Anda di halaman 1dari 24

Sejarah Lisan

Perjuangan Teungku Chiek Eumpetrieng


Pada Masa Kolonial Belanda
Pengajar: Drs. Anwar Dawud, M. Hum.

Disusun Oleh:
Nur Khalishah (190501003)
Winda Nazira (190501003)
Misfayani (190501030)
Mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora
Program Studi Sejarah Kebudayaan Islam

SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM


FAKULAS ADAB DAN HUMANIRA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
DARUSAALAM-BANDA ACEH
TAHUN AJARAN 2021-2022
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah swt atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga Laporan Sejarah Lisan dengan Judul Perjuangan Teungku
Chiek Eumpetrieng Pada Masa Kolonial Belanda dapat kami selesaikan tepat pada
waktunya. Sholawat beserta salam semoga tercurah kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam beserta keluarganya. Adapun tujuan dari penulisan laporan ini adalah
untuk memenuhi tugas dari Bapak Anwar Dawud, M. Hum. Pada bidang studi
Sejarah Politik Islam.

Dalam penyusunan laoran ini, kami menyadari bahwa susunannya masih jauh
dari sempurna. Oleh sebab itu kami tidak menutup diri dari pembaca akan saran dan
kritik yang bersifat membangun demi perbaikan dan peningkatan kualitas penyusunan
makalah di masa mendatang. Dan kami berharap, semoga makalah ini bisa meberikan
manfaat yang besar bagi kami sendiri khususnya sebagai penyusun dan bagi para
pembaca sekalian.

Aceh Besar, 4 Juni 2022

i
BIODATA INFORMAN

Nama : Rusniati (Cucu Tgk Chiek Empeetrieng)


Panggilan : Mucut
Jenis Kelamin : Perempuan
Ayah : Tgk. M. Hasan (Putra dari istri tgk. Chiek Empeetring yang terakhir)
Ibu : Zainabah
Tempat/Tanggal Lahir: Montasik, 23 Maret 1950
Umur : 70 tahun
Pekerjaan : Pengajar Ngaji
Pendidikan Terakhir : S1 Pendidikan Bahasa Arab di IAIN ar-Raniry Darussalam Banda
Aceh

ii
Alamat : Jl. Lampeneurut Peukan Biluy, Desa Eumpe trieng, kec. Darul Kamal,
Kab. Aceh Besar
Kewarganegaraan : Indonesia
Agama : Islam
Jabatan : Masyarakat Biasa
Tgl wawancara : kamis 2 dan Ahad 12 Juni 2022
Tempat Wawancara : Di rumah informan

 Alasan Memilih Topik

Alasan kami memilih topik ini karena mengingat bahwa Teungku (Tgk) Chiek
Eumpetring merupakan salah seorang ulama besar yang juga ikut berjuang dalam perang
Antara Belada dengan Aceh. Ia adalah seorang pejuang yang belum diketahui oleh
banyak orang. Peranan beliau yang besar terhadap perlawanan tersebut tidak banyak
dikaji, bahkan untuk mencari penjelasan beliau kini sangatlah terbatas sumbernya. Oleh
karena itu kami merasa tertarik untuk mengulas atau mengkaji sejarah perjuangan beliau,
karena memiliki dampak positif sebagai edukasi, inspirasi dan bukti ulama memiliki
peranan pesar dalam perperangan di Aceh.

 Alasan Memilih Informan

Alasan kami memilih informan tersebut adalah karena beliau merupakan


keturunan langsung atau cucu dari Tgk. Chiek Eumpetrieng. Selain itu beliau meupakan
satu dari cucunya Tgk Chiek Eumpetring yang masih hidup dan sekilas masih mengingat
sejarah beliau. Kami merasa dengan memilih beliau sebagai informan dapat menutupi
kekurangan dari informan-informan lainnya yang gagal untuk ditemui karena berbagai
hal.

iii
Abstrak

Aceh adalah salah satu wilayah Indonesia yang pernah dijajah oleh Belanda
selama beberapa tahun lamanya. Sungguh sangat disayangkan, bahwa ada banyak
tokoh yang berperan besar dalam perlawanan tersebut namun tidak banyak yang
mengetahuinya kecuali segelintir orang. Hal itu disebabkan karena minimnya data
yang bisa didapatkan serta kurangnya pelestarian terhadap sejarah lisan. Hingga
akhirnya seiring berjalan waktu cerita tentang tokoh tersebut hilang terbuai masa.
Tidak lagi ada yang mengkaji atau menceritakan tentangnya. Termasuk salah satunya
adalah sejarah perjuangan dari Tgk Chiek Empeu trieng. Seorang tokoh agama yang
jasanya sangat luar biasa dalam melawan Belanda di Aceh. Tujuan penulisan ini
adalah untuk mengkaji tentang bagaiamana latar belakang, usaha dan peran Tgk.
Chiek Eumpetrieng dalam Perang melawan pasukan Belanda di Aceh bersama para
Panglima lainnya. Metode yang digunakan dalam penulisan adalah metode sejarah
(historis). Sedangkan teknik analisis yang digunakan adalah analisis data kualitatif.
Dimana sumber-sumber data yang didapatkan itu berasal dari pengumpulan data yeng
diperoleh dari wawancara, buku-buku, dokumen seperti dokumen tulisan lama hasil
wawancara masyarakat terdahulu, artikel jurnal dan sumber-sumber lainnya. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa, Tgk Chiek Eumpe trieng adalah salah seorang
pahlawan Aceh yang memiliki peranan besar dalam melawan Belanda di Aceh.
Berbagai usaha dilakukan hingga membangun benteng yang bernama benteng Kuta
Karang.

Kata Kunci: Perang Belanda Aceh, Tgk Chiek Empeu Trieng, Panglima Aceh

BAB I
PENDAHULUAN

1
A. Latar Belakang

Perang antara Belanda dan Aceh terjadi dalam kurun waktu kurang lebih
selama 40 tahun lamanya. Oleh Belanda diperkenalkan dengan nama “perang Atjeh”
sedangkan rakyat Aceh sendiri lebih mengenalnya dengan sebutan “Prang Beulanda”
atau “Prang Goumpeni” sebab Belandalah yang melancarkan agresi terhadap rakyat
Aceh.

