Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN
Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu manifestasi klinik
glomerulonefritis (GN) yang ditandai dengan edema anasarka, proteinuria masif
3.5 g/dl/24 jam, hiperkolesterolemia (total kolesterol > 10 mmol/l), dan
hipoalbunemia (serum albumin < 25 g/l). Pada proses awal atau SN ringan untuk
menegakkan diagnosis tidak semua gejala tersebut harus ditemukan. Proteinuri
masif merupakan tanda khas SN, tetapi pada SN yang berat yang disertai kadar
albumin serum rendah, ekskresi protein dalam urin juga berkurang, proteinuria
juga berkontribusi terhadap berbagai komplikasi yang terjadi pada SN.
Hipoalbuminemia, hiperlipidemia dan lipiduria, gangguan keseimbangan
nitrogen, hiperkoagulabilitas, gangguan metabolisme kalsium dan tulang serta
hormon tiroid sering dijumpai pada SN. Umumnya pada SN fungsi ginjal normal
kecuali sebagian kasus yang berkembang menjadi penyakit ginjal tahap akhir.1,2,3
Kondisi proteinuri yang berat, hematuri, hipoalbumniemia,
hiperkolesterolemia, edema dan hipertensi yang tidak terdiagnosa atau tidak
teratasi akan berkembang secara progresif menjadi kerusakan gromeruli yang
akan menurunkan Laju Filtrasi Gromerulus (LFG) yang akhirnya menjadi gagal
ginjal. Penyakit ini terjadi tiba - tiba terutama pada anak-anak, biasanya berupa
oliguria dengan urin berwarna gelap, atau urin yang kental akibat proteinuria
berat. Pada dewasa yang jelas terlihat adalah edema pada kaki dan genitalia.4
Di Amerika Serikat Insiden sindrom nefrotik dengan nefropati diabetik
adalah yang paling umum dan sejak PGTA karena nefropati tersebut mencapai
rata-rata 100 kasus perjuta populasi, kasus SN tersebut mencapai rata-rata 50
kasus perjuta populasi.5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Sindrom Nefrotik (SN) merupakan salah satu gambaran klinik penyakit
gromerular yang ditandai dengan proteinuri masif 3.5 g/dl/24 jam, disertai
dengan edema anarsaka, hiperkolesterolemia (total kolesterol > 10 mmol/l),
hipoalbunemia (serum albumin < 25 g/l), dan hiperkoagulabilitas.1,2,3
2.2 Klasifikasi dan Etiologi
Sindrom nefrotik pada anak-anak / infantil.
Sindrom nefrotik infantil adalah sindrom nefrotik yang terjadi pada usia tiga
bulan sampai satu tahun, sedangkan jika terjadi sebelum usia tiga bulan
disebut sebagai sindrom nefrotik kongenital. Indonesia dilaporkan ada enam
per 100.000 anak per tahun menderita sindrom nefrotik.
a. Sindrom nefrotik infantil
Sangat jarang ditemukan, sindrom ini dapat disebabkan nail patella
syndrome, pseudohermaphroditism, XY gonadal disgenesis, tumor Wilms,
intoksikasi merkuri, sindrom hemolitik uremik, dan infeksi seperti sifilis,
virus sitomegalo, hepatitis, rubela, malaria, dan toksoplasmosis. Prognosis
sindrom nefrotik infantil umumnya buruk tetapi masih lebih baik daripada
prognosis sindrom nefrotik kongenital.6
b. Sindrom nefrotik kongenital.
Merupakan penyakit familial, timbul dalam beberapa hari/ minggu setelah
lahir. Biasa menimbulkan kematian sebelum bayi berusia satu tahun.6
Sindrom nefrotik pada dewasa:
a. Sindrom nefrotik primer (Sebagian besar tidak diketahui sebabnya).
Glomerulopati membranosa
Jarang menjadi penyebab SN pada anak tetapi sering pada dewasa
(30%-40%). Tipe ini bermanifestasi pada 75% pasien sebagai
proteinuria dan pada 50% pasien dapat ditemukan hematuria
mikroskopis. Pada biopsi renal, kelainan yang khas pada tipe ini ialah
terlihat adanya penebalan membran basalis. Kelainan ini jarang

memberikan respon terhadap steroid dan prognosis mortalitas lebih


kurang 50%.6,7

Gambar 1: Histopatologi Glomerulonefritis Membranosa8

Glomerulopati kelainan minimal


Merupakan penyebab utama SN anak-anak terutama pada usia 4 8
tahun (80%), Pada dewasa hanya 20%. Dengan mikroskop biasa tidak
tampak kelainan yang jelas pada glomerulus sedangkan pada
mikroskop elektron dapat dilihat penonjolan sel epitel kapiler
glomerulus yang mengalami pendataran. Fungsi ginjal biasanya tidak
banyak terganggu dan tidak ada hipertensi.6,7
Penampakan yang tidak biasa yaitu hipertensi (30% pada anak-anak
dan50% pada dewasa), hematuri (20% pada anak-anak dan 30% pada
dewasa) dan penurunan fungsi ginjal (kurang dari 5% pada anak-anak
dan 30% pada dewasa). Prognosis kelainan ini relatif paling baik.
Pengobatannya ialah dengan pemberian steroid. Sering mengalami

remisi spontan, akan tetapi sering pula kambuh.4,6,7


Glomerulonefritis membranoproliferatif
Biasa ditemukan pada anak besar dan orang dewasa muda. Perjalanan
penyakit progresif lambat, tanpa remisi dan berakhir dengan payah
ginjal. Tipe ini dapat bermanifestasi dengan komponen nefritik
maupun nefrotik. Ciri khasnya adalah kadar komplemen serum yang
rendah.6,7

Gambar 2: Glomerulonefritis membranoproliferatif, penipisan membran


basal kapiler perifer telah ditandai dengan pewarnaan

trichrome masson.8
Glomerulosklerosis fokal segmental
Tipe ini terjadi pada sepertiga kasus sindrom nefrotik pada orang
dewasa. Tipe ini bermanifestasi sebagai proteinuria, hipertensi,
insufisiensi funsi ginjal, serta mungkin hematuria. Glomerulosklerosis
fokal segmental secara klasik dideskripsikan sebagai suatu proses

sklerosis yang mengenai kurang dari 50% bagian glomerulus.7


b. Glomerulonefritis sekunder akibat:
Infeksi: HIV, hepatitis virus B dan C, sifilis, malaria, skistosoma

tuberkulosis, lepra.
Keganasan
Adenokarsinoma paru, kanker payudara, kolon, bronkus, limfoma

hodgkin, myeloma multiple, dan karsinoma ginjal


Penyakit jaringan penghubung
Lupus eritematosus sistemik, arthritis reumatoid, MCTD (Mixed
connective tissue disease)

Efek Obat dan Toksin


Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAIN), preparat emas, penisilamin,
kaptopril, heroin
Lain-lain: Diabetes mellitus, amiloidosis, pre-eklampsia, rejeksi.
alograf kronik, refluks vesikoureter, atau sengatan lebah.1,7
4

Sindrom nefrotik primer atau idiopatik merupakan penyebab yang paling


sering. Perlu diingat bahwa penyakit-penyakit yang termasuk golongan
nefrosis, yaitu penyakit yang terutama mengenai tubulus, tidak ada yang
menyebabkan SN.1,7
Tabel Frekwensi Relatif Penyakit Glomerular Primer pada Anak-anak dan
Dewasa
Penyakit

Glomerulopati kelainan

minimal
Glomerulosklerosis fokal

segmental
Glomerulopati

membranosa
Glomerulonefritis

membranoproliferatif
Penyakit lain

Anak-anak

Dewasa

Dewasa

60 tahun

60 tahun

76

20

20

15

40

39

18

39

4
5

Tabel 1. Tabel Frekwensi Relatif Penyakit Glomerular Primer pada Anak-anak dan
Dewasa8

