Anda di halaman 1dari 272

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pembangunan nasional bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya
manusia dan mewujudkan kesejahteraan rakyat. Peningkatan kualitas sumberdaya
manusia (SDM) Indonesia dari aspek lahiriah dan batiniah merupakan kunci
keberhasilan dari pembangunan nasional yang sedang dijalankan oleh Pemerintah
RI. Selain itu, peningkatan kualitas SDM yang disesuaikan dengan keberagaman
aspirasi dan hambatan kemajuan keseluruhan kelompok masyarakat akan dapat
menjamin keberhasilan pembangunan.
Pemikiran pembangunan SDM yang mutakhir telah memberikan pencerahan
tentang makna pembangunan, yaitu proses makin meluasnya kemampuan rakyat
(expansion of peoples capabilities) dan bahwa pembangunan menuntut perluasan
partisipasi dan emansipasi seluruh rakyat. Terwujudnya pembangunan yang
bersifat partisipatif dan emansipatif menuntut suatu strategi yang tidak hanya
menempatkan posisi rakyat secara pasif, melainkan aktif sebagai aktor
pembangunan (a strategy which not only produces for the mass of the people but
in which the mass of the people are also producers).

Sekaitan dengan itu,

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 (RPJPN) telah pula


menempatkan visi yang menegaskan pentingnya SDM. Visi pembangunan
Indonesia dalam RPJPN adalah Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil dan Makmur.
Penduduk Indonesia yang separuhnya adalah perempuan, merupakan aset
dan potensi pembangunan yang besar yang belum sepenuhnya berkembang.
Dalam banyak aspek, kemampuan SDM perempuan tertinggal, sementara itu,
dampak dari pembanguann sampai saat ini menunjukkan bahwa potensi
perempuan sama besarnya dengan laki-laki. Upaya untuk meningkatkan kualitas
SDM perempuan dilakukan dengan upaya meningkatkan kesetaraan gender di
semua bidang pembangunan dan pemberdayaan perempuan, di samping itu
pemantauan juga dilakukan untuk melihat pada aspek mana saja, laki-laki
mengalami ketertinggalan atau tantangan serta masalah bagi laki-laki yang belum
disentuh dalam pembangunan. Ini semua akan memperluas pencapaian

kemampuan dan memberikan kesempatan yang sama kepada kaum perempuan


untuk mengembangkan potensinya sebagai SDM Pembangunan dan mendapatkan
manfaat yang maksimal dari pembangunan. Prinsip kesetaran antara laki-laki dan
perempuan tidak harus bias pada salah satunya, namun diarahkan untuk
menghapus kesenjangan dalam membangun kemajuan keduanya.
Di pihak lain, anak sebagai generasi penerus bangsa merupakan investasi
masa depan bagi bangsa dan negara. Dalam rangka mewujudkan anak sebagai
generasi penerus bangsa yang sehat, cerdas, ceria, bertaqwa dan terlindungi, maka
pembangunan nasional menetapkan bahwa Pembangunan Anak sebagai prioritas.
Pembangunan Anak dilaksanakan dengan prinsip-prinsip non-diskriminasi,
mempertimbangkan kepentingan terbaik anak, perlindungan dan menghargai
partisipasi anak. Semua itu diwujudkan dalam bentuk pemenuhan Hak Anak.
Pentingya membangun anak dapat digambarkan dalam Gambar 1.
Upaya untuk membangun anak menjadi SDM yang berkualitas sudah
ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, Konvensi Hak Anak (KHA) atau
Convention on the Right of the Child (CRC) sebagai salah satu instrumen
internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Keputusan Presiden
No. 36 Tahun 1990, dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak yang mengamanatkan bahwa penjaminan dan pemenuhan hakhak anak merupakan tanggung jawab bersama antara orangtua, keluarga,
masyarakat, dan negara. Pada RPJMN 2010-2014, pembangunan anak yang
disebut perlindungan anak sudah dicakup di dalamnya, pelaksanaannya masih
mencari bentuk yang efektif. Uji coba yang dilakukan dengan berbagai
keterbatasan, menyebabkan pelaksanaan perlindungan anak yang terpenggalpenggal (segmented), tidak berkelanjutan dan tidak terintegrasi. Anak masih
belum

terlihat

sosoknya,

karena

belum

ada

instrumen

yang

bisa

menggambarkannya. Selain itu, pemenuhan Hak Anak, baru dilakukan di


beberapa bidang pembangunan dan belum menjadi perhatian dalam pembangunan
daerah.
Pelaksanaan RPJPN ini akan dilakukan dalam 4 tahap melalui Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional RPJMN). Saat ini Indonesia berada di
RPJMN ke II tahun 2010-2014. Pentingnya SDM ini juga dicerminkan dalam

RPJMN 2015-2019 yang ditujukan untuk memperkuat landasan kemampuan


bangsa melalui :

SDM berkualitas dan berdaya saing

Penguasaan IPTEK

Untuk mendayagunakan Sumber Daya Alam, landasan itu akan diikuti oleh
kemajuan lain, a.l.:

Kehidupan demokrasi yg lebih mengakar

Desentralisasi dan otonomi daerah yang makin mantap

Kepemimpinan Indonesia di dunia internasional

Meningkatnya kesetaraan gender;

Meningkatnya tumbuh kembang optimal, serta kesejahteraan dan


perlindungan anak.

Gambar 1. Tingkat kepentingan pembangunan anak dalam kemajuan bangsa


RPJMN 2015-2019 ditujukan untuk lebih memantapkan pembangunan
secara menyeluruh di berbagai bidang dengan menekankan pencapaian daya saing
kompetitif perekonomian berlandaskan keunggulan sumber daya alam dan sumber
daya manusia berkualitas serta kemampuan ilmu dan teknologi yang terus
3

meningkat. Pada RPJMN ke III tahun 2015-2019 juga akan menjadi sangat
strategis, karena pada saat itu Indonesia akan memasuki perubahan global yang
signifikan. Komunitas Asean 2015 (ASEAN Commnuty 2015) akan dimulai pada
tahun 2015. Pada saat ini, maka ASEAN akan menjadi satu komunitas dengan 3
pilar yaitu: Komunitas politik dan keamanan, Komunitas Ekonomi dan Komunitas
Sosial Budaya. Dari aspek ekonomi, maka ASEAN akan menjadi pasar bersama
dan tempat produksi bersama. Dengan pemberlakukan using Community ini,
kawasan ASEAN akan menjadi kawasan dimana barang dapat mengalir ke semua
tempat (free flow commodities) tanpa halangan. Dari aspek sosial budaya, maka
kawasan ASEAN akan menjadi kawasan yang diharapkan mempunyai keterkaitan
sosial budaya, toleransi dan stabilitas. Dengan perubahan global ini, maka daya
saing Indonesia semakin diperlukan. Pembangunan selanjutnya harus pula
memperhitungkan faktor keberadaan Indonesia dalam kawasan dengan segala
konsekuensinya.
Pada tahun 2020, Indonesia juga akan menjadi bagian dari kawasan
perdagangan bebas Asia Pasifik, yang memerlukan ketahanan yang besar. Peluang
untuk maju yang semakin besar harus dapat dimanfaatkan, sementara itu
persaingan juga semkain berat. Di samping itu, perubahan pola perdagangan dunia
juga akan menempatkan Indonesia pada peluang dan ancaman yang semakin
besar. Dengan perubahan situasi global, maka program pembangunan SDM harus
memperhitungkannya. Informasi yang menjadi salah satu faktor keunggulan harus
dapat dikuasai dan SDM yang dikembangkan harus pula memperhitungkan
peluang dan tantangan yang berkembang dalam arus informasi.
Di dalam pelaksanaan pembangunan jangka panjang, tahap RPJMN ke III
ini akan tetap mengemban 8 misi, yaitu :
1. Mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya,
dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila;
2. Mewujudkan bangsa yang berdaya-saing;
3. Mewujudkan masyarakat demokratis berlandaskan hukum;
4. Mewujudkan Indonesia aman, damai, dan bersatu;
5. Mewujudkan pemerataan pembangunan dan berkeadilan;
6. Mewujudkan Indonesia asri dan lestari;

7. Mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat,


dan berbasiskan kepentingan nasional;
8. Mewujudkan

Indonesia

berperan

penting

dalam

pergaulan

dunia

internasional.
Pelaksanaan RPJMN 2010-2014 (2010-2013) telah memasuki tahun ketiga
dan hasilnya telah menunjukkan adanya perkembangan cukup signifikan dalam
upaya

pemberdayaan

dan

perlindungan

perempuan

dan

anak

yang

mengedepankan pemenuhan hak-hak perempuan dan anak dengan strategi


pengarusutamaan gender sebagai salah satu prinsip pelaksanaan pembangunan
nasional.

Untuk menyiapkan RPJMN 2015-2019, perlu dilakukan analisis

pelaksanaan pada RPJMN 2010-2014 yang sedang berjalan, maka perlu dilakukan
analisis untuk mengetahui hasil dari pelaksanaan pembangunan yang telah
dilaksanakan, persoalan mendasar dari masalah yang masih dihadapi dan
kemunculan tantangan baru karena dinamika perubahan situasi lingkungan
strategis baik nasional maupun global.
Analisis ini akan digunakan untuk menyusun strategi pelaksanaan agenda
pembangunan SDM, khsuusnya pembangunan pemberdayaan perempuan dan
pembangunan anak dalam RPJMN 2015-2019. Untuk itu perlu dilakukan kajian
yang baik, dari aspek akademis maupun programatis dan hasilnya sesuai dengan
kebutuhan dan dapat bermanfaat untuk melanjutkan pembangunan.
1.2. Tujuan
Tujuan dari kegiatan kajian ini secara umum adalah

merumuskan

rekomendasi kebijakan pembangunan pemberdayaan perempuan dan kesetaraan


gender periode tahun 2015 2019 berdasarkan hasil pencapaian dalam RPJMN
2010 2014 dan berbagai hal yang mempengaruhi serta merumuskan rancangan
kebijakannya

sebagai

masukan

pembangunan

pemberdayaan

perempuan,

kesetaraan gender, dan perlindungan anak periode 2015-2019 yang merupakan


tahap ketiga Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 20052025. Secara spesifik kajian ini akan melakukan:
1. Pemetaan substansi kebijakan pembangunan pemberdayaan perempuan dan
kesetaraan gender serta perlindungan anak yang relevan.

2. Evaluasi

mandiri

dampak

pelaksanaan

pembangunan

di

bidang

pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender serta perlindungan anak.


3. Evaluasi pelaksanaan kebijakan pembangunan pemberdayaan perempuan
dan kesetaraan gender di berbagai isu prioritas dan pembangunan anak
4. Formulasi masukan arah kebijakan dan strategi implementasi untuk
meningkatkan efektifitas pembangunan pemberdayaan perempuan dan
kesetaraan gender, penghapusan diskriminasi terhadap perempuan serta
pembangunan anak tahun 2015 - 2019.
1.3. Ruang Lingkup
Kajian Analisa Dampak (Background Study) Pembangunan Perempuan dan
Perlindungan Anak di berbagai isu prioritas melingkupi:
1. Pengertian Pembangunan Perempuan dan Perlindungan Anak mengacu pada
peraturan perundangan yang berlaku.
2. Substansi

kebijakan

pembangunan

pemberdayaan

perempuan

dan

kesetaraan gender serta perlindungan anak yang di-review meliputi


kebijakan pemerintah, baik pusat maupun daerah dan kebijakan pemerintah
terkait dengan kesepakatan-kesepakatan Internasional.
3. Perencanaan dan pelaksanaan pembangunan pemberdayaan perempuan dan
kesetaraan gender serta perlindungan anak di tingkat daerah yang akan
dievaluasi adalah berupa provinsi dan kabupaten sampel.
4. Isu prioritas yang akan dikembangkan dan dirumuskan dalam pembangunan
pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender serta perlindungan anak
meliputi lingkup bidang pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan dan aspek
kekerasan terhadap perempuan.
5. Hasil akhir kajian adalah terumuskannya masukan arah kebijakan dan
strategi

implementasi

pembangunan

pemberdayaan

perempuan

dan

kesetaraan gender serta pembangunan anak dalam pembangunan nasional


tahun 2015-2019 berdasarkan hasil pelaksanaan pembangunan nasional
sampai tahun 2012.

BAB II
METODOLOGI PENELITIAN
2.1. Waktu dan Lokasi Kajian
Kajian ini dilakukan selama 6 bulan tahun 2013. Kajian ini juga dilakukan
pada tingkat provinsi. Pada tingkat provinsi yang menjadi lokasi kajian adalah
Provinsi:
a. Kepulauan Riau
b. Jawa Tengah
c. Kalimantan Timur
Responden dari provinsi yang dinilai dapat mewakili pemangku kepentingan dari
SKPD dan masyarakat diwawancara untuk mengkaji sikap dan persepsi sosialnya
terhadap:
a. Efektifitas dan dampak pelaksanaan kebijakan nasional pada tingkat
provinsi
b. Isu yang terkait dengan kebijakan pada tingkat provinsi
Kondisi kesetaraan gender dan perlindungan anak yang

dikaji adalah pada

lingkup bidang-bidang prioritas, yaitu pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan dan


kekerasan terhadap perempuan.
2.2. Alur Pikir dan Pendekatan Kajian
Disain riset kebijakan ini diharapkan menghasilkan masukan untuk
penyusunan RPJMN III dan Renstra KPPPA 2015-2019. Disain riset ini bertumpu
pada proses Sistem Analisa yang mencakup dua hal pokok yaitu:
1. Analisa Dampak (Impact Analysis) dari implementasi arah pembangunan PP
dan PA pada periode RPJMN II (2009-2014), khususnya untuk mencapai
tujuan evaluasi dampak kebijakan pembangunan pemberdayaan perempuan
dan perlindungan anak KPP-PA.
2. Analisa Prospektif (Prospective Analysis) terhadap isu prioritas sebagai
prinsip penilaian dan rekomendasi kebijakan yang diduga mempengaruhi
pembangunan PP dan PA pada periode 2015-2019, khususnya untuk
memberikan masukan kebijakan RPJMN 2015-2019 KPP-PA.

Mempertimbangkan kompleksitas dan dinamika lingkungan strategi dari


pembangunan PP dan PA, maka aplikasi terkait riset kebijakan dengan Soft System
Methodology (Checkland, 2008) menjadi landasan teori pengkajian. Isu prioritas
akan dikembangkan dan dirumuskan melalui proses System Thinking
sebagaimana dipaparkan pada Gambar 2.

LP
emng
bu
n
g
un
nrS
Mt
ag
us
i
:

LP
emng
bk
au
n
g
una
aS
nt
Ma
at
ne
usgi
a:
:

k
a
a

at
:

a
s

nr i
s
i

Gambar 2. Diagram Venn Isu Strategis (

Gambar 3 secara umum menunjukkan alur pikir, pendekatan dan teknikteknik untuk menyelesaikan kajian dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Dalam kajian ini, pendekatan yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan
kajian adalah sebagai berikut:
a. Identifikasi dan pemetaan substansi kebijakan
pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak

pembangunan

Kebijakan yang berpengaruh terhadap pemberdayaan perempuan dan


perlindungan anak sangat luas dan multi sektor sehingga kajian akan
dibatasi pada lingkup bidang prioritas, yaitu pendidikan, kesehatan,
ketenagakerjaan dan kekerasan terhadap perempuan.

RPJMN II, Renstra KPPPA dan kebijakan/program lingkup bidang


prioritas akan di-review dan dianalisis tingkat relevansi dan
kepentingannya terhadap pembangunan pemberdayaan perempuan dan
perlindungan anak.

Gambar 3. Alur pikir riset kebijakan pemberdayaan perempuan dan perlindungan


anak

Program/kegiatan yang dievaluasi adalah program/kegiatan prioritas


terkait dengan Jumlah Rencana, Jumlah Realisasi dan Tingkat
Pencapaian

Tingkat pencapaian dievaluasi berdasarkan tingkat a) pencapaian


berdampak, b) pencapaian bermanfaat, c) pencapaian berfungsi,
d)
pencapaian telah terlaksana, dan e) realisasi rencana sangat minim.

Evaluasi dapat dilakukan dengan pendekatan Regulatory Impact Analysis

Teknik analisis dan pengolahan data dapat dilakukan dengan Metode


Perbandingan Eksponensial

b. Kajian pembangunan anak

Metodologi yang digunakan dalam kajian perlindungan anak adalah Soft


System Methodology (SSM) dan Scenario Planning.

Identifikasi masalah akan dilakukan untuk melihat situasi dan kondisi


anak. Hal ini akan dapat menjadi informasi untuk dijadikan sebagai
baseline sasaran RPJMN atau Renstra yang akan datang.

Kajian kepustakaan tentang kebijakan perlindungan anak.

c. Formulasi masukan kebijakan untuk meningkatkan efektifitas


pembangunan pemberdayaan perempuan dan pembangunan anak tahun
2015-2019

Identifikasi alternatif kebijakan/program/kegiatan dan isu prioritas


dilakukan melalui akuisisi pengetahuan pakar dan dianalisis dengan
teknik Intepretive Structural Modeling (ISM).

Pemodelan sistem lunak dan model konseptual digunakan untuk


merumuskan masukan kebijakan/program guna meningkatkan efektifitas
pembangunan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak

2.3. Tahapan Kajian


Untuk mencapai tujuan, pelaksanaan kajian dilakukan melalui beberapa
tahap. Keseluruhan tahapan proses pelaksanaan kajian mulai dari studi pustaka
sampai penarikan kesimpulan dan saran ditunjukkan pada Gambar 4. Kajian pada
prinsipnya dilakukan dengan pendekatan soft system methodology (SSM). SSM
menggunakan teknik Comparative Performance Index (CPI) dan Interpretive
Structural Modelling (ISM).
Kajian ini dimulai dengan studi pustaka dan penelusuran data sekunder.
Kemudian dilanjutkan dengan survai lapang untuk mendapatkan data sekunder
10

dan primer melalui penelusuran pustaka, wawancara mendalam, diskusi/FGD dan


pengisian kuesioner dengan responden pakar. Data primer responden pakar diolah
dengan menggunakan CPI dan ISM.
tabulasi dan content analysis.

Data sekunder lainnya diolah dengan

Analisis situasional atau review menghasilkan

gambaran faktor-faktor yang berperan dan tantangan serta kendala dalam


pembangunan pemberdayaan perempuan dan kesetaraan dan keadilan gender pada
isu-isu prioritas. Analisis kebijakan menghasilkan asumsi dasar pengembangan
kebijakan, struktur sistem dan peubah kunci elemen dalam pembangunan
pemberdayaan perempuan dan kesetaraan dan keadilan gender yang dapat
diintervensi dengan kebijakan, serta peubah independen. Berdasarkan hasil
analisis kebijakan dan mempertimbangkan hasil analisis situasional maka disusun
alternatif-alternatif kebijakan. Model konseptual kebijakan dibangun berdasarkan
hasil pemilihan alternatif kebijakan prioritas dan merupakan sintesis dari hasil
analisis. Selanjutnya, model kebijakan divalidasi melalui face validation. Dengan
menggunakan model yang telah valid maka disusun implikasi-implikasi kebijakan
untuk pembangunan pemberdayaan perempuan dan kesetaraan dan keadilan
gender agar lebih efektif. Langkah terakhir adalah penarikan kesimpulan
berdasarkan hasil analisis dan sintesis yang telah dilakukan serta formulasi saran
yang dapat disampaikan.

11

Gambar 4. Tahapan kajian


2.4. Metode dan Teknik Analisis
1. Comparative Performance Index (CPI)
Comparative Performance Index (CPI) digunakan untuk memilih
beberapa

alternatif.

Teknik

CPI

merupakan

indeks

gabungan

(composite index) yang dapat digunakan untuk menentukan penilaian


atau peringkat dari berbagai alternatif (i).
Prosedur penyelesaian CPI adalah:
a. Identifikasi kriteria tren positif (semakin tinggi nilainya semakin
baik) dan tren negatif (semakin rendah nilainya semakin baik)
b. Untuk kriteria tren positif, nilai minimum pada setiap kriteria
ditransformasi ke seratus, sedangkan nilai lainnya ditransformasi
secara proporsional lebih tinggi.
c. Untuk kriteria tren negatif, nilai minimum pada setiap kriteria
ditranspormasi ke seratus, sedangkan nilai lainnya ditransformasi
secara proporsional lebih rendah.

12

Indeks gabungan yang digunakan untuk menentukan penilaian atau


peringkat dari berbagai alternatif keputusan berdasarkan beberapa
kriteria dari setiap alternatif, dirumuskan sebagai berikut:
A ij =

x ij
100
x ij(min)

i = 1, 2, ..., n dan j = 1, 2, ...,

m
m

I i = A ij Bj

i = 1, 2, ..., n dan j = 1, 2, ...,

j=i

m
di mana :
Aij
xij
xij(min)
Bi
Ii

=
=
=
=
=

Nilai alternatif ke-i pada kriteria ke-j


Nilai awal alternatif ke-i pada kriteria ke-j
Nilai alternatif ke-i pada kriteria minimum ke-j
Bobot kepentingan kriteria ke-j
Indeks gabungan kriteria pada alternatif ke-i

2. Teknik Interpretive Structural Modelling (ISM)


Salah satu teknik pemodelan yang dapat digunakan untuk
merencanakan kebijakan ataupun strategi adalah Interpretive Structural
Modelling (ISM). Menurut Eriyatno (2003) ISM merupakan proses
pengkajian kelompok yang berguna untuk memberikan gambaran
perihal yang kompleks dari suatu sistem dan melalui pola yang
dirancang secara seksama dengan menggunakan grafis dan kalimat akan
menghasilkan model-model struktural. Teknik ISM merupakan salah
satu teknik pemodelan sistem untuk menangani kebiasaan yang sulit
diubah dari perencana jangka panjang yang sering menerapkan secara
langsung teknik penelitian operasional dan atau aplikasi statistik
deskriptif.
ISM merupakan salah satu metode pemodelan berbasis komputer
yang dapat membantu kelompok perencana untuk mengidentifikasi
hubungan antara ide dan struktur tetap pada isu yang kompleks. ISM
dapat digunakan untuk mengembangkan beberapa tipe struktur,
termasuk struktur pengaruh, struktur prioritas, dan kategori ide ataupun
struktur lainnya. ISM merupakan sebuah metode yang interaktif dan

13

dapat diimplementasikan dalam sebuah wadah kelompok sehingga


metode ini memberikan lingkungan yang sangat sempurna untuk
memperkaya dan memperluas pandangan dalam konstruksi yang cukup
kompleks.

ISM

menganalisis

elemen-elemen

sistem

dan

memecahkannya dalam bentuk grafis dari hubungan langsung antar


elemen dan tingkat hierarki. Elemen-elemen dapat merupakan tujuan
kebijakan,

target

organisasi,

maupun

faktor-faktor

penilaian.

Sedangkan hubungan langsung dapat diformulasikan dalam kontekskonteks yang beragam (Marimin, 2005).
Menurut Kanungo and Bhatnagar (2002), langkah-langkah
pemodelan dengan menggunakan ISM mencakup:
a. Identifikasi elemen: Elemen sistem diidentifikasi dan didaftar.
Identifikasi elemen dapat diperoleh melalui penelitian, diskusi
curah pendapat maupun cara yang lainnya.
b. Hubungan kontekstual: Sebuah hubungan kontekstual antar
elemen dibangun berdasarkan pada tujuan dari pemodelan.
c. Matriks interaksi tunggal terstruktur (Structural Self Interaction
Matrix SSIM): Matriks ini mewakili elemen persepsi responden
terhadap hubungan elemen yang dituju. Empat simbol yang
digunakan untuk mewakili tipe hubungan yang terdapat antar dua
elemen dari sistem yang dikaji adalah:
V terdapat hubungan dari elemen Ei terhadap Ej, dan

tidak sebaliknya
A terdapat hubungan dari elemen Ej terhadap Ei, dan tidak

sebaliknya
X terdapat hubungan interrelasi antara Ei dan Ej, dan

dapat sebaliknya
O menunjukkan bahwa Ei dan Ej tidak berkaitan
d. Matriks Reachability (Reachability Matrix RM): Sebuah RM
yang dipersiapkan kemudian mengubah simbol-simbol SSIM ke
dalam sebuah matriks biner. Konversi SSIM menjadi SM
menggunakan aturan-aturan berikut,
Jika hubungan Ei terhadap Ej = V dalam SSIM maka
elemen Eij = 1 dan Eji = 0 dalam RM.

14

Jika hubungan Ei terhadap Ej = A dalam SSIM maka

elemen Eij = 0 dan Eji = 1 dalam RM.


Jika hubungan Ei terhadap Ej = X dalam SSIM maka

elemen Eij = 1 dan Eji = 1 dalam RM.


Jika hubungan Ei terhadap Ej = O dalam SSIM maka

elemen Eij = 0 dan Eji = 0 dalam RM.


RM awal dimodifikasi untuk menunjukkan seluruh direct dan
indirect reachability, yaitu jika Eij = 1 dan Ejk = 1 maka Eik = 1.
e. Tingkat partisipasi dilakukan untuk mengklasifikasi elemenelemen dalam level-level yang berbeda dari struktur ISM. Untuk
tujuan ini, dua perangkat diasosiasikan dengan tiap elemen Ei dari
sistem: Reachability set (Ri) adalah sebuah set dari seluruh elemen
yang dapat dicapai dari elemen Ei, dan Antecedent Set (Ai) adalah
sebuah set dari seluruh elemen dimana elemen Ei dapat dicapai.
Pada iterasi pertama seluruh elemen, dimana Ri = Ri Ai adalah
elemen-elemen level 1. Pada iterasi-iterasi berikutnya elemenelemen diidentifikasi seperti elemen-elemen level dalam iterasiiterasi sebelumnya dihilangkan, dan elemen-elemen baru diseleksi
untuk level-level berikutnya dengan menggunakan aturan yang
sama. Selanjutnya, seluruh elemen-elemen sistem dikelompokkan
ke dalam level-level yang berbeda.
f. Matriks Canonnical: Pengelompokan elemen-elemen dalam level
yang sama mengembangkan matriks ini. Matriks resultan memiliki
sebagian besar dari elemen-elemen triangular yang lebih tinggi
adalah 0 dan terendah 1. Matriks ini selanjutnya digunakan untuk
mempersiapkan digraph.
g. Digraph adalah konsep yang berasal dari Directional Graph, yaitu
sebuah grafik dari elemen-elemen yang saling berhubungan secara
langsung dan level hierarki. Digraph awal dipersiapkan dalam
basis matriks canonical. Graph awal tersebut selanjutnya dipotong
dengan memindahkan semua komponen yang transitif untuk
membentuk digraph akhir.
h. Interpretive Structural Model: ISM dibangkitkan dengan
memindahkan seluruh jumlah elemen dengan deskripsi elemen

15

aktual. Oleh sebab itu ISM memberikan gambaran yang sangat


jelas dari elemen-elemen sistem dan alur hubungannya.
Eriyatno (2003) menyatakan bahwa metode dan teknik ISM
dibagi menjadi dua bagian, yaitu penyusunan hierarki dan klasifikasi
sub elemen. Prinsip dasarnya adalah identifikasi dari struktur di dalam
suatu sistem yang memberikan nilai manfaat yang tinggi guna meramu
sistem secara efektif dan untuk pengambilan keputusan yang lebih baik.
Struktur dari suatu sistem yang berjenjang diperlukan untuk lebih
menjelaskan pemahaman tentang perihal yang dikaji.

Menentukan

jenjang dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan, namun harus


memenuhi kriteria: a) kekuatan pengikat dalam dan antar kelompok
atau tingkat, b) frekuensi relatif dari oksilasi dimana tingkat yang lebih
rendah lebih cepat terguncang dari yang diatas, c) konteks dimana
tingkat yang lebih tinggi beroperasi pada jangka waktu yang lebih
lambat daripada ruang yang lebih luas, d) liputan dimana tingkat yang
lebih tinggi mencakup tingkat yang lebih rendah, dan e) hubungan
fungsional, dimana tingkat yang lebih tinggi mempunyai peubah lambat
yang mempengaruhi peubah cepat tingkat dibawahnya.
Menurut Eriyatno (2003), teknik ISM dapat memberikan basis
analisis program dimana informasi yang dihasilkan sangat berguna
dalam formulasi kebijakan dan perencanaan strategis.

Selanjutnya

Saxena, Sushil and Vrat (1992) menyatakan bahwa penggunaan ISM


dalam analisis, program dapat dibagi menjadi sembilan elemen utama:
a. Sektor masyarakat yang terpengaruh
b. Kebutuhan dari program
c. Kendala utama program
d. Perubahan yang diinginkan
e. Tujuan dari program
f. Tolok ukur untuk menilai setiap tujuan
g. Aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan
h. Ukuran aktivitas untuk mengevaluasi hasil yang dicapai setiap
aktivitas
i. Lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program
Selanjutnya, untuk setiap elemen dari program yang dikaji dijabarkan
menjadi sejumlah sub elemen.

Kemudian ditetapkan hubungan

kontekstual antara sub elemen yang mengandung adanya suatu arah

16

yang menuju pada perbandingan berpasangan. Berdasarkan hubungan


kontekstual tersebut, maka disusun Structural Self Interaction Matrix
dengan menggunakan simbol:
V jika eij = 1 dan eji = 0
A jika eij = 0 dan eji = 1
V jika eij = 1 dan eji = 1
V jika eij = 0 dan eji = 0
Nilai eij = 1 berarti ada hubungan kontekstual antara elemen ke-i dan
elemen ke-j, sedangkan eij = 0 adalah tidak ada hubungan kontekstual
antara elemen ke-i dan elemen ke-j.

Hasil penilaian ini kemudian

dibuat dalam Structural Self Interaction Matrix yang berbentuk tabel


Reachability Matrix (RM) dengan mengganti V, A, X, dan O menjadi
bilangan 1 dan 0. Matriks RM selanjutnya dikoreksi sampai menjadi
matriks tertutup yang memenuhi kaidah transitivitas.
Matriks RM yang telah memenuhi kaidah transitivitas kemudian
diolah untuk mendapatkan nilai Driver-Power (DP) dan nilai
Dependence (D) untuk menentukan klasifikasi sub elemen. Eriyatno
(2003) menyebutkan bahwa untuk mengetahui peran masing-masing
sub elemen, sub elemen dikelompokkan ke dalam 4 sektor:
Sektor 1: Weak driver-weak dependent variables (Autonomous), sub
elemen yang berada pada sektor ini umumnya tidak
berkaitan dengan sistem, mungkin mempunyai hubungan
yang sedikit walaupun hubungan tersebut bisa saja kuat.
Sektor 2: Weak driver-strongly dependent variables (Dependent), sub
elemen yang berada pada sektor ini umumnya sub elemen
yang tidak bebas atau dipengaruhi oleh sub elemen lain.
Sektor 3: Strong driver-strongly dependent variables (Linkage), sub
elemen yang berada pada sektor ini perlu dikaji secara hatihati sebab hubungan antar sub elemen tidak stabil. Setiap
tindakan pada sub elemen tersebut akan memberikan
dampak terhadap peubah lain dan umpan balik pengaruhnya
bisa lebih besar.
Sektor 4: Strong driver-weak dependent variables (Independent), sub
elemen yang berada pada sektor ini umumnya merupakan
sub elemen bebas yang memiliki kekuatan penggerak yang
besar terhadap sub elemen lain.
17

Pengembangan model kebijakan strategi implementasi ini


bertujuan

untuk

membangun

alternatif

strategi

implementasi

pembangunan pemberdayaan perempuan dan kesetaraan dan keadilan


gender berdasarkan perkembangan sampai saat ini dan peraturan yang
berlaku. Pengembangan model kelembagaan ini didasarkan atas hasil
analisis kebijakan dengan menggunakan metode ISM. Elemen-elemen
yang dipilih dalam melakukan analisis kebijakan ini adalah elemen
yang berperan secara dominan dalam menentukan keberhasilan
pembangunan pemberdayaan perempuan dan kesetaraan dan keadilan
gender. Dari 11 elemen yang dikembangkan oleh Saxena, Sushil and
Vrat (1992), dan berdasarkan hasil diskusi terpilih 3 elemen yang
berpengaruh secara dominan, yaitu a) elemen lembaga yang terlibat
dalam pelaksanaan pembangunan pemberdayaan perempuan dan
kesetaraan dan keadilan gender, b) elemen kendala utama dalam
pelaksanaan pembangunan pemberdayaan perempuan dan kesetaraan
dan keadilan gender, dan c) elemen strategi implementasi dalam
pelaksanaan pembangunan pemberdayaan perempuan dan kesetaraan
dan keadilan gender.

Analisis terhadap model kebijakan ini pada

dasarnya untuk menyusun hirarki setiap sub elemen pada elemen yang
dikaji, dan kemudian membuat klasifikasinya ke dalam 4 sektor dimana
masing-masing sub elemen akan dimasukkan ke dalam variabel
Autonomous, Dependent, Linkage, atau Independent.
3. Soft System Methodology (SSM)
Soft System Methodology (SSM) adalah pendekatan sistem untuk
mengatasi situasi problematik dari dunia nyata. SSM adalah pendekatan
serba sistem yang tidak membedakan hard system dan soft system akan
tetapi sebuah pendekatan yang memberi jalan untuk mengatasi situasi
yang dianggap bermasalah atau problematik. SSM lebih menggunakan
epistemology dari pada ontology.SSM membandingkan antara kondisi
nyata yang ada dengan model konsepsual sehingga dapat membangun
pemahaman yang lebih baik atas suatu kondisi yang menjadi objek

18

kajian atau penelitian. Pendekatan ini akan menghasilkan gagasangagasan untuk menghasilkan perbaikan sejumlah keadaan dan
menyusun rencana aksinya.
Langkah-langkah yang dilakukan mencakup:
a. Menemu-kenali situasi masalah
Menghimpun dan menggali semua keadaan yang ada dalam
lingkup kajian atau penelitian berdasarkan pengetahuan terbaik yang
dapat dihimpun. Tujuannya adalah untuk mendapatkan beberapa
situasi atau keadaan yang akan dijadikan parameter dalam
penyusunan struktur masalah yang ada, sehingga dihasilkan
sejumlah pilihan relevan dan mungkin.
b. Menetapkan pokok kebijakan yang akan diambil
Pada langkah ini masalah yang sudah

dipetakan

diformulasikan dalam Root Definition yaitu pendefinisan dari situasi


yang ada dan bagaimana cara mengatasinya. Untuk membuat Root
Definition yang menjadi dasar dari langkah selanjutnya digunakan
analisis CATWOE. Matriks analisis ini digambarkan di bawah ini.
Pada tahap ini inign diidentifikasi proses transformasi yang
diinginkan, yaitu perubahan dari input menjadi output.
c. Menyusun model konsepsual
Pada tahap ini dibangun konsep sistem dan model, yaitu
gambaran bagaimana hubungan bagian-bagian dalam sistem atau
model yang dibuat untuk menyelesaikan masalah. Pembuatan model
ditentukan oleh sudut pandang akan konsep yang ideal dari suatu
keadaan. Identifikasi kelompok-kelompok stakeholder yang terlibat
dengan sudut pandang yang berbeda, akan menghasilkan output yang
berbeda-beda.
Metode analisis yang akan digunakan adalah metode Analisis
Pemenuhan

Hak

Anak

(PUHA)

yang

dikembangkan

oleh

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.


Dalam kerangka analisis ini digambarkan bahwa situasi anak
dipengaruhi oleh berbagai faktor yang terdiri dari 5 unsur yaitu:
Unsur Hukum; Unsur Peradilan, Unsur Kesejahteraan Sosial, Unsur

19

Budaya dan Perilaku serta Sistem Data. Situasi dan kondisi anak
disebabkan oleh berbagai sebab dalam kelompok unsur-unsur
tersebut, baik penyebab langsung, tidak langsung maupun akar
masalahnya. Penyebab-penyebab ini ditemukenali dan dianalisis
yang kemudian hasil analisisnya akan digunakan sebagai masukan
untuk memperbaiki situasi anak yang ada saat ini.

20

BAB III
SASARAN, KEBIJAKAN DAN PENCAPAIAN PEMBANGUNAN
BERBASIS GENDER
3.1. Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Pembangunan Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
merupakan bagian dari pembangunan nasional bidang sosial budaya dan
kehidupan beragama yang bertujuan untuk peningkatan kualitas hidup manusia
dan masyarakat Indonesia. Pembangunan manusia sebagai insan menekankan
pada manusia yang berharkat, bermartabat, bermoral dan memiliki jati diri serta
karakter tangguh baik dalam sikap mental, daya pikir maupun daya ciptanya.
Adapun pembangunan manusia sebagai sumberdaya pembangunan yaitu sebagai
pelaku pembangunan menekankan pada manusia yang memiliki etos kerja
produktif, keterampilan, kreatif dan inovatif, disiplin dan profesional, berorientasi
pada ilmu pengetahuan dan teknologi serta berwawasan lingkungan dan
kemampuan manajemen. Pembangunan manusia sebagai insan dan sumberdaya
pembangunan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, dilakukan pada
seluruh siklus hidup manusia yaitu sejak dalam kandungan sampai usia lanjut.
Upaya tersebut dilandasi oleh pertimbangan bahwa kualitas manusia yang baik
ditentukan oleh pertumbuhan dan perkembangannya sejak dalam kandungan. Di
samping itu, pembangunan manusia juga dilaksanakan dengan memperhatikan
kebutuhan yang berbeda-beda dari tiap tahap kehidupan manusia, baik laki-laki
maupun perempuan. Kemampuan bangsa untuk berdaya saing tinggi merupakan
kunci bagi tercapainya kemajuan dan kemakmuran bangsa. Daya saing bangsa
yang tinggi akan menjadikan Indonesia siap menghadapi tantangan globalisasi
dan mampu memanfaatkan peluang yang ada. Untuk memperkuat daya saing
bangsa, pembangunan nasional diarahkan untuk mengedepankan pembangunan
sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, baik laki-laki maupun perempuan.
Pembangunan nasional bidang pemberdayaan perempuan terdiri dari
pembangunan

dengan

fokus

prioritas

kesetaraan

gender, pemberdayaan

perempuan dan perlindungan anak, kebijakan pengarusutamaan gender dan


kebijakan lintas bidang perlindungan anak. Masing-masing mempunyai sasaran,
kebijakan dan program sebagai berikut:

21

1. Fokus Prioritas Kesetaraan


Perlindungan Anak

Gender, Pemberdayaan

Perempuan

dan

Peningkatan kesetaraan dan keadilan gender dan pemberdayaan


perempuan merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan pembangunan
yang dapat dinikmati secara adil, efektif, dan akuntabel oleh seluruh
penduduk Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan. Berbagai kemajuan
dalam pembangunan yang responsif gender telah dicapai baik di bidang
kesehatan, pendidikan, ekonomi, maupun dalam bidang politik dan jabatan
publik. Selain indikator IPG, kemajuan pembangunan gender juga
ditunjukkan dengan indikator gender empowerment measurement (GEM) atau
indeks pemberdayaan gender (IDG), yang diukur melalui partisipasi
perempuan di bidang ekonomi, politik, dan pengambilan keputusan.
Sasaran

pembangunan

bidang

pemberdayaan

perempuan

dan

perlindungan anak dalam RPJMN 2010-2014 yang akan dicapai pada akhir
tahun 2014 adalah:
1.

Meningkatnya efektivitas kelembagaan PUG dalam perencanaan,


penganggaran, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi kebijakan dan
program pembangunan yang responsif gender di tingkat nasional dan

2.

daerah.
Meningkatnya efektivitas kelembagaan perlindungan anak, baik di
tingkat nasional maupun daerah.
Peningkatan kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, dan

perlindungan anak dilakukan melalui dua fokus prioritas, yaitu:


Pertama, peningkatan kapasitas kelembagaan pengarusutamaan gender
(PUG) dan pemberdayaan perempuan melalui penerapan strategi PUG,
termasuk mengintegrasikan perspektif gender ke dalam siklus perencanaan
dan penganggaran di seluruh kementerian dan lembaga. Fokus prioritas ini
bertujuan untuk mendukung peningkatan kualitas hidup dan peran perempuan
dalam pembangunan, serta peningkatan perlindungan perempuan terhadap
berbagai tindak kekerasan.
Kedua, peningkatan kapasitas kelembagaan perlindungan anak, melalui:
(a) penyusunan dan harmonisasi peraturan perundang-undangan terkait
perlindungan anak; (b) peningkatan kapasitas pelaksana perlindungan anak;

22

(c) peningkatan penyediaan data dan informasi perlindungan anak; dan


(d) peningkatan koordinasi dan kemitraan antarpemangku kepentingan terkait
pemenuhan hak-hak anak. Fokus prioritas tersebut bertujuan untuk
meningkatkan kualitas tumbuh kembang dan kelangsungan hidup anak, serta
meningkatkan perlindungan anak dari segala bentuk kekerasan dan
diskriminasi. Selain itu, pelaksanaan peningkatan kesetaraan gender,
pemberdayaan perempuan, dan perlindungan anak tersebut juga didukung
oleh: (a) peningkatan kualitas manajemen dan tata kelola pembangunan
bidang kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, dan perlindungan anak;
(b) sistem manajemen data dan informasi tentang gender dan anak; dan (c)
peningkatan koordinasi dan kerjasama lintas bidang, lintas sektor, lintas
program, lintas pelaku, dan lintas kementerian/lembaga (K/L).
Dalam RPJMN 2010-2014, Prioritas bidang Peningkatan Kesetaraan
Gender, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak terdiri dari 2
(dua) fokus prioritas yaitu:
1.

Peningkatan kapasitas kelembagaan pengarusutamaan gender dan


pemberdayaan perempuan terdiri dari 16 kegiatan prioritas

2.

Peningkatan kelembagaan perlindungan anak terdiri dari 11 kegiatan


prioritas

2. Kebijakan Pengarusutamaan Gender


Pengarusutamaan gender dalam pembangunan adalah strategi yang
digunakan untuk mengurangi kesenjangan antara penduduk laki-laki dan
perempuan

Indonesia

dalam

mengakses

dan

mendapatkan

manfaat

pembangunan, serta meningkatkan partisipasi dan mengontrol proses


pembangunan.

Pengarusutamaan

gender

(PUG)

dilakukan

dengan

mengintegrasikan perspektif (sudut pandang) gender ke dalam proses


pembangunan di setiap bidang. Penerapan pengarusutamaan gender akan
menghasilkan kebijakan publik yang lebih efektif untuk mewujudkan
pembangunan yang lebih adil dan merata bagi seluruh penduduk Indonesia,
baik laki-laki maupun perempuan.
Sasaran pengarusutamaan gender adalah meningkatnya kesetaraan
gender, yang ditandai dengan: (a) meningkatnya kualitas hidup dan peran

23

perempuan terutama di bidang kesehatan, pendidikan, ekonomi termasuk


akses terhadap penguasaan sumber daya, dan politik; (b) meningkatnya
persentase cakupan perempuan korban kekerasan yang mendapat penanganan
pengaduan; dan (c) meningkatnya efektivitas kelembagaan PUG dalam
perencanaan,

penganggaran,

pelaksanaan,

pemantauan,

dan

evaluasi

kebijakan dan program pembangunan yang responsif gender di tingkat


nasional dan daerah.
Berdasarkan sasaran tersebut, maka pengarusutamaan gender dilakukan
melalui tiga isu nasional. Pertama, peningkatan kualitas hidup dan peran
perempuan dalam pembangunan, melalui harmonisasi peraturan perundangan
dan pelaksanaannya di semua tingkat pemerintahan, dengan melibatkan
seluruh pemangku kepentingan. Kedua, perlindungan perempuan terhadap
berbagai tindak kekerasan, melalui upaya-upaya pencegahan, pelayanan, dan
pemberdayaan. Ketiga, peningkatan kapasitas kelembagaan PUG dan
pemberdayaan perempuan.
Keberhasilan peningkatan kesetaraan gender ini dapat diukur dengan
Indeks

Pembangunan

Gender

(IPG)

(Gender-related

Development

Index/GDI), yang merupakan indikator komposit yang diukur melalui angka


harapan hidup sejak lahir, angka melek huruf, dan gabungan angka partisipasi
sekolah dasar, menengah, tinggi, serta Pendapatan Domestik Bruto (PDB) per
kapita dengan paritas daya beli (purchasing power parity), dan dihitung
berdasarkan jenis kelamin. Di samping itu, kemajuan pembangunan gender
juga ditunjukkan dengan indikator Gender Empowerment Measurement
(GEM) atau Indeks Pemberdayaan Gender (IDG), yang diukur melalui
partisipasi perempuan di bidang ekonomi, politik, dan pengambilan
keputusan.
Kebijakan

pengarusutamaan

gender

terdiri

dari

(tiga)

isu

nasional/kebijakan, yaitu:
1.

Peningkatan kualitas hidup dan peran perempuan dalam pembangunan,


yang terdiri dari 29 kegiatan prioritas

2.

Perlindungan Perempuan terhadap Berbagai Tindak Kekerasan, terdiri


dari 7 kegiatan prioritas

24

3.

Peningkatan kapasitas kelembagaan pengarusutamaan gender dan


pemberdayaan perempuan, yang terdiri dari 20 kegiatan prioritas.

3. Kebijakan Lintas Bidang Perlindungan Anak


Pembangunan perlindungan anak ditujukan untuk memenuhi hak-hak
anak Indonesia. Sesuai dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak, perlindungan anak mencakup anak yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan, dan
meliputi hak-hak anak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi
dalam berbagai aspek kehidupan, serta mendapat perlindungan dari berbagai
tindak kekerasan, perdagangan anak, eksploitasi, dan diskriminasi. Dengan
demikian, pemenuhan hak-hak anak mencakup setiap bidang pembangunan.
Pembangunan perlindungan anak yang terintegrasi dan komprehensif akan
menghasilkan kebijakan publik yang lebih efektif dalam mewujudkan dunia
yang layak bagi seluruh anak Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan.
Sasaran bidang perlindungan anak adalah meningkatnya tumbuh
kembang optimal, kesejahteraan, dan perlindungan anak yang ditandai
dengan: (a) meningkatnya akses dan kualitas layanan perlindungan anak,
yang antara lain diukur dengan meningkatnya APK PAUD, APS 712 tahun,
APS 1315 tahun, dan cakupan kunjungan neonatal, serta menurunnya
persentase

balita

gizi

buruk

yang

mendapat

perawatan; (b)

meningkatnya persentase cakupan anak korban kekerasan yang mendapat


penanganan pengaduan; dan (c) meningkatnya efektivitas kelembagaan
perlindungan anak, baik di tingkat nasional maupun daerah.
Kebijakan

peningkatan

perlindungan

anak

diarahkan

pada:

(a) peningkatan akses terhadap pelayanan yang berkualitas, peningkatan


partisipasi anak dalam pembangunan, dan upaya menciptakan lingkungan
yang ramah anak dalam rangka mendukung tumbuh kembang dan
kelangsungan hidup anak; (b) peningkatan perlindungan anak dari kekerasan
dan diskriminasi; dan (c) peningkatan efektivitas kelembagaan perlindungan
anak.

25

Kebijakan peningkatan perlindungan anak dilaksanakan melalui 3 (tiga)


fokus prioritas, yaitu:
1.

Peningkatan kualitas tumbuh kembang dan kelangsungan hidup anak,


antara lain, melalui peningkatan aksesibilitas dan kualitas program
pengembangan anak usia dini; peningkatan kualitas kesehatan anak; dan
peningkatan pendidikan kesehatan reproduksi bagi remaja. Fokus
prioritas ini tediri dari 34 kegiatan prioritas.

2.

Peningkatan perlindungan anak dari segala bentuk tindak kekerasan dan


diskriminasi,

antara

lain

melalui:

peningkatan

rehabilitasi

dan

pelindungan sosial anak; peningkatan perlindungan bagi pekerja anak


dan penghapusan pekerja terburuk anak; dan peningkatan perlindungan
bagi anak yang berhadapan dengan hukum. Fokus prioritas ini terdiri dari
8 kegiatan prioritas.
3.2. Pencapaian Pembangunan Gender
Kesetaraan gender bukan dimaknai sebagai perbedaan fisik semata, namun
jauh lebih luas pengertiannya, yakni kesamaan kondisi bagi laki-laki dan
perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia
dalam berperan dan berpartisipasi di segala bidang kehidupan. Sementara itu,
keadilan gender merupakan proses dan perlakuan adil terhadap perempuan dan
laki-laki sehingga dalam menjalankan kehidupan tidak ada pembakuan peran,
subordinasi,

marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan dan laki-laki.

Terwujudnya Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) ditandai dengan tidak


adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki dalam memperoleh akses,
kesempatan berpartisipasi, dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh
manfaat yang setara dan adil dari pembangunan. Untuk mengetahui sejauh mana
tingkat keberhasilan pembangunan yang selama ini dilaksanakan dengan
mengakomodasi persoalan gender, maka diperlukan sebuah ukuran yang dapat
menjelaskan pencapaian Kesetaraan dan Keadilan Gender. Indeks Pembangunan
Gender (IPG) merupakan ukuran komposit untuk mengukur status perempuan
khususnya mengukur prestasi dalam kemampuan dasar. Melalui IPG perbedaan
pencapaian yang menggambarkan kesenjangan pencapaian antara laki-laki dan

26

perempuan dapat terjelaskan.

Sedangkan pencapaian pembangunan manusia

dapat dilihat dengan menggunakan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).


Kesenjangan antara IPM dan IPG mengindikasikan adanya kesenjangan
pencapaian kapabilitas antara laki-laki dan perempuan (KPPPA, 2012a).
Persamaan status dan kedudukan merujuk pada tidak adanya perbedaan hak
dan kewajiban antara perempuan dan laki-laki yang tidak hanya dijamin oleh
perundang-undangan, tetapi juga dalam praktek kehidupan sehari-hari. Jaminan
persamaan status dan kedudukan ini meliputi partisipasi dalam program
pembangunan terutama dalam peningkatan kualitas hidup melalui programprogram peningkatan kapabilitas dasar. Program peningkatan kapabilitas dasar
yang dimaksud mencakup berbagai pelayanan dasar kesehatan, pendidikan, dan
kemudahan akses ekonomi yang diberikan pemerintah kepada semua penduduk.
Namun kenyataannya, implementasi pada kehidupan sehari-hari khususnya upaya
peningkatan kapabilitas dasar penduduk perempuan belum sepenuhnya dapat
diwujudkan karena masih kuatnya pengaruh nilai-nilai sosial budaya yang
patriarki. Nilai-nilai sosial budaya patriarki ini secara langsung maupun tidak
langsung dapat menempatkan laki-laki dan perempuan pada kedudukan dan peran
yang berbeda dan tidak setara. Belum lagi persoalan ketidaktepatan pemahaman
ajaran agama yang seringkali menyudutkan kedudukan dan peranan perempuan di
dalam keluarga dan masyarakat. Untuk itu, diperlukan upaya lebih serius dan
berkesinambungan dalam mewujudkan persamaan status dan kedudukan antara
laki-laki dan perempuan melalui berbagai program pembangunan seperti
peningkatan peran perempuan dalam pengambilan keputusan di berbagai proses
pembangunan,

penguatan

peran

masyarakat,

dan

peningkatan

kualitas

kelembagaan berbagai instansi pemerintah, organisasi perempuan dan lembagalembaga lainnya. Melalui upaya ini diharapkan peningkatan kapabilitas dasar
perempuan akan dapat segera diwujudkan (KPPPA, 2012a).
Secara

umum

pencapaian

pembangunan

gender

menunjukkan

kecenderungan yang semakin membaik. Hal ini ditunjukkan dengan peningkatan


IPG selama kurun waktu tahun 2005 2012 (Gambar 5). Pada tahun 2005 IPG
secara nasional mencapai 65,1 dan meningkat menjadi 66,8 pada tahun 2009.
Pada tahun 2012 IPG meningkat lagi menjadi 68,5.

27

69.0

68.5
67.8

68.0
67.2
66.8

67.0

66.4
65.8

66.0
65.1

65.3

65.0
64.0
63.0

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

Gambar 5. Kecenderungan IPG dalam kurun waktu 2005 2012


(Marhaeni, 2013)
Walaupun terlihat cenderung meningkat dalam kurun waktu antara 2005
2012, peningkatan IPG belum menunjukkan pencapaian persamaan status dan
kedudukan menuju kesetaraan dan keadilan gender.

Hal ini disebabkan

pencapaian IPG selama ini masih belum mampu mengurangi kesenjangan secara
substansial dalam pencapaian kapabilitas dasar antara laki-laki dan perempuan.
Kesenjangan antara IPM dengan IPG masih relatif sama (Tabel 1). Seperti telah
diketahui bahwa IPG merupakan indeks komposit yang terdiri dari beberapa
komponen, yaitu angka harapan hidup, angka melek huruh dan rata-rata lama
sekolah, dan sumbangan pendapatan. Peningkatan IPG selama kurun waktu tahun
2005 2012 sudah barang tentu merupakan kontribusi dari kapabilitas dasar
perempuan yang terangkum dalam dimensi kesehatan, pendidikan maupun hidup
layak dan mungkin juga meningkat seiring dengan pelaksanaan program-program
pembangunan.
Angka harapan hidup (AHH) merupakan rata-rata perkiraan umur yang
dapat ditempuh oleh seseorang selama hidup. Indikator AHH sering digunakan
sebagai

proxy untuk

menilai

kinerja

pemerintah

dalam

meningkatkan

kesejahteraan penduduk khususnya di bidang kesehatan. Perkembangan AHH


perempuan dan laki-laki terlihat mengalami kecenderungan peningkatan selama
kurun waktu tahun 2005 2012 (Gambar 6). Namun, pencapaian angka harapan
hidup laki-laki lebih rendah dari perempuan. Pada tahun 2005 AHH perempuan

28

telah mencapai 70,2 tahun sedangkan laki-laki mencapai 66,2 tahun. Angka
harapan hidup perempuan pada tahun 2012 meningkat menjadi 71,7 tahun.
Sedangkan AHH laki-laki pada tahun 2012 masih tetap lebih rendah dari AHH
perempuan walaupun telah meningkat menjadi 67,7 tahun.
Tabel 1. Kecenderungan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Indeks
Pembangunan Gender (IPG), dan Rasio IPG/IPM tahun 2005 - 2012
Indeks
Pembangunan
Manusia (IPM)
69.6
70.1
70.6
71.2
71.8
72.3
72.8
73.3

Tahun
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012

Indeks
Pembangunan
Gender (IPG)
65.1
65.3
65.8
66.4
66.8
67.2
67.8
68.5

Rasio
(%)
93.5
93.2
93.2
93.3
93.0
92.9
93.1
93.5

Sumber: Marhaeni (2013)

73.0
72.0
71.0

70.2

70.5 70.7

71.0

71.4 71.5 71.5 71.7

70.0
69.0
68.0
67.0

66.2

66.5 66.8

67.1

67.5 67.5 67.5 67.7

Laki-laki
Perempuan

66.0
65.0
64.0
63.0
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

Gambar 6. Perkembangan angka harapan hidup (tahun) laki-laki dan perempuan


pada kurun waktu 2005 2012 (Marhaeni, 2013)
Secara umum pembangunan di bidang kesehatan telah membawa dampak
semakin membaiknya kualitas kesehatan penduduk. Hal ini dapat ditunjukkan

29

dari perkembangan angka harapan hidup yang cenderung meningkat, baik AHH
laki-laki maupun perempuan. Level AHH yang dicapai penduduk laki-laki masih
jauh dibawah level AHH yang dicapai perempuan. Banyak faktor penyebab
rendahnya AHH laki-laki dibandingkan AHH perempuan seperti kesehatan,
perilaku, dan kemampuan bertahan hidup. Hasil kajian dari aspek kesehatan,
salah satunya mengungkapkan bahwa banyaknya kejadian kematian pada laki-laki
umumnya bersifat prematur yang seharusnya dapat dicegah melalui tindakan
promosi kesehatan atau pencegahan yang dapat dilakukan sedini mungkin. Selain
itu, beberapa penyakit yang menjadi penyebab utama kematian pada laki-laki
adalah penyakit degeneratif seperti jantung, paru, stroke, hipertensi, diabetes dan
kanker (KPP-PA, 2012a).
Kemajuan pembangunan di bidang pendidikan juga memiliki kontribusi
yang sangat besar dalam kemajuan pembangunan manusia karena pendidikan
dapat meningkatkan kualitas manusia. Penuntasan buta huruf dan penurunan
angka putus sekolah telah menjadi program prioritas dalam kebijakan pemerintah,
baik pusat maupun daerah. Pembangunan dan revitalisasi gedung-gedung sekolah
merupakan salah satu upaya dalam meningkatkan partisipasi sekolah. Indikator
pendidikan yang merepresentasikan dimensi pengetahuan dalam IPM maupun
IPG adalah angka melek huruf (AMH) dan rata-rata lama sekolah (MYS). AMH
menggambarkan persentase penduduk umur 15 tahun keatas yang mampu baca
tulis, sedangkan indikator rata-rata lama sekolah menggambarkan rata-rata jumlah
tahun yang dijalani oleh penduduk usia 15 tahun ke atas untuk menempuh semua
jenis pendidikan formal (KPP-PA, 2012a).
Perkembangan angka melek huruf laki-laki dan perempuan disajikan pada
Gambar 7.

Angka melek huruf cenderung meningkat, walaupun peningkatan

AMH perempuan meningkat lebih tinggi dibandinkan AMH laki-laki. Secara


persentase, AMH laki-laki menunjukkan posisi yang lebih baik dibanding AMH
perempuan. Pada tahun 2005, AMH laki-laki telah mencapai 94,3 persen dan
meningkat menjadi 95,8 persen pada tahun 2012. Sedangkan pada tahun 2005
AMH perempuan sebesar 87,5 persen dan meningkat menjadi 90,7 persen.
Berdasarkan data terlihat bahwa kesenjangan angka melek huruf antara laki-laki
dan perempuan telah menurun, pada tahun 2005 kesenjangan sebesar 6,8 turun

30

menjadi 5,1 pada tahun 2012.

Kondisi ini menunjukkan bahwa meskipun

pembangunan telah lebih responsif gender namun masih terjadi ketimpangan


kemampuan baca tulis antara laki-laki dan perempuan. Kemungkinan salah satu
penyebab ketimpangan ini adalah belum meratanya akses pendidikan dasar bagi
perempuan terutama untuk keluarga dengan kemampuan ekonomi yang sangat
terbatas atau keluarga miskin yang jumlahnya masih cukup besar.

98.0
96.0

94.3 94.6

95.7 95.8
95.2 95.4 95.7 95.7

94.0
92.0
90.0
88.0

87.5

88.4 88.6

89.1

89.7

90.5 90.6 90.7


Laki-laki
Perempuan

86.0
84.0
82.0
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

Gambar 7. Perkembangan angka melek huruf (%) laki-laki dan perempuan


(Marhaeni, 2013)
Sedangkan perkembangan angka rata-rata lama sekolah antara tahun 2005
2012

penduduk

laki-laki

dan

perempuan

menunjukkan

kecenderungan

peningkatan walaupun sangat sedikit (Gambar 8). Secara umum pendidikan lakilaki masih lebih tinggi dibandingkan dengan pendidikan perempuan, walaupun
hanya selisih 1 tahun. Pada tahun 2012, rata-rata lama sekolah laki-laki mencapai
8,5 tahun atau setara dengan kelas 2 SMP dan perempuan mencapai 7,6 tahun atau
setara dengan kelas 1 SMP.

31

9.0
8.0

6.8

7.0

8.0

8.0

7.9

7.8

7.1

7.0

6.9

8.2
7.3

8.5

8.4

8.3

7.5

7.5

7.6

6.0
5.0

Laki-laki

4.0

Perempuan

3.0
2.0
1.0
0.0
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

Gambar 8. Perkembangan rata-rata lama sekolah (tahun) laki-laki dan perempuan


dalam kurun waktu 2005 2012 (Marhaeni, 2013)
Perkembangan sumbangan pendapatan dalam pekerjaan di sektor nonpertanian dari laki-laki dan perempuan secara nasional disjikan pada Gambar 9.
Berdasarkan gambar ini terlihat bahwa kesenjangan kontribusi pendapatan antara
laki-laki dan perempuan cenderung semakin membesar.

Pada tahun 2005,

terdapat kesenjangan sumbangan pendapatan sebesar 20,6 dan meningkat menjadi


30,6 pada tahun 2012.
70.0
60.0

60.1

63.6

62.5

65.6

66.5

65.0

65.8

65.3

50.0
40.0

39.5

36.4

37.5

34.4

Laki-laki

30.0

35.0

33.5
Perempuan

34.2

34.7

20.0
10.0
0.0
2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

Gambar 9. Perkembangan sumbangan pendapatan (%) dari laki-laki dan


perempuan di sektor non-pertanian (Marhaeni, 2013)

32

Sumbangan pendapatan dalam pekerjaan non-pertanian ini terkait dengan


dua faktor yang mempengaruhinya, yaitu faktor angkatan kerja dan upah yang
diterima. Berdasarkan data tahun 2012, angkatan kerja perempuan di Indonesia
masih sekitar 37,9 persen dari seluruh angkatan kerja (Tabel 2). Rendahnya
proporsi angkatan kerja perempuan tersebut tentunya akan sangat berpengaruh
terhadap sumbangan pendapatannya.
Tabel 2. Penduduk usia kerja menurut kegiatan dan jenis kelamin tahun 2012
KEGIATAN
ANGKATAN
KERJA
BEKERJA
PENGANGGUR
BUKAN
ANGKATAN
KERJA
SEKOLAH
MENGURUS
RUMAH TANGGA
LAINNYA
PENDUDUK
USIA KERJA

JENIS KELAMIN
(ORANG)
Laki Peremp
laki
uan
73,284, 44,768,
748
362
69,068,9 41,739,1
65
89
4,215,78 3,029,17
3
3
13,522, 42,351,
185
408

118,053,
110
110,808,
154
7,244,95
6
55,873,5
93

7,167,83
0
1,417,53
0
4,936,82
5
86,806,
933

14,084,6
33
33,628,8
14
8,160,14
6
173,926,
703

6,916,80
3
32,211,2
84
3,223,32
1
87,119,
770

JUMLAH

JENIS KELAMIN
(%)
Laki Peremp
laki
uan
62.1

37.9

62.3

37.7

58.2
24.2

41.8
75.8

50.9
4.2

49.1
95.8

60.5
49.9

39.5
50.1

Sumber: Kemnakertrans (2013)


Faktor upah, secara nominal setiap tahun selalu mengalami peningkatan
baik yang diterima pekerja laki-laki maupun perempuan. Hal ini dikarenakan
adanya penyesuaian upah nominal yang diterima pekerja sebagai dampak dari
biaya kebutuhan hidup yang selalu mengalami kenaikan agar kemampuan daya
beli masyarakat tetap terjaga. Pada penghitungan IPG, komponen upah
menggunakan data upah buruh di sektor non-pertanian. Tahun 2010, rata-rata upah
perempuan non-pertanian di Indonesia mencapai 1.292.300 rupiah per bulan. Nilai
upah ini masih lebih rendah dibanding upah yang diterima laki-laki mencapai
yang mencapai 1.593.600 rupiah per bulan. Hal ini memberikan gambaran bahwa
dalam dunia kerja ternyata masih terdapat perbedaan jumlah upah yang diterima
33

antara laki-laki dan perempuan. Penduduk perempuan menerima upah lebih


rendah dibanding laki-laki. Perbedaan upah yang diterima antara laki-laki dan
perempuan berpengaruh terhadap kontribusi sumbangan pendapatan dalam
pekerjaan di sektor non-pertanian dari laki-laki dan perempuan (KPPPA, 2012a).
Kesenjangan upah antara laki-laki dan perempuan di bidang non-pertanian yang
rasionya sebesar 80,1 persen ini sebenarnya sudah tidak terlalu besar karena pada
tahun 2006 rasio upah perempuan terhadap laki-laki masih sebesar 46 persen.
Banyak faktor yang diduga sebagai penyebab adanya perbedaan upah yang
diterima laki-laki dan perempuan. Salah satu faktor yang berpengaruh pada
perbedaan tingkat upah adalah tingkat pendidikan. Kecenderungan pendidikan
perempuan lebih rendah dibanding pendidikan laki-laki jelas berpengaruh pada
perbedaan upah yang diterima antara laki-laki dan perempuan. Faktor lain juga
erat kaitannya dengan faktor lapangan pekerjaan, jenis pekerjaan, dan status
pekerjaan. Sebagian besar pekerja perempuan bekerja di sektor jasa yang
umumnya di perdagangan, dan jasa kemasyarakatan, sosial dan perorangan.
Sedangkan jenis pekerjaan yang dilakukan perempuan sebagai tenaga usaha
perdagangan, dan status pekerjaannya sebagai buruh/karyawan dan pekerja tidak
dibayar. Kategori pekerjaan seperti ini pada umumnya mempunyai produktivitas
yang rendah dan upah yang dibayarkan relatif kecil. Sementara itu, pekerja lakilaki lebih banyak bekerja di sektor padat modal, sebagai tenaga profesional,
teknisi dan kepemimpinan dengan upah yang diterima relatif besar. Disini,
perbedaan yang mendasar tersebut menyebabkan kesenjangan upah yang diterima
pekerja laki-laki dan perempuan (KPPPA, 2012a).
Kesenjangan gender masih dijumpai dalam pencapaian kapabilitas dasar
antara laki-laki dan perempuan baik di tingkat nasional maupun daerah.
Kesenjangan gender dalam pencapaian kapabilitas dasar di daerah dijumpai pada
semua provinsi.

Berdasarkan besaran rasio IPG terhadap IPM, maka terdapat

lima provinsi masuk dalam kategori urutan tertinggi dan terendah (Tabel 3). Lima
provinsi yang masuk kategori urutan tertinggi berturut-turut adalah Nusa Tenggara
Timur (NTT), Daerah Istimewa Yogyakarta, Papua, DKI Jakarta, dan Maluku.
Sedangkan provinsi dengan urutan terendah secara berurutan adalah Papua Barat,
Kepulauan Riau, Kep. Bangka Belitung, Gorontalo, dan Kalimantan Timur.

34

Tabel 3. Provinsi dengan peringkat tertinggi dan terendah berdasarkan rasio IPG
terhadap IPM tahun 2012
Kategori
Tertinggi

Terendah

Provinsi
NTT
D I Yogyakarta
Papua
DKI Jakarta
Maluku
Papua Barat
Kep. Riau
Kep. Babel
Gorontalo
Kalimantan
Timur

IPM
68.28
76.75
65.86
78.33
72.42
70.22
76.20
73.78
71.31

IPG
65.99
74.11
63.06
74.66
68.54
60.02
65.60
61.38
58.32

Rasio
96.65
96.56
95.75
95.31
94.64
85.47
86.09
83.19
81.78

Selisi
h
2.3
2.6
2.8
3.7
3.9
10.2
10.6
12.4
13.0

76.71

61.86

80.64

14.9

Sumber: diolah dari data Marhaeni (2013)


Gambaran lebih lengkap mengenai tingkat pencapaian pembangunan gender
sebagai dampak dari kegiatan pembangunan di provinsi dapat dilihat dari angka
IPG provinsi. Sebaran capaian IPG setiap provinsi disajikan pada Gambar 10.
80.00
70.00

IPG Indonesia

60.00
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00

35

Gambar 10. Sebaran pencapaian IPG provinsi tahun 2012 (Marhaeni, 2013)
Untuk tahun 2012, sebaran IPG di tingkat provinsi menunjukkan bahwa
pencapaian IPG pada 10 provinsi melebihi rata-rata IPG nasional.

Sepuluh

provinsi tersebut secara berurutan dari tertinggi adalah DKI Jakarta, Daerah
Istimewa Yogyakarta,

Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, Sumatera Barat,

Sulawesi Utara, Bali, Bengkulu, Sumatera Selatan dan Maluku.

Jika

dibandingkan dengan pencapaian IPG tahun 2009, pencapaian IPG provinsi yang
melebihi rata-rata IPG nasional hanya 9 provinsi (Gambar 11), yaitu DKI Jakarta,
Daerah Istimewa Yogyakarta, Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, Sumatera
Barat, Sulawesi Utara, Bali, Bengkulu dan Maluku. Kondisi ini menunjukkan
bahwa provinsi Sumatera Selatan telah melakukan upaya yang besar sehingga
pencapaian IPG dapat melebihi rata-rata IPG nasional.
Di tingkat provinsi pencapaian IPG relatif beragam.

Pencapaian IPG

tertinggi pada tahun 2012 diraih oleh DKI Jakarta dengan nilai 74,66, sedangkan
yang paling rendah adalah Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan perolehan nilai
IPG 57,58. Disparitas antar provinsi berarti sebesar 17.08 unit. Jarak pencapaian
IPG tertinggi dan terendah ini menurun jika dibandingkan dengan hal yang sama
pada tahun 2009 sebesar 17,29 unit. Pada tahun 2009, pencapaian IPG tertinggi
DKI Jakarta sebesar 73,00 dan IPG terendah pada Provinsi Nusa Tenggara Barat
dengan IPG sebesar 55,72.

Kondisi ini menunjukkan bahwa disparitas

pembangunan gender pada tingkat provinsi tahun 2012 sedikit menurun


dibandingkan dengan tahun 2009 walaupun penurunannya masih sangat kecil.
80.00
70.00
60.00
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00

36

Gambar 11. Sebaran pencapaian IPG provinsi tahun 2009 dan 2012
3.3. Pencapaian Pemberdayaan Gender
Selain Indeks Pembangunan Gender (IPG) yang merupakan ukuran untuk
mencerminkan terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender. Pencapaian IPG
menunjukkan besaran diskriminasi antara perempuan dan laki-laki dalam
mendapatkan akses, kesempatan berpartisipasi, dan kontrol atas pembangunan
serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan. Di samping
itu, terdapat juga Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) yang digunakan untuk
mengukur persamaan peranan antara perempuan dan laki-laki dalam pengambilan
keputusan di bidang politik maupun manajerial. Kedua indeks ini diharapkan
mampu memberikan gambaran kemajuan kesetaraan dan keadilan gender yang
dicapai melalui berbagai program-program pembangunan.
Pencapaian pembangunan manusia secara kuantitatif dapat dilihat dari
besaran IPM. Besaran angka IPM semata tidak dapat menjelaskan seberapa besar
perbedaan (gap) pencapaian kualitas hidup perempuan dan laki-laki yang diukur
melalui gabungan indikator kesehatan, pendidikan dan daya beli. Melalui IPG
(Indeks Pembangunan Gender), perbedaan pencapaian yang menggambarkan
kesenjangan pencapaian antara laki-laki dan perempuan dapat terjelaskan, yakni
dengan mengurangkan nilai IPM dengan IPG. Sedangkan IDG dapat
menggambarkan perbedaan peranan antara perempuan dan laki-laki dari
pencapaian

kapabilitas

berdasarkan

status

dibandingkan dengan laki-laki secara kuantitas.

dan

kedudukan

perempuan

Namun, berdasarkan aspek

kualitas sebenarnya masih banyak hal yang perlu ditingkatkan (KPPPA, 2012a).
IDG dibentuk berdasarkan tiga komponen, yaitu keterwakilan perempuan
dalam parlemen, perempuan sebagai tenaga profesional, manajer, administrasi,
dan teknisi; dan sumbangan pendapatan. Dengan demikian, arah dan perubahan
IDG sangat dipengaruhi oleh ketiga komponen pembentuk IDG tersebut. Besaran
nilai indikator yang terekam dari kegiatan pengumpulan data merupakan hasil
akumulasi dampak dari berbagai kebijakan baik bersifat langsung maupun tidak
langsung dari program-program pembangunan yang telah dilaksanakan. Hasilnya
menggambarkan kondisi nyata perempuan sehubungan dengan peranannya dalam
pengambilan keputusan di berbagai bidang kehidupan.

