Infeksi Tenggorokan Abses Leher Dalam Dewi
Infeksi Tenggorokan Abses Leher Dalam Dewi
PENDAHULUAN
Infeksi tenggorokan adalah infeksi yang terdapat pada faring yang dapat
dibedakan berdasarkan letak anatominya yaitu faringitis dan tonsilitis serta
laringitis. Faring [Yun. Tenggorokan] adalah pasase muskulomembranosa antara
mulut dan nares posterior dengan laring dan esophagus. (Dorland, 2002)
Faring terletak dibelakang cavum nasi, mulut dan laring. Bentuknya mirip
corong dengan bagian atasnya yang terletak lebar terletak di bawah cranium
bagian bawahnya yang sempit dilanjutkan sebagai esofagus setinggi vertebra
cervicalis enam.Dinding faring terbagi atas tiga lapis yaitu mucosa, fibrosa dan
muscular. (Snell, 2002)
Otot-otot faring terdiri atas m.constrictor pharynges superior, medius, dan
inferior
yang
serabut-serabutnya
berjalan
hampir
melingkar,
dan
m.constrictor
pharyngis
inferior
kadang-kadang
disebut
m.
cricopharyngeus diyakini melakukan efek sfingter pada ujung bawah faring yang
mencegah masuknya udara ke dalam esophagus.
Untuk keperluan klinis faring dibagi menjadi 3 bagian utama yaitu
nasofaring, orofaring, dan laringofaring/hipofaring.
1. Nasofaring.
Nasofaring adalah sepertiga bagian atas dari faring yang terletak dibelakang
rongga hidung, diatas palatum molle. Nasofaring merupakan bagian pernafasan
dari faring dan tidak dapat bergerak kecuali palatum mole bagian bawah. Bila
palatum molle diangkat dan dinding posterior faring ditarik kedepan, seperti
waktu menelan, maka nasofaring tertutup dari orofaring.
Tonsila palatine
Tonsila palatine adalah dua massa jaringan limfoid yang terletak pada dinding
lateral orofaring di dalam fossa tonsilaris. Pada permukaannya terdapat kriptus.
Permukaan lateral dilapisi oleh selapis jaringan fibrosa yang disebut kapsula.
Batas-batas tonsila palatine
Anterior: arcus palatoglosus
Posterior: arcus palatopharingeus
Superior: palatum molle
Inferior: 1/3 posterior lidah. Disini tonsila palatina dilanjutkan oleh tonsila
lingualis.
Medial: ruang orofaring
Lateral: kapsula dipisahkan dari m.constrictor pharingys superior oleh areola
jarang. Lateral terhadap m.constrictor pharingys superior terdapat lengkung a.
Facialis. Arteri carotis interna terletak 2,5 cm di belakang dan lateral tonsila
palatina.
3. Laringofaring
Bagian bawah faring, dikenal dengan hipofaring atau laringofaring, menunjukkan
daerah jalan nafas bagian atas yang terpisah dari saluran pencernaan bagian
atas.Terletak dibelakang aditus larynges dan permukaan posterior laring yang
terbentang dari pinggir atas epiglottis sampai dengan pinggir posterior cartilage
cricoid.
Laringofaring mempunyai dinding anterior, posterior dan lateral.
Anterior: dibentuk oleh aditus larynges dan permukaan posterior laring.
Posterior: didukung oleh corpus vertebra cervicalis ketiga, keempat, kelima dan
keenam.
Lateral: didukung oleh cartilago thyroidea dan membran thyroidea. Terdapat fossa
piriformis yang terletak di kanan kiri aditus laryngis. Fossa ini berjalan dari
dorsum linguae menuju esofagus.
Pendarahan
Cabang arteri karotis eksterna (cabang faring asenden dan cabang fausial)
serta cabang arteri maksila interna(cabang palatina superior)
Persarafan
Persarafan sensorik dan motorik faring berasal dari pleksus faring yang
dibentuk oleh cabang faring dari nervus vagus, cabang dari nervus glosofaring,
dan serabut simpatis. Cabang faring dari n.vagus berisi serabut motorik. Pleksus
faring mempersarafi otot-otot faring kecuali m.stilofaring yang dipersarafi
langsung oleh cabang n.glosofaring.
BAB II
INFEKSI TENGGOROKAN
I.
FARINGITIS
Faringitis
merupakan
peradangan
dinding
faring
yang
dapat
disebabkan oleh virus (40-60%), bakteri (5-40%), alergi, trauma, dan toksin.
