URGENSI PENDIDIKAN
BAGI KEMAJUAN UMAT:
Perspektif Pemikiran Syed Muhammad
Naquib al-Attas
Ja’far
73
74 WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM
1
Wan Mohd. Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M.
Naquib al-Attas, terj. Hamid Fahmy, et al (Bandung: Mizan, 2003), h. 45.
WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM 75
2
Ibid., h. 46-47.
3
Ibid.
76 WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM
Hossein Nasr. Ia berhasil meraih gelar master pada tahun 1962 dengan
tesis berjudul Raniri and the Wujudiyyah of 17th Century Acheh dengan
nilai sangat memuaskan. Lalu, Prof. A.J. Arberry menyarankannya untuk
mengambil program Doktor di School of Oriental and African Studies
(SOAS), Universitas London. Ia pun diterima di Universitas London dan
belajar kepada Prof. A.J. Arberry dan Dr. Martin Lings dan berhasil memperoleh
gelar Ph.D pada tahun 1965 dengan judul disertasi The Mysticism of
Hamzah Fanshuri.4
Setelah tamat dari Universitas London, Syed Muhammad Naquib
al-Attas kembali ke Malaysia pada tahun 1965. Lalu, ia dilantik sebagai
Ketua Jurusan Sastra di Fakultas Kajian Melayu Universitas Malaya. Tidak
lama setelah itu, ia diangkat sebagai Dekan Fakultas Sastra di Univeritas
Malaya. Pada periode ini, ia menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa
pengantar universitas. Pada tahun 1970, ia menjadi salah seorang Pendiri
Senior Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM), dan menjadi penggagas
penggantian bahasa Inggris menjadi bahasa Melayu sebagai bahasa
pengantar universitas ini.5
Syed Muhammad Naquib al-Attas berpendapat bahwa berbagai
universitas di dunia Islam telah gagal dalam menciptakan manusia baik
(beradab) karena hanya merupakan imitasi dari universitas Barat sekuler.
Ia memandang penting pendirian sebuah universitas Islami dan akhirnya
ia dipercaya merumuskan bahwa merancang sebuah perguruan tinggi
Islam bernama International Institute of Islamic Thought and Civili-
zation (ISTAC) pada tahun 1991. Pada tahun 1997, ia juga telah dipercaya
untuk merancang dan membangun kampus ISTAC baru. Pendirian kampus
ini adalah demi merealisasikan gagasan-gagasan pembaruannya dalam
aspek pendidikan demi memperbaiki kondisi umat Islam Kontemporer.
Ia telah dipercaya menjadi Pendiri dan Rektor ISTAC sejak tahun 1987.
Selain aktif sebagai pemakalah dalam berbagai pertemuan, ia berhasil
memperoleh berbagai penghargaan dalam skala lokal dan internasional
dan bahkan menduduki sejumlah jabatan penting dalam bidang intelektual.6
Ia sangat peduli dengan kemunduran dunia Islam, sehingga ia menerapkan
4
Ibid., h. 47-48.
5
Ibid., h. 50.
6
Ibid., h. 51-54.
WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM 77
GAGASAN PEMBARUANNYA
Para pemikir Muslim sangat menyadari bahwa dunia Islam sedang
mengalami kemunduran dibanding dengan dunia Barat, padahal selama
beberapa abad silam umat Islam lebih berjaya dibanding dunia Barat.
Kepedulian mereka terhadap kondisi ini dibuktikan oleh adanya berbagai
usaha mereka untuk mencoba menawarkan ide-ide pembaruan pemikiran
dan strategi ampuh dalam pembenahan kondisi umat. Kerja intelektual
mereka telah memunculkan serangkaian rumusan dan berbagai rumusan
tersebut memiliki beraneka kecenderungan. Dalam hal ini, Syed Muhammad
Naquib al-Attas menjadi salah satu dari sekian banyak pemikir Muslim tersebut.
Sebagai pemikir Muslim terkemuka, al-Attas telah lama menyadari
bahwa dunia Islam sedang mengalami kemunduran, apalagi ia merasakan
7
Lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dalam Sejarah dan kebudayaan
Melayu (Petaling Jaya: ABIM, 1990); Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena
to The Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995); Syed Muhammad Naquib
al-Attas, Risalah Untuk Kaum Muslimin (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001); Syed Muhammad
Naquib al-Attas, Ma’na Kebahagiaan dan Pengalamannya dalam Islam (Kuala
Lumpur: ISTAC, 2002).
78 WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM
8
Ibid., h. 65.
9
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, terj. Khalif Muammar
(Bandung: PIMPIN-CASIS, 2011), h. 119, 128.
10
Ibid., h. 130.
WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM 79
ilmu tentang Islam dan pandangan hidup (worldview) Islam. Umat Islam
telah menafsirkan Islam dan pandangan hidup Islam secara salah dan
keliru. Tafsiran mereka terhadap ajaran Islam dan pandangan hidup
Islam adalah tafsiran palsu. Al-Attas kembali menegaskan bahwa kemunduran
umat Islam diperparah oleh kekeliruan dan kesalahan para pemimpin,
ulama dan cendekiawan palsu dalam menafsirkan dan memahami Islam
dan pandangan hidup Islam.11 Menurutnya, keberhasilan bangsa Barat
dalam menanamkan kebudayaan, peradaban dan pandangan hidupnya
seperti sekularisme dan liberalisme dengan mudah dan lancar adalah
karena banyak pemimpin, ulama dan cendekiawan Muslim telah keliru
dan salah dalam memahami dan menafsirkan Islam dan pandangan hidup
Islam secara baik dan benar. Akhirnya, kesalahan dan kekeliruan tersebut
membuat bangsa Barat dengan sangat mudah menguasai dan memengaruhi
budaya, peradaban dan pemikiran umat Islam.
Meskipun al-Attas berpendapat bahwa penyebab kemunduran umat
adalah kesalahan dan kekeliruan memahami dan menafsirkan ilmu dan
pendangan hidup Islam, namun ia menilai bahwa kehilangan adab adalah
faktor dalam lain penyebab kemunduran tersebut, meski kedua faktor
dalam ini saling berkaitan. Kendati begitu, al-Attas menilai bahwa penyebab
utama kemunduran ini adalah kekeliruan dan kesalahan dalam ilmu
tersebut.12
Al-Attas bahkan menambahkan bahwa kesalahan dan kekeliruan
memahami ilmu dan kehilangan adab di kalangan umat memunculkan
pemimpin-pemimpin palsu dan ketidakadilan akan semakin merajalela.
Akibat salah dan keliru dalam memahami ilmu Islam dan pandangan
hidup Islam serta kehilangan adab, mereka telah kehilangan ketinggian
moral, intelektual dan spiritual. Manusia seperti ini tidak sah memimpin
umat dan mengurus berbagai bidang kehidupan umat. Kepemimpinan
manusia seperti ini akan terus membuat ketidakadilan semakin meluas,
Kematian mereka ini tidak akan banyak berpengaruh bagi kemajuan umat,
sebab mereka akan terus melestarikan keadaan ini dan menjamin keberlanjutan
bagi kemunculan para pemimpin palsu dan mengekalkan pengaruh mereka
atas urusan umat. 13
11
Ibid., h. 132, 134, 140.
12
Ibid., h. 129-130.
13
Ibid., h. 130, 132.
80 WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM
14
Ibid., h. 145-146, 151.
15
Ibid., h. 153-154.
WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM 81
16
Ibid., h. 135.
17
Ibid., h. 138.
18
Ibid., h. 148-149.
82 WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM
19
Ibid., h. 160-161.
20
Ibid., h. 129-30.
21
Ibid., h. 133.
22
Ibid., h. 129, 160.
WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM 83
23
Ibid., h. 130.
24
Ibid., h. 141.
25
Ibid., h. 145.
84 WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM
26
Ibid., h. 140.
27
Ibid., h. 130.
28
Ibid., h. 139-141.
29
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam: Suatu
Rangka Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam, terj. Haidar Bagir (Bandung:
Mizan, 1990), h. 8, 74-75.
WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM 85
30
Al-Attas, Islam dan Sekularisme, h. 140-141..
31
Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, h. 77.
32
Ibid., h. 77.
86 WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM
33
Ibid., h. 54, 56.
34
Ibid., h. 63.
35
Al-Attas, Islam dan Sekularisme, h. 147.
WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM 87
para pemimpin yang lemah dan berbahaya karena pemahaman dan ilmu
keislamannya tidak matang, sehingga Islam ditampilkan secara salah
dan seakan-akan tidak berkembang bahkan mundur.36 Semua ini dikarenakan
sistem pendidikan di dunia Islam adalah suatu sistem pendidikan yang
dirancang untuk melestarikan ideologi sekular sebagai akibat dari para
pemimpin umat Islam adalah pemimpin-pemimpin sekuler dan berasal
dari pendidikan sekuler.
Sebagai akibat dari konsep bahwa manusia sebagai mikrokosmos
dan terdiri atas jasmani dan ruhani, maka seorang peserta didik harus
diajarkan tidak saja ilmu-ilmu agama (fardhu ‘ain), tetapi juga ilmu-ilmu
umum (fardu kifayah), mulai dari pendidikan dasar, pendidikan menengah
sampai pendidikan universitas. Dalam kurikulum pendidikan Islam, ilmu-
ilmu agama (fardhu ‘ain) menjadi pengatur dan pengendali ilmu-ilmu
umum (fardhu kifayah), sebagaimana dimensi ruhaniah menjadi pengatur
dan pengendali bagi dimensi jasmaniah.37 Tujuan pengajaran kedua
ilmu tersebut adalah untuk menciptakan manusia yang baik dan beradab.
Manusia seperti ini adalah manusia sejati.38 Menurut al-Attas, integrasi
keilmuan menjadi sebuah keniscayaan dalam pendidikan Islami sebagai
sarana pembentukan manusia beradab.