37

Kesetaraan dan keadilan gender bisa dimaknai sebagai suatu kondisi dimana
porsi dan siklus sosial perempuan dan laki-laki setara, serasi, seimbang dan
harmonis, tanpa ada salah satu kelompok yang merasa dirugikan atau
dimarginalkan.

Kesetaraan gender tidak hanya merujuk pada persoalan

persamaan status dan kedudukan antara laki-laki dan perempuan, tetapi bisa juga
bermakna pada persoalan persamaan peranan. Persamaan peranan dalam hal ini
seperti partisipasi dalam proses pengambilan keputusan di bidang politik maupun
penyelenggaraan pemerintahan, kehidupan ekonomi dan sosial, khususnya
kontribusi perempuan dalam pendapatan rumah tangga. Unsur-unsur persamaan
peranan tersebut merupakan komponen yang tercakup dalam penghitungan indeks
pemberdayaan gender (IDG). Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, IDG
merupakan ukuran komposit yang dapat digunakan untuk mengkaji sejauh mana
persamaan peranan perempuan dalam proses pengambilan keputusan serta
kontribusi dalam aspek ekonomi maupun sosial (KPPPA, 2012a).
Perkembangan IDG antara tahun 2005 sampai dengan 2012 menunjukkan
kecenderungan yang meningkat (Gambar 12). Pada tahun 2009, pencapaian IDG
masih sebesar 63,5 dan dalam kurun waktu 3 tahun telah meningkat 6,6 unit atau
menjadi 70,1 pada tahun 2012. Kondisi ini menunjukkan bahwa peran serta
perempuan dalam pengambilan keputusan dan kegiatan ekonomi semakin
meningkat dengan lebih cepat dibandingkan kurun waktu 2005-2008.
72.0
70.0
68.2

68.0

70.1

69.1

66.0
64.0
62.0
60.0

61.3

61.8

62.3

63.5

59.7

58.0
56.0
54.0
2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

Gambar 12. Kecenderungan Indeks Pemberdayaan Gender tahun 2005-2012


(Marhaeni, 2013)

38

Secara umum pencapaian komponen-komponen IDG untuk tahun 2012


untuk perempuan masih lebih rendah dari pada laki-laki, baik dalam partisipasi
politik, pengambilan keputusan maupun dalam perekonomian seperti disajikan
pada Gambar 13.

Rendahnya pencapaian perempuan dalam partisipasi politik,

pengambilan keputusan maupun dalam perekonomian dapat disebabkan


kemungkinan oleh dua hal. Pertama, pembangunan yang selama ini dilakukan
memang lebih banyak menguntungkan laki-laki. Dan kedua, pembangunan telah
memberikan kesempatan yang sama kepada penduduk laki-laki maupun
perempuan, namun kesempatan ini belum dapat digunakan secara optimal oleh
kelompok perempuan oleh berbagai sebab.

Kedua sebab ini yang seyogyanya

lebih diperbaiki di masa mendatang dengan intervensi pada penyebab yang


mendasarinya.
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

Laki-laki
Perempuan

Gambar 13. Komponen IDG antara laki-laki dan perempuan tahun 2012
Upaya pemerintah dalam meningkatkan kapabilitas penduduknya masih
meninggalkan persoalan yaitu masih terjadinya ketimpangan aksesibilitas antara
laki-laki perempuan. Pada uraian sebelumnya telah dipaparkan bahwa pencapaian
perempuan dalam bidang pendidikan dan ketenagakerjaan relatif masih tertinggal
dari pencapaian laki-laki. Ketimpangan ini ternyata terjadi pula dalam bidang
politik. Keterwakilan perempuan dalam parlemen masih relatif kecil yaitu hanya
sebesar 17,49 persen. Nilai ini masih dibawah kuota yang diatur dalam UU No.12
Tahun 2003, yang menyebutkan bahwa kuota perempuan untuk dapat

39

berpartisipasi dalam politik sekitar 30 persen. Apabila kuota perempuan yang


telah diatur dalam UU tersebut mampu dicapai secara optimal, tentu akan
membawa dampak yang positif dalam pemberdayaan perempuan mengingat
kebijakan-kebijakan yang dibuat akan lebih memperhatikan isu-isu gender.
Meskipun belum mencapai kuota sesuai UU, tetapi jika dibandingkan dengan
hasil pemilu 2004 yang hanya mencapai 65 kursi dari 550 kursi yang ada di DPR
atau sekitar 11,82 persen, keterwakilan perempuan di parlemen telah
menunjukkan peningkatan yang cukup berarti (KPPPA, 2012a).
Indikator lain yang juga digunakan dalam mengukur indeks komposit IDG
yaitu persentase perempuan sebagai tenaga manager, profesional, kepemimpinan,
dan teknisi. Indikator ini menunjukkan peranan perempuan dalam pengambilan
keputusan di bidang penyelenggaraan pemerintahan, kehidupan ekonomi dan
sosial. Keterlibatan perempuan di posisi ini memberikan gambaran kemajuan
terhadap peranan perempuan. Jumlah perempuan dalam jabatan pekerjaan dapat
dilihat pada Tabel 4. Untuk tenaga profesional dan teknisi, persentase perempuan
sudah lebih tinggi dibanding laki-laki. Sedangkan untuk tenaga kepemimpinan
dan administrasi, persentase perempuan (16,3%) masih sangat kecil dibanding
dengan laki-laki (83,7%).
sebagaimana

komponen

Namun jika kedua kategori ini dijumlahkan


IDG,

yaitu

persentase

tenaga

profesional,

kepemimpinan/managerial, administrasi dan teknisi maka persentase perempuan


(45,2%) tetap masih lebih rendah dibandingkan laki-laki (54,8%). Pencapaian
perempuan sebagai tenaga profesional dan teknisi yang mencapai 52,7%
menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan dan
berpartisipasi dalam perekonomian sudah dapat disejajarkan dengan laki-laki,
bahkan melebihi laki-laki.

Oleh karena itu, upaya-upaya pemberdayaan

perempuan sebenarnya masih sangat diperlukan dan seyogyanya diarahkan untuk


meningkatkan kemampuan perempuan sehingga dapat berpartisipasi dalam
pekerjaan dengan posisi jabatan kepemimpinan/managerial.

Tabel 4. Penduduk yang bekerja menurut jabatan dan jenis kelamin tahun 2012

40

Sumber: Kemnakertrans (2013)

Kontribusi perempuan dalam perekonomian, khususnya sumbangan


terhadap pendapatan masih rendah, yaitu 34,7% dibanding dengan kontribusi lakilaki yang mencapai 65,3%. Hal ini menunjukkan bahwa partisipasi perempuan
dalam perekonomian masih rendah. Jika dilihat dari struktur penduduk dalam
ketenagakerjaan (Tabel 5) terlihat bahwa tingkat partisipasi angkatan kerja
(TPAK) yang mencapai 67,9% masih didominasi oleh laki-laki (62,1%). Proporsi
perempuan masih banyak yang mengurus rumah tangga. Oleh sebab itu, dapat
dipahami jika kontribusi perempuan terhadap pendapatan menjadi rendah.
Tabel 5. Penduduk usia kerja menurut kegiatan dan jenis kelamin tahun 2012

Sumber: Kemnakertrans (2013)

Pembangunan nasional seyogianya merupakan pembangunan merata di


seluruh wilayah Indonesia, tetapi salah satu masalah pembangunan di Indonesia
adalah kesenjangan pembangunan antar wilayah. Wilayah bagian barat Indonesia
cenderung mengalami pembangunan yang lebih pesat dibandingkan wilayah

41

bagian timur Indonesia. Akibatnya, kualitas sumber daya di wilayah timur


Indonesia jauh tertinggal dibandingkan sumber daya manusia di wilayah bagian
barat Indonesia. Banyak faktor yang menyebabkan ketertinggalan pembangunan
di wilayah bagian timur Indonesia, salah satunya terkait dengan kondisi alamnya
dan kondisi Infrastruktur di bagian pedalaman yang sangat buruk sehingga
tercipta daerah-daerah kantong yang terisolasi. Ketertinggalan pembangunan di
wilayah bagian timur Indonesia menyebabkan terjadinya kesenjangan capaian
pembangunan di berbagai bidang kehidupan antarwilayah.

Kesenjangan

pemberdayaan gender antar wilayah masih menjadi fenomena yang perlu


mendapat perhatian khusus dari pemerintah daerah dan pemerintah pusat (KPPPA,
2012).
Indeks Pemberdayaan Gender secara nasional pada tahun 2009 sebesar
63,52 dan meningkat 6,45 unit menjadi 70,07 pada tahun 2012. Peningkatan nilai
indeks ini mencerminkan adanya peningkatan persamaan peranan perempuan
dengan laki-laki secara nasional dalam partisipasi politik, pengambilan keputusan
maupun dalam perekonomian. Namun, jika dilihat nilai IDG antar provinsi maka
masih menunjukkan keragaman yang cukup besar, yaitu antara tertinggi di
Provinsi Maluku dengan indeks 73,00 dengan terendah Provinsi Aceh dengan
nilai 55,72, sebagaimana disajikan pada Gambar 14. Perbedaan IDG tertinggi dan
terendah mencapai 17,3 unit.

Jika dibandingkan dengan IDG nasional maka

terdapat 6 provinsi yang mencapai IDG melebihi IDG nasional. Provinsi-provinsi


tersebut meliputi Provinsi Maluku, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Sulawesi Utara,
Jawa Tengah dan Kalimantan Tengah.

42

90.00
80.00
70.00
60.00
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00

IDG Indonesia

Gambar 14. Sebaran pencapaian IDG tingkat provinsi tahun 2012


(Marhaeni 2013)
3.4. Prioritas Daerah Pembangunan dan Pemberdayaan Gender
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks Pembangunan Gender
(IPG) merupakan dua jenis indikator yang sering digunakan dalam analisis
capaian pembangunan negara dan wilayah. IPM secara khusus mengukur capaian
pembangunan manusia yang terdiri dari tiga komponen, yaitu pembangunan
ekonomi yang diukur dengan pendapatan per kapita dan didekati dengan
pengeluaran per kapita, pembangunan kesehatan yang diukur dengan angka
harapan hidup dan pembangunan pendidikan yang diukur dengan angka melek
huruf. IPM yang lebih tinggi menunjukkan capaian pembangunan yang lebih baik
pula.

Walaupun dengan menggunakan IPM akan dapat dilakukan analisis

terhadap capaian pembangunan di suatu wilayah, akan tetapi indikator ini tidak
mampu mencerminkan disparitas gender yang justru sedang menjadi perhatian
global. Untuk memenuhi kebutuhan terakhir maka disusun Indeks Pembangunan
Gender (IPG), yang pada dasarnya hampir sama dengan IPM tetapi dilakukan
pemilahan jenis kelamin untuk masing-masing komponennya. Jadi, dengan
menggunakan IPG akan dapat diukur capaian pembangunan manusia yang telah
memasukkan aspek disparitas gender. Penting untuk dicatat bahwa IPG

43

sebenarnya merupakan IPM setelah dikoreksi dengan tingkat disparitas


gendernya. Artinya, nilai maksimal dari IPG di suatu wilayah tidak akan pernah
melampaui nilai IPM-nya. Nilai IPG yang semakin jauh dari nilai IPM-nya
memperlihatkan bahwa disparitas gender yang terjadi di wilayah pengamatan juga
akan semakin tinggi pula. Dalam kondisi ideal maka selisih antara IPM dan IPG
akan mendekati nol (KPPPA, 2012a).
Untuk mendorong pembangunan gender di daerah agar lebih intensif,
pemerintah seyogyanya memberikan perhatian yang lebih besar pada provinsi
yang pencapaian IPG masih rendah atau dibawah rata-rata nasional dan provinsi
dengan kesenjangan IPM dan IPG yang masih besar. Berdasarkan pada kriteria
tinggi rendahnya pencapaian IPG dan kesenjangan IPM IPG maka hasil
pengolahan dengan teknik CPI dapat ditunjukkan prioritas pembangunan gender
di tingkat provinsi seperti disajikan pada Tabel 6. Sedangkan penentuan prioritas
untuk tingkat kabupaten/kota dalam provinsi yang menjadi prioritas dapat
ditentukan dengan teknik dan kriteria yang sama dengan penentuan prioritas
tingkat provinsi.
Sedangkan untuk mendorong pemberdayaan gender di tingkat provinsi,
seyogyanya pemerintah memberikan upaya yang lebih besar kepada provinsi
dengan kriteria pencapaian IDG dan IPG serta IPM. Berdasarkan kriteria ini
maka hasil pengolahan dengan teknik CPI dapat ditunjukkan prioritas
pemberdayaan gender di tingkat provinsi seperti disajikan pada Tabel 7.

Tabel 6. Prioritas pembangunan gender tingkat provinsi

44

Sumber: Hasil pengolahan data sekunder

Tabel 7. Prioritas pemberdayaan gender dan pembangunan tingkat provinsi


45

Sumber: Hasil pengolahan data sekunder

46

BAB IV
ISU-ISU PRIORITAS
Hak asasi manusia merupakan sekumpulan hak yang melekat pada hakikat
dan keberadaan manusia sebagai makhluk hidup yang wajib dihormati, dijunjung
tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Penghormatan,
perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia, termasuk hak asasi laki-laki dan
hak asasi perempuan termaktub dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). UUD 1945 mengamanatkan 14 (empat belas)
Rumpun Hak Dasar dan terjabarkan dalam 40 (empat puluh) Hak Konstitusional
bagi seluruh warga negara Indonesia. UUD 1945 juga menjamin hak setiap warga
negara Indonesia untuk dapat menikmati dan berpartisipasi dalam pembangunan
di berbagai bidang. Namun, kenyataan masih menunjukkan bahwa dalam hal
perolehan akses, manfaat, dan partisipasi dalam pembangunan serta kontrol
terhadap sumber daya masih terdapat kesenjangan antara penduduk perempuan
dan laki-laki (KPPPA, 2012a).
Di samping itu, keberhasilan pencapaian pembangunan seyogyanya tidak
diukur dari pencapaian pembangunan ekonomi semata, melainkan dilihat juga dari
pembangunan sumber daya manusianya. Pembangunan kualitas hidup manusia
merupakan upaya terus menerus yang dilakukan pemerintah dalam rangka
mencapai kehidupan yang lebih baik. Upaya pembangunan ini ditujukan untuk
kepentingan seluruh penduduk tanpa membedakan laki-laki atau perempuan.
Namun, dalam pelaksanaannya masih terdapat kelompok penduduk perempuan
yang tertinggal dalam pencapaian kualitas hidup. Ketertinggalan ini dapat terjadi
akibat belum terintegrasikannya secara penuh kesetaraan dan keadilan gender
dalam

pembangunan.

Di

lain

pihak,

keberhasilan

pembangunan

yang

dilaksanakan oleh pemerintah, swasta maupun masyarakat sangat tergantung dari


peran serta seluruh penduduk laki-laki maupun perempuan sebagai pelaku dan
sekaligus pemanfaat dari hasil pembangunan.

Sebagai pelaku pembangunan,

sebenarnya perempuan dituntut untuk berkualitas. Perempuan yang berkualitas


akan dapat menjadi mitra kerja aktif laki-laki dalam mengatasi berbagai masalah

47

sosial, ekonomi maupun politik untuk menjamin pemerataan dan keberhasilan


pembangunan itu sendiri. Perempuan yang berkualitas juga akan sangat nyata
mempengaruhi kualitas generasi penerus karena fungsi reproduksi perempuan
berperan penting dalam pengembangan sumber daya manusia di masa datang.
Namun, peran serta perempuan sebagai pelaku dalam pelaksanaan pembangunan
masih belum dapat dioptimalkan. Faktor penyebab belum optimalnya peran serta
perempuan dalam pembangunan karena masih rendahnya kualitas sumber daya
perempuan sehingga belum mampu bermitra secara sinergis dan sejajar dengan
laki-laki dalam berbagai bidang pembangunan (KPPPA, 2012b).
Untuk memperkecil kesenjangan antara laki-laki dan perempuan, gender
telah ditetapkan sebagai salah satu prinsip yang harus diarusutamakan dalam
pelaksanaan pembangunan.

Landasan untuk pelaksanaan pengarusutamaan

gender dalam pembangunan ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun


2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 20052025. Lebih lanjut dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
2010-2014, pengarusutamaan gender meliputi tiga kebijakan nasional, yaitu
1) peningkatan kualitas hidup dan peran perempuan dalam pembangunan,
2) perlindungan perempuan terhadap berbagai tindak kekerasan, dan 3) peningkatan kapasitas kelembagaan pengarusutamaan gender dan pemberdayaan
perempuan.

Kelembagaan menurut Ridgeway (2011) merupakan salah satu

kekuatan yang dapat mendorong terwujudnya kesetaraan gender.

Dinamika

organisasi ekonomi dan sosial sebagai bagian dari kelembagaan ekonomi dan
sosial dapat merasionalisasikan prosedur dan mekanisme kerjanya sehingga
menghasilkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam kerangka efisiensi
dan optimalisasi organisasi. Dinamika ekonomi dan sosial yang mengarah kepada
kesetaraan gender ini diperkuat juga oleh peningkatan rasional individu untuk
mematuhi hak-hak asasi manusia dan ketentuan hukum yang melarang adanya
praktek diskriminasi dalam pendidikan, pekerjaan maupun aspek lain dalam
kehidupan sosial. Kekuatan lain yang dapat memperkecil kesenjangan antara lakilaki dan perempuan adalah inovasi sosial dan teknologi.

Inovasi sosial dan

teknologi akan membawa perubahan dalam menawarkan solusi terhadap masalah


ketidak-efisienan ekonomi dan kehidupan sosial serta akan menciptakan peluang

48

untuk

mengerjakan

sesuatu

dengan

cara

yang

berbeda,

khususnya

pengorganisasian relasi sosial dengan cara yang baru dan mengarah kepada
kesetaraan gender. Di samping itu, keinginan perempuan dan komitmen laki-laki
dan perempuan untuk meningkatkan kualitas hidup perempuan melalui pilihanpilihan kehidupan sehari-hari dalam bidang pekerjaan (ekonomi), relasi sosial
maupun politik merupakan kekuatan lain yang dapat mendorong untuk
mewujudkan kesetaraan gender.
Upaya untuk mencapai kesetaraan gender telah mengalami kemajuan di
beberapa area kunci kebutuhan dasar yaitu pada bidang kesehatan dan pendidikan,
terbuka kesempatan yang lebih besar bagi perempuan untuk berpartisipasi dan
pengambilan keputusan maupun ketersediaan perangkat hukum yang diperlukan
untuk pengarusutamaan gender dalam pembangunan. Indeks paritas gender di
bidang pendidikan telah tercapai.

Kesehatan ibu telah meningkat secara

signifikan dan tidak ada kesenjangan gender yang berarti pada kematian bayi dan
anak di bawah umur lima tahun. Tingkat partisipasi tenaga kerja perempuan terus
tumbuh dengan tingkat penghasilan perempuan berpendidikan yang lebih baik
dibanding dengan laki-laki.

Representasi politik perempuan juga meningkat

walaupun masih belum dapat memenuhi kuota yang telah disediakan. Namun,
tantangan kesetaraan dan keadilan gender, pemberdayaan perempuan dan
penghapusan kekerasan terhadap perempuan masih cukup besar di masa
mendatang. Beberapa tantangan yang masih harus mendapatkan perhatian yang
besar antara lain implementasi komitmen global untuk kesetaraan gender, belum
mantapnya

kelembagaan

pengarusutamaan

gender

dalam

pembangunan,

kekerasan terhadap perempuan dan anak, pengarusutamaan gender dalam


implementasi proses pendidikan, isu-isu gender dan anak dalam kesehatan,
ketenagakerjaan informal, trafficking perempuan dan anak, politik dan
pengambilan keputusan, serta gender dan bencana alam perubahan iklim.
4.1. Kesetaraan Gender Dalam Komitmen Global
Peran penting perempuan dalam pembangunan semakin mendapat
perhatian. dan kesadaran masyarakat dunia untuk melaksanakan pembangunan
yang berbasiskan gender juga semakin besar. Beragam persoalan yang dialami

49

perempuan sehingga menyebabkan adanya ketidaksetaraan akses, partisipasi


maupun memperoleh manfaat pembangunan serta kontrol terhadap sumber daya
menjadi perhatian dan keprihatinan dunia. Keprihatinan negara-negara di dunia ini
diwujudkan dalam berbagai bentuk pertemuan yang menghasilkan beragam
deklarasi, konvensi maupun kesepakatan yang telah tercatat dalam dokumen yang
tidak mengikat (legally non-binding) maupun dokumen yang mengikat (legally
binding) bagi negara-negara yang telah menyepakatinya. Kesepakatan ini dimulai
dari dicetuskannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (The Universal
Declaration of Human Rights) oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa
pada tahun 1948 dan selanjutnya diikuti oleh berbagai deklarasi dan konvensi
lainnya (KPPPA, 2012).
Kondisi pada waktu itu setelah Deklarasi Universal HAM menurut Sitorus
(2006) menunjukkan bahwa secara statistik terdapat perbedaan nyata secara
ekonomi dan sosial antara laki-laki dan perempuan.

Perempuan merupakan

golongan mayoritas dari kelompok orang miskin di dunia dan jumlah perempuan
di pedesaan miskin telah meningkat 50% sejak tahun 1975. Perempuan juga
merupakan mayoritas penyandang buta huruf di dunia. Perempuan di Asia dan
Afrika setiap minggu bekerja 13 jam lebih

banyak dari pada laki-laki dan

sebagian besar tidak mendapatkan bayaran. Di seluruh dunia penghasilan


perempuan berkisar antara 30 sampai 40 persen lebih rendah dari penghasilan
laki-laki untuk suatu pekerjaan yang sama. Bahkan hampir di seluruh dunia
hanya 10 sampai 20 persen jabatan manajerial dan administrasi dilakukan oleh
perempuan dan kurang dari 20 persen untuk jabatan di pabrik.

Pekerjaan

perempuan di rumah dan dalam lingkup keluarga tidak dibayar dan apabila
pekerjaan ini diperhitungkan sebagai produktivitas nasional maka penghasilan
global akan meningkat antara 25 sampai 30%.

Kondisi ini mendorong

ditetapkannya oleh Majelis PBB pada tahun 1979 Konvensi Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All
Forms of Discrimination Against Women CEDAW).
CEDAW merupakan konvensi yang mengikat bagi negara yang telah
meratifikasinya.

Indonesia telah meratifikasi CEDAW dan mengesahkan

konvensi ini melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1984.

50

Pemerintah Indonesia menyetujui CEDAW sebagai perwujudan keinginan untuk


berpartisipasi dalam usaha-usaha internasional menghapus segala bentuk
diskriminasi terhadap perempuan karena isinya sesuai dengan dasar negara
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menetapkan bahwa segala negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan. Ketentuan dalam
konvensi CEDAW tidak akan mempengaruhi asas dan ketentuan dalam peraturan
perundangan nasional yang mengandung asas persamaan hak antara laki-laki dan
perempuan sebagai perwujudan tata hukum Indonesia yang sudah dianggap baik
atau lebih baik bagi dan sesuai, serasi serta selaras dengan aspirasi bangsa
Indonesia. Sedangkan dalam pelaksanaannya, ketentuan dalam konvensi CEDAW
disesuaikan dengan tata kehidupan masyarakat yang meliputi nilai-nilai budaya,
adat istiadat serta norma-norma keagamaan yang masih berlaku dan diikuti secara
luas oleh masyarakat (UU Nomor 7 tahun 1984).
CEDAW menurut UN Women (2010), berupaya untuk menghapus
diskriminasi terhadap perempuan dalam segala bentuk dan perwujudannya dengan
berlandaskan pada tiga prinsip kunci, yaitu prinsip kesetaraan substantif, nondiskriminasi dan kewajiban negara.

Ketiga prinsip ini membingkai kerangka

konseptual yang menjadi komitmen dan tertuang dalam konvensi yang terdiri dari
preambul dan 30 pasal.

Pasal-pasal ini mengatur tentang kewajiban substantif

negara, Komite CEDAW, fungsi dan prosedurnya, serta administrasi, interpretasi


dan masalah lain. Kewajiban substantif menurut CEDAW meliputi :
1. Kewajiban umum negara untuk menghapus dan memastikan kesetaraan,

2.
3.
4.
5.
6.
7.

yang meliputi :
a. Penjaminan kesetaraan dan non-diskriminasi
b. Larangan diskrimisasi
c. Perlindungan hukum perempuan
d. Lembaga dan mekanisme untuk implementasi dan monitoring
e. Inkorporasi dan aplikasi perjanjian
f. Langkah-langkah khusus sementara
Kekerasan berbasis gender
a. Kekerasan dalam rumah tangga
b. Perkosaan dan bentuk-bentuk penyerangan seksual lainnya
Perdagangan dan eksploitasi prostitusi
Kehidupan politik dan publik
Kewarganegaraan
Pendidikan
Ketenagakerjaan

51

8. Kesehatan
9. Kehidupan ekonomi dan sosial
10. Perempuan pedesaan
11. Kesetaraan dihadapan hukum
12. Perkawinan dan keluarga
Negara yang telah meratifikasi CEDAW memiliki komitmen untuk
melaksanakan kewajiban yang tertuang dalam konvensi dan menyampaikan
laporan tentang langkah-langkah legislatif, kehakiman, administratif atau lainnya
yang telah diadopsi untuk memberi pengaruh tingkat pemenuhan kewajiban pada
ketetapan konvensi CEDAW. Laporan ke-6 dan 7 dari Indonesia mendapatkan
apresiasi untuk kemajuan yang telah dicapai dalam pencapaian kesetaraan
perempuan. Beberapa hal mendasar yang masih perlu mendapatkan perhatian
meliputi :
1. Kemungkinan perempuan kurang menyadari akan hak-haknya berdasarkan
konvensi CEDAW atau Undang-Undang Nomor 28 tahun 1984 sehingga
tidak memiliki kapasitas untuk mengklaim hak-haknya.
2. Kemungkinan kurang sadarnya pengadilan, profesional di bidang hukum
dan aparat penegak hukum terhadap kewajiban dalam CEDAW maupun
kegagalan untuk secara penuh dan sistematis mengintegrasikan kewajibankewajiban dalam CEDAW ke dalam perundang-undangan Indonesia.
3. Pengertian dan definisi diskriminasi yang termuat dalam Undang-Undang
Nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia, yaitu diskriminasi
adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung
ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar
agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status
ekomomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik. yang berakibat
pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan
atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan
baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum,
sosial, budaya. dan aspek kehidupan lainnya masih memberikan peluang
untuk terjadinya diskriminasi terhadap perempuan.
4. Kekhawatiran kegagalan untuk secara konsisten mengimplementasikan
ketentuan dalam CEDAW pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota karena
setelah penerapan kebijakan desentralisasi banyak pemerintah daerah yang

52

menerbitkan peraturan dan kebijakan yang sangat diskriminatif terhadap


perempuan.
5. Praktek sunat perempuan merupakan pelanggaran hak asasi manusia.
6. Upaya penghapusan stereotip melalui review kurikulum dan introduksi
perspektif gender dalam pendidikan dan agama serta kampanye kesadaran
melalui media telah dilakukan, akan tetapi stereotip yang berakar dari
norma budaya, tradisi, sikap patriarki terkait peran, tanggung jawab dan
identitas laki-laki dan perempuan dalam keluarga dan masyarakat
dikhawatirkan

akan

masih

persisten.

Persistensi

stereotip

ini

dikhawatirkan akan berkontribusi dalam persistensi kekerasan terhadap


perempuan dan anak perempuan.
7. Keterbatasan informasi tentang prevalensi kekerasan terhadap perempuan
dan ketiadaan mekanisme monitoring untuk penegakan hukum UndangUndang Nomor 23 tahun 2004 tentang kekerasan dalam rumah tangga
serta belum ada pengaturan perkosaan dalam perkawinan sebagai sebuah
pelanggaran.
8. Keterbatasan data dan informasi perdagangan orang, kesenjangan
penegakan hukum Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang
Pemberantasan

Tindak

Pidana

Perdagangan

Orang

terhadap

pemberantasan kejahatan perdagangan orang, Rencana Aksi Nasional


Penghapusan Perdagangan Wanita dan Anak, rendahnya jumlah pelaku
perdagangan orang yang dihukum, dan persistensi ekploitasi seksual
prostitusi perempuan dan anak perempuan.
9. Keprihatinan terhadap status perempuan pedesaan dan pedalaman yang
kondisinya miskin dan terbatas dalam akses pendidikan, kesehatan,
pelayanan sosial serta adanya diskriminasi dalam kepemilikan dan
pewarisan lahan.
Sedangkan rekomendasi yang disarankan untuk dapat ditunaikan sebagai
kewajiban atau komitmen terhadap CEDAW meningkatkan kesetaraan perempuan
dengan laki-laki meliputi :
1. Peningkatan kesadaran perempuan terhadap hak-hak perempuan dan upaya
penegakan hukumnya serta penyebaran informasi kepada perempuan dan
laki-laki tentang CEDAW dengan berbagai cara termasuk melalui media,

53

2. Penyediaan pelatihan kepada hakim, termasuk hakim Pengadilan Agama,


jaksa dan pengacara agar budaya hukum dapat mendukung kesetaraan
laki-laki dan perempuan serta non-diskriminasi berbasis jenis kelamin
dapat terbangun.
3. Pengintegrasian dan pengadopsian prinsip-prinsip, konsep dan kewajiban
CEDAW ke dalam ketentuan perundangan dan peraturan nasional maupun
daerah.
4. Advokasi

pengambil

kebijakan

bahwa

pemberdayaan

perempuan

merupakan cara untuk meningkatkan demokrasi, non-diskriminasi dan


kesetaraan gender.
5. Penguatan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak dan kelembagaan pemberdayaan perempuan pada tingkat provinsi
dan kabupaten/kota dengan penyediaan sumber daya manusia, kemampuan
teknis dan finansial agar dapat berfungsi secara efektif serta memastikan
aktifitasnya didukung secara penuh pada semua tingkatan.
6. Pengembangan strategi komprehensif dan tindakan sistematis dengan
pendekatan berorientasi pada hasil (result-oriented approach) untuk
memodifikasi atau menghapuskan stereotip dan praktek-praktek yang
membahayakan perempuan dan anak perempuan. Upaya ini merupakan
upaya yang terpadu dengan kerangka waktu yang jelas dan berkolaborasi
dengan masyarakat madani dan melibatkan sistem sekolah, media,
komunitas keagamaan dan tokoh masyarakat untuk memberikan
pendidikan dan peningkatan kesadaran masyarakat.
7. Pemberantasan akar masalah penyebab perdagangan orang dengan
peningkatan potensi ekonomi perempuan dan peningkatan kesadaran
masyarakat pedesaan dan daerah asal pekerja migran perempuan terhadap
bahaya perdagangan orang dan penyampaian informasi modus operandi
perdagangan orang.
8. Pembangunan basis data dan mekanisme yang tepat untuk identifikasi
awal dan referensi agar dapat dilakukan asistensi dan dukungan kepada
korban perdagangan orang, termasuk pekerja migran perempuan dan
penyediaan layanan bantuan, rehabilitasi, pemulihan dan reintegrasi.
9. Pelatihan pejabat kehakiman dan penegakan hukum, pekerja sosial,
penyedia layanan kesehatan menyangkut perkosaan dan serangan seksual

54

dengan cara-cara standar yang sensitif gender dalam menangani korban


dan kasus perkosaan dan serangan seksual.
10. Peningkatan perhatian kepada perempuan pedesaan dan pedalaman untuk
memastikan ketersediaan akses terhadap kesehatan, pendidikan, air bersih,
sanitasi lingkungan dan kegiatan ekonomi untuk menambah penghasilan,
serta penghapusan diskriminasi terhadap perempuan dalam kepemilikan
dan pewarisan lahan.
11. Pengembangan strategi yang efektif dengan prioritas dan waktu yang jelas
untuk penghapusan diskriminasi terhadap perempuan dalam aspek
perkawinan dan hubungan keluarga. Di samping itu, direkomendasikan
juga untuk mengkaji ulang Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
perkawinan untuk memastikan pelarangan poligami, menetapkan umur
minimal perkawinan bagi laki-laki dan perempuan pada umur 18 tahun,
menghilangkan perbedaan peran laki-laki dan perempuan dalam rumah
tangga, menyediakan perlindungan kepada perempuan yang melakukan
pernikahan lain agama, menjamin hak pewarisan yang sama sebagai anak
perempuan maupun istri, dan mensyaratkan pendaftaran perkawinan dalam
pendaftaran resmi bagi perempuan.
12. Peningkatan aktifitas penyadaran tentang dampak negatif pernikahan dini
bagi perempuan sehingga perlu dihindari.
Jalan menuju kesetaraan gender dalam konteks komitmen global selanjutnya
dipertegas kembali melalui deklarasi Beijing and Platform for Action dalam
Konferensi Dunia IV tentang Perempuan di Beijing pada tahun 1995. Platform
for Action merupakan agenda untuk pemberdayaan perempuan.

Peningkatan

kualitas hidup perempuan dan pencapaian kesetaraan laki-laki dan perempuan


merupakan hak asasi manusia dan merupakan kondisi keadilan sosial.
Pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender diyakini merupakan prasyarat
untuk ketahanan politik, sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan bagi
masyarakat. Tujuan dan aksi strategik yang harus menjadi fokus aksi dan curahan
sumber daya mencakup area kritis berikut:
1. Perempuan dan kemiskinan
2. Pendidikan dan pelatihan bagi perempuan
3. Perempuan dan kesehatan
55

4. Kekersan terhadap perempuan


5. Perempuan dan konflik bersenjata
6. Perempuan dan ekonomi
7. Perempuan dan kekuasaan serta pengambilan keputusan
8. Mekanisme kelembagaan untuk kemajuan perempuan
9. Hak asasi perempuan
10. Perempuan dan media
11. Perempuan dan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup,
serta
12. Diskriminasi dan pelanggaran hak anak perempuan
Selanjutnya pada tahun 2000, 189 negara anggota PBB telah menyepakati
tentang Deklarasi Milenium (Millennium Declaration) untuk melaksanakan
Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals - MDGs)
dengan menetapkan target keberhasilannya pada tahun 2015. Menurut Waldorf
(2007), Deklarasi Milenium dan Tujuan Pembangunan Milenium telah membuka
pintu baru bagi kemajuan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender
karena

ketidaksetaraan

gender

sangat

terkait

dengan

setiap

tantangan

pembangunan yang ingin diatasi dengan MDGs. Deklarasi Milenium menyatakan


secara tegas untuk memerangi segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan
untuk mengimplementasikan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan (CEDAW). Lebih lanjut diakui arti penting mempromosikan
kesetaraan dan keadilan gender dan pemberdayaan perempuan sebagai jalan yang
efektif untuk memerangi kemiskinan, kelaparan dan penyakit serta untuk
mendorong pembangunan yang benar-benar berkelanjutan. Deklarasi Milenium
juga menegaskan kembali peran sentral kesetaraan gender dari perspektif Beijing
Platform for Action, Konferensi Dunia Keempat tentang Perempuan di Beijing.
Ada delapan komitmen kunci yang ditetapkan dan disepakati dalam MDGs, yaitu:
1. Menghapus kemiskinan ekstrim dan kelaparan
2. Mencapai pendidikan dasar universal
3. Mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan
4. Penurunan angka kematian balita
5. Memperbaiki kesehatan ibu

56

6. Memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit-penyakit lain


7. Memastikan kelestarian lingkungan
8. Mengembangkan kemitraan global bagi pembangunan
Kesetaraan gender adalah inti dari tujuan-tujuan MDGs yang akan dicapai.
Sebagai bagian dari masyarakat dunia, Indonesia ikut serta melaksanakan
komitmen dengan mendorong upaya pembangunan menuju kesetaraan gender.
Untuk itu, pemerintah berkomitmen melaksanakan tujuan Pembangunan
Milenium (MDGs) dengan salah satu targetnya, menghilangkan ketimpangan
gender di tingkat pendidikan dasar dan lanjutan pada tahun 2005, dan di semua
jenjang pendidikan tidak lebih dari tahun 2015.

Berdasarkan data statistik,

tampaknya tujuan MDGs dalam bidang gender sudah pada jalurnya (on the track).
Dua dari enam indikator yang tercantum dalam target MDGs bahkan sudah
melampaui target yang ditetapkan. Dua indikator tersebut yaitu rasio anak
perempuan di Sekolah Menengah Pertama dan rasio anak perempuan di Sekolah
Menengah Atas dengan capaian pada tahun 2011 masing-masing sebesar 103,45
persen dan 101,41 persen, dimana target dari kedua indikator tersebut sebesar 100
persen. Sementara keempat target lainnya capaiannya sudah sangat bagus di atas
97 persen. Apabila capaian ini dapat dipertahankan dan ditingkatkan, maka
harapan unutk mencapai target MDGs sangat mungkin diwujudkan (KPPPA,
2012). Seyogyanya tujuan MDGs diperlakukan tidak sebagai agenda yang baru
sama sekali, tetapi merupakan wahana baru untuk implementasi CEDAW dan
Beijing Platform for Action.
Berdasarkan pada kerangka kebijakan CEDAW, program dan 12 area kritis
Beijing Platform for Action serta tujuan dan target MDGs, maka dapat digaris
bawahi beberapa hal agar tujuan MDGs dapat menjadi wahana untuk mencapai
kesetaraan gender, yaitu (Neuhold, 2005):
a. Diperlukan komitmen yang kuat untuk mengimplementasikan kerangka
kebijakan CEDAW.
b. Pengembangan strategi dan implementasi Beijing Platform for Action perlu
dirancang bersama-sama dengan melibatkan dan partisipasi aktif dari
pemerintah, pakar perempuan dan laki-laki, lembaga swadaya masyarakat,
masyarakat madani dan pemanfaatan jejaring.

57

c. Reorientasi kebijakan finansial, keuangan dan perdagangan internasional


berlandaskan perspektif hak-hak asasi manusia, keadilan gender dan
pembangunan berkelanjutan.
d. Integrasi perspektif gender yang kuat dan komprehensif berdasarkan
CEDAW dan Beijing Platform for Action ke dalam seluruh tujuan MDGs
dan memperluas cakupan dan target Tujuan Ketiga MDGs untuk:
1. menjamin terpenuhinya hak-hak dasar, kebutuhan dan kapabilitas anak
perempuan dan perempuan dalam bidang gizi dan kesehatan, khususnya
hak-hak reproduksi serta pendidikan,
2. menghapuskan kekerasan terhadap anak perempuan dan perempuan
pada semua tingkatan dalam ranah privat maupun publik,
3. penguatan hak-hak ekonomi anak perempuan dan perempuan dalam
rumah tangga dan ekonomi subsisten sektor formal maupun informal
melalui pemahaman dan penghargaan yang memadai dan dukungan
terhadap aktifitas reproduktif dan produktif, memastikan akses
perempuan terhadap lahan, properti, modal, kredit, pelatihan,
bimbingan

dan

pendampingan,

maupun

teknologi,

peralatan,

infrastruktur dan transportasi, menjamin kesetaraan penghasilan dan


remunerasi serta kepuasan kerja dan jaminan sosial,
4. memastikan perlakuan yang setara bagi anak perempuan dan
perempuan dalam pembagian harta warisan,
5. mendorong pemberdayaan dan kemampuan politik perempuan agar
dapat berpartisipasi pada semua tingkatan politik dan pengambilan
keputusan,
6. penguatan kelembagaan perempuan melalui dukungan infrastruktur
kerjasama yang saling menguntungkan dan pengembangan jejaring
serta dukungan politik yang strategis pada tingkat lokal, nasional
maupun internasional.
4.2. Kekerasan Terhadap Perempuan
Kekerasan terhadap perempuan disadari merupakan salah satu bentuk
diskriminasi dan pelanggaran terhadap hak-hak asasi perempuan.

Kekerasan

terhadap perempuan dapat mengakibatkan kesengsaraan yang tidak terucap,

58

memperpendek umur perempuan, maupun meninggalkan tidak terhitung


perempuan yang hidup dalam kesakitan, kepahitan dan ketakutan. Kondisi ini
membahayakan kondisi keluarga sampai beberapa generasi yang akan datang,
melemahkan komunitas karena perempuan adalah juga bagian dari komunitas,
serta memicu munculnya kekerasan lain dalam komunitas. Kekerasan terhadap
perempuan akan menghambat pemanfaatan potensi dan kemampuan perempuan
sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi dan merugikan pembangunan.
Skala dan cakupan kekerasan terhadap perempuan merupakan refleksi dari
besaran dan persistensi diskriminasi berbasis gender yang berlangsung dalam
masyarakat (UN, 2006). Kekerasan terhadap perempuan, khususnya diskriminasi
gender di ranah privat maupun publik di dalam tataran keluarga, pekerjaan,
kesehatan, pendidikan, pembangunan dan negara telah diupayakan untuk
dihapuskan

secara

internasional

melalui

komitmen

konvensi

CEDAW

sebagaimana tertuang dalam Rekomendasi Umum 19. Diskriminasi gender yang


masih terjadi merupakan salah satu pendorong terjadinya kekerasan terhadap
perempuan dan ketidakadilan gender terhadap perempuan. Diskriminasi gender
dapat terwujud dalam berbagai bentuk yang meliputi tindakan, perilaku hingga
kebijakan yang diskriminatif.

Ketidakadilan gender juga dapat mendorong

terjadinya kekerasan. Kekerasan terhadap perempuan didefinisikan oleh CEDAW


Rekomendasi Umum 19 sebagai bentuk diskriminasi berbasis gender yang
menciptakan hambatan yang serius terhadap pemenuhan hak asasi dan kebebasan
perempuan.
Kekerasan terhadap perempuan merupakan bentuk tindak kekerasan
berbasis gender yang terjadi pada perempuan.
kesengsaraan dan penderitaan.

Dampak kekerasan adalah

Perempuan sangat rentan terhadap kekerasan

karena adanya ketidaksetaraan konstruksi sosial budaya antara laki-laki dan


perempuan.

Ketidaksetaraan ini menyebabkan timbulnya berbagai bentuk

diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan di berbagai bidang kehidupan.


Secara kuantitas, total jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan yang berhasil
dihimpun oleh Komnas Perempuan (2013) pada tahun 2012 mencapai 216.156
kasus. Jumlah kasus ini merupakan kasus yang dilaporkan dan ditangani oleh
berbagai lembaga pengada layanan di Indonesia. Namun, angka ini diyakini

59

sebagai fenomena gunung es, masih sangat banyak perempuan korban tindak
kekerasan yang tidak mampu dan tidak berani mengemukakan pengalaman
kekersan yang dialaminya. Diduga banyak juga perempuan yang tidak mau atau
tidak berani mendatangi lembaga pengada layanan untuk meminta bantuan.
Walaupun demikian, kecenderungan (Gambar 15), lokasi kejadian, karakteristik
dan informasi bentuk kekerasan masih dapat dimanfaatkan untuk bahan
pertimbangan pengembangan kebijakan dan program untuk penghapusan
kekerasan terhadap perempuan.
250,000
200,000
150,000
Jumlah Kasus

100,000
50,000
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

Gambar 15. Kecenderungan jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan


(Komnas Perempuan, 2013)
Bentuk dan ranah kekerasan terhadap perempuan dapat dibedakan menjadi:
a. kekerasan dalam rumah tangga dan relasi personal
b. kekerasan dalam komunitas
c. kekerasan berkaitan dengan peran negara
Berdasarkan pembedaan ini maka kekerasan dalam rumah tangga masih
menempati proporsi yang dominan berdasarkan data tahun 2009 maupun 2012
(Gambar 16). Pada tahun 2009, proporsi kekerasan dalam keluarga dan relasi
personal sebesar 95% dan kekerasan dalam komunitas sebesar 5%, sedangkan
kekerasan berkaitan dengan peran negara kurang dari 0,1%.

Pada tahun 2012,

proporsi kekerasan dalam keluarga dan relasi personal menurun menjadi 66% dan
proporsi kekerasan terhadap perempuan dalam komunitas meningkat menjadi
34%, sedangkan kekerasan yang berkaitan dengan peran negara masih tetap
kurang dari 0,1%.

Bentuk kekerasan terhadap perempuan yang terjadi dalam

keluarga dan relasi personal meliputi kekerasan psikis, fisik, kekerasan seksual
dan kekerasan ekonomi. Jenis kekerasan dalam rumah tangga dan relasi personal
60

yang paling banyak adalah kekerasan terhadap istri dan sisanya mencakup
kekerasan dalam pacaran, kekerasan yang dilakukan oleh mantan suami atau
mantan pacar, dan kekerasan terhadap pekerja rumah tangga.

Faktor penyebab

terjadinya kekerasan dalam keluarga dan relasi personal menurut Hendrya (2011)
adalah karena faktor ketidakadilan gender dan faktor budaya, disfungsi anggota
keluarga dan perselingkuhan serta kurangnya rasa tanggung jawab. Kekerasan
terhadap perempuan akan berdampak secara psikologis. Dampak psikologis yang
dominan akan dirasakan perempuan korban kekerasan adalah timbulnya stres,
depresi, rasa marah, terhina, rasa tidak berdaya, kehilangan nafsu makan, susah
tidur, turun berat badan, sering menangis dan perasaan ingin bunuh diri. Dampak
ini tentu sangat mengganggu perempuan dan konsekuensinya perempuan korban
kekerasan akan kesulitan mengapresiasikan dan mengolah sumber daya yang ada
dalam dirinya untuk dapat menyelesaikan permasalahan dan mengambil
keputusan serta berpartisipasi dalam pembangunan.

Upaya pemberdayaan

psikologis diperlukan dan bermanfaat untuk mengembalikan rasa percaya diri


perempuan yang hancur akibat kekerasan dan membantu korban untuk dapat
menggunakan kembali sumber daya yang dimilikinya seoptimal mungkin. Upaya
pemberdayaan psikologis dapat dilakukan melalui pendampingan dan konseling
psikologis, kepesertaan korban dalam kelompok dukungan, mediasi dan rujukan
ke rumah aman. Sedangkan kekerasan di ranah komunitas mencakup sejumlah
tindak kekerasan seksual, eksploitasi seksual anak, kekerasan di tempat kerja,
penganiayaan dan pemukulan serta kekerasan yang terjadi terhadap pekerja
migran dan trafficking. Kekerasan di ranah komunitas dapat terjadi di kendaraan
umum, perkantoran, perbelanjaan maupun tempat umum dan privat lainnya.
100%
80%
60%
40%
20%
0%
Keluarga dan relasi personal

Tahun 2009
Tahun 2012

Gambar 16. Proporsi bentuk kekerasan terhadap perempuan tahun 2009 dan 2012
Karakteristik korban dan pelaku kekerasan terhadap perempuan yang terdata
pada tahun 2012 disajikan pada Tabel 8 dan 9.

Kelompok umur yang paling


61

rentan menjadi korban kekerasan adalah umur 13 18 tahun (34,9 %) sedangkan


kelompok umur pelaku adalah umur 25 40 tahun (36,0 %). Tingkat pendidikan
korban kekerasan berada pada tingkat pendidikan SLTA (35,3 %) dan disusul
tingkat pendidikan SLTP (19,5 %).

Sedangkan tingkat pendidikan pelaku

kekerasan terhadap perempuan adalah SLTA (44,3 %) dan disusul pelaku dengan
tingkat pendidikan SLTP (20,4 %). Berdasarkan informasi ini dapat dikatakan
bahwa usia dan pendidikan korban sebagian besar berada pada tingkat SLTP dan
SLTA. Perempuan usia anak rentan mengalami kekerasan di ranah komunitas
yang dapat terjadi pada saat perjalanan menuju atau dari sekolah, di dalam
kendaraan umum, di sekolah atau ditempat berkumpulnya anak remaja. Oleh
karena itu, upaya pencegahan kekerasan terhadap perempuan dapat dibangun dan
diintegrasikan dalam proses pendidikan di sekolah formal maupun kelompokkelompok kegiatan remaja. Materi atau pengetahuan untuk merespon terhadap
hal-hal yang berkaitan dengan kekerasan terhadap perempuan perlu diberikan
pada perempuan usia anak SLTP dan SLTA. Di samping itu, mekanisme
pengaduan, penanganan dan pelayanan kekerasan terhadap perempuan dapat
dikembangkan di tingkat sekolah dan pelayanannya ramah terhadap anak
perempuan.
Tabel 8. Persentase tingkat usia korban dan pelaku kekerasan
terhadap perempuan di komunitas tahun 2012
Usia
Kurang 5 tahun
6 - 12 tahun
13 - 18 tahun
19 - 24 tahun
25 - 40 tahun
lebih 40 tahun
lainnya

Korban
2.5
10.
6
34.
9
19.
5
24.
6
6.5
1.4

Pelaku
0.6
1.4
13.8
21.8
36.0
19.0
7.5

Diolah dari Komnas Perempuan (2013)

Tabel 9. Persentase tingkat pendidikan korban dan pelaku

62

kekerasan terhadap perempuan di komunitas tahun 2012


Usia
Tidak sekolah
kurang SD
SD
SLTP
SLTA
PT
lainnya

Korban
3.8
4.1
14.2
30.9
35.3
6.0
5.7

Pelaku
3.0
4.2
12.8
20.4
44.3
11.6
3.7

Diolah dari Komnas Perempuan (2013)


Lembaga yang menangani dan melayani korban kekerasan terhadap
perempuan dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel ini menunjukkan bahwa lembaga
swadaya masyarakat/organisasi masyarakat sipil pada tahun 2009 mempunyai
proporsi yang paling besar (63,6 %) dalam penanganan dan pelayanan untuk
korban kekerasan. Lembaga yang mempunyai kontribusi terbesar kedua adalah
rumah sakit (12,1 %). Pada tahun 2012, proporsi penanganan dan pelayanan
lembaga swadaya masyarakat turun menjadi 19,2 %.

Lembaga yang menonjol

dalam penanganan dan pelayanan kepada korban kekerasan menjadi Kepolisian/


UPPA (32,9 %) dan P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan
dan Anak) (24,3 %). Kondisi ini menunjukkan bahwa P2TP2A dan lembagalembaga lain yang diinisiasi oleh pemerintah dan menjadi mitra kerja P2TP2A
semakin banyak berperan dalam penanganan dan penyediaan pelayanan terhadap
korban kekerasan.
Tabel 10. Proporsi lembaga yang menangani dan melayani korban kekerasan
Lembaga
LSM/OMS
Rumah sakit
P2TP2A
Pengadilan
Negeri
Kepolisian/UPPA
Pengadilan Tinggi
Pemda/BPPKB

Tahun 2009
63.6
12.1
7.8

Tahun 2012
19.2
10.1
24.3

7.6
6.2
2.6
0.2

3.7
32.9
3.7
6.0

Berdasarkan data korban dan pelaku kekerasan terhadap perempuan secara


nasional, untuk sementara dapat disimpulkan bahwa kekerasan terhadap

63

perempuan dalam rumah tangga dan relasi personal masih dominan sampai saat
ini. Pemerintah berkewajiban untuk memecah dikotomi ranah privat dan publik
dengan memberikan perhatian dan terobosan yang dapat mengkaitkan perilaku
privat yang ilegal dengan kebijakan publik.

Artinya, kebijakan publik

dikembangkan sedemikian rupa sehingga dapat menghapus perilaku privat yang


ilegal.

Di samping itu, kekerasan terhadap perempuan pekerja migran dan

trafficking maupun kekerasan lain di ranah komunitas yang proporsinya


cenderung meningkat juga mengindikasikan perlunya peningkatan efektifitas
penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Oleh karena itu, agar kekerasan
terhadap perempuan dapat dihapuskan secara efektif maka pendekatan
penyelesaiannya harus terfokus pada akar permasalahan yang memicu munculnya
kekerasan terhadap perempuan.
Selama ini respon pemerintah terhadap persoalan kekerasan terhadap
perempuan adalah melakukan pendekatan dengan memperlakukan pelanggaran
secara terpisah dari pemahaman sistem patriarki yang mensubordinasi perempuan.
Respon pemerintah dalam penanganan dan pelayanan terhadap korban kekerasan
juga didominasi dengan paradigma kemanusiaan dan dalam kerangka hukum dan
perundang-undangan sehingga memberikan prioritas pada prosedur penyelidikan
dan penyidikan selayaknya kejadian kriminal dengan tanpa atau kurang
memberikan perhatian kepada faktor-faktor penyebab fundamental yang
menyebabkan

kekerasan.

Pemahaman

terhadap

faktor-faktor

penyebab

fundamental ini akan memungkinkan pengembangan upaya-upaya pencegahan


kekerasan terhadap perempuan (Ertrk, 2009).
Lebih lanjut Ertrk (2009) menjelaskan bahwa penyebab fundamental
kekerasan terhadap perempuan adalah norma-norma dan praktek subordinasi
perempuan yang terinstitusionalisasi dalam struktur dan sistem keluarga dan
komunitas. Secara spesific faktor penyebab kekerasan antara lain pola perilaku
individu dan keluarga, kebiasaan penyelesaian konflik melalui kekerasan, doktrin
kekerasan dalam rumah tangga merupakan persoalan privat maupun kurang
aktifnya pemerintah dalam penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
Di samping itu, nuansa perlindungan perempuan dari kekerasan perlu digeser
menjadi nuansa pemberdayaan perempuan dan dilaksanakan pada semua
tingkatan dari keluarga sampai tingkat nasional untuk penghapusan kekerasan

64

terhadap perempuan.

Dalam pemahaman ini agenda penghapusan kekerasan

terhadap perempuan dibangun dalam kerangka pemberdayaan perempuan dengan


penghapusan ketidaksetaraan gender yang mengakibatkan kekerasan gender dan
bukan dalam kerangka perlindungan perempuan karena perempuan itu lemah dan
rentan terhadap kekerasan sehingga perlu dilindungi. Pemberdayaan perempuan
pada tingkat individual dapat diupayakan melalui pemenuhan hak-hak perempuan
dan akses terhadap keadilan, layanan kesehatan dan penguatan ekonomi.
Sedangkan pada tingkat komunitas pemberdayaan perempuan dapat dilakukan
melalui fasilitasi dan dukungan agar perempuan dapat berpartisipasi dan mampu
melakukan negosiasi budaya serta memperluas pilihan-pilihan bagi perempuan.
Hambatan-hambatan budaya terhadap pemenuhan hak-hak asasi perempuan yang
berlaku universal juga merupakan faktor pemicu kekerasan terhadap perempuan.
Proses pergeseran praktek budaya dan sikap masyarakat ke arah pemenuhan hak
asasi perempuan hanya dapat efektif jika dilakukan melalui proses pendidikan dan
disertai layanan kesehatan bagi perempuan.
Di pihak lembaga pengada layanan sendiri, sejumlah faktor menjadi kendala
dalam penyediaan layanan.

Kendala ini meliputi keterbatasan sumber daya

manusia, keterbatasan dana, keterbatasan dukungan masyarakat, maupun


dukungan dari pihak pemerintah. Sejak beberapa tahun terakhir, keterbatasan
dana semakin dirasakan sehingga semakin mengalami kesulitan dalam melakukan
layanan kepada masyarakat (Komnas Perempuan, 2013).

Di samping itu,

menurut Hendrya (2011), pelayanan P2TP2A juga meliputi pemberdayaan


perempuan yang lebih luas, termasuk pemberdayaan psikologis, hukum maupun
ekonomi. Sedangkan menurut KPPPA (2013), program pemberdayaan ekonomi
bagi perempuan korban kekerasan ini mempunyai tujuan salah satunya adalah
penyiapan reintegrasi sosial korban kekerasan sehingga tercipta kemandirian
secara ekonomi dan dapat kembali beraktifitas dalam masyarakat tanpa menjadi
beban. Perluasan pelayanan ini tentu akan memberikan konsekuensi terhadap
peningkatan kebutuhan sumber daya manusia dan dana untuk mendukung
pelayanan yang berdaya guna. Berbagai kendala ini jika tidak segera mendapatkan
perhatian dan solusi dari pihak-pihak yang berkepentingan maka akan
memperpanjang proses upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan.

65

Kekerasan terhadap perempuan bukanlah merupakan perihal yang tidak


dapat dirubah maupun dihindari tetapi merupakan perihal yang dapat direduksi
secara drastis dan pada akhirnya dapt dihapus melalui kemauan politik dan alokasi
sumber daya yang memadai sesuai dengan kebutuhan.

Kekerasan terhadap

perempuan yang berada dalam ranah privat sudah diperluas menjadi perhatian
publik dan menjadi tanggung jawab pemerintah dan masyarakat luas untuk
menghapusnya.

Kekerasan terhadap perempuan merupakan perihal yang

kompleks dan beragam bentuknya.

Penghapusan, khususnya pencegahan

kekerasan terhadap perempuan memerlukan respon yang komprehensif dan


sistematis oleh seluruh pihak-pihak yang berkepentingan pada semua tingkatan
dengan intervensi yang berbeda (Gambar 17). Masyarakat dan komunitas lokal
mempunyai tanggung jawab untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
Laki-laki juga mempunyai peran penting dalam upaya pencegahan kekerasan
terhadap perempuan. Peran laki-laki ini perlu untuk digali lebih lanjut dan juga
diperkuat agar efektifitas penghapusan kekerasan terhadap perempuan dapat
dicapai.

Di samping itu, mekanisme kelembagaan yang kuat pada tingkat

nasional dan daerah yang memberikan prioritas tinggi terhadap upaya


penghapusan kekerasan diperlukan untuk menjamin efektifitas tindakan,
koordinasi dan akuntabilitas kebijakan dan program (UN, 2006).

66

Gambar 17. Model ekologi intervensi pencegahan kekerasan terhadap perempuan


(diadaptasi dari WHO, 2004)

4.3. Kelembagaan Pengarusutamaan Gender


4.3.1. Pengertian Kelembagaan PUG
Implementasi PUG di Indonesia dimulai sejak diterbitkannya Instruksi
Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam
Pembangunan Nasional. PUG merupakan salah satu strategi pembangunan yang
dilakukan

untuk

mencapai

kesetaraan

gender

melalui

pengintegrasian

pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan permasalahan laki-laki dan perempuan


kedalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dari seluruh
kebijakan, proyek dan kegiatan diberbagai bidang kehidupan dan pembangunan.
Tujuan PUG adalah untuk memastikan apakah perempuan dan laki-laki
memperoleh akses terhadap, berpartisipasi dalam, mempunyai kontrol atas, dan
memperoleh manfaat yang sama dari pembangunan. Dengan melakukan PUG
dapat diidentifikasi letak kesenjangan gender. Sebagai strategi pencapaian
kesetaraan gender, PUG akan dapat meningkatkan akuntabilitas pemerintah
terhadap rakyatnya yang pada gilirannya akan memperkuat kehidupan sosial,
politik dan perekonomian bangsa. Kelembagaan PUG adalah kelembagaan yang
memenuhi unsur-unsur prasyarat PUG, yang berfungsi secara efektif dalam satu
sistem berkelanjutan dengan norma yang disepakati dalam pemenuhan hak-hak
asasi perempuan dan laki-laki secara adil untuk mencapai kesetaraan antara
perempuan dan laki-laki di seluruh bidang pembangunan dan tingkatan
pemerintahan. PUG dalam pelaksanaan pembangunan memerlukan prasyarat dan
komponen kunci sebagaimana disajikan pada Tabel 11.

67

Tabel 11. Prasyarat dan komponen kunci Pengarusutamaan Gender


No
A

Prasyarat yang diperlukan


Komitmen Politik (political will) dan
kepemimpinan (leadership) dari
lembaga-lembaga eksekutif, legislatif
dan Yudikatif)
Kerangka kebijakan( policy framework)
sebagai wujud komitmen pemerintah,
dan pemerintah daerah

Komponen Kunci
Peraturan perundang-undangan,
Peraturan/Keputusan, Surat Edaran
Menteri/Kepala LPND, Peraturan
Daerah
Kebijakan, strategi, program, proyek,
kegiatan, kerangka kerja
akuntabilitas, kerangka pemantauan
dan evaluasi
Struktur dan mekanisme pemerintah dan Struktur organisasi pemerintah,
pemerintah daerah yang mendukung
pemerintah daerah yang mempunyai
implementasi PUG
tugas dan fungsi untuk mendukung
pelaksanaan PUG baik dalam bentuk
unit kerja struktural seperti Badan,
Biro, Bagian dan dalam bentuk unit
kerja adhoc, seperti Pokja, focal
point PUG dansebagainya.
Sumberdaya yang memadai
SDM yang memiliki
kesadaran,respon, ketrampilan dan
motivasi untuk melaksanakan
PUG

e
f

Sumber dana dan sarana yang


memadai untuk melaksanakan
PUG

Sistem Informasi dan data terpilah


menurut jenis kelamin
Alat analisis

Data terpilah menurut jenis kelamin


dan statistik gender
Alat analisis gender untuk
perencanaan, penganggaran dan
monev

Dorongan masyarakat madani kepada


pemerintah

Partisipasi masyarakat madani yang


dilakukan dalam mekanisme dialog
dan diskusi dalam proses
perencanaan, penganggaran,
pelaksanaan dan monev

68

Untuk mengetahui sejauhmana pelaksanaan PUG dalam pencapaian


kesetaraan gender ditingkat nasional dan daerah, perlu dilakukan identifikasi
sejauhmana kelembagaan PUG telah memenuhi unsur-unsur prasyarat PUG dan
dapat berfungsi secara efektif dalam satu sistem berkelanjutan baik ditingkat
nasional dan daerah termasuk peran swasta dan masyarakat. Pentingnya upaya
penguatan kelembagaan PUG, diamanatkan dalam Peraturan Presiden No. 5
Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 20102014. Dalam RPJMN 2010-2014, sasaran yang akan dicapai dalam implementasi
pengarusutamaan gender antara lain adalah meningkatnya kesetaraan gender,
yang ditandai dengan meningkatnya efektivitas kelembagaan PUG dalam
perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi kebijakan
dan program pembangunan yang responsif gender di tingkat nasional dan daerah.
4.3.2. Pemenuhan Prasyarat PUG di Kementerian dan Lembaga
a. Komitmen Politik dan Kepemimpinan
Komitmen politik dan kepemimpinan di masing-masing Kementerian dan
Lembaga terhadap PUG, dapat dilihat dari produk peraturan pelaksanaan PUG
yang diterbitkan di setiap Kementerian/Lembaga. Berdasarkan data Evaluasi PP
dan PA tahun 2012, ada 24 Kementerian Lembaga (64 persen) yang sudah
menerbitkan peraturan pelaksanaan PUG yaitu Kementerian Koordinator
Perekonomian,

Kementerian

Dalam

Negeri,

Kementerian

Luar

Negeri,

Kementerian Pertahanan, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian


Keuangan,

Kementerian

Energi

dan

SDM,

Kementerian

Perindustrian,

Kementerian Pertanian, Kementerian Kehutanan, Kementerian Perhubungan,


Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian PU, Kementerian
Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Sosial,
Kementerian Agama, Kementerian Parawisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian
KUKM, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Pembangunan Daerah
Tertinggal, Kementerian PPN/BAPPENAS, BKKBN dan Mahkamah Agung.
Sedangkan 13 Kementerian/Lembaga (36 persen) belum menerbitkan peraturan
pelaksanaan PUG yakni Kementerian Koordinator POLHUKAM, Kementerian
Koordinator

KESRA,

Kementerian

Sekretariat

Negara,

Kementerian

69

Perdagangan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Komunikasi


dan Informatika, Kementerian Riset dan Teknologi, Kementerian PAN dan RB,
Kementerian BUMN, Kementerian Perumahan Rakyat, Kementerian Pemuda dan
Olahraga, Sekretariat Kabinet dan Badan Pertanahan Nasional.
Peraturan pelaksanaan PUG yang diterbitkan oleh Kementerian/Lembaga
seperti tersebut diatas, ternyata ada yang sudah ditindaklanjuti, namun ada juga
yang tidak ditindaklanjuti sama sekali. Ada 22 Kementerian/Lembaga (59 persen)
yang telah menindak lanjuti peraturan pelaksanaan PUG yang telah diterbitkannya
yakni Kementerian

Koordinator Perekonomian, Kementerian Dalam Negeri,

Kementerian Pertahanan, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian


Keuangan,

Kementerian

Energi

dan

SDM,

Kementerian

Perindustrian,

Kementerian Pertanian, Kementerian Kehutanan, Kementerian Perhubungan,


Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian PU, Kementerian
Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Sosial,
Kementerian Agama, Kementerian Parawisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian
Komunikasi dan Informatika, Kementerian KUKM, Kementerian Lingkungan
Hidup, Kementerian PPN/BAPPENAS dan Mahkamah Agung.
Sedangkan yang tidak menindaklanjuti peraturan pelaksanaan PUG yang
diterbitkannya ada 15 Kementerian/Lembaga (41 persen) yakni Kementerian
Koordinator

POLHUKAM, Kementerian Koordinator KESRA, Kementerian

Sekretariat Negara, Kementerian Luar Negeri, Kementerian

Perdagangan,

Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Riset dan Teknologi,


Kementerian PAN dan RB, Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal,
Kementerian BUMN, Kementerian Perumahan Rakyat, Kementerian Pemuda dan
Olahraga, Sekretariat Kabinet, Badan Pertanahan Nasional dan BKKBN.
Secara ringkas, diketahui bahwa 24 K/L (64%) telah memiliki peraturan
pelaksanaan PUG dan 13 K/L (36%) belum menerbitkan peraturan pelaksanaan
PUG. Di samping itu, 22 K/L (59%) telah menindak lanjuti peraturan pelaksanaan
PUG, 15 K/L (41%) belum menindak lanjutinya.
b. Kerangka Kebijakan
Dalam rangka pelaksanaan PUG pada tataran kebijakan, beberapa
Kementerian/Lembaga telah mengintegrasikan isu gender dalam dokumen

70

Rencana Strategis (Renstra) dan Rencana Kerja (Renja) Kementerian/Lembaga.


Berdasarkan data Evaluasi PP dan PA tahun 2012, ada 17 Kementerian/Lembaga
(46 persen) yang telah mengintegrasikan isu gender dalam dokumen Renstra yaitu
Kementerian

Koordinator

Perekonomian,

Kementerian

Dalam

Negeri,

Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertahanan, Kementerian Pertanian,


Kementerian

Kehutanan,

Kementerian

Tenaga

Kerja

dan

Transmigrasi,

Kementerian PU, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan


Kebudayaan, Kementerian Sosial, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif,
Kementerian

KUKM,

PPN/BAPPENAS,

Kementerian

BKKBN

dan

Lingkungan
Mahkamah

Hidup,

Agung.

Kementerian

Sedangkan

20

Kementerian/Lembaga (54 persen) tidak mengintegrasikan isu gender dalam


dokumen

Renstra

K/L

yakni

Kementerian

Koordinator

POLHUKAM,

Kementerian Koordinator KESRA, Kementerian Sekretariat Negara, Kementerian


Hukum dan HAM, Kementerian Keuangan, Kementerian Energi dan SDM,
Kementerian Energi dan SDM, Kementerian Perindustrian, Kementerian
Perdagangan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perhubungan,
Kementerian Agama, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian
Riset dan Teknologi, Kementerian PAN dan RB, Kementerian Pembangunan
Daerah Tertinggal, Kementerian BUMN, Kementerian Perumahan Rakyat,
Kementerian Pemuda dan Olahraga, Sekretariat Kabinet dan Badan Pertanahan
Nasional.
Sebagai bagian dari kerangka kebijakan (policy framework) yang juga
merupakan wujud komitmen, ada 19 Kementerian/Lembaga (51 persen) yang
sudah mengintegrasikan isu gender kedalam dokumen Renja Kementerian/
Lembaga yakni Kementerian Sekretariat Negara, Kementerian Dalam Negeri,
Kementerian Luar Negeri, Kementerian Hukum dan HAM,

Kementerian

Perdagangan, Kementerian Pertanian, Kementerian Kehutanan, Kementerian


Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian PU, Kementerian Kesehatan,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Sosial, Kementerian
Agama, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian KUKM,
Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian PPN/BAPPENAS, BKKBN dan
Mahkamah Agung. Sedangkan 18 Kementerian/Lembaga lainnya (49 persen)

71

belum

mengintegrasikan

Kementerian/Lembaga

yaitu

isu

gender

Kementerian

kedalam

dokumen

Koordinator

Renja

POLHUKAM,

Kementerian Koordinator KESRA, Kementerian Koordinator Perekonomian,


Kementerian Pertahanan, Kementerian Keuangan, Kementerian Energi dan SDM,
Kementerian Perindustrian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian
Perhubungan, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian Riset
dan Teknologi, Kementerian PAN dan RB, Kementerian Pembangunan Daerah
Tertinggal, Kementerian BUMN, Kementerian Perumahan Rakyat, Kementerian
Pemuda dan Olahraga, Sekretariat Kabinet dan Badan Pertanahan Nasional.
Berdasarkan uraian diatas maka diketahui bahwa 17 K/L (46%) sudah
mengintegrasikan isu gender dalam Renstra dan 20 K/L (54%) belum
mengintegrasikan isu gender dalam Renstra. Di samping itu, 19 K/L (51%) sudah
mengintegrasikan isu gender dalam Renja dan 18 K/L (49%) belum
mengintegrasikan isu gender dalam Renja.
c. Struktur dan Mekanisme
Pelaksanaan program pemberdayaan perempuan diawali pada tahun 1978.
Pelaksanaan program pemberdayaan perempuan ini bertujuan untuk mendorong
peran perempuan yang lebih luas dan beragam, tidak hanya terbatas pada kegiatan
sosial-reproduktif dalam ranah domestik tetapi lebih meluas pada

peran

perempuan di ranah publik. Untuk menunjang keberhasilan pemberdayaan


perempuan tersebut, maka pemerintah telah membentuk

lembaga

yang

menangani pemberdayaan perempuan. Periodisasi perkembangan lembaga yang


menangani kebijakan dan program pemberdayaan perempuan dan perlindungan
anak di tingkat nasional adalah sebagai berikut:

Menteri Muda Urusan Peranan Wanita (1978-1983);

Kementerian Negara Urusan Peranan Wanita (1983- 1987);

Kementerian Negara Urusan Peranan Wanita (1987-1988);

Kementerian Negara Urusan Peranan Wanita (1988-1993);

Kementerian Negara Urusan Peranan Wanita ( 1993- 1998);

Kementerian Negara Peranan Wanita (1998-1999);

Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (1999-2001);

72

Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (2001-2004 );

Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (2005-2009);

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2010


sampai sekarang).
Dengan terbitnya Instruksi Presiden No. 9 Tahun

2000

tentang

Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional, maka mekanisme


kelembagaan baik di pusat maupun di daerah, sesuai dengan tugas pokok dan
fungsinya diwajibkan melaksanakan pengarusutamaan gender dalam keseluruhan
siklus pembangunan. Mandat kepada Kementerian Negara Pemberdayaan untuk
melaksanakan PUG sebagaimana tertuang dalam diktum ketiga Instruksi Presiden
No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional,
yang menginstruksikan agar Menteri Pemberdayaan Perempuan untuk memberikan
bantuan teknis kepada instansi dan lembaga pemerintah di tingkat pusat dan daerah
dalam pelaksanaan pengarusutamaan gender serta melaporkan hasil pelaksanaan
PUG kepada Presiden. Bantuan teknis dapat berupa panduan, pelatihan, konsultasi,
informasi, koordinasi, advokasi dan penyediaan bahan dan data.
Dalam rangka mendukung pelaksanaan pengarusutamaan gender, beberapa
Departemen dan Lembaga Pemerintah Non Departemen telah membentuk Tim
Pengarusutamaan Gender ,Kelompok Kerja (POKJA) pengarusutamaan gender
dan focal point Pengarusutamaan Gender. Pembentukannya ditetapkan dengan
Surat Keputusan Menteri, Sekretaris Jenderal, Direktur Jenderal dan Kepala
Badan. Kedudukan Tim atau Kelompok Kerja PUG ini bersifat non struktural.
Pada umumnya keanggotaan Tim, Kelompok Kerja dan Focal Points
Pengarusutamaan Gender terdiri dari pejabat eselon II dan eselon III sebagai
wakil dari masing-masing komponen/unit kerja di Kementerian dan Lembaga
yang bersangkutan. Berdasarkan data hasil Evaluasi Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak Tahun 2012, dari 37 Kementerian/lembaga di tingkat
pusat, baru 22 Kementerian/Lembaga (60 persen) yang sudah membentuk
Kelompok Kerja PUG, yakni Kementerian Koordinator Politik Hukum dan
Keamanan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pertahanan, Kementerian
Hukum dan HAM, Kementerian Keuangan, Kementerian Energi dan ESDM,
Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, Kementerian Kehutanan,

73

Kementerian Perhubungan, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi,


Kementerian PU, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, Kementerian Sosial, Kementerian Agama, Kementerian Parawisata
dan Ekonomi Kreatif, Kementerian Informasi dan Informatika, Kementerian
KUKM, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian PPN/BAPPENAS dan
Mahkamah Agung. Sedangkan 15 Kementerian/Lembaga (40 persen) belum
membentuk Kelompok Kerja PUG yakni Kementerian Koordinator KESRA,
Kementerian Koordinator Perekonomian, Kementerian Sekretariat Negara,
Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perdagangan, Kementerian Kelautan dan
Perikanan, Kementerian PAN dan RB, Kementerian Pembangunan Daerah
Tertinggal, Kementerian BUMN, Kementerian Perumahan Rakyat, Kementerian
Pemuda dan Olahraga, Sekretariat Kabinet, Badan Pertanahan Nasional dan
BKKBN.
POKJA PUG yang sudah dibentuk dapat berperan secara optimal dalam
mengimplementasikan

PUG

sangat

ditentukan

oleh

penempatan

level

keanggotaan POKJA PUG di Kementerian/Lembaga tersebut. Penempatan level


POKJA PUG pada level eselon II tentu diharapkan akan mempunyai peran dan
kewenangan yang lebih besar ketimbang penempatannya pada level eselon III
dan IV.

