Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Faringitis adalah peradangan pada mukosa faring dan sering meluas ke
jaringan sekitarnya. Faringitis biasanya timbul bersama-sama dengan tonsilitis,
rinitis dan laringitis. Faringitis banyak diderita anak-anak usia 5-15 tahun di
daerah dengan iklim panas. Faringitis dijumpai pula pada dewasa yang masih
memiliki anak usia sekolah atau bekerja di lingkungan anak-anak.1
Faringitis akut dapat terjadi pada semua umur, sering terjadi pada anak
usia 5-15 tahun dan jarang pada anak usia di bawah 3 tahun, insiden meningkat
seiring bertambahnya usia, mencapai puncaknya pada usia 4-7 tahun dan berlanjut
sepanjang akhir masa anak hingga dewasa. Diperkirakan sebanyak 15 juta kasus
faringitis didiagnosis setiap tahunnya di Amerika Serikat dengan 15-30% pada
anak usia sekolah dan 10% diderita oleh dewasa serta 20- 30% kasus disebabkan
oleh Streptokokkus Beta Hemolitikus grup A (SBHGA). Data kunjungan
penderita di Poliklinik THT-KL RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang pada
tahun 2011 menunjukkan sebanyak 726 kunjungan penderita faringitis akut dari
total 7256 kunjungan ±10%.1
Tonsil merupakan salah satu pertahanan tubuh terdepan. Antigen yang
berasal dari inhalan maupun ingestan dengan mudah masuk ke dalam tonsil dan
bisa menyebabkan peradangan, peradangan tonsil akan mengakibatkan
pembesaran yang menyebabkan kesulitan menelan atau seperti ada yang
mengganjal di tenggorok.3
Tonsilitis adalah peradangan pada tonsil palatina yang merupakan bagian
dari cincin Waldayer yang disebabkan oleh mikroorganisme berupa virus, bakteri,
dan jamur yang masuk secara aerogen atau foodborn.2
Tonsilitis paling sering terjadi di negara subtropis. Pada negara iklim
dingin angka kejadian lebih tinggi dibandingkan dengan yang terjadi di negara
tropis, infeksi Streptococcus terjadi di sepanjang tahun terutama pada waktu

1
musim dingin. Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di tujuh provinsi di
Indonesia pada bulan September tahun 2012, prevalensi tonsilitis kronik tertinggi
setelah nasofaringitis akut yaitu sebesar 3,8%. Berdasarkan data dari rekam medik
di Puskesmas Bayat Kabupaten Klaten, diketahui jumlah penderita tonsillitis
sebanyak 56 orang pada tahun 2013. Data bulan Januari sampai bulan April 2014,
tercatat 21 anak penderita tonsillitis.2
Terdapat banyak mikroba penyebab faringitis dan tonsilitis, Streptokokus
beta hemolitikus grup A adalah bakteri penyebab terbanyak faringitis
/tonsilofaringitis akut. Bakteri tersebut mencakup 15−30% dari penyebab
faringitis dan tonsilitis akut pada anak.3
Faringitis dan tonsilitis adalah penyakit yang merupakan kompetensi 4A
yaitu lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan
penatalaksanaan penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas. 4A Kompetensi yang
dicapai pada saat lulus dokter.14

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi
Pharynx terletak di belakang cavum nasi, cavum oris dan larynx dan
dibagi menjadi bagian-bagian nasopharynx, oropharynx dan laryngopharynx.
Pharynx berbentuk seperti corong, dengan bagian atasnya yang lebar terletak di
bawah cranium dan bagian bawahnya yang sempit dilanjutkan sebagai oesophagus
setinggi vertebra cervicalis ke enam. Pharynx mempunyai dinding
musculomembranosa yang tidak sempurna bagian depan. Di tempat ini, jaringan
musculomembranosa diganti oleh apertura nasalis posterior (choanae), isthmus
faucium (pembukaan rongga mulut) dan aditus laryngis. Melalui tuba auditiva,
membrana mucosa juga berhubungan dengan membrana mucosa dari cavitas
tymphani.
Otot- otot pharynx terdiri dari musculus constrictor pharyngis superior,
medius dan inferior. Ketiga otot-otot constrictor mengelilingi dinding pharynx
untuk berinsersi pada sebuah pita fibrosa yang terbentang dari tuberculum
pharyngeus pars basilaris os occipitale ke bawah sampai ke oesophagus, bagin
bawah musculus constrictor pharyngis inferior yang berasal dari cartialago
cricoidea disebut musculus cricopharyngeus. Serabut-serabut musculus
cricopharyngeus ini berjalan horizontal di sekeliling bagian paling bawah dan
paling sempit pharynx dan berfungsi sebagai spinchter.
Pharynx mendapatkan darah dari arteria pharyngica ascendens, cabang-
cabang tonsilar arteria fascialis, cabang arteri maxillaris dan arteri lingualis. Limfe
dialirkan dari pharynx menuju ke nodi lymphoidei cervicales profundi atau tidak
langsung melalui nodi retropharyngeals atau paratracheales, baru menuju nodi
lymphoidei cervicales profundi

