Anda di halaman 1dari 17

0

LAJU PELURUHAN, WAKTU PARUH, DAN TAMPANG


LINTANG PADA HAMBURAN PARTIKEL ABC
TUGAS MAKALAH FISIKA INTI

NAMA : MUHAJIRIN
NIM
KELAS

: 1212042002
: A/PEND.FISIKA

JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENEGTAHUAN
ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
T.A. 2015

KATA PENGANTAR
Segala puji kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan hidayahnya
yang diberikan kepada penulis sehingga karya tulis ilmiah non penelitian ini bisa
diselesaikan dengan baik. Makalah berisikan tentang Laju Peluruhan, Waktu
Paruh, dan Tampang Lintang Pada Hamburan Partikel ABC, Pada interaksi
antar partikel tertentu, dapat digambar berbagai lintasan interaksi
yang mungkin, baik pada orde rendah, orde kedua, ketiga dan
seterusnya. Setiap diagram berkorespondensi dengan suatu amplitud
tertentu yang dapat dihitung melalui kaedah Feynman (Feynmans rules).
Bagi seluruh diagram yang mungkin muncul dan menyumbang pada
amplitud total interaksi antar partikel tersebut, amplitud masingmasing dijumlahkan meliputi seluruh sumbangan . Kajian ditinjau dengan
menggunakan

kaedah

Feynman,

dapat

dihitung

nilai

amplitudo

diagram tersebut. Kemudian, dihitung beberapa besaran fisis seperti


laju peluruhan, waktu paruh dan tampang hamburan interaksi tersebut

Selanjutnya dalam proses penyusunan makalah ini sebagai syarat untuk


mengikuti ujian akhir semester mata kuliah Pendahuluan Fisika Inti tentunya tidak
terlepas dari kendala, tetapi kendala tersebut tidak kami jadikan sebagai keputus
asaan tetapi sebagai penyemangat dalam menyelesaikan makalah ini. Konten
dalam makalah ini pasti tidak terlepas dari banyak kesalahan, oleh karena itu
pihak penulis mohon maaf sebesar-besarnya atas kekurangan tersebut. Akhir kata
dari pengantar ini adalah kritik dan saran sangat kami butuhkan demi perbaikan
makalah ini.

Penulis

Muhajirin

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................... i
DAFTAR ISI................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN................................................... 2
I.

Kaedah dan Diagram Feynman........................ 2

II. Laju Peluruhan............................................... 3


III. Waktu Paruh.................................................. 5
IV. Tampang
Lintang

6
BAB III
KESIMPULAN
10
DAFTAR
PUSTAKA
11

BAB I
PENDAHULUAN
Interaksi antar partikel dalam daerah mikroskopik, dapat berupa
interaksi kuat (misalnya antara kuark yang menyusun baryon),
interaksi lemah (misalnya pada interaksi yang melibatkan lepton),
maupun inteaksi elektromagnetik antara partikel-partikel bermuatan
listrik. Interaksi gravitasi pada daerah mikroskopik dapat diabaikan
(Griffith, 1987) .
Untuk menggambarkan dan merumuskan secara sistematik dan
grafis kaedah interaksi di daerah mikro antar partikel dalam berbagai
keadaan, dapat digunakan suatu metode penggambaran yang disebut
diagram Feynman. Diagram Feynman menunjukkan lintasan partikel
dalam ruang sebagai suatu garis (penuh, titik-titik dan bergelombang)
dan verteks terjadinya interaksi antar partikel sebagai suatu noktah
ketika garisgaris lintasan tersebut bertemu.
Pada interaksi antar partikel tertentu, dapat digambar berbagai
lintasan interaksi yang mungkin, baik pada orde rendah, orde kedua,
ketiga dan seterusnya. Setiap diagram berkorespondensi dengan suatu
amplitud tertentu yang dapat dihitung melalui kaedah Feynman
(Feynmans rules). Bagi seluruh diagram yang mungkin muncul dan
menyumbang pada amplitud total interaksi antar partikel tersebut,
amplitud masing-masing dijumlahkan meliputi seluruh sumbangan.
Dari nilai amplitudo hasil penjumlahan ini, dapat dihitung sejumlah
faktor bentuk besaran fisis yang penting. Dalam makalah ini akan
disajikan interaksi partikel medan skalar menurut reaksi A B + C
berikut diagram Feynman. Dengan menggunakan kaedah Feynman,
dapat dihitung nilai amplitudo diagram tersebut. Selanjutnya dihitung
beberapa besaran fisis seperti laju peluruhan, waktu paruh dan
tampang hamburan interaksi tersebut.