Berdasarkan data Evaluasi PP dan PA tahun 2012, terdapat 15

Kementerian/Lembaga (41 persen) yang menempatkan keanggotaan POKJA PUG


berada pada level Eselon II, III dan IV yakni Kementerian Dalam Negeri,
Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Pertanian, Kementerian Kehutanan,
Kementerian Perhubungan, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi,
Kementerian PU, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, Kementerian Parawisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian
Komunikasi dan Informatika, Kementerian KUKM, Kementerian BAPPENAS,
BKKBN dan Mahkamah Agung. Selanjutnya ada 4 Kementerian/Lembaga (11
persen) yang menempatkan keanggotaan POKJA PUG pada level eselon III dan
IV yakni Kementerian Keuangan, Kementerian Energi dan ESDM, Kementerian
Perindustrian, Kementerian Agama, sedangkan 2 Kementerian/Lembaga (5persen)
menempatkan keanggotaan POKJA PUG pada level eselon IV yakni Kementerian

74

Koordinator POLHUKAM dan Kementerian Lingkungan Hidup. Sedangkan


untuk 12 Kementerian/Lembaga tidak tersedia datanya.
Peran Pokja PUG di Kementerian/Lembaga juga ditentukan dimana posisi
Pokja PUG tersebut ditempatkan dan unit kerja apa yang mengkoordinasikan
Pokja PUG tersebut. Berdasarkan data Evaluasi Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak Tahun 2012, sebanyak 17 Kementerian/Lembaga (46 persen)
menempatkan Biro Perencanaan dan Satker Eselon I sebagai Sekretariat atau
koordinator Pokja PUG, 2 Kementerian/Lembaga (5 persen) yakni Kementerian
Pertahanan dan Kementerian Lingkungan Hidup menempatkan Satker Eselon I
sebagai Sekretariat atau koordinator Pokja PUG dan 18 Kementerian/Lembaga
(49 persen) yakni Kementerian Koordinator Polhukam, Kementerian Koordinator
Kesra, Kementerian Koordinator Perekonomian, Kementerian Sekretariat Negara,
Kementerian Luar Negeri, Kementerian ESDM, Kementerian Perdagangan,
Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Agama, Kementerian Riset
dan Teknologi, Kementerian PAN dan RB, Kementerian Pembangunan Daerah
Tertinggal, Kementerian BUMN, Kementerian Perumahan Rakyat, Kementerian
Pemuda dan Olahraga, Sekretariat Kabinet, Badan Pertanahan Nasional dan
BKKBN tidak memiliki data tentang posisi atau koordinator Pokja PUG tersebut.
Dalam rangka implementasi PUG, Pokja PUG di 19 Kementerian/Lembaga
(51 persen) sudah menyusun Rencana Kerja Tahunan, yakni Kementerian
Koordinator POLHUKAM, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum
dan HAM, Kementerian Keuangan, Kementerian Energi dan ESDM, Kementerian
Perindustrian, Kementerian Pertanian, Kementerian Kehutanan, Kementerian
Perhubungan, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian PU,
Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian
Sosial, kementerian Agama, Kementerian Paraiwisata dan Ekonomi Kreatif,
Kementerian KUKM, Kementerian PPN/Bappenas dan Mahkamah Agung.
Sedangkan Pokja PUG di 18 Kementerian/Lembaga (49 persen) belum menyusun
dan memiliki Rencana Kerja Tahunan yaitu Kementerian Koordinator KESRA,
Kementerian

Koordinator

Perekonomian, Kementerian Sekretariat Negara,

Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertahanan, Kementerian Perdagangan,

75

Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Komunikasi dan Informatika,


Kementerian Riset dan Teknologi, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian
PAN dan RB, Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal, Kementerian
BUMN, Kementerian Perumahan Rakyat, Kementerian Pemuda dan Olahraga,
Sekretariat Kabinet, Badan Pertanahan Nasional dan BKKBN.
Pokja PUG di 19 Kementerian/Lembaga (51 persen) telah

melakukan

pertemuan yakni Kementerian Koordinator POLHUKAM, Kementerian Dalam


Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Keuangan, Kementerian
Energi

dan

ESDM,

Kementerian

Perdagangan,

Kementerian

Pertanian,

Kementerian Kehutanan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Tenaga Kerja


dan Transmigrasi, Kementerian PU, Kementerian Kesehatan, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Sosial, Kementerian Agama,
Kementerian Parawisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian KUKM, Kementerian
PPN/BAPPENAS dan Mahkamah Agung. Sedangkan Pokja PUG di 18
Kementerian/Lembaga (49 persen) tidak melakukan pada tahun 2012 yaitu
Kementerian Koordinator KESRA, Kementerian Koordinator Perekonomian,
Kementerian Sekretariat Negara, Kementerian Luar Negeri, Kementerian
Pertahanan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Kelautan dan Perikanan,
Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Riset dan Teknologi,
Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian PAN dan RB, Kementerian
BUMN, Kementerian Perumahan Rakyat, Kementerian Pemuda dan Olahraga,
Sekretariat Kabinet, Badan Pertanahan Nasional dan BKKBN.
d. Sumber Daya Pelaksanaan PUG
Ketersediaan SDM aparatur yang memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam
melaksanakan strategi PUG dan PPRG memegang peran yang sangat sentral
dalam menunjang keberhasilan pelaksanaan PUG. Pada tahun 2012, hanya 13
Kementerian/Lembaga (35 persen) yang memiliki SDM yang sudah mengikuti
TOT PUG dan PPRG yaitu Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar
Negeri, Kementerian Keuangan, Kementerian Energi dan ESDM, Kementerian
Pertanian, Kementerian Kehutanan,Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi,
Kementerian PU, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, Kementerian Sosial, Kementerian Komunikasi dan Informatika,
76

Kementerian KUKM. Sedangkan 24 Kementerian/Lembaga lainnya (65 persen)


tidak memiliki SDM yang sudah mengikuti TOT PUG dan PPRG yaitu
Kementerian Koordinator POLHUKAM, Kementerian Koordinator

KESRA,

Kementerian Sekretariat Negara, Kementerian Pertahanan, Kementerian Hukum


dan HAM, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian
Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Agama,
Kementerian Parawisata dan dan Ekonomi Kreatif, Kementerian Riset dan
Teknologi, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian PAN dan RB,
Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal, Kementerian PPN/BAPPENAS,
Kementerian BUMN, Kementerian BUMN, Kementerian Perumahan Rakyat,
Kementerian Pemuda dan Olahraga, Sekretariat Kabinet, Badan Pertanahan
Nasional, BKKBN dan Mahkamah Agung.
Ketersediaan SDM yang mempunyai kapasitas untuk melaksanakan PUG
dan PPRG adalah sangat penting dan 20 Kementerian dan Lembaga (54 persen)
telah mengalokasikan anggaran untuk capacity building

PUG dan PPRG.

Kementerian dan Lembaga yang telah mengalokasikan anggaran capacity


building adalah Kementerian Koordinator POLHUKAM, Kementerian Sekretariat
Negara, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, Kementerian Energi
dan SDM, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian
Pertanian, Kementerian Kehutanan, Kementerian Perhubungan, Kementerian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian PU, Kementerian Kesehatan,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Sosial, Kementerian
Agama, Kementerian Komunikasi

dan Informatika, Kementerian KUKM,

Kementerian PPN/BAPPENAS dan Badan Pertanahan Nasional. Sedangkan 17


Kementerian/Lembaga lainnya (46 persen) tidak mengalokasikan anggaran untuk
untuk capacity building PUG dan PPRG yaitu Kementerian Koordinator
KESRA,Kementerian Koordinator

Perekonomian, Kementerian Luar Negeri,

Kementerian Pertahanan, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Kelautan


dan Perikanan, Kementerian

Riset dan Teknologi, Kementerian Lingkungan

Hidup, Kementerian PAN dan RB, Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal,


Kementerian BUMN, Kementerian Perumahan Rakyat, Kementerian Pemuda dan
Olahraga, Sekretariat Kabinet, BKKBN dan Mahkamah Agung.

77

e. Sistem Informasi dan Data Terpilah


Dalam rangka pelaksanaan PUG, 18 Kementerian/Lembaga (49 persen)
telah memiliki data terpilah berdasarkan jenis kelamin yakni Kementerian
Koordinator POLHUKAM, Kementerian Sekretariat Negara, Kementerian Luar
Negeri, Kementerian Energi dan SDM, Kementerian Pertanian, Kementerian
Kehutanan, Kementerian PU, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan, Kementerian Agama, Kementerian KUKM, Kementerian
Lingkungan Hidup, Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal, Kementerian
PPN/BAPPENAS, Kementerian BUMN, BKKBN dan Mahkamah Agung.
Sedangkan 19 Kementerian/Lembaga (51 persen) tidak memiliki data terpilah
berdasarkan jenis kelamin yakni Kementerian Koordinator KESRA, Kementerian
Koordinator Perekonomian, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar
Negeri, Kementerian Energi dan SDM, Kementerian Pertanian, Kementerian
Kehutanan, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian PU,
Kementerian Kesehatan, Kementerian Agama,Kementerian Lingkungan Hidup,
Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal, Kementerian PPN/BAPPENAS,
Kementerian BUMN, Kementerian Perumahan Rakyat, Kementerian Pemuda dan
Olahraga, Sekretariat Kabinet dan Badan Pertanahan Nasional.
f. Alat Analisis
Berdasarkan

data

Evaluasi

PP

dan

PA Tahun

2012,

ada

25

Kementerian/Lembaga (68 persen) yang telah menggunakan analisis gender,


yakni Kementerian Sekretariat Negara, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian
Luar Negeri, Kementerian Pertahanan, Kementerian Pertahanan, Kementerian
Hukum dan HAM, Kementerian Keuangan, Kementerian Energi dan SDM,
Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, Kementerian Kehutanan,
Kementerian Perhubungan, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi,
Kementerian PU, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, Kementerian Sosial, Kementerian Agama, Kementerian Komunikasi
dan Informatika, Kementerian KUKM, Kementerian Lingkungan Hidup,
Kementerian PPN/BAPPENAS, Sekretariat Kabinet, Badan Pertanahan Nasional,
BKKBN dan Mahkamah Agung. Sedangkan 12 Kementeian /Lembaga lainnya
(32 persen) belum menggunakan analisis gender yakni Kementerian Koordinator

78

POLHUKAM, Kementerian Koordinator

KESRA, Kementerian

Koordinator

Perekonomian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Kelautan dan Perikanan,


Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian Riset dan Teknologi,
Kementerian

PAN dan RB, Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal,

Kementerian BUMN, Kementerian Perumahan Rakyat dan Kementerian Pemuda


dan Olahraga.
Keterlibatan unit kerja di Kementerian/Lembaga memegang peran penting
dalam aplikasi analisis gender. Berdasarkan data Evaluasi PP dan PA Tahun 2012,
Unit kerja terbanyak (5 unit kerja lebih) yang menggunakan analisis gender dalam
perencanaan terdapat di 9 Kementerian/Lembaga (24 persen) yaitu Kementerian
Keuangan, Kementerian Pertanian, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi,
Kementerian PU, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, Kementerian Agama, Kementerian KUKM dan Kementerian
PPN/BAPPENAS. Sedangkan 3 Unit kerja yang menggunakan analisis gender
dalam perencanaan berada di 6 Kementerian/Lembaga (16 persen) yakni
Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertahanan, Kementerian Perindustrian,
Kementerian Kehutanan, Kementerian Komunikasi dan Informatika dan BKKBN.
Selanjutnya 1 unit kerja yang menggunakan analisis gender dalam perencanaan
berada di 9 Kementerian/Lembaga (25 persen) yaitu Kementerian Koordinator
Perekonomian, Kementerian Sekretariat Negara, Kementerian Dalam Negeri,
Kementerian Energi dan SDM, Kementerian

Perdagangan, Kementerian

Lingkungan Hidup, Sekretariat Kabinet, Badan Pertanahan Nasional dan


Mahkamah Agung. Adapun 13 Kementerian/Lembaga yang tidak memiliki unit
kerja yang menggunakan analisis gender dalam perencanaan meliputi 13
Kementerian/Lembaga

(35

persen)

POLHUKAM, Kementerian Koordinator

yakni

Kementerian

Koordinator

KESRA, Kementerian Hukum dan

HAM, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perhubungan,


Kementerian Sosial, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian
Riset dan Teknologi, Kementerian PAN dan RB, Kementerian Pembangunan
Daerah Tertinggal, Kementerian BUMN, Kementerian Perumahan Rakyat serta
Kementerian Pemuda dan Olahraga.

79

Berdasarkan data, terdapat ada 21 Kementerian/Lembaga (57 persen) yang


sudah memiliki Panduan PPRG, yaitu Kementerian Hukum dan HAM,
Kementerian

Keuangan,

Kementerian

Energi

dan

SDM,

Kementerian

Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, Kementerian


Kehutanan,

Kementerian

Perhubungan,

Kementerian

Tenaga

Kerja

dan

Transmigrasi, Kementerian PU, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan


dan Kebudayaan, Kementerian Sosial, Kementerian Agama, Kementerian
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian Komunikasi

dan Informatika,

Kementerian KUKM, Kementerian Lingkungan Hidup, Badan Pertanahan


Nasional, BKKBN dan Mahkamah Agung. Sedangkan 16 Kementerian/Lembaga
(43 persen) tidak memiliki panduan PPRG yakni Kementerian Koordinator
POLHUKAM, Kementerian Koordinator

KESRA, Kementerian

Koordinator

Perekonomian, Kementerian Sekretariat Negara, Kementerian Dalam Negeri,


Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertahanan, Kementerian Kelautan dan
Perikanan, Kementerian

Riset dan Teknologi, Kementerian

PAN dan RB,

Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal, Kementerian PPN/BAPPENAS,


Kementerian BUMN, Kementerian Perumahan Rakyat, Kementerian Pemuda dan
Olahraga dan Sekretariat Kabinet.
Terkait dengan penggunaan analisis gender dan keterlibatan unit kerja di
Kementerian/Lembaga yang melakukan analisis gender, ada 23 Kementerian/
Lembaga (62 persen) yang menyusun GBS untuk program/kegiatan prioritas
yakni Kementerian Sekretariat Negara, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian
Luar Negeri, Kementerian Pertahanan, Kementerian Keuangan, Kementerian
Energi

dan

SDM,

Kementerian

Perindustrian,

Kementerian

Pertanian,

Kementerian Kehutanan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Tenaga Kerja


dan Transmigrasi, Kementerian PU, Kementerian Kesehatan, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Sosial, Kementerian Agama,
Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian KUKM, Kementerian
Lingkungan Hidup, Kementerian PPN/BAPPENAS, Sekretariat Kabinet, BKKBN
dan Mahkamah Agung.Sedangkan 14 Kementerian/Lembaga lainnya (38 persen)
belum menyusun GBS untuk program/kegiatan prioritas yaitu Kementerian
Koordinator

POLHUKAM, Kementerian Koordinator KESRA, Kementerian

80

Koordinator Perekonomian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Kelautan


dan Perikanan, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian Riset
dan Teknologi, Kementerian PAN dan RB, Kementerian Pembangunan Daerah
Tertinggal, Kementerian BUMN, Kementerian Perumahan Rakyat, Kementerian
Pemuda dan Olahraga dan Badan Pertanahan Nasional.
g. Partisipasi Masyarakat Madani
Dukungan masyarakat madani

terhadap pemerintah dalam pelaksanaan

PUG baik dalam tahapan perencanaan, pelaksanaan dan monitoring dan evaluasi
dipandang penting guna tercapainya kesetaraan gender secara efektif dan
efisien.Berdasarkan Evaluasi PP dan PA tahun 2012, terdapat 19 Kementerian/
Lembaga (51 persen) yang melibatkan lembaga masyarakat dalam proses
pelaksanaan PUG yaitu Kementerian Koordinator Perekonomian, Kementerian
Sekretariat Negara, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM,
Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian,
Kementerian Kehutanan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Tenaga Kerja
dan Transmigrasi, Kementerian PU, Kementerian Kesehatan, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Sosial, Kementerian Agama,
Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian KUKM, Kementerian
Pembangunan Daerah Tertinggal dan

Mahkamah Agung. Sedangkan 18

Kementerian/Lembaga lainnya (49 persen) belum melibatkan lembaga masyarakat


dalam proses perencanaan yakni Kementerian Koordinator POLHUKAM,
Kementerian Koordinator KESRA, Kementerian Luar Negeri, Kementerian
Pertahanan,

Kementerian

Energi

dan

SDM,

Kementerian

Perdagangan,

Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian


Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian Riset dan Teknologi, Kementerian
Lingkungan Hidup, Kementerian PAN dan RB, Kementerian PPN/BAPPENAS,
Kementerian BUMN, Kementerian Perumahan Rakyat, Kementerian Pemuda dan
Olahraga, Sekretariat Kabinet, Badan Pertanahan Nasional dan BKKBN.

4.3.3. Pemenuhan Prasyarat PUG di Pemerintah Daerah Provinsi


a. Komitmen Politik dan Kepemimpinan
81

Tingkat komitmen politik dan kepemimpinan di masing-masing Provinsi


terhadap PUG, dapat dilihat dari produk peraturan pelaksanaan PUG yang
diterbitkan di setiap Pemerintah Provinsi. Berdasarkan data Evaluasi PP dan PA
tahun 2012, terdapat 25 Pemerintah Provinsi (76 persen) yang sudah menerbitkan
peraturan sebagai dasar pelaksanaan PUG. Sedangkan 8 Provinsi lainnya (24
persen)

tidak

mempunyai

peraturan

perundang-undangan

sebagai

dasar

pelaksanaan PUG, yaitu Riau, Jambi, Bengkulu, NTT, Kalimantan Tengah,


Sulawesi Utara, Maluku Utara dan Papua Barat.
b. Kerangka Kebijakan
Sejumlah 26 provinsi (79%) sudah mengintegrasikan isu gender dalam RPJMD
dan 7 provinsi (21%) belum mengintegrasikan isu gender dalam RPJMD, yakni
Riau, Jambi, Bengkulu, NTT, Kalimantan Tengah, Maluku Utara dan Papua Barat.
Isu gender sudah diintegrasikan dalam Renstra SKPD di 24 provinsi (73%) dan 9
provinsi (27%) belum mengintegrasikan isu gender dalam Renstra SKPD.
c. Struktur dan Mekanisme
Berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah yang kemudian disempurnakan dengan Undang-Undang No. 33 Tahun
2004 dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Antara

Pemerintah Pusat dan Daerah yang disempurnakan dengan Undang-

Undang No. 33 Tahun 2004, maka kepada Pemerintah Daerah Provinsi telah
diberikan otonomi yang terbatas berdasarkan prinsip desentralisasi dan
dekonsentrasi, sedangkan kepada pemerintah daerah Kabupaten dan Kota
diberikan otonomi daerah yang luas dan utuh berdasarkan prinsip desentralisasi.
Dengan penerapan kebijakan otonomi daerah tersebut, pengaturan kelembagaan
menjadi kewenangan masing-masing daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007

tentang

Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah


Provinsi, dan Pemerintahan Kabupaten/Kota, maka pemberdayaan perempuan dan
perlindungan anak menjadi urusan wajib baik di Provinsi maupun di
Kabupaten/Kota. Sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007
tentang Organisasi Perangkat Daerah, urusan pemberdayaan perempuan dan
keluarga berencana diwadahi dalam bentuk badan dan kantor. Namun sesuai
82

dengan kebijakan pemerintah daerah, pada kenyataannya, lembaga yang


menangani urusan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak sangat
bervariasi karena di provinsi ada yang berbentuk Biro, Badan, Kantor dan Dinas.
Sedangkan di Kabupaten/Kota dalam bentuk Bagian, Badan, Kantor dan Dinas.
Dalam rangka

implementasi pengarusutamaan gender

Pemerintah

Provinsi telah membentuk lembaga/organisasi dengan nomenklatur yang beragam


sebagai berikut :

Tujuh Provinsi yang membentuk lembaga dengan nomenklatur Biro


Pemberdayaan Perempuan yakni Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,
Sumatera Utara, Sumatera Barat, Lampung, Kalimantan Tengah,
Sulawesi Utara dan Nusa Tenggara Timur.

Delapan Provinsi yang membentuk lembaga dengan nomenklatur Biro


Kesejahteraan Rakyat atau Biro Kesejahteraan Sosial dan Pemberdayaan
Perempuan seperti Jambi, Bangka Belitung, Sumatera Selatan, Bengkulu,
Kalimantan Barat, Bali, Sulawesi Selatan dan Maluku Utara

Satu Provinsi yang membentuk lembaga dengan nomenklatur Badan


Pemberdayaan Masyarakat dan Pemberdayaan Perempuan seperti
Propinsi Kalimantan Selatan.

Enam Provinsi yang membentuk Bidang Pemberdayaan Perempuan


pada Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD) seperti Propinsi
Riau, Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan
DKI Jakarta.

Satu Provinsi yang membentuk Dinas Keluarga Berencana

dan

Pemberdayaan Perempuan seperti Propinsi Gorontalo

Lima Provinsi yang membentuk Bagian Pemberdayaan Perempuan pada


Biro Kesra dan Kesos seperti Jawa Tengah, Maluku, NTB, Kalimantan
Timur dan Banten

Dua

Provinsi yang membentuk

Kantor Pemberdayaan Perempuan

seperti Propinsi DI. Yogyakarta dan Papua


Pokja PUG telah terbentuk dalam struktur organisasi di 26 provinsi (78%)
dan 7 provinsi (22%) belum membentuk Pokja PUG. Pokja PUG di 23 provinsi

83

(70%) telah menyusun rencana kerja tahunan dan 10 provinsi (30%) belum
menyusun rencana kerja tahunan.

Pokja PUG di 18 provinsi (55%) telah

melakukan pertemuan dan 15 provinsi (45%) belum melakukan pertemuan.


d. Sumber Daya Pelaksanaan PUG
Sejumlah 25 provinsi (76%) memiliki SDM yang tersedia untuk
pelaksanaan PUG dan 8 provinsi (24%) tidak tersedia SDM untuk pelaksanaan
PUG.

Dukungan anggaran pelaksanaan PUG untuk sosialisasi dan capacity

building dijumpai di 23 provinsi (69%) dan tidak tersedia dukungan dana untuk
pelaksanaan PUG di 10 provinsi (31%).
e. Sistem Informasi dan Data Terpilah
Dalam rangka mendukung pelaksanaan PUG, 22 Provinsi (67 persen) telah
menyusun profil gender, statistik gender dan data terpilah berdasarkan jenis
kelamin. Sedangkan 11 Provinsi (33 persen) tidak memiliki profil gender, statistik
gender, dan data terpilah berdasarkan jenis kelamin yaitu Nanggroe Aceh
Darussalam, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, NTT, Kalimantan Tengah,
Kalimantan Selatan, Gorontalo, Maluku Utara dan Papua Barat. Sebagai upaya
untuk penyiapan data terpilah berdasarkan jenis kelamin di provinsi, maka 15
Provinsi (45 persen) telah membentuk forum data yang ditetapkan dengan
Keputusan Gubernur atau Keputusan Kepala Badan PP dan PA. Sedangkan 18
Provinsi (55 persen) tidak membentuk forum data yakni Nanggroe Aceh
Darussalam, Riau,Jambi, Kep Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Bengkulu, DKI
Jakarta, Banten, NTT, Kalbar, Kalteng, Kalsel, Sulteng, Sulsel, Gorontalo,
Maluku, Maluku Utara dan Papua.
f. Alat Analisis
Penggunaan alat analisis gender telah digunakan di 22 provinsi (67%) dalam
perencanaan/penganggaran dan 11 provinsi (33%) belum menggunakan alat
analisis. Jumlah Provinsi yang memiliki 3 SKPD atau lebih yang melakukan
analisis gender untuk menyusun program dan kegiatan terdapat di 20 Provinsi (61
persen). Sedangkan jumlah Provinsi yang mempunyai 2 SKPD yang melakukan
analisis gender untuk menyusun program dan kegiatan mencakup 4 Provinsi (12
persen) yakni NAD, Kep. Bangka Belitung, NTB,dan Kalimantan Timur. Jumlah

84

Provinsi yang mempunyai 1 SKPD melakukan analisis gender untuk menyusun


program dan kegiatan terdiri dari 1 Provinsi (3 persen) yakni Gorontalo. Provinsi
yang tidak mempunyai SKPD melakukan analisis gender dalam penyusunan
program dan kegiatan meliputi 8 Provinsi (24 persen), yakni

Riau, Jambi,

Bengkulu, NTT, Kalimantan Tengah, Maluku, Maluku Utara dan Papua Barat.
Satuan kerja perangkat daerah di 25 provinsi (76%) telah menggunakan analisis
gender dan 8 provinsi (24%) belum menggunakan analisis gender.

Dalam

kaitannya dengan penggunaan analisis gender dalam penyusunan anggaran, 23


Provinsi (70 persen) telah menyusun dokumen GBS dalam pelaksanaan Anggaran
yang responsif gender. Sedangkan 10 Provinsi lainnya yakni Nanggroe Aceh
Darussalam, Riau, Jambi, Bengkulu, NTT, Kalimantan Tengah, Kalimantan
Selatan,Maluku, Maluku Utara dan Papua Barat belum menyusun dokumen GBS
dalam pelaksanaan anggaran yang responsif gender.
g. Partisipasi Masyarakat Madani
Dukungan masyarakat madani terhadap pemerintah daerah provinsi dalam
pelaksanaan PUG baik dalam tahapan perencanaan, pelaksanaan dan monitoring
dan evaluasi dipandang penting guna tercapainya kesetaraan gender secara efektif
dan efisien. Berdasarkan Evaluasi PP dan PA tahun 2012, terdapat 24 Provinsi
(73 persen) yang telah melibatkan partisipasi masyarakat dalam dalam proses
pelaksanaan PUG. Sedangkan 9 Provinsi (27 persen) belum melibatkan lembaga
masyarakat dalam proses pelaksanaan PUG yakni Provinsi Riau, Jambi,
Bengkulu, NTT, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Maluku Utara dan
Papua Barat.
4.3.4. Tantangan Pelaksanaan PUG
Tantangan pelaksanaan PUG di Kementerian/Lembaga meliputi:
a. Komitmen politik dan kepemimpinan K/L untuk pelaksanaan PUG masih
perlu ditingkatkan, mengingat capaiannya secara rata-rata masih 60%.
b. Kerangka kebijakan integrasi isu gender dalam Renstra dan Renja masih
belum ada pada 50% K/L.

85

c. Struktur dan mekanisme pelaksanaan PUG relatif sudah terbangun, Pokja


PUG sudah terbentuk pada 60% K/L, namun sebagian Pokja PUG belum
menyusun rencana kerja tahunan dan melakukan pertemuan rutin.
d. Keterbatasan sumber daya untuk melaksanakan PUG di K/L, khususnya
ketersediaan SDM yang hanya tersedia pada 40% K/L perlu mendapatkan
perhatian.
e. Ketidak tersediaan data terpilah pada 50% K/L akan dapat menjadi pembatas
penggunaan analisis gender dalam perencanaan/penganggaran.
f. Pelibatan lembaga masyarakat dalam pelaksanaan PUG di K/L baru mencapai
50%.
Sedangkan tantangan pelaksanaan pengarusutamaan gender pada pemerintah
provinsi meliputi:
a. Secara keseluruhan, prasyarat PUG sudah dimiliki oleh pemerintah provinsi
masih belum optimal karena baru mencapai 75 %.
b. Pokja PUG telah terbentuk pada 78% provinsi, namun baru 55 % Pokja PUG
provinsi yang membuat laporan tahunan Pokja
c. Forum data masih perlu didorong untuk dibentuk karena baru 45% provinsi
yang telah membentuk forum data
Berdasarkan kondisi pelaksanaan pengarusutamaan gender di Kementerian dan
Lembaga serta pemerintah daerah provinsi, maka dapat disarikan dan disarankan
beberapa hal, yaitu:
a. Implementasi PUG baik di kementerian/lembaga dan Pemerintah Daerah
(Provinsi dan Kabupaten/Kota) keberhasilannya sangat ditentukan oleh
pemenuhan atas prasyarat.
b. Mengingat masih banyaknya tantangan dan kendala yang dihadapi, PUG
sebagai strategi pembangunan tidak mudah diimplementasikan di K/L dan
pemerintah daerah.
c. Dari status Busines PUG Bidang Ekonomi dan Polsuskum fungsi utama
(core function) Kementerian PP dan PA masih belum mempunyai dampak
yang signifikan

bagi K/L dan pemerintah daerah utamanya dalam

penyusunan kebijakan dan program yang responsif gender.

86

d. Diperlukan strategi implementasi yang tepat guna mendukung peningkatan


implementasi PUG di K/L dan pemerintah daerah
e. Untuk mengatasi berbagai tantangan dan kendala dalam pelaksanaan PUG,
diperlukan penguatan jejaring dengan berbagai elemen institusi yang
memiliki peran strategis ditingkat pusat seperti Bappenas dan Kementerian
Dalam Negeri.
f. Sejalan dengan perkembangan dan dinamika pembangunan pada RPJMN III,
pemantapan kelembagaan pengarusutamaan gender dan peran KPPPA
kedepan, perlu didorong dan dikembangkan agar mempunyai dampak yang
signifikan

guna tersusunnya kebijakan, program dan kegiatan K/L dan

pemerintah daerah yang responsif gender.


g. Diperlukan kajian yang lebih mendalam tentang pelaksanaan PUG dalam
kaitannya dengan implementasi PPRG yang hasilnya dapat dimanfaatkan
dalam perencanaan dan pengganggaran yang berbasis gender secara optimal
dimasa yang akan datang.
4.4. Diskriminasi Dalam Implementasi Proses Pendidikan
Pembangunan bangsa dan negara Indonesia pada hakekatnya merupakan
suatu proses pembangunan yang berkelanjutan dan berjangka panjang

untuk

mewujudkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam


proses pembangunan tersebut diperlukan ketersediaan Sumber Daya Manusia
(SDM) yang berkualitas. Dalam artian bahwa manusia Indonesia sebagai tatanan
masyarakat yang cerdas, sehat jasmani dan rohani. Melalui pendidikan jalan bagi
peningkatan kualitas SDM tersebut sangat terbuka dan menjanjikan. Pendidikan
juga merupakan hak asasi sekaligus sebuah sarana untuk merealisasikan hak-hak
asasi manusia lainnya. Hak atas pendidikan sebagai bagian dari hak asasi manusia
di Indonesia tidak sekadar hak moral melainkan juga hak konstitusional. Hal ini
sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar NKRI Tahun 1945 (pasca
perubahan), khususnya Pasal 28 C Ayat (1) yang menyatakan: Setiap orang
berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak
memperoleh pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan

87

teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi
kesejahteraan umat manusia.
Selain ketentuan di atas, Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 (amandemen) juga
merumuskan bahwa setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar,
sedangkan pemerintah wajib membiayainya. Pasal 31 ayat (3) dan (4) juga
menegaskan bahwa pemerintah memiliki kewajiban untuk mengusahakan
penyelenggaraan pengajaran nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa dengan memprioritaskan anggaran sekurang-kurangnya 20 persen dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD).

Demikian pula ketentuan Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat (MPR) Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi


Manusia menegaskan jaminan hak atas pendidikan. Demikian halnya dengan
Pasal 60 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
memperkuat dan memberikan perhatian khusus pada hak anak untuk memperoleh
pendidikan sesuai minat, bakat dan tingkat kecerdasannya. Lebih khusus lagi hak
pendidikan bagi setiap anak Indonesia dimuat dalam Pasal 9 ayat (1) UndangUndang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang berbunyi Setiap
anak

berhak

memperoleh

pendidikan

dan

pengajaran

dalam

rangka

pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan


bakatnya dan pada ayat (2) nya: Selain hak anak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh
pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga
berhak mendapatkan pendidikan khusus. Secara operasional amanat tersebut
ditegaskan dalam Pasal 50 butir a, dinyatakan bahwa Pendidikan diarahkan pada
pengembangan sikap dan kemampuan kepribadian anak, bakat, kemampuan
mental dan fisik sampai mencapai potensi mereka yang optimal. Penegasan
serupa tentang hak warga negara atas pendidikan juga tercantum dalam UndangUndang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 3
Undang Undang dimaksud diamanatkan bahwa Pendidikan nasional berfungsi
untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang

88

beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.
Di tingkat internasional, Kovenan Internasional Hak ECOSOB yang telah
diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 2005, Hak Atas
Pendidikan, Negara memiliki kewajiban untuk :
a. Pendidikan dasar harus diwajibkan dan tersedia secara cuma-cuma bagi
semua orang;
b. Pendidikan lanjutan dalam berbagai bentuknya, termasuk pendidikan teknik
dan kejuruan tingkat menengah, harus tersedia secara umum dan terbuka bagi
semua orang dengan segala cara yang layak dan khususnya dengan
menerapkan pendidikan cuma-cuma secara bertahap;
c. Pendidikan tingkat tinggi harus dapat dicapai oleh siapa pun juga,
berdasarkan kapasitas, dengan cara-cara yang layak, dan khususnya dengan
menerapkan pendidikan cuma-cuma secara bertahap;
d. Pendidikan dasar harus sedapat mungkin didorong atau diintensifkan bagi
orang-orang yang belum pernah menerima atau menyelesaikan keseluruhan
periode pendidikan dasar mereka;
e. Pengembangan suatu sistem sekolah pada semua tingkat harus diupayakan
secara aktif, suatu sistem beasiswa yang memadai harus dibentuk, dan
kondisi-kondisi

material

staf

pengajar

harus

ditingkatkan

secara

berkelanjutan.
Dalam konteks pemenuhan hak atas pendidikan, Negara menjadi pihak
utama yang bertanggung jawab untuk menjaminnya. Pada Pasal 53 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak terdapat
penegasan bahwa negara, dalam hal ini Pemerintah, memiliki tanggung jawab
memberikan biaya pendidikan dan/atau bantuan cuma-cuma atau pelayanan
khusus bagi anak dari keluarga tidak mampu, anak terlantar, dan anak yang
bertempat tinggal di daerah terpencil. Oleh karena itu pemerintah secara terus
menerus harus berupaya untuk meningkatkan mutu pendidikan dimulai dengan

89

pemberian kesempatan yang seluas-luasnya kepada setiap warganya untuk


mengecap pendidikan terutama pada tingkat dasar hingga pada peningkatan
kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana pendidikan. Pendidikan sebagai hak
pemampuan, berarti merupakan sarana utama dimana orang dewasa dan terutama
anak-anak yang dimarjinalkan secara ekonomi dan sosial dapat mengangkat
dirinya keluar dari kemiskinan dan memperoleh cara untuk terlibat dalam
komunitasnya. Pendidikan merupakan hak asasi sekaligus sebuah sarana untuk
merealisasikan hak-hak asasi manusia lainnya. Hak atas pendidikan sebagai
bagian dari hak asasi manusia di Indonesia tidak sekadar hak moral melainkan
juga hak konstitusional. Hal ini berarti bahwa setiap anak Indonesia, tanpa
terkecuali

berhak

mendapatkan

pendidikan

dan

pengajaran

untuk

mengambangkan diri dan kecerdasannya sesuai minat dan bakatnya, termasuk hak
mendapatkan pendidikan luar biasa bagi penyandang cacat. Negara dan
Pemerintah wajib menyediakan pendidikan dan pengajaran yang berkualitas bagi
semua anak Indonesia dan menjamin semua anak Indonesia mendapatkan
pendidikan yang layak. Pendidikan memainkan sebuah peranan penting untuk
memberdayakan perempuan, melindungi anak-anak dari eksploitasi kerja dan
seksual yang berbahaya. Karena pada hakekatnya dengan pendidikan, anak
Indonesia akan tumbuh menjadi generasi masa depan yang cerdas, berkarakter,
berakhlak mulia serta memiliki ketrampilan dan kemampuan yang unggul.
Sejauh mana negara melindungi hak-hak anak menjadi gambaran bagaimana
negara mempersiapkan masa depan bangsanya. Kurang optimalnya pemerintah
dalam menjalankan beberapa tanggung jawabnya telah membuat hak-hak anak
Indonesia semakin rentan dan sering dilanggar. Lebih jauh lagi kegagalan dalam
pembangunan pendidikan, berarti gagalnya pemerintah mewujudkan pendidikan
yang terjangkau bagi seluruh masyarakat dan berdampak langsung pada
pembangunan ekonomi yang kemudian memunculkan ketidak seimbangan
terutama pada tekanan-tekanan kehidupan yang sangat berat bagi banyak keluarga
Indonesia. Tekanan-tekanan kehidupan ini memaksa sejumlah anak untuk terlibat
dalam aktivitas ekonomi yang tidak seharusnya mereka lakukan. Banyak anak
yang putus sekolah, menjadi pekerja anak, bekerja di jalanan atau menjadi
pengemis dan permasalahan lain yang timbul akibat kurangnya pengetahuan dan

90

pendidikan, seperti anak yang diperdagangkan untuk tujuan seksual komersial,


anak yang diperdagangkan (trafiking anak, anak tanpa akta kelahiran, anak korban
kekerasan (fisik dan/mental) dan perlakuan salah (child abuse), anak korban
penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif

lainnya (napza), dan

akhirnya anak yang berhadapan dengan hukum. Berdasarkan data yang diperoleh
dari Profil Anak Indonesia yang diterbitkan KPPPA yang bersumber dari Susenas
2010, Badan Pusat Statistik, diketahui bahwa:

Jumlah penduduk Indonesia 237,641 juta jiwa, dari jumlah tersebut sekitar
34,26 persen adalah anak berusia 0-17 tahun (81,4 juta jiwa ) (SENSUS
2010, BPS).

Anak indonesia yang memiliki akta kelahiran sekitar 54,79 persen, dari
jumlah tersebut 14,57 persen tidak dapat menunjukkan akta kelahiran,
sedangkan jumlah anak yang tidak memiliki akta kelahiran 44,09 persen
(SUSENAS 2010, BPS).

Secara nasional sebesar 1,59 persen anak perempuan berumur 10-17 tahun
berstatus kawin dan pernah kawin (perdesaan 2,17%; perkotaan 0,98%),
dari jumlah tersebut kawin pertama usia <15 tahun 35,78%, kawin pertama
usia 16 tahun 37,03%, dan kawin pertama usia 17-18 tahun sebesar 27,19 %
(SUSENAS 2010, BPS).

Terdapat 80,29 persen anak berumur 5-17 yang sedang bersekolah.


sedangkan sisanya sebesar 12,35 persen belum/tidak pernah bersekolah dan
sebesar 7,36 persen sudah tidak bersekolah lagi. anak umur 5-17 tahun
diperkotaan yang masih bersekolah (82,12 persen) lebih besar dibanding di
perdesaan (78,56 persen). Persentase anak umur 5-17 tahun di perkotaan
yang tidak/belum pernah sekolah sebesar 11,78 persen lebih kecil dibanding
di perdesaan yang sebesar 12,88 persen.

Persentase penduduk usia 7-17 tahun yang pernah sekolah dengan status
putus sekolah di Indonesia sebesar 2,91 persen, artinya dari setiap 1000
orang penduduk usia 7-17 tahun terdapat 29 anak yang putus sekolah. , anak
putus sekolahlebih banyak terjadi di perdesaan (3,51 persen) dibandingkan

91

di perkotaan (2,28 persen). Putus sekolah lebih banyak dialami oleh anak
laki-laki (3,60 persen) dibanding anak perempuan (2,17 persen).

Hasil Susenas tahun 2011 menunjukkan bahwa terdapat anak berumur 5-6
tahun yang saat ini bersekolah (25,72 persen), meskipun pada kelompok
umur ini bukan merupakan usia wajib sekolah. Jika dilihat berdasarkan
kelompok umur.

Pendidikan yang direkomendasikan yaitu 7-17 tahun,

terlihat bahwa anak pada kelompok umur 7-17 yang bersekolah sebesar
90,07 persen, anak yang tidak/belum sekolah sebesar 1,25 persen dan anak
yang tidak sekolah lagi sebesar 8,68 persen.

Jenis PAUD yang paling banyak diikuti oleh anak usia 0-6 tahun adalah
TK/RA/BA yaitu sebesar 67,87 persen.

Peningkatan kesetaraan dan keadilan gender di bidang pendidikan sangat


penting untuk dilakukan agar lebih menjamin semua warga negara baik laki-laki
maupun perempuan dapat mengakses pelayanan pendidikan, berpartisipasi aktif,
dan mempunyai kontrol serta mendapatkan manfaat dari pembangunan
pendidikan sehingga laki-laki dan perempuan dapat mengembangkan potensinya
secara maksimal.

Secara nasional dalam hal akses penduduk laki-laki dan

perempuan sudah memiliki peluang dan kesempatan yang hampir setara untuk
mendapatkan layanan pendidikan. Namun, kesenjangan gender masih dijumpai di
beberapa daerah, antara penduduk kaya dan penduduk miskin, serta antara daerah
perkotaan dan perdesaan. Kesetaraan gender dalam proses pembelajaran masih
perlu ditingkatkan agar sepenuhnya responsif gender. Proses pembelajaran masih
belum sepenuhnya responsif gender ditunjukkan oleh (1) materi bahan ajar yang
pada umumnya masih bias gender, (2) proses pembelajaran di kelas yang belum
sepenuhnya mendorong partisipasi aktif secara seimbang antara laki-laki dan
perempuan, serta (3) lingkungan fisik sekolah yang belum memenuhi kebutuhan
spesifik anak laki-laki dan perempuan. Di samping itu, pengelolaan pendidikan
juga masih perlu dilaksanakan secara berkeadilan gender atau memberikan
peluang yang adil bagi laki-laki dan perempuan untuk berpartisipasi dalam proses
pengambilan keputusan (Permendiknas 84/2008).
92

Berdasarkan informasi tersebut memang dapat diperoleh berbagai temuantemuan yang sebenarnya dapat dijadikan acuan dari berbagai lembaga atau
institusi dalam menyusun berbagai kebijakan, program dan kegiatan sebagai
intervensi dalam memajukan pendidikan di Indonesia. Tetapi permasalahan yang
terjadi pada tataran implementasi sedemikian kompleksnya, yang bila ditinjau
ekonomi-sosial, dikenal dengan bangunan pendidikan, yang mencakup segala
unsur yang membentuk pendidikan, mulai dari dari pelaku utama pendidik,
peserta didik sampai pada unsur-unsur lainnya seperti pendekatan, sistem, dan
metode pendidikan. Sedangkan tinjauan teknologi-manajerial membedakan
bangunan pendidikan ke dalam 3 (tiga) unsur yaitu kerangka, pranata, dan
kurikulum. Permasalahan-permasalahanm ketimpangan dan kesenjangan yang
terjadi pada pada bangunan pendidikan sering menyebabkan terjadinya
diskriminasi pendidikan. Diskriminasi pendidikan yang terjadi, tidak hanya
disebabkan oleh penyimpangan dalam pelaksanaan kebijakan, tetapi juga
disebabkan karena kebijakan pemerintah yang tidak memihak kepada rakyat kecil.
Lebih lanjut, praktik diskriminasi pendidikan dapat dilihat dari beberapa aspek
antara lain diskriminasi pembangunan pendidikan antara pedesaan dan perkotaan.
Rendahnya fasilitas pendidikan di pedesaan, diskriminasi pada kelas sosial peserta
didik,

terbatasnya akses ke dunia pendidikan Orang kecil terutama, selalu

termarginalisasi

oleh

perkasanya

pasar

dalam

memperoleh

kesempatan

pendidikan. Kelompok ini tidak saja sukar untuk menaikkan taraf hidup dengan
memperoleh pendidikan yang layak, melainkan juga dengan mudah diperlakukan
secara tidak adil oleh pihak-pihak yang menguasai pangsa pasar. Misi agung
pendidikan sebagai pencerdas kehidupan bangsa, di masa kini tidak ubahnya lahan
bisnis yang subur.
4.4.1. Diskriminasi Pendidikan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memberikan batasan pengertian tentang
diskriminasi, sebagai berikut: Diskrimasi mencakup perilaku apa saja, yang
berdasarkan perbedaan yang dibuat berdasarkan alamiah atau pengkategorian
masyarakat, yang tidak ada hubungannya dengan kemampuan individu atau
jasanya.

93

Sesungguhnya secara uumum dipahami bahwa diskriminasi merujuk kepada


pelayanan yang tidak adil terhadap individu tertentu, di mana layanan ini dibuat
berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut. Bentuk
Diskriminasi ada 2 (dua), yaitu: (1) Diskriminasi langsung, terjadi saat hukum,
peraturan atau kebijakan jelas-jelas menyebutkan karakteristik tertentu, seperti
jenis kelamin, ras, dan sebagainya, dan menghambat adanya peluang yang sama.
(2) Diskriminasi tidak langsung, terjadi saat peraturan yang bersifat netral menjadi
diskriminatif saat diterapkan di lapangan. Dalam konteks pendidikan, kedua
bentuk diskriminasi tersebut
suatu

kejadian

yang

biasa

memang kerap terjadi. Diskriminasi merupakan


dijumpai

dalam masyarakat

karena

adanya

kecenderungan manusia untuk membeda-bedakan antara satu dengan yang lain.


Terlepas dari bentuknya, diskrimiasi dalam pendidikan yang sangat
dirasakan oleh masyarakat adalah perlakuan berbeda dan tidak adil oleh
penyelenggara pendidikan formal maupun penerima para penerima alumni
pendidikan (ketika kelak melamar pekerjaan), misalnya pembedaan berdasarkan
kaya miskin, jenis kelamin, suku, ras dan agama, bukan lagi berdasarkan kualitas
ahklak, budi pekerti maupun skill

pribadi yang dimiliki. Sehingga yang

merupakan dasar dari tindakan diskriminasi adalah ketika seseorang diperlakukan


secara tidak adil karena karakteristik suku, antargolongan, kelamin, ras, agama
dan kepercayaan, aliran politik, kondisi fisik atau karateristik lain. Diskriminasi
pendidikan yang paling sering terjadi di masyarakat, antara lain :

Diskriminasi menurut kemampuan, baik fisik maupun kemampuan


akademik, misalnya: seorang calon siswa dinyatakan tidak dapat diterima di
sebuah sekolah karena menderita cacat fisik. Padahal dari hasil tes
masuk, calon siswa tersebut mendapatkan nilai yang cukup tinggi dan
kecacatannya tidak mengganggu aktivitas belajarnya (diskriminiasi menurut
kemampuan fisik); seorang calon siswa yang sudah berumur tujuh tahun
tidak dapat diterima di sebuah sekolah dasar karena tidak lulus tes skolastik.
Sementara ada calon siswa yang berumur lebih muda akan tetapi diterima di
sekolah tersebut karena lulus tes skolastik. (diskriminiasi menurut
kemampuan akademik).

94

Diskriminasi dalam bentuk lain adalah pembagian kelas menjadi kelas


unggulan dan non unggulan (terjadi pada banyak sekolah termasuk
sekolah). Siswa-siswa yang memiliki kemampuan akademis tinggi
dimasukkan kedalam kelas unggulan, sedangkan siswa-siswa yang
kemampuan akedemisnya rata-rata dimasukkan kedalam kelas non
unggulan. Perlakuan diskriminan seperti ini akan menimbulkan efek rendah
diri pada diri anak-anak yang termasuk kedalam kelas non unggulan
(reguler) dan akan menimbulkan perasaan tinggi hati pada diri anak-anak
yang masuk kedalam kelas unggulan.

Diskriminasi menurut keadaan ekonomi, lebih bayak ditujukan kepada siswa


yang berasal dari keluarga miskin dibariskan di lapangan basket, para siswa
ini diperingatkan bahwa, sebelum mereka membayar uang SPP, mereka
tidak dapat mengikuti ujian semester.

Tanpa

disadari

ternyata

Diskriminasi

juga

dilakukan

oleh

pemerintah sendiri, misalnya ketika muncul kebijakan Pembangunan


Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), sebagai pembangunan atau
pengadaan sekolah bertaraf internasional dan sekolah percontohan. Sekolah
tersebut hanya menerima siswa yang memiliki kemampuan akademis di atas
rata-rata dan kemampuan ekonomi yang diatas rata-rata. Pemerintah dengan
sadar memberikan dana yang sangat besar kepada sekolah-sekolah RSBI
(Rintisan Sekolah Berstandar Internasional) dan sekolah percontohan.
Besarnya dana yang diterima dipastikan terjadi kesenjangan antara sekolah
yang berada di perkotaan dengan sekolah pinggiran dan kesenjangan
perlakuan, anak-anak yang bersekolah di sekolah RSBI mendapatkan
fasilitas yang lebih daripada anak-anak yang bersekolah di sekolah regular.
Tak kalah pentingnya adalah diskriminasi dalam Pelaksanaan Ujian Nasional
(UAN) yang telah membuat guru-guru mata pelajaran non-UAN merasa
terdiskriminasi.
4.4.2. Fakta Diskriminasi Dalam Pendidikan
Kondisi

dunia

pendidikan

Indonesia

akhir-akhir

ini

semakin

memprihatinkan, kekhawatiran akan dampak yang melebar dari diskriminasi


95

pendidikan, yang berkisar pada masalah kekerasan dan tindakan-tindakan amoral


yang dilakukan pelajar kian masif saja.
Kenyataan yang ditemui di tanah air sekaitan dengan diskriminasi
implementasi proses pendidikan, antara lain :
a. Angka Partisipasi Murni Nasional menunjukkan masih banyak anak negeri
ini yang belum dapat menikmati pendidikan. Angka Partisipasi Murni
untuk tingkat SD sudah cukup tinggi dengan angka 94,06 persen untuk
laki-laki dan 93,91 persen untuk perempuan. Namun untuk tingkat SLTP
hanya 66,36 persen untuk laki-laki dan 67,62 persen, bahkan yang lebih
memprihatinkan adalah untuk tingkat SLTA hanya 44,98 persen untuk
laki-laki dan 44,51 persen untuk perempuan. Ini berarti lebih dari 50
persen anak negeri ini belum dapat mengenyam pendidikan tingkat
atas/SLTA apalagi untuk mengenyam pendidikan di perguruan tinggi.
Semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin banyak anak yang tak dapat
menikmatinya.
b. Praktik diskriminasi pendidikan juga terjadi dalam proses pembelajaran.
Pembelajaran selalu berorientasi pada aspek kognitif saja, sementara aspek
afektif

dan

psikomotorik

selalu

diabaikan. Pelaksanaan

evaluasi

pembelajaran hanya untuk menguji kecerdasan kognitif belaka, sehingga


siswa hanya berusaha mengasah kemampuan kognitifnya saja dan
mengabaikan kecerdasan lainnya. Ini berakibat banyaknya generasi yang
pintar secara kognitif tapi tak bermoral.dan banyak anak negeri yang
pandai bicara tapi tak mampu berbuat.
c. Dampak

dari

lemahnya

pelayanan

pemerintah dalam

pemberian

pengakuan atas hak penduduk dan kebebasan sipil, ada fakta yang cukup
mengagetkan seputar kehidupan anak di perbatasan Indonesia dengan
Malaysia. Sebagian besar pelajar SMA yang berada di tiga kecamatan,
yang terletak di Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur, yang berbatasan
dengan Malaysia, justru mengantongi akta kelahiran yang dikeluarkan
pemerintah Malaysia. Sementara itu lebih kurang 32.000 anak yang
dilahirkan dari pasangan Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja di

96

perkebunan sawit di Sabah dan Sarawak tidak mempunyai akta lahir,


akibatnya puluhan ribu anak saat ini tidak bisa mendapatkan akses
pendidikan.
d. Kasus penyimpangan serta diskriminasi pendidikan yang ditemukan di
Sumatera Utara. (laporan KPAID Sumut). Kasus diskriminasi terkait
dengan penerimaan siswa serta akses untuk sekolah dan pungutan dari
pihak sekolah di beberapa sekolah yang memiliki dana BOS, yang sangat
memberatkan orang tua siswa sulit untuk membayar terlebih bagi siswa
yang kurang mampu dan satu contoh anak dari Kota Padang Sidempuan
yang ditolak masuk ke sekolah akibat cacat kaki yang dialaminya.
e. Demo besar-besaran oleh ribuan santri dan alumni pesantren serta warga
masyarakat yang berujung pada kekerasan sosial di Kota Sumenep
menarik perhatian dunia pendidikan dan politik pemerintahan. potensi efek
domino oleh kebijakan aparatur negara

dengan keluarnya surat

pengumuman penerimaan Brigadir Brimob Dan Dalmas oleh Polres


Sumenep Nomor: Peng/03/VI/2012 tertanggal 5 Juni 2012, yang
memberikan batasanbatasan khusus bagi pelamar dari Pondes tertentu,
yang menjelaskan persyaratan lain bagi anggota masyarakat yang bisa
mendaftar menjadi anggota Polisi.
f. KPAI
menyatak
an bahwa
di
Indonesia
belum
semua
anak
dapat
memperol
eh

akses

pendidika

97

dan

pendidika
n

yang

berkualita
s.
Sepanjan
g

2010-

2013
ditemuka
n

15

(lima
belas)
bentukbentuk
diskrimin
asi

yang

dilakukan
sekolah
kepada
siswa,
sebagai
berikut:
1. Tidak
bisa
sekolah
karena
tidak
memiliki
akte
kelahiran
2. Tidak
bisa

98

masuk
RSBI
karena
nilainya
kurang,
atau kursi
sudah
diplot
siswa
lain.
3. Tidak
bisa ikut
olimpiade
karena
tidak
punya
akte
kelahiran
4. Sekolah
membeda
kan status
orang tua
5. Disabilita
s
6. Anak
mendapat
kan nilai
kecil
karena
tidak mau
mengikuti
les/kegiat

99

an
tambahan
dari
sekolah
lantaran
tidak
punya
biaya
7. Stigma
negatif
karena
pindahan
dari
sekolah
lain
8. Orang tua
odha anak
dikembali
kan

ke

orang tua
9. Tidak
bisa
masuk
jurusan
yang
diinginka
n karena
jurusan
sudah
diisi oleh
orang tua
yang

100

punya
pengaruh/
ekonomi
10. Tidak
dapat
raport
karena
belum
lunas SPP
11. Tidak
mendapat
nilai
agama
karena
orang tua
penghayat
aliran
kepercaya
an
12. Tidak
mendapat
kan
pendidika
n

agama

yang
sesuai
karena
sekolahny
a dikelola
orang
yang

101

berbeda
agama
13. Stigma
negatif
karena
menjadi
korban
kekerasan
seksual
14. Anak
mendapat
pelajaran
yang
menyema
ikan
diskrimin
asi gender
15. Anak
tidak
boleh
masuk
sekolah,
dipersulit
pindah
karena
keyakinan
nya
g. Walaupun pendidikan telah digratiskan, tapi faktanya masyarakat belum
bebas memilih sekolah favorit maupun unggulan sesuai keinginannya.
Untuk memilih sekolah unggulan maka ada prasyarat pembiayaan yang
harus dilalui peserta didik. Atas nama biaya komite sekolah dan
terbatasnya kuota peserta didik di sekolah unggulan mengharuskan

102

sebagian penyelenggara pendidikan di sekolah tersebut melakukan


tindakan diskriminatif atau mereka tidak segan menawarkan biaya khusus
jika ingin menjadi peserta didik di sekolah unggulan. Pada tingkat
pendidikan tinggi, beberapa kampus negeri besar secara terang-terangan
membuka jalur khusus bagi peserta didik yang mampu membayar, ataukah
pilihan-pilihan fakultas yang terkesan mahal dibanding fakultas non
favorit lainnya.
h. Kualitas peserta didik berdasarkan prestasinya juga memperlihatkan
perlakuan diskriminatif. Jika membandingkan sekolah unggulan atau
sekolah swasta berbayar lainnya mampu menghasilkan prestasi yang
berbeda. Sebagian besar peserta didik sekolah unggulan maupun swasta
berbayar menghasilkan peserta didik berprestasi karena dukungan fasilitas,
akses informasi pengetahuan, maupun kualitas para pendidiknya lebih
dibanding sekolah lainnya. Walaupun masih ada satu atau dua peserta
didik dari sekolah yang tidak diunggulkan membuktikan prestasi peserta
didiknya
i. Pelanggaran terhadap Pasal 49 Undang-Undang Perlindungan Anak, yang
merupakan diskriminasi terhadap siswa anak dari keluarga tidak mampu.
SPP gratis baru sampai SMP (dan ternyata banyak iuran wajib lainnya,
termasuk beli buku, seragam sekolah). Sampai ada anak tidak bisa
mengambil ijasah karena masih menunggak uang sekolah sehingga tak
bisa mendaftar pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Demikian juga
terhadap Pasal 51, dimana ternyata banyak anak cacat banyak dieksploitasi
untuk mengemis di jalanan, atau menjadi anak jalanan.
j. Perlakuan diskriminatif lainnya adalah letak geografis. Sekolah yang
berada dekat pada akses ibukota berbeda dengan sekolah yang terpencil.
Hal tersebut disebabkan karena perbedaan fasilitas yang dialami dalam
proses belajar mengajar. Peserta didik di kota-kota besar dengan mudah
mendapatkan fasilitas tambahan seperti pelajaran tambahan dari guru
maupun kursus dibandingkan dengan anak yang bermukim pada daerah
terpencil.

103

k. Diskriminasi lain yang

sering ditemui adalah ketika harus melamar

pekerjaan. Ternyata ada perlakuan diskrimatif yang ditunjukkan oleh para


penerima lamaran pekerjaan, baik yang terjadi secara kasuistik pada
lembaga pemerintah ataupun industri/ perusahaan penerima lamaran
pekerjaan. Kompetisi terselubung sesama alumni kampus besar sering
terjadi

dalam

pencarian

lapangan

kerja.

Pemberi

kerja

sering

mempertimbangkan status alumni kampus para pencari kerja untuk


menentukan kelulusan dalam melamar pekerjaan.
l. Fakta lain yang ditemui adalah Pasal 50 ayat 3 Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Demi mengejar standar
internasional, khususnya standar negara-negara maju yang tergabung
dalam Organisation

for

Economic

Co-operation

and

Development (OECD), pemerintah menlaksanakan proyek keberadaan


Rintisan

Sekolah

Bertaraf

Internasional

(RSBI/Sekolah

Bertahap

Internasional). Ternyata RSBIRSBI/SBI telah menciptakan diskriminasi


dalam dunia pendidikan. Ditentukan standar siswa RSBI: kecerdasan harus
melebihi inteligensi kolektif Indonesia (TIKI), berbakat, memiliki nilai
rata-rata 7,5,dan kemampuan bahasa Inggris. Selain itu, sarana dan
prasarana RSBI serba lengkap dan mewah. Sistem pembelajarannya
ditopang dengan sistim TIK (teknologi informasi dan komunikasi) dan
perpustakaan digital. Selain itu, adanya pembedaan RSBI/SBI dan nonRSBI/SBI

dapat

menimbulkan

kesan

adanya

kasta-kasta

dalam

pendidikan. Kemudian berdasarkan ketentuan dari Permendiknas 78/2009,


sekolah RSBI/SBI bisa melakukan pungutan terhadap siswa/orang tua
siswa. Akibatnya, sekolah RSBI ini pun menjadi ajang bisnis. Praktek
diskriminasi kembali terjadi. Siswa yang bisa masuk dan mengakses
pendidikan di RSBI hanyalah dari kelompok masyarakat yang sanggup
membayar mahal, sedangkan siswa dari keluarga miskin, sekalipun cerdas
sangat sulit untuk mendapatkan layanan RSBI. Konsep RSBI sangat
berlawanan dengan konstitusi UUD 1945. Prinsip UUD 1945 adalah
mencerdaskan kehidupan bangsa. Artinya, seluruh rakyat Indonesia, baik
laki-laki maupun perempuan berhak untuk mengakses pendidikan yang
104

sama, fasilitas yang sama, dan kualitas yang sama. Dengan demikian,
dalam memajukan kualitas pendidikan nasional, pemerintah seharusnya
tidak bertindak diskriminatif. Namun pada akhirnya Mahkamah Konstitusi
(MK) membatalkan Pasal ini dan menghapus keberadaan rintisan sekolah
bertaraf internasional (RSBI/SBI).
4.4.3. Faktor Penyebab Diskriminasi Dalam Pendidikan
Semua warga negara harus mempunyai kesempatan yang sama di bidang
pendidikan. Oleh karena itu, diskriminasi pendidikan, baik menyangkut
diskriminasi sosial, diskriminasi kewilayahan, maupun diskriminasi agama, harus
dihapuskan, setidaknya diperkecil. Semua warga negara harus mempunyai akses
yang sama. Tidak boleh dibedakan kaya-miskin. Ini berarti bahwa Pemerintah
juga harus terus berupaya meningkatkan kualitas pendidikan agar merata di semua
wilayah Tanah Air. Peningkatan kualitas ini menyangkut sarana dan prasarana,
guru, ataupun aspek pendidikan lainnya. Sistem pendidikan misalnya, membuat
manusia mampu menggunakan akal-kreatif agar dapat bertahan hidup di dunia
ini. Pendidikan menjadi faktor penggerak yang utama bagi manusia untuk
"mengembangkan nasib" menjadi lebih baik. Tak ada satu pun alasan bagi sebuah
institusi pendidikan untuk menolak individu yang ingin menempuh pembelajaran.
Setiap manusia memiliki hak dasar untuk merasakan pendidikan secara layak.
Sehingga kebodohan tidaklah menjadi penghalang bagi masyarakat lebih
mengembangkan kemampuan untuk mensejahterakan dirinya.
Dilematis memang nyata terjadi di dunia pendidikan, pendidikan telah
merangkak menjadi komoditi mewah, yang tidak dengan mudah bisa diakses oleh
warga negara secara adil. Biaya pendidikan yang mahal adalah penyebab
utamanya. Oleh karena itu, penciptaan diskriminasi justru dimulai dari
pendidikan, hanya orang mampu secara ekonomi yang boleh menikmati
pendidikan di berbagai level pendidikan. Padahal, dipercaya bahwa pendidikan
adalah media bagi manusia untuk berlaku lebih baik di dunia ini.
Dengan pendidikan, segala aturan dan norma yang berlaku di masyarakat bisa
ditransformasikan

kepada

individu.

Roh

pendidikan

berupa

penciptaan masyarakat yang berbudaya dan bermoral sesuai dengan norma


menjadi tersendat. Berbagai bentuk diskriminasi yang sampai hari ini masih

105

merasuk ke dalam kehidupan masyarakat tentu saja terjadi karena tiap warga
negara Indonesia belum memperoleh pendidikan yang berkualitas secara setara.
Perlakuan diskriminatif muncul karena kecemburuan, kebodohan dan sikap
memandang rendah manusia. Pendidikan adalah medium yang mampu menghapus
segala penyebab diskriminasi tersebut. Melalui pendidikan, manusia diajarkan
untuk memandang manusia apa adanya. Melalui pendidikan pula, menurut Emile
Durkheim, sikap taat pada aturan yang telah tertata sebelum manusia lahir
bisa dibentuk. Selama ini, pemaknaan pendidikan untuk semua justru sering
berada pada ruang yang salah-kaprah. Jika bangsa Indonesia mau menghapuskan
segala bentuk diskriminasi yang kerap terlihat dalam masyarakat, mau tidak mau
pendidikan yang berkualitas harus dibentuk oleh Pemerintah. Pendidikan harus
menjadi ranah yang mudah dijangkau oleh siapa pun di republik ini, bukan malah
menjadi pemikiran kedua bagi pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan.
Membangun negara melalui pendidikan yang ramah bagi semua akan tercipta
masyarakat yang saling menghormati tiap hak yang melekat pada diri individu
dan meningginya sikap toleransi. Walau ada sedikit kemajuan di era desentralisasi
saat ini, karena pemerintah daerah dengan kreatif melaksanakan amanah
konstitusi tersebut dengan model pendidikan gratis ke jenjang lebih tinggi lainnya
selain pendidikan dasar saja. Walaupun masih muncul kritikan oleh beberapa
pakar yang menilai kualitas pendidikan gratis kurang dibanding pendidikan yang
berbayar dan mahal.
Dilihat dari kacamata waktu dan strata kehidupan, pendidikan mengandung
nuansa kebertingkatan. Disatu pihak, karena merupakan sebuah proses maka
pendidikan memuat pentahapan. Dilain pihak, karena ada pendidik dan ada
peserta didik, maka pendidikan mengenal perbedaan status. Karena kenyataan,
pendidikan amat rentan terhadap kekerasan. Oleh karenanya bagaimana
pentahapan waktu dan perbedaan strata kestatusan itu harus dikelola, sehingga
pendidikan mampu menjadi sarana pemberdayaan, pengayaan dan tidak melindas
nilai-nilai kemanusiaan, seperti kemerdekaan, hormat pada pribadi dan keadilan.
Walau ada sedikit kemajuan di era desentralisasi saat ini, karena Pemerintah
Daerah dengan kreatif melaksanakan amanah konstitusi tersebut dengan model
pendidikan gratis ke jenjang lebih tinggi lainnya selain pendidikan dasar saja.

106

Walaupun masih muncul kritikan oleh beberapa pakar yang menilai kualitas
pendidikan gratis kurang dibanding pendidikan yang berbayar dan mahal.
Pendidikan mengandung nuansa kebertingkatan. Di satu pihak, karena
merupakan sebuah proses maka pendidikan memuat pentahapan. Dilain pihak,
karena ada Pendidik dan ada Peserta Didik, maka pendidikan mengenal perbedaan
status. Yang dapat menyebabkan bahwa

pendidikan amat rentan terhadap

kekerasan. Oleh karenanya bagaimana pentahapan waktu dan perbedaan strata


kestatusan itu harus dikelola, sehingga pendidikan mampu menjadi sarana
pemberdayaan, pengayaan dan sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan, seperti
kemerdekaan, hormat pada pribadi dan keadilan. Menanggapi hal ini kita lihat
lagi bangunan pendidikan seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Bila
berbicara mengenai unsur pendekatan pendidikan: kerangka, harus dilihat juga
pada pranata dan kurikulum. Demikian sebaliknya baik pranata maupun
kurikulum, harus dilihat secara keseluruhan yang saling kait-mengait. Unsurunsur pokok bangunan pendidikan, selain pelaku utama yakni pendidik dan
peserta didik, juga meliputi kerangka, pranata, dan kurikulum pendidikan.
Pendidik dapat dapat terdiri dari dosen, guru, pemimpin, orang tua, media massa,
orang dewasa, dan masyarakat pada umumnya. Peserta didik dapat mencakup
anak-anak, remaja, rakyat, dan berbagai lapisan serta golongan masyarakat.
Kerangka pendidikan adalah visi, misi, filsafat, dan berbagai teori-teori dasar
pendidikan serta acuan undang-undang dan peraturannya. Pranata pendidikan
adalah sarana-sarana pendidikan, gedung, lapangan, tempat pertemuan, konteks
masyarakat, alat-alat peraga, buku-buku, jurnal, berbagai produk media massa,
laboratorium sampai kepada sumber budget pendanaannya. Kurikulum pendidikan
adalah berbagai isi, baik itu nilai terumus dan tertindak, serta ilmu pengetahuan
yang dikelola dan disampaikan secara sistematik.