Virus dan bakteri melakukan invasi ke faring dan menimbulkan reaksi
inflamasi lokal. Infeksi bakteri group A Streptokokus beta hemolitikus dapat
menyebabkan kerusakan jaringan yang hebat, karena nbakteri ini melepaskan
toksin ekstraseluler yang dappat menimbulkan demam reumatik. Kerusakan
katup jantung, glomerulonefritis akut karena fungsi glomerulus terganggu
akibat terbentuknya kompleks antigen-antibodi.
Gambar 1. Faringitis
a. Faringitis akut
i. Faringitis viral
Rinovirus menimbulkan gejala rinitis dan beberapa hari kemudian akan
menimbulkan faringitis.
Gejala dan tanda faringitis viral adalah demam disertai rinorea, mual,
nyeri tenggorok, sulit menelan. Pada pemeriksaan tampak faring dan
tonsil hiperemis. Virus influenza, coxschievirus, dan cytomegalovirus
ntidak menghasilkan eksudat. Adenovbirus selain menimbulkan gejala
faringitis juga menimbulkan gejala konjungtivitis terutama pada anak.
Epsteiin Barr Virus (EBV) meneyebabkan faringitis yang disertai
produksi eksudat pada faring yang banyak.
kelenjar
limfa
diseluruh
tubuh
hepatosplenomegali.
5
terutama
Terdapat pembesaran
retroservikal
dan
menerus maka akan timbuul ulkus didaerah faring seperti ulkus genitalia
yang tidak nyeri. Pada stadium sekunder terdapat eritema pada dinding
faring yang menjlar ke arah laring.
guma,pada tonsil dan palatum.
II.
TONSILITIS
Tonsilitis adalah peradangan tonsila palatina yang merupakan bagian
dari cincin waldeyer. Cincin waldeyer terdiri dari tonsila faringeal (adenoid),
tonsila palatina (faucial), tonsil tuba eustachius, dan tonsila lingual.
Gambar 2. Tonsilitis
1. Tonsilitis Akut
a. Tonsilitis viral
Gejala yang timbul lebih menyerupai common cold disertai nyeri
tenggorokan.
Haemofilus influenzae
[pada infeksi virus coxschakie pada rongga mulut akan tampak lukaluka kecil pada palatum dan tonsil yang sangat nyeri dirasakab
pasien. Terapi cukup dengan istirahat, minum cukup, analgetik, dan
anti virus diberikan jika gejala berat.
b. Tonsilitis bakterial
Dapat disebabkan streptokokus A beta hemolitikus yang dikenal
sebagai strept throat, pneumokokus. Infiltrasi bakteri pada lapisan
epitel tonsil akan menyebabkan reaksio radang berupa keluarnya
leukosit PMN sehingga terbentuk detritus.
Detritus merupakan
memberntuk pseudomembran.
Masa inkubasi selama 2-4 hari. Gejala dan tanda yang sering
adalah nyeri tenggorok, nyeri menelan, demam, rasa letih, lesu, nyeri
di sendi-sendi, otalgia. Otalgia disebabkan adanya nyeri alih melelui
saraf
N.IX.
pada
pemeriksaan
tampak
tonsil
hiperemis,
10
dan isolasi
penderita.
3. Tonsilitis kronis
Disebabkan
rangsangan
menahun
akibat
rokok,
jenis-jenis
makanan, higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan
pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat.
Patologi
Karena proses radang yang timbuil berulang, makaseain epitel
mukosa, jaringan limfoid juga terkikis sehingga diganti dengan jaringan
parut yang akan mengalami pngerutan sehingga kripti melebar dan akan
diisi oleh detritus. Prose berjalan terus hingga menembus kapsul tonsil
dan akgirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan disekitar fossa
tonsilaris.
Pada pemeriksaan akan tampak tonsil membersar, permukaan tidak
rata, kriptus melebar dan beberapa terisi detritus, perasaan mengganjal di
11
Abses
peritonsil
yang
tidak
dapat
disembuhkan
dengan
pengobatan medikamentosa.
Bau mulut atau nafas menetap akibat tonsilitis kronik yang tidak
responsive dengan pengobatan.
III.
LARINGITIS
A. Laringitis akut
- Definisi
Laringitis akut adalah radang akut laring yang disebabkan oleh virus dan bakteri
yang berlangsung kurang dari 3 minggu.