Al-Attas telah merinci kedua jenis ilmu tersebut. Ilmu-ilmu agama
tersebut mencakup al-Qur’an, Sunnah, Syariah, Teologi, Metafisika Islam
(tasawuf) dan ilmu-ilmu linguistik (bahasa Arab, tata bahasa, leksikografi,
dan kesusastraan). Sedangkan ilmu-ilmu umum mencakup ilmu-ilmu
rasional, intelektual dan filosofis seperti ilmu-ilmu kemanusiaan, ilmu-
ilmu alam, ilmu-ilmu terapan dan ilmu-ilmu teknologi.39 Menurutnya,
kedua ilmu ini mesti diajarkan kepada peserta didik bukan hanya sebatas
pada sistem pendidikan dasar dan menengah, tetapi sampai pada tingkat
universitas.40 Ia menolak kurikulum universitas di dunia Islam selama
ini, karena hanya menyajikan ilmu-ilmu umum dan sangat minim ilmu-
36
Ibid., h. 146-147.
37
Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, h. 85-88.
38
Al-Attas, Islam dan Sekularisme, h. 183-184.
39
Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, h. 89-90; Rosnita, Kurikulum
Pendidikan Islam: Gagasan Pendidikan Syed Muhammad Naquib al-Attas (Banda
Aceh: PeNA, 2011)
40
Ibid., h. 88.
88 WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM
ilmu agama. Sistem universitas di dunia Islam selama ini hanya meniru
sistem universitas di Barat yang sangat sekuler. Sistem seperti ini hanya
akan melahirkan sarjana-sarjana yang tidak beradab. Sebaliknya, integrasi
ilmu dalam sebuah universitas Islami diyakini akan melahirkan manusia
yang beradab, dan kelak akan menjadi pemimpin-pemimpin sejati yang
dapat merubah kondisi umat Islam menjadi lebih baik.
Al-Attas sangat menyadari bahwa ilmu-ilmu rasional, intelektual
dan filosofis telah diserapi konsep-konsep kunci asing karena semua ilmu
tersebut dilahirkan oleh peradaban dan kebudayaan Barat sekuler. Dalam
hal ini, ia berpendapat bahwa islamisasi sains menjadi sangat penting.
Setiap cabang ilmu-ilmu umum (fardhu kifayah) mesti diserapi oleh unsur-
unsur dan konsep-konsep kunci Islam lewat proses islamisasi. Islamisasi
adalah “pembebasan ilmu dari penafsiran-penafsiran yang didasarkan
pada ideologi sekuler, dan dari makna-makna serta ungkapan-ungkapan
manusia sekuler,” dan/atau “pembebasan manusia, pertama, dari tradisi
magis, mitos, animis, dan paham kebangsaan dan kebudayaan pra-Islam,
dan kemudian, dari kendali sekuler atas nalar dan bahasanya,” Ia menyadari
bahwa ilmu-ilmu umum (fardhu kifayah) bahkan pemikiran umat Islam
Modern telah mengalami de-islamisasi, yaitu “penyusupan konsep-konsep
asing ke dalam pikiran-pikiran seorang Muslim dan konsep-konsep tersebut
akan tinggal bahkan memengaruhi pemikiran dan penalaran.”41 Islamisasi
ilmu-ilmu tersebut sangat penting, selain karena ini adalah bentuk kelalaian
umat Islam terhadap Islam dan terhadap Tuhan dan Rasul-Nya sehingga
segera harus diperbaiki, juga ilmu-ilmu yang telah di-islamisasikan akan
sangat membantu proses pembentukan manusia-manusia beradab.
Berbeda dengan kebanyakan pemikir, al-Attas tidak hanya sekedar
merumuskan gagasan pembaruan dalam bidang pendidikan belaka, tetapi
mengimplementasikan gagasan pembaruan tersebut dengan mendirikan
sebuah universitas Islam bertaraf internasional yang dinamai Inter-
national Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC). Ia menjadikan
kampus ini sebagai media untuk mengimplementasikan seluruh gagasan
pembaruannya dalam bidang pendidikan dan menjadikan ISTAC sebagai
ikon pembaruannya. Lewat kampus ternama ini, ia hendak membuktikan
bahwa kemunduran dunia Islam lebih disebabkan oleh masalah ilmu dan
41
Ibid., h. 90-95.
WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM 89
42
Ibid., h. 84, 87.
43
Al-Attas, Islam dan Sekularisme, h. 205.
90 WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM
FALSAFAH PENDIDIKAN
AL WASHLIYAH:
Sebuah Gagasan Awal
Ja’far
1
Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam
Kurun Modern (Jakarta: LP3ES, 1986), h. 26-28.
2
Deliar Noor, Gerakan Modern Islam di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1980),
h. 38-113, 317-319.
110
WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM 111
3
Karel A. Steenbrink, “Kata Pengantar,” dalam Chalidjah Hasanuddin, Al
Jam’iyatul Washliyah 1930-1945: Api Dalam Sekam di Sumatera Timur (Bandung:
Pustaka, 1988), h. vii.
4
Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, h. 77.
5
Pengurus Besar Al Jam’iyatul Washliyah, Anggaran Dasar dan Anggaran
Rumah Tangga (Jakarta: PB Al Washliyah, 2010), h. 6-7.
