Anda di halaman 1dari 11

BAB 6

 Aisyiyah didirikan pada 27 Rajab 1335 H/19 Mei 1917 dalam perhelatan akbar nan meriah
bertepatan dengan momen Isra Mi’raj Nabi Muhammad. Sembilan perempuan terpilih sebagai
sang pemula kepemimpinan perdana ‘Aisyiyah. Siti Dawimah, Siti Dalalah, Siti- Busyro (putri
beliau  endiri), Siti Dawingah, dan Siti Badilah Zuber, dan Siti Bariyah mendapatkan amanah
sebagai Ketua pertama ‘Aisyiyah Berdirinya ‘Aisyiyah telah
 dimulai sejak diadakannya perkumpulan Sapa Tresna di tahun 1914, yaitu perkumpulan gadis-
gadis terdidik di sekitar Kauman. Sapa Tresna belum merupakan organisasi, hanya suatu gerakan
pengajian saja. Oleh karena itu,untuk memberikan suatu nama yang kongkrit menjadi suatu
perkumpulan, K.H. Mokhtarmengadakan pertemuan dengan KHA. Dahlan yang  juga dihadiri
oleh H. Fakhrudin dan Ki Bagus Hadikusumo serta pengurus Muhammadiyah lainnya di rumah
Nyai Ahmad Dahlan. Awalnya  iusulkan nama Fatimah, untuk orga- nisasi perkumpulan kaum
wanita Muhammadiyah itu, tetapi nama  itu tidak diterima oleh rapat.
Haji Fakhrudin kemudian mengusulkan nama Aisyiyah yang kemudian  di terima oleh rapat tersebut.
Nama Aisyiyah dipandang lebih tepat bagi gerakan wanita ini karena  didasari  pertimbangan bahwa
perjuangan wanita yang akan digulirkan ini diharapkan dapat meniru  perjuangan Aisyah, isteri Nabi
Muhammad, yang selalu membantu Rasulullah dalam berdakwah. peresmian Aisyiyah dilaksanakan
bersamaan peringatan Isra' Mi'raj Nabi Muhammad pada  tanggal 27 rajab 1335 H, bertepatan 19 Mei
1917 M. Peringatan Isra' Mi'raj tersebut merupakan peringatan yang diadakan Muhammadiyah
untuk  pertama kalinya. Selanjutnya, K.H. Mukhtar memberi bimbingan administrasi dan organisasi,
sedang untuk bimbingan jiwa keagamaannya dibimbing langsung oleh KHA. Dahlan.
NAISYATUL AISYIYAH
NA sebenarnya bermula dari ide Somodirdjo, seorang guru Standart School Muhammadiyah. Dalam
usahanya untuk memajukan Muhammadiyah, ia menekankan bahwa perjuangan Muhammadiyah akan
sangat terdorong dengan adanya peningkatan mutu ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada para
muridnya, baik dalam bidang spiritual, intelektual, maupun jasmaninya .Pada tahun 1919 Somodirdjo
berhasil mendirikan  erkumputan yang anggotanya terdiri dari para remaja putra-putri siswa Standart
School muhammadiyah. Perkumputan tersebut diberi nama Siswa Praja (SP). Tujuan dibentuknya Siswa
Praja adatah menanamkan rasa persatuan, memperbaiki akhlak, dan memperdalam agama
Pada awalnya, SP mempunyai ranting-ranting di sekolah Muhammadiyah yang ada, yaitu di Suronatan,
Karangkajen, Bausasran, dan Kotagede. Seminggu sekali anggota SP Pusat memberi tuntunan ke ranting-
ranting. Setelah lima bulan berjalan, diadakan pemisahan antara anggota laki-laki dan perempuan dalam
SP. Kegiatan SP Wanita dipusatkan di rumah Haji Irsyad (sekarang Musholla Aisyiyah Kauman).
Kegiatan SP Wanita adatah pengajian, berpidato, jama'ah subuh, membunyikan kentongan untuk
membangunkan umat Islam Kauman agar menjalankan kewajibannya yaitu shalat shubuh, mengadakan
peringatan hari-hari besar Islam, dan kegiatan keputrian. Tahun 1950, Muhammadiyah mengadakan
Muktamar untuk mendinamisasikan gerak dan langkahnya. Muktamar tersebut memutuskan bahwa
Aisyiyah ditingkatkan menjadi otonom. NA dijadikan bagian yang diistimewakan dalam Aisyiyah,
sehingga terbentuk Pimpinan Aisyiyah seksi NA di seluruh level pimpinan Aisyiyah. Dengan demikian, hat
ini berarti NA berhak mengadakan konferensi tersendiri.

