Anda di halaman 1dari 3

BERITA TERKINI

TEKNIK

Deteksi Kuman Difteri dengan


Polymerase Chain Reaction (PCR)
Sarwo Handayani
Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI Jakarta, Indonesia

ABSTRAK
Difteri merupakan infeksi saluran pernapasan bagian atas yang disebabkan oleh toksin Corynebacterium diphtheriae. Penyakit ini jarang
ditemukan di negara maju, tetapi masih sering di negara berkembang. Tidak semua galur Corynebacterium diphtheriae bersifat toksik, galur
penghasil toksin dapat menyebabkan penyakit yang parah.
Untuk konfirmasi diagnosis klinis difteri dan untuk mengetahui kemungkinan penyebaran penyakit tersebut sangat dibutuhkan tes yang
akurat dan cepat. Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan salah satu cara alternatif untuk mendeteksi kuman difteri yang toksigenik.
Dengan menggunakan primer gen tox (yang terdapat pada fragmen A), maka sampel positip difteri akan menunjukkan pita DNA sepanjang 248 pb.
Teknik PCR memiliki beberapa keuntungan, yaitu lebih cepat, sederhana dan mudah diinterpretasi. Sampel yang dibutuhkan juga sedikit, hanya
dari beberapa koloni bakteri. Teknik PCR sangat berguna untuk skrining isolat kuman difteri yang toksigenik. Namun teknik ini mempunyai
kelemahan yaitu tidak dapat memberi informasi mengenai kemampuan bakteri menghasilkan toksin yang berfungsi secara biologis, meskipun
mempunyai gen yang menyandi toksin difteri. Masih diperlukan deteksi fenotip untuk melengkapi informasi hasil PCR.
Kata kunci: difteri, PCR, toksin, diagnosis

PENDAHULUAN
Difteri merupakan infeksi saluran pernapasan
bagian atas, yang disebabkan oleh toksin
Corynebacterium diphtheriae. Sumber penularan penyakit difteri adalah manusia yang
sakit atau karier. Cara penularannya melalui
kontak langsung dengan penderita atau karier, dengan masa inkubasi 2-5 hari.1
Kasus difteri sangat jarang dijumpai di negara
maju, terutama setelah berhasilnya program
imunisasi. Namun di negara berkembang
seperti di Indonesia, kasus difteri masih sering
terjadi, bahkan menjadi wabah. Di Kabupaten
Cianjur, Jawa Barat misalnya kasus difteri dilaporkan setiap tahun, sejak tahun 1994. Data
menunjukkan bahwa sejak tahun 1994-2000
ditemukan 147 kasus difteri (CFR 27,8%). Sebagian besar kasus difteri dilaporkan dari
puskesmas, sedangkan dari rumah sakit dilaporkan 7 kasus per tahun. Tidak semua kasus

CDK-191/ vol. 39 no. 3, th. 2012

CDK-191_vol39_no3_th2012.indd 225

yang dilaporkan disertai pemeriksaan laboratorium yang memadai.2


Tidak semua galur Corynebacterium diphtheriae bersifat toksik, galur yang menghasilkan
toksin dapat menyebabkan penyakit yang parah. Untuk mendeteksi toksin dari isolat klinis,
sangat diperlukan tes yang akurat dan cepat.
Hal ini penting untuk konfirmasi diagnosis
klinis difteri dan untuk mengetahui risiko penyebaran penyakit tersebut pada orang kontak. Diagnosis difteri sulit ditegakkan karena
sering rancu dengan infeksi lain seperti infeksi
tonsil oleh Streptococcus atau infeksi kelenjar
(glandular fever). Oleh karena itu diagnosis
laboratorium sangat diperlukan untuk melengkapi diagnosis klinis.3,4
Pemeriksaan toksigenisitas kuman difteri
secara in vivo dan in vitro cukup akurat, namun memerlukan waktu lama. Pemeriksaan

