Anda di halaman 1dari 12

PEMIKIRAN ISLAM DI MESIR AL – TAHTAWI

Di susun oleh :
PEMAKALAH KE III
Rita Sugiarti ( 200501014 )
Mahasiswa fakultas adab dan humaniora
Prodi sejarah peradaban Islam

PRODI SEJARAH PERADABAN ISLAM


FAKULTAS ADAB HUMANIOR
UNIVERSITAS NEGERI AR-RANIRY
TAHUN AJARAN
2022 / 202
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
A. Biografi Al – Tahtawi

BAB II : PPEMBAHASAN
A. Karya Al-Tahtawi yang berpengaruh di Mesir
B. Pemikiran dari Al-Tahtawi
C. Pemikiran unggul Al-Tahtawi menurut pemakalah
BAB III : PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
BAB I PENDAHULUAN

A. Biografi Al – TAHTAWI

Rifa’ah Al-Tahtawi lahir dari pasangan Rafi’ Al-Tahtawi dengan Fatimah


binti Syaikh Ahmad Al-Farghali pada tanggal 15 Oktober 1801 di Kota Tahta,
Mesir yang berada di bagian pusat yang agak menjorok selatan dekat dengan
tepi barat sungai Nil. Al-Tahtawi terlahir dari keluarga aristokrat yang
berkecukupan. Dari ayahnya, silsilahnya sampai pada Husain bin Ali yang tak
lain adalah ia termasuk ke dalam Sayyid. Sedangkan dari ibunya, dia memiliki
kakek yang menjadi seorang ulama yang bernama Syaikh Ahmad Al-Farghali.
Silsilah kakeknya sampai pada suku Khazraj yang ada di Madinah. Dia lahir
ketika bertepatan dengan perginya tentara Prancis dari Mesir. Al-Tahtawi
merasakan hidup berkecukupan selama empat tahun sebelum Muhammad
Ali berkuasa dan menjadi Khedive di wilayah Mesir dan Sudan pada tahun
1805. Pada awal masa pengangkatnya, Muhammad Ali ditugaskan untuk
mengamankan sumber aliran ekonomi Mesir yang pada saat itu mengalami
peperangan. Dia mengambil semua tanah Iltizam di Mesir serta
meningkatkan pajak petani kepada para tuan tanah hingga mereka tak dapat
membayarnya dan kemudian menyita properti mereka.

Salah satu yang terdampak dari kebijakan Muhammad Ali pasya


seorang Gubernur Mesir pada saat. orang tua Al-Tahtawi yang sebelumnya
hidup dalam keadaan yang berkecukupan menjadi berbalik miskin setelah
dikeluarkannya kebijakan Muhammad Ali tersebut. Dengan keadaan itu, ayah
Al-Tahtawi terdorong untuk berpindah dari Tahta menuju Girga untuk tinggal
bersama kerabatnya yang bernama Abu Qatanah saat Al-Tahtawi berusia dua
belas tahun. Meski begitu, ayahnya memilih untuk berpindah-pindah tempat
lagi seperti ke Kota Qina, kemudian ke Farshut dan seterusnya hingga dia
meninggalkan Al-Tahtawi sendirian dan Al-Tahtawi pun memutuskan untuk
kembali ke Tahta dan tinggal bersama paman dari jalur ibunya.[1]

¹ Hadi, sang pembaharu pendidikan Islam ( Surabaya : UMsurabaya


publishing.2018), Hal.23
Saat berpindah-pindah bersama ayahnya, Al-Tahtawi mulai
menghafalkan Al-Qur’an. Namun sebelum hafalan tersebut tuntas, dia
kembali ke keluarga pamannya dan akhirnya menuntaskan hafalan Al-
Qur’annya hingga dia berusia 16 tahun. Dikarenakan latar belakang keluarga
ibunya yang terkenal sebagai ulama, Al-Tahtawi juga mengenyam pendidikan
agama seperti pelajaran fikih, akidah, nahwu dan saraf saat bersama
pamannya serta diiringi dengan pelajaran membaca dan menulis. Selepas
empat tahun belajar dengan demikian, akhirnya pada tahun 1817, Al-Tahtawi
memutuskan untuk berangkat ke Kairo untuk belajar di Universitas Al-Azhar
yang dimana dia menyelesaikan kuliah di institusi tersebut selama lima
tahun. Diceritakan bahwa keberangkatannya menuju Kairo membutuhkan
waktu dua pekan dengan menaiki kapal untuk menyusuri sungai Nil. Pada
tahun keberangkatannya ke Al-Azhar juga, tak lama kemudian ayahnya
meninggal dunia.