3
Gambar 1 Pharynx
Sumber (Snell, 2010)
Tonsila palatina berbentuk dua massa jaringan limfoid, masing-masing
terletak di dalam cekungan di dinding lateral oropharynx di antara arcus
palatoglossus dan palatopharyngeus. Setiap tonsil diliputi oleh membrana mucosa
dan permukaan medialnya yang bebas menonjol ke dalam pharynx.
Permukaannya berbintik-bintik yang disebabkan oleh banyak muara kelenjarm
yang terbuka ke crypta tonsillaris. Permukaan lateral tonsila palatina diliputi oleh
capsula fibrosa. Capsula ini dipisahkan dari musculus constrictor pharyngis
superior oleh jaringan areolar jarang, vena palatina extrna berjalan turun dari
palatum molle di dalam jaringan ikat jarang untuk bergabung dengan plexua
venosus pharyngeus.
Tonsil terdiri atas:
1. Tonsil faringealis atau adenoid, agak menonjol keluar dari atas
faring dan terletak di belakang koana.
2. Tonsil palatina atau faucial, dilapisi oleh epitel berlapis gepeng
tanpa lapisan tanduk.
3. Tonsil lingual atau tonsil pangkal lidah, epitel berlapis gepeng tanpa
lapisan tanduk.

4
Arteri yang memperdarahi tonsil adalah ramus tonsilaris arteria fascialis.
Vena-vena menembus musculus constrictor pharyngis superior dan bergabung
dengan vena palatina externa, vena pharyngealis atau vena facialis. Limfe
mengalir dari tonsil ke nodi lymphoidei cervicales profundi bagian atas, tepat di
bawah dan di belakang angulus mandibulae.
Jaringan limfoid yang terdapat di sekitar pintu masuk sistem repsirasi dan
pencernaan membentuk sebuah cincin. Bagian lateral cincin dibentuk oleh tonsila
palatina dan tonsila tubaria (jaringan limfoid di sekitar muara tuba auditiva di
dinding lateral nasopharynx). bagian atasnya dibentuk oleh tonsila pharyngeus
yang terdapat di atap nasopharynx dan bagian bawahnya dibenuk tonsila lingualis
yang terdapat pada sepertiga bagian posterior lidah.

Gambar 2 Tonsila Palatina

2.2. Definisi
Faringitis adalah peradangan pada mukosa faring dan sering meluas ke
jaringan sekitarnya. Faringitis biasanya timbul bersama-sama dengan tonsilitis,
rinitis dan laringitis. Faringitis banyak diderita anak-anak usia 5-15 tahun di
daerah dengan iklim panas. Faringitis dijumpai pula pada dewasa yang masih
memiliki anak usia sekolah atau bekerja di lingkungan anak-anak1

5
Istilah faringitis akut digunakan untuk menunjukkan semua infeksi akut
pada faring, termasuk tonsilitis (tonsiloffaringitis) yang berlangsung hingga 14
hari. Faringitis merupakan peradangan akut membran mukosa faring dan struktur
lain di sekitarnya. Karena letaknya yang sangat dekat dengan hidung dan tonsil,
jarang terjadi hanya infeksi lokal pada faring atau tonsil. Oleh karena itu,
pengertian faringitis secara luas mencakup tonsilitis, nasofaringitis, dan
tonsilofaringitis. Infeksi pada daerah faring dan sekitarnya ditandai dengan
keluhan nyeri tenggorok5
Tonsilitis merupakan peradangan yang terjadi pada tonsil yang
disebabkan oleh virus atau bakteri sehingga tonsil menjadi bengkak, merah,
melunak, dan memiliki bintik-bintik putih di permukaannya.1 Tonsilitis merupakan
salah satu infeksi saluran pernapasan bagian atas (ISPA) yang sering terjadi pada
balita. Hal ini dikarenakan sistem imunologis pada tonsil manusia paling aktif
pada usia antara 4 sampai dengan 10 tahun. Tonsilitis adalah peradangan pada
tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer yang disebabkan oleh
mikroorganisme berupa virus, bakteri, dan jamur yang masuk secara aerogen atau
foodborn6,7