6
Ismed Batubara dan Ja’far (ed.), Bunga Rampai Al Jam’iyatul Washliyah
(Banda Aceh: Al Washliyah University Press, 2010), h. 42
7
M. Ridwan Ibrahim Lubis, Kepribadian, Anggota & Pengurus Al Washliyah
(Jakarta: PP HIMMAH, 1994), h. 12.
112 WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM
8
(Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1955), h. 193-198.
9
(Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 458-459.
10
(Jakarta: DEPAG RI, 1986), h. 38.
11
(Jakarta: LP3ES, 1989).
12
(Medan: UNIVA, 1993)
13
(Jakarta: Logos, 1999), h. 96-97.
14
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999), h. 123-125.
15
( Bandung: Citapustaka Media).
16
Analytica (Vol. 3 No. 2, 2001), h. 71-83.
17
(Medan: UNIVA Press, 2009), h. 3-18.
18
(Medan: PPS IAIN-SU, 1998).
19
(Penang: Fakulti Sastra dan Sains Sosial USM, 2001).
20
(Medan: PPS IAIN-SU, 2003).
21
(Medan: PPS IAIN-SU, 2004).
22
(Medan: PUSLIT IAIN-SU), h. 24-113.
WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM 113
23
(Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 264-285.
24
(Medan: IAIN Press, 2001), h. 179-200.
25
(Jakarta: Ciputat Press, 2004), h. 458-459.
26
(Jakarta: Ciputat Press, 2005).
27
(Jakarta: Kalam Mulia, 2010), h. 327-400.
28
(Bandung: Citapustaka Media, 2007).
114 WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM
Hakikat Filsafat
Filsafat pendidikan diakui sebagai cabang dari filsafat.29 Dalam tradisi
29
Syafaruddin dan Al Rasyidin, Filsafat Pendidikan Islam (Medan: IAIN Press,
2001), h. 37.
WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM 115
intelektual Islam, istilah falsafah dan hikmah menjadi istilah baku bagi
filsafat. Kata falsafah berasal dari bahasa Yunani, yakni kata philosophia.30
Kata ini merupakan gabungan dari dua kata, yakni ‘philo’ yang berarti
‘cinta’, dan kata ‘sophia’ yang bermakna ‘kebijaksanaan’. Secara harfiah,
kata ‘falsafah’ ini bermakna ‘cinta kebijaksanaan’.31 Kata falsafah berarti
sebuah kata hasil Arabisasi dari kata philosophia, sebagai bahasa Yunani,
ke bahasa Arab.32
Sementara itu, para filosof Muslim turut menggunakan istilah hikmah
sebagai istilah lain bagi filsafat. Kata hikmah diidentifikasi oleh mereka
sebagai falsafah. Secara literal, kata hikmah berarti ‘kebijaksanaan’.33
Dalam bahasa Indonesia, hikmah diartikan sebagai kebijaksanaan dari
Allah, kesaktian, makna mendalam, manfaat, kebijakan, dan kearifan.34
Secara terminologis, bahwa hikmah bukanlah hanya hasil dari kerja intelektual
pada level akal semata, namun, meminjam definisi Toshihiko Izutsu, “produk
orisinil aktifitas akal analitis yang keras dan didukung oleh tangkapan
intuitif yang penting tentang realitas.”35 Karena itu, hikmah tidak saja
dimaknai sebagai hasil aktifitas rasio manusia semata, namun dimaknai
sebagai hasil aktifitas sintesis antara rasio dan intuisi manusia dalam
memahami realitas.
Para filosof telah memberikan sejumlah definisi filsafat. Menurut
Plato, filsafat adalah pengetahuan tentang segala sesuatu. Filsafat dipahami
sebagai pencarian realitas dan kebenaran absolut. Menurut Aristoteles,
filsafat adalah suatu disiplin yang memfokuskan kepada pencarian sebab-
30
Ian Richard Netton, A Popular Dictionary of Islam (USA: Corzon Press,
1997), h. 78-79.
31
A. R. Lacy, A Dictionary of Philosophy (London: Routledge & Kegan Paul,
2000), h. 252; Mircea Eliade (ed.), The Encyclopedia of Religion (New York:
Macmillan Library References USA, 1993), h. 290.
32
Murtadha Muthahhari, Pengantar Ilmu-Ilmu Islam, terj. Ibrahim Husein
Al-Habsy, et al. (Jakarta: Lentera, 2003), h. 302.
33
Thomas Patricks Huges, Dictionary of Islam (New Delhi: Adam Publisher
& Distributions, 2002), h. 175; B. Lewis (ed.), The Encyclopaedia of Islam (Leiden:
E.J. Briil, 1971), h. 377.
34
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia cet. ke-3 (Jakarta: Balai Pustaka,
2003), h. 401.
35
Toshihiko Izutsu, The Fundamental Structure of Sabzaweri’s Metaphysics:
Introduction to the Arabic Text of Sabzaweri’s Sharh-i Manzumah (McGill: McGill
University Tehran Branch, 1969), h. 3.