2.3 Patofisiologi
Sindrom nefrotik dapat terjadi karena perubahan struktur glomerulus yang
dapat terjadi karena kerusakan permukaan endotel, kerusakan membrana
basalis dan atau kerusakan podosit oleh beberapa faktor yang disebutkan
diatas. Satu atau lebih mekanisme ini akan terjadi pada salah satu tipe SN.5

Gambar 3: Gambar Skematik Barier Glomeruler5


2.4 Manifestasi Klinis
Gejala utama yang ditemukan adalah:
a. Proteinuria > 3.5 g/dl/24 jam hari pada dewasa atau 0.05 g/ kg BB/ hari
pada anak-anak.
b. Hipoalbuminemia < 25 g/ l
c. Edema anarsaka, edema terutama jelas dikaki, namun dapat ditemukan
edema muka, ascites dan efusi pleura.
d. Hiperlipidemia. umumnya ditemukan hiperkolesterolemia (total kolesterol
> 10 mmol/l).
e. Hiperkoagulabilitas; yang akan meningkatkan risiko trombosis vena dan
arteri.1,2,3
Kadang-kadang tidak semua tidak semua gejala tesebut diatas ditemukan.
Ada yang berpendapat bahwa proteinuria, terutama albuminuria yang masif
serta hipoalbuminemia sudah cukup untuk menengakkan diagnosis SN.6
a. Proteinuria
Nefrotik diabetika adalah penyebab paling sering dari nefrotik proteinuria
Proteinuria disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein
akibat kerusakan glomerulus. Dalam keadaan normal mambrana basalis
glomerulus (MBG) mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah
kebocoran protein. Mekanisme penghalang pertama berdasarkan ukuran
molekul (size barrier) dan yang kedua berdasarkan muatan listrik (charge
Barrier) pada SN keduanya terganggu. Proteinuria dibedakan menjadi
proteinuria selektif dan non-selektif berdasarkan ukuran molekul protein
yang keluar melalui urin. Proteinuri selektif apabila protein yang keluar
terdiri dari molekul yang kecil misalnya albumin, sedangkan non-selektif
apabila protein yang keluar terdiri dari molekul besar seperti
immunoglobulin. Selektivitas proteinuri ditentukan oleh keutuhan struktur
MBG.1,7,8
b. Hipoalbuminemia
Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan protein, sintesis
albumin

hati

dan

kehilangan

protein

melalui

urin.

Pada

SN

hipoalbuminemia disebabkan oleh proteinuria masif dengan akibat


penurunan tekanan onkotik plasma. Untuk mempertahankan tekanan
onkotik plasma maka hati berusaha meningkatkan sintesis albumin.
6

Peningkatan sintesis albumin hati tidak berhasil menghalangi timbulnya


hipoalbuminemia. Diet tinggi protein dapat meningkatkan sintesis albumin
hati, tetapi dapat mendorong peningkatan ekskresi albumin melalui urin.
Hipoalbuminemia dapat juga terjadi akibat peningkatan reabsorbsi dan
katabolisme albumin oleh tubulus proksimal.1,7
c. Edema
Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill.
Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor
kunci terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan
penurunan tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari
intravaskuler ke jaringan intertisium dan terjadi edema. Akibat penurunan
tekanan onkotik plasma dan bergesernya cairan

plasma terjadi

hipovolemi, dan ginjal melakukan kompensasi dengan meningkatkan


retensi natrium dan air. Mekanisme kompensasi ini akan memperbaiki
volume intravaskuler tetapi juga akan mengeksaserbasi terjadinya
hipoalbuminemia sehingga edema semakin berlanjut.1,7
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal
utama.

Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraseluler

meningkat sehingga terjadi edema. Penurunan LFG akibat kerusakan


ginjal akan menambah retensi natrium dan edema. Kedua mekanisme
tersebut ditemukan pada SN. Faktor seperti asupan natrium, efek diuretik
atau terapi steroid, derajat gangguan fungsi ginjal, jenis lesi gromerulus,
dan keterkaitan dengan penyakit jantung atau hati akan menentukan
mekanisme mana yang lebih berperan.1,7,9
Mekanisme underfill dapat dilihat pada gambar 4 dan Overfill pada
gambar 5.

Gambar 4: Skema mekanisme underfill 9

Defek tubulus primer


Retensi Na
Volume plasma
ADH/N

ANP
aldosteron

Tubulus resisten terhadap ANP

EDEMA
8

Gambar 5: Skema mekanisme Overfill 9


2.5 Komplikasi
a. Keseimbangan nitrogen
Proteinuri masif pada SN menyebabkan keseimbangan nitrogen menjadi
negatif. Penurunan masa otot sering ditemukan (10% - 20%) tetapi gejala
ini tertutup oleh gejala edema anasarka, dan baru tampak setelah edema
menghilang.1
b. Hiperlipidemia dan lipiduria
Kadar kolesterol umumnya meningkat sedangkan trigliserid bervariasi dari
normal sampai sedikit meninggi. Peningkatan kolesterol disebabkan
peningkatan

LDL ( Low Density Lipoprotein ), lipoprotein utama

pangangkut kolesterol, LDL yang tinggi ini disebabkan gangguan pada


homeostasis lipoprotein yang mengakibatkan peningkatan sintesis pada
hati tanpa gangguan katabolisme. Lipiduria ditandai dengan akumulasi
lipid pada debris sel cast seperti badan lemak berbentuk oval (Oval Fat
Boddies) dan Fatty cast.1,7

c. Hiperkoagulasi
Kelainan ini disebabkan oleh perubahan tingkat dan aktifitas berbagai
faktor koagulasi intinsik dan ekstrinsik. Mekanisme hiperkoagulasi pada
SN cukup komplek meliputi peningkatan fibrinogen, hiperagregasi
trombosit dan penurunan fibrinolisis. Pada orang dewasa, trombosis pada
vena lebih lebih sering terjadi sedangkan pada anak anak, trombosis
lebih umum terjadi pada arteri.1,7
d. Metabolism kalsium dan tulang
Vitamin D merupakan unsur yang penting dalam metabolisme kalsium dan
tulang pada manusia. Vitamin D yang terikat protein akan diekresikan
melalui urin sehingga menyebabkan penurunan kadar plasma. Kadar
25(OH)D dan 1,25 (OH)2D plasma juga ikut menurun sedangkan kadar

vitamin D bebas tidak mengalami gangguan. Karena fungsi ginjal pada SN


umumnya normal maka osteomalasi dan hipoparatiroidisme yang tak
terkontrol jarang dijumpai.1
e. Infeksi
Infeksi pada SN terjadi akibat defek imunitas humoral, selular dan
gangguan sistem komplemen. Penurunan kadar IgG, IgA, dan Gamma
Globulin sering ditemukan pada pasien SN oleh karena sintesis yang
menurun atau katabolisme yang meningkat dan bertambah banyaknya
yang terbuang melalui urin. Jumlah sel T dalam sirkulasi berkurang yang
menggambarkan gangguan imunitas seluler. Hal ini dikaitkan dengan
keluarnya transferin dan Zinc yang dibutuhkan oleh sel T agar dapat
berfungsi dengan normal.1,7
f. Gangguan fungsi ginjal
Penurunan volume plasma dan atau sepsis sering menyebabkan timbulnya
nekrosis tubuler akut, mekanisme lain yang menjadi penyebab gagal ginjal
akut adalah edema intrarenal yang menyebabkan kompresi pada tubulus
ginjal.1
g. Anemia
Pasien dengan proteinuria memiliki kemungkinan untuk kehilangan
berbagai jenis protein, termasuk di antaranya protein pengikat. Dengan
hilangnya transferrin melalui proteinuria dapat mengakibatkan anemia
hipokromik mikrositer. Sedangkan dengan gangguan fungsi ginjal yang
progresif dapat mengakibatkan anemia sebagai hasil dari sintesis
eritropoetin yang menurun.7
h. Komplikasi lain
Malnutrisi kalori protein dapat terjadi pada pasien SN dewasa terutama
apabila disertai proteinuri masif, asupan oral yang kurang dan proses
katabolisme yang tinggi. Hipertensi tidak jarang ditemukan sebagai
komplikasi SN terutama dikaitkan dengan retensi natrium dan air.1
2.6 Diagnosa