Para penguasa pemerintahan (Sultan bersama bawahannya dan uleebalang)


adalah para pemimpin yang mengatur taktik dan strategi perlawanan, sejalan dengan
daya yang dimiliki pada masa itu. Namun dalam medan peperangan, mereka juga
sebagai pemegang komando penyerangan di garda depan. Tidak sedikit dari mereka
yang syahid dalam peretempuran, dibuang, di asingkan, dan dipisahkan dari rakyat
yang dipimpinnya. Demikian pula dengan para ulama yang juga ikut mempertaruhkan
jiwa raganya untuk melawan penjajahan.

Di kalangan masyarakat gampong (desa) para ulama berperan dalam berbagai


aspek kehidupan masyarakat, mereka dihormati, disegani, dituruti oleh masyarakat
setempat. Disini mereka menjadi penggerak masyarakat gampong, baik untuk basis
pertahanan garis belakang maupun basis pertahanan garis depan. Tegasnya, sebagai
pemegang komando “jihad fisabilillah”, para Ulama (yang ada di Aceh dikenal
dengan sebutan “Teungku Chik”) merupakan urat nadi kelangsungan perjuangan.
Dapat dikatakan bahwa tidak ditemukan dari mereka yang kembali dari medan
perang. Umumnya mereka gugur dalam pertempuran atau meninggal karena dakit dan
tua. Dan hampir tidak terdengar mereka menyerah kepada Belanda.1

Teungku Chiek Eumpetring adalah salah satu daripada Teungku-Teungku


lainnya yang ikut berjuang melawan penjajah Belanda di medan perang. Sama Halnya
dengan para Teungku yang lain, beliau juga tidak menyerah kepada Belanda
walaupun di saat beliau berada di ambang kematiannya. Beliau tetap berpegang teguh
untuk membela Aceh dengan mengorbankan seluruh jiwa dan raganya. Dalam tulisan
ini kami akan menguraikan sedikit uraian tentang perjuangan Teungku Chiek
Eumpetrieng bersama para Teungku dan pemimpin lainnya dalam perjuangan
melawan kafir Belanda. Perlawanan demi perlawanan mereka lewati dengan semangat
persatuan yang membara.
1
Ahmad, Zakaria, dkk, Sejarah Perlawanan Aceh terhadap Kolonialisme dan Imperialisme, (Banda Aceh:
Agustus 2008), hlm. 70-75.

2
PEMBAHASAN

A. Mengenal Tgk. Chiek Empeetring

Tgk. H. Ismail atau yang lebih dikenal dengan Tgk Chiek Empeetrieng
merupakan salah seorang panglima yang sangat berpengaruh dalam peperangan antara
Belanda dengan Aceh sekitar tahun 1860-1924 M. Beliau merupakan salah seorang

3
tokoh agama yang mempunyai garis keturunan Ulama dan Bangsawan, atau
keturunan Raja Malikus Saleh yang mendirikan kerajaan Samudera Pasai di Aceh.
Beliau lahir di Empeetrieng kecamatan Darul Kamal kabupaten Aceh Besar pada
tahun 1248 H atau bertepatan dengan 1833 M. Ayahnya bernama Tgk. Haji Abdul
Muthalib atau yang lebih dikenal dengan sebutan Tgk. Haji Mekah.

Tgk. Chiek Empeetrieng adalah satu dari empat bersaudara. Yang terdiri dari
Tgk. Faki (Perempuan), Tgk. H. Syekh Saman, Tgk. H. Ismail (Tgk. Chiek Empee
Trieng) dan Tgk. H. Ibrahim. Semasa hidupnya beliau tinggal di tiga tempat dan di
setiap tempat beliau selalu membangun dayah (pesantren/ atau tempat mengaji).
Ketiga tempat itu adalah di Empeetrieng, di Lambaro Samahani dan di gampong
(desa) Groot Indrapuri samping Masjid Tuha Indrapuri. Selain dayah, beliau juga
membangun beberapa sarana umum lainnya seperti Masjid dan Meunasah.

Pada masa kecilnya, Tgk. Chiek Eumpetrieng diasuh dan dididik langsung
oleh orangtuanya di Dayah Eumpeetring di bawah kepemimpinan ayahnya. Beliau
sudah mulai belajar membaca al-Qur’an dan ilmu lainnya sejak usia beliau masih
belia. Pada tahun 1843-1848 M, beliau kemudian melanjutkan pendidikannya di
Dayah Rangkang Manyang di Tanoh Abeue dibawah kepemimpinan Tgk. Abdul
Wahab atau yang lebih dikenal dengan Tgk. Chik Pante Kulu selama 5 tahun
lamanya. Setelah selesai di Dayah tersebut kemudian beliau melanjutkan belajarnya
ke daerah timur tengah pada 1860-an atas restu orangtuanya. Disana kurang lebih
hingga 11 tahun lamanya. Sebelum pulang ke Aceh beliau terlebih dahulu singgah di
Malaysia dan kembali belajar selama 1 tahun. Baru pada tahun setelahnya benar-benar
kembali ke Aceh melanjutkan pembangunan dayah milik ayahnya di desa
Empeetrieng.

Tgk. Chiek Empeetring memiliki 4 orang istri yaitu Cut Nyak Nabeut
(sepupunya sendiri) di Empeetrieng, Cut Nyak Bintang di Baet Lambaro Samahani,
dan Cut Meurah Fathimah. Dan yang satunya lagi itu adalah Cut Nyak Fathimah
Lampanah. Namun beliau diceraikan oleh Tgk. Ciek Empeetrieng karena ia belajar
ilmu sihir. Cut Meurah Fathimah Indrapuri awalnya bersuamikan Tgk. Muhammad
Aamin yaitu putra Tgk. Chiek Pante Kulu. Namun setelah beliau syhaid dalam
perang, Cut Nyak Fathimah dipinang oleh Tgk. Chiek Empeetring. Awalnya beliau
tidak bersedia dikarenakan perbedaan umur yang jauh. Namun akhirnya pinangan

4
tersebut diterima setelah peristiwa kasurnya terbakar dengan sendiri dan beberapa
mimpi yang telah dialaminya. Dikaruniakanlah keduanya 4 orang putra yaitu Tgk.
Haji Arsyad, Tgk. Haji Juned, Tgk. M. Sufi dan Tgk. M. Hasan.

Tgk Chiek Eumpe Trieng adalah salah seorang ulama keramat yang ikut
berjuang dalam Perang Aceh dengan Belanda.2 Beliau pernah mengelola Masjid
Indrapuri menggantikan pengelola pertama masjid tersebut yaitu Syekh Abdur Rauf
As-Singkili.3 Dan dikatakan bahwa disekitar Masjid ada sebuah TPA (Taman
Pendidikan al-Qur’an) yang diberi nama dengan TPA Eumpetrieng. Tpa ini dibangun
oleh Cucu beliau.

