Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH ILMU PENDIDIKAN ISLAM

Biografi Syed Muhammad Naquib Al- Attas


dan
Ki Hajar Dewantara

OLEH:
M. HILMY FAUZAN ADAM (20400118002)
RATU FARADILLA FAHARUDDIN (20400118006)
NUFADILA MUTMAINNA (20400118007)
NURAYINUN FAUZIL FITRI (20400118024)
DYA SALSABILA (20400118036)
RIJAL QALBI (20400118041)

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2019

1
Biografi Prof. Syed Muhammad Naquib Al- Attas Intelektual Muslim

1. Silsilah Kekerabatan dan Riwayat Pendidikan

Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas adalah salah seorang dari kalangan
ahlu al-bait Nabi (keturunan Nabi Saw.), namun bukan Syiah. Silsilah
keluarganya dapat dilacak hingga ribuan tahun ke belakang melalui silsilah sayyid
dalam keluarga Ba’lawi di Hadramaut dengan silsilah sampai ke Imam Husein ra.,
cucu tersayang Rasulullah Saw. Nama lengkapnya Syed Muhammad Naquib al-
Attas ibn Abdullah ibn Muhsin al-Attas. Lahir di Bogor Jawa Barat, pada 5
September 1931. Di antara leluhurnya banyak yang menjadi ulama dan wali.
Salah seorang di antara mereka adalah Syed M. Al-‘Alaydrus (dari pihak ibu),
guru dan pembinbing ruhani Syed Abu Hafs ‘Umar Ba-Syaibah dari Hadramaut,
yang mengantarkan Nur ad-Din ar-Raniri salah seorang ulama terkemuka di dunia
Melayu. Ibunda Syed M. Naquib al-Attas adalah seorang wanita yang berdarah
priayi Sunda bernama Sharifah Raquan al-‘Alaydrus.

Dari pihak ayah, kakek Syed M. Naquib al-Attas yang bernama Syed
Abdullah ibn Muhsin ibn Muhammad al-Attas adalah seorang ulama yang
pengaruhnya tidak hanya terasa di Indonesia, tetapi juga sampai ke negeri Arab.
Muridnya, Syed Hasan Fad’ak, kawan Lawrence of Arabia, dilantik menjadi
penasihat agama Amir Faisal, saudara Raja Abdullah dari Yordania. Neneknya,
Ruqayah Hanum, adalah wanita Turki berdarah aristokrat yang menikah dengan
Ungku Abdul Majid, adik Sultan Bakar Johor (w. 1895) yang menikah dengan
adik Ruqayah Hanum Khadijah, yang kemudian menjadi Ratu Johor. Setelah
Ungku Abdul Majid wafat (meniggalkan dua orang anak), Ruqyah menikah untuk
yang kedua kalinya dengan Syed Abdullah al-Attas dan dikaruniai seorang anak,
Syed Ali Al-Attas, yaitu Bapak Syed M. Naquib Al- Attas.

Syed M. Naquib al-Attas adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Yang
pertama bernama Syed Hussein, seorang ahli sosiologi dan mantan Wakil Rektor
Universitas Malaya, sedangkan yang bungsu bernama Syed Zaid, sorang insinyur
kimia dan mantan dosen Institute Tekonologi MARA.