116 WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM
36
William L. Reese, Dictionary of Philosophy and Religion: Eastren and Western
Thought (New York: Humanity Books, 1996), h. 573.
37
Lihat dalam Seyyed Hossein Nasr, “The Meaning and Concept of Philoso-
phy in Islam,” dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leamen (ed.), History of
Islamic Philosophy (London-NY: Routledge, 2003), h. 22-25.
38
Muhammad Taqi’ Misbah Yazdi, Buku Daras Filsafat Islam, terj. Musa
Kazim dan Saleh Bagir (Bandung: Mizan, 2003), h. 43-44.
39
Mujtaba Misbah, Daur Ulang Jiwa, terj. Jayadi (Jakarta: Al Huda, 2008), h. 15.
40
Barbara Ann Kipfer (ed.), Random House Webster’s College Dictionary
(New York: Random House Reference, 2001), h. 923.
41
Philip Babcokck Gove, Webster’s Third New International Dictionary of the En-
glish Language Unabridged (Massachusetts: G & C Merriam Company, 1966), h. 1698.
42
Grolier, Encyclopedia of Knowledge (Danbury: Brolier Incorporated, 1993), h. 373.
WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM 117
Para filosof membagi ruang lingkup filsafat menjadi dua, yaitu filsafat
teoritis (hikmah nazhariyah) dan filsafat praktis (hikmah ‘amaliyah). Filsafat
teoritis adalah ilmu tentang keadaan sesuatu (wujud) sebagaimana adanya
(maujud bi ma huwa maujud). Jadi, filsafat teoritis membahas tentang
wujud dan keberadaan dari sisi rasio manusia. Sedangkan filsafat praktis
adalah pengetahuan mengenai perilaku manusia sebagaimana seharusnya,
yang berangkat dari pemahaman tentang segala sesuatu sebagaimana
adanya. Jadi, filsafat praktis membahas tentang perintah dan larangan
atau tugas dan kewajiban manusia. Filsafat praktis menjelaskan bahwa
manusia memiliki serangkaian tugas dan kewajiban dari sisi rasio manusia.43
Objek-objek filsafat teoritis dibagi menjadi tiga yaitu objek-objek yang
secara niscaya tidak berkaitan dengan materi dan gerak (metafisika);
objek-objek yang pada dirinya immateri, tetapi terkadang melakukan
kontak dengan materi dan gerak (matematika); dan objek-objek yang
senantiasa berkaitan dengan materi dan gerak (fisika).44 Sedangkan, filsafat
praktis membahas perilaku manusia secara rasional, baik tugas-tugas
maupun kewajiban-kewajiban, atas dasar pemahaman terhadap segala
sesuatu sebagaimana adanya. Objek-objek filsafat teoritis dibagi menjadi
tiga yaitu perilaku individu (etika); perilaku kolektif pada level keluarga
(ekonomi); dan perilaku kolektif pada level kota dan negara (politik).45
Dengan demikian, ruang lingkup pembahasan filsafat mencakup masalah
metafisika, matematika, fisika, etika, ekonomi dan politik.
Sementara itu, para filosof membagi problematika filsafat menjadi
tiga, yakni ontologi, epistemologi dan axiologi. Ontologi mengkaji hakikat
segala sesuatu, epistemologi membahas hakikat pengetahuan, alat dan
sumber pengetahuan, metode meraih pengetahuan, dan kebenaran pengetahuan,
sedangkan axiologi mengkaji nilai perbuatan manusia, terutama masalah
baik dan buruk.46 Ketiga problematika ini kerap disebut sebagai cabang
filsafat ilmu.
43
Muthahhari, Pengantar Ilmu-Ilmu Islam, h. 253-254, 303.
44
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik (Bandung:
‘Arasy, 2005), h. 72-73.
45
Osman Bakar, Hierarki Ilmu: Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu
Menurut al-Farabi, al-Ghazali, dan Quthb al-Din al-Syirazi, terj. Purwanto (Bandung:
Mizan, 1997), h. 286.
46
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta:
118 WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM
Sinar Harapan, 1982), h. 33-34; Hasan Bakti Nasution, Filsafat Umum (Bandung:
Citapustaka Media, 2005), h. 37-41.
47
Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1996), h. 44.
48
Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam
(Bandung: Mizan, 2002), h. 124; Nur Ahmad Fadhil Lubis, Pengantar Filsafat
Umum (Medan: IAIN Press, 2001), h. 20.
49
Suhrawardî, Hikmah al-Isyrâq, dalam Henry Corbin (ed.), Majmu’ah Mushannafat
Syaikh Isyraq (Teheran: Anjuman Syahansyahy Falsafah Iran, 1394 H), h. 279.
50
Hasan Bakti Nasution, Hikmah Muta’aliyah: Pengantar Filsafat Islam Kontemporer
(Bandung: Citapustaka Media, 2006), h. 48-58.
51
Syed Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam, terj. Sori Siregar (Jakarta:
Firdaus, 1989), h 23; Syed Sajjad Husein dan Syed Ali Ashraf, Krisis Pendidikan
Islam, terj. Rahmani Astuti (Bandung: Risalah, 1986), h 1.