molekuler seperti Polymerase Chain Reaction


(PCR) merupakan salah satu alternatif deteksi
infeksi difteri secara cepat dan akurat.
INFEKSI DIFTERI DAN TOKSIN
Infeksi kuman difteri menyebabkan terbentuknya pseudomembran berwarna keabuabuan di faring, laring dan hidung. Gejala
awalnya tidak spesifik seperti demam ringan
(biasanya <38,5oC), muntah, batuk dan nyeri tenggorokan. Penyakit ini terjadi karena
toksin yang dihasilkan kuman difteri diserap
ke pembuluh darah dan dibawa ke seluruh
tubuh termasuk jantung. Penyebab utama
kematian karena difteri adalah kolaps pembuluh darah jantung yang disertai kerusakan
pembuluh darah jantung pada tahap awal,
dan kerusakan jantung 2-4 minggu kemudian. Selain itu beberapa otot seperti otot
langit-langit, otot mata, otot tungkai dan
otot saluran pernapasan mengalami kelum-

225
4/3/2012 11:53:37 AM

TEKNIK
puhan. Infeksi campuran sering dijumpai
terutama infeksi Streptococcus dan Staphylococcus, sehingga sering sulit menentukan
penyebab sebenarnya.5,6
Infeksi difteri disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae, yaitu bakteri gram positip berbentuk batang. Bakteri tersebut menghasilkan
toksin jika mengalami lisogenisasi (terinfeksi)
oleh bakteriofag (virus yang menyerang bakteri tertentu) yang mengandung informasi
genetik toksin (tox C. diphtheriae).
Dengan adanya bakteriofag (corynebacteriumphage) maka galur Corynebacterium
diphtheriae yang tidak toksik dapat berubah
menjadi toksik. Hal ini dibuktikan dengan
ditemukannya galur Corynebacterium diphtheriae toksik dan non-toksik pada survei
wabah difteri. Bukti menunjukkan bahwa
wabah lebih sering disebabkan oleh galur
Corynebacterium diphtheriae toksik yang ditularkan ke galur Corynebacterium diphtheriae
non-toksik oleh bakteriofag, daripada ditimbulkan oleh galur Corynebacterium diphtheriae baru. Hanya galur toksigenik yang dapat
menyebabkan penyakit yang parah. Ditemukan 3 galur bakteri difteri yaitu gravis, intermedius dan mitis, semuanya memproduksi
toksin, namun tipe gravis yang paling virulen.
Galur Corynebacterium diphtheriae toksigenik jarang menginfeksi kulit dan mukosa,
meskipun demikian dapat menjadi sumber
penularan.1,5-8
Sintesis toksin difteri diatur oleh protein yang
disandi oleh gen kromosom bakteri. Toksin
difteri akan dihasilkan maksimal bila konsentrasi besi dalam medium rendah. Toksin difteri
dibuat dan disekresi dalam bentuk rantai polipeptida tunggal, dapat dipotong dengan enzim protease menjadi bentuk yang lebih kecil
yaitu fragmen A dan fragmen B. Fragmen A
bersifat toksik akan menghambat sintesis protein sel inang sehingga menyebabkan kematian sel. Fragmen B tidak toksik tetapi berperan
pada proses pelekatan dan penetrasi ke sel
inang. Tanpa penetrasi, fragmen A tidak bisa
aktif.1,8 Struktur kristal toksin difteri telah diketahui dan menunjukkan 3 bagian berbeda,
yaitu bagian Catalytic (C), Transmembran (T)
dan Receptor-binding (R). Patogenesis difteri
tergantung pada toksin difteri, namun organisme yang virulen tidak selalu berhubungan
dengan galur yang produktif menghasilkan
toksin.1,6

