Anda di halaman 1dari 56

TENGGOROK

1. Abses leher dalam (Sebutkan apa saja, etio patofis, tanda gejala, tatalaksana)
- nyeri tenggorok, demam, terbatasnya gerakan membuka mulut dan leher harus dicurigai
abses leher dalam. Abses terbentuk di dalam ruang potensial antara fasia leher dalam
akibat penjalaran infeksi misalnya dari gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga
tengah, dan leher. Gejala dan tanda klinik biasanya berupa nyeri ddan pembengkakan di
ruang leher dalam yang terlibat, terdiri dari 5:

a. abses peritonsil
b. abses retrofaring
c. abses parafaring
d. abses submandibula
e. angina ludovici (ludwig angina)

a. Abses peritonsil

Etiologi : Merupakan komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mukus
Weber di kutup atas tonsil kuman bisa berupa aerob maupun an aerob.
Patologi : Daerah superior dan lateral fossa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar oleh
karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering pada daerah superior
dan lateral fossa tonsilaris (nampak palatum mole membengkak), abses pada inferior dari fosa
jarang terjadi.
Pada stadium permulaan (infiltrat) terjadi pembengkakan, hiperemis, kemudian bila proses
berlanjut akan menyebabkan supurasi sehingga menjadikan dsaeraah tersebut menjadi
lebih lunak dan mendorong tonsil dan uvula ke arah kontralateral. Peradangan yang terjadi
terus menerus akan menyebabkan iritasi pada m. Pterigoid interna dan trismus.
Tanda dan gejala :
- Tanda tonsilitis akut
- Odinofagia (nyeri telan)
- Muntah
- Mulut berbau (foetor ex ore)
- Hipersalivasi
- Suara gumam (hot potato voice)
- Trismus
- Pembengkakan kelenjar submandibula disertai nyeri tekan
Tatalaksana :
Stadium infiltrasi : AB gol. Pensisilin atau klindamisin, obat simptomatis, kumur, kompres
dingin pada leher.
Bila terbentuk abses : pungsi pada daerah abses, insisi untuk mengeluarkan nanah,. Tempat insisi
adalah daerah paling menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis yang menghubungkan
garis dasar uvula dengan gigi geraham atas terakhir pada sisi yang sakit.
Kemudian dilakukan tonsilektomi :
A chaud : tonsilektomi dilakukan bersamaan dengan dengan tindakan drainase abses
A tiede : tonsilektomi dilakukan 3-4 hari post drainase abses
A froid : 4-6 minggu setelah drainase abses

(umumnya tonsilektomi dilakukan setelah infeksi tenang, 2-3 minggu setelah drainase abses)

b. Abses retrofaring
Abses retrofaring adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan pus pada
daerah retrofaring. Keadaan ini merupakan salah satu infeksi pada leher bagian dalam ( deep
neck infection ). Pada umumnya sumber infeksi pada ruang retrofaring berasal dari proses
infeksi di hidung, adenoid, nasofaring dan sinus paranasal, yang menyebar ke kelenjar
limfe retrofaring.
Penyakit ini ditemukan biasanya pada anak yang berusia di bawah 5 tahun. Hal ini terjadi
karena pada usia tersebut ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfa, masing-masing 2-5 buah
pada sisi kanan dan kiri. Kelenjar ini menampung aliran limfa dari hidung, sinus paranasal,
nasofaring, faring, tuba Eustachius, dan telinga tengah. Pada usia di atas 6 tahun kelenjar limfa
akan mengalami atrofi.
Etiologi : Keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya abses ruang retrofaring ialah (1) infeksi
saluran napas atas yang menyebabkan limfadenitis retrofaring, (2) trauma dinding belakang
faring oleh benda asing seperti tulang ikan atau tindakan medis, seperti adenoidektomi, intubasi
endotrakea, dan endoskopi, (3) tuberkulosis vertebra servikalis bagian atas (abses dingin).
Pasien dengan penyakit immunocompromised atau penyakit kronis seperti diabetes, kanker,
alkoholisme, dan AIDS memiliki resiko yang meningkat terhadap abses retrofaringeal
Patofisiologi : -
Tanda dan gejala :Gejala utama abses retrofaring ialah rasa nyeri dan sukar menelan. Pada
anak kecil, rasa nyeri menyebabkan anak menangis terus (rewel) dan tidak mau makan atau
minum. Juga terdapat demam, leher kaku dan nyeri. Dapat timbul sesak napas karena
sumbatan, terutama di hipofaring. Bila proses peradangan berlanjut sampai mengenai laring
dapat timbul stridor. Sumbatan oleh abses juga dapat mengganggu resonansi suara sehingga
terjadi perubahan suara. Pada bayi, nyeri tenggorok dan/atau pembengkakan leher dapat
menyebabkan asupan gizi yang kurang disertai letargi.
Pada dinding belakang faring tampak benjolan, biasanya unilateral. Mukosa terlihat bengkak dan
hiperemis. Kelenjar getah bening leher juga dapat membengkak. Pada anak dapat ditemukan
gejala dan tanda tonsilitis, faringitis, dan juga otitis media.
Tatalaksana : Terapi abses retrofaring ialah dengan medikamentosa dan tindakan bedah.
Sebagai terapi medikamentosa diberikan antibiotika dosis tinggi, untuk kuman aerob dan
anaerob, diberikan secara parenteral. Selain itu dilakukan pungsi dan insisi abses melalui
laringoskopi langsung dalam posisi pasien baring Trendelenburg. Pus yang keluar segera diisap,
agar tidak terjadi aspirasi. Tindakan dapat dilakukan dalam analgesia lokal atau anestesia umum.
Pasien dirawat inap sampai gejala dan tanda infeksi reda.
c. Abses Parafaring
Abses parafaring yaitu peradangan yang disertai pembentukan pus pada ruang parafaring. Ruang
parafaring dapat mengalami infeksi secara langsung akibat tusukan saat tonsilektomi, limfogen
dan hematogen.
Etiologi
Ruang parafaring dapat mengalami infeksi dengan cara :
1. Langsung, yaitu akibat tusukan jarum pada saat melakukan tonsilektomi dengan
analgesia.
2. Proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring, hidung, sinus
paranasal, mastoid, dan vertebra servikal dapat merupakan sumber infeksi untuk
terjadinya abses ruang parafaring.
3. Penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring, atau submandibula.
Patofisiologi
Infeksi yang bersumber dari gigi dapat menyebar ke jaringan sekitar dan membentuk
abses sublingual, submental, submandibula, mastikator atau parafaring. Dari gigi anterior sampai
M1 bawah biasanya yang mula-mula terlibat adalah ruang sublingual dan submental. Bila infeksi
dari M2 dan M3 bawah, ruang yang terlibat dulu adalah submandibula. Hal ini disebakan posisi
akar gigi M2 dan M3 berada di bawah garis perlekatan m. milohiod pada mandibula sedang gigi
anterior dan M1 berada diatas garis perlekatan tersebut.
Gejala dan tanda
Gejala dan tanda yang utama ialah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar
angulus submandibula, demam tinggi dan pembengkakan diniding lateral faring, sehingga
menonjol ke arah medial.
Tatalaksana
Untuk terapi diberikan antibiotika dosis tinggi secara parenteral terhadap kuman aerob
dan anaerob. Evakuasi abses harus segera dilakukan bila tidak ada perbaikan dengan
antibiotika dalam 24-48 jam dengan cara eksplorasi dalam narkosis. Caranya melalui insisi
dari luar dan intra oral.
Insisi dari luar dilakukan 2 setengah jari di bawah dan sejajar mandibula. Secara
tumpu eksplorasi dilanjutkan dari batas anterior m.sternokleidomastoideus ke arah atas belakang
menyusuri bagian medial mandibula dan m.pterigoid interna mencapai ruang parafaring dengan
terabanya prosesus stiloid. Bila nanah terdapat di dalam selubung karotis, insisi dilanjutkan
vertikal dari pertengahan insisi horizontal ke bawah di depan m.sternokleidomastoideus (cara
Mosher).

Gambar 6. Insisi Mosher.


Insisi intraoral dilakukan pada dinding lateral faring. Dengan memakai klem arteri
eksplorasi dilakukan dengan menembus m.konstriktor faring superior ke dalam ruang parafaring
anterior. Insisi intraoral dilakukan bila perlu dan sebagai terapi tambahan terhadap insisi
eksternal.
Pasien dirawat inap sampai gejala dan tanda infeksi reda

d. Abses Submandibula
Definisi
Abses submandibula adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan pus pada daerah
submandibula. Pada umumnya sumber infeksi pada ruang submandibula berasal dari proses
infeksi dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar limfe submandibula. Mungkin juga kelanjutan
infeksi dari ruang leher dalam lain.
Etiologi
Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar liur, atau kelenjar limfa
submandibula. Mungkin juga sebagian kelanjutan infeksi ruang leher dalam lain. Sebagian besar
abses leher dalam disebabkan oleh campuran berbagai kuman, baik kuman aerob, anaerob,
maupun fakultatif anaerob. Kuman aerob yang sering ditemukan adalah Stafilokokus,
Streptococcus sp, Haemofilus influenza, Streptococcus Pneumonia, Moraxtella catarrhalis,
Klebsiell sp, Neisseria sp. Kuman anaerob yang sering ditemukan pada abses leher dalam adalah
kelompok batang gram negatif, seperti Bacteroides, Prevotella, maupun Fusobacterium.
Ruang submandibula berhubungan dengan beberapa struktur didekatnya, oleh karena itu abses
submandibula dapat menyebar ke struktur didekatnya.
Gejala dan tanda
Terdapat demam dan nyeri leher disertai pembengkakan di bawah mandibula dan atau di bawah
lidah. Pasien juga biasanya akan mengeluhkan air liur yang banyak, trismus akibat keterlibatan
muskulus pterigoideus, disfagia dan sesak nafas akibat sumbatan jalan nafas oleh lidah yang
terangkat ke atas dan terdorong ke belakang. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya
pembengkakan di daerah submandibula, fluktuatif, dan nyeri tekan. Pada insisi didapatkan
material yang bernanah atau purulent (merupakan tanda khas). Angulus mandibula dapat
diraba. Lidah terangkat ke atas dan terdorong ke belakang.
Terapi
1. Antibiotik (parenteral)
2. Bila abses telah terbentuk, maka evakuasi abses dapat dilakukan. Evakuasi abses dapat
dilakukan dalam anestesi lokal untuk abses yang dangkal dan terlokalisasi atau eksplorasi
dalam narkosis bila letak abses dalam dan luas. Insisi dibuat pada tempat yang paling
berfluktuasi atau setinggi os hioid, tergantung letak dan luas abses. Pasien dirawat inap
sampai 1-2 hari gejala dan tanda infeksi reda.
3. Mengingat adanya kemungkinan sumbatan jalan nafas, maka tindakan trakeostomi perlu
dipertimbangkan.

e. Angina Ludovici
Angina Ludovici ialah infeksi ruang submandibula berupa selulitis (peradangan jaringan ikat)
dengan tanda khas berupa pembengkakan seluruh ruang submandibula, tidak
membentuk abses, sehingga keras pada perabaan submandibula. Penyakit ini termasuk
dalam grup penyakit infeksi odontogen, di mana infeksi bakteri berasal dari rongga mulut seperti
gigi, lidah, gusi, tenggorokan, dan leher. Karakter spesifik yang membedakan angina Ludovici
dari infeksi oral lainnya ialah infeksi ini harus melibatkan dasar mulut serta kedua ruang
submandibularis (sublingualis dan submaksilaris) pada kedua sisi (bilateral).
Etiologi
Sumber infeksi seringkali berasal dari gigi atau dasar mulut, oleh kuman aerob dan
anaerob. Rute infeksi pada kebanyakan kasus ialah dari terinfeksinya molar ketiga rahang
bawah atau dari perikoronitis, yang merupakan infeksi dari gusi sekitar gigi molar ketiga
yang erupsi sebagian. Selain gigi molar ketiga, gigi molar kedua bawah juga menjadi penyebab
odontogenik dari angina Ludwig.
Gejala dan tanda
Gejala awal biasanya berupa nyeri pada area gigi yang terinfeksi. Dagu terasa tegang dan
nyeri saat menggerakkan lidah. Penderita mungkin akan mengalami kesulitan membuka
mulut, berbicara, dan menelan, yang mengakibatkan keluarnya air liur terus-menerus
serta kesulitan bernapas. Penderita juga dilaporkan mengalami kesulitan makan dan minum.
Gejala klinis umum angina Ludovici meliputi malaise, lemah, lesu, malnutrisi, dan dalam
kasus yang parah dapat menyebabkan stridor atau kesulitan bernapas. Gejala klinis
ekstra oral meliputi eritema, pembengkakan, perabaan yang keras seperti papan (board-
like) serta peninggian suhu pada leher dan jaringan ruang submandibula-sublingual yang
terinfeksi; disfonia (hot potato voice) akibat edema pada organ vokal. Gejala klinis intra oral
meliputi pembengkakan, nyeri dan peninggian lidah; nyeri menelan (disfagia); hipersalivasi
(drooling); kesulitan dalam artikulasi bicara (disarthria).
Tatalaksana
Penatalaksaan angina Ludwig memerlukan tiga fokus utama, yaitu:
 pertama dan paling utama, menjaga patensi jalan napas.
 kedua, terapi antibiotik secara progesif, dibutuhkan untuk mengobati dan membatasi
penyebaran infeksi.
 ketiga, dekompresi ruang submandibular, sublingual, dan submental.
Selain itu, dilakukan pula eksplorasi dengan tujuan dekompresi (mengurangi ketegangan)
dan evaluasi pus, di mana pada umumnya angina Ludwig jarang terdapat pus atau jaringan
nekrosis. Eksplorasi lebih dalam dapat dilakukan memakai cunam tumpul. Jika terbentuk
nanah, dilakukan insisi dan drainase. Insisi dilakukan di garis tengah secara horisontal
setinggi os hyoid (3-4 jari di bawah mandibula). Jika gigi yang terinfeksi merupakan fokal
infeksi dari penyakit ini, maka gigi tersebut harus diekstraksi untuk mencegah kekambuhan.
Pasien di rawat inap sampai infeksi reda.
2. Esofagitis (Definisi, etio, patofis, tanda gejala, tx)

Definisi
Esofagitis adalah suatu keadaan dimana mukosa esofagus mengalami peradangan, dapat
terjadi secara akut maupun kronik. Esofagitis kronis adalah peradangan di esophagus yang
disebabkan oleh luka bakar karena zat kimia yang bersifat korosif, misalnya berupa asam
kuat, basa kuat dan zat organik.
Etiologi
Penyebab tersering esophagitis ialah GERD. Adapun penyebab lainnya:
a. Hiatal hernia
b. Medikamentosa yang dapat mengiritasi esofagus, termasuk di dalamnya:
- NSAID, misalnya aspirin, ibuprofen, atau naproxen, antibiotic, seperti tetrasiklin atau
klindamisin, Vitamin dan mineral supplements, seperti vitamin C, Fe, dan
potassium pills.
c. Infeksi. Orang yang memiliki system imun rendah berisiko mengalami esophagitis,
seperti orang yang mengidap HIV, diabetes, gangguan ginjal, lanjut usia, dan orang
yang mengonsumsi steroid.
d. Terapi radiasi
e. Scleroderma
f. Alergi makanan, khususnya seafood, susu, kacang, kedelai, atau telur
Manifestasi Klinis
Manifestasi secara umum:

 Heartburn
 Nyeri ketika menelan
 Sulit saat menelan makanan atau minuman
 Nyeri dada (mirip dengan nyeri dada pada serangan jantung)
 Batuk
Terkadang dapat ditemukan keluhan berikut:
 Mual atau muntah
 Demam
 Belly pain
a. Esofagus peptic (refluks)
Gejala klinik yang nyata misalnya rasa terbakar di dada (heartburn) nyeri di daerah ulu
hati, rasa mual, dan lain-lain
b. Esophagitis refluks basa
Gejala klinik berupa pirosis, rasa sakit di retrosternal. Regurgitasi yang terasa sangat
pahit, disfagia, adinofagia dan anemia defisiensi besi kadang-kadang terjadi
hematemesis berat.
c. Esophagitis candida
Gejala klinis yang sering adalah disfagia, adinofagia. Pada beberapa penderita mengeluh
dapat merasakan jalannya makanan yang ditelan dari kerongkongan ke lambung, rasa
nyeri retrosternal yang menyebar sampai ke daerah scapula atau terasa di sepanjang
vertebra torakalis, sinistra.
d. Esophagitis herpes
Gejala klinik berupa disfagia, odinofagia, dan rasa sakit retrosternal yang tidak
membaik setelah pengobatan dengan nyastin atau anti fungal lain
e. Esophagitis korosif
Gejala yang sering timbul adalah disfagia/kesulitan menelan, odinofagia dan adanya
rasa sakit retrosternal
f. Esophagitis karena obat
Gejala yang timbul berupa odinofagia, rasa sakit retrosternal yang terus-menerus,
disfagia atau kombinasi dari ketiga gejala ini
Gejala dan keluhan yang timbul tergantung dari jenis, konsentrasi, jumlah zat korosif, lama
kontak dengan zat korosif, dan apakah zat kembali dimuntahkan atau tidak. Jika dibagi
berdasarkan beratnya luka yang dialami oleh permukaan saluran maka dibagi atas:
1. Esophagitis korosif tanpa ulserasi, gejala gangguan menelan ringan dan pada
pemeriksaan esofagoskopi tampak permukaan kemerahan tanpa disertai luka
2. Esophagitis korosif dengan ulserasi ringan, keluhan gangguan menelan yang ringan dan
pada pemeriksaan esofagoskopi dapat dilihat luka yang tidak dalam, hanya sebatas
permukaan
3. Esophagitis korosif dengan ulserasi sedang, luka sudah mengenai lapisan otot biasanya
ditemukan lebih dari satu
4. Esophagitis korosif dengan ulserasi berat tanpa komplikasi, terdapat pengelupasan
permukaan dan kematian sel yang dalam, mengenai hamper seluruh bagian esofagus
5. Esophagitis korosif dengan ulserasi berat dengan komplikasi, komplikasi berupa
peradangan pada jaringan perut

3. Angiofibroma nasofaring (Definisi, etio, patofis, tanda gejala, tx sesuai dr umum)

Definisi

Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara histologik
jinak, secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai kemampuan mendestruksi tulang dan
meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasal, pipi, mata dan tengkorak, serta sangat
mudah berdarah yang sulit dihentikan.
Sebutan lain untuk angiofibroma di dalam literatur antara lain: juvenile angiofibroma,
juvenile nasopharyngeal angiofibroma (JNA), nasal cavity tumor, nasal tumor, benign nasal
tumor, tumor hidung (nose tumor), nasopharyngeal tumor, atau angiofibroma nasofaring belia.6
Etiologi
Etiologi JNA masih belum jelas. Berbagai teori banyak diajukan, salah satunya adalah
teori jaringan asal, yaitu pendapat bahwa tempat perlekatan spesifik angiofibroma adalah di
dinding posterolateral atap rongga hidung. Faktor ketidakseimbangan hormonal juga banyak
dikemukakan sebagai penyebab dari tumor ini, bahwa JNA berasal dari sex steroid-stimulated
hamartomatous tissue yang terletak di turbinate cartilage. Pengaruh hormonal yang
dikemukakan ini dapat menjelaskan mengapa beberapa JNA jarang terjadi (ber-involute) setelah
masa remaja (puberty)

Patogenesis

Tumor pertama kali tumbuh di bawah mukosa di tepi sebelah posterior dan lateral koana
di atap nasofaring. Tumor akan tumbuh besar dan meluas dibawah mukosa sepanjang atap
nasofaring, mencapai tepi posterior septum dan meluas ke arah bawah membentuk tonjolan
massa diatap rongga hidung posterior. Perluasan ke arah anterior akan mengisi rongga hidung,
mendorong septum ke sisi kontralateral dan memipihkan konka. Pada perluasan kearah lateral,
tumor melebar kearah foramen sfenopalatina, masuk ke fisura pterigomaksila dan akan
mendesak dinding posterior sinus maksila. Bila meluas terus, akan masuk ke fossa intratemporal
yang akan menimbulkan benjolan di pipi, dan “rasa penuh” di wajah. Apabila tumor mendorong
salah satu atau kedua bola mata maka akan tampak gejala yang khas pada wajah, yang akan
disebut “muka kodok”. Juga dapat terjadi perluasan intrakranial

Gejala klinik
-
Gejala yang sering ditemukan adalah sumbatan hidung yang progresif dan
epistaksis berulang yang masif.
-
Timbul rinorea kronik diikuti gangguan penciuman, rinolalia, dan anosmia. Tuli
atau otalgia akibat okulasi pada tuba eustachius, dan dapat terjadi otitis media.
-
Sefalgia hebat terjadi bila tumor sudah meluas ke intrakranial. Dapat pula
menyebabkan deformitas pada muka, disfagi, proptosis dan gangguan visus.
-
Gejala-gejala dini adalah kongesti dari sumbatan hidung dengan disertai
perdarahan.
-
Pada stadium lanjut timbul rasa nyeri dan sekret muko purulen. Jika pertumbuhan
tumor mencapai besar tertentu,
-
“muka kodok” jelas terlihat, tulang maksila merenggang dan tampak
eksopthalmus yang menonjol. Sering disertai “aprosexsia” dan rasa ngantuk.

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang seperti x-foto
polos, CT scan, angiografi atau MRI. Gejala yang paling sering ditemukan (>80%) ialah hidung
tersumbat yang progresif dan epistaksis yang berulang dan masif, infeksi sekunder dapat terjadi
pada ruangan di belakang hidung akibat berkurangnya drainase di tempat tersebut. Gejala-gejala
lain muncul tergantung dari luasnya tumor dan arah pembesarannya.

Pada pemeriksaan fisik secara rinoskopi posterior akan terlihat massa tumor yang
konsistensinya kenyal, warnanya bervariasi dari abu-abu sampai merah muda. Mukosanya
mengalami hipervaskularisasi dan tidak jarang ditemukan adanya ulserasi.

Untuk menentukan perluasan tumor, dibuat sistem staging. Ada 2 sistem

yang paling sering digunakan yaitu Sessions dan Fisch.1,3

Klasifikasi menurut Sessions sebagai berikut :


- Stage IA :Tumor terbatas pada nares posterior dan/atau nasofaring
- Stage IB :Tumor melibatkan nares posterior dan/atau nasofaring
dengan perluasan ke satu sinus paranasal.
- Stage IIA : Perluasan lateral minimal ke dalam fossa pterygomaksila.
- Stage IIB : Mengisi seluruh fossa pterygomaksila dengan atau tanpa erosi ke tulang
orbita.
- Stage IIIA :Mengerosi dasar tengkorak; perluasan intrakranial yang minimal.
- Stage IIIB : Perluasan ke intrakranial dengan atau tanpa perluasan ke dalam sinus
kavernosus.
Klasifikasi menurut Fisch :
- Stage I : Tumor terbatas pada kavum nasi, nasofaring tanpa destruksi tulang.
- Stage II : Tumor menginvasi fossa pterygomaksila, sinus paranasal dengan
destruksi tulang.
- Stage III : Tumor menginvasi fossa infra temporal, orbita dan/atau daerah
parasellar sampai sinus kavernosus.
- Stage IV : Tumor menginvasi sinus kavernosus, chiasma optikum dan/atau fossa
pituitary.

Penatalaksanaan
Tindakan operasi merupakan pilihan utama selain terapi hormonal atau radioterapi, namun ada
buku yang menyebutkan bahwa tumor ini cenderung mengalami regresi ketika penderita tumor
ini masuk ke masa pubertas, jadi operasi diindikasikan jika ada komplikasi akibat tumor ini
seperti jika angiofibroma tumbuh membesar, menghalangi saluran udara atau menyebabkan
epistaksis menahun.
4. Kemungkinan dx, tx dr. umum pada:

a) Gangguan suara (etio, tatalaksana, dasar dx, pemeriksaan penunjang, prinsip terapi)

ETIOLOGI DISFONIA

Penyebab disfonia dapat bermacam – macam yang prinsipnya menimpa laring dan
sekitarnya. Diantara lain radang, tumor (neoplasma), paralisis otot – otot laring, kelainan laring
seperti sikatriks akibat operasi, fiksasi pada sendi krikoaritenoid dan lain – lain.

Ada suatu keadaan yang disebut sebagai disfonia ventrikular, yaitu keadaan plika
ventrikular yang mengambil alih fungsi fonasi dari pita suara, misalnya sebagai akibat
pemakaian suara yang terus menerus pada pasien dengan laringitis akut. Inilah pentingnya
istirahat berbicara (vocal rest) pada pasien dengan laringitis akut, disamping pemberian obat –
obatan.
- Radang laring dapat akut atau kronik. Radang akut biasanya disertai gejala lain
seperti demam, malaise, nyeri menelan atau berbicara, batuk, disamping
gangguan suara.
- Radang kronik nonspesifik, dapat disebabkan oleh sinusitis kronis, bronkitis
kronis atau karena penggunaan suara yang salah dan berlebihan (vocal abuse)
seperti sering berteriak – teriak atau berbicara keras. Vocal abuse juga sering
terjadi pada penyanyi, [enceramah, aktor, dosen, guru dan lain – lain.
- Radang kronik spesifik misalnya tuberkulosis.
- Tumor laring dapat jinak atau ganas.
- Tumor pita suara non neoplastik dapat berupa nodul, kista, polip atau edema
submukosa (Reinke’s edema). Lesi jinak yang lain dapat berupa sikatriks,
keratosis, fisura, mixedem, amilodosis, sarkoidosis dan lain – lain.
- Paralisis otot laring dapat disebabkan oleh gangguan persarafan, baik sentral
maupun perifer, dan biasanya paralisis motorik bersama dengan paralisis sensorik.
- Paralisis pita suara merupakan kelainan otot intrinsik laring yang sering
ditemukan dalam klinik
- Paralisisi motorik otot laring dapat digolongkan menurut lokasi jenis otot yang
terkena atau jumlah otot yang terkena.

Penataksanaan

Penatalaksanaan disfonia meliputi diagnosis etiologik dan terapi yangs esuai dnegan
etiologi. Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.

1. Anamnesis
Laring dan Hipofaring
Keluhan pasien dapat berupa :
 suara serak
 batuk
 disfagia
 rasa ada sesuatu di leher.
Suara serak (disfoni) atau tidak keluar suara sama sekali (afoni) sudah berapa lama dan
apakah didahului dengan peradangan hidung dan tenggorok. Apakah juga disertai dengan
batuk, rasa nyeri dan penurunan berat badan.

Batuk yang diderita pasien sudah berapa lama dan apakah ada faktor sebagai pencetus
batuk tersebut. Apa yang dibatukkan, dahak kental, bercampur darah dan jumlahnya.
Apakah pasien seorang perokok.

Disfagia atau sulit menelan sudah diderita berapa lama, apakah tergantung dari jenis
makanan dan keluhan ini makin lama, apakah tergantung dari jenis makanan dan keluhan
ini makin lama makin bertambaha. Apakah sebelumnya pernah menderita penyakit
gangguan neuromuskuler.

Rasa ada sesuatu di tenggorok merupakan keluhan yang sering dijumpai dan perlu
ditanyakan sudah berapa lama diderita dan apakah ada keluhan lain yang menyertainya
dan adakah hubungannya dengan keletihan mental dan fisik.

2. Pemeriksaan klinik dan penunjang

Pemeriksaan dari luar :


Inspeksi :
- Diperhatikan warna dan keutuhan kulit, serta benjolan yang ada pada daerah leher
sekitar laring. Suatu benjolan yang mengikuti gerakan laring adalah struma dan kista
duktus tireoglossus.

Palpasi berguna untuk :


- Mengenal bagian- bagian dari kerangka laring ( kartilago hyoid, kartilago tiroid,
kartilago krikoid) dan gelang-gelang trakea.
- Apakah ada udem, struma , kista, metastase. Susunan abnormal dijumpai pada fraktur
dan dislokasi.
- Laring yang normal, mudah sekali digerakkan kekanan dan kekiri oleh tangan
pemeriksa.

3. Laringoskopi Indirekta
- Sambil membuka mulut
- instruksikan penderita untuk menjulurkan lidah sejauh mungkin ke depan.
- Pasien diinstruksikan untuk bernafas secara normal.
- Kemudian masukkan cermin laring yang sesuai yang sebelumnya telah dilidah apikan
ke dalam orofaring.
- Arahkan cermin laring ke daerah hipofaring sedemikian rupa sehingga tampak
struktur di daerah hipofaring yaitu : epiglottis, valekula, fossa piriformis, plika
eriepiglotika, aritaenoid, plika ventrikularis dan plika vocalis. Penilaian mobilitas
plika vocalis dengan menyuruh panderita mengucapkan huruf I berulang kali.
4. Pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan meliputi pemeriksaan laboratorium,
radiologi, elektromiografi (EMG), Mikrobiologi dan Patologi Anatomi.

b) Gangguan menelan (etio, tatalaksana, dasar dx, pemeriksaan penunjang, prinsip


terapi)

Berdasarkan penyebabnya :
1. Disfagia mekanik (sumbatan lumen esofagus oleh masa)
2. Disfagia lusoria (kelainan letak arteri subklavia dekstra)
3. Disfagia motorik (kelainan neuromuskular yang berberan dalam proses menelan. Lesi
ousat menelan di batang otak n V, n VII, n IX, n X, dan N XII, kelumpuhan otot faring
dan lidah gangguan peristaltik esofagus)
Patogenesis
Keberhasilan proses menelan tergantung pada, ukuran bolus makanan, diameter lumen
esofagus, peristaltik esofagus, sfingter esofagus, dan otot mulut serta lidah. Integrasi
fungsional yang sempurna akan terjadi bila sistem neuro-muskular mulai dari susuna saraf
pusat, batang otak, persarafan sensorik dinding faring dan uvula, persarafan ekstrinsik
esofagusberjalan dengan baik.
Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Jenis makanan yang menyebabkan disfagia memberikan informasi kelainan yang terjadi
Disfagia mekanik : mulanya kesulitan menelan padat kemudian setelah beberapa lama baru
cair
Disfagia motorik : kesulitan menelan padat dan cair daalam waktu bersamaan.
Waktu dan perjalanan keluhan disfagia dapat memberikan gambaran yang lebih jelas untuk
diagnostik.
Disfagia yang terjadi dalam beberapa hari : peradangan
Disfagia dalam beberapa bulan disertai penurunan BB : Keganasan
Disfagia berlangsung bertahun-tahun untuk makanan padat : kelainan jinak atau
kelainan esofagus bagian distal.
Lokasi
Sumbatan terasa di dada : kelainan esofagus baguian thorakal
Sumbatan terasa di leher : kelainan dapat berada di faring, atau esofagus bagian servikal

Pemeriksaan fisik
- Pemeriksaan leher untuk meraba massa
- Rongga mulut melihat tanda radang pada tonsil, orofaring, serta tumor
- Melihat apakah ada kelumpuhan otot lidah dan arkus faring (cek nervus V, VII, IX,
X, XII).
- Pembesaran jantung sebelah kiri elongasi aorta dan tumor bronkus kiri serta
pembesaran kelenjar limfe di mediastinum

Pemeriksaanpenunjang
- Foto polos esofagus dengan kontras
- CT scan
- Disfagia motorik

Tatalaksana tergantung penyebab disfagia, misalnya :


Atresia esofagus dan fistula trakeoesofagus : benda asing esofagus dapat dilakukan esofagoskopi
ekstraksi. Dilakukan op anastomosis pada atreasia sedangkan pada fistula dilakukan penutupan
fistel dan anastomosis. Pada divertikulum dilakukan divertikulektomi, pada akalasia dilakukan
pengobatan yang bersifat paliatif.