Piramida Bangunan

Pendidikan yang selama ini berlaku adalah menempatkan menempatkan peserta


didik pada posisi terbawah, kurikulum berada ditengah dan posisi pendidik berada
paling atas. Dapat dibayangkan bahwa dengan piramida

semacam ini pada

prakteknya akan merugikan peserta didik. Peserta didik dijadikan obyek


pendidikan, sementara pendidik yang berada di posisi teratas dan menghasilkan
aturan, kebijakan bahkan kurikulum memaksakan penerapannya pada peserta

107

didik, tanpa melihat kebutuhan dan keterlibatan peserta didik. Satu hal yang pasti
akan banyak terjadi benturan-benturan yang suklit dihindari dan akhirnya
membuahkan pertentangan dan diskriminasi.. Piramida ini harus diubah, harus
dibalik. Peserta didik harus berada di posisi teratas dan ditengah adalah kurikulum
yang merupakan produk bersama melibatkan peserta didik dan elemen pendidikan
lainnya dan pendidik berada dibawah dengan membawa kurikulum untuk
diterapkan pada peserta didik.
Banyak faktor penyebab terjadinya kasus diskriminasi yang terjadi dalam
dunia pendidikan, antara lain adalah:
a. Anggapan yang salah tentang siswa-siswa yang memiliki keterbatasan fisik.
Anak-anak yang memiliki cacat fisik selalu dinomor duakan. Siswa
yang memiliki keterbatasan fisik tidak dapat menempuh pendidikannya di
sekolah umum, melainkan harus di sekolah luar.
b. Pembiaran masyarakat
Saat

terjadi

diskriminasi

terhadap

anak-anak

yang

memiliki

keterbatasan kemampuan fisik, masyarakat memaklumi tindakan sekolah,


karena merasa hal tersebut sudah biasa terjadi. Padahal, jika hal ini dibiarkan
terus terjadi, anak-anak yang memiliki keterbatasan kemampuan fisik ini
akan merasa terdiskriminasi selamanya dan merasa bahwa pendidikan tidak
lagi bisa menjebatani kekurangan fisik yang dimilikinya dengan dunia luar.
c. Sekolah yang cenderung menjaga nama baik
Pada banyak kasus yang terjadi, jelas terlihat bahwa sekolah hanya
peduli dengan nama baik sekolah, tanpa mempedulikan apa sebenarnya
fungsi dari sekolah itu sendiri. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat
dimana anak bisa mengekspresikan apa yang ada dalam pikiran mereka,
malah berubah menjadi sebuah tempat yang mengkotak-kotakkan anak
berdasarkan kemampuan fisik.
d. Terjadinya diskriminasi menurut kemampuan akademis
Terjadi kesalahan penafsiran tentang anak pandai dan anak bodoh.
Sekolah atau pun orangtua sering salah menafsirkan antara anak pandai
dengan anak bodoh yang memandang seseorang pandai atau bodoh

108

berdasarkan nilai. Padahal, ada banyak aspek kecerdasan yang dimiliki


masing-masing anak.
e. Adanya keinginan dari pihak sekolah untuk meningkatkan citra sekolah
Sekolah

beranggapan

bahwa

jika

anak-anak

yang

memiliki

kemampuan diatas rata-rata dibiarkan berada dalam kelas regular, anak-anak


ini akan kehilangan daya saingnya dan dikhawatirkan akan mudah
meremehkan pelajaran karena di kelas non unggulan persaingan tidak terlalu
ketat. Kelas unggulan akan sangat bermanfaat bagi peningkatan citra
sekolah, karena hasil dari kelas unggulan ini berhasil bersaing dengan
sekolah-sekolah lain atau bahkan menjadi yang terbaik di daerahnya.
f. Keinginan dari para siswa
Siswa yang memiliki kemampuan akademis lebih tinggi daripada yang
lain cenderung menginginkan untuk berada pada tempat yang berbeda pula
dengan yang memiliki kemampuan akademik rata-rata. Para siswa ini
beralasan akan jenuh jika harus menunggu teman-temannya yang lain yang
belum bisa. Sementara jika siswa yang memiliki kemampuan akademik
lebih tinggi daripada yang lain dapat menyalurkan kelebihannya kepada
siswa lain yang kemampuan akademisnya rata-rata.
h. Keinginan guru
Guru menginginkan kemudahan dalam bekerja. Untuk mencapai
keinginan tersebut dibentuklah kelas unggulan yang berisikan siswa-siswa
cerdas yang dapat dengan mudah menangkap apa yang diajarkan oleh guru.
Guru menganggap mengajar di kelas unggulan sebagai berkah dan
menganggap mengajar di kelas non unggulan sebagai musibah. Pada
akhirnya, guru akan lebih memperhatikan siswa-siswa yang berada di kelas
unggulan daripada di kelas non unngulan.
i. Penyebab terjadinya diskriminasi menurut kemampuan ekonomi, yang lebih
kepada anggapan bahwa sekolah bukan lagi tempat mencari ilmu. Sekolah
yang dahulunya merupakan tempat mencari ilmu yang menerapkan prinsip
memberi dengan ikhlas, telah berubah menjadi sebuah momok bagi anakanak miskin yang tidak memiliki biaya untuk membayar sekolah. Bahkan

109

banyak anak-anak miskin yang sudah mulai putus asa. Mereka mulai
berpikir bahwa pendidikan hanya untuk anak dari keluarga kaya.
j. Tidak adanya bantuan dari pemerintah, menyebabkan pertanyaan kepada
siapa lagi anak-anak miskin harus meminta bantuan, jika tidak kepada
pemerintah. Pemerintah yang sebenarnya dapat memberikan bantuan kepada
siswa-siswa

miskin

malah

menghambur-hamburkan

uang

untuk

pembangunan sekolah-sekolah RSBI.


4.4.4. Permasalahan dan Alternatif Solusi
Berdasarkan uraian sebelumnya, beberapa permasalahan dan alternatif
pemecahan sebagai saran antara lain adalah:
a. Belum meratanya kesempatan pendidikan bagi setiap warga negara, dalam
arti belum semua warga memiliki akses pendidikan yang sama, apa pun
tingkat ekonominya, di mana pun tempat tinggalnya, dan apa pun latar
belakang sosialnya.
b. Kurang relevansinya pendidikan dengan pembangunan. Salah satu konsep
yang digunakan dalam penetapan strategi ini adalah konsep link and match
(keterkaitan dan kesepadanan) antara materi ajar (curriculum content)
dengan kebutuhan di lapangan (job market).
c. Belum adanya keseimbangan antara bidang studi akademik dan non
akademik yang didasarkan pada: 1) Learning to think, artinya proses belajar
sepanjang hayat diarahkan pada bagaimana belajar untuk berpikir. 2)
Learning to do, artinya belajar bagaimana mengerjakan. 3) Learning to be,
artinya belajar bagaimana secara sadar untuk tetap hidup. 4) Learning to
live together, di era informasi saat ini manusia semakin dekat satu dengan
yang lain, sebab itu manusia harus belajar untuk dapat hidup bersama secara
berdampingan.
d. Keterbatasan

kapasitas,

moral,

komitmen,

dan

status

pendidik,

ketidakpastian bahwa pendidik memiliki cukup pelatihan sebelum dan


ketika memberikan layanan pendidikan, memperoleh pengembangan
professional, jabatan, dan penghasilan.

110

e. Kurangnya pengembangan standar dan pengawasan kualitas pendidikan,


pengawasan kualitas pendidikan melalui berbagai survei dan penelitian,
pengembangan sistem informasi dan manajemen untuk mendukung
akuntabilitas proses pelaksanaan pendidikan, peningkatan kapasitas institusi
dan organisasi pendidikan, peningkatan kualitas pendidikan dan proses
pengajaran; perluasan cakupan jumlah sekolah yang terakreditasi dan
jumlah tenaga pendidik yang memperoleh sertifikasi, dan pengembangan
dan perluasan perpustakaan sekolah serta sistem pelayanannya.
f. Perilaku diskriminatif pendidikan sudah harus dihapuskan. Pendidikan harus
adil dan merata secara kualitas, baik fasilitas, tenaga pendidik maupun akses
bacaan peserta didik diseluruh pelosok. Pendidikan sebaiknya tidak
memberi kesan lebih kepada yang mampu membayar, pendidikan idealnya
mampu memberi kebebasan kepada masyarakat untuk menentukan
pilihannya demi mewujudkan tujuan pendidikan secara nasional. Kualitas
sebaiknya tidak dinilai dari kampus maupun berdasarkan angka-angka di
ijasahnya, melainkan kualitas berdasarkan akhlak, budi pekerti maupun
kecerdasan secara emosional, intelektual dan spiritual yang mampu dinilai
dari aspek kognitifnya (sikap) peserta didik.
g. Hal-hal bernuansa diskriminatif dalam dunia pendidikan tidak selayaknya
dipertahankan dan dibiarkan membudaya. Pelaku pendidikan harus giat
dalam mewujudkan reformasi dalam diri sendiri dan bagi lingkungan .
h. Dalam

upaya

memerangi

diskriminasi,

diperlukan

pertimbangan-

pertimbangan yang berkaitan dengan:


1) kecakapan hidup, pengetahuan, dan partisipasi anak agar memiliki
kepercayaan diri, dan anak-anak didengar pendapatnya di sekolah, di
rumah, dan di komunitas.
2) Kapasitas keluarga dan komunitas, pendidikan yang berhubungan
dengan keluarga dan masyarakat sekitar.
3) Pelayanan pendidikan dasar gratis bagi semua anak termasuk pengungsi,
ketentuan non diskriminasi untuk mendapatkan pelayanan kesehatan,
termasuk pekerja seks anak dan tahanan, memfungsikan sistem jaminan
sosial, shelter, hotline, dan training kepada guru.

111

i. Pemerintah perlu menyusun kebijakan sistem pendidikan yang kolaboratif


dan integratif.
j. Mengembangkan pendidikan yang relevan dengan dunia kerja dan dunia
pasar. Perlu dikembangkan suatu strategi pendidikan yang mengarahkan
para lulusan lembaga pendidikan memiliki pengetahuan dan keterampilan
untuk terjun dalam dunia kerja.
k. Pemerintah perlu mengembangkan pendidikan terbuka, pendidikan yang
inklusif, artinya pendidikan yang terbuka dan bersikap kritis dengan segala
masukan dari luar dan mengembangkan pendidikan multikultural, artinya
pendidikan yang menghargai pluralitas keanekaragaman budaya bangsa
Indonesia dan budaya asing.
l. Pembangunan Sekolah Ramah Anak menjadi pilihan yang tepat dimana
pihak sekolah harus mampu memberi perlakuan sama terhadap setiap anak,
baik laki-laki maupun perempuan dan memantau perkembangan kepribadian
anak didik, serta memberikan ruang partisipasi yang luas baik kepada siswa
itu sendiri maupun masyarakat secara transparan dan akuntabel.
m. Beberapa hal lain yang dapat dilakukan untuk mengatasi problematika
diskriminasi pendidikan. antara lain :
1) pemerintah harus melibatkan peran serta masyarakat dalam
pembangunan pendidikan melalui program link and match.
2) memberikan beasiswa kepada siswa berprestasi yang berasal dari
keluarga kurang mampu. Sehingga setiap siswa memiliki kesempatan
yang sama untuk sekolah bahkan bisa melanjutkan ke perguruan
tinggi.
3) pemerintah harus menata ulang kebijakan proses Penerimaan Siswa
Baru (PSB) bagi sekolah dasar dan menengah maupun Seleksi
Masuk Nasional Perguruan Tinggi Negeri (SMNPTN), serta
menindak tegas lembaga pendidikan yang melakukan praktek KKN
dalam penerimaan siswa/mahasiswa baru. Salah satu penyebab
kegagalan dan keengganan siswa untuk melanjutkan pendidikan
lebih tinggi adalah karena berbelitnya prosedur penerimaan
siswa/mahasiswa baru ditambah lagi dengan praktek KKN yang
112

selalu menghiasinya, sehingga peluang anak kurang mampu dan tak


punya keluarga pejabat semakin kecil.
4) untuk

mengatasi

diskriminasi

pendidikan

dalam

proses

pembelajaran, pemerintah harus merumuskan sistem evaluasi


pembelajaran yang integral dan universal.

Sehingga proses

pembelajaran berorientasi pada semua aspek baik kognitif, afektif


maupun psikomotor. Dengan demikian pendidikan akan akan
menghasilkan lulusan yang cerdas secara kognitif, berakhlak mulia
dan

mampu

berkarya.

Kebijakan

pemerintah dan

partisipasi

masyarakat demi terwujudnya pendidikan untuk semua sangat


dinantikan oleh masyarakat.
Keyakinan bahwa setiap manusia adalah makhluk yang perlu dan mampu
berkembang, tidak hanya secara kuantitatif melainkan juga secara kualitatif perlu
dipegang teguh agar manusia dapat berkembang menjadi manusiawi. Untuk itu
pendidikan menjadin salah satu kebutuhan dasar bagi manusia, Pendidikan
dibutuhkan sebagai upaya memanusiakan manusia (humanisasi). Penghapusan
tindakan diskriminasi hendaknya tidak hanya mengupayakan pada hal-hal yang
hanya sebatas pada upaya mengatur jaminan penikmatan hak asasi manusia dalam
peraturan perundang-undangan dan kebijakan (legal frame work and states
policy). Tetapi juga harus diikuti langkah-langkah implementasi, monitoring dan
evaluasi, penegakan hukum, dan penganggaran. Di sisi lain, upaya tranformasi
norma-norma universal hak asasi manusia ke dalam hukum domestik tidak
tereduksi secara substansi. Perumusan integrasi pendidikan kesetaraan gender ke
dalam kurikulum dan dapat menghasilkan perangkat pembelajaran pendidikan
kesetaraan gender yang terintegrasi dalam kurikulum yang berkualitas. Integrasi
pendidikan

kesetaraan

gender

ke

dalam

kurikulum

dilakukan

dengan

mengembangkan beberapa butir standar kompetensi dan kompetensi dasar yang


memiliki potensi untuk integrasi pendidikan kesetaraan gender. Pengintegrasian
ini mengikuti pola pembelajaran terpadu. Karakteristik pendidikan gender adalah
materi (preventif, kuratif), kompetensi (kognitif, afektif dan psikomotorik),
strategi (kritis, kreatif, reflektif) dan evaluasi (holistik).

113

4.5. Penanganan Kekerasan Terhadap Anak


Hak Setiap anak Indonesia untuk Mendapatkan Perlindungan Hukum,
berarti setiap anak memiliki hak untuk hidup, tumbuh dan berkembang sesuai
harkatnya, oleh karena itu setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan
yang telah dijamin oleh undang-undang. Dalam penyekenggaraan perlindungan
hukum anak, amat penting untuk melihatnya dari berbagai berbagai aspek, yaitu:
(a) perlindungan terhadap hak-hak asasi dan kebebasan anak; (b) perlindungan
anak dalam proses peradilan; (c) perlindungan kesejahteraan anak (dalam
lingkungan keluarga, pendidikan dan lingkungan sosial); (d) perlindungan anak
dalam masalah penahanan dan perampasan kemerdekaan; (e) perlindungan anak
dari segala bentuk eksploitasi (perbudakan, perdagangan anak, pelacuran,
pornografi, perdagangan/penyalahgunaan obat-obatan, memperalat anak dalam
melakukan kejahatan dan sebagainya); (f) perlindungan terhadap anak-anak
jalanan; (g) perlindungan anak dari akibat-akibat peperangan/konflik bersenjata;
(h) perlindungan anak terhadap tindakan kekerasan. Jika mereka melakukan
kesalahan atau tindak pidana hak-hak mereka sebagai anak-anak harus tetap
dilindungi. Penahanan atau penangkapan dilakukan sesuai hukum yang berlaku
dan hanya dilakukan sebagai upaya terakhir. Jika anak dinyatakan bersalah maka
penanganannya diarahkan pada perwujudan anak sebagai sumber daya yang
berkualitas dan mampu memimpin dan memelihara kesatuan dan persatuan
bangsadi masa mendatang. Upaya selanjutnya yang diperlukan adalah pembinaan
secara terus menerus demi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan
fisik, mental dan sosial serta terhindar dari segala kemungkinan yang
membahayakan mereka. Dalam rangka merealisasi berbagai hal upaya tersebut,
sering dihadapkan pada permasalahan dan tantangan yang berkembang dalam
masyarakat, bahkan sering dihadapkan pada kenyataan adanya penyimpangan
perilaku anak atau perbuatan melanggar hukum yang disebabkan oleh berbagai
faktor. Faktor tersebut antara lain, dampak negatif dari perkembangan
pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi,
kemajuan ilmu pengetahuan dan komunikasi serta perubahan gaya hidup yang
cenderung membawa perubahan sosial dan budaya dalam masyarakat. Hal ini
tentunya akan mempengaruhi persepsi nilai dan pola perilaku anak. Bila terjadi

114

pelanggaran hukum oleh anak, diberlakukan Undang-Undang No. 3 Tahun 1997


yang lebih spesifik melihat pada pembedaan perlakuan terhadap anak di dalam
hukum acara dan ancaman pidananya.
Pada hakekatnya, dalam penegakan hukum pidana selalu ada 2 (dua) aspek
yang saling berbenturan yaitu aspek individu dengan aspek kepentingan umum.
Pada kepentingan individu akan selalu menghendaki adanya kebebasan pribadi
tapi disisi lain aspek kepentingan umum menghendaki terciptanya tatanan
masyarakat yang aman, tertib dan damai. Dua aspek ini seringkali memungkinkan
terjadinya perbenturan,

sehingga sangat diperlukan harmonisasi agar tercipta

keseimbangan menuju ketertiban dan keadilan. Idealnya, para penegak hukum


haruslah mempertimbangkan tujuan hukum yang berkenaan dengan kepastian
hukum, kemanfaatan dan keadilan. Demikian pula dalam proses peradilan pidana
untuk anak, selain tujuan hukum itu sendiri, mereka juga harus memiliki
pemahaman terhadap anak (perspektif anak). Untuk itu, dalam proses
penyelesaian perkara terhadap anak, diperlukan aparatur penegak hukum
(kepolisian, kejaksaan, peradilan dan advokat serta berbagai elemen lainnya) yang
mampu berpikir serta bertindak holistik dengan mekanisme yang integratif dan
bukan sekedar menjadi corong undang-undang. Praktek-praktek implementasi
sistem peradilan pidana anak yang menyimpang berkorelasi positif dengan
formulasi substansi instrumen hukum hak asasi internasional yang telah
diratifikasioleh Pemerintah Indonesia.

Pengejawantahan nilai-nilai, prinsip-

prinsip, dan norma-norma hukum hak asasi manusia internasional yang telah
dituangkan dalam peraturan perundang-undangan nasional hendaknya diwujudkan
pada implementasinya. Ketidakjelasan arah politik hukum yang paling
berpengaruh menjadi penyebab utama penyimpangan substansi dan praktekpraktek hukum harus dihindari. Aparat hukum sebagai para pelaksana Undangundang dalam konteks implementasi sistem peradilan pidana anak, bertugas dan
berperan

pada semua proses dan tahapan peradilan pidana, sesuai dengan

kewenangan dan tugas pokok masing-masing institusi yang berdasar pada


peraturan perundangan yang berlaku. Penanganan yang berorientasi kuat pada
masing-masing tupoksi institusi dapat berimplikasi pada belum optimalnya
perlindungan dan pemenuhan hak-hak bagi ABH. Oleh karena itu, penanganan
ABH perlu dilakukan secara holistik dan terintegrasi baik oleh aparat penegak
115

hukum maupun para pemangku kepentingan dari kementerian dan lembaga


terkait. Untuk mewujudkan aparatur penegak hukum yang berpikir dan bertindak
holistik bukanlah pekerjaan mudah karena telah berurat-akarnya pola pikir
aparatur penegak hukum yang jauh dari nilai-nilai holistik. Dalam hal ini, dengan
perkembangan yang ada, maka diperlukan aparatur penegak hukum yang
mempunyai perspektif anak dan selalu menjunjung tinggi sumpah profesi masingmasing. Sebaik apapun produk perundang-undangan tanpa mentalitas yang baik
aparatur penegak hukum maka penegakannya tidak akan pernah terwujud dan
hanya sekedar menjadi teori. Demikian pula dalam proses peradilan pidana untuk
anak, mereka juga harus memiliki pemahaman terhadap anak (perspektif anak).
Untuk itu, dalam proses penyelesaian perkara terhadap anak, diperlukan aparatur
penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, peradilan dan advokat serta berbagai
elemen lainnya) yang mampu berpikir serta bertindak holistik dengan mekanisme
yang integratif dan bukan sekedar menjadi corong undang-undang.

4.5.1. Upaya Yang Telah Dilakukan


Bagaimanapun harus diakui pada sisi kebijakan Pemerintah sudah sangat
memperhatikan kepentingan anak, terbukti dengan banyaknya peraturan yang
dubentuk untuk menyelesaikan atau paling tidak meminimaliasi banyaknya anak
yang menjadi korban ataupun pelaku kejahatan dan mengupayakan agar mereka
tetap memperoleh hak-haknya bila mereka harus berhadapan dengan hukum.
Paling tidak ada upaya memperkecil kesenjangan yang ada dengan apa yang
tercantum dalam Konvensi Hak Anak. Meskipun masih terdapat beberapa prinsipprinsip kepentingan anak dalam instrumen KHA (The Beijing Rules, Havana
Rules, Tokyo Riules dan Riyadh Rules) belum dimuat dalam Undang-Undang
Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, belum Selain Undang-Undang
No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dapat disebutkan berbagai peraturan
perundangan dan kebijakan yang ada untuk kepentingan anak antara lain:
UU No. 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan
dan Perlakuan/Hukuman Yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan
(Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading
Treatment or Punishment).

116

UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak


UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah

Tangga
UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana


Perdagangan Orang.
Selanjutnya, penerapan Restorative Justice (keadilan restoratif) yang sedang

diupayakan untuk diterapkan sudah lama terlihat pada beberapa kebijakan


Penegak Hukum, diantaranya:
a. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 6 Tahun 1959, menyebutkan
bahwa persidangan anak harus dilakukan secara tertutup.
b. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 6 Tahun 1987, tanggal 16
November 1987 tentang Tata Tertib Sidang Anak.
c. Surat Edaran Jaksa Agung RI SE-002/j.a/4/1989 tentang Penuntutan terhadap
Anak
d. Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum B-532/E/11/1995, 9 Nov
1995 tentang Petunjuk Teknis Penuntutan Terhadap Anak
e. MOU 20/PRS-2/KEP/2005 Dit.Bin Reh Sos, Depsos RI dan Dit. Pas,
Dep.KumHAM RI tentang Pembinaan Luar Lembaga Bagi Anak Yang
Berhadapan Dengan Hukum
f. Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung RI MA/Kumdil/31/I/K/2005 tentang
Kewajiban Setiap PN Mengadakan Ruang Sidang Khusus & Ruang Tunggu
Khusus Untuk Anak Yang Akan Disidangkan
g. Himbauan Ketua MARI untuk menghindari penahanan pada anak dan
mengutamakan putusan tindakan daripada penjara, 16 Juli 2007
h. Peraturan KAPOLRI 10/2007, 6 Juli 2007 tentang Unit Pelayanan Perempuan
dan Anak (PPA) dan 3/2008 Tentang Pembentukan RPK Dan Tata Cara
Pemeriksaan Saksi&/Korban TP
i. TR/1124/XI/2006 dari Kabareskrim POLRI, 16 Nov 2006 dan
j. TR/395/VI/2008 9 Juni 2008, tentang Pelaksaan Diversi Dan Restorative
Justice dalam Penanganan Kasus Anak Pelaku dan Pemenuhan Kepentingan
Terbaik Anak Dalam Kasus Anak Baik Sebagai Pelaku, Korban Atau Saksi
k. Kesepakatan Bersama Antara Departemen Sosial RI Nomor:
12/PRS2/KPTS/2009, Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI
Nomor: M.HH.04.HM.03.02 Th 2009, Departemen Pendidikan Nasional RI
Nomor 11/XII/KB/2009, Departemen Agama RI Nomor : 06/XII/2009, dan
117

Kepolisian Negara RI Nomor: B/43/ XII/2009 Tentang Perlindungan dan


Rehabilitasi Sosial Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum, Tanggal 15
Desember 2009
l. Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI, Jaksa Agung RI,
Kepala Kepolisian Negara RI, Menteri Hukum dan HAM RI, Menteri Sosial
RI, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI,
No.166/Kma/Skb/XII/2009, No.148A/A/Ja/12/2009, No. B/45/XII/2009,
No.M.Hh-08 Hm.03.02 Tahun 2009, No. 10/Prs-2/Kpts/2009, No. 02/Men.Pp
Dan Pa/XII/2009 Tanggal 22 Desember 2009 tentang Penanganan Anak Yang
Berhadapan dengan Hukum. SKB ini merupakan inisiasi KPPPA,yang telah
membentuk Pokja Penanganan ABH, yang anggotanya terdiri dari berbagai
elemen APH.
m. Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Pidana Peradilan Anak.
4.5.2. Kendala dan Tantangan
Berdasarkan data dari Mabes Polri tahun 2009 bahwa jumlah anak pelaku
tindak pidana selama tiga tahun terakhir mengalami peningkatan. Jumlah anak
pelaku tindak pidana dari sebanyak 3.145 anak pada tahun 2007, meningkat
sekitar 4,3 persen menjadi sebanyak 3.280 anak pada tahun 2008. Demikian pula
kecenderungan tindak kenakalan dan kriminalitas di kalangan anak dan remaja
yang terus meningkat ini secara faktual antara lain terlihat dari berbagai tayangan
berita kriminal di televisi dan mass media lainnya. Hampir setiap hari selalu
disajikan berita mengenai tindak kriminalitas yang dilakukan anak-anak dan
remaja. Harian Republika (2007) dalam salah satu artikelnya menyebutkan bahwa
di wilayah DKI Jakarta tidak ada hari tanpa tindak kekerasan dan kriminalitas
yang dilakukan remaja. Sementara harian Kompas (2007) menyebutkan bahwa
tindak kriminalitas di kalangan remaja sudah tidak terkendali dan dalam beberapa
aspek

sudah

terorganisir.

Kondisi

ini

semakin

diperburuk

dengan

ketidakmampuan institusi sekolah dan kepolisian untuk mengurangi angka


kriminalitas di kalangan remaja. Demikian halnya dengan data hasil penelitian
BPS (2010) menunjukkan bahwa tindak pidana pencurian adalah jenis kenakalan
atau tindak pidana yang paling sering dilakukan oleh anak-anak. Dari sebanyak
200 anak pidana (narapidana anak) yang diteliti, sebanyak 120 anak atau sekitar
118

60,0 persen adalah pelaku tindak pidana pencurian, penyalahgunaan narkoba (9,5
persen), perkosaan/pencabulan (6,0 persen), kecelakaan lalu lintas yang
mengakibatkan kematian orang lain (5,0 persen), pengeroyokan (4,0 persen) dan
penganiayaan (4,0 persen). Belum lagi data tahun 2011 sampai dengan rahun 2013
m yang menunjukan peningkatan kejahatan yang dilakukan baik terhadap anak
(korban) maupun kejahatan yang dilakukan anak (pelaku).
Melihat kenyataan yang demukian, dapat kita katakan bahwa walaupun
telah banyak peraturan dan kebijakan telah dibuat, namun ternyata dalam
prakteknya yang terjadi dilapangan menunjukkan bahwa:
mayoritas anak tidak didampingi penasehat hukum selama proses di

peradilan
masih banyak (mayoritas) anak yang berhadapan dengan hukum di tahan
mayoritas putusan hakim pidana penjara
lebih dari 50 % anak di tahan dan menjalani pidana ditempatkan di tahanan

dan Lapas orang dewasa. (Indonesia baru memiliki 16 Lapas Anak).


banyak hak anak yang terampas selama proses peradilan, diantaranya hak

pendidikan, hak kesehatan, hak untuk berkreasi.


anak jalanan yang menjadi ABH walau sanksi pidana yang diancamkan 5
tahun seringkali ditahan karena tidak ada yang menjamin kemungkinan

terkontaminasi dalam Rutan/ Lapas.


Hal ini disebabkan karena beberapa hal yang terjadi diantara para Penegak
Hukum, antara lain:
penerapan hukum belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan undang-

undang yang berlaku


belum adanya kesamaan persepsi antar para aparat penegak hukum
mengenai penanganan abh untuk kepentingan terbaik bagi anak (the best

interest of the child)


terbatasnya sarana dan prasarana penanganan ABH selama proses

pengadilan (pra maupun pasca putusan pengadilan)


koordinasi antara aparat penegak hukum, Polisi, Jaksa, Hakim, Advokat,
Bapas, Rutan, Lapas, masih tersendat, disamping masih belum adanya
pemahaman yang sama mengenai perspektif anak, masih terjadi juga
adanya kendala ego sektoral.
Kondisi ini juga diakibatkan kurangnya sosialisasi peraturan perundang-

undangan yang terkait anak dan hal-hal yang berhubungan dengan perspektif

119

anak, sehingga pemahaman aparat penegak hukum, masih bervariasi dan


cenderung menggunakan persepsi yang berbeda. Di lapangan, penanganan yang
belum secara komprehensif dan terpadu juga menambah permasalahan, di
samping penyediaan fasilitas, sarana dan prasarana yang belum memadai. Fakta
ini, dipertajam dengan hasil temuan Pusat Kajian Perlindungan Anak FISIP UI
bekerjasama dengan The Asia Foundation dan Ditjen Pemasyarakatan
Kementerian Hukum dan HAM. Hasil kajian menemukan beberapa permasalahan,
antara lain: 1). Situasi anak-anak yang ditahan dan dipenjarakan di rutan dan lapas
orang dewasa jauh lebih buruk ketimbang anak-anak yang berada dalam lapas
khusus anak; 2). Kondisi overcrowding yang berdampak pada buruknya fasilitas
layanan lapas, serta kerentanan menghadapi berbagai kekerasan, penyiksaan dan
ekspoitasi; 3). Ketidakharmonisan dan kesenjangan antara peraturan dengan
penerjemahannya ke dalam perencanaan dan penganggaran; 4). Masih adanya
kesenjangan kapasitas kelembagaan, sumber daya manusia dan terbatasnya
sumber daya financial; 5). Tidak tersedianya model atau mekanisme alternatif
berbasis keluarga atau komunitas yang dapat dikembangkan menjadi standar
nasional; 6). Ketidaktersediaan data dan informasi yang andal dan terkelola
dengan baik.
Secara normatif Indonesia memang telah memiliki berbagai instrumen
hukum untuk pelaksanaannya, namun sejauh ini, dalam prakteknya masih
ditemukan banyak anak menjadi korban kekerasan dan anak sebagai pelaku sulit
mendapatkan akses pada keadilan. Anak menjadi tidak berdaya ketika dihadapkan
pada sistem hukum. Masih terlihat adanya penegak hukum yang cenderung masih
bekerja sendiri-sendiri dalam menangani kasus kekerasan terhadap anak,
menyebabkan proses pemeriksaan memakan waktu yang lama karena proses
birokrasi yang bertele-tele bahkan seringkali bebasnya pelaku kekerasan terhadap
anak dari ancaman atau rendahnya hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan.
Faktor-faktor yang menyebabkan lemahnya sistem hukum tersebut dapat dilihat
dari unsur yang membentuknya, yaitu substansi hukum, struktur hukum dan
budaya hukum. Dengan disahkannya UU.No.11 Tahun 2012 yang lebih
komprehensif memberikan pelindungan kepada ABH, diharapkan:
adanya pelindungan khusus bagi anak yang sesuai dengan harkat dan
martabatnya dalam sistem peradilan.

120

kewajiban Indonesia untuk memberikan pelindungan khusus bagi ABH


dapat terwujud. (sesuai kewajiban dalam KHA)
menghapus angaapan kegagalan sistem peradilan pidana anak untuk
menghasilkan keadilan
tingkat tindak pidana dan residivisme anak mengalami penurunan
proses peradilan tidak lagi memperlakukan anak sebagai orang kecil
pengadilan lebih banyak menerapkan Restoratif Justice.

pengadilan lebih menerapkan pendekatan moral justice, social justice dan


legal justice
4.6. Pengasuhan Anak Tanpa Kekerasan
Kemampuan orang tua dalam pengasuhan anak tanpa kekerasan, dapat
diartikan sebagai kepandaian orang tua sesuai tingkat pengetahuan dan daya nalar
yang dimiliki untuk menjaga, merawat, mengasuh dan mengasihi anak-anaknya
tanpa kecuali hingga tumbuh kembang anak baik secara fisik, intelektual, sosialemosional dan sepiritual. Dalam hidup seseorang, masa anak-anak adalah waktu
untuk membentuk dan menentukan bagi dirinya untuk bertanggung-jawab dan
menjadi dewasa sepenuhnya. Masa ini dapat clan seharusnya menjadi masa yang
menakjubkan di mana anak-anak belajar melalui pengalaman bagi masa depan
mereka. Masa-masa inilah diperlukan perhatian,kasih sayang, tanggung jawab
orang tua untuk mendampingi anaknya. Oleh karena itu

dalam masa itu,

pengasuhan anak merupakan salah satu faktor yang menentukan pertumbuhan dan
perkembangan anak. Kehilangan pengasuhan yang baik, misalnya perceraian,
kehilangan orang tua, pengabaian atau pembiaran per-kembangan anak baik untuk
sementara maupun selamanya, bencana alam dan berbagai hal yang bersifat
traumatis lainnya sangat mempengaruhi kesehatan fisik dan psikologisnya. Pada
prakteknya, dalam pengasuhan ini, orang tua pun tidak dapat melakukan sendiri,
lingkungan masyarakat atau kondisi sosial masyarakat, budaya dan ekonomi
bahkan politik

yang kondusif juga turut mendukung. Hal mendasar yang

hendaknya diketahui dan dipahami bahwa setiap anak berkembang dengan


keunikannya masing-masing karena dipengaruhi oleh lingkungan di mana mereka
menjalani kehidupan termasuk kelas sosial, ekonomi, norma kultural, tradisi lokal
dan keluarga. Selama ini pola relasi yang permanen dan terjadi di masyarakat
121

antara anak anak dengan orang dewasa dilatarbelakangi oleh hal-hal berbagai hak
antara lain: (i) anak-anak dianggap tidak mengetahui permasalahannya; (ii)
persepsi anak-anak dianggap tidak sesuai dengan persepsi orang dewasa; dan (iii)
orang dewasa meyakini bahwa persepsi mereka dapat mewakili persepsi anakanak. Banyak orang tua yang tidak mengetahui, tidak paham dan sering
mengabaikan pola-pola pengasuhan anak sesuai dengan perkembangan anak.
Ketidak pedulian orang tua pada anak juga memperbesar jurang pemahaman dan
kemampuan berkomunikasi dengan anak. Secara spesifik kebijakan atau aturan
mengenai pola pengasuhan anak yang berlaku di Indonesia memang belum ada..
Untuk itu diperlukan adanya penyebar luasan dan peningkatan pengetahuan,
pendidikan kepada masyaraka, khususnya para orang tua tentang pola pengasuhan
yang universal yang dapat dipergunakan oleh semua orang tua dan dapat
diberlakukan pada semua anak tanpa terkecuali. Jika hal ini tidak lakukan dampak
negatif yang mungkin terjadi adalah anak-anak akan mencari di luar rumah yang
cenderung bisa memungkinkan terampas hak-haknya, menjadi dewasa sebelum
waktunya, memperoleh berbagai macam kekerasan, ketidakadilan, penelantaran,
diskriminasi, eksploitasi, maupun perbuatan negatif lainnya. Keadaan ini juga
diperburuk dengan masih belum optimalnya penye-lenggaraan pelayanan sosial
bagi anak yang berbasiskan masyarakat dan kebijakan-kebijakan pemerintah
dalam pembangunan yang belum sensitif terhadap perinsip dan hak-hak dasar
anak.
4.6.1. Upaya Yang Telah Dilakukan
Memang Pemerintah, Kementerian dan Lembaga maupun masyarakat tidak
diam membiarkan begitu saja segala aspek yang dapat menghalangi tumbuh
kembang dan perlindungan anak tumbuh dengan subur. Upaya-upaya yang
bertujuan untuk melindungi anak yang memberikan jaminan terpenuhinya hakhak anak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, baik dalam bentuk regulasi
maupun penerapannya sudah banyak dilakukan. Sejak 2009 kewenangan
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) telah
bertambah untuk melakukan koordinasi dalam kebijakan tentang penyelenggaraan
perlindungan anak. Di satu sisi, sejauh ini tindak lanjut koordinasi ini belum

122

tampak

optimal,

masing-masing

Kementerian/Lembaga

memiliki

dan

mengupayakan pencapaian hasil program unggulannya. Di sisi lain KPPA dengan


program Kota Layak Anaknya (KLA) yang menargetkan 100 kota sebagai Kota
Layak Anak telah berkerjama, berkoordinasi dengan Kementerian atau Lembaga
terkait serta Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota mengupayakan berbagai
kebijakan perlindungan anak yang relevan dengan perwujudan KLA , antara lain
dengan :
mengembangkan mekanisme dan sistem perlindungan anak yang terpadu
sehingga alur perlindungan anak menjadi lebih teratur dan tidak terjadi
lagi tumpang tindih perlindungan anak bekerjasama dengan berbagai
elemen atau lembaga yang memiliki kepedulian terhadap anak dan
lembaga perlindungan anak, seperti berbagai kebijakan penghapusan
kekerasan terhadap anak sebagai acuan bagi kementerian/lembaga,
pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam pemenuhan hak anak ,
yaitu :
o Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan
Anak Nomor 01 Tahun 2009 Tentang Layanan Terpadu Bagi Saksi
Dan /Atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Di
Kabupaten/Kota
o Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan

Dan

Perlindungan Anak Nomor 01 Tahun 2010 Tentang Standar


Pelayanan Minimal Layanan Terpadu Bagi Perempuan Dan Anak
Korban Kekerasan
o Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan

Dan

Perlindungan Anak Nomor 02 Tahun 2010 Tentang Rencana Aksi


Nasional Pencegahan Dan Penanganan Kekerasan Terhadap Anak
o Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan
Dan
Perlindungan Anak Nomor 05 Tahun 2010 Ttg Pembentukan Dan
Pengembangan Pusat Pelayanan Terpadu
o Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan

Dan

Perlindungan Anak Nomor 05 Tahun 2011 Tentang Pedoman


Penanganan Kekerasan Terhadap Anak
o Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan

Dan

Perlindungan Anak Nomor 06 Tahun 2011 Tentang Pencegahan

123

Kekerasan Di Lingkungan Keluarga, Masyarakat Dan Lembaga


Pendidikan
o Panduan Penguatan Kelompok Dasawisma Dalam Pencegegahan

Dan Penanganan Dini Tindak Kekerasan Terhadap Anak.


mengurangi tingkat diskriminasi pada anak bekerjasama dengan
kementerian dan lembaga lain mengupayakan perumusan kembali
berbagai kebijakan dan peraturan yang ada agar batas usia pada anak
perempuan dinaikkan atau minimal setara dengan usia anak laki-lakiyang
akan menikah serta mengambil langkah segera yang diperlukan untuk

mencegah dan mereduksi semua bentuk pernikahan dini.


mengupayakan agar anak-anak yang berasal dari keluarga miskin dan suku
minoritas mendapatkan perhatian yang lebih tinggi untuk mensejahterakan

mereka.
mendorong K/L dan daerah dalam membangun

jejaring kelembagaan

pada untuk mendorong penghapusan kekerasan terhadap anak termasuk


memfasilitasi daerah dalam penyusunan rencana aksi daerah pencegahan

dan penanganan kekerasan terhadap anak.


melanjutkan usaha menghapus pekerja anak (anak-anak yang bekerja)
khususnya dengan menangani akar penyebab eksploitasi ekonomi anak
lewat

penghapusan

kemiskinan

dan

akses

pendidikan

serta

mengembangkan sistem monitoring pekerja anak yang komprehensif


misalnya dengan bekerjasama dengan LSM, penegak hukum, pengawas

buruh dan lembaga lembaga internsional.


menjamin agar Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Orang
dan Eksploitasi Seksual Anak berjalan dengan lancar dan mengupayakan
effektivitas gugus tugas Penghapusan Perdagangan Orang Pusat dan
Daerah serta mengipayakan pemberian alokasi sumberdaya yang memadai
dalam implementasinya serta dapat dilaksanakan secara efektif di tingkat

Provinsi dan Kabupaten.


Layanan yang diberikan untuk perempuan dan anak korban kekerasan
sesuai dengan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Dan
Perlindungan Anak Nomor 01 Tahun 2010 Tentang Standar Pelayanan
Minimal Layanan Terpadu Bagi Perempuan Dan Anak Korban Kekerasan
meliputi:

124

o Layanan pengaduan,
o Layanan kesehatan,
o Layanan rehabilitasi sosial,
o Layanan pemulangan dan reintegrasi sosial,
o Layanan bantuan hukum
Peraturan Menteri ini diterbitkan sebagai pedoman untuk dilaksanakan
oleh Pusat Pelayanan Terpadu di seluruh Indonesia
Dapat dicatat pula berbagai program-program dari masing-masing kementerian
antara lain:
Program Penarikan Pekerja Anak dalam rangka menunjang Program
Keluarga Harapan (PPA-PKH) telah diselenggarakan oleh Kementerian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi sejak 2008, namun hingga saat ini baru
berhasil menarik puluhan ribu anak dari pekerjaan dan di kembalikan ke
bangku sekolah, padahal jutaan anak yang telah terseret menjadi Pekerja

Anak.
Koordinasi

antara

Kementerian

Tenaga

Kerja

dan

Transmigrasi

(Kemenakertrans) dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan


(Kemendikbud) dalam program PPA PKH telah dilakukan, namun di

tingkat implementasi di lapangan sulit diwujudkan.


Walaupun Kemendikbud telah menyediakan sejumlah dana dalam rangka
menunjang wajib belajar, seperti dana bos, beasiswa bagi anak miskin,
sekolah satu atap, pendidikan layanan khusus, dan lain-lain, infrastruktur
yang kurang memadai, letak geografis yang sulit, akses ke sekolah yang
sulit dijangkau, membuat anak maupun orang tua cenderung lebih tertarik
dengan tawaran bekerja, karena hasil kerja dapat dinikmati keluarga secara
nyata dan dalam waktu yang singkat.

Program yang berusaha mengembalikan anak ke sekolah juga dilakukan


Kementerian Sosial, melalui Program Keluarga Harapan (PKH). Di
samping itu, Kemensos juga menargetkan Jakarta bebas dari anak jalanan
di 2013.

4.6.2. Kendala dan Tantangan


Namun meskipun demikian, sejauh ini semua yang dilakukan tidaklah
berjalan mulus dan sesuai dengan yang diinginkan. Jaminan perlindungan dan
pemenuhan hak-hak anak belum optimal, masih sebatas idealitas yang bermain
125

dipermukaan, dalam arti hanya terbatas pada tataran

Input dan Proses.

Kebijakan, peraturan, pedoman, petunjuk pelaksanaan, petunjuk teknis sudah


banyak diterbitkan, bahkan kerja sama atau kesepakatan sudah banyak dilakukan,
namun realitasnya, masih banyak terjadi kekerasan terhadap anak. Sampai akhir
tahun 2013 ini tercatat sekitar 532 kasus kekerasan terhadap anak, terutama yang
berkaitan dengan perlakuan salah dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh
orang dewasa yang merupakan orang terdekat atau dikenal oleh anak. Kondisi
seperti ini tentunya akan menimbulkan pertanyaan apakah pemerintah, perangkat
penyelengara telah optimal memberikan perlindungan agar anak terhindar dari
kekerasan dan terpenuhi hak-haknya, termasuk penyediaan sarana dan prasarana
dan adakah sanksi yang diberikan bagi setiap pelanggaran ? Disinilah dituntut
Peran pemerintah dan masyarakat serta dunia usaha utuk meningkatkan upayanya
dalam mewujudkan perlindungan dan pemenuhan hak anak tersebut. Masih
diperlukan

banyak lembaga pelayanan yang mampu memberikan perawatan,

pengasuhan dan bimbingan sosial. Selama ini berbagai Kementerian sudah


berupaya melalui berbagai programnya sesuai tugas pokok dan fungsinya
(Tupoksi) masing-masing. Akibatnya kemungkinan adanya program yang
tumpang tindih pada masing-masing Kementerian dan Lembaga. Penyelesaian
sektoral tidak akan menuntaskan berbagai permasalahan perlindungan anak dan
pemenuhan hak anak. Kementerian dan Lembaga dituntut untuk lebih giat lagi
terus mengupayakan capaian kinerja di tataran Output yang terasa masih sedikit
dan masih belum banyak menyentuh tataran Outcome. Pemerintah menyadari
bahwa hal ini disebabkan oleh karena keterbatasan sumber daya disamping belum
adanya suatu sistem managemen pengelolaan pidang perlindungan anak. Sehingga
program layanan pemenuhan dan perlindungan hak anak berjalan sporadis dan
reaksioner. Dalam hal ini diperlukan suatu perencanaan, penganggaran dan
pelaksanaan perlindungan anak dan pemenuhan hak anak yang komprehensif dan
terintergrasi. Kerjasama lintas sektor yang berjalan dengan baik, demikian juga
kerjasama antar lembaga pemerintah dengan LSM, dunia usaha, dan masyarakat
serta anak itu sendiri. Kelemahan yang paling menonjol dalam penyelesaian
masalah di bidang perlindungan anak dan pemenuhan hak anak secara
komprehensif dan terintegrasi adalah ketiadaan data, koordinasi dan pengelolaan

126

lintas sektor yang berkelanjutan diantara Kementerian dan Lembaga, masyarakat


serta dunia usaha.
Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disarikan beberapa hal sebagai
berikut:
Secara konseptual konsep dasar perlindungan anak adalah tumbuh
kembang dan perlindungan anak serta pemenuhan hak anak. Itu berarti
harus diupayakan suatu lingkungan yang kondusif agar kebutuhankebutuhan dasar anak untuk tumbuh kembang (asuh, asih, dan asuh)
terpenuhi dengan baik dan benar sesuai dengan

Undang-Undang dan

kebijakan serta aturan yang ada.


Koordinasi dan sinkronisasi antara berbagai pihak baik di pusat, provinsi

dan kabupaten/kota merupakan prasarat utama terlaksananya kebijakan


Intervensi perlindungan anak yang dilakukan saat itu cenderung intervensi
tersier (penanganan kasus) dan sangat sedikit porsi untuk intervensi primer
(pencegahan), yang dapat menekan munculnya kasus baru;

data dan

informasi perlindungan anak masih tersebar di berbagai sektor sehingga


kurang optimal dimanfaatkan untuk pengembangan kebijakan, monitoring
dan evaluasi program perlindungan anak; perlindungan anak merupakan
kebijakan

yang

bersifat

lintas

bidang

pembangunan

sehingga

keberhasilannya ditentukan oleh kinerja dari sektor terkait dan koordinasi


antar K/L/SKPD dan koordinasi pusat-daerah dalam pelaksanaan per-UU

an/kebijakan.
Kebijakan perlindungan anak dan pemenuhan hak anak yang selama ini
ada masih perlu ditingkatkan dengan fokus proritas pada peningkatan
kualitas tumbuh kembang anak, peningkatan perlindungan anak dari
berbagai

tindak

kekerasan

dan

peningkatan/penguatan

jejaring

kelembagaan dengan mengedapankan pendekatan sistem.


Kebijakan Pola Pengasuhan Anak secara komprehensif dan terintegrasi
dengan melibatkan berbagai K/L terkait dan lembaga sosial masyarakat
sampai saat ini, belum terbentuk. Kebijakan Pengasuhan yang Rancangan
Peraturan Pemerintah (RPP) tentang pengasuhan, perwalian, dan
pengangkatan anak yang diprakarsai kementrian sosial masih dalam proses
penyusunan.

127

Untuk lebih mewujudkan apa yang diharapkan dalam perlindungan anak dan
pemenuhan hak anak dalam masa lima tahun kedepan di bidang perlindungan:
1. Diperlukan adanya aksi pemantauan pelaksanaan konvensi hak anak menjadi
kegiatan strategis. Aksi pemantauan ini dapat digunakan motor gerakan
nasional untuk pemenuhan hak anak intuk mengetahui sejauh mana
kewajiban menghormati anak, kewajiban melindungi anak dan kewajiban
memenuhi hak anak seperti yang tertuang dalam berbagai peraturan
perundangan dan kebijakan maupun Konvensi Hak Anak.
2. Perlu mewujudkan lingkungan kondusif yang melindungi dan memenuhi hak
anak, seperti:
o komitmen pemerintah terhadap perlindungan
o perundangan dan penerapannya (enforcement).
o Diskusi terbuka mengenai perlindungan anak
o Sikap, adat istiadat, perilaku dan kebiasaan
o Ketrampilan hidup, pengetahuan dan partisipasi anak
o Kapasitas penyedia pelayanan
o Pelayanan untuk korban
o Pemantauan pelaksanaannya
3. Perlu dilakukan berbagai analisis dan pemetaan tentang kondisi anak
berkaitan dengan isu-isu yang berkembang

akhir-akhir ini yang berkisar

pada: kepemilikan akta kelahiran, korporal punishment, kekerasan terhadap


anak, kesehatan anak, anak dengan disabilitas, pendidikan, perdagangan anak,
anak tanpa kewarganegaraan, eksploitasi seksual, pekerja anak, dan
penelantaran anak serta anak dalam perebutan kuasa asuh akibat perceraian
orang tua.
4. Perlu diterapkannya pendekatan dalam perlindungan anak dengan melihat
kembali berbagai komponen sistem baik itu Norma (mandatnya), Struktur &
pelayanan (siapa yang bertanggung jawab dan bagaimana kapasitasnya) serta
Proses (bagaimana prosedur/standarnya) dari:

Kerangka Hukum dan Kebijakan

Sistem Kesejahteraan Sosial bagi Anak dan Keluarga


- Dukungan Parenting, pengasuhan anak, konseling, pelayanan dasar lain,
-

yaitu Kesehatan dan Pendidikan


Pengasuhan Anak, Pengadilan Anak, Perawatan, Adopsi, saksi anak dan
korban anak

128

Menentukan tujuan spesifik untuk mempromosikan kesejahteraan anak


dan perlindungannya sekaligus kapasitas keluarga untuk memenuhi

tanggung jawab mereka.


Kampanye atau gerakan pencegahan terjadi dan terulangnya perlakuan

salah, kekerasan, penelantaran dan eksploitasi anak,


Memperkuat peranan lembaga sosial masyarakat di tingkat akar rumput,
Interaksi dengan pelayanan yang lain, seperti: pendidikan, kesehatan
dan jaring pengaman sosial untuk menyediakan pengasuhan yang
komprehensif bagi anak.
Layanan yang diperlukan meliputi:

Pencegahan (Layanan Primer), yang ditujukan ke semua anak dan


keluarganya.
Pengurangan resiko (Layanan sekunder), yang ditujukan kepada
anak dari keluarga rentan, seperti keluarga miskin, keluarga broken
home, keluarga bekas pecandu.
Penanganan (Layanan tersier), yang ditujukan kepada anak yang
telah menjadi korban dan keluarganya.

Sistem Peradilan:
- Norma dan standar : Apa yang dikatakan UU
- Struktur dan mandat: Bagaimana UU dibuat & bagaimana UU
-

ditegaskan.
Prosedur : Bagaimana UU hendaknya diterapkan
Sistem Perubahan Perilaku Sosial
Pemetaan dan Penilaian pelaksanaan
untuk mencari strategi yang komprehensif dan membangun sistem

memperkuat perlindungan anak.


5. Peningkatan upaya penegakan hukum, lembaga pemantau perlindungan anak.
definisi anak peradilan pidana anak; penyusunan data dasar anak, situasi
ekonomi dan demografi anak
6. Mendorong

beberapa

kelompok

mengembangkan

berbagai

model

pembelajaran dan pendidikan alternative bagi anak dan orang tua. Harus ada
perubahan paradigma kebijakan pendidikan dengan pendekatan pendidikan
kritis.

129

7. Diperlukan upaya untuk mencegah dan merespon segala hal yang


membahayakan (segala bentuk Kekerasan, Eksploitasi, Penelantaran, dan
Perlakuan Salah/KEPP) terhadap anak.
8. Penyusunan kebijakan nasional anak yang membutuhkan perlindungan
khusus (AMPK) yang komprehensif, integratif dan berkelanjutan, yang lebih
diprioritaskan kepada anak tanpa pengasuh utama, pekerja anak, korban
trafiking, korban Exploitasi Sexual Anak (ESA), korban konflik, korban
kekerasan (di sekolah, rumah, penjara, panti, dll)
9. Perlu juga dilakukan dalam waktu dekat ini hal-hal yang berkaitan dengan:
tindak lanjut survey prevalensi kekerasan terhadap anak yang tengah
-

dilaksanakan pada tahun 2013 ini


tindak lanjut dari UU no.11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
yang mengamanatkan RPP tentang Koordinasi, Pemantauan dan

Evaluasi Pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana Anak


pengembangan model pelindungan anak terhadap pornografi online
mengingat akses anak terhadap teknologi komunikasi dan informasi
yang semakin meningkat. Perlu diperhatikan bahwa selain membawa
dampak positif, kemajuan teknologi tersebut juga memberikan dampak
negative usmg memungkinkan anak-anak semakin mudah terpengaruh
dengan informasi ysng berbau pornografi.

10. Diperlukan adanya aksi pemantauan pelaksanaan konvensi hak anak


menjadi kegiatan strategis. Ada 3 hal yang dipantau yaitu kewajiban untuk
menghormati, kewajiban untuk melindungi dan kewajiban untuk memenuhi.
Melalui kegiatan ini dilakukan pemantauan: apakah Negara, perangkat dan
aparatnya melakukan pelanggaran atau tidak? Apakah Negara memberikan
perlindungan agar anak tidak dilanggar haknya oleh orang atau individu lain
(termasuk

orangtua

sendiri)

dan

memberikan

sanksi

bagi

setiap

pelanggaran? Apakah Negara sudah memberikan apa-apa yang diakui


sebagai hak dalam ketentuan Konvensi yang ada? Untuk itu perlu dibangun
instrumen-instrumen untuk memantau pelaksanaan pemenuhan hak anak
dengan mengacu pada Konvensi Hak Anak. Melalui pemantauan ini bisa
dikenali secara lebih terukur sejauh mana Negara, perangkat dan
aparatusnya sudah memenuhi hak anak di Indonesia. Anak-anak pun
dilibatkan dalam pemantauan melalui forum-forum konsultasi. Meski

130

demikian harus diakui bahwa praktik semacam ini masih sangat baru
dilakukan di Indonesia. Pertanyaannya: apakah kegiatan pemantauan ini
bisa menjadi motor gerakan nasional untuk pemenuhan hak anak?
11. Perlu diperhatikannya beberapa hal yang mempengaruhi lingkungan
o
o
o
o
o
o
o
o

kondusif yang melindungi dan memenuhi hak anak, seperti:


komitmen pemerintah terhadap perlindungan
perundangan dan penerapannya (enforcement).
Diskusi terbuka mengenai perlindungan anak
Sikap, adat istiadat, perilaku dan kebiasaan
Ketrampilan hidup, pengetahuan dan partisipasi anak
Kapasitas penyedia pelayanan
Pelayanan untuk korban
Pemantauan

Semua itu sangat diperlukan mengingat bahwa intervensi perlindungan anak


yang dilakukan saat itu cenderung intervensi tersier (penanganan kasus) dan
sangat sedikit porsi untuk intervensi primer (pencegahan), yang dapat
menekan munculnya kasus baru; data dan informasi perlindungan anak
masih tersebar di berbagai sektor sehingga kurang optimal dimanfaatkan
untuk pengembangan kebijakan, monitoring dan evaluasi program
perlindungan anak; perlindungan anak merupakan kebijakan yang bersifat
lintas bidang pembangunan sehingga keberhasilannya ditentukan oleh
kinerja dari sektor terkait dan koordinasi antar K/L/SKPD dan koordinasi
pusat-daerah dalam pelaksanaan per-UU-an/kebijakan terkait perlindungan
anak belum optimal .
12. Perlu melakukan berbagai analisis dan pemetaan tenatang kondisi anak
berkaitan dengan isu-isu yang berkembang akhir-akhir ini berkisar pada :
kepemilikan akta kelahiran, korporal punishment, kekerasan, kesehatan
anak, anak dengan disabilitas, pendidikan, perdagangan anak, anak tanpa
kewarganegaraan, eksploitasi seksual, pekerja anak, dan penelantaran anak
serta anak dalam perebutan kuasa asuh akibat perceraian orang tua.
13. Perlu mereview pendekatan dalam perlindungan anak dengan melihat
kembali berbagai komponen sistem baik itu Norma (mandatnya), Struktur &
131

pelayanan (siapa yang bertanggung jawab dan bagaimana kapasitasnya)

serta Proses (bagaimana prosedur/standarnya) dari:


Kerangka Hukum dan Kebijakan
Sistem Kesejahteraan Sosial bagi Anak dan Keluarga
- Dukungan Parenting, pengasuhan anak, konseling, pelayanan dasar lain,
-

yaitu Kesehatan dan Pendidikan


Pengasuhan Anak, Pengadilan Anak, Perawatan, Adopsi, saksi anak dan

korban anak
Menentukan tujuan spesifik untuk mempromosikan kesejahteraan anak
dan perlindungannya sekaligus kapasitas keluarga untuk memenuhi

tanggung jawab mereka.


Kampanye atau gerakan pencegahan terjadi dan terulangnya perlakuan

salah, kekerasan, penelantaran dan eksploitasi anak,


Memperkuat peranan lembaga sosial masyarakat di tingkat akar rumput,
Interaksi dengan pelayanan yang lain, seperti: pendidikan, kesehatan
dan jaring pengaman sosial untuk menyediakan pengasuhan yang

komprehensif bagi anak.


Layanan yang diperlukan meliputi:
Pencegahan (Layanan Primer), yang ditujukan ke semua anak dan
keluarganya.
Pengurangan resiko (Layanan sekunder), yang ditujukan kepada
anak dari keluarga rentan, seperti keluarga miskin, keluarga broken
home, keluarga bekas pecandu.
Penanganan (Layanan tersier), yang ditujukan kepada anak yang
telah menjadi korban dan keluarganya.

Sistem Peradilan:
Norma dan standar : Apa yang dikatakan UU
Struktur dan mandat: Bagaimana UU dibuat & bagaimana UU

ditegaskan.
Prosedur : Bagaimana UU hendaknya diterapkan
Sistem Perubahan Perilaku Sosial
Pemetaan dan Penilaian pelaksanaan
untuk mencari strategi yang komprehensif dan membangun sistem
memperkuat perlindungan anak.

14. Perlu dikembangkan kelembagaan di daerah yang mampu menciptakan


kondisi ideal dalam pelaksanaan Sistem Perlindungan Anak yang holistic,

132

Integratif dan berkelanjutan.


dilakukan

melalui

serangkaian

Strategi pengembangan kelembagaan


upaya

nyata

sebagai

berikut:

1)

mengarusutamakan SPA kedalam keseluruhan proses perencanaan sehingga


menghasilkan program/kegiatan yang peduli anak termasuk monitoring dan
indikator di setiap SKPD; (2) terintegrasinya perspektif SPA ke dalam
internal budaya lembaga/satuan kerja/dinas/badan/bagian di pemerintah
daerah,; (3) terintegrasinya perspektif spa ke dalam usaha-usaha kerjasama
dengan lembaga masyarakat, mitra kerja, yang terkait pengembangan SPA;
4) kompetensi sdm para pembuat undang-undang dan kebijakan di daerah
termasuk komponen masyarakat sipil sangat perlu memahami dan
mengimplementasikan SPA dalam upaya-upaya mengembangkan pelayanan
perlindungan yang komprehensif dan menjalankan program-program
dengan cara lebih optimal.
15. Peningkatan upaya penegakan hukum, lembaga pemantau perlindungan
anak. definisi anak peradilan pidana anak; penyusunan data dasar anak,
situasi ekonomi dan demografi anak
16. Penyusunan kebijakan nasional anak yang membutuhkan perlindungan
khusus (AMPK) yang komprehensif, integratif dan berkelanjutan, yang
lebih diprioritaskan kepada anak tanpa pengasuh utama, pekerja anak,
korban trafiking, korban Exploitasi Sexual Anak (ESA), korban konflik,
korban kekerasan (di sekolah, rumah, penjara, panti, dll)
17. Perlu juga dilakukan dalam waktu dekat ini hal-hal yang berkaitan dengan:
- tindak lanjut survey prevalensi kekerasan terhadap anak yang tengah
dilaksanakan pada tahun 2013 ini
-tindak lanjut dari UU no.11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
yang mengamanatkan RPP tentang Koordinasi, Pemantauan dan
Evaluasi Pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana Anak
-pengembangan model pelindungan anak terhadap pornografi online
mengingat akses anak terhadap teknologi komunikasi dan informasi
yang semakin meningkat. Perlu diperhatikan bahwa selain membawa
dampak positif, kemajuan teknologi tersebut juga memberikan dampak
negative yang memungkinkan anak-anak semakin mudah terpengaruh
dengan informasi yAng berbau pornografi.

133

18. Masyarakat melalui berbagai organisasi masyarakat/LSM perlu bersamasama melakukan berbagai tindakan nyata, baik yang bersifat pencegahan
maupun penanganan antara lain:
berperan aktif berpatisipasi dalam penyuluhan tentang cara-cara hidup
yang sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat, agar setiap
keluarga melakukan elstra kontrol bagi anak-anak guna mencegah

tindak kriminal secara meluas.


membantu aparat terkait dengan memberikan informasi tentang

permasalahan yang terjadi.


memberikan contoh perilaku secara umum agar mereka tidak terjun

dalam pelanggatan terhadap hukum.


19. Media memainkan peran sangat penting

dalam

mempromosikan

pengawasan publik atas perlindungan anak dan dalam menyebarkan


informasi mengenai perlindungan anak. Dalam hal ini, tentunya diharapkan
agar:
organisasi sosial masyarakat dapat bekerja sama dengan media untuk

memperkuat kampanye peningkatan kesadaran dan advokasi mereka.


wartawan dan pihak lainnya yang bekerja dibidang media lebih
mengenal dan memahami aspek-aspek gender dan perlindungan anak

atau memahami cara berbicara untuk mendapatkan informasi.


menyusun panduan atau kebijakan gender dan perlindungan anak di

lembaga-lembaga media
memberikan bantuan dan dampingan yang diperlukan kepada korban

yang ingin kisah mereka.


Mengembangkan struktur alternatif untuk perlindungan anak terutama
yang berurusan dengan anak-anak korban.

4.7. Isu Gender dan Anak Dalam Kesehatan TBC dan HIV/AIDS
Kesehatan tidak semata-mata dipengaruhi faktor biologis dan genetik.
Faktor sosial-budaya, ekonomi, politik, dan lingkungan, secara tidak langsung
juga mempengaruhi kesehatan. Menurut dari Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO), kesehatan adalah suatu keadaan sejahtera secara utuh baik fisik, mental
dan sosial, tidak hanya terbebas dari penyakit dan kecacatan.

134

Berbagai studi telah menunjukkan bahwa HIV dan AIDS bukan semata
persoalan kesehatan saja, tetapi lebih juga merupakan permasalahan sosial
budaya. Konstruksi gender di dalam masyarakat yang membedakan peran lakilaki dan perempuan berpengaruh terhadap penyebaran infeksi HIV. Dampak sosial
yang ditimbulkannya pun berlapis, mulai dari lingkaran terdekat yaitu keluarga,
teman, tetangga, rekan kerja, bahkan yang lebih luas lagi adalah lingkungan
sosial. Meskipun secara sosial HIV dan AIDS ini tidak tampak, akan tetapi
kerusakan yang ditimbulkan sangatlah nyata. Penyebaran HIV dan AIDS bukan
lagi

merupakan

isu

netral

gender, atau

tidak

mempersoalkan

bahwa

penyebarannya secara spesifik berkaitan dengan jenis kelamin tertentu.


Dalam

tataran

penentu

kebijakan,

sensitifitas

terhadap

persoalan

kesenjangan gender sangat dibutuhkan terutama dalam proses menentukan arah


kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS. Karena produk kebijakan yang
responsif gender merupakan kebijakan yang memastikan supaya kesenjangan
dalam memperoleh akses, partisipasi, kontrol dan kepastian mendapatkan manfaat
yang sama dari program pembangunan, pada laki-laki, perempuan dan transgender
dapat diminimalisir. Sehingga kebijakan yang disusun akan memperhatikan
kelompok-kelompok yang teridentifikasi sebagai kelompok yang tertinggal atau
kelompok yang mengalami ketertinggalan dalam mendapatkan ke-empat hal
tersebut.
Pengarusutamaan gender adalah proses untuk menilai implikasi atau dampak
suatu rencana aksi terhadap laki-laki dan perempuan, termasuk peraturan
perundangan, kebijakan atau program, pada semua area dan tingkatan.
Pengarusutamaan gender merupakan strategi untuk memastikan perbedaan
kebutuhan dan pengalaman perempuan dan laki-laki betul-betul diintegrasikan
pada setiap tahapan: Desain program, implementasi program, monitoring dan
evaluasi terhadap semua aspek politis, ekonomi dan sosial sehingga perempuan
dan laki-laki mendapatkan manfaat yang sama dari program pembangunan, dan
kesenjangan tidak dilanggengkan. Sedangkan tujuan utamanya adalah kesetaraan
gender (UNICEF Gender Mainstreaming Self Assessment Synthesis report 2007 ).
Faktor lain yang juga diperhatikan adalah keadilan gender. Keadilan gender
mengacu kepada prinsip-prinsip bahwa ketika laki-laki dan perempuan

135

mempunyai kebutuhan yang berbeda, maka sumber daya dan program pun hatus
dipastikan supaya dapat mengakomodir kebutuhan-kebutuhan yang berbeda
tersebut; memastikan laki-laki dan perempuan mempunyai kesempatan yang
sama; dan jika dibutuhkan perlakuan dan perhatian yang berbeda dapat dilakukan
untuk memastikan kesetaraan hasil dan tujuan dan juga untuk mengejar
ketinggalan yang disebabkan oleh sejarah dan diskriminasi di masa lalu yang
mungkin dialami oleh perempuan dan laki-laki.
Millenium Development Goals Tahun 2010 menjelaskan jumlah infeksi HIV
baru di Indonesia menunjukkan adanya peningkatan. Sepanjang periode 1996
sampai dengan 2006, angka kasus HIV meningkat sebesar 17,5 persen dan
diperkirakan bahwa ada sekitar 193.000 orang yang saat ini hidup dengan HIV di
Indonesia. Epidemi AIDS umumnya terkonsentrasi pada populasi berisiko tinggi
di sebagian besar wilayah Indonesia dengan prevalensi orang dewasa dengan
AIDS menurut estimasi nasional 0,22 persen pada tahun 2008. Dua provinsi di
Tanah Papua (Papua dan Papua Barat) mengalami pergeseran ke generalized
epidemic dengan prevalensi 2,4 persen pada populasi umum usia 15-49 (STHP,
Kemkes, P2PM, 2007).
Sementara itu, jumlah kumulatif kasus AIDS juga cenderung terus
meningkat, yaitu sebesar 19.973 kasus pada tahun 2009, lebih dari dua kali lipat
dibandingkan dengan jumlah kumulatif pada tahun 2006 sebesar 8.194 kasus.
Angka kasus HIV dan AIDS sebagian besar dijumpai di semua wilayah Indonesia,
namun jumlah kasus bervariasi antarprovinsi
Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah kesehatan masyarakat hingga
kini. Paling sedikit satu orang akan terinfeksi TB setiap detik. Setiap hari 20.000
orang jatuh sakit TB, artinya setiap 5 detik satu orang jatuh sakit TB di dunia.
Setiap hari 5.000 orang meninggal akibat TB, jadi di dunia ini setiap 20 detik satu
orang meninggal akibat TB. TB membunuh hampir satu juta perempuan
setahunnya. Angka tersebut lebih tinggi dari kematian perempuan akibat proses
kehamilan dan persalinan. TB membunuh 100.000 anak setiap tahunnya. Sekitar
40% beban TB di dunia terjadi di negaraAsia Tenggara yang tergabung dalam
koordinasi WHO SouthEast Asia Regional Office (SEARO). Di kawasan ini setiap
tahun terdapat sekitar 3 juta kasus baru dan 750.000 kematian akibat TB, atau

136

hampir 2.000 orang meninggal setiap harinya. Di India saja misalnya, setiap menit
ada satu orang yang meninggal akibat TB. Sampai saat ini tidak ada satu
negarapun di dunia yang telah bebas TB.1 Karena itu, tidaklah berlebihan bila
banyak orang bertanya, bagaimana gambaran TB di masa datang? Bila situasi
penanggulangan TB tetap seperti sekarang ini, maka jumlah kasus TB di tahun
2020 akan meningkat menjadi 11 juta jiwa, artinya 200 juta kasus TB dalam dua
dekade pertama abad 21 ini.2 Insidens TB akan terus meningkat, dari 8,8 juta
kasus di tahun 1995 menjadi 10,2 juta kasus di tahun 2000 dan 11,9 juta kasus TB
baru di tahun 2005
Data April 2013 sekitar 60 persen pengindap HIV di Provinsi Papua
diketahui menderita tuberculosis (TBC), demikian pula sebaliknya 40 persen
pasien TB/TBC kemudian terdeteksi terserang virus penyakit mematikan
tersebut. Tingginya penderita HIV yang mengindap TBC, disebabkan daya tahan
tubuh pasien terus menurun sehingga cenderung mudah terserang tuberculosis.
Saat ini jumlah pengindap HIV di Papua tercatat 13.726 orang dan yang
menggunakan ARV hanya sekitar 2.091 penderita.
Penyakit TBC dapat menyerang siapa saja (tua, muda, laki-laki, perempuan,
miskin, atau kaya) dan dimana saja. Setiap tahunnya, Indonesia bertambah dengan
seperempat juta kasus baru TBC dan sekitar 140.000 kematian terjadi setiap
tahunnya disebabkan oleh TBC. Bahkan, Indonesia adalah negara ketiga terbesar
dengan masalah TBC di dunia. Survei prevalensi TBC yang dilakukan di enam
propinsi pada tahun 1983-1993 menunjukkan bahwa prevalensi TBC di Indonesia
berkisar antara 0,2 0,65%. Sedangkan menurut laporan Penanggulangan TBC
Global yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2004, angka insidensi TBC pada
tahun 2002 mencapai 555.000 kasus (256 kasus/100.000 penduduk), dan 46%
diantaranya diperkirakan merupakan kasus baru.
Data WHO menunjukkan bahwa Indonesia adalah penyumbang kasus
terbesar ketiga di dunia. Setiap tahunnya jumlah penderita baru TB menular
adalah 262.000 orang dan jumlah seluruh penderita adalah 583.000 orang
pertahunnya. Diperkirakan sekitar 140.000 orang Indonesia yang meninggal setiap
tahunnya akibat TB. Setiap satu menit di Indonesia muncul satu penderita baru TB
paru, setiap dua menit muncul satu penderita baru TB paru yang menular, dan

137

setiap empat menit satu orang meninggal akibat TB.4 TB bukan lagi jadi masalah
kesehatan masyarakat di satu negara bila jumlah penderita baru yang menular
kurang dari satu orang untuk setiap satu juta penduduk. Artinya, untuk Indonesia
harus kurang dari 200 orang setahunnya. Tegasnya, tugas kita adalah menurunkan
angka 262.000 yang ada sekarang menjadi 200 orang saja. Jelas satu tantangan
yang berat.Directly Observed Treatment Short Course Berbagai program
kesehatan

telah

dilakukan,

memang

kemajuan

telah

dirasakan,

tetapi

kenyataannya TB masih juga jadi masalah.