Di Al-Azhar, Rifa’ah mendapatkan bimbingan dari banyak dosen.


Ketika dia mulai menunjukkan awal keseriusannya dalam belajar, Al-Tahtawi
berada di bawah bimbingan Al-Faddali dan belajar kitab Sahih Bukhari. Dia
juga belajar Tafsir al-Jalalain yang berada di bawah pengajaran Abdal Ghani
Ad-Dimyati serta bersama guru kesayangannya, Syaikh Ibrahim Al-Baijuri, dia
belajar kitab Syarah Al-Asymuni. Selepas itu, ia akhirnya dapat bertemu
dengan Syaikh Hasan Al-Attar yang saat itu menjadi rektor di universitas
tersebut. Hasan Al-Attar sesungguhnya merupakan seorang anak dari
apoteker yang kemudian dia berkeliling ke negara-negara Islam seperti
Lebanon dan Suriah untuk mempelajari berbagai bidang disiplin ilmu. Dia
bahkan sering bertemu dengan ilmuwan-ilmuwan Prancis yang datang
bersama dengan Napoleon saat kedatangan Kaisar Prancis tersebut ke Mesir.
Dengan pertemuannya dengan ilmuwan-ilmuwan tersebut, Al-Attar
mengetahui bahwa dunia Islam mengalami kemunduran atas peradaban
Barat.

Menurut Muhammad Imarah, Rifa’ah meninggal dikarenakan sebuah


penyakit. Ia dinyatakan wafat pada tanggal 27 Mei 1873 pada usia 72 tahun
di Kota Kairo. Jenazahnya disalatkan pada esok harinya di masjid Al-Azhar
serta dikuburkan di sebuah pemakaman keluarga yang letaknya tak jauh dari
universitas Al-Azhar.[2
_____________________________________________________________
² Hadi, sang pembaharu pendidikan Islam ( Surabaya : UMsurabaya
publishing.2018),Hal.24
BAB II

A. Karya dari Al tahtawi yang berpengaruh di Mesir


Al-Tahtawi memulai karirnya sebagai penerjemah buku ketika ia datang
ke Prancis pada tahun 1826. Tidak seperti penerjemah pada umumnya, dia
tidak fokus menerjemahkan buku pada bidang ilmu tertentu saja, melainkan
dia menerjemahkan buku dari berbagai bidang ilmu seperti politik, sejarah,
matematika, filsafat, geografi, fisika, dll. Oleh sebab itu, buku terjemahannya
memiliki tema yang beragam. Menurut Harun Nasution, Al-Tahtawi memilih
untuk tidak fokus pada satu tema tertentu dikarenakan supaya “Pembaca-
pembaca Arab akan dapat mengetahui ilmu-ilmu pengetahuan Barat yang ia
rasa perlu mereka ketahui untuk kemajuan mereka. Buku pertama yang ia
terjemahkan merupakan buku yang berisi tentang ilmu metalurgi yang
berjudul Principes métallurgiques atau yang ia terjemahkan kedalam bahasa
Arab menjadi Mabādi’ al-‘Ulūm al-Ma’daniyah (“Prinsip-prinsip Ilmu
Metalurgi” dalam bahasa Indonesia) yang dicetak di Mesir setelah ia kirim.

Dikarenakan sebagian besar hidupnya ia habiskan untuk menjadi guru,


maka Al-Tahtawi pun juga pernah menulis satu buku mengenai hal yang
bersifat pedagogis atau kependidikan. Judul buku tersebut ialah Al-Murshid
al-Amīn fi Tarbiyat al-Banāt wa al-Banīn yang apabila diterjemahkan dalam
bahasa Indonesia menjadi “Petunjuk Pendidikan Bagi Putra dan Putri”. Di
dalam buku tersebut, ia mengemukakan pendapatnya bahwa tidak hanya
laki-laki, para perempuan juga berhak mendapatkan pendidikan yang setara
dengan rekan mereka. Buku ini menerangkan perbedaan karakter antara laki-
laki dan perempuan sehingga dalam menghadapi keduanya, diperlukan gaya
pendidikan yang tidak sama. Selain itu, buku tersebut juga menegaskan
pentingnya mengarahkan pendidikan untuk tujuan nasional. Buku ini
diketahui pertama kali dicetak ketika Rifa’ah meninggal dunia pada tahun
1873.