2.3. Epidemiologi
Nyeri tenggorok merupakan gejala klinis utama yang terjadi pada sepertiga
infeksi respiratori atas. Faringitis streptokokus jarang terjadi pada anak usia
dibawah 2-3 tahun, namun insiden meningkat pada anak usia pra sekolah dan
mengalami penurunan pada akhir masa remaja sampai dewasa. Faringitis
streptokokus terjadi sepanjang tahun pada daerah dengan iklim subtropis dengan
puncak kejadian pada musim dingin maupun musim semi. Penyakit ini kerap
menular ke individu lainnya, infeksi virus umumnya menyebar melalui kontak
erat dengan individu yang terkena infeksi dengan puncak insidens musim dingin
maupun musim semi.3

Di Indonesia pada tahun 2007 dilaporkan bahwa kasus faringitis akut


masuk dalam sepuluh besar kasus penyakit yang dirawat jalan dengan persentase

6
1,5 % atau sebanyak 214.781 orang per tahun. Data kunjungan penderita di
Poliklinik THT-KL RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang pada tahun 2011
menunjukkan sebanyak 726 kunjungan penderita faringitis akut dari total 7256
kunjungan ±10%. Berdasarkan data dari Departemen Kesehatan RI, angka
kejadian penyakit tonsilitis di Indonesia sekitar 23%. Berdasarkan data
epidemiologi penyakit THT di tujuh provinsi di Indonesia pada bulan September
tahun 2012, prevalensi tonsilitis kronik tertinggi setelah nasofaringitis akut yaitu
sebesar 3,8%. Selain itu, sebuah penelitian yang dilakukan di RSUP Dr.
HasanSadikin pada periode Maret sampai dengan April 1998 menemukan 1024
pasien tonsilitis kronis atau sebesar 6,75% dari seluruh kunjungan.8

2.4. Etiologi
Terdapat banyak mikroba penyebab faringitis, Streptokokus beta
hemolitikus grup A adalah bakteri penyebab terbanyak faringitis/tonsilofaringitis
akut. Bakteri tersebut mencakup 15−30% dari penyebab faringitis akut pada anak,
sedangkan pada dewasa hanya sekitar 5−10% kasus. Bakteri lainnya yang dapat
menyebabkan faringitis ialah Staphylococcus Aureus, Haemophilus influenzae
dan Streptococcus Pneumoniae yang dapat ditemukan pada biakan sediaan apus
tenggorok anak dengan faringitis. Berbagai virus juga dapat menyebabkan
faringitis akut, seperti Adenovirus lebih sering dibandingkan virus lain
menyebabkan faringitis sebagai gejala dominan. Virus lainnya yang dapat
menyebabkan terjadinya faringitis adalah virus Epstein Barr, enterovirus, virus
herpes simplex dan infeksi HIV. Streptokokus Beta Hemolitikus Grup A adalah
bakteri penyebab terbanyak faringitis/tonsilofaringitis akut. Bakteri tersebut
mencakup 15-30% (di luar kejadian epidemik) dari penyebab faringitis akut pada
anak, sedangkan pada dewasa hanya sekitar 5-10% kasus.3,5

Mikroorganisme seperti Klamidia dan Mikoplasma dilaporkan dapat


menyebabkan infeksi, tetapi sangat jarang terjadi. Di negara Inggris dan
Skkandinavia pernah dilaporkan infeksi Aerobacterium haemolyticum. Beberapa
bakteri dapat melakukan proliferasi ketika sedang terjadi infeksi virus

7
(copathogen bacterial) dan dapat ditemukan pada kultur, tetapi biasanya bukan
merupakan penyebab dari faringitis/tonsilofaringitis akut.5

