Anda di halaman 1dari 13

PEMIKIRAN DAN PEMBARUAN ISLAM

PERTI

Disusun oleh:
Rahmad Furqan : 200501009

Dosen Pembimbing:
Prof. Dr. H. Misri A. Muchsin, M.Ag.

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-
RANIRY DARUSSALAM BANDA ACEH
TAHUN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadiran Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul PEMIKIRAN DAN
PEMBARUAN ISLAM PERTI ini tepat pada waktunya. Adapun tujuan penulisan dari
makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari Bapak Prof. Dr. H. Misri A. Muchsin,
M.Ag. pada mata kuliah pemikiran dan pembaruan dalam islam, Selain itu makalah ini
juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang Belajar bagi para pembaca dan juga
bagi penulis.
Saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. H. Misri A. Muchsin,
M.Ag. selaku Dosen yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang Saya tekuni. Saya menyadari,
makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Banda Aceh, November 2022


BAB I

PEMIKIRAN DAN PEMBAHARUAN PERTI

Sejarah perti

Perti yaitu persatuan tarbiyah islamiah adalah organisasi Islam di Indonesia yang
berhaluan Syafii-Asy'ari. organisasi ini berawal dari Persatuan Madrasah Tarbiyah Islamiyah
(PMTI) yang didirikan oleh Syekh Sulaiman Ar-Rasuli pada 5 Mei 1928 atau 15 Zulqaidah
1346 H di Canduang, Agam, Sumatra Barat dan dalam perkembangannya sempat menjadi
partai politik bernama Partai Islam PERTI.

Persatuan Tarbiyah Islamiyah dibentuk oleh alim ulama Kaum Tua yang secara ajaran
masih satu haluan dengan organisasi Islam tradisionalis seperti Nahdlatul Ulama di Jawa.
PERTI dalam amaliah berpedoman kepada fikih Syafii, akidah Asy'ari, dan tasawuf Sunni
dengan mengikuti tarekat-tarekat muktabar. Sebagian besar anggota dan simpatisan PERTI
mengikuti Naqsyabandiyah-Khalidiyah dan selebihnya adalah pengikut tarekat lain seperti
Syattariyah di Padang dan Pariaman, Sumatra Barat serta di Kuta Krueng dan Seulimeum,
Aceh.

Awal persatuan Tarbiyah Islamiyah berawal dari berdirinya Madrasah Tarbiyah


Islamiyah (MTI) di Candung, Agam, Sumatra Barat pada 5 Mei 1928. MTI Canduang
didirikan oleh Syekh Sulaiman ar-Rasuli gelar Inyiak Canduang. Pada hari yang sama
didirikan juga MTI Jaho oleh Syekh Muhammad Jamil Jaho al-Djamili gelar Inyiak Jaho.
Pendirian MTI ini dimaksudkan sebagai upaya modernisasi lembaga pendidikan Kaum Tua
(tradisionalis).

Upaya yang di maksud kan dimulai oleh Syekh Abbas al-Qadhi dengan mendirikan
Arabiyah School di Ladang Lawas pada 1918 dan Islamiyah School di Aur Tajungkang,
Bukittinggi pada 1924 untuk menandingi gencarnya gerakan pengembangan lembaga
pendidikan milik Kaum Muda (modernis) di Sumatra Barat. Pendirian MTI Candung dan
MTI Jaho mendorong pendirian MTI-MTI di tempat lainnya, seperti MTI Tabek Gadang
oleh Syekh Abdul Wahid ash-Shalihi, MTI Batu Hampar milik Syekh Muhammad Arifin
al-Arsyadi, dll.
Setelah kemunculan MTI-MTI di Sumatra Barat, pada tahun 1928 Inyiak Canduang
mendirikan Persatuan Madrasah Tarbiyah Islamiyah untuk menghubungkan MTI-MTI
tersebut. Sebelumnya, ulama-ulama Kaum Tua di Sumatra Tengah pernah berhimpun di
dalam organisasi bernama Ittihad Ulama Sumatera yang didirikan oleh Syekh Muhammad
Saad Mungka pada 1921.Pada 19–20 Mei 1930, Syekh Sulaiman Ar-Rasuli mengumpulkan
ulama Kaum Tua untuk membicarakan masa depan MTI pada muktamar di Surau Tangah,
Canduang.