Pada Muktamar Muhammadiyah di Palembang tahun 1957, dari Muktamar Aisyiyah disampaikan
sebuah prasaran untuk mengaktifkan anggota NA yang pokok isinya mengharapkan kepada Aisyiyah
untuk memberi hak otonom kepada NA. Prasaran tersebut disampaikan oleh Baroroh. Selanjutnya pada
Muktamar Muhammadiyah di Jakarta pada tahun 1962, NA diberi kesempatan untuk mengadakan
musyawarah tersendiri. Kesempatan ini dipergunakan sebaik-baiknya oleh NA dengan menghasilkan
rencana kerja yang tersistematis sebagai sebuah organisasi.
Pada Sidang Tanwir Muhammadiyah tahun 1963 diputuskan status otonom untuk NA. Di bawah
kepemimpinan Majelis Bimbingan Pemuda, NA yang  saat itu diketuai oleh Siti Karimah mulai
mengadakan persiapan-persiapan untuk mengadakan musyawarahnya yang pertama di Bandung. Dengan
didahului mengadakan konferensi di Solo, maka berhasillah NA dengan munasnya pada tahun 1965
bersama-sama dengan Muktamar Muhammadiyah dan Aisyiyah di Bandung.
Prinsip Gerakan  NasyiatulAisyiyah, sering juga disebut Nasyiah, adatah organisasi otonom dan
kader Muhammadiyah yang merupakan gerakan putri Islam yang bergerak di bidang keagamaan,
kemasyarakatan dan keputrian.
Tujuan organisasi ini ialah membentuk pribadi putri Islam yang berarti bagi agama, keluarga dan
bangsa menuju terwujudnya masyarakat utama, adil, dan makmur yang diridhai oleh Allah.
Pemuda Muhammadiyah adalah salah satu organisasi otonom Muhammadiyah, yang merupakan gerakan
Islam, amar ma'ruf nahi munkar, bersumber pada Al-Quran dan As-Sunnah. Pimpinan Pusat Pemuda
Muhammadiyah berkedudukan di ibukota Negara Republik Indonesia. Sejarah Awal berdirinya Pemuda
Muhammadiyah secara kronologis dapat dikaitkan dengan keberadaan Siswo Proyo Priyo (SPP), suatu
gerakan yang sejak awal diharapkan K.H. Ahmad Dahlan dapat melakukan kegiatan pembinaan terhadap
remaja/pemuda Islam. Dalam perkembangannya SPP mengalami kemajuan yang pesat, hingga pada
Konggres Muhammadiyah ke-21 di Makasar pada tahun 1932 diputuskan berdirinya Muhammadiyah
Bagian Pemuda, yang merupakan bagian dari organisasi dalam Muhammadiyah yang secara khusus
mengasuh dan mendidik para pemuda keluarga Muhammadiyah. Keputusan Muhammadiyah tersebut
mendapat sambutan luar biasa dari kalangan pemuda keluarga Muhammadiyah, sehingga dalam waktu
relatif singkat Muhammadiyah Bagian Pemuda telah terbentuk di hampir semua ranting dan cabang
Muhammadiyah. Dengan demikian pembinaan Pemuda Muhammadiyah menjadi tanggung jawab
pimpinan Muhammadiyah di masing-masing level. Misalnya, di tingkat Pimpinan Pusat Muhammadiyah
tanggung jawab mengasuh, mendidik dan membimbing Pemuda Muhammadiyah diserahkan kepada
Majelis Pemuda, yaitu lembaga yang menjadi kepanjangan tangan dan pembantu Pimpinan Pusat yang
memimpin gerakan pemuda. Selanjutnya dengan persetujuan Majelis Tanwir, Muhammadiyah Bagian
Pemuda dijadikan suatu ortom yang mempunyai kewenangan mengurusi rumah tangga organisasinya
sendiri. Akhirnya pada 26 Dzulhijjah 1350 H bertepatan dengan 2 Mei 1932 secara resmi Pemuda
Muhammadiyah berdiri sebagai ortom.