BAB II
PEMBAHASAN
I

Kaedah Dan Diagram Feynman


Ditinjau kasus peluruhan partikel A B + C bertetapan kopling

interaksi g dengan nilai amplitud M. Untuk menentukan nilai amplitud


tersebut, digunakan kaedah
Feynman sebagai berikut (Kraus dan Griffith, 1992; Griffith, 1987)

a.

Lambang: digunakan label momentum -4


nyata dan label momentum internal

p1 , p2 , .. pn
q1 , q2 , .. qn

untuk partikel
untuk partikel

maya.

b.

Faktor Vertex: setiap vertex diwakili oleh nilai ig dengan g adalah


tetapan kopling interaksi.

c.

Propagator: setiap garis internal partikel skalar diwakili oleh nilai

i
2 2
q m j c
2
j

Dengan

|q j|=( q j q j ) 2

adalah

momentum

-4

zarah

maya

bermassa mj.

d.

Kekekalan Momentum-Energi: untuk setiap vertex yang dimasuki tiga


garis zarah diisikan faktor (2)44 ( k 1 , k 2 , k 3 ) dengan

k
adalah tiga

momentum4 zarah yang masuk ke dalam vertex dengan ketentuan panah


berarah masuk (keluar) tandanya positif (negatif).

e.

Integrasi meliputi momentum internal: untuk


dituliskan

setiap garis internal,

faktor
4
j
d q

(2 )

serta dilakukan pengintegralan meliputi momentum internal

f.

q j

Pelenyapan Fungsi-Delta: jika hasil perhitungan mengandung factor

( 2 ) 4 4 ( p eksternal ) , faktor ini lenyap pada akhir perhitungan dan


sebagai hasil faktor muncul iM.
Pada kasus peluruhan partikel A B + C seperti pada Gambar 1, di situ
tidak terdapat garis internal, hanya satu verteks berfaktor ig dan
sebuah delta Dirac

( 2 ) 4 4

( p1p2p3 ) , sehingga dengan melenyapkan fungsi

delta Dirac ini, sisanya muncul sebagai iM =ig atau


M = g.
(1)

Gambar 1. Diagram Feynman reaksi A B + C


Dari persamaan (1) di atas ternyata untuk hamburan ABC orde
rendah, nilai amplitud diagramnya sama dengan tetapan kopling
interaksi.

V. Laju Peluruhan
Ditinjau kasus umum partikel 1 meluruh menjadi sejumlah (n - 1)
partikel yaitu partikel 2, 3, 4, , n menurut reaksi
1 2 + 3 + 4 + + n.
(2)
Pada peluruhan tersebut, laju peluruhan (decay rate) diberikan oleh
rumus (Griffith,
1987)
2

d =|M |
4

x (2 )

cd 3 p2
cd 3 p3
S
2 m 1 ( 2 )3 2 E2 ( 2 )3 2 E3

( 2 ) 2 En

( p1p2p3 p3 ) (3)

dengan

cd 3 pn

pi = (Ei /c, pi

) adalah momentum4 partikel kei yang

masing-masing bermassa mi sehingga memenuhi kaitan relativistik Ei2


2
pi c2 =mi2c4. Fungsi delta

Dirac menyatakan kekekalan momentum4 . S adalah nilai perkalian


faktor statistik (product of statistical factors) : 1/j! untuk setiap grup j
partikel identik pada keadaan akhir (final state).
Untuk kasus peluruhan A B + C, integral persamaan (3) bernilai
2

|M | 4
Sc2
=
( p Ap Bp3 ) d 3 p 2 d3 p3

2
32 m A E B E C
(4)
Misalnya

partikel

p A =( m A c , 0 ) .

