Asuhan Keperawatan Gagal Ginjal Kronik
Asuhan Keperawatan Gagal Ginjal Kronik
GagalGinjalKronik
(CKD)
A. Pengertian
Berikut ini ada beberapa pengertian gagal
ginjal kronik menurut beberapa literatur yang
penulis gunakan, yaitu :
Gagal ginjal kronik adalah penurunan
semua fungsi yang bertahap diikuti
penimbunan sisa metabolisme protein dan
gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit (Mary E. Doengoes, 2000).
Gagal ginjal kronik adalah suatu proses
penurunan fungsi ginjal yang progresif dan
pada umumnya pada suatu derajat
memerlukan terapi pengganti ginjal yang
tetap berupa dialisis dan transplantasi ginjal
(Aru A. Sudoyo, 2006).
Gagal ginjal kronik adalah gangguan fungsi
renal yang progresif dan reversible dimana
kemampuan
tubuh
gagal
untuk
mempertahankan
metabolisme
dan
keseimbangan cairan dan elektrolit yang
menyebabkan uremia (Suzanne C.Smeltzer,
2001).
Dari beberapa pengertian di atas dapat
disimpulkan bahwa Gagal ginjal kronik
adalah gangguan fungsi renal yang progresif
dan irreversible, diikuti penimbunan sisa
metabolisme
protein
dan
gangguan
keseimbangan
cairan
menyebabkan uremia.
dan
elektrolit
B. Patofisiologi
Penyebab dari gagal ginjal kronik biasanya
dipengaruhi oleh penyakit sistemik seperti
diabetes
melitus,
glumerulonefritis,
pielonefritis,
hipertensi
yang
tidak
dikontrol, obtruksi traktus urinarius, penyakit
ginjal polikistik, infeksi dan agen toksik.
fungsi renal menurun, produk akhir
metabolisme protein (yang normalnya
dieksresikan kedalam urine) tertimbun
dalam
darah.
Terjadi
uremia
dan
mempengaruhi
setiap
sistem
tubuh,
semakin banyak yang timbunan produk
sampah, maka gejala akan semakin berarti
dan akan membaik setelah dialisis. Banyak
permasalahan yang muncul pada ginjal
sebagai akibat dari penurunan glomeruli
yang
berfungsi,
yang
menyebabkan
penurunan clearens substansi darah yang
seharusnya dibersihkan oleh ginjal.
Perjalanan
penyakitnya
dapat
dibagi
menjadi tiga stadium, yaitu :
- Stadium I (Penurunan cadangan ginjal).
Fungsi ginjal antara 40 % - 75 %, pada
stadiusm ini kreatinin serum dan kadar urea
dalam darah (BUN) normal, pasien
asimtomatik. Gangguan fungsi ginjal hanya
dapat terdeteksi dengan memberi kerja yang
berat pda ginjal tersebut, seperti tes
pemekatan urine yang lama atau dengan
mengadakan tes Glomerolus Filtrasi Rate
(GFR) yang teliti.
- Stadium II (Insufisiensi ginjal)
Fungsi ginjal antara 20 50 %, pada tahap
ini kadar BUN baru mulai meningkat
melebihi kadar normal. Timbul gejala
gejala nokturia (pengeluaran urine pada
waktu malam hari yang menetap samapai
sebanyak 700 ml, dan poliuria (peningkatan
volume urine yang terus menerus). Poliuria
pada gagal ginjal lebih besar pada penyakit
terutama menyerang tubulus, meskipun
2.
a.
b.
3.
Penatalaksanaan Keperawatan
Hitung intake dan output yaitu cairan : 500
cc ditambah urine dan hilangnya cairan
dengan cara lain (kasat mata) dalam waktu
24 jam sebelumnya.
Elektrolit yang perlu diperhatikan yaitu
natrium dan kalium. Natrium dapat diberikan
sampai 500 mg dalam waktu 24 jam.
Penatalaksanaan Diet
a. Kalori harus cukup : 2000 3000 kalori
dalam waktu 24 jam.
b. Karbohidrat minimal 200 gr/hari untuk
mencegah terjadinya katabolisme protein
c. Lemak diberikan bebas.
d. Diet uremia dengan memberikan vitamin :
tiamin, riboflavin, niasin dan asam folat.
e. Diet rendah protein karena urea, asam urat
dan asam organik, hasil pemecahan
makanan dan protein jaringan akan
menumpuk secara cepat dalam darah jika
terdapat gagguan pada klirens ginjal.
Protein yang diberikan harus yang bernilai
biologis tinggi seperti telur, daging sebanyak
0,3 0,5 mg/kg/hari.