Gerakan Kepanduan Hizbul Wathan (disingkat HW) adalah salah satu organisasi otonom (ortom) di
lingkungan Persyarikatan Muhammadiyah. HW didirikan pertama kali di Yogyakarta pada 1336 H (1918
M) atas prakarsa KH Ahmad Dahlan. Prakarsa itu timbul saat beliau selesai memberi pengajian di Solo,
dan melihat latihan Pandu di alun-alun Mangkunegaran. Gerakan ini kemudian meleburkan diri ke dalam
Gerakan Pramuka pada 1961, dan dibangkitkan kembali oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan SK
Nomor 92/SK-PP/VI-B/1.b/1999 tanggal 10 Sya'ban 1420 H (18 November 1999 M) dan dipertegas
dengan SK Nomor 10/Kep/I.O/B/2003 tanggal 1 Dzulhijjah 1423 H (2 Februari 2003) HW berasaskan
Islam. HW didirikan untuk menyiapkan dan membina anak, remaja, dan pemuda yang memiliki aqidah,
mental dan fisik, berilmu dan berteknologi serta berakhlak karimah dengan tujuan terwujudnya pribadi
muslim yang sebenar-benarnya dan siap menjadi kader persyarikatan, umat, dan bangsa.
 TAPAK SUCI
 Berawal dari aliran pencak silat Banjaran di Pesantren Binorong Banjarnegara pada tahun 1872,
atiran ini kemudian berkembang menjadi perguruan seni bela diri di Kauman Yogyakarta karena
perpindahan guru (pendekarnya), yaitu KH. Busyro Syuhada, akibat gerakan perlawanan
bersenjata yang dilakukannya sehingga ia menjadi sasaran penangkapan yang dilakukan rezim
colonial Belanda. Di Kauman inilah pendekar KH. Busyro Syuhada mendapatkan murid-murid
yang tangguh dan sanggup mewarisi keahliannya dalam seni pencak silat.
 Perguruan seni pencak silat ini didirikan pada tahun 1925 dan diberi nama Perguruan kauman
yang dipimpin langsung oleh Pendekar M.A Wahib dan Pendekar A. Dimyati, yaitu dua orang
murid yang tangguh dari KH. Busyro Syuhada. Perguruan ini memiliki  landasan agama dan
kebangsaan yang kuat. Perguruan ini menegaskan seluruh pengikutnya untuk bebas dari syirik
(menyekutukan Tuhan) dan mengabdikan perguruan untuk perjuangan agama dan
bangsa.  Perguruan Cikauman banyak melahirkan pendekar-pendekar muda yang akhirnya
mengembangkan cabang perguruan untuk memperluas jangkauan yang lebih luas dengan nama
Perguruan Seranoman pada tahun 1930
IKATAN PELAJAR MUHAMMADIYAH
Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) berdiri 18 Juli 1961, hampir setengah abad setelah
Muhammadiyah berdiri. Namun demikian, latar belakang berdirinya IPM tidak terlepas kaitannya
dengan latar belakang berdirinya Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah Islam amar ma'ruf nahi
mungkar yang ingin melakukan pemurnian terhadap pengamalan ajaran Islam, sekaligus sebagai
salah satu konsekuensi dari banyaknya sekolah yang merupakan amal usaha Muhammadiyah untuk
membina dan mendidik kader. Oleh karena itulah dirasakan perlu hadirnya Ikatan Pelajar
Muhammadiyah sebagai organisasi para pelajar yang terpanggit kepada misi Muhammadiyah dan
ingin tampil sebagai pelopor, pelangsung penyempurna perjuangan Muhammadiyah
Upaya para pelajar Muhammadiyah untuk mendirikan organisasi pelajar Muhammadiyah sudah
dimulai jauh sebelum lkatan Pelajar Muhammadiyah berdiri pada tahun 1961. Pada tahun 1919
didirikan Siswo Projo yang merupakan organisasi persatuan pelajar Muhammadiyah di Madrasah
Mu'allimin Muhammadiyah Yogyakarta. Pada tahun 1926, di Malang dan Surakarta berdiri GKPM
(Gabungan Keluarga Pelajar Muhammadiyah). Selanjutnya pada tahun 1933 berdiri Hizbul Wathan
yang di dalamnya berkumpul pelajar-pelajar Muhammadiyah.
IMM
 Setelah mengalami polemik yang cukup serius tentang gagasan untuk mendirikan IMM, maka
pada tahun 1956 polemik tersebut mulai mengalami pengendapan. Tahun 1956 bisa disebut
sebagai tahap awal bagi embrio operasional pendirian IMM dalam bentuk pemenuhan gagasan
penghimpun wadah mahasiswa di lingkungan Muhammadiyah (Farid Fathoni, 1990: 98).