10

a. Anamnesis:
berbusa,

lemas,

Bengkak seluruh tubuh, buang air kecil


kehilangan

nafsu

makan,

identifikasi

kemungkinan paparan toksin atau medikasi, faktor resiko


paparan infeksi HIV atau hepatitis viral, riwayat diabetes, SLE
(systemic lupus erithematosus), atau penyakit sistemik
lainnya.
b. Pemeriksaan fisik: Edema anasarka, hipertensi, Muehrckes band, dan
asites
c. Laboratorium: Proteinuria masif
hiperlipidemia

(total

3.5 g/dl/24 jam,

kolesterol

>

10

mmol/l),

hipoalbunemia (serum albumin < 25 g/l), lipiduria (oval fat


bodies dan fatty cast).
d. Pemeriksaan penunjang
Urinalisis, ureum, creatinin, tes fungsi hati, profil lipid, elektrolit, gula
darah, hemostasis, pemeriksaan imunologi, biopsi ginjal, protein urin
kuantitatif.10,11
Pada pemeriksaan analisis darah, kadar BUN dan kreatinin mungkin bisa atau
tidak naik. Jika BUN dan kreatinin meningkat berarti pasien mempunyai
penyakit gagal ginjal dan prognosisnya buruk. Biasanya ditemukan penurunan
kalsium plasma. Diagnosis pasti melalui biopsi ginjal. Walaupun SN
merupakan indikasi utama biopsi ginjal, namun ada pengecualian: anak
berusia 1 tahun pubertas, biasanya jenis perubahan minimal dan responsif
terhadap steroid. Biopsi perlu dilakukan untuk sindrom nefrotik kongenital.10,11
2.7 Diagnosa Banding
a. Edema non-renal : gagal jantung kongestif, gangguan nutrisi, edema
hepatal, edema Quincke.
b. Glomerulonefritis akut
c. Lupus sistemik eritematosus.
2.8 Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan diet
Belum ada konsensus yang mengatur diet yang optimal bagi pasien SN.
Disarankan pemberian suplemen vitamin D bila dijumpai bukti defisiensi
vitamin D. Pada SN dilakukan restriksi protein dengan diet protein 0,8
11

gram/kgBB ideal/hari + ekskresi protein urin dalam 24 jam. Bila fungsi


ginjal menurun, diet disesuaikan hingga 0,6 gram/kgBB ideal/hari +
ekskresi protein urin 24 jam. Diet rendah garam (Na < 2 g/hari) dan
restriksi cairan pada edema. Diet rendah kolesterol < 600 mg/hari. Pasien
diharuskan berhenti merokok.10,11
b. Penatalaksanaan edema
Dianjurkan tirah baring dan memakai stocking yang menekan, terutama
untuk pasien usia lanjut. Hati-hati dalam pemberian diuretik karena
adanya

proteinuria berat

dapat

menyebabkan gagal

ginjal atau

hipovolemik. Harus diperhatikan dan dicatat keseimbangan cairan pasien,


biasanya diusahakan penurunan berat badan dan cairan 0.5-1 kg/ hari.
Dilakukan pengawasan terhadap kalium plasma, natrium plasma, kreatinin
dan ureum. Bila perlu diberikan tambahan kalium. Diuretik yang biasa
diberikan adalah diuretik ringan, seperti tiazid dan loop diuretiks
(bumetanide, furosemid) dosis rendah dan dosisnya dapat ditingkatkan
sesuai kebutuhan.10,11
c. Pengobatan proteinuria dengan penghambat ACE dan/ atau antagonis
reseptor Angiotensin II. Penggunaan obat ini juga terbukti mengurangi
resiko progresivitas kerusakan fungsi ginjal.10,11
d. Pengobatan dislipidemia dengan obat golongan statin dengan kerja
menurunkan kolesterol darah, misalnya lovastatin dengan indikasi
pemberian obat seperti pasien dislipidemia pada umumnya.10,11
e. Mencegah infeksi
Tidak ada data dari uji klinis mengenai pencegahan dan tatalaksana infeksi
pada pasien dengan sindrom nefrotik. Namun, biasanya diberikan
antibiotik profilaksis untuk menghindari infeksi, terutama terhadap infeksi
pneumokokal.11
f. Pertimbangkan obat anti koagulasi
Dilakukan pada pasien dengan sindrom nefrotik berat kecuali bila terdapat
kontra indikasi. Terapi (biasanya warfarin) dipertahankan sampai
penyakitnya sembuh. Terapi profilaksis dianjurkan pada pasien dengan
resiko tinggi untuk mengalami tromboemboli.11

12

g. Terapi untuk beberapa penyakit glomerulus primer yang menyebabkan SN


sebagai berikut:
Glomerulopati membranosa
Terapi inisial selama 6 bulan dengan memberikan kortikosteroid (IV
dan IO) dan agen alkil oral (siklofosfamid atau klorambusil)

bergantian selang 1 bulan.10


Glomerulopati kelainan minimal
Prednison atau prednisolon 1 mg/kgBB/hari (maksimal 80 mg) atau 2
mg/kgBB/2hari (maksimal 120 mg). Regimen diberikan selama
minimal 4 minggu apabila remisi komplit tercapai. Apabila tidak
tercapai dapat diberikan maksimal 16 minggu. Apabila remisi komplit

tercapai lakukan tapering off kortikosteroid selama 6 bulan.10


Glomerulosklerosis fokal segmental
Prednison 1 mg/kgBB/hari (maksimal 80 mg) atau 2 mg/kgBB/2hari
(maksimal 120 mg). Regimen diberikan minimal 4 minggu sampai
maksimal 16 minggu atau sampai remisi komplit tercapai. Apabila
remisi komplit tercapai lakukan tapering off kortikosteroid selama 6

bulan.10
Glomerulonefritis membranoproliferatif
Kortikosteroid dosis rendah (harian atau selang sehari) ditambah
dengan siklofosfamid oral atau mycophenolate mofetil oral. Terapi ini
diberikan selama 6 bulan.10

Penatalaksanaan dengan penggunaan kortikosteroid masih kontroversial,


namun direkomendasikan pada pasien yang tidak merespon terhadap
terapi konservatif. 11

13

14

BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama

: RMS

Umur

: 20 tahun

Jenis Kelamin

: Laki - laki

Suku

: Jawa

Bangsa

: Indonesia

Agama

: Hindu

Pendidikan

: Tamat SMA

Status Pernikahan

: Belum Menikah

Pekerjaan

: Pelukis

Alamat

: Jalan Tukad Baru Timur No 17 Denpasar

Tanggal MRS

: 9 Mei 2015

Tanggal Pemeriksaan : 21 Mei 2015


3.2 Anamnesis
Keluhan Utama : Bengkak di seluruh tubuh
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke UGD RSUP Sanglah Denpasar pada 9 Mei 2015 dengan
keluhan bengkak di seluruh tubuh 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Bengkak
dikatakan timbul secara mendadak, diawali bengkak di area sekitar kelopak mata
dan pipi kemudian diikuti bengkak di perut dan kedua kaki. Bengkak pertama kali
diketahui timbul pada pagi hari sesaat setelah pasien bangun tidur (8 Mei 2015)
dan semakin lama semkain meluas. Bengkak yang timbul tidak dirasakan nyeri,
panas maupun terdapat kemerahan. Pasien mengatakan bengkak seperti ada air di
dalamnya. Bengkak dikatakan tidak menghilang dengan aktivitas, perubahan
posisi maupun istirahat dan cenderung bertambah berat pada pagi hari. Saat
pemeriksaan pada tanggal 21 Mei 2015, keluhan bengkak pada seluruh tubuh
tidak ditemukan pada pasien, hanya ditemukan adanya bengkak pada kedua
kelopak mata pasien yang dikatakan oleh pasien sudah membaik.