D. Pengkajian
Untuk mengetahui permasalahan yang ada
pada klien dengan CKD perlu dilakukan
pengkajian yang lebih menyeluruh dan
mendalam dari berbagai aspek yang ada
sehingga
dapat
ditemukan
masalahmasalah yang ada pada klien dengan CKD.
Pengkajian pada klien CKD menurut
Suzanne C. Smeltzer, Doenges (1999) dan
Susan Martin Tucker (1998).
1. Sistem Kardiovakuler
Tanda dan gejala : Hipertensi, pitting edema
(kaki, tangan, sacrum). Edema periorbital,
fiction rub pericardial, dan pembesaran vena
jugularis,
gagal
jantung,
perikardtis
takikardia dan disritmia.
2.
Sistem Integument
Tanda dan gejala : Warna kulit abu abu
mengkilat, kulit kering bersisik, pruritus,
echimosis, kulit tipis dan rapuh, rambut tipis
Sistem Pulmoner
Tanda dan gejala : Sputum kental , nafas
dangkal, pernafasan kusmaul, udem paru,
gangguan pernafasan, asidosis metabolic,
pneumonia, nafas berbau amoniak, sesak
nafas.
4.
Sistem Gastrointestinal
Tanda dan gejala : Nafas berbau amoniak,
ulserasi dan perdarahan pada mulut,
anoreksia, mual, muntah, konstipasi dan
diare,
perdarahan
dari
saluran
gastrointestinal, sto,atitis dan pankreatitis.
5.
Sistem Neurologi
Tanda dan gejala : Kelemahan dan
keletihan, konfusi, disorientasi, kejang,
penurunan konsentrasi, kelemahan pada
tungkai, rasa panas pada telapak kaki, dan
perubahan
perilaku,
malaise
serta
penurunan kesadaran.
6.
Sistem Muskuloskletal
Tanda dan gejala : Kram otot, kekuatan otot
hilang,
fraktur
tulang,
foot
drop,
osteosklerosis, dan osteomalasia.
7.
Sisem Urinaria
Tanda dan gejala : Oliguria, hiperkalemia,
distropi renl, hematuria, proteinuria, anuria,
abdomen
kembung,
hipokalsemia,
hiperfosfatemia, dan asidosis metabolik.
8.
Sistem Reproduktif
Tanda dan gejala : Amenore, atropi
testikuler, penurunan libido, infertilitas.
9.
9.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan
pada klien CKD untuk mengetahui
penyebab dan daerah yang terkena menurut
Doenges (1999), Suzanne C. Smeltzer
(2001) adalah sebagai berikut :
Urine : Volume kurang dari 40 ml / 24 jam
( oliguria ), warna keruh, berat jenis kurang
dari 1.015, osmolalitas kurang dari 350
m.osn/kg, klirens kreatinin agak menurun
kurang 10 ml / menit, natrium lebih dari 40
mEq/L, proteinuria.
Darah : BUN/kreatinin meningkat lebih dari
10 mg/dl, Ht menurun, Hb kurang dari 7 8
gr/dl, SDM waktu hidup menurun, AGD (pH
menurun dan terjadi asidosis metabolic
(kurang dari 7.2), natrium serum rendah,
kalium meningkat 6,5 mEq atau lebih besar,
magnesium/fosfat
meningkat,
kalsium
menurun, protein khususnya albumin
menurun.
Osmolalitas serum : Lebih besar dari 285
nOsm/kg, sering sama dengan urine.
KUB
Foto
:
Menunjukkan
ukuran
finjal/ureter/kandung kemih dan adanya
obstruksi (batu).
Elektrokardiografi (ECG) : Untuk melihat
kemungkinan hipertropi ventrikel kiri, tanda
tanda perikarditis, aritmia dan gangguan
elektrolit (hiperkalemia dan hipokalsemia).
Ultrasonografi (USG) : Menilai bentuk dan
besar ginjal, tebal korteks ginjal, kepadatan
paremkim ginjal, ureter proximal, kandung
kemih serta prostat. Pemeriksaan ini
bertujuan untuk mencari adanya faktor yang
reversibel, juga menilai apakah proses
sudah lanjut.
Foto polos abdomen : Sebaiknya tampa
puasa, karena dehidrasi akan memperburuk
fungsi ginjal, menilai bentuk dan besar ginjal
dan apakah ada batu atau obstruksi lain.
Pielografi Intravena (PIV) : Pada PIV, untuk
CKD tak bermanfaat lagi olah karena ginjal
tidak dapat mengeluarkan kontras, saat ini
sudah jarang dilakukan.