Hasil muktamar di Bukittinggi menyepakati untuk mengubah Persatuan Madrasah


Tarbiyah Islamiyah menjadi organisasi Persatuan Tarbiyah Islamiyah yang dapat disebut
dengan PTI sekaligus menetapkan tanggal 5 Mei 1928 sebagai hari lahirnya Persatuan
Tarbiyah Islamiyah. Dalam struktur pengurus, Sulthani Abdullah sebagai ketua pertama dan
Ghazali P. Tanjung sebagai sekretaris. PTI saat itu berkantor pusat di Bukittinggi. Pada
1931, dalam rapat di Batuhampar, dilakukan pengalihan jabatan ketua dari Sulthani kepada
Syekh Abdul Madjid Koto Nan Gadang dan jabatan sekretaris dari Ghazali kepada
Syahruddin Marajo Dunia. Pada tahun berikutnya, berlangsung kongres di Koto Nan Ampek
yang melahirkan keputusan untuk merubah nama organisasi menjadi Persatuan Pendidikan
Islam Indonesia (PPII). Perubahan nama ini ditolak oleh ulama-ulama tua Persatuan
Tarbiyah Islamiyah sehingga sempat menimbulkan fiksi di tubuh organisasi ditambah lagi
karena memakai nama Indonesia, PPII dicurigai oleh pemerintah Hindia Belanda mengusung
visi kemerdekaan Indonesia, sehingga beberapa pengurusnya dibuang ke Boven Digoel oleh
pemerintah kolonial Belanda. Dinamika ini menyebabkan stagnasi organisasi hingga tahun
1934.

Peristiwa di atas menyebabkan para pendiri, sesepuh dan aktivis muda Tarbiyah Islamiyah
sepakat mengembalikan identitas dan nama Persatuan Tarbiyah Islamiyah serta mengangkat
Buya H. Hasan Basri sebagai Ketua Umum Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Bersamaan
dengan itu, Buya Rusli Abdul Wahid mengusulkan akronim PERTI sebagai sebutan dan
singkatan Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Upaya pengaktifan kembali Persatuan Tarbiyah
Islamiyah ini sedikit tersendat dikarenakan Buya Hasan Basri akibat masalah kesehatan
mengembalikan mandatnya sebagai ketua umum PERTI kepada kongres.
Setelahnya, kongres di Bukittinggi pada 11–16 Februari 1935 menetapkan Buya
Sirajuddin Abbas sebagai Ketua Umum Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Bersamaan dengan
itu dirumuskan juga anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) Persatuan
Tarbiyah Islamiyah sekaligus mengesahkan akronim PERTI sebagai singkatan Persatuan
Tarbiyah Islamiyah. Selanjutnya juga,
PERTI menerbitkan majalah Soearti (Soeara Tarbijah Islamijah) sebagai kelanjutan dari
majalahAl-Mizan.

Awalnya Persatuan Tarbiyah Islamiyah terbentuk di Sumatra Barat, kemudian tersebar ke


beberapa daerah di Indonesia seperti Aceh, Riau, Jambi, dan Bengkulu.

Jaringan PERTI di Sumatra Barat terdiri dari sejumlah MTI, PPTI, atau pondok pesantren yang
sealiran. Beberapa MTI yang masih menerima santri dalam jumlah besar antara lain MTI
Candung, MTI Batang Kabung, dan MTI Pasir. Selain MTI dan PPTI, ada beberapa pondok
pesantren yang tak menyandang sebutan Tarbiyah Islamiyah tetapi masih memiliki kaitan keilmuan
dengan alim ulama PERTI, seperti Pondok Pesantren Nurul Yaqin yang didirikan oleh Syekh Ali
Imran Hasan (lulusan PPTI Malalo) pada 1960 di Ringan-Ringan] dan Pondok Pesantren Ashhabul
Yamin yang didirikan oleh Buya Zamzami Yunus (lulusan MTI Canduang) pada 1992 di Lasi Tuo.

