PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pembangunan nasional bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya
manusia dan mewujudkan kesejahteraan rakyat. Peningkatan kualitas sumberdaya
manusia (SDM) Indonesia dari aspek lahiriah dan batiniah merupakan kunci
keberhasilan dari pembangunan nasional yang sedang dijalankan oleh Pemerintah
RI. Selain itu, peningkatan kualitas SDM yang disesuaikan dengan keberagaman
aspirasi dan hambatan kemajuan keseluruhan kelompok masyarakat akan dapat
menjamin keberhasilan pembangunan.
Pemikiran pembangunan SDM yang mutakhir telah memberikan pencerahan
tentang makna pembangunan, yaitu proses makin meluasnya kemampuan rakyat
(expansion of peoples capabilities) dan bahwa pembangunan menuntut perluasan
partisipasi dan emansipasi seluruh rakyat. Terwujudnya pembangunan yang
bersifat partisipatif dan emansipatif menuntut suatu strategi yang tidak hanya
menempatkan posisi rakyat secara pasif, melainkan aktif sebagai aktor
pembangunan (a strategy which not only produces for the mass of the people but
in which the mass of the people are also producers).
terlihat
sosoknya,
karena
belum
ada
instrumen
yang
bisa
Penguasaan IPTEK
Untuk mendayagunakan Sumber Daya Alam, landasan itu akan diikuti oleh
kemajuan lain, a.l.:
meningkat. Pada RPJMN ke III tahun 2015-2019 juga akan menjadi sangat
strategis, karena pada saat itu Indonesia akan memasuki perubahan global yang
signifikan. Komunitas Asean 2015 (ASEAN Commnuty 2015) akan dimulai pada
tahun 2015. Pada saat ini, maka ASEAN akan menjadi satu komunitas dengan 3
pilar yaitu: Komunitas politik dan keamanan, Komunitas Ekonomi dan Komunitas
Sosial Budaya. Dari aspek ekonomi, maka ASEAN akan menjadi pasar bersama
dan tempat produksi bersama. Dengan pemberlakukan using Community ini,
kawasan ASEAN akan menjadi kawasan dimana barang dapat mengalir ke semua
tempat (free flow commodities) tanpa halangan. Dari aspek sosial budaya, maka
kawasan ASEAN akan menjadi kawasan yang diharapkan mempunyai keterkaitan
sosial budaya, toleransi dan stabilitas. Dengan perubahan global ini, maka daya
saing Indonesia semakin diperlukan. Pembangunan selanjutnya harus pula
memperhitungkan faktor keberadaan Indonesia dalam kawasan dengan segala
konsekuensinya.
Pada tahun 2020, Indonesia juga akan menjadi bagian dari kawasan
perdagangan bebas Asia Pasifik, yang memerlukan ketahanan yang besar. Peluang
untuk maju yang semakin besar harus dapat dimanfaatkan, sementara itu
persaingan juga semkain berat. Di samping itu, perubahan pola perdagangan dunia
juga akan menempatkan Indonesia pada peluang dan ancaman yang semakin
besar. Dengan perubahan situasi global, maka program pembangunan SDM harus
memperhitungkannya. Informasi yang menjadi salah satu faktor keunggulan harus
dapat dikuasai dan SDM yang dikembangkan harus pula memperhitungkan
peluang dan tantangan yang berkembang dalam arus informasi.
Di dalam pelaksanaan pembangunan jangka panjang, tahap RPJMN ke III
ini akan tetap mengemban 8 misi, yaitu :
1. Mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya,
dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila;
2. Mewujudkan bangsa yang berdaya-saing;
3. Mewujudkan masyarakat demokratis berlandaskan hukum;
4. Mewujudkan Indonesia aman, damai, dan bersatu;
5. Mewujudkan pemerataan pembangunan dan berkeadilan;
6. Mewujudkan Indonesia asri dan lestari;
Indonesia
berperan
penting
dalam
pergaulan
dunia
internasional.