Pertama, pada tahun itu (1956) Muhammadiyah secara formal membentuk kader terlembaga
(yaitu BPK). Kedua, Muhammadiyah pada tahun itu telah bertekad untuk kembali pada
identitasnya sebagai gerakan Islam dakwah amar ma'ruf nahi munkar (tiga tahun sesudahnya,
1959, dikukuhkan dengan melepaskan diri dari komitmen politik dengan Masyumi, yang berarti
bahwa Muhammadiyah tidak harus mengakui bahwa satu-satunya organisasi mahasiswa Islam di
Indonesia adalah HMI). Ketiga, perguruan tinggi Muhammadiyah telah banyak didirikan.
Keempat, keputusan Muktamar Muhammadiyah bersamaan Pemuda Muhammadiyah tahun 1956
di Palembang tentang "....menghimpun pelajar dan mahasiswa Muhammadiyah agar kelak
menjadi pemuda Muhammadiyah atau warga Muhammadiyah yang mampu mengembangkan
amana
 Baru pada tahun 1961 (menjelang Muktamar Muhammadiyah Setengah Abad di Jakarta)
iselenggarakan Kongres Mahasiswa Universitas Muhammadiyah di Yogyakarta (saat itu,
Muhammadiyah sudah mempunyai perguruan tinggi Muhammadiyah sebelas buah yang tersebar
di berbagai kota). Pada saat itulah, gagasan untuk mendirikan IMM digulirkan sekuat-kuatnya.
Keinginan tersebut ternyata tidak hanya dari mahasiswa Universitas Muhammadiyah, tetapi juga
dari kalangan mahasiswa di berbagai universitas non-Muhammadiyah. Tahun 1963 dilakukan
penjajagan untuk mendirikan wadah mahasiswa Muhammadiyah secara resmi oleh Lembaga
Dakwah Muhammadiyah dengan disponsori oleh Djasman al-Kindi yang saat itu menjabat
sebagai Sekretaris Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah. Dengan demikian, Lembaga
Dakwah Muhammadiyah (yang banyak dimotori oleh para mahasiswa Yogyakarta) inilah yang
menjadi embrio lahirnya IMM dengan terbentuknya IMM Lokal Yogyakarta.
 Tiga buLan setelah penjajagan, Pimpinan Pusat Muhammadiyah mere,smikan berdirinya Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah pada tanggal 29 Syawal 1384 H. atau 14 Maret 1964 M.
Penandatanganan Piagam Pendirian Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah dilakukan Ketua
Pimpinan Pusat Muhammadiyah saat itu, yaitu KHA. Badawi. Resepsi peresmian IMM
dilaksanakan di Gedung Dinoto Yogyakarta dengan penandatanganan 'Enam Penegasan IMM'
oleh KHA. Badawi, yaitu:
 1. Menegaskan bahwa IMM adalah gerakan  mahasiswa Islam
 2. Menegaskan bahwa Kepribadian Muhammadiyah  adalah landasan perjuangan IMM
 3. Menegaskan bahwa fungsi IMM adalah eksponen mahesiswa dalam Muhammadiyah
 4. Menegaskan bahwa IMM adalah organisasi mahasiswa yang sah dengan mengindahkan segala
hukum, undang-undartg, peraturan,  serta dasar dan falsafah negara
 5. Menegaskan bahwa ilmu adalá amaliah dan  amal adalah ilmiah
 6. Menegaskan bahwa amal WJA aMah lillahi  ta'ala dan senantiasa diabdWan untuk kepentingan
rakyat.
5 POKOK PIKIRAN AISYIYAH
a. Pokok pikiran pertama
Perasaan nikmat beragama yang akan membawa masyarakat  sejahtera
b. Pokok Pikiran Kedua.
Cara menuju masyarakat sejahtera diatur dalam peraturan yang bernama agama Islam yang
memimpin kepada tujuan kebahagiaan dunia dan akhirat
c. Pokok pikiran ketiga
Tiap manusia, khususnya muslim, wajib menciptakan masyarakat sejahtera.
d. Pokok pikiran keempat
Untuk mengefisienkan kerja tiap individu dalam melaksanakan masyarakat, perlu dibentuk alat
yang berupa organisasi. Organisasi ini bernama ‘Aisyiyah.
e. Pokok pikiran kelima
Motif geraknya kesadaran beragama dan berorganisasi.
• Pertama, Aisyiyah sebagai gerakan Islam.
