Anda di halaman 1dari 3

3.

Al-Tahtawi (1801-1873 M)
Rifaah Badawi Rafi al-Tahtawi adalah salah satu seorang pembaharu dalam dunia
islam. Ia lahir pada tahun 1801 M di Tahta dan meninggal tahun 1873 M di Mesir.
Sebelum ia pergi ke Perancis, ia banyak mempelajari peradaban Barat dan
kemajuan yang dicapainya di Institute dEgypte. Setelah menamatkan
pendidikannya di Al-Azhar tahun 1822 M ia mengajar di almamaternya selama lebih
kurang 2 tahun. Karena mendapat dorongan kuat dari gurunya Al-Attar dan
mendapat kesempatan yang diberikan Muhammad Ali Pasha kepadanya, maka ia
belajar di Perancis dan menjadi imam para pelajar Mesir di Perancis. Ia banyak
membaca buku karya tokoh-tokoh besar umat Islam dan bangsa Barat. Dengan
ketekunannya belajar bahasa Perancis secara otodidak, akhirnya ia mampu
menyaingi kehebatan pelajar-pelajar Mesir lainnya yang belajar bahasa itu secara
format di kelas-kelas. Selama di Perancis ia berhasil menerjemahkan 12 buku ke
dalam bahasa Arab. Sekembalinya ke Mesir, ia diberi kepercayaan untuk mendirikan
Sekolah Penerjemahan tahun 1836 M. Disekolah ini membagi empat bagian, yaitu
ilmu pasti, ilmu kedokteran, ilmu fisika, dan sastra. Diantara buku-buku yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab adalah buku-buku bidang filsafat, biografi,
logika, ilmu bumi, politik, antropologi, dan lain-lain. Di Samping itu, ia juga aktif
menulis di koran Al-Waqai al-Mishriyah. Kehebatannya menulis tertuang dalam
karyanya yang monumental. Di antara karyanya itu adalah:
a) Takhlish al-Ibriz fi Talkhish Bariz. Buku ini berisi tentang kemajuan Eropa,
terutama di Paris.
b) Manahij al-Bab al-Mishriyah fi Manahij al-Adab al-Ashriyah. Buku ini menerangkan
tentang pentingnya sektor ekonomi bagi kemajuan negara.
c) Al-Mursyid al-Amin li al-Banat wa al-Banin. Buku ini menerangkan tentang
pentingnya pendidikan diberikan kepada anak laki-laki dan perempuan.
d) Al-Qaulu al-Sadid fi al-Ijtihad wa al-Taqlid. Buku ini berisi tentang keharusan
ijtihad dan pintu ijtihad menurutnya tidak tertutup.
e) Anwar Taufiq al-Jalil fi Akhbar al-Mishr wa Tautsiq Bani Ismail. Buku ini berisi
tentang puji-pujian terhadap raja dalam memajukan pembangunan di Mesir,
sehingga Mesir mengalami kemajuan pesat.
Meskipun buku-buku tersebut dapat mewakili pemikiran pembaharuan Tahtawi,
tetapi disini kami selaku pemakalah akan mengklasifikasikannya secara jelas
sehingga para pembaca bisa melihat tentang ide-ide pembaharuan yang
dilontarkan oleh Tahtawi, yaitu:
1) Ajaran Islam bukan hanya mementingkan soal kehidupan akhirat semata, tetapi
juga soal kehidupan di dunia. Umat Islam juga harus memperhatikan kehidupan di
dunia ini.
2) Kekuasaan absolut raja harus dibatasi oleh syariat, dan raja harus
bermusyawarah dengan ulama dan kaum intelektual.
3) Syariat harus diartikan sesuai dengan perkembangan modern.
4) Kaum ulama harus mempelajari filsafat, dan ilmu-ilmu pengetahuan modern agar
dapat menyesuaikan syariat dengan kebutuhan masyarakat modern.
5) Pendidikan harus bersifat universal. Wanita harus memperoleh pendidikan yang