52
Yusuf al-Qardhawi, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-Banna, terj.
Bustami A Gani (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h 39.
WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM 119
53
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, terj. Karsidjo
Djojosuwarno (Bandung: Pustaka, 1981), h 222.
54
Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, terj.
Hasan Langgulung (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h 399.
55
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Al-
Ma’arif, 1989), h. 19.
56
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2005), h. 32.
57
Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial: Suatu Teori Pendidikan
(Yogyakarta: Rake Sarasin, 1997), h. 1-8.
58
Lihat Dja’far Siddik, Konsep Dasar Ilmu Pendidikan Islam (Bandung: Citapustaka
Media, 2010).
120 WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM
59
John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan Company,
1946), h. 383.
60
Al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, h. 30.
61
Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan (Yogyakarta: IKIP Yogyakarta, 1984), h. 14.
62
V.M. Napitupulu, Filsafat Pendidikan (Medan: Budi Agung, 1988), h. 15.
63
Sutan Zanti Arbi, Pengantar Kepada Filsafat Pendidikan (Jakarta: Depdiknas,
1988), h. 8.
WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM 121
64
Syafaruddin dan Al Rasyidin, Filsafat Pendidikan Islam, h. 36.
122 WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM
65
Hamdan Ihsan dan A. Fuad Hasan, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta:
Pustaka Setia, 1998), h. 22.
66
Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam
Mulia, 2010), h. 7.
WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM 123
67
Al Rasyidin, Falsafah Pendidikan Islami (Bandung: Citapustaka Media,
2010), h. 125.
68
Bandingkan dengan Ramayulis dan Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, h.
12; Ihsan dan Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, h. 28-43.
124 WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM
69
Al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, h. 33-36.
70
Pengurus Besar Al Jam’iyatul Washliyah, Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan
Al Jam’iyatul Washliyah (Jakarta: PB Al Washliyah, 2000).
WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM 125
71
Pengurus Besar Al Jam’iyatul Washliyah, Kurikulum Madrasah Diniyah Al
Washliyah Tingkat Tsanawiyah (Jakarta: PB Al Washliyah, 2005).
72
Pengurus Besar Al Jam’iyatul Washliyah, Kurikulum Madrasah Diniyah Al
Washliyah Tingkat al-Qismul ‘Aly dan Aliyah Mu’allimin (Jakarta: PB Al Washliyah, 2005).
73
Chalidjah Hasanuddin, Al-Jam’iyatul Washliyah 1930-1942: Api Dalam
Sekam di Sumatera Timur (Bandung: Pustaka, 1988), h. 118.
74
Ahmad Hamim Azizy, Al Jam’iyatul Washliyah dalam Kancah Politik Indo-
nesia (Banda Aceh: PeNA, 2006), h. 115.
126 WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM
75
Al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, h. 30.
76
Barnadib, Filsafat Pendidikan, h. 14.
77
Napitupulu, Filsafat Pendidikan, h. 15.
78
Arbi, Pengantar Kepada Filsafat Pendidikan, h. 8.
WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM 127
Konsep Tuhan
Pandangan Al Washliyah tentang hakikat Tuhan dapat dilihat dari
konsep teologi yang dianut oleh organisasi ini. Dalam Anggaran Dasar
dan Rumah Tangga Al Jam’iyatul Washliyah disebutkan bahwa “Al Washliyah
berasaskan Islam dalam i’tikad, dalam hukum fikih bermazhab Ahlus
Sunnah wal Jama’ah dengan mengutamakan mazhab Syafi’i.”79 Ramli
Abdul Wahid mengemukakan bahwa Al Washliyah menganut aliran Ahl
al-Sunnah wa al-Jama’ah. Menurutnya, paham organisasi ini dalam bidang
akidah dapat dilihat melalui fatwa Al Washliyah, kitab-kitab yang menjadi
silabus berbagai madrasahnya, dan tulisan-tulisan para ulama Al Washliyah.
Berbagai kitab akidah rujukan Al Washliyah adalah Kifayah al-Awwam
fi ‘Ilm al-Kalam karya Muhammad al-Fudhaili, Hushun al-Hamidiyah li
al-Muhafaz ‘ala al-‘Aqa’id al-Ismaliyah karya Husain bin Muhammad
79
Pengurus Besar Al Jam’iyatul Washliyah, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
Tangga Al Jam’iyatul Washliyah (Jakarta: PB Al Washliyah, 2010), h. 5. Pada tahun
1955 dan 1977, disebutkan bahwa “Perkumpulan ini berasaskan Islam, dalam hukum
fiqih bermazhab Syafi’i, dan dalam i’tikad Ahlus Sunnah wa Jama’ah.” Lihat Nukman
Sulaiman (ed.), Al Jam’iyatul Washliyah ¼ Abad (Medan: PB Al Washliyah, 1955),
h. 342; PB Al Jam’iyatul Washliyah, Al Jam’iyatul Washliyah (Medan: PB Al Washliyah,
1977), h. 3.
WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM 129
80
Ramli Abdul Wahid, “Al Jam’iyatul Washliyah: Studi Tentang Mazhab Akidah
dan Fiqih,” dalam Syaiful Akhyar Lubis (ed.), Peran Moderasi Al Washliyah (Medan:
UNIVA Press, 2008), h. 20-21.
81
Ibid., h. 21.
82
Muhammad Arsyad Thalib Lubis, Keesaan Tuhan Menurut Ajaran Kristen
dan Islam (Jakarta: Hudaya, 2006), h. 7-13, 50.
130 WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM
83
Lihat Muhammad al-Fudhaili, Kifayah al-Awam (t.t.: t.p., t.t.).
84
Bahari Emde, “Wijhah Al Washliyah,” dalam Ismed Batubara dan Ja’far
(ed.), Bunga Rampai Al Jam’iyatul Washliyah (Banda Aceh: Al Washliyah Uni-
versity Press, 2010), h. 43.
WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM 131
Konsep Manusia
Konsep manusia menurut Al Washliyah bisa dirumuskan secara baik
dengan merujuk kepada panduan normatif dan karya-karya para ulamanya.
Al Washliyah, seperti dilihat dalam pemikiran Muhammad Arsyad Thalib
Lubis, memandang bahwa manusia terdiri atas jasmani dan ruhani.
Selain itu, Allah menganugerahi manusia dengan tiga potensi, yaitu
akal, hati dan nafsu. Dari ketiga potensi tersebut, maka hati menjadi potensi
paling menentukan dalam mewujudkan kepribadian manusia, sebab
bila hati baik dan bersih, maka semua potensi lain akan menjadi baik,
seperti akal menjadi tajam dan nafsu hanya melakukan kepada perbuatan
yang diridhai Allah.85 Dengan demikian, Al Washliyah memandang penting
pendidikan hati demi membentuk manusia sempurna, apalagi peran
sentral hati sebagai pendidik akal dan nafsu.
Muhammad Arsyad Thalib Lubis, seperti diungkap dalam penelitian
Prof. Muhammad Hasballah Thaib, menjelaskan bahwa ada dua eksistensi
manusia, yaitu eksistensi manusia sebagai makhluk individu dan eksistensi
manusia sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk individu, manusia
berasal dari ciptaan Allah. Sebagai makhluk sosial, setiap manusia harus
membina hubungan baik dengan manusia lain, dan relasi antar sesama
manusia tersebut bahkan tidak hanya berlaku sewaktu seseorang manusia
masih hidup, namun berlaku setelah manusia tersebut mati.86
Menurut Muhammad Arsyad Thalib Lubis, fungsi manusia adalah
sebagai khalifah Allah di muka bumi. Tugas khalifah tersebut adalah
menciptakan suatu masyarakat yang memiliki hubungan baik dengan
Allah (habl min Allah), kehidupan masyarakat yang harmonis (habl min
al-nas), serta memelihara agama, akal dan budaya secara baik.87
Secara khusus, Muhammad Arsyad Thalib Lubis membagi fungsi manusia
menjadi empat bagian. Pertama. Fungsi manusia terhadap Allah. Dalam
hal ini, manusia berkewajiban mengabdikan diri/beribadah hanya kepada
Allah, baik berupa ibadah mahdhah maupun ibadah ghair al-mahdhah.
85
Muhammad Hasballah Thaib, Manusia dalam Pandangan H.M. Arsyad
Thalib Lubis (Medan: UNIVA Medan, 1997), h. 54-55.
86
Ibid., h. 65-72.
87
Ibid., h. 72-75.
132 WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM
88
Ibid., h. 85.
89
Ibid., h. 76.
90
Ibid., h. 82-83.
91
Ibid., h. 92-93.
92
Ibid., h. 98.
WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM 133
93
Nukman Sulaiman, Ulu’l Al Bab, Jilid XI (Medan: t.p., t.t.).
94
Nukman Sulaiman, Wasiat Luqman Kepada Anaknya, Jilid XXXXVII (Medan:
t.p., t.t.), h. 14.
95
Nukman Sulaiman, Manusia Empat Macam, Jilid XXXIX (Medan: t.p.,
t.t.), h. 15.
96
Al-Fudhaili, Kifayah al-Awam, h. 202-219.
134 WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM
97
Muhammad Arsyad Thalib Lubis, Riwayat Nabi Muhammad SAW. (Medan:
Sumber Ilmu, t.t.), h. 67.
98
Bahari Emde, “Wijhah Al Washliyah,” h. 42.
99
Ibrahim Lubis, Kepribadian Anggota dan Pengurus, h. 4-12.
WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM 135
100
PB Al Washliyah, Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan, h. 7.
101
PB Al Washliyah, Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan, h. 7.
