Anda di halaman 1dari 49

WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM 73

URGENSI PENDIDIKAN
BAGI KEMAJUAN UMAT:
Perspektif Pemikiran Syed Muhammad
Naquib al-Attas

Ja’far

Kemunculan periode modern ditandai oleh kemajuan-kemajuan


Barat dalam berbagai bidang seperti ekonomi, politik, sains dan teknologi,
lalu diiringi oleh kemunduran-kemunduran dunia Islam dalam berbagai
aspek tersebut. Dunia Islam pernah hampir bangkit dan berjaya selama
kekuasaan tiga kerajaan Islam terbesar berkuasa di sebagian tanah Eropa
dan Asia modern yaitu Kerajaan Turki Usmani (Turki), Kerajaan Safawid
(Iran) dan Kerajaan Mughal (India). Sejumlah penguasa dan pemikir
memodernisir kehidupan umat, tetapi kedigjayaan penetrasi imperialisme
Barat-Eropa telah menghambat angin modernisasi di dunia Islam tersebut.
Tetapi, usaha-usaha modernisasi tersebut terus menjadi tauladan
bagi generasi Muslim periode belakangan. Dibuktikan oleh kemunculan
sejumlah pemikir Muslim pada awal abad XX dan usaha mereka untuk
memperbarui kondisi umat dengan menganalisis faktor-faktor penyebab
kemunduran dunia Islam sembari menawarkan pembaruan pemikiran
dan strategi pembenahan kondisi umat. Sejak abad XX, dunia Islam telah
memunculkan sederetan pembaharu terkenal dan kerja intelektual mereka
telah membuahkan beraneka konsep dan aplikasi sebagai solusi kreatif
untuk mengubah keterbelakangan umat menjadi lebih baik.
Salah satu tokoh pembaharu terkenal di dunia Islam adalah Prof.
Syed Muhammad Naquib al-Attas. Ia berpendapat bahwa banyak tokoh
dari pihak Islam mengira bahwa kemunduran umat Islam dilatari oleh
ketertinggalan mereka dalam bidang sosial, politik, ekonomi, sains dan
teknologi. Menurutnya, meskipun pandangan ini sekilas tampak benar,
namun permasalahan inti sebagai faktor penyebab kemunduran dunia

73
74 WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM

Islam adalah permasalahan ilmu. Sebab itulah, ia mulai melakukan


perbaikan-perbaikan kondisi umat dengan melakukan pembaruan dalam
bidang pendidikan, bukan sosial, politik, ekonomi, sains dan teknologi
seperti pendapat kebanyakan pemimpin Muslim. Lain dari kebanyakan
para pembaharu Muslim, ia tidak sekedar merumuskan konsep-konsep
Islami dalam dunia pendidikan belaka, tetapi mengimplementasikan
ide-ide brilian tersebut dengan mendirikan sebuah perguruan tinggi Islam
bertaraf internasional dengan nama International Institute of Islamic
Thought and Civilization (ISTAC), meskipun belakangan kampus terkemuka
ini diambil alih oleh pihak konservatif Malaysia, dan ia sendiri bahkan
harus hengkang dari kampus ini.
Tulisan ini akan menganalisis gagasan-gagasan pembaruan Prof.
Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam bidang pendidikan. Terlebih
dahulu akan disoroti riwayat hidup tokoh ini, lalu mengemukakan ide-
ide pembaharuannya tersebut sebagai jalan memperbaiki kondisi umat
Islam Kontemporer.

MENGENAL SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS


Syed Muhammad Naquib al-Attas dilahirkan di Bogor, Jawa Barat,
Indonesia, pada tanggal 5 September 1931. Ia sangat beruntung karena
terlahir sebagai keturunan dari Nabi Muhammad SAW. dan bangsawan-
ulama dari Malaysia dan Sunda. Ia adalah anak dari pasangan Ali bin
Abdullah bin Muhsin al-Attas dan Syarifah Raquan al-‘Aydarus. Syed Ali
al-Attas adalah salah seorang anak dari seorang ulama terkenal tidak saja
di Indonesia, tetapi juga di negeri Arab. Ia juga berasal dari keturunan
Kerajaan Johor, Malaysia. Sedangkan Syarifah Raquan adalah bangsawan
Sunda di Sukapura, Jawa Barat.1
Syed Muhammad Naquib al-Attas memperoleh pendidikan awal di
Malaysia dan Indonesia. Ketika sudah berusia 5 tahun, ia dikirim ke Johor
dan belajar di Sekolah Dasar Ngee Heng sampai tahun 1941. Di Johor,
ia tinggal bersama paman dan bibinya yang berasal dari Keturunan Kerajaan
Johor. Pada tahun 1941, ia pindah ke Jawa dan belajar agama di Madrasah
al-‘Urwatu al-Wutsqa’ di Sukabumi sampai tahun 1945. Madrasah ini

1
Wan Mohd. Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M.
Naquib al-Attas, terj. Hamid Fahmy, et al (Bandung: Mizan, 2003), h. 45.
WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM 75

menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar. Fakta ini menjadi


indikasi bahwa ia telah mahir dalam bahasa Arab sejak remaja. Pada tahun
1946, ia kembali ke Johor dan belajar di Bukit Zahrah School dan English
College sampai tahun 1951. Pada periode ini, ia tinggal bersama pamannya,
Ungku Abdul Aziz, seorang Kepala Menteri Johor Modern. Ungku Abdul
Aziz memiliki perpustakaan manuskrip Melayu terlengkap seperti manuskrip
sastra dan sejarah Melayu. Selama masa remaja, ia telah membaca, menelaah
dan mengkaji semua manuskrip Melayu tersebut. Setelah Ungku Abdul
Aziz pensiun, ia tinggal bersama Dato’ Onn, salah seorang pamannya
yang menjabat Kepala Menteri Johor Modern VII dan pendiri sekaligus
Presiden pertama United Malay National Organization (UMNO), sebuah
partai politik terkemuka di Malaysia.2
Pada tahun 1951, Syed Muhammad Naquib al-Attas telah berhasil
menyelesaikan pendidikan menengah. Setelah itu, ia mendaftar sebagai
resimen Melayu. Pada periode ini, ia dipilih oleh Jenderal Sir Gerald Templer,
seorang British High Commissioner di Malaya, untuk belajar di Eton Hall,
Chester, Wales dan di Royal Military Academy, Sandhurst, Inggris dalam
bidang kemiliteran sampai tahun 1955. Selama periode ini, ia kerap
mengunjungi negara-negara Eropa dan Afrika sembari melihat berbagai
perpustakaan dan bangunan peninggalan Islam. Pada fase ini, ia menyaksikan
berbagai gaya arsitektur bangunan peninggalan Islam dan membaca
karya-karya Klasik Islam.3
Setelah kembali ke Malaysia, al-Attas bertugas sebagai pegawai
kantor resimen tentara Kerajaan Malaya, Federasi Malaya. Tetapi, ia lebih
meminati dan menggandrungi dunia intelektual. Sebab itu, ia memilih
untuk kuliah di Universitas Malaya, dan berhasil menulis dua buku berjudul
Rangkaian Ruba’iyat dan Some Aspects of Shufism as Understood and
Practiced Among the Malays sebelum berhasil meraih program S1. Karya
kedua tersebut telah meraih simpati pemerintahan Kanada. Melalui
Canada Council Felloship, ia diberi beasiswa untuk belajar di Institute
of Islamic Studies, Universitas McGill, Montreal, Kanada. Selama kuliah
di Kanada, ia telah berkenalan dengan sejumlah pemikir dunia terkemuka
seperti Sir Hamilton Gibb, Fazlur Rahman, Toshihiko Izutsu dan Seyyed

2
Ibid., h. 46-47.
3
Ibid.
76 WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM

Hossein Nasr. Ia berhasil meraih gelar master pada tahun 1962 dengan
tesis berjudul Raniri and the Wujudiyyah of 17th Century Acheh dengan
nilai sangat memuaskan. Lalu, Prof. A.J. Arberry menyarankannya untuk
mengambil program Doktor di School of Oriental and African Studies
(SOAS), Universitas London. Ia pun diterima di Universitas London dan
belajar kepada Prof. A.J. Arberry dan Dr. Martin Lings dan berhasil memperoleh
gelar Ph.D pada tahun 1965 dengan judul disertasi The Mysticism of
Hamzah Fanshuri.4
Setelah tamat dari Universitas London, Syed Muhammad Naquib
al-Attas kembali ke Malaysia pada tahun 1965. Lalu, ia dilantik sebagai
Ketua Jurusan Sastra di Fakultas Kajian Melayu Universitas Malaya. Tidak
lama setelah itu, ia diangkat sebagai Dekan Fakultas Sastra di Univeritas
Malaya. Pada periode ini, ia menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa
pengantar universitas. Pada tahun 1970, ia menjadi salah seorang Pendiri
Senior Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM), dan menjadi penggagas
penggantian bahasa Inggris menjadi bahasa Melayu sebagai bahasa
pengantar universitas ini.5
Syed Muhammad Naquib al-Attas berpendapat bahwa berbagai
universitas di dunia Islam telah gagal dalam menciptakan manusia baik
(beradab) karena hanya merupakan imitasi dari universitas Barat sekuler.
Ia memandang penting pendirian sebuah universitas Islami dan akhirnya
ia dipercaya merumuskan bahwa merancang sebuah perguruan tinggi
Islam bernama International Institute of Islamic Thought and Civili-
zation (ISTAC) pada tahun 1991. Pada tahun 1997, ia juga telah dipercaya
untuk merancang dan membangun kampus ISTAC baru. Pendirian kampus
ini adalah demi merealisasikan gagasan-gagasan pembaruannya dalam
aspek pendidikan demi memperbaiki kondisi umat Islam Kontemporer.
Ia telah dipercaya menjadi Pendiri dan Rektor ISTAC sejak tahun 1987.
Selain aktif sebagai pemakalah dalam berbagai pertemuan, ia berhasil
memperoleh berbagai penghargaan dalam skala lokal dan internasional
dan bahkan menduduki sejumlah jabatan penting dalam bidang intelektual.6
Ia sangat peduli dengan kemunduran dunia Islam, sehingga ia menerapkan

4
Ibid., h. 47-48.
5
Ibid., h. 50.
6
Ibid., h. 51-54.
WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM 77

ide-ide pembaruannya secara faktual dalam bentuk lembaga pendidikan


bertaraf internasional seperti ISTAC.
Syed Muhammad Naquib al-Attas dikenal sebagai pakar dalam banyak
bidang seperti agama, metafisika, teologi, filsafat, pendidikan, filologi,
sejarah, sastra, seni, ilmu militer, kaligrafi dan arsitektur. Ia menulis lebih
dari 400 makalah ilmiah dan 26 buku akademik, antara lain, Raniri and
the Wujudiyyah of 17th Century Acheh, The Mysticism of Hamzah Fanshuri,
Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, The Concept of Education
in Islam, Islam and Secularism, Islam and The Philosophy of Science, On
Quiddity and Essence, the Degree of Existence, Prolegomena to the Methaphysics
of Islam, Comments on the Re-examination of al-Raniri’s Hujjat al-Shiddiq,
Islam: The Concept of Religion and the Foundation of Ethics and Morality,
The Nature of Man and The Psychology of the Human Soul, dan The Meaning
and Experience of Happiness in Islam.7 Berbagai karya akademik ini
dijadikan al-Attas sebagai perangkat lunak bagi perumusan dan pendirian
sebuah universitas sebagai sarana pembentukan manusia beradab.

GAGASAN PEMBARUANNYA
Para pemikir Muslim sangat menyadari bahwa dunia Islam sedang
mengalami kemunduran dibanding dengan dunia Barat, padahal selama
beberapa abad silam umat Islam lebih berjaya dibanding dunia Barat.
Kepedulian mereka terhadap kondisi ini dibuktikan oleh adanya berbagai
usaha mereka untuk mencoba menawarkan ide-ide pembaruan pemikiran
dan strategi ampuh dalam pembenahan kondisi umat. Kerja intelektual
mereka telah memunculkan serangkaian rumusan dan berbagai rumusan
tersebut memiliki beraneka kecenderungan. Dalam hal ini, Syed Muhammad
Naquib al-Attas menjadi salah satu dari sekian banyak pemikir Muslim tersebut.
Sebagai pemikir Muslim terkemuka, al-Attas telah lama menyadari
bahwa dunia Islam sedang mengalami kemunduran, apalagi ia merasakan

7
Lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dalam Sejarah dan kebudayaan
Melayu (Petaling Jaya: ABIM, 1990); Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena
to The Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995); Syed Muhammad Naquib
al-Attas, Risalah Untuk Kaum Muslimin (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001); Syed Muhammad
Naquib al-Attas, Ma’na Kebahagiaan dan Pengalamannya dalam Islam (Kuala
Lumpur: ISTAC, 2002).
78 WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM

sendiri betapa bangsa Eropa mampu menanamkan pengaruhnya ke dunia


Islam, terutama di Asia Tenggara. Sejak belajar beberapa tahun di Eropa,
ia menyadari bahwa dunia Barat telah mengungguli dunia Islam dari
segi sains dan teknologi, meskipun ia melihat bahwa peradaban Barat sedang
menghadapi berbagai tragedi kemanusiaan, kehampaan dan penderitaan
hidup. Ia berpikir bahwa seharusnya masyarakat Barat harus menjadikan
peradaban Islam sebagai cermin demi memperbaiki berbagai problem
kemanusiaan dalam peradaban mereka.8
Seperti pemikir Muslim lain, al-Attas mencoba untuk menganalisis
berbagai faktor penyebab kemunduran dunia Islam sembari menawarkan
serangkaian program pembaruan dan strategi perbaikan kondisi umat.
Dalam buku Islam dan Sekularisme, ia telah menarik kesimpulan bahwa
penyebab kemunduran umat Islam adalah karena dua faktor, yaitu faktor
dalam dan faktor luar, meskipun faktor dalam merupakan penyebab utama
dari segala permasalahan dan kemunduran dunia Islam. Faktor luar
tersebut adalah adanya penjajahan dan penguasaan budaya oleh Barat
terhadap daerah-daerah penting dunia Islam. Lewat Kolonialisme dan
Imperialisme, bangsa Barat menanamkan falsafah hidupnya ke dalam
pikiran masyarakat Islam, lalu menguasai pemikiran mereka. Penanaman
pandangan hidup Barat tersebut dilakukan melalui sistem pendidikan
Barat sekuler. Akhirnya, penanaman falsafah Barat tersebut menyebabkan
kemunculan de-islamisasi dalam pemikiran umat Islam Modern sehingga
pikiran umat Islam menjadi tersekulerkan sebagaimana pikiran orang-
orang Barat.9 Namun, al-Attas menegaskan bahwa Kolonialisme dan
Imperislisme Barat bukan faktor penentu kemunduran dunia Islam, melainkan
kesalahan dan kekeliruan umat Islam dalam memahami konsep ilmu
secara baik dan benar.
Menurut al-Attas, kekeliruan dan kesalahan memahami ilmu telah
menjadi faktor dalam bagi kemunduran umat Islam pada masa modern
dan menjadi penyebab terpenting bagi kemunduran mereka.10 Maksud
kekeliruan dan kesalahan dalam memahami ilmu adalah bahwa umat
Islam Modern telah keliru dan salah dalam mengetahui dan memahami