Pelaksanaan RPJMN 2010-2014 (2010-2013) telah memasuki tahun ketiga
dan hasilnya telah menunjukkan adanya perkembangan cukup signifikan dalam
upaya
pemberdayaan
dan
perlindungan
perempuan
dan
anak
yang
pelaksanaan pada RPJMN 2010-2014 yang sedang berjalan, maka perlu dilakukan
analisis untuk mengetahui hasil dari pelaksanaan pembangunan yang telah
dilaksanakan, persoalan mendasar dari masalah yang masih dihadapi dan
kemunculan tantangan baru karena dinamika perubahan situasi lingkungan
strategis baik nasional maupun global.
Analisis ini akan digunakan untuk menyusun strategi pelaksanaan agenda
pembangunan SDM, khsuusnya pembangunan pemberdayaan perempuan dan
pembangunan anak dalam RPJMN 2015-2019. Untuk itu perlu dilakukan kajian
yang baik, dari aspek akademis maupun programatis dan hasilnya sesuai dengan
kebutuhan dan dapat bermanfaat untuk melanjutkan pembangunan.
1.2. Tujuan
Tujuan dari kegiatan kajian ini secara umum adalah
merumuskan
sebagai
masukan
pembangunan
pemberdayaan
perempuan,
2. Evaluasi
mandiri
dampak
pelaksanaan
pembangunan
di
bidang
kebijakan
pembangunan
pemberdayaan
perempuan
dan
implementasi
pembangunan
pemberdayaan
perempuan
dan
BAB II
METODOLOGI PENELITIAN
2.1. Waktu dan Lokasi Kajian
Kajian ini dilakukan selama 6 bulan tahun 2013. Kajian ini juga dilakukan
pada tingkat provinsi. Pada tingkat provinsi yang menjadi lokasi kajian adalah
Provinsi:
a. Kepulauan Riau
b. Jawa Tengah
c. Kalimantan Timur
Responden dari provinsi yang dinilai dapat mewakili pemangku kepentingan dari
SKPD dan masyarakat diwawancara untuk mengkaji sikap dan persepsi sosialnya
terhadap:
a. Efektifitas dan dampak pelaksanaan kebijakan nasional pada tingkat
provinsi
b. Isu yang terkait dengan kebijakan pada tingkat provinsi
Kondisi kesetaraan gender dan perlindungan anak yang
LP
emng
bu
n
g
un
nrS
Mt
ag
us
i
:
LP
emng
bk
au
n
g
una
aS
nt
Ma
at
ne
usgi
a:
:
k
a
a
at
:
a
s
nr i
s
i
Gambar 3 secara umum menunjukkan alur pikir, pendekatan dan teknikteknik untuk menyelesaikan kajian dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Dalam kajian ini, pendekatan yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan
kajian adalah sebagai berikut:
a. Identifikasi dan pemetaan substansi kebijakan
pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak
pembangunan
11
alternatif.
Teknik
CPI
merupakan
indeks
gabungan
12
x ij
100
x ij(min)
m
m
I i = A ij Bj
j=i
m
di mana :
Aij
xij
xij(min)
Bi
Ii
=
=
=
=
=
13
ISM
menganalisis
elemen-elemen
sistem
dan
target
organisasi,
maupun
faktor-faktor
penilaian.
Sedangkan hubungan langsung dapat diformulasikan dalam kontekskonteks yang beragam (Marimin, 2005).
Menurut Kanungo and Bhatnagar (2002), langkah-langkah
pemodelan dengan menggunakan ISM mencakup:
a. Identifikasi elemen: Elemen sistem diidentifikasi dan didaftar.
Identifikasi elemen dapat diperoleh melalui penelitian, diskusi
curah pendapat maupun cara yang lainnya.
b. Hubungan kontekstual: Sebuah hubungan kontekstual antar
elemen dibangun berdasarkan pada tujuan dari pemodelan.
c. Matriks interaksi tunggal terstruktur (Structural Self Interaction
Matrix SSIM): Matriks ini mewakili elemen persepsi responden
terhadap hubungan elemen yang dituju. Empat simbol yang
digunakan untuk mewakili tipe hubungan yang terdapat antar dua
elemen dari sistem yang dikaji adalah:
V terdapat hubungan dari elemen Ei terhadap Ej, dan
tidak sebaliknya
A terdapat hubungan dari elemen Ej terhadap Ei, dan tidak
sebaliknya
X terdapat hubungan interrelasi antara Ei dan Ej, dan
dapat sebaliknya
O menunjukkan bahwa Ei dan Ej tidak berkaitan
d. Matriks Reachability (Reachability Matrix RM): Sebuah RM
yang dipersiapkan kemudian mengubah simbol-simbol SSIM ke
dalam sebuah matriks biner. Konversi SSIM menjadi SM
menggunakan aturan-aturan berikut,
Jika hubungan Ei terhadap Ej = V dalam SSIM maka
elemen Eij = 1 dan Eji = 0 dalam RM.