4.7.1. Situasi Permasalahan Kesehatan
Kasus AIDS sampai dengan Desember 2009 menunjukkan bahwa infeksi
HIV/AIDS sebagian besar ditemukan pada kelompok heteroseksual (50,3 persen),
pada kelompok homoseksual (3,3 persen), penularan dari ibu ke anak
menyebabkan 2,6 persen kasus pada perinatal, dan infeksi HIV yang ditularkan
melalui transfusi darah sekitar 0,1 persen. Jika dilihat berdasarkan penularan
kasus AIDS, sebagian besar (91 persen) kasus AIDS diderita oleh kelompok usia
15-49 tahun (Kemkes, 2009).
Penularan HIV di Indonesia cenderung akan meningkat dalam lima tahun
mendatang dengan semakin banyaknya orang yang melakukan hubungan seks
tanpa pelindung dan meningkatnya penyebaran HIV melalui pemakaian narkoba
dengan jarum suntik.
Menurut Komisi AIDS Asia di wilayah Asia, setidaknya terdapat 75 juta
laki-laki yang menjadi pelanggan seks secara reguler baik dari perempuan, lakilaki dan transgender. Perkiraannya, rata-rata ada sekitar 10 pelanggan laki-laki
bagi setiap WPS, dan umumnya mereka sudah menikah atau akan menikah di
kemudian hari. Jika terdampak, maka banyak dari mereka yang akan menularkan
HIV pada para istri dan anak-anak mereka. Atas situasi tersebut, banyak pihak
menyatakan bahwa cara paling efektif untuk mencegah penularan HIV pada
kelompok perempuan yang umumnya berisiko rendah adalah dengan cara
mencegah suami atau pasangan mereka dari infeksi HIV. Tingkat proporsi lakilaki pelanggan WPS yang tinggi dan tingkat penggunaan kondom untuk seks
komersial yang rendah di sisi lain menjadi beberapa faktor kunci dalam
menentukan tingkat penularan HIV. Jika tidak dilakukan pencegahan sedini
138

mungkin, situasi ini dapat meningkatkan kasus HIV pada perempuan beresiko
rendah dan anak-anak mereka.
Dinamika penularan HIV dalam konteks pasangan intim di Asia menunjukan
bahwa penularan terhadap pasangan di kalangan pekerja seks mencapai 10 juta,
pengguna narkoba suntik mencapai 4 juta, Laki-laki dengan laki-laki dan waria
sebanyak 16 juta, pelanggan (migran, pengemudi truk, dll.) mencapai 75 juta, dan
pasangan perempuan mencapai 50 juta. Lebih jauh lagi dampak HIV pada
perempuan lebih besar karena pelanggaran hak-hak mereka umumnya relatif
dimaklumi (kompromistis) dan mereka umumnya kurang mendapatkan akses
terhadap layanan hukum, ekonomi dan kesehatan serta dukungan dari masyarakat.
Sebuah studi

menunjukkan bahwa kemungkinan resiko perempuan

terinfeksi HIV selama hubungan seks yang tidak aman adalah dua hingga empat
kali lipat dibandingkan laki-laki. Secara biologis, perempuan memiliki wilayah
mucous membrane lebih luas dan terekspos pada saat persetubuhan, serta
menampung lebih banyak kuantitas cairan (semen) yang terinfeksi dibandingkan
laki-laki. Kemungkinan lain disebabkan oleh terjadinya hubungan seksual dengan
kekerasan atau pemaksaan.
Di Indonesia, secara kumulatif pada rentang waktu 2005 hingga 2011 jumlah
kasus HIV dan AIDS terus meningkat dan prosentase kasus perempuan terus
meningkat. Tahun 2005 tercatat 859 kasus HIV dan 2639 kasus AIDS. Memasuki
2010, jumlahnya meningkat menjadi 21591 kasus HIV dan 4917 kasus AIDS.
Dari jumlah kasus 2010 tersebut, 8.360 (38,7%) dialami oleh perempuan.
Presentasi ini meningkat dari tahun 2009 dimana terdapat 25,80% kasus pada
perempuan. Dalam laporan Kemkes, diantara kasus AIDS baru, persentase
perempuan berubah dari 16,90% pada bulan Juni 2006 menjadi 35,13% pada
bulan Juni 2011 (Data Kementerian Kesehatan, Laporan Situasi HIV dan AIDS
di Indonesia, Juni 2006 dan Juni 2011).
Kurang akses memperoleh informasi/pengetahuan penggunaan kondom
pada hubungan seks. Secara nasional, persentase perempuan tidak menikah 10,3
persen lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki pada sebesar 18,4 persen tahun
2007 di kota desa.

139

a. Terbatasnya akses terhadap pelayanan kesehatan dalam pencegahan,


perawatan dan pengobatan HIV/AIDS. Sistem layanan kesehatan perlu
diperkuat dalam menangani kasus HIV/AIDS antara lain di bidang
pencegahan, diagnostik, pengobatan, perawatan, keamanan transfusi darah
dan kewaspadaan menyeluruh.
b. Masih adanya hambatan terkait stigmatisasi dan diskriminasi ODHA di
masyarakat serta adanya ketidaksetaraan gender dan pelanggaran Hak Asasi
Manusia. Walaupun program komunikasi perubahan perilaku dan KIE tetap
diupayakan terus sebagai bagian dari strategi pengendalian HIV/AIDS,
namun

belum

mampu

mengimbangi

cepatnya

penyebaran

infeksi

HIV/AIDS ke seluruh penjuru negeri.


Salah satu kelompok paling rentan yang perlu ditingkatkan perhatiannya
adalah kelompok anak perempuan. Mereka rentan dijadikan komoditas seksual
yang diperdagangkan, dipaksa kawin dan mengalami kekerasan seksual. Lebih
jauh lagi, anak perempuan yang dilacurkan ketika dipekerjakan ke lokalisasi, akan
kehilangan hak sebagai anak, identitas mereka diubah menjadi WPS, bukan lagi
anak. Mereka akan diperlakukan sebagai wanita dewasa, yang harus
menanggung segala konsekuensi sebagai wanita dewasa. Kemungkinan bahwa
pekerja seks (yang disebut sebagai WPS) yang tergolong anak yang dilacurkan
belum banyak disinggung. Dokumen yang hanya mengelompokkan Wanita
pekerja seks, tanpa memilah usia mereka, menganggap semua wanita pekerja
seks sebagai wanita dewasa. Dengan demikian, ada kemungkinan kelompok
anak yang dilacurkan yang berusia di bawah 18 tidak terjangkau oleh program.
Perempuan dalam lapas atau WBP perempuan sangat rentan terinfeksi HIV.
Mereka rentan terhadap kekerasan berbasis jender; dan rentan terlibat dalam
perilaku berisiko seperti membuat tattoo yang tidak aman dan menggunakan
Narkoba suntik. Perempuan penasun di Lapas lebih besar kemungkinannya
terinfeksi HIV di banding laki-laki yang melakukan hal yang sama, karena mereka
memiliki akses yang terbatas atas informasi, pelayanan kesehatan, dan jarum
suntik yang aman. Di lapas yang kelebihan penghuni dan kekurangan staf,
perempuan memiliki akses yang terbatas terhadap fasilitas dan pelayanan,

140

termasuk layanan kesehatan. Kebutuhan dasar perempuan - seperti barang-barang


untuk kebersihan menstruasi (pembalut wanita, kain saniter yang bersih) - sering
tidak terpenuhi. Kombinasi antara kekerasan berbasis gender, ketimpangan jender,
stigma, dan diskriminasi meningkatkan kerentanan WBP perempuan terhadap
infeksi HIV. Di dalam lingkungan tertutup di lapas, perempuan, khususnya, rentan
terhadap pelecehan seksual,termasuk pemerkosaan, oleh (oknum) petugas lapas
ataupun napi laki-laki. Mereka juga rentan terhadap eksploitasi seksual dan
mungkin terlibat dalam seks untuk mendapat imbalan barang seperti makanan,
obat-obatan, rokok, dan perlengkapan mandi. Kerentanan akan eksploitasi seksual
hingga perkosaan juga dialami oleh WBP laki-laki dan transgender.
4.7.2. Isu Gender Terkait Dengan HIV/AIDS
Penanggulangan AIDS di Indonesia difokuskan pada

pencegahan di

kalangan populasi paling berisiko dan penguatan perawatan, dukungan, dan


pengobatan bagi orang yang terinfeksi HIV. Sasaran utama program pencegahan
adalah sub-populasi penasun, pekerja seks dan lelaki seks dengan lelaki (LSL).
Sub-populasi penasun terdiri dari penasun yang terdapat di masyarakat maupun di
lembaga pemasyarakatan (lapas). Sedangkan wanita pekerja seks (WPS) terdiri
dari WPS langsung dan tidak langsung. Sub-populasi yang terkait langsung pada
kedua populasi yang paling berisiko ini adalah pelanggan pekerja seks (PPS),
lelaki seks dengan lelaki (LSL), waria, dan pasangan seks dari setiap sub-populasi
tersebut.
Area sasaran untuk menangani HIV/AIDS Kementerian PP dan PA perlu
bekerja sama dengan instansi terkait adalah dalam hal: 1)pencegahan;2)
Perawatan, dukungan dan pengobatan; 3) Program

mitigasi

dampak;

4)Pengembangan lingkungan kondusif.


Fokus utama pencegahan adalah perluasan dan peningkatan intervensi
efektif untuk menahan laju penyebaran infeksi HIV

yang

terjadi

melalui

pertukaran alat suntik dan hubungan seksual berisiko di antara populasi kunci.
Populasi kunci adalah lelaki dan perempuan pengguna narkoba suntik, termasuk
mereka yang ada di lapas/rutan; pekerja seks langsung

dan tidak langsung;

pelanggan pekerja seks; dan lelaki yang seks dengan lelaki; waria dan pasangan

141

intim seluruh populasi kunci. Dalam kelompok ini, program pencegahan akan
juga menjangkau kelompok usia muda (15-24 tahun) dan para pekerja baik dari
sektor pemerintah maupun swasta, buruh, pekerja migran, dan penularan HIV dari
ibu ke bayi. Di Provinsi Papua dan Papua Barat, upaya pencegahan di atas
ditujukan juga untuk masyarakat umum.
Implementasi pada area pencegahan meliputi kegiatan:
a. Penyebarluasan informasi masih banyak menyasar pada populasi kunci
(pekerja seks, waria, LSL, penasun) namun penyebaran informasi kepada
pelanggan masih kurang. Sementara itu di kalangan populasi kunci pun
pengetahuan tentang cara penularan dan pencegahan HIV masih rendah.
Di kalangan populasi umum (usia 15-24 tahun) pengetahuan tentang HIV
masih sekitar 11 % , perempuan populasi umum masih banyak yang belum
terpapar informasi HIV secara komprehensif.

Padahal kecenderungan

penularan pada mereka meningkat karena sebagian besar pria berisiko


memiliki pasangan tetap atau istri.
b. Program pencegahan belum banyak menjangkau pasangan penasun
perempuan. Stigma maskulinitas yang dilekatkan pada penasun melahirkan
program HR intervensi penasun lebih berwajah laki-laki.
c. Dalam hal cakupan promosi kondom, penyebaran dan penjangkauannya
masih belum merata termasuk di kalangan pekerja seks ( baik PS
perempuan, PS waria, PS lelaki). Selain itu intervensi peningkatan
pemakaian kondom di kalangan pelanggan masih minim.
d. Masih rendahnya informasi tentang kesehatan dan kehamilan termasuk pada
penasun perempuan dan ODHA perempuan. Beberapa media informasi
termasuk iklan layanan masyarakat bahasanya banyak yang sulit dimengerti
(tidak membumi). Diantara media tersebut isi informasinya cenderung
membuat orang merasa takut secara berlebihan terhadap HIV dan
mendorong masyarakat untuk tabu membicarakan isu HIV.
e. Masih berkembang persepsi yang tidak tepat tentang kondom khususnya di
kalangan pelanggan (Misalnya bahwa kondom mengurangi kenikmatan

142

seksual). Hal yang lebih menghawatirkan adalah masih berkembangnya


pemahaman yang salah (miss conception) tentang kondom di kalangan
masyarakat dan aparat pemerintah termasuk tokoh masyarakat dan agama.
Dalam hal ini contohnya adalah pemahaman bahwa penyebaran kondom
melegalkan perzinahan atau seks bebas. Hal tersebut menimbulkan
resistensi akan program penggunaan kondom dari mereka padahal
semestinya program ini mendapat dukungan dari semua pihak.
f. Dalam hal ketersediaannya program PMTCT masih terbatas karena
pelaksananya hanya berada di Rumah Sakit Tingkat Provinsi. Dengan
situasi seperti ini, PMTCT sulit diakses oleh perempuan yang tinggal di desa
karena faktor geografis (jarak yang jauh antara rumah dan lokasi layanan).
Perempuan yang tinggal di desa perlu mengeluarkan biaya transportasi yang
cukup banyak untuk dapat memanfaatkan layanan PMTCT.
g. Masih sulitnya akses perempuan ODHA terhadap informasi komprehensif
mengenai PMTCT dan masih terjadinya stigma dan diskriminasi terhadap
mereka ketika petugas kesehatan mengetahui status HIV mereka. Bentuknya
antara lain; mereka ditempatkan di urutan terakhir pada saat proses
pelayanan dan petugas menanyakan (secara verbal) status HIV mereka
dengan nada yang cenderung menghakimi (padahal dapat dibaca dari rekam
medis mereka)
h. Pemahaman PMTCT secara komprehensif masih belum merata. Umumnya
PMTCT masih dianggap sebatas pertolongan persalinan melalui Caesar,
pemberian susu formula dan penyediaan ARV. Pelaksanaan konseling juga
belum merata dilakukan. Demikian pula mengenai pemahaman mengenai
tindakan pertolongan persalinan pada perempuan positif yang hamil. Masih
ada persepsi bahwa setiap perempuan positif yang hamil harus melahirkan
melalui operasi Caesar. Akibatnya banyak ibu hamil positif yang saat
mengakses layanan PMTCT justru dibiarkan di UGD (dengan alasan
menunggu operasi Caesar) bahkan hingga bayinya lahir sendiri. Situasi ini
berpotensi meningkatkan angka kematian ibu dan anak. Hal ini bisa
disebabkan karena masih terbatasnya pelatihan dan pemberdayaan dan

143

mobilisasi komunitas terkait PMTCT. Juga dapat disebabkan karena materimateri dalam pelatihan yang dilakukan belum mengalami penyesuaian.
i. Data tentang kasus HIV dan AIDS belum terpilah berdasarkan gender
(perempuan, laki-laki, waria, juga tidak terpilah mengenai berapa jumlah
remaja perempuan yang terinfeksi HIV). Juga tidak ada data yang
teragregasi mengenai perempuan hamil. Setiap 3 bulan Kementerian
Kesehatan melaporkan data kasus AIDS terpilah berdasarkan jenis kelamin
(laki-laki dan perempuan) dan juga berdasarkan umur. Waria tidak
dipisahkan dan dilaporkan sebagai laki-laki.
Isu gender pada implementasi perawatan mencakup antara lain:
a. Secara umum layanan kesehatan masih sulit diakses oleh perempuan.
Keterbatasan ini dalam hal jumlah layanan, jarak lokasi layanan, jam
layanan, serta biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan layanan.
Bagi WBP perempuan, kesulitan akan akses layanan yang ramah kerap
terjadi antara lain karena faktor kelebihan jumlah penghuni, kurangnya staf,
termasuk petugas kesehatan yang ramah terhadap WBP. Selain itu layanan
terkait HIV dan AIDS umumnya belum terintegrasi dengan layanan
kekerasan terhadap perempuan dan belum mengakomodir isu-isu strategis
pada perempuan, khususnya pemenuhan hak kesehatan reproduksi dan
kesehatan seksual perempuan.
b. Terkait akses layanan kesehatan, perempuan positif sering kali mengalami
stigma dan berbagai beban terkait peran gendernya sebagai perempuan.
Selain mendapat stigma status HIV nya, mereka sering distigma berdasarkan
perilaku, misalnya sebagai penasun dan atau sebagai pekerja seks.
Pengalaman yang sama juga kerap dialami waria dan gay. Situasi tersebut
menghambat akses mereka karena mereka sering ketakutan akan stigma
tersebut saat mengakses layanan. Selain itu beberapa IDU perempuan yang
karena kebutuhan rumah tangganya harus mencari nafkah sebagai WPS,
menyulitkan akses mereka terhadap layanan kesehatan. Perempuan positif
secara teknis (selain merawat dirinya) terbebani untuk merawat bayinya
yang positif.
144

c. Layanan PMTCT belum diintegrasikan dengan layanan KIA. Selain itu,


layanan ini umumnya belum dilengkapi dengan penyampaian informasi atau
pengetahuan dasar yang memadai mengenai PMTCT.
d. Kualitas konseling bagi perempuan hamil belum memadai. Misalnya, ada
jenis ARV yang jika digunakan perempuan hamil dapat berdampak pada
gangguan janin, namun hal tersebut tidak diinformasikan secara memadai
pada saat konseling. Hal ini jelas membahayakan janin dan dapat
menyebabkan keguguran
e. Jenis ARV untuk bayi yang banyak tersedia yaitu dalam bentuk puyer sering
menyebabkan bayi resisten dan muntah. Hal ini menyebabkan efektifitas
obat tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal. Sebagai contoh, masih
ditemukan bayi HIV yang telah mengkonsumsi ARV tersebut selama 4
tahun, namun angka CD4-nya tidak kunjung naik secara signifikan.
Sedangkan isu gender terkait program mitigasi dampak

untuk ODHA

dan masyarakat yang terdampak HIV yang memerlukan dukungan sosial dan
ekonomi, meliputi antara lain:
a. Informasi mengenai program mitigasi dampak belum banyak diketahui
perempuan dan ODHA. Hal ini sedikit banyak terkait masih kurangnya
respon berbagai pihak pada isu pemberdayaan pemberdayaan perempuan
positif (ekonomi, sosial, dll), karena lebih memfokuskan pada isu kesehatan.
b. Situasi perempuan positif (dari sisi ekonomi, kesehatan, tempat tinggal jauh,
minim fasilitas komunikasi, dll) mengurangi kemampuan mereka dalam
mengakses program.
c. Masih ada ketakutan akan stigma dan diskriminasi dari pelaksana program
di di kalangan ODHA. Terlebih memang karena mereka mengetahui bahwa
masih ada shelter (rumah singgah) yang dikelola pemerintah yang menolak
melayani ODHA.
d. Di kalangan penasun perempuan, akses terhadap program mitigasi sangat
sulit juga dikarenakan adanya ketergantungan mereka terhadap pasangannya

145

(dalam hal ekonomi, emosional). Artinya, tindakan mereka dalam hal akses
layanan sangat bergantung pada keputusan pasangannya.
Isu gender untuk pengembangan
pengurangan
khususnya

lingkungan

yang

kondusif,

stigma dan diskriminasi, peningkatan komitmen


dalam alokasi dana

termasuk
pemerintah

dan kebijakan yang mendukung upaya

penanggulangan HIV dan AIDS adalah:


a. Komitmen berbagai pihak terkait

program berkelanjutan masih belum

maksimal termasuk komitmen pendanaan. Masih sedikit inisiatif dari donor


untuk mendanai program penguatan pemahaman perempuan mengenai
kekerasan dan hak-hak kespro perempuan.
b. Prosedur yang rumit dan prasyarat yang sulit dipenuhi oleh perempuan
untuk mengakses layanan. Untuk mengakses layanan asuransi kesehatan
(jamkesmas, jamkesos)
c. Adanya

perda-perda

anti

prostitusi

di

beberapa

daerah

yang

mengkriminalisasi PS dan pada akhirnya menghambat upaya pencegahan.


Di beberapa wilayah sering dilakukan pembubaran lokalisasi karena
menganggap PS sebagai pelaku kriminal dan melanggar moral. Pada saat
razia, bahkan kondom dijadikan barang bukti bahwa mereka melanggar
perda anti prostitusi tersebut.
d. Kepedulian dan kesadaran mucikari mengenai kesehatan WPS masih
rendah. Mereka cenderung hanya mengejar keuntungan dan memacu WPS
untuk mendapatkan pelanggan sebanyak mungkin, namun kurang
mempedulikan kesehatan WPS.
4.7.3. Isu Gender Terkait Penyakit TBC
Analisis gender bisa dilakukan untuk mencari tahu mengapa jumlah
perempuan yang menderita anemia lebih banyak dibandingkan laki-laki? Contoh
lain, hampir di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, lebih banyak laki-laki yang
menderita penyakit TBC tetapi jumlah kematian terbanyak akibat TBC dialami
oleh perempuan. Demikian juga dengan semakin tingginya jumlah perempuan

146

(khususnya ibu rumah tangga) yang terinfeksi HIV/AIDS melalui hubungan


seksual dengan pasangannya.

Kecenderungan lebih banyak perempuan yang

meninggal karena penyakit TBC karena:


a. Lemahnya control atas konsumsi barang/jasa kesehatan yang menyebabkan
sakit atau meninggal.
b. Terhambatnya interaksi sosial dan kurangnya waktu luang untuk santai.
c. Rendahnya partisipasi mendapatkan sumberdaya, karena menderita TB
d. Hilangnya hari kerja produktif dan hilangnya kesempatan mengurus
keluarga dan rumah tangga secara baik.
e. Hilangnya akses memperoleh sumberdaya ekonomi.
4.7.4. Upaya Penanggulangan Penyakit HIV/AIDS dan TBC
Dalam rangka mengendalikan penyebaran dan mulai menurunkan jumlah
kasus baru HIV dan AIDS, diperlukan upaya khusus yang difokuskan pada
kelompok remaja. Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan
remaja terkait HIV dan AIDS melalui kampanye "Aku Bangga Aku Tahu"
(ABAT). Kampanye ABAT merupakan sosialisasi mengenai perilaku seksual yang
harus dihindari sebelum ada komitmen yaitu pernikahan dan penyadaran tentang
cara penularan penyakit HIV dan AIDS. Kegiatan kampanye untuk tahap pertama
dilaksanakan di 10 provinsi terpilih, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Jawa Timur, Bali, Sumatera Utara, Riau, Kalimantan Barat, Sulawesi dan Papua.
Selanjutnya, akan diperluas untuk seluruh Provinsi di Indonesia. Dengan
demikian diharapkan, pemerintah, dunia usaha, masyarakat, khususnya generasi
muda, dapat lebih mengenal HIV dan AIDS, dapat melindungi diri dan orang lain
dari risiko penularan HIV dan AIDS.
Dari uraian di atas jelas bahwa TB masih merupakan masalah kesehatan
penting di dunia dan di Indonesia. Memang kini telah ada program DOTS untuk
menanggulangi TB, tetapi belum mencakup seluruh penderita TB. Perlu dilakukan
upaya akselerasi agar DOTS benar-benar dapat terimplementasi dengan baik di
seluruh kawasan dunia, terutama di Indonesia. Disadari bahwa TB adalah giant

147

poverty producing mechanism. Membiarkan TB di satu negara sama saja dengan


membiarkan kemiskinan merajalela di negara itu. Sebenarnya bila pemerintah
mau menyisakan dana yang cukup maka -kendati rasanya sekarang keluar devisa
yang besar di masa datang akan ada penghematan akibat TB yang terkendali.
WHO menyatakan bahwa program pengobatan TB di Indonesia punya benefit
cost ratio 55:1. Artinya, setiap 1 US$ yang dihabiskan oleh suatu negara untuk
program pengobatan TB akan memberi manfaat 55 US$ ke Indonesia dalam 20
tahun mendatang. Data lain dari Thailand menyebutkan bahwa implementasi
program DOTS akan dapat menghemat devisa negara itu sebesar 2,3 milyar US$
dalam 20 tahun mendatang. Hal itu sejalan dengan pendapat Bank Dunia yang
menyatakan bahwa DOTS adalah salah satu strategi kesehatan yang amat cost
effective. Untuk menangani TB -penyakit dan dampak kemiskinannya- diperlukan
komitmen politik yang kuat, dengan didukung peran sertamasyarakat luas,
tentunya termasuk kalangan kesehatan.
4.8. Ketenagakerjaan Informal
Salah satu permasalahan pembangunan terkait dengan ketenagakerjaan yang
dihadapi bangsa Indonesia adalah makin meningkatnya jumlah angkatan kerja
yang disebabkan antara lain (1) tingkat pertumbuhan penduduk yang

relatif

tinggi, (2) jumlah penduduk yang memang sangat besar, (3) struktur umur yang
muda lebih besar , dan (4) penyebaran penduduk yang tidak merata.
Berbagai kajian dan difinisi terkait dengan tenaga kerja informal dan ciri
ciri pekerjaan yang dilakukan telah dapat diformulasikan baik berdasarkan status
pekerjaannya, status pekerjaan yaitu berusaha sendiri tanpa dibantu orang lain,
berusaha dengan dibantu anggota rumah tangga/buruh tidak tetap, pekerja
keluarga, sering dipakai sebagai proksi pekerja sektor informal.
Pengelompokkan definisi formal dan informal menurut Hendri Saparini dan
M. Chatib Basri dari Universitas Indonesia, menyebutkan bahwa ciri-ciri tenaga
kerja sektor informal dapat dirumuskan. sebagai berikut;
Tenaga kerja bekerja pada segala jenis pekerjaan tanpa ada perlindungan
negara dan atas usaha tersebut tidak dikenakan pajak, pekerja tidak
menghasilkan pendapatan yang tetap dengan ,tempat bekerja tidak terdapat

148

keamanan kerja , tidak ada status permanen atas pekerjaan tersebut dan unit
usaha atau lembaga yang tidak berbadan hukum. Sedangkan ciri-ciri kegiatan
informal bersandar pada sumber daya lokal, biasanya usaha milik keluarga,
operasi skala kecil, padat karya, keterampilan diperoleh dari luar sistem formal
sekolah dan tidak diatur dan pasar yang kompetitif. adalah mudah masuk, artinya
setiap orang dapat kapan saja masuk ke jenis usaha informal ini,
Pemahaman konsep seperti tersebut diatas haruslah menjadi konsepsi dan
landasan mengembangkan kebijakan yang lebih berpihak kepada kelompok
masyarakat

rentan

dalam

mengatasi

permasalahaan

Pembangunan

dan

pemberdayaan ketenagakerjaan yang berkeadialan mengingat jumlahnya jauh


lebih besar dari Penduduk yg bekerja di sektor formal.
4.8.1. Peningkatan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Perempuan.
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) penduduk berumur 15 tahun
keatas menurut jenis kelamin dan daerah tempat tinggal terus meningkat. Untuk
kawasan perkotaan jumlah TPAK penduduk laki laki sebesar 81,09 % sedangkan
di perdesaan 86,87 % dan untuk perempuan di perkotaan 48,67 %, sedangkan di
perdesaan adalah 54,13% .Tingkat pengangguran terbuka (TPT)

penduduk

berumur 15 tahun keatas lebih tinggi di perkotaan dibandingkan di perdesaan.


TPT perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki di perkotaan

perempuan

mencapai angka sebesar 8,07 % dan laki laki 7,41 %. Dibandingkan di perdesaan
angkanya lebih tinggi yaitu perempuan 5,49 % dan laki laki 4, 18%..(BPS dan
KPPPA,2012).
Selanjutnya BPS kerjasama dengan KPPPA (2012) melaporkan bahwa pada
tingkat pendidikan yang rendah, persentase perempuan yang bekerja lebih tinggi
dibandingkan laki-laki, sedangkan pada pendidikan SMP dan SMA keatas
persentase laki-laki yang lebih tinggi dibandingkan perempuan. Persentase
tertinggi penduduk 15 tahun keatas yang bekerja baik laki-laki maupun
perempuan adalah di pertanian, kehutanan, pekerja buruh,

dan perikanan.

Demikian pula pada lapangan usaha industri pengolahan, perdagangan, dan jasa
kemasyarakatan, sosial, dan perorangan persentase perempuan lebih tinggi
dibandingkan laki-laki. Kondisi tersebut berdampak bahwa persentase pengusaha

149

mikro dan kecil baik laki-laki maupun perempuan tertinggi ada pada tingkat
pendidikan tamat SD ke bawah.

Persentase pengusaha mikro dan kecil baik laki-

laki maupun perempuan tertinggi ada pada tingkat pendidikan tamat SD ke


bawah.
Memperhatikan pertumbuhan angkatan kerja perempuan , menggunakan
angka pada tahun 1990 saja berdasarkan hasil susenas , angkatan kerja perempuan
semakin meningkat. Berdasarkan laporan KPPA dan BPS (2012), tetap saja
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) laki-laki jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan TPAK perempuan, yaitu 84,9 % berbanding 55,1 % pada
2011. Hal ini juga menunjukkan bahwa penduduk perempuan 15 tahun keatas
yang bukan merupakan angkatan kerja cukup besar yaitu 44,9 persen, dimana 33,5
persen mengurus rumah tangga. Sedangkan laki-laki yang bukan merupakan
angkatan kerja hanya 15,1 persen.
Hasil susenas (2010) telah mengisyaratkan bahwa partisipasi perempuan
dalam memperoleh pekerjaan mengalami peningkatan setiap tahunnya, namun
keterlibatan perempuan dalam dunia kerja juga masih belum maksimal, tercatat 39
persen penduduk berusia 15 tahun keatas yang bekerja adalah perempuan dan
sepertiganya

merupakan

pekerja

keluarga

yang

secara

ekonomi

tidak

mendapatkan imbalan jasa. Angka ini lebih besar dibandingkan pekerja keluarga
laki-laki yang hanya 8,7 persen. Kondisi ini harus menjadikan perhatian semua
stake holder dalam mengembangkan kebijakan dalam mewujudkan kesetaraan
gender yang harus berawal dari persoalan ekonomi sebagai entry point dalam
pembangunan

bidang

kesehatan

dan

pendidikan

serta

bidang

bidang

pembangunan lainnya.
Persentase Kepala Rumah Tangga menurut Jenis Kelamin dan Daerah
Tempat Tinggal, 2012, seperti gambar berikut:

150

Data
Kepala

Persentase
Rumah

Tangga

menurut Jenis Kelamin dan


Daerah

Tempat

Tinggal,

yang dilaporkan pada 2012


memberikan
bahwa

ganbaran

ternyata

banyak

penduduk perempuan baik


di

kota

dan

berperan

perdesaan

sebagai

kepala

rumah tangga yang berarti


harus menghidupi rumah
tangganya.
Sebahagian

besar

mereka adalah janda cerai


mati

yang

mencapai

angka 67,48 %. Hampir


sebagian

besar

mereka

tidak berpendidikan yaitu


49 % dan berpendidikan
SD

adalah

sedangkan

23,67

sisanya

berpendidikan SMP dan


Gambar :

Persentase Kepala
SLTA (Sumber BPSRumah Tangga
KPPA, 2013).
menurut Jenis
Kelamin dan
Pendidikan
Kondisi ini
Tertinggi
yangmenambah permasalahan ketenagkerjaan yang perlu mendapat
Ditamatkan,
perhatian. 2012
Persentase Kepala Rumah tangga berdasarkan jenis kelamin dan jenis
Pekerjaan di bawah ini menginformasikan bahwa jumlah perempuan yang bekerja
sendiri di banding dengan laki laki jauh lebih besar yaitu 34, 9 6 persen sedangkan
laki laki 21,40 %.. Namun pada pada jenis pekerjaan yang dibantu tenaga tidak

151

tetap . Demikian berbeda pada mereka yang bekerja dengan dibantu oleh tenaga
bebas atau tidak dibayar yang umumnya tenaga kerja dalam keluarga angkanya
mendekati sama yaitu peremuan 20,17% ,sedangkan laki laki 22, 79 %.Untuk
pekerjaan bebas ternyata perempuan lebih besar dari laki laki yaitu 15,28 % dan
13, 94%.
Kesemua kegiatan produksi yang dilakukan pada data yang di ungkapkan
tersebut umumnya memerlukan modal yang sangat kecil terutama bila bekerja
sebagai pengusaha ekonomi informal. Hal ini sangat dimungkinkan karena jenis
usha ini memilki ciri aktivas bersandar pada sumber daya lokal, biasanya usaha
milik keluarga, operasi skala kecil, padat karya, keterampilan diperoleh dari luar
sistem formal sekolah dan tidak diatur dan pasar yang kompetitif. adalah mudah
masuk, artinya setiap orang dapat kapan saja masuk ke jenis usaha informal ini,
Kajian KPPA tahun 2012 telah pula mendifiniskan tentang industri rumahan .
Industri Rumahan (Cottage Industry) adalah suatu sistem produksi, yang
berarti ada produk yang dihasilkan melalui proses pembentukan nilai tambah dari
bahan baku tertentu, yang dilakukan di tempat rumah perorangan dan bukan di
suatu lokasi khusus (pabrik). Proses produksi tersebut memanfaatkan prasarana,
sarana serta peralatan produksi lainnya yang dimiliki oleh perorangan/kelompok
usaha bersama/koperasi. Umumnya produk dari Industri Rumahan berupa buatan
tangan (hand made), bersifat unik pada cara-cara yang berbeda nyata, serta sering
dikaitkan dengan kearifan lokal (local wisdom) dan teknologi tepat sasaran. Hasil
berbagai FGD dengan instusi yang melakukan pemberdayaan masyarakat adalah
kelompok yang telah melalui fase ini , dengan kata lain tidak satu instusi
pemerintah melakukan pembinaan kepada individu ataupun kelompok ini secara
konseptual dan lebih kepada klompok atau gabungan kelompok yang telah
berkembang maju. Sehingga dirumuskan perlunya KPPA secara konseptual
memberikan pembinaan dan pengembangan agar kelompok ini menjadi indudtri
mikro dan mampu mengakses pada program pemerintah atau lembaga lain untuk
lebih maju.

152

Gambar Persentase Kepala Rumah Tangga yang Bekerja menurut Jenis


Kelamin dan Status Pekerjaan, 2012

1 = Berusaha Sendiri
2 = Berusaha Dibantu Buruh Tidak Tetap/Buruh Tidak Dibayar
3 = Berusaha Dibantu Buruh Tetap
4 = Buruh/Karyawan/Pegawai
5 = Pekerja Bebas
6 = Pekerja Tidak Dibayar

4.8.2. Peluang Kesempatan Kerja Perempuan di Sektor Informal


Kurangnya kesempatan kerja di dalam negeri, mengakibatkan terjadinya
migrasi keluar negeri untuk mendapatkan penghasilan. Tingkat permintaan tenaga
kerja di beberapa negara, telah menarik minat sebagian orang untuk menjadi
tenaga kerja di luar negeri. Namun demikian, karena minimnya pendidikan, maka
sebagian besar tenaga kerja Indonesia bekerja di sektor informal seperti pembantu
rumah tangga dan buruh bangunan. Ironisnya sebagian besar tenaga kerja
Indonesia tersebut adalah perempuan atau yang dikenal dengan istilah TKW
(Tenaga Kerja Wanita). Pada tahun 2011 terdapat 376.027 TKW atau sebesar 64,7

153

dari total TKI yang tercatat di BNP2TKI, belum termasuk TKW yang pergi secara
illegal. Angka persentase ini jauh lebih kecil dibandingkan tahuntahun
sebelumnya, karena adanya perjanjian moratorium TKI dengan beberapa Negara
penerima TKI karena terjadinya kasuskekerasan terhadap TKW. Berbagai
Kebijakan maupun implementasinya yang telah dikembangkan oleh pemerintah
baik dalam rangka perlindungan tenaga Kerja pra penempatan maupun pasca
penempatan. Pemberdayaan masyrakat perdesaan sebagai sumber dari lahirnya
pekerja pekerja penata Laksana rumah tangga ( PLRT) karena himpitan ekonomi
dan kemiskinan khususnya pada perempuan.
Kajian KPP dan PA bekerjasama dengan Pusat kajian wanita Universitas
Airlangga Surabaya tahun 2009, melaporkan bahwa,
berkembang baik industri kecil maupun

diantara industri yang

industri menengah, baik yang

memproduksi makanan maupun produk lainnya, mengembangkan sebuah


mekanisme kerja yang disebut sebagai sistem putting out. Sistem Putting Out
(Putting Out Sistem) adalah suatu mekanisme kerja dengan mengalihkan
sebagian pekerjaan dalam proses produksi ke luar pabrik atau ke luar dari
tempat sistem produksi inti dilakukan. Sebagian pekerjaan yang dialihkan keluar
pabrik/sistem produksi inti yang disebut sistem putting out ini pada umumnya
dikerjakan oleh komunitas sekitar.
Salah satu permasalahan yang paling utama adalah berkaitan dengan
perlindungan kerja. Selain itu, karena mayoritas tenaga kerja yang terlibat dalam
sistem putting out ini adalah perempuan dan anak-anak maka persoalan yang
timbul bukan hanya permasalahan sosial biasa, tetapi juga permasalahan gender
(gender issues). Beberapa permasalahan yang timbul diantaranya adalah tidak
terlindunginya pekerja perempuan dari sisi hukum karena mereka tidak terdaftar
sebagai tenaga kerja formal di pabrik/industri tersebut. Oleh karena itu perlu
dikembangkan Merancang model jaring kerja industri pengolahan dengan
komunitas sekitar yang ramah anak dan sensitif - responsif gender.
Berbagai kendala juga masih dihadapi oleh perempuan dalam keterlibatan
pada program penanggulangan kemiskinan

Berdasarkan laporan darerah

pada laporan kajian Herien, 2009 menyebutkan antara lain

sebagai

berikut:

154

Keterlibatan perempuan dalam program-program penanggulangan kemiskinan


masih dijumpai belum optimal , misalnya PNPM-P2KP dan PNPM-PPK hanya
sekedar keterlibatan perempuan secara kuantat if jumlah perempuan, namun
belum menyangkut keterlibatan kompetensi talenta perempuan sebagai
sumberdaya manusia yang berkualitas.
1. Penyusunan perencanaan program baik yang diusulkan oleh masyarakat di
tingkat dusun, desa, kecamatan maupun kabupaten maupun perencanaan
hasil dampingan dari fasilitator belum melalui prosedur awal yaitu
identifikasi isu gender yang berdasarkan data kuantitaif dan kualitatif yang
terpilah berdasarkan jenis kelamin.
2. Para fasilitator, baik di pendamping lokal di tingkat desa dan fasilitator
kecamatan maupun konsultan manajemen kabupaten tidak memiliki
kemampuan untuk mengidentifikasi isu-isu gender di wilayah masingmasing dikarenakan pengetahuan dan pemahaman konsep gender dan
analisis gender yang belum memadai.
3. Kemampuan dan pengetahuan tentang konsep dan analisis gender dari
aparatur desa, kecamatan dan kabupaten masih belum optimal dan bahkan
banyak daerah yang aparaturnya belum mempunyai pemahaman gender
sama sekali.
4. Dengan demikian, akomodasi masalah, aspirasi dan kebutuhan perempuan
belum secara optimal terwujud dalam bentuk proposal kegiatan.
Keterlibatan perempuan masih parsial dan belum berkelanjutan.
4.8.3. Peran dan Fungsi Lembaga Perumus Kebijakan
Berdasarkan tugas dan fungsi maka KPP PA telah mengakomodasikan
berbagai upaya

merumuskan

kebijakan PP dan PA,

mengadvokasikan

,memfasilitasi berbagai proses pengintegrasian Isu gender dalam pembangunan


baik di level Nasional dan pembangunan daerah dalam Kebijakan, program dan
kegiatan. Pemahaman mengenai gender,menjadi penting untuk menumbuhkan
sensitivitas tentang berbagai ketidakadilan gender dalam berbagai kehidupan
masyarakat yang berdampak kepada permasalahan gender di bidang ekonomi dan
155

ketenagakerjaan. Harapan KPP PA melalui berbagai upaya yang dilakukan selama


ini adalah Stake holder baik di tingkat nasional dan daerah termasuk Lembaga
Masyarakat

mau dan mampu

melahirkan responsivitas untuk mengurangi

berbagai kesenjangan gender yang terjadi di masyarakat di dalam melaksanakan


Tugas dan fungsi

khususnya di kalangan para pengambil kebijakan

pembangunan, baik di level directive, penyusun strategi maupun manajemen


program dan kegiatan. Hal yang sama juga diharapkan ditingkat oprasional dalam
menjawab isu strategis yaitu berdasarkan fenomena, faktor faktor pendukung yang
menyebabkan fenomena tentang

ketidaksetaraan dan tentu dapat mengetahui

pula akar masalah ketidak setaraan tersebut.


Berbagai permasalahan dan kendala dalam mengurangi kesenjangan peran
dan tanggung jawab laki laki dan perempuan dan di bidang ekonomi khususnya
di sektor informal atau ekonomi informal disebabkan belum difahaminya difinisi
dan makna

Kesetaraan Gender, pengarusutamaan gender dan pemberdayaan

perempuan, sehingga menjadi salah satu kendala yang harus pertama kali di
luruskan.
Kajian untuk mendukung Kebijakan

KPPA mengenai penanggulangan

kemiskinan yang dapat dikatagorikan sebagai pemberdayaan ekonomi informal,


telah dilakukan dengan merumuskan beberapa berbagai program dengan kegiatan
yg mengedepan effektifitas fasilitasi dan advokasi isu gender. Kajian tentang
pemberdayaan ekonomi di kalangan perempuan atau lebih populer dan dipahami
sebagai pemberdayaan ekonomi perempuan atau PPEP telah banyak dilakukan.
Dalam rangka

mengatasi khususnya kesenjangan

peran dan tanggung

jawab tersebut diatas telah dihasilkan dan dikembangkan berbagai instrument


dalam bentuk berbagai peraturan menteri KPPA sendiri maupun peraturan menteri
terkait dalam pelaksanaan Pengarusutamaan gender khususnya di bidang ekonomi
dan ketenagakerjaan, namun secara khusus yang mengatur dan mengatasi
persoalan ekonomi informal belum di dikembangkan dalam rangka membangun
kesepakatan dan komitmen bersama secara nasional yang menghasilkan kebijakan
progran dan kegiatan pemberdayaan ekonomi informal.
Berbagai inisiasi yang dapat dikatagorikan sebagai upaya mengembangkan
pemberdayaan ekonomi informal oleh KPPA sejak lama telah dilakukan seperti

156

Pengembangan ekonomi lokal , desa prima( perempuan maju dan mandiri) di 32


propinsi dan 183 desa dan beberapa kabupaten-kota belum lagi kegiatan sektoral
yang di klaim sebagai kegiatan responsif gender dalam menggerakan daya tarik
daerah baik dbidang Koperasi, Usaha Mikro dan kecil dan industri . Umumya
kegiatan tersebut dilaksanakan di daerah perdesaaan dengan keberlajutan
pelaksanaannya dapat dibuktikan, dilihat dari dimensi Lingkungan,ekonomi,
teknologi ,sosial dan budaya serta Kelembagaannya.
Dampaknya adalah saat ini, semakin banyak kelompok perempuan yang
semakin kuat dan kompak, baik dari segi organisasi maupun produktivitas, untuk
meningkatkan partisipasinya di sektor publik.

Kelompok usaha ekonomi

produktif perempuan ini akan dapat menyumbang kemajuan perekonomian daerah


dengan signifikan. Pengembangan kebijakan ini juga diarahkan kepada upaya
mengatasi kemiskinan yang disebabkan oleh kurangnya akses masyarakat untuk
dapat meningkatkan produktivitasnya dan sistem dalam implementasi kebijakan
yang tidak kondusif bagi perempuan.
Perkembangan situasi kehidupan masyrakat yang digerakan oleh Perempuan
tersebut memperkuat infomasi data oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak bahwa dari 46 juta usaha mikro, kecil, dan menengah
(UMKM) yang diketahui, sebagian dari data yang dilaporkan tersebut merupakan
industri Rumahan yang sekitar 60 persen pengelolanya adalah kaum perempuan.
Dengan jumlah yang cukup banyak itu, peran perempuan

pengusaha

menjadi cukup besar bagi ketahanan ekonomi karena mampu menciptakan


lapangan kerja, menyediakan barang dan jasa dengan harga murah serta mengatasi
masalah kemiskinan. Permasalahan data dan informasi, terutama dalam Sistem
monitorng Berbasis Data (SMBD) tentang keberadaan kelompok kelompok usaha
yang menjadi permintaan lembaga perbankan maupun lembaga keuangan mikro
dalam Penguatan Permodalan.

157

4.8.4. Upaya Pengembangan Ketenagakerjaan Perempuan Informal


Upaya pengembangan ketenagakerjaan perempuan informal dapat dilakukan
dengan berbagai cara diantaranya adalah:
1) Dalam rangka mewujudkan upaya pemberdayaan ekonomi

informal

termasuk di kalangan perempuan kepala rumah tangga diperlukan Arah


Kebijakan Pengarusutamaan Gender di sektor informal (di bidang ekonomi
informal) dengan melakukan up scaling atau perluasan prototype berbagai
keberhasilan (best prctices) . Upaya perluasan keberhasilan prototype dari
design yang ada perlu dikembangkan. Sebagai contoh 149.793 unit koperasi
yang tercatat di Indonesia, baru sekitar 2,3% yang dikelola oleh perempuan,
padahal presentase perempuan pengusaha di sektor UMKM lebih besar
jumlahnya. Inisiatif dan contoh fakta ini seyogyanya dilihat sebagai peluang
untuk meningkatkan kinerja program-program pemberdayaan perempuan
dalam pembangunan ekonomi nasional secara lebih adil dan merata.
2) Upaya perluasan keberhasilan prototype dari design yang ada perlu
dikembangkan dan dibuktikan keberhasilanya di lapangan sebagai desain
implementasi

kebijakan menyempurnakan atau melanjutkan kegiatan

kegiatan Pemberdayaan Perempuan di bidang Ekonomi seperti P2WKSS,


UP2K, UPPKS. Sebagai contoh 149.793 unit koperasi yang tercatat di
Indonesia, baru sekitar 2,3% yang dikelola oleh perempuan, padahal
prosentase perempuan pengusaha disektor UMKM lebih besar jumlahnya.
Inisiatif dan contoh fakta ini seyogyanya dilihat sebagai peluang untuk
meningkatkan kinerja program-program pemberdayaan perempuan dalam
pembangunan ekonomi nasional secara lebih adil dan merata.
3) KPPPA telah dapat mempromosikan pemberdayaan perempuan dan keluarga
di bidang ekonomi, khususnya melalui pengembangan industri rumahan,
dengan mekanisme yang berbeda juga telah mempromosikan pemberdayaan
perempuan di bidang ekonomi melalui konsep desa prima atau Perempuan
desa maju mandiri . Berbagai kegiatan lain sejenis sebagai bentuk kepekaan
Kementerian dan lembaga dalam mengintegrasikan isu gender dalam tugas
fungsinya yang juga mengakomodasikan pula aspirasi ekonomi non formal ,

158

termasuk kepala rumah tangga perempuan. Dalam konteks PUG, promosi


ini dapat dilakuan sebagai bentuk konkrit dari analisis gender secara
nasional khususnya di bidang ekonomi. Dengan demikian KPPA telah
berkontribusi dalam pengembangan

kebijakan nasional yang ditujukan

khusus untuk pemberdayaan perempuan dan keluarga di bidang ekonomi.


4) Dalam perspektif penguatan ketahanan keluarga promosi ini sudah dapat
dilakukan, karena penguatan komponen ekonomi dalam ketahanan keluarga
merupakan bagian yang penting. Dasar hukumnya, yaitu Peraturan Menteri
tentang pembangunan keluarga sudah ada. KPPPA bisa memasukkan
promosi usaha mikro sebagai bagian dari advokasi ke pemerintah daerah
5) KPPA sebagai Kementerian yang tugas fungsi utamanya merumuskan
kebijakan , telah berhasil mengembangkan kebijakan yang berpihak kepada
upaya mewujudkan pembangunan berkeadilan terutama kepada kelompok
masyarakat miskin termarjinalkan termasuk perempuan, namun

belum

dapat memenuhi harapan berbagai kalangan masyarakat di berbagai wilayah


terhadap konsep Pemberdayaan Ekonomi perempuan. Di sisi lain sebagai
subsistem dari sistem

mesin pembangunan,

di bidang ekonomi,

masyarakat dan pemangku kepentingan terkait , menuntut KPPPA


memberikan kontribusi yang lebih besar, agar eksistensi sebagai subsistem
pemerintahan memang strategis dalam mendorong pembangunan yang
inklusif dan berkeadilan .

Hasil evaluasi telah dapat mengidentifikasi berbagai upaya pengembangan


kebijakan dalam program dan kegiatan yang masih belum dikembangkan kearah
implementasi secara sinergi dan

terkoordinasi

antar kementerian lembaga.

Padahal di setiap wilayah tertentu memerlukan fokus program dan kegiatan yang
harus dilakukan oleh antar kementerian lembaga dan memerlukan penyelarasan
agar effektif dalam pencapaian target sasaran yang memprtimbangkan kesetaran
peran gender dan pemberdayaan perempuan melalui program program bidang
prioritas

masing masing Kementerian lembaga ataupun yang bersifat lintas

bidang antara lain:

159

1. Dalam rangka mengurangi kemiskinan dan pengangguran dari makin


meningkatnya jumlah angkatan kerja
disebabkan

hususnya perempuan

yang

antara lain (1) tingkat pertumbuhan penduduk yang relatif

tinggi, (2) jumlah penduduk yang memang sangat besar dengan tingkat
pendidikan yang terbatas , (3) struktur umur yang muda lebih besar , dan (4)
penyebaran penduduk yang tidak merata,maka pentingnya kebijakan
pengembangan ekonomi informal yang resposif gender.dengan sasaran
kantong kantong kemiskinan baik di perkotaan maupun perdesaan melalui;
2.

Pentingnya pelaksanaan Perencanaan dan penganggaran Yang responsif


gender di berbagai program dalam mengembangkan kewirausahaan
dikalangan perempuan baik di perdesaan maupun perkotaan untuk
mengembangkan ekonomi informal menjadi usaha mikro dalam rangka
meningkatkan daya tahan ekonomi keluarga.

3. Dikembangnya sistem Monitoring dan evaluasi berbasis Data dalam rangka


memenuhi upaya peningkatan aksesibilitas kelompok perempuan usaha
ekonomi informal dalam permodalan. Data ini ternyata menjadi kebutuhan
bagi partisipasi dunia perbankan dan non perbankan serta dunia usaha dalam
rangka kemitraan dengan swasta untuk perluasan skala usaha dan pasar.
4. Perlunya KPP PA dalam renstra maupun dokumen perencanaan lainnya
mendorong

lahirnya Peraturan Pemerintah

ketenagakerjaan maupun

peraturan pelaksanaan dari undang undang ketenagakerjaan sesuai hukum


internasional untuk menciptakan kesempatan kerja yang baik (decent work),
yaitu lapangan kerja produktif bagi tenaga kerja informal serta adanya
perlindungan dan jaminan sosial yang memadai.
5. KPPPA perlu mendorong terus pengembangan kebijakan nasional untuk

penguatan usaha mikro, baik dalam konteks pemberdayaan perempuan di


bidang ekonomi, khususnya mendorong agar ekonomi informal terutama
yang dilakukan oleh perempuan dapat berkembang menjadi usaha mikro
yang makin mandiri menjadi target pembangunan nasional yang terukur.
Diharapkan

upaya yang akan dikembangkan pada RPJMN selanjutnya

160

mempunyai arah yang jelas untuk peningkatan kemampuan usaha mikro


mengatasi berbagai kendala di bidang tenaga kerja informal

termasuk

mengatasi permasalahan putting out sistem di sekitar kawasan industri serta


mengurangi kemiskinan dikalangan kepala rumah tangga perempuan.
6. Perlunya menambah tugas fungsi baru Kementerian PP dan PA terutama

dalam mengemban dan mengakslerasi program pemberdayaan masyarakat


melalui inisiasi operasonal di lapangan berupa pengembangan program
pemberdayaan masyarakat yang responsif gender yang fokus terhadap
ekonomi informal yang berdampak terhadap peningkatan kualitas hidup
perempuan dan pemenuhan hak perempuan, sehingga eksistensi sebagai
subsistem

mesin

pembangunan

memang

di

nilai

strategis

dalam

meningkatkan kualitas pembangunan.


4.9. Trafficking Perempuan dan Anak
Telah terjadi pada tingkat lokal suatu Negara dari propinsi ke propinsi lain
Di Indonesia, Bahkan dari Indonesia telah ke seluruh pelosok dunia . Traffiking
Perempuan dan anak

ternyata saat ini perdagangan manusia telah memiliki

implikasi internasional, seperti yang diakui oleh PBB dalam Protokol untuk
Mencegah, Menekan dan Menghukum Perdagangan Manusia, khususnya
Perempuan dan Anak, perjanjian internasional ini telah melekat pada konvensi
PBB Menentang Kejahatan Transnasional Terorganisir (CtoC) yang mulai berlaku
pada 25 Desember 2003.

Protokol ini juga merupakan salah satu dari tiga

protocol yang melengkapi CtoC tersebut 25 Desember 2003. Protokol ini juga
merupakan salah satu dari tiga protocol yang melengkapi CtoC tersebut.
Protokol Perdagangan manusia adalah yang pertama
merupakan
kesepakatan global, sebagai legally binding instrument pada perdagangan lebih
dari setengah abad, dan satu-satunya dengan definisi yang disepakati dengan
perdagangan orang. Salah satu tujuannya adalah untuk memfasilitasi kerjasama
internasional dalam penyelidikan dan penuntutan perdagangan tersebut. Tujuan
lainnya adalah Lain adalah untuk melindungi dan membantu korban perdagangan
manusia dengan menghormati sepenuhnya hak-hak mereka sebagaimana
ditetapkan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Protokol Perdagangan

161

diadopsi oleh PBB di Palermo pada tahun 2000 dan mulai berlaku pada tanggal 25
Desember 2003. Pada Maret 2013 telah ditandatangani oleh 117 negara termasuk
Indonesia .
Berbagai fakta mengungkapkan tentang jenis,besaran atau jumlah, waktu
maupun frekwensi terjadinya permasalahan trafficking yang terjadi selama ini di
tanah air baik yang diketemukan di dalam negeri maupun di luar negeri .Persoalan
Global

menjadi bahan bakar terjadinya perdagangan manusia faktor yang

mendorong terjadinya traffiking antara lain yaitu kemiskinan, pengangguran,


norma-norma sosial yang mendiskriminasikan perempuan, permintaan untuk seks
komersial. Secara umum menurut

berbagai sumber yang melaporkanhasil

penilitiannya melaporkan bawa Penyebab terjadinya trafficking dikarenakan ;


a. Kemiskinan dan globalisasi
Kemiskinan dan kurangnya kesempatan pendidikan dan ekonomi di
kampung halaman seseorang dapat menyebabkan perempuan untuk secara
sukarela bermigrasi dan kemudian tanpa sadar diperdagangkan menjadi
pekerja seks. Kecendrungan tersebut diperkirakan karena berbagai data
yang mendukung. Data sakernas (2011) memberikan

Perempuan Yang

Bekerja di Sektor Informal baru memberikan peluang kerja bagi perempuan


57,89 % dari penduduk perempuan yang berjumlah 120.948.310 (49,63 %
dari penduduk Indonesia). Perempuan Pengangguran Terbuka: 4 %,
Perempuan Yang Bekerjanya di Sektor Formal: 42,11 %.
Globalisasi membuka perbatasan nasional untuk bermigrasi nya tenaga kerja
juga meningkat Dampak ekonomi dari globalisasi mendorong orang untuk
membuat keputusan sadar untuk bermigrasi dan menjadi rentan terhadap
perdagangan. Ketidaksetaraan gender yang menghambat perempuan
berpartisipasi di sektor formal juga mendorong perempuan ke sektor
informal.
b. Kondisi sosial
Perempuan dan anak perempuan lebih rentan terhadap perdagangan
juga karena norma-norma sosial yang meminggirkan nilai dan status mereka
dalam masyarakat. Perempuan menghadapi diskriminasi gender yang
merugikan baik di rumah maupun di sekolah. Stereotip bahwa perempuan
harus lebih banyak di ruang domestik di banding lakilaki, menjadikan
perempuan kurang berkontribusi di ranah kerja formal .Berbagai norma

162

sosial berkontribusi rendah terhadap posisi perempuan dan kurangnya


pengetahuan umum dan situasi kemasyarakatan, sehingga membuat mereka
rentan terhadap eksploitasi seperti perdagangan seks.
Dampak ekonomi yang dihasilkan dapat di gambarkan seperti perkiraan
yang disampaikan ILO. Menurut perkiraan dari ILO

setiap tahun industri

perdagangan manusia menghasilkan 32 miliar USD, setengah dihasilkan dan


dibuat di negara-negara industri, dan sepertiga di antaranya dibuat di Asia. Sejak
tahun 2000, jumlah korban perdagangan seks telah meningkat sementara biaya
yang terkait dengan perdagangan telah menurun biaya rata-rata $ 1.895 masingmasing tapi menghasilkan $ 29.210 per tahun. seks korban perdagangan jarang
mendapatkan bagian dari uang yang mereka buat melalui kerja seks paksa, yang
selanjutnya membuat mereka tertindas.
Bukti diatas menujukkan bahwa kemiskinan dan kebodohan yang masih
menyelimuti kehidupan sebahagian masyarakat di perdesaan yang umumnya
memiliki daya dukung sumberdaya alam yang rendah dan sarana prasarna yang
tertinggal dibandingkan wilayah yah yang lebih maju menjadi akar permasalahan
sering nya diketemukan budaya Kekerasan social, gender dan ekonomi menjadi
isu strategis yang memerlukan penanganan yang holistic dan terintegrasi baik
Pemerintah dengan seluruh perangkatnya secara berjenjang, dunia usaha,
akademisi dan masyarakat dalam mengatasi trafficking di Indonesia.
4.9.1.

Strategi Pengarusutamaan
Penanganan Trafficking.

Gender

Dalam

Pencegahan

dan

Tiga kebijakan yang diarusutamakan selain pengarusutamaan pembangunan


berkelanjutan dan tata kelola pemerintahan yang baik, yaitu pengarusutamaan
gender. Pengarusutamaan gender adalah strategi yang dilakukan secara sistematis
dan rasional untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender dalam aspek
kehidupan manusia melalui kebijakan dan program Pembangunan yang
memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan permasalahan perempuan
dan laki-laki (lanjut usia, anak-anak di bawah umur, orang-orang dengan kendala
berbeda/difable,

dan

kelompok

miskin).

Tujuan

untuk

memberdayakan

perempuan dan laki-laki dari berbagai kelompok masyarakat yang dilakukan


melalui mekanisme dan system yang telah ada, sejak dari tahap penyusunan

163

perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi dari seluruh kebijakan, program,


kegiatan Pembangunan.
Upaya mengatasi trafficking dilakukan melalui strategi pengarusutamaan
ini dilaksanakan sesuai dengan tugas dan fungsi para stakeholders. Penerapan
pengarusutamaan gender akan menghasilkan kebijakan publik yang lebih efektif
dan penganggaran yang lebih efisien dan berkeadilan dalam mengatasi persoalan
trafficking baik laki-laki maupun perempuan, anak perempuan dan anak laki-laki.
Di samping itu, perlindungan anak juga akan dapat terdukung dengan adanya
kebijakan Pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak, sebagai upaya untuk
memenuhi hak-hak dan pencegahan maupun perlidungan secara teritegrasi,
holistik dan berkelanjutan bagi anak.
Kelembagaan PUG dalam penanganan dan pencegahan trafficking menjadi
strategi dan pendekatan yang di kembangkan, yang mencakup :
a. Komitmen Pejabat pemangku kepentingan dalam posisi strategis menjadi
sangat menentukan peran pemangku kepentingan khususnya institusi
penegak hukum dalam mengembangkan kebijakan Pencegahan dan
penanganan trafficking ;
b. Terintegrasinya isu strategis sebagai wujud komitmen pimpinan level
strategis dalam kebijakan dan program pencegahan dan penanganan
trafficking termasuk SOP maupun SPM
c. Effektifitas dan eksistensi dari lembaga dalam melaksanakan SOP yang
terkait dengan penanganan kekerasan maupun trafficking di level propinsi
maupun kabupaten kota (gugus tugas PTPPO: P2TP2A, krisis center, dan
lain lain);
d. SDM yang memahami peraturan undangundangan dan sensitve serta
responsive gender terkait dengan isu yang harus ditangani dan memahami
penyebab akar masalah dalam mengatasi trafficking. ;
e. Adanya anggaran yang memadai sesuai kebutuhan SPM dalam menangani
korban trafficking maupun berbagai anggaran yang penggunaannya dapat
dmengakomodasi isu isu sejenis tanpa mengurangi atau melanggar
ketentuan perundang undangan.
f. Pemetaan dan pengembangan basis data

yang menggambarkan tentang

jenis , jumlah, besaran, waktu, dan frekwensi kejadian dengan terpilah


terkait jenis kelamin maupun usia korban.g) kesepakatan antar pemangku

164

kepentingan dalam mekanisme kerja dan koordinasi dilapangan sebagai SOP


maupun dalam penangnganan krisis dan
g. koordinasi dan kerjasama yang effektif dengan kelompok masyarakat dan
membangun kepekaan social dalam mengatasi trafficking.
4.9.2. Pelembagaan Pencegahan dan Penanganan Traffiking
Indonesia sendiri memiliki landasan hukum sebagai dasar kebijakan yang
kuat mendasari sebelum lahirnya UU mengenai trafficking yang termuat pada
pasal-pasal di dalam UU Dasar 1945, yaitu:
a. Pasal 28 H Ayat (2): Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan
perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama
guna mencapai kesamaan dan keadilan
b. 28 I Ayat (4) Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak
asasi manusia adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah
c. Pasal 28 G Ayat (2) : Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan
atau perlakuan yang merendahkan derajat manusia
d. UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan CEDAWUntuk menghilangkan
diskriminasi terhadap perempua, terutama pada bidang-bidang pendidikan,
ketenagakerjaan, kesehatan, hukum, sipil, politik, sosial dan budaya.
Berbagai

peraturan

perundang-undangan

telah

dihasilkan

untuk

mengkriminalisasikan perdagangngan manusia. Berbagai produk hukum tersebut


adalah :
a. UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang ,dengan tujuan memberikan , sanksi pidana lbh tinggi dibanding
KUHP.
b. PP No. 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara dan Mekanisme Pelayanan Terpadu
Bagi Saksi dan/atau Korban TPPO , yang secara khusus mengatur ttg PPT
(Pusat Pelayanan Terpadu dan Mekanisme kerjanya /PSO.
c. Perpres No. 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan
Penanganan TPPO yang memberikan penekan pada penanganan

TPPO

mulai dari Pusat sampai dgn Kab/ko.

165

d. Permenkokesra No. 25 Tahun 2009 tentang RAN PTPPO dan Eksploitasi


Sek komersial Anak sebagai Acuan untuk membuat Rencana Aksi Daerah.
e. PERMEN NO. 01/2009 tentang STANDAR PELAYANAN MINIMAL
(SPM) PELAYANAN TERPADU BAGI SAKSI DAN/ATAU KORBAN
TPPO DI KAB/KO Kewajiban Pemerintah dalam memberi perlindungan
dan memenuhi hak-hak saksi/korban TPPO dg indikator capaian/cakupan
meliputi Layanan

Pengaduan Masyarakat, Rehabilitasi Kesehatan,

Perlindungan Hukum, Rehabilitasi Sosial, Pemulangan, dan Reintegrasi


Sosial.
f. PERMEN No. 22 Tahun 2010 tentang PROSEDUR STANDAR
OPERASIONAL

(PSO)

PELAYANAN

TERPADU

BAGI

SAKSI

DAN/ATAU KORBAN TPPO.


g. Langkah-langkah standar yg harus dilakukan dlm menangani dan
melindungi saksi dan/korban TPPO mulai dari identifikasi, rehabilitasi
kesehatan, rehabilitasi sosial, bantuan hukum, pemulangan dan reintegrasi
sosial saksi dan/atau korban.
h. PERMEN NO. 10 Tahun 2012 PANDUAN PEMBENTUKAN DAN
PENGUATAN GUGUS TUGAS PENCEGAHAN DAN PENANGANAN
TPPO Panduan bagi pemerintah daerah dalam pembentukan dan penguatan
Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO.
Tindakan yang diambil untuk memerangi perdagangan manusia bervariasi
untuk setiap Negara kesadaran di antara calon korban, khususnya di negaranegara di mana perdagangan manusia yang aktif.
Meningkatkan kesadaran di antara penegak hukum , baik kepolisian,
kejaksaan, para hakim termasuk pekerja kesejahteraan sosial dan petugas
imigrasi untuk membekali mereka dalam menangani secara tepat dengan
masalah. Dan akhirnya, di negara-negara di mana prostitusi adalah legal atau
semi-legal, mereka dapat meningkatkan kesadaran di antara klien prostitusi
sehingga mereka dapat melihat tanda-tanda korban perdagangan manusia. Metode
untuk meningkatkan kesadaran umum sering termasuk program televisi, film

166

dokumenter, komunikasi internet, dan poster. Peningkatan kesadaran dilakukan


antara lain melalui:
a. Pemerintah di dunia

umumnya mensosialisasikan kepada masyarakat

tentang apa yang mereka perbuat sebagai landasan kerja mereka dengan
undang-undang

yang

dibuat

pemerintah

khusus

ditujukan

untuk

mengkriminalisasi perdagangan manusia.


b. mengembangkan kerjasama antara lembaga penegak hukum dan organisasi
non-pemerintah (LSM) baik nasional maupun antar Internasional.
c. Meningkatkan pemahaman dan kesadaran tentang trafficking kepada stake
holders dan masyarakat dan mengambil tindakan yang nyata dalam
mengatasinya.
4.9.3. Proses Pelembagaan Pengintegrasian Kebijakan Trafficking
Upaya untuk

melembagakan dan mengoprasionalisasikan Kebijakan

tersebut diatas dalam tugas dan fungsi pemangku kepentingan telah dilakukan
melalui forum koordinasi di tingkat nasional, di tingkat propinsi dan kabupaten
kota yang menyangkut 2 hal yaitu : Terkait l embaga koordinasi, Pemerintah harus
membentuk:
a. Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Pusat Pelayanan Terpadu PPT
yaitu Lembaga koordinatif yang bertugas mengkoordinasikan upaya
pencegahan dan penanganan korban tindak pidana perdagangan orang
tingka pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Terkait Pelayananan.
b. Sebagai pemangku kepentingan harus telah membuat:
1) Standar Pelayanan Minimal SPM TPPO dan
2) Prosedur Standar Operasional PSO Pelayanan Terpadu Bagi Saksi
dan/atau Korban TPP. Ketentuan tersebut telah diamanatkan melalui
Perpres No. 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan
Penanganan TPPO. Sebagai Ketua ditetapkan adalah Menko Kesra RI
dan selaku ketua harian adalah Menteri Negara

Pemberdayaan

perempuan dan perlindungan anak . Tidak kurang dari


kementerian dan lembaga

18

sebagai pemangku kepentingan dalam

167

tugas dan fungsinya terkait dengan penanganan PTPPO . Oleh karena


itu PTPPO dalam mengatasi permasalahan trafficking di Indonesia
harus terintegrasi melalui penerapan strategi pengarusutamaan seperti
apa yang di amanahkan perpres no 5 dalam RPJMN 2010-2014 ,
dalam kebijakan, strategi dan manajemen serta oprasionalisasi masing
masing lembaga sesuai dengan tugas fungsinya.
Secara umum komitmen pimpinan lembaga pemerintahan,baik eksekuti
maupun legislatif dan tentunya yudikatif telah memberikan dan mendorong
lahirnya kebijakan baik berupa undang-undang maupun peraturan tindak lanjutnya
sampai pada tingkat oprasional telah diwujudkan dalam mengatasi salah bentuk
kekerasan khususnya terhadap perempuan dan anak dalam bentuk traffiking.
Sebagai upaya dalam mengimplementasikan Kebijakan

perlindungan

perempuan dan anak sudah ada kemajuan yang sudah dicapai dengan telah
hadirnya berbagai lembaga/unit maupun pusat perlindungan bagi perempuan dan
anak korban kekerasan di berbagai wilayah di Indonesia. Sampai saat ini daerah
yang mengalokasikan anggaran untuk penanganan kekerasan terhadap perempuan
dan anak (termasuk PPTPPO) sudah 25 propinsi dan 83 kabupaten/kota; terbentuk
Pusat Pelayanan Terpadu bagi Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) di 27
propinsi dan 197 kabupaten/kota, terbentuk gugus tugas PPTPPO di 28 propinsi
dan 88 kabupaten/kota; sudah terbentuk 123 lembaga layanan korban kekerasan
berbasis rumah sakit; dan sudah terbentuk unit perlindungan perempuan dan anak
(UPPA) di 456 Mapolres. Masih banyak kendala yang dihadapi yaitu lemahnya
komitmen dalam pengintergrasian dalam perencanaan dan penganggaran yang
sangat terbatas.
Dari Perspektif tugas fungsi KPP PA maka penguatan Kelembagaan
penanganan traffiking merupakan isu strategis sebagai elemen penting agar dapat
mengintegrasikankannya dalam tugas dan fungsi aparat keamanan dan penegak
hukum. Dalam mengarus utamakan pencegahan PPTPO yang dilakukan melalui
program dan kegiatan penanggulangan kemiskinan dan peningkatan partisipasi
pendidikan di daerah tertinggal. Persoalan ekonomi dan social budaya menjadi
salah satu elemen yang penting pula, oleh karena itu upaya penanggulangannya
yang

bias gender dalam

implementasinya

dapat berdampak terjadinya


168

diskriminasi terhadap perempuan. Untuk itu diperlukan pemahaman, sensitifitas,


dan kesadaran akan issue gender yang ada dan komitmen untuk membangunan
sistem dan kelembagaan yang responsif gender di masing-masing institusi,
sehingga permasalahan ketimpangan relasi gender dan kekuasaan yang menjadi
akar permasalahan yang berdampak kepada perdagangan orang dapat dikurangi
atau dihapuskan . Meskipun sudah di dimulai dan di terintegrasikannya dalam
kebijakan dan progam pembangunan masing-masing pemangku kepentingan. Dari
sisi pemberdayaan, masing-masing daerah belum optimal dalam melaksanakan
antara lain wajib belajar 12 tahun dan juga peningkatan keterampilan dalam IT
bagi perempuan dan anak terutama di daerah perdesaan , Perempuan dalam posisi
dan kondisi miskin yang merupakan kepala rumah tangga umumnya adalah janda
,sulit memiliki akses dan manfaat dari berbagai program pembangunan karena
persoalan budaya, oleh karena itu perlu memperluas akses permodalan melalui
lembaga Keuangan Mikro ataupun program sejenis untuk memperkuat ketahanan
ekonomi keluarga melalui fasiltasi dan pendampingan. Membangun kekuatan
ekonomi rumah tangga adalah komponen penting dalam membangun Ketahanan
Keluarga, sehingga keluarga memiliki copying terhadap goncangan ekonomi ,
menurunnya derajat kesehatan pendidikan bagi anak anaknya.
Dari sisi pemberdayaan kapasitas gugus tugas, perlu dipikirkan bersama
selain pelatihan bagi para penegak hukum terkait dengan tugas dan perannya,
para gugus tugas di pusat dan daerah perlu mendapatkan pemahaman lebih
spesifik terkait dengan issue gender dalam kekerasan dalam rumah tangga, issue
gender dalam tindak pidana perdagangan orang dan issue gender di dalam
pencegahan, perlindungan dan penanganan korban serta kemampuan melakukan
analisis dengan pendekatan gender. Sedangkan dari sisi penegakan hukum, faktor
penegakan hukum memainkan peranan kunci untuk menegakkan berbagai
peraturan perundangan-undangan. Pada kenyataannya berbagai kendala dalam
mengarustamakan berbagai isu startegis agar akar masalah terjadinya trafficking
dapat diatasi masih banyak menghadapi kendala terutama lemahnya kelembagaan
dan jaringan pengarusutamaan, temasuk ketersediaan data, serta

rendahnya

partisipasi masyarakat.

169

Dalam penegakan hukum diakui

masih banyaknya permasalahan dan

tantangan. Kasus-kasus kekerasan termasuk di dalamnya tindak pidana


perdagangan orang perlu ditindaklanjuti dengan optimal dan konsisten sehingga
akan menimbulkan efek jera bagi pelakunya/trafficker dalam hal perdagangan
orang. Peningkatan kerjasama yang erat dan sinergis lembaga khusus yang
menangani secara teknis oprasional

dengan penyidik dengan jaksa penuntut

umum dan pengadilan di dalam menangani perkaran TPPO sangat diperlukan


.dengan menitikberatkan pada situasi dan kepentingan terbaik bagi korban dari
tahap awal penyidikan, menjelang tahap pra penuntutan dan tahap sebelum dan
sesudah P21 (perkara lengkap) merupakan prioritas Oleh karena itu keberadaan
lembaga yang menangani trafficking di level nasional dan memiliki kemampuan
menindaklanjuti

berbagai persoalan langsung

di lapangan secara langsung

menjadi suatu kebutuhan yang sampai saat ini belum optimal.