Beberapa penyakit yg telah disebutkan merupakan beberapa contoh penyakit penyebab disfagia
untuk lengkapnya bisa dibaca di THT UI ijo halaman 244-270.

c) Trismus
Trismus adalah ketidakmampuan untuk membuka mulut. Dalam Dorlands’ Medical Dictionary
dikatakan bahwa trismus merupakan gangguan motoric dari nervus Trigeminus, terutama spasme otot-
otot mastikasi dengan kesulitan membuka mulut, sebagai karakteristik dari gejala awal tetanus.
5. Sesak pada tht (definisi, etio-patofis, Pemeriksaan dan penatalaksanaan sesuai dr.
(jadi di buku ijo ada 2 penyebab sesak pada THT, a sumbatan traktus trakeo –
bronkial, b benda asing di saluran napas)

Sesak napas ialah sukar bernapas yang dirasakan oleh pasien secara subyektif. Secara
obyektif pasien nampak sukar bernapas. Sesak napas dibidang THT terutama disebabkan
oleh sumbatan saluran napas atas (hidung sampai laring) dan saluran napas bawah (trakeo-
bronkus). Sumbatan trakea antara lain disebabkan oleh trakeomalasia, benda asing tumor,
tumor dan stenosis trakea. Sumbatan bronkus terjadi karena beberapa faktor seperti aspirasi
amnion intra uterin pada neonatus, sekret dan eksudat (benda asing endogen), peradangan
yang menyebabkan edema mukosa, fibrosis, dan sikatriks, obat seperti opiat dan sulfas
atropin yang menyebabkan sekret kental sehingga sukar dibatukkan, post pembedahan.

Patologi :
Saat terjadi infeksi pada sistem trakeo-bronkial akan terjadi drainase paru melalui gerak
silia, batuk, dan mendeham sehingga sekret yang terkumpul dapat dikeluarkan, sebelum
terjadi penyempitan saluran napas. Sumbatan bronkus akan terjadi bila mekanisme tersebut
tidak berjalan dengan baik.

Pemeriksaan dan tatalaksana


Sumbatan bronkus
Pemfis :
a. Suara mengi
b. Dispneu
c. Asfiksia
Radiologi : TF yang menunjukkan atelektasis atau emfisema paru
Tatalaksana
- Mukolitik
- Bila sekret mengental kemudian mengering sehingga gerak silia terganggu dan
mekanisme batuk tidak dapat mengeluarkan sekret. Maka dapat dilakukan
bronkoskopi yang berguna untuk :
a. Melihat keadaan mukosa
b. Mengambil biopsi bila ada tumor
c. Mengambil sekret untuk pemeriksaan mikrobiologi dan sitologik
d. Mengambil benda asing yang menyumbat
e. Mengambil tumor jinak dari lumen
f. Memperluas lumen yang menyempit

Benda asing saluran napas


Faktor yang menyebabkan masuknya benda asing ke saluran napas salah satunya adalah usia
(paling sering anak-anak) benda asing bronkus terjadi lebih sering pada bronkus kanankarena
lebih besar, aliran udara lebih besar, dan sudutnya lebih kecil.

Diagnosis
Anamnesis : Rasa tersedak tiba-tiba, timbul chocking (rasa tercekik)
Tanda pemeriksaan fisik : dengan auskultasi dan palpasi
Penunjang : radiologi
Diagnosis pasti : endoskopi

Tatalaksana :
Benda asing laring
- pada anak dengan sumbatan laring menangani dengan posisi terbalik kepala ke
baawah kemudian punggung atau tengkuk dipukul
- heimlich manuever
Benda asing trakea
- dikeluarkan dengan bronkoskopi kemudian ekstraksi
- pasien posisi trandenburg agar tidak jatuh ke bronkus
- bila tidak ada bronkoskopi dilakukan trakeostomi
Benda asing bronkus :
- bronkoskopi ekstraksi
- bila gagal servikotomi atau thorakotomi
Benda asing hidung :
- dengan pengait (haak)
Benda asing dasar lidah : dilihat dengan kaca tenggorok yang besar pasien diminta menarik
lidahnya sendiri. Tangan kiri pemeriksa memegang kaca laring, kanan memegang cunam untuk
ekstraksi

6. Anatomi fisiologi esophagus (belum), laring

Fisiologi laring
 Fungsi Fonasi.
 Fungsi Proteksi.
 Fungsi Respirasi.
 Fungsi Sirkulas
 Fungsi Fiksasi.
 Fungsi Menelan.
 Fungsi Batuk.
 Fungsi Ekspektorasi.
 Fungsi Emosi.

7. Apa itu akalasia (dari definisi smp terapi)


Etiologi : belum diketahui jelas. Diduga akibat disfungsi neuromuskuler dengan lesi primer.
Patofis : gangguan peristaltik pada 2/3 bawah esofagus, tegangan sfingter pada bagian bawah
lebih tinggi dari normal dan proses relaksasi pada gerak menelan tidak sempurna sehingga
bagian proksimal mengalami dilatasi.
Gejala : disfagia, regurgitasi, nyeri daerah substernal, penurunan BB
Diagnosis : gejala klinis, pemeriksaan radiologis (mouse tail appereance), esofagoskopi
Tatalaksana : paliatif, diet tinggi kalori, medikamentosa, tindakan dilatasi, psikoterapi,
operasi esofagoskardiotomi.

8. Apa itu globus histerikus


Globus histerikus merupakan gangguan konversi, gangguan somatoform, termasuk gejala
darigangguan psikologis yang tidak disadari muncul sebagai gejala neurologis, tetapi
tidak dapatdiperhitungkan secara organic. Permasalahan psikologis menyebabkan sensasi
adanya gumpalandi tenggorok yang menyebabkan kesulitan atau ketidaknyamanan
menelan. Sensasi itumenyebabkan tersedak atau bahwa ada massa yang bersarang di
esofagus. Gangguan tersebutdappat berat atau bahkan mengancam jiwa, dan sering
dilaporkan terjadi pada perempuanseparuh baya. Abnormalitas fisik dapat menjadi faktor
predisposisi dalam perkembangan bentuk spesifik dari gangguan konversi. Penyebabnya,
pada orang-orang tersebutmungkin terdapat kerentanan fisiologis atau kemiripan dengan
sensasi tidak nyaman yang tidak membaik menjelaskan perkembangan gejala globus
histerikus shubungan dengan konflik internalyg diketahui.Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara 70%paparan abnormal asamterhadap
esofagus atau imobilitas esofagus distal dan perkembangan lebih lanjut dari
globushisterikus. Penelitian lain mengungkapkan bahwa tidak terdapat asosiasi, tetapi
Nagler dan Spiromenunjukkan bahwa stress emosional dapat menyebabkan respon
motoric non-peristaltik intermiten pada esofagus, tetapi tidak spesifik

9. Prinsip tatalaksana
a) Tonsilitis kronis
a. Terapi konservatif (menjaga kesehatan, diet, pengobatan jika ada infeksi gigi,
hidung dan sinus)
b. Eksaserbasi akut, tatalaksana sama dengan tonsilitis akut
c. Tonsilektomi / adenotonsilektomi (indikasi: mengganggu bicara, degulitition, dan
pernafasan atau menyebabkan serangan berulang)
i. Indikasi : infeksi tenggorok berulang dengan frekuensi 1 – 2 – 3 (7 – 5 – 3)
 gambaran klinis > 38,5C atau limfadenopati servikal (KGB nyeri atau >
2cm) atau eksudat tonsil atau kultur + SGABH
ii. Watchfull waiting  infeksi tenggorok berulang dengan frekuensi kurang
dari kriteria i
iii. Pada anak yg tdak memenuhi kriteria namun alergi terhadap banyak
antibiotik, stomatitis, faringitis, dan adenitis atau riw abses peritonsilar
iv. Pastikan anak dengan gangguan tidur dan bernafas lebih baik tonsilektomi,
apalagi bila ada enuresis, retardasi pertumbuhan dan perfomaa sekolah
menurun
v. KI tonsilektomi : anemia, infeksi akut, peny lain yang tidak terkontrol, dan
perdarahan
b) Faringitis kronis
Faringitis kronis terdapat 2, yaitu: faringitis kronik hiperplastik dan faringitis kronik atrofi
a. Faringitis kronik hiperplastik
Kaustik faring dengan memakan larutan nitras argenti atau dengan listrik (electro
cauter).
Pengobatan simptomatis : obat kumur atau tablet isap
Antitusif atau ekspektoran (jika diperlukan)
Penyakit di hidung dan sinus paranasal harus diobati
b. faringitis kronik atrofi
fokus pengobatan ke rinitis atrofi
obat kumur dan hygiene mulut
c) Laringitis kronis
Mengobati peradangan hidung, faring, bronkus yang mungkin menjadi penyebab
Vocal rest

10. Manifestasi penyakit2 berikut khususnya pada hidung & tenggorok :


a) TB
ulkus pada lateral lidah, pembesaran lidah (makroglossia) dan keilitis angularis yang meluas,
menonjol dan bergranular. Manifestasi oral yang dijumpai pada TB dapat berupa ulser
superfisial, bercak (patch), lesi jaringan lunak dengan indurasi atau lesi pada rahang yang
dapat berupa TB osteomielitis.

Keluhan utama penderita TB laring paling sering dijumpai yaitu suara serak yang disertai
disfagia dengan atau tanpa odinofagia dan batuk. Pada beberapa kasus dapat ditemukan
limfadenopati servikal yang sering dicurigai sebagai suatu metastase keganasan.
Pada pemeriksaan laringoskopi, didapatkan tanda dini tuberkulosis laring berupa hiperemia
di daerah interaritenoid dan pita suara bagian posterior, dan mungkin disertai pembengkakan
di daerah interaritenoid dan timbulnya eksudat berwarna kekuningan. Epiglotis dapat juga
berwarna merah dan membengkak, terutama permukaan yang menghadap laring
b) HIV/AIDS
 Kutil oral disebabkan oleh virus human papillomavirus (HPV) yang dapat
berkembang di mana saja di dalam mulut. Kutil HIV pada mulut ini tidak terasa
sakit, tampak seperti benjolan yang timbul, dapat muncul di beberapa tempat
ataupun tunggal.
 Ciri-ciri HIV pada lidah: lihat garis-garis putih di tepian lidah dan bagian atas
seperti bulu-bulu. Hairy Leukoplakia ditandai dengan munculnya bercak putih dan
berbulu di permukaan lidah. Ciri khasnya, bercak ini tidak akan hilang dengan
hanya menyikat gigi. Berbeda dengan kutil, masalah HIV pada lidah yang satu ini
terasa sakit dan dapat memengaruhi selera makanan. Kondisi ini berasal dari virus
Epstein-Barr, virus yang sama yang menyebabkan penyakit mono. Virus ini
memang kerap mempengaruhi orang dengan sistem kekebalan yang
lemah, sehingga munculnya Hairy Leukoplakia menjadi dugaan kuat bahwa
seseorang memiliki daya tahan tubuh yang lemah akibat HIV.
 Ciri khas herpes bibir yaitu berupa lepuhan-lepuhan yang bergerombol. Pada HIV
penyakit ini kerap kambuh. Herpes bibir seringkali dipicu oleh stres, demam, atau
paparan sinar matahari dan biasanya hilang dalam waktu sekitar 7-10 hari. Namun
berbeda pada orang yang terinfeksi HIV, herpes bibir yang terjadi menjadi jauh
lebih sering dan parah. Meskipun tidak ada pemicu-pemicu yang disebutkan tadi.
Itulah 3 masalah HIV pada lidah dan mulut yang disebabkan oleh virus, selanjutnya
kita bahas yang disebabkan oleh jamur, bakteri, dan keganasan.
 Disebut juga sebagai sariawan akibat jamur. Sariawan pada HIV ini ditandai
dengan luka dengan warna dasar putih di lidah dan bagian dalam mulut. Pada
pandangan pertama, terlihat mirip dengan Hairy Leukoplakia, tetapi bercak putih
yang satu ini dapat dihapus. Oral trush disebabkan oleh jamur bernama Candida
yang sebenarnya hadir dalam jumlah kecil di mulut semua orang. Sistem kekebalan
yang sehat menjaga populasi Candida tetap terkendali, tetapi pada orang dengan
HIV, kondisi ini dapat tumbuh tak terkendali. Penyakit ini dapat disembuhkan
dengan obat anti jamur, tetapi bisa kambuh lagi.
 Sariawan kanker. Sariawan sangat umum, dan muncul di bagian dalam pipi, bibir,
atau bahkan lidah. Luka bulat atau oval ini biasanya berwarna putih di tengahnya
dan merah di sekitar tepinya. Seperti pada umumnya, luka ini akan begitu pedih
saat terkena makanan atau cairan yang kuat, dan mungkin memerlukan waktu
selama 15 hari untuk sepenuhnya mereda. Tidak ada obat resmi untuk sariawan,
tetapi dokter meresepkan obat-obatan untuk meringankan gejalanya sambil
menunggu proses penyembuhan alami. Namun, yang mnejadi ciri khas sariawan
akibat HIV adalah terulangnya kembali penyakit ini alias sering kembuh, jika sudah
begini maka Anda harus berkonsultasi dengan dokter untuk melakukan tes dan
menentukan rencana pengobatan yang tepat.
 Akibat HIV pada gusi: gusi bengkak, kemerahan, bernanah, berdarah, bahkan gigi
sampai goyang Penyakit gusi disebabkan oleh kebersihan mulut yang buruk yang
memungkinkan bakteri untuk tumbuh subur di sepanjang garis gusi. Bakteri ini
mengiritasi gusi dan menyebabkan bengkak, kemerahan, dan cukup menyakitkan
jika tidak ditangani. Orang yang positif HIV lebih mudah mengalami penyakit gusi
seperti ini daripada mereka yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang sehat.
Celakanya lagi, peradangan gusi ini bisa berubah menjadi masalah kronis yang tak
kunjung tuntas.
 Banyak orang dengan HIV mengalami mulut kering. Hal ini terjadi karena
produksi air liur atau saliva tidak cukup untuk mengunyah dan menelan dengan
nyaman. Padahal saliva sangat berguna dalam melindungi gigi dan gusi dari infeksi
dan pembusukan. Dengan demikian, maka infeksi HIV dapat menyebabkan mulut
kering dan gigi berlubang. Namun demikian, beberapa obat, serta kopi, minuman
berkarbonasi, alkohol, dan merokok juga dapat menyebabkannya. Oleh sebab itu,
untuk mencurigai mulut kering yang terkait dengan HIV, maka perlu pengamatan
tehadap gejala lainnya dan pemeriksaan yang mendalam.
 Kaposi Sarcoma. Ini merupakan bentuk keganasan pada lidah dan mulut yang
kerap terjadi pada orang dengan HIV AIDS. Biasanya muncul sebagai bintik ungu
atau merah gelap pada gusi, atap mulut, dan punggung lidah. Ini bisa menjadi tanda
pertama infeksi HIV pada orang yang belum pernah dites ataupun diterapi
sebelumnya.
 Gejala OPC bisa sangat bervariasi dan dari lesi oral asimtomatik, dengan mulut yang menyakitkan, rasa
terbakar di lidah dan terkait disfagia. Tanda-tanda klinis meliputi eritema difus dan bercak putih yang muncul
sebagai lesi yang berlainan pada permukaan mukosa bukal, tenggorokan, lidah dan gusi. OPC parah pada
akhirnya dapat mengganggu kualitas hidup dan menghasilkan pengurangan asupan cairan atau makanan.
Komplikasi yang paling serius dari OPC yang tidak diobati adalah perpanjangan dari infeksi ke terongkongan,
yang mengarah ke asupan gizi menurun
c) Sifilis
Penyakit ini menimbulkan lesi/luka yang dapat timbul dalam rongga mulut pada tiap stadiumnya.
Lesi dalam rongga mulut yang timbul pada stadium awal dapat sembuh dengan sendirinya dalam
waktuu 3-8 minggu. Pada stadium 2 lesi berupa bercak merah, bulat atau oval dan timbul papula.
Pada stadium akhir terdapat lesi yang timbul pada langit-langit rongga mulut dan lidah mengalami
atropi, berfisur juga sering terdapat lesi/luka. Kerongkongan terasa sakit atau ada luka
kerongkongan pada orang-orang dengan oral sex. Luka memerah tanpa rasa sakit pada daerah
kelamin, anus, kerongkongan dan atau lidah.
Saat sifilis primer : canchre (ulkus) pada ujung lidah dan tonsil
Sifilis sekundr : terdapat kelainan pada selaput lendir mulut. Kelainan selaput lendir berupa plakula
atau plak merah (mucous patch) yang disertai perasaan sakit pada tenggorokan (angina sifilitica
eritematosa)
Sifilis tersier : muncul Lesi pertama timbul 3-10 tahun setelah Sifilis I berupa gumma yang
sirkumskrip pada mukosa mulut
d) Kelainan darah
Tidak jarang tanda pertama leukimia akut, angina agranulositosis, dan infeksi
mononukleosis timbul di faring atau tonsil yang tertutup membran semu. Kadang terdapat
perdarahan di selaput lendir mulut dan faring serta pembesaran kelenjar submandibula.
(a) Leukimia
Gejala pertama sering berupa epistaksis, perdarahan di mukosa mulut, gusi, dan di
bawah kulit sehingga tampak bercak kebiruan. Tonsil membengka ditutupi membran
semu tetapi tidak hiperemis dan rasa nyeri hebat di tenggorok.
(b) Angina agranulositosis
Penyebabnya adalah keracunan obat golongan amidopirin, sulfa dan arsen. Pemeriksaan
tampak ulkus di mukosa mulut dan faring serta di sekitar ulkus tampak gejala radang.
Ulkus ini juga dapat ditemukan di genitalia dan saluran cerna.
(c) Infeksi mononukleosis
Terjadi tonsilofaringitis ulsero membranosa bilateral. Membran semu yang menutupi
ulkus mudah diangkat tanpa timbul perdarahan. Terdapat pembesaran kelenjar limfe
leher, ketiak, dan regio inguinal.
e) lepra