14
15
Menentukan
Selanjutnya
16
untuk
membangun
alternatif
strategi
implementasi
dasarnya untuk menyusun hirarki setiap sub elemen pada elemen yang
dikaji, dan kemudian membuat klasifikasinya ke dalam 4 sektor dimana
masing-masing sub elemen akan dimasukkan ke dalam variabel
Autonomous, Dependent, Linkage, atau Independent.
3. Soft System Methodology (SSM)
Soft System Methodology (SSM) adalah pendekatan sistem untuk
mengatasi situasi problematik dari dunia nyata. SSM adalah pendekatan
serba sistem yang tidak membedakan hard system dan soft system akan
tetapi sebuah pendekatan yang memberi jalan untuk mengatasi situasi
yang dianggap bermasalah atau problematik. SSM lebih menggunakan
epistemology dari pada ontology.SSM membandingkan antara kondisi
nyata yang ada dengan model konsepsual sehingga dapat membangun
pemahaman yang lebih baik atas suatu kondisi yang menjadi objek
18
kajian atau penelitian. Pendekatan ini akan menghasilkan gagasangagasan untuk menghasilkan perbaikan sejumlah keadaan dan
menyusun rencana aksinya.
Langkah-langkah yang dilakukan mencakup:
a. Menemu-kenali situasi masalah
Menghimpun dan menggali semua keadaan yang ada dalam
lingkup kajian atau penelitian berdasarkan pengetahuan terbaik yang
dapat dihimpun. Tujuannya adalah untuk mendapatkan beberapa
situasi atau keadaan yang akan dijadikan parameter dalam
penyusunan struktur masalah yang ada, sehingga dihasilkan
sejumlah pilihan relevan dan mungkin.
b. Menetapkan pokok kebijakan yang akan diambil
Pada langkah ini masalah yang sudah
dipetakan
Hak
Anak
(PUHA)
yang
dikembangkan
oleh
19
Budaya dan Perilaku serta Sistem Data. Situasi dan kondisi anak
disebabkan oleh berbagai sebab dalam kelompok unsur-unsur
tersebut, baik penyebab langsung, tidak langsung maupun akar
masalahnya. Penyebab-penyebab ini ditemukenali dan dianalisis
yang kemudian hasil analisisnya akan digunakan sebagai masukan
untuk memperbaiki situasi anak yang ada saat ini.
20
BAB III
SASARAN, KEBIJAKAN DAN PENCAPAIAN PEMBANGUNAN
BERBASIS GENDER
3.1. Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Pembangunan Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
merupakan bagian dari pembangunan nasional bidang sosial budaya dan
kehidupan beragama yang bertujuan untuk peningkatan kualitas hidup manusia
dan masyarakat Indonesia. Pembangunan manusia sebagai insan menekankan
pada manusia yang berharkat, bermartabat, bermoral dan memiliki jati diri serta
karakter tangguh baik dalam sikap mental, daya pikir maupun daya ciptanya.
Adapun pembangunan manusia sebagai sumberdaya pembangunan yaitu sebagai
pelaku pembangunan menekankan pada manusia yang memiliki etos kerja
produktif, keterampilan, kreatif dan inovatif, disiplin dan profesional, berorientasi
pada ilmu pengetahuan dan teknologi serta berwawasan lingkungan dan
kemampuan manajemen. Pembangunan manusia sebagai insan dan sumberdaya
pembangunan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, dilakukan pada
seluruh siklus hidup manusia yaitu sejak dalam kandungan sampai usia lanjut.