- Etiologi
Pada umumnya disebabkan oleh infeksi virus influenza (tipe A dan B),
parainfluenza (tipe 1,2,3), rhinovirus dan adenovirus. Penyebab lain adalah
Haemofilus influenzae, Branhamella catarrhalis, Streptococcus pyogenes,
Staphylococcus aureus dan Streptococcus pneumoniae.
-Epidemiologi
Laringitis akut lebih banyak dijumpai pada anak-anak (usia kurang dari 3,5
tahun), namun tidak jarang dijumpai pada anak yang lebih besar, bahkan pada
orang dewasa atau orang tua.
- Manifestasi klinis
Anamnesis
Pada anamnesis biasanya didapatkan gejala demam, malaise, batuk, nyeri telan,
ngorok saat tidur, yang dapat berlangsung selama 3 minggu, dan dapat keadaan
berat didapatkan sesak nafas dan sianosis.
Pemeriksaan fisik
Tampak mukosa laring hiperemis, terutama diatas dan bawah pita suara
- Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan dengan laringoskop direk atau indirek dapat membantu
menegakkan diagnosis. Dari pemeriksaan ini plika vokalis berwarna merah dan
tampak edema terutama dibagian atas dan bawah glotis. Pemeriksaan darah rutin
tidak memberikan hasil yang khas, namun biasanya ditemui leukositosis.
13
merokok
dapat
mengiritasi
laring,
dapat
menyebabkan
14
4. Pekerjaan yang terus menerus terpapar oleh debu dan bahan kimia; banyak
pekerja-pekerja pabrik yang menderita laryngitis kronik seperti pada pekerja
pabrik pupuk, pestisida.
5. Penggunaan suara yang berlebih.
- Manifestasi klinis
Anamnesis:
Suara parau (disfoni), rasa tersangkut di tenggorok, panas dan tertekan di
daerah laring, nyeri menelan.
Pemeriksaan fisik:
Tampak mukosa menebal, permukaannya tak rata dan hiperemis.
Pada laringitis Tuberkulosis, terdapat 4 stadium yaitu:
Stadium infiltrasi
Mukosa laring posterior edema dan hiperemis dan akan berubah menjadi
pucat. Di submukosa terbentuk tuberkel dan akan membesar dan bersatu
sehingga mukosa diatasnya meregang. Jika suatu saat mukosa benar-benar
teregang akan pecah dan timbul ulkus.
Stadium ulserasi
Ulkus dangkal, dasarnya ditutupi perkijuan, dan nyeri
Stadium perikondritis
Ulkus makin dalam. Dapat terjadi kerusakan tulang rawan, sehingga terbentuk
nanah yang berbau sehingga terbentuk sekuester. Keadaan umum pasien dapat
memburuk.
Stadium fibrotuberkulosis
Terbentuk fibrotuberkulosis pada dinding posterior, pita suara dan subglotis.
Pada laringitis luetika terdapat guma yang bila pecah akan membentuk ulkus.
15
- Pemeriksaan penunjang
Laringoskopi direk, laringoskop indirek, laboratorium, foto rontgen torak,
pemeriksaan patologi anatomi
- Penatalaksanaan
Terapi non medikamentosa: Pada penderita laryngitis kronik yang disebabkan
oleh peradangan yang terjadi di hidung, faring serta bronkus maka diberikan
pengobatan untuk mengobati peradangan tersebut. Pasien juga diminta untuk
tidak banyak bersuara. Pada laryngitis yang disebabkan oleh rokok, alkohol,
asap pabrik, penggunaan suara yang berlebih maka disarankan : Pasien
diharapkan untuk berhenti merokok, hentikan meminum alcohol, Gunakan
masker, hindari minuman dingin, hindari makan goring-gorengan, hindari
makan pedas, hindari zat-zat penyebab, istirahat berbicara ( tidak terlalu banyak
bicara), kumur-kumur dengan air garam
Terapi Medikamentosa : Antibiotik, Antituberkulosa (laryngitis tuberkulosa) ,
Antasida, Obat batuk jika terdapat batuk
Terapi Pembedahan : Pengangkatan sekuester (pada laryngitis luetika) dan
trakeostomi bila terjadi sumbatan laring
-
Komplikasi
Pada laryngitis akibat peradangan yang terjadi dari daerah lain maka dapat
terjadi inflamasi yang progresif dan dapat menyebabkan kesulitan bernafas.