Di Aceh, perkembangan PERTI tidak terlepas dari peran Syekh Muhammad


Waly gelar Abuya Muda Waly, ulama terkenal Aceh yang membuka cabang pertama di Labuhan
Haji pada 15 Mei 1942. Pada tahun yang sama Abuya Muda Wali mendirikan Dayah Darussalam
Labuhan Haji yang kemudian mencetak beberapa ulama ternama Aceh dengan jaringan lulusannya
mencakup sebagian besar dayah di Aceh.

PERTI masuk ke Riau melalui Kampar atas dorongan Syekh Abdul Gani, ulama


Naqsyabandiyah terkemuka di XIII Koto Kampar. Buya Aidarus Gani, putra Syekh Abdul Gani
dan murid Abuya Muda Waly, mendirikan MTI Batu Bersurat (kini Pondok Pesantren Darussalam
Saran Kabun) pada 1956 yang beberapa lulusannya menjadi pendiri pesantren di Riau.
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pembaharuan dalam pendidikan

Penyangga utama PERTI sebagai lembaga pendidikan Islam berada pada keberadaan Madrasah
Tarbiyah Islamiyah (MTI) yang berkembang sejak berdirinya MTI Canduang. Kurikulum MTI
sebenarnya setaraf dengan kurikulum pesantren pada umumnya sehingga beberapa MTI kemudian
mengganti sebutannya menjadi Pondok Pesantren Madrasah Tarbiyah Islamiyah (PPMTI)
atau Pondok Pesantren Tarbiyah Islamiyah (PPTI) agar tidak dianggap sebagai
sekadar madrasah dalam pengertian Kementerian Agama.

Pada 1937, tidak kurang dari 400 MTI didirikan di seluruh Hindia Belanda dengan jangkauan
terjauh sampai ke Lamakera, Nusa Tenggara Timur. Dalam perkembangannya, beberapa MTI juga
didirikan di luar negeri diantaranya MTI Sungai Burung, Balik Pulau, Pulau Pinang, Malaysia dan
Madrasah Tarbiyah Islamiyah Diniyyah Al Irsyadiyah, Kampong Acheh, Yan, Kedah, Malaysia.
Pada masa reformasi, MTI masih menerima banyak murid walau jumlah MTI di seluruh Indonesia
mengalami penurunan. Diperkirakan, sampai saat ini terdapat lebih dari 2.355 MTI (baik yang
bersifat pesantren, Madrasah/Sekolah dan Boarding School) dan 15.113 lembaga pendidikan TPA,
Diniyah di Mushalla dan Masjid/Surau yang berafilisasi dengan PERTI dengan kurang lebih 9
(sembilan) juta alumni/jama’ah/simpatisan di Indonesia.

Kurikulum MTI pada masa awal adalah murni kajian kitab kuning sebelum akhirnya ditambah
dengan pelajaran umum pada sekitar 1950-1960. Kitab-kitab PERTI banyak dijadikan rujukan oleh
para ulama dan santri di Indonesia seperti I’itiqad Ahlus Sunnah wal Jama’ah, 40 Masalah Agama
yang terdiri dari empat jilid, Fiqh – Sirajul Munir,  Bayan – Bidayatul Balaghah, Ilmul Insya,
Sirajul Bayan fi Fihrasati Ayatil Qur’an, dan Ilmun Nafs,  dll) terlebih lagi hampir 55 % pola
pendidikan Islam yang ada di Indonesia mengadopsi system Diniyah, Madrasah atau Boarding
School.
Pada 26 Januari 1969, PERTI mendirikan Universitas Ahlussunnah (UNAS) di Bukittinggi
dengan rektor pertamanya adalah Buya Ma'ana Hasnutiy, Lc, MA. Saat itu UNAS hanya
mempunyai satu fakultas, yaitu Fakultas Tarbiyah. Kini kelanjutan perguruan tinggi tersebut
dikenal sebagai Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Ahlussunnah Bukittinggi. Pada 10 April 1997,
didirikan juga Sekolah Tinggi Agama Islam Yayasan Tarbiyah Islamiyah (STAI YASTIS) Padang.
Dalam perkembangannya beberapa perguruan tinggi yang berafilisasi dengan PERTI juga didirikan
di luar Sumatra Barat seperti Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Islamiyah (STITI) Nusa Tenggara
Barat.