Maka dibolak-balik apapun dan kegiatan apapun yang tumbuh mekar di Aisyiyah dari Pusat hingga
ranting dan sampai jamaah selalu ada karakter gerakan Aisyiyah gerakan Islam yang sebagaimana
Muhammadiyah memahami Islam secara komprehensif  dimensi akidah, ibadah, amal menjadi api
spiritual gerakan Aisyiyah dan Muhammadiyah.
• Kedua, Aisyiyah sebagai gerakan perempuan Islam berkemajuan.
Karakter kemajuan dari wajah dan fondasi harus menjadi identitas yang khas dari Aisyiyah. Posisinya
berada di garis tengah, tidak terlalu ke kanan maupun ke kiri.
• Ketiga, Aisyiyah sebagai gerakan sosial kemasyarakatan di akar rumput. 
Di akar rumput itu umah kita berada dan tempat kita berkiprah. Hal ini menjadi kekuatan Aisyiyah dan
Muhammadiyah.  Bahkan sejak generasi awal adalah eksistensi keberadaan dan kehadirannya di tengah
masyarakat,  golongan masyarakat apapun dan dimanapun tanpa membedakan agama, suku, ras dan
daerah.
• Keempat, Aisyiyah sebagai gerakan beramal usaha.
Amal usaha adalah ciri dari Muhammadiyah dan Aisyiyah yang mungin agak berbeda dan tidak dimiliki
oleh yang lain. Amal usahanya antara lain: kembaga pendidikan, kesehatan, pelayanan social, gerakan Al
Ma’un dan lain-lain.
• Kelima, Aisyiyah adalah gerakan kebangsaan.
Kita ikut mendirikan Republik Indonesia dan dihadapkan pada problem republik ini. Muhammadiyah dan
Aisyiyah seluruh besar Muhammadiyah tidak boleh tinggal diam berpangku tangan. Apalagi melarikan
diri dari masalah bangsa. Masalah bangsa adalah masalah Muhammadiyah dan Aisyiyah. Peran
kebangsaan harus kita gelorakan sebagai panggilan dari karakter Islam,’’kata Haedar menegaskan.
Beliau merupakan satu dari tiga perempuan Kauman yang mengikuti pendidikan di sekolah netral
(sekolah milik pemerintahan Belanda yang saat itu masih menduduki Indonesia).
Siti Bariyah binti Haji Hasyim Ismail
Lahir di kauman pada 1325 HPada 1917, HB Muhammadiyah melalui rapat mengangkat Siti Bariyah
sebagai ketua ‘Aisyiyah. Kepercayaan ini tidak datang serta merta. Siti Bariyah sejak awal aktif di
pengajian Sapa Tresna yang tidak lain merupakan cikal bakal berdirinya ‘Aisyiyah. Selain keaktifannya
dalam forum tersebut, Siti Bariyah yang berhasil tamat dari Neutraal Meisjes School ini dipercaya
memiliki pemikiran modern yang bisa mengembangkan ‘Aisyiyah. Siti Bariyah memimpin ‘Aisyiyah dari
tahun 1917 sampai 1920.Bariyah kala itu menguasa bahasa Belanda dan Melayu. Melalui kemampuannya
ini, Siti Bariyah mendapat tugas menerjemahkan ayat Al-Qur’an yang dibacakan temannya Wasilah ke
dalam dua bahasa tersebut. Setelah diangkat menjadi ketua ‘Aisyiyah, kiprah Siti Bariyah semakin
menonjol. Tidak hanya di ‘Aisyiyah, pada masa kepemimpinan K.H. Ibrahim, Siti Bariyah diberi otoritas
untuk memberikan penafsiran terhadap rumusan Tujuan Muhammadiyah yang saat itu dimuat dalam
bentuk artikel di Suara Muhammadiyah dengan judul “Tafsir Maksoed Moehammadijah” edisi no 9 th.
Ke 4 September 1923. Siti Bariyah juga terlibat dalam merintis majalah Soeara ‘Aisjijah (1926). Satu
tahun setelahnya (1927), pada kongres Muhammadiyah ke-16 di Pekalongan, Siti Bariyah kembali
terpilih sebagai ketua ‘Aisyiyah.Selain aktif di organisasi, keseharian Siti Bariyah sama dengan
kebanyakan penduduk Kauman menjadi saudagar batik. Beliau berbisnis batik dengan suaminya
Muhammad Wasim putra K.H. Ibrahim yang tidak lain adalah adik dari Siti Walidah. Siti Bariyah
meninggal setelah melahirkan Fuad dalam usia yang relatif masih muda. Sepeninggalnya, ketiga anak Siti
Bariyah diasuh dan dibesarkan oleh Siti Munjiyah kakak kandungnya.