2
Al-Attas menikah dengan Latifah Al-Attas alias Moira Maureen O’ Shay
pada 9 Oktober 1961 yang dikaruniai empat orang anak. Keluarga Al-Attas adalah
keluarga yang gemar akan Ilmu. Pada usia 5 tahun, Ia dikirim orang tuanya untuk
bersekolah di Sekolah Dasar Ngee Heng (1936-1941) di Singapura kemudian
kembali ke Indonesia pada masa pendudukan Jepang dan melanjutkan sekolah di
Madrasah Al-‘Urwatu al-Wutsqa (1941-1945) di Sukabumi. Keluarga Al-Attas
adalah keluarga darah biru yang orang Barat pada saat itu menjadi “bawahan”
keluarga Al-Attas. Jadi sejak kecil Al-Attas tidak mengenal sisi inferiorisme itu
dan tidak minder terhadap bangsa Barat seperti yang lainnya yang sedang terjajah.
Setelah Perang Dunia II 1946, Al-Attas kembali ke Johor untuk merampungkan
pendidikan selanjutnya. Ia melanjutkan pendidikannya di Bukit Zahrah School
dan kemudian di English College (1946-1951). Ia di masa mudanya pernah
menjadi resimen melayu melawan komunisme. Pada tahun 1951Al-Attas
bergabung dengan Malay Regiment (pernah cedera, sehingga telinganya tidak
bisa mendengar), 1952 sampai 1955 di Royal Military Academy, 1957-1959
melanjutkan pendidikannya di University of Malaya (Singapura), 1959 sampai
1962 di McGill University (Tesisnya tentang Nur ad-Din ar-Raniri dibimbing oleh
Prof. Dr. H.M Rasjidi) dan pada 1962 hingga 1965 di SOAS University of
London, dengan judul disertasi The Mysticism of Hamzah Fansuri. Karya
Profesoratnya di Universiti Kebangsaan Malaysia berjudul Islam dalam Sejarah
dan Kebudayaan Melayu.

2. Riwayat Akademis Al-Attas

Pada tahun 1965 selepas pendidikanya di SOAS, Al-Attas diangakat menjadi


ketua Jurusan Sastra Fakultas Kajian Melayu Universitas Malaya, Kuala Lumpur.
Dari 1968 sampai 1970, Al-Attas menjabat sebagai Dekan Fakultas Sastra di
kampus yang sama. Ia juga bertanggung jawab dalam upaya menjaga bahasa
Melayu sebagai bahasa pengantar di lingkungan fakultas dan universitas, yang
karenanya terpaksa menghadapi oposisi dosen-dosen lain yang tidak menyetujui
usaha tersebut. Pada 1970, dan dalam kapasitasnya sebagai salah seorang Pendiri
Senior UKM (Universiti Kebangsaan Malaysia), Al-Attas juga berusaha

3
mengganti pemakaian bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di UKM dengan
bahasa Melayu. Kemudian pada tahun 1985, Al-Attas mendirikn ISTAC
(International Institute of Islamic Thought and Civilization) di Kuala Lumpur.

3. Pemikiran Al-Attas

Al-Attas dari kecil sudah terbiasa dengan konsep pemikiran Islam yang
tinggi. Pemikiran Al-Attas banyak dipengaruhi oleh pemikiran Imam Al-Ghazali,
Imam Al-‘Asyari, Nur ad-Din ar-Raniri, Hamzah Fansuri, Shadr ad-Din Shirazy,
dan para Filsuf dan Mutakallim klasik. Syed M. Naquib al-Attas adalah seorang
yang pakar dan menguasai perlbagai disiplin ilmu, seperti teologi, filsafat dan
metafisika, sejarah, sastra, dan bahasa. Tentu ilmu syariat tidak perlu
dipertanyakan lagi, karena ia merupakan ilmu yang fardhu ‘ain. Al-Attas juga
seorang penulis yang produktif dan otoritatif, yang telah memberikan kontribusi
baru dalam disiplin keislaman dan peradaban Melayu. Sarjana ini juga diberi
keahlian yang lain seperti ilmu Arsitektur yang Ia terpkan sendiri dalam
membangun bangunan kampus ISTAC juga ilmu Kaligrafi. Dalam bidang
kaligrafi, Al-Attas pernah mengadakan pameran kaligrafi di Museum Tropen,
Amsterdam pada 1954. Dia juga telah mempublikasikan tiga kaligrafi basmallah-
nya yang ditulis dalam bentuk burung Pekakak, Ayam Jago, Ikan dalam beberapa
buah bukunya.