2.5. Patogenesis
Bakteri maupun virus dapat secara langsung menginvasi mukosa faring
yang kemudian menyebabkan peradangan lokal. Rhinovirus menyebabkan iritasi
mukosa faring sekunder akibat dari sekresi nasal. Sebagian besar peradangan
melibatkan nasodaring, uvula dan palatum mole. Perjalanan penyakitnya ialah
terjadinya inokulasi dari agen infeksius di faring yang menyebabkan peradangan
lokal, sehingga menyebabkan eritema faring, tonsil atau keduanya. Infeksi
streptokokus ditandai dengan invasi lokal serta pelepasan toksin ekstraseluler dan
protease. Transmisi dari virus yang khusus dan SBHAG terutama terjadi akibat
kontak dengan sekret hidung dibandingkan dengan kontak oral. Gejala akan
tampak setelah masa inkubasi yang pendek yaitu 24-72 jam.5

Pada tonsilitis karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel
mukosa juga jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan
jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan
sehingga kripti melebar. Secara klinik kripti ini tampak diisi oleh detritus. Proses
berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan
perlekatan dengan jaringan di sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai
dengan pembesaran kelenjar limfa dengan submandibula.Detritus merupakan
kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas. Akibat dari proses ini akan
terjadi pembengkakan atau pembesaran tonsil ini, nyeri menelan, disfagia. Kadang
apabila terjadi pembesaran melebihi uvula dapat menyebabkan kesulitan
bernafas.Apabila kedua tonsil bertemu pada garis tengah yang disebut kissing
tonsils dapat terjadi penyumbatan pengaliran udara dan makanan. Komplikasi
yang sering terjadi akibat disfagia dan nyeri saat menelan, penderita akan
mengalami malnutrisi yang ditandai dengan gangguan tumbuh kembang, malaise,
mudah mengantuk. Pembesaran adenoid mungkin dapat menghambat ruang
samping belakang hidung yang membuat kerusakan lewat udara dari hidung ke
tenggorokan, sehingga akan bernafas melalui mulut. Bila bernafas terus lewat

8
mulut maka mukosa membrane dari orofaring menjadi kering dan teriritasi,
adenoid yang mendekati tuba eustachus dapat meyumbat saluran mengakibatkan
berkembangnya otitis media.8

2.6. Manifestasi Klinis


Inflamasi faring menyebabkan nyeri tenggorokan, disfagia dan demam.
Apabila proses radang lebih menonjol pada area tonsil, maka digunakan istilah
tonsilitis atau tonsilofaringitis. Awitan faringitis streptokokus seringkali cepat dan
memiliki gejala nyeri tenggorokan yang hebat dan demam sedang sampai tinggi,
sakit kepala, mual, muntah dan nyeri abdomen adalah gejala klinis yang sering
terjadi. Karateristik penyakit ini adalah adanya tonsil yang memerah seperti buah
cherry, membesar dan diliputi oleh eksudat kekuninganyang bebercak darah.
Dapat ditemukan petekie atau lesi berbentuk donat pada palatum molle dan faring
posterior. Area uvula bewarna merah, berbintik-bintik dan bengkak. Kelenjar
limfe anterior membesar dan nyeri bila disentuh. Namun, pada sebagian besar
anak faringitis timbul dengan eritema ringan tanpa adanya eksudat pada tonsil
ataupun limfadenitis servikalis.5

Selain nyeri tenggorokan dan demam, pada beberapa pasien terdapat


stigmatat demam skarlatina (scarlet fever) dan ruam makulopapuler eritemetosa
yang bersifat difus, yang menimbulkan rasa menonjol (goose flesh). Lidah pada
awalnya tertutup lapisan putih, namun papila lidah yang bewarna merah dan
edema tampak menembus lapisan tersebut, sehingga tampak gambaran white
strawberry tongue.5

Awitan faringitis akibat infeksi virus secara tipikal bersifat gradual dan
gejala klinis yang seringkali muncul adalah rinorea, batuk dan diare. Umumnya
infeksi respiratori atas menunjukkan gejala klinis seperti rinorea dan hidung
tersumbat, sedangkan gejalasistemik seperti mialgia dan demam tidak ada atau
hanya ringan saja. Gejala khas faringitis akibat streptokokus berupa nyeri
tenggorokan dengan awitan yang mendadak, disfagia dan demam.5