Khusus bidang pendidikan, MTI semakin berkembang pesat. Hingga pada tahun 1937, tercatat
sebanyak 137 MTI di Minangkabau, dan di beberapa tempat luar Minangkabau. Pada tahun 1938,
didirikan pula sebua madrasah khusus untuk putri, yaitu MTI putri di Bengkawas, Bukittinggi yang
dipimpin Ummi Hj. Syamsiah Abbas dimana pada tahun 1940 tercatat memiliki murid sekitar 250
orang. Bahkan pada tahun 1937, misalnya, jumlah murid di MTI Jaho mencapai sekitar 700 orang,
kemudian MTI Candung dengan jumlah murid sebanyak 500 orang, dan pada tahun 1938 mencapai
500 orang murid. Sedangkan pada tahun 1942, sudah terdapat 300 MTI di berbagai daerah dengan
45.000 murid.

Isu yang mengatakan PERTI hanyalah organisasi lokal dan partai kecil, kelihatannya membuat
para peneliti kurang tertarik menjadikan objek studi. Padahal menurut Deliar Noer, pada tahun
1945 saja organisasi ini sudah mempunyai cabang hampir diseluruh Sumatera dan beberapa daerah
lainnya di luar pulau sumatera, sperti Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan dengan anggota
sekitar 400.000 orang. Ditahun ini, juga tercatat 350 buah madrasah milik perti sejak zaman kanak-
kanak sampai perguruan tinggi. Oleh karena itu perlu dipertegas lagi, tidak mustahil organisasi
“kaum tua” yang mengklaim dirinya sebagai pengikut Ahlussunnah Waljama’ah dan mazhab
Syafi’I ini, mempunyai banyak studi yang menarik untuk dikaji.

Kini, nama besar MTI tampaknya lebih didominasi oleh kejayaannya pada masa lampau.
Meskipun beberapa MTI masih bertahan dan cukup diminati oleh masyarakat seperti MTI
Candung, MTI Pasir, MTI Jaho dan lainnya, akan tetapi secara umum MTI mulai kehilangan nama.
Tak bisa dipungkiri, banyak MTI yang kualitasnya di bawah standar, kurang terurus, kondisi fisik
serta tenaga pendidik dan kependidikan demikian memprihatinkan. Padahal, dari MTI telah banyak
melahirkan ulama-ulama dan tokoh-tokoh masyarakat yang berpengaruh, baik di tingkat lokal
maupun nasional. Hingga kini, kiprah alumni MTI pun cukup terasa baik di bidang akademisi,
maupun sosial-politik.

Menyikapi persoalan ini, hemat penulis MTI mesti melakukan reorientasi sesuai dengan
perkembangan zaman dengan tetap mempertahankan karakteristiknya sebagai lembaga pendidikan
yang menekankan Tafaqqahu fi al-Din dan memelihara mazhab Imam Syafi’i. Dalam hal ini, MTI
mesti melakukan reorientasi kurikulum. Orientasi MTI adalah mengajarkan ilmu-ilmu yang
bersifat Tafaqqahu fi al-Din, sebagaimana pesantren lain yang berkembang di tanah Jawa. Hanya
saja, Tafaqqahu fi al-Din yang dikembangkan berpahamkan Ahlussunnah wal-Jamaah dengan fiqh
Imam Syafi’i, teologi al-Asy’ari dan al-Maturidhi serta tasawuf al-Ghazali. Untuk itu, setiap MTI
mesti memiliki bidang-bidang tertentu, seperti tafsir, hadis, fiqh, atau gramatika bahasa Arab
(Nahu, Sharaf, dll.). Namun, saat ini kurikulum yang diterapkan di MTI terlalu banyak. Paling
tidak ada tiga bentuk mata pelajaran yang diajarkan kepada santri; (1) mata pelajaran umum yang
biasa diterapkan di sekolah umum, (2) mata pelajaran agama yang biasa diterapkan di MTs atau
MA, dan (3) mata pelajaran khusus pesantren. Akibatnya, setumpuk mata pelajaran tersebut
membebani santri sehingga mereka sulit menguasai ilmu-ilmu yang termasuk dalam kategori
tafaqqahu fi al-din secara mendalam.

