukup," kata Paul Van 't Veer dalam Atjeh-Oorlog.
Nah, Snouck Hurgronje merupakan bagian proyek raksasa yang digarap berdasarkan fenomena
dan kepentingan. Ia menjadi pengendali alternatif kekuatan perang di Aceh. Maka proyeksi
Snouck merupakan proyek besar, untuk menuntaskan masalah besar yang telah menempatkan
Belanda dan kekuasaan penjajahannya di tempat yang hina dalam sejarah peradaban.
Keberhasilannya ternyata masih didukung dengan banyak pihak mengadopsi penuh pengetahuan
dan apa yang pernah dipraktekannya sampai sekarang. Ya, hingga kini! [Acehkita.com]* 200410-24 22:40:40 (*Pekerja kebudayaan, tinggal di Banda Aceh