Kesulitan bernafas ini dapat disertai stridor baik pada periode inspirasi, ekspirasi
atau keduanya.
Laringitis akibat merokok, laring tidak dapat sembuh dari edema. Hal ini
menyebabkan laring dan plika vokais berada dalam keadaan eritema dan edema
akibat inflamasi. Edema yang timbul dapat bervariasi mulai dari ringan hingga
berat, hal ini mengakibatkan suara akan menjadi parau, terkesan lebih berat atau
kasar dan rendah.
16
Laringitis kronik akibat pemaparan yang lama dan berulang dapat menyebabkan
terbentuknya jaringan parut pada plika vokalis, penebalan plika vokalis, lesi pita
vokalis dan dapat terjadi parakeratosis atau hyperkeratosis.
Pada laryngitis luetika bila terjadi penyembuhan spontan dapat menyebabkan
terjadinya stenosis laring, karena terbentuknya jaringan parut.
Gambar 4. Laringitis
BAB III
ABSES LEHER DALAM
17
Amerika insiden tersebut kadang-kadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang per
tahun, dipertimbangkan hampir 45.000 kasus setiap tahun.
Abses leher dalam terbentuk dalam ruang potensial diantara fasia leher
dalam sebagai akibat dari penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi,
mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher tergantung ruang mana
yang terlibat. Gejala dan tanda klinik dapat berupa nyeri dan pembengkakan.
Abses peritonsiler (Quinsy) merupakan salah satu dari Abses leher dalam dimana
selain itu abses leher dalam dapat juga abses retrofaring, abses parafaring, abses
submanidibula dan angina ludovici (Ludwig Angina).
Abses peritonsiler adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada
bagian kepala dan leher. Gabungan dari bakteri aerobic dan anaerobic di daerah
peritonsilar. Tempat yang bisa berpotensi terjadinya abses adalah adalah didaerah
pillar tonsil anteroposterior, fossa piriform inferior, dan palatum superior.
Abses peritonsil terbentuk oleh karena penyebaran organisme bakteri
penginfeksi tenggorokan kesalah satu ruangan aereolar yang longgar disekitar
faring menyebabkan pembentukan abses, dimana infeksi telah menembus kapsul
tonsil tetapi tetap dalam batas otot konstriktor faring.
Peritonsillar
abscess
(PTA)
merupakan
kumpulan/timbunan
18
Streptococcus
pyogenes
(Group
Beta-hemolitik
streptoccus),
19
20
10cc. Aspirasi material yang bernanah (purulent) merupakan tanda khas, dan
material dapat dikirim untuk dibiakkan.
Gambar 6. tonsillitis akut (sebelah kiri) dan abses peritonsil (sebelah kanan).
Pada penderita PTA perlu dilakukan pemeriksaan:
1. Hitung darah lengkap (complete blood count), pengukuran kadar elektrolit
(electrolyte level measurement), dan kultur darah (blood cultures).
2. Tes Monospot (antibodi heterophile) perlu dilakukan pada pasien dengan
tonsillitis dan bilateral cervical lymphadenopathy. Jika hasilnya positif,
penderita memerlukan evaluasi/penilaian hepatosplenomegaly. Liver
function tests perlu dilakukan pada penderita dengan hepatomegaly.
3. Throat culture atau throat swab and culture: diperlukan untuk
identifikasi organisme yang infeksius. Hasilnya dapat digunakan untuk
pemilihan antibiotik yang tepat dan efektif, untuk mencegah timbulnya
resistensi antibiotik.
4. Plain radiographs: pandangan jaringan lunak lateral (Lateral soft tissue
views) dari nasopharynx dan oropharynx dapat membantu dokter dalam
menyingkirkan diagnosis abses retropharyngeal.
5. Computerized tomography (CT scan): biasanya tampak kumpulan cairan
hypodense di apex tonsil yang terinfeksi (the affected tonsil), dengan
peripheral rim enhancement.
6. Ultrasound, contohnya: intraoral ultrasonography.
21
KOMPLIKASI
Komplikasi yang mungkin terjadi ialah:
1. Abses pecah spontan, mengakibatkan perdarahanm aspirasi paru, atau
piema.
2. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses
parafaring.
Kemudian
dapat
terjadi
penjalaran
ke
mediastinum
menimbulkan mediastinitis.
3. Bila terjadi penjalaran ke daerah intracranial, dapat mengakibatkan
thrombus sinus kavernosus, meningitis, dan abses otak.