berada

Dengan

dalam

keadaan

rehat

mengingat

B
C
3
( p A p B p C )= m A C C C (p BpC )

(5)

serta untuk partikel kei, nilai energi masing-masing adalah

Ei=c p 2i + mi2 c 2

sehingga

(6)

maka faktor integral dalam persamaan (4) bernilai


2

I =

| M| ( p 2B +m 2B c 2 p2C +m2C c 2) 3 (p B p C )
c

p + m c p
2
B

2
B

2
C

2
C

+m c

d 3 p B p C

(7)
Dengan mengintegralkan persamaan (7) di atas terhadap

pC

(momentum-3 partikel
C) serta menggunakan sifat integral delta Dirac

3 ( p q ) f ( p ) d 3 p =f ( q )

(8)

maka diperoleh hasil pengintegralan


2

2
2 2
2
2 2
4 |M | (m A c p B +mB c pB + mC c ) 2
I= 2
p B d|p B|
2
2 2
2
2 2
c

p
+m
c

p
+m
c
B B B C

(9)
Ungkapan (9) di atas masih harus diintegralkan terhadap

pB

(momentum-3 partikel
B). Untuk menyederhanakan ungkapan tersebut dilakukan substitusi

P= p2 +m 2B c 2+ p2 +m 2C c 2
(10)
Dengan

p=|p B| . Persamaan (10) di atas dapat dicari substitusi

baliknya menjadi
2

P2( m2B +m2C ) c 2


( m2B mC2 ) c 4
2
p=

2P
P2
(11)
Dengan mengambil derifatif persamaan (10) diperoleh

dP=
(12)

Pp

p +m c p +m
2

2
B

2
C

c2

dp

sehingga integral (9) menjadi

I=

c2

|M | ( m A cP )
P
2

4
2
p
|M | ( m A c P ) dP
2
P
c

4 |M|
2 2
mA c

2
B

2
C

2
B

2
C

2
B

m2C dP

[ m ( m +m )] m + m
2
A

[ P (m + m ) c ] m
2
B

2
C

(13)
Dengan

menyederhanakan

bentuk

(13),

laju

peluruhan

pada

persamaan (4) menjadi


2

2
S|M | p 0
S|M |
4
4
4
4
4
4
4
=
m
+m
+
m
2m
m
2
m
m
=

A
B
C
A
C
B
C
16 m3A
8 m2A c

(14)
dengan

p0=

c
m4A +m4B +m4C 2m4A m4C 2 m4B m4C

2 mA

Perlu dicatat bahwa p adalah kependekan untuk


adalah nilai khusus untuk

|pB|

(15)

|pB|

dan

p0

. Dalam penulisan yang lebih umum,

persamaan (14) menjadi

=
dengan

S|p|
2
|M |
2
8 m A c

(16)

adalah momentum-3 salah satu partikel yang keluar,

entah B atau C.
Sebagai contoh jika mB = mC = 0 dalam model ABC tersebut, dengan
mengingat B
C, maka S = (1/1!) (1/1!) = 1. Selain itu karena dari persamaan (1)
nilai amplitud M = g , serta dari persamaan (15)

|p|=

c
m4
2 mA A

sehingga (16) menjadi

1 ( m A c /2 )
g2
=
2m A
16 m2A c
(17)

Ungkapan (17) memberikan nilai laju peluruhan partikel bermassa A


menjadi B dan C (keduanya tak bermassa).