Beliau adalah salah seorang ulama yang memiliki banyak keramat. Berasal
dari garis keturunan Ulama sekaligus sebagai seorang ulama Aceh yang
menghimpunkan 8 Kitab para ulama Aceh lainnya. Beliau adalah pengarang kitab
Jam’u Jawami’ al-Mushonnafat atau yang lebih dikenal dengan kitab 8. Diantara kitab
yang dihimpun adalah kitab karangan Syekh Abdur Rauf as-Singkili yang berasal dari
Aceh Singkil, karangan Tgk Khatib Langin Lueng Putu seorang ulama dari Pedir,
serta 6 buku lainnya yang berupa kalangan para ulama Aceh Besar.

Beliau ulama pewaris Nabi yang mengumpulkan kitab-kitab tulisan 8 orang


ulama Aceh. Hikmah mengumpulkan 8 kitab tersebut bersamaan dengan berdoa
uuntuk mendapakan surga 8 secara ilmu hakikatt mencari rido Allah. 4Adapun 8 kitab
tersebut adalah sebagai berikut:

1) Hidayatul Awam: Syekh Jalaluddin bin ‘Arifin


2) Faraid Qur’an
3) Kasyful Kiram:Syekh Muhammad Zeyn bin Jalaluddin
4) Talkhis al Falah: Syekh Muhammad Zeyn bin Jalaluddin
5) Syifaul Qulub: Syekh Abdullah
6) Mawa’idzul Badiah: Syekh Abdur Rauf al-Fanshuri
7) Diwaul Qulub: Syekh Muhammad bin
8) ‘Ilmul Muttaqin: Syekh Jalaluddin bin Abdullah5

2
Wawancara Informan “Ibuk Rusmiati (Mucut)”, tgl. 2 dan 12 Juni 2022.
3
https://aceh.tribunnews.com/doc/2013/07/12/masjid-tuha-indrapuri
4
Wawancara Informan “Ibuk Rusmiati (Mucut)’, tgl. 2 dan 12 Juni 2022.
5
Tgk. H. Ismail (Tgk. Chiek Empeetring), Kitab Jam’u al-Jawami’ al-Mushonnafat”, hal. 2-3.

5
Tgk. Chiek Empetrieng tidak mau menerima jabatan di Kampung, beliau di
kampung (Desa) Empetrieng mengajar ilmu agama (mengajar ngaji). Dan ada pula di
beberapa tempat lain. Tetapi beliau banyak meminta orang untuk membantu beliau
mengajar ngaji karena keterbatasan waktu dan tempat yang banyak. Di Kampung
Empetrieeng. beliau mengayomi, membina dan membangun masyarakat layaknya
seorang pemimpin namun tidak ingin digelar dengan kepala desa atau sebagainya. Beliau
disebut Tgk. Chiek karena beliau adalah orang yang memiliki ilmu dan memiliki
pengaruh yang besar. Dayah yang ada di Empetrieng adalah peninggalan turun temurun
dari Kakeknya Tgk. Chiek Empetrieng. Dan tidak lagi ada yang melanjutkannya setelah
beliau wafat. 6

B. Perjuangan Tgk. Chiek Empeetrieng Melawan Belanda di Aceh

Tgk. Chiek Empetrieng telah berjuang melawan belanda sejak awal perang
dimulai yaitu sejak penyerangan pertama Belanda tanggal 5 April 1873 di Aceh
memperebutkan Mesjid Raya Baiturrahman. Beliau menggerakkan para pejuang
Islam dari Empeetrieng ke Banda Aceh untuk bergabung bersama pejuang Aceh
lainnya di bawah pimpinan Teungku Imuem Lueng Bata. Mereka mengepung Jendral
Kohler hingga Kohler tewas tertembak dengan senapan kumuroh buatan Turky. Anak
peluru menembus dada Jendral Kohler yang sedang beristirahat di bawah pohon
gelumpang yang terletak di depan Masjid Raya Baiturrahman sampai pasukan
Belanda lari pulang ke Batavia.7

Diceritakan bahwa yang menembak Jendral Kohler itu adalah Teungku Imuem
Lueng Bata. Pada saat itu, dari kalangan Belanda tidak ada yang mengetahui siapa
pelaku penembakannya. Begitu pula dengan Tgk Imuem Lueng Bata tidak pula
menceritakan kepada siapapun kecuali kepada keluarganya bahwa dialah yang telah
menembak jenderal Kohler. Ia berwasiat agar hal itu diceritakan setelah ia wafat
nantinya. Anak peluru menembus dada Jendral Kohler yang sedang beristirahat di
bawah pohon gelumpang yang terletak di depan Masjid Raya sampai pasukan
Belanda lari pulang ke Batavia.

6
Wawancara informan. “Ibu Rusmiati (Mucut)”, tgl. 2 dan 12 Juni 2022.
7
Ahmad, Zakaria, dkk, Sejarah Perlawanan Aceh terhadap Kolonialisme dan Imperialisme, (Banda Aceh:
Agustus 2008), hlm. 70-75.

6
Peranan tgk. Chiek Epetrieng sebagai salah seorang panglima perang pada
eksepedisi penyerangan pertama tersebut membawa hasil yang sangat
menggembirakan bagi seluruh masyarakat Aceh. Karena pasukan Aceh menang dan
berhasil membuat belanda lari dari medan pertempura.

Walaupun demikian, kendati kafir Belanda telah lari dari medan pertempuran
namun Tgk. Chiek Eumpetrieng dan para panglima lainnya khawatir Belanda akan
kembali lagi untuk menyerang Aceh dengan kekuatan pasukan yang lebih besar.
Sehingga beliau segera menuntun rakyat untuk membuat kuta (benteng perang) atau
benteng-benteng pertahanan termasuk darinya kuta karang yang bermakna 2 kuta
(benteng yang berdekatan). Beliau membuat kuta-kuta (benteng perang) tersebut
bersama-sama dengan paglima perang lainnya. Diantaranya adalah Tgk. Chik Abbas
Kuta Karang penulis kitab Tajul Muluk (Mahkota Sultan). Termasuk pula daripada
salah seorang ulama yang keramat.