11. Obat tetes mulut dan semprot mulut (isi,guna)


 Tetes Oral (Guttae Orales )
Adalah obat tetes yang digunakan dengan meneteskan ke dalam minuman atau
makanan untuk ditelan. Contoh :
nystatin (Suspensi, Oral: 100000 [USP”U]/15 mL)
(mengobati infeksi jamur Candida pada mulut), Merek dagang: Candistin, Cazetin,
Constantia, Decastatin Oral, Myco-Z, Decastatin Vaginal Tab, Ensytin, Fungatin, Fustin,
Kandistatin, Mycostatin, Mycostatin Vaginal Tablet, Nocandis, Nymiko, dan Nystin
 Gargarisma
Gargarisma / obat kumur mulut adalah sediaan berupa larutan umumnya dalam
keadaan pekat yang harus diencerkan dahulu sebelum digunakan. Dimaksudkan
untuk digunakan sebagai pencegahan atau pengobatan infeksi tenggorokan.
Contohnya : Betadin gargle.

12. Bedanya sakit menelan (etiologi dan penanganan dr umum) dan sulit menelan
Nyeri saat menelan (odinofagi) Sulit menelan (disfagia)

Gejala dari Kelainan atau peradangan di daerah Kelainan atau penyakit pada
nasofaring, orofaring, hipofaring orofaring dan esofagus
Kerusakan Etiologi : esofagitis akibat infeksi Gangguan dari gerakan otot
(kandidiasis, bullous pemphigoid, lichen menelan dan gangguan transportasi
planus), radiasi, bahan kaustik atau makanan dari mulut ke lambung
diperantarai obat (ingesti obat sebelum
tidur atau tanpa cairan adekuat
menyebabkan pemanjangan kontak
bahan obat iritatif dengan esofagus dan
menimbulkan kerusakan mukosa),
GERD, trauma esofagus (menelan
benda asing yang menyebabkan
kerusakan mukosa seperti tulang ikan),
skleroterapi, Chron’s disease, Behcet
disease

Gejala Deskripsi : sakit substernal yang Manifestasi : sensasi makanan


menusuk (aching, stabbing) yang yang tersangkut di leher atau dada
diperburuk dengan menelan, walaupun ketika menelan
hanya menelan saliva

Klasifikasi Disfagia mekanik


berdasarkan
penyebab = penyempitan lumen esofagus
(normal diameter esofagus adalah
4cm, mengalami disfagi bila
diameter 2,5cm)

Sumbatan esofagus oleh massa


tumor / benda asing, peradangan
mukosa esofagus, striktur
esofagus, penekanan esofagus dari
luar

Disfagia motorik

= kelainan neuromuskular dalam


proses menelan (pusat menelan di
batang otak, N. V, VII, IX, X, dan
XII, kelumpuhan otot faring &
lidah, gangguan peristaltik) 
akalasia, spasme difus esofagus,
kelumpuhan otot faring,
skleroderma esofagus

Disfagia gangguan emosi

Bila ada gangguan emosi atau


tekanan jiwa yang berat disebut
globus histerikus

Penanganan Anamnesa : durasi sakit saat Anamnesis


menelan(akut vs kronik), riwayat
imunosurpresi (HIV, DM), riwayat Jenis makanan yang menyebabkan
paparan obat atau zat kaustik, gejala disfagia, waktu dan perjalanan
penyerta keluhan disfagia, lokasi disfagia,
gejala lain yang menyertai

Pemeriksaan fisik : biasanya normal,


evaluasi keadaan imunosurpresi Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan inspeksi dan palpasi


leher serta KGB, tanda peradangan
Lab : CBC, GDP, test HIV orofaring dan tonsil, adanya
kelumpuhan N. V, VII, IX, X, XII

Radiologi : esofagogastroduodenoskopi
dengan biospsi, biasanya tidak butuh
Pemeriksaan radiologi
imaging lainnya
Foto polos esofagus dengan
kontras, CT scan, MRI

Esofagoskopi

Melihat langsung lumen dan


mukosa esofagus

Pemeriksaan manometrik

Menilai fungsi motorik esofagus


13. Tonsilitis difteri
Definisi :
infeksi tonsil oleh kuman Coryne bacterium diphteriae yang biasa terjadi pada anak usia < 10
tahun
Gejala dan tanda :
a. Gejala umum : demam subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi
lambat, keluhan nyeri menelan
b. Gejala lokal : tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang makin meluas
membentuk psudomembran bila diangkat menyebabkan perdarahan, bila infeksi berlanjut
akan menyebabkan kelenjar limfe membesar (bull neck)
c. Gejala akibat eksositosin
Diagnosa
Berdasarkan gambaran klinik dan kultur kuman dari permukaan penuh psudomembran
Terapi
a. ADS tanpa menunggu hasil kultur : 20.000 – 100.000 unit
b. Penilisin / eritromisin 25 – 50 mg/KgBB dibagi 3 dosis selama 14 hari
c. Kortikosteroid 1,2 mg/kgbb/hari
d. Antipiretik (simptomatis)
e. Pasien diisolasi 2 – 3 minggu

14. Tonsilektomi (apa itu? Jenis2? Indikasi? Evaluasi?)


a. Definisi : operasi pengangkatan tonsil palatina. Prinsip : pengangkatan seluruh tonsila
palatina dari fosa tonsilaris dengan manipulasi secara hati-hati kemudian dilakukan
hemostasis dengan ligasi dan elektrokauter.
b. Jenis
i. Cara gullotine (menggunakan skalpel untuk eksisi tonsil)
ii. tonsilektomi diseksi (anestesi umum dengan enotrakeal tube, pada posisi rose dan
menggunakan alat pembuka mulut dengan Crowe-Devis mouth gauge)
iii. alat yang masih dikembangkan (elektrokauter, radiofrekuensi, skalpel harmonik,
coblation, intracapsular partial tonsilektomy, dan laser)
c. Indikasi (THT UI):
i. Serangan tonsilitis > 3 kali/tahun walau mendapat terapi yang adekuat
ii. Tonsil hipertrofi  maloklusi gigi dan gangguan pertumbuhan orofasial
iii. Sumbatan jalan napas : hipertrofi tonsil dg sumbatan jalan napas, sleep apnea,
gangguan menelan, gangguan bicara, dan cor pulmonale
iv. Rinitis dan subusitis kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yg tidak berhasil hilang
dengan pengobatan
v. Napas bau dan tidak berhasil dengan pengobatan
vi. Tonsilitis berulang karena bakteri grup A streptococcus beta hemoliticus
vii. Hipertrofi tonsil yang dicurigai keganasan
viii. Otiti media efusa / otitis media supuratif
d. Indikasi (buku dr. SAR) :
i. mengganggu bicara, degulitition, dan pernafasan atau menyebabkan serangan
berulang)
ii. infeksi tenggorok berulang dengan frekuensi 1 – 2 – 3 (7 – 5 – 3)  gambaran
klinis > 38,5C atau limfadenopati servikal (KGB nyeri atau > 2cm) atau eksudat
tonsil atau kultur + SGABH
iii. Watchfull waiting  infeksi tenggorok berulang dengan frekuensi kurang dari
kriteria ii
iv. Pada anak yg tdak memenuhi kriteria namun alergi terhadap banyak antibiotik,
stomatitis, faringitis, dan adenitis atau riw abses peritonsilar
v. Pastikan anak dengan gangguan tidur dan bernafas lebih baik tonsilektomi,
apalagi bila ada enuresis, retardasi pertumbuhan dan perfomaa sekolah menurun
e. Evaluasi
Evaluasi pasca operasi minimal 6 jam untuk mengawasi adanya perdarahan dini.
Menggunakan sistem skoring, Skor Aldrete yang diimodifikasi: kesadaran, aktivitas atas
perintah, pernapasan, saturasi oksigen

Kesadaran
2= sadar penuh
1= respons bila nama dipanggil
0= tidak ada respons
Aktivitas atas perintah
2= menggerakkan semua ektrimitas
1= menggerakkan 2 ekstrimitas
0= tidak bergerak
Pernapasan
2= bernapas dalam tanpa hambatan
1= dispneu, hiperventilasi, obstruksi pernafasan
0= apneu

Sirkulasi
2= tekanan darah dalam kisaran 20% nilai preoperasi
1= tekanan darah dalam kisaran 50- 20% nilai preoperasi
0= tekanan darah 50% atau kurang dari nilai preoperasi
Saturasi oksigen
2= SpO2 > 92% pada udara ruangan
1= dibutuhkan tambahan O2 untuk mempertahankan SpO2 >92%
0= SpO2 < 92% dengan tambahan O2
Skor total= 10; skor < atau = 9 membutuhkan PACU 1
15. Tumor Tonsil
Termasuk bagian dari tumor ganas orofaring, banyak ditemukan pada usia dekade 4 – 6,
54% laki2 dan 46% perempuan.
Predisposisi : perokok, alkohol, hygiene mulut yang buruk, menyusur tembakau
HistoPA : terdapat 3 bentukan yaitu karsinoma sel skuamosa 70%, limfoma malignum 25%,
tumor kelenjar liur dari kelenjar liur mino di palatum mole, uvula atau kapsul tonsil 5%.
Gejala : stadium awal gejala tidak jelas. Rasa benda asing di tenggorok (pembesaran tonsil
unilateral), nyeri tenggorok (jika tumor menginfiltrasi sekitar atau terdapat ulserasi). Jika
stasium lanut : disfagia, perdarahan, trismus, leher bengkak, gangguan nafas, dan gangguan
menelan.
Diagnosis : anamnesis, pemeriksaan klini (makroskopik, perabaan), pemeriksaan radiologi
(CT scan [perluasan tumor ke tulang & metastasis KGB servikal] / MRI [perluasan tumor ke
jaringan lunak]), biopsi (eksisi biopsi). Diagnosa pasti histoPA. Penentuan stasium perlu
foto thoraks, USG abdomen, bone scanning, pemeriksaan ureum kreatinin.
Stadium:
(d) Stadium 0 : Tis N0 M0
(e) Stadium 1 : T1 N0 M0
(f) Stadium 2 : T2 N0 M0
(g) Stadium 3 : T3 N0 M0, T1-3 N1 M0
(h) Stadium 4A : T4a N0 M0, T4a N1 M0, T1-4 N2 M0
(i) Stadium 4B : T4b AnyN M0, AnyT N3 M0
(j) Stadium 4C : AnyT AnyN M1
Pengobatan : operasi, radioterapi, kemoterapi, dan kombinasi. Stadium 1-2 operasi dengan
eksisi luas melalui transoral atau mandibulotomi dengan diseksi leher selektif atau radikal
unilateral dilanjut radioterapi dosis6-7 gray pasca operasi. Stadium 3-4 operasi eksisi luas
dilanjut kemoradiasi. Tumor tidak operabel atau metstasis jauh : kemoterapi paliatif atau
perawatan paliatif. Obat kemoterapi : cysplatin 5fluoro uracil atau obat golongan taxan atau
theramicin.
Follow up pasien : pasca pengobatan dilakukan pemeriksaan klinis utk thun pertama tiap 3
bulan, tahun kedua tiap 4 bulan, tahun ketiga hingga kelima tiap 6 bulan, selanjutnya tiap
tahun. Curigas residif tumor : CT scan dan biopsi.