15

Selain keluhan bengkak pada seluruh tubuh, pasien mengeluhkan kencing


sedikit sedikit dan berbuih tidak seperti biasanya sejak sejak 1 minggu sebelum
timbul keluhan bengkak. Kencing dikatakan 3 4 kali dalam sehari dengan
volume tidak lebih dari segelas AQUA

setiap kencingnya. Warna kencing

dikatakan kuning dan lebih pekat dari biasanya disertai dengan buih. Warna
kemerahan pada kencing, nyeri daerah pinggang disangkal oleh pasien. Saat
pemeriksaan, pasien mengatakan volume kencing sudah banyak dari sebelumnya,
dengan frekuensi berkemih dan warna kencing sudah seperti normal. Keluhan
bengkak seluruh tubuh dan kencing berwarna pekat serta berbuih dialami oleh
pasien setahun sebelumnya. Dalam tahun terakhir, pasien mengatakan sudah
sebanyak lima kali mengalami keluhan serupa.
Pasien juga dikatakan sering mengeluh lemas sejak 1 minggu sebelum
MRS. Keluhan lemas dikatakan dirasakan terus menerus dan tidak menghilang
walaupun pasien telah beristirahat. Keluhan ini dikatakan dirasakan di seluruh
bagian tubuh dan semakin memberat dari hari ke hari hingga akhirnya sehari
sebelum MRS pasien kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari.
Pasien juga dikatakan sering mengeluh nyeri pada ulu hati yang memberat
1 minggu SMRS. Nyeri ulu hati dikatakan seperti ditusuk-tusuk dan terusmenerus dirasakan oleh pasien sepanjang hari. Tidak terdapat riwayat penjalaran
nyeri ulu hati ke lengan sebelah kiri, leher, maupun punggung. Riwayat nyeri ulu
hati ini juga tidak disertai dengan keluhan sesak nafas baik saat sedang atau tidak
beraktivitas, sesak yang timbul pada malam hari, maupun sesak yang mereda
dengan penggunaan bantal kepala saat tidur. Keluhan nyeri ulu hati ini dikatakan
tidak membaik ataupun memburuk dengan makanan. Pasien juga menyangkal
sering terbangun dini hari karena keluhan nyeri yang dideritanya. Keluhan ini
dikatakan tidak diikuti dengan adanya mual namun tidak sampai muntah. Saat
pemeriksaan, pasien mengatakan nyeri perut yang dialaminya telah membaik.
Keluhan demam, sesak nafas dan keluhan lainnya disangkal oleh pasien.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengatakan sudah pernah mengalami keluhan yang sama seperti
yang dirasakan sekarang. Keluhan serupa dirasakan terakhir kali setahun lalu dan

16

pasien dirawat inap karena keluhan yang sama. Pasien mengatakan telah
didiagnosis dengan sindrom nefrotik sejak tiga tahun lalu dan rutin berobat ke
poliklinik RSUP Sanglah sejak saat itu. Dalam lima tahun sejak didiagnosis
sindrom nefrotik, pasien mengatakan sudah sebanyak lima kali mengalami
keluhan serupa.
Riwayat penyakit lain seperti diabetes mellitus, hipertensi, kanker, infeksi
kronis atau penyakit jantung disangkal oleh pasien. Riwayat dan gejala infeksi
sebelum diagnosis sindrom nefrotik tiga tahun lalu seperti halnya demam, nyeri
menelan, sakit tenggorokan, batuk dan pilek, sakit kuning disangkal oleh pasien.
Riwayat adanya kemerahan terutama pada daerah pipi dan memburuknya gejala
bengkak serta lainnya saat terkena matahari disangkal.
Pasien mengatakan mendapat riwayat trauma, yakni terkena bola kaki saat
sedang berlatih futsal tiga tahun lalu di daerah dada. Saat itu pasien mengatakan
terdapat nyeri di daerah dada dan pasien segera dibawa di salah satu RS Swasta di
Yogyakarta. Pasien mengatakan tidak ingat nama penyakit yang dikatakan oleh
dokter pada saat itu. Oleh dokter pasien diberikan 2 macam obat, namun pasien
mengatakan lupa nama obatnya. Satu jenis obat tersbut dikatakan diminum selama
seminggu. Setelah meminum obat tersebut selama seminggu, pasien mengatakan
muncul gejala bengkak dan kencing berbusa seperti saat ini. Pasien tidak ingat
nama obat tersebut. Setelahnya pasien dibawa ke RS lain dan didiagnosis dengan
sindrom nefrotik. Oleh dokter dikatakan, bengkak muncul karena meminum obat
tersebut melebihi dosis yang seharusnya.
Pasien mengatakan keluhan bengkak kambuh ketika pasien stres dan lupa
meminum obat.
Riwayat Pengobatan
Pasien saat ini mengkonsumsi obat obatan yang diberikan oleh dokter di
poli RSUP Sanglah. Tiga tahun lalu, pasien mengatakan mengkonsumsi prednison
saat muncul pertama kali, pasien lupa dosisnya, namun pasien mengatakan
meminum selama 4 bulan yang mana terdapat penurunan dosis namun pasien lupa
pada bulan keberapa, kemudian dihentikan oleh dokter. Sejak dua tahun lalu saat
gejala nya kumat lagi hingga saat ini, pasien mengkonsumsi metilprednisolon dan
siklosporin 1 x 100 mg (Sandimun ).

17

Riwayat Keluarga
Keluarga pasien mengatakan tidak ada anggota keluarga yang mengalami
keluhan yang sama seperti pasien. Di keluarga juga tidak ditemukan adanya
riwayat penyakit lain seperti kencing manis, hipertensi, penyakit hati, ginjal, dan
sakit jantung.
Riwayat Sosial
Pasien saat ini belum menikah dan bekerja sebagai seorang pelukis di
rumah kontrakannya di Denpasar. Pasien tinggal bersama ayahnya. Riwayat
merokok dan mengkonsumsi alkohol dibantah oleh pasien.
3.3 Pemeriksaan Fisik
Status Present
Keadaan Umum

: Sakit sedang

Kesadaran

: Compos Mentis

GCS

: E4VM

Tekanan darah

: 120/70 mmHg

Nadi

: 78 x/mnt

Respirasi

: 1 8 x/mnt

Suhu aksila

: 37,0 C

Berat badan

: 64 kg

Tinggi badan

: 170 cm

BMI

: 22,8 kg/m2

Status General
Mata

: Konjungtiva pucat (-/-), Ikterus (-/-) , Reflek pupil (+/+),


Edema palpebra (+/+)

THT
Telinga

: Bentuk normal, Sekret tidak ada

Hidung

: Bentuk normal, Sekret tidak ada

Tenggorokan

: Tonsil T1/T1, Hiperemis (-), Faring hiperemis (-)