Al-Attas bersentuhan langsung dengan pendidikan Barat dan pendidikan


Islam (pendidikan Islam ala tradisional) serta Ia juga mengecap pendidikan di
institusi yang notabene sekuler. Di antara ide-ide Al-Attas yang sangat luar biasa
adalah teorinya tentang Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer,
Ketidaknetralan Ilmu, Pandangan Alam Islam (The Islamic Worldview/Ru’yatuul
Islam li al-Wujud/), tentang Sejarah Islam di Kepulaun Melayu, Filsafat Sains,
konsep Bahasa, konsep kebahagiaan, keadilan dan Pendidikan. Pernah suatu
waktu di Mekkah Al-Attas menyampaikan gagasan dan keinginannya
mendasarkan pendidikan Islam di atas landasan metafisika yang benar dan
menyampaikan persoalan utama yang melanda umat Islam yakni persoalan Ilmu

4
juga tentang gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer. Para Orientalis
dan sarjana Barat menganggap bahwa persoalan agama dan metafisikan bukan
termasuk persoalan ilmu pengetahuan melain persoalan kepercayaan.

4. Mendirikan ISTAC

Al-Attas kemudian berinsiatif untuk mendirikan perguruan tinggi yaitu


ISTAC (International Institute of Islamic Thought and Civilization) di Malaysia
dengan kemewahan arsitekstur khas peradaban Islam. Menurutnya fungsi sebuah
benda itu tidak hanya dipikirkan, mamun ada nilai estetisme yakni yang memiliki
matlamat bagi pembangunan jiwa.

Solusi atas permasalahan umat yang diberikan oleh Al-Attas adalah


Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer. Miniaturnya diwujudkan dalam
ISTAC. Tujuan ISTAC yakni to conceptualize, clarify, elaborate, dan define
Islamic key concepts relevant to the cultural, educational, scientific and
epistemological problem encoutered by muslims at present age. Intinya melihat
cara pandang dunia (alam) dengan Pandangan Alam Islam. Di ISTAC terdapat
empat mata kuliah wajb; The Religion Of Islam, The History and Methodologi of
Quranic Science, The History and Methodologi of Hadith dan Formal Logic.

Di antara para pengajar di ISTAC sebagian besar adalah murid Al-Attas


sendiri seperti; Prof.Dr. Wan Mohd. Wan Daud, Prof. Dr. Alparslan Acikgenc,
Prof.Dr. Sami K.Hamarmeh, Prof.Dr. Ahmad Kazemi Moussavi, Prof. Dr. Hassan
El Nagar, Prof. Dr. Cemil Akdogan, Prof. Dr. alik Badri, Prof.Dr. Mehmet Ipsirli,
Prof.Dr. Paul Lettinck, Prof. Dr. Muddathir Abdel ar-Rahim, Prof.Dr.Omar Jah,
Dr. Ugi Suharto.

Di antara bentuk bangunan di ISTAC yang Al-Attas rancangan sendiri adalah


bentuknya yang menyerupai Masjid Al-Hamra Andalusia dengan air mancur yang
keluar dari mulut-mulut singa; dua lukisan megah yaitu lukisan Shalahuddin al-
Ayubi dan Muhammad al-Fatih. Kedua lukisan dua tokoh tersebut menurutnya,
adalah dua orang yang pernah menaklukan Barat. Bagi Al-Attas dengannya dapat

5
terbangun kemewahan (superioritas) agar mereka tidak inferior di hadapan Barat.
Sayangnya pada tahun 2003 ISTAC dibekukan.

5. Karya-Karya Al-Attas:

(1969) Raniri and the Wujudiyyah of the 17th Century Acheh (Kuala Lumpur:
Monographs of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society).

(1970) The Mysticism of Hamzah Fansuri (Kuala Lumpur: University of Malaya


Press).

(1970) The Correct Date of the Terengganu Inscription, Kuala Lumpur Museum
Department.