MTI – termasuk  pesantren yang juga mengalami persoalan ini – mesti memperjuangkan ke
tingkat pusat agar MTI dan pesantren yang sejenis diberikan kebebasan untuk mendesain
kurikulum yang bersifat tafaqqahu fi al-din tersebut. Jika mata pelajaran umum harus ada
sebagaimana yang diatur dalam Permendiknas no. 22, 23, dan 24 hendaklah mendasar saja.
Sementara mata pelajaran yang diterapkan di MTs dan MAS tidak perlu lagi diberlakukan, karena
substansi mata pelajaran yang bercorak Tafaqqahu fi al-Din tersebut tentu melebihi dari yang
diharapkan.

Hanya saja, MTI juga dituntut untuk mampu beradaptasi dengan perkembangan dunia modern,
tanpa harus menghilangkan karakteristik dasarnya. Dalam hal ini, MTI perlu mendesain
kurikulkum yang bercorak tafaqqahu fi al-din tersebut secara lebih terstruktur, sesuai dengan
prinsip-prinsip yang diberlakukan dalam KTSP. Artinya, setiap guru/ustadz/syekh juga diharapkan
terampil mendesain kurikulum mulai dari merencanakan, menerapkan hingga mengevaluasi dan
menindaklanjuti setiap materi yang diberikan. Selain itu, perkembangan IT yang demikian pesat
juga perlu dikuasai oleh setiap santri sehingga MTI tidak terkesan tradisional-konvensional yang
ketinggalan zaman.
Lalu ada pula yang beranggapan MTI sebagai lembaga pendidikan formal mesti mampu
menyiapkan lulusannya ke PTU. Karenanya telah dibuka pula jurusan umum, seperti IPA dan IPS
di tingkat Madrasah Aliyah. Kebijakan itu bisa diteruskan dan dikembangkan. Akan tetapi, jurusan
keagamaan yang bercorak Tafaqqahu fi al-Din tersebut mesti lebih besar dan diutamakan, sehingga
MTI tidak mengalami pergeseran dari orientasi semula.

Selain dari orientasi kurikulum, aspek manajerial MTI pun mesti ditingkatkan, baik secara
internal maupun eksternal. Pengelola MTI hendaklah berjiwa ikhlas sebagaimana yang telah
diajarkan para pendiri terdahulu. Bukankah Syekh Sulaiman ar-Rasuli pernah mengkhawatirkan
perubahan dari halaqah kepada klasikal akan berdampak kepada ketidakikhlasan guru dalam
mengajar karena gaji yang mulai ditetapkan? Meskipun akhirnya ia menyetujui dan memotori
perubahan itu, akan tetapi nilai-nilai keikhlasan tersebut haruslah dipertahankan.

Di samping syarat keikhlasan, para pemimpin/pengelola MTI diharapkan memiliki skill


leadership yang unggul dan mampu beradaptasi dengan kebutuhan zaman. Mereka dituntut
membuka tangan terhadap perubahan-perubahan sesuai dengan tantangan dan kebutuhan zaman,
tanpa harus mengorbankan ciri khasnya sebagai lembaga pendidikan Islam yang berorientasi
kepada Tafaqqahu fi al-Din.