4.9.4. Inovasi Daerah Dalam Pelembagaan Penanganan PTPPO
Beberapa daerah provinsi yang telah mengembangkan inovasi baru dalam
upaya PTPPO dan perlu mendapat dukungan antara lain:
a. Provinsi Kalimantan Barat saat ini telah mengembangkan Pilot Proyek
Upaya pencegahan dan penanganan TPPO berbasis Dasa Wisma di tingkat
Kabupaten/Kota. Perlu ddilembagakan dan di perkuat melalui dukungan
stimulan anggaran dan peningkatan dukungan baik kebijakan maupun
anggaran dari institusi Pembina di pusat sesuai dengan mekanisme yang
ada.
b. Provinsi Jawa Barat telah melakukan program pemberdayaan korban tindak
pidana perdagangan orang dengan memberi modal sebesar 5 (lima) juta
rupiah untuk modal usaha kepada 30 orang dan kepada 49 orang Korban
TPPO masing-masing 10(sepuluh) juta rupiah dalam rangka pemberdayaan
secara ekonomi agar tidak mudah terjebak menjadi korban perdagangan
orang kembali.
c. Provinsi NTB sebagai salah satu daerah pengirim melakukan upaya
pemberantasan TPPO salah satunya melalui pemberdayaan peran Forum

170

Kepala Desa dalam pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak


termasuk pencegahan dari indikasi dan perangkap perdagangan orang.
d. Beberapa institusi sudah mulai menyediakan hotline khusus untuk
pengaduan masyarakat. BNP2TKI menyediakan Hotline khusus nomor
telepon 021.292444800 untuk pengaduan bagi TKI Bermasalah di Luar
Negeri dan hotline nomor 08001000 untuk layanan pengaduan TKI
bermasalah di dalam Negeri. KPP dan PA menyediakan hotline bagi
Pengaduan bagi korban kekerasan (termasuk bagi korban Perdagangan
Orang) dengan nomor khusus HP 082125751294.

Sesuai dengan tugas dan fungsi Gugus Tugas yang diatur melalui Perpres
Nomor 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO,
salah satunya Mengkoordinasikan upaya pencegahan dan penanganan masalah
tindak pidana perdagangan orang. Berkaitan dengan hal tersebut, telah dijalin
beberapa bentuk kerjasama baik antar daerah asal, transit dan tujuan maupun
kerjasama di lingkup propinsi masing-masing, sebagai berikut:
a. Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO Provinsi Jawa telah
menindak lanjuti MOU dengan melakukan Perjanjian Kerjasama dengan 26
Kabupaten/Kota se Jawa Barat, dan
terpadu

pencegahan,

penanganan

telah
dan

melakukan berbagai upaya


pemulangan

korban,

serta

pemberdayaan korban TPPO melalui kegiatan pelatihan dan pemberian


modal 5 sampai 10 juta rupiah per korban.
Disamping itu Jawa Barat juga telah menjalin kerjasama melalui ikatan
MOU dengan Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kepulauan Riau dan
Bangka Belitung. Pasca MOU, Gugus Tugas Propinsi Jawa Barat telah
memfasilitasi pemulangan dan reintegrasi sosial sebanyak 150 korban
perdagangan orang.
b. Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO Provinsi Kepulauan Riau
juga telah menindak lanjuti MOU dengan

provinsi Jabar, Jateng, Jatim,

Kalbar, Kaltim dan Lampung.

171

Upaya lain yang sudah dilakukan adalah upaya Penanganan dan


perlindungan Korban yang meliputi Rehabilitasi Sosial, Rehabilitasi medis
dan bantuan hukum serta Pemulangan dan Reintegrasi korban.

Sejak

ditanda tanganinya Kesepakatan Bersama antar Pemerintah provinsi


tersebut, Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau telah memberikan pelayanan
dan memulangkan Korban ke Daerah Asalnya mencapai 73 (tujuh puluh
tiga) orang berasal dari provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Dengan keberhasilan kerjasama yang telah dilaksanakan antara pemerintah
tersebut, maka tindak lanjut kerjasama ini akan diperluas ke beberapa
pemerintah Provinsi lainnya, terutama provinsi yang jumlah korbannya terus
meningkat dari waktu ke waktu. Kepulauan Riau telah melakukan upaya
penjajagan,

dan

beberapa

Pemerintah

provinsi

telah

menyatakan

keinginannya untuk melaksanakan kerja sama, diantaranya Pemerintah


provinsi Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Riau, Babel, Sumatera
Utara dan Sumatera Selatan.
4.9.5. Penanganan Tenaga Kerja Keluar Negeri Dalam Pencegahan
Traffiking
Pada Tahun 2012 penempatan TKI (berdasarkan data Kemnakertrans)
berjumlah 753 ribu orang terdiri dari TKI formal 494,6 ribu orang dan TKI
informal 258,4 ribu orang. Dari jumlah tersebut 57 % adalah perempuan dan
sekitar 90% dari mereka bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT)/Penata
Laksana Rumah Tangga. Banyaknya tenaga kerja perempuan di sektor informal
dan bekerja sebagai PRT ini sebagian besa berpendidikan SD dan ketrampilan
yang terbatas menjadi penybab terjadinya kerentanan terhadap kekerasan kaum
perempuan di sektor informal ini. Disamping itu juga disebabkan oleh oleh
rendahnya kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan baru; tidak/kurang
menguasai adat istiadat, budaya dan bahasa setempat; tidak memahami hukum
negara tujuan dan status mereka yang dianggap lebih rendah, serta tidak
mempunyai posisi tawar dengan pemberi kerja. Akibatnya seringkali mereka
kurang mendapat upah yang layak, sering mendapat perlakuan yang buruk baik
fisik maupun seksual, dan sulit mendapatkan perlindungan hukum.

172

Langkah penting dalam rangka mengurangi pengirimantenaga kerja


berpendidikan rendah adalah mengatasi permasalahan perekrutan di hulu atau
daerah asal dengan memperkuat Peran pemerintah daerah (Provinsi dan
Kabupaten/Kota) sesuai dengan semangat desentralisasi, yaitu dengan cara lebih
mendekatkan pelayanan-pelayanan di daerah, seperti: informasi, kesehatan dan
pelatihan sejalan dengan perbaikan berbagai peraturan perundang undangan yang
lebih baik dan akomodatif terhadap permasalahan TK dan Penguatan Perwakilan
di LN terkait dengan isu TKI.
Hal ini di laksanakan dengan mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP)
nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pusat dan Daerah

yang

menyatakan urusan ketenagakerjaan merupakan salah satu urusan wajib yang


diselenggarakan Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota, maka
Pemerintah Daerah turut bertanggungjawab dalam melaksanakan mekanisme
penempatan dan perlindungan TKI termasuk dalam melayani warganya yang akan
berangkat dan kembali dari luar negeri.
Dalam rangka memperkuat peran pemerintah daerah terutama di daerah
kantong kantong TKI. Khususnya yang Berasal dari 25 Kabupaten/Kota terbesar
daerah kantong-kantong pengirim TKI terbesar , Dalam upaya untuk lebih
memberdayakan dan melindungi TKI dan keluarganya yang rentan terhadap
permasalahan ekonomi keluarga, keharmonisan keluarga, dan perlindungan anak,
maka Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan melalui Peraturan Menteri PPPA No. 20 Tahun 2010 tentang Panduan Umum Bina Keluarga TKI.
Kebijakan BK TKI merupakan acuan bagi pemerintah daerah (provinsi dan
kabupaten/kota) dan masyarakat untuk melakukan pemberdayaan TKI dan
keluarganya. Selain itu, kebijakan ini dapat dimanfaatkan untuk menjawab salah
satu tuntutan dari Pasal 47 UU No. 6 Tahun 2012 tentang Konvensi Internasional
mengenai Perlindungan Hak-hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota
Keluarganya.
Manfaat dari Kebijakan BK TKI mencakup:
a. Membantu TKI dan keluarganya dalam mengelola keuangan hasil
remitansi selama bekerja di luar negeri. Menurut data Bank Indonesia tahun
2012 menunjukkan bahwa remitansi berjumlah Rp. 67,7 triliun. Kegiatan
yang dilakukan, misalnya: pembentukan koperasi (kerjasama dengan

173

Kementerian

KUKM),

Kementerian

KUKM,

pelatihan

keterampilan

Kementerian

(kerjasama

Perindustrian,

dengan

Kementerian

Perdagangan, Kementerian Pertanian), pelatihan manajemen keuangan


dengan BNP2TKI, pelatihan financial literacy, dll, yang juga didukung oleh
pihak perbankan dan dunia usaha.
b. Membantu TKI dan keluarganya untuk tetap mempertahankan keutuhan
keluarga meski salah satu (suami atau isteri) harus bekerja ke luar negeri.
Kegiatan yang dilakukan, misalnya: penguatan iman (kerjasama dengan
Kementerian Agama melalui kelembagaan BP-4 di setiap kecamatan), dan
program olahraga (kerjasama dengan Kementerian Pemuda dan Olahraga).
c. Membantu TKI dan keluarganya dalam pemenuhan hak-hak anak
keluarga TKI, terutama terkait tumbuh kembang dan perlindungan anak.
Kegiatan yang dilakukan, misalnya: Bina Keluarga Balita dan Bina
Keluarga Remaja (kerjasama dengan BKKBN), pemenuhan hak kesehatan
anak (kerjasama dengan Kementerian Kesehatan) dan pemenuhan hak
pendidikan

anak (kerjasama

dengan Kementerian Pendidikan

dan

Kementerian Agama).
Implementasi pengembangan kebijakan ini dimulai sejak tahun 2010 hingga saat
ini, Kebijakan BK TKI telah diimplementasikan di 7 kabupaten (Lampung
Selatan, Indramayu Wonosobo, Tulungagung, Lombok Timur, Belu dan Gowa)
dari 25 kabupaten kantong TKI tertinggi. Wujud nyata dilaksanakannya BK TKI
adalah terbentuknya kelompok-kelompok keluarga TKI di desa-desa kantong
TKI. Terdapat 13 instansi (SKPD) dan unsur masyarakat yang tergabung dalam
Kelompok Kerja di tingkat provinsi dan kabupaten/kota untuk saling bersinergi
melakukan pemberdayaan kepada keluarga TKI, dengan dikoordinasikan oleh
Bappeda dan instansi yang menangani pemberdayaan perempuan.
Pada tahun 2012, berkat kerjasama dan kemitraan yang semakin kuat
antara

KPPPA dengan

K/L

terkait,

maka

kebijakan

BK

TKI

telah

diimplementasikan oleh Perwakilan RI terutama di negara-negara yang banyak


mempekerjakan TKI, misalnya dari KBRI Riyadh, KBRI Kuwait dan KJRI
Hongkong, sangat strategis untuk di kembangkan di masa medatang baik dari segi
konsep maupun implementasinya.
4.9. 6. Kendala dan Tantangan
174

Dalam mengintegrasikan penanganan kekerasan terhadap perempuan dalam


bentuk traffiking masih di jumpai kendala dan tantangan .Berbagai upaya
pencegahan dan penanganan TPPO telah di lakukan baik oleh Kementerian atau
pun Lembaga, pemerintah maupun non pemerintah, di tingkat nasional ataupun di
daerah, pemberantasan tindak pidana perdagangan orang di Indonesia masih saja
belum secara optimal dapat teratasi. TPPO adalah kejahatan HAM serius terhadap
manusia, terjadi di dalam wilayah suatu negara dan kejahatan lintas negara
(transnational organize crime) yang merupakan persoalan yang sangat komplek,
saling kait mengkait. Berikut adalah beberapa kendala

utama yang menjadi

tantantangan dalam pelaksanaan upaya pencegahan dan Penanganan TPPO di


Indonesia:
a. Kendala Dalam Pencegahan TPPO
1. Belum semua daerah membentuk Kelembagaan Gugus Tugas
Dari aspek kelembagaan, belum semua daerah telah membentuk
Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO di tingkat Provinsi dan
Kabupaten/Kota seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang dan Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2008 Tentang Gugus
Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO. Kurangnya pemahaman akan
bahaya TPPO dan masih rendahnya kotmitmen pencegahan dan
penanganan TPPO menyebabkan pemangku kepentingan di tingkat
daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, menjadi kurang peduli
akan pentingnya lembaga gugus tugas di tingkat daerah. Dengan tidak
adanya lembaga gugus tugas di daerah, maka Rancangan Aksi Nasional
Tentang TPPO dan ESA (RAN) tidak terintegrasikan ke dalam Rencana
Aksi Daerah, yang mengakibatkan program-program pencegahan TPPO
menjadi tidak ada di daerah tersebut.
2. Alokasi Pendanaan yang kurang memadai untuk mendukung programprogram pencegahan TPPO.
Upaya pencegahan terhadap TPPO baik di tingkat pusat maupun
daerah masih terkendala dengan tidak teralokasinya dana yang memadai
dalam pelaksanaan program pencegahan TPPO. Dalam melakukan
pemberantasan TPPO, salah satu aspek yang cukup penting adalah aspek

175

pencegahan, karena tanpa adanya penjelasan yang cukup kepada


masyarakat mengenai bahaya TPPO dapat meningkatkan jumlah
individu yang terperangkap dalam kejahatan TPPO. Untuk itu kotmimen
dari semua pihak sangat diperlukan dalam mendukung upaya
pencegahan

melalui

pengalokasian

anggaran

di

masing-masing

Kementerian dan Lembaga serta pemerintah daerah.


3. Kementerian dan Kelembagaan di tingkat pusat dan daerah masih belum
bersinergi secara optimal dalam upaya pencegahan TPPO.
Kendati dilaporkan begitu banyak inisatif dan program yang telah
dilakukan oleh masing-masing kementerian dan lembaga, namun
kegiatan tersebut masih jauh dari optimal untuk dapat memberantas
TPPO di Indonesia. Berbagai terobosan kegiatan yang lebih inovatif
dalam upaya pencegahan akan dapat dihasilkan lebih optimal jika
masing-masing kementerian dan lembaga dapat saling mensinergikan
program-program pencegahan yang ada, untuk saling mendukung satu
dengan yang lainnya.
4. Mutasi Pegawai dan Pejabat, baik di pusat maupun daerah, yang terlalu
cepat, dari satu unit kerja ke unit kerja lainya-yang saling tidak terkait,
mengakibatkan pegawai atau pejabat yang sebelumnya telah mendapat
pengetahuan yang cukup mengenai TPPO digantikan dengan pegawai
atau pejabat yang sama sekali masih awam terhadap persoaan TPPO. Hal
ini mengakibatkan sumberdaya manusia yang terlatih menjadi tidak
produktif pada bidangnya.
5. Keterlibatan dan peran serta organisasi non-pemerintah dalam upaya
pencegahan TPPO masih belum optimal. Kerjasama yang baik antar
organisasi non-pemerintah; dan organisasi non pemerintah dengan
pemerintah masih perlu di upayakan untuk di tingkatkan dalam
mensinergikan dan melaksanakan program pencegahan TPPO hinga ke
basis-basis daerah rawan TPPO.
6. Kerterlibatan dan peran serta Dunia Usaha khususnya di kalangan
PJTK dan mitra kerja sendiri

untuk turut serta mendukung upaya

176

pencegahan TPPO masih belum secara optimal dilakukan baik di tingkat


pusat ataupun daerah.
b. Tantangan Dalam Perlindungan dan Penanganan Saksi dan/atau Korban
TPPO
1. Pelaksanaan Undang-Undang dan Kebijakan nasional terkait TPPO
belum terimplementasikan dengan baik. Dalam rangka mewujudkan
perlindungan dan penanganan kasus-kasus TPPO sesuai dengan amanat
UU Nomor 21 Tahun 2007, pemerintah pusat melalui KPP&PA, selaku
ketua harian gugus tugas pencegahan dan penanganan TPPO, telah
menyusun Standar Pelayanan Minimum Bagi Korban Perdagangan
Orang (SPM TPPO) dan Prosedur Standar Operasional (PSO)
Pelayanan Terpadu bagi Saksi dan/atau Korban TPPO pada tahun
2010 untuk memberikan panduan konkrit dalam pengimplementasian
perlindungan dan penanganan saksi dan/atau korban TPPO. Namun
demikian setelah melalui beberapa kunjungan dan diskusi dengan
berbagai kompenen, masih ditemukan bahwa kedua ketentuan tersebut
(SPM dan PSO) belum secara optimal diberlakukan baik di tingkat
pusat maupun di tingkat daerah. Kementerian dan Lembaga anggota
gugus tugas yang mempunyai kewajiban untuk mengupayakan
perlindungan dan penanganan korban perlu di tingkatkan
maksimal

secara

untuk memberikan pelayanan yang menjadi hak saksi

dan/atau korban TPPO. Sebagai contoh, korban seringkali masih


mengalami kesulitan untuk dapat mengakses rehabilitasi medis ke
rumah sakit atau puskesmas baik di tingkat pusat maupun daerah.
Jamkesmas dan Jamkesda dengan kebijakan yang baru dan telah
bertransformasi menjadi Badan Pelayanan Jamininan Kesehatan
semestinya memudahkan mereka untuk dapat mengakses layanan medis
.Di daerah yang belum terdapat gugus tugas TPPO, sudah barang tentu
hak-hak korban semakin terabaikan karena tidak ada lembaga layanan
yang memberikan perlindungan dan penanganan korban TPPO, menjadi
tantangan KPP PA untuk mendorong Kementerian Dalam Negeri dan
POLRI untuk mengatasinya, melalui MoU yang telah di kembangkan
177

untuk melahirkan lembaga layanan PTPPO dalam rangka pemenuhan


hak hak korban.
2. Meningkatkan Koordinasi dalam perlindungan dan penanganan
korban TPPO yang

belum maksimal menjadi tantangan untuk

meningkatkan effektivitasnya. Dalam penanganan

Rehabilitasi

medis, masih ditemukan kendala yang cukup serius dalam pemberian


pelayanan cuma-cuma bagi saksi dan/atau korban. Banyak dikeluhkan
bahwa korban seringkali mengalami kesulitan untuk mendapatkan
askses pada layanan jamkesmas dan/atau jamkesda; atau bahkan korban
tidak berhak mendapatkan layanan tersebut karena ia tidak berasal dari
provinsi atau wilayah dimana ia ditemukan menjadi korban
perdagangan orang. Kendala yang lainya adalah, rumah aman atau panti
sosial masih belum dapat melakukan rujukan secara langsung ke rumah
sakit bagi korban TPPO. Penanganan Rehabibilitasi sosial masih
terkendala dengan keberadaan rumah aman atau shelter bagi korban
TPPO. Tidak jarang, korban TPPO terpaksa harus menghuni panti-panti
sosial yang tidak mendukung percepatan pemulihan trauma korban.
Layanan Pemulangan dan Reintegrasi Sosial, mekanisme layanan
pemulangan dan reintegrasi sosial masih belum dapat diakses dengan
mudah baik secara langsung oleh korban atau oleh lembaga-lembaga
layanan lainnya seperti LSM. Bahkan seringkali layanan pemulangan
dan reintegrasi sosial tidak dapat dilaksanakan karena kendala alokasi
dana.
3. Perlu dilakukan peningkatan kapasitas (SDM) pendamping atau
petugas lembaga-lembaga layanan yang memberikan bantuan
terhadap korban TPPO.

Ketidak fahaman para pendamping atau

petugas lembaga layanan mengenai gender, HAM, Hak-Hak Saksi dan


atau korban, termasuk mekanisme pelayanan terpadu mengakibatkan
korban menjadi tidak secara maksimal terpenuhi hak-haknya.
Kurangnya pemahaman pendamping dan petugas pemberi layanan
dalam memahami elemen-elemen penting TPPO mengakibatkan korban

178

TPPO seringkali diperlakukan sama selayaknya korban-korban


kekerasan lainnya.
4. Perlindungan dan Pelayanan bagi korban TPPO warga negara
asing di Indonesia masih belum diatur secara jelas. Kendati di dalam
ketentuan Prosedur Standar Operasional (PSO) yang dikeluarkan oleh
KPP&PA telah secara tegas dijelaskan bahwa korban TPPO orang asing
berhak mendapatkan perlindungan dan pelayanan selayaknya korban
TPPO warga negara Indonesia, namun praktek di lapangan masih
sangat jauh dari ideal. Bahkan, tidak jarang, korban TPPO asing masih
di asosiasikan sebagai dengan penyeludupan manusia atau ilegal
migran. \
5. Pendataan dan Pelaporan Korban TPPO di unit-unit layanan baik
di tingkat pusat ataupun daerah perlu secara optimal ditingkatkan
. Tidak adanya pendataan dan pelaporan secara terpilah, mengakibatkan
tidak terpantaunya jumlah korban yang telah mendapatkan layanan
secara berkala di masing-masing unit layanan. Dengan tidak adanya
pendataan tersebut pengolahan dan analisis data terkait perdagangan
orang menjadi tidak dapat dilakukan secara optimal.
c. Tantangan Dalam Penegakkan Hukum Korban TPPO
1. Restitusi atau kompensasi yang wajib dibayarkan oleh pelaku kepada
korban masih belum secara optimal terimplementasikan dalam sistem
penegakkan hukum TPPO di Indonesia. Beberapa kendala yang masih
menyertai dalam proses pemberian restitusi adalah masih lemahnya
pemahaman aparat penegak hukum mengenai hak restitusi bagi korban
TPPO; belum adanya mekanisme pemaksaan yang secara aplikatif
dapat

dilakukan

terhadap

pelaku

dalam

mengimplementasikan

pembayaran restitusi kepada korban.


2. Peningkatan

Peran

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban

(LPSK) dalam pemberian perlindungan kepada saksi dan korban TPPO


yang berdampak kepada banyaknya kasus TPPO yang ditarik kembali

179

oleh korban karena merasa terancam dan takut ketika mendapat


intimidasi dari jaringan pelaku. Kendati TPPO merupakan salah satu
kejahatan pelanggaran HAM berat dimana menurut UU No. 13 Tahun
2006 semestinya LSPK dapat berperan lebih banyak dalam perlindungan
saksi dan/atau korban.
3. Memperkuat persamaan persepsi antara aparat penegak hukum
dalam menafsirkan pasal-pasal perlindungan dan hak-hak korban TPPO
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007.
4. Memperkuat jaringan kerja ditingkat Pusat hingga ke akar rumput.
Sebagian besar pelaku utama masih sulit dijerat dengan menggunakan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 karena panjang dan kuatnya
mata rantai jejaring pelaku TPPO. Hal ini berdampak hanya pelaku
pendukung atau pelaku korban dari kejahatan TPPO, yang relatif
lebih mudah mengingat mereka biasanya orang yang dikenal korban atau
orang yang dekan dengan korban.
5. Peningkatan Pengalokasian anggaran penegakkan hukum masih
belum memadai untuk dapat secara cepat dan tepat melakukan proses
penyidikan dan penyelidikan dalam penangan kasus-kasus TPPO. Tidak
tersedianya anggaran tersebut mengakibatkan aparat penegak hukum
menjadi kesulitan dalam mengumpulkan alat bukti, menghadirkan saksi
korban, atau melakukan upaya investigasi terhadap pelaku kejahatan.
6. Pelaksanaan Layanan medikolegal cuma-Cuma (Visum Et repertum
dan Visum et psikiatrikum) yang seharusnya menjadi hak korban TPPO,
masih sangat sulit untuk dapat di akses oleh Aparat Penegak Hukum
pada unit-unit pelayanan kesehatan seperti Puskesmas dan Rumah Sakit,
baik di tingkat pusat ataupun daerah, agar proses penegakkan hukum.
berjalan dengan lancar
7.

Adanya perbedaan sistem hukum di setiap negara dan persepsi pejabat


instansi terkait di negara tujuan penempatan TKI tentang TPPO
menjadikan

identifikasi

dan

penyelesaian

kasus-kasus

TPPO

180

memerlukan terobosan tersendiri dengan tetap menghormati sistem


hukum nasional setempat.
4.9.7. Alternatif Solusi
Berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi teridentifikasi masih terdapat
lima tantangan utama dan kendala yang dihadapi dalam melaksanakan berbagai
peraturan perundang undangaan dan kebijakan teknis baik dalam rangka
Penegakan hukum,pencegahan, maupun perlindungan dan penanganan korban
TPPPO, baik ketika di luar Negeri maupun di Dalam negeri. Masih banyak yang
dihadapi oleh pemangku kepentingan khususnya yang dilakukan oleh institusi dan
aparatnya yang terkait maka dapat dirumuskan beberapa kendala yang harus
diantisipasi dan dilakukan langkah-langkah ke masa mendatang sebagai berikut :
a. Pertama, dari sisi penegakan hukum, masih adanya ketidaksamaan persepsi
dan pandangan hukum terhadap perkara yang ditangani, kurangnya
pemahaman akan substansi hukum yang terkait dan adanya tarik menarik
kewenangan dalam penyidikan dan masih lemahnya SDM dan keterlibatan
masyarakat
b. Kedua, dari sisi komitmen dan kapasitas para pemangku kepentingan dalam
hal ini anggota gugus tugas di tingkat kabupaten antara lain belum
mempunyai rencana aksi konkrit beserta anggarannya.
c. Ketiga, dari sisi sumberdaya manusia/korban itu sendiri yaitu rendahnya
pendidikan dan keterampilan
d. Keempat, dari sisi data dan informasi, masih sulit melakukan pendataan
khusus untuk trafficking karena kompleksnya permasalahan, perlu
menempuh pembuktian dan prosedur yang panjang dan akan mahal,
termasuk dana visum yang seringkali tidak tersedia.
e. Kelima, dari sisi kapasitas kelembagaan, belum optimalnya mekanisme
koordinasi dan jejaring kerja di lapangan serta bervariasinya kapasitas para
aktor yang berada di dalamnya baik dari sisi pemahaman akan peran dan
tugas serta substansi issue trafficking itu sendiri.

181

Memperhatikan
Kebijakan

hal hal tersebut diatas,

khususnya

dalam

rangka

diperlukan Pengembangan

harmonisasi

kebijakan,

koordinasi

pelaksanaan kebijakan dan peningkatan implementasi di lapangan dengan


langkah-langkah sebagai berikut:
1) Untuk Penguatan Gugus Tugas:

perlu peningkatan pemahaman dan

penyamaan persepsi semua pihak; perlu percepatan pembentukan Gugus


Tugas baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota; peningkatan komitmen
para pengambil keputusan dan penguatan koordinasi; serta harus mengacu
kepada RAN PTPPO dan ESA 2009-2014 dan diharmonisasikan dengan
Rencana Aksi Daerah.
2) Untuk

Pencegahan

dan

Penanganan

TPPO:

perlu

peningkatan

kewaspadaan dini dalam upaya pencegahan TPPO; efektifitas upaya


pencegahan di kantong-kantong rekruitmen dan titik-titik embarkasi;
peningkatan partisipasi LSM dan Ormas. Serta TOMA, TOGA dan TODAT
untuk memberantas TPPO; peningkatan kualitas SDM dan profesionalitas
para pemangku kepentingan khususnya petugas pemberi layanan dan
penegak hukum; peningkatan tukar menukar informasi dan kerjasama para
penegak hukum, imigrasi dan pihak berwenang lainnya.
3) Untuk Penguatan Mekanisme Gugus Tugas: perlu

di bentuk struktur

organisasi yang linier dan lebih ramping; penguatan koordinasi mulai dari
perencanaan kebijakan program dan kegiatan; lebih gencar melakukan KIE
dan kampanye penyadaran masyarakat, pelatihan dan pendataan. Tindak
lanjut MOU antar daerah asal, transit dan tujuan, koordinasinya perlu
ditingkatkan; untuk mekanisme monitoring dan evaluasi perlu dilakukan
secara berjenjang mulai dari pusat, provinsi, hingga kabupaten/kota dan
sebaliknya. Dalam hal mekanisme pelaporan,perlu ditingkatkan koordinasi
setiap gugus tugas agar pelaporan pelaksanaan tugas secara berkala dan
berjenjang dari tingkat kabupaten/kota, ke provinsi, dan ke pusat, minimal 2
kali dalam setahun menjadi agenda penting untuk dapat mengukur kinerja
gugus tugas daerah.

182

4) Untuk Peningkatan Koordinasi dan

Kerjasama:

Perlu dilakukan

standarisasi alur mekanisme dan prosedur dalam mengakses layanan dan


pendanaan secara khusus dan peningkatan kerjasama antar sub gugus tugas.
Kerjasama Internasional, tingkat bilateral dengan negara tujuan untuk
penanganan dan perlindungan; penting dilakukan penguatan pengawasan di
daerah-daerah perbatasan yang rawan TPPO. Pemantapan dan pelaksanaan
sistem Pendataan dan sistem pelaporan pencegahan dan penanganan TPPO
di seluruh tingkatan wilayah juga perlu ditingkatkan.
Sedangkan untuk mendukung mekanisme Gugus Tugas pencegahan dan
penanganan TPPO, lembaga pelayanan perlu diperjelas koordinasi dan
mekanisme kerja dari pusat sampai di daerah, terutama dalam sistem
pendataan dan pelaporan aktivitasnya, mengingat telah berjumlah menjadi
172 P2TP2A (yang terdiri dari 25 di Propinsi dan 147 di Kabupaten/Kota).
Dalam pengembangan kebijakan, program dan kegiatan perlindungan dari
tindak

kekerasan termasuk traffiking terhadap perempuan dan anak

perlu

dilakukan langkah langkah sebagai berikut:


1. Ditingkat Strategic (Penentu kebijakan di Kementerian dan institusi Penegak
Hukum) perlu meningkatkan sinergi dan kerjasama dalam menindak lanjuti
berbagai MOU yang telah dibangun , hal ini mengingat bahwa Pemerintahan
daerah masih memiliki ketergantung yang tinggi terhadap pemerintah
nasional dalam menindak lanjuti berbagai perumusan

program dan

kegiatan , peraturan pelaksanaan dalam penggunaan anggaran. KPP PA ,


BAPPENAS, POLRI dan KEMENDAGRI sesuai tugas fungsinya perlu
melakukan berbagai trobosan kebijakan.
2. Pengembangan

kegiatan

dalam

program

harmonisasi

kebijakan

perlindungan dari tindak kekerasan terhadap perempuan dalam koordinasi


implementasi yang meliputi ;.Pedoman penjangkauan korban kekerasan,
.Pedoman penangananan Pengaduan korban kekerasan.Pedum Bantuan
Hukum

bagi korban kekerasan,Pedoman pencatatatan dan pelaporan

korban kekerasan, Pedoman pelibatan laki-laki dalam pencegahan


kekerasan tidak saja dilakukan atau di integrasikan oleh Pemangku

183

kepentingan dikalangan birokrasi tetapi perlu juga dilakukan oleh organisasi


kemasyarakatan yang selama ini telah dilaksanakan dengan memperkuat dan
meperluas bentuk kerjasama teknis dan jangkauan oprasional.dalam rangka
pelembagaan yang berkelanjutan.
3. Pengembangan materi seperti Modul Pelatihan pencegahan kekerasan
melalui pendidikan

keluarga dan Pedoman pemberdayaan perempuan

korban kekerasan (penelantaran) perlu diselaraskan dengan kebutuhan di


lapangan terutama apabila di laksanakan oleh organisasi Kemasyarakatan.
Pengembangan desain Kebijakan dengan bentuk kerjasama dalam uji coba
pelaksanaan dan kelanjutan program kegiatannya perlu dilakukan di kantong
kantong pengirim tenaga kerja perlu dilakukan. Dengan demikian bentuk
aktivitas pencegahan maupun maupun pemberdayaan masyarakat yang
selam ini dilakukan oleh KPP PA tidak terbatas pada advokasi dan sosialisasi
saja tetapi juga harus mengembangkan model atau desain implementasinya
berdasarkan kajian yang telah dilakukan . Secara konkrit perlu diwujudkan
anggaran yang berkelanjutan yamg tercermin dalam Renstra kedeputian.
4. Dalam mengatasi Kendala oprasionalisasi kebijakan PTPPO dengan masih
adanya ketidaksamaan perspesi dan pandangan hukum terhadap perkara
yang ditangani, kurangnya pemahaman akan substansi hukum yang terkait
dan adanya tarik menarik kewenangan dalam penyidikan dan masih
lemahnya SDM dan keterlibatan masyarakat,maka pengintegrasian materi
perlindungan dan kekerasan terhadap perempuan dalam diklat terhadap
penegak hukum dan penyidik pegawai negeri sipil perlu segera
direalisasikan melalui Peran KPP PA.
5. Pentingnya mereformulasi Kebijakan Pencegahan, perlindungan dan
Pemberdayaan korban tindak Kekerasan termasuk terhadap Prempuan dan
Anak

berdasarkan peraturan yang ada dan mengintegrasikannya dalam

perubahan PP 38 tahun 2007 tentang pembagian wewenang. Dalam


mengembangkan RENSTRA KPP PA 2015 -2019 khususnyanya terkait
dengan peran institusi Penegak Hukum sebagai berikut:

184

5.1. Dalam kerangka pencegahan terjadinya korban kekerasan termasuk


trafficking perlu langkah langkah

pencegahan baik berupa

penyuluhan langsung maupun kepada masyarakat secara keseluruhan


baik tokoh masyarakat maupun pimpinan wilayah tentang berbagai
peraturan perundang undangan maupun upaya masyarakat untyuk
mencegah terjadinya kekerasan dan diskriminasi maka:
a. KPP dan PA merumuskan mengharmonisasikan kebijakan
pencegahan kekerasan dan diskriminasi, melakukan Sosialisasi,
advokasi,

fasilitasi,

KIE,

TOT, Pelatihan

melakukan

Koordinasi lintas K/L Pemantauan dan Evaluasi


b. K/L dan institusi penegak hukum

melaksanakan dan

menginstruksikan kebijakan pencegahan sesuai tupoksi


c. Badan PP dan KB di tingkat propinsi atau unit eselon 2 yang
memiliki tugas dan fungsi PP DAN PA di

Provinsi

merumuskan dan mengharmonisasikan Kebijakan pencegahan


di tingkat propinsi Koordinasi lintas SKPD dan instusi penegak
hukum,Pemantauan dan Evaluasi PP, PA dan Melaksanakan
Sosialisasi, advokasi, fasilitasi, KIE, TOT, Pelatihan
d. Bagi SKPD Tingkat propinsi dan institusi penegak hukum
melaksanakan

Kebijakan pencegahan kekerasan dan

diskriminasi (sesuai tupoksi SKPD) Sosialisasi, advokasi,


fasilitasi, KIE, TOT kab/kota, melakukan Pemantauan dan
Evaluasi serta Pelatihan
e. Kab/kota

Unit

PP,

mengharmonisasikan

PA dan

KB

merumuskan

dan

kebijakan pencegahan kekerasan dan

diskriminasidi tingkat kabupaten /kota, Melakukan Koordinasi


lintas SKPD dan institusi penegak hukum serta melakukan ,
Sosialisasi,

advokasi,

fasilitasi,

Koordinasi

dengan

SKPD

KIE,
kab/kota

TOT, Pelatihan
serta

melakukan

Pemantauan dan Evaluasi

185

f.

SKPD dan institusi penegak hukum di wilayah kerjanya


melaksanakan

Kebijakan

pencegahan

kekerasan

dan

diskriminasi sesuai tupoksi


5.2 Langkah-langkah afirmasi juga perlu diberikan kepada korban dan
saksi berupa pelayanan dan perlindungan, maka:
a. KPP dan PA merumuskan dan mengharmonisasikan kebijakan
perlindungan mkepada korban dan saksi

kekerasan dan

diskriminasi, melakukan Sosialisasi, advokasi, fasilitasi, KIE, TOT,


Pelatihan, melakukan Koordinasi lintas K/L serta Pemantauan dan
Evaluasi.
b. K/L

dan

institusi

menginstruksikan

penegak

hukum

melaksanakan

dan

ke daerah secara berjenjang kebijakan

Perrlindungan sesuai tupoksi


c. Badan PP dan KB di tingkat propinsi

atau unit eselon 2 yang

memiliki tugas dan fungsi PP DAN PA di Provinsi dan institusi


penegak hukum di wilayah kerja

merumuskan

dan

mengharmonisasikan Kebijakan perlindungan, Koordinasi lintas


SKPD ,dan Melaksanakan dan Sosialisasi, advokasi, fasilitasi, KIE,
TOT, Pelatihan serta melaksanakan Pemantauan dan evaluasi.
d.

SKPD

Tingkat

melaksanakan

propinsi

dan

institusi

penegak

hukum

Kebijakan perlindungan korban dan saksi

kekerasan dan diskriminasi (sesuai tupoksi SKPD) Sosialisasi,


advokasi, fasilitasi, KIE, TOTkab/kota, melakukan Pemantauan
dan Evaluasi serta Pelatihan.
e. Kab/kota

Unit

mengharmonisasikan

PP,

PA

dan

KB

merumuskan

Kebijakan Perlin dungan

dan

kekerasan dan

diskriminasi korban dan saksi di tingkat kabupaten /kota,


Melakukan Koordinasi lintas SKPD dan institusi penegak hukum
serta melakukan,

Sosialisasi, advokasi, fasilitasi, KIE, TOT,

186

Pelatihan, Koordinasi dengan SKPD kab/kota serta melakukan


Pemantauan dan Evaluasi
f. SKPD di wilayah kabupaten/kota dan institusi Penegak hukum di
wilayah kerjanya melaksanakan Kebijakan perlindungan terhadap
korban dan saksi

kekerasan dan diskriminasi (sesuai tupoksi

SKPD)
5.3. Bagi korban yang telah diberikan perlindungan dan pelayanan juga
dilakukan upaya pemberdayaan agar pulih

dari

trauma

yang

dialami, maupun dapat tumbuh kepercayaan diri untuk dapat mandiri


dan kembali ke masyarakat maka:
a. KPP dan PA merumuskan dan mengharmonisasikan kebijakan
korban

kekerasan dan diskriminasi, melakukan Sosialisasi,

advokasi, fasilitasi, KIE, TOT, Pelatihan, melakukan Pemantauan


dan Evaluasi Koordinasi lintas K/L serta Pemantauan dan Evaluasi.
b. K/L melaksanakan kebijakan pemberdayaan korban kekerasan.
sesuai tugas dan fungsi
c. Badan PP dan KB di tingkat propinsi

atau unit eselon 2 yang

memiliki tugas dan fungsi PP DAN PA di Provinsi merumuskan


dan

mengharmonisasikan

Kebijakan

kekerasan dan diskriminasi

pemberdayaan

korban

, Koordinasi lintas SKPD ,dan

.Melaksanakan dan Sosialisasi, advokasi, fasilitasi, KIE,

TOT,

Pelatihan
d. Bagi SKPD Tingkat propinsi melaksanakan

Kebijakan

pemberdayaan korban kekerasan dan diskriminasi (sesuai tupoksi


SKPD) Sosialisasi, advokasi, fasilitasi, KIE, TOTkab/kota,
melakukan Pemantauan dan Evaluasi serta Pelatihan .
e.

Kab/kota

Unit

PP,

PA dan

KB

merumuskan

dan

mengharmonisasikan Kebijakan pemberdayaan korban kekerasan


dan

diskriminasi

di

tingkat

kabupaten

/kota,

Melakukan

187

Koordinasi lintas SKPD serta melakukan, Sosialisasi, advokasi,


fasilitasi, KIE, TOT, Pelatihan, Koordinasi dengan SKPD kab/kota
serta melakukan Pemantauan dan Evaluasi .
f. SKPD di wilayah kabupaten/kota melaksanakan Kebijakan
pembedayaan terhadap korban kekerasan dan diskriminasi (sesuai
tupoksi SKPD) .
6. Kementerian dan lembaga yang memiliki Standard Pelayanan Minimum di
daerah dalam rangka pelaksanaan tugas fungsi di daerah

yang relevan

dengan peangan PTPPO perlu melaksanakan kerjasama dengan KPPPA agar


SPM yang dilaksanakan harus Responsif terhadap isu kekerasan baik
terhadap perempuan dan Anak. Oleh karena itu isu kekerasan dan traffing
harus menjadi isu lintas bidang yang terukur dan baik dalam capaian
penanganan maupun pendanaan . Sangat penting untuk tercantum dalam
Lampiran RPJMN2014 -2019.
7. Perlu dipertimbangkan lahirnya Lembaga khusus yang menangani PTPPO
setingkat eselon 1, yang memiliki kewenangan penyidikan pencegahan
maupun mempidanakan pelaku traffiking

mengingat masih tingginya

tingkat kekerasan yang di hadapi masyarakat pencari kerja ke luar Negeri


dan luasnya wilayah kerja pencegahan dan penanganan trafficking.
4.10. Politik dan Pengambilan Keputusan
Kesenjangan gender dalam kehidupan politik dan pengambil keputusan
merupakan tantangan global yang terus dihadapi dan diatasi oleh masyarakat
dunia pada abad ke-XXI ini termasuk masyarakat Indonesia. Meskipun telah ada
berbagai konvensi, resolusi dan komitmen internasional untuk meningkatkan
partisipasi perempuan dalam politik dan pengambilan keputusan, namun secara
kasat mata jumlah perempuan yang duduk menjadi anggauta sekaligus sebagai
pengambil keputusan dan penentu kebijakan di Lembaga Penyelenggara Negara
(Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif) masih sangat kecil apabila dibandingkan

188

dengan jum;ah penduduk perempuan yang berjumlah 49,45% dari penduduk


Indonesia secara keseluruhan (BPS, 2010).
Indonesia berkomitmen untuk menjalankan dan mewujudkan kesetaraan
gender melalui berbagai komitmen nasional maupun internasional. UndangUndang Dasar 1945 menjamin kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, serta
pengarusutamaan gender telah di adopsi menjadi sebuah strategi pembangunan
untuk mengintegrasikan perspektif gender kedalam semua kebijakan, program
dan kegiatan serta penganggarannya. Langkah-langkah afirmasi (Affirmatif
Action) juga sudah diperkenalkan pada UU No.10/2012 tentang Pemilihan Umum
untuk memastikan setidaknya 30 % perempuan dicalonkan dalam daftar calon
tetap anggota legislatif untuk menangani ketimpangan jumlah keterwakilan
perempuan dalam bidang politik dan pengambil keputusan di Indonesia.
Meskipun perempuan di Indonesia secara aktif memberikan sumbangsih
mereka terhadap perekonomian nasional maupun rumah tangga melalui kerja
produktif dan reproduktif mereka, namun mereka masih kurang dilibatkan dalam
proses pengambilan keputusan dan penentu kebijakan baik dalam keluarga,
masyarakat, bangsa dan negara. Kurangnya keterwakian perempuan dalam posisiposisi pengambilan keputusan di sektor publik telah berujung pada penetapan dan
penerapan

kebijakan ekonomi, politik, sosial dan budaya yang memberikan

keistimewaan terhadap prespektif dan kepentingan laki-laki, serta investasi


sumberdaya

nasional

dengan

kecenderungan

untuk

mempertimbangkan

keuntungan bagi kaum laki-laki.


Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 tidak memberikan
batasan akan partisipasi dan keterwakilan politik perempuan. Meskipun
keterlibatan perempuan dalam kehidupan politik dan publik telah meningkat
namun partispasi dan keterwakilan perempuan di lembaga penyelenggara Negara
di tingkat nasional, provinsi maupun Kabupaten/Kota serta Lembaga / Organisasi
Masyarakat masih rendah. Kondisi ini dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Keterwakilan Perempuan di DPR, DPD, DPRD
Perempuan Indonesia belum terwakili secara setara di lembaga
legislative tingkat nasional sejak tahun 1955.

Meskipun demikian

peningkatan keterwakilan Perempuan di DPR RI pada dua pemilu terkahir

189

(2004 dan 2009) cukup substantif. Saat ini keterwakilan perempuan di DPR
RI meningkat dari 11,8 persen di pemilu yang diselenggarakan pada tahun
2004, menjadi 18 persen pada pemilu 2009. Ini adalah angka tertingi
keterwakilan perempuan di sejarah politik Indonesia.
Yang menarik, keterwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Daerah
(DPD RI) jauh lebih baik dari DPR-RI. Perwakilan perempuan DPD RI
meningkat dari 22,6 persen di pemilu yang diselenggarakan pada tahun
2004, menjadi 26,5 persen pada pemilu 2009. Perempuan di DPRD juga
tidak terwakili dengan baik. Data yang dihimpun dari 33 propinsi
menunjukkan bahwa secara keseluruhan hanya 13,53 persen perempuan
terwakili di DPRD tingkat Provinsi. Keterwakilan perempuan berada pada
posisi terendah ditingkat kabupaten/kota. Data yang dihimpun dari 29 dari
total 497 kabupaten/kota (DPRD Kabupaten/Kota) menunjukkan bahwa
rata-rata hanya 10 persen perempuan terwakili.
2. Perempuan di Kabinet
Dari tiga puluh empat orang anggota cabinet saat ini, hanya ada 3
orang menteri perempuan dan 1 orang wakil menteri perempuan.
Kementerian yang kini di pimpin oleh menteri perempuan adalah
Kementerian

Pemberdayaan

Perempuan

dan

Perlindungan

Anak,

Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Perencanaan Pembangunan


Nasional/Bappenas.
3. Perempuan Kepala Daerah.
Di akhir tahun 2013 hanya 1 dari 33 gubernur terpilih adalah
perempuan (Gubernur provinsi Banten). Pada tahun yang sama dari 497
Kabupaten/Kota, terdapat 10 Bupati/Walikota (2,27) terpilih adalah
perempuan.
4. Perempuan di Pelayanan Publik
Jumlah perempuan yang berada di sektor ini mencapai 45,4 persen
namun posisi eselon tertinggi diduduki oleh laki-laki. Hanya 9 persen dari
perempuan pegawai negeri yang berada pada posisi eselon 1.
5. Perempuan di Lembaga Peradilan

190

Pada tahun 2010. Tidak satupun perempuan yang bekerja sebagai


hakim agung Indonesia. Hanya ada enam orang perempuan (15,8 persen) di
eselon 2 Mahkamah Agung. Di peradilan sipil, dari 3.104 hakim, 2.352
hakim adalah laki-laki (76 persen) sementara 752 orang hakim adalah
perempuan (24 persen)
6. Perempuan di Kejaksaan
Data yang dikumpulkan dari kantor Kejaksaan Agung memperlihatkan
bahwa jumlah total jaksa di 33 provinsi dan kejaksaan agung, terdapat 29,17
persen jaksa perempuan.
4.10.1. Isu dan Tantangan Partisipasi Perempuan dalam Kehidupan
Publik
Tantangan yang paling mendasar yang dihadapi perempuan ketika akan
memasuki ranah publik justru datang dari pemisahan wilayah yang luas antara
ranah publik dan privat.

Beberapa hambatan dan tantangan partisipasi

perempuan dalam kehidupan publik antara lain:


a. Hambatan Sosio-Ekonomi
Budaya patriaki dan nilai-nilai sosial di Indonesia mendorong
perempuan untuk tidak berpartisipasi di ranah politik maupun pemerintahan,
dan politik dianggap sebuah ranah yang prerogatif milik laki-laki. Karena
adanya bias sosio-budaya di sub kultur Indonesia, perempuan tertinggal
dalam mengakses kesempatan yg sama terhadap sumber daya produktif
(kredit,tanah,asset materiil). Perempuan di Indoseia juga mengalami
kekurangan dalam

hal modal, karena mereka bukanlah pemimpin

pemimpin di komunitas mereka dan tidak memiliki basis kekuasaan yang


mandiri.
b. Hambatan Politis dan Kelembagaan.
Sistem pemilu di Indonesia masih memberikan dukungan terhadap
kekuasaan yang dipegang oleh elit politik, meskipun system daftar calon
terbuka sudah mulai diperkenalkan pada pemilu 2009. Dalam system yang
baru ini pemilih bisa memilih partai politik, atau partai politik dan calon

191

legislative atau calon legislative dari daftar calon. Peraturan pemilihan


umum ini diharapkan dapat mendobrak monopoli pimpinan parpol dalam
menentukan siapa yang akan mewakili kepentingan rakyat. Praktek yang
berlaku di masyarakat luas akhirnya berdampak pada cara-cara parpol
beroperasi. Bagi perempuan hal ini seringkali nama mereka tidak akan
tercantum sebagai nomor urut awal di daftar calon legislative dan
ketidakmampuan mereka bernegosiasi dalam system ini.
c. Hambatan Pribadi dan Lingkungan
Negara dan masyarakat Indonesia membentuk konsep perempuan
secara sempit dalam peran stereotip sebagai istri dan ibu. Ideologi peranan
gender kemudian dimanipulasi untuk mengendalikan kehidupan &
seksualitas

perempuan.

Identifikasi

diri

perempuan

dengan

peran

reproduktif dan keutamaan melaksanakan tugas merawat keluarga mereka


membentuk pilihan-pilihan mereka dalam berpartisipasi di ranah politik dan
publik.
Lingkungan social baik masyarakat maupun keluarga khususnya kaum
laki-laki seringkali menghambat perempuan untuk berpartisipasi aktif di
ranah publik termasuk untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi baik
di dalam maupun di luar negeri. Hambatan dimaksud biasanya dalam bentuk
resistensi, ketidak percayaan serta ijin atau persetujuan dari keluarga.
Demikian juga pemahaman dan atau penafsiran ajaran agama yang
tidak komprehensif dan sempit, yang seolah perempuan hanya mempunyai
tugas dan kewajiban reproduktif dan pekerjaan domestic lainnya, sehingga
mereka tidak di perkenankan mempunyai pekerjaan diluar rumah atau di
ranah publik.
4.10.2. Kerangka Kebijakan Peningkatan Partisipasi Perempuan di Ranah
Publik
Kerangka kebijakan yang diusulkan dibangun dari sebuah pemahaman yang
holistic tentang marginalisasi dan kurangnya keterwakilan perempuan di tingkat
pengambil keputusan di politik & pemerintahan. Elemen-elemen utama dalam hal
kebijakan menandai wilayah intervensi yang paling stategis yang dapat menangani

192

issue kurangnya keterwalkilan perempuan di bidang politik & pemerintahan di


Indonesia meliputi:
a. Pendidikan Kewarganegaraan dan Pemilih
Sosialiisiasi dan kampanye peningkatan kesadaran public yang
dirancang dengan baik di skala nasional perlu diluncurkan melalui media
massa dan Lembaga/Organisasi masyarakat sipil dalam jangka panjang, agar
dapat membawa perubahan terhadap pola pikir (mindsetg) tradisional terkait
dengan peran perempuan di ranah publik, politik dan pemerintahan.
Kampanye kesadaran public harus menjadikan perempuan dan laki-laki
sebagai

sasaran

secara

bersamaam,

karena

perempuan

seringkali

menginternalisasi ideologi peran gender dan juga meyakini stereotip gender


yang dilekatkan pada mereka secara terus menerus dalam waktu yang lama
bahkan sejak perempuan berada didalam kandungan Ibu.
b. Reformasi Hukum, Politik, Kepemiluan dan Kelembagaan ;
Peraturan hukum untuk memperkenalkan kembali system zipper yang
digabungkan dengan pilihan pemilih dalam memilih caleg mereka.
Perubahan dalam hal hukum untuk menjadikannya wajib bagi parpol untuk
mengalokasikan keterwakilan 30 persen bagi perempuan di dalam DPP
mereka dan menjadikannya sebagai prasyarat untuk ikut dalam pemilu.
Memperluas peraturan mengenai persentasi keterwakilan perempuan di
dalam kesempatan kerja di sektor public.
Menerbitkan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden yang
memberikan kesempatan lebih besar kepada kaum perempuan untuk
menjadi Pimpinan di Lermbaga Eksekutif baik Esel0n I, II dab III serta
jabatan fungsional lainnya, dengan tetap memperhatin Kompetensi,
Kapabilitas dan Kualitasnya.
c. Dukungan Kapasitas
Pelatihan transformasi gender bagi para perwakilan Lembaga Public,
komisi pemilu, parpol, kaukus perempuan dan Lembaga/Organiasi
Masyatrakat sipil lainnya. Memperkuat piranti khusus bagi perempuan
melalui peningkatan kapasitas dan pemahaman tentang gender.
d. Pengembangan Jejaring dan Koalisi
Membentuk dan mengembangkan jejaring antar Lembaga/Organisai
dan Perwakilan perempuan di tingkat Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota
dan regional. Membina dan meningkatkan jejaring antara para perwakilan

193

perempuan terpilih baik di Lembaga Lgislatif, Eksekutuf dan Yuidikatif


dengan masyarakat sipil.
e. Penelitian dan basis data
Basis data tentang perempuan di ranah public dan mendukung penelitian.
4.11.

Gender Dalam Bencana Alam Perubahan Iklim


Salah satu permasalahan lingkungan besar yang akan dihadapi umat

manusia adalah pemanasan global. Pemanasan global merupakan fenomena global


yang dapat menjadi masalah lingkungan dan kemanusiaan masa kini dan masa
datang. Dampak pemanasan global adalah perubahan iklim. Perubahan iklim
merupakan tantangan dan persoalan lingkungan hidup global paling serius yang
dihadapi oleh masyarakat dunia pada saat ini. Kesadaran masyarakat dunia
tentang krisis lingkungan, seperti pemanasan global, penipisan lapisan ozone,
kerusakan sumber daya alam maupun perubahan iklim yang mungkin akan
mengganggu keberlanjutan pembangunan suatu negara telah menyatukan
pemimpin

dunia

untuk

menghasilkan

kesepakatan

internasional

guna

mendapatkan solusi krisis. Namun, di lain pihak terdapat sejumlah masyarakat


yang meragukan kemungkinan terjadinya perubahan iklim yang permanen
sehingga tidak memerlukan intervensi kebijakan untuk mengantisipasi bencana.
Perbedaan pandangan dengan masing-masing bersandar pada bukti-bukti ilmiah
teknologis yang akhirnya mengurangi perhatian adanya kemungkinan dampak
sosial pola perubahan cuaca ekstrim ataupun dampak pola perubahan cuaca
ekstrim terhadap masyarakat.

Perhatian terhadap konsekuensi dari pola

perubahan cuaca ekstrim pada gender juga sangat sedikit. Dalam konteks potensi
krisis lingkungan akibat perubahan iklim, relasi sosial antara laki-laki dan
perempuan menjadi hal yang juga perlu diperhatikan. Hal ini disebabkan karena
perbedaan pengalaman laki-laki dan perempuan selama dan nantinya setelah krisis
perubahan iklim. Perbedaan ini timbul akibat norma budaya, peran laki-laki dan
perempuan dalam pekerjaan, akses terhadap sumber daya, tingkat keamanan dan
keselamatan serta perbedaan tingkat kerentanan akibat kombinasi dari faktorfaktor ini (Alston and Whittenbury, 2013).
Saat ini, sangat jelas bahwa variasi iklim berpengaruh besar terhadap
masyarakat di seluruh belahan dunia khususnya kelompok masyarakat miskin
194

yang sebagian besar diantaranya adalah perempuan. Dampak bencana alam akibat
perubahan atau variasi iklim ekstrim yang terjadi sampai saat ini telah
mengakibatkan kematian, korban luka maupun pengungsian besar-besaran. Jika
krisis bencana alam perubahan iklim terjadi pada tahun 2030 maka variabilitas
iklim akan mengancam ketahanan pangan dan kebutuhan air karena pada saat itu
popolasi dunia sudah menyebabkan peningkatan kebutuhan pangan 50% lebih
besar dari saat ini, 45% lebih banyak energi yang dibutuhkan dan 30% lebih
banyak air bersih yang dibutuhkan. Sehingga diperkirakan jumlah masyarakat
yang kekurangan gizi akan meningkat lebih dari 20 juta orang, 884 juta orang
tidak memiliki akses terhadap air bersih dan 2,6 miliar orang tidak mempunyai
sanitasi dasar. Oleh karena itu diperlukan suatu pemahaman terhadap dampak
perubahan iklim pada perempuan dan laki-laki serta pengembangan tindakan
antisipatif dan preventif berperspektif gender karena perempuan lebih rentan
terhadap kemiskinan, ketidakamanan dan kekerasan selama dan setelah kejadian
bencana alam perubahan iklim (Alston and Whittenbury, 2013).

4.11.1. Perubahan Iklim


Perubahan iklim merupakan perubahan dari iklim yang secara langsung atau
tidak langsung disebabkan oleh aktifitas manusia yang merubah komponen
atmosfir global sehingga menyebabkan pemanasan global dan mengintensifkan
perubahan iklim yang terjadi secara alami.

Kemajuan pesat pembangunan

ekonomi yang dilakukan melalui pembakaran besar-besar batu bara, minyak bumi,
kayu dan pembabatan hutan memberikan dampak yang serius terhadap iklim
global. Perubahan iklim merujuk pada penumpukan gas rumah kaca di atmosfir
karena aktifitas manusia yang akhirnya mengakibatkan peningkatan temperatur
bumi dan atmosfir. Gas rumah kaca utama yang terus meningkat konsentrasinya
di atmosfir adalah karbon dioksida. Gas ini yang dihasilkan dari pembakaran batu
bara atau kayu maupun dari penggunaan kendaraan berbahan bakar minyak bensin
atau solar.

Sebagian dari karbon dioksida ini secara alami diserap tanaman

melalui proses fotosintesis.

Namun, saat ini masyarakat dunia memproduksi

karbon dioksida secara jauh lebih cepat dibanding kecepatan penyerapan karbon
195

dioksida oleh tanaman sehingga konsentrasinya di atmosfir meningkat secara


bertahap.

Peningkatan konsentrasi karbon dioksida juga dipercepat karena

sebagian besar pohon dan hutan di bumi sudah banyak yang ditebang. Negaranegara di seluruh dunia tanpa terkecuali membuang gas-gas rumah kaca dalam
jumlah yang semakin hari semakin besar ke atmosfir.

Negara-negara maju

mengeluarkan emisi gas rumah kaca lebih banyak per kapita karena secara umum
membakar lebih banyak bahan bakar fosil.

Negara-negara berkembang yang

mulai membangun juga menyusul dalam menyumbang emisi gas rumah kaca
walaupun jumlahnya relatif masih lebih sedikit dibanding dengan negara maju.
Namun, setiap emisi gas rumah kaca ke atmosfir akan dapat memperparah krisis
dunia akibat perubahan iklim dan warga dunia terkena dampaknya tanpa
memandang besar kecil sumbangan emisinya. Dengan meningkatnya emisi dan
berkurangnya kemampuan penyerapan karbon dioksida maka tingkat gas rumah
kaca di atmosfir sekarang menjadi lebih tinggi dibandingkan pada masa-masa
lampau. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yang merupakan
badan dunia dengan mandat memonitor isu perubahan iklim telah menunjukkan
bahwa antara tahun 1750 dan 2005 konsentrasi karbon dioksida di atmosfir
meningkat dari sekitar 280 ppm (parts per million) menjadi 379 ppm per tahun
dan sejak itu terus meningkat dengan kecepatan 1,9 ppm per tahun. Peningkatan
konsentrasi karbon dioksida ini pada tahun 2100 diperkirakan akan meningkatkan
suhu global antara 1,8 sampai 2,9 derajat celsius (UNDP, 2007).
Isu lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan dikonsolidasikan
dalam Konferensi Rio United Nations Conference on Environment and
Development yang diselenggarakan pada tahun 1992 di Rio de Jainero dan juga
dikenal sebagai Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit). Konferensi ini
menghasilkan dokumen tidak mengikat (legally non-binding), seperti Deklarasi
Rio dan Agenda 21. Di samping itu, KTT Bumi juga menghasilkan kesepakatan
yang tertuang dalam tiga dokumen hukum mengikat (legally binding), yaitu
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Keanekaragaman Hayati
(United Nations Convention on Biological Diversity CBD), Konvensi PBB
untuk Memerangi Penggurunan (United Nations on Combating Desertification
UNCCD) dan Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (United

196

Nations Framework Convention on Climate Change UNFCCC). Diantara tiga


konvensi ini, UNFCCC menjadi konvensi yang rutin setiap tahun mengadakan
Konferensi Para Pihak (Conference of Parties COP) karena perannya yang
sangat penting dan mendesak untuk mengantisipasi bencana perubahan iklim.
Tujuan konvensi UNFCCC itu sendiri adalah untuk stabilisasi iklim planet bumi
dan untuk mencapai tujuan ini adalah tidak mudah dan sangat kompleks karena
melibatkan banyak pihak yang berkepentingan dengan kebutuhan dan kondisi
yang tidak sama. Indonesia telah meratifikasi Perjanjian UNFCCC pada tahun
1994 (DNPI, 2013).
Pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender merupakan perihal yang
sangat esensial untuk implementasi pembangunan berkelanjutan karena peran
perempuan merupakan hal penting dalam tiga dimensi penopang pembangunan
berkelanjutan, yaitu pembangunan ekonomi, keadilan sosial dan perlindungan
lingkungan. Berkaitan dengan perlindungan sumber daya alam dan lingkungan
untuk mendukung pembangunan berkelanjutan, peran penting kesetaraan gender
dan partisipasi perempuan dalam upaya mendapatkan solusi yang efektif terhadap
permasalahan lingkungan telah disadari dan secara formal telah diadopsi dalam
kesepakatan-kesepakatan internasional tentang lingkungan, termasuk UNCBD,
UNCCD maupun UNFCCC.

Hal ini disebabkan karena perempuan diakui

memiliki pengetahuan dan pengalaman yang dapat berkontribusi besar dalam


efektifitas pengelolaan dan perlindungan sumber daya alam dan lingkungan
(Figueres, Tovar-Restrepo, Eddy, 2013).
Perubahan iklim yang ekstensif sepertinya akan mengancam banyak aspek
kehidupan manusia, khususnya

masyarakat di negara-negara yang rentan

terhadap perubahan iklim. Perubahan iklim yang ekstrim akan berdampak dari
punahnya spesies sampai pengungsian besar-besaran dari makhluk hidup,
termasuk manusia.

Dampak perubahan iklim ini bersifat universal dan akan

mempengaruhi ekosistem alam serta mengganggu keseimbangan sistem sosial


ekonomi masyarakat dunia tanpa terkecuali. Namun, tingkat dampak perubahan
iklim terhadap negara maupun masyarakatnya akan berbeda-beda (Dulal, Shah,
Ahmad, 2009). Indonesia sebagai negara kepulauan dengan jumlah pulau tidak
kurang dari 17.500 dan memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km merupakan

197

salah satu negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim (Yusuf and
Francisco, 2009). Cuaca dan iklim sangat mempengaruhi kehidupan sehari-hari
masyarakat. Perubahan iklim dapat memberikan keuntungan ataupun kerugian
bagi masyarakat dan sangat tergantung dari sektor yang menjadi tumpuan
kehidupannya. Namun, untuk kejadian perubahan cuaca yang ektrim, dampak
negatif yang mengancam dapat membahayakan jiwa maupun kerugian ekonomi
yang besar. Oleh karena itu, pemahaman tentang frekuensi dan besaran dampak
perubahan cuaca dan iklim akan dapat meningkatkan daya lenting (resiliensi)
masyarakat dalam menghadapi bencana iklim.
Perubahan iklim merupakan bagian dari rantai dampak bencana akibat
kerusakan lingkungan. Perubahan iklim menyebabkan meningkatnya kejadian
bencana alam seperti badai, banjir maupun kekeringan. Dampak dari bencana
akibat perubahan iklim berbeda-beda pada setiap negara, wilayah, kelas sosial
ekonomi masyarakat, usia maupun gender. Pada setiap kejadian bencana alam
besar sebagai akibat dari perubahan iklim ataupun bukan, ternyata korban pada
wilayah negara berpenghasilan rendah cenderung lebih besar 4 kali lipat
dibandingkan korban dari negara berpenghasilan tinggi. Berdasarkan informasi
dari hasil penelitian yang terbatas, dijumpai juga pola diferensiasi gender pada
seluruh tingkat proses bencana alam paparan dan kerentanan terhadap resiko,
persepsi resiko, kesiapan menghadapi bencana, tanggap bencana, dampak fisik
bencana, dampak psikologis bencana, pemulihan dan rekonstruksi.

Penyebab

perbedaan ini belum dapat dinyatakan secara pasti apakah disebabkan oleh 1)
adanya perbedaan biologis laki-laki dan perempuan, 2) perbedaan peran dan status
sosial laki-laki dan perempuan, ataupun 3) perbedaan interaksi dari faktor biologis
dan faktor sosial. Namun, kerentanan perempuan terhadap dampak bencana
cenderung meningkat sejalan dengan perbedaan peran dan tanggung jawab secara
sosial dari perempuan serta peningkatan ketidaksetaraan akses terhadap sumber
daya dan pengambilan keputusan (WHO, 2002). Perempuan dan anak cenderung
mempunyai resiko yang lebih besar dibanding laki-laki, khususnya di negaranegara berpenghasilan rendah dan masyarakat miskin.

Bencana alam dan

perubahan iklim umumnya akan semakin memperburuk kondisi ketidaksetaraan


dan diskriminasi terhadap perempuan. Kerentanan perempuan terhadap bencana

198

alam dan perubahan iklim lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki disebabkan
tidak saja karena faktor biologis maupun sosial, akan tetapi juga karena faktor
ekonomi dan rendahnya partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan
(Ferris, Petz and Stark, 2013). Menyadari pentingnya partisipasi publik dan
transparansi dalam proses pengambilan keputusan maka Konferensi Para Pihak
ke-18 UNFCC menegaskan bahwa pemerintah berkewajiban untuk melakukan
pendidikan, pemberdayaan dan pelibatan publik dalam pengambilan kebijakan
terkait perubahan iklim.

Partisipasi publik ini termasuk partisipasi anak,

perempuan, organisasi masyarakat madani dalam formulasi dan implementasi


upaya-upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim serta terkait penyiapan
komunikasi nasional dan proses negosiasi pengambilan keputusan terkait
perubahan iklim (CIEL, 2013).
Tingkat kerentanan masyarakat dalam menghadapi bencana alam dan
perubahan iklim sangat dipengaruhi oleh derajat paparan (exposure), kepekaan
(sensitivity) dan kapasitas adaptasi (adaptive capacity) dalam menghadapi
bencana alam dan perubahan iklim (IPCC, 2007b). Di samping itu, bencana alam
tidak berdampak kepada manusia secara sama. Karena kenyataan menunjukkan
bahwa ketidak setaraan paparan dan sensitivitas serta ketidak setaraan akses
terhadap sumber daya, kapabilitas dan peluang menyebabkan perbedaan tingkat
kerentanan seseorang terhadap dampak bencana alam (Neumayer, and Plmper,
2007). Lebih lanjut, Neumayer and Plmper (2007) membuktikan bahwa bencana
alam mengurangi harapan hidup perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki.
Hal ini berarti bahwa harapan hidup perempuan menjadi lebih rendah karena
terdampak oleh bencana alam. Bencana alam yang besar akan menyebabkan
kerusakan infrastruktur dan hukum serta meningkatkan kompetisi terhadap
pangan dan sumberdaya lainnya sehingga jika bencana alam ini menimpa
masyarakat yang masih terdapat diskriminasi terhadap perempuan maka
perempuan menjadi lebih rentan dan dapat menjadi korban bencana yang berujung
pada kematian. Di samping itu, tingkat kerentanan perempuan dalam menghadapi
bencana alam akan semakin besar jika status sosial-ekonominya rendah.
Perempuan akan lebih besar terkena dampak bencana alam terutama jika terdapat
ketidaksetaraan gender dalam akses informasi dan sumber daya ekonomi serta

199

adanya ketidaksetaraan dalam kebebasan memilih sebelum, selama maupun


sesudah terjadinya bencana. Para Pihak pada konferensi ke-18 telah mengadopsi
keputusan untuk mempromosikan keseimbangan gender (gender balance) dan
perbaikan partisipasi dalam UNFCC dan badan lain yang relevan. Namun, Para
Pihak dalam konferensi ke-18 gagal untuk menerima sepenuhnya kebutuhan
kesetaraan gender terkait perubahan iklim, sehingga terminologi yang
dipergunakan dalam pengambilan keputusan adalah keseimbangan gender
(gender balance) dan tidak menggunakan terminologi kesetaraan gender (gender
equality) sehingga memungkinkan terjadinya kekurang cukupan perlindungan
hak-hak perempuan untuk berpartisipasi dalam aksi perubahan iklim dan proses
pengambilan keputusan terkait perubahan iklim (CIEL, 2013).
4.11.2. Dampak Pemanasan Global
Kenaikan suhu akibat peningkatan konsentrasi karbon dioksida di atmosfir
mungkin terlihat tidak terlalu tinggi, namun di negara tertentu seperti Indonesia,
kenaikan ini akan memberikan dampak yang parah dan terutama pada penduduk
yang paling miskin. Iklim global merupakan suatu sistem yang rumit dan
pemanasan global akan berinteraksi dengan berbagai pengaruh yang lainnya
sehingga perubahan suhu akan makin memperparah berbagai masalah yang
berkaitan dengan iklim, misalnya banjir, kemarau panjang, angin putting beliung
maupun tanah longsor.

Perubahan iklim akan mengubah sistem biologi dan

manusia dalam kurun waktu beberapa tahun mendatang (IPCC, 2007b). Efek
komponen iklim akan berpengaruh saling menguatkan sehingga dapat
meningkatkan paparan terhadap dampak dan mempersempit pilihan untuk
meresponnya. Oleh karena itu, analisis dampak perubahan iklim terhadap
multisektor menjadi lebih penting dibandingkan analisis dampak perubahan iklim
sektoral. Analisis kerentanan dan dampak perubahan iklim terhadap sektor
pertanian, sumber daya air, ekosistem dan kesehatan menunjukkan bahwa dampak
perubahan iklim dapat menimbulkan resiko ganda untuk pembangunan manusia
(World Bank, 2013).
Kenaikan suhu semenjak tahun 1901 di kawasan Asia Tenggara tercatat
pada kisaran 0,4 1C dan untuk jangka menengah di tahun-tahun 2046-2065

200

mendatang diperkirakan akan meningkat pada kisaran 1,5 - 1C. Sedangkan untuk
jangka panjang di tahun-tahun 2081-2100 mendatang peningkatan temperatur
diperkirakan akan berkisar 2 - 4C yang menyebar merata di seluruh daratan dan
suhu tertinggi di siang hari akan mencapai 3 - 4C lebih tinggi dari temperatur
rata-rata saat ini. Kenaikan temperatur ini diperkirakan menyebar merata di
seluruh kawasan Asia Tenggara. Dampak perubahan iklim di kawasan Asia
Tenggara, termasuk Indonesia diperkirakan akan meningkatkan ancaman terhadap
ketahanan pangan, kesehatan manusia, ketersediaan air bersih, keanekaragaman
hayati dan peningkatan permukaan air laut.
Salah satu pengaruh utama iklim di Indonesia adalah ENSO (El NinoSouthern Oscillation) yang setiap beberapa tahun memicu berbagai peristiwa
cuaca ekstrim.

ENSO terjadi karena adanya perubahan tekanan atmosfir di

belahan dunia bagian selatan. Pada saat terjadi El Nino maka biasanya terjadi
kemarau panjang sehingga meningkatkan peluang terjadinya kebakaran hutan.
Selama beberapa tahun terakhir ini, berbagai peristiwa iklim ekstrim menjadi
lebih sering terjadi dan dampak yang ditimbulkannya menjadi lebih parah. Dalam
kurun waktu antara tahun 1844 1960 kemarau panjang terjadi rata-rata setiap
empat tahun, akan tetapi antara tahun 1961 2006 meningkat menjadi setiap tiga
tahun. Banjir juga semakin sering terjadi. Dalam kurun waktu antara 2001
2004 telah dilaporkan sekitar 530 kali banjir yang melanda hampir di seluruh
provinsi. Tingkat kerusakannya juga meningkat. Kejadian El Nino tahun 1997
1998 adalah yang paling parah selama 50 tahun dan tahun 1998 merupakan tahun
terpanas dalam abad dua puluh ini (UNDP, 2007).
Makin seringnya kejadian El Nino ini bertepatan dengan berlangsungnya
pemanasan global. Sepuluh kejadian El Nino paling parah terjadi setelah tahun
1970 dimana pemanasan global mulai berlangsung makin cepat.

Berbagai

perubahan iklim yang dirasakan sekarang ini bisa saja akibat El Nino atau dampak
pemanasan global, atau bahkan akibat interaksi keduanya. Namun, satu hal yang
pasti adalah perubahan telah terjadi dan konsekuensinya telah dirasakan oleh
generasi sekarang maupun generasi mendatang.