16. Tumor Laring


a. Tumor jinak laring
Dapat berupa papiloma laring (terbanyak), adenoma, kondroma, mioblastoma sel
granuler, hemangioma, lipoma, neurofibroma
Papiloma laring
Dapat digolongkan menjadi 2 yaitu:
i. Papiloma laring juvenil : ditemukan pada anak, berbentuk multipel dan mengalami
regresi waktu dewasa
j. Papiloma orang dewasa : berbentuk tunggal, tidak mengalami resolusi dan merupakan
prekanker
Papiloma laring juvenil
Tumor ini dapat tumbuh di pita suara anterior / subglotik / plika ventrikularis / aritenoid.
Dicurgai penyebabnya adalah virus
Makroskopik : buah murbei warna putih kelabu dan kadang kemerahan. Jaringan rapuh
dan bila tidak dipotong menyebabkan perdarahan. Sering muncul lai setelah diangkat.
Gejala : suara parau, batuk, apabila papiloma telah menutup rima glotis akan timbul
sesak napas dengan stridor.
Diagnosa : anamnesa, gejala klinik, laringoskopi direct, biopsi, pemeriksaan PA
Terapi :
(k) Ekstiroasi papiloma
(l) Terapi terhadap penyebab
(m) Vaksin dari masa tumor, antivirus, hormon, kalsium, ID methionin (esensial
aminoacid)
(n) Tidak dianjurkan radioterapi (dapat berubah jadi ganas)
b. Tumor ganas laring
Etiologi : belum diketahui
Predisposisi : merokok, alkohol, terpajan sinar radioaktif
histoPA :karsinoma sel skuamosa yang dibagi menjadi 3 tingkat
(o) Berdiferensiasi baik (grade 1)
(p) Berdiferensiasi sedang (grade 2)
(q) Berdiferensiasi buruk (grade 3)
Cenderung berdiferensiasi dengan baik. Lesi mengenai hipofaring, sinus piriformis dan plika
ariepiglotika kurang berdiferensiasi dengan baik
Klasifikasi letak :
(r) Tumor supraglotik
(s) Tumor glotik
(t) Tumor subglotik
(u) Tumor ganas transglotik
Gejala : serak, gangguan fonasi laring. Tumor di pita suara : serak merupakan gejala dini
dan menetap. Tumor di daerah ventrikel, di bawah plika ventrikularis / batas inferior bawah :
serak timbul kemudian. Tumor supraglotis dan subglotis, serak gejala akhir atau tidak
timbul. Gejala lain : perasaan tidak nyaman, ada yg mengganjal ditenggorok, fiksasi dan
nyeri menimbulkan suara bergumam (hot potato voice), dispneau dan stridor, nyeri
tenggorok, disfagia, batuk dan hemoptisis, nyeri alih ke telinga ipsilateral, halitosis,
penurunan BB, pembesaran KGB leher, nyeri tekan laring.
Diagnosis : anamnesis dan pemeriksaan klinis (laringoskopi direct dan indrect), pemeriksaan
penunjang : pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologi, pemeriksaan PA.
Stadium:
(v) Stadium 1 : T1 N0 M0
(w) Stadium 2 : T2 N0 M0
(x) Stadium 3 : T3 N0 M0, T1/T2/T3 N1 M0
(y) Stadium 4 : T4 N0/N1 M0, T1/T2/T3/T4 N2/N3, T1/T2/T3/T4 N1/N2/N3 M1
Penanggulangan : pembedahan, radiasi, obat sitostatika, atau kombinasi
Stadium 1 : radiasi, stadium 2 dan 3 : operasi, stadium 4 : operasi dan rekonstruksi atau
radiasi. Pembedahannya adalah laringotomi total atau parsial, diseksi leher radikal bila ada
KGB leher.

9. Tatalaksana kelainan di esophagus


(a) Atresia Esofagus dan Fistula Trakeoesofagus
Pembedahan: atresi esophagus  anastomosis, fistula esophagus  penutupan fistel dan
anastomosis.
(b) Divertikulum esophagus
Jika diverticulum tidak menimbulkan gejala, terapi biasanya bersifat konservatif.
Kantong harus dibersihkan setiap habis makan dengan minum air dalam posisi telentang
atau miring tanpa bantal tergantung letak diveritkulumnya, sehingga makanan akan
sampai masuk esophagus. Jika diverticulum menimbulkan keluhan, maka dilakukan
divertikulektomi.
(c) Akalasia
Diet tinggi kalori, medikamentosa (nitrit, antikolinergik, dan penghambat adrenergik, dan
nifedipin), tindakan dilatasi, psikoterapi dan operasi esofagokardiomiotomi (operasi
Heller).
(d) Varises esophagus
Jika terjadi perdarahan, hentikan dengan memakai pipa Sengstaken-Blakmore atau
melakukan skleroterapi. Jika tidak berhasil, dilakukan operasi pintas portovagal atau
splenorenal.
(e) Esofagitis korosif
Jika tertelan zat korosif : (1) perawatan umum (memperbaiki KU pasien dengan infus
aminofusin 600 2 botol, glukosa 10%, NaCl 0,9% + KCl 5 Meq/liter 1 botol. (2)
Netralisasi zat korosif (jika <6 jam) (3) Terapi medik: penisilin dosis tinggi 1 juta-1,2 juta
Unit/hari, kortikosteroid 200-300 mg sampai hari ke-3 (4) Ensofagoskopi
(f) Tumor jinak esophagus
ika tumor terletak di tengah esophagus operasi torakotomi dari sebelah kanan, jika tumor
di 1/3 disal esophagus operasi dilukan di sebelah kiri.
(g) Tumor ganas esophagus
Stadium dini: enbloc esofagektomi
Stadium lanjut: by pass dg end to end esofagogastrostomy
+ dilakukan pemasangan pipa celestine dan pemberian radioterapi

17. Anatomi fisiologi dan gambaran tonsil


Tonsil merupakan jaringan limfoid ang berada pada sis lateral orofaring dan dibatasi oleh
muskulus palatoglossus di anterior, muskulus palatofaringeus di posterior, dan muskulus
kontriktor di lateral. Tonsil merupakan bagian dari “Ring Wardeyer” yaitu sebuah lingkaran
jaringan2 limfoid yang berada di faring.

Pada tonsil terdapat kripta yang berisikan dekuamasi debris sel epitel. Biasanya, debris
dibersihkan pada kripta. Namun kadangkala debris akan mengumpul di kripta dan menjadi
mengeras serta berwarna kekuningan. Ketika terjadi peradangan, tonsil akan mengalami
pembengkakan dari T2 hingga T4, dan juga bisa terdapat detritus. Permukaan lateral tonsil
diselubungi oleh kapsul fibrous, dan dipisahkan dari orofaring dengan jaringan halus aerolar.
Hal ini memudahkan ketika diseksi pada tonsilektomi.

18. Gx dan tata laksana abses parafaring


Abses Parafaring merupakan infeksi supuratif pada ruang parafaring yang berbentuk
piramida terbalik dengan bagian dasar (superior) pada basis kranii dan bagian
puncak/inferior pada tulang hyoid.
Pada abses parafaring tanyakan apakah ada infeksi sebelumnya (tonsil, gigi, gingiva, trauma
faring dll)
Gejala dan tanda:
a) Nyeri leher dan menelan
b) Demam
c) Kaku leher
d) Nyeri saat membuka mulut (trismus)
e) Edema pada sudut mandibular.
Tata laksana abses parafaring:
a) Awasi dan amankan jalan nafas (intubasi endotrakeal/trakeostomi)
b) Antibiotik sistemik:
- Secara IV (5 hari):
(1) ampicillin sulbactam (1,5-3 gram/6 jam)
(2) jika alergi dapat diberian cefuroxime (750 mg -1,5 gram/8 jam), kombinasi dg
clindamysin (600-900 mg/8 jam) aminoglikosida intravena, metronidazole (500
mg.6 jam).
(3) Levofloxacin 759 mg/24 jam
(4) Ceftriaxone
- Antibiotik per oral:
(1) Amoxycillin clavulanate (3 x 625 mg)
(2) Cefuroksim (2 x 500 mg)
(3) Clindamysin (300 mg/6 jam)
(4) Ceftriaxone 2 x 1 gr IV
c) Operasi insisi dan drainase, diindikasikan bila:
- Tidak ada perbaikan dg terapi Ab IV dalam 24-72 jam
- Penemuan abses scr radiolgis (“gas forming”) atau abses >1 cm
- Abses multilocular
- Gagal melakukan aspirasi
- Terjadi komplikasi
- Insisi horizontal , 2-3 cm di bawah angulus mandibularis.
19. Gx dan tata laksana abses retrofaring
Abses retrofaring biasanya terjadi pada anak <5 tahun, karena di usia tersebut ruang
retrofaring berfungsi masih berisi kelenjar limfa yang ada di sekitarnya (sekitar 2-5 buah).
Gejala dan tanda:
a) Rasa nyeri dan sukar menelan
b) Pada anak rewel, menangis terus, tidak mau makan/minum.
c) Demam, leher kaku dan nyeri
d) Dinding belakang faring tampak benjolan unilateral.
e) Terkadang terjadi sesak karena sumbatan airway
f) Pada foto x-ray ditemukan pelebaran ruang retrofaring > 7 mm pada anak & dewasa,
serta pelebaran retrotrakela >14 mm pada anak dan >22 mm padad dewasa

Tatalaksana:
a) Manajemen airway
b) Antibiotik ampicillin dan sulbactam, clindamysin, penicillin G, piperacillin dan
tazobactam, metronidazole
c) Pembedahan dengan insisi pada bagian dinding posterior faring secara transoral dengan
posisi pasien baring Trendelnburg

20. Cidera nervus laring rekuren


Cidera nervus laringeus rekuren sering terjadi pada tiroidektomi. Cidera ini dapat
mengakibatkan paralisis pita suara. Gejala klinis awal suara masih cukup namun serak, dan
disertai stridor inspirator, sesak nafas dan pada stadium lanjut dapat menyebabkan sumbatan
laring akut. Untuk menegakkan adanya cedera, dapat dilakukan laringoskopi atau LMEG
(laryngeal electromyography). Bahaya dari cidera ini yaitu obstrukti total pada laring,
sehingga perlu dilakukan terapi pembebasan jalan nafas,
kemudian dapat dilakukan operasi dengan Teknik
aritenoidopeksi, aritenoidektomi, aritenoidektomi dan
kordektomi/kordopeksi, atau aritenoidektomi secara bedah
mikro laring.

21. Jelaskan tentang: (definisi, terapi)


b. Laringomalasia : keadaan kolapsnya struktur supraglotis laring selama inspirasi
sehingga mengakibatkan menyempitnya aliran udara selama inspirasi. Banyak terjadi pada
anak, derajat ringan dan sedang dapat membaik sampai usia 2 tahun. Laringomalasia
menyebabkan kasus stridor kongenital 60-75%.
Terapi laringomalasia:
- Konservatif : posisi makan tegak lurus, asupan sedikit-sedikit, pada bayi ASI atau
formula yang dipadatkan. Lansoprazol 7,5 mgx1 dan domperidone (1 mg/kg/hari).
- Surgikal: eksisi mukosa arytenoid redundant pada tipe I, insisi lipatan ariepiglotis
yang memendek pada tipe II dan epigoplasti pada tipe III.
c. Plumy voice: suara penderita seperti mulut penuh dengan makanan, dapat terjadi pada
pasien dengan tonsillitis akut.
Terapi plummy voice: terapi tonsillitis.
- Penderita dengan daya tahan tubuh baik dengan istirahat, makan lunak, minum
hangat, parasetamol 3x500 mg, obat kumut benzydamin gargle.
- Antibiotik: lini pertama phenoksimetilpenisilin 4x500 mg, amoksisilin 3x500 mg.
- Pada abses peritonsil: pungsi dan insisi peritonsil
- Tonsilektomi, dengan indikasi: (1) infeksi berulang sebanyak >=7x setahun dalam
jangka waktu satu tahun (2) infeksi berulang >=5x setahun dalam jangka waktu 2
tahun (3) infeksi berlang >=3x setahun dalam jangka waktu 3 tahun (4) abses
peritonsil yang tidak sembuh dengna ab (5) pembesaran tonsil yang menyebabkan
sumbatan nafas (6) tonsillitis kronis
d. Adenoid face: sebuah kelainan yang ditandai dengan wajah (biasanya anak) dengan
mulut terbuka yang memiliki wajah dengan struktur panjang
dan hipertrofi adenoid. Pembesaran adenoid dapat
menyebabkan obstruksi pada saluran napas atas.
Terapi adenoid face:
- Farmakologi (antibiotic beta lactamase: penicillin)
- Homeopathy treatment: (1) dengan hydratis dan
gliserin  diteteskan pada lubang hidung hingga ke
dalam, pasien (anak) menghirup dengan dalam,
dibiarkan selama 15 menit, kemudian dikeluarkan. (2)
Tuberculinum dan bacillinum
- Surgikal : adenoidektomi denga/tanpa tonsilektomi.

e. Hiccups : nama lain cegukan/singultus terjadi akibat spasme involunter diafragma dan
otot-otot intercostal diikuti penutupan glottis secara cepat. Muncul suarakhas :hik:. Singultus
persisten terjadi pada >48 jam.
Terapi hiccups:
- Tatalaksana awal non-farmakologi: (1) menahan napas, bernapas pada kantong
nafas, minum air dingin, menelan ludah, menghisap lemon atau menghirup zat yang
merangsang bersin (merica) (2) memijat bagian belakang leher untuk merngsang
dermatome jaras C3-C5.
- Pada layanan primer: valsava maneuver, pijat karotis, atau digital rectal massage
(pemijatan daerah anus)
- Suboccipital release: traksi dan tekanan pada posterior leher, meregankan oto dan
fasia suboksipital.
- Terapi medikamentosa diberikan untuk mengobati penyebab spesifik singultus,
misalnya infeksi atau ada lesi pada batang otak. Atau dapat menggunakan
Chlorphemazine 25-50 mg IM/IV

f. Diverticulum: Kantong yang berbatas tegas yang terjadi secara ormal atau terbentuk
karena herniasi lapisan mukosa melalui celah yang terdapat pada selubung otot organ yang
terbentuk seperti tabung.
 Divertikulum Zenker: diverticulum pada hipofaring. Jarang di Indonesia. Tx:
kriofaringeal miotomi.
 Diverticulum esophagus: diverticulum pada esophagus. Tx: Jika diverticulum
tidak menimbulkan gejala, terapi biasanya bersifat konservatif. Kantong harus
dibersihkan setiap habis makan dengan minum air dalam posisi telentang atau
miring tanpa bantal tergantung letak diveritkulumnya, sehingga makanan akan
sampai masuk esophagus. Jika diverticulum menimbulkan keluhan, maka
dilakukan divertikulektomi.
g. GERD (Gastroesophageal Reflux Disease): suatu keadaan patologis sebagai akibat
refluks kandungan lambing ke dalam esophagus sehingga menyebabka berbagai gejala yang
timbul akibat keterlibatan esofagus, faring, laring dan saluran napas.
Terapi GERD:
- Menurunkan berat badan bagi pasien yang overweight atau yang baru saja
mengalami peningkatan berat badan, serta 2) menaikkan posisi kepala pada saat tidur
dan tidak makan 2-3 jam sebelum waktu tidur malam untuk pasien yang mengalami
gejala refluks di malam hari (nocturnal GERD).
- Diberikan nutrisi adekuat, bisa diberikan secata parenteral atau enteral dengan NGT.
Nutrisis parenteral: triofusin, triofusin E 1000, aminofusin, intrafusin, amiparen,
panamin G dll. Nutri enteral” makanan cair biasa atau susu komersial (ex. Entresol,
peptisol, fresubin, protein, nutren).
- Terapi dilatasi non-bedah: (1) dilatasi per oral: busi karet air raksa, dilator metal
dengan guide wire (Eder Puestow), balon pneumatic, dilator savary-guillard. (2)
Elektrokoagulasi secara endoskopik. (3) pemasangan setent esophagus (4)
Percutaneous Endoscpic Gastronomy (5) penyuntikan steroid intralesi (6) terapi
laser.
- Bedah: reseksi striktur/stenosis dengan esofagogasterktomi pasien, reseksi dengan
interposisi jejunum, atau kolon.
h. Nodul singer: nama lain dari vocal nodule yang berarti nodul jinak pada korda vokalis.
Terapi nodul singer:
- Istirahat suara total
- Terapi suara  mengubah pola suara menjadi lebih santai dan memperbaiki Teknik
bicara yang salah
- Pembedahan mikrolaring: untuk nodul besar atau berlangsung lama. Eksisi dg laser.