Selain membuat buku, Rifa’ah juga kedapatan membuat beberapa puisi


yang biasanya dia persembahkan kepada para Khedive Mesir saat itu.
Berbagai puisinya tergabung ke dalam tema nasionalisme yang ia beri judul
Qasidah Wataniyah Misriyah (Bahasa Indonesia: Puisi Kebangsaan Mesir)
yang dikenal dalam bahasa Inggris sebagai Egyptian patriotic lyrics. Beberapa
puisi tersebut digunakan sebagai persembahan Al-Tahtawi kepada gubernur
Muhammad Sa’id Pasya pada tahun 1855. Salah satu puisinya yang terkenal
adalah Ya ṣāḥi ḥubbul waṭan.[3]

³ Dahlan, pembaruan pendidikan sosial Mesir ( Surabaya : sunan Ampel press.


2011), Hal. 106. 110
B. Pemikiran dari Al- tahtawi

Urgensi Pendidikan Bagi Kaum Perempuan


Al tahtawi melihat, bahwa perempuan adalah ciptaan Allah SWT yang
sangat sarat artistik dan keindahan, dalam penciptaannya ia ditentukan sebagai
pasangan hidup laki-laki, selain itu wanita juga mitra bagi Pria dalam kehidupan
berumah tangga. Oleh karena itu, diperlukan pendidikan sebagai sebuah media
untuk menyempurnakan sifat-sifatnya. Bagi Al-Tahtawi perempuan berhak
mengenyam pendidikan sebagaimana laki-laki, salah satu cara yang perlu
ditempuh dalam menyukseskan seruannya ini adalah dengan menambah batas
usia menikah bagi para wanita. Dengan ini kaum perempuan mampu sepenuhnya
fokus mengeksplorasi khazanah keilmuwan, dan siap sedia dalam mendidik anak
Generasi bangsa. Menariknya, di balik semangatnya yang berkobar-kobar dalam
menyuarakan urgensitas pendidikan bagi kaum perempuan, Al-Tahtawi tak lalai
untuk mengingatkan bahwa perempuan harus tetap mempunyai sifat atau
atribut kewanitaan seperti rasa malu, segan, serta takut, asalkan mereka tetap
memiliki tekad yang kuat untuk senantiasa menimba ilmu.

Memang di waktu itu, wanita dalam pandangan umum masyarakat


Mesir diciptakan oleh Allah sebagai makhluk yang lemah, kekuatan akal dan
pemahamannya lebih rendah dari pada pria. Oleh sebab itu, perempuan tidak
diberi kesempatan agar mendapat pendidikan, kecuali pendidikan yang
menyangkut dengan tugasnya sebagai ibu rumah tangga.95 Padahal, pandangan
yang radikal seperti ini sangat bertentangan dengan fakta historis yang terjadi.
Maka pendidikan pada perempuan walaupun hanya sebatas membaca dan
menulis saja, tetapi telah memberikan kontribusi bagi kesejahteraannya, dan
Kesejahteraan tersebut didedikasikan untuk keluarganya, terlebih secara Umum
kepada masyarakat luas.

Dua catatan penting paling tidak dapat digali melalui aksioma yang
disampaikan oleh Rifa>’ah al-T{aht}a>wi. Pertama, pendidikan bagi kaum wanita
tentu saja menjadi bagian dari peradaban masyarakat Muslim sejak zaman
Rasulullah yang harus dipertahankan kelanjutannya. Hal ini berarti menolak
terhadap klaim Muslim tradisionalis -di abad pertengahan (18-19)- atas
pendidikan bagi perempuan sebagai salah satu manifestasi pemikiran barat.
Kedua, implementasi pendidikan terhadap perempuan di kalangan Muslim Mesir
justru dipandang telah berpindah dari substansinya, bahkan telah bergeser segi
kemaslahatannya, dari untuk menunjang kehidupan yang modern menjadi
disalah gunakan bagi kemudaratan.
Lebih lanjut, Rifa>’ah al-T{aht}a>wi memberikan contoh mengenai
pendidikan terhadap kaum perempuan yang dilakukan oleh bangsa Yunani. Ia
menyampaikan, Bahwasanya orang-orang Yunani telah mengatur agar para wanita
mendapatkan pendidikan, maka mereka memperoleh didikan yang lebih baik dari
para kaum pria, juga badan yang sehat.
Tak Mengherankan, jika kemudian di negara tersebut terdapat banyak pahlawan-
pahlawan dari golongan wanita yang juga sangat berkesan pada hati para suaminya.

