Anda di halaman 1dari 6

KEBIJAKAN KEMENKES DALAM SPGDT DAN BENCANA

YOGYAKARTA Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai


risiko terhadap terjadinya pelbagai bencana alam antara lain Gempa bumi
dan letusan gunung berapi karena terletak dalam rangkaian Ring Of Fire
serta ada empat pusat zona aktif gunung berapi yaitu Zona Sunda,
Minahasa, Halmahera, Banda, Risiko terjadinya Tsunami, maupun bencanabencana jenis lain termasuk Emerging Infectious Disease. Di samping itu, di
bidang pelayanan kesehatan, kita juga harus mengakui bahwa sistem
jejaring pelayanan di fasilitas kesehatan belum terintegrasi secara optimal
yang berakibat masih banyaknya keluhan masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan khususnya di Instalasi Gawat Darurat.
Hal inilah yang disampaikan Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan dr.
Supriyantoro, Sp.P, MARS sebagai pembicara pada Pidato Dies Natalis ke65 Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, tanggal 04 Maret 2011.
Kesiapan IGD serta sistem pelayanan Gawat Darurat yang terpadu antara
Fasilitas kesehatan satu dengan lainnya, akan memberikan nilai tambah
dalam upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan, tidak hanya terhadap
kasus Gawat Darurat sehari-hari, tetapi juga sekaligus kesiapan bila setiap
saat terjadi bencana di wilayah Indonesia.
Didalam Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 5 tahun 2010 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2010
2014 tertera masalah pelayanan kesehatan lain yang perlu mendapat
perhatian adalah antisipasi kebutuhan pelayanan kesehatan bagi penduduk
di daerah rawan bencana dan didaerah rawan terjadinya rawan sosial. Letak
geografis Indonesia yang terletak di antara dua lempeng bumi, rawan

dengan terjadinya bencana alam. Tantangan ke depan adalah meningkatkan


akses dan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat melalui sarana dan
fasilitas pelayanan kesehatan yang memadai untuk merespons dinamika
karakteristik penduduk dan kondisi geografis.
Sejak tahun 2000 Kementerian Kesehatan RI telah mengembangkan konsep
Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) memadukan
penanganan gawat darurat mulai dari tingkat pra rumah sakit sampai tingkat
rumah sakit dan rujukan antara rumah sakit dengan pendekatan lintas
program dan multisektoral. Penanggulangan gawat darurat menekankan
respon cepat dan tepat dengan prinsip Time Saving is Life and Limb
Saving. Public Safety Care (PSC) sebagai ujung tombak safe community
adalah sarana publik/masyarakat yang merupakan perpaduan dari unsur
pelayanan ambulans gawat darurat, unsure pengamanan (kepolisian) dan
unsur

penyelamatan.

PSC

merupakan

penanganan

pertama

kegawatdaruratan yang membantu memperbaiki pelayanan pra RS untuk


menjamin respons cepat dan tepat untuk menyelamatkan nyawa dan
mencegah kecacatan, sebelum dirujuk ke Rumah Sakit yang dituju.
Pelayanan di tingkat Rumah Sakit Pelayanan gawat darurat meliputi suatu
system terpadu yang dipersiapkan mulai dari IGD, HCU, ICU dan kamar
jenazah serta rujukan antar RS mengingat kemampuan tiap-tiap Rumah
Sakit untuk penanganan efektif (pasca gawat darurat) disesuaikan dengan
Kelas Rumah Sakit.
Untuk meningkatkan kemampuan para pimpinan RS dalam manajemen
penanggulangan gawat darurat dan bencana, Kementerian Kesehatan
bersama ikatan profesi dan Persatuan Rumahsakit Seluruh Indonesia

(PERSI) telah mengembangkan pelatihan HOPE (Hospital Preparedness for


Emergency and Disaster) yang sampai saat ini telah diikuti oleh 802
manajemen rumah sakit. Dengan pelatihan tersebut maka diharapkan semua
pimpinan RS dapat membuat dokumen perencanaan dalam penanggulangan
bencana yang biasa disebut Hospital Disaster Plan (Hosdip) baik bencana di
dalam rumah sakit (internal disaster) maupun bencana di luar rumah sakit
(external disaster).
Kebijakan dan penanganan krisis pada kondisi Gawat Darurat dan Bencana,
meliputi :
a.

Reevaluasi dalam standarisasi model dan prosedur pelayanan Gawat

Darurat & Bencana dipelbagai strata fasilitas kesehatan secara berjenjang


serta reaktivasi jejaring antar fasilitas kesehatan satu dengan yang lain.
b.