(1972) Islam Dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu

(1975) Comments on the Re-Examination of Al-Raniri’s Hujjat au’l Siddiq: A


Refutation, Kuala Lumpur Museum Department.

(1978) Islam and Secularism

(1988) The Oldest Known Malay Manuscript: A 16th Century Malay Translation
of the `Aqa’id of al-Nasafi

(1995) Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An Exposition of the


Fundamental Elements of the Worldview of Islam

(2001) Risalah untuk Kaum Muslimin (Kuala Lumpur: International Institute of


Islamic Thought and Civilization (ISTAC)).

(2011) Historical Fact and Fiction

6
Biografi Ki Hajar Dewantara

1. Silsilah Keluarga dan Riwayat Pendidikan Ki Hajar Dewantara

Ki Hajar Dewantara Lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889.Terlahir


dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Ia berasal dari lingkungan
keluarga kraton Yogyakarta. Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, saat genap
berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, berganti nama menjadi Ki Hadjar
Dewantara. Semenjak saat itu, ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di
depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat,
baik secara fisik maupun hatinya. Perjalanan hidupnya benar-benar diwarnai
perjuangan dan pengabdian demi kepentingan bangsanya. Ia menamatkan Sekolah
Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda) Kemudian sempat melanjut ke STOVIA
(Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia
bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sedyotomo, Midden
Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara.
Pada masanya, ia tergolong penulis handal.

Tulisan-tulisannya sangat komunikatif, tajam dan patriotik sehingga mampu


membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya. Selain ulet sebagai
seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Pada
tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo untuk mensosialisasikan
dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai
pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Kemudian,
bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto
Mangoenkoesoemo, ia mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang
beraliran nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan
mencapai Indonesia merdeka. Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk
memperoleh status badan hukum pada pemerintah kolonial Belanda. Tetapi
pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg berusaha
menghalangi kehadiran partai ini dengan menolak pendaftaran itu pada tanggal 11
Maret 1913.

7
Karena organisasi ini dianggap dapat membangkitkan rasa nasionalisme
rakyat dan menggerakan kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda.
Ia melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan
seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan menarik
uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut.
Sehubungan dengan rencana perayaan itu, ia pun mengkritik lewat tulisan
berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan
Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk
Satu Juga).

Tulisan Seandainya Aku Seorang Belanda yang dimuat dalam surat kabar de
Expres milik dr. Douwes Dekker. Akibat karangannya yang menghina itu,
pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg menjatuhkan
hukuman tanpa proses pengadilan, berupa hukuman internering (hukum buang)
yaitu sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah tempat tinggal yang boleh bagi
seseorang untuk bertempat tinggal. Ia pun dihukum buang ke Pulau Bangka.
Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda karena di sana mereka
bisa memperlajari banyak hal dari pada didaerah terpencil. Akhirnya mereka
diijinkan ke Negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan
hukuman. Kesempatan itu dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan
dan pengajaran, sehingga Raden Mas Soewardi Soeryaningrat berhasil
memperoleh Europeesche Akte. Kemudian ia kembali ke tanah air di tahun 1918.

Di tanah air ia mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian


dari alat perjuangan meraih kemerdekaan. Ia mendirikan sebuah perguruan yang
bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan
Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922. Perguruan ini sangat menekankan
pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa
dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan. Di tengah
keseriusannya mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di Tamansiswa, ia
juga tetap rajin menulis.

8
Namun tema tulisannya beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan
kebudayaan berwawasan kebangsaan. Tulisannya berjumlah ratusan buah. Melalui
tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi
bangsa Indonesia. Setelah zaman kemedekaan, Ki hajar Dewantara pernah
menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama.
Nama Ki Hadjar Dewantara bukan saja diabadikan sebagai seorang tokoh dan
pahlawan pendidikan (bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya 2
Mei dijadikan hari Pendidikan Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai Pahlawan
Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959,
tanggal 28 November 1959. Penghargaan lain yang diterimanya adalah gelar
Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1957.

Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu, ia meninggal
dunia pada tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di sana.
Kemudian oleh pihak penerus perguruan Taman Siswa, didirikan Museum
Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta, untuk melestarikan nilai-nilai semangat
perjuangan Ki Hadjar Dewantara. Dalam museum ini terdapat benda-benda atau
karya-karya Ki Hadjar sebagai pendiri Tamansiswa dan kiprahnya dalam
kehidupan berbangsa. Koleksi museum yang berupa karya tulis atau konsep dan
risalah-risalah penting serta data surat-menyurat semasa hidup Ki Hadjar sebagai
jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai seorang seniman telah direkam dalam
mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional.

2. Pemikiran Ki Hajar Dewantara Tentang Pendidikan

Dalam berbagai sumber tulisan tentang pendidikan Ki Hadjar Dewantara,


Pendidikan harus dimulai dari persamaan persepsi pemangku pendidikan tentang
mendidik itu sendiri. Menurut Kihajar Dewantara mendidik dalam arti yang
sesungguhnya adalah proses memanusiakan manusia (humanisasi), yakni
pengangkatan manusia ke taraf insani. Di dalam mendidik ada pembelajaran yang
merupakan komunikasi eksistensi manusiawi yang otentik kepada manusia, untuk
dimiliki, dilanjutkan dan disempurnakan. Jadi sesungguhnya pendidikan adalah

9
usaha bangsa ini membawa manusia Indonesia keluar dari kebodohan, dengan
membuka tabir aktual-transenden dari sifat alami manusia (humanis). Menurut Ki
Hajar Dewantara tujuan pendidikan adalah “penguasaan diri” sebab di sinilah
pendidikan memanusiawikan manusia (humanisasi). Penguasaan diri merupakan
langkah yang harus dituju untuk tercapainya pendidikan yang mamanusiawikan
manusia. Ketika setiap peserta didik mampu menguasai dirinya, mereka akan
mampu juga menentukan sikapnya. Dengan demikian akan tumbuh sikap yang
mandiri dan dewasa.

Dalam konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara ada 2 hal yang harus


dibedakan yaitu sistem “Pengajaran” dan “Pendidikan” yang harus bersinergis
satu sama lain. Pengajaran bersifat memerdekakan manusia dari aspek hidup
lahiriah (kemiskinan dan kebodohan). Sedangkan pendidikan lebih
memerdekakan manusia dari aspek hidup batin (otonomi berpikir dan mengambil
keputusan, martabat, mentalitas demokratik). Keinginan yang kuat dari Ki Hajar
Dewantara untuk generasi bangsa ini dan mengingat pentingnya guru yang
memiliki kelimpahan mentalitas, moralitas dan spiritualitas. Beliau sendiri untuk
kepentingan mendidik, meneladani dan pendidikan generasi bangsa ini telah
mengubah namanya dari ningratnya sebagai Raden Mas soewardi Suryaningrat
menjadi Ki hajar dewantara.

Perubahan nama tersebut dapat dimakna bahwa beliau ingin menunjukkan


perubahan sikap ningratnya menjadi pendidik, yaitu dari satria pinandita ke
pinandita satria yaitu dari pahlawan yang berwatak guru spiritual ke guru spiritual
yang berjiwa ksatria, yang mempersiapkan diri dan peserta didik untuk
melindungi bangsa dan Negara ini. Bagi Ki Hajar Dewantara, para guru
hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan spiritualitas,
baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan
para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Yang utama sebagai
pendidik adalah fungsinya sebagai model keteladanan dan sebagai fasilitator
kelas. Nama Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru yang
mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan. Pendidik atau Sang Hajar adalah

10
seseorang yang memiliki kelebihan di bidang keagamaan dan keimanan, sekaligus
masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Modelnya adalah Kyai Semar (menjadi
perantara antara Tuhan dan manusia, mewujudkan kehendak Tuhan di dunia ini).