Pembuatan benteng adalah upaya masyarakat Aceh untuk membuat


pertahanan daripada serangan yang terjadi saat peperangan. Pendirian benteng Aceh
dilatar belakangi untuk pertahanan kota/kerajaan. Umumnya dalam menghadapi
perang, para pejuang Aceh memusatkan kekuatannya dalam kuta-kuta (benteng-
benteng) pertahanan yang tersebar di seluruh daerah Aceh, kadang-kadang sampai
terbakar seluruhnya atau mereka sendiri ikut tewas semuanya di dalam kuta. 8
Benteng-benteng terus disiapkan oleh masyarakat Aceh, dimana markas terbesar
terletak di Dayah Empeetrieng.

Benar saja, Pada tanggal 9 Desember 1873 Belanda kembali masuk ke Aceh
melakukan penyerangan kedua di bawah kemimpinan Letnan Jenderal J. Van Swieten
(Pensiunan Panglima Hindia Belanda). Dengan bermodal semangat dan syahid, Tgk.
Chiek Empeetrieng bersama para pejuang lainnya segera mengatur strategi untuk
melawan Belanda. Dalam perlawanan ini, mereka rela mempertaruhkan jiwa dan
raganya agar dapat mengusir Belanda dari tanah tercintanya Aceh. Berlandaskan
semboyan haram bersurut walau setapak. Pada waktu itu, semua pemimpin
mengkoordini pasukannya termasuk pula Tgk. Chiek Empetrieng.

Beliau dan tokoh lainnya dengan sekuat tenaga mengerahkan semua pasukan,
berdiri di barisan terdapan melawan Belanda satu per satu. Perlawanan demi
8
Drs. As, Nasruddi, M. Hum., Strategi Pertahanan Kerajaan Aceh Darussalam Abad XVII-XVIII M, Lembaga
Naskah Aceh, Ulee Kareng Banda Aceh: 2013, hlm. 51.

7
perlawanan dilewati hingga beberapa tahun lamanya. Korban yang jatuh dari kedua
belah pihak juga sangatlah banyak di tiap harinya. Namun tidak ada kata menyerah
bagi para pejuang Aceh.

Pertempuran sengit terjadi di Masjid Raya Baiturrahman. Namun pada


penyerangan kedua ini masjid berhasil direbut oleh Belanda setelah dihancurkan
(dibakar) pada tanggal 6 Juni 1874. Dan Belanda juga berhasil merebut Istana
kerajaan Aceh Darussalam pada tanggal 24 Januari 1874 namun setelah kerajaan
dikosongkan oleh pihak Aceh sejak tanggal 15 Januari 1874.

Namun Belanda masih tidak sanggup mematahkan kekuatan perlawanan


rakyat Aceh, terkhusus rakyat di bawah kepemimpinan Tgk. Chik Empetrieng. Oleh
karena itu mereka melepaskan sasaran kebrutalannya kepada rakyat, dengan berbagai
kekejaman yang dilakukan seperti dipancung, disiksa, kampung-kampung dibakar,
kebun-kebun dan tanah dihancurkan bahkan mereka juga menyebarkan bibit kolera
kepada rakyat Aceh.

Perlawanan masih terus dilakukan, Sultan dan para panglima serta pasukan
Aceh menuju Lueng Bata untuk seterusnya ke Pagar Air (Pagar Aye) kira-kira 7 km
dari ibukota Bandar Aceh. Dan disanalah pada tanggal 28 Januari 1874 Sultan
Mahmud Syah meninggal dunia saat berada di dalam Masjid lama Muqim Pagar Air.
Beliau meninggal dunia akibat wabah penyakit kolera.9 Beliau wafat dan di
kebumikan di dekat Masjid lama Muqim Pagar Air yang kemudian di pindahkan ke
Gampong (Desa) Tumbo Samahani yang terletak 18 km dari ibukota Banda Aceh
(Banda Aceh) atas permintaan Ule balang muqim Baet karena takut diketahui oleh
Belanda.

Perang masih terus dilanjutkan oleh para Ulama dan Umara seluruh Aceh
yang dititik perangnya berpindah ke Muqim Pagar Air. Tgk. Chiek Eumpe Trieng
bersama dengan pasukannya dan para panglima lain mempertahankan Muqim Pagar
Air dan Muqim Lamsayuen agar tidak jatuh ke tangan kafir Belanda. Dimana pada
saat itu panglimanya menjadi ule balang Muqim Pagar Air yang bergelar Ule balang
imum (panglima perang). Merangkap Imum Chiek Masjid Pagar Air yang bernama
Imum Baitam (Malek Itam) adik panglima perang Aceh Bandar Darussalam yaitu

9
Ahmad, Zakaria, dkk, Sejarah Perlawanan Aceh terhadap Kolonialisme dan Imperialisme, (Banda Aceh:
Agustus 2008), hlm. 83-84.

8
Tgk. Hasyiem Banta Muda dan adiknya yang paling kecil yaitu Tgk. Mahmud Banta
Kecil.

3 bersaudara ini dan panglima perang lainnya termasuk Tgk. Chik Eumpe
Tring mempertahankan Muqim Pagar Air hingga 23 tahun lamanya. Pada catatan
dinding yang ditulis oleh Belanda tertulis, pihak Belanda mencapai 160 orang yang
mati sedangkan muslimin yang syahid di pihak Aceh ada ratusan orang. Jenazah-
jenazah para syuhada tersebut kemudian di kumpulkan dalam satu Meunasah (surau)
sehingga meunasah itu disebut dengan Meunasah Mayet (jenazah) Muqim Lam
Sayeun.

Setelah kalah di Muqim Pagar Air, Tgk. Chiek Eumpe Trieng ikut
mempertahankan Benteng Aneuk Galong kali pertama. Dan setelah Benteng Aneuk
Galong kalah, beliau mempertahankan wilayah yang lain diantaranya adalah Masjid
Indrapuri sampai seluruh pasukan mujahidin terdesak hingga batas Seulimuem dan
menyelamatkan diri mereka.

Seluruh panglima perang berada dalam keadaan terdesak, tetapi mereka tidak
panik dalam bermusyawarah. Kesimpulan musyawarah yaitu meminta bala bantuan
ke Pedir. Maka dikirimlah utusan untuk mengumpulkan tenaga perang yang kuat di
medan pertempuran di seluruh wilayah Pedir.

Utusan perang dari pihak Kesultanan Bandar Aceh Darussalam menghadap


Tgk. Chik Pante Kulu di Muqim Titeu/ Keumala dan Tgk Chik Ditiro Muhammad
Saman. Setelah menerima perintah dari panglima besar perang Aceh Bandar
Darussalam yaitu dengan 73 panglima perang dalam wilayah Aceh Besar termasuk
Tgk Chik Eumpe Trieng yang menentukan langkah perang bersama Panglima Polem.