Dalam beberapa tahun

belakangan ini para petani di pulau Jawa sudah membicarakan musim yang tidak
normal. Di sebagian besar wilayah Sumatera selama kurun waktu antara tahun

201

1960 1990 dan 1991 2003, awal musim hujan menjadi terlambat 10 hingga 20
hari dan awal kemarau menjadi terlambat 10 hingga 60 hari. Pergeseran serupa
juga dirasakan di pulau Jawa. Di masa mendatang, sebagian wilayah Indonesia
terutama wilayah yang terletak di sebelah selatan katulistiwa dapat mengalami
musim kemarau yang lebih panjang dan musim hujan yang lebih pendek dengan
curah hujan yang lebih tinggi seperti disajikan pada Gambar 18. Di samping itu,
iklim kemungkinan juga akan menjadi makin berubah-ubah dengan makin
seringnya curah hujan yang tidak menentu. Suhu udara yang lebih tinggi juga
dapat mengeringkan tanah, mengurangi sumber air tanah, mendegradasi lahan dan
dalam beberapa kasus dapat mengakibatkan penggurunan (UNDP, 2007).

Gambar 18. Pola curah hujan mendatang di Pulau Jawa dan Bali (UNDP, 2007)
Perubahan iklim akan mempengaruhi semua orang di bumi ini. Namun
berbagai pengaruh perubahan iklim akan dirasakan lebih parah oleh kelompok
masyarakat yang paling miskin karena kelompok ini hidup di wilayah pinggiran
sehingga rentan terhadap banjir maupun bencana iklim lainnya. Di samping itu,
kelompok ini pada umumnya mencari nafkah dengan bertani atau menjadi
nelayan, sumber nafkah ini sangat rentan terhadap perubahan iklim. Kelompok
ini juga hanya memiliki sumber daya yang terbatas untuk mengantisipasi dan
menanggung bencana alam sehingga ketika bencana menimpa akan memberikan
dampak yang lebih besar. Di antara kelompok ini, petani yang akan paling
menderita adalah petani yang tinggal di wilayah dataran tinggi karena lahannya
202

dapat mengalami kehilangan lapisan tanah karena erosi. Hasil tanaman pangan
dataran tinggi seperti kedelai dan jagung akan menurun 20 hingga 40 persen.
Namun, seluruh petani akan mengalami dampak negatif perubahan iklim. Saat ini
saja sudah banyak petani mengalami kesulitan untuk menentukan waktu yang
tepat untuk memulai musim tanam, atau sudah mengalami gagal tanam atau gagal
panen karena hujan yang tidak menentu atau kemarau yang berkepanjangan.
Berbagai beban ini memiliki implikasi besar pada ketahanan pangan nasional.
Hal ini memperhatikan kenyataan bahwa selama kurun waktu 1981 1990, setiap
kabupaten di Indonesia setiap tahunnya rata-rata mengalami penurunan produksi
padi 100.000 ton dan pada kurun waktu 1992 2000 jumlah penurunan ini
meningkat menjadi 300.000 ton. Perubahan iklim juga berdampak luas terhadap
jutaan nelayan pesisir.

Hal ini disebabkan karena nelayan sangat sangat

bergantung nafkahnya pada ekosistem yang sangat rentan terhadap perubahan


iklim. Di samping itu, nelayan, sebagai contoh di Maluku, sudah tidak dapat lagi
memperkirakan waktu dan lokasi yang pas untuk menangkap ikan karena pola
iklim yang sudah berubah. Kenaikan permukaan air laut juga dapat menggenangi
tambak-tambak ikan dan udang di Pulau Jawa, Sumatera dan Sulawesi (UNDP,
2007).
4.11.3.

Interaks
i Gender
dan
Perubah
an Iklim

Untuk menanggapi perubahan iklim secara efektif maka sangat penting


untuk meningkatkan pengetahuan khususnya tentang kerentanan perempuan
dalam berbagai kondisi dan juga peran kritis perempuan sebagai agen perubahan
terkait dengan perubahan iklim.

Perempuan sangat rentan terhadap dampak

perubahan iklim karena perempuan memegang peran penting dalam pengelolaan


sumber daya alam sebagai hasil dari tanggung jawabnya terhadap kehidupan
rumah tangga. Peran perempuan dalam pertanian, khususnya dalam produksi
tanaman pangan, sangat krusial untuk ketahanan pangan keluarga. Perempuan

203

juga merupakan pihak yang bertanggung jawab untuk menyediakan air bersih dan
energi untuk keperluan rumah tangga. Peran ini merupakan suatu tanggung jawab
yang pada umumnya ditunaikan tanpa akses teknologi dan transportasi yang
memadai sehingga menyebabkan beban berat bagi perempuan. Di samping itu,
aktivitas penghasil uang yang dilakukan perempuan biasanya berperan penting
untuk mendukung kelangsungan kehidupan keluarga dan kebanyakan aktivitas ini
sangat bergantung pada ketersediaan sumber daya alam, seperti aktivitas
penanaman sayuran, beternak ayam ataupun mencari ikan (Hannan, 2011).
Bencana alam besar, seperti banjir dan kekeringan maupun perubahan cuaca
yang tidak ekstrim dapat berdampak serius terhadap kehidupan keluarga.
Perempuan pada umumnya berjuang menanam tanaman pangan dan mencukupi
kebutuhan air bersih dan energi bagi keperluan keluarganya. Peran penting ini
mungkin akan tetap dilakukan meskipun dibayang-bayangi dampak perubahan
iklim. Dampak perubahan iklim berpotensi akan meningkatkan beban perempuan
secara signifikan. Oleh karena itu, kesempatan untuk pemberdayaan ekonomi
bagi perempuan, seperti pendidikan dan pelatihan serta pemberian kesempatan
untuk aktivitas penghasil uang sangat diperlukan. Di samping itu, selama ini
upaya adaptasi maupun mitigasi perubahan iklim cenderung memperlakukan
perempuan sebagai pihak yang rentan terhadap bencana alam perubahan iklim dan
juga sebagai korban. Perempuan sebenarnya merupakan agen perubahan yang
hebat bagi keluarga dan komunitasnya.

Perempuan juga memiliki potensi,

pengetahuan dan pengalaman dalam pengelolaan sumber daya alam untuk


memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Kondisi ini menempatkan perempuan
sebagai pihak yang sebenarnya memiliki kemampuan dan dapat berbuat sesuatu
untuk mengantisipasi perubahan iklim. Perempuan dapat menjadi pemimpin yang
kuat dan menjadi katalisator untuk melakukan perubahan pada tingkat komunitas,
khususnya jika mendapatkan informasi yang memadai, akses pada sumber daya
dan partisipasi dalam pengambilan keputusan terkait dengan adaptasi dan mitigasi
perubahan iklim (Hannan, 2011).
4.11.4.

Alternat
if Respon

204

Perubah
an Iklim
Untuk mencapai keberlanjutan manfaat dalam pengelolaan resiko akibat
bencana alam akibat perubahan iklim maka dapat direkomendasikan beberapa
alternatif respon untuk mengurangi resiko perubahan iklim, yaitu :
1) Pemahaman terhadap perubahan iklim perlu diformat ulang dengan
mengintegrasikan analisis gender dan khususnya memahami dampak
perubahan iklim terhadap perempuan. Di samping itu, gender dipandang
sebagai faktor kritis dalam analisis, perencanaan dan pengembangan
kebijakan perubahan iklim (Alston and Whittenbury, 2013),
2) Mendorong dan menyediakan insentif agar perempuan dapat berpartisipasi
secara efektif, termasuk berpartisipasi dalam peran kepemimpinan
manajemen resiko bencana alam perubahan iklim (Ferris, Pets dan Stark,
2013),
3) Menjamin implementasi pendekatan berbasis hak (rights-based approach)
dalam

kegiatan

antisipasi

bencana,

tanggap

bencana,

pemulihan,

rekonstruksi, maupun integrasi pendekatan sensitif gender ((Ferris, Pets dan


Stark, 2013),
4) Meningkatkan kapasitas adaptasi masyarakat laki-laki dan perempuan
melalui peningkatan status sosial perempuan karena kerentanan spesifik
perempuan yang terkonstruksi secara sosial terwujud dalam pola sosial
ekonomi kehidupan sehari-hari yang membuat posisi perempuan lebih
rentan terhadap bencana. Oleh karena itu, pemberdayaan dan pelibatan
perempuan dalam pengambilan keputusan untuk merespon perubahan iklim
merupakan salah satu strategi yang efektif dan adil untuk kesiapan
menghadapi bencana (Terry, 2009),
5) Program pendidikan masyarakat tentang perubahan iklim seharusnya sensitif
gender sehingga mempertimbangkan peran penting perempuan dalam
pengelolaan sumber daya alam dan kontribusinya terhadap ketahanan
pangan keluarga.

Di samping itu, fokus utama adalah peran penting

perempuan sebagai agen perubahan dan dibutuhkan kontribusinya dalam


kajian resiko dan pencegahan, tanggap darurat maupun pemulihan akibat
bencana alam perubahan iklim (Hannan, 2011).

205

6) Pengintegrasian perspektif keadilan gender diperlukan untuk membangun


model pembangunan berkelanjutan karena selama ini curahan waktu, tenaga
dan energi dari perempuan tidak pernah dinilai dan dihitung dalam analisis
ekonomi konvensional yang digunakan untuk mengukur pertumbuhan
pembangunan (Terry, 2009),
7) Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman komprehensif terhadap
pendekatan manajemen resiko bencana untuk menghindari kerusakan dan
kehilangan terkait dampak perubahan iklim melalui pengumpulan,
penggunaan dan pengelolaan serta berbagi data dan informasi, termasuk data
terpilah (gender-disaggregated data) (UNFCC, 2013).
4.12.

Pembangunan Anak Berbasis Pemenuhan Hak Anak


Analisis terhadap pembangunan anak yang didasarkan pada pendekatan

pemenuhan hak anak (Gambar 19) menghadapi keterbatasan data yang tersedia,
namun banyak informasi dapat digunakan sebagai dasar dalam analisis. Sensus
Penduduk tahun 2010 (SP 2010) menunjukkan bahwa dari 237,64 juta jiwa,
sekitar 34,26% diantaranya adalah anak, yang berumur di bawah 18 tahun. Dari
39 juta anak, 52% tinggal diperdesaan dan sisanya berada di perkotaan.
Diperkirakan bahwa pada tahun 2025, 60% anak Indonesia tinggal di kota.

Gambar 19. Alur analisis pembangunan anak dengan pendekatan sistem


perlindungan anak
206

Situasi anak yang dipengaruhi oleh beberapa komponen yang terdiri dari
unsur hukum, unsur peradilan, unsur kesejahteraan sosial, unsur budaya dan
perilaku serta sistem data.

Situasi dan kondisi anak merupakan resultante dari

berbagai sebab dalam kelompok unsur-unsur tersebut, baik penyebab langsung,


tidak langsung maupun akar masalahnya. Kondisi unsur-unsur ini dan pemenuhan
hak anak diuraikanndi bawah ini.
1. Langkah Umum Pelaksanaan
a. Kebijakan
Kebijakan untuk mendukung pembangunan anak relatif sudah banyak
jumlahnya. Sampai saat ini terdapat:

6
UndangUndang
tentang
Anak;
16
UndangUndang
yang

di

dalamnya
mencakup
ayat
tentang
anak;
6
UndangUndang
yang
tidak
terkait
langsung
dengan
anak;

207

4
Peraturan
Pemerinta
h tentang
Anak
1
Peraturan
yang
terkait
dengan
Anak
1
Peraturan
Presiden
yang
terkait
dengan
Anak
5
Keputusa
n
Presiden
tentang
Anak
1 Inpres
tentang
Anak
8
surat
Keputusa
n menteri
tentang
Anak
2
kesepakat
208

an
Bersama
Menteri
1
Instruksi
Menteri
tentang
Anak
4
Peraturan
Menteri
tentang
Anak
1
Peraturan
Menteri
yang
terkait
dengan
Anak
6
Surat
Edaran
Menteri
Dasar hukum tersebut mencakup subyek-subyek yang secara langsung
berdampak pada anak maupun yang terkait dengan anak. Selain UndangUndang no. 23 tahun 2002 dan Kepres No. 36

Tahun 1990

tentang

Pengesahan Convention On The Right Of The Child (Konvensi Tentang Hakhak Anak) Regulasi dalam peraturan perundang-undangan itu mencakup
bidang-bidang:
Kesehatan
Pendidikan
Hukum
Sosial
Ketenagakerjaan
Agama

209

Walaupun sudah banyak peraturan Perundang-undangan yang diterbitkan,


namun cakupannya masih sempit dibandingkan dengan kebutuhan dasar
hukum untuk pemenuhan Hak Anak yang komprehensif. Karena pemenuhan
Hak Anak harus dilakukan melalui program dan kegiatan di banyak bidang
pembangunan, maka kebijakan di masing-masing bidang pembangunan harus
ada. Kebijakan nasional pememuhan Hak Anak yang diwakili oleh UndangUndang yang ada, harus diintegrasikan ke dalam kebijakan, program dan
kegiatan agar kegiatan pemenuhan Hak Anak dapat dilakukan dengan
lengkap. Kebijakan untuk mengintegrasikan pemenuhan Hak Anak belum
ada, walaupun sudah menjadi kenetuan dari KHA, bahwa setelah diratifikasi,
semua peraturan perUndang-Undangan harus disesuaikan dengan KHA.
Dengan pengintegrasian ini, maka dasar hukum untuk pemenuhan Hak Anak
yang belum dibuat akan dapat disusun dan diterbitkan.
Baru pada RPJMN 2010-2014, anak masuk ke dalam kebijakan pembangunan
nasional. Sebelumnya anak tidak pernah dipandang sebagai sebuah entitas
dan anak merupakan sasaran kegiatan pembangunan karena usianya. Dengan
demikian, selama ini sosok anak Indonesia tidak pernah terlihat.
Kegiatan-kegiatan prioritas yang tercantum dalam RPJMN 2010-2014
juga tidak secara khusus dirancang untuk anak di dalam program
Kementerian atau Lembaga. Sebagian adalah karena target sasaran memang
pada usia anak. Sebagian lagi merupakan hasil sampingan dari kegiatan
dalam program tertentu. Di dalam Rencana Strategis Kementerian dan
Lembaga masalah anak tidak digambarkan sebagai prioritas dan di banyak
Kementerian dan Lembaga yang mempunyai kaitan tanggung-jawab dengan
pemenuhan Hak Anak tidak mempunyai tempat sama sekali. Dari semua
Kementerian dan Lembaga, yang mempunyai kegiatan untuk anak adalah:
Kementerian Kesehatan
Kementerian Pendidikan
Kementerian Agama
Kementerian Hukum dan HAM
Kementerian Sosial
Kementerian Tenaga Kerja
Kementerian Dalam Negeri
BKKBN
Badan Pusat Statistik

210

Jika dilihat dari Konvensi Hak Anak dan Undang-Undang Perlindungan


Anak,

maka seharusnya lebih banyak bidang pembangunan memberi

kontribusi untuk pemenuhan Hak Anak. Sebagai contoh adalah peran bidang
perhubungan untuk menjamin keamanan anak di dalam bidang transportasi,
bidang pekerjaan umum untuk penyediaan sarana bermain anak, standard
bangunan yang aman untuk anak.Tata ruang juga belum menyentuh
kebutuhan

anak,

padahal

mereka

harus

mempunyai

ruang

untuk

pengembangan fisik dan kecerdasan anak.Bidang komunikasi dan informatika


juga tidak mempunyai kegiatan yang memberikan peluang untuk anak
meningkatkan kemampuan mereka di bidang teknologi informasi dan
memberi mereka perlindungan dari dampak negatifnya.
Pada tingkat pelaksanaan, kebijakan manajemen dan implementasi
pembangunan anak masih terbatas atau belum ada. Kebijakan pembangunan
anak di daerah praktis masih sangat terbatas, baik pada tingkat Provinsi
maupun Kabuapten/Kota. Ketiadaan kebijakan ini menyulitkan pelaksanaan
kegiatan pemenuhan hak anak pada tingkat akar rumput. Di dalam
pembangunan daerah, praktis masalah anak tidak tersentuh dalam
kebijakan.Sangat sedikit atau hampir tidak ada daerah yang mempunyai
kebijakan tentang anak. Promosi tentang pembangunan anak yang dilakukan
oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak melalui
pengembangan kota Layak Anak, juga belum memberikan dampak yang
signifikan untuk menjadikan anak sebagai bagian dari prioritas pembangunan
daerah. Kebijakan tentang masalah anak yang ada di dalam RPJMN 20102014 tidak secara konsisten dijadikan acuan pada RPJMD. Karena tidak ada
kebijakan di dalam RPJMD maka tidak ada sasaran pembangunan untuk
anak.Dengan demikian, kegiatan-kegiatan pembangunaan di daerah tidak
mencakup kegiatan pemenuhan Hak Anak seperti yang digariskan dalam
Undang-Undang ataupun di dalam RPJMN 2010-2014.
Promosi pemenuhan Hak Anak melalui pengembangan Kota Layak
Anak

yang

dilakukan

Kementerian

Pemberdayaan

Perempuan

dan

Perlindungan Anak telah memberi dampak pada pengalokasian sejumlah


anggaran di beberapa Provinsi dan Kabupaten, namun anggaran itu tidak

211

terstruktur dalam program dan anggaran, sehingga berpotensi untuk tidak


teralokasikan kembali pada tahun berikutnya.
Harmonisasi antar kebijakan juga masih perlu dilakukan karena masih ada
peraturan perundang-undangan yang tidak konsisten, contohnya adlaah
tentang usia anak. Di dalam Undang-Undang Perkawinan, seorang
perempuan boleh menikah pada usia 16 tahun, sedangkan pada UndangUndang tentang Perlindungan Anak, usia anak adalah sampai sebelum usia 18
tahun.
Keppres no. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention On The
Right Of The Child oleh beberapa kalangan dianggap perlu ditingkatkan
menjadi Undang-Undang, karena sifatnya yang lebih tinggi daripada
peraturan perundangan lainnya, misalnya adalah Undang-Undang tentang
pengesahan Optional Protocol yang substansinya berada di bawah naungan
KHA. Selain itu ada beberapa Optional Protocol dari KHA juga belum
diratifikasi.
Pelaksanaan Undang-Undang no. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
sudah perlu untuk dikaji untuk melihat apakah pelaksanaannya sudah berjalan
sesuai harapan, kendala apa yang ada, dan apakah Undang-Undang ini perlu
diperbaiki untuk meningkatkan efektifitas pelaksanaannya. Demikian juga
kajian untuk melihat pelaksanaan semua ketentuan tentang anak dari berbagai
peraturan perundang-undangan dan bagaimana penggunaannya dalam
memenuhi Hak Anak belum perbah dilakukan. Pada kurun waktu saat ini,
pembahasan semua undang-undang yang memberikan dasar hukum untuk
pemenuhan hak anak mendesak untuk dilakukan.
Banyak peraturan perundangan yang menyangkut hak anak belum
diketahui oleh mereka yang sehrusnya mengetahui karena tugas dan
fungsinya, maupun oleh masyarakat umum. Pemahaman tentang anak, hak
mereka, peran mereka dalam kehidupan dan pembangunan juga belum
dipahami secara lengkap oleh masyarakat pada umumnya. Anak masih
dianggap sebagai seseorang yang berada di bawah kekeuasaan orang dewasa
dan harus menuruti apa yang ditetapkan oleh orang dewasa. Pemahaman
bahwa mereka adalah generasi penerus belum dipahami dengan baik.
b. Anggaran

212

Anggaran untuk anak belum eksplisit dialokasikan. Anggaran untuk


pendidikan dasar tentunya dapat diasumsikan untuk anak, namun banyak
program lain yang tidak secara langsung memberikan alokasi untuk
pemenuhan hak anak. Karena sifatnya yang multi dimensi dan multi sektor,
pemenuhan hak anak anggarannya memang tidak selalu dapat diidentifikasi
secara eksklusif. Jika hak anak dan pemenuhannya sudah menjadi bagian
yang terintegrasi dalam pembangunan nasional maupun daerah, maka
anggaran pembangunan seyogyanya menjadi anggaran yang responsif anak.
c. Kelembagaan
Kelembagaan untuk pemenuhan hak anak masih belum memadai untuk
menangani pembangunan anak dan perlu diperkuat lebih jauh lagi.
Kelembagaan

di tingkat nasional maupun daerah masih perlu diperkuat.

Karena sifatnya yang multi dimensi dan multi sektor, pemenuhan hak anak
memerlukan pengkoordinasian yang kuat. Pelaksanaan pemenuhan hak anak
harus dilakukan secara terintegrasi dan terkoordinasi. Untuk fungsi ini,
kelembagaan yang melaksanakan peran koordinasi perlu diperkuat. Selain itu
kualitas dan kuantitas tenaga pelaksana juga masih perlu ditingkatkan lebih
jauh lagi. Pemahaman tentang hak anak, pemahaman tentang sifat anak dan
siklus kehidupan serta hak-haknyanya masih rendah sehingga perlu
ditingkatkan agar pelaksanaan pemenuhan hak anak dapat dilakukan dengan
baik.
Masyarakat mempunyai peran yang sangat besar dalam pemenuhan hak
anak. Belum ada kajian khusus untuk itu, namun di semua bagian negeri ini,
selalu ada organisasi masyarakat yang memberikan perhatian anak di
berbagai bidang, yang seringkali pelayanan publiknya belum tersedia.
Kemampuan masyarakat dan dukungan mereka untuk pembangunan anak
perlu mendapat dukungan yang kuat, sehingga peran mereka dapat meningkat
kualitas maupun cakupannnya. Dalam banyak aspek, pemeritah tidak dapat
melakukan pelayanan pada anak secara lengkap dan memadai, pada kondisi
ini, masyarakat lah yang kemudian mengambil porsi tersebut.
Di dalam pemberian pelayanannya, lembaga masyarakat seringkali
terbentur pada peraturan yang menyulitkan mereka untuk dapat memberikan
sumbangsih. Mereka perl bantuan dan dukungan dari segi perijinan yang
dapat memudahkan mereka menjalankan kegiatannya. Dalam banyak aspek,
213

mereka harus memulai pelayanan yang belum pernah dilakukan atau


terfikirkan oleh pemerintah, sehingga pada waktu perijinan diperlukan, belum
ada peraturan yang sesuai. Sementara itu peraturan yang ada tidak
mengakomodasikan kebutuhan yang ada dan seringkali mendesak karena
skala masalah atau dampaknya yang besar. Sebagai contoh adalah perijinan
untuk sekolah bagi anak-anak yang dirawat di rumah sakit dalam waktu lama.
Belum banyak informasi tentang kegiatan masyarakat untuk
pembangunan anak yang tersedia. Masih diperlukan informasi tentang
jumlah, tempat, cara kerja, kualitas, kebutuhan mereka untuk maju dan
dukungan yang mereka dapatkan. Ketiadaan informasi yang lengkap
seringkali menghambat mobilisasi dukungan mereka untuk anak-anak di
wilayah kerja mereka.
Di samping peran masyarakat secara sukarela, dunia usaha juga wajib
berperan untuk mendukung pembangunan anak. Banyak perusahaan pasarnya
adalah anak. Mereka mempunyai kewajiban untuk emastikan bahwa produk
mereka tidak mengurangi kemampuan tumbuh kembang karena kualitas
produk, bahan yang membahayakan dan dampak negatif lainnya. Karena
mempekerjakan SDM, maka semua perusahaan terkait dengan perlindungan
anak, oleh sebab itu, peran mereka perlu dibangun dan kontribusi mereka
perlu disalurkan secara baik. Selain itu prinsip berniaga yang berkembang
juga memberikan indikasi adanya keharusan saling mendukung antara
perusahaan dan masyarakat yang menjadi pasar. Belum banyak informasi
tentang keterlibatan dunia usaha pada pembangunan anak, dan belum banyak
peran perusahaan yang dilakukan secara sistematik, sehingga hasilnya
bermakna untuk anak.
d. Sistem data anak
Data anak praktis belum memadai, untuk semua keperluan pemenuhan
hak anak. Data yang tersedia di Badan Pusat Statistik (BPS), dapat
dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan dalam pemenuhan hak anak, namun
belum dimanfaatkan. Selain itu, penggunaan data juga masih terbatas dalam
perencanaan, pemantauan dan evaluasi, sehingga data tidak dirasakan
kebutuhannya. Data merupakan salah satu unsur yang ikut mempengaruhi
situasi anak, oleh sebab itu, Data Anak menjadi sangat penting. Sistem Data
anak belum ada, sehingga pengumpulan, pengolahan, penyajian dan
214

penggunaannya masih sering bersifat sementara. Keterbatasan data seringkali


menjadi menyulitkan dalam menemukenali masalah anak, menentukan
kebijakan dan melihat hasil pelaksanaan program dan kegiatan.
Ukuran kesejahteraan anak juga belum ada. Penyusunan Index
Komposit Kesejahteraan Anak pernah dimulai pada awal pelaksanaan
RPJMN 2010-2014, namun tidak dilanjutkan. Ukuran ini sangat penting, dan
harus ada, karena akan menunjukkan bagaimana tingkat kesejaheraan anak
dan harus digunakan untuk menilai perkembangan dari waktu ke waktu.
e. Mekanisme kerja
Koordinasi dalam pemenuhan hak anak belum berjalan dengan baik.
Secara umum, pelaksanaan kebijakan pembangunan anak masih dilakukan
secara terpenggal-penggal, dalam koordinasi yang belum optimal, tidak
berkelanjutan dan belum dilakukan oleh semua bidang yang seharusnya
memberikan kontribusi pada pemenuhan Hak Anak.
Pelaksanaan kebijakan dalam RPJMN 2010-2014 dijalankan oleh
masing-masing kementerian dan lembaga sesuai dengan bidang tanggungjawab mereka.Pelaksanaan kegiatan belum mengacu kepada Hak Anak dalam
artian yang komprehensif, tidak sesuai dengan Konvensi Hak anak dan tidak
konsisten dengan undang-Undang perlindungan Anak. Kegiatan di masingmasing kementerian tidak terkoordinasi dengan kementerian lain sehingga
pelaksanaan kegiatan dilakukan secara terpenggal-penggal. Sebagai contoh
adalah kegiatan untuk menarik kembali anak yang bekerja, mengalami
kesulitan karena setelah anak dibebaskan dari pekerjaan mereka yang
seringkali juga termasuk dalam pekerjaan terburuk untuk anak, tidak
mendapatkan tempat di bangku sekolah.Kegiatan yang dilakukan seringkali
tidak berkelanjutan, sehingga penanganan masalahnya harus terhenti. Contoh
lain adalah pada masalah Anak yang Berhadapan dengan Hukum. Pada saat
anak harus mengalami penahanan, tidak ada fasilitas tahanan anak, sehingga
harus ditahan bersama orang dewasa dengan segala resikonya.
Standard pelayanan minimal untuk berbagai pelayanan belum
mengintegrasikan kepentingan anak. Hal ini sejalan dengan belum adanya
kebijakan pemenuhan hak anak yang terintegrasi dalam kebiajkan bidangbidang pembangunan.
2. Definisi
215

Masih terdapat perbedaan usia anak pada ketentuan di beberapa


Undang-Undang, misalnya Undang-Undang no. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Undang-Undang no. 23 tahun 2002 Perlindungan Anak.
Perbedaan ini seringkali mengurangi efektifitas pelaksanaan pemenuhan hak
dan perlindungan anak.
3. Prinsip
Di dalam KHA telah ditetapkan bahwa dalam prinsip pemenuhan hak anak,
tidak ada diskriminasi, namun pada kenyataannya masih ada diskriminasi
pada anak. Diskriminasi masih terjadi pada anak-anak yang berkebutuhan
khusus. Perlindungan anak di Indonesia masih nampak buruk di mata Komite
Hak Anak PBB terutama menyangkut masalah diskriminasi pada anak
berdasarkan jenis kelamin khususnya terkait dengan usia perkawinan.
Indonesia masih membedakan batas usia perkawinan, untuk laki-laki 19 tahun
sedangkan untuk perempuan 16 tahun. Ini menunjukkan bahwa Negara masih
memberikan diskriminasi bagi anak perempuan, diskriminasi juga masih
terlihat pada anak-anak yang hidup dalam kemiskinan dan anak-anak yang
menjadi kelompok minoritas.
Masalah kejiwaan anak juga belum tertangani dengan baik. Masalah
pengunaan NAPZA masih tinggi.
Perubahan iklim juga mempengaruhi anak. Perubahan iklim yang berdampak
pada bencana alam mempunyai dampak pada anak di seluruh aspek dan anak
merupakan segmen populasi yang rentan untuk perubahan iklim dan bencana
alam. Hal lain yang juga memerlukan perhatian adalah anak yang ikut
bermigrasi dengan orang tua dan anak dalam komunitas adat terpencil.
Mereka mempunyai akses yang lebih kecil pada pelayanan pemenuhan hak
anak.
4. Hak Sipil dan Kebebasan
a. Akte kelahiran
Persentase kepemilikan Akte Kelahiran masih rendah. Pada Balita
baru 59%. Masyarakat belum memahami pentingnya Akta Kelahiran ini
disamping untuk mengurusnya masih dianggap mahal serta cara
mendapatkannya tidak selalu mudah. Dilihat dari jumlah anak yang belum

216

mempunyai Akta Kelahiran, jumlahnya sangat besar. Lebih dari 40 juta


anak belum meiliki Akta Kelahiran. Sementara kepemilikan Akta Nikah
yang diperlukan dalam pembuatan Akta Kelahiran, juga baru mencapai
sekitar 40%.
Dari aspek pelayanan, kesiapan lembaga pemberi pelayanan juga
belum maksimal, sementara itu bagi anak yang terpisah dari orang tuanya,
anak dari perkawinan kontrak, anak jalanan dan anak dari Ibu tunggal
mendapatkan Akta Kelahiran menjadi tidak mudah. Sistem pencatatan
penduduk juga masih dalam proses perbaikan.
b. Kebebasan berekspresi dan hak untuk mencari, menerima dan
menyampaikan informasi
Walaupun sudah dimulai, partisipasi anak praktis belum dapat
mempunyai cara yang efektif. Forum Anak yang merupakan wadah untuk
mengekrepresikan partisipasi anak masih mencari bentuknya. Partisipasi
mereka dalam pengambilan keputusan publik, juga belum mempunyai
saluran resmi.
c. Perlindungan privasi dan perlindungan dari media
Hasil rekapitulasi sanksi yang diberikan KPI kepada lembaga
penyiaran di sepanjang tahun 2012 menunjukkan dominasi pelanggaran
atas pasal perlindungan anak dan remaja yakni 75 sanksi. Berkaitan
dengan perlindungan anak, pelanggaran pasal kesopanan dan kesusilaan
(73 sanksi) serta eksploitasi seks (48 sanksi) (KPI, 2013).
Media massa - media penyiaran dinilai punya andil besar dalam
meningkatnya kasus kekerasan dan kejahatan seksual bagi anak. Tayangan
kekerasan masih sangat banyak, selain itu juga tayangan yang seolah
memberikan pembenaran atas hubungan seksual, atau yang mendekatinya,
di luar institusi pernikahan Sinetron yang tayang pada jam anak,
menggunakan atribut institusi pendidikan, namun justru jauh dari nilainilai mendidik. Selain itu terjadi krisis empati dari lembaga penyiaran
kepada anak-anak yang menjadi korban kekerasan dan kejahatan seksual
(KPI, 2013). Pemberitaan tentang anak secara umum belum memberikan
kontribusi positif bagi perlindungan hak-hak anak. Pemberitaan anak,
masih banyak ditulis tanpa mengidahkan kode etik jurnalistik. Pemberitaan

217

anak yang ada juga masih menggunakan istilah-istilah yang menstigma


anak-anak.
d. Akses terhadap informasi dari berbagai sumber
Jumlah perpustakaan umum dan perpustakaan yang mempunyai
fasilitas pelayanan digital masih terbatas. Tahun 2011 di 33 Provinsi, 300
kab/kota 3.102 desa; dan 55 perpustakaan keliling/terapung. Sebagian
besar sekolah belum memiliki tenaga pengelola (pustawan sekolah) yang
tetap. Perpustakaan belum difungsikan sebagai penyedia sumber belajar.
Komitmen dan alokasi anggarn masih belum memadai baik untuk
perpustakaan umum maupun perpustakaan keliling.
Berdasarkan Susenas 2011, ada sekitar 15,3 persen anak Indonesia
berusia 5-17 tahun pernah mengakses internet. Proporsi pengguna internet
pada anak laki-laki dan perempuan meningkat sesuai dengan bertambah
umur, anak laki-laki 15,88 persen dan anak perempuan 14,76 persen. SDM
yang menangani bidang IT di daerah masih rendah.
e. Hak untuk tidak disiksa
Prevalensi kekerasan pada anak masih tinggi. Survey tahun 2006
menunjukkan angka sekitar 6%(BPS, 2006). Survey kekerasan pada anak
tahun 2013, memperkirakan prevalensi kekerasan sekitar 20%. Budaya
kekerasan masih kuat yang terlihat dari besarnya proporsi kejadian di
rumah dan sekolah. Analisis sementara dari Survey Kekerasan Terhadap
Anak menunjukkkan bahwa pelaku utama kekerasan adalah orang tua dan
guru sera orang yang dekat dengan anak.
Tidak ada data yang khusus, namun kekerasan oleh anak juga
semakin meningkat, dalam bentuk tawuran antara pelajar, bullying,
maupun keterlibatan anak dalam perkelahian antar anggota masyarakat.
Lingkungan sosial yang buruk dan terbatas atau tiadanya sarana dan ruang
bagi anak untuk mengaktualisasikan diri, merupakan salah satu
penyebabnya.
Di sisi lain, data Susenas menunjukkan bahwa anak yang menjadi
korban kejahatan selama tahun 2011 jumlahnya mencapai sekitar 385,5
ribu anak. Sekitar 61,3 persen (236,5 ribu anak) dari mereka yang menjadi
korban kejahatan selama tahun 2011 tinggal di perkotaan dan sekitar 38,7
persen lainnya (149 ribu anak) adalah anak perdesaan.

218

f. Upaya mengatasi masalah perlakuan salah dan penelantaran, akses ke


konseling dan bantuan pemulihan dan reintegrasi
Saat ini setiap Kantor Kepolisian Resor(Polres) sudah emmpunyai
Unit Pelayanan untuk Perempuan dan Anak. Jumlahnya 362(?), namun
belum bisa memberikan pelayanan yang memadai. Fasilitasnya masih
terbatas dan tenaga pelayanan masih terbatas baik jumlahmauun kualitas.
5. Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif
a. Lingkungan keluarga dan bimbingan orang tua
Pengasuhan yang dilakukan oleh orang tua belum optimal, bahkan
mungkin semakin rendah. Perubahan pola sosial ekonomi masyarakat dan
semakin besarnya urbanisasi dan migrasi dengan alasan ekonomi
meningkatnya jumlah keluarga inti dengan kedua orang tua bekerja. Hal
ini telah mempengaruhi pola pengasuhan pada anak.
Data yang ada menunjukkan bahwa keluarga yang mempunyai remaja,
hanya 4 persen yang aktif mengikuti program Bina Keluarga Remaja.
Pengalaman keluarga dalam pengasuhan menunjukkan bahwa 80% dari
mereka mempunyai pengalaman memberi makanan bergizi dan 63%
mempunyai pengalaman membawa anak untuk imunisasi. Pemberian ASI
relatif masih rendah (52 persen).
Pengalaman keluarga dalam pengasuhan dan tumbuh kembang jiwa/
mental/spiritual anak balita belum seperti yang diharapkan. Keluarga yang
mengajari ibadah besarnya 52 persen, sedangkan mengajari menghormati
orang lain hanya 30. Pengalaman keluarga dalam tumbuh kembang sosial
anak balita yang menonjol adalah pemenuhan kebutuhan dasar anak, yaitu
menyekolahkan anak yang besarnya 84 persen.
Pengalaman pengasuhan dan tumbuh kembang jiwa anak remaja terutama
dalam menanamkan moral agama yang besarnya78 persen. sedangkan
aspek lain seperti komunikasi efektif dengan remaja masih kurang 36
persen. Pengalaman pengasuhan pada aspek jiwa hampir tidak mengalami
perubahan bila dibanding tahun 2011; Pengalaman menyekolahkan ada
pada 84 persen keluarga. Pengalaman dalam pemcahan masalah dan

219

penggalian bakat masih rendah yaitu 16 persen dan 22 persen; Pembinaan


dari petugas juga masih rendah.(BKKBN, 2012)
b. Tanggung jawab orang tua, bantuan kepada orang tua dan
penyediaan layanan perawatan anak
Sebanyak 10% anak tidak tinggal dengan Ibu kandung mereka. Hal ini
juga memberikan tingkat kerentanan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan mereka yang tinggal dengan ibu kandung mereka.
c. Anak terpisah dari orang tua
Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) sejak 2009 di 33
Provinsi. PKSA telah menjadi program prioritas nasional sejak 2010.
PKSA pada tahun 2012 telah menjangkau 171.000 anak dengan rincian
untuk Balita: 7.610 anak, Anak Terlantar: 137.242 anak, Anak Jalanan:
8.415 anak, Anak Berhadapan dengan Hukum: 1.040 anak, Anak dengan
Kecacatan: 1.765 anak, dan Anak yang Membutuhkan Perlindungan
Khusus: 3.546 anak.
Panti Sosial Asuhan Anak lebih berfungsi sebagai lembaga yang
menyediakan akses pendidikan kepada anak daripada sebagai lembaga
alternatif terakhir pengasuhan anak yang tidak dapat diasuh oleh orang tua
atau keluarganya. Anak-anak yang tinggal di panti umumnya (90%) masih
memiliki kedua orang tua dan dikirim ke panti dengan alasan utama untuk
melanjutkan pendidikan. Berdasarkan tujuan panti ke arah pendidikan,
anak-anak harus tinggal lama di panti sampai lulus SLTA dan harus
mengikuti pembinaan daripada pengasuhan yang seharusnya mereka
terima. Pengurus panti tidak memiliki pengetahuan memadai tentang
situasi anak yang seharusnya diasuh di dalam panti, dan pengasuhan yang
idealnya diterima anak.

d. Adopsi anak
Masih banyak masalah yang berkaitan dengan adopsi. Banyak
keluarga miskin yang kemudian berdampak pada anak berupa kondisi yang
tidak menguntungkan, dimana banyak ditemui anak jalanan, anak terlantar,
220

yatim piatu dan anak disabilitas dengan berbagai permasalahan mereka


yang

kompleks

yang

memerlukan

penanganan,

pembinaan

dan

perlindungan, baik dari pihak pemerintah maupun masyarakat.


Banyaknya penyimpangan yang terjadi dalam masyarakat atas
pelaksanaan pengangkatan anak, yaitu pengangkatan anak dilakukan tanpa
melalui prosedur yang benar, pemalsuan data, perdagangan anak, jual beli
organ tubuh anak.
e. Tanggung jawab orang tua, bantuan kepada orang tua dan
penyediaan layanan perawatan anak
Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat ldan ingkungan
kehidupan yang paling intim bagi anak menjadi sumber kekuatan utama
untuk menghadapi tantangan dan perubahan. Sebagian besar proses
tumbuh kembang anak didukung oleh keluarga dari semua aspek. Sebagian
besar pemenuhan Hak Anak dilakukan oleh keluarga. Kualitas keluarga
kemudian

menjadi

kunci utama untuk

mewujudkan

anak yang

berukualitas. Walaupun sedemikian pentingnya, faktor keluarga nyaris


dilupakan

dalam

tataran

kebijakan,

manajemen

maupun

tingkat

operasional pelaksanaan KHA.


Pembangunan keluarga di Indonesia mengacu pada Undang-Undang
Nomor 52 tahun 2009 tentang perkembangan kependudukan dan
pembangunan keluarga. Walaupun sudah diterbitkan sejak 4 tahun yang
lalu, Undang-Undang ini praktis belum digunakan sebagai acuan dalam
pembangunan keluarga. Di dalam Undang-Undang ini disebutkan bahwa
pembangunan keluarga ditujukan untuk membangun ketahanan dan
kesejahteraan keluarga. Konsep ketahanan keluarga baru diformulasikan
pada tahun 2013 melalui Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak, yang merupakan satu-satunya acuan pelaksanaan
tentang pembangunan keluarga sampai akhir tahun 2013.

Di dalam

peraturan ini, ketahanan keluarga dibangun dari 5 komponen yaitu:


komponen landasan legal, keutuhan keluarga dan kesetaraan gender;
komponen ketahanan fisik; komponen ketahanan ekonomi; komponen
ketahanan sosial psikologis; dan komponen ketahanan sosial budaya.

221

Belum ada gambaran tentang situasi ketahanan keluarga di Indonesia yang


jumlahnya lebih dari 60 juta, namun proxi dari situasi komponenkomponennya menunjukkan bahwa ketahanan keluarga masih harus
ditingkatkan lebih jauh lagi. Dalam konteks pembangunan anak, maka
komponen pendukung utama ini memerlukan perhatian yang besar.
Kelemahan pada komponen keluarga dalam proses tumbuh kembang anak,
akan memberi dampak buruk secara keseluruhan.
Beberapa indikator dari komponen ketahanan keluarga dapat
digambarkan sebagai berikut:
Baru 40% keluarga yang mempunyai Akta Nikah
Baru 59% Balita yang mempunyai Akta Kelahiran
2,8% bercerai
2,1 % ditinggal mati
15% keluarga dikepalai oleh perempuan
10% anak tidak tinggal dengan ibu kandung
Pendidikan rata-rata orang tua adalah SMP atau kurang
Pendapatan perkapita per tahun hanya Rp. 638.000.
40% keluarga tidak mempunyai rumah sendiri
60-69% keluarga tidak memepunyai asuransi kesehatan
Selain pendidikan dan sebagian pelayanan kesehatan yang disediakan oleh
pemerintah, semua pemenuhan hak anak dilakukan oleh keluarga. Dengan
demikian, komponen keluarga dalam KHA patut mendapat prosi yang
memadai dalam keseluruhan upaya pembangunan anak.
Walaupun sudah banyak kegiatan pembangunan dilakukan dengan sasaran
keluarga, namun belum dilakukan dalam suatu konsep tertentu, dilakukan
secara terpisah-pisah dan tidak dilakukan dalam koordinasi yang baik.
Selain itu Outcome dari kegiatan pembangunan yang sasarannya keluarga,
belum ditetapkan, sehingga semua kegiatan tidak dapat diukur dampaknya
secara jelas.
6. Disabilitas, Kesehatan dan Kesejahteraan Dasar
a. Kelangsungan hidup dan perkembangan
Indikator-indikator kesejahteraan anak masih menunjukkan angka
yang memprihatinkan.Dilihat dari sisi kesehatan, angka kematian bayi
(AKB) pada tahun 2012 sebesar 32 kematian bayi per 1.000 kelahiran

222

hidup. Angka tersebut jauh dari target MDGs (23 kematian bayi per
1.000 kelahiran hidup) yang ingin dicapai pada tahun 2015. Sementara
pada tahun yang sama, Angka Kematian Balita adalah sebesar 44 per
1.000 kelahiran hidup, sedangkan target MDGs pada tahun 2015 adalah
23 kematian balita per 1.000 kelahiran hidup.
Indikator lainnya adalah status gizi anak, dimana berdasarkan hasil
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010, prevalensi Balita Kurang Gizi
(BKG) pada tahun 2010 adalah sebesar 17,9 persen yang terdiri dari 4,9
persen gizi buruk dan 13 persen gizi kurang. Walaupun terus menurun,
AKB di indonesia masih tergolong tinggi jika dibandingkan dengan
negara-negara anggota ASEAN, yaitu 4,6 kali lebih tinggi dari Malaysia,
1,3 kali lebih tinggi dari Filipina, dan 1,8 kali lebih tinggi dari Thailand.
Indonesia menduduki ranking ke-6 tertinggi setelah Singapura (3 per
1.000), Brunei Darussalam (8 per 1.000), Malaysia (10 per 1.000),
Vietnam (18 per 1.000), dan Thailand (20 per 1.000).
Salah satu faktor yang memengaruhi kesehatan balita adalah makanan
yang dikonsumsi sejak lahir.Makanan yang terbaik untuk bayi adalah
ASI. Persentase balita yang mendapat ASI di Indonesia sudah cukup
tinggi, yaitu sebesar 94,94 persen dari seluruh balita di Indonesia. Ratarata lama pemberian ASI adalah sekitar 16 bulan.Rata-rata lama
pemberian ASI tanpa makanan tambahan yang hanya sekitar 4 bulan
menunjukkan

masih

adanya

Balita

yang

tidak

mendapat ASI

ekslusif.Pemberian ASI ekslusif di Indonesia masih cukup rendah. Balita


berumur 2-4 tahun yang memiliki riwayat mendapat ASI eksklusif
selama 6 bulan hanya sebesar 40,25 persen.
b. Pelayanan kesehatan
Cakupan kunjungan neonatal pertama (KN1) Tahun 2012 hanya
33,59%. Cakupan pelayanan kesehatan bayi tahun 2012 adalah 88,07%.
Cakupan pelayanan kesehatan balita tahun 2012 adalah 70,26%.
Persentase ibu bersalin yang ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih
(cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan (PN) pada tahun 2012 adalah

223

88,64%, sedangkan persentase ibu hamil yang mendapatkan pelayanan


antenatal (K4) tahun 2012 besarnya 90,18%.
Balita yang mendapatkan imunisasi pada tahun 2011 yaitu 94,32
persen, dengan rincian bahwa di perkotaan 96,20 persen dan perdesaan
92,49 persen. Balita berumur 1-4 tahun yang mendapatkan imunisasi
lengkap 65,25 persen dengan rincian bahwa di perkotaan 68,40 persen
dan perdesaan 62,20 persen.
Disamping jangkauan pelayanan yang belum menyeluruh dan
masih adanya disparitas wilayah, pengetahuan masyarakat dan para ibu
khususnya masih rendah. Pelayanan rujukan untuk kasus-kasus
spesialistik juga belum memadai, misalnya pada penyakit kanker pada
anak.
Hal lain yang menjadi perhatian adalah pelayanan bagi anak
dengan disabilitas yang masih jauh dar memadai, terbatasnya atau
tiadanya pelayanan bagi anak di Lembaga Pemasyarakatan dan Pantipanti Sosial.
c. Kemampuan pelayanan
Kemampuan pelayanan di banyak tempat masih terbatas, khususnya di
daerah Indonesia bagian timur, daerah terpencil dan daerah perbatasan.
d. Makanan jajanan sekolah
Masih banyak makanan jananan sekolah yangberbahaya karen
amengandung zat beracun, pengawet makanan dan kebersihan yang
buruk. Mengingat jumlah anak sekolah sangat besar, maka jumlah anak
yang terpapar pada makanan jajanan yang berbahaya juga angat besar.
Paparan terjadi secara terus menerus selama anak dalam masa sekolah.
Pengetahuan para penjual, pengawasan yang tidak memadai dan
pengethaun anak tentang makanan jajanan yang baik juga terbatas.
e. Hak kesehatan reproduksi remaja
Pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi masih rendah.
Sumber informasi yang memadai juga terbatas.

224

Sebagian besar remaja yang gagal memenuhi tugas perkembangannya


disebabkan oleh faktor pola asuh. Orang tua tidak memberikan
bimbingan yang memadai sehingga mereka terpapar pada resiko seperti,
proses pembelajaran di sekolah yang tidak optimal, faktor lingkungan
dan kesehatan terutama permasalahan gangguan gizi, HIV/AIDS,
narkoba, hingga kriminalitas seksual. Data Komnas Perlindungan Anak
tahun 2008 menyebutkan bahwa 97 persen remaja pernah menonton film
porno, 94 persen pernah berciuman, meraba-raba, oral seks, 63 persen
tidak perawan dan

21 persen pernah aborsi. Separuh penderita

HIV/AIDS tertular pada usia remaja.


Perkawinan pada anak merupakan salah satu indikator yang
menunjukkan

ketidak-sejahteraan

anak.

Anak

yang

mengalami

perkawinan dini akan kehilangan kesempatan untuk tumbuh dan


berkembang secara maksimal dan rentan untuk mengalami berbagai
masalah. Secara nasional, sebesar 1,62 persen anak perempuan berumur
10-17 tahun di Indonesia berstatus kawin dan pernah kawin. Dari angka
itu, 1,54 persen di antaranya berstatus kawin dan 0,08 persen berstatus
cerai(cerai hidup dan cerai mati). Angka putus sekolah akibat perkawinan
pun cukup tinggi yaitu sebesar 67,29 persen.
f. Tindakan tradisional yang berbahaya
Genital

mutilation

diindikasikan

masih

terjadi.

Tindakan

ini

membahayakan bagi kesehatan anak dan bertentangan dengan HAM.

g. Tindakan perlindungan terhadap pemakaian zat


Dari hasil survei tahun 2011 menunjukkan 4% pelajar/mahasiswa
pernah menyalah-gunakan narkoba, 3%

menyalahgunakan dalam

setahun terakhir. menyalahgunakan dalam setahun terakhir. Angka


Penyalah-gunaan narkoba tahun 2011, menunjukkan bahwa mereka yang
mencoba menggunakan adalah 1.9%, mereka yang mengunakan secara

225

teratur besarnya 0.8%. Pecandu bukan suntik besarnya 0.4% sedangkan


pecandu suntik besarnya 0,3% (BNN, 2011).
h. Pengasuhan pada anak yang ibunya berada di tahanan
Pengasuhan dan perawatan anak yang ibunya menjadi tahanan
masih menjadi masalah. Lebih dari 40 % perempuan yang dipenjara
memiliki anak. Setidaknya 20 % perempuan yang dipenjara menyatakan
bahwa pengasuhan dan perawatan anak diserahkan kepada orang tua
mereka dan 10 % dari meerka yang dipenjara bercerai dengan ayah dari
anak-anaknya. Setidaknya terdapat sekitar 2 % perempuan yang
dipenjara menyatakan memiliki pengalaman melahirkan anak dalam
penjara dan sekitar 2 % dari mereka

yang dipenjara memiliki

pengalaman merawat anak dalam penjara. Lebih dari 40 % perempuan


yang dipenjara merahasiakan keberadaannya didalam penjara (Mustofa,
dkk.,2009).
Kondisi tahanan jauh dari baik untuk mengasuh dan merawat anak.
Hambatan utama yang dihadapi perempuan yang dipenjara dalam
menjalani relasi adalah biaya, waktu dan jarak. Jawaban ini merupakan
jawaban yang saling terkait, yakni mereka merasa bahwa kendala jarak
mengakibatan biaya tinggi dan waktu yang lama agar mereka tetap dapat
berkontak dan berkomunikasi dengan anak-anak. Perempuan yang
dipenjara dan memiliki anak-anak di luar Lapas umumnya mengalami
rasa kehilangan yang amat sangat akibat putus kontak dan kehilangan
komunikasi dangan anak-anak mereka.

i. Jaminan perawatan
Jaminan kesehatan bagi keluarga miskin masih menghadapi
kendala. Disamping kendala administrasi, pelayanan juga masih
menghadapi kendala ketidak tepatan sasaran. Mereka yang bukan
keluarga miskin seingkali tidak mendapatkan haknya sementara mereka

226

yang tidka berhak dapat menerima pelayanan ini. Data keluarga yang
menjadi sasaran pelayanan tidak akurat.
Secara

nasional

pemanfaatan

Jamkesmas

untuk

pelayanan

persalinan oleh tenaga kesehatan dan kunjungan bayi (KN) masih sangat
rendah (1%), sedangkan untuk kunjungan ibu hamil K4 sedikit lebih baik
(4,8%).
j. Standar hidup, termasuk bantuan
Persentase penduduk yang memiliki akses terhadap air minum
berkualitas 2012 adalah 41,66%. Persentase kualitas air minum yang
memenuhi syarat tahun 2012 adalah 95,39%. Masih banyak keluarga
yang tidak mempunyai akses pada sumber air bersih dan juga sanitasi.
Studi Bank Dunia memperkirakan bahwa setiap tahun, rumah tangga
tanpa fasilitas sanitasi yang layak di Jakarta dan di seluruh Indonesia
membuang masing-masing sebesar 260.731 ton dan 6,4 juta ton kotoran
manusia ke pengumpulan-pengumpulan air tanpa diolah.

Selain itu

pengetahuan masyarakat tentang kebersihan juga rendah.


k. Data terpilah menurut disabilitas anak
Data terpilah untuk melihat disabilitas pada anak sudah ada, namun
belum lengkap dan untu keperluan penjangkauan pelayanan masih
diperlukan data pada tingkat akar rumput. Data yang ada sudah
menunjukkan persentase anak dengan kesulitas melihat, mendengar,
berjalan, mengingat, mengurus diri sendiri.
l. Pelayanan untuk anak dengan disabilitas
Prevalensi disabilitas di Indonesia berkisar diantara 10- 15 persen.
Datadari Riset Kesehatan Dasar menunjukkan bahwa tingkat prevalensi
untuk disabilitas sedang dan berat adalah sekitar 11 persen. Orang-orang
dengan

disabilitas

hanya

66

persen

kemungkinannya

menyelesaikan pendidikan dasar dan mereka menghadapi

untuk

hambatan

untuk memperoleh pendidikan menengah. Lebih jauh, 90% dari 1,5 juta
anak dengan disabilitas justru tidak dapat menikmati pendidikan.
Pendidikan konvensional melihat bahwa masalah disabilitas sebagai

227

hambatan siswa untuk memperoleh pencapaian sebagaimana siswa


normal.
Pada kebanyakan kasus, siswa yang berasal dari sekolah khusus
menghadapi

perlakuan

diskriminatif

karena

pencapaian/

tingkat

pendidikannya direndahkan dan dibedakan. Salah satunya adalah dengan


Ijazah yang mereka miliki tidak dapat digunakan untuk melamar
pekerjaan. (Irwanto, 2010:21)
Penyandang disabilitas kurang kemungkinan untuk dipekerjakan.
Mereka lebih mungkin bekerja sendiri, meskipun mereka melaporkan
kesulitan dalam memperoleh akses kredit untuk membangun bisnis.
Tidak ada upaya sistematis pemerintah untuk membuat program
pelatihan yang efektif atau untuk menegakkan hukum di Indonesia
tentang penyandang disabilitas dan pekerjaan. Banyak orang mengalami
kurangnya pelatihan, pendidikan, dan akses. Orang cacat juga mengalami
hambatan

untuk

berpartisipasi

dalam

kehidupan

keluarga

dan

masyarakat. Sebanyak 30% sampai 50% lebih para penyandang disablitas


mungkin untuk menjadi miskin dibandingkan orang-orang nondisabilitas, terutama di daerah perkotaan. Rumah tangga dengan anggota
keluarga penyandang disabiltas memiliki tingkat kemiskinan 12,4 persen
di daerah perkotaan dan 14,0 persen di pedesaan, dibandingkan dengan
8,2 persen dan 11,4 persen untuk rumah tangga dengan tidak ada anggota
penyandang cacat. (Suprobo, dkk.:2013).
7. Pendidikan, rekreasi dan kegiatan budaya
Dari sisi pendidikan, hasil Susenas 2011 menunjukkan bahwa anak usia
5-17 tahun yang berstatus sekolah sebesar 80,29 persen. Dan ternyata pada
kelompok usia tersebut terdapat 7,36 persen yang tidak bersekolah lagi dan
yang belum pernah sekolah sebesar 12,35 persen. Angka putus sekolah juga
masih tinggi. Pada tahun 2011, persentase penduduk usia 7-17 tahun yang
pernah sekolah dengan status putus sekolah di Indonesia sebesar 2,91 persen,
artinya dari setiap 1000 orang penduduk usia 7-17 tahun terdapat 29 anak
yang putus sekolah. Angka ini mencerminkan anak-anak usia sekolah yang

228

sudah tidak bersekolah lagi atau yang tidak menamatkan suatu jenjang
pendidikan tertentu, dan sering digunakan sebagai salah satu indikator
keberhasilan pembangunan di bidang pendidikan.
Walaupun partisipasi anak dalam pendidikan sudah tinggi, terutama
pada pendidikan sekolah dasar, namun masih banyak anak yang mengalami
hambatan sosial-ekonomi untuk bersekolah. Anak putus sekolah di perdesaan
(3,51 persen) dibandingkan di perkotaan (2,28 persen). Sementara itu, putus
sekolah lebih banyak dialami oleh anak laki-laki (3,60 persen) dibanding anak
perempuan (2,17 persen). Pola ini terjadi baik di daerah perkotaan maupun
perdesaan.
Putus sekolah masih ada yang disebabkan oleh babagai masalah,
terutama alasan ketidak-mampuan ekonomi keluarga mereka.

Fasilitas

teknologi informasi atau internet di sekolah juga maish terbatas. Salah satu
sebabnya adalah karena keterbatasan aliran listrik dan jaringan internet.
Banyak guru masih belum mempunyai sertifikat mengajar. Ratio murid
dan guru secara nasional sudah baik, namun karena keberadaan guru tidak
merata, di banyak tempat ratio guru:murid masih rendah. Di sisi lain,
pelayanan pendidikan belum dapat memenuhi kebutuhan anak dengan
disabilitas. Kekerasan masih tinggi di sekolah, baik oleh guru pada murid
maupun di antara para murid dalam bentuk tawuran atau bullying. Cara
belajar mengajar juga belum memenuhi ketentuan KHA. Keamanan di jalur
sekolah juga belum mempunyai jaminan, sementara sekolah dan masdrasah
belum ramah anak.
Pendidikan keterampilan bagi mereka yang putus sekolah juga masih
terbatas. Pendidikan HAM juga masih terbatas, demikian pula pendidikan
kewarganegaraan, khususnya untuk anak-anak menjelang masuknya merka
pada usia untuk dapat memilih dalam pemilihan umum. Pendidikan untuk
anak yang hamil praktis belum ada.
a. Hak budaya
Sebanyak 78% bahasa di Indonesia sudah dipetakan. Sementara itu,
persentase guru bahasa Indonesiayang memiliki kemahiran berbahasa
Indonesia sesuai standar nasional baru 10%. Tidak semua provinsi atau
daerah dapat menangkap siaran melalui media elektronik dengan baik.

229

Frekuensi penayangan terbatas, demikian pula akses dan ketersediaan


bahan kebahasaan dan kesastraan. Jumlah museum dan isinya juga
terbatas untuk dapat digunakan sebagai sumber penggalian budaya.
b. Sarana bermain
Sarana bermain dan pengembangan kesenian masih harus ditambah
jumlahnya.Demikian pula lahan untk bermain, terutama di daerah
perkotaan.
c. Pengembangan anak usia dini
Jangkauan pengembangan anak usia dini masih terbatas. Untuk
kelompok umur 0-6 tahun, partisipasi anak yang mengikuti PAUD adalah
sebanyak 14,08 persen. Pada kelompok umur 3-4 tahun, partisipasinya
sedikit membesar menjadi 15,90 persen. Pada kelompok umur 5-6 tahun,
partisipasinya meningkat dua kali lipat menjadi 33,35 persen. Hal ini
menandakan bahwa partisipasi PAUD lebih banyak diisi oleh kelompok
umur Taman Kanak-kanak (TK). Selain jangkauan yang masih rendah,
kualitas pelayanannya juga masih harus ditingkatkan lebih jauh lagi.
8. Perlindungan khusus
Sesuai dengan laporan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, jumlah anak
nakal atau anak pelaku tindak pidana di seluruh Indonesia pada tahun 2011
mencapai sebanyak 54.712 anak. Dari jumlah tersebut, sebanyak 51.400 anak
(94,0 persen) masih berstatus sebagai tahanan dan sebanyak 3.312 anak (6,0
persen) lainnya telah berstatus narapidana atau anak didik. Jumlah anak nakal
seluruhnya berjumlah sebanyak 54.712 anak yang mencakup sebanyak
52.276 anak laki-laki (sekitar 95,55 persen) dan sebanyak 2.436 anak
perempuan (4, 45 persen). Bagi anak yang berhadapan dengan hukum,
pelayanannya masih jauh dari memadai. Selain itu mereka juga mendapatkan
stigma.
Jumlah pekerja anak masih tinggi, menunjukkan masih belum
teratasinya permasalahan yang terkait dengan pekerja anak. Hasil Survei
Pekerja Anak BPS dan ILO pada tahun 2009 menunjukkan bahwa terdapat
sekitar 4,1 juta anak usia 5-17 tahun yang bekerja. Sedangkan berdasarkan

230

hasil Sakernas Agustus 2011, terdapat 3,4 juta anak berumur 10-17 tahun
pada 33 provinsi di Indonesia yang bekerja. Di lain pihak, gambaran situasi
ketenaga-kerjaan ini juga menunjukkan bahwa upaya perlindungan anak
terhadap berbagai tindakan eksploitasi untuk mempekerjakan anak belum
maksimal. Anak-anak yang mengalami eksploitasi ekonomi, penanganannya
praktis belum mencukupi.
Di bagian eksploitasi seksual anak, pemerintah mengakui tidak adanya
data akurat, namun diperkirakan dari semua kasus eksploitasi seksual sekitar
60 persen korbannya adalah anak-anak.Mayoritas korbannya adalah
perempuan disamping anak laki-laki.Mengenai eksploitasi seksual komersial
anak dilaporkan bahwa semua bentuk eksploitasi komersial anak dijumpai di
Indonesia seperti anak yang dilacurkan, pelacuran anak, perdagangan anak
untuk tujuan seksual, dan pornografi anak.Diperkirakan sekitar 30 persen dari
pekerja seksual di Indonesia yang jumlahnya 30.000-70.000 adalah anakanak.Undang-undang yang ada masih dinilai kurang efektif akibatnya anakanak korban eksploitasi seksual sering tidak mendapatkan perlidungan atau
bantuan pemulihan yang efektif.
Penanganan untuk anak-anak pengungsi belum memadai. Sementara itu
prosedur baku untuk pelayanan dan perlindungan bagi anak korban bencana
alam belum ada. Ana kyang berada di
Komunitas adat terpencil belum banyak terjangkau, sementara mereka
yang menjadi korban penggunaan anak dalam produksi dan perdagangan
narkotika dan psikotropika belum mendapat perhatian. Perdagangan anak dan
penculikan anak belum dapat diatasi dengan baik, bahkan strategi yang ada
tampaknya tidak efektif. Anak-anak yang berada pada situasi jalanan, belum
dapat terjangkau dengan baik.
Berdasarkan situasi anak yang telah diuraikan, ditelaah penyebab dari situasi
itu atau faktor yang mempengaruhinya. Penyebab terdiri dari 3 unsur yaitu unsur
kebijakan dan norma, unsur kelembagaan di pemerintahan dan masyarakat serta
unsur mekanisme kerja dan proses yang ada di masyarakat. Hal ini untuk
menggambarkan bahwa pemenuhan hak anak dilakukan oleh semua pihak baik

231

masyarakat maupun keluarga. Penyebab atau faktor yang mempengaruhi situasi


anak digambarkan dalam Tabel 12.
Tabel 12. Faktor-faktor penyebab kondisi situasional anak
Unsur
1. Kebijakan dan norma

2. Kelembagaan

3. Mekanisme kerja

Penyebab
1. Masih ada ketidak harmonisan peraturan perUndangUndangan
2. Belum adanya kebijakan pengintegrasian hak anak dan
pemenuhan hak anak ke dalam kebijakan, progam dan
kegiatan pembangunan
3. Kebijakan tematik belum lengkap termasuk kebijakan
peranserta masyarakat
4. Belum ada dan belum lengkapnya kebijakan
pemenuhan hak anak di K/L dan Daerah
5. Pemahaman tentang anak, hak anak dan pemenuhan
hak anak yang masih terbatas
6. Adanya budaya yang menghambat pemenuhan hak
anak
7. Partisipasi anak masih rendah
1. Kemampuan kelembagaan dalam pelayanan belum
optimal
2. Disparitas kemampuan pelayanan antar daerah
3. penegakan hukum belum optimal/masih lemah
4. Data anak belum tersedia secara memadai
5. kelembagaan keluarga belum mendapat perhatian
sebagai pelaku utama perlindungan anak
6. Lingkungan anak belum memadai untuk memberikan
dukungan bagi tumbuh kembang dan perlindungan
anak
1. Mekanisme kerja belum lengkap
2. Mekanisme pengawasan oleh masyarakat belum
terbangun
3. Tradisi gotong royong belum didayagunakan secara
optimal
4. Pada beberapa isu anak mencari sendiri jalan
penyelesaian masalahnya(Kespro)
5. Adanya hambatan prosedur dan perijinan

BAB V
STRATEGI IMPLEMENTASI PEMBERDAYAAN PEREMPUAN,
PEMBANGUNAN KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER
SERTA SISTEM PERLINDUNGAN ANAK
5.1. Strategi Implementasi Pemberdayaan Perempuan
Keberhasilan pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah, swasta maupun
masyarakat sangat tergantung dari partisipasi aktif seluruh penduduk, baik laki-laki

232

maupun perempuan.

Partisipasi ini dapat diperankan sebagai pelaku maupun sebagai

pemanfaat dari hasil pembangunan. Partisipasi ini hanya dapat dilakukan dengan baik
oleh penduduk jika penduduknya, baik laki-laki maupun perempuan memiliki kapabilitas
dan berkualitas. Pembangunan kapabilitas sumber daya manusia perempuan dan laki-laki
yang setara di bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi diharapkan akan dapat
bermanfaat di berbagai bidang pembangunan dan kehidupan.

Peran serta perempuan

yang memiliki kapabilitas, minimal akan dapat dijalankan melalui kemitraan yang
produktif dan sejajar dengan laki-laki dalam menjalankan pekerjaan maupun
penyelesaian persoalan-persoalan pembangunan bangsa yang meliputi bidang sosial
budaya, ekonomi, politik maupun teknologi (KPPPA, 2012a). Pembangunan kesetaraan
kapabilitas dan kualitas penduduk laki-laki dan perempuan dapat dilakukan melalui
strategi pemberdayaan perempuan. Pemberdayaan perempuan menurut CWD (2007)
adalah suatu upaya yang dapat memperbaiki atau meningkatkan rasa percaya diri, harga
diri dan juga kapabilitas untuk memilih dan menentukan sendiri arah kehidupannya, baik
untuk pribadi maupun komunitas, serta memiliki kekuatan kolektif untuk merubah relasi
gender terkait kesempatan, akses, partisipasi dan kontrol serta memperoleh manfaatnya
dalam ranah ekonomi, politik dan sosial budaya. Dalam kaitannya dengan pembangunan,
konsep pemberdayaan perempuan telah diadopsi pada Konferensi Beijing sebagai strategi
kunci dalam pembangunan yang diharapkan akan dapat membuka cakrawala baru dalam
pembangunan.
Namun, pemberdayaan perempuan merupakan perihal yang kompleks sehingga
memerlukan pendekatan yang holistik. Pendekatan holistik yang tidak parsial diharapkan
dapat secara efektif mencapai tujuan penurunan ketidaksetaraan gender.

Untuk itu,

diperlukan suatu proses pengkajian sistem untuk membangun konsep implementasi


pemberdayaan perempuan sehingga dapat dihasilkan model struktural yang memotret
kompleksitas sistem yang dikaji agar pemberdayaan perempuan dapat dilakkan secara
efektif. Teknik Interpretive Structural Modelling (ISM) dapat digunakan untuk keperluan
ini. ISM menganalisis elemen sistem dan menyajikannya dalam bentuk grafik setiap
hubungan langsung dari elemen sistem dan hierarkinya. Elemen sistem dapat berupa
objek kebijakan, tujuan program, dan lain-lain tergantung dari tujuan pemodelannya.
Teknik ISM memberikan basis analisis sehingga informasi yang dihasilkan sangat
berguna dalam formulasi kebijakan ataupun pengembangan strategi. Menurut Saxena,
Sushil, and Vrat (1992) program dapat dibagi menjadi berbagai elemen. Sedangkan
hubungan langsung antar sub-elemen dalam elemen dapat bervariasi dalam suatu konteks
yang mengacu pada hubungan kontekstual antar sub-elemen yang dianalisis.

233

Berdasarkan hasil identifikasi yang telah dilakukan melalui

interview pakar

menggunakan teknik Interpretive Structural Modelling (ISM), diperoleh 3 (tiga) elemen


untuk penyusunan konsep implementasi pemberdayaan perempuan yang terdiri dari:
1.

Institusi yang terlibat dalam pemberdayaan perempuan

2.

Kendala utama dalam upaya pemberdayaan perempuan

3.

Strategi implementasi dalam upaya pemberdayaan perempuan

Ketiga elemen tersebut masing-masing selanjutnya diuraikan menjadi sejumlah subelemen. Untuk setiap elemen dilakukan pembagian menjadi sejumlah sub-elemen sampai
memadai. Hasil strukturisasi sub-elemen dalam suatu elemen akan diuraikan sebagai
berikut dibawah ini.
a. Institusi yang terlibat dalam pelaksanaan pemberdayaan perempuan
Elemen institusi yang terlibat dalam pemberdayaan perempuan terdiri dari 11
(sebelas) sub-elemen, yaitu: (1) Bappenas, (2) Kementerian Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak, (3) Kementerian Dalam Negeri, (4) Kementerian, (5) Lembaga
Non-kementerian/Non-struktural, (6) Pemerintah Daerah Provinsi, (7) DPRD Provinsi,
(8) Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota,

(9) Lembaga Swadaya Masyarakat,

(10) Swasta, (11) Masyarakat.


Hasil penilaian terhadap hubungan kontekstual institusi yang terlibat dalam
pelaksanaan pemberdayaan perempuan menunjukkan bahwa Bappenas (1), Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2), Kementerian Dalam Negeri (3),
Kementerian (4), Lembaga Non-kementerian/Non-struktural (5), dan Pemerintah Daerah
Provinsi (6) merupakan sub-elemen penentu pemberdayaan perempuan karena memiliki
daya pendorong yang paling besar dengan tingkat ketergantungan terhadap sub-elemen
institusi yang terlibat lainnya yang paling rendah. Gambar 20 menunjukkan klasifikasi
dari elemen institusi

yang terlibat dan terlihat posisi sub-elemen Bappenas (1),

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2), Kementerian Dalam


Negeri (3), Kementerian (4),

Lembaga Non-kementerian/Non-struktural (5), dan

Pemerintah Daerah Provinsi (6) berada pada kuadran IV (Independent).


menunjukkan

bahwa

daya

pendorong

sub-elemen

ini

tertinggi

dan

Hal ini
tingkat

ketergantungannya terendah dibanding dengan sub-elemen lainnya. Hal ini berarti juga
bahwa keenam sub-elemen ini merupakan sub-elemen pendukung untuk seluruh subelemen lainnya dan bukan merupakan akibat dari sub-elemen institusi yang terlibat
lainnya.

234

Sedangkan sub-elemen DPRD Provinsi (7), Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota


(8), Lembaga Swadaya Masyarakat (9), Swasta (10), dan Masyarakat (11) terletak
dalam kuadran II (Dependent) yang berarti bahwa sub-elemen tersebut sangat tergantung
dengan sub-elemen lainnya dalam mendukung pemberdayaan perempuan. Sub-elemen
Masyarakat (11) merupakan sub-elemen yang memiliki tingkat ketergantungan yang
paling besar dengan daya dorong yang paling rendah.