i. Snoring : dalam Bahasa Indonesia berarti mendengkur, terjadi karena otot-otot pada
faring yang berrelaksasi ketika tidur mengalami vibrasi sehingga menghasilkan suara.
Terapi snoring:
- Non-farmakologi: (1) penurunan BB, menghindari minuman alcohol, kurangi
mengurangi konsumsi obat sedatif. (2) Tidur dengan posisi lateral (3) alat penopang
mulut (oral appliance) (4) CPAP (Continuous Positive Airwat Pressure.
- Farmakologi: mazindol, jika dg nasal alergi bisa pakai vasokontriktor,
- Pembedahan: operasi intranasal, UPPP (uvulo-palato-pharyngoplasty), LAUP (laser
midline glossectomy), adenotonsilektomi dan trakeostomi
j. Odinofagi: Nyeri tenggorok.
Terapi : makan makanan yang halus seperti bubur, bisa juga jus. Terapi kausal penyakit.
k. OSAS (Obstructive Sleep Apneu Syndrome): suatu sindrom obstruksi total maupun
parsial jalan nafas yang menyebabkan gangguan fisiologis yang bermakna pada saat
tidur.
Terapi OSAS = Snoring
l. Croup: penyakit dengan kelainan pada saluran pernafasan bagian atas, dengan
manifestasi klinis berupa sesak nafas, suara serak, batuk menggonggong, stridor
inspirator yang kadang disertai dengan distres pernafasan. Croup juga sering disebut
dengan laringotrakeobronkitis
Terapi Croup :
- bebaskan jalan nafas, pemberian oksigen, epinefrin, kortikosteroid
(deksametason/prednisonolon), dan tindakan intubasi.
- Tatalaksna lainnya adalah pemberian antipiretik dan antibiotika (jika ada tandatanda
infeksi bakteri
- Intubasi endotrakheal dilakukan bila terdapat hipercarbia dan ancaman gagal nafas.
m. Stridor: bunyi kasar bernada tinggi saat inspirasi, karena penyempitan saluran udara
pada orofaring, subglotis atau trakea.
- Terapi sesuai kausa penyakit yang melatarbelakangi
- Pembedahan: trakeostomi
- Monitoring jangka lama
22. Gangguan menelan, etiologi dan penanganan dokter umum
Gangguan menelan (disfagia) menurut penyebabnya dibagi atas:
(a) Disfagia mekanik: disfagia karena penyempitan lumen esophagus. Penyebab utama
berupa sumbatan lumen esophagus oleh massa tumor dan benda asing. Penyebab lain
berupa peradangan mukosa esophagus, striktur esophagus, serta akibat penekanan lumen
esophagus dari luar, misalknya karena oenvesaran kelenjar timus, KGB, pembesaran
jantung atau elongasi aorta
(b) Disfagia motorik: disebabkan adanya kelainan neuromuslular yang berperan pada proses
menelan. Lesi di pusat menelan di batang otak, kelainan saraf V, VII, IX, X dan XII,
kelimpuhan otot faring dan lidah serta gangguan peristaltik.
(c) Disfagia oleh karena gangguan emosi: disebut juga globus histerikus.
Penanganan oleh dokter umum: jika disfagia diakibatkan adanya tonsillitis maka dapat
dilakukan tatalaksana tonsillitis. (masih belum tahu jawaban yang dibutuhkan
bagaimana)
23. Mekanisme bersuara
Mekanisme bersuara berhubungan dengan gerakan pita suara. Pergerakan pita suara
tergantung pada tekanan udara di dalam glottis. Selama proses ini, terdapat perbedaan
tekanan udara di atas dan di bawah glottis. Perbedaan ini membuat pita suara bergetar. Jika
tekanan intraglotal negative, pita suara akan menutup, dan jika tekanan intraglotal positif,
maka udara akan mendorong pita suara terbuka . Peningkatan tahanan glottis dapat
meningkatkan volume udara, sehingga terjadi penutupan paksa pita suara.

25. Abses peritonsil


Infeksi supuratif yang diikuti dengan terkumpulya pus pada jaringan ikat longgar antara muskulus
konstrikor faring dengan kapsul tonsil pada fossa tonsilaris.

Patofisiologi :
Mikroorganisme penyebab = tonsilitis akut (aerob atau anaerob)
Abses biasanya mengikuti tonsilitis akut (berlanjut menjadi selulitis difus di daerah tonsil meluas
sampai palatum mole). Atau bisa de novo tanpa riwayat nyeri tenggorok sebelumnya. Awalnya 1
kripta terinfeksi kemudian terinfeksi dan timbul abses intratonsil. Infeksi menmbus kapsul tonsil
menuju jaringan peritonsil sehingga menyebabkan abses.

Insidensi : sering mengenai dewasa, biasanya unilateral.

Diagnosis:
a. General : demam >40°C, menggigil, malaise, pegal-pegal, nyeri kepala, nausea,
konstipasi
b. Lokal :
i. Nyeri hebat pada tenggorok
ii. odinofagia
iii. hot potato voice = suara tebal teredam
iv. nafas berbau
v. nyeri telinga
vi. trismus
vii. pembengkakan kelenjar submandibular disertai nyeri tekan
viii. biasa terjadi unilateral
ix. artikulasi terganggu, bicara menjadi sulit
Pemeriksaan Fisik
x. tonsil, arkuus, palatum mole membengkak dan menonjol kedepan
xi. uvula bengkak dan terdorong kontralateral
xii. mukopus dapat menutupi tonsil
xiii. pembesara KGB cervikal
xiv. torticolis. Pasien memiringkan kepala ke sisi abses
Pemeriksaan Penunjang :
xv. Laboratorium : Darah lengkap, elektrolit, kultur darah, kultur pus
xvi. Radiologi : Skull foto AP, CT SCAN, dan USG
Komplikasi
xvii. Abses pecah spontan -> perdarahan dan aspirasi paru
xviii. Edema laring
xix. Penjalarran abses kearah parafaring
xx. Penjalaran ke intrakranial
xxi. Penjalaran infeksi ke organ lain
Tata laksana
Suportif: MRS, cairan iv
Causatif:
xxii. Std. Infiltrasi : Antibiotik, simtomatik
xxiii. Std Supurasi (Abses): 1. aspirasi jarum halus, 2. insisi & drainase : insisi pada
titik maksimum penonjolan pada pole superior dari tonsil atau bagian latera
dari titik pertemuan dari arkus annterior dan garis sejajar basis uvula. 3.
Interval tonsilektomi : tonsil diambil setelah 4-6 minggu serangan abses.

26. Adenoid
a. Anatomi
Adenoid berkembang sebagai struktur garis tengah oleh perpaduan 2 primordia lateral yang
menjadi terlihat selama awal kehidupan janin. Jaringan limfoid dapat diidentifikasi pada usia
kehamilan 4-6 minggu, terletak di dalam selaput lendir atap dan dinding posterior nasofaring.
Adenoid sepenuhnya berkembang selama bulan ketujuh kehamilan dan terus tumbuh sampai
tahun kelima kehidupan. Jaringan limfoid adenoid dapat meluas ke fossa Rosenmuller dan ke
lubang tuba eustachius sebagai amandel Gerlach.

Adenoid yang sudah dewasa berbentuk seperti piramida terpotong dengan alasnya di
persimpangan atap dan dinding posterior nasofaring dan apeksnya mengarah ke septum hidung.
tidak mengandung crypts dan tidak dikelilingi oleh kapsul yang berbeda. Adenoid dibentuk oleh
lipatan vertikal epitel pernapasan dari mana kelenjar Arey memanjang. Lipatan-lipatan ini
menyebar ke depan dan ke lateral dari ceruk buta median, bursa faring (bursa Luschka).

Pasokan pembuluh darah


Pasokan arteri adenoid berasal dari arteri berikut:
1. Ascending pharyngeal artery
2. Ascending palatine artery
3. Tonsillar branch of the facial artery
4. Pharyngeal branch of the maxillary artery
5. Artery of the pterygoid canal
6. Basisphenoid artery
Drainase vena adalah ke pleksus faring, yang berkomunikasi dengan pleksus pterigoid dan
kemudian mengalir ke vena jugularis dan wajah interna.

Persarafan:
Adenoid menerima suplai sarafnya dari pleksus faring.

Pasokan limfatik
Limfatik adenoid mengalir ke kelenjar getah bening ruang retrofaringeal dan pharyngomaxillary.

b. Fisiologi
Adenoid digunakan oleh tubuh untuk membuat antibodi untuk melindungi dari penyakit.
Adenoid ditutupi oleh lapisan lendir dan struktur mirip rambut yang disebut silia. Silia berfungsi
untuk mendorong lendir hidung ke tenggorokan dan masuk ke perut.
Selain itu, Adenoid terus tumbuh sampai berusia antara 3 dan 7. Kemudian, mulai menyusut saat
mendekati usia remaja. Adenoid mungkin hampir sepenuhnya menghilang dalam banyak kasus

c. Kelainan
Adenoid dapat mengalami pembesaran berupa hipertrofi dan infeksi berupa adenoiditis

d. Kegawatan
Pembesaran Adenoid dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas.

27. Laringomalasia
Laringomalasia (LM) merupakan keadaan yang menggambarkan kolapsnya struktur supraglotis laring
selama inspirasi sehingga mengakibatkan menyempitnya aliran udara selama inspirasi. Laringomalasia
mempunyai karakteristik stridor yang timbul dalam dua minggu pertama kehidupan sampai beberapa
bulan kehidupan bayi. Stridor pada pasien LM dipengaruhi oleh aktivitas, akan timbul ketika bayi
menangis, posisi tidur telentang, saat
menyusu, infeksi saluran nafas atas dan saat marah. Penyebab pasti dari laringomalasia ini masih belum
diketahui, namun terdapat beberapa teori yang diduga menjadi patogenesis LM yaitu teori imaturitas
kartilago, abnormal anatomi dan imaturitas neuromuskular. Diagnosis LM didapatkan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik dan konfirmasi dengan pemeriksaan flexible fibreoptic laryngoscopy (FFL) dalam
keadaan sadar. Gejala klasik LM adalah didapatkannya stridor inspirasi yang makin berat ketika pasien
gelisah, menangis, menyusu, makan dan tidur terlentang.
Pasien LM derajat berat mempunyai 8 tanda primer, yaitu:
1. stridor inspirasi,
2. retraksi suprasternal,
3. retraksi substernal,
4. kesulitan dalam makan,
5. tersedak,
6. muntah setelah makan,
7. gangguan tumbuh kembang dan
8. sianosis. Pasien akan mempunyai saturasi oksigen ≤ 86%.
Penatalaksanaan
Dalam penatalaksanaan pasien LM, perlu diperhatikan berat dan ringannya gejala saat pertama
didiagnosis, adanya faktor komorbid serta adanya perbaikan atau perburukan gejala setelah terapi awal.
Penatalaksanaan LM dibagi atas terapi konservatif dan
tindakan pembedahan.
1. Konservatif
Terapi konservatif merupakan terapi pilihan pada pasien LM derajat ringan dan sedang tanpa keluhan
yang berhubungan dengan makan. Pasien harus dikontrol dan observasi tumbuh kembang serta keluhan
saluran nafas yang berhubungan dengan makan. Jika terdapat sedikit keluhan makan, terapi konservatif
dengan posisi makan tegak lurus, asupan sedikit-sedikit
dan sering dengan ASI atau formula yang dipadatkan, dan medikamentosa untuk mencegah refluks asam
lambung. Lansoprazole 7,5mg sekali sehari dan domperidone (1mg/kg/hari) bisa digunakan sebagai terapi
anti refluks asam lambung.

2. Pembedahan
Tindakan pembedahan dilakukan pada semua pasien LM derajat berat, pasien LM derajat ringan atau
sedang yang mempunyai penyakit komorbid seperti trakeomalasia atau stenosis subglotis atau pasien
yang gagal dengan terapi konservatif, pasien laringomalasia yang gagal tumbuh kembang dan riwayat
aspirasi berulang. Pada pasien yang akan dilakukan tindakan pembedahan, sebelum dilakukan tindakan
sebaiknya pasien diberikan antagonis reseptor H2 dosis tinggi (3mg/kgBB) atau PPI sekali sehari.
Beberapa jenis tindakan pembedahan untuk LM adalah : supraglotoplasti dan epiglotoplasti. Pemilihan
jenis operasi berdasarkan tipe LM berupa supraglotoplasti dengan melakukan eksisi mukosa aritenoid
redundant pada tipe I, insisi lipatan ariepiglotis yang memendek pada tipe II dan epiglotoplasti pada LM
tipe III.
Diagnosis Banding
Laringomalasia merupakan penyebab tersering stridor inspirasi pada anak. Terdapat
beberapa peyakit dan keadaan yang menimbulkan stridor inspirasi pada anak diantaranya adalah: 1.
penyakit croup (laringotrakeobronkitis) yang diakibatkan oleh infeksi virus parainfluenza virus, influenza
virus tipe A atau rhinovirus, 2. Epiglottitis yang merupakan infeksi bakteri Haemophilus influenza tipe B,
Streptococcus beta haemolitikus, staphylococcus dan pneumococcus pada epiglotis, 3. Trakeitis yang
merupakan infeksi akut bakteri pada trakea, 4. Aspirasi benda asing yang merupakan keadaan yang dapat
mengancam nyawa dengan onset akut batuk-batuk hebat,tersedak serta rasa tercekik, 5. Hemangioma
subglotis, 6.stenosis subglotis, 7.paralisis pita suara dan 8.trakeomalasia.