8
Ibid., h. 65.
9
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, terj. Khalif Muammar
(Bandung: PIMPIN-CASIS, 2011), h. 119, 128.
10
Ibid., h. 130.
WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM 79

ilmu tentang Islam dan pandangan hidup (worldview) Islam. Umat Islam
telah menafsirkan Islam dan pandangan hidup Islam secara salah dan
keliru. Tafsiran mereka terhadap ajaran Islam dan pandangan hidup
Islam adalah tafsiran palsu. Al-Attas kembali menegaskan bahwa kemunduran
umat Islam diperparah oleh kekeliruan dan kesalahan para pemimpin,
ulama dan cendekiawan palsu dalam menafsirkan dan memahami Islam
dan pandangan hidup Islam.11 Menurutnya, keberhasilan bangsa Barat
dalam menanamkan kebudayaan, peradaban dan pandangan hidupnya
seperti sekularisme dan liberalisme dengan mudah dan lancar adalah
karena banyak pemimpin, ulama dan cendekiawan Muslim telah keliru
dan salah dalam memahami dan menafsirkan Islam dan pandangan hidup
Islam secara baik dan benar. Akhirnya, kesalahan dan kekeliruan tersebut
membuat bangsa Barat dengan sangat mudah menguasai dan memengaruhi
budaya, peradaban dan pemikiran umat Islam.
Meskipun al-Attas berpendapat bahwa penyebab kemunduran umat
adalah kesalahan dan kekeliruan memahami dan menafsirkan ilmu dan
pendangan hidup Islam, namun ia menilai bahwa kehilangan adab adalah
faktor dalam lain penyebab kemunduran tersebut, meski kedua faktor
dalam ini saling berkaitan. Kendati begitu, al-Attas menilai bahwa penyebab
utama kemunduran ini adalah kekeliruan dan kesalahan dalam ilmu
tersebut.12
Al-Attas bahkan menambahkan bahwa kesalahan dan kekeliruan
memahami ilmu dan kehilangan adab di kalangan umat memunculkan
pemimpin-pemimpin palsu dan ketidakadilan akan semakin merajalela.
Akibat salah dan keliru dalam memahami ilmu Islam dan pandangan
hidup Islam serta kehilangan adab, mereka telah kehilangan ketinggian
moral, intelektual dan spiritual. Manusia seperti ini tidak sah memimpin
umat dan mengurus berbagai bidang kehidupan umat. Kepemimpinan
manusia seperti ini akan terus membuat ketidakadilan semakin meluas,
Kematian mereka ini tidak akan banyak berpengaruh bagi kemajuan umat,
sebab mereka akan terus melestarikan keadaan ini dan menjamin keberlanjutan
bagi kemunculan para pemimpin palsu dan mengekalkan pengaruh mereka
atas urusan umat. 13

11
Ibid., h. 132, 134, 140.
12
Ibid., h. 129-130.
13
Ibid., h. 130, 132.
80 WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM

Al-Attas menyatakan bahwa kedua faktor dalam sebagai penyebab


kemunduran dunia Islam ini ikut melahirkan ulama-ulama palsu. Karena
salah dan keliru dalam memahami ilmu, para ulama palsu tersebut hanya
membatasi ilmu pada lingkungan ilmu hukum. Mereka merasa puas hati
dengan pemberian pendidikan ilmu-ilmu agama (fardu kifayah) hanya
kepada anak-anak hanya sampai pada tingkat dasar, dan membolehkan
perkembangan ilmu-ilmu umum (fadhu kifayah) meningkat hebat sampai
jenjang universitas. Akibatnya, universitas sebagai lembaga pendidikan
tertinggi, mampu meningkatkan dan mengembangkan ilmu-ilmu sekular
dalam jumlah besar. Jumlah ilmu sekular meningkat dan berkembang
dalam kehidupan umat Islam dan tidak seimbang dengan ilmu-ilmu agama.
Akibat ilmu-ilmu agama tidak diberikan di universitas, maka umat Islam
akan menjalani sebagian besar kehidupan dewasanya dengan mengetahui
lebih banyak tentang dunia dibandingkan akhirat, ilmu-ilmu umu dibandingkan
ilmu-ilmu agama. Sedangkan kehilangan adab telah membuat para ulama
palsu lebih menyukai perdebatan berkepanjangan dan membesar-besarkan
masalah kecil dalam ilmu fikih. Kondisi ini telah membuat umat Islam
berada dalam kegelapan, tanpa bimbingan dan kebingungan. Kekeliruan
tersebut membuat mereka terlalu menekankan kepada perbedaan mazhab.14
Sedangkan sarjana dan cendekiawan Muslim sekuler, menurut al-
Attas, memperoleh inspirasi pemikiran dari peradaban Barat. Mereka
tidak menyadari dan memahami hakikat kebudayaan dan peradaban
Barat, lalu menjadikan keduanya sebagai kiblat pemikiran dikarenakan
rasa kagum mereka atas kebudayaan dan peradaban Barat. Mereka tidak
memiliki kedekatan dan terputus dengan pendekatan kognitif dan metodologi
terhadap sumber-sumber asli Islam dan pengkajian Islam. Sebab itulah,
ilmu mereka tentang Islam berada pada tingkatan paling rendah. Ketika
mereka menduduki jabatan-jabatan dalam sebuah negara, mereka akan
membuat kebijakan sesuai pemikiran sekulernya. Kehadiran mereka sangat
berbahaya bagi kemajuan dan kesejahteraan umat Islam, karena menjadi
penyebab de-islamisasi pikiran umat, bahkan penyebab bagi kesalahan
dan kekeliruan pemuda Muslim memahami ajaran Islam dan pandangan
hidup Islam.15

14
Ibid., h. 145-146, 151.
15
Ibid., h. 153-154.
WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM 81

Menurut al-Attas, karakteristik terpenting dari gejala kehilangan


adab dalam umat adalah proses penyamarataan setiap orang baik pikiran
maupun sikap. Proses penyamarataan ini ditanamkan dalam pikiran umat
dan diamalkan oleh mereka. Akibatnya, para pemimpin dan ulama palsu
serta cendekiawan sekular akan berani menantang bahkan meremehkan
orotitas yang sah dan hierarki kemanusiaan. 16 Akibat dari sikap ini adalah
mereka akan menyamaratakan derajat pikiran dan sikap diri mereka
dengan para cendikiawan dan pemikir besar, para ahli hukum dan para
arif-spiritual. Mereka tidak menjadikan tokoh-tokoh besar Islam masa
silam sebagai tokoh-tokoh ideal, malah menjadikan pemikir-pemikir Barat
sekuler sebagai tauladan.17 Ide-ide mereka tentang negara, masyarakat
dan manusia tidak banyak diambil dari ajaran Islam dan sumber Islam,
melainkan dari pemikiran-pemikiran dan sumber-sumber Eropa Barat.
Mereka bahkan malah menyamakan konsep-konsep kapitalisme dan
sosialisme dengan Islam. Padahal, seharusnya mereka memikirkan konsep-
konsep negara, masyarakat dan manusia berdasarkan usaha intelektual
mereka sendiri berdasarkan Islam dan sumber Islam seperti para pemikir,
ahli hukum dan ‘arif intelektual Islam masa silam. Tetapi, kemalasan
mereka secara intelektual membuat kemampuan mereka tidak mencukupi
bahkan tidak mampu untuk melakukan ijtihad secara orisinil dan lebih
senang membiarkan para pemikir Barat memikirkan dan mewujudkan
untuk mereka suatu ide-ide mengenai negara, masyarakat dan manusia.
Mereka tidak saja mengikuti pemikiran kaum Barat-sekuler secara teori,
melainkan ikut mempraktikkannya dalam berbagai bidang kehidupan
seperti ekonomi, keuangan, hukum bahkan pendidikan.18 Penolakan terhadap
gagasan penyamarataan manusia mengindikasikan bahwa al-Attas mengkritik
dan menolak demokrasi disebabkan paham ini berasal dari kebudayaan
dan peradaban Barat, dan sistem demokrasi menghendaki penyamarataan
setiap orang tanpa kecuali.
Dapat ditegaskan bahwa menurut al-Attas bahwa kekeliruan dan
kesalahan memahami ilmu Islam dan pandangan hidup Islam serta kehilangan
adab dalam diri umat Islam telah memunculkan pemimpin dan ulama
palsu serta cendikiawan sekular. Ketiga kelompok manusia palsu ini terus

16
Ibid., h. 135.
17
Ibid., h. 138.
18
Ibid., h. 148-149.
82 WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM

memperkuat pengaruhnya dan melestarikan kehilangan adab di tengah


umat. Mereka adalah bukan pemimpin sejati umat. Sebab, pemikiran,
kaedah dan contoh tauladan mereka berasal dari campuran kebenaran
dan kepalsuan sehingga akan menghasilkan kekeliruan. Kekeliruan ini
bahkan disebarkan dan dianjurkan kepada umat, dan akhirnya pemahaman
umat tentang ilmu dan pandangan hidup Islam menjadi rusak dan melahirkan
penafsiran salah terhadap konsep Islam mengenai dunia, realitas dan
kebenaran.19 Semua ini mengarahkan dunia Islam semakin mengalami
kemunduran dari berbagai bidang kehidupan.
Akhirnya, al-Attas membuat kesimpulan bahwa kemunduran umat
disebabkan oleh kekeliruan dan kesalahan dalam memahami ilmu Is-
lam dan pandangan hidup (worldview) Islam, kehilangan adab di tengah
umat dan kemunculan para pemimpin palsu yang tidak memiliki taraf
moral, intelektual dan spiritual yang tinggi sebagai syarat mutlak untuk
menjadi pemimpin umat dalam berbagai bidang kehidupan. Ketiga faktor
dalam ini menjadi faktor utama penyebab dekadensi dunia Islam dan
eksistensi penjajahan Barat berikut penetrasi kebudayaan dan peradaban
mereka dalam pemikiran umat Islam ikut memukul secara telak kedigjayaan
umat Islam masa silam.
Al-Attas mengakui bahwa ketiga faktor tersebut saling bergantung
satu sama lain dan membentuk suatu lingkaran ganas. Dari satu sisi,
ilmu tidak dapat dikuasai tanpa kehadiran adab dalam diri seseorang.20
Dari sisi lain, tanpa adab, kerusakan, kebingungan dan kekeliruan ilmu
akan terus terjadi.21 Sedangkan kedua hal ini akan memunculkan pemimpin-
pemimpin palsu, dan mereka menjadi pelestari kerancuan dan ketiadaan
adab ini.22 Meskipun ketiga faktor ini membentuk suatu lingkaran ganas,
al-Attas memandang penting mematahkan lingkaran ganas tersebut
demi menyelesaikan problem dunia Islam.
Setelah menganalisis faktor-faktor penyebab kemunduran umat,
al-Attas menawarkan solusi dan strategi perbaikan kondisi umat. Dalam
hal ini, untuk mematahkan lingkaran ganas tersebut, ia menyarankan

19
Ibid., h. 160-161.
20
Ibid., h. 129-30.
21
Ibid., h. 133.
22
Ibid., h. 129, 160.
WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM 83

urgensi penanganan masalah kehilangan adab. Sebab, suatu ilmu tidak


akan bisa dikuasai secara baik dan benar, apabila prasyarat adab belum
dipenuhi oleh para penuntut ilmu. Dengan kata lain, persoalan kemunduran
umat Islam akan dapat diselesaikan dengan cara memecahkan dan mema-
tahkan lingkaran ganas dari ketiga faktor dalam penyebab kemunduran
tersebut. Dalam hal ini, ia lebih mengutamakan pengentasan masalah
hilangnya adab dalam diri umat, bukan penanganan masalah kekeliruan
ilmu dan kemunculan para pemimpin palsu, dengan alasan bahwa tidak
ada ilmu yang benar bisa dikuasai tanpa terlebih dahulu memiliki adab
bagi para penuntutnya dan kepada siapapun ilmu itu diberikan.23 Tetapi,
karena sistem pendidikan di dunia Islam telah dirasuki oleh unsur-unsur
sekularisme, ia memandang bahwa rekonstruksi konsep pendidikan Islam
menjadi keniscayaan dalam rangka penanaman adab dalam diri peserta
didik.
Dikatakan rekonstruksi adalah karena al-Attas berpendapat bahwa
lembaga-lembaga pendidikan Islam, dari tingkat rendah sampai tingkat
tinggi seperti universitas, telah gagal menanamkan adab dalam diri peserta
didiknya. Kondisi ini dikarenakan lembaga-lembaga tersebut hanya sebatas
imitasi (tiruan) lembaga-lembaga pendidikan Barat-sekuler. Lembaga-
lembaga pendidikan Barat sama sekali tidak mengenal konsep adab
lantaran kesekuleran pandangan hidup (worldview) bangsa Barat. Dalam
rekonstruksi ini, ia memandang perlu islamisasi berbagai konsep dasar
pendidikan, mulai dari aspek bahasa, aspek ilmu, sampai kepada aspek
perumusan dan pendirian universitas Islam.
Dalam proyek penanaman adab ini, al-Attas memandang penting
perumusan bahkan pelaksanaan suatu sistem pendidikan dalam kerangka
Qur’ani dan berdasarkan kepada landasan Islam.24 Ia menilai bahwa
sikap salah dan kerancuan dalam memahami ilmu Islam dan pandangan
hidup Islam, kehilangan adab dan kemunculan para pemimpin palsu
di dunia Islam adalah karena konsep pendidikan Islam masih mengandung
banyak problem akut, dan konsep pendidikan Islami selama ini belum
benar dan mencukupi.25 Dalam konteks ini, al-Attas mengadakan pembaruan
dalam bidang pendidikan Islami.

23
Ibid., h. 130.
24
Ibid., h. 141.
25
Ibid., h. 145.
84 WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM

Dalam usaha merekonstruksi konsep pendidikan Islami tersebut,


al-Attas hanya mencari dan mengambil inspirasi serta merumuskannya
dari ajaran Islam dan sumber-sumber Islam, bukan dari kebudayaan dan
peradaban Barat sebagaimana tindakan para pemimpin dan cendikiawan
sekuler selama ini. Menurutnya, ilmu mengenai pembentukan manusia
yang baik dan beradab harus diperoleh bukan dari pemikiran-pemikiran
yang lahir dari kebudayaan dan peradaban Barat, melainkan dari tradisi
Islam yang telah dijelaskan dan ditafsirkan oleh pemikir-pemikir otoritatif
umat Islam dari masa lalu, karena mereka adalah orang-orang yang memiliki
kearifan spiritual dan intelektual.26 Ia menegaskan bahwa ilmu tentang
pembentukan manusia sejati harus digali dari ilmu tentang Islam dan
pandangan alam Islam. Namun patut diketahui bahwa ilmu tentang Islam
dan pandangan alam Islam hanya berdasarkan otoritas. Dalam Islam,
tafsiran mengenai kedua hal ini telah diberikan oleh manusia-manusia
sejati yang memiliki otoritas seperti Nabi Muhammad SAW. sebagai penafsir
ajaran Islam27 dan pemikir-pemikir Muslim terkemuka masa lalu yang
memiliki kearifan dan budi pekerti intelektual dan spiritual.28 Dengan demikian,
al-Attas hanya akan merujuk kepada ajaran Islam, sebagaimana ditafsirkan
Nabi dan para pemikir Muslim yang memiliki kearifan, intelektualitas
dan spiritualitas yang tinggi, dalam rangka merumuskan konsep pendidikan
Islami, dan sama sekali menolak penggunaan pemikiran-pemikiran dari
kebudayaan dan peradaban Barat.
Setelah itu, al-Attas merumuskan konsep pendidikan berdasarkan
dan berlandaskan ajaran Islam dan sumber-sumber Islam. Ia menyusun
dan merumuskan unsur-unsur esensial dalam konsep pendidikan dan
proses kependidikan menurut Islam. Ia menyimpulkan bahwa unsur-
unsur esensial dalam sistem pendidikan Islam didasarkan atas beberapa
konsep pokok tertentu, yaitu konsep agama (din), konsep manusia (insan),
konsep ilmu (‘ilm/ma’rifah), konsep kebijakan (hikmah), konsep keadilan
(‘adl), konsep amal (‘amal sebagai adab) dan konsep universitas (kulliyah
jam’iyah).29 Menurutnya, konsep pendidikan Islam harus didasari dan

26
Ibid., h. 140.
27
Ibid., h. 130.
28
Ibid., h. 139-141.
29
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam: Suatu
Rangka Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam, terj. Haidar Bagir (Bandung:
Mizan, 1990), h. 8, 74-75.
WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM 85

dirumuskan oleh unsur-unsur esensial dalam pendidikan tersebut, dan


makna semua unsur tersebut harus dicari dan digali dari sumber-sumber
Islam yang ditulis oleh pemikir-pemikir besar yang otoritatif dari masa lalu.
Dalam penelitiannya, al-Attas telah menemukan bahwa seharusnya
pendidikan harus ditekankan kepada manusia sebagai individu, bukan
kepada masyarakat dan negara. Ia memandang bahwa pendidikan Islam
harus menekankan kepada individu sebagai solusi pemecahan masalah
kemunduran umat, bukan memenuhi kebutuhan masyarakat dan negara.
Pendidikan Islam harus ditujukan kepada pembentukan manusia yang
baik, bukan pembentukan masyarakat dan warganegara yang baik. Sebab,
penekanan kepada masyarakat dan negara yang baik akan membuka
pintu sekularisme, ideologi sekular dan pendidikan sekuler.30 Sebab, negara
dan masyarakat hanya membutuhkan pemenuhan kepentingan duniawi
dalam bentuk ilmu-ilmu umum (fardhu kifayah) dibandingkan kepentingan
ukhrawi dalam bentuk ilmu-ilmu agama (fardhu ‘ain).
Menurut al-Attas, pendidikan memainkan peranan penting dalam
rangka penanaman adab dalam diri seorang manusia. Penanaman adab
lewat pendidikan adalah sebagai upaya untuk menyelesaikan masalah
kemunduran umat yang disebabkan oleh hilangnya adab, dan berakibat
kepada masalah kerancuan dan kekeliruan ilmu dan kemunculan para
pemimpin palsu. Tetapi, penanaman adab sebagai pemecahan terhadap
masalah kemunduran umat akan berhasil dicapai bila pendidikan Islam
diselenggarakan sebagai sebuah proses ta’dib, bukan tarbiyah dan ta’lim.
Ia menolak penggunaan dua istilah terakhir karena tidak sesuai dengan
misi pendidikan Islam yang hanya diperuntukkan untuk manusia sebagai
makhluk dwi-dimensi.31 Dalam pelaksanaan islamisasi bahasa, al-Attas
menemukan bahwa istilah tercocok untuk pendidikan Islam adalah ta’dib.
Tegasnya, pemecahan masalah kehilangan adab akan ditemukan
di dalam pendidikan sebagai suatu proses ta’dib.32 Dalam hal ini, pendidikan
sebagai proses ta’dib bertujuan untuk menghasilkan manusia yang baik.
Arti kata ‘baik’ dalam ‘manusia baik’ adalah manusia beradab. Namun
makna ‘adab’ bukan makna sebagaimana dikatakan oleh pemikir modern,