136 WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM
yang mendalam, serta terikat ketat dengan tali ukhuwah Islamiyah, sesuai
dengan ajaran agama Islam dan Pancasila.”102
Bila ditinjau dari sudut filosofis, maka tujuan pendidikan Al Washliyah
ini sangat relevan dengan falsafah Al Washliyah tentang ketauhidan
dan manusia sempurna. Dalam konsep ketauhidan, Al Washliyah mengakui
keberadaan dan keesaan Allah. Sebagai Pencipta, Allah memiliki Zat
dan sifat-sifat. Dalam hal sifat, Allah SWT. memiliki dua puluh sifat wajib,
dua puluh sifat mustahil dan sifat jai’iz. Al Washliyah meyakini bahwa
akal sehat manusia akan dapat mengakui keberadaan, keesaan dan
kebesaran Ilahi, sehingga akal sehat akan mengarahkan manusia kepada
bentuk pengabdian kepada-Nya. Al Washliyah bahkan menilai bahwa
anti Tuhan dan anti agama adalah paham sesat dan berbahaya, bahkan
pelakunya dipandang sebagai kafir. Sebab itulah, pendidikan Al Washliyah
bertujuan untuk membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa
kepada Allah SWT.
Bahwa upaya mewujudkan manusia “berpengetahuan luas dan dalam,
berbudi pekerti yang tinggi, cerdas dan tangkas” adalah berasal dari
falsafah Al Washliyah tentang manusia. Al Washliyah memandang bahwa
manusia memiliki tiga potensi. Dari ketiga potensi ini, maka hati menjadi
potensi paling menentukan dalam mewujudkan kepribadian manusia,
sebab bila hati baik dan bersih, maka semua potensi lain akan menjadi
baik, misalnya akal menjadi tajam dan nafsu hanya melakukan perbuatan
terpuji sesuai perintah Ilahi. Meskipun demikian, Al Washliyah memandang
bahwa ketiga potensi tersebut harus dididik secara optimal dan seimbang,
sehingga tidak boleh salah satu dari ketiga potensi tersebut mendominasi.
Tujuan pendidikan ini juga berasal dari tujuan organisasi Al Washliyah,
sebagaimana telah tercantum dalam AD/ART Al Washliyah, yakni “menegakkan
ajaran Islam untuk terciptanya masyarakat yang beriman, bertakwa,
cerdas, amanah, adil, makmur dan diridai Allah SWT.” Sedangkan upaya
mewujudkan manusia yang “menuntut kebahagiaan dunia dan akhirat”
adalah rumusan dari tujuan organisasi Al Washliyah sejak awal pendiriannnya.103
102
Majelis Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan PB Al Washliyah, Pola
Pembangunan Al Jam’iyatul Washliyah dalam Bidang Pendidikan, Pengajaran dan
Kebudayaan (Makalah tidak diterbitkan).
103
Nukman Sulaiman (ed.), Al Jam’iyatul Washliyah, h. 342.
WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM 137
104
PB Al Washliyah, Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan, h. 51.
105
Ibid., h. 111.
138 WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM
PENUTUP
Harus diakui bahwa keberadaan peran dan pemikiran Al Washliyah
dalam berbagai literatur ilmu pengetahuan belum begitu menggembirakan.
Dalam bidang pendidikan, misalnya, literatur-literatur pendidikan belum
banyak menguak kiprah Al Washliyah, meskipun kenyataan membuktikan
bahwa peran Al Washliyah dalam dunia pendidikan sangat besar dan
tidak dapat dinafikan begitu saja. Namun fakta ini mengundang sebuah
tanda tanya besar, mengapa Al Washliyah belum mendapat perhatian
WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM 139
dari para ahli? Tentu saja jawabannya adalah bukan karena organisasi
ini tidak memberikan kontribusi bagi pengembangan pendidikan di Indonesia.
Fakta menunjukkan bahwa ada beberapa faktor penyebab kelangkaan
karya ilmiah tentang konsep pendidikan Al Washliyah. Pertama. Sulit
sekali menemukan data-data tertulis tentang organisasi ini. Data-data
tertulis tidak/belum dikoleksi secara baik dalam sebuah perpustakaan/
pusat dokumentasi. Banyak data-data tertulis organisasi misalnya arsip-
arsip organisasi dan karya-karya ulama dan pemikir organisasi ini disimpan
oleh sekelompok individu. Belum ada upaya serius melacak, mencari dan
mengoleksi data-data tersebut dalam sebuah tempat. Problem ini tentu
membuat para peneliti menemukan kesulitan dalam melakukan penelitian
tentang geliat dari organisasi ini. Kedua. Beberapa sarjana, misalnya
mahasiswa Program Pascasarjana IAIN Sumatera Utara, telah melakukan
riset berharga tentang peran Al Washliyah dalam berbagai bidang, terutama
bidang pendidikan. Meskipun masih sebatas penelitian sejarah pendidikan,
bukan filsafat dan ilmu pendidikan, belum ada upaya menerbitkan dan
mempublikasikan berbagai hasil riset tersebut. Tampaknya, peran Al Washliyah
menjadi penting dalam upaya menerbitkan berbagai hasil penelitian tersebut.
Penerbitan ini memberikan banyak keuntungan bagi Al Washliyah, baik
secara ekonomis, politis maupun sosiologis-psikologis. Sampai detik ini,
penelitian terhadap pendidikan Al Washliyah masih menjadi ladang
penelitian yang menjanjikan.