Kemudian, peran alumni perlu pula dioptimalkan. Alumni MTI saat ini banyak ditemukan di
berbagai instansi dan profesi, mulai dari guru, politisi, pegawai, akademisi, bahkan guru besar pun
banyak lahir dari MTI.

Optimalisasi peran alumni juga dapat diorganisir melalui organisasi PERTI yang nota-benenya
diduki oleh alumni MTI. Persoalannya adalah kemanakah orientasi PERTI? Sebaiknya orientasi
PERTI lebih menekankan pada aspek pendidikan dari pada aspek politik. Konsekuensinya,
pengurus PERTI pun dituntut memiliki pemahaman yang lebih terhadap urusan pendidikan dari
pada urusan politik sehingga visi-misi serta program strategis PERTI lebih banyak mengurus dan
memperhatikan pendidikan dibanding politik. PERTI harus realistis, umat memang butuh peran
PERTI dalam sosial-masyarakat, termasuk politik, akan tetapi bidang pendidikan melalui MTI
lebih membutuhkan lagi. Melalui pendidikanlah perjuangan PERTI akan tetap berkelanjutan.
Tanpa adanya perubahan dan kepedulian orang-orang yang dibesarkan dari MTI, agaknya MTI
akan mengalami mati suri dan kejayaannya hanya menjadi prasasti di kemudian hari. Maka Milad
PERTI ke-82 ini hendaknya menjadi momentum bagi alumni dan masyarakat Sumatera Barat
terhadap peningkatan kualitas Madrasah Tarbiyah Islamiyah. MTI adalah aset Sumatera Barat,
lembaga pendidikan yang lahir di ranah Minangkabau yang sarat dengan agama dan adat serta
terkenal dengan filosofis Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah.

Tahun 1928-1957, kurikulumnya 100% agama dengan memakai kitab kuning. Mulai tahun
1957, kurikulum MTI Candung telah mengadopsi kurikulum umum dan berkembang secara
bertahap sampai munculnya SKB tiga menteri 1974 dengan rasio: 70% agama dan 30% umum, dan
tetap berlaku sampai sekarang. Fase Perkembangan Pendidikan MTI Candung di Masa Syeikh
Sulaiman ar-Rasuli.

Tahun 1908 merupakan sistem halaqah sebagai awal pendidikan Madrasah Tarbiyah
Islamiyah Candung yang bertempat di Surau Baru, berakhir pada tahun 1928. Di tanggal 5 Mei
1928, maka pendidikan madrasah mulai diberlakukan dengan memakai sistem kalsikal dengan
lama pendidikan adalah 9 tahun.

Pada tanggal 20 Mei 1930 organisasi yang dirintis bersama akhirnya tuntas dalam suatu
bentuk pembahasan yang intensif yang disebut dengan “Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI)”, 
kondisi ini berjalan sampai tahun 1945 dalam rangka mempertahankan eksistensi dan
perkembangan Madrasah Tarbiyah Islamiyah yang telah berkembang di Indonesia Pada tanggal 24
September 1936, diadakan suatu rapat di Candung yang dihadiri oleh ketua dan para guru
Madrasah Tarbiyah Islamiyah dengan salah satu keputusannya adalah menyamakan kurikulum bagi
seluruh Madrasah Tarbiyah Islamiyah yang ada di Indonesia.

Kemudian di tahun 1938, Persatuan Tarbiyah Islamiyah mengadakan Muktamar di Bukittinggi


yang intinya memutuskan untuk menyusun rencana kurikulum berupa daftar pelajaran yang
diseragamkan untuk seluruh Madrasah Tarbiyah Islamiyah Memasuki tahun 1950, Madrasah
Tarbiyah Islamiyah Candung mulai didaftarkan pada Departemen Agama serta tahun 1970 kembali
didaftarkan untuk kedua kalinya, sehingga perencanaan tersebut mendapat kendala dengan sikap
masyarakat yang menentang masuknya pelajaran yang ditawarkan Dapertemen Agama karena ada
bentuk kekhawatiran yang tumbuh ditengah-tengah masyarakat bahwa pendidikan tarbiyah akan
“dihapuskan” Tahun 1961 berdirilah sebuah yayasan sebagai tempat bernaungnya sebuah
pendidikan swasta yang dinamakan dengan Yayasan Syeikh Sulaiman ar-Rasuliy. Yayasan ini
bertugas untuk memikirkan, merencanakan dalam penyelenggaraan pendidikan, pembangunan, dan
perbaikan madrasah ini.
2. Pembaharuan dan perkembangan politik perti