30
Al-Attas, Islam dan Sekularisme, h. 140-141..
31
Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, h. 77.
32
Ibid., h. 77.
86 WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM

tetapi makna menurut sumber-sumber Klasik Islam.33 Ia menemukan


bahkan makna adab adalah “pengenalan dan pengakuan tentang hakikat
bahwa pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hierarkis sesuai
dengan berbagai tingkat dan derajat tingkatan mereka dan tentang tempat
seseorang yang tepat dalam hubungannya dengan hakikat itu serta
dalam kapasitas dan potensi jasmaniah intelektual dan ruhaniah seseorang.”34
Dalam hal ini, proses pendidikan adalah proses penanaman adab.
Dalam rangka pembentukan individu beradab, al-Attas menilai bahwa
lembaga-lembaga pendidikan di dunia Islam tidak boleh hanya menekankan
kepada ilmu-ilmu umum (fardhu kifayah) dengan menafikan ilmu-ilmu
agama (fardhu ‘ain). Pelbagai lembaga pendidikan Islam harus menyajikan
kedua jenis ilmu ini secara berimbang pada semua tingkatan pendidikan,
mulai dari pendidikan dasar sampai pada pendidikan tinggi seperti uni-
versitas. Penekanan hanya kepada ilmu-ilmu umum (fardhu kifayah)
semata tanpa diimbangi dengan ilmu-ilmu agama (fardhu ‘ain) dalam
semua jenjang pendidikan, secara alami mengarahkan perhatian kepada
masalah negara dan masyarakat, sebab negara dan masyarakat adalah
rujukan sebenarnya dalam ilmu-ilmu umum (fardhu kifayah).35 Menurut
al-Attas, kondisi ini sangat membahayakan masa depan dunia Islam.
Al-Attas sangat prihatin banyak ulama merasa puas hati ketika anak-
anak Muslim memperoleh pengetahuan tentang ilmu-ilmu agama (fardhu
‘ain) selama menempuh pendidikan dasar, meski setelah dewasa mereka
akan minim mempelajari agama, dan hanya mengembangkan dan meningkatkan
ilmu-ilmu umum (fardhu kifayah). Kondisi ini dapat dilihat secara faktual
dalam kehidupan umat Islam, sebab jenjang universitas sangat kurang
mengajarkan ilmu-ilmu agama. Akhirnya, kondisi ini telah membuat seorang
Muslim akan hanya lebih menguasai ilmu-ilmu umum (fardhu kifayah)
dibandingkan dengan ilmu-ilmu agama (fardhu ‘ain). Ketidakseimbangan
penguasaan ilmu tersebut membuat seorang Muslim menjalani sebagian
besar kehidupannya dengan mengetahui lebih banyak tentang dunia dan
kurang sekali tentang agama dan akhirat. Puncaknya, lembaga-lembaga
pendidikan di dunia Islam hanya melahirkan Muslim yang lemah dan

33
Ibid., h. 54, 56.
34
Ibid., h. 63.
35
Al-Attas, Islam dan Sekularisme, h. 147.
WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM 87

para pemimpin yang lemah dan berbahaya karena pemahaman dan ilmu
keislamannya tidak matang, sehingga Islam ditampilkan secara salah
dan seakan-akan tidak berkembang bahkan mundur.36 Semua ini dikarenakan
sistem pendidikan di dunia Islam adalah suatu sistem pendidikan yang
dirancang untuk melestarikan ideologi sekular sebagai akibat dari para
pemimpin umat Islam adalah pemimpin-pemimpin sekuler dan berasal
dari pendidikan sekuler.
Sebagai akibat dari konsep bahwa manusia sebagai mikrokosmos
dan terdiri atas jasmani dan ruhani, maka seorang peserta didik harus
diajarkan tidak saja ilmu-ilmu agama (fardhu ‘ain), tetapi juga ilmu-ilmu
umum (fardu kifayah), mulai dari pendidikan dasar, pendidikan menengah
sampai pendidikan universitas. Dalam kurikulum pendidikan Islam, ilmu-
ilmu agama (fardhu ‘ain) menjadi pengatur dan pengendali ilmu-ilmu
umum (fardhu kifayah), sebagaimana dimensi ruhaniah menjadi pengatur
dan pengendali bagi dimensi jasmaniah.37 Tujuan pengajaran kedua
ilmu tersebut adalah untuk menciptakan manusia yang baik dan beradab.
Manusia seperti ini adalah manusia sejati.38 Menurut al-Attas, integrasi
keilmuan menjadi sebuah keniscayaan dalam pendidikan Islami sebagai
sarana pembentukan manusia beradab.
Al-Attas telah merinci kedua jenis ilmu tersebut. Ilmu-ilmu agama
tersebut mencakup al-Qur’an, Sunnah, Syariah, Teologi, Metafisika Islam
(tasawuf) dan ilmu-ilmu linguistik (bahasa Arab, tata bahasa, leksikografi,
dan kesusastraan). Sedangkan ilmu-ilmu umum mencakup ilmu-ilmu
rasional, intelektual dan filosofis seperti ilmu-ilmu kemanusiaan, ilmu-
ilmu alam, ilmu-ilmu terapan dan ilmu-ilmu teknologi.39 Menurutnya,
kedua ilmu ini mesti diajarkan kepada peserta didik bukan hanya sebatas
pada sistem pendidikan dasar dan menengah, tetapi sampai pada tingkat
universitas.40 Ia menolak kurikulum universitas di dunia Islam selama
ini, karena hanya menyajikan ilmu-ilmu umum dan sangat minim ilmu-

36
Ibid., h. 146-147.
37
Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, h. 85-88.
38
Al-Attas, Islam dan Sekularisme, h. 183-184.
39
Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, h. 89-90; Rosnita, Kurikulum
Pendidikan Islam: Gagasan Pendidikan Syed Muhammad Naquib al-Attas (Banda
Aceh: PeNA, 2011)
40
Ibid., h. 88.
88 WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM

ilmu agama. Sistem universitas di dunia Islam selama ini hanya meniru
sistem universitas di Barat yang sangat sekuler. Sistem seperti ini hanya
akan melahirkan sarjana-sarjana yang tidak beradab. Sebaliknya, integrasi
ilmu dalam sebuah universitas Islami diyakini akan melahirkan manusia
yang beradab, dan kelak akan menjadi pemimpin-pemimpin sejati yang
dapat merubah kondisi umat Islam menjadi lebih baik.
Al-Attas sangat menyadari bahwa ilmu-ilmu rasional, intelektual
dan filosofis telah diserapi konsep-konsep kunci asing karena semua ilmu
tersebut dilahirkan oleh peradaban dan kebudayaan Barat sekuler. Dalam
hal ini, ia berpendapat bahwa islamisasi sains menjadi sangat penting.
Setiap cabang ilmu-ilmu umum (fardhu kifayah) mesti diserapi oleh unsur-
unsur dan konsep-konsep kunci Islam lewat proses islamisasi. Islamisasi
adalah “pembebasan ilmu dari penafsiran-penafsiran yang didasarkan
pada ideologi sekuler, dan dari makna-makna serta ungkapan-ungkapan
manusia sekuler,” dan/atau “pembebasan manusia, pertama, dari tradisi
magis, mitos, animis, dan paham kebangsaan dan kebudayaan pra-Islam,
dan kemudian, dari kendali sekuler atas nalar dan bahasanya,” Ia menyadari
bahwa ilmu-ilmu umum (fardhu kifayah) bahkan pemikiran umat Islam
Modern telah mengalami de-islamisasi, yaitu “penyusupan konsep-konsep
asing ke dalam pikiran-pikiran seorang Muslim dan konsep-konsep tersebut
akan tinggal bahkan memengaruhi pemikiran dan penalaran.”41 Islamisasi
ilmu-ilmu tersebut sangat penting, selain karena ini adalah bentuk kelalaian
umat Islam terhadap Islam dan terhadap Tuhan dan Rasul-Nya sehingga
segera harus diperbaiki, juga ilmu-ilmu yang telah di-islamisasikan akan
sangat membantu proses pembentukan manusia-manusia beradab.
Berbeda dengan kebanyakan pemikir, al-Attas tidak hanya sekedar
merumuskan gagasan pembaruan dalam bidang pendidikan belaka, tetapi
mengimplementasikan gagasan pembaruan tersebut dengan mendirikan
sebuah universitas Islam bertaraf internasional yang dinamai Inter-
national Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC). Ia menjadikan
kampus ini sebagai media untuk mengimplementasikan seluruh gagasan
pembaruannya dalam bidang pendidikan dan menjadikan ISTAC sebagai
ikon pembaruannya. Lewat kampus ternama ini, ia hendak membuktikan
bahwa kemunduran dunia Islam lebih disebabkan oleh masalah ilmu dan

41
Ibid., h. 90-95.
WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM 89

pendidikan ketimbang masalah dalam bidang sosial, ekonomi, politik,


sains dan teknologi seperti pendapat sekelompok tokoh politik bahkan
sebagian pemikir Muslim. Pendirian kampus ini dilatari oleg pendapat
bahwa universitas-universitas di dunia Islam hanya sebatas imitasi dari
universitas-universitas Barat dengan ciri pemisahan ilmu-ilmu agama
(fardhu ‘ain) dan ilmu-ilmu dunia (fardhu kifayah).
Dalam gagasan pembaruannya, al-Attas lebih memperhatikan dan
mengutamakan perumusan konsep universitas. Sebab, sistem pendidikan
dalam Islam mesti mencerminkan manusia sempurna (insan al-kamil),
dan perwujudan paling tinggi dan sempurna dari sistem pendidikan adalah
universitas. Kerangka berpikir ini membuat al-Attas lebih memfokuskan
kepada perumusan konsep universitas sejati. Dalam perumusannya,
ia menghendaki sebuah universitas Islam harus mencerminkan manusia
sempurna. Dalam hal kurikulum, universitas harus mengajarkan ilmu-
ilmu agama (fardhu ‘ain) dan ilmu-ilmu umum (fardhu kifayah), dan ilmu-
ilmu agama (fardhu ‘ain) menjadi jantung dan pusat universitas yang
abadi dan permanen.42 Dengan demikian, suatu universitas Islam mengajarkan
ilmu-ilmu tersebut secara seimbang, sehingga seorang peserta didik tidak
akan menjalani sebagian besar kehidupan dewasanya dengan mengetahui
lebih banyak ilmu-ilmu keduniaan dan hanya sedikit memahami agama.
Dari universitas seperti ini, diharapkan akan bisa memunculkan manusia-
manusia beradab, mengetahui ilmu Islam dan pandangan hidup Islam
dengan benar, sehingga mereka akan menjadi pemimpin-pemimpin yang
sah bagi kepemimpinan umat dalam rangka menciptakan keadilan
dan kemakmuran.
Dalam penerimaan calon mahasiswa dalam universitas Islami, al-
Attas menghendaki setiap calon mahasiswa harus memenuhi tidak saja
pencapaian terbaik dalam berbagai bidang pelajaran sains formal saja,
melainkan perilaku dan akhlak mulia.43 Dengan demikian, al-Attas menghendaki
calon mahasiswa Muslim harus memiliki kepribadian mulia selain kecerdasan
intelektual. Tampaknya, nilai tinggi dari berbagai bidang sains formal bukan
menjadi faktor penentu seseorang menjadi mahasiswa. Seorang calon
mahasiswa Islam harus memiliki kecerdasan intelektual sekaligus spiritual.

42
Ibid., h. 84, 87.
43
Al-Attas, Islam dan Sekularisme, h. 205.
90 WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM

Dapat disimpulkan bahwa al-Attas lebih mencari faktor penyebab


kemunduran umat Islam dari dalam dunia Islam sendiri, meskipun tidak
dimungkiri bahwa faktor luar seperti penjajahan Barat baik dari aspek
material maupun intelektual semakin memperburuk kondisi dunia Islam.
Namun, ia menilai bahwa faktor-faktor dalam seperti kerancuan dalam
memahami ilmu tentang Islam dan pandangan hidup Islam, kehilangan
adab dalam diri umat Islam dan kemunculan pemimpin-pemimpin palsu
adalah sebagai faktor penyebab terpenting kemunduran dunia Islam.
Dari tiga faktor dalam tersebut, ia menilai bahwa faktor kerancuan ilmu
menjadi faktor paling utama penyebab kemunduran dunia Islam.
Sebagai solusi, al-Attas memandang penting menyelesaikan tiga
faktor dalam tersebut yang membentuk lingkaran ganas. Dalam rangka
mematahkan lingkaran ganas tersebut, ia lebih memilih untuk menangani
masalah kehilangan adab dalam diri umat Islam. Upaya penanaman adab
tersebut dilakukan melalui proses pendidikan. Karena sistem pendidikan
di dunia Islam masih belum benar karena dirasuki oleh ideologi sekuler,
maka al-Attas merekonstruksi konsep pendidikan sesuai kerangka al-
Qur’an dan berdasarkan kepada landasan Islam. Dari sini, ia melakukan
islamisasi terhadap seluruh konsep pendidikan mulai dari bahasa sampai
kepada konsep-konsep dasar pendidikan. Tujuan dari usaha ini adalah
untuk mendidik generasi Muslim menjadi orang yang baik dan beradab.
Manusia seperti ini akan memiliki ilmu yang benar dan kelak akan dapat
menjadi pemimpin yang sah bagi umat Islam, sehingga keadilan akan
terealisasikan dalam masyarakat. Pada akhirnya, kemunduran umat
Islam akan menjadi sebuah kenangan semata, karena digantikan oleh
kemajuan dan kesejahteraan demi mengimbangi penetrasi kekuatan
Barat dalam skala global.
110 WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM

FALSAFAH PENDIDIKAN
AL WASHLIYAH:
Sebuah Gagasan Awal

Ja’far

Menurut Karel A. Steenbrink, bahwa ada empat faktor pendorong


terpenting bagi perubahan Islam di Indonesia pada permulaan abad
ke XX. Pertama. Munculnya keinginan kembali kepada al-Qur‘an dan
hadis yang dijadikan sebagai titik tolak untuk menilai kebiasaan agama
dan kebudayaan yang ada. Kedua. Perlawanan nasional terhadap penguasa
Kolonial Belanda. Ketiga. Usaha kuat dari orang-orang Islam untuk memperkuat
organisasinya dalam bidang sosial ekonomi baik demi kepentingan umum
maupun individu. Keempat. Adanya pembaruan pendidikan Islam.1 Setidaknya,
keempat faktor ini ikut mendorong perubahan kehidupan umat Islam
Indonesia pada masa Kolonial, meskipun tidak bisa dipungkiri keberadaan
faktor lain yang ikut mendukung perubahan tersebut.
Fenomena pembaruan pendidikan tersebut tidak bisa dilepaskan
dari kemunculan gerakan pembaruan di Indonesia. Menurut Deliar Noer,
gerakan pembaruan tersebut dilancarkan oleh masyarakat Islam In-
donesia, baik secara individu maupun kelompok. Secara individu, muncul
tokoh-tokoh pembaharu seperti Syaikh Ahmad Khatib, Syaikh Thaher
Jalaluddin, Syaikh Muhammad Djamil Djambek, Haji Rasul, Haji Abdullah
Ahmad, Syaikh Ibrahim Musa, dan Zainuddin Labai. Sedangkan, secara
kelompok, muncul sejumlah organisasi kemasyarakatan Islam seperti
Persyarikatan Ulama, Muhammadiyah, Persatuan Islam, Sarekat Islam,
Jami’at al-Khair, al-Irsyad, NU, Perti, dan Al Washliyah.2 Sejumlah tokoh

1
Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam
Kurun Modern (Jakarta: LP3ES, 1986), h. 26-28.
2
Deliar Noor, Gerakan Modern Islam di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1980),
h. 38-113, 317-319.