Al-Tahtawi juga menyampaikan beberapa faedah bagi perempuan yang


mengenyam pendidikan dengan baik, selain sebagai perbendaharaan ilmu untuk
mengatasi permasalahan rumah tangganya. Perempuan pun dapat bekerja sebagai
usaha membantu meringankan beban perekonomian keluarga sebatas
kemampuannya, sebab jika mereka tidak memiliki kesibukan atau berkarya, lalu yang
mereka lakukan untuk mengisi kekosongan mereka adalah menggunjing, bahkan hati
mereka akan penuh dengan hawa nafsu belaka. Sebenarnya pendidikan terhadap
anak-anak gadis, dan keterlibatan mereka dalam bekerja termasuk konstruksi dari
kebangkitan umat di kala itu. Dan gagasan ini diadopsinya saat ia memperhatikan
peran wanita-wanita prancis terhadap bangsa mereka, sehingga memotivasinya
untuk meruba kembali adat di masyarakat Islam pada era itu. Tentunya dengan tetap
memperhatikan shari’at agama Islam, agar tidak menimbulkan respon yang
sebaliknya.

⁴ Fazlur Rahman sang pemburu pendidikan Islam ( Surabaya, UMsurabaya, 2018 ),


Hal. 49
Nasionalisme dan politik seorang Al – tahtawi

Ideologi nasionalisme memasuki Mesir pada sekitar akhir abad kedelapan


belas dan awal abad kesembilan belas bersamaan dengan pendudukan Mesir oleh
Napoleon dari Prancis. Ideologi nasionalisme sebenarnya masih relatif baru bagi
umat Islam saat itu. Al-Tahtawi merupakan seorang pemikir dari sekian cendikiawan
Mesir yang menerima dan menganjurkan nasionalisme yang saat itu ia sebut sebagai
patriotisme. Nasionalisme yang dikenalkan oleh Rifa’ah didasarkan pada gagasan
cinta tanah air dan kebangsaan. Rifa’ah mengatakan bahwa kebijaksanaan seorang
raja dapat dianggap sesuai apabila semua rakyat dapat dipersatukan oleh satu
bahasa mereka, kesetiaan mereka terhadap pemerintah yang sah, dan juga oleh
syariat Allah. Meskipun Rifa’ah menekankan pentingnya syariat menjadi dasar
negara, tetapi Rifa’ah tidak menghendaki diskriminasi antar agama dan berharap
justru dengan diletakkannya syariah, kedudukan semua warga negara setara.

Dalam nasionalisme yang diusung Rifa’ah, ia tidak menghendaki adanya


perasaan partisanisme yang membuat bangsa Mesir menjadi terpecah-belah di
dalam permusuhan. Dia mengatakan bahwa sudah menjadi ketentuan Tuhan untuk
membuat manusia bersatu dengan harapan bahwa persatuan tersebut dapat
membuat manusia saling bekerjasama untuk membangun tanah air mereka.
Menurutnya, dengan syariat seharusnya negara tidak membeda-bedakan putra
tanah air berdasarkan agama mereka, apalagi memecah belah mereka, karena
mereka sama kedudukannya.

Al-Tahtawi juga mengkritik beberapa penguasa terdahulu yang memiliki


sikap anti-kritik. Beberapa penguasa yang bersikap semacam itu menurutnya
membuat warga negara tak mendapatkan hak-hak perlindungan dari negaranya.
Apabila yang terjadi kemudian, maka kestabilan negara akan menjadi terganggu.
Rakyat tak akan lagi mau menanggung kewajiban untuk membela negara dan
membangunnya karena hak mereka, tidak mereka dapatkan dari negara disebabkan
oleh pemerintah yang tirani. Akan tetapi, Rifa’ah di sisi lain juga menganjurkan
bahwa daripada selalu menuntut hak, warga negara yang dianggap patriot lebih
menuntut kewajiban mereka dalam membela dan membangun tanah air. Dalam
karyanya yang berjudul “The Extraction of Gold or an Overview of Paris”, ia juga
menekankan pentingnya patriotisme. Menggunakan contoh dari kerajaan Romawi,
Al-Tahtawi menulis bahwa dikarenakan penguasa yang tiran, kualitas patriotisme
warga negaranya menjadi menurun. Hal itu mengakibatkan mundurnya Romawi dan
membuatnya terpecah belah.
Setelah sekian lama berjaya, kerajaan tersebut akhirnya runtuh hanya
dengan berkurangnya kesetiaan rakyatnya yang diakibatkan oleh penguasa yang
buruk. Al-Tahtawi memberikan pendapat bahwa masyarakat Mesir tidak perlu
sungkan untuk melihat realitas kekaisaran Romawi yang runtuh sebagai pelajaran
dan meniru kebangkitan Eropa setelah runtuhnya kekaisaran Romawi tersebut
melalui rasa cinta terhadap tanah air.

