OLEH:
M. HILMY FAUZAN ADAM (20400118002)
RATU FARADILLA FAHARUDDIN (20400118006)
NUFADILA MUTMAINNA (20400118007)
NURAYINUN FAUZIL FITRI (20400118024)
DYA SALSABILA (20400118036)
RIJAL QALBI (20400118041)
1
Biografi Prof. Syed Muhammad Naquib Al- Attas Intelektual Muslim
Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas adalah salah seorang dari kalangan
ahlu al-bait Nabi (keturunan Nabi Saw.), namun bukan Syiah. Silsilah
keluarganya dapat dilacak hingga ribuan tahun ke belakang melalui silsilah sayyid
dalam keluarga Ba’lawi di Hadramaut dengan silsilah sampai ke Imam Husein ra.,
cucu tersayang Rasulullah Saw. Nama lengkapnya Syed Muhammad Naquib al-
Attas ibn Abdullah ibn Muhsin al-Attas. Lahir di Bogor Jawa Barat, pada 5
September 1931. Di antara leluhurnya banyak yang menjadi ulama dan wali.
Salah seorang di antara mereka adalah Syed M. Al-‘Alaydrus (dari pihak ibu),
guru dan pembinbing ruhani Syed Abu Hafs ‘Umar Ba-Syaibah dari Hadramaut,
yang mengantarkan Nur ad-Din ar-Raniri salah seorang ulama terkemuka di dunia
Melayu. Ibunda Syed M. Naquib al-Attas adalah seorang wanita yang berdarah
priayi Sunda bernama Sharifah Raquan al-‘Alaydrus.
Dari pihak ayah, kakek Syed M. Naquib al-Attas yang bernama Syed
Abdullah ibn Muhsin ibn Muhammad al-Attas adalah seorang ulama yang
pengaruhnya tidak hanya terasa di Indonesia, tetapi juga sampai ke negeri Arab.
Muridnya, Syed Hasan Fad’ak, kawan Lawrence of Arabia, dilantik menjadi
penasihat agama Amir Faisal, saudara Raja Abdullah dari Yordania. Neneknya,
Ruqayah Hanum, adalah wanita Turki berdarah aristokrat yang menikah dengan
Ungku Abdul Majid, adik Sultan Bakar Johor (w. 1895) yang menikah dengan
adik Ruqayah Hanum Khadijah, yang kemudian menjadi Ratu Johor. Setelah
Ungku Abdul Majid wafat (meniggalkan dua orang anak), Ruqyah menikah untuk
yang kedua kalinya dengan Syed Abdullah al-Attas dan dikaruniai seorang anak,
Syed Ali Al-Attas, yaitu Bapak Syed M. Naquib Al- Attas.
Syed M. Naquib al-Attas adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Yang
pertama bernama Syed Hussein, seorang ahli sosiologi dan mantan Wakil Rektor
Universitas Malaya, sedangkan yang bungsu bernama Syed Zaid, sorang insinyur
kimia dan mantan dosen Institute Tekonologi MARA.
2
Al-Attas menikah dengan Latifah Al-Attas alias Moira Maureen O’ Shay
pada 9 Oktober 1961 yang dikaruniai empat orang anak. Keluarga Al-Attas adalah
keluarga yang gemar akan Ilmu. Pada usia 5 tahun, Ia dikirim orang tuanya untuk
bersekolah di Sekolah Dasar Ngee Heng (1936-1941) di Singapura kemudian
kembali ke Indonesia pada masa pendudukan Jepang dan melanjutkan sekolah di
Madrasah Al-‘Urwatu al-Wutsqa (1941-1945) di Sukabumi. Keluarga Al-Attas
adalah keluarga darah biru yang orang Barat pada saat itu menjadi “bawahan”
keluarga Al-Attas. Jadi sejak kecil Al-Attas tidak mengenal sisi inferiorisme itu
dan tidak minder terhadap bangsa Barat seperti yang lainnya yang sedang terjajah.
Setelah Perang Dunia II 1946, Al-Attas kembali ke Johor untuk merampungkan
pendidikan selanjutnya. Ia melanjutkan pendidikannya di Bukit Zahrah School
dan kemudian di English College (1946-1951). Ia di masa mudanya pernah
menjadi resimen melayu melawan komunisme. Pada tahun 1951Al-Attas
bergabung dengan Malay Regiment (pernah cedera, sehingga telinganya tidak
bisa mendengar), 1952 sampai 1955 di Royal Military Academy, 1957-1959
melanjutkan pendidikannya di University of Malaya (Singapura), 1959 sampai
1962 di McGill University (Tesisnya tentang Nur ad-Din ar-Raniri dibimbing oleh
Prof. Dr. H.M Rasjidi) dan pada 1962 hingga 1965 di SOAS University of
London, dengan judul disertasi The Mysticism of Hamzah Fansuri. Karya
Profesoratnya di Universiti Kebangsaan Malaysia berjudul Islam dalam Sejarah
dan Kebudayaan Melayu.