Sultan Muhammad Daud Syah pada saat itu masih kecil ketika dilantik kali
pertama di dalam Masjid Lam Teungoh namun jabatannya itu diserahkan sementara
kepada syekh Hasyim Banta Muda sebagai pemangku Sultan sampai tahun 1884. Dan
Indrapuri dijadikan sebagai pusat pemerintahan agar lebih mudah menggerakkan
rakyat. Jabatan sultan kembali diserahkan kepada Tuan Muhammad Daud Syah saat
usia beliau sudah cukup dewasa. Dilakukan pelantikan kali kedua di Masjid Indrapuri.

Muhammad Daud Syah dinobatkan menjadi Sultan Aceh yang ke-32 dengan
gelar Sultan Alauddin Muhammad Daud Syah. Berhubung pada saat itu Aceh Besar

9
sudah tidak aman lagi, maka pusat pemerintahan kerajaan dipindahkan ke Keumala,
Pidie. Pada waktu penobatan tersebut, Para pemimpin Aceh seperti Hasyim Banta
Muda, Panglima Polem Ibrhim Muda Kuala, Teungku Chiek ditiro termasuk Tgk.
Chiek Eumpetrieng dan lain-lain telah mencetuskan “Ikrar Prang Sabi” atau ikrar
“perang di jalan Allah” melawan kafir Belanda. Tujuan Ikrar ini adalah untuk
memperbaharui semangat Juang.10

Maka tatkala mendengarkan seruan ikrar tersebut, Tgk. Chik Muhammad


Saman dan Tgk. Chik Pante Kulu yang baru pulang dari belajar di Masjidil Haram
Mekah dan belajar di Masjid Madinah saat tengah berada di dalam kapal laut tidak
membuang waktu langsung menulis hikayat perang Sabil melawan kafir Belanda
menyambut seruan jihad fiabillah.

Mondar mandir Tgk. Chik Pante Kulu dan Syekh Muhammad Saman
mengumpulkan tenaga mujahidin untuk ikut di medan juang fisabillah. 11Maka ikut
dalam perang anak dari Tgk. Chik Pante Kulu yang bernama Tgk. Muhammad Amin,
dan ikut serta pula anak dari Tgk. Chik Muhammad Saman Tiro. Setelahh berkumpul
pasukan perang dari wilayah Pedir kurang lebih 500-700, tenaga perang semua
berkumpul di Pante Krung Tiro untuk mendengar nasehat perang dari Syekh
Mukhammad Saman. Berikut isi nasehat beliau:

Wahai Muslimin para mujahidin perang, kita berperang

1) Karena Allah.
2) Jangan mengambil harta rakyat dengan paksa.
3) Jaga shalat lima waktu, sholatlah kalian seperti sholat Nabi dengan ilmu,
diawal waktu dimana azan dikumandangkan. Bila tidak azan di meunasah
atau masjid maka kalian yang azan, dan jangan biarkan ada meunasah atau
masjid yang tidak terdengan azan.
4) Bawalah bekal perang apa yang ada berupa makanan dan alat perang apa
yang ada.
5) Bersalaman dengan keluarga minta maaf dari segala kesalahan, minta doa
selamat iman bila nyawa keluar dan mendoakan keselamatan bagi ahli
kubur yang kita lewati. Kirim al-Fatihah sekali, Qulhu 3 kali, dan sholawa

10
Ibid., hlm. 91-92.
11
Wawancara informan, “Ibu Rusmiati (Mucut)”, tgl. 2 dan 12 Juni 2022.

10
sekali. Inilah nasehat dalam medan perang jangan kalian lupa semoga kita
menang.

Berangkatlah seluruh pasukan muslim berjumlah 500-700 muslimin banyak


rakyat dalam perjalanan memberi makanan dan minuman apa yang ada berupa beras,
uang dan lain-lain.

Sampailah pasukan muslim di Seulimuem bergabung dengan pasukan yang


dipimpin oleh Tgk. Chiek Eumpe Trieng dan pasukan lainnya sebelum berangkat
perang melawan pasukan Belanda yang sedang bertahan di Masjid Indrapuri. Tgk.
Chiek Eumpe Trieng memberi nasehat perang sebagai berikut:

1) Jagalah hubungan dengan Allah jangan tinggalkan sholat, kumandangkan


azan disetiap Meunasah atau Masjid yang kita lewati. Bila telah masuk
waktu sholat lima waktu azankan di awal waktu. Kalau kita bantu agama
Allah, Allah pasti akan memberi kemenangan pada kita. Dalam keadaan
perang pasukan muslimin di bagi menjadi dua:
a) Satu pasukan muslimin mendirikan sholat.
b) Satu pasukan mujahidin menjaga orang yang sedang sholat.
Setelah selesai pasukan pertama, masuk pasukan kedua untuk sholat
dan pasukan yang pertama tadi menjaga temannya yang sholat.
2) Satu garis Amir (perintah). Jangan mundur bila tidak ada perintah mundur.
3) Jaga hubungan dengan sesama jangan merasa lebih pandai, Allah yang
lebih pandai, jangan merasa lebih mulia, Allah yang sangat mulia, jangan
merasa lebih kuat, Allah lah yang lebih kuat.
4) Saling tolong menolong, saling bantu membantu, melihat teman yang telah
syahid diambil dan dikumpulkan di meunasah yang aman dan saling
memafkan.
5) Hati selalu berdzikir sebanyak-banyaknya agar kita diberi kemenangan di
medan tempur.

Setelah selesai mendengar nasehat perang pasukan Tgk. Chiek Eumpe Trieng,
pasukan Tgk. Chiek di Tiro, pasukan Tgk. Chiek Pante Kulu, pasukan Panglima
Polem tunduk pada Panglima besar perang Aceh Belanda yaitu Tgk. Hasyem Banta
Muda merangkap mangku bumi Sultan Muhammad Daud Syah yang masih kecil.

11
Setelah bersatu padu dua pasukan Pedir dan Aceh Besar yaitu pasukan di
bawah ulama turun serentak bagaikan titik gelombang laut, bertemulah pasukan
mujahidin yang mukmin melawan pasukan Belanda di kawasan Masjid Tuha
Indrapuri dan terjadilah perang yang sangat dahsyat.Yang ada tombak melempar
tombak, yang ada bedil kumoroh buatan Aceh memuntahkan pelurunya, yang ada
pedang enjok, kelewang dikeluaran dalam sarung yang ada rencong tusuknya sampai
keluar cahaya pedang enjok bagaikan cahaya kilat, suara dentuman senjata kumuroh
yang menggetarkan.