Pemeriksaan
Pielografi
Retrograd
:
Dilakukan bila dicurigai ada obstruksi yang
reversibel.
10. Pemeriksaan Foto Dada : Dapat terlihat
tanda tanda bendungan paru akibat
kelebihan air (fluid overload), efusi pleura,
kardiomegali dan efusi perikardial.
11. Pemerikasaan Kardiologi tulang : Mencari
osteoditrofi (terutama tulang atau jari) dan
klasifikasi metastatik.
Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan data pengkajian yang telah
didapat atau terkaji, kemudian data
dikumpulkan maka dilanjutkan dengan
analisa data untuk menentukan diagnosa
keperawatan yang ada pada klien dengan
CKD. Menurut Doenges (1999), Lynda Juall
(1999), dan Suzanne C. Smeltzer (2001)
diagnosa keperawatan pada klien CKD
adalah sebagai berikut :
1. Kelebihan volume cairan berhubungan
dengan penurunan fungsi ginjal.
2. Perubahan
nutrisi
kurang
dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan
intake kurang atau pembatasan nutrisi.
3. Resiko tinggi penurunan curah jantung
berhubungan dengan ketidakseimbangan
volume cairan.
4. Perubahan proses pikir berhubungan
dengan akumulasi toksin.
5. Kerusakan integritas kulit berhubungan
dengan gangguan status metabolisme.
6. Resiko
tinggi
terhadap
cidera
berhubungan
dengan
penekanan
produksi/sekresi eritropoetin.
7. Intoleransi
aktifitas
berhubungan
dengan keletihan, anemia, penurunan fungsi
ginjal.
8. Kurang pengetahuan tentang kondisi,
prognosis dan kebutuhan pengobatan
berhubungan tidak mengenal sumber
informasi.
Perencanaan Keperawatan
Setelah diagnosa keperawatan pada klien
dengan CKD ditemukan, maka dilanjutkan
a)
b)
c)
d)
a)
b)
c)
d)
e)
f)
g)
h)
i)
j)
k)
a)
b)
a)
b)
2. Perubahan
nutrisi
kurang
dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan
pembatasan nutrisi.
Tujuan : Mempertahankan masukan nutrisi
yang adekuat.
Kriteria Evaluasi :
Mempertahankan/meningkatkan
berat
badan seperti yang diindikasikan oleh situasi
individu.
Bebas edema.
Intervensi :
Kaji/catat pemasukan diet.
Beri makan sedikit tapi sering.
c)
d)
e)
f)
g)
h)
a)
b)
c)
a)
b)
c)
d)
e)
f)
g)
4.
a)
b)
c)
d)
e)
f)
g)
h)
i)
j)
5.
f)
g)
h)
i)
j)
ANEMIA PADA
PENYAKIT GINJAL
KRONIK
ANEMIA PADA PENYAKIT GINJAL
KRONIK
A. Pendahuluan
Fungsi ginjal adalah ikut mengatur agar
volume dan kadar bahan dalam cairan
ektraseluler tetap dalam batas normal.
Hal ini dicapai dengan cara:1
1. Mengatur pengeluaran sisa metabolisme
den mempertahankan bahan yang
berguna
2. Mengatur
keseimbangan
cairan,
eletrolit, dan asam basa tubuh.
Disamping itu ginjal juga berperan
dalam pengaturan tekanan darah,
eritropoiesis, metabolisme vitamin D
dan beberapa fungsi endokrin yan lain.
Pada penyakit ginjal kronik, terjadi
kerusakan pada jaringan ginjal sehingga
lama kelamaan fungsi diatas mulai
terganggu. Penyakit ginjal kronik secara
garis besar adalah suatu proses
patofisiologis dengan etiologi yang
beragam, mengakibatkan penurunan
fugsi ginjal yang progresif, danpada
umumnya berakhir dengan gagal ginjal.1
Anemia sering terjadi pada pasienpasien dengan penyakit ginjal kronis. 80-
Etiologi
Penyebab
utama
Penyebab
tambahan
Penjabaran etiologi
Defisiensi relatif dari
eritropoietin
Kekurangan zat besi
Inflamasi akut dan kronik
Pendeknya masa hidup
eritrosit
Bleeding diathesis
Hiperparatiroidisme/
fibrosis sumsum tulang
Kondisi
Hemoglobinopati,
komorbiditas hipotiroid,
hipertiroid,
kehamilan, penyakit HIV,
penyakit autoimun, obat
imunosupresif
C. Patofisiologi
Pandangan Umum
Ketika terjadi gangguan pada glomerulus
maka fungsi ginjal pun terganggu, termasuk
fungsi endokrinnya (Gambar 4). Anemia
pada penyakit ginjal kronik dikaitkan
dengan konsekuensi patofisiologik yang
merugikan, termasuk berkurangnya transfer
oksigen ke jaringan dan penggunaannya,
peningkatan
curah
jantung,
dilatasi
3
ventrikel, dan hipertrofi ventrikel.
penekanan
sumsum
tulang
akibat
peningkatan kadar PTH, telah banyak
dibuktikan melalui percobaan pada hewan.