3
mengganti pemakaian bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di UKM dengan
bahasa Melayu. Kemudian pada tahun 1985, Al-Attas mendirikn ISTAC
(International Institute of Islamic Thought and Civilization) di Kuala Lumpur.
3. Pemikiran Al-Attas
Al-Attas dari kecil sudah terbiasa dengan konsep pemikiran Islam yang
tinggi. Pemikiran Al-Attas banyak dipengaruhi oleh pemikiran Imam Al-Ghazali,
Imam Al-‘Asyari, Nur ad-Din ar-Raniri, Hamzah Fansuri, Shadr ad-Din Shirazy,
dan para Filsuf dan Mutakallim klasik. Syed M. Naquib al-Attas adalah seorang
yang pakar dan menguasai perlbagai disiplin ilmu, seperti teologi, filsafat dan
metafisika, sejarah, sastra, dan bahasa. Tentu ilmu syariat tidak perlu
dipertanyakan lagi, karena ia merupakan ilmu yang fardhu ‘ain. Al-Attas juga
seorang penulis yang produktif dan otoritatif, yang telah memberikan kontribusi
baru dalam disiplin keislaman dan peradaban Melayu. Sarjana ini juga diberi
keahlian yang lain seperti ilmu Arsitektur yang Ia terpkan sendiri dalam
membangun bangunan kampus ISTAC juga ilmu Kaligrafi. Dalam bidang
kaligrafi, Al-Attas pernah mengadakan pameran kaligrafi di Museum Tropen,
Amsterdam pada 1954. Dia juga telah mempublikasikan tiga kaligrafi basmallah-
nya yang ditulis dalam bentuk burung Pekakak, Ayam Jago, Ikan dalam beberapa
buah bukunya.
4
juga tentang gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer. Para Orientalis
dan sarjana Barat menganggap bahwa persoalan agama dan metafisikan bukan
termasuk persoalan ilmu pengetahuan melain persoalan kepercayaan.
4. Mendirikan ISTAC
5
terbangun kemewahan (superioritas) agar mereka tidak inferior di hadapan Barat.
Sayangnya pada tahun 2003 ISTAC dibekukan.
5. Karya-Karya Al-Attas:
(1969) Raniri and the Wujudiyyah of the 17th Century Acheh (Kuala Lumpur:
Monographs of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society).
(1970) The Correct Date of the Terengganu Inscription, Kuala Lumpur Museum
Department.
(1988) The Oldest Known Malay Manuscript: A 16th Century Malay Translation
of the `Aqa’id of al-Nasafi
6
Biografi Ki Hajar Dewantara
7
Karena organisasi ini dianggap dapat membangkitkan rasa nasionalisme
rakyat dan menggerakan kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda.
Ia melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan
seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan menarik
uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut.
Sehubungan dengan rencana perayaan itu, ia pun mengkritik lewat tulisan
berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan
Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk
Satu Juga).
Tulisan Seandainya Aku Seorang Belanda yang dimuat dalam surat kabar de
Expres milik dr. Douwes Dekker. Akibat karangannya yang menghina itu,
pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg menjatuhkan
hukuman tanpa proses pengadilan, berupa hukuman internering (hukum buang)
yaitu sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah tempat tinggal yang boleh bagi
seseorang untuk bertempat tinggal. Ia pun dihukum buang ke Pulau Bangka.
Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda karena di sana mereka
bisa memperlajari banyak hal dari pada didaerah terpencil. Akhirnya mereka
diijinkan ke Negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan
hukuman. Kesempatan itu dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan
dan pengajaran, sehingga Raden Mas Soewardi Soeryaningrat berhasil
memperoleh Europeesche Akte. Kemudian ia kembali ke tanah air di tahun 1918.
8
Namun tema tulisannya beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan
kebudayaan berwawasan kebangsaan. Tulisannya berjumlah ratusan buah. Melalui
tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi
bangsa Indonesia. Setelah zaman kemedekaan, Ki hajar Dewantara pernah
menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama.
Nama Ki Hadjar Dewantara bukan saja diabadikan sebagai seorang tokoh dan
pahlawan pendidikan (bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya 2
Mei dijadikan hari Pendidikan Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai Pahlawan
Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959,
tanggal 28 November 1959. Penghargaan lain yang diterimanya adalah gelar
Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1957.
Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu, ia meninggal
dunia pada tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di sana.