sama dengan kaum pria. Istri harus menjadi teman dalam kehidupan intelektual dan
sosial.
6) Umat Islam harus dinamis dan meninggalkan sifat statis.
4. Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897 M)
Nama lengkapnya adalah Sayyid Jamaluddin al-Afghani. Ia lahir di Asad Abad pada
tahun 1839 M dan wafat di Istambul, Turki pada tahun 1897 M. Sejak kecil ia sudah
belajar membaca Al-Quran. Kemudian belajar bahasa Arab, Persia, dan ilmu-ilmu
lainnya, seperti tafsir, hadits, tasawuf, dan filsafat.
Sejak usia 20 tahun ia sudah menjadi pembantu Pengeran Dostn Muhammad Khan
di Afghanistan, dan tahun 1864 M menjadi penasehat Sher Ali Khan, dan menjadi
Perdana Menteri pada masa pemerintahan Muhammad Azham Khan.
Hal itu disebabkan karena kecerdasan dan kepribadiannya yang menarik. Ia banyak
memperoleh pengalaman dalam pengembaraannya ke beberapa negara. Mula-mula
ke India, lalu ke Mesir memberi kuliah di hadapan kaum intelektual di Al-Azhar.
Diantara muridnya yang terkenal adalah Muhammad Abdu dan Saad Zaglul.
Karena persoalan politik di Mesir, Jamaluddin pergi ke Paris. Di kota ini ia mendirikan
sebuah organisasi bernama al-Urwatul Wutsqa yang beranggotakan muslim militan
dari India, Mesir, Syiria, dan Afrika Utara, yang bertujuan memperkuat persaudaraan
Islam, membela dan mendorong umat Islam untuk mencapai kemajuan.
Organisasi al-Urwatul Wutsqa kemudian menerbitkan majalah dengan nama yang
sama dengan organisasi itu. Karena ide dan isinya dianggap terlalu keras
mengancam kekuasaan penjajahan Barat, maka majalah ini dibredel dan dilarang
untuk terbit.
Pada tahun 1892 M Jamaluddin al-Afghani pergi ke Istambul atas undangan
pemerintah Sultan Abdul Hamid untuk memikirkan pelaksanaan politik Islam dalam
menghadapi Barat. Saat itu kerajaan Turki Usmani terdesak oleh bangsa Eropa dan
Sultan Hamid membutuhkan pendapat Jamaluddin al-Afghani.
Keinginan Sultan Hamid tidak tercapai, karena adanya perbedaan persepsi
mengenai sistem pemerintahan. Sebab Jamaluddin sebagai pembaharu, tentunya
mempunyai pandangan liberal dan demokratis dalam pemerintahan. Tetapi Sultan
Abdul Hamid sebagai penguasa melakukan pemerintahan dengan jalan diktator.
Gerakan politik yang paling menonjol dilakukan Jamaluddin Al-Afghani, yaitu
menyebarkan ide Pan-Islamisme (nasionalisme) di dunia Islam. Untuk mencapai ide
ini ia mendirikan Partai Nasional (Al-Hizb al-Wathani) di Mesir, tujuan
memperjuangkan pendidikan universal, menyelenggarakan kebebasan pers, dan
sebagainya. Gerakan ini pada tahun 1838 M telah membangkitkan semangat umat
islam dalam menggalang persatuan dan kesatuan dalam menentang penjajahan
yang dilakukan oleh bangsa Barat.
Karena perbedaan pendapat inilah akhirnya Jamaluddin ditahan di penjara Istambul
hingga wafat. Meskipun ia telah tiada, tapi pemikiran yang ia cetuskan banyak
membawa pengaruh dalam dunia Islam. Diantara pembaharuan pemikiran yang
dimunculkan Jamaluddin al-Afghani adalah :
1) Untuk mengembalikan kejayaan umat Islam di masa lalu dan sekaligus

menghadapi dunia modern, umat Islam harus kembali kepada ajaran Islam yang
murni, dan memahami Islam harus dengan rasio (pemikiran yang masuk akal) dan
kebebasan.
2) Corak pemerintahan otokrasi dan absolut harus diganti dengan pemerintahan
demokratis. Kepala negara harus bermusyawarah dengan pemuka masyarakat yang
berpengalaman.
3) Kepala negara harus tunduk kepada undang-undang.
4) Kemunduran umat Islam dalam bidang politik disebabkan karena terjadinya
perpecahan dalam umat Islam itu sendiri.
5) Tidak ada pemisahan antara agama dan politik.
6) an-Islamisme atau rasa solidaritas antara umat Islam harus dihidupkan kembali.

Anda mungkin juga menyukai