Perkuat kemampuan dan aksesibilitas pelayanan Gawat Darurat


diseluruh fasilitas kesehatan dengan prioritas awal di daerah rawan bencana
dan daerah penyangganya.

c.

Peningkatan pengetahuan dan ketrampilan SDM di bidang Gawat


Darurat dan manajemen Bencana secara berjenjang.

d.

Penanganan krisis menitik beratkan pada upaya sebelum terjadinya


bencana.

e.

Optimalisasi pengorganisasian penanganan krisis (gawat darurat dan


bencana) baik di tingkat pusat, propinsi, maupun kabupaten/kota dengan
semangat desentralisasi/otonomi daerah serta memperkuat koordinasi dan
kemitraan.

f.

Pemantapan jaringan lintas program dan lintas sektoral dalam


penanganan krisis.

g.

Membangun jejaring sistem informasi yang terintegrasi dan online


agar diperoleh data yang valid dan real time serta mampu memberikan
pelbagai informasi tentang situasi terkini pada saat terjadi bencana.

h.

Setiap korban akibat krisis diupayakan semaksimal mungkin untuk


mendapatkan pelayanan kesehatan cepat, tepat dan ditangani secara
profesional.

i.

Memberdayakan

kemampuan

masyarakat

(Community

Empowerement) khususnya para stakeholder yang peduli dengan masalah


krisis di bidang kesehatan dengan melakukan sosialisasi terhadap
pengorganisasian, prosedur, sistem pelaporan serta dilibatkan secara aktif
dalam proses perencanaan, monitoring dan evaluasi.
j.

Pemantapan regionalisasi penanganan krisis untuk mempercepat


reaksi tanggap darurat.
Guna mencapai SPDGT dan Penanggulangan Krisis akibat bencana,
dilakukan upaya-upaya sebagai berikut :
a.

Reevaluasi terhadap kemampuan dan sumber daya yang ada, serta

sejauhmana

sistem

tersebut

masih

berjalan

saat

ini

yang

harus

ditindaklanjuti dengan perencanaan dan prioritas dalam penganggarannya.


b.

Revisi

dan

pelaksanaan/pedoman,

penyempurnaan
standar,

SPO,

terhadap

pengorganisasian

peraturan
dan

modul

pelatihan untuk disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan,


teknologi dan kondisi lingkungan saat ini yang terkait dengan keterpaduan
dalam penanganan gawat darurat dan manajemen bencana.
c.

Meningkatkan

upaya

pencegahan,

mitigasi

penanganan krisis dan masalah kesehatan lain.

dan

kesiapsiagaan

d.

Mendorong terbentuknya unit kerja untuk penanganan masalah krisis


kesehatan lain di daerah.

e.

Mengembangkan sistem manajemen penanganan masalah krisis dan


masalah kesehatan lain hingga ke tingkat Desa. Setiap Provinsi dan
Kabupaten/Kota berkewajiban membentuk satuan tugas kesehatan yang
memiliki kemampuan dalam penanganan krisis dan masalah kesehatan di
wilayahnya secara terpadu berkoordinasi.

f.

Menyiapkan sarana dan prasarana yang memadai untuk mendukung


pelayanan kesehatan bagi korban akibat krisis dan masalah kesehatan lain
dengan memobilisasi semua potensi.

g.

Meningkatkan pemberdayaan dan kemandirian masyarakat dalam


mengenal, mencegah dan mengatasi krisis dan masalah kesehatan lain di
wilayahnya.

h.

Mengembangkan sistem regionalisasi penanganan krisis dan masalah


kesehatan lain melalui pembentukan pusat-pusat penanganan regional.

i.

Monitoring evaluasi secara berkesinambungan dan ditindak lanjuti


dengan pelatihan dan simulasi untuk selalu meningkatkan profesional dan
kesiapsiagaan. Itu sebabnya diperlukan upaya untuk selalu meningkatkan
kualitas dan kuantitas petugas melalui pendidikan dan latihan.

j.

Pengembangan sistem e-health, secara bertahap disesuai dengan


prioritas kebutuhan khususnya sistem informasi dan komunikasi.

k.

Memperkuat jejaring informasi dan komunikasi melalui peningkatan


intensitas pertemuan koordinasi dan kemitraan lintas program/lintas sektor,
organisasi non Pemerintah, masyarakat dan mitra kerja Internasional secara
berkala. Dengan berjalannya SPGDT tersebut, diharapkan terwujudlah Safe

Community yaitu suatu kondisi/keadaan yang diharapkan dapat menjamin


rasa aman dan sehat masyarakat dengan melibatkan peran aktif seluruh
masyarakat khususnya dalam penanggulangan gawat darurat sehari-hari
maupun saat bencana. Humas

Anda mungkin juga menyukai