110
WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM 111

dan organisasi tersebut menjadi pelopor pembaharuan pendidikan Islam


di Indonesia.
Sebagai salah satu organisasi pembaharu, Al Washliyah memainkan
peranan tidak kecil bagi perubahan kondisi umat Islam Indonesia. Steenbrink
menyebut organisasi ini sebagai organisasi terbesar ketiga setelah NU
dan Muhammadiyah.3 Ia bahkan menyebut Al Washliyah sebagai salah
satu organisasi pembaharu pendidikan Islam di Indonesia.4 Sebagai organisasi
pembaharu pendidikan Islam, Al Washliyah memang memiliki komitmen
cukup tinggi terhadap pengembangan kualitas pendidikan Indonesia.
Dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Al Jam’iyatul Washliyah
disebutkan bahwa salah satu usaha Al Washliyah dalam mencapai tujuannya–
yaitu menegakkan ajaran Islam untuk terciptanya masyarakat yang beriman,
bertakwa, cerdas, amanah, adil, makmur dan diridai Allah SWT.–adalah
dengan cara mendirikan lembaga-lembaga pendidikan dalam semua jenis
dan jenjang pendidikan, serta mengatur kesempurnaan pendidikan dan
pengajaran dan kebudayaan. Usaha lain organisasi ini adalah “melaksanakan
amar ma’ruf nahi mungkar dengan cara memperbanyak tabligh, tazkir,
ta’lim, penerangan dan penyuluhan di tengah-tengah umat.”5 Dalam Wijhah
Al Washliyah disebutkan bahwa “Al Washliyah menilai bahwa pendidikan
dan pengajaran, adalah unsur mutlak bagi tegak dan teguhnya Islam,
merupakan hal yang wajib bagi pria dan wanita.”6 Dalam buku Kepribadian
Anggota dan Pengurus Al Washliyah disebutkan bahwa “siapa yang memegang
pendidikan masa kini, dialah pemimpin hari esok.”7 Dengan demikian,
secara normatif, Al Washliyah memiliki komitmen besar bagi pengembangan
dunia pendidikan.
Dalam aspek historis, kontribusi Al Washliyah terhadap dunia pendidikan
sudah direkam secara baik dalam berbagai literatur sejarah pendidikan

3
Karel A. Steenbrink, “Kata Pengantar,” dalam Chalidjah Hasanuddin, Al
Jam’iyatul Washliyah 1930-1945: Api Dalam Sekam di Sumatera Timur (Bandung:
Pustaka, 1988), h. vii.
4
Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, h. 77.
5
Pengurus Besar Al Jam’iyatul Washliyah, Anggaran Dasar dan Anggaran
Rumah Tangga (Jakarta: PB Al Washliyah, 2010), h. 6-7.
6
Ismed Batubara dan Ja’far (ed.), Bunga Rampai Al Jam’iyatul Washliyah
(Banda Aceh: Al Washliyah University Press, 2010), h. 42
7
M. Ridwan Ibrahim Lubis, Kepribadian, Anggota & Pengurus Al Washliyah
(Jakarta: PP HIMMAH, 1994), h. 12.
112 WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM

Islam. Berbagai literatur tersebut telah menyebutkan kontribusi organisasi


asal Sumatera Timur ini dalam rangka mendirikan dan mengembangkan
pendidikan umat Islam Indonesia. Sebut saja misalnya karya Mahmud
Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia,8 A. Hasjmy, Dustur Dakwah
Menurut al-Qur‘an,9 Aminuddin Rasyad dan Baihaqi (ed.), Sejarah Pendidikan
Islam di Indonesia,10 Karel Adrian Steenbrink, Pesantren, Sekolah, Madrasah:
Pendidikan Islam dalam Kurun Modern,11 Muhammad Hasballah Thaib,
Universitas Al Washliyah Medan: Lembaga Pengkaderan Ulama di Sumatera
Utara,12 Maksum, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya,13 Hasbullah,
Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah, Pertumbuhan
dan Perkembangan,14 Haidar Putera Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan
Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia,15 Hasan Asari, “Al Jam’iyatul
Washliyah: Kiprah Sosial dan Intelektual,”16 Hasan Asari, “Al Jam’iyatul
Washliyah: Sejarah Sosio-Religius dan Intelektual Periode Awal,”17 Nurul
Huda, Pola Pendidikan Al Washliyah: Kajian Historis Terhadap Perkembangan
Lembaga Pendidikan Sebelum Indonesia Merdeka,18 Syamsuddin Ali, Al
Jam’iyatul Washliyah dan Peranannya dalam Dakwah Islamiyah di In-
donesia,19 Latifah Hanum, Partisipasi Wanita dalam Lembaga Pendidikan
Al Washliyah di Kota Medan (1997-2002),20 Muaz Tanjung, Pendidikan
Islam di Medan pada Awal Abad ke-20: Studi Historis tentang Maktab
Islamiyah Tapanuli (1918-1942),21 dan Abbas Pulungan, et al., Sejarah
dan Dinamika Organisasi Islam di Sumatera Utara.22 Berbagai literatur
ini telah mengulas dinamika sejarah pendidikan Al Washliyah. Meskipun
disadari bahwa berbagai literatur tersebut hanya memuat uraian tentang

8
(Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1955), h. 193-198.
9
(Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 458-459.
10
(Jakarta: DEPAG RI, 1986), h. 38.
11
(Jakarta: LP3ES, 1989).
12
(Medan: UNIVA, 1993)
13
(Jakarta: Logos, 1999), h. 96-97.
14
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999), h. 123-125.
15
( Bandung: Citapustaka Media).
16
Analytica (Vol. 3 No. 2, 2001), h. 71-83.
17
(Medan: UNIVA Press, 2009), h. 3-18.
18
(Medan: PPS IAIN-SU, 1998).
19
(Penang: Fakulti Sastra dan Sains Sosial USM, 2001).
20
(Medan: PPS IAIN-SU, 2003).
21
(Medan: PPS IAIN-SU, 2004).
22
(Medan: PUSLIT IAIN-SU), h. 24-113.
WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM 113

sejarah pendidikan Al Washliyah secara ringkas, namun upaya mengenalkan


sejarah pendidikan organisasi ini sudah mulai dilakukan oleh para ahli.
Tentunya, penulisan tentang sejarah pendidikan Al Washliyah ini masih
harus terus digalakkan secara maksimal demi menguak fakta-fakta sejarah
secara jernih dan berimbang.
Akan tetapi, secara filosofis, berbagai literatur filsafat pendidikan
Islam sama sekali belum menjamah dan memberikan perhatian terhadap
pemikiran pendidikan Al Washliyah. Fakta ini dibuktikan dari ketiadaan
deskripsi tentang pemikiran pendidikan Al Washliyah dalam berbagai
literatur tersebut. Berbagai buku, jurnal dan hasil penelitian selama ini
masih memfokuskan perhatian kepada pemikiran pendidikan menurut
tokoh non Al Washliyah. Sebut saja karya Hamdan Ihsan dan A. Fuad
Hasan, Filsafat Pendidikan Islam,23 Syafaruddin dan Al Rasyidin, Filsafat
Pendidikan Islam,24 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam,25 Al Rasyidin
dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam,26 dan Ramayulis dan Samsul
Nizar, Filsafat Pendidikan Islam.27 Berbagai karya ini hanya memuat pemikiran
pendidikan menurut tokoh-tokoh seperti Zainuddin Labai dan Rahmah
El Yunusiah (Minangkabau), KH. Ahmad Dahlan (Muhammadiyah),
KH. Hasyim Asy’ari (NU), dan Muhammad Natsir (Masyumi). Literatur
ilmiah lain menyebut pemikiran pendidikan tokoh seperti Haji Rasul
(Minangkabau), HAMKA (Muhammadiyah), dan Ki Hajar Dewantara
(Taman Siswa). Dalam aspek Ilmu Pendidikan, beberapa tahun lalu Dja’far
Siddik menulis sebuah buku berjudul Pendidikan Muhammadiyah Perspektif
Ilmu Pendidikan.28 Berbeda dengan Al Washliyah, sampai saat ini belum
ada buku secara khusus mengulas tentang pemikiran pendidikan Al Washliyah,
baik pemikiran pendidikan Al Washliyah sebagai sebuah organisasi
maupun pemikiran pendidikan tokoh-tokoh Al Washliyah sebagai bagian
dari kelompok intelektual Islam. Dengan demikian, pemikiran pendidikan
organisasi dan tokoh-tokoh Al Washliyah sama sekali belum mendapat
sentuhan ilmiah dari para ahli filsafat pendidikan Islam di Indonesia.
Dalam dunia akademis, tentu saja fakta ini menjadi sebuah prob-

23
(Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 264-285.
24
(Medan: IAIN Press, 2001), h. 179-200.
25
(Jakarta: Ciputat Press, 2004), h. 458-459.
26
(Jakarta: Ciputat Press, 2005).
27
(Jakarta: Kalam Mulia, 2010), h. 327-400.
28
(Bandung: Citapustaka Media, 2007).
114 WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM

lem tersendiri. Fakta ini mengindikasikan bahwa ada kesenjangan antara


idealita dengan realita. Fakta bahwa Al Washliyah memiliki komitmen
tinggi dan telah memberikan kontribusi besar bagi pengembangan dunia
pendidikan di Indonesia tidak diimbangi oleh keberadaan literatur ilmiah
tentang deskripsi dan analisa terhadap dimensi ilmiah dan filosofis dari
konsep pendidikan Al Washliyah. Idealnya, berbagai literatur semestinya
mendeskripsi pemikiran pendidikan Al Washliyah sebagai bukti dari
eksistensi dan kontribusi organisasi ini bagi dunia pendidikan. Namun
realita menunjukkan bahwa tidak ada sama sekali literatur ilmiah yang
menyebutkan tentang konsep pendidikan menurut Al Washliyah, baik
ditinjau dari perspektif Ilmu Pendidikan maupun Filsafat Pendidikan.
Tampaknya, masalah ini cukup layak ditelaah secara ilmiah, dan dicarikan
solusi terbaik bagi upaya melestarikan kemurnian sejarah tentang peran,
kontribusi dan pemikiran pendidikan organisasi ini.
Artikel ini akan mencoba mengenalkan dan memformulasikan pemikiran
pendidikan Al Washliyah menurut perspektif filsafat pendidikan Islam.
Tentu saja deskripsi artikel ini hanya bersifat tawaran semata, karena
sampai saat ini, belum ada rumusan dan panduan resmi tentang filsafat
pendidikan Al Washliyah. Artinya, deskripsi artikel ini sepenuhnya bukan
merupakan konsep baku tentang filsafat pendidikan Al Washliyah. Konsep
baku tersebut hanya bisa diformulasikan secara legal oleh Majelis Pendidikan
Pengurus Besar Al Washliyah sebagai perumus dan pengelola resmi
konsep-konsep dan lembaga-lembaga pendidikan Al Washliyah.

FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM: SEBUAH PENGANTAR


Filsafat pendidikan terdiri atas dua kata, yakni filsafat dan pendidikan.
Filsafat pendidikan dapat dipahami secara baik tatkala dipahami terlebih
dahulu tentang hakikat filsafat secara benar, sebelum membahas tentang
filsafat pendidikan.

Hakikat Filsafat
Filsafat pendidikan diakui sebagai cabang dari filsafat.29 Dalam tradisi

29
Syafaruddin dan Al Rasyidin, Filsafat Pendidikan Islam (Medan: IAIN Press,
2001), h. 37.
WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM 115

intelektual Islam, istilah falsafah dan hikmah menjadi istilah baku bagi
filsafat. Kata falsafah berasal dari bahasa Yunani, yakni kata philosophia.30
Kata ini merupakan gabungan dari dua kata, yakni ‘philo’ yang berarti
‘cinta’, dan kata ‘sophia’ yang bermakna ‘kebijaksanaan’. Secara harfiah,
kata ‘falsafah’ ini bermakna ‘cinta kebijaksanaan’.31 Kata falsafah berarti
sebuah kata hasil Arabisasi dari kata philosophia, sebagai bahasa Yunani,
ke bahasa Arab.32
Sementara itu, para filosof Muslim turut menggunakan istilah hikmah
sebagai istilah lain bagi filsafat. Kata hikmah diidentifikasi oleh mereka
sebagai falsafah. Secara literal, kata hikmah berarti ‘kebijaksanaan’.33
Dalam bahasa Indonesia, hikmah diartikan sebagai kebijaksanaan dari
Allah, kesaktian, makna mendalam, manfaat, kebijakan, dan kearifan.34
Secara terminologis, bahwa hikmah bukanlah hanya hasil dari kerja intelektual
pada level akal semata, namun, meminjam definisi Toshihiko Izutsu, “produk
orisinil aktifitas akal analitis yang keras dan didukung oleh tangkapan
intuitif yang penting tentang realitas.”35 Karena itu, hikmah tidak saja
dimaknai sebagai hasil aktifitas rasio manusia semata, namun dimaknai
sebagai hasil aktifitas sintesis antara rasio dan intuisi manusia dalam
memahami realitas.
Para filosof telah memberikan sejumlah definisi filsafat. Menurut
Plato, filsafat adalah pengetahuan tentang segala sesuatu. Filsafat dipahami
sebagai pencarian realitas dan kebenaran absolut. Menurut Aristoteles,
filsafat adalah suatu disiplin yang memfokuskan kepada pencarian sebab-

30
Ian Richard Netton, A Popular Dictionary of Islam (USA: Corzon Press,
1997), h. 78-79.
31
A. R. Lacy, A Dictionary of Philosophy (London: Routledge & Kegan Paul,
2000), h. 252; Mircea Eliade (ed.), The Encyclopedia of Religion (New York:
Macmillan Library References USA, 1993), h. 290.
32
Murtadha Muthahhari, Pengantar Ilmu-Ilmu Islam, terj. Ibrahim Husein
Al-Habsy, et al. (Jakarta: Lentera, 2003), h. 302.
33
Thomas Patricks Huges, Dictionary of Islam (New Delhi: Adam Publisher
& Distributions, 2002), h. 175; B. Lewis (ed.), The Encyclopaedia of Islam (Leiden:
E.J. Briil, 1971), h. 377.
34
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia cet. ke-3 (Jakarta: Balai Pustaka,
2003), h. 401.
35
Toshihiko Izutsu, The Fundamental Structure of Sabzaweri’s Metaphysics:
Introduction to the Arabic Text of Sabzaweri’s Sharh-i Manzumah (McGill: McGill
University Tehran Branch, 1969), h. 3.
116 WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM

sebab dan prinsip-prinsip segala sesuatu.36 Al-Farâbî (w. 950 M) menulis


bahwa filsafat adalah “induk ilmu-ilmu dan mengkaji segala yang ada”.
Ibn Sînâ (w. 1036 M) menulis bahwa filsafat adalah “usaha untuk mencapai
kesempurnaan jiwa melalui konseptualisasi atas segala hal dan pembenaran
realitas-realitas teoritis dan praktis berdasarkan kepada ukuran kemampuan
manusia”. Bahmanyar (w. 1066 M) menuliskan bahwa filsafat adalah
“studi tentang wujud-wujud qua wujud-wujud. Tujuan filsafat adalah
pengetahuan tentang wujud-wujud”. Mullâ Shadrâ (w. 1640 M) pernah
menyatakan bahwa “filsafat adalah suatu upaya penyempurnaan atas
jiwa manusia, dan dalam beberapa hal, atas kemampuan manusia melalui
pengetahuan tentang realita sebagaimana adanya, dan melalui pembenaran
terhadap eksistensi mereka yang ditetapkan atas dasar demonstrasi”.37
Muhammad Taqi’ Misbah Yazdi berkata bahwa filsafat adalah “ilmu yang
membahas keadaan-keadaan maujud mutlak; ilmu yang memaparkan
hukum-hukum umum kemaujudan; sehimpunan proposisi dan masalah
menyangkut maujud sejauh ia adalah maujud.”38 Mujtaba Misbah menyatakan
bahwa filsafat adalah “ilmu teoritis yang menerangkan karakteristik
wujud dengan metode rasional.”39 Beberapa kamus terbitan dunia Barat
menyebutkan sejumlah definisi filsafat, yaitu pencarian kebenaran dan
prinsip-prinsip keberadaan, pengetahuan dan tingkah laku secara rasional;40
sebuah pencarian tentang penyebab dan prinsip-prinsip realitas;41 dan
sebuah studi tentang kebenaran-kebenaran atau prinsip-prinsip dasar
dari segala pengetahuan, keberadaan dan realitas.42 Berdasarkan beberapa
definisi tersebut, bisa disimpulkan bahwa filsafat dimaknai sebagai ilmu
teoritis yang membahas hakikat realitas secara rasional.