Upaya tersebut dilandasi oleh pertimbangan bahwa kualitas manusia yang baik
ditentukan oleh pertumbuhan dan perkembangannya sejak dalam kandungan. Di
samping itu, pembangunan manusia juga dilaksanakan dengan memperhatikan
kebutuhan yang berbeda-beda dari tiap tahap kehidupan manusia, baik laki-laki
maupun perempuan. Kemampuan bangsa untuk berdaya saing tinggi merupakan
kunci bagi tercapainya kemajuan dan kemakmuran bangsa. Daya saing bangsa
yang tinggi akan menjadikan Indonesia siap menghadapi tantangan globalisasi
dan mampu memanfaatkan peluang yang ada. Untuk memperkuat daya saing
bangsa, pembangunan nasional diarahkan untuk mengedepankan pembangunan
sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, baik laki-laki maupun perempuan.
Pembangunan nasional bidang pemberdayaan perempuan terdiri dari
pembangunan
dengan
fokus
prioritas
kesetaraan
gender, pemberdayaan
21
Gender, Pemberdayaan
Perempuan
dan
pembangunan
bidang
pemberdayaan
perempuan
dan
perlindungan anak dalam RPJMN 2010-2014 yang akan dicapai pada akhir
tahun 2014 adalah:
1.
2.
daerah.
Meningkatnya efektivitas kelembagaan perlindungan anak, baik di
tingkat nasional maupun daerah.
Peningkatan kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, dan
22
2.
Indonesia
dalam
mengakses
dan
mendapatkan
manfaat
Pengarusutamaan
gender
(PUG)
dilakukan
dengan
23
penganggaran,
pelaksanaan,
pemantauan,
dan
evaluasi
Pembangunan
Gender
(IPG)
(Gender-related
Development
pengarusutamaan
gender
terdiri
dari
(tiga)
isu
nasional/kebijakan, yaitu:
1.
2.
24
3.
balita
gizi
buruk
yang
mendapat
perawatan; (b)
peningkatan
perlindungan
anak
diarahkan
pada:
25
2.
antara
lain
melalui:
peningkatan
rehabilitasi
dan
26
penguatan
peran
masyarakat,
dan
peningkatan
kualitas
kelembagaan berbagai instansi pemerintah, organisasi perempuan dan lembagalembaga lainnya. Melalui upaya ini diharapkan peningkatan kapabilitas dasar
perempuan akan dapat segera diwujudkan (KPPPA, 2012a).
Secara
umum
pencapaian
pembangunan
gender
menunjukkan
27
69.0
68.5
67.8
68.0
67.2
66.8
67.0
66.4
65.8
66.0
65.1
65.3
65.0
64.0
63.0
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
pencapaian IPG selama ini masih belum mampu mengurangi kesenjangan secara
substansial dalam pencapaian kapabilitas dasar antara laki-laki dan perempuan.
Kesenjangan antara IPM dengan IPG masih relatif sama (Tabel 1). Seperti telah
diketahui bahwa IPG merupakan indeks komposit yang terdiri dari beberapa
komponen, yaitu angka harapan hidup, angka melek huruh dan rata-rata lama
sekolah, dan sumbangan pendapatan. Peningkatan IPG selama kurun waktu tahun
2005 2012 sudah barang tentu merupakan kontribusi dari kapabilitas dasar
perempuan yang terangkum dalam dimensi kesehatan, pendidikan maupun hidup
layak dan mungkin juga meningkat seiring dengan pelaksanaan program-program
pembangunan.
Angka harapan hidup (AHH) merupakan rata-rata perkiraan umur yang
dapat ditempuh oleh seseorang selama hidup. Indikator AHH sering digunakan
sebagai
proxy untuk
menilai
kinerja
pemerintah
dalam
meningkatkan
28
telah mencapai 70,2 tahun sedangkan laki-laki mencapai 66,2 tahun. Angka
harapan hidup perempuan pada tahun 2012 meningkat menjadi 71,7 tahun.
Sedangkan AHH laki-laki pada tahun 2012 masih tetap lebih rendah dari AHH
perempuan walaupun telah meningkat menjadi 67,7 tahun.
