32 - 191Teknik-Deteksi Kuman Difteri Dengan Polymerase Chain Reaction
32 - 191Teknik-Deteksi Kuman Difteri Dengan Polymerase Chain Reaction
TEKNIK
ABSTRAK
Difteri merupakan infeksi saluran pernapasan bagian atas yang disebabkan oleh toksin Corynebacterium diphtheriae. Penyakit ini jarang
ditemukan di negara maju, tetapi masih sering di negara berkembang. Tidak semua galur Corynebacterium diphtheriae bersifat toksik, galur
penghasil toksin dapat menyebabkan penyakit yang parah.
Untuk konfirmasi diagnosis klinis difteri dan untuk mengetahui kemungkinan penyebaran penyakit tersebut sangat dibutuhkan tes yang
akurat dan cepat. Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan salah satu cara alternatif untuk mendeteksi kuman difteri yang toksigenik.
Dengan menggunakan primer gen tox (yang terdapat pada fragmen A), maka sampel positip difteri akan menunjukkan pita DNA sepanjang 248 pb.
Teknik PCR memiliki beberapa keuntungan, yaitu lebih cepat, sederhana dan mudah diinterpretasi. Sampel yang dibutuhkan juga sedikit, hanya
dari beberapa koloni bakteri. Teknik PCR sangat berguna untuk skrining isolat kuman difteri yang toksigenik. Namun teknik ini mempunyai
kelemahan yaitu tidak dapat memberi informasi mengenai kemampuan bakteri menghasilkan toksin yang berfungsi secara biologis, meskipun
mempunyai gen yang menyandi toksin difteri. Masih diperlukan deteksi fenotip untuk melengkapi informasi hasil PCR.
Kata kunci: difteri, PCR, toksin, diagnosis
PENDAHULUAN
Difteri merupakan infeksi saluran pernapasan
bagian atas, yang disebabkan oleh toksin
Corynebacterium diphtheriae. Sumber penularan penyakit difteri adalah manusia yang
sakit atau karier. Cara penularannya melalui
kontak langsung dengan penderita atau karier, dengan masa inkubasi 2-5 hari.1
Kasus difteri sangat jarang dijumpai di negara
maju, terutama setelah berhasilnya program
imunisasi. Namun di negara berkembang
seperti di Indonesia, kasus difteri masih sering
terjadi, bahkan menjadi wabah. Di Kabupaten
Cianjur, Jawa Barat misalnya kasus difteri dilaporkan setiap tahun, sejak tahun 1994. Data
menunjukkan bahwa sejak tahun 1994-2000
ditemukan 147 kasus difteri (CFR 27,8%). Sebagian besar kasus difteri dilaporkan dari
puskesmas, sedangkan dari rumah sakit dilaporkan 7 kasus per tahun. Tidak semua kasus
CDK-191_vol39_no3_th2012.indd 225
225
4/3/2012 11:53:37 AM
TEKNIK
puhan. Infeksi campuran sering dijumpai
terutama infeksi Streptococcus dan Staphylococcus, sehingga sering sulit menentukan
penyebab sebenarnya.5,6
Infeksi difteri disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae, yaitu bakteri gram positip berbentuk batang. Bakteri tersebut menghasilkan
toksin jika mengalami lisogenisasi (terinfeksi)
oleh bakteriofag (virus yang menyerang bakteri tertentu) yang mengandung informasi
genetik toksin (tox C. diphtheriae).
Dengan adanya bakteriofag (corynebacteriumphage) maka galur Corynebacterium
diphtheriae yang tidak toksik dapat berubah
menjadi toksik. Hal ini dibuktikan dengan
ditemukannya galur Corynebacterium diphtheriae toksik dan non-toksik pada survei
wabah difteri. Bukti menunjukkan bahwa
wabah lebih sering disebabkan oleh galur
Corynebacterium diphtheriae toksik yang ditularkan ke galur Corynebacterium diphtheriae
non-toksik oleh bakteriofag, daripada ditimbulkan oleh galur Corynebacterium diphtheriae baru. Hanya galur toksigenik yang dapat
menyebabkan penyakit yang parah. Ditemukan 3 galur bakteri difteri yaitu gravis, intermedius dan mitis, semuanya memproduksi
toksin, namun tipe gravis yang paling virulen.