18

Leher
JVP

: PR + 0 cmH2O

Kelenjar getah bening

: Tidak ditemukan pembesaran

Kelenjar parotis &tiroid

: Tidak ditemukan pembesaran

Thorax:
Simetris, retraksi (-)
Jantung
Inspeksi

: Pulsasi iktus kordis tidak terlihat

Palpasi

: Iktus kordis tidak teraba

Perkusi

: Batas Kanan

Auskultasi

: Parasternal line dekstra

Batas Kiri

: Midclavicular line sinistra ICS V

Batas Atas

: Intercostal space II

: S1 S2 tunggal, regular, murmur (-)

Paru-paru
Inspeksi

: Simetris saat statis dan dinamis,

Palpasi

: Vokal fremitus N/N

Perkusi

: Sonor +/+
+/+
+/+

Auskultasi

: Vesikuler +/+, Ronkhi -/-, Wheezing -/+/+

-/-

-/-

+/+

-/-

-/-

Abdomen
Inspeksi

: Distensi (-),

Auskultasi

: Bising usus (+) Normal

Palpasi

: Hepar lien tidak teraba, ballottement ginjal (-), undulasi (-)

Perkusi

: Shifting dullness (-)

Ekstremitas : Akral hangat

Edema

CRT < 2 detik

19

3.4 Pemeriksaan Penunjang


Hasil Pemeriksaan Darah Lengkap (09-5-2015)
TES
WBC

HASIL
7,76

UNIT
x103/L

NORMAL
4.10 11.00

%NE

73,9

47.00 80.00

%LY

16,6

13.00 40.00

%MO

8,74

2.00 11.00

%EO

0.164

0.00 5.00

%BA

0,552

0.00 2.00

#NE

5,24

x103/L

2.50 7.50

#LY

1,18

x103/L

1.00 4.00

#MO

0,620

x103/L

0.10 1.20

#EO

0,012

x103/L

0.00 0.50

#BA

0,039

x103/L

0.00 0.10

RBC

5,27

x106/L

4.50 5.90

HGB

15,4

g/dL

13.50 17.50

HCT

45,0

41.00 53.00

MCV

85, 3

fL

80.00 100.00

MCH

29,2

Pg

26.00 34.00

MCHC

34,0

g/dL

31.00 36.00

12,90

11.60 14.80

PLT

392

x103/L

150.00 440.00

MPV\

8,25

fL

6.80 10.00

RDW

KETERANGAN

Hasil Pemeriksaan Kimia Darah (09-5-2015)


TES
SGOT

HASIL
13,5

UNIT
U/L

NORMAL
11.00 33.00

KETERANGAN

20

SGPT

15,9

U/L

11.00 50.00

Albumin

1,79

g/dL

3.40 4.80

Bun

8,6

mg/dL

8.00 23.00

Creatinin

0,74

mg/dL

0.70 1.20

Glukosa Darah
Sewaktu

87

mg/dL

70.00 140.00

Natrium

144

mmol/L

136 -145

Kalium

4,84

mmol/L

3,5 5, 1

Rendah

Hasil Pemeriksaan Analisa Gas Darah (09-5-2015)


PARAMETER

NILAI

NILAI NORMAL

REMARKS

pH

7,24

7,35 7,45

Rendah

pCO2

41

35 45 mmHg

Normal

pO2

95

80 100 mmHg

Normal

HCO3-

17,6

22 26 mmol/L

Rendah

TCO2

18,9

24,00-30,00 mmol/L

Rendah

BEecf

(-)9,8

(-)2,00-(+)2,00

Rendah

SO2c

96,00

95 100%

Normal

Hasil Pemeriksaan Urinalisis (09-5-2015)


PARAMETER

NILAI

SATUAN

REMARKS

NILAI NORMAL

pH

Normal

5-8

Leukocyte

25

Leu/uL

1+

Negatif

URINE LENGKAP

21

Nitrite

Negative

Normal

Negatif

Protein

500,00

mg/dL

4+

Negatif

Glucose

mg/dL

Normal

Ketone

Negatif

mg/dL

Negatif

Urobilinogen

Normal

mg/dL

1 mg/dL

Bilirubin

Negatif

mg/dL

Negatif

Erythrocyte

250,00

ery/uL

Specific Gravity

1,010

1,005-1,020

Colour

Brown

p.yellow-yellow

5+

SEDIMEN URINE

Negatif

--

Leukosit

46

/lp

<6/lp

Eritrosit

banyak/dismorfik

/lp

<3/lp

-Silinder

granula (+) 2

/lp

--

8 10

/lp

--

bakteri (+)

/lp

--

Sel epitel
Gepeng
Kristal
Lain-lain

Hasil Pemeriksaan Lipid Profile (09-5-2015)


PARAMETER

HASIL

SATUAN

RUJUKAN

REMARKS

Cholesterol Total

534

g/dL

149 199

Tinggi

HDL

26

mg/dL

40 65

Rendah

LDL

350

mg/dL

0 100

Tinggi

Trigliserida

670

mg/dL

0 150

Tinggi

Hasil Pemeriksaan Protein urin (12-5-2015)


PARAMETER

HASIL

SATUAN

Jumlah Urin /24 jam

2500

ml

Protein esbach

3, 5

g/L

RUJUKAN

REMARKS

22

Protein loss

g/L 24 jam

Hasil Pemeriksaan Immunologi (12-5-2015)


PARAMETER

HASIL

SATUAN

HBsAg (Elisa)

0,474

COI

RUJUKAN
Reaktif > = 1

REMARKS
Non Reaktif

Non Reaktif < 1


Anti HCV (Elisa)

0,103

COI

Non Reaktif < 1

Non Reaktif

Reaktif > = 1
ASTO (Kualitatif)

Negatif

<200

Negatif

Pemeriksaan Foto Thoraks AP (09-5-2015)


Cor

: CTR 52% dan bentuk


normal

Pulmo : Tidak tampak adanya


infiltrate/ nodul, Corakan
bronkovesikular normal
Sinus pleura kanan dan kiri tajam
Diafragma kanan dan kiri normal
Tulang tak tampak ada kelainan
Kesan : Cor dan pulmo tak tampak kelainan
3.5 Diagnosis Kerja
Sindrom Nefrotik on Treatment
- Suspek Steroid Induced Gastropathy
3.6 Penatalaksanaan

23

Rawat inap
IVFD NS 0,9% 12 tetes per menit
Metilprednisolon 2 x 8 mg p.o
Siklosporin 2 x 100 mg p.o
Spironolacton 25 0 0 mg
Inbersatrtan 1 x 300 mg p.o
Furosemid 40 0 0 mg p.o
Simvastatin 1x40 mg
Pantoprazole 2 x 30 mg
Sucralfat 3 x CI p.o
Antasida 3 x CI p.o
Diet 2240 kkal + 40 gram protein + protein losss, rendah garam
Transfusi Albumin 1 fl/ hari sampai albumin > 2 g/dl

Rencana Diagnosis:
Rencana Monitoring:
-

Tanda tanda vital.

Keluhan.