36
William L. Reese, Dictionary of Philosophy and Religion: Eastren and Western
Thought (New York: Humanity Books, 1996), h. 573.
37
Lihat dalam Seyyed Hossein Nasr, “The Meaning and Concept of Philoso-
phy in Islam,” dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leamen (ed.), History of
Islamic Philosophy (London-NY: Routledge, 2003), h. 22-25.
38
Muhammad Taqi’ Misbah Yazdi, Buku Daras Filsafat Islam, terj. Musa
Kazim dan Saleh Bagir (Bandung: Mizan, 2003), h. 43-44.
39
Mujtaba Misbah, Daur Ulang Jiwa, terj. Jayadi (Jakarta: Al Huda, 2008), h. 15.
40
Barbara Ann Kipfer (ed.), Random House Webster’s College Dictionary
(New York: Random House Reference, 2001), h. 923.
41
Philip Babcokck Gove, Webster’s Third New International Dictionary of the En-
glish Language Unabridged (Massachusetts: G & C Merriam Company, 1966), h. 1698.
42
Grolier, Encyclopedia of Knowledge (Danbury: Brolier Incorporated, 1993), h. 373.
WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM 117

Para filosof membagi ruang lingkup filsafat menjadi dua, yaitu filsafat
teoritis (hikmah nazhariyah) dan filsafat praktis (hikmah ‘amaliyah). Filsafat
teoritis adalah ilmu tentang keadaan sesuatu (wujud) sebagaimana adanya
(maujud bi ma huwa maujud). Jadi, filsafat teoritis membahas tentang
wujud dan keberadaan dari sisi rasio manusia. Sedangkan filsafat praktis
adalah pengetahuan mengenai perilaku manusia sebagaimana seharusnya,
yang berangkat dari pemahaman tentang segala sesuatu sebagaimana
adanya. Jadi, filsafat praktis membahas tentang perintah dan larangan
atau tugas dan kewajiban manusia. Filsafat praktis menjelaskan bahwa
manusia memiliki serangkaian tugas dan kewajiban dari sisi rasio manusia.43
Objek-objek filsafat teoritis dibagi menjadi tiga yaitu objek-objek yang
secara niscaya tidak berkaitan dengan materi dan gerak (metafisika);
objek-objek yang pada dirinya immateri, tetapi terkadang melakukan
kontak dengan materi dan gerak (matematika); dan objek-objek yang
senantiasa berkaitan dengan materi dan gerak (fisika).44 Sedangkan, filsafat
praktis membahas perilaku manusia secara rasional, baik tugas-tugas
maupun kewajiban-kewajiban, atas dasar pemahaman terhadap segala
sesuatu sebagaimana adanya. Objek-objek filsafat teoritis dibagi menjadi
tiga yaitu perilaku individu (etika); perilaku kolektif pada level keluarga
(ekonomi); dan perilaku kolektif pada level kota dan negara (politik).45
Dengan demikian, ruang lingkup pembahasan filsafat mencakup masalah
metafisika, matematika, fisika, etika, ekonomi dan politik.
Sementara itu, para filosof membagi problematika filsafat menjadi
tiga, yakni ontologi, epistemologi dan axiologi. Ontologi mengkaji hakikat
segala sesuatu, epistemologi membahas hakikat pengetahuan, alat dan
sumber pengetahuan, metode meraih pengetahuan, dan kebenaran pengetahuan,
sedangkan axiologi mengkaji nilai perbuatan manusia, terutama masalah
baik dan buruk.46 Ketiga problematika ini kerap disebut sebagai cabang
filsafat ilmu.

43
Muthahhari, Pengantar Ilmu-Ilmu Islam, h. 253-254, 303.
44
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik (Bandung:
‘Arasy, 2005), h. 72-73.
45
Osman Bakar, Hierarki Ilmu: Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu
Menurut al-Farabi, al-Ghazali, dan Quthb al-Din al-Syirazi, terj. Purwanto (Bandung:
Mizan, 1997), h. 286.
46
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta:
118 WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM

Sebagai cabang filsafat, metafisika dimaknai sebagai “suatu pembahasan


filsafati secara komprehensif mengenai seluruh realitas keberadaan.”47
Para ahli membagi metafisika menjadi dua, yakni metafisika umum dan
metafisika khusus. Metafisika umum membahas masalah ontologi (keberadaan),
sedangkan metafisika khusus membahas tentang masalah teologi (ketuhanan),
kosmologi (alam) dan antropologi (manusia).48 Pembahasan semua objek
kajian metafisika ini hanya menggunakan metode rasional, meskipun
tidak dinafikan bahwa beberapa aliran filsafat Islam semacam filsafat
Illuminasi Suhrawardî49 dan filsafat Hikmah Mullâ Shadrâ50 hendak mengkaji
keberadaan-keberadaan tersebut secara kolaboratif antara akal, intuisi
dan wahyu.

Pendidikan Islam dan Filsafat Pendidikan Islam


Ada banyak versi tentang definisi pendidikan Islam. Menurut Syed
Ali Ashraf, pendidikan Islam adalah “pendidikan yang melatih sensibilitas
pelajar-pelajar sedemikian rupa, sehingga dalam perilaku mereka terhadap
kehidupan, langkah-langkah dan keputusan, serta pendekatan mereka
terhadap semua ilmu pengetahuan, diatur oleh nilai-nilai etika Islam
yang sangat dalam dirasakan.”51 Yûsuf al-Qardhâwî berpendapat bahwa
pendidikan Islam adalah “pendidikan manusia seutuhnya, baik akal, rohani,
jasmani, akhlak, maupun keterampilannya.”52 Syed Muhammad Naquib
al-Attas berkata “pendidikan Islam adalah “meresapkan dan menanamkan

Sinar Harapan, 1982), h. 33-34; Hasan Bakti Nasution, Filsafat Umum (Bandung:
Citapustaka Media, 2005), h. 37-41.
47
Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1996), h. 44.
48
Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam
(Bandung: Mizan, 2002), h. 124; Nur Ahmad Fadhil Lubis, Pengantar Filsafat
Umum (Medan: IAIN Press, 2001), h. 20.
49
Suhrawardî, Hikmah al-Isyrâq, dalam Henry Corbin (ed.), Majmu’ah Mushannafat
Syaikh Isyraq (Teheran: Anjuman Syahansyahy Falsafah Iran, 1394 H), h. 279.
50
Hasan Bakti Nasution, Hikmah Muta’aliyah: Pengantar Filsafat Islam Kontemporer
(Bandung: Citapustaka Media, 2006), h. 48-58.
51
Syed Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam, terj. Sori Siregar (Jakarta:
Firdaus, 1989), h 23; Syed Sajjad Husein dan Syed Ali Ashraf, Krisis Pendidikan
Islam, terj. Rahmani Astuti (Bandung: Risalah, 1986), h 1.
52
Yusuf al-Qardhawi, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-Banna, terj.
Bustami A Gani (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h 39.
WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM 119

adab pada diri manusia.”53 Al-Syaibani menyatakan bahwa pendidikan


Islam adalah “proses mengubah tingkah laku individu peserta didik pada
kehidupan pribadi, masyarakat, dan alam sekitarnya.”54 Ahmad D. Marimba
menyatakan bahwa pendidikan Islam adalah “bimbingan secara sadar
oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan ruhani peserta didik
menuju terbentuknya kepribadian yang utama.”55 Ahmad Tafsir berpendapat
bahwa pendidikan Islam adalah “bimbingan yang diberikan seseorang
kepada seseorang agar ia dapat berkembang secara maksimal sesuai
dengan ajaran Islam.”56 Dari sejumlah definisi ini dapat dipahami bahwa
pendidikan Islam dapat dimaknai sebagai sebuah upaya mengaktualisasikan
seluruh potensi peserta didik, baik jasmani maupun ruhani, menuju
predikat manusia sempurna (al-insan al-kamil).
Sebagai sebuah disiplin ilmu, pendidikan Islam memiliki sejumlah
unsur dan komponen dasar. Setidaknya, menurut Noeng Muhadjir, ada
enam unsur dasar pendidikan, yaitu unsur pemberi, unsur penerima, unsur
tujuan, unsur materi/isi, unsur cara dan unsur konteks positif. Sedangkan
komponen utama pendidikan adalah kurikulum, kesiapan belajar peserta
didik, alat/media, proses belajar mengajar dan lingkungan pendidikan.57
Unsur dan komponen pendidikan ini mengindikasikan bahwa permasalahan
utama pendidikan Islam mencakup masalah dasar dan tujuan pendidikan,
hakikat pendidik, hakikat peserta didik, kurikulum, metode pembelajaran,
alat/media pendidikan, evaluasi pendidikan, supervisi pendidikan, dan
pusat/lembaga pendidikan.58
Dalam merumuskan teori-teori pendidikan, Ilmu pendidikan tidak
dapat melepaskan diri dari kajian filsafat, karena filsafat menjadi pondasi

53
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, terj. Karsidjo
Djojosuwarno (Bandung: Pustaka, 1981), h 222.
54
Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, terj.
Hasan Langgulung (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h 399.
55
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Al-
Ma’arif, 1989), h. 19.
56
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2005), h. 32.
57
Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial: Suatu Teori Pendidikan
(Yogyakarta: Rake Sarasin, 1997), h. 1-8.
58
Lihat Dja’far Siddik, Konsep Dasar Ilmu Pendidikan Islam (Bandung: Citapustaka
Media, 2010).
120 WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM

bagi perumusan teori-teori pendidikan. Dalam pandangan John Dewey,


filsafat menjadi teori umum dari setiap masalah pendidikan.59 Dalam
konteks ini, seluruh konsep filsafat, seperti metafisika, dapat dijadikan
sebagai landasan bagi penyusunan konsep-konsep pendidikan seperti
tujuan pendidikan, pendidik, peserta didik, kurikulum dan materi pendidikan,
metode-metode pembelajaran, evaluasi dan supervisi pendidikan, dan
jenjang/lembaga pendidikan. Dengan demikian, kajian filsafat memberikan
sumbangsih bagi perumusan konsep-konsep dasar pendidikan.
Kelahiran filsafat pendidikan setidaknya akan menjembatani antara
teori filsafat dengan teori pendidikan. Pernyataan ini bisa dipahami secara
baik dari pandangan para ahli tentang definisi filsafat pendidikan. Al-
Syaibani, misalnya, menyatakan bahwa “filsafat pendidikan adalah pelaksanaan
pandangan dan kaedah falsafah dalam bidang pendidikan.”60 Imam Barnadib
berpendapat bahwa “filsafat pendidikan adalah jawaban dari pertanyaan-
pertanyaan dalam lapangan pendidikan, dan merupakan penerapan suatu
analisa filosofis terhadap lapangan pendidikan.”61 Menurut M. Napitupulu,
bahwa filsafat pendidikan adalah “filsafat diaplikasikan terhadap ilmu
pendidikan.”62 Menurut Arbi, filsafat pendidikan dapat dipahami sebagai
“aplikasi dari filsafat terhadap pengkajian persoalan-persoalan pendidikan.”63
Dengan demikian, filsafat pendidikan hendak menerapkan sebuah falsafah
dalam dunia pendidikan, atau menjadikan ajaran dan tema falsafah sebagai
dasar perumusan teori-teori pendidikan.
Menurut definisi filsafat pendidikan tersebut, setidaknya ada dua
sistem kerja filsafat pendidikan. Pertama. Sistem filsafat pendidikan berupa
jawaban-jawaban filosofis terhadap masalah-masalah pendidikan sepanjang
sejarah filsafat Islam. Sistem seperti ini menggunakan teori-teori filsafat
Islam masa lalu sebagai sarana perumusan konsep pendidikan Islam.
Kedua. Sistem filsafat pendidikan berupa jawaban-jawaban filosofis terhadap
masalah-masalah pendidikan terkini. Sistem ini menggunakan metode

59
John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan Company,
1946), h. 383.
60
Al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, h. 30.
61
Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan (Yogyakarta: IKIP Yogyakarta, 1984), h. 14.
62
V.M. Napitupulu, Filsafat Pendidikan (Medan: Budi Agung, 1988), h. 15.
63
Sutan Zanti Arbi, Pengantar Kepada Filsafat Pendidikan (Jakarta: Depdiknas,
1988), h. 8.
WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM 121

filsafat sebagai sarana memecahkan seluruh masalah pendidikan era


Kontemporer.64 Kedua sistem kerja filsafat pendidikan ini dapat digunakan
secara sekaligus sebagai cara merumuskan konsep pendidikan Islam.
Realita menunjukkan bahwa setiap komunitas masyarakat memiliki
falsafah yang saling berbeda, dan falsafah tersebut akan menjadi dasar
bagi setiap aspek kehidupan komunitas tersebut, baik sosial, ekonomi,
politik, budaya, seni maupun pendidikan. Setiap negara, misalnya, memiliki
falsafah yang berbeda-berbeda. Falsafah tersebut tentu akan menjadi
pondasi bagi setiap aspek kehidupan negara tersebut. Karena Indone-
sia menganut falsafah Pancasila, maka setiap aspek kehidupan negara
Indonesia ini harus sesuai dengan falsafah Pancasila. Dalam konteks
pendidikan, maka pendidikan Indonesia harus didasari kepada falsafah
Pancasila. Karena itulah dikenal istilah Filsafat Pendidikan Pancasila.
Namun, karena falsafah umat Islam adalah al-Qur‘an dan hadis, maka
konsep pendidikan Islam harus didasari oleh sinaran al-Qur‘an dan hadis.
Karena itulah dikenal istilah Filsafat Pendidikan Islam. Demikian pula
falsafah negara lain akan menjadi dasar bagi perumusan konsep pendidikan
negara tersebut.
Apabila agama menjadi dasar bagi suatu komunitas/negara, maka
agama tersebut secara otomatis akan menjadi dasar bagi seluruh aspek
kehidupan komunitas/negara tersebut, misalnya, aspek pendidikannya.
Dari sinilah akan muncul istilah filsafat pendidikan Yahudi, filsafat pendidikan
Kristen, filsafat pendidikan Islam, filsafat pendidikan Hindu, dan filsafat
pendidikan Buddha, karena komunitas tersebut menjadikan agama-agama
tersebut sebagai falsafah hidup komunitasnya. Akhirnya, keragaman
falsafah manusia ini akan menimbulkan keanekaragaman konsep pendidikan
itu sendiri. Akan tetapi, patut digarisbawahi bahwa para filosof pendidikan
hanya akan merumuskan konsep pendidikan menurut falsafah yang
dianutnya. Dengan kata lain, sebuah komunitas masyarakat akan merumuskan
konsep pendidikan sesuai falsafah komunitas tersebut.
Dalam masyarakat Islam, ajaran Islam sebagaimana tertuang dalam
al-Qur‘an dan hadis menjadi falsafah umat Islam. Falsafah tersebut menjadi
dasar bagi seluruh aspek kehidupan umat Islam termasuk aspek pendidikan.
Sebab itulah dikenal istilah Filsafat Pendidikan Islam. Hamdan Ihsan