VI. Waktu Paruh


Selanjutnya akan dicari nilai lifetime partikel yang meluruh. Jika pada
saat t, jumlah partikel adalah N (t), maka banyaknya partikel yang
meluruh dalam selang waktu dt adalah dN = Ndt . Jika diintegralkan
akan diperoleh

N(t) = N(t = 0)exp( t)


(18)
Nilai lifetime partikel tersebut dapat dihitung melalui rumus

tNdt t exp ( t ) dt

t =0

Ndt

t =0

= t =0

exp ( t ) dt

t=0

(19)
Integral di atas dapat dihitung dengan mudah melalui fungsi gamma

t 0 dt =( n1 ) !
n1
t exp

( n )=
0

untuk n bilangan bulat positif. Dari rumus (19) diperoleh lifetime partikel
A yang meluruh menjadi B dan C sebesar

16 m A
g2

(20)

VII. Tampang Lintang


Setelah ditinjau kasus peluruhan partikel A B + C yang
menghasilkan nilai lifetime partikel A seperti yang ditunjukkan oleh
persamaan (20), kali ini ditinjau kasus hamburan partikel. Untuk kasus
umum dimana partikel 1 dan 2 berinteraksi melalui mekanisme
hamburan yang kemudian menghasilkan partikel 3, 4, , n menurut
persamaan reaksi
1+2 3+4++n
(21)
maka tampang lintang (cross section) diberikan oleh rumus (Griffith,
1987)

S 2

d =|M|

4 ( p 1 . p 2 ) ( m1 m2 c

) {|

2 2

c d 3 p 3
3

c d 3 p 4
3

(2 ) 2 E3 (2 ) 2 E4

||

c d 3 pn
3

( 2 ) 2 En

|}

(2 )4 4 ( p1+ p 2p3p 4

(22)
Sekarang ditinjau kasus khusus hamburan orde kedua A + B A + B
dengan dua buah diagram Feynman seperti yang terdapat pada
Gambar 2. Dengan menggunakan kaedah Feynman, total amplitud
kedua diagram tersebut diberikan sebagai

M =g2
(23)

|(

1
2

2
c

p 1p 3 ) m c

1
2

( p 1p2 ) mc c

Untuk

membedakan

antara

partikel

awal

dan

akhir

interaksi,

persamaan reaksi ditulis menjadi


1+24+3
(24)
dengan 1 = A awal, 2 = B awal, 3 = B akhir dan 4 = A akhir.
Persamaan (22) tereduksi menjadi

S 2

d =|M|

4 ( p 1 . p 2 )2( m1 m2 c 2 )

{|

c d 3 p 3
3

c d 3 p 4
3

(2 ) 2 E3 (2 ) 2 E4

( 2 ) 4 4 ( p1 +p2p3 p 4 )

|}

(25)

Untuk memudahkan dan menyederhanaan penghitungan tampang


lintang peninjauan interaksi dilihat pada kerangka pusat massa (center
mass = CM). Sebelum interaksi,

p1+ p 2
(26)
sehingga

p1+ p 2=

E 1 E2
c

p1 . p2 =

E1 E 2
2

c + p1

(27)
2
2
( p1. p 2 ) ( m1 m2 c )

( p21 +m21 c2 )( p 21+ m22 c 2 )+2 E1 E 2 p21 /c 2 +p 21 p21m21 m22 c 2

10

2
2 2
2 2
2 2
2 2
2 2
p1 + p1 ( m 1 c +m1 c ) +2 E1 E2 p1 /c + p1 p 1
= p1

[ ( p c +m c )+( p c +m c ) +2 E E ] p / c

( E 21+ E 22+2 E1 E2 ) p21 /c 2

2 2
1

2 4
1

2
1

2 4
2

2
1

2 2
2
( E1 + E2 ) p 1 /c

(28)
dan

( p . p ) ( m m c ) 2
2 2

( E1 + E2 )|p1|/c 2

(29)
Maka
2
d 3 p 3 d 3 p4 4
S| M| 2 2
d =
( p1 + p2p 3p4 )
64 2 ( E1 + E2 )|p1| E 3 E 4

(30)

Bentuk delta Dirac pada ruas kanan persamaan (30) di atas dapat
ditulis
4

( p 1+ p 2p3 p4 )= ([ E1 + E2E 3E 4 ] /c ) (p 3p4 )


(31)

Terhadap

pengintegralan

p4

(dari

fungsi

delta

p4 p3 ), persamaan (31) menjadi

2 2
( E1 + E2 ) / c p3 +m3 c p 3+ m4 c 3
S| M| 2
d =
d p 3
2
64 ( E1 + E2 )|p1|
p 23+ m23 c 2 p23 +m24 c 2