Sebagai pendidik yang merupakan perantara Tuhan maka guru sejati


sebenarnya adalah berwatak pandita juga, yaitu mampu menyampaikan kehendak
Tuhan dan membawa keselamatan. Menerjemahkan dari konsep pendidikan Ki
Hajar Dewantara tersebut, maka banyak pakar menyepakati bahwa pendidikan di
Indonesia haruslah memiliki 3 Landasan filosofis, yaitu nasionalistik,
universalistic dan spiritualistic. Nasionalistik maksudnya adalah budaya nasional,
bangsa yang merdeka dan independen baik secara politis, ekonomis, maupun
spiritual. Universal artinya berdasarkan pada hukum alam (natural law), segala
sesuatu merupakan perwujudan dari kehendak Tuhan. Prinsip dasarnya adalah
kemerdekaan, merdeka dari segala hambatan cinta, kebahagiaan, keadilan, dan
kedamaian tumbuh dalam diri (hati) manusia.

Suasana yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah suasana yang


berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cintakasih dan penghargaan
terhadap masing-masing anggotanya. Maka hak setiap individu hendaknya
dihormati; pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk menjadi merdeka
dan independen secara fisik, mental dan spiritual; pendidikan hendaknya tidak
hanya mengembangkan aspek intelektual sebab akan memisahkan dari orang
kebanyakan; pendidikan hendaknya memperkaya setiap individu tetapi perbedaan
antara masing-masing pribadi harus tetap dipertimbangkan; pendidikan
hendaknya memperkuat rasa percaya diri, mengembangkan harga diri; setiap
orang harus hidup sederhana dan guru hendaknya rela mengorbankan
kepentingan-kepentingan pribadinya demi kebahagiaan para peserta didiknya.

Output pendidikan yang dihasilkan adalah peserta didik yang berkepribadian


merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, menjadi anggota masyarakat yang
berguna, dan bertanggungjawab atas kebahagiaan dirinya dan kesejahteraan orang
lain. Dalam pemikiran kihajar dewantara, metode yang yang sesuai dengan sistem

11
pendidikan ini adalah sistem among yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang
berdasarkan pada asih, asah dan asuh. Metode ini secara teknik pengajaran
meliputi ‘kepala, hati dan panca indera’ (educate the head, the heart, and the
hand).

3. Karya-Karya Ki Hajar Dewantara

Karya Warisan Pertama Ki Hajar Dewantara adalah Taman Siswa yang


menjadi representasi institusi pendidikan pribumi pada masa kolonial dan tetap
eksis sampai hari ini. Kedua adalah tulisan-tulisan Ki Hajar Dewantara dalam
bidang pendidikan dan kebudayaan. Tulisan-tulisan itu dikumpulkan dan
diterbitkan oleh Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa dalam buku Karya Ki
Hadjar Dewantara Bagian I Pendidikan (1962) dan Karya Ki Hadjar Dewantara
Bagian II: Kebudayaan (1967). Kepiawaian dalam menulis karena beliau sejak
muda menjadi penulis dan wartawan.

Ketiga, Buku Bagian I Pendidikan terbagi dalam 8 bab: pendidikan nasional,


politik pendidikan, pendidikan kanak-kanak, pendidikan kesenian, pendidikan
keluarga, ilmu jiwa, ilmu adab, dan bahasa. Tulisan tertua dalam buku ini yakni
’’Pendidikan dan Pengajaran Nasional’’ yang disampaikan sebagai prasaran
dalam Kongres Permufakatan Pergerakan Kebangsaan Indonesia (PPPKI) pada 31
Agustus 1928. Ki Hadjar Dewantara dalam tulisan itu mengatakan bahwa
kemerdekaan dalam dunia pendidikan memiliki tiga sifat: berdiri sendiri, tidak
tergantung pada orang lain, dapat mengatur diri sendiri. Buku Bagian II
Kebudayaan terbagai dalam 5 bab: kebudayaan umum, kebudayaan dan
pendidikan/kesenian, kebudayaan dan kewanitaan, kebudayaan dan masyarakat,
hubungan dan penghargaan kita. Dua buku itu adalah representasi pemikiran dan
pembuktian dalam praktik pendidikan dan pengajaran dari Ki Hadjar Dewantara.
Pendidikan dan kebudayaan adalah basis kehidupan yang menentukan kualitas
manusia dan bangsa.