Tabel 1. Kecenderungan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Indeks
Pembangunan Gender (IPG), dan Rasio IPG/IPM tahun 2005 - 2012
Indeks
Pembangunan
Manusia (IPM)
69.6
70.1
70.6
71.2
71.8
72.3
72.8
73.3
Tahun
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Indeks
Pembangunan
Gender (IPG)
65.1
65.3
65.8
66.4
66.8
67.2
67.8
68.5
Rasio
(%)
93.5
93.2
93.2
93.3
93.0
92.9
93.1
93.5
73.0
72.0
71.0
70.2
70.5 70.7
71.0
70.0
69.0
68.0
67.0
66.2
66.5 66.8
67.1
Laki-laki
Perempuan
66.0
65.0
64.0
63.0
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
29
dari perkembangan angka harapan hidup yang cenderung meningkat, baik AHH
laki-laki maupun perempuan. Level AHH yang dicapai penduduk laki-laki masih
jauh dibawah level AHH yang dicapai perempuan. Banyak faktor penyebab
rendahnya AHH laki-laki dibandingkan AHH perempuan seperti kesehatan,
perilaku, dan kemampuan bertahan hidup. Hasil kajian dari aspek kesehatan,
salah satunya mengungkapkan bahwa banyaknya kejadian kematian pada laki-laki
umumnya bersifat prematur yang seharusnya dapat dicegah melalui tindakan
promosi kesehatan atau pencegahan yang dapat dilakukan sedini mungkin. Selain
itu, beberapa penyakit yang menjadi penyebab utama kematian pada laki-laki
adalah penyakit degeneratif seperti jantung, paru, stroke, hipertensi, diabetes dan
kanker (KPP-PA, 2012a).
Kemajuan pembangunan di bidang pendidikan juga memiliki kontribusi
yang sangat besar dalam kemajuan pembangunan manusia karena pendidikan
dapat meningkatkan kualitas manusia. Penuntasan buta huruf dan penurunan
angka putus sekolah telah menjadi program prioritas dalam kebijakan pemerintah,
baik pusat maupun daerah. Pembangunan dan revitalisasi gedung-gedung sekolah
merupakan salah satu upaya dalam meningkatkan partisipasi sekolah. Indikator
pendidikan yang merepresentasikan dimensi pengetahuan dalam IPM maupun
IPG adalah angka melek huruf (AMH) dan rata-rata lama sekolah (MYS). AMH
menggambarkan persentase penduduk umur 15 tahun keatas yang mampu baca
tulis, sedangkan indikator rata-rata lama sekolah menggambarkan rata-rata jumlah
tahun yang dijalani oleh penduduk usia 15 tahun ke atas untuk menempuh semua
jenis pendidikan formal (KPP-PA, 2012a).
Perkembangan angka melek huruf laki-laki dan perempuan disajikan pada
Gambar 7.
30
98.0
96.0
94.3 94.6
95.7 95.8
95.2 95.4 95.7 95.7
94.0
92.0
90.0
88.0
87.5
88.4 88.6
89.1
89.7
86.0
84.0
82.0
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
penduduk
laki-laki
dan
perempuan
menunjukkan
kecenderungan
peningkatan walaupun sangat sedikit (Gambar 8). Secara umum pendidikan lakilaki masih lebih tinggi dibandingkan dengan pendidikan perempuan, walaupun
hanya selisih 1 tahun. Pada tahun 2012, rata-rata lama sekolah laki-laki mencapai
8,5 tahun atau setara dengan kelas 2 SMP dan perempuan mencapai 7,6 tahun atau
setara dengan kelas 1 SMP.