Yang kedua, efek langsung pada osteitis
fibrosa, yang mengurangi respon sumsum
tulang terhadap eritropoetin asing. Terdapat
laporan penelitian yang menyatakan adanya
peningkatan
Hb
setelah
dilakukan
paratiroidektomi pada pasien dengan
uremia.2,6
Mekanisme
lainnya
yang
menyebabkan peningkatan rigiditas eritrosit
yang mengakibatkan hemolisis pada gagal
ginjal adalah penurunan fosfat intraseluler
(hipofosfatemia) akibat pengobatan yang
berlebihan dengan pengikat fosfat oral,
dengan penurunan intracellular adenine
nucleotides dan2,3diphosphoglycerate (DPG). Hemolisis dapat
timbul akibat kompliksai dari prosedur
dialisis atau dari interinsik imunologi dan
kelainan eritrosit. Kemurnian air yang
digunakan untuk menyiapkan dialisat dan
kesalahan teknik selama proses rekonstitusi
dapat menurunkan jumlah sel darah merah
yang hidup, bahkan terjadi hemolisis. Filter
karbon bebas kloramin yang tidak adekuat
akibat saturasi filter dan ukuran filter yang
tidak mencukupi, dapat mengakibatkan
denaturasi hemoglobin, penghambatan
hexose
monophosphate
shunt,
dan
hemolisis kronik. Lisisnya sel juga dapat
disebabkan tercemarnya dialisat oleh
copper, nitrat, atau formaldehide. Autoimun
dan kelainan biokomia dapat menyebabkan
pemendekan
waktu
hidup
eritrosit.
Hipersplenisme merupakan gejala sisa
akibat transfusi, yang distimulasi oleh
pembentukan antibodi, fibrosis sumsum
tulang, penyakit reumatologi, penyakit hati
kronis dapat mengurangi sel darah merah
yang hidup sebanyak 75% pada pasien
dengan gagal ginjal terminal. Ada beberapa
mekanisme lainnya yang jarang , yang dapat
Kadar C-Reactive
Protein (CRP)
akan
meningkat cepat pada infeksi, disebut
respon fase akut. Peningkatan CRP
berhubungan
dengan
peningkatan
konsentrasi interleukin-6 (IL-6) di dalam
plasma yang sebagian besar diproduksi oleh
makrofag. Makrofag merupakan sel imun
yang berperan langsung dengan kadar besi
dalam
tubuh
manusia.
Makrofag
membutuhkan
zat
besi
untuk
memproduksi highly toxic hydroxyl radical,
juga merupakan tempat penyimpanan besi
yang utama pada saat terjadi proses
inflamasi. Sitokin, radikal bebas, serta
protein fase akut yang dihasilkan oleh hati
akan mempengaruhi homeostasis besi oleh
makrofag dengan cara mengatur ambilan
dan keluaran besi sehingga akan memicu
peningkatan retensi besi dalam makrofag
pada saat terjadi inflamasi. Besi juga
mengatur aktivitas sitokin, proliferasi, dan
aktivitas limfosit sehingga diferensiasi dan
aktivasi makrofag akan terpengaruh. 8,9
Protein fase akut memegang peran
dalam proses inflamasi yang kompleks.
Konsentrasi protein fase akut meningkat
secara signifikan selama proses inflamasi
akut karena tindakan pembedahan, infark
miokard, infeksi, dan tumor. Peningkatan
disebabkan oleh sintesis di hati, namun
tidak dapat digunakan untuk menentukan
penyebab inflamasi. Pengukuran protein
fase akut dapat digunakan untuk mengamati
progresivitas dari inflamasi serta melihat
respon terapi dengan melihat nilai protein
fase akut saat mulai meningkat dan kadar
yang tertinggi. Kadar feritin serum tidak
dapat menggambarkan indeks cadangan
besi dalam tubuh pada saat terjadi
kerusakan sel tubuh. Feritin diproduksi oleh
sistem reticulo endotelial, yang berperan
penting dalam proses metabolisme zat besi
saat pembentukan hemoglobin dari sel
darah merah senescent. Proses inflamasi
E. Diagnosis
Pada penyakit ginjal kronik, keadaan
anemia yang terjadi tidak sepenuhnya
berkaitan dengan penyakit ginjalnya.