4. Pengaruh Pemikiran Ki Hajar Dewantara Dalam Pendidikan

12
Mendekati proses pendidikan dalam sebuah pemikiran cerdas untuk
mendirikan sekolah taman siswanya, jauh sebelum Indonesia mengenal arti
kemerdekaan. Konsepsi Taman Siswa pun coba dituangkan Ki Hajar Dewantara
dalam solusi menyikapi kegelisahan-kegelisahan rakyat terhadap kondisi
pendidikan yang terjadi saat itu, sebagaimana digambarkan dalam asas dan dasar
yang diterapkan Taman Siswa. Orientasi Asas Dan Dasar Pendidikan Dari Ki
Hajar Dewantara diupayakan sebagai asas perjuangan yang diperlukan pada waktu
itu menjelaskan sifat pendidikan pada umumnya. Pengaruh pemikiran pertama
dalam pendidikan adalah dasar kemerdekaan bagi tiap-tiap orang untuk mengatur
dirinya sendiri. Bila diterapkan kepada pelaksanaan pengajaran maka hal itu
merupakan upaya di dalam mendidik murid-murid supaya dapat berperasaan,
berpikiran dan bekerja merdeka demi pencapaian tujuannya dan perlunya
kemajuan sejati untuk diperoleh dalam perkembangan kodrati. Hak mengatur diri
sendiri berdiri (Zelfbeschikkingsrecht) bersama dengan tertib dan damai (orde en
vrede) dan bertumbuh menurut kodrat (natuurlijke groei).

Ketiga hal ini merupakan dasar alat pendidikan bagi anak-anak yang disebut
“among metode” (sistem-among) yang salah satu seginya ialah mewajibkan guru-
guru sebagai pemimpin yang berdiri di belakang tetapi mempengaruhi dengan
memberi kesempatan anak didik untuk berjalan sendiri. Inilah yang disebut
dengan semboyan “Tut Wuri Handayani”. Menyinggung masalah kepentingan
sosial, ekonomi dan politik kecenderungan dari bangsa kita untuk menyesuaikan
diri dengan hidup dan penghidupan ke barat-baratan telah menimbulkan
kekacauan. Menurut Kihajar Dewantara Sistem pengajaran yang terlampau
memikirkan kecerdasan pikiran yang melanggar dasar-dasar kodrati yag terdapat
dalam kebudayaan sendiri. Sementara hal yang menyangkut tentang dasar
kerakyatan untuk memepertinggi pengajaran yang dianggap perlu dengan
memperluas pengajarannya. dan memiliki pokok asas untuk percaya kepada
kekuatan sendiri. Dalam dunia pendidikan mengharuskan adanya keikhlasan lahir-
batin bagi guru-guru untuk mendekati anak didiknya. Sesungguhnya semua hal

13
tersebut merupakan pengalaman dan pengetahuan Ki Hajar Dewantara tentang
pendidikan barat yang mengusahakan kebahagian diri, bangsa dan kemanusiaan.

14
DAFTAR PUSTAKA

Barnadib, Imam, 1988, Filsafat Pendidikan, Sistem Dan Metode, Andi Offset,
Yogyakart

Fakih, Mansour, 2000. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi,


Yogyakarta: Insist Press dan Pustaka Pelajar.

Tjaya, Thomas Hidya, 2004, Mencari Orientasi Pendidikan, Sebuah Perspektif


Historis, Jakarta,

15

Anda mungkin juga menyukai