Sejumlah komplikasi klinis lainnya dapat terjadi jika diagnosis PTA
diabaikan. Beratnya komplikasi tergantung dari kecepatan progression penyakit.
Untuk itulah diperlukan penanganan dan intervensi sejak dini.
DIAGNOSIS BANDING
Infiltrat peritonsil, tumor, abses retrofaring, abses parafaring, aneurisma
arteri karotis interna, infeksi mastoid, mononucleosis, infeksi kelenjar liur, infeksi
gigi, dan adenitis tonsil.
TERAPI
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi dan obat
simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan air hangat dan kompres dingin pada
leher. Antibiotik yang diberikan ialah penisilin 600.000-1.200.000 unit atau
ampisilin/amoksisilin 3-4 x 250-500 mg atau sefalosporin 3-4 x 250-500 mg,
metronidazol 3-4 x 250-500 mg.
Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian
diinsisi untuk mengeluarkan nanah. Tempat insisi ialah di daerah yang paling
menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar
uvula dengan geraham atas terakhir. Intraoral incision dan drainase dilakukan
dengan mengiris mukosa overlying abses, biasanya diletakkan di lipatan
supratonsillar. Drainase atau aspirate yang sukses menyebabkan perbaikan segera
gejala-gejala pasien.
22
terjadi
perdarahan
atau
sepsis,
sedangkan
sebagian
lagi
Gambar 7. Tonsilektomi
Penggunaan steroids masih kontroversial. Penelitian terbaru yang
dilakukan Ozbek mengungkapkan bahwa penambahan dosis tunggal intravenous
dexamethasone pada antibiotik parenteral telah terbukti secara signifikan
mengurangi waktu opname di rumah sakit (hours hospitalized), nyeri tenggorokan
23
(throat pain), demam, dan trismus dibandingkan dengan kelompok yang hanya
diberi antibiotik parenteral.
PROGNOSIS
Abses peritonsoler hampir selalu berulang bila tidak diikuti dengan
tonsilektomi., maka difunda sampai 6 minggu berikutnya. Pada saat tersebut
peradangan telah mereda, biasanya terdapat jeringan fibrosa dan granulasi pada
saat oprasi.
24
Gejala dan tanda yang utama ialah trismus, indurasi atau pembengkakan
di sekitar angulus mandibula, demam tinggi dan pembengkakan dinding lateral
faring, sehingga menonjol ke arah medial.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, gejala dan tanda
klinik. Bila meragukan dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa foto
rontgen jaringan lunak AP atau CT scan.
Komplikasi
Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen atau
langsung (perkontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Penjalaran ke atas dapat
mengakibatkan peradangan intrakranial, ke bawah menyusuri selubung karotis
mencapai mediastinum.
Abses juga dapat menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah. Bila
pembuluh karotis mengalami nekrosis, dapat terjadi ruptur, sehimgga terjadi
perdarahan hebat, bila terjadi periflebitis atau endoflebitis, dapat timbul
tromboflebitis dan septikemia.
Terapi
Untuk terapi diberi antibiotika dosis tinggi secara parenteral terhadap
kuman aerob dan anaerob. Evakuasi abses harus segera dilakukan bila tidak ada
perbaikan dengan antibiotika dalam 28-48 jam dengan cara eksplorasi dalam
narkosis melalui insisi dari luar dan intra oral.
Insisi dari luar dilakukan dua setengah jari di bawah dan sejajar
mandibula. Secara tumpul eksplorasi dilanjutkan dari batas anterior m.pterigoid
interna mencapai ruang parafaring dengan terabanya prosesus stiloid. Bila
nanah terdapat di selubung karotis, insisi dilanjutkan vertikal dari pertengahan
insisi horozontal ke bawah di depan m.sternokleidomastoideus (cara Mosher).
Insisi intraoral dilakukan pada dinding lateral faring. Dengan memakai
klem arteri eksplorasi dilakukan dengan menembus m.konstriktor faring
25
superior ke dalam ruang parafaring anterior. Insisi intraoral dilakukan bila perlu
dan sebagai terapi tambahan terhadap insisi eksternal.
Pasien dirawat inap sampai gejala dan tanda infeksi reda.