226
CDK-191_vol39_no3_th2012.indd 226

PEMERIKSAAN KUMAN DIFTERI TOKSIGENIK


Difteri merupakan infeksi saluran pernapasan
atas, oleh karena itu sampel berasal dari usap
tenggorok, hidung dan atau nasofaring. Dari
pasien yang menunjukkan gejala difteri diambil usap di daerah radang di sekitar tenggorok
dan nasofaring, Usap ini juga bermanfaat untuk mendeteksi karier. Jika mungkin, sampel
membran diambil untuk pengujian. Sebaiknya
sampel dimasukkan dalam medium transpor
amies pada suhu 4oC. Sampel segera dikirim
ke laboratorium sebelum 24 jam.4
Hasil pemeriksaan difteri secara mikroskopis
kurang dapat dipercaya. Pemeriksaan yang dianjurkan adalah kultur spesimen pada media
agar darah tellurite dan diinkubasi pada suhu
35oC secara aerob, selama 18-48 jam. Kuman
difteri menghasilkan koloni berwarna hitam.
Selanjutnya koloni tersebut harus dikultur
ulang pada medium modifikasi agar Tinsdale
dan agar darah. Pengecatan Gram dilakukan
untuk mengetahui morfologi kuman difteri
(Gram positif, bentuk batang).
Kultur ulang diinkubasi pada suhu 35oC selama 24 jam secara aerob. Beberapa koloni
menunjukkan warna hitam kecoklatan.4 Isolat
C. diphtheriae tipe mitis akan menghidrolisis
glukosa dan maltosa, sedangkan C. diphtheriae tipe gravis akan menghidrolisis glukosa,
maltosa dan pati.7
Tidak semua isolat difteri menghasilkan toksin, oleh karena itu pemeriksaan toksigenisitas pada isolat yang telah ditemukan sangat
penting. Uji toksigenisitas secara in vivo dan
in vitro dengan sel vero cukup akurat, namun
memerlukan waktu lama. Metode molekuler
yang sedang dikembangkan saat ini adalah
Polymerase Chain Reaction (PCR) menggunakan primer untuk mendeteksi gen tox (bagian
fragmen A yang aktif secara biologis). Pemeriksaan genotip dengan teknik PCR relatif cepat,
namun perlu diperhatikan karena sebagian
isolat yang mempunyai gen tox ternyata tidak
mengekspresikan toksin secara biologis. Oleh
karena itu konfirmasi fenotip (misalnya dengan tes elek) untuk menguji toksigenitas difteri sangat dianjurkan.3
Beberapa isolat difteri masih sensitif terhadap
penisilin, perlu dilakukan uji sensitivitas isolat
kuman terhadap beberapa antimikroba lain,
seperti eritromisin dan klindamisin.4

POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR)


PCR merupakan salah satu cara untuk memperbanyak fragmen DNA (deoxyribonucleic
acid) yang spesifik secara enzimatik in vitro.
Proses PCR menggunakan 1 pasang oligonukleotida primer yang akan menghibridisasi rantai tunggal dari arah yang berlawanan dengan
DNA target. Pemeriksaan difteri dengan teknik
PCR adalah untuk mengetahui adanya gen tox
dari fragmen A yang menyandi terbentuknya
toksin difteri.
Komponen yang diperlukan untuk pemeriksaan PCR adalah:
1. Sampel DNA
Sampel DNA yang akan diperbanyak sebagai template (cetakan) diperoleh dengan ekstraksi DNA. Ekstraksi DNA dilakukan dengan
cara menanam sampel usap tenggorok pada
medium agar Hoyles tellurite, kemudian diinkubasi pada 37o C selama 18-20 jam. Selanjutnya dipilih 3-5 koloni yang dicurigai difteri,
dan dipindahkan ke dalam tabung ependorf
1,5 mL yang mengandung 0,5 mL air destilasi
steril. Sampel dipanaskan selama 20 menit kemudian disentrifugasi pada 8000 x g selama
1 menit. Sebanyak 3 l supernatan digunakan sebagai sampel DNA untuk pemeriksaan
PCR.9
2. Primer
Primer adalah sepasang rangkaian pendek
DNA yang susunan asam nukleatnya komplementer dengan asam nukleat DNA target
(pada template). Primer berfungsi memulai
proses sintesis untai DNA baru dengan menggunakan DNA target sebagai cetakan.
Salah satu pasangan primer yang dapat digunakan untuk mendeteksi difteri adalah3:
5GTTTGCGTCAATCTTAATAGGG3
(dengan
posisi nukleotida 15-36) dan 5ACCTTGGTGTGATCTACTGTTT3 (dengan posisi nukleotida
1622-1634); dengan primer tersebut akan
dihasilkan produk PCR (amplicon) sepanjang
248 pb (pasang basa).
3.