Gambar 20. Klasifikasi elemen institusi yang terlibat dalam pelaksanaan

Keluaran model struktur hierarki sub-elemen pada elemen institusi yang terlibat
dalam pelaksanaan pemberdayaan perempuan seperti yang disajikan pada Gambar 21
memperjelas hubungan sub-elemen kunci yang berada pada level tertinggi dibanding
dengan sub-elemen lainnya yang berada pada level yang lebih rendah. Gambar tersebut
memberikan arti bahwa sub-elemen yang berada pada level yang lebih tinggi
mempengaruhi sub-elemen yang berada pada level yang lebih rendah.
memperlihatkan bahwa sub-elemen Bappenas (1),

Gambar 21

Kementerian Pemberdayaan

Perempuan dan Perlindungan Anak (2), dan Kementerian Dalam Negeri (3) berada pada

235

level 7. Hal ini berarti bahwa ketiga sub-elemen ini menjadi elemen kunci dan pendorong
utama yang mempengaruhi keberhasilan pemberdayaan perempuan pada tingkat nasional
dan daerah. Sedangkan sub-elemen Kementerian (4), Lembaga Non-kementerian/Nonstruktural (5), dan Pemerintah Daerah Provinsi (6) terletak pada level 4 sampai 6
meskipun berada pada kuadran II (Dependent), hal ini berarti bahwa sub-elemen tersebut
masih sangat tergantung dengan sub-elemen kunci dalam mendukung pemberdayaan
perempuan. Sub-elemen DPRD Provinsi (7), Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota (8),
Lembaga Swadaya Masyarakat (9), Swasta (10), dan Masyarakat (11) yang berada pada
level 1, 2, dan 3 dalam kerangka pemberdayaan perempuan kinerjanya sangat dipengaruhi
dan bergantung pada Bappenas (1),

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan

Perlindungan Anak (2), Kementerian Dalam Negeri (3), Kementerian (4), Lembaga
Non-kementerian/Non-struktural (5), dan Pemerintah Daerah Provinsi (6).

Gambar 21. Level hierarki dan hubungan dalam elemen institusi yang terlibat

236

b. Kendala Utama Pemberdayaan perempuan


Sub-elemen dalam elemen kendala utama dalam pemberdayaan perempuan terdiri
dari: (1) keterbatasan sumber daya keuangan, (2) kurangnya pemahaman PUG dan
pemberdayaan perempuan di daerah,

(3) isu pemberdayaan perempuan dan kesetaraan

gender belum menjadi prioritas, (4) komitmen politik dan kepemimpinan dalam PUG
masih kurang, (5) kurang memadainya sumber daya manusia di daerah, (6) kesulitan
mensinkronkan dengan program SKPD lain, (7) dampak sosialisasi dan advokasi PUG di
daerah belum optimal, (8) kurang berfungsinya mekanisme dan koordinasi pemerintah
daerah, (9) kurangnya pelibatan stakeholder.
Hasil penilaian hubungan kontekstual kendala utama pemberdayaan perempuan
terlihat bahwa sub-elemen komitmen politik dan kepemimpinan dalam PUG masih
kurang (4) dan kurang berfungsinya mekanisme dan koordinasi pemerintah daerah (8)
menjadi elemen kunci dari elemen kendala utama karena mempunyai daya pendorong
paling besar dan tingkat ketergantungan yang paling rendah. Bersama-sama dengan subelemen kurangnya pemahaman PUG dan pemberdayaan perempuan di daerah (2) dan isu
pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender belum menjadi prioritas (3),
keempatnya merupakan sub-elemen penentu. Hal ini memberikan makna bahwa dalam
pemberdayaan perempuan, kendala utama yang paling menentukan keberhasilannya
adalah penyelesaian keempat sub-elemen kendala utama tersebut diatas. Sedangkan subelemen yang memiliki daya pendorong yang paling rendah dengan tingkat
ketergantungan yang tertinggi adalah kurang memadainya sumber daya manusia di
daerah (5) dan kesulitan mensinkronkan dengan program SKPD lain (6). Hasil temuan
ini mengindikasikan bahwa untuk mendorong pemberdayaan perempuan harus diberikan
perhatian yang lebih fokus kepada peningkatan komitmen politik dan kepemimpinan
PUG di daerah dan peningkatan berfungsinya mekanisme dan koordinasi pemerintah
daerah akan dapat mensinkronkan dengan program SKPD dan mengurangi dampak
kurang memadainya sumber daya manusia di daerah sehingga pada akhirnya akan dapat
membuahkan efektifitas pemberdayaan perempuan.
Hasil analisis berdasarkan daya pendorong dan tingkat ketergantungan sub-elemen,
maka pengelompokkan kesembilan sub-elemen kendala utama dapat diklasifikasikan
seperti tertera pada Gambar 22. Gambar 22 menunjukkan bahwa sub-elemen komitmen
politik dan kepemimpinan dalam PUG masih kurang (4), kurang berfungsinya
mekanisme dan koordinasi pemerintah daerah (8), kurangnya pemahaman PUG dan

237

pemberdayaan perempuan di daerah (2) dan isu pemberdayaan perempuan dan kesetaraan
gender belum menjadi prioritas (3) masuk ke dalam kuadran IV (Independent). Hal ini
memberikan

petunjuk

bahwa

keempat

sub-elemen

tersebut

memiliki

tingkat

ketergantungan yang rendah dan kekuatan penggerak yang besar terhadap keberhasilan
pemberdayaan perempuan jika kendala utama tersebut diatasi. Sub-elemen keterbatasan
sumber daya keuangan (1), dampak sosialisasi dan advokasi PUG di daerah belum
optimal (7) dan kurangnya pelibatan stakeholder (9) masuk kedalam kuadran III
(Linkage). Hal ini menunjukkan bahwa ketiga sub-elemen tersebut memiliki daya
pendorong yang besar sekaligus memiliki ketergantungan yang tinggi pada sub-elemen
lain yang berada di kuadran IV. Sedangkan sub-elemen kurang memadainya sumber daya
manusia di daerah (5) dan kesulitan mensinkronkan dengan program SKPD lain (6)
masuk ke dalam kuadran II (Dependent). Sub-elemen kurang memadainya sumber daya
manusia di daerah (5) dan kesulitan mensinkronkan dengan program SKPD lain (6)
memiliki daya pendorong yang paling rendah dan tingkat ketergantungan yang paling
tinggi dibandingkan dengan sub-elemen lainnya.

Hal ini menunjukkan bahwa sub-

elemen kurang memadainya sumber daya manusia di daerah (5) dan kesulitan
mensinkronkan dengan program SKPD lain (6) memiliki tingkat ketergantungan yang
tinggi sehingga sangat dipengaruhi oleh sub-elemen kendala utama lainnya.

Gambar 22. Klasifikasi elemen kendala utama

238

Hubungan kontekstual dan level hierarki elemen kendala utama pemberdayaan


perempuan disajikan pada Gambar 23. Struktur hierarki tersebut menunjukkan bahwa
sub-elemen kurang memadainya sumber daya manusia di daerah (5) dan kesulitan
mensinkronkan dengan program SKPD lain (6) berada pada posisi terendah atau level 1.
Hal ini menunjukkan bahwa sub-elemen tersebut merupakan sub-elemen yang paling
dipengaruhi dan digerakkan oleh kekuatan penggerak dari sub-elemen lain yang berada di
level yang lebih tinggi.

Jika dipertimbangkan kekuatan daya dorong dan tingkat

ketergantungannya maka sub-elemen dalam level 1 dipengaruhi secara kuat dari subelemen yang berada pada level 2, 3, 4 dan 5. Sedangkan sub-elemen yang berada pada
level 5, yaitu komitmen politik dan kepemimpinan dalam PUG masih kurang (4), kurang
berfungsinya mekanisme dan koordinasi pemerintah daerah (8) peranannya saling
mendukung satu sama lain dan berpengaruh terhadap sub-elemen lain dalam
pemberdayaan perempuan.

239

Gambar 23. Level hierarki dan hubungan dalam elemen kendala utama

c. Strategi Implementasi
Elemen strategi implementasi pemberdayaan perempuan terdiri atas 7 sub-elemen,
yaitu (1) pemantapan kompetensi sumber daya manusia, (2) penguatan sistem data dan
informasi gender, (3) pemantapan pemahaman gender pengambil kebijakan,
pemantapan efektifitas dan pemanfaataan jejaring,
yang

berkualitas

dan

positif,

(6)

(4)

(5) peningkatan akses informasi

peningkatan

partisipasi

stakeholder,

(7)

peningkatansinergitas program antar K/L dan pemerintah daerah.


Hasil penilaian terhadap struktur atau hubungan kontekstual antar sub-elemen
strategi implementasi pemberdayaan perempuan dapat dilihat pada Gambar 24. Gambar
24 menunjukkan klasifikasi dari elemen strategi implementasi dan terlihat posisi subelemen pemantapan pemahaman gender pengambil kebijakan (3) dan peningkatan akses
informasi yang berkualitas dan positif (5) berada pada kuadran IV (independent). Hal ini
menunjukkan daya pendorong tertinggi dan ketergantungan terendah dari sub-elemen ini,
yang berarti juga bahwa sub-elemen pemantapan pemahaman gender pengambil
kebijakan (3) dan peningkatan akses informasi yang berkualitas dan positif (5)
merupakan sub-elemen pendukung untuk seluruh sub-elemen lainnya dan bukan
merupakan akibat dari sub-elemen kebutuhan lainnya.

240

Gambar 24. Klasifikasi elemen strategi implementasi berdasarkan tingkat ketergantungan


dan daya pendorongnya

Hasil pengelompokan sub-elemen berdasarkan daya pendorong dan ketergantungan


menunjukkan bahwa pemantapan pemahaman gender pengambil kebijakan (3)
merupakan sub-elemen yang paling menentukan.

Karena memiliki daya pendorong

paling tinggi dengan ketergantungan paling rendah maka sub-elemen ini dapat
memberikan pengaruh kuat bagi strategi implementasi lainnya agar pemberdayaan
perempuan dapat berhasil. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pemberdayaan
perempuan akan sulit untuk dapat direalisasikan tanpa adanya pemahaman gender
pengambil kebijakan yang mantap walaupun telah tersedia akses informasi, sistem data,
sumber daya yang kompeten, jejaring dan lain-lainnya.
Berdasarkan

hasil

klasifikasi

elemen

strategi

implementasi,

sub-elemen

pemantapan kompetensi sumber daya manusia (1), penguatan sistem data dan informasi
gender (2),

pemantapan efektifitas dan pemanfaataan jejaring (4) dan peningkatan

sinergitas program antar K/L dan pemerintah daerah (7) berada pada kuadran III
(Linkage). Hal ini memberikan makna bahwa keempat sub-elemen tersebut saling terkait
dalam mendukung pemberdayaan perempuan. Sedangkan sub-elemen peningkatan
partisipasi stakeholder (6)

terletak di kuadran II (Dependent), yang berarti sub-elemen

tersebut sangat tergantung dengan sub-elemen lainnya dan merupakan hasil dari subelemen yang lain dalam pemberdayaan perempuan.
Keluaran model struktur hierarki sub-elemen pada strategi implementasi
pemberdayaan perempuan yang disajikan pada Gambar 25 memperjelas hubungan subelemen kunci yang berada pada level tertinggi (level 4) dibanding dengan sub-elemen
lainnya yang berada pada level yang lebih rendah (level 3, 2 dan 1). Gambar tersebut
memberikan arti bahwa sub-elemen yang berada pada level yang lebih tinggi
mempengaruhi sub-elemen yang berada pada level yang lebih rendah.
Gambar 31 memperlihatkan bahwa sub-elemen pemantapan pemahaman gender
pengambil kebijakan (3) berada pada level 4, yang berarti bahwa sub-elemen ini menjadi
pendorong utama dan mempengaruhi sub-elemen pada level dibawahnya. Sedangkan
sub-elemen peningkatan partisipasi stakeholder (6) berada pada level 1, yang berarti
bahwa sub-elemen ini dipengaruhi oleh sub-elemen yang berada pada level 2, 3, dan 4.
Dengan demikian, intervensi kebijakan dan pengembangan kegiatan difokuskan pada
upaya pemantapan pemahaman gender pengambil kebijakan agar pemberdayaan
perempuan dapat berjalan efektif.
241

Gambar 25. Level hierarki dan hubungan dalam elemen kebutuhan

Pemberdayaan perempuan dilaksanakan sebagai suatu strategi pembangunan


mempunyai tujuan meningkatkan kesetaraan perempuan dan laki-laki, perluasan
pilihan kehidupan bagi perempuan secara individual serta meningkatkan kualitas
hidup perempuan yang berkeadilan sosial. Kemajuan pemberdayaan perempuan
mengacu pada tingkat kemajuan yang diperoleh perempuan setelah intervensi
pembangunan yang terkait dengan:
1. Aset
Konsep aset meliputi kemampuan ekonomi dalam artian material, seperti
penghasilan, kepemilikan lahan, peralatan maupun teknologi
2. Pengetahuan dan ketrampilan
Pengetahuan dan ketrampilan memungkinkan perempuan

untuk

memanfaatkan semua peluang dalam kehidupan.


3. Kemauan
Kemauan merujuk pada kekuatan psikologis perempuan yang mencerminkan
rasa percaya diri, kemandirian dan harga diri.
242

4. Kapasitas atau kemampuan


Kapasitas merujuk pada kemampuan seseorang untuk mengambil keputusan,
berpartisipasi untuk mempengaruhi dalam pengambilan keputusan ataupun
memiliki kontrol terhadap pengambil keputusan.
Masukan atau input untuk pemberdayaan perempuan meliputi sumber daya
ekonomi, sumber daya manusia dan sumber daya sosial politik.

Untuk

meningkatkan efektifitas proses pemberdayaan perempuan maka kerjasama dan


koordinasi dari institusi kunci yaitu Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional

dan Kementerian Dalam Negeri sangat

diperlukan dan menentukan. Di samping itu, sumber daya yang tersedia dan
upaya perlu difokuskan untuk menghilangkan kendala-kendala yang dapat
menghambat keberhasilan pemberdayaan perempuan.

Kendala-kendala yang

menentukan keberhasilan atau kegagalan pemberdayaan perempuan meliputi:


a. komitmen politik dan kepemimpinan pengarusutamaan gender yang masih
kurang,
b. kurang berfungsinya mekanisme dan koordinasi pemerintah daerah,
c. kurangnya pemahaman pengarusutamaan gender dan pemberdayaan
perempuan di daerah, dan
d. isu pemberdayaan perempuan belum menjadi prioritas.
Berdasarkan kondisi ini maka beberapa strategi implementasi pemberdayaan
perempuan dapat diterapkan yang mencakup:
a. Pemantapan pemahaman gender pengambil kebijakan baik di Kementerian
dan Lembaga maupun pemerintah daerah
b. Peningkatan akses informasi yang berkualitas dan positif bagi pihak-pihak
c.
d.
e.
f.

yang berkepentingan terhadap pemberdayaan perempuan.


Penguatan sistem data dan informasi
Pemantapan kelembagaan dan kompetensi sumber daya manusia
Pemantapan efektifitas dan pemanfaatan jejaring
Peningkatan sinergitas program antar K/L dan pemerintah daerah

5.2. Strategi Implementasi Pembangunan Kesetaraan Gender


Ketidaksetaraan gender di negara berkembang sudah umum dijumpai. Dalam
sejarahnya, taraf pendidikan penduduk senantiasa menjadi perhatian dan diupayakan
untuk selalu ditingkatkan jika negara berkembang berkeinginan untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonominya.

Namun, sangat sedikit yang memperhatikan dampak

ketidaksetaraan peningkatan pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi pada negara

243

berkembang. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kesetaraan gender


berdampak pada peningkatan efisiensi produksi.

Psacharopoulos (1994) menunjukkan

bahwa investasi pendidikan untuk anak perempuan memberikan keuntungan ekonomi


yang positif dan lebih tinggi dibandingkan investasi untuk anak laki-laki. Di samping itu,
kesetaraan gender juga mempengaruhi secara positif tujuan-tujuan pembangunan, seperti
penurunan angka kesuburan, peningkatan taraf pendidikan, dan derajat kesehatan anak
yang lebih baik. Oleh karena itu, pembangunan kesetaraan gender diharapkan dapat
menjadi alternatif solusi untuk mempercepat pembangunan sumber daya manusia dan
pembangunan ekonomi di Indonesia.
Pembangunan kapabilitas sumber daya manusia perempuan dan laki-laki yang
setara di bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi diharapkan akan dapat bermanfaat di
berbagai bidang pembangunan dan kehidupan.

Keberhasilan pembangunan yang

dilaksanakan oleh pemerintah, swasta maupun masyarakat sangat tergantung dari


partisipasi aktif seluruh penduduk, baik laki-laki maupun perempuan.

Partisipasi ini

dapat diperankan sebagai pelaku maupun sebagai pemanfaat dari hasil pembangunan.
Peran serta perempuan yang memiliki kapabilitas, minimal akan dapat dijalankan melalui
kemitraan yang produktif dan sejajar dengan laki-laki dalam menjalankan pekerjaan
maupun penyelesaian persoalan-persoalan pembangunan bangsa yang meliputi bidang
sosial budaya, ekonomi, politik maupun teknologi. Di samping itu, perempuan sangat
berperan dalam mempengaruhi kualitas generasi yang akan datang karena fungsi
reproduksi perempuan.

Perempuan yang berkualitas diharapkan akan melahirkan

generasi penerus yang juga berkualitas (KPPPA, 2012a).


Kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dalam berpartisipasi, mengakses dan
memperoleh manfaat pembangunan memunculkan keprihatinan yang mendalam.
Perempuan belum dapat optimal berpartisipasi dalam pembangunan karena masih
rendahnya kualitas sumber daya perempuan sehingga belum mampu bermitra sejajar
dengan laki-laki.

Di samping itu, ketidaksetaraan gender merupakan penyebab

kemiskinan perempuan dan sekaligus juga merupakan hambatan dalam upaya


pengentasan kemiskinan.

Oleh karena itu, kesenjangan gender harus dihilangkan.

Namun, peningkatan kesetaraan dan keadilan gender merupakan perihal yang kompleks
sehingga memerlukan pendekatan yang holistik. Pendekatan holistik yang tidak parsial
diharapkan dapat secara efektif mencapai tujuan penurunan ketidaksetaraan gender.
Untuk itu, diperlukan suatu proses pengkajian sistem peningkatan kesetaraan dan
keadilan gender sehingga dapat dihasilkan model struktural yang memotret kompleksitas
sistem yang dikaji. Teknik Interpretive Structural Modelling (ISM) dapat digunakan

244

untuk keperluan ini. ISM menganalisis elemen sistem dan menyajikannya dalam bentuk
grafik setiap hubungan langsung dari elemen sistem dan hierarkinya. Elemen sistem
dapat berupa objek kebijakan, tujuan program, dan lain-lain tergantung dari tujuan
pemodelannya.

Teknik ISM memberikan basis analisis sehingga informasi yang

dihasilkan sangat berguna dalam formulasi kebijakan ataupun pengembangan strategi.


Menurut Saxena, Sushil, and Vrat (1992) program dapat dibagi menjadi berbagai elemen,
antara lain:
1. Sektor masyarakat yang terpengaruh
2. Kebutuhan
3. Kendala utama
4. Perubahan yang dimungkinkan
5. Tujuan
6. Tolok ukur untuk menilai keberhasilan
7. Aktivitas yang dibutuhkan untuk perencanaan tindakan
8. Ukuran aktivitas untuk mengevaluasi hasil yang dicapai
9. Lembaga yang terlibat
Sedangkan hubungan langsung dapat bervariasi dalam suatu konteks yang
mengacu pada hubungan kontekstual antar elemen yang dianalisis. Berdasarkan hasil
identifikasi yang telah dilakukan melalui interview pakar menggunakan teknik
Interpretive Structural Modelling (ISM), diperoleh 3 (tiga) elemen untuk penyusunan
model peningkatan kesetaraan dan keadilan gender yang terdiri dari:
1. Institusi yang terlibat dalam peningkatan kesetaraan gender
2. Kendala utama dalam upaya peningkatan kesetaraan dan keadilan gender
3. Strategi implementasi dalam upaya peningkatan kesetaraan dan keadilan gender
Ketiga elemen tersebut masing-masing selanjutnya diuraikan menjadi sejumlah subelemen. Untuk setiap elemen dilakukan pembagian menjadi sejumlah sub-elemen sampai
memadai.

Struktur sub-elemen dalam suatu elemen akan diuraikan sebagai berikut

dibawah ini.
a. Institusi yang terlibat dalam pelaksanaan peningkatan kesetaraan dan keadilan
gender
Elemen institusi yang terlibat dalam peningkatan kesetaraan dan keadilan gender
terdiri dari 11 (sebelas) sub-elemen, yaitu: (1) Bappenas, (2) Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak, (3) Kementerian Dalam Negeri, (4) Kementerian,
(5) Lembaga Non-kementerian/Non-struktural, (6) Pemerintah Daerah Provinsi, (7)

245

DPRD Provinsi,
Masyarakat,

(8) Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, (9) Lembaga Swadaya


(10) Swasta, (11) Masyarakat.

Hasil penilaian terhadap hubungan kontekstual institusi yang terlibat dalam


pelaksanaan peningkatan kesetaraan dan keadilan gender menunjukkan bahwa Bappenas
(1), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2), Kementerian
Dalam Negeri (3), Kementerian (4), Lembaga Non-kementerian/Non-struktural (5), dan
Pemerintah Daerah Provinsi (6) merupakan sub-elemen penentu peningkatan kesetaraan
dan keadilan gender karena memiliki daya pendorong yang paling besar dengan tingkat
ketergantungan terhadap sub-elemen institusi yang terlibat lainnya yang paling rendah.
Gambar 26 menunjukkan klasifikasi dari elemen institusi yang terlibat dan terlihat posisi
sub-elemen Bappenas (1), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak (2),

Kementerian Dalam Negeri (3), Kementerian (4),

Lembaga Non-

kementerian/Non-struktural (5), dan Pemerintah Daerah Provinsi (6) berada pada kuadran
IV (Independent). Hal ini menunjukkan bahwa daya pendorong sub-elemen ini tertinggi
dan tingkat ketergantungannya terendah dibanding dengan sub-elemen lainnya. Hal ini
berarti juga bahwa keenam sub-elemen ini merupakan sub-elemen pendukung untuk
seluruh sub-elemen lainnya dan bukan merupakan akibat dari sub-elemen institusi yang
terlibat lainnya.
Sedangkan sub-elemen DPRD Provinsi (7), Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota
(8), Lembaga Swadaya Masyarakat (9), Swasta (10), dan Masyarakat (11) terletak
dalam kuadran II (Dependent) yang berarti bahwa sub-elemen tersebut sangat tergantung
dengan sub-elemen lainnya dalam mendukung peningkatan kesetaraan dan keadilan
gender.

Sub-elemen Masyarakat (11) merupakan sub-elemen yang memiliki tingkat

ketergantungan yang paling besar dengan daya dorong yang paling rendah.

246

Gambar 26. Klasifikasi elemen institusi yang terlibat dalam pelaksanaan

Keluaran model struktur hierarki sub-elemen pada elemen institusi yang terlibat
dalam pelaksanaan peningkatan kesetaraan dan keadilan gender seperti yang disajikan
pada Gambar 27 memperjelas hubungan sub-elemen kunci yang berada pada level
tertinggi dibanding dengan sub-elemen lainnya yang berada pada level yang lebih rendah.
Gambar tersebut memberikan arti bahwa sub-elemen yang berada pada level yang lebih
tinggi mempengaruhi sub-elemen yang berada pada level yang lebih rendah. Gambar 27
memperlihatkan bahwa sub-elemen Bappenas (1),

Kementerian Pemberdayaan

Perempuan dan Perlindungan Anak (2), dan Kementerian Dalam Negeri (3) berada pada
level 7. Hal ini berarti bahwa ketiga sub-elemen ini menjadi elemen kunci dan pendorong
utama yang mempengaruhi keberhasilan peningkatan kesetaraan dan keadilan gender
pada tingkat nasional dan daerah. Sedangkan sub-elemen Kementerian (4), Lembaga
Non-kementerian/Non-struktural (5), dan Pemerintah Daerah Provinsi (6) terletak pada
level 4 sampai 6 meskipun berada pada kuadran II (Dependent), hal ini berarti bahwa subelemen tersebut masih sangat tergantung dengan sub-elemen kunci dalam mendukung
peningkatan kesetaraan dan keadilan gender.

Sub-elemen DPRD Provinsi (7),

Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota (8), Lembaga Swadaya Masyarakat (9), Swasta
(10), dan Masyarakat (11) yang berada pada level 1, 2, dan 3 dalam kerangka peningkatan
kesetaraan dan keadilan gender kinerjanya sangat dipengaruhi dan bergantung pada
Bappenas (1),

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2),

247

Kementerian Dalam Negeri (3), Kementerian (4),

Lembaga Non-kementerian/Non-

struktural (5), dan Pemerintah Daerah Provinsi (6).

Gambar 27. Level hierarki dan hubungan dalam elemen institusi yang terlibat

b. Kendala Utama Peningkatan kesetaraan dan keadilan gender


Sub-elemen dalam elemen kendala utama dalam peningkatan kesetaraan dan
keadilan gender terdiri dari: (1) keterbatasan sumber daya keuangan, (2) kurangnya
pemahaman PUG dan pemberdayaan perempuan di daerah,

(3) isu pemberdayaan

perempuan dan kesetaraan gender belum menjadi prioritas, (4) komitmen politik dan
kepemimpinan dalam PUG masih kurang, (5) kurang memadainya sumber daya manusia

248

di daerah, (6) kesulitan mensinkronkan dengan program SKPD lain, (7) dampak
sosialisasi dan advokasi PUG di daerah belum optimal, (8) kurang berfungsinya
mekanisme dan koordinasi pemerintah daerah, (9) kurangnya pelibatan stakeholder.
Hasil penilaian hubungan kontekstual kendala utama peningkatan kesetaraan dan
keadilan gender terlihat bahwa sub-elemen komitmen politik dan kepemimpinan dalam
PUG masih kurang (4) dan kurang berfungsinya mekanisme dan koordinasi pemerintah
daerah (8) menjadi elemen kunci dari elemen kendala utama karena mempunyai daya
pendorong paling besar dan tingkat ketergantungan yang paling rendah. Bersama-sama
dengan sub-elemen kurangnya pemahaman PUG dan pemberdayaan perempuan di daerah
(2) dan isu pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender belum menjadi prioritas (3),
keempatnya merupakan sub-elemen penentu. Hal ini memberikan makna bahwa dalam
peningkatan kesetaraan dan keadilan gender, kendala utama yang paling menentukan
keberhasilannya adalah penyelesaian keempat sub-elemen kendala utama tersebut diatas.
Sedangkan sub-elemen yang memiliki daya pendorong yang paling rendah dengan tingkat
ketergantungan yang tertinggi adalah kurang memadainya sumber daya manusia di
daerah (5) dan kesulitan mensinkronkan dengan program SKPD lain (6). Hasil temuan
ini mengindikasikan bahwa untuk mendorong peningkatan kesetaraan dan keadilan
gender harus diberikan perhatian yang lebih fokus kepada peningkatan komitmen politik
dan kepemimpinan PUG di daerah dan peningkatan berfungsinya mekanisme dan
koordinasi pemerintah daerah akan dapat mensinkronkan dengan program SKPD dan
mengurangi dampak kurang memadainya sumber daya manusia di daerah sehingga pada
akhirnya akan dapat membuahkan peningkatan kesetaraan dan keadilan gender.
Hasil analisis berdasarkan daya pendorong dan tingkat ketergantungan sub-elemen,
maka pengelompokkan kesembilan sub-elemen kendala utama dapat diklasifikasikan
seperti tertera pada Gambar 28. Gambar 28 menunjukkan bahwa sub-elemen komitmen
politik dan kepemimpinan dalam PUG masih kurang (4), kurang berfungsinya
mekanisme dan koordinasi pemerintah daerah (8), kurangnya pemahaman PUG dan
pemberdayaan perempuan di daerah (2) dan isu pemberdayaan perempuan dan kesetaraan
gender belum menjadi prioritas (3) masuk ke dalam kuadran IV (Independent). Hal ini
memberikan

petunjuk

bahwa

keempat

sub-elemen

tersebut

memiliki

tingkat

ketergantungan yang rendah dan kekuatan penggerak yang besar terhadap keberhasilan
peningkatan kesetaraan dan keadilan gender jika kendala utama tersebut diatasi. Subelemen keterbatasan sumber daya keuangan (1), dampak sosialisasi dan advokasi PUG di
daerah belum optimal (7) dan kurangnya pelibatan stakeholder (9) masuk kedalam
kuadran III (Linkage). Hal ini menunjukkan bahwa ketiga sub-elemen tersebut memiliki

249

daya pendorong yang besar sekaligus memiliki ketergantungan yang tinggi pada subelemen lain yang berada di kuadran IV. Sedangkan sub-elemen kurang memadainya
sumber daya manusia di daerah (5) dan kesulitan mensinkronkan dengan program SKPD
lain (6) masuk ke dalam kuadran II (Dependent).

Sub-elemen kurang memadainya

sumber daya manusia di daerah (5) dan kesulitan mensinkronkan dengan program SKPD
lain (6) memiliki daya pendorong yang paling rendah dan tingkat ketergantungan yang
paling tinggi dibandingkan dengan sub-elemen lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa subelemen kurang memadainya sumber daya manusia di daerah (5) dan kesulitan
mensinkronkan dengan program SKPD lain (6) memiliki tingkat ketergantungan yang
tinggi sehingga sangat dipengaruhi oleh sub-elemen kendala utama lainnya.

Gambar 28. Klasifikasi elemen kendala utama

Hubungan kontekstual dan level hierarki elemen kendala utama peningkatan


kesetaraan dan keadilan gender disajikan pada Gambar 29. Struktur hierarki tersebut
menunjukkan bahwa sub-elemen kurang memadainya sumber daya manusia di daerah (5)
dan kesulitan mensinkronkan dengan program SKPD lain (6) berada pada posisi terendah
atau level 1. Hal ini menunjukkan bahwa sub-elemen tersebut merupakan sub-elemen
yang paling dipengaruhi dan digerakkan oleh kekuatan penggerak dari sub-elemen lain
yang berada di level yang lebih tinggi. Jika dipertimbangkan kekuatan daya dorong dan
tingkat ketergantungannya maka sub-elemen dalam level 1 dipengaruhi secara kuat dari
250

sub-elemen yang berada pada level 2, 3, 4 dan 5. Sedangkan sub-elemen yang berada
pada level 5, yaitu komitmen politik dan kepemimpinan dalam PUG masih kurang (4),
kurang berfungsinya mekanisme dan koordinasi pemerintah daerah (8) peranannya saling
mendukung satu sama lain dan berpengaruh terhadap sub-elemen lain dalam peningkatan
kesetaraan dan keadilan gender.

Gambar 29. Level hierarki dan hubungan dalam elemen kendala utama
c. Strategi Implementasi
Elemen strategi implementasi peningkatan kesetaraan dan keadilan gender terdiri
atas 7

sub-elemen, yaitu (1) pemantapan kompetensi sumber daya manusia, (2)

penguatan sistem data dan informasi gender, (3) pemantapan pemahaman gender
pengambil kebijakan,

(4) pemantapan efektifitas dan pemanfaataan jejaring,

(5)

peningkatan akses informasi yang berkualitas dan positif, (6) peningkatan partisipasi
stakeholder, (7) peningkatansinergitas program antar K/L dan pemerintah daerah.

251

Hasil penilaian terhadap struktur atau hubungan kontekstual antar sub-elemen


strategi implementasi peningkatan kesetaraan dan keadilan gender dapat dilihat pada
Gambar 30. Gambar 30 menunjukkan klasifikasi dari elemen strategi implementasi dan
terlihat posisi sub-elemen pemantapan pemahaman gender pengambil kebijakan (3) dan
peningkatan akses informasi yang berkualitas dan positif (5) berada pada kuadran IV
(independent).

Hal ini menunjukkan daya pendorong tertinggi dan ketergantungan

terendah dari sub-elemen ini, yang berarti juga bahwa sub-elemen pemantapan
pemahaman gender pengambil kebijakan (3) dan peningkatan akses informasi yang
berkualitas dan positif (5) merupakan sub-elemen pendukung untuk seluruh sub-elemen
lainnya dan bukan merupakan akibat dari sub-elemen kebutuhan lainnya.

Gambar 30. Klasifikasi elemen strategi implementasi berdasarkan tingkat ketergantungan


dan daya pendorongnya

Hasil pengelompokan sub-elemen berdasarkan daya pendorong dan ketergantungan


menunjukkan bahwa pemantapan pemahaman gender pengambil kebijakan (3)
merupakan sub-elemen yang paling menentukan.

Karena memiliki daya pendorong

paling tinggi dengan ketergantungan paling rendah maka sub-elemen ini dapat
memberikan pengaruh kuat bagi strategi implementasi lainnya agar peningkatan
kesetaraan dan keadilan gender dapat berhasil. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
peningkatan kesetaraan dan keadilan gender akan sulit untuk dapat direalisasikan tanpa

252

adanya pemahaman gender pengambil kebijakan yang mantap walaupun telah tersedia
akses informasi, sistem data, sumber daya yang kompeten, jejaring dan lain-lainnya.
Berdasarkan

hasil

klasifikasi

elemen

strategi

implementasi,

sub-elemen

pemantapan kompetensi sumber daya manusia (1), penguatan sistem data dan informasi
gender (2),

pemantapan efektifitas dan pemanfaataan jejaring (4) dan peningkatan

sinergitas program antar K/L dan pemerintah daerah (7) berada pada kuadran III
(Linkage). Hal ini memberikan makna bahwa keempat sub-elemen tersebut saling terkait
dalam mendukung peningkatan kesetaraan dan keadilan gender. Sedangkan sub-elemen
peningkatan partisipasi stakeholder (6) terletak di kuadran II (Dependent), yang berarti
sub-elemen tersebut sangat tergantung dengan sub-elemen lainnya dan merupakan hasil
dari sub-elemen yang lain dalam peningkatan kesetaraan dan keadilan gender.
Keluaran model struktur hierarki sub-elemen pada strategi implementasi
peningkatan kesetaraan dan keadilan gender yang disajikan pada Gambar 31 memperjelas
hubungan sub-elemen kunci yang berada pada level tertinggi (level 4) dibanding dengan
sub-elemen lainnya yang berada pada level yang lebih rendah (level 3, 2 dan 1). Gambar
tersebut memberikan arti bahwa sub-elemen yang berada pada level yang lebih tinggi
mempengaruhi sub-elemen yang berada pada level yang lebih rendah.
Gambar 31 memperlihatkan bahwa sub-elemen pemantapan pemahaman gender
pengambil kebijakan (3) berada pada level 4, yang berarti bahwa sub-elemen ini menjadi
pendorong utama dan mempengaruhi sub-elemen pada level dibawahnya. Sedangkan
sub-elemen peningkatan partisipasi stakeholder (6) berada pada level 1, yang berarti
bahwa sub-elemen ini dipengaruhi oleh sub-elemen yang berada pada level 2, 3, dan 4.
Dengan demikian, intervensi kebijakan dan pengembangan kegiatan difokuskan pada
upaya pemantapan pemahaman gender pengambil kebijakan agar peningkatan kesetaraan
dan keadilan gender dapat berjalan efektif.

253

Gambar 31. Level hierarki dan hubungan dalam elemen kebutuhan

Strategi utama untuk mengakselerasi peningkatan kesetaraan dan keadilan


gender dengan pendekatan gender and development adalah pengarusutamaan
gender.

Dan, sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, ada 3 (tiga) fungsi

utama (core functions) yang perlu dilaksanakan oleh Kementerian PP dan PA


dibidang PUG

bidang ekonomi yakni harmonisasi kebijakan, perumusan

kebijakan dan koordinasi pelaksanaan kebijakan. Dalam pelaksanaan harmonisasi


kebijakan, maka keluaran yang diharapkan adalah diimplementasikannya
kebijakan PUG bidang ekonomi baik di kementerian/lembaga dan pemerintah
daerah. Sedangkan hasil yang diharapkan adalah kebijakan kementerian/lembaga
dan pemerintah daerah yang responsif gender. Dalam pelaksanaan kebijakan,
maka pada tataran proses akan dihasilkan kegiatan pokok yakni dirumuskannya
kebijakan pelaksanaan PUG bidang ekonomi. Adapun keluaran yang diharapkan
adalah terlaksananya kebijakan PUG bidang ekonomi, sehingga pada gilirannya
diharapkan adalah pelaksanaan kebijakan kesetaraan gender dan pemberdayaan
perempuan di K/L dan pemerintah daerah sekaligus mendukung tercapainya

254

pelaksanaan kebijakan yang responsif gender di K/L dan pemerintah Daerah.


Terkait dengan perumusan kebijakan, pada tahapan proses perlu penyusunan
rumusan MOU yang diharapkan dapat mendukung tercapainya keluaran berupa
dokumen MOU antara KPP dan PA dengan K/L dan pemerintah daerah.
Dengan demikian akan dicapai hasil berupa data terpilah sebagai basis
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi di K/L dan pemerintah daerah. Khusus
pelaksanaan fungsi koordinasi pelaksanaan kebijakan, maka pada tahapan proses
perlu dilakukan kegiatan aktivasi, advokasi dan fasilitasi bagi K/L, pemerintah
daerah dan jejaring KPP dan PA. Pada tataran output, diharapkan dapat
dilaksanakannya MOU dan penguatan kelembagaan, jejaring dan SDM kompeten
guna peningkatan peranserta dunia usaha, peranserta masyarakat dan masyarakat
sadar gender.
Sedangkan fungsi utama (core functions)

yang dilaksanakan oleh

Kementerian PP dan PA dibidang PUG dibidang Polsuskam yakni harmonisasi


kebijakan, perumusan kebijakan dan koordinasi pelaksanaan kebijakan. Dalam
pelaksanaan harmonisasi kebijakan, maka keluaran yang diharapkan adalah
diimplementasikannya

kebijakan

PUG

bidang

Polsuskam

baik

di

Kementerian/Lembaga dan pemerintah daerah. Sedangkan hasil yang diharapkan


adalah kebijakan bidang Polsuskam diseluruh Kementerian/lembaga dan
pemerintah daerah yang responsif gender.
Dalam perumusan kebijakan, maka pada tataran proses akan dihasilkan
kegiatan pokok yakni dirumuskannya

kebijakan pelaksanaan PUG bidang

Polsuskum KPP dan PA. Adapun keluaran yang diharapkan adalah terlaksananya
kebijakan PUG bidang Polsuskam, guna tercapainya hasil diharapkan adalah
pelaksanaan kebijakan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di K/L
dan pemerintah daerah sekaligus mendukung tercapainya pelaksanaan kebijakan
kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di K/L dan pemerintah Daerah.
Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari perumusan kebijakan, pada tahapan
proses perlu penyusunan rumusan MOU yang diharapkan dapat mendukung
tercapainya keluaran berupa yang diharapkan dapat mendukung tercapainya
keluaran berupa dokumen MOU antara KPP dan PA dengan K/L dan pemerintah
daerah. Sedangkan koordinasi pelaksanaan kebijakan, pada tahapan proses
diperlukan perumusan MOU guna tercapainya hasil berupa data terpilah. di K/L

255

dan pemerintah daerah. Khusus pelaksanaan fungsi


kebijakan, maka pada tahapan proses perlu

koordinasi pelaksanaan

dilakukan

kegiatan

aktivasi,

advokasi dan fasilitasi bagi K/L, pemerintah daerah dan jejaring KPP dan PA.
Pada tataran output, diharapkan dapat dilaksanakannya MOU dan penguatan
kelembagaan, jejaring dan SDM kompeten guna peningkatan peranserta dunia
usaha, peranserta masyarakat dan masyarakat sadar gender.
Pelaksanaan PUG secara berdayaguna dan berhasil guna memerlukan
dukungan berbagai elemen institusi. Berdasarkan analisis diketahui bahwa ada
beberapa institusi yang berperan penting dalam mendukung peningkatan
pelaksanaan PUG di K/L dan pemerintah daerah. Peran Bappenas sangat strategis
dalam mendukung implementasi PUG di K/L terutama dari sisi perencanaan
pembangunan nasional. Demikian pula peran Kementerian Dalam Negeri sangat
strategis dalam mempengaruhi dan mendukung pelaksanaan PUG di daerah
terutama pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota,

DPRD, LSM dan

masyarakat. Sejalan dengan itu, penetapan 4 (empat) driver PUG melalui PPRG
ditingkat pusat yang beranggotakan Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian
Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, dan Kementerian PP dan PA merupakan
kebijakan yang tepat dalam mendukung akselerasi pelaksanaan PUG dimasa yang
akan datang. Peran driver PUG ditingkat nasional juga menunjukkan bahwa
Bappenas, KPP dan PA dan Kementerian Dalam Negeri berada pada level hirarki
institusi yang penting dalam mendukung pelaksanaan PUG di K/L sampai dengan
masyarakat.
Namun, beberapa kendala yang perlu diperhatikan dan ditanggulangi karena
akan menentukan keberhasilan atau kegagalan pengarusutamaan gender meliputi:
a. komitmen politik dan kepemimpinan pengarusutamaan gender yang masih
kurang,
b. kurang berfungsinya mekanisme dan koordinasi pemerintah daerah,
c. kurangnya pemahaman pengarusutamaan gender dan pemberdayaan
perempuan di daerah, dan
d. isu pemberdayaan perempuan belum menjadi prioritas.
5.3. Strategi Implementasi Pembangunan Sistem Perlindungan Anak

256

Dalam kaitannya dengan pembangunan sistem perlindungan anak,


berdasarkan pada hasil telaahan data sekunder dan akuisisi pengetahuan pakar
terungkap bahwa kebutuhan yang diperlukan antara lain meliputi:
a. diperlukannya orientasi pada perlindungan seluruh anak
b. upaya perlindungan yang terpadu dan beragam tingkat
c. peningkatan efisiensi sumber daya dan efektifitas
d. fokus kepada upaya pencegahan
e. optimasi keamanan, resiko dan pemenuhan hak anak
f.
peningkatan kinerja sumber daya manusia
g. budaya organisasi yang profesional
Analisis CATWOE menghasilkan Customer yaitu anak Indonesia,
Kementerian dan Lembaga Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat dan dunia
usaha serta dengan Aktor dan Owner adalah Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak. Transformasi proses dalam sistem
pembangunan anak adalah peningkatan pemenuhan hak anak dengan Worldview
pemenuhan hak anak adalah faktor penting dalam pembangunan sumber daya
manusia. Sedangkan Environmental constraint adalah adanya otonomi daerah,
perubahan situasi sosial ekonomi dan politik. Berdasarkan analisis ini dibangun
pernyataan kebijakan, yaitu Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak meningkatkan pemenuhan hak anak dalam rangka
mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang handal.
Konsep pembangunan anak didasarkan atas analisis kebutuhan yang ada dan
alternatif penyelesaian pemenuhannya. Konsep pembangunan sistem perlindungan
anak ini disusun berdasarkan konsep manajemen berbasis sistem. Faktor-faktor
penyebab fundamental kinerja sistem perlindungan anak di sajikan pada Tabel 12.
Sedangkan model konseptual intervensi untuk membangun sistem perlindungan
anak yang efektif secara grafis disajikan pada Gambar 32.
Berdasarkan faktor yang telah teridentifikasi maka strategi yang dapat
digunakan untuk mencapai perlindungan anak yang efektif adalah:
a. Penguatan dasar hukum dan pengembangan kebijakan nasional dan daerah
b. Peningkatan pemahaman tentang anak dan hak anak
c. Penguatan kelembagaan
d. Peningkatan kualitas manajemen dan mekanisme kerja
e. Peningkatan kemampuan keluarga, lembaga masyarakat dan lembaga
partisipasi anak serta kemitraan.
Tabel 12.

Faktor penyebab fundamental dan intervensi untuk pembangunan


sistem perlindungan anak yang efektif

257

Unsur
Kebijakan dan norma

Faktor Penyebab

Upaya Intervensi

1. Masih ada ketidak


harmonisan peraturan
perundang-undangan

1. Harmonisasi peraturan
perundang-undangan
dan sinkronisasi
definisi tentang Anak

2. Belum adanya kebijakan


pengintegrasian hak
anak dan pemenuhan
hak anak ke dalam
kebijakan, progam dan
kegiatan pembangunan
3. Kebijakan tematik
belum lengkap termasuk
kebijakan peranserta
masyarakat

3. Pengembangan
kebijakan tematik
termasuk kebijakan
peranserta masyarakat

4. Belum ada dan belum


lengkapnya kebijakan
pemenuhan hak anak di
K/L dan Daerah

4. Pengembangan
perlakuan khusus
daerah tertinggal

5. Pemahaman tentang
anak, hak anak dan
pemenuhan hak anak
yang masih terbatas
6. Adanya budaya yang
menghambat pemenuhan
hak anak

Kelembagaan

7. Partisipasi anak masih


rendah
8. Kemampuan
kelembagaan dalam
pelayanan belum
optimal
9. Disparitas kemampuan
pelayanan antar daerah
10. penegakan hukum belum
optimal/masih lemah

Unsur

2. Pengintegrasian
pemenuhan hak anak
ke dalam program
pembangunan nasional
dan daerah

Faktor Penyebab
11. Data anak belum
tersedia secara memadai
12. kelembagaan keluarga
belum mendapat
perhatian sebagai
pelaku utama
perlindungan anak

5. Peningkatan
pemahaman tentang
anak, hak anak dan
pemenuhan hak anak
6. Peningkatan kebijakan
partisipasi anak

7. Peningkatan
kemampuan K/L dan
Pemda
8. Penguatan ketahanan
keluarga melalui
pelaksanaan
pembangunan keluarga
dan pendekatan
keluarga

Upaya Intervensi
9. Peningkatan
kemampuan peranserta
lembaga masyarakat
10. Peningkatan kualitas
lingkungan sosial
11. Pengembangan sistem
data

258

13. Lingkungan anak belum


memadai untuk
memberikan dukungan
bagi tumbuh kembang
dan perlindungan
anakData anak belum
tersedia secara memadai
14. kelembagaan keluarga
belum mendapat
perhatian sebagai
pelaku utama
perlindungan anak
15. Lingkungan anak belum
memadai untuk
memberikan dukungan
bagi tumbuh kembang
dan perlindungan anak

Mekanisme kerja

16. Mekanisme
pengawasan oleh
masyarakat belum
terbangun

12. Penyusunan
mekanisme hubungan
kerja pusat-provinsikab/kota

17. Tradisi gotong royong


belum didayagunakan
secara optimal

13. Penyusunan
mekanisme
pengawasan oleh
masyarakat

18. Pada beberapa isu anak


mencari sendiri jalan
penyelesaian
masalahnya (Kespro)
19. Adanya hambatan
prosedur dan perijinan

14. Perbaikan dukungan


bagi masyarakat
15. Peningkatan gotong
royong
16. Pengembangan forum
anak

259

Gambar 32. Model konseptual pembangunan sistem perlindungan anak

BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
6.1. Simpulan

260

Berdasarkan telaahan isu-isu strategis dan prioritas serta analisis yang telah
dilakukan terkait pencapaian pemberdayaan perempuan, kesetaraan dan keadilan
gender, serta pembangunan sistem perlindungan perempuan maka dapat
disimpulkan beberapa hal, yaitu:
1. Upaya untuk mencapai kesetaraan gender telah mengalami kemajuan di
beberapa area kunci kebutuhan dasar yaitu pada bidang kesehatan dan
pendidikan, terbuka kesempatan yang lebih besar bagi perempuan untuk
berpartisipasi dan pengambilan keputusan maupun ketersediaan perangkat
hukum

yang

diperlukan

untuk

pengarusutamaan

gender

dalam

pembangunan. Namun, beberapa tantangan yang masih harus mendapatkan


perhatian yang besar di masa depan, antara lain implementasi komitmen
global

untuk

kesetaraan

pengarusutamaan

gender

gender,
dalam

belum

mantapnya

pembangunan,

kelembagaan

kekerasan

terhadap

perempuan dan anak, pengarusutamaan gender dalam implementasi proses


pendidikan, isu-isu gender dan anak dalam kesehatan, ketenagakerjaan
informal, trafficking perempuan dan anak, politik dan pengambilan
keputusan, serta pengintegrasian isu gender

dalam bencana alam dan

perubahan iklim.
2. Kerangka kebijakan dan komitmen CEDAW untuk pemberdayaan
perempuan dan kesetaraan gender yang diyakini merupakan prasyarat untuk
ketahanan politik, sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan bagi masyarakat
khususnya implementasi pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota belum
dilaksanakan secara optimal. Tujuan Pembangunan Millenium (Millenium
Development Goals) dapat digunakan sebagai wahana untuk implementasi
ketentuan CEDAW, pelaksanaan program dan 12 area kritis Beijing
Platform for Action.
3. Prasyarat dan komponen kunci pengarusutamaan gender untuk pencapaian
kesetaraan gender melalui pengintegrasian pengalaman, aspirasi, kebutuhan
dan permasalahan laki-laki dan perempuan kedalam perencanaan,
pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dari seluruh bidang pembangunan
dan tingkatan pemerintahan sebagian besar telah terbangun pada tingkat

261

Kementerian dan Lembaga serta pemerintah daerah provinsi.

Namun,

kelembagaan pengarusutamaan gender masih perlu dimantapkan, khususnya


pemantapan

komitmen

dan

kepemimpinan

untuk

pelaksanaan

pengarusutamaan gender, pengintegrasian isu gender dalam perencanaan,


pengembangan sumber daya dan penyediaan informasi gender atau data
terpilah

serta

pelibatan

lembaga

masyarakat

dalam

pelaksanaan

pengarusutamaan gender.
4. Diskriminasi dalam proses pembelajaran atau pendidikan yang terjadi
disebabkan karena perbedaan kondisi geografis sekolah, status sosial
ekonomi masyarakat, kecacatan fisik, dan proses pembelajaran yang masih
belum sepenuhnya responsif gender.
5. Isu gender diperlukan untuk pengembangan lingkungan yang kondusif,
termasuk

pengurangan stigma dan diskriminasi, peningkatan komitmen

pemerintah khususnya dalam alokasi dana dan program kebijakan yang


berkelanjutan untuk mendukung upaya penanggulangan HIV/AIDS dan
TBC.
6. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) penduduk berumur 15 tahun
keatas menurut jenis kelamin dan daerah tempat tinggal terus meningkat.
Untuk kawasan perkotaan jumlah TPAK penduduk laki laki sebesar 81,09 %
sedangkan di perdesaan 86,87 % dan untuk perempuan di perkotaan 48,67
%, sedangkan di perdesaan adalah 54,13%. Namun, untuk tenaga kerja
perempuan, salah satu permasalahan yang paling utama adalah berkaitan
dengan perlindungan kerja karena tenaga kerja perempuan tidak terdaftar
sebagai tenaga kerja formal.
7. Penyebab trafficking adalah kemiskinan dan globalisasi serta kondisi sosial
masyarakat. Kendala utama yang dihadapi dalam upaya pencegahan dan
penanganan tindak pidana perdagangan orang meliputi belum semua daerah
membentuk kelembagaan gugus tugas, alokasi pendanaan yang kurang
memadai untuk mendukung program-program pencegahan tindak pidana
perdagangan orang, Kementerian dan Lembaga dan pemerintah daerah
masih belum bersinergi dalam upaya pencegahan serta

masih belum

262

optimalnya keterlibatan dan peran serta organisasi non-pemerintah dan


swasta dalam upaya pencegahan tindak pidana perdagangan orang.
8. Hambatan dan tantangan partisipasi perempuan dalam kehidupan publik
mencakup hambatan sosio-ekonomi, hambatan politis dan kelembagaan
serta hambatan pribadi dan lingkungan.
9. Pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender merupakan perihal yang
sangat esensial untuk implementasi pembangunan berkelanjutan karena
peran perempuan merupakan hal penting dalam tiga dimensi penopang
pembangunan berkelanjutan, yaitu pembangunan ekonomi, keadilan sosial
dan perlindungan lingkungan.
10. Tingkat kerentanan masyarakat dalam menghadapi bencana alam dan
perubahan iklim sangat dipengaruhi oleh derajat paparan (exposure),
kepekaan (sensitivity) dan kapasitas adaptasi (adaptive capacity) dalam
menghadapi bencana alam perubahan iklim. Ketidak setaraan paparan dan
sensitivitas serta ketidak setaraan akses terhadap sumber daya, kapabilitas
dan peluang menyebabkan perbedaan tingkat kerentanan seseorang terhadap
dampak bencana alam perubahan iklim. Perempuan lebih rentan dibanding
laki-laki dan tingkat kerentanan perempuan dalam menghadapi bencana
alam perubahan iklim akan semakin besar jika status sosial-ekonominya
semakin rendah.
11. Pemberdayaan perempuan dilaksanakan sebagai suatu strategi pembangunan
yang mempunyai tujuan meningkatkan kesetaraan perempuan dan laki-laki,
perluasan pilihan kehidupan bagi perempuan secara individual
meningkatkan

kualitas

hidup

perempuan

yang

berkeadilan

serta
sosial.

Kemajuan pemberdayaan perempuan mengacu pada tingkat kemajuan yang


diperoleh perempuan setelah intervensi pembangunan yang terkait dengan
aset, pengetahuan dan ketrampilan, kemauan serta kapasitas atau
kemampuan perempuan.
12. Masukan atau input untuk pemberdayaan perempuan meliputi sumber daya
ekonomi, sumber daya manusia dan sumber daya sosial politik.

Untuk

meningkatkan efektifitas proses pemberdayaan perempuan maka kerjasama

263

dan koordinasi dari institusi kunci yaitu Kementerian Pemberdayaan


Perempuan

dan

Perlindungan

Anak,

Kementerian

Perencanaan

Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan


Kementerian Dalam Negeri sangat diperlukan dan menentukan.
13. Sumber daya yang tersedia dan segala upaya perlu difokuskan untuk
menghilangkan kendala-kendala yang dapat menghambat keberhasilan
pemberdayaan perempuan. Kendala-kendala yang menentukan keberhasilan
atau kegagalan pemberdayaan perempuan meliputi komitmen politik dan
kepemimpinan pengarusutamaan gender yang masih kurang, kurang
berfungsinya mekanisme dan koordinasi pemerintah daerah,

kurangnya

pemahaman pengarusutamaan gender dan pemberdayaan perempuan di


daerah, dan isu pemberdayaan perempuan belum menjadi prioritas.
14. Strategi implementasi pemberdayaan perempuan untuk mencapai kesetaraan
dan keadilan gender yang dapat diterapkan

mencakup a) pemantapan

pemahaman gender pengambil kebijakan baik di Kementerian dan Lembaga


maupun pemerintah daerah, b) peningkatan akses informasi yang berkualitas
dan positif bagi pihak-pihak yang berkepentingan terhadap pemberdayaan
perempuan, c) penguatan sistem data dan informasi, d) pemantapan
kelembagaan dan kompetensi sumber daya manusia, e) pemantapan
efektifitas dan pemanfaatan jejaring, f) peningkatan sinergitas program antar
K/L dan pemerintah daerah
15. Strategi implementasi yang dapat digunakan untuk mencapai perlindungan
anak yang efektif adalah a) penguatan dasar hukum dan pengembangan
kebijakan nasional dan daerah, b) peningkatan pemahaman tentang anak dan
hak anak, c) penguatan kelembagaan, d) peningkatan kualitas manajemen
dan mekanisme kerja, e) peningkatan kemampuan keluarga, lembaga
masyarakat dan lembaga partisipasi anak serta kemitraan.

6.2. Saran
Berdasarkan telaahan isu-isu strategis dan prioritas serta analisis yang telah
dilakukan terkait pencapaian pemberdayaan perempuan, kesetaraan dan keadilan
264

gender, serta pembangunan sistem perlindungan perempuan maka dapat


disarankan beberapa hal, yaitu:
1. Penguatan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
dan kelembagaan pemberdayaan perempuan pada tingkat provinsi dan
kabupaten/kota dengan penyediaan sumber daya manusia, kemampuan
teknis dan finansial agar dapat berfungsi secara efektif serta memastikan
aktifitasnya didukung secara penuh pada semua tingkatan.
2. Implementasi pengarusutamaan gender baik di kementerian/lembaga dan
Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) keberhasilannya sangat
ditentukan

oleh

pemenuhan

pengarusutamaan gender.

atas

prasyarat

atas

implementasi

Mengingat masih banyaknya tantangan dan

kendala yang dihadapi, PUG sebagai strategi pembangunan tidak mudah


diimplementasikan di K/L dan pemerintah daerah maka diperlukan
akselerasi implementasi yang

tepat untuk mendukung peningkatan

efektifitas implementasi strategi PUG di K/L dan pemerintah daerah.


3. Untuk mengatasi berbagai tantangan dan kendala dalam pelaksanaan PUG,
diperlukan penguatan jejaring dengan berbagai elemen institusi yang
memiliki peran strategis ditingkat pusat seperti Bappenas dan Kementerian
Dalam Negeri dan pemantapan kelembagaan pengarusutamaan gender serta
peran KPPPA kedepan, perlu didorong dan dikembangkan agar mempunyai
dampak yang lebih signifikan guna tersusunnya kebijakan, program dan
kegiatan K/L dan pemerintah daerah yang lebih responsif gender.
4. Pengembangan strategi komprehensif dan tindakan sistematis dengan
pendekatan berorientasi pada hasil (result-oriented approach) untuk
memodifikasi atau menghapuskan stereotip dan praktek-praktek yang
membahayakan perempuan dan anak perempuan. Upaya ini merupakan
upaya yang terpadu dengan kerangka waktu yang jelas dan berkolaborasi
dengan masyarakat madani dan melibatkan sistem sekolah, media,
komunitas keagamaan dan tokoh masyarakat untuk memberikan pendidikan
dan peningkatan kesadaran masyarakat.

265

5. Pemberantasan akar masalah penyebab perdagangan orang perlu dilakukan


melalui peningkatan potensi ekonomi perempuan dan peningkatan
kesadaran masyarakat pedesaan dan daerah asal pekerja migran perempuan
terhadap bahaya perdagangan orang dan penyampaian informasi modus
operandi perdagangan orang.
6. Pembangunan basis data dan mekanisme yang tepat untuk identifikasi awal
dan referensi perlu dilakukan asistensi dan dukungan kepada korban
perdagangan orang, termasuk pekerja migran perempuan dan penyediaan
layanan bantuan, rehabilitasi, pemulihan dan reintegrasi.
7. Pelatihan bagi pejabat kehakiman dan penegakan hukum, pekerja sosial,
penyedia layanan kesehatan menyangkut perkosaan dan serangan seksual
perlu dilakukan dengan cara-cara standar yang sensitif gender dalam
menangani korban dan kasus perkosaan dan serangan seksual.
8. Peningkatan perhatian kepada perempuan di perdesaan dan pedalaman perlu
dilakukan untuk memastikan ketersediaan akses terhadap kesehatan,
pendidikan, air bersih, sanitasi lingkungan dan kegiatan ekonomi untuk
menambah

penghasilan,

serta

penghapusan

diskriminasi

terhadap

perempuan dalam kepemilikan dan pewarisan lahan.


9. Perlu pengembangan strategi yang efektif dengan prioritas dan waktu yang
jelas untuk penghapusan diskriminasi terhadap perempuan dalam aspek
perkawinan dan hubungan keluarga. Di samping itu, direkomendasikan
juga untuk mengkaji ulang Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan untuk memastikan pelarangan praktek poligami, menetapkan
umur minimal perkawinan bagi laki-laki dan perempuan pada usia 18 tahun,
menghilangkan perbedaan peran laki-laki dan perempuan dalam rumah
tangga, menyediakan perlindungan kepada perempuan yang melakukan
pernikahan lain agama, menjamin hak pewarisan yang sama sebagai anak
perempuan maupun istri, dan mensyaratkan pendaftaran perkawinan dalam
pendaftaran resmi bagi perempuan.
10. Pemahaman terhadap perubahan iklim perlu diformat ulang dengan
mengintegrasikan analisis gender dan khususnya memahami dampak
perubahan iklim terhadap perempuan.

Di samping itu, gender perlu

tempatkan sebagai faktor kritis dalam analisis dalam tahap perencanaan dan

266

pengembangan kebijakan perubahan iklim. Mendorong dan menyediakan


insentif agar perempuan dapat berpartisipasi secara efektif, termasuk
berpartisipasi dalam peran kepemimpinan manajemen resiko bencana alam
perubahan iklim.
11. Meningkatkan kapasitas adaptasi masyarakat laki-laki dan perempuan
melalui peningkatan status sosial perempuan karena kerentanan spesifik
perempuan yang terkonstruksi secara sosial terwujud dalam pola sosial
ekonomi kehidupan sehari-hari yang membuat posisi perempuan lebih
rentan terhadap bencana. Oleh karena itu, pemberdayaan dan pelibatan
perempuan dalam pengambilan keputusan untuk merespon perubahan iklim
merupakan salah satu strategi yang efektif dan adil untuk kesiapan
menghadapi bencana alam perubahan iklim.
12. Program pendidikan masyarakat tentang perubahan iklim seharusnya
sensitif gender sehingga mempertimbangkan peran penting perempuan
dalam pengelolaan sumber daya alam dan kontribusinya terhadap ketahanan
pangan keluarga.

Di samping itu, fokus utama adalah peran penting

perempuan sebagai agen perubahan dan dibutuhkan kontribusinya dalam


kajian resiko dan pencegahan, tanggap darurat maupun pemulihan akibat
bencana alam perubahan iklim.
13. Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman komprehensif terhadap
pendekatan manajemen resiko bencana untuk menghindari kerusakan dan
kehilangan terkait dampak perubahan iklim melalui pengumpulan,
penggunaan dan pengelolaan serta berbagi data dan informasi, termasuk
penyediaan dan pemanfaatan data terpilah.
14. Kelembagaan pengarusutamaan gender (PUG) masih perlu dimantapkan.
Hal ini sejalan dengan perkembangan dan dinamika pembangunan pada
RPJMN III, masih perlu didorong dan dikembangkan kelembagaan PUG
agar mempunyai dampak yang lebih signifikan dan mantap guna
tersusunnya kebijakan, program dan kegiatan K/L dan pemerintah daerah
yang responsif gender.

267

15. Penghapusan diskriminasi terhadap perempuan perlu diintensifkan dan


dipercepat.

Untuk itu diperlukan mandat khusus kepada Kementerian

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk mengkoordinasi


dan melaksanakannya.
16. Keterbatasan dana untuk mendukung kesuksesan pencegahan dan pelayanan
korban

kekerasan

terhadap

perempuan

maka

anggaran

khusus

pemberdayaan perempuan perlu diupayakan secara memadai dan jika


memungkinkan dikembangkan trust fund

untuk komplementaritas

dukungan pendanaan.

DAFTAR PUSTAKA
Alston, M. and K. Whittenbury. 2013. Research, action and policy: addressing the
gendered impacts of climate change. Springer, New York.
BAPPENAS [Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional]. 2012. Strategi Nasional Percepatan
Pengarusutamaan Gender (PUG) melalui Perencanaan dan Penganggaran yang
Responsif Gender (PPRG).
Kementerian Perencanaan Pembangunan
Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), Jakarta.

268

CIEL [Center for International Environmental Law]. 2013. Human Rights


Analysis of The Doha Gateway (UNFCC 18th Conference of The Parties).
www.ciel.org/ Publications/Analysis_Doha_10Apr2013.pdf.
CWD [Commission on Women and Development]. The Women Empowerment
Approach A Methodological Guide. Commission on Women and Development,
Bruxelles, Belgium.
DNPI [Dewan Nasional Perubahan Iklim]. 2013. Perubahan iklim dan tantangan
peradaban bangsa Lima Tahun DNPI 2008-2013. Dewan Nasional Perubahan
Iklim, Jakarta.
Dulal, H.B., K.U. Shah, N. Ahmad. 2009. Social equity in implementation of
Carribbean climate change adaptation policies. Sustainability 1: 363-383.
Eriyatno. 2003. Ilmu Sistem: Meningkatkan Mutu dan Efektifitas Manajemen.
IPB Press, Bogor.
Ertrk, Y. 2009. 15 Years of the United Nations Special Rapporteur on Violence
Against Women, Its Causes and Consequences. The United Nations Special
Rapporteur on Violence against Women, New York.
Ferris, E., D. Petz, and C. Stark. 2013. The year of recurring disasters: a review
of natural disasters in 2012. The Brookings Institution London School of
Economics, Project on Internal Displacement.
Figueres, C., M. Tovar-Restrepo, N. Eddy. 2013. Gender equality and the United
Nations Framework Convention on Climate Change: a compilation of decision
text. http://www.wedo.org/wp-content/uploads/united-nations-web.pdf
Hannan, C. 2011. An overview of women, gender and climate change issues.
Workshop on Women and Climate Change, 20-23 January 2011, Bangkok.
Hardjosoekarto, S. 2012.
Lunak). U.I Press, Jakarta.

Soft System Methodology (Metode Serba Sistem

Hendrya, P. 2011. Pemberdayaan Perempuan Korban Kekerasan Dalam Rumah


Tangga (KDRT) Dalam Perspektif Ketahanan Individu Study Kasus Perempuan
Korban KDRT Klien P2TP2A DKI Jakarta. Tesis Program Pascasarjana
Universitas Indonesia, Jakarta.
IPCC [Intergovernmental Panel on Climate Change]. 2007a. Climate change
2007: mitigation. Contribution of Working Group III to the Fourth Assessment
Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change [B. Metz, O.R.
Davidson, P.R. Bosch, R. Dave, L.A. Meyer (eds)], Cambridge University Press,
Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA.
IPCC [Intergovernmental Panel on Climate Change]. 2007b. Climate change
2007: impacts, adaptation and vulnerability. Contribution of Working Group III
to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate

269

Change [M.L. Parry, O.F. Canziani, J.P. Palutikof, P.J. van der Linden and C.E.
Hanson (eds)], Cambridge University Press, Cambridge, UK.
Kanungo, S. and Bhatnagar, V.K. 2002. Beyond generic models for information
system quality, the use of Interpretive Structural Modelling (ISM). System
Research 19:531-549.
Komnas Perempuan [Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan].
2010. Tak Hanya di Rumah: Pengalaman Perempuan akan Kekerasan di Pusaran
Relasi Kekuasaan yang Timpang. Catatan Tahunan Tentang Kekerasan Terhadap
Perempuan Tahun 2009. Jakarta.
Komnas Perempuan [Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan].
2013. Korban Berjuang, Publik Bertindak: Mendobrak Stagnasi Sistem Hukum.
Catatan Tahunan Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2012. Jakarta.
KPPPA [Kementerian Pmberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak]. 2013.
Kajian Pembangunan Keluarga. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak, Jakarta.
KPPPA [Kementerian Pmberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak]. 2012a.
Profil perempuan Indonesia 2012. Kerjasama Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak dengan Badan Pusat Statistik, Jakarta.
KPPPA [Kementerian Pmberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak]. 2012b.
Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2012.
Kerjasama Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dengan Badan Pusat Statistik,
Jakarta.
KPPPA [Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Republik Indonesia], 2012c, Evaluasi Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak, di Kementerian/Lembaga dan Provinsi. Jakarta.
KPPPA [Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Republik Indonesia], Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian Keuangan,
Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian PP dan PA RI tentang Strategi
Nasional Percepatan PUG melalui PPRG, Jakarta, 2012
KPPPA [Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Republik Indonesia]. 2012d.
Peran sektor ketenagakerjaan dalam rangka
mendukung industri rumahan melalui pemberdayaan perempuan dalam sistem
ekonomi rumah tangga. Jakarta.
KPPPA [Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Republik Indonesia]. 2012e. Landasan kebijakan pembangunan industri rumahan
untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga melalui pemberdayaan perempuan.
Jakarta.
KPPPA [Kementerian Pmberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak]. 2012f.
Profil Anak Indonesia 2012. Kerjasama Kementerian Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak dengan Badan Pusat Statistik, Jakarta.

270

KPPPA [Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak


Republik Indonesia]. 2010. Prosedur operasional pelayanan terpadu bagi saksi
dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang. Deputi Perlidungan
Perempuan, Jakarta.
KPPPA [Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Republik Indonesia], BKKBN dan UNFPA. 2005. Panduan dan Bunga Rampai
Bahan Pembelajaran PUG, Jakarta.
Marhaeni, H. 2013. Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2013. Seminar
Data dan Informasi Gender 16 Oktober 2013, Jakarta.
Marimin. 2005. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk.
Grasindo, Jakarta.
Neuhold, B. 2005. Focus on human right and gender justice linking the
Millenium Development Goals with the Convention on the Elimination of All
Forms of Discrimination against Women and the Beijing Platform for Action.
Policy Paper for the Beijing+10 and the MDG+5 Reviews, Wide Austria.
Neumayer, E. and T. Plmper. 2007. The gendered nature of natural disasters:
the impact of catastrophic events on the gender gap in life expectancy, 1981-2002.
Annals of the Association of American Geographers 97(3):551-566.
Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2010-2014.
Permendiknas [Peraturan Menteri Pendidikan Nasional] Nomor 84 tahun 2008
tentang pedoman pelaksanaan pengarusutamaan gender bidang pendidikan.
Psacharopoulos, G. 1994. Returns to investment in education: a global update.
World Development 22(9):1325-1343.
Ridgeway, C.L. Framed by gender how gender inequality persists in the modern
world. Oxford University Press, New York.
Saxena, J.P., Sushil, Vrat, P. 1992. Hierarchy and classification of program plan
elements using Interpretive Structural Modelling: a case study of energy
conservation in the Indian Cement Industry. System Practice 5(6):651-670.
Sitorus, M. 2006. Menjamin hak perempuan dan anak melalui konvensi. Jurnal
Perempuan 45:111-121.
Terry, G. 2009. Climate change and gender justice. Oxfam and Practical Action
Publishing Ltd, Warwickshire, UK.
UN [United Nations]. 2006. Ending Violence against Women From Words to
Action. United Nations Publication, New York.
UNDP [United Nations Development Programme]. 2007. The other half of
climate change why Indonesia must adapt to protect its poorest people. United
Nations Development Programme, Indonesia, Jakarta.

271

UNFCC [United Nations Framework Convention on Climate Change]. 2013.


Warsaw International mechanism for loss and damage associated with climate
change
impacts

Decision-/CP.19.
Http://unfcc.int/files/meetings
/warsawnov2013/ decisions/application/pdf/cop19_lossanddamage.pdf
UNICEF [United Nations Childrens Fund]. 2009. Celebrating 20 years of the
Convention in the Rights of the Children. UNICEF, New York.
UNICEF [United Nations Childrens Fund]. 2009. Perlindungan Anak Nasional.
UNICEF-East Asia and The Pacific Region, Child Protection Program Strategy
Toolkit.
UN WOMEN [United Nations Entity for Gender Equality and Empowerment of
Women]. 2010. Apakah hukum kita meningkatkan kesetaraan gender? buku
pegangan untuk tinjauan hukum berbasis CEDAW. UN WOMEN East and
Southeast Asia Regional Office, Bangkok, Thailand.
Waldorf, L. 2007. Pathway to Gender Equality: CEDAW, Beijing and the MDGs.
UNIFEM.
WHO [World Health Organization]. 2002. Gender and Health in Disasters.
Department of Gender and Womens Health, Geneva, Switzerland.
http://www.who.int/gender/other_health/en/genderdisasters.pdf
WHO [World Health Organization]. 2004. Handbook for the Documentation of
Interpersonal Violence Prevention Programmes. Geneva, Switzerland.
Yayasan Melati, 2013, Studi Partisipatif Pemaknaan Perempuan di Tingkat
Komunitas Terhadap Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kota
Samarinda, Kalimantan Timur.
Yayasan Melati, 2013, Studi Partisipatif Pemaknaan Perempuan di Tingkat
Komunitas Terhadap Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kota
Tanjung Pinang, Provinsi Kepulauan Riau.
Yayasan Melati, 2013, Studi Partisipatif Pemaknaan Perempuan di Tingkat
Komunitas Terhadap Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kota
Semarang, Provinsi Jawa Tengah.
Yusuf, A. and Fransisco, H. 2009. Climate Change Vulnerability Mapping for
Southeast Asia. IDRC/CRDI

272

Anda mungkin juga menyukai