9
Gejala faringitis yang khas akibat bakteri Streptokokus berupa nyeri
tenggorokan dengan awitan mendadak, disfagia, dan demam. Urutan gejala yang
biasanya dikeluhkan oleh anak berusia di atas 2 tahum adalah nyeri kepala, nyeri
perut, dan muntah. Selain itu juga didapatkan demam yang dapat mencapai suhu
40C, beberapa jam kemudian terdaat nyeri tenggorok. Gejala seperti rinorea, suara
serak, batuk, konjungtivitis, dan diare biasanya disebabkan oleh virus. Kontak
dengan pasien rinitis juga dapat ditemukan pada anamnesis, tidak semua pasien
tonsilofaringitis akut Streptokokus menunjukkan tanda infeksi Streptokokus, yaitu
eritema pada tonsil dan faring yang disertai dengan pembesaran tonsil.5

Pada pemeriksaan fisik, tidak semua pasien faringitis akut Streptokokus


menunjukkan tanda infeksi Streptokokus, yaitu eritema pada tonsil dan faring
yang disertai dengan pembesaran tonsil. Faringitis Streptokokus sangat mungkin
jika dijumpai gejala dan tanda berikut:

 Awitan akut, disertai mual dan muntah


 Faring hiperemis
 Demam
 Nyeri tenggorokan
 Tonsil bengkak dengan eksudasi
 KGB leher anterior bengkak dan nyeri
 Uvula bengkak dan merah
 Ekskoriasi hidug disertai lesi impetigo sekunder
 Ruam skarlatina
 Patekhiae palatum mole
Akan tetapi, penemuan tersebut bukan merupakan tanda pasti faringitis
Streptokokus, karena dapat juga ditemukan pada penyebab tonsilitis. Sedangkan
bila dijumpai gejala dan tanda berikut ini, maka kemungkinan besar bukan
faringitis Streptokokus:
 Usia di bawah 3 tahun
 Awitan bertahap
 Kelainan melibatkan beberapa mukosa
 Konjungtivitis, diare, batuk, pilek, suara serak
 Mengi, ronkhi di paru
 Eksantem ulseratif
Pada faringitis akibat virus, dapat juga ditemukan ulkus di palatum mole
dan dinding faring serta eksudat di palatum dan tonsil, tetapi sulit dibedakan

10
dengan eksudat faringits Streptokokus. Gejala yang timbul dapat menghilang
dalam 24 jam, berlangsung 4-10 hari (self limiting disease), jarang menimbulkan
komplikasi, dan prognosis yang baik.5
Pada pemeriksaan tonsil tampak pembesaran tonsil dengan permukaan
yang tidak rata, kriptus melebar dan beberapa kripta terisi oleh detritus. Terasa ada
yang mengganjal di tenggorokan, tenggorokan terasa kering dan napas yang
berbau. Suhu tubuh yang meningkat, nyeri tenggorokan, suara menjadi serak,
nyeri sewaktu menela, suara menjadi serak, lesu/lemas, tidak nafsu makan, tonsil
membengkak, serta submandibula bengkak dan nyeri tekan. Dengan mengukur
jarak antara kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial
kedua tonsil, maka gradasi pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi.10
 T0 : Tonsil masuk di dalam fossa
 T1 : <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
 T2 : 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
 T3 : 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
 T4 : >75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

Gambar 3 Pembesaran Tonsil

Ada tiga jenis utama dari tonsilitis menurut Eunice (2014), yaitu:12
• Tonsilitis akut:
Terjadi ketika tonsilitis disebabkan oleh salah satu bakteri atau
virus.Infeksi ini biasanya sembuh sendiri.

11
• Subakut tonsilitis:
Terjadi ketika tonsilitis disebabkan oleh Actinomyces bakteri,
organisme anaerob yang bertanggungjawab untuk keadaan suppuratif
pada tahap infeksi. Infeksi ini bisa bertahan antara tiga minggu dan tiga
bulan.
• Tonsilitis kronis:
Terjadi ketika tonsilitis disebabkan oleh infeksi bakteri yang dapat
bertahan jika tidak diobati.