Pasukan Tgk. Chiek Eumpe Trieng memegang bendera kalimah


Lailahaillallah Mukhammadurr Rasulullah. Pantang mundur semangat perang
digelorakan oleh Tgk. Chiek Eumpe Trieng. Suara beradu pedang bergemuruh,
pasukan perang mulai berjatuhan di kedua belah pihak. Sebelum matahari terbenam
pasukan kafir Belandatelah lari tunggang langgang. Masjid Tuha Indrapuri telah jatuh
kembali ke tangan muslimin dengan berkat rahmat dan izin dari Alla, Takbir.

Tgk. Hasyim Banta Muda memerintahkan pada wazir perang pantai timur
sumatera yaitu Panglima Nyak Makam untuk jangan berhenti maka Panglima Nyak
Makan memerintahkan pada seluruh pimpinan perang termasuk Tgk. Chiek Eumpe
Trieng menggerakkan seluruh pasukannya. Tgk. Chiek Eumpe Trieng sendiri maju
kedepan menyerang kafir Belanda tidak ada rasa takut pada pasukan Belanda
sedikitpun, Alhamdulillah satu persatu tanah Aceh dapat direbut kembali.

a. Merebut Kembali Benteng Aneuk Galong kali ke II


Untuk merebut kembali Benteng Aneuk Galong, 73 panglima perang wilayah
inti Sultan dan Panglima perang dari ulama duduk kembali bermusyawarah saat yang
tepat merebut kembali benteng aneuk galong yaitu setelah sholat subuh berjama’ah
dan selesai sarapan bergerak dengan langkah menyerang. Setelah semua siap,
panglima perang kembali menggerakkan bawahannya di pagi buta semua pasukan
bergerak maj dan empat dari penjuru, mujahidin kembali menyerang dengan serentak,
alhamdulillah benteng aneuk galong jatuh kembali ke tangan pasukan muslimin.
Mujahidin bergerak terus mengejar pasukan Belanda yang lari
bergelimpangan. Benteng Aneuk Galong kembali berada di bawah kekuasaan
masyarakat Aceh. Dibawah perjuangan Tgk. Chiek Eumpe Trieng bersama anaknya
Tgk. Muhammad Amin, Tgk. Chiek Di Tiro bersama anaknya Tgk. Muhammad

12
Amin, dan Tgk. Chiek Pante Kulu bersama anaknya Tgk. Muhammad Amin serta
para mujahidin lainnya telah berhasil mengalahkan belanda dan merebut kembali
benteng tersebut. Ke Tiga putra dari ke tiga panglima perang besar tersebut yang juga
berpangkat Ulama Allah takdirkan memiliki nama yang sama.
Belanda terdesak terus hingga batas Lambaro, Lambaro sebelah utara dikuasai
Belanda. Belanda membuat benteng pertahanan baru, dengan menambak tanah untuk
berlindung dari serangan mujahidin Aceh. Tinggi tanah mencapai kurang lebih 7
meter sekarang tinggal kurang lebih 5 meter panjang benteng 14 meter disebut Cot
Kutaran. Benteng ini menjadi batas Gampong Lubok Bate Lambaro arah selatan
dikuasai oleh muslim. Belanda membuat benteng pertahanan yang panjangg dari utara
Jln. Blang Bintang Baru. Jalan Lamsayeun dikuasai Belanda namun pasukan muslim
telah mendapatkan kembali Masjid Raya Baiturrahman. Meskipun demikian,
pertahanan Belanda di Lambaro tidak mampu dikalahkan bertahun-tahun.
Teuku Umar berpura-pura bergabung dengan pasukan Belanda dengan tujuan
sesuatu lalu Belanda bersama T. Umar menyerang Benteng Aneuk Galong jam 3
malam pada bulan purnama setelah bergerak dari Tangsi dan minum kopi di Lambaro
berjalan kaki sampai di Benteng Aneuk Galong dan tidak ada yang jaga pada malam
itu. Di pagi buta itulah Belanda menyerang habis habisan dengan senapan baru. Kaum
muslimin kocar kacir ada Tgk Lampoh Raya Gampong Lubok Bate dia berdiri
menembak Belanda secara terang-terangan untuk syahid tapi tak syahid. (Mucut)
Tgk. Muhammad Amin bin Tgk Mukhammad Saman (Tgk Chiek Di tiro)
syahid pada waktu itu di benteng Aneuk Galong. Jenazah beliau di bawa lari oleh
muslim lainnya ke Meureu dan dikebeumikan disana. Adapaun Tgk. Muhammad
Amin bin Tgk Chiek Pante Kulu telah duluan syahid dalam perang di Muqim Lam
Teungoh dan di kuburkan di Masjid Lam Teungoh desa Lambarih di Takengon. Dan
yang tersisa pada waktu itu dari ke tiga putra ulama tadi adalah adalah Tgk
Muhammad Amin bin H. Ismail (Tgk Chiek Empeuu Trieng).
Murid Tgk Chiek Empeu Trieng juga ada yang syahid dalam mempertahankan
Benteng Aneuk Galong yang kedua. Adapun Tgk Chiek Empeu Trieng, Tgk Chik di
Tiro, Tgk Chik Pante Kulu, Panglima Polem, Panglima Perang Masjid Raya, Tgk
Mahmud Banta kecil, Ulee Balang Imum dalam Mukim Pagar Air Imum Baitam dan
lain-lain masih selamat.
Setelah Benteng Aneuk Galong kalah dapat direbut kafir maka para pasukan
muslimin kembali bertahan di Masjid Tuha Indrapuri dan tidak ditemukan lagi kata