Kemudian oleh pihak penerus perguruan Taman Siswa, didirikan Museum
Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta, untuk melestarikan nilai-nilai semangat
perjuangan Ki Hadjar Dewantara. Dalam museum ini terdapat benda-benda atau
karya-karya Ki Hadjar sebagai pendiri Tamansiswa dan kiprahnya dalam
kehidupan berbangsa. Koleksi museum yang berupa karya tulis atau konsep dan
risalah-risalah penting serta data surat-menyurat semasa hidup Ki Hadjar sebagai
jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai seorang seniman telah direkam dalam
mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional.
9
usaha bangsa ini membawa manusia Indonesia keluar dari kebodohan, dengan
membuka tabir aktual-transenden dari sifat alami manusia (humanis). Menurut Ki
Hajar Dewantara tujuan pendidikan adalah “penguasaan diri” sebab di sinilah
pendidikan memanusiawikan manusia (humanisasi). Penguasaan diri merupakan
langkah yang harus dituju untuk tercapainya pendidikan yang mamanusiawikan
manusia. Ketika setiap peserta didik mampu menguasai dirinya, mereka akan
mampu juga menentukan sikapnya. Dengan demikian akan tumbuh sikap yang
mandiri dan dewasa.
10
seseorang yang memiliki kelebihan di bidang keagamaan dan keimanan, sekaligus
masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Modelnya adalah Kyai Semar (menjadi
perantara antara Tuhan dan manusia, mewujudkan kehendak Tuhan di dunia ini).
11
pendidikan ini adalah sistem among yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang
berdasarkan pada asih, asah dan asuh. Metode ini secara teknik pengajaran
meliputi ‘kepala, hati dan panca indera’ (educate the head, the heart, and the
hand).
12
Mendekati proses pendidikan dalam sebuah pemikiran cerdas untuk
mendirikan sekolah taman siswanya, jauh sebelum Indonesia mengenal arti
kemerdekaan. Konsepsi Taman Siswa pun coba dituangkan Ki Hajar Dewantara
dalam solusi menyikapi kegelisahan-kegelisahan rakyat terhadap kondisi
pendidikan yang terjadi saat itu, sebagaimana digambarkan dalam asas dan dasar
yang diterapkan Taman Siswa. Orientasi Asas Dan Dasar Pendidikan Dari Ki
Hajar Dewantara diupayakan sebagai asas perjuangan yang diperlukan pada waktu
itu menjelaskan sifat pendidikan pada umumnya. Pengaruh pemikiran pertama
dalam pendidikan adalah dasar kemerdekaan bagi tiap-tiap orang untuk mengatur
dirinya sendiri. Bila diterapkan kepada pelaksanaan pengajaran maka hal itu
merupakan upaya di dalam mendidik murid-murid supaya dapat berperasaan,
berpikiran dan bekerja merdeka demi pencapaian tujuannya dan perlunya
kemajuan sejati untuk diperoleh dalam perkembangan kodrati. Hak mengatur diri
sendiri berdiri (Zelfbeschikkingsrecht) bersama dengan tertib dan damai (orde en
vrede) dan bertumbuh menurut kodrat (natuurlijke groei).
Ketiga hal ini merupakan dasar alat pendidikan bagi anak-anak yang disebut
“among metode” (sistem-among) yang salah satu seginya ialah mewajibkan guru-
guru sebagai pemimpin yang berdiri di belakang tetapi mempengaruhi dengan
memberi kesempatan anak didik untuk berjalan sendiri. Inilah yang disebut
dengan semboyan “Tut Wuri Handayani”. Menyinggung masalah kepentingan
sosial, ekonomi dan politik kecenderungan dari bangsa kita untuk menyesuaikan
diri dengan hidup dan penghidupan ke barat-baratan telah menimbulkan
kekacauan. Menurut Kihajar Dewantara Sistem pengajaran yang terlampau
memikirkan kecerdasan pikiran yang melanggar dasar-dasar kodrati yag terdapat
dalam kebudayaan sendiri. Sementara hal yang menyangkut tentang dasar
kerakyatan untuk memepertinggi pengajaran yang dianggap perlu dengan
memperluas pengajarannya. dan memiliki pokok asas untuk percaya kepada
kekuatan sendiri. Dalam dunia pendidikan mengharuskan adanya keikhlasan lahir-
batin bagi guru-guru untuk mendekati anak didiknya. Sesungguhnya semua hal
13
tersebut merupakan pengalaman dan pengetahuan Ki Hajar Dewantara tentang
pendidikan barat yang mengusahakan kebahagian diri, bangsa dan kemanusiaan.
14
DAFTAR PUSTAKA
Barnadib, Imam, 1988, Filsafat Pendidikan, Sistem Dan Metode, Andi Offset,
Yogyakart
15