2.7. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisis, dan
pemeriksaan laboratorium. Sulit untuk membedakan antara faringitis Streptokokus
dan faringitis virus hanya berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis. Baku
emas penegakan diagnosis faringitis bakteri atau virus adalah melalui pemeriksaan
kultur dari apusan tenggorok. Apusan tenggorok yang adekuat pada area tonsil
diperlukan untuk menegakkan adanya Streptococcus pyogenes.
Pada saat ini terdapat metode yang cepat untuk mendeteksi antigen
Streptokokus grup A (rapid antigen detection test). Metode uji cepat ini
mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang cukup tinggi (sekitar 90% dan 95%)
dan hasilnya dapat diketahui dalam 10 menit, sehingga metode ini setidaknya
dapat digunakan sebagai pengganti pemeriksaan kultur. Secara umum, bila uji
tersebut negatif, maka apusan tenggorok seharusnya dikultur pada dua cawan agar
darah untuk mendapatkan hasil yang terbaik untuk S. Pyogenes. Pemeriksaan
kultur dapat membantu mengurangi pemberian antibiotik ulang, tidak perlu pada
pasien faringitis.

2.8. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan cepat antigen streptokokus, biakan apusan


tenggorokan, atau keduanya dapat dilakukan untuk menambah presisi

12
diagnosis dan untuk mengidentifikasi pasien yang terkena infeksi
streptokokus dan memerlukan pemberian antibiotik. Pemeriksaan biakan
apusan tenggorokan merupakan baku emas diagnostik untuk
mengidentifikasi faringitis streptokokus, biakan dengan hasil positif palsu
dapat terjadi apabila organisme tersebut salah diidentifikasikan sebagai
streptococcus group A.3

Pemeriksaan Mikrobiologi

Gold standard pemeriksaan tonsil adalah kultur dari dalam tonsil.


Berdasarkan penelitian Kurien di India terhadap 40 penderita Tonsilitis
Kronis yang dilakukan tonsilektomi, didapatkan kesimpulan bahwa kultur
yang dilakukan dengan swab permukaan tonsil untuk menentukan
diagnosis yang akurat terhadap flora bakteri Tonsilitis Kronis tidak dapat
dipercaya dan juga valid. 20 Bakteri penyebab tonsilitis tersering adalah
Grup A streptococcus B hemolitikus. Daerah tenggorokan banyak
mengandung flora normal. Permukaan tonsil mengalami kontaminasi
dengan flora normal di saluran nafas atas.10

2.9. Tatalaksana
Walaupun tidak diobati, sebagian besar episode faringitis streptokokus
akan sembuh dengan sendirinya setelah beberapa hari. Keuntungan utama dari
pemberian antibiotik adalah untuk mencegah terjadinya demam rematik. Karena
masa inkubasi demam rematik umumnya cukup panjang (1-3 minggu), terapi
yang diberikan dalam kurun 9 hari setelah terjadinya awitan, dapat mencegah
demam rematik hingga mendekati 100%.

Golongan sefalosporin memiliki kemampuan eradikasi bakteri di faring lebih baik dibandingkan dengan golongan penisilin. Salah satu

penjelasannya adalah karena kuman staphylococcus atau kuman anaerob di faring memproduksi B-laktamase yang menonaktifkan dan

menurunkan efikasi penisilin. Golongan sefalosporin juga terbukti lebih efektif untuk mengeradikasi karier streptokokus.
3

Terapi antimikrobial untuk faringitis streptokokus group A3


Penisilin Oral (2-3 kali sehari selama 10 hari)
10mg/kg/dosis, dosis maksimum 250 mg/dosis atau

13
Penisilin benzathine (dosis tunggal) IM
Pada anak < 27 kg : 600.000
Untuk anak besar dan dewasa : 1,2 juta U
Untuk pasien yang alergi terhadap B-Lactamase
Eritromisin
Eritromisin ethyl succinate : 40-5- mg/kg/hari (maks 1g/hari) dalam 3-4 dosis selama
10 hari
Eritromisin estolate : 20-40 mg/kg/ hari dalam 2-4 dosis (maks 1g/ hari) selama 10
hari
Terapi alternatif
Sefaleksin 20 mg/kg (maks 500 mg/ dosis) oral setiap 12 jam selama 10 hari
Amoksisilin dapat digunakan sebagai pengganti penisilin pada anak
yang lebih kecil, karena selain efeknya sama, amoksisilin juga memiliki rasa yang
lebih enak. Amoksisilin dengan dosis 50 mg/kgBB/hari dibagi 2 selama 6 hari,
efektivitasnya sama dengan penisilin V oral selama 10 hari. Untuk anak yang
alergi penisilin dapat diberikan eritromisin etil suksinat 40 mg/kgBB/hari,
eritromisin estolat 20-40 mg/kgBB/hari, dengan pemberian 2, 3, atau 4 kali per
hari selama 10 hari; atau dapat juga diberikan makrolid baru misalnya azitromisin
dengan dosis tunggal 10 mg/kgBB/hari, selama 3 hari berturut-turut.11
Penatalaksanaan tonsilitis meliputi medikamentosa dan operatif. Terapi
medikamentosa yaitu dengan pemberian antibiotika sesuai kultur ditujukan untuk
mengatasi infeksi yang terjadi baik pada tonsilitis akut, maupun tonsilitis rekuren
atau tonsilitis kronis eksaserbasi akut.16 Penatalaksanaan operatif dengan tindakan
tonsilektomi dilakukan apabila terjadi infeksi berulang atau kronis, gejala
sumbatan tenggorok serta kecurigaan neoplasma.2
Indikasi dilakukan tonsilektomi menurut The American Academy of
Otalaryngology- Head and Neck Surgery Clinical Indicators Compendium tahun
1995 menetapkan
1. Serangan tonsilitis lebih dari tiga kali per tahun walaupun telah
mendapatkan terapi yang adekuat