4.
5.

Keempat basa nukleotida yang terdiri


dari ; A(adenin), T (Timin), G (Guanin) dan
C (Sitosin)
Enzim polimerase (Taq polymerase)
Buffer

Pada prinsipnya reaksi PCR berlangsung dalam 3 tahap yang berbeda suhu dan waktu-

CDK-191/ vol. 39 no. 3, th. 2012

4/3/2012 11:53:38 AM

TEKNIK
nya, yaitu tahap denaturation, annealing, dan
extension. Reaksi tersebut berlangsung di
dalam mesin PCR yang telah diatur suhu dan
waktunya. Proses PCR dimulai dengan:
1.

2.

3.

proses denaturation, yaitu proses terjadinya pemisahan untai ganda DNA


template (dsDNA) menjadi untai tunggal DNA (ssDNA). Proses ini hanya terjadi
pada suhu tinggi (93-96oC)
proses annealing yaitu proses penempelan/hibridisasi pasangan primer pada
DNA target dengan posisi yang sesuai
(komplemen), yaitu pada dua bagian
yang berbeda yang mengapit bagian
yang akan digandakan. Proses annealing
berlangsung pada suhu 50-68oC.
proses extension yaitu proses sintesis DNA
baru yang komplementer dengan DNA
template. Proses ini terjadi pada suhu 7072oC.

Setiap pemeriksaan menggunakan program


PCR dan jumlah siklus berlainan. Untuk mendeteksi kuman difteri (gen tox yang terdapat
fragmen A), program PCR yang digunakan
adalah: 98 oC selama 1.5 menit atau 95oC selama 5.0 menit, diikuti 94 oC selama 1,0 menit
(denaturation), 55oC selama 1.0 menit (annealing), dan 72oC selama 1.0 menit (extension).
Jumlah siklus untuk denaturation, annealing
dan extension sebanyak 35 siklus dan pada siklus terakhir dilanjutkan dengan 72oC selama
10 menit.3,9
Oleh karena primer dan enzim polimerase
tersedia berlebihan, produk siklus pertama
dapat berfungsi sebagai cetakan untuk siklus
berikutnya dan seterusnya. Ketiga proses di
atas (denaturation, annealing dan extension)
merupakan 1 siklus PCR yang akan memperoleh 2 kopi (salinan) DNA. Apabila siklus tersebut digandakan n kali maka pada akhir proses

Gambar 1 Hasil penggandaan produk DNA (248 pb) untuk mendeteksi kuman bakteri toksigenik dengan
teknik PCR. Baris A: Penanda yang telah diketahui panjang basanya; baris B-J: sampel positif difteri; baris K:
kontrol negatif; L=kontrol positif; M=akuades9

PCR akan diperoleh salinan DNA sebanyak 2n.


Hasil penggandaan sampel DNA selanjutnya
dielektroforesis pada gel agarosa 0,8% dengan
voltase 150-180 Volt selama 30 menit-3 jam.3,8
Untuk menghindari negatif palsu digunakan
kontrol internal, yaitu DNA difteri buatan
yang mengalami delesi (hilangnya beberapa
basa) sepanjang 42 pb, sehingga hasilnya dapat dibedakan dengan DNA sampel positif.
Adanya produk DNA sepanjang 206 bp pada
reaksi negatif menunjukkan bahwa proses
PCR berlangsung baik dan tidak ditemukan
hasil negatif palsu.3

tampak dalam gambar 1.