Anemia pada penyakit ginjal kronik dapat
dijadikan
diagnosis
setelah
mengeksklusikan adanya defisiensi besi dan
kelainan eritrosit lainnya. Evaluasi terhadap
anemia dimulai saat kadar hemoglobin
10% atau hematokrit 30%.1,2,3,12
Beberapa poin harus diperiksa dahulu
sebelum dilakukan pemberian terapi
penambah eritrosit, yaitu : 1,2,3,12
Darah lengkap
Pemeriksaan darah tepi
Hitung retikulosit
Pemeriksaan besi (serum iron, total iron
binding capacity, saturasi transferin, serum
feritin)
Pemeriksaan darah tersamar pada tinja
Kadar vitamin B12
Hormon paratiroid
Anamnesis pada anemia dengan gagal
ginjal ditanyakan tentang riwayat penyakit
terdahulu, pemeriksaan fisik, evaluasi
pemeriksaan
darah
lengkap
dan
pemeriksaan
apus
darah
perifer.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
1)
1.
a.
Hiperkoagulasi
a.
b.
a.
-
b.
-
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
Lain-lain
(hiperparatiroidisme/osteitis
fibrosa,
intoksikasi
alumunium,
hemoglobinopati seperti talasemia beta dan
sickle cell anemia, defisiensi asam folat dan
vitamin B12, multiple mioloma, dan
mielofibrosis, hemolisis, keganasan).
Agar
pemberian
terapi
Eritropoietin
optimal, perlu diberikan terapi penunjang
yang berupa pemberian14:
a. Asam folat : 5 mg/hari
b. vitamin B6: 100-150 mg
c. Vitamin B12 : 0,25 mg/bulan
d. Vitamin C : 300 mg IV pasca HD, pada
anemia defisiensi besi fungsional yang
mendapat terapi EPO
e. Vitamin D: mempunyai efek langsung
terhadap prekursor eritroid
f. Vitamin E: 1200 IU ; mencegah efek induksi
stres oksidatif yang diakibatkan terapi besi
intravena
g. Preparat androgen (2-3 x/minggu)
Dapat mengurangi kebutuhan EPO
Obat ini bersifat hepatotoksik, hati-hati
pada pasien dengan gangguan fungsi hati
Tidak dianjurkan pada wanita
2)
Mengkoreksi hiperparatiroidisme
Sekunder hiperparatiroid pada anemia
dengan gagal ginjal, paratiroidektomi bukan
merupakan indikasi untuk terapi anemia.
Pengobatan supresi aktivitas kelenjar
paratiroid dengan 1,25- dihidroksi vitamin
D3
biasanya
berhubungan
dengan
10,14
peningkatan anemia.
5)
Terapi Androgen
Sejak tahun 1970 an androgen telah
digunakan untuk terapi gagal ginjal. Efek
yang positif yaitu meningkatkan produksi
eritropoetin, meningkatkan sensitivitas
polifrasi eritropoetin yang sensitif terhadap
populasi stem cell. Testosteron ester
(testosteron
propionat,
enanthane,
cypionate), derivat 17-metil androstanes
(fluoxymesterone,
oxymetholone,
methyltestosterone), dan komponen 19
norterstosteron
(nandrolone
dekanoat,
7)
IV :
9)
Transfusi Darah
Transfusi darah dapat diberikan pada
keadaan khusus. Indikasi transfusi darah
adalah:
Perdarahan akut dengan gejala gangguan
hemodinamik
Tidak memungkinkan penggunaan EPO
dan Hb < 7 g /dL
Hb < 8 g/dL dengan gangguan
hemodinamik
Pasien dengan defisiensi besi yang akan
diprogram terapi EPO ataupun yang telah
mendapat EPO tetapi respon belum
adekuat, sementara preparat besi IV/IM
belum tersedia, dapat diberikan transfusi
darah dengan hati-hati.
Target
pencapaian
Hb
dengan
transfusi darah adalah: 7-9 g/dL (tidak sama
dengan target Hb pada terapi EPO).
Transfusi diberikan secara bertahap untuk
menghindari
bahaya
overhidrasi,
hiperkatabolik (asidosis), dan hiperkalemia.
Bukti klinis menunjukkan bahwa pemberian