14
2. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan
menyebabkan gangguan pertumbuhan orofasial
3. Sumbatan jalan nafas yang berupa hipertrofi tonsil, sleep apnea,
gangguan menelan dan gangguan berbicara
4. Rinitis dan sinusitis kronik, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak
berhasil dengan pengobatan
5. Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan
6. Otitis media efusa/ otitis media supuratif.9

Terapi faringitis non-streptococcus meliputi terapi suportif dengan


menggunakan parasetamol atau ibuprofen, disertai kumur menggunakan larutan
garam hangat atau gargarisma khan. Jangan menggunakan aspirin pada anak-anak
karena dapat meningkatkan risiko Reye’s Syndrome. Tablet hisap yang
mengandung antiseptik untuk tenggorokan dapat pula disarankan.15

2.10. Komplikasi dan Prognosis


Faringitis akibat kuman streptokokus atau virus repiratori, umumnya
sembuh sempurna. Komplikasi faringitis akibat streptokokus group A termasuk
komplikasi supuratif lokal seperti abses parafaringeal dan infeksi pada area leher
bagian dalam yang berbatasan dengan wajah dan komplikasi non supuratif seperti
demam rematik dan glomerulonefritis pasca-infeksi streptokokus. Infeksi virus
respiratori, termasuk infeksi akibat virus influenza A, adenovirus, parainfluenza
tipe 3 dan rhinovirus dapat mencetuskan infeksi bakteri pada ruang telinga
tengah.3

15
BAB III
KESIMPULAN

Faringitis adalah peradangan pada mukosa faring dan sering meluas ke


jaringan sekitarnya. Faringitis biasanya timbul bersama-sama dengan tonsilitis,
rinitis dan laringitis. Faringitis banyak diderita anak-anak usia 5-15 tahun di
daerah dengan iklim panas. Istilah faringitis akut digunakan untuk menunjukkan
semua infeksi akut pada faring, termasuk tonsilitis (tonsiloffaringitis) yang
berlangsung hingga 14 hari. Faringitis merupakan peradangan akut membran
mukosa faring dan struktur lain di sekitarnya
Tonsilitis merupakan peradangan yang terjadi pada tonsil yang
disebabkan oleh virus atau bakteri sehingga tonsil menjadi bengkak, merah,
melunak, dan memiliki bintik-bintik putih di permukaannya.
Terdapat banyak mikroba penyebab faringitis dan tonsillitis,
Streptokokus beta hemolitikus grup A adalah bakteri penyebab terbanyak
faringitis/tonsilofaringitis akut. Bakteri tersebut mencakup 15−30% dari penyebab
faringitis akut pada anak, sedangkan pada dewasa hanya sekitar 5−10% kasus.

16
Bakteri lainnya yang dapat menyebabkan faringitis ialah Staphylococcus Aureus,
Haemophilus influenzae dan Streptococcus Pneumoniae.
Tatalaksana diberikan Penisilin Oral (2-3 kali sehari selama 10 hari)
10mg/kg/dosis, dosis maksimum 250 mg/dosis. Amoksisilin dapat digunakan
sebagai pengganti penisilin pada anak yang lebih kecil, karena efeknya sama.
Amoksisilin dengan dosis 50 mg/kgBB/hari dibagi 2 selama 6 hari.
Faringitis akibat kuman streptokokus atau virus repiratori, umumnya
sembuh sempurna. Komplikasi faringitis akibat streptokokus group A termasuk
komplikasi supuratif lokal seperti abses parafaringeal dan infeksi pada area leher
bagian dalam yang berbatasan dengan wajah dan komplikasi non supuratif seperti
demam rematik dan glomerulonefritis pasca-infeksi streptokokus.