64
Syafaruddin dan Al Rasyidin, Filsafat Pendidikan Islam, h. 36.
122 WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM

dan A. Fuad Hasan menyatakan filsafat pendidikan Islam adalah “studi


tentang penggunaan dan penerangan metode dari sistem dan aliran filsafat
dalam Islam dalam memecahkan problematika pendidikan umat Islam.”65
Ramayulis dan Samsul Nizar menyatakan bahwa “filsafat pendidikan
Islam adalah pelaksanaan pandangan dan kaidah falsafah Islam yang
diterapkan di bidang pendidikan, atau aktifitas pemikiran yang teratur
menjadikan falsafah Islam sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan
dan memadukan proses pendidikan Islam dalam upaya menjelaskan
nilai-nilai dan tujuan-tujuan yang hendak dicapainya.”66 Dengan demikian,
filsafat pendidikan Islam hendak mengimplementasikan falsafah Islam
dalam dunia pendidikan Islam, atau menjadikan falsafah Islam sebagai
dasar bagi perumusan topik-topik pendidikan Islam seperti tujuan, pendidik,
peserta didik, materi/kurikulum, metode, alat/media, supervisi, evaluasi
dan lembaga/jenjang pendidikan. Ringkasnya, semua masalah pendidikan
Islam dirumuskan menurut falsafah Islam yaitu al-Qur‘an dan hadis.
Dalam kajian filsafat pendidikan Islam, upaya merumuskan konsep
pendidikan bisa menggunakan tiga pendekatan berikut. Pertama. Pendekatan
normatif. Artinya, seorang ahli pendidikan Islam merumuskan konsep
pendidikan menurut pandangan al-Qur‘an dan hadis. Ia dapat menggali
dan merumuskan teori pendidikan menurut petunjuk al-Qur‘an dan
hadis dengan menggunakan metode tafsir/ta‘wil. Kedua. Pendekatan filosofis-
saintis. Dalam hal ini, seorang pakar filsafat pendidikan Islam merumuskan
konsep pendidikan menurut pandangan para pemikir Muslim dalam berbagai
cabang ilmu keislaman seperti teologi, filsafat, tasawuf dan sains Islam.
Ia dapat juga menggunakan pendekatan filosofis-ilmiah, baik metode rasional
maupun metode ilmiah, dalam rangka merumuskan teori-teori pendidikan
Islam. Ketiga. Pendekatan empirik/historis. Dalam konteks ini, seorang
ahli pendidikan Islam bisa merumuskan sebuah konsep pendidikan menurut
teori dan pelaksanaan pendidikan Islam masa lampau. Dalam hal ini, metode
sejarah menjadi sangat penting. Hasil pemikiran tokoh dan penyelenggaraan
pendidikan Islam masa keemasan Islam, misalnya, akan dapat menjadi
inspirasi bagi upaya merumuskan konsep pendidikan Islam pada era

65
Hamdan Ihsan dan A. Fuad Hasan, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta:
Pustaka Setia, 1998), h. 22.
66
Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam
Mulia, 2010), h. 7.
WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM 123

Kontemporer. Dalam rangka merumuskan teori pendidikan Islam, para


ahli boleh menggunakan salah satu dari tiga pendekatan ini, namun
tidak salah menggunakan ketiga pendekatan ini secara integral sekaligus.
Dengan demikian, sumber-sumber filsafat pendidikan Islam ada
dua. Pertama. Sumber normatif, yaitu al-Qur‘an dan hadis. Karenanya,
para ahli filsafat pendidikan menggunakan al-Qur‘an dan hadis sebagai
bahan mentah bagi pembentukan konsep pendidikan Islam. Kedua. Sumber
filosofis-saintis. Karena itu, para ahli filsafat pendidikan Islam menggunakan
hasil-hasil pemikiran para pemikir Islam baik dari kalangan teolog, filosof,
sufi maupun saintis Muslim dalam merumuskan konsep pendidikan
Islam. Pemikiran para pemikir Muslim ini dapat dijadikan sebagai bahan
perumusan konsep pendidikan Islam dikarenakan pemikiran tersebut
merupakan hasil ijtihad mereka terhadap al-Qur‘an dan hadis. Sumber-
sumber ini, yaitu al-Qur‘an, hadis dan ijtihad, disebut sebagai fundamen
filsafat pendidikan Islam.67
Adapun ruang lingkup pembahasan filsafat pendidikan Islam serupa
dengan ruang lingkup pembahasan filsafat, yakni ilmu teoritis berupa
metafisika (teologi, kosmologi dan antropologi), matematika, dan fisika,
serta ilmu praktis berupa etika, ekonomi dan politik. Menurut pendapat
lain, dikemukakan bahwa ruang lingkup filsafat pendidikan Islam adalah
ontologi, epistemologi dan axiologi.68 Dalam hal ini, para ahli filsafat pendidikan
Islam menggunakan teori-teori para pemikir Muslim tentang ontologi,
epistemologi dan axiologi sebagai bahan dasar dalam merumuskan suatu
konsep pendidikan Islam. Karena itulah, filsafat pendidikan Islam dipahami
sebagai aplikasi falsafah Islam terhadap masalah-masalah dunia pendidikan
Islam. Berbagai masalah pendidikan Islam akan dirumuskan menurut
teori-teori filsafat atau bahkan menggunakan metode kerja filsafat.
Sementara itu, menurut al-Syaibani, urgensi filsafat pendidikan Is-
lam adalah sebagai berikut. Pertama. Filsafat pendidikan tersebut membantu
para perancang dan pelaksana pendidikan dalam suatu negara untuk
membentuk pemikiran yang sehat tentang pendidikan. Kedua. Filsafat

67
Al Rasyidin, Falsafah Pendidikan Islami (Bandung: Citapustaka Media,
2010), h. 125.
68
Bandingkan dengan Ramayulis dan Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, h.
12; Ihsan dan Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, h. 28-43.
124 WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM

pendidikan dapat menjadi asas perumusan masalah-masalah pendidikan.


Ketiga. Filsafat pendidikan dapat menjadi dasar terbaik untuk penilaian
pendidikan dalam arti yang sesungguhnya. Keempat. Filsafat pendidikan
dapat menjadi sandaran intelektual bagi para perancang dan pelaksana
pendidikan dalam rangka membela tindakan-tindakan mereka dalam
bidang pendidikan. Kelima. Filsafat pendidikan dapat memberikan sebuah
pandangan komprehensif (mendalam) tentang sistem pendidikan sebuah
negara.69 Dengan demikian, setiap perancang dan pelaksana pendidikan
mesti memahami filsafat pendidikan secara baik dan benar, karena perannya
sebagai dasar bagi perumusan konsep pendidikan.
Ringkasnya, filsafat pendidikan Islam hendak menerapkan teori-
teori dan kaedah-kaedah falsafah Islam dalam dunia pendidikan Islam.
Misalnya, pandangan al-Qur‘an dan hadis (pendekatan normatif) tentang
Allah, alam dan manusia dapat menjadi bahan dasar bagi perumusan
konsep-konsep pendidikan Islam. Pandangan para filosof Muslim (pendekatan
filosofis-saintis) tentang Allah, alam dan manusia sebagai objek kajian
metafisika, juga dapat menjadi bahan baku untuk merancang dan merumuskan
teori-teori pendidikan Islam berkenaan dengan tujuan, hakikat pendidik
dan peserta didik, kurikulum, metode pembelajaran, evaluasi, supervisi
pendidikan, jenjang dan lembaga pendidikan Islam. Tidak sedikit dari
para ahli filsafat pendidikan Islam juga mengkolaborasikan isyarat
al-Qur‘an, hadis dan pemikiran para intelektual Muslim (seperti teolog,
filosof, sufi dan saintis Muslim) tentang Allah, alam dan manusia dalam
merumuskan konsep pendidikan Islam.

FILSAFAT PENDIDIKAN AL WASHLIYAH?


Apakah ada istilah dan konsep filsafat pendidikan Al Washliyah? Sejauh
ini, tidak/belum ditemukan istilah dan konsep baku tentang filsafat
pendidikan Al Washliyah, baik dalam berbagai literatur filsafat pendidikan
Islam maupun dalam berbagai literatur resmi milik organisasi Al Washliyah.
Sejauh ini, Al Washliyah hanya memiliki panduan seperti Pedoman
Penyelenggaraan Pendidikan Al Jam’iyatul Washliyah,70 Kurikulum Madrasah

69
Al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, h. 33-36.
70
Pengurus Besar Al Jam’iyatul Washliyah, Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan
Al Jam’iyatul Washliyah (Jakarta: PB Al Washliyah, 2000).
WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM 125

Diniyah Al Washliyah Tingkat Tsanawiyah,71 Kurikulum Madrasah Diniyah


Al Washliyah Tingkat al-Qismul ‘Aly dan Aliyah Mu’allimin,72 dan kurikulum
pendidikan Ke Al Washliyahan. Berbagai nomenklatur pendidikan Al
Washliyah tersebut belum dapat dikatakan sebagai filsafat pendidikan
Al Washliyah, karena nomenklatur-nomenklatur pendidikan tersebut
masih berada pada aspek kajian Ilmu Pendidikan, meskipun tidak dipungkiri
bahwa indikasi-indikasi filsafat pendidikan Al Washliyah masih bisa
ditemukan di dalamnya.
Alasan semua ini bisa dilihat dari pendapat dua orang penulis karya-
karya tentang Al Washliyah berikut ini. Seperti dikatakan Hasanuddin
bahwa “Al Washliyah tidak mengembangkan tasawuf.”73 Sedangkan
Azizy berpendapat bahwa “tidak banyak diketahui orang tentang falsafah
Al Washliyah, selain karena tidak ada rujukan tentang itu, adalah karena
tidak banyak yang berminat untuk menggalinya.”74 Namun tidak bisa
dipungkiri bahwa organisasi ini berperan besar mengembangkan teologi
Sunni, dibuktikan oleh fakta bahwa berbagai madrasah Al Washliyah
ini terus mengajarkan akidah Sunni secara baik dengan merujuk langsung
kepada karya-karya teologi Sunni terbaik.
Meskipun demikian, sebenarnya benih-benih filsafat pendidikan Al
Washliyah telah dirumuskan secara baik oleh para pendiri dan ulama
organisasi ini. Hanya saja, benih-benih tersebut tidak/belum dirumuskan
menjadi sebuah konsep resmi organisasi ini. Karena itu, upaya merumuskan
konsep filsafat pendidikan Al Washliyah menjadi sebuah keharusan.
Namun, setidaknya akan muncul tiga kemungkinan mengenai filsafat
pendidikan Al Washliyah. Pertama. Karena Al Washliyah menjadi bagian
dari negara Indonesia, maka filsafat pendidikan organisasi ini harus merujuk
kepada filsafat Pancasila sebagai filsafat pendidikan bangsa Indonesia.
Kedua. Karena Al Washliyah sebagai salah satu organisasi berasaskan

71
Pengurus Besar Al Jam’iyatul Washliyah, Kurikulum Madrasah Diniyah Al
Washliyah Tingkat Tsanawiyah (Jakarta: PB Al Washliyah, 2005).
72
Pengurus Besar Al Jam’iyatul Washliyah, Kurikulum Madrasah Diniyah Al
Washliyah Tingkat al-Qismul ‘Aly dan Aliyah Mu’allimin (Jakarta: PB Al Washliyah, 2005).
73
Chalidjah Hasanuddin, Al-Jam’iyatul Washliyah 1930-1942: Api Dalam
Sekam di Sumatera Timur (Bandung: Pustaka, 1988), h. 118.
74
Ahmad Hamim Azizy, Al Jam’iyatul Washliyah dalam Kancah Politik Indo-
nesia (Banda Aceh: PeNA, 2006), h. 115.
126 WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM

Islam, maka filsafat pendidikan organisasi ini merujuk kepada filsafat


pendidikan Islam. Ketiga. Al Washliyah dapat merumuskan filsafat Pendidikannya
dengan cara mengharmonisasikan antara filsafat Pendidikan Pancasila
dengan filsafat Pendidikan Islam, namun tetap dapat memberikan “warna
tersendiri” dalam merumuskan filsafat pendidikannya. Tampaknya,
kemungkinan ketiga lebih bisa diterima karena lebih dianggap lebih moderat
dan relevan dengan realita kehidupan.
Dalam hal definisi, maka pengertian filsafat pendidikan Al Washliyah
dapat dirumuskan dengan merujuk kepada pengertian filsafat pendidikan
itu sendiri. Berdasarkan uraian sebelum ini, filsafat pendidikan diartikan
sebagai “pelaksanaan pandangan dan kaedah falsafah dalam bidang pendidikan,”75
“jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dalam lapangan pendidikan,”
dan “penerapan suatu analisa filosofis terhadap lapangan pendidikan,”76
“filsafat diaplikasikan terhadap ilmu pendidikan,”77 “aplikasi dari filsafat
terhadap pengkajian persoalan-persoalan pendidikan.”78 Bila dikaitkan
dengan Al Washliyah, maka dapat dirumuskan bahwa filsafat pendidikan
Al Washliyah adalah pelaksanaan pandangan falsafah Al Washliyah dalam
dunia pendidikan Al Washliyah, atau “aplikasi falsafah Al Washliyah dalam
upaya merumuskan masalah-masalah/teori-teori pendidikan Al Washliyah.”
Dengan demikian, setiap teori pendidikan Al Washliyah, baik tentang tujuan
pendidikan, hakikat pendidik dan peserta didik, kurikulum, metode pembelajaran,
evaluasi dan supervisi, serta jenjang dan lembaga pendidikan Al Washliyah,
harus bersumber dan digali langsung dari falsafah Al Washliyah.
Dalam hal ini, sistem falsafah Al Washliyah tersebut memang belum
dirumuskan secara khusus, mengingat Al Washliyah tidak mengembangkan
sistem filsafat. Akan tetapi, falsafah tersebut tetap bisa dilihat dari panduan
normatif dan pemikiran para ulama organisasi ini. Panduan normatif tersebut
dapat dilihat dari Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Khittah, Wijhah
dan Shibghah Al Washliyah. Sedangkan pemikiran para pendiri dan ulama
Al Washliyah bisa dilihat dari karya-karya mereka seperti karya Syaikh
Muhammad Arsyad Thalib Lubis, al-Fadhil H. Adnan Lubis dan Prof.
Nukman Sulaiman. Falsafah Al Washliyah dapat dirumuskan secara

75
Al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, h. 30.
76
Barnadib, Filsafat Pendidikan, h. 14.
77
Napitupulu, Filsafat Pendidikan, h. 15.
78
Arbi, Pengantar Kepada Filsafat Pendidikan, h. 8.
WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM 127

sistematis, universal dan mendalam dengan merujuk langsung kepada


panduan normatif dan pemikiran para ulama Al Washliyah ini. Sebab
itulah, keduanya dapat menjadi sumber utama bagi perumusan konsep
pendidikan Al Washliyah.
Upaya merumuskan falsafah Al Washliyah ini masih menimbulkan
masalah. Pertama. Panduan normatif Al Washliyah belum direformulasikan
secara baik oleh Pengurus Besar Al Washliyah, kecuali AD/ART. Namun,
AD/ART Al Washliyah sendiri tidak lagi diberikan penafsiran resmi oleh
PB Al Washliyah, padahal para pendahulu organisasi ini kerap merumuskan
Tafsir AD/ART secara berkala. Selain itu, konsep Khittah, Wijhah dan Shibghah
Al Washliyah saat ini adalah rumusan lama dan belum dirumuskan ulang
secara baik sesuai dengan tuntutan zaman. Karena itu, reformulasi konsep
tersebut dan menerbitkan secara luas menjadi sebuah kemestian. Kedua.
Karya-karya para pendiri dan ulama Al Washliyah memang sangat sulit
diperoleh, karena dikoleksi secara terpisah oleh sekelompok individu dan
tidak dipublikasi ulang oleh ahli waris. Tampaknya, upaya melacak, mengumpulkan
dan mengoleksi karya-karya tersebut dalam sebuah perpustakaan tersendiri,
misalnya perpustakaan UNIVA Medan dan UMN Al Washliyah, dan ikut
menerbitkannya kembali, menjadi sebuah solusi terbaik mengatasi masalah
ini. Meskipun demikian, upaya merumuskan falsafah Al Washliyah tetap
dapat dilakukan dengan hanya memanfaatkan bahan-bahan yang ada,
sembari menunggu kelengkapan dan kebaruan bahan.
Dalam merumuskan filsafat pendidikan Al Washliyah ini, setidaknya
dua pola dapat digunakan. Pertama. Pola makro, yakni menggunakan
pendekatan filsafat pendidikan Islam pada umumnya seperti pendekatan
normatif, pendekatan filosofis-saintis, dan pendekatan empiris/historis.
Kedua. Pola mikro. Agar filsafat pendidikan tersebut memiliki warna khas
Al Washliyah, maka cukup pantas digunakan pendekatan normatif dalam
arti merujuk kepada khittah, wijhah, shibghah, dan AD/ART Al Washliyah,
dan pendekatan filosofis-saintis dalam arti merujuk kepada pemikiran
para ulama Al Washliyah. Tentu saja, harmonisasi kedua pola ini akan
melahirkan sebuah sistem filsafat pendidikan yang khas Al Washliyah.
Adapun ruang lingkup filsafat pendidikan Al Washliyah tentu tidak
berbeda dengan ruang lingkup filsafat pendidikan pada umumnya, yaitu
ontologi, epistemologi, dan axiologi. Pandangan Al Washliyah tentang
ontologi, epistemologi dan axiologi bisa ditelaah dan diformulasikan
128 WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM

dengan merujuk kepada panduan normatif dan karya-karya para ulama


Al Washliyah. Karenanya, merumuskan sebuah pandangan utuh tentang
hal ini menjadi sebuah kemestian. Dari pandangan Al Washliyah ini–
misalnya pandangan Al Washliyah tentang ontologi yang mencakup pandangan
tentang hakikat Allah, alam dan manusia–bisa menjadi bahan dasar
bagi perumusan konsep pendidikan versi Al Washliyah.