3.3 ABSES RETROFARING
Abses retrofaring adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan
pus pada daerah retrofaring. Keadaan ini merupakan salah satu infeksi pada
leher bagian dalam ( deep neck infection ). Pada umumnya sumber infeksi pada
ruang retrofaring berasal dari proses infeksi di hidung, adenoid, nasofaring dan
sinus paranasal, yang menyebar ke kelenjar limfe retrofaring. Penyakit ini
biasanya ditemukan pada anak yang berusia di bawah 5 tahun. Hal ini terjadi
karena pada usia tersebut ruang retrofaring masih berisi kelnjar limfe, masingmasing 2-5 buah pada sisi kanan dan kiri. Kelenjar ini menampung aliran limfe
dari hidung, sinus paranasal, nasofaring, tuba Eustachius dan telinga tengah.
Pada usia diatas 6 tahun kelenjar eakan mengalami atrofi.
Akhir akhir ini abses retrofaring sudah semakin jarang dijumpai . Hal
ini disebabkan penggunaan antibiotik yang luas terhadap infeksi saluran nafas
atas. Pemeriksaan mikrobiologi berupa isolasi bakteri dan uji kepekaan kuman
sangat membantu dalam pemilihan antibiotik yang tepat. Walaupun demikian,
angka mortalitas dari komplikasi yang timbul akibat abses retrofaring masih
cukup tinggi sehingga diagnosis dan penanganan yang cepat dan tepat sangat
dibutuhkan.
Penatalaksanaan
abses
retrofaring
dilakukan
secara
26
pneumoniae,
Streptococcus
nonhemolyticus,
demam
sukar dan nyeri menelan
rasa sakit di leher ( neck pain )
keterbatasan gerak leher
dispnea
Pada bentuk kronis, perjalanan penyakit lambat dan tidak begitu khas sampai
terjadi pembengkakan yang besar dan menyumbat hidung serta saluran nafas.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya riwayat infeksi saluran napas bagian
atas atau trauma, gejala dan tanda klinik serta pemeriksaan penunjang foto
rontgen jaringan lunak leher lateral. Pada foto rontgen akan tampak pelebaran
ruang retrofaring lebih dari 7 mm pada anak dan dewasa serta pelebaran
retrotrakeal lebih dari 14 mm pada anak dan lebih dari 22 mm pada orang
dewasa. Selain itu juga dapat terlihat berkurangnya lordosis vertebra servikal.
Diagnosis banding
1. Adenoiditis
2. Tumor
3. Abses peritonsil
4. Abses parafaring
Terapi
28
dehidrasi,
diberikan
cairan
untuk
memperbaiki
29
dengan
melakukan
insisi
pada
batas
posterior
m.
30
Etiologi
Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelanjar limfe
submandibula. Mungkin juga kelanjutan infeksi dari ruang leher dalam lain.
Kuman penyebab biasanya campuran kuman aerob dan anaerob.
Gejala dan tanda
Terdapat demam dan nyeri leher disertai pembengkakan di bawah mandibula
dan atau di bawah lidah, mungkin berfluktuasi. Trismus sering ditemukan.
Terapi
Antibiotika dosis tinggi terhadap kuman aerob dan anaerob harus diberikan
secara parenteral.
Evakuasi abses dapat dilakukan dalam anestesi lokal untuk abses yang dangkal
dan terlokalisasi atau eksplorasi dalam narkosis bila letak abses dalam dan luas.
Insisi dibuat pada tempat yang paling berfluktuasi atau setinggi os hioid,
tergantung letak dan luas abses.
Paien dirawat inap 1-2 hari gejala dan tanda infeksi reda.
32
DAFTAR PUSTAKA
33
M.
2008.
Peritonsillar
Abscess
(Quinsy).
accessed:
http://www.patient.co.uk/showdoc/40000961/.
Retropharyngeal
abscess.
University
of
Maryland
Medicine
http://umm.drkoop.com/ conditions/ency/article/000984.htm
Scott BA, Stiernberg CM. Deep neck space infections. Dalam : Bailey BJ, Ed.
Head and neck surgery otolaryngology, Vol 1. Philadelphia: JB Lippincott
Company , 1993.
Snell, S Richard. 2002. Anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran. EGC;
Jakarta.
Soepardi,E.A, Iskandar, H.N, Abses Peritonsiler, Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga, Hidung dan Tenggorokan, Jakarta: FKUl, 200.
Steyer, T. E. 2002. Peritonsillar Abscess: Diagnosis and Treatment. accessed:
http://www.aafp.org/afp/20020101/93.html.
34