13
sepakat perang berjamaah.Pola perang berubah yaitu perang gerilya. Perang gerilya
adalah perlawan yang dilakukan secara berkelompok yang terkoordinir secara baik
dan mempunyai pemimpin.12
Tgk. Chiek Empeu Trieng dengan sisa pasukannya mempertahankan Eumpe
Tring yang belum jatuh ke tangan Belanda. Tgk. Umar mempertahankan wilayah
Pante Barat, T. Raja Teunom mempertahankan Teunom dan sekitarnya. Sultan
Muhammad Daud Syah, Tgk Hasyem Banta Muda, Panglima Polem, Tgk Mahmud
Banta Kecik, Panglima Masjid Raya mempertahankan Pedir. Sedangkan Keumala,
Tgk. Chiek Ditiro, Tgk Chiek Pante Kulu dan Panglima Perang mempertahankan
Muqim Pagar Air Keramat.
Selama beberapa tahun Tgk Chiek Empeu Tring dan pasukannya tetap
bergerilya di seitar pegunungan Aceh Besar yaitu gunung Biluy. Namun pada
akhirnya Belanda mengetahui tempat Tgk Chiek Empeu Trieng. Belanda mengepung
Tgk Chiek Empeu Trieng dan membakar tempatnya. Namun Tgk. Chiek Empeu
Trieng dan para mujahid selamat, yang terbakar malah Belanda sendiri. Akhirnya
pasukan Belanda banyak yang mati.
Akan tetapi Belanda menambah pasukan baru maka dari itu Tgk Chik Empeu
Tring terus bergerilya. Karena terdesak maka beliau pergi ke Lamno mencari tenaga
perang di wilayah Lamno dan membentuk sebuah pasukan yang kuat dan bertahan di
gampong Sango Aceh Jaya. Beliau bergerilya dengan melewati jalan setapak
pegunungan, menanjaki lereng-lereng gunung, memotong pepohonan hingga eliau
sampai ke Gampong Sango Aceh Jaya tersebut. 13
Disanalah Tgk. Chiek Empeetrieng menetap pertama dan diberi nama
kampung Sabet (kedatangan pertama) dan segera membangun perkampungan,
meunasah, Masjid, persawahan atau perladangan di daerah Jamuan, Ligan. Serta
beliau juga membangun markas-markas pertahanan berupa kuta-kuta sesuai dengan
tempat tinggal pimpinan pasukan masing-masing.
Untuk mengantisipasi peperangan lanjutan dengan Belanda berikutnya, maka
Tgk. Chiek Empeetrieng membuat rencana untuk memperkokoh kesatuan dan
melakukan perundingan dengan tokoh-tokoh pejuang Aceh lainnya termasuk pula
berunding tentang kesiapan senjata dan perlengkapan lainnya. Tgk. Chiek
12
Ahmad, Zakaria, dkk, Sejarah Perlawanan Aceh terhadap Kolonialisme dan Imperialisme, (Banda Aceh:
Agustus 2008), hlm. 107.

13
Wawancara informan. “Ibu Rusmiati (Mucut)”. Tgl. 2 dan 12 Juni 2022.

14
Empeetrieng sendiri juga menciptakan senjata yang berbentuk dua laras lengkap
dengan pelurunya (Senapan cabang dua model) disamping memproduksi senjata-
senjata perang rakyar berupa tombak, pedang, paang, rencong dan lain sebagainya.
Sulitnya pihak Belanda menembus sistem pertahanan yang dibuat oleh Tgk.
Chiek Empeetrieng dan penolakan perdamaian secara tegas oleh Tgk Chiek.
Mengakibatkan terjadinya pertempuran besar-besaran anatara kedua pihak. Banyak
dari pasukan Belanda yang mati pada pertempuran ini. Pertempuran lainnya juga
terjadi di daerah Ayon hingga salah seorang Putri Tgk. Chik yang bernama Tgk.
Aisyah gugur sebagai syuhada dan dimakamkan di sana.
Karena berulang kali pasukan Belanda mengalami kegagalan dan karena
banyak pasukannya yang tewas. Maka didatangkanlah bantuan besar-besara dari Kuta
Raja untuk melumpuhkan kekuatan pasukan Tgk. Chiek Empetring. Dalam
pertempuran yang terakhir ini Belanda berhasil menahan Tgk Chiek Empetrieng pada
tahun 1903. Kemudian Tgk. Chik dan para tawanan lainnya dibawa kembali pulang
ke Kuta Raja dengan kapal Belanda.
Setibanya di Kuta Raja beliau dijemput oleh para ulama dan masyarakat di
Pantai Ulee Lheu. Kemudian beliau kembali ke Empetrieng untuk membangun
kembali pusat pendidikan Islam di Dayah Rangkang Manyang bersama para ualam
dan masyarakat setempat.Dayah yang beliau pimpin ini hari ke hari maju sangat
pesat,hingga ribuaan murid.14
Tgk. Muhammad Amin yaitu putra beliau berniat meneruskan perjuangan
ayahnya dengan mengumpulkan pasukan terutama dari Dayah Empetrieng. Menggali
senjata yang di tanam di sekitar Dayah dan kembali berjihad memerangi Belanda di
Lambaro Kaphe. Aakibat dari peperangan ini, Tgk Chiek Empeetrieng, dan tokoh-
tokoh panglima lainnya di tahan di Kuta raja. Namun setelah 5 bulan beliau dan
rombongan di bebaskan kembali karena sering didapati hal-hal aneh pada tgk. Chiek
Empeetrieng.
Dua tahun lamanya Tgk. M. Amin berperang secara gerilya dan bermarkas di
daerah pegunungan Aceh Besar yang sukar dilintasi manusia. Namun karena
pengkhianatan seorang anak angkat yang bernama Rahman sehingga Belanda
mengetahui keberadaan Tgk. M. Amin. Dan melakukan penyerangan terhdapnya
hingga beliau syahid.