FORMULASI FILSAFAT PENDIDIKAN AL WASHLIYAH


Sebelum merumuskan konsep filsafat pendidikan Al Washliyah,
tentu harus dirumuskan terlebih dahulu tentang pandangan Al Washliyah
tentang, misalnya, metafisika, baik Tuhan, alam, maupun manusia. Oleh
karena Al Washliyah tidak mengembangkan tasawuf dan filsafat, sehingga
tidak diketahui konsepnya tentang metafisika, terutama konsep Tuhan,
alam dan manusia, namun konsep organisasi ini tentang Tuhan, alam dan
manusia bisa dilihat dari panduan normatif dan karya-karya para ulamanya.

Konsep Tuhan
Pandangan Al Washliyah tentang hakikat Tuhan dapat dilihat dari
konsep teologi yang dianut oleh organisasi ini. Dalam Anggaran Dasar
dan Rumah Tangga Al Jam’iyatul Washliyah disebutkan bahwa “Al Washliyah
berasaskan Islam dalam i’tikad, dalam hukum fikih bermazhab Ahlus
Sunnah wal Jama’ah dengan mengutamakan mazhab Syafi’i.”79 Ramli
Abdul Wahid mengemukakan bahwa Al Washliyah menganut aliran Ahl
al-Sunnah wa al-Jama’ah. Menurutnya, paham organisasi ini dalam bidang
akidah dapat dilihat melalui fatwa Al Washliyah, kitab-kitab yang menjadi
silabus berbagai madrasahnya, dan tulisan-tulisan para ulama Al Washliyah.
Berbagai kitab akidah rujukan Al Washliyah adalah Kifayah al-Awwam
fi ‘Ilm al-Kalam karya Muhammad al-Fudhaili, Hushun al-Hamidiyah li
al-Muhafaz ‘ala al-‘Aqa’id al-Ismaliyah karya Husain bin Muhammad

79
Pengurus Besar Al Jam’iyatul Washliyah, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
Tangga Al Jam’iyatul Washliyah (Jakarta: PB Al Washliyah, 2010), h. 5. Pada tahun
1955 dan 1977, disebutkan bahwa “Perkumpulan ini berasaskan Islam, dalam hukum
fiqih bermazhab Syafi’i, dan dalam i’tikad Ahlus Sunnah wa Jama’ah.” Lihat Nukman
Sulaiman (ed.), Al Jam’iyatul Washliyah ¼ Abad (Medan: PB Al Washliyah, 1955),
h. 342; PB Al Jam’iyatul Washliyah, Al Jam’iyatul Washliyah (Medan: PB Al Washliyah,
1977), h. 3.
WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM 129

al-Jasar al-Tharablusi, dan Hasyiyah ‘ala al-Dusuqi ‘ala ‘Umm al-Barahin.


Sedangkan karya-karya teologi para ulama Al Washliyah, antara lain Pelajaran
Iman dan Perbandingan Agama Kristen dan Islam karya Muhammad Arsyad
Thalib Lubis (w. 1972), ‘Aqidah Islamiyah karya Nukman Sulaiman, Ilmu
Tauhid karya Rasyad Yahya dan Ilmu Tauhid karya Ahmad.80 Berdasarkan
pemahaman terhadap berbagai karya ini, bisa dilihat pandangan Al Washliyah
tentang tauhid, dan dari konsep tauhid ini dapat dirumuskan beberapa
konsep filsafat pendidikan Al Washliyah.
Ramli Abdul Wahid mengemukakan bahwa karya-karya teologi tersebut
menjelaskan konsep rukun iman. Yaitu kepercayaan terhadap Allah,
malaikat, kitab-kitab samawi, rasul-rasul, hari pembalasan, takdir dan
sifat dua puluh. Kajian sifat dua puluh tersebut mencakup kajian tentang
dua puluh sifat yang wajib (mesti ada), dua puluh sifat yang mustahil
(tidak mungkin) dan yang jaiz (boleh) bagi Allah, serta membahas empat
sifat yang wajib, empat sifat yang mustahil dan satu sifat yang jaiz bagi
rasul. Tema-tema ini menjadi kajian spesifik dari aliran Asy’ariyah,81 sebagai
aliran pendukung Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Dengan demikian, konsep
Al Washliyah tentang tauhid (ketuhanan) dapat dilihat dari konsep sifat
dua puluh ini.
Al Washliyah meyakini keberadaan dan keesaan Allah sebagai pencipta
alam semesta ini. Menurut Muhammad Arsyad Thalib Lubis bahwa Tuhan
adalah Esa dan tidak ada Tuhan selain-Nya. Setiap rasul mengajarkan
bahwa Allah itu Esa, tidak memiliki anak, tidak dilahirkan, dan tidak
memiliki sekutu. Setiap manusia dilarang menyekutukan-Nya dengan
segala sesuatu. Para penolak dan penyekutu Tuhan dijatuhi hukuman
sebagai seorang kafir. Bila setiap manusia mau menggunakan pertimbangan-
pertimbangan akal sehatnya, ia akan meyakini bahwa Allah itu Ada
dan Esa. Dia tidak melahirkan dan dilahirkan dan tidak memiliki sekutu.
Akhirnya, ia akan mengakui kebesaran Tuhan dan menunjukkan segenap
jiwa untuk mengabdi hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa tersebut.82

80
Ramli Abdul Wahid, “Al Jam’iyatul Washliyah: Studi Tentang Mazhab Akidah
dan Fiqih,” dalam Syaiful Akhyar Lubis (ed.), Peran Moderasi Al Washliyah (Medan:
UNIVA Press, 2008), h. 20-21.
81
Ibid., h. 21.
82
Muhammad Arsyad Thalib Lubis, Keesaan Tuhan Menurut Ajaran Kristen
dan Islam (Jakarta: Hudaya, 2006), h. 7-13, 50.
130 WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM

Dengan demikian, Al Washliyah mengakui keberadaan, keesaan, dan


kebesaran Allah sehingga setiap manusia meski mengabdikan diri kepada-
Nya, sedangkan sikap menolak keberadaan dan keesaan Tuhan adalah
salah satu bentuk kekafiran.
Al Washliyah mengakui keberadaan sifat-sifat Allah. Sifat-sifat Allah
bisa dibagi menjadi tiga, sifat wajib bagi Allah, sifat mustahil bagi Allah
dan sifat yang boleh bagi Allah. Sifat-sifat wajib bagi Allah antara lain
adalah al-wujûd, al-qidam, al-baqâ’, al-mukhalafatu li al-hawâdits, al-
qiyâmu bi nafsih, al-wahdaniyyah, al-qudrah, al-irâdah, al-’ilm, al-hayah,
al-sam’, al-bashar, al-kalâm, qâdirun, muridun, ‘alimun, hayyun, sami’un,
bashirun, dan mutakallimun. Sifat-sifat mustahil bagi Allah adalah al-
’adam, al-huduts, al-fanâ’, al-mumatsalah, al-ihyatiyaj ila mahal, ta’addud,
al-‘ajz, al-karâhah, al-jahl, al-maut, al-shamam, al-‘ama, al-kharas, kaunuhu
ta’ala ‘ajizan, kaunuhu ta’ala kârihan, kaunuhu ta’ala jâhilan, kaunuhu
ta’ala mayyitan, kaunuhu ta’ala al-shamma, kaunuhu ta’ala a’ma, dan
kaunuhu ta’ala abkam. Sedangkan beberapa sifat ja’iz bagi Allah antara
lain yakhluq al-khair wa al-syar (menciptakan kebaikan dan keburukan).
Sebagaimana kalangan teolog Sunni lain, Al Washliyah mengakui bahwa
berbagai sifat tersebut bukanlah zat itu sendiri, tetapi sifat-sifat tersebut
lain dari Zat (la hiya hiya wa lâ hiya ghairuha (bukanlah dia [sifat-sifat]
itu Zat, dan bukan pula dia lain dari pada Zat).83 Secara umum, inilah
pandangan Al Washliyah tentang Tuhan, dan konsep ini harus menjadi
dasar bagi perumusan konsep pendidikan Al Washliyah.
Al Washliyah memandang bahwa mengenali dan mengakui keberadaan
Tuhan dan agama-Nya sangat penting. Dalam Wijhah Al Washliyah disebutkan
bahwa “anti agama dan anti Tuhan merupakan unsur yang sangat
berbahaya.”84 Jadi, Al Washliyah sangat menentang ateisme dan komunisme,
karena kedua paham ini sangat anti terhadap agama dan Tuhan sebagai
pencipta alam.

83
Lihat Muhammad al-Fudhaili, Kifayah al-Awam (t.t.: t.p., t.t.).
84
Bahari Emde, “Wijhah Al Washliyah,” dalam Ismed Batubara dan Ja’far
(ed.), Bunga Rampai Al Jam’iyatul Washliyah (Banda Aceh: Al Washliyah Uni-
versity Press, 2010), h. 43.
WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM 131

Konsep Manusia
Konsep manusia menurut Al Washliyah bisa dirumuskan secara baik
dengan merujuk kepada panduan normatif dan karya-karya para ulamanya.
Al Washliyah, seperti dilihat dalam pemikiran Muhammad Arsyad Thalib
Lubis, memandang bahwa manusia terdiri atas jasmani dan ruhani.
Selain itu, Allah menganugerahi manusia dengan tiga potensi, yaitu
akal, hati dan nafsu. Dari ketiga potensi tersebut, maka hati menjadi potensi
paling menentukan dalam mewujudkan kepribadian manusia, sebab
bila hati baik dan bersih, maka semua potensi lain akan menjadi baik,
seperti akal menjadi tajam dan nafsu hanya melakukan kepada perbuatan
yang diridhai Allah.85 Dengan demikian, Al Washliyah memandang penting
pendidikan hati demi membentuk manusia sempurna, apalagi peran
sentral hati sebagai pendidik akal dan nafsu.
Muhammad Arsyad Thalib Lubis, seperti diungkap dalam penelitian
Prof. Muhammad Hasballah Thaib, menjelaskan bahwa ada dua eksistensi
manusia, yaitu eksistensi manusia sebagai makhluk individu dan eksistensi
manusia sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk individu, manusia
berasal dari ciptaan Allah. Sebagai makhluk sosial, setiap manusia harus
membina hubungan baik dengan manusia lain, dan relasi antar sesama
manusia tersebut bahkan tidak hanya berlaku sewaktu seseorang manusia
masih hidup, namun berlaku setelah manusia tersebut mati.86
Menurut Muhammad Arsyad Thalib Lubis, fungsi manusia adalah
sebagai khalifah Allah di muka bumi. Tugas khalifah tersebut adalah
menciptakan suatu masyarakat yang memiliki hubungan baik dengan
Allah (habl min Allah), kehidupan masyarakat yang harmonis (habl min
al-nas), serta memelihara agama, akal dan budaya secara baik.87
Secara khusus, Muhammad Arsyad Thalib Lubis membagi fungsi manusia
menjadi empat bagian. Pertama. Fungsi manusia terhadap Allah. Dalam
hal ini, manusia berkewajiban mengabdikan diri/beribadah hanya kepada
Allah, baik berupa ibadah mahdhah maupun ibadah ghair al-mahdhah.

85
Muhammad Hasballah Thaib, Manusia dalam Pandangan H.M. Arsyad
Thalib Lubis (Medan: UNIVA Medan, 1997), h. 54-55.
86
Ibid., h. 65-72.
87
Ibid., h. 72-75.
132 WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM

Ibadah mengandalkan suatu pertanggungjawaban bagi setiap individu


manusia kepada Allah (fardhu ‘ain) dan sesama manusia (fardhu kifayah).88
Kedua. Fungsi manusia terhadap diri sendiri. Dalam hal ini, manusia
dikaruniai akal, hati dan nafsu. Karena itu, manusia harus mendidik ketiga
potensi manusia tersebut secara seimbang. Bila seseorang hanya mendidik
hatinya saja, maka ia akan terjerumus ke dalam kehidupan yang serba
spiritual. Bila ia terlalu menitikberatkan kepada potensi akalnya saja,
maka ia akan terjerumus ke dalam kehidupan yang serba rasional.89 Artinya,
seseorang harus mengaktualisasikan potensi-potensi tersebut secara
optimal dan seimbang.
Ketiga. Fungsi manusia terhadap masyarakat. Dalam hal ini, setiap
manusia memikul beban kewajiban terhadap individu lain. Setiap individu
memiliki berbagai tanggung jawab terhadap masyarakat, dan tanggungjawab
tersebut didasari kepada kemanusiaan dan kekeluargaan. Sebab itulah,
pendirian dan pelestarian sebuah organisasi, misalnya, menjadi sangat
penting demi menciptakan keharmonisan dalam masyarakat.90
Keempat. Fungsi manusia terhadap alam. Dalam hal ini, setiap manusia
dituntut untuk senantiasa memelihara, memanfaatkan, dan melindungi
alam semesta, baik mineral, tumbuhan, maupun hewan, secara ‘arif.91
Dengan demikian, mengutip Thaib, Muhammad Arsyad Thalib Lubis
sebagai pendiri Al Washliyah berpendapat bahwa sebagai makhluk individu
dan makhluk sosial, manusia berfungsi sebagai khalifah Allah di muka
bumi ini. Seorang manusia dituntut menjadi manusia sempurna, dan
prediket manusia sempurna tersebut akan diperoleh manakala setiap
manusia mampu memfungsikan dirinya sebagai hamba Allah, memfungsikan
dirinya untuk dirinya sendiri dengan mengoptimalkan seluruh potensi
diri secara seimbang, pengharmonis kehidupan masyarakat, dan pemelihara,
pemanfaat dan pelindung alam ciptaan-Nya.92
Menurut Al Washliyah, sebagaimana terekam dalam pandangan
Nukman Sulaiman, bahwa manusia dituntut menjadi sosok ulu al-albab

88
Ibid., h. 85.
89
Ibid., h. 76.
90
Ibid., h. 82-83.
91
Ibid., h. 92-93.
92
Ibid., h. 98.
WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM 133

(manusia berakal). Manusia berakal ini memiliki ciri-ciri seperti menepati


janji, suka silaturahmi, takut kepada siksaan Tuhan, takut kepada buruknya
berat amal di akhirat, sabar karena mengharap keridhaan Allah, menegakkan
salat, suka menafkahkan rezeki karena alasan taat kepada-Nya, dan menolak
kejahatan dengan kebaikan. Manusia seperti ini dipastikan akan memperoleh
kebaikan dunia dan akhirat.93
Nukman Sulaiman, dengan mengutip pendapat al-Ghazali, bahwa
manusia terdiri atas empat kelompok. Pertama. Manusia yang tahu, dan
dia tahu bahwa dia tahu. Ini adalah orang yang berilmu. Kedua. Manusia
yang tahu, tetapi dia tidak tahu bahwa dia tahu. Ini adalah orang yang
lalai. Ketiga. Manusia yang tidak tahu, tetapi ia tahu bahwa ia tidak tahu.
Ini adalah orang bodoh. Keempat. Manusia yang tidak tahu, dan dia tidak
tahu bahwa dia tidak tahu. Ini adalah orang yang dungu.94 Nukman
menghendaki agar setiap manusia menjadi kelompok pertama, karena
manusia seperti ini memiliki ilmu, serta mengamalkan ilmunya secara
konsisten dan ikhlas.95
Al Washliyah mengakui bahwa setiap Muslim wajib mengetahui bahkan
mentauladani para nabi dan rasul, karena mereka semua adalah manusia-
manusia saleh, memiliki derajat tertinggi dalam komunitas manusia
dan memiliki sifat-sifat mulia. Para nabi memiliki sifat-sifat mulia seperti
jujur (al-shidq), amanah (al-amanah), menyampaikan (tabligh), dan
cerdik (al-fathanah). Selain itu, para nabi dan rasul memiliki sifat-sifat
yang mustahil dalam diri mereka seperti dusta (al-kazib), khianat (al-
khianah), menyembunyikan (al-kitman), dan pelupa (al-ghaflah). Terakhir,
para nabi dan rasul memiliki sifat ja‘iz, yakni bahwa mereka memiliki
sifat-sifat kemanusiaan dan sifat-sifat ini tidak membuat dan menimbulkan
kekurangan dalam diri mereka.96 Selain memiliki sifat-sifat ini, Al Washliyah
mengakui bahwa Nabi Muhammad SAW. sebagai manusia dan nabi paling
mulia. Menurut Muhammad Arsyad Thalib Lubis, bahwa Nabi memiliki
akhlak sangat mulia seperti pemberani, pengasih, pemurah, rendah hati,