Persatuan Tarbiyah Islamiyah awalnya ikut berjuang di kancah politik dengan bergabung
dalam Gabungan Politik Indonesia (GAPI) menggunakan identitas Persatuan Pendidikan Islam
Indonesia dan turut memberikan konsepsi kenegaraan pada tahun 1939. Memasuki tahun 1944.

Pada konferensi PERTI pada 22 November 1945, diputuskan Persatuan Tarbiyah Islamiyah
akan memasuki area politik. Organisasi itu bertransformasi menjadi Partai Islam
PERTI, persatuan dalam akronim PERTI juga berubah menjadi pergerakan. Perubahan ini
dikukuhkan kembali pada kongres atau muktamar IV di Bukittinggi tanggal 24-26 Desember 1945.
Sekaligus mengukuhkan Buya Sirajuddin Abbas yang sebelumnya merupakan ketua umum
pengurus besar menjadi Ketua Dewan Partai Tertinggi (DPT) dan Buya Rusli Abdul
Wahid menjadi Ketua Dewan Pengurus Pusat (DPP). Sementara itu, Maulana Syaikh Sulaiman Ar-
Rasuli ditetapkan sebagai Ketua Majelis Penasihat Pusat (MPP). Pada 1950, Partai Islam PERTI
mengklaim memiliki lebih dari satu juta anggota.

Dalam Pemilihan Umum 1955, Partai Islam PERTI berhasil meraih 483.014 suara sehingga
mendapatkan empat kursi DPR-RI dan tujuh kursi Konstituante. Setelah Konstituante dan DPR
hasil Pemilu dibubarkan oleh Presiden Soekarno, Persatuan Tarbiyah Islamiyah mendapatkan dua
kursi di DPR-GR. Dua tokoh pemimpin PERTI juga pernah dipercaya menjabat menteri negara
pada masa pemerintahan Soekarno. Kedua ulama tersebut adalah Sirajuddin Abbas sebagai Menteri
Keselamatan Negara RI dan Rusli Abdul Wahid sebagai Menteri Negara Urusan Umum dan Irian
Barat.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan

Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) adalah nama sebuah organisasi massa Islam nasional yang
berbasis di Sumatera Barat. Organisasi ini didirikan pada 5 Mei 1928 di Sumatera Barat, dan
berakar dari para ulama Ahlussunnah wal jamaah. Kemudian organisasi ini meluas ke daerah-
daerah lain di Sumatera, dan juga mencapai Kalimantan dan Sulawesi.

Lahirnya Organisasi PERTI diprakarsai oleh Syekh Sulaiman Ar-Rasuly, berawal dari
perkumpulan ulama-ulama kaum tua yang bernama Ittihadul. Dari perkumpulan itu lahir Madrasah
Tarbiyah Islamiyah yang disingkat dengan MTI.

Untuk menyatukan ulama-ulama kaum tua, terutama para pengelola madrasah dalam suatu wadah
organisasi, maka dibentuklah organisasi Persatuan Tarbiyah Islamiyah yang disingkat dengan PTI.
Kemudian atas kesepakatan bersama, singkatan PTI berubah menjadi PERTI.

Dalam perkembangannya, PERTI mendirikan madrasah-madrasah / sekolah, membangun sejumlah


masjid dan panti asuhan. Selain itu, PERTI juga membangun klinik dan rumah sakit melalui
Yayasan Rumah Sakit Islam (Yarsi). PERTI juga aktif dalam kancah politik, akan tetapi tidak lama
kemudian, PERTI mendeklarasikan sebagai organisasi masa keagamaan yang independen.

Anda mungkin juga menyukai