Cairan keluar dan cairan masuk, UL @ 3 hari sekali, kimia klinik


(natrium, kalium, albumin) @ 3 hari sekali, Darah lengkap, Lipid
profile

KIE
Diet rendah garam dan rendah lemak

24

BAB IV
PEMBAHASAN
Sindrom nefrotik adalah penyakit ginjal yang ditandai dengan adanya
edema, proteinuria lebih dari 3 3, 5 gram/dl/24 jam atau pemeriksaan urin spot
> 300 350 mg/mmol, hipoalbuminemia yang ditandai dengan adanya < 25 g/l
dan adanya hiperlipidemia (kolesterol total > 10 mmol/l). Terdapat beberapa
penyebab spesifik dari sindrom nefrotik, diantaranya penyebab primer yakni
adanya kelainan spesifik yang terdapat pada ginjal dan penyebab sekunder yakni
disebabkan karena penyebab sistemik lainnya di luar ginjal yang memiliki renal
manifestasi. Secara keseluruhan, abnormalitas yang disebutkan di atas
menghasilkan tanda dan gejala esensial dari cedera pada ginjal. Berikut pada
pembahasan, akan dibahas lebih lanjut mengenai anamnesis terkait etiologi dan
gejala, hasil pemeriksaan fisik dan hasil pemeriksaan penunjang, serta
penatalaksanaan.
4.1 Diskusi terkait Etiologi
Secara garis besar penyebab dari sindrom nefrotik terbagi menjadi 2 yakni
penyakit glomerular primer yang dikategorikan sebagai penyebab primer dan
penyakit sistemik lain dan penyebab lain seperti halnya penggunaan obat obatan
tertentu dalam jangka waktu tertentu.
Terdapat beberapa penyebab utama dari sindrom nefrotik akibat kelainan
primer

pada

ginjal

glomerulosclerosis

yakni

minimal

(FSGS),

change

membranous

disease,

focal

segmental

glomerulopathy

dan

membranoproliferative glomerulonephritis. Minimal changes disease adalah


kelainan yang sering ditemukan pada anak anak, sedangkan membranous
glomerulopathy paling sering ditemukan pada orang dewasa. Penyebab primer
dari sindrom nefrotik hanya dapat ditegkkan berdasarkan diagnosis histopatologi,
yakni melalui biopsi ginjal. Penyebab sekunder dari sindrom nefrotik yang paling
sering ditemukan yakni penyakit sistemik berupa diabetic nefropati dan
amiloidosis. Selain itu penggunaan obat obatan tertentu juga dikaitkan sebagai
penyebab sekunder sindrom nefrotik.

25

Tabel 2. Etiologi Sindrom Nefrotik oleh Penyebab Primer dan Sekunder


Penyebab Primer
Penyebab Sekunder
Minimal Change Diseases
Diabetes Mellitus
Focal Segmental Glomerulosclerosis

Systemic Lupus Erythematosus

Membranous Glomerulopathy

Amyloidosis

Membranoproliferative

Kanker (myeloma dan limfoma)

Glomerulonephritis

Obat obatan
Antibiotik (Penisilinamine)
NSAID
Lithium
Tamoxifen
HIV
Hepatitis B dan C
Micoplasma
Sifilis
Malaria
Infeksi

parasit

(schistosomiasis,

filariasis dan toxoplasmosis)


Penyebab kongenital
Sindrom Alport
Sindrom Kartegener
Pada kasus ini dari anamnesis dengan pasien didapatkan bahwa pasien
dengan riwayat trauma akibat terkena bola di daerah dada lima tahun sebelumnya
dan pasien mendapat dua jenis obat yang mana salah satu obat dikonsumsi selama
seminggu. Setelah itu pasien mengeluh bengkak di seluruh tubuh dan kencing
berbusa, dan oleh dokter di rumah sakit swasta di Yogyakarta dikatakan karena
meminum obat tersbut muncul gejala bengkak dan kencing berbusa. Dalam hal ini
terdapat beberapa obat obbatan yang diketahui dapat menyebabkan terjadinya
sindrom nefrotik. Diantaranya adalah NSAID, penisilinamin dan obat obatan
lain seperti tercantum pada tabel. Namun etiologi secara jelas belum dapat
diketahui, dikarenakan penulis tidak mendapatkan data lebih rinci terkait riwayat

26

trauma dan pengobatan saat itu, seperti halnya jenis obat dan dosis obat yang
dikonsumsi. Selain hal tersebut, berdasarkan anamnesis yang dilakukan, pasien
menyangkal adanya riwayat sistemik lain dan riwayat infeksi yang terkait dengan
penyebab sekunder sindrom nefrotik. Pemeriksaan penunjang serologi HbsAg dan
ASTO juga menyingkirkan adanya kemungkinan infeksi hepatitis B dan infeksi
oleh bakteri jenis streptokokus. Untuk menyingkirkan penyakit lain yang
menyebabkan sindrom nefrotik pada laki laki dewasa muda, usulan pemeriksaan
lainnya dapat dilaksanakan.
Untuk mengetahui etiologi pasti dari sindrom nefrotik dikaitkan dengan
penatalaksanaan khusu terhadap penyakit yang mendasarinya. Mengacu pada tipe
histopatologi yang paling sering pada orang dewasa adalah glomerulopati
membranosa dan glomerulosklerosis fokal segmental, namun diperlukan
pemeriksaan melalui tipe histopatologi untuk mengetahui jenis pastinya. Pada
pasien ini sindrom nefrotik idiopatik (karena penyebab primer) maupun sekunder
masih perlu digali lagi.
4.2 Manifestasi Klinis
Gejala sindrom nefrotik yang khas ditemukan pada sebagian besar kasus
adalah adanya edema, baik edema yang terlokalisir pada ekstrimitas bawah, pada
daerah periorbital ataupun edema anarsaka. Edema pada pasien dengan sindrom
nefrotik biasanya berawal dari adanya keluhan bengkak di daerah periorbital atau
genital yang selanjutnya semakin meluas dan bermanifestasi menjadi ascites
hingga yang paling berbahaya adanya efusi pleural hingga efusi pericardial.
Karakteristik edema di daerah periorbital pada pasien sindrom nefrotik adalah
semakin memberat saat pasien berbaring.. Selain keluhan edema, keluhan lain
yang cukup khas untuk sindrom nefrotik adalah kencing berbusa / berbuih.
Kondisi ini dikaitkan dengan adanya proteinuria. Keluhan lain yang mengikuti
selain dua hal tersbut diatas adalah adanya penurunan nafsu makan dan pasien
cenderung merasa kelelahan.
Pada kasus ini, keluhan utama pasien yang menyebabkan pasien datang ke
UGD RSUP Sanglah adalah keluhan bengkak pada seluruh tubuh, dimana pasien
mengatakan bengkak terdapat pada kedua kaki, perut dan wajah. Bengkak

27

dikatakan awalnya muncul di sekitar kelopak mata kemudian meluas ke perut dan
kaki. Bengkak dikatakan sangat mengganggu dan membuat pasien kesulitan
melakukan aktivitas. Bengkak juga disertai dengan kencing berbusa dan keluhan
pasien merasakan sering kelelahan. Adanya keluhan bengkak saja belum dapat
menegakkan diagnosis sindrom nefrotik. Anamnesis terkait keluhan bengkak pada
pasien harus mampu mengeksklusi keluhan bengkak oleh karena penyebab lain,
yakni bengkak yang disebabkan karena kelainan jantung (gagal jantung kanan),
penyakit hati (sirosis heatis), infeksi dan malignansi lainnya, walaupun pada
pasien keluhan bengkak periorbital terutama memberat pada pagi hari dapat
menjadi gejala tipikal bengkak pada sindrom nefrotik. Pemeriksaan penunjang
memegang peranan penting dalam diagnosis sindrom nefrotik.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya edema periorbital kanan dan
kiri serta tidak ditemukannya edema pada daerah lain. Tidak ditemukannya
peningkatan JVP, tanda tanda penyakit liver kronis dapat mengeksklusi bengkak
karena penyebab lain.
Edema pada pasien ini dikaitkan dengan adanya hipoalbunemia, yakni
kadarnya hanya dalam darah sebanyak 1,79 g/dl. Edema diketahui lebih parah
terutama saat pasien baru bangun di pagi hari. Edema pada sindrom nefrotik
merupakan manifestasi dari adanya hipoalbuminemia karena adanya protein loss
dengan peningkatan retensi cairan dan garam yang juga dikaitkan dengan adanya
mekanisme underfill dan overfill. Selain itu defek primer pada nefron dikaitkan
dengan penyebab peningkatan retensi cairan dan sodium yang mengakibatkan
terjadinya edema
4.3 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang utama yang dapat menegakkan diagnosis sindrom
nefrotik adalah pemeriksaan laboraorium diantaranya : urinalisi (urine dipstick)
sebagai pemeriksaan semikuantitatif untuk mengetahui ada atau tidaknya
proteinuria, tes esbach, pemeriksaan dengan urine spot untuk menghitung rasio
kreatinin atau albumin dan kreatinin rasio, serum albumin untuk mengetahui ada
atau tidaknya hipoalbuminemia dan mengetahui derajat hipoalbuminemia serta
lipid panel untuk mengetahui ada tidaknya hiperlipidemia. Selain itu pemeriksaan