SITI WALIDAH 1872 M

Beliau merupakan anak keempat dari tujuh bersaudara. Ayahnya adalah Muhammad Fadil, kiyai
penghulu di keraton yang kemudian menekuni profesi sebagai saudagar batik. Siti Walidah kecil,
sebagaimana rata-rata anak di Kauman mendapatkan fasilitas pendidikan agama yang dibimbing
oleh orang tuanya juga para ulama yang berada di langgar-langgar Kauman. Siti Walidah dikenal
sebagai sosok pembelajar. Kemampuannya berdakwah dia asah sejak kecil yang mendorongnya
mendapat kepercayaan dari sang ayah untuk membantu mengajar di langgar yang biasa disebut
Langgar Kyai Fadhil. Pada 1889 Siti Walidah dinikahkan dengan Muhammad Darwis. Siti Walidah
merintis gerakan ini dengan memulai pendidikan (pengajian) bagi kaum perempuan di Kauman.
Kegiatan ini diisi dengan kursus Al-qur’an yang diperuntukkan gadis-gadis di Kauman yang
masuk sekolah netral. Pengajian ini dilakukan setelah Ashar (Wal ‘Ashri). Semakin lama semakin
berkembang merambah sampai Lempuyangan, Karangkajen, dan Pakualaman. Pengajian juga
diperuntukkan bagi para buruh batik di Kauman yang merupakan kelompok terpinggir yang sulit
mengakses pendidikan. Disamping belajar tentang agama, forum pengajian juga mengajarkan
mereka cara menulis dan membaca (Maghribi School). Lama kelamaan, pengajian ini menyebar
sampai ke pelosok Indonesia yang kemudian mendorong berdirinya perwakilan organisasi
‘Aisyiyah. Siti Walidah menjabat sebagai president HB Muhammadiyah bagian ‘Aisyiyah (1921)
yang kemudian berpindah status sebagai adviseur ‘Aisyiyah (1927).Semasa aktif di ‘Aisyiyah, Siti
Walidah dikenal sebagai tokoh perempuan yang memiliki pergaulan luas dan terlibat di ranah
publik. Beliau bahkan pernah diundang dalam sidang Ulama Solo yang bertempat di Serambi
Masjid Besar Keraton Surakarta yang notabene pesertanya adalah kaum laki-laki. Beliau juga
berpidato dihadapan kongres pada kongres ‘Aisyiyah ke-15 yang berlangsung di Surabaya
(1926). Kongres ini kemudian diwartakan di beberapa harian Surabaya seperti Pewarta Surabaya
dan Sin Tit Po yang memprovokasi kaum isteri Tionghoa agar berkemajuan seperti yang
dipraktekkan warga ‘Aisyiyah. Kiprahnya di ‘Aisyiyah terus berlangsung puluhan tahun
berikutnya. Terakhir kali beliau mengikuti kongres pada 1940 yang kala itu diadakan di
Yogykarta. Beliau tetap mengikuti walau dalam keadaan sakit.Tidak sampai setahun setelah
beliau menyampaikan wasiat, tepatnya 31 Mei 1946 beliau wafat menyusul suaminya.
Pemerintah memberi gelar Pahlawan Nasional pada perempuan yang lebih dikenal dengan Nyai
Ahmad Dahlan semasa hidupnya ini. Jasanya dalam melahirkan generasi perempuan untuk
terlibat di ranah publik menjadi keteladanan yang tidak akan pernah lekang oleh waktu.

Berbeda dengan Siti Bariyah, Siti Munjiyah menempuh pendidikan di Madrasah Diniyah. Beliau
sejak awal direncanakan menjadi kader di Muhammadiyah dan diharapkan membawa nama
‘Aisyiyah dalam kiprahnya di masyarakat. Harapan ini menjadi kenyataan dengan kemampuan
orasi yang dimiliki oleh Siti Munjiyah. Kemampuan orasinya dinilai memiliki kesamaan dengan
Haji Fachrodin yang tidak lain kakak kandungnya sendiri. ia kerap mengisi forum-forum baik di
internal organisasi atau khalayak umum. Pada 20 November 1921, K.H. Ahmad Dahlan mengajak
Haji Fachrodin dan Siti Munjiyah untuk menghadiri undangan dari Sarekat Islam (SI) cabang
Kediri, Jawa Timur. Dalam forum tersebut, Siti Munjiyah mendapat kesempatan untuk berorasi.