⁵ https://id.m.wikipedia.org.
C. Pemikiran unggul dari tokoh menurut pemakalah

Yaitu dalam bidang pendidikan Pemikiran tentang pendidikan yang


diterapkan oleh Al Tahtawi di tulis pada buku al-Mursyid al-Amin fi Tarbiyah
al-Banin (pedoman tentang pendidikan anak). Buku ini menerangkan tentang
ide-ide pendidikan yang meliputi :

1. ) Pembagian jenjang pendidikan atas tingkat permulaan, menengah, dan


pendidikan tinggi akhir.

2. ) Pendidikan diperlukan, kerana pendidikan merupakan salah satu jalan


untuk mencapai kesejahteraan.

3. ) Pendidikan mesti dilaksanakan dan diperuntukan bagi segala golongan.


Maka tidak ada perbedaan antara pendidikan anak laki-laki dan anak
perempuan.

Pemikiran mengenai persamaan antara laki-laki dan pendidikan anak


perempuan ini dinilai sebagai mencontoh ide pemikiran Yunani.Anak anak
perempuan harus memperoleh pendidikan yang sama dengan anak lelaki.
Pendidikan terhadap perempuan merupakan suatu hal yang sangat penting
karena dua alasan, yaitu :
1.) Wanita dapat menjadi istri yang baik dan dapat menjadi mitra suami
dalam kehidupan sosial dan intelektual.

2.) Agar wanita sebagai istri memiliki keterampilan untuk bekerja dalam
batas-batas kemampuan mereka sebagai wanita.[5]

3.) Mencetak generasi yang standar

______________________________________________________________
⁶ https://www.bacaanmadani.com.
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Al tahtawi ia lahir dari keluarga yang berkecukupan dan terpandang


namun ia jatuh miskin karena hartanya diambil oleh gubernur Mesir bernama
Muhammad Ali Pasha karena beban pajak yang sangat tinggi karena
kemiskinannya ini juga ia harus dititipkan kepada pamannya agar ia bisa
menempuh pendidikan kita dapat belajar dari beliau walaupun Iya memiliki
pengalaman yang cukup buruk tentang dunia perpolitikan tetapi ia tidak
gundah atau dendam terhadap politik itu sendiri justru ketika ia telah
menjadi orang yang sukses dia malah ingin memperbaiki sistem politik di
Mesir agar generasi setelahnya tidak merasakan apa yang ia rasakan. Dari
beliau kita juga dapat belajar sebenarnya keterpurukan dan kemiskinan
adalah Semangat bagi diri kita agar kita bisa bangkit menjadi sukses
perjuangan dan jerih payah dalam meraih sesuatu akan berbuah manis di
kemudian hari saat kita telah berhasil meraih impian kita itu semua tidak
lepas dari doa dan usaha kita yang sungguh-sungguh.

B. Dalam makalah ini saya selaku penulis mengakui banyak sekali kesalahan
atau ketidaksempurnaan yang terdapat dalam makalah maka dari itu saya
sangat berkenan diberikan saran dan kritikan yang bersifat membangun oleh
pembaca semoga makalah saya dapat bermanfaat bagi kita semua terima
kasih.
DAFTAR PUSTAKA

Hadi,
2018. Sang pembaharu pendidikan Islam . Surabaya : UMsurabaya publishing.
Dahlan,
2011. Pembaharuan pendidikan sosial Mesir. Surabaya : Sunan Ampel press.
Fazlurrahman,
2018. Sang pembaharu pendidikan Islam. Surabaya : UMsurabaya.
https://id.m.wikipedia.org.
https://www.bacaanmadani.com.

Anda mungkin juga menyukai