28. Apa yg anda ketahui tentang

a. ASTO

Pemeriksaan ASTO (anti streptolisin O) merupakan suatu pemeriksaan darah yang berfungsi untuk
mengukur kadar antibodi terhadap streptolisin O, suatu zat yang dihasilkan oleh bakteri Streptococcus
grup A.

b. Fenoma palatum

Fenomena Palatum Molle yaitu pergerakan palatum molle pada saat pasien diminta untuk
mengucapkan huruf “ i “. Pada waktu melakukan penilaian fenomena palatum molle usahakan agar
arah pandang mata sejajar dengan dasar rongga hidung bagian belakang. Pandangan mata tertuju
pada daerah nasofaring sambil mengamati turun naiknya palatum molle pada saat pasien
mengucapkan huruf “ i ” . Fenomena Palatum Molle akan negatif bila terdapat massa di dalam rongga
nasofaring yang menghalangi pergerakan palatum molle, atau terdapat kelumpuhan otot-otot levator dan
tensor velli palatini.

c. Akalasia

Akalasia adalah kondisi hilangnya kemampuan esofagus untuk mendorong makanan atau minuman dari
mulut ke lambung.

d. Megaesofagus

Megaesophagus, juga dikenal sebagai dilatasi esofagus, adalah kelainan esofagus pada manusia dan
mamalia lain, di mana esofagus menjadi membesar secara tidak normal. Megaesophagus dapat
disebabkan oleh penyakit apa pun yang menyebabkan otot-otot esofagus gagal untuk mendorong
makanan dan cairan dari mulut ke lambung dengan benar (yaitu, kegagalan peristaltik). Makanan dapat
bersarang di esofagus, di mana ia dapat membusuk, dimuntahkan kembali, atau mungkin dihirup ke
dalam paru-paru (mengarah ke pneumonia aspirasi).

Ujian osce

29. Bagaimana cara pengambilan corpal dan alatnya?


a. Corpal di tenggorok
 Alat : endoskopi, forcep
 Obat : anestesi
 Posisi : ?
 Tatalaksana : segera ekstraksi secara endoskopi dalam keadaan yang paling optimum dengan
anestesi umum. jika menyumbat jalan nafas, lakukan heimlich manuever.
b. Corpal kering, esofagus, tenggorok
30. benda asing:
a) duri dihipofaring : duri dihipofaring dapat dikeluarkan menggunakan forcep
b) kacang ditrakhea : segera ekstraksi secara endoskopi dalam keadaan yang paling optimum dengan
anestesi umum.
c) jarum ditrakhea : segera ekstraksi secara endoskopi dalam keadaan yang paling optimum dengan
anestesi umum.

31 Apa yg kamu lakukan pada pasien dengan disfagi


Anamnesis: menanyakan jenis makanan yang menyebabkan disfagia, waktu dan perjalanan disfagia,
lokasi disfagia, dan gejala lain yang menyertai disfagia.
Pemeriksaan fisik : melakukan pemeriksaan daerah leher, apakah ada massa, pembesaran KGB.
Melakukan pemeriksaan tenggorok apakah ada tanda peradangan di daerah orofaring. Melakukan
pemeriksaan untuk melihat adanya kelumpuhan otot lidah dan arkus faring.
Pemeriksaan radiologi : foto polos esofagus dengan kontras, CT scan atau MRI.
Pemeriksaan esofagoskopi dilakukan jika curiga terdapat kelinan pada mukosa dan lumen esofagus.
Tatalaksana yang dilakukan dapat diberikan terapi suportif maupun causatif sesuai penyebab utama yang
ditemukan. Serta dapat dilakukan pemasangan NGT untuk mempermudah makan pasien.

32. Apa yg kamu lakukan pada pasien dengan serak

Anamnesis: menyakan jenis keluhan gangguan suara, lama keluhan, progresifitas, keluhan yang meyertai,
perkerjaan, keluarga, kebiasaan merokok, konsumsi kopi dan alkohol, hobi atau aktivitas diluar pekerjaan,
penyakita yng pernah atau sedang diderita, alergi, lingkungan tempat tinggal dan bekerja.
Pemeriksaan fisik : melakukan pemeriksaan umum (status generalis), pemeriksaan THT terutama,
laringoskopi indirect atau fiberoptic telescope. pemeriksaan daerah leher, apakah ada massa, pembesaran
KGB. Melakukan pemeriksaan tenggorok apakah ada tanda peradangan di daerah orofaring.
Pemeriksaan radiologi : CT scan atau MRI. Jika dicurigai terdapat massa pada larynx.
Pemeriksaan laringoskop direct dilakukan untuk melihat keadaan larynx apakah terdapat tanda inflamasi
atau massa.
Tatalaksana yang dilakukan dapat diberikan terapi suportif maupun causatif sesuai penyebab utama yang
ditemukan. Pasien dapat diedukasi dengan mengistirahatkan larynx dengan mengurangi produksi suara
dan menghindari makanan atau minuman yang iritatif seperti makanan yang berminyak, pedas, dan terlalu
manis.

33. Laki2 usia 65th datang bersama cucunya dengan keluhan sulit menelan. Keluhan dirasakan
pasien sejak 6 bulan yg lalu.1th yg lalu istrinya meninggal. Pasien hanya tinggal bersama
asiesten rumah tangga. Sehari-hari kegiatan pasien merawat tanaman dan burung saja.
a.Dx Dd
b.Ceritakan Dx Dd
c.Pemeriksaan yg dilakukan?
d.Terapi?

Jawaban:
a. Soal cerita tidak lengkap dan kemungkinan ada “keyword” yang justru tidak disertakan
dalam cerita yang mana mungkin kompilator lupa. Pada cerita justru lebih ditekankan
kepada stres psikososialnya yaitu kehilangan pasangan hidup (daya stress: 100 menurut
harlock...). Jadi, kemungkinan ini karena gangguan jiwa nya gaes. Ingetkan kita dulu pas
psikiatri banyak nerima konsulan dari THT.
Dx : Gangguan Somatoform
Dd: Episode depresi ringan/sedang dengan gejala somatik
b. Sudah jelas diatas. Aku menyesuaikan cerita pada soal ya.
c. Pemeriksaan fisik tenggorok dan pemeriksaan nervus 9-10 (anamnesis tanyakan sulit
menelan makanan/minuman ya ini menentukan apakah kelainan saraf atau THT-nya )
d. Jangan memulai terapi jika diagnosis belum tegak – Sang Avatar dr.Laksmi, Sp.B,
2019
Konsul psikiatri

34. Ibu rumah tangga, usia 40th datang dengan keluhan sesak. Sesak memberat sejak 2 minggu
terakhir. Suaranya serak sejak 6 bln yg lalu. Demam (-),batuk(-),pilek(-). Riwayat operasi pada
leher depan 1th yg lalu.
a.Dx Dd
b.Ceritakan Dx Dd
c.Pemeriksaan yg dilakukan?
d.Terapi?

Jawaban:
a. Dx: Paralisis Pita Suara Nervus Laringeus Rekuren Unilateral e.c Metastasis Karsinoma
regio Colli.
b. Alasan Dx:
Demam (-), Batuk (-) dan pilek (-) menyingkirkan Penyakit Infeksi tenggorokan.
Jenis kelamin dan/ usia serta tidak ada benjolan saat ini tidak mendukung angiofibroma
nasofaring juvenil, karsinoma laring, karsinoma nasofaring, Polip pita suara.
RPD mendukung kemungkinan metastasis pada penyakit sebelumnya.
c. DL lengkap : menyingkirkan kemungkinan infeksi – cari leukositosis.
Pemeriksaan fisik – Laringoskopi direk dan indirek, RA, RP : menyingkirkan dd.
Pemeriksaan penunjang -- CT scan leher (bila curiga keganasan)

35.Anak kecil usia 1.5th batuk, pilek, demam. Pasien juga sering membuka mulut dan
hipersalivasi. Drolling(+).
a.Dx Dd
b.Ceritakan Dx Dd
c.Pemeriksaan yg dilakukan?
d.Terapi?

Jawaban:
a. Dx: Epiglotitis
Dd: Laringotrakeobronkitis akut
b. Secara epidemiologi usia mendukung yaitu anak usia 2-7 tahun (1,5 thn) meski mengenai
juga pada dewasa.
Onset/ kronik tidak bisa ditentukan.
Demam menunjukkan peristiwa inflamasi
Sering membuka mulut menunjukkan obstruksi jalan napas biasanya berlangsung
progresif.
Drolling/ hipersalivasi menunjukkan
c. Larigoskopi indirek: tampak epiglottitis hiperemis dan edema
Laboratorium: Leukositosis
Radiologi: tampak pembengkakan epiglottitis (+) sebagai thumb sign
d. Planning Terapi
Non Farmakologi
MRS—bila ada obstruksi jalan napas—indikasi lain???
Vocal rest selama??? Dengan???
Farmakologi
Antibiotik: Ceftriaxone 2x1 selama 7-10 hari
Steroid: Dexamethasone IV dosis???
Planning Monitoring:
Obs. Tanda-tanda obstruksi jalan napas
Obs. TTV dan keluhan
Planing Diagnostik:
Lihat poin C
Planning Edukasi:
KIE bedrest penuh dan mengurangi penggunaan suara secara berlebihan

36.Bayi, 5 bln, demam, batuk, membran warna putih keabu2an. Dx, pemeriksaan, tx?
a. Dx: Difteri
dd: Tonsilitis Kronik
Semua kasus yang memenuhi kriteria di atas harus diperlakukan sebagai difteri sampai terbukti bukan.
Dokter memutuskan diagnosis difteri berdasarkan tanda dan gejala. Terpenting: mulai tata laksana
antitoksin dan antibiotik apabila dokter mendiagnosis suspek difteri tanpa perlu konfirmasi laboratorium.
b. Pemeriksaan fisik Tenggorok: temukan pesudomembran dengan tanda beslag
Pemeriksaan Penunjang: Usap tenggorok
Kriteria konfirmasi laboratorium difteri adalah kultur atau PCR positif. Untuk mengetahui
toksigenisitas difteri, dilakukan pemeriksaan tes Elek. Pengambilan sampel kultur dilakukan
pada hari ke-1, ke-2, dan ke-7. Media yang digunakan saat ini adalah Amies dan Stewart,
dahulu Loeffler atau telurit. Keberhasilan kultur hidung tenggorok di indonesia kurang dari 10%,
sehingga diupayakan untuk menggunakan PCR untuk diagnosis pasti. Sampel diambil dari
jaringan di bawah atau sekitar pseudomembran. Pemeriksaan sediaan langsung dengan
mikroskop atau pewarnaan Gram/Albert tidak dapat dipercaya karena di rongga mulut banyak
terdapat bakteri berbentuk mirip C. diphtheriae (difteroid).

d. Planning Terapi
Basic Life Support—Airway, Breathing and Ciculation.
Bila perlu pertimbangkan trakeostomi sesuai indikasi (sumbatan jalan nafas)

“Pemeriksaan bakteriologi berlangsung beberapa hari. Jika diduga kuat difteri maka
terapi spesifik dengan antitoksin dan antibiotik harus segera diberikan tanpa menunggu hasil
laboratorium, terutama pemberian antitoksin difteri secepatnya. Terapi antimikroba diperlukan
untuk menghentikan produksi toksin, dengan mengeradikasi mikroorganisme penyebab sehingga
dapat mencegah penyebaran lebih lanjut. Pasien dengan suspek difteri, harus dilakukan tindakan
pencegahan paling sedikit dengan pemberian antibiotik selama 4 hari atau sampai diagnosis
difteri dapat disingkirkan.”
Refleksi Kasus kita waktu minggu pertama masuk THT 25 Mei 2019—ADS tidak
diberikan kepada pasien di sakura karena menunggu hasil usap tenggorok hal tersebut
bertentangan dengan guideline di atas. Meski memang pada akhirnya hasil usap tenggorok
menunjukkan hasil negative. Kenapa seperti itu?
Non Farmakologi
MRS—semua kasus diftheriae karena tingkat penularan yang tinggi
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negatif 2
kali berturut-turut dengan jarak 24 jam. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2
minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu bila terjadi komplikasi
miokarditis, pemberian cairan serta diet yang adekuat. Dilakukan pemeriksaan jantung
(EKG) dan neurologis untuk mengetahui ada/tidaknya komplikasi.

Farmakologi
Antibiotik:Penisilin procain 600.000-1,2 juta IU/ 24 jam IM selama 10 hari. Atau
Eritromisin peroral 50 mg/kgBB/hari maksimal 1 gram 3-4x sehari selama 10 hari.
ADS sesuai derajat keparah penyakit.

Bila membran hanya terbatas pada nasal atau permukaan saja maka Anti Difteri Serum
(ADS) dapat diberikan 20.000 unit intramuskular, bila sedang maka ADS dapat diberikan sebesar
60.000 unit intramuskular, sedangkan pada membran yang telah meluas maka dapat diberikan
ADS sebanyak 100.000-120.000 unit intramuskular.
Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit terlebih dahulu, oleh karena pada
pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik, sehingga harus disediakan larutan adrenalin
1:1000 dalam semprit. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikkan 0,1 ml ADS dalam larutan garam
fisiologis 1:1.000 secara intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi >10 mm.
Bila uji kulit positif, ADS diberikan dengan cara desensitisasi (Besredka). Bila uji
hipersensitivitas tersebut diatas negatif, ADS harus diberikan sekaligus secara intravena. Dosis
ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada
berat badan pasien, berkisar antara 20.000-100.000 KI seperti tertera pada tabel 5. Pemberian
ADS intravena dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml glukosa 5% dalam 1-2 jam.
Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat dilakukan selama pemberian antitoksin
dan selama 2 jam berikutnya. Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas
lambat (serum sickness). Kemungkinan terjadi reaksi anafilaksis sekitar 0,6% yang terjadi
beberapa menit setelah pemberian ADS. Reaksi demam (4%) setelah 20 menit-1 jam, serum
sickness (8,8%) 7-10 hari kemudian.
Kortikosteroid : Prednison 2 mg/kgBB/hari selama 2 minggu kemudian diturunkan bertahap.
diberikan untuk kasus difteri yang disertai dengan gejala obstruksi saluran napas bagian atas
(dapat disertai atau tidak bullneck) dan bila terdapat penyulit miokarditis.
Planning Monitoring:
Obs. Tanda-tanda obstruksi jalan napas
Obs. TTV dan keluhan
Planing Diagnostik:
Lihat poin B
Planning Edukasi:
KIE Bahwa penyakit sangat mudah menular dan harus diisolasi.
Manajemen Kontak
- Kontak dekat dengan simptom yang sesuai dengan difteri, harus dirujuk ke pelayanan
kesehatan untuk evaluasi segera.
- Semua kontak dekat dari kasus yang dikonfirmasi difteri, harus dikultur dengan sampel
yang diambil dari hidung dan tenggorokan, tanpa melihat status imunisasi mereka atau
simptom yang ada.
- Setelah kultur dikumpulkan, kontak dekat harus menerima dosis tunggal
Penisilin benzatin (IM) (600.000 unit untuk usia < 6 tahun, dan 1.2 juta unit untuk usia >6
tahun) atau
Eritromisin oral (40 mg/kg/dosis untuk anak-anak, dan 1 g/dosis untuk orang dewasa)
selama 7-10 hari, tanpa melihat status imunisasi mereka. Kontak dekat yang mempunyai
hasil kultur positif harus dilakukan kultur ulang setelah selesai terapi, untuk memastikan
eradikasi terjadi.
- Kontak yang sebelumnya pernah diimunisasi, harus mendapat booster toksoid difteri bila
sudah lebih dari 5 tahun sejak dosis terakhir. Kontak yang tidak diimunisasi harus memulai
seri primer imunisasi segera.
- Kontak dekat harus memperhatikan adanya gejala difteri yang akan timbul dalam 7-10
hari setelah terpapar penderita difteri terutama bila tidak diimunisasi.
- Kontak dekat yang dalam pekerjaannya berhubungan dengan makanan atau anak-anak
sekolah, maka harus diberhentikan untuk sementara waktu sampai terbukti pemeriksaan
bakteriologis bukan penderita carier, karena transmisi difteri pernah dilaporkan melalui
susu mentah.