14
Sebuah Tulisan lama hasil dari wawancara dengan beberapa narasumber

15
Karena melanjutkan peperangan ayahnya Tgk. Empeetrieng dengan gerakan
bersenjata maka Dayah Empeetrieng dilarang adanya kegiatan pengajian oleh
Belanda. Maka atas musyawarah para ulama dan pemuka masyarakat masa itu
disepakatilah untuk menempatkan Tgk. Chiek Empeetrieng di Masjid Tuha Indrapuri.
Sebuah Masjid bersejarah yang didirikan oleh Sultan Iskandar Muda.
Dengan membawa istri ke-4 dan anak-anaknya yang masih kecil dari Groot
(Indrapuri) ddampingi oleh beberapa muridnya beliau menuju ke Masjid Indrapuri,
dimana sebelumya oleh Belanda dijadikan sebagai markas pasukan Kavelri dan
kandang kuda. Masjid tersebut kemudian dibersikan oleh Tgk dan keluarga dibantu
masyarakat seempat. Dalam beberapa tahun Tgk. Chiek Empeetrieng membina Dayah
Indrapuri, sehingga dapatlah menyatukan sikap para tokoh pimp inan setempat untuk
melanjutkan perkembangan Dayah.
Dalam suatu kunjungan Tgk. Hasan Krueng Kale ke salah satu kediaman Tgk.
Chiek Empetrieng yaitu di samping Masjid Indrapuri pada tahun 1911. Tgk Chiek
Empetrieng meminta beliau untuk bersedia menggantiaknnya sebagai pemimpin
Dayah Indrapuri dikarenakan umur beliau yang sudah lanjut. Lantas Tgk. Hasan
Krueng Kale menyerankan temannya yang juga mengaji di Mekah untuk mengambil
posisi tersebut yaitu Tgk. Hasballah Lam U (kemudian di gelar Abu Indrapuri) yang
sedang berada di Yan Malaysia.
Atas kesepakatan para Ulama dan Uleebalang, maka dikembalikanlah Tgk.
Hasballah Lam U ke Indrapuri pada 1912 yang kemudian diangkat sebagai pimpinan
Dayah Indrapuri menggantikan Tgk. Chiek Empeetrieng. Setibanya dii Indrapuri
beliau tinggal di rumah Tgk Chiek Empetrieng yang kemudian dibuatkan rumah oleh
Paglima Polem untuknya tinggal.
Menjelang akhir hayatnya, Tgk. Chiek Empeetrieng sudah menyiapkan
tempat pemakamannya yaitu di samping mesjid (tuha) Indrapuri, di Lambaro
Samahani dan di Empeetrieng sendiri. Beliau berpesan kepada anak-anaknya dan
saudaranya dimanapun beliau meninggal agar dimakamkan di tempat terbut karena
telah disiapkan.
Tgk. H. Ismail atau yang lebih dikenal dengan Tgk. Chiek Empeetrieng
meninggal tepat pada hari Jum’at tanggal 27 Jumadil Awal tahun 1342 H. Bertepatan
dengan tanggal 4 Januari 1924 M, Jam 8 Pagi karena sakitt demam. Adapun tanda-
tanda sebelum beliau wafat adalah selama 3 hari berturut-turut munculnya bintang
ditengah hari dan suara gemuruh, pertanada seorang ulama besar telah kembali

16
kepadanya. Beliau dimakamkan di Desa Empetrieng bersama disana pula
dimakamkan putranya yang syahid yaitu Tgk. M. Amin. Ayahnya Tgk. Abdul
Mutholib (Tgk. H. Mekkah), dan kuburan kakeknya yaitu. Tgk. Abdul Rahim (Tgk.
Syiah Belantteu).15

C. Sarana dan Prasarana Sosial Yang Pernah Dibangun Tgk. Chiek Empetrieng
Tgk. Chiek Empetrieng dimana beliau menetap maka ditempat tersebut beliau
membangun sarana dan prasarana. Adapun diantara sarana dan Prasarana tersebut
adalah:
1. Dayah Empetrieng
15
Sebuah Tulisan lama dengan judul “Perjuangan Tgk. Chiek Empetrieng tahun 1860-1924” hasil dari
wawancara dengan beberapa narasumber

17
2. Masjid dan pasar Biluy
3. Dayah Rangkang Manyang
4. Masjid Lamabaro Samahani
5. Masjid Di Piyeng
6. Masjid dan Dayah Indrapuri
7. Meunasah Gampong Groott Indrapuri16

PENUTUP

16
Wawancara Informan “Ibu Rusmiati (Mucut)”. Tgl. 2 dan 12 Juni 2022.

18
Aceh berjuang melawan Belanda selama kurang lebih 40 tahun lamanya.
Selain Sultan, para pemerintah kerajaan, para ulama dan umara juga ikut serta
berjuang demi kemerdekaan dengat semangat yang membara. Tidak pernah ada kata
menyerah dalam jiwa setiap mujahidin Aceh. Bahkan semuanya rela berkorban jiwa
dan raga hanya demi menegakkan kebenaran. Tidak sedikit dari mereka yang gugur
dan kehilangan banyak keluarga dan sanak keluarganya.

Tgk. Chiek Eumpetring adalah satu diantara banyaknya para ulama Aceh yang
memiliki jasa luar biasa dalam perang antara Aceh dan Belanda. Ia merupakan
seorang ulama asal Aceh Besar yang sudah mulai berjuang melawan Belanda sejak
agresi pertama di Aceh. Nama asli beliau adalah Syekh Ismail bin Abdul Mutholib.
Eumpetrieng adalah nisbah nama desa dimana beliau dilahirkan dan dimakamkan.
Makam beliau kini dapat ditemukan di desa Eumpetrieng kecamatan Darul Kamal
kabupaten Aceh Besar. Tidak banyak didapati tulisan tentang beliau, hanya sedikit
sekali sumber yang bisa didapatkan.

Referensi Tambahan

Sebuah Tulisan Lama tanpa sampul hasil wawancara dengan:

1. Ibu Mina (salah seorang murid Tgk Chiek Empeu Trieng)

19
2. Wakil Panglima Perang Besar Berpangkat Letnan Jendral
3. Cahiya Cut Hasan
4. Buk syamsiyah
5. Bapak Ramli mantan Kapolres Aceh Utara (Cucu Tgk. Chiek Eumpe Trieng)

Sebuah tulisan lama dengan judul sampul “Perjuangan Tgk. Chiek Empeetring Tahun
1860-1924 hasil wawancara dengan:

1. Tgk. M. Sufi (Oktober 1985 di Banda Aceh)


2. Tgk. M. Hasan Ismail (Oktober 1985 di Banda Aceh)
3. Tgk. Diuma (Krung Tho Aceh Barat tahun 2010)
4. Tgk. M. Dahlan Usman (Oktober 1985 di Lamabaro Samahani)

Ahmad, Zakaria, dkk. Sejarah Perlawanan Aceh terhadap Kolonialisme dan


Imperialisme. Yayasan Pena. Banda Aceh: Agustus 2008. hlm. 70-75.
Drs. As, Nasruddin, M. Hum.. Strategi Pertahanan Kerajaan Aceh Darussalam Abad XVII-
XVIII M. Lembaga Naskah Aceh. Ulee Kareng, Banda Aceh: 2013.

Tgk. H. Ismail. Kitab Arab Melayu Jam’u Jawami’ al-Mushonnafat”. Hal. 2-3.

https://aceh.tribunnews.com/doc/2013/07/12/masjid-tuha-indrapuri

20

Anda mungkin juga menyukai