Beliau menyampaikan mengenai makna jilbab yang dikenakannya saat itu. Beliau dengan tegas
menyampaikan jilbab ala haji perempuan yang dikenakannya tidak membuatnya malu karna itu
adalah perintah agama Islam. Di ‘Aisyiyah, beliau menjabat ketua pada 1932 setelah
kepemimpinan Siti Walidah. Kemudian pada kongres Muhammadiyah berikutnya, Siti Munjiyah
kembali terpilih sebagai ketua dari 1933-1936. Beliau meninggal pada 1955. Setelah berjuang
memimpin ‘Aisyiyah.

SITI HANIYAH

Tahun 1953, dalam usia 29, Siti Hayinah menikah dengan Mohammad Mawardi Mufti. Seorang
pria asal Banjarmasin yang aktif di Muhammadiyah dan berprofesi sebagai guru. Dari
pernikahannya ini, Siti Hayinah dikaruniai 7 orang anak. Selain itu, Siti Hayinah juga menempuh
pendidikan di dua tempat lainnya di Holland Inlandsche School (HIS) dan Fur Huischoud School
di Yogyakarta. Siti Hayinah mulai aktif di ‘Aisyiyah dari masa kecilnya. Pada tahun 1925, saat
umurnya menginjak 19 tahun, Siti Hayinah mendapat kepercayaan sebagai sekretaris
mendampingi Nyai Ahmad Dahlan. Kegemarannya menulis dan membaca ini yang
menempatkannya sebagai sekretaris. Bahkan, dia menjabat sebagai Pimpinan Redaksi majalah
Suara ‘Aisyiyah. Dalam kongres ‘Aisyiyah ke-21 di Medan, dia mengobarkan kembali semangat
anggota untuk menghidupkan Suara ‘Aisyiyah yang kala itu mati suri dengan pidatonya yang
lantang. Di ‘Aisyiyah, Siti Hayinah lima kali didaulat sebagai ketua yaitu pada 1946, 1953, 1956,
1959, dan 1962. Siti Hayinah memegang amanahnya sebagai ketua untuk pertama kali didapat
dalam kongres Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta. Selain aktif di ‘Aisyiyah, Siti Hayinah juga
aktif di Badan Penasehat Perkawinan Perselisihan dan Perceraian (BP4), Gabungan Wanita Islam
Indonesia (GOWII), Badan Musyawarah Organisasi Islam Wanita Indonesia (BMOIWI). Di BP4
karirnya melejit, dari anggota sampai menjadi ketua dalam beberapa periode. Siti Hayinah
menjadi perempuan aktifis yang sangat menghargai kreatifitas dan amal.

Siti Badilah
lahir di Yogyakarta pada 1904 Siti Badilah, bersama dengan enam gadis lainnya merupakan
generasi kedua kader yang dirintis oleh Kyai Ahmad Dalan beserta istri. Bertujuh, mereka
menempuh pendidikan di Neutraal Meisjes School di Ngupasan. Melalui forum kursus, Kyai
Ahmad Dahlan terus mendidik mereka dengan pemahaman agama. Terutama pada masa ketika
gerakan Ahmad Dahlan dilirik sebelah mata oleh sebagian warga di Kauman. Selain itu, Siti
Badilah juga mendapat pendidikan di MULO. Dalam wawancara bersama Suara Muhammadiyah
pada tahun 1979 Siti Badilah mengakui “guru-guru pada masa itu betul-betul ahli sehingga
segala pelajaran yang diberikan benar-benar terikat di otak para pelajar”. Pada saat menempuh
pendidikan di MULO, Siti Badilah dikenal sebagai pelajar pemberani. Dalam suatu kejadian dia
menanyakan perihal nilainya yang jelek yang menurutnya tidak sesuai dengan ketekunannya
selama belajar. Setelah ditelusuri, sang guru membenarkan ada kekeliruan dalam penulisan nilai
di raport.