DAFTAR PUSTAKA

1. Jerry, Ivone, dkk. Karateristik Penderita Faringitis Akut di Poliklinik THT


Rumah Sakit TK II Putri Hijau Kesdam I/ Bukit Barisan Medan tahun
2016. Jurnal Kedokteran Methodists Vol 9 no 9. Diunduh pada 17
November 2019
http://www.methodist.ac.id:8082/cdn/File/JKM_Vol_9_10/Jurnal%20AA
%202%20Ivonne%20min-min.pdf

2. Rusmarjono & Soepardi, E.A 2014. Buku Ajar Penyakit THT UI. (E. A.
Soepardi, N. Iskandar, J. Bashiruddin, & R. D. Restuti, Eds.(7th ed.).
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 119-123.

3. Maulana, Ivan, dkk. Karakteristik Pasien Tonsilitis Kronis pada Anak di


Bagian THT-KL RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2013. Jurnal
Kesehatan Andalas Vol 5. 2016. Diunduh pada 17 November 2019
http://jurnal.fk.unand.ac.id.

4. Nelson. 2010. Ilmu Kesehatan Anak. Volume 2. Jakarta: EGC

5. Snell, R. S. 2012. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Dialih bahasakan


oleh Sugarto L. Jakarta:EGC. pp 54-59

6. Naning, Triasih, dkk. Faringitis, Tonsilitis, Tonsilofaringitis akut dalam


Buku Ajar Respirologi IDAI. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. pp.288-294

17
7. Prasteya, Candra, dkk. Pengaruh Suplementasi Seng terhadap Kejadian
Tonsilitis pada Balita. Journal of Nutrition College vol 7 no 4. 2018.
Diunduh pada 17 November 2019

8. Shalihat, Novialdi, dkk. Hubungan Umur, Jenis Kelamin dan Perlakuan


Penatalaksanaan dengan Ukuran Tonsil pada Penderita Tonsilitis Kronis di
Bagian THT-KL RSUP DR. M. Djamil Padang Tahun 2013. Jurnal
Kesehatan Andalas, vol 4 no 3. 2015. Diunduh pada tanggal 17 November
2019

9. Febri, Sahrudin. Analisis Faktor Risiko Kejadian Tonsilitis Kronis pada


Anak Usia 5-11 tahun di Wilayah Kerja Puskesmas Puuwatu Kota Kendari
tahun 2017. Jurnal Ilmiah Kesehatan Vol 2 No 6. 2017. Diunduh pada
tanggal 18 November 2019

10. Iskandar, N., Soepardi, E., & Bashiruddin, J., et al (ed). Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Edisi ke 7.
2014 Jakarta: Balai Penerbit FKUI. pp 199-201

11. Ayu, Gusti. Tonsilitis Kronis Eksaserbasi Akut. Fakultas Kedokteran


Universitas Udayana. 2017 Diunduh pada 17 November 2019,

12. Nissa, Emilia. Tonsilofaringitis Akut. Fakultas Kedokteran Andalas. 2011.


Diunduh pada 18 November 2019, From: https: //na nopdf. Com /
download /tonsilofaringitis-akut_pdf.

13. Eunice, M., 2014. Efficacy of the Homoeopathic Complex Tonzolyt® on


the Symptoms of Acute Tonsillitis in Black Children Attending a Primary
School in Gauteng, University Johannesburg.

14. Konsil kedokteran indonesia Edisi Kedua, 2012 Cetakan Pertama,


Desember 2012 Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Standar Kompetensi Dokter Indonesia.—Jakarta.

15. Bisno Alan et al. Practice Guidelines for the Diagnosis and Management
of Group A Streptococcal Pharyngitis. Clin Infect Dis;2002;35:113-125.

16. Novialdi, Pulungan MR. Mikrobiologi tonsilitis kronis. Padang:


Universitas Andalas; 2012 (diunduh 18 November 2019). Tersedia dari:
URL: HYPERLINK http://repository.unand.ac.id.

18

Anda mungkin juga menyukai