Galur Corynebacterium diphtheriae toksigenik jarang menginfeksi kulit dan mukosa,
meskipun demikian dapat menjadi sumber
penularan.1,5-8
Sintesis toksin difteri diatur oleh protein yang
disandi oleh gen kromosom bakteri. Toksin
difteri akan dihasilkan maksimal bila konsentrasi besi dalam medium rendah. Toksin difteri
dibuat dan disekresi dalam bentuk rantai polipeptida tunggal, dapat dipotong dengan enzim protease menjadi bentuk yang lebih kecil
yaitu fragmen A dan fragmen B. Fragmen A
bersifat toksik akan menghambat sintesis protein sel inang sehingga menyebabkan kematian sel. Fragmen B tidak toksik tetapi berperan
pada proses pelekatan dan penetrasi ke sel
inang. Tanpa penetrasi, fragmen A tidak bisa
aktif.1,8 Struktur kristal toksin difteri telah diketahui dan menunjukkan 3 bagian berbeda,
yaitu bagian Catalytic (C), Transmembran (T)
dan Receptor-binding (R). Patogenesis difteri
tergantung pada toksin difteri, namun organisme yang virulen tidak selalu berhubungan
dengan galur yang produktif menghasilkan
toksin.1,6
226
CDK-191_vol39_no3_th2012.indd 226
4.
5.
Pada prinsipnya reaksi PCR berlangsung dalam 3 tahap yang berbeda suhu dan waktu-
4/3/2012 11:53:38 AM
TEKNIK
nya, yaitu tahap denaturation, annealing, dan
extension. Reaksi tersebut berlangsung di
dalam mesin PCR yang telah diatur suhu dan
waktunya. Proses PCR dimulai dengan:
1.
2.
3.
Gambar 1 Hasil penggandaan produk DNA (248 pb) untuk mendeteksi kuman bakteri toksigenik dengan
teknik PCR. Baris A: Penanda yang telah diketahui panjang basanya; baris B-J: sampel positif difteri; baris K:
kontrol negatif; L=kontrol positif; M=akuades9
PENUTUP
Diagnosis laboratorium yang cepat dan akurat
sangat diperlukan untuk menunjang diagnosis klinis difteri. Teknik PCR memiliki beberapa
keuntungan, yaitu lebih cepat, sederhana dan
mudah diinterpretasi. Hanya dengan beberapa koloni bakteri dapat dideteksi adanya
kuman difteri Corynebacterium diphtheriae
dalam sampel. Teknik PCR sangat bermanfaat
untuk skrining dan untuk konfirmasi laboratorium terutama pada saat terjadi wabah.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Mortimer E, Wharton M. Diphtheria toxoid. In: Vaccine ed Plotkins S, Ornstein, editors. Vaccines. 3rd ed. Philadelphia: WB Saunders Co.; 1999. p. 140-3.
2.
P2MPLP. Laporan hasil penyelidikan KLB Difteri di Kp Bunisari, Desa Balegede, Kecamatan Naringgul Kabupaten Cianjur; 2003.
3.
Efstratiou A, Engler KH, Dawes CS, Sesardic D. Comparison of phenotypic and genotypic methods for detection of diphtheria toxin among isolates of pathogenic Corynebacteria. J Clin
Microbiol. 1998;36(11):3173-7.
4.
http://www.hc-sc.gc.ca/pphb-dgspp/publicat/ccdr_rmtc/98vol24/24S3/
5.
Tumbelaka A. Difteri, pertusis, tetanus. In: Ranuh IG, Soeyitno H, Hadinegoro SR, Kartasasmita C, editors. Buku Imunisasi di Indonesia. Jakarta: Satgas Imunisasi-IDAI; 2001. p. 87.
6.
7.
8.
9.
Mickhailovich VM, Melnikov VG, Mazurova IK, Wachsmuth IK, Enger JD, Wharton M, et al. Application of PCR for detection of toxigenic Corynebacterium diphtheriae strains isolated during
the Russian diphtheria epidemic 1990 through 1994. J Clin Microbiol. Nov 1995;33(11):3061-3.
CDK-191_vol39_no3_th2012.indd 227
227
4/3/2012 11:53:39 AM