SITI AISYAH

Kiprah Siti Aisyah di organisasi mulai menonjol sejak terbitanya Majalah Soeara ‘Aisjijah
pada 1926. Namanya tercatat sebagai redaktur pertama majalah bersama Siti Badilah dan Siti
Djalalah. Tahun 1931 menjadi tahun penting di mana kiprahnya di ‘Aisyiyah menjadi awal
perjalanan panjangnya di organisasi ini. Pada kongres Muhammadiyah ke-20 yang
diselenggarakan di Yogyakarta, Siti Aisyah terpilih sebagai ketua ‘Aisyiyah meneruskan estafet
kepemimpinan sang ibu. Sekalipun tercatat sebagai anak pendiri, Siti Aisyah bebas dari
pengkultusan individu dalam perjalanannya di organisasi, hal itu terbukti dari terpilihnya Siti
Munjiyah pada pemilihan ketua tahun berikutnya dan seterusnya silih berganti dari satu kader
ke kader yang lainnya. Pada 1939, Siti Aisyah kembali terpilih menjadi ketua ‘Aisyiyah.Siti Aisyah
dan H. Hilal dikenal sebagai saudagar batik. H. Hilal melanjutkan bisnis peniggalan sang ayah,
Kyai Mohamad Saleh, kakak ipar Kyai Ahmad Dahlan. Pada masa hidup Kyai Ahmad Dahlan, Kyai
Saleh merupakan saudagar batik terkaya di Kauman. Peran Kyai Saleh dan keluarganya dalam
organisasi dibuktikan dengan bantuan yang diberikan pada Kyai Ahmad Dahlan saat Langgar
Kidul dirubuhkan. Kyai Saleh mengulurkan bantuan untuk membangunnya kembali.

Siti Baroroh Baried


Lahir di yogyakarta pada 23 mei 1923Ayahnya H. Tamim bin Dja’far adalah kemenakan Siti
Walidah, Istri Pendiri Muhammadiyah. Sejak muda Siti Baroroh memiliki semboyan ”Hidup saya
harus menuntut ilmu,”. Semboyan ini diucapkan di hadapan kedua orang tuanya. Tidak
mengherankan jika kemudian perjalanan dan kiprahnya dalam pendidikan mengundang decak
kagum dan menjadi panutan. Siti Baroroh memulai pendidikan di SD Muhammadiyah, kemudian
secara berturut-turut dirinya melanjutkan di MULO HIK Muhammadiyah, Fakultas Sastra UGM
(Sarjana Muda, Fakultas Sastra UI di Jakarta UI meraih gelar sarjana tahun 1952. Tahun 1953
sampai dengan 1955 Siti Baroroh mendalami Bahasa Arab di Cairo. Pada saat itu, sangat langka
perempuan menempuh pendidikan di luar negeri.Pada 1964 Siti Baroroh diangkat menjadi guru
besar dalam Ilmu Bahasa Indonesia. Pengangkatan ini menjadi sorotan, khususnya di Universitas
Gadjah Mada. Bagaimana tidak, kala itu usianya masih 39 tahun dan menjadi wanita pertama
yang mendapat gelar guru besar. Gelar ini menunjukkan peran Siti Baroroh di dunia pendidikan.
Beliau mengajar di beberapa perguruan tinggi negeri dan swasta. Di Universitas Gadjah Mada
beliau mengajar di fakultas sastra sejak tahun 1949. Beliau pernah menjadi dekan fakultas Sastra
UGM selama dua periode tahun 1965-1968 dan 1968-1971. Kemudian menjadi Ketua Jurusan
Asia Barat Fakultas Sastra UGM 1963-1975.

SITI UMNIYAH

Ayahnya, Kyai Sangidu merupakan teman seperjuangan Kyai Ahmad Dahlan. Rumah Kyai
Sangidu yang dikenal sebagai Pendopo Tabligh adalah tempat di mana Kyai Dahlan menetapkan
Muhammadiyah sebagai nama organisasi gerakannya pada tahun 1911. Kyai Sangidu diangkat
menjadi penghulu ke-12 pada 1914 dengan nama kehormatan Kanjeng Kyai Penghulu
Mohammad Kamaludiningrat. Inilah awal Kyai Sangidu berperan aktif dalam membangun
gerakan Muhammadiyah dalam Bangsal Priyayi.Putrinya mendapat didikan langsung dari Kyai
Dahlan. Kyai Dahlan pulalah yang mengajurkannya memakai kerudung yang saat itu berbahan
kain songket khas Kauman. Siti Umniyah adalah murid Kyai Dahlan selain Siti Munjiyah yang
dikaderkan di Sekolah Agama. Hasil didikan Kyai Dahlan dan istrinya pada Siti Umniyah bisa
dilihat dari kiprahnya di Siswa Praja Wanita (SPW) yang belakangan berubah menjadi Nasyiatul
‘Aisyiyah (NA) pada 1931.

Anda mungkin juga menyukai