93
Nukman Sulaiman, Ulu’l Al Bab, Jilid XI (Medan: t.p., t.t.).
94
Nukman Sulaiman, Wasiat Luqman Kepada Anaknya, Jilid XXXXVII (Medan:
t.p., t.t.), h. 14.
95
Nukman Sulaiman, Manusia Empat Macam, Jilid XXXIX (Medan: t.p.,
t.t.), h. 15.
96
Al-Fudhaili, Kifayah al-Awam, h. 202-219.
134 WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM

pemaaf.97 Dengan demikian, Al Washliyah mengakui bahwa para nabi


dan rasul sebagai manusia mulia memiliki sifat-sifat wajib, sifat-sifat mustahil
dan sifat-sifat ja‘iz, dan ketiga jenis sifat tersebut mengindikasikan bahwa
para nabi dan rasul adalah manusia-manusia mulia sepanjang sejarah,
sehingga harus menjadi tauladan bagi setiap manusia. Dalam konteks
ini, Al Washliyah menghendaki bahwa setiap Muslim mampu menauladani
karakter kenabian ini.
Al Washliyah mengakui bahwa manusia terdiri atas laki-laki dan
perempuan. Dalam Wijhah Al Washliyah disebutkan bahwa “pria dan wanita
memiliki kesamaan hak menurut pembawaan dan fungsinya masing-
masing.”98 Sebab itulah, Al Washliyah menentang segala bentuk diskriminasi
dalam hal relasi antara laki-laki dan perempuan.
Terakhir, Al Washliyah memandang bahwa manusia seharusnya
memiliki sifat-sifat mulia, misalnya suka berjamaah dan bersilaturahmi,
berkata manis dan lemah lembut, berpenampilan rapi, manis dan tidak
berlebih-lebihan, cermat meneliti suatu persoalan dan tidak boleh tergesa-
gesa, tekun dalam beribadah, dan ikhlas dalam melaksanakan tugas-
tugas.99 Sifat-sifat mulia ini berasal merupakan Shibghah Al Washliyah,
dan konsep ini dapat disebut sebagai bagian dari falsafah Al Washliyah.
Berdasarkan konsep tauhid dan manusia tersebut, maka merumuskan
filsafat pendidikan Al Washliyah menjadi mudah. Seharusnya, konsep
tauhid dan manusia sebagai falsafah Al Washliyah menjadi dasar bagi
perumusan konsep pendidikan Al Washliyah. Meskipun disadari bahwa
konsep ketauhidan dan manusia ini belum sistematis dan komprehensif.
Namun setidaknya, bahwa konsep-konsep tersebut dapat menjadi kerangka
awal bagi perumusan filsafat pendidikan Al Washliyah.
Pernyataan-pernyataan tersebut tidak berarti bahwa Majelis Pendidikan
Al Washliyah harus merombak sistem pendidikan Al Washliyah selama
ini. Sebab, ditemukan bahwa sistem pendidikan Al Washliyah sudah sesuai
dengan falsafah Al Washliyah, sebagaimana telah diuraikan. Hanya saja
sejauh ini, tampaknya belum ada upaya optimal untuk memberikan landasan

97
Muhammad Arsyad Thalib Lubis, Riwayat Nabi Muhammad SAW. (Medan:
Sumber Ilmu, t.t.), h. 67.
98
Bahari Emde, “Wijhah Al Washliyah,” h. 42.
99
Ibrahim Lubis, Kepribadian Anggota dan Pengurus, h. 4-12.
WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM 135

filosofis bagi sistem pendidikan Al Washliyah sesuai dengan falsafah


Al Washliyah itu sendiri. Buktinya, belum/tidak ada rumusan baku dan
resmi tentang filsafat pendidikan Al Washliyah. Padahal, secara teoritis,
filsafat pendidikan sangat penting sekali sebagai dasar perumusan sebuah
konsep pendidikan.
Indikasi bahwa sistem pendidikan Al Washliyah sesuai dengan falsafah
Al Washliyah bisa dilihat dari makna pendidikan Al Washliyah. Dalam
Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Al Jam’iyatul Washliyah disebutkan
bahwa pendidikan Al Washliyah adalah “pendidikan yang berakar pada
ajaran Islam dengan ciri khasnya (Shibghah dan Khittah Al Washliyah),
yaitu jiwa dari Mukaddimah Anggaran Dasar, Akidah dan Tujuan Organisasi.”100
Berdasarkan pernyataan ini, dapat diketahui bahwa sistem pendidikan
Al Washliyah memang relevan dengan falsafah Al Washliyah sebagaimana
telah dirumuskan di atas.
Dalam konteks tujuan pendidikan Al Washliyah, misalnya, disebutkan
bahwa tujuan pendidikan formal Al Washliyah adalah sebagai berikut.
Pertama. Pendidikan Al Washliyah bertujuan membentuk manusia mukmin
yang bertaqwa, berpengetahuan luas dan dalam, berbudi pekerti yang
tinggi, cerdas dan tangkas dalam berjuang menuntut kebahagiaan dunia
dan akhirat. Kedua. Mengembangkan dan menyebarkan ilmu pengetahuan,
teknologi dan/atau kesenian serta mengupayakan penggunaannya untuk
meningkatkan taraf hidup dan menumbuhkembangkan masyarakat madani.101
Akan tetapi, ini adalah tujuan pendidikan formal Al Washliyah, tujuan
yang hendak dicapai oleh madrasah-madrasah, sekolah-sekolah, dan
berbagai perguruan tinggi milik Al Washliyah.
Muktamar Al Washliyah ke XIV di Medan ikut merumuskan konsep
tujuan pendidikan keluarga (informal) dan tujuan pendidikan masyarakat
(non-formal). Tujuan pendidikan informal Al Washliyah adalah “membentuk
rumah tangga bahagia, harmonis dan penuh diliputi rasa tanggungjawab
timbal balik dan rasa ketaqwaan kepada Allah SWT.” Sedangkan tujuan
pendidikan masyarakat adalah “membina masyarakat ummat yang beriman
dan bertaqwa kepada Allah SWT., memiliki rasa sosial dan peri kemanusiaan

100
PB Al Washliyah, Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan, h. 7.
101
PB Al Washliyah, Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan, h. 7.
136 WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM

yang mendalam, serta terikat ketat dengan tali ukhuwah Islamiyah, sesuai
dengan ajaran agama Islam dan Pancasila.”102
Bila ditinjau dari sudut filosofis, maka tujuan pendidikan Al Washliyah
ini sangat relevan dengan falsafah Al Washliyah tentang ketauhidan
dan manusia sempurna. Dalam konsep ketauhidan, Al Washliyah mengakui
keberadaan dan keesaan Allah. Sebagai Pencipta, Allah memiliki Zat
dan sifat-sifat. Dalam hal sifat, Allah SWT. memiliki dua puluh sifat wajib,
dua puluh sifat mustahil dan sifat jai’iz. Al Washliyah meyakini bahwa
akal sehat manusia akan dapat mengakui keberadaan, keesaan dan
kebesaran Ilahi, sehingga akal sehat akan mengarahkan manusia kepada
bentuk pengabdian kepada-Nya. Al Washliyah bahkan menilai bahwa
anti Tuhan dan anti agama adalah paham sesat dan berbahaya, bahkan
pelakunya dipandang sebagai kafir. Sebab itulah, pendidikan Al Washliyah
bertujuan untuk membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa
kepada Allah SWT.
Bahwa upaya mewujudkan manusia “berpengetahuan luas dan dalam,
berbudi pekerti yang tinggi, cerdas dan tangkas” adalah berasal dari
falsafah Al Washliyah tentang manusia. Al Washliyah memandang bahwa
manusia memiliki tiga potensi. Dari ketiga potensi ini, maka hati menjadi
potensi paling menentukan dalam mewujudkan kepribadian manusia,
sebab bila hati baik dan bersih, maka semua potensi lain akan menjadi
baik, misalnya akal menjadi tajam dan nafsu hanya melakukan perbuatan
terpuji sesuai perintah Ilahi. Meskipun demikian, Al Washliyah memandang
bahwa ketiga potensi tersebut harus dididik secara optimal dan seimbang,
sehingga tidak boleh salah satu dari ketiga potensi tersebut mendominasi.
Tujuan pendidikan ini juga berasal dari tujuan organisasi Al Washliyah,
sebagaimana telah tercantum dalam AD/ART Al Washliyah, yakni “menegakkan
ajaran Islam untuk terciptanya masyarakat yang beriman, bertakwa,
cerdas, amanah, adil, makmur dan diridai Allah SWT.” Sedangkan upaya
mewujudkan manusia yang “menuntut kebahagiaan dunia dan akhirat”
adalah rumusan dari tujuan organisasi Al Washliyah sejak awal pendiriannnya.103

102
Majelis Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan PB Al Washliyah, Pola
Pembangunan Al Jam’iyatul Washliyah dalam Bidang Pendidikan, Pengajaran dan
Kebudayaan (Makalah tidak diterbitkan).
103
Nukman Sulaiman (ed.), Al Jam’iyatul Washliyah, h. 342.
WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM 137

Dengan demikian, rumusan tujuan pendidikan Al Washliyah ini memiliki


basis filosofis dan relevan dengan falsafah Al Washliyah.
Dalam konteks pendidik, Al Washliyah merumuskan beberapa kriteria
menjadi seorang pendidik. Disebutkan bahwa menurut Al Washliyah,
ada beberapa syarat menjadi seorang guru sekolah/madrasah. Sejumlah
syarat tersebut adalah beriman dan bertaqwa kepada Allah, memiliki
kepribadian Al Washliyah, mematuhi AD/ART Al Washliyah serta peraturan
MPK Al Washliyah, memiliki loyalitas kepada organisasi Al Washliyah,
memiliki kompetensi keguruan, kewenangan dan kelayakan sesuai dengan
tingkatan sekolah/madrasah tempat bertugas, dan memiliki akhlakul
karimah dan dapat menjadi teladan di tengah-tengah masyarakat.104 Selain
itu, disebutkan beberapa syarat menjadi seorang dosen, seperti beriman
dan bertaqwa kepada Allah, berwawasan Pancasila dan UUD 1945, memiliki
komitmen tinggi terhadap organisasi Al Washliyah, memiliki kualifikasi
sebagai tenaga pengajar, memiliki integritas moral yang tinggi, memiliki
rasa tanggungjawab yang besar terhadap masa depan agama, bangsa
dan negara, dan mengajukan permohonan.105
Berdasarkan konsep pendidik ini, jelas sekali bahwa konsep pendidik
versi Al Washliyah ini memiliki relevansi dengan falsafah Al Washliyah
tentang manusia sempurna. Rincian syarat menjadi pendidik dalam
berbagai lembaga pendidikan Al Washliyah tersebut sesuai dengan fungsi
manusia, baik fungsi manusia terhadap Allah, fungsi manusia terhadap
diri sendiri, fungsi manusia terhadap masyarakat dan fungsi manusia
terhadap alam.
Akan tetapi, tampaknya konsep pendidik menurut Al Washliyah
harus lebih dirincikan secara baik sesuai falsafah Al Washliyah tentang
manusia. Sesuai dengan falsafah Al Washliyah tentang manusia sempurna,
seharusnya pendidik Al Washliyah adalah manusia yang mampu mengemban
fungsinya sebagai Khalifah Allah, dengan ciri seperti mengabdikan diri
hanya kepada Allah, berhasil dalam mengoptimalkan ketiga potensinya
(hati, akal dan nafsu) secara seimbang, mampu menjadi tauladan bagi
masyarakat, serta mampu memelihara, memanfaatkan dan melindungi
ciptaan-Nya.

104
PB Al Washliyah, Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan, h. 51.
105
Ibid., h. 111.
138 WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM

Selain itu, para pendidik Al Washliyah hendaknya mampu menjadi


sosok ulu al-albab (manusia berakal) dengan ciri-ciri seperti menepati
janji, suka silaturahmi, takut kepada siksaan Tuhan, takut kepada buruknya
berat amal di akhirat, sabar karena mengharap keridhaan Allah, menegakkan
salat, suka menafkahkan rezeki karena alasan taat kepada-Nya, dan
menolak kejahatan dengan kebaikan. Tidak kalah penting, bahwa pendidik
Al Washliyah harus menjadi kelompok manusia yang tahu, dan dia tahu
bahwa dia tahu yaitu orang yang berilmu. Manusia seperti ini memiliki
ilmu, serta mengamalkan ilmunya secara konsisten dan ikhlas.
Selain itu, pendidik Al Washliyah harus mampu mentauladani para
nabi dan rasul, karena mereka semua adalah manusia-manusia saleh,
memiliki derajat tertinggi dalam komunitas manusia dan memiliki sifat-
sifat mulia. Para nabi memiliki sifat-sifat mulia seperti jujur (al-shidq),
amanah (al-amanah), menyampaikan (tabligh), dan cerdik (al-fathanah).
Selain itu, para nabi dan rasul tidak bersifat dusta (al-kazib), khianat (al-
khianah), menyembunyikan (al-kitman), dan pelupa (al-ghaflah). Dalam
hal ini, para pendidik Al Washliyah harus mampu menauladani kepribadian
para nabi dan rasul. Tentu ini adalah bentuk aplikasi salah satu rukun
iman (percaya kepada para nabi dan rasul) dalam dunia pendidikan.
Terakhir, para pendidik Al Washliyah mesti mampu menerapkan
Shibghah Al Washliyah. Adapun ciri warga Al Washliyah adalah memiliki
sifat-sifat mulia, misalnya suka berjamaah dan bersilaturahmi, berkata
manis dan lemah lembut, berpenampilan rapi, manis dan tidak berlebih-
lebihan, cermat meneliti suatu persoalan dan tidak boleh tergesa-gesa,
tekun dalam beribadah, dan ikhlas dalam melaksanakan tugas-tugas.
Sebab itu, para pendidik Al Washliyah sebagai bagian dari warga Al Washliyah
harus menginternalisasikan karakter khas ini.

PENUTUP
Harus diakui bahwa keberadaan peran dan pemikiran Al Washliyah
dalam berbagai literatur ilmu pengetahuan belum begitu menggembirakan.
Dalam bidang pendidikan, misalnya, literatur-literatur pendidikan belum
banyak menguak kiprah Al Washliyah, meskipun kenyataan membuktikan
bahwa peran Al Washliyah dalam dunia pendidikan sangat besar dan
tidak dapat dinafikan begitu saja. Namun fakta ini mengundang sebuah
tanda tanya besar, mengapa Al Washliyah belum mendapat perhatian
WACANA PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM 139

dari para ahli? Tentu saja jawabannya adalah bukan karena organisasi
ini tidak memberikan kontribusi bagi pengembangan pendidikan di Indonesia.
Fakta menunjukkan bahwa ada beberapa faktor penyebab kelangkaan
karya ilmiah tentang konsep pendidikan Al Washliyah. Pertama. Sulit
sekali menemukan data-data tertulis tentang organisasi ini. Data-data
tertulis tidak/belum dikoleksi secara baik dalam sebuah perpustakaan/
pusat dokumentasi. Banyak data-data tertulis organisasi misalnya arsip-
arsip organisasi dan karya-karya ulama dan pemikir organisasi ini disimpan
oleh sekelompok individu. Belum ada upaya serius melacak, mencari dan
mengoleksi data-data tersebut dalam sebuah tempat. Problem ini tentu
membuat para peneliti menemukan kesulitan dalam melakukan penelitian
tentang geliat dari organisasi ini. Kedua. Beberapa sarjana, misalnya
mahasiswa Program Pascasarjana IAIN Sumatera Utara, telah melakukan
riset berharga tentang peran Al Washliyah dalam berbagai bidang, terutama
bidang pendidikan. Meskipun masih sebatas penelitian sejarah pendidikan,
bukan filsafat dan ilmu pendidikan, belum ada upaya menerbitkan dan
mempublikasikan berbagai hasil riset tersebut. Tampaknya, peran Al Washliyah
menjadi penting dalam upaya menerbitkan berbagai hasil penelitian tersebut.
Penerbitan ini memberikan banyak keuntungan bagi Al Washliyah, baik
secara ekonomis, politis maupun sosiologis-psikologis. Sampai detik ini,
penelitian terhadap pendidikan Al Washliyah masih menjadi ladang
penelitian yang menjanjikan.

Anda mungkin juga menyukai