Hasil positif difteri pada sampel ditunjukkan


dengan adanya pita DNA sepanjang 248 pb,
yang berarti bahwa sampel tersebut mengandung gen tox, yang menyandi toksin difteri. Namun untuk memastikan toksigenisitas
kuman tersebut perlu dilakukan tes lain (misalnya tes elek), karena ternyata sebagian kuman difteri tidak memproduksi toksin secara
biologis, meskipun mempunyai gen tox yang
menyandi produksi toksin. Contoh hasil pemeriksaan sampel difteri dengan teknik PCR

Kelemahan teknik PCR adalah tidak dapat


memberi informasi tentang kemampuan
bakteri untuk menghasilkan toksin yang biologis berfungsi mempunyai gen yang menyandi toksin difteri. Teknik PCR juga tidak
dapat memberi informasi kerusakan atau mutasi pada gen struktural atau pada gen yang
menyandi elemen yang dibutuhkan untuk
ekspresi toksin difteri. Masih diperlukan deteksi fenotip untuk melengkapi informasi hasil
PCR.

PENUTUP
Diagnosis laboratorium yang cepat dan akurat
sangat diperlukan untuk menunjang diagnosis klinis difteri. Teknik PCR memiliki beberapa
keuntungan, yaitu lebih cepat, sederhana dan
mudah diinterpretasi. Hanya dengan beberapa koloni bakteri dapat dideteksi adanya
kuman difteri Corynebacterium diphtheriae
dalam sampel. Teknik PCR sangat bermanfaat
untuk skrining dan untuk konfirmasi laboratorium terutama pada saat terjadi wabah.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Mortimer E, Wharton M. Diphtheria toxoid. In: Vaccine ed Plotkins S, Ornstein, editors. Vaccines. 3rd ed. Philadelphia: WB Saunders Co.; 1999. p. 140-3.

2.

P2MPLP. Laporan hasil penyelidikan KLB Difteri di Kp Bunisari, Desa Balegede, Kecamatan Naringgul Kabupaten Cianjur; 2003.

3.

Efstratiou A, Engler KH, Dawes CS, Sesardic D. Comparison of phenotypic and genotypic methods for detection of diphtheria toxin among isolates of pathogenic Corynebacteria. J Clin
Microbiol. 1998;36(11):3173-7.

4.

http://www.hc-sc.gc.ca/pphb-dgspp/publicat/ccdr_rmtc/98vol24/24S3/

5.

Tumbelaka A. Difteri, pertusis, tetanus. In: Ranuh IG, Soeyitno H, Hadinegoro SR, Kartasasmita C, editors. Buku Imunisasi di Indonesia. Jakarta: Satgas Imunisasi-IDAI; 2001. p. 87.

6.

Assoc Researcher Vaccine Handbook. NIH. Tokyo: Maruzen 1996.p: 52-3.

7.

Hart T, Shears P. Medical microbiology. Toronto: Mosby-Wolfe; 1996. p. 107-10.

8.

Galazka A. The immunological basis for immunization: diphtheria. WHO; 1993. p. 1.

9.

Mickhailovich VM, Melnikov VG, Mazurova IK, Wachsmuth IK, Enger JD, Wharton M, et al. Application of PCR for detection of toxigenic Corynebacterium diphtheriae strains isolated during
the Russian diphtheria epidemic 1990 through 1994. J Clin Microbiol. Nov 1995;33(11):3061-3.

CDK-191/ vol. 39 no. 3, th. 2012

CDK-191_vol39_no3_th2012.indd 227

227
4/3/2012 11:53:39 AM

Anda mungkin juga menyukai