Definisi Kontak dekat: Kontak erat yang dimaksud adalah orang serumah dan teman bermain;
kontak dengan sekret nasofaring (a.l.: resusitasi tanpa alat pelindung diri); individu seruang dengan
penderita dalam waktu >4 jam selama 5 hari berturut-turut atau >24 jam dalam seminggu (a.l.:
teman sekelas, teman seruang tidur, teman mengaji, les).

Sumber :
1. Penatalaksaan Difteri. Puslitbang Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan,
Balitbangkes, Kemenkes RI, Jakarta, Indonesia. Desember 2014.
2. Rekomendasi Diagnosis dan Tatalaksana Difteri.

37.Laki-laki, 35th, benjolan di leher sejak 3 bulan, tidak nyeri, susah digerakan, hidung buntu,
Sekret kental, tdk berbau. Dx, pemeriksaan,tx?
a. Dx: Suspect Ca Nasofaring dengan Metastase KGB Leher
dd:
Tumor Nasofaring
Angiofibroma Nasofaring Juvenille
Ca Laring

NB:Penjawab mengajukan dx ca karena adanya benjolan yang memiliki ciri menyerupai


tumor/kanker yang mana tidak berfluktuatif dan tidak nyeri (menyingkirkan abses), susah
digerakkan menunjukkan bahwa dia mungkin inflitrasi ke jaringan sekitar tetapi kenapa
sekretnya tidak bercampur darah ya???. Selain itu adanya gejala hidung buntu
mendukung diagnosis Ca Nasofaring. Prosentase metastese ke KGB sebesar 75%.
b. Pemeriksaan fisik :
Status lokalis region tersebut : singkirkan abses dan nilai mobilitas benjolan
Pemeriksaan RA: bedakan apakah tumor endofitik atau eksofitik.Nilai fenomena palatum mole
(harusnya negative ya)
Pemeriksaan RP: Cari massa ya.

Pemeriksaan Penunjang:
Pemeriksaan Laboratorium (Haematologi lengkap): evaluasi anemia+ menentukan prasyarat
dilaksanakannhya Biopsi.
Pemeriksaan Nasofaringoskopi+ Biopsi.
Histo-Pa : Diagnosis PASTI.
CT Scan : Staging tumor untuk menentukan terapi lanjutan ya. (Setelah hasil biopsy keluar atau
simultan ya ini lupa akika.)

c. Tentukan dulu Staging.


Stadium 1 dan 2 : Radioterapi adjuvan
Stadium 3 dan 4: Radioterapi adjuvant dan kemoterapi adjuvan ATAU Radioterapi neoadjuvan
dan kemoterapi adjuvant.

38.Anak, 1th ,sesak nafas sejak 5 bulan yll. Tambah saat nangis, stridor. Epiglotis menutup dan
Kelainan bentuk. Dx, tx?
a. Dx: Laringomalasia
Pada soal tidak dijelaskan kelainan bentuk seperti apa yang dimaksud dan kelainan organ
apa yang dimaksud. Penjawab berasumsi bahwa kelainan yang dimaksud terjadi pada epiglottis
yang mana epiglottis menutup rima glottis meski pasien dalam kondisi inspirasi sehingga
menimbulkan suara stidor.Selain itu usia yang masih 1 tahun dengan onset gejala ketika usia 7
bulan (1 thn – 5 bulan = 7 bulan) memperkuat dugaan adanya kelainan kongenital pada pasien
ini.

b. Tx:
Primary survey: Basic Life Support – ABCDE dengan intervensi.
Airway: Beri O2 NRBM 8-10 lpm jika sesak nafas. (asli ngawur iki coy aku gawe opo dan
berapa lpm nya)
Secondary survey: ABCDE aman—lanjut cari penyebab dan terapi lanjutan.
Bila tegak Laringomalasia, klasifikasikan pasien berdasarkan table dibawah ini:
Pasien LM derajat berat mempunyai 8 tanda primer, yaitu:
1.stridor inspirasi,
2.retraksi suprasternal,
3.retraksi substernal,
4.kesulitan dalam makan,
5.tersedak,
6.muntah setelah makan,
7.gangguan tumbuh kembang
8.sianosis.

PRINSIP TERAPI:
LM derajat ringan dan sedang: KONSERVATIF
LM derajat berat/dengan komorbid/gagal konservatif: OPERATIF

Komorbid yang dimaksud antara lain:


1. GERD/LER
2. Lesi sekunder saluran nafas
3. Penyakit neurologis
4. Penyakit Jantung bawaan
5. Sindroma/Anomali/Kelainan Genetik

Dikatakan Gagal konservatif setelah ???


Operatif:
1. supraglotoplasti dan epiglotoplasti.
Sebelum dilakukan tindakan sebaiknya pasien diberikan antagonis reseptor H2 dosis tinggi
(3mg/kgBB) atau PPI sekali sehari.
Pemilihan jenis operasi berdasarkan tipe LM berupa supraglotoplasti dengan melakukan eksisi
mukosa aritenoid redundant pada tipe I, insisi lipatan ariepiglotis yang memendek pada tipe II
dan epiglotoplasti pada LM tipe III (gambar 6).

SUMBER:Diagnosis dan Penatalaksanaan Laringomalasia . Elfianto, Novialdi. 2018.


Jurnal Kesehatan Andalas.

39.Anak, 12th, pelajar, suara serak, ikut pramuka, teriak2. Dx, tx?
a. Dx: Vocal Nodul (Screamer Nodes)
Dd:
Polip Pita suara
Papiloma laring
Keratosis Laring
Laringitis Kronik Non spesifik
b. Anamnesis:
Suara pecah di nada tinggi – bagaimana cara periksanya?
Gagal mempertahankan nada-- bagaimana cara periksanya?
Pemeriksaan fisik:
Laringokopi indirek: tampak nodul bilateral dan simetris pada 1/3 anterior dan/ 2/3
posterior pita suara.
Akut: merah, polipoid, dan edema
Kronik: pucat, kecil, runcing dan simetris
c. Planning Terapi
Non Farmakologi
Rawat jalan
Vocal rest selama??? Dengan???
Terapi suara: mengubah pola suara yang menjadi lebih santai (???) dan memperbaiki
teknik bicara yang salah – bagaimana teknik yang benar dan salah???
Farmakologi
Tidak ada. Karena pada kebanyakan kasus vocal nodul resolusinya tinggi.
Operatif
Bedah mikrolaring – indikasi?
Nodul besar (ukuran lebih dari ???) dan nodul yang berlangsung lama pada dewasa
(definisi lama???)
Planning Monitoring:
Obs. TTV dan keluhan
Planing Diagnostik:
Lihat poin B
Planning Edukasi:
KIE vocal rest penuh dan tingkat rekurensi (???)

5.Perempuan, 37th, awal nya kesulitan menelan makanan padat kemudian sulit menelan
makanan halus. Barium “bird beak sign”. Dx, tx?
a. Dx: Cukup jelas. Bird beak sign/app merupakan tanda patognomonik Akalasia Esofagus.
b. Dd: Sebenarnya tidak perlu karena sudah jelas sekali pada Radiologinya.
c. Planning Terapi
Non Farmakologi
MRS—Bila malnutrisi dan rencana operasi heller.
Diet cair berupa susu tinggi kalori sehari sekian kali.
Pro NGT???
Tindakan dilatasi sfingter esophagus – pie???
Farmakologi
Simptomatik
Operatif
Operasi esofagokardiomiotomi (operasi Heller)
Planning Monitoring:
Obs. TTV dan keluhan
Planing Diagnostik:
Tidak ada.
Planning Edukasi:
KIE mengenai penyakit dan prognosisnya kepada pasien.

40. Apa yang kamu ketahui tentang?


A.Croup
Croup merupakan sinonim dari Laringotrakeobronkitis Akut.
Laringotrakeitis atau Sindrom croup, adalah sindrom klinis yang ditandai dengan suara serak,
batuk menggonggong, stridor inspirasi, dengan atau tanpa adanya stres pernapasan. Penyakit ini
sering terjadi pada anak.
Istilah lain untuk croup ini adalah laringitis akut yang menunjukkan lokasi inflamasi, yang
jika meluas sampai trakea disebut laringotrakeitis, dan jika sampai ke bronkus digunakan istilah
laringotrakeobronkitis.
Secara umum croup dikelompokan dalam 2 kelompok yaitu :
1. Viral croup: ditandai oleh gejala prodromal infeksi respiratori; gejala obstruksi
saluran respiratori berlangsung selama 3−5 hari. Beberapa penulis menyebutkan kelompok ini
Laringotrakeobronkitis
2. Spasmodic croup: = spasmodic cough, terdapat faktor atopik, tanpa gejala
prodromal; anak dapat tiba-tiba mengalami gejala obstruksi saluran respiratori, biasanya pada
waktu malam menjelang tidur; serangan terjadi sebentar, kemudian normal kembali.

Berdasarkan derajat kegawatan, croup dibagi menjadi empat kategori.


1. Ringan; ditandai dengan adanya batuk keras menggonggong yang kadang-kadang muncul,
stridor yang tidak terdengar ketika pasien beristirahat/tidak beraktivitas, dan retraksi ringan
dinding dada.
2. Sedang; ditandai dengan batuk menggonggong yang sering timbul, stridor yang mudah
didengar ketika pasien beristirahat/tidak beraktivitas, retraksi dinding dada yang sedikit
terlihat, tetapi tidak ada gawat napas (respiratory distress).
3. Berat; ditandai dengan batuk menggonggong yang sering timbul, stridor inspirasi yang
terdengar jelas ketika pasien beristirahat, dan kadang-kadang disertai dengan stridor ekspirasi,
retraksi dinding dada, dan gawat napas.
4. Gagal napas mengancam; batuk kadang-kadang tidak jelas, terdengar stridor (kadangkadang
sangat jelas ketika pasien beristirahat), gangguan kesadaran, dan letargi.

B.Pseudomembran
Kandidiasis Pseudomembran
Pseudomembran tersebut terdiri atas kumpulan hifa dan sel ragi, sel radang, bakteri, sel epitel,
debris makanan dan jaringan nekrotik. Kandidiasis pseudomembran akut biasanya dijumpai pada
mukosa pipi, lidah dan palatum lunak. Tampak sebagai plak mukosa yang putih, difus,
bergumpal. Secara klinis, plak-plak putih tersebut tampak dalam kelompok-kelompok yang
mempunyai dasar mukosa eritematosa atau mungkin berdarah dan terasa nyeri sekali.

Pseudomembran Difteri
Pseudomembran merupakan jaringan fibrin yang terinfeksi oleh C. diphtheria melapisi lesi
nekrotik dan epitel di daerah tenggorok. Produksi toksin yang meningkat akan memperluas dan
memperdalam area infeksi, sehingga terbentuk eksudat fibrin. Pseudomembran yang terbentuk
akan berwarna keabuan sampai hitam tergantung dari jumlah darah di dalamnya.
Pseudomembran mengandung sel inflamasi, darah merah dan membran epitel superfisial,
sehingga akan terjadi perdarahan jika dilepas. Pseudomembran ini akan berkurang secara
spontan selama masa penyembuhan.

C.Rhinolalia
1. Hypernasality atau "rhinolalia aperta" didefinisikan sebagai resonansi berlebih dari vokal
dan suara konsonan dalam rongga hidung.
Mekanisme:
Fenomena ini dijelaskan atas dasar kopling terbuka antara rongga mulut dan hidung,
karena penutupan tidak lengkap langit-langit keras (palatum durum) dan / atau sfingter
velopharyngeal.
Etiologi hypernasality :
cacat anatomis, seperti celah pada langit-langit keras (palatum durum) dan lunak (palatum
molle), penyakit neurologis yang menyebabkan kelumpuhan otot velopharyngeal, amandel
obstruktif, deviasi struktural hidung. Hypernasality juga umum terjadi pada orang dengan
gangguan pendengaran sensorineural bawaan yang parah karena umpan balik pendengaran
yang buruk.

2. Hyponasality, juga dikenal sebagai "rhinolalia clausa", adalah didefinisikan sebagai


pengurangan atau tidak adanya resonansi normal semivowel hidung "m", "n" dan hilangnya
asimilasi nasalitas normal.
Mekanisme: Dasar anatomisiologis adalah penutupan berlebihan atau obstruksi antara
rongga mulut dan hidung.
Klasifikasi :
Hiponasalitas dapat diklasifikasikan dalam dua subtipe:
• “rhinolalia clausa posterior” karena obstruksi di bagian posterior rongga hidung atau
nasofaring, ketika fonem hidung “m”, “n” terdengar sebagai penghentian lisan "b", "d"; •
“rhinolalia clausa anterior” karena obstruksi di daerah anterior rongga hidung, kapan semua
vokal diproduksi dengan resonansi yang berongga.
Etiologi:
Penyebab hiponasalitas adalah lesi yang menempati ruang seperti tumor, polip hidung,
hipertrofi adenoid, radang jaringan dan deviasi septum hidung.

3. Nasal campuran adalah sinonim dengan "rhinolalia mixta" dan didefinisikan sebagai
insufisiensi velopharyngeal simultan dan obstruksi hidung.

SUMBER: Rhinologic pathology and voice disorders . Ramona Ungureanu, M.D.,


Ph.D .Romanian Journal of Rhinology, Vol. 5, No. 19, July - September 2015

D.Faringoplasty
Faringoplasti ialah suatu pembebasan mukosa dan otot-otot yang kemudian didekatkan satu sama lain.
Pada faringoplasti hubungan antara faring dan hidung dipersempit dengan membuat klep/memasang klep
dari dinding belakang faring ke palatum molle. Tujuan pembedahan ini adalah untuk menyatukan celah
segmen-segmen agar pembicaraan dapat dimengerti.

Ø Perawatan yang dilakukan pasca dilakukannya faringoplasti adalah sebagai berikut :

 menjaga agar garis-garis jahitan tetap bersih

 bayi diberi makan atau minum dengan alat penetes dengan menahan kedua tangannya.

 Makanan yang diberikan adalah makanan cair atau setengah cair atau bubur saring selama 3
minggu dengan menggunakan alat penetes atau sendok.

 Kedua tangan penderita maupun alat permainan harus dijauhkan.

Sumber: Ini dari blog gaes Maafkan aku yaa. Sumpah ga nemu di internet.

Anda mungkin juga menyukai