28

lain yang cukup penting dilakukan diantaranya tes fungsi ginjal termasuk plasma
kreatinin dan estimasi GFR untuk mengetahui fungsi ginjal dan skrining ada
tidaknya penurunan fungsi terkait dengan komplikasi dari sindrom nefrotik,
sedimen urin untuk melihat adanya sel atau cast), darah lengkap dan skrining
koagulasi, elektrolit, tes fungsi hati untuk ekslusi adanya kelainan di hati, gula
darah acak atau puasa, serologi HBV, HCV, HIV (skrining dan dilakukan sesuai
indikasi) , profil imunologis terkait dengan penyakit penyakit autoimun yang
sering menyebabkan sindrom nefrotik (ANA), USG ginjal dan biopsi ginjal.
Pada kasus didapatkan dari hasil urinalisis pada awal MRS (9-5-2015),
pasien dengan dipstick protein +4 dan dari hasil pemeriksaan protein esbach
didapatkan adanya protein dalam urin sebanyak

3 g/dl, yang mana

diinterpretasikan sebagai adanya proteinuria dan memenuhi kriteria untuk urin 24


jam sebanyak 3 3, 5gram/ 24 jam untuk sindrom nefrotik. Dari hasil kimia
klinik ditemukan rendahnya kadar albumin dalam darah sebanyak 1,79 g/dl yakni
adanya hipoalbuminemia. Dari hasil profile lipid didapatkan adanya peningkatan
dari kolesterol total (534 g/dL), HDL (26 mg/dl), LDL (350 mg/dl) dan
trigliserida (670 mg/dl). Adanya gambaran proteinuria lebih dari 3 3, 5gram/ 24
jam hipoalbuminemia yang ditandai dengan adanya < 25 g/l dan adanya
hiperlipidemia (kolesterol total > 10 mmol/l) ditambah dengan adanya gejala
bengkak dan didapatkannya edema periorbital dari pemeriksaan fisik sudah dapat
menegakkan diagnosis sindrom nefrotik
Selain

pemeriksaan

penunjang

berupa

laboratorium,

pemeriksaan

penunjang lainnya yang dilaksanakan adalah pemeriksaan radiologi berupa foto


toraks dan abdomen dan USG abdomen khususnya jika ditemukan kelainan fungsi
ginjal. Tujuan dilaksanakannya penunjang radiografi ini adalah untuk eksklusi
adanya efusi pleura dan ascites. Pemeriksaan berupa biopsi ginjal masih menjadi
kontroversi terkait kapan indikasi yang tepat untuk dilaksanakan biopsi. Karena
biopsi dianggap diperlukan untuk mengetahui tipe histopatologis terhadap
sensitivitas penggunaan steroid.
Pemeriksaan foto thoraks dilaksanakan pada pasien ini dengan tujuan
untuk mengeksklusi adanya efusi pleura.

29

4. 4 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan sindrom nefrotik hingga saat ini belum mempunyai
guideline atau pedoman yang dapat diterapkan secara klinis. Penatalaksanaan
didasarkan pada penelitian observasional terdahulu dan telaah kasus terdahulu.
Hingga saat ini, penatalaksanaan sindrom nefrotik bertujuan untuk mengurangi
edema yang timbul akibat adanya hipoalbuminemia, dengan penatalaksanaan
farmakologis yang meliputi penggunaan diuretik, ACE inhibitors ; penggunaan
obat obat penurun kolesterol seperti halnya statin, pengobatan dengan
kortikosteroid dan terapi non farmokologis berupa retriksi cairan dan asupan
sodium.
Pada kasus ini, pasien diberikan penatalaksanaan berupa metilprednisolon
2 x 8 mg p.o, yang mana tujuan pemberian dari pengobatan steroid ini adalah
untuk memperbaiki proteinuria yang timbul dan meningkatkan fungsi ginjal.
Beberapa penelitian menyatakan penggunaan kortikosteroid dapat menginduksi
remisi pada pasien dengan sindrom nefrotik terutama tipe minimal change disease
yang paling responsive terhadap penggunaan kortikosteroid. Dalam kasus ini
pasien telah menggunakan kortikosteroid hampir selama lima tahun setiap
kambuh, awalnya pasien menggunakan prednison kemudian berpindah menjadi
metilprednisolon. Dalam literatur lamanya waktu pemberian kortikosteroid tidak
dijelaskan secara pasti, namun dikatakan lama penggunaannya minimal 12 20
minggu sejak awal keluhan, ada juga yang menyatakan selama 8 minggu setelah
awal diketahui dengan sindrom nefrotik. Monitoring yang harus dilaksanakan
pada pasien ini, dimana terkait dengan penggunaan kortikosteroid berulang dan
dalam jangka waktu yang cukup panjang diantaranya monitoring terhadap tekanan
darah (resiko hipertensi), Monitoring terhadap peningkatan berat badan, resiko
katarak, resiko terjadinya infeksi termasuk di dalam resiko terjadinya gastropati
karena penggunaan kortikosteroid yang mana terjadi pada pasien ini.
Terapi imunosupresif lainnya yang diberikan pada pasien ini adalah berupa
siklosporin. Penggunaan siklosporin sesungguhnya digunakan jika terapi dengan
cyclosphospamide sebagai imunosupresif selain steroid gagal. Namun mengingat
efek samping yang cukup besar dalam penggunaan cyclosphospamide terutama
bagi pasien laki laki di usia pubertas (infertil dan azospermi), alopesia dan

30

terjadinya neutropenia serta anemia maka bagi pasien yang ketergantungan


kortikosteroid digunakan siklosporin. Dosis siklosporin pada pasien ini adalah
200 mg yang terbagi menjadi 2 kali pemberian. Sesuai telaah literature, dosis
pemberian siklosporin yang dapat diberikan pada pasien dengan sindrom nefrotik
adalah tiga mg/kg bb selama 8 minggu. Setelah itu pemberian harus dihentikan.
Mengingat siklosporin adalah salah satu obat immunosupresan, monitoring
terhadap kondisi tubuh pasien terhadap gejala lainnya diperlukan.
Penggunaan diuretik berupa furosemid dalam kasus ini diperuntukkan
untuk mengurangi edema yang terjadi. Pemberian sudah sesuai dengan teori yakni
secara intravena mengingat absorpsi yang susah karena adanya intestinal edema.
Spironolakton juga diberikan pada kasus ini dengan tujuan untuk meningkatkan
kinerja loop diuretik yang terkadang dengan penggunaan tunggal nya tidak
mampu untuk mengurangi edema. Monitoring hematokrit perlu dilaksanakan
untuk mencegah adanya kemungkinan hemokonsentrasi akibat hilangnya banyak
cairan. Selain itu monitoring terhadap urin output juga diperlukan. Secara sinergis
kedua diuretik ini berfungsi menghambat reabsorpsi natrium di distal. Pemberian
albumin pada pasien ini terkait dengan kondisi hipoalbuminemia yang
bermanifestasi pada terjadinya edema karena tekanan onkotik yang rendah.
Angiotensin receptor II antagonist yakni Inbersatrtan dalam hal ini diberikan
dengan tujuan untuk mengurangi proteinuria tanpa memberikan efek menurunkan
tekanan darah pasien. Penggunaan agen agen untuk mengurangi proteinuri
berdasarkan litreratur biasanya digunakan secara kombinasi untuk dapat mencapai
efektivitasnya. Selain penatalaksanaan terkait edema dan proteinuri, pemberian
statin pada pasien ini ditujukan untuk pencegahan terjadinya resiko penyakit
kardiovaskular.
Diet yang disarankan pada pasien adalah diet rendah sodium, dimana
asupan sodium dikurangi untuk mencegah retensi sodium lebih lanjut dengan
retriksi satu hingga dua gram per hari. Pasien di berikan KIE untuk tidak
mengkonsumsi makanan yang mengandung kandungan garam terlalu berlebihan,
diet lemak juga perlu dilaksanakan untuk mencegah peningkatan kadar kolesterol
terkait dengan resiko kardiovaskular yang mungkin terjadi. Asupan lemak
diharapkan kurang dari 400 mg/ hari, pasien diharuskan untuk tidak