(32)
Dengan demikian

d 3 p3 = p2 dpd
(33)
Yang dalam hal ini

d =sin d d

(34)
maka persamaan (32) menjadi

Dirac

11

2
d
S c
=
|M |

2
d 64 ( E1 + E2 )|p1|

( E1 + E 2 )
c

p2+ m23 c 2 p2 +m24 c 2

p +m c p +m
2

2
3

2
4

p2 dp

(35)
Persamaan (35) di atas memerikan nilai tampang lintang untuk proses
hamburan (24). Jika integran persamaan (35) dibandingkan dengan
integran persamaan (9) tampak adanya kesamaan melalui substitusi

m2 m4 dan m1 (E1+E2) /c.


(36)
Dengan cara yang sama seperti pada telaah peluruhan A B + C,
persamaan (35) dapat dituliskan menjadi
2
S|M | 2 c 2 |pf|
d
=
d 64 2 ( E1 + E2 ) |pi|

(37)
Dengan
dan

|pi|

|pf|

adalah momentum3 salah satu partikel yang masuk)

adalah momentum3 salah satu partikel yang keluar.

Persamaan (37) di atas memberikan nilai tampang lintang diferensial


(differential cross section) proses
A+BA+B
dengan propagator internal partikel C.
Untuk kasus khusus dengan mB = mC = 0 dan momentum partikel cukup

mAc, maka bentuk (37) dapat dicari lebih

kecil dibandingkan dengan

eksplisit. Untuk keadaan tersebut,


q

M=g2

|(

1
2

2
C

p 1p 3 ) m c

| |

1 1
2 g2
g 2+ 2 = 2 2
p1 p1 m A c
2

(38)

( p1p2 ) mC c

12

E1= p2A + m2A c 4

s=1

m A c 2 sedangkan

E2=E B

dapat diabaikan

(39)

(40)

A
p

p
| f| |p A out|
=
|pi|

(41)

Sehingga persamaan (37) menjadi


2

2
2 2
2 2
d ( 2 g /m A c ) c
=
2
d
64 2 ( mA c2 )

(42)
Tampang lintang hamburan AB untuk orde rendah bernilai
2

| |

d
4 g 2 2 c 2
1 g2
=
=
4
=
d
2 m2A c 2
64 2 m6A c 8
(43)

13

BAB III
KESIMPULAN
1. Pada hamburan ABC orde rendah, nilai amplitud diagramnya
sama dengan tetapan kopling interaksi.
2. Laju peluruhan partikel A menjadi B dan C yang tidak
bermassa adalah

1 ( m A c /2 ) g 2
8 m2A c

g2
16 mA

Laju peluruhan berbanding terbalik dengan massa A


3. Waktu paruh partikel A yang meluruh menjadi B dan C
sebesar

16 m A
g

Waktu paruh tersebut sebanding dengan massa A.


4. Tampang lintang hamburan AB adalah
2

DAFTAR PUSTAKA

| |
2

d
4g c
1 g
=
=
4 =
2 6 8
d
2 m2A c 2
64 m A c

14

Beiser, Arthur. 1992. Konsep Fisika Modern. Jakarta: Erlangga.


Griffith D.J. , 1987 : Introduction to Elementary Particles, John Wiley & Sons,
New York.
Kavlang, Irvin. 1962. Nuclear Physics. London Sydney: Addison Wesley
Publishing Company.
Khamdani, Nouval. dkk. 2014. Kajian Tampang Lintang Hamburan
Elektron dengan Ion Melalui Teori Hamburan Berganda, Youngster
Physics Journal, Vol. 3, No. 4, Hal. 351-356.
Krane, Kenneth S. 1998. Introductary Nuclear Physics. Oregon State
University.
Kraus, P. and Griffith, D.J. , 1992 : Renormalization of a model quantum
field theory, American Journal of Physics, Vol. 60, No. 11, p. 10131023.

Anda mungkin juga menyukai