31

mengkonsumsi makanan dengan bahan utama telur, mentega dan makanan


berminyak dalam jumlah yang banyak. Retriksi cairan, maksimal 1500 ml/ hari
untuk mencegah edema terutama pada saat edema fase akut.

32

BAB V
KESIMPULAN
Sindrom Nefrotik (SN) merupakan salah satu gambaran klinik penyakit
gromerular yang ditandai dengan proteinuria masif disertai hipoalbuminemia,
edema anasarka, hiperlipidemia, lipiduria dan hiperkoagulabilitas. Pada pasien
didapatkan adanya proteinuria. hipoalbuminemia. hiperlipidemia ditambah
dengan adanya gejala bengkak dan didapatkannya edema periorbital dari
pemeriksaan fisik sudah dapat menegakkan diagnosis sindrom nefrotik.
Secara garis besar penyebab dari sindrom nefrotik terbagi menjadi 2 yakni
penyakit glomerular primer yang dikategorikan sebagai penyebab primer dan
penyakit sistemik lain dan penyebab lain seperti halnya penggunaan obat obatan
tertentu dalam jangka waktu tertentu. Pasien ini mengkonsumsi beberapa obat
obatan yang diketahui dapat menyebabkan terjadinya sindrom nefrotik.
Diantaranya adalah NSAID dan penisilinamin. Namun etiologi secara jelas belum
dapat diketahui, dikarenakan penulis tidak mendapatkan data lebih rinci terkait
riwayat trauma dan pengobatan saat itu, seperti halnya jenis obat dan dosis obat
yang dikonsumsi. Selain hal tersebut, berdasarkan anamnesis yang dilakukan,
pasien menyangkal adanya riwayat sistemik lain dan riwayat infeksi yang terkait
dengan penyebab sekunder sindrom nefrotik.
Pemeriksaan penunjang utama yang dapat menegakkan diagnosis sindrom
nefrotik adalah pemeriksaan laboraorium diantaranya: urinalisis (urine dipstick),
tes esbach, pemeriksaan dengan urine spot, serum albumin serta lipid panel.
Selain itu pemeriksaan lain yang cukup penting dilakukan diantaranya tes fungsi
ginjal termasuk plasma kreatinin dan estimasi GFR, sedimen urin untuk melihat
adanya sel atau cast), darah lengkap dan skrining koagulasi, elektrolit, tes fungsi
hati untuk ekslusi adanya kelainan di hati, gula darah acak atau puasa, serologi
HBV, HCV, HIV (skrining dan dilakukan sesuai indikasi), profil imunologis
(ANA), USG ginjal dan biopsi ginjal. Pada kasus telah dilakukan urinalisis pada
awal MRS (9-5-2015), pemeriksaan protein esbach, pemeriksaan kimia klinik,
pemeriksaan profil lipid, serta pemeriksaan radiologi berupa foto toraks dan
abdomen dan USG abdomen khususnya jika ditemukan kelainan fungsi ginjal.

33

Tujuan dilaksanakannya penunjang radiografi ini adalah untuk eksklusi adanya


efusi pleura dan ascites. Pemeriksaan berupa biopsi ginjal masih menjadi
kontroversi terkait kapan indikasi yang tepat untuk dilaksanakan biopsi. Karena
biopsi dianggap diperlukan untuk mengetahui tipe histopatologis terhadap
sensitivitas penggunaan steroid. Pemeriksaan foto thoraks dilaksanakan pada
pasien ini dengan tujuan untuk mengeksklusi adanya efusi pleura.
Karena banyak komplikasi yang dapat timbul dari keadaan ini, misalnya
penurunan massa otot karena gangguan keseimbangan nitrogen, hiperkoagulasi,
osteoporosis, infeksi karena defek faktor - faktor imunologi, dan gangguan ginjal
yang dapat berakhir menjadi penyakit ginjal tahap akhir (PGTA) maka
penatalaksanaan secara dini akan sangat berguna untuk mencegah gagal ginjal.
Penatalaksanaannya meliputi pemberian obat imunosupresif, penatalaksanaan
edema, kortikosteroid, diuretik ringan, seperti tiazid dan furosemid dosis rendah,
pemberian albumin intravena, antibiotik profilaksis, obat anti koagulasi, nutrisi
tinggi kalori dan rendah garam, berhenti merokok. Pada kasus ini, pasien
diberikan penatalaksanaan berupa metilprednisolon 2 x 8 mg p.o, terapi
imunosupresif berupa siklosporin, diuretik berupa furosemid dan spironolakton,
pemberian albumin, angiotensin receptor II antagonist yakni Inbersatrtan, serta
diet rendah sodium dan retriksi cairan maksimal 1500 ml/ hari.

34

DAFTAR PUSTAKA
1.

Prodjosudjadi W., 2006. Sindrom Nefrotik dalam Aru W.S., Bambang S., Idrus A.,
Marcellius S.K., Siti S. (Ed).Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi
IV. Jakarta, Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Hal. 1174

2.

81
National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Disease., 2012.

3.

Nephrotic Syndrome in Adults. NIH


Hull R.P., Goldsmith D.J.A., 2008. Nephrotic Syndrome in Adults. BMJ. Volume

4.

336. Hal 1185-9


Braunwald E., 2008. Sindrom Nefrotic dalam Anthony S.F., Eugene B., Dennis
L., Kasper S.L. H., Don L.L., Joseph L.,(Eds). Principles of Internal Medicine.

5.

Edisi 17, Volume II. Mc Graw Hill Companies Inc.1874-75


Cohen E.P., et al. 2015. Nephrotic Syndrome. www.emidicine.com. Akses: 20 Mei

6.
7.

2015.
Himawan S., 1979. Patologi Anatomi . Jakarta. Balai Penerbit FKUI. Hal. 264-65
Keddis M.T., Karnath B.M., 2007. The Nephrotic Syndrome. Hospital Physician.

8.

Hal 25-30
Orth S.R.& Berhard E., 1998. The Nephrotic Syndrome. NEJM. Volume 338.

9.

No.17. Hal 1202-11.


Effendi I.& Pasaribu R., 2006. Edema Patofisiologi dan Penanganan dalam Aru
W.S., Bambang S., Idrus A., Marcellius S.K., Siti S. (Ed).Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta, Pusat Penerbit Departemen Ilmu

10.

Penyakit Dalam FKUI. Hal.513-15


Tanto C., Hustrini N.M., 2014. Sindrom nefrotik dalam Kapita Selekta
Kedokteran Edisi Keempat Jilid II. Jakarta. Penerbit Media Aesculapius

11.

FKUI. Hal. 649-51


Kodner C., 2009. Nephrotic Syndrome in Adults: Diagnosis and Management.
AFP. Volume 80. No 10. Hal 1129-34

35

Anda mungkin juga menyukai