31
9.0
8.0
6.8
7.0
8.0
8.0
7.9
7.8
7.1
7.0
6.9
8.2
7.3
8.5
8.4
8.3
7.5
7.5
7.6
6.0
5.0
Laki-laki
4.0
Perempuan
3.0
2.0
1.0
0.0
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
60.1
63.6
62.5
65.6
66.5
65.0
65.8
65.3
50.0
40.0
39.5
36.4
37.5
34.4
Laki-laki
30.0
35.0
33.5
Perempuan
34.2
34.7
20.0
10.0
0.0
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
32
JENIS KELAMIN
(ORANG)
Laki Peremp
laki
uan
73,284, 44,768,
748
362
69,068,9 41,739,1
65
89
4,215,78 3,029,17
3
3
13,522, 42,351,
185
408
118,053,
110
110,808,
154
7,244,95
6
55,873,5
93
7,167,83
0
1,417,53
0
4,936,82
5
86,806,
933
14,084,6
33
33,628,8
14
8,160,14
6
173,926,
703
6,916,80
3
32,211,2
84
3,223,32
1
87,119,
770
JUMLAH
JENIS KELAMIN
(%)
Laki Peremp
laki
uan
62.1
37.9
62.3
37.7
58.2
24.2
41.8
75.8
50.9
4.2
49.1
95.8
60.5
49.9
39.5
50.1
lima provinsi masuk dalam kategori urutan tertinggi dan terendah (Tabel 3). Lima
provinsi yang masuk kategori urutan tertinggi berturut-turut adalah Nusa Tenggara
Timur (NTT), Daerah Istimewa Yogyakarta, Papua, DKI Jakarta, dan Maluku.
Sedangkan provinsi dengan urutan terendah secara berurutan adalah Papua Barat,
Kepulauan Riau, Kep. Bangka Belitung, Gorontalo, dan Kalimantan Timur.
34
Tabel 3. Provinsi dengan peringkat tertinggi dan terendah berdasarkan rasio IPG
terhadap IPM tahun 2012
Kategori
Tertinggi
Terendah
Provinsi
NTT
D I Yogyakarta
Papua
DKI Jakarta
Maluku
Papua Barat
Kep. Riau
Kep. Babel
Gorontalo
Kalimantan
Timur
IPM
68.28
76.75
65.86
78.33
72.42
70.22
76.20
73.78
71.31
IPG
65.99
74.11
63.06
74.66
68.54
60.02
65.60
61.38
58.32
Rasio
96.65
96.56
95.75
95.31
94.64
85.47
86.09
83.19
81.78
Selisi
h
2.3
2.6
2.8
3.7
3.9
10.2
10.6
12.4
13.0
76.71
61.86
80.64
14.9
IPG Indonesia
60.00
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
35
Gambar 10. Sebaran pencapaian IPG provinsi tahun 2012 (Marhaeni, 2013)
Untuk tahun 2012, sebaran IPG di tingkat provinsi menunjukkan bahwa
pencapaian IPG pada 10 provinsi melebihi rata-rata IPG nasional.
Sepuluh
provinsi tersebut secara berurutan dari tertinggi adalah DKI Jakarta, Daerah
Istimewa Yogyakarta,
Jika
dibandingkan dengan pencapaian IPG tahun 2009, pencapaian IPG provinsi yang
melebihi rata-rata IPG nasional hanya 9 provinsi (Gambar 11), yaitu DKI Jakarta,
Daerah Istimewa Yogyakarta, Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, Sumatera
Barat, Sulawesi Utara, Bali, Bengkulu dan Maluku. Kondisi ini menunjukkan
bahwa provinsi Sumatera Selatan telah melakukan upaya yang besar sehingga
pencapaian IPG dapat melebihi rata-rata IPG nasional.
Di tingkat provinsi pencapaian IPG relatif beragam.
Pencapaian IPG
tertinggi pada tahun 2012 diraih oleh DKI Jakarta dengan nilai 74,66, sedangkan
yang paling rendah adalah Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan perolehan nilai
IPG 57,58. Disparitas antar provinsi berarti sebesar 17.08 unit. Jarak pencapaian
IPG tertinggi dan terendah ini menurun jika dibandingkan dengan hal yang sama
pada tahun 2009 sebesar 17,29 unit. Pada tahun 2009, pencapaian IPG tertinggi
DKI Jakarta sebesar 73,00 dan IPG terendah pada Provinsi Nusa Tenggara Barat
dengan IPG sebesar 55,72.
36
Gambar 11. Sebaran pencapaian IPG provinsi tahun 2009 dan 2012
3.3. Pencapaian Pemberdayaan Gender
Selain Indeks Pembangunan Gender (IPG) yang merupakan ukuran untuk
mencerminkan terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender. Pencapaian IPG
menunjukkan besaran diskriminasi antara perempuan dan laki-laki dalam
mendapatkan akses, kesempatan berpartisipasi, dan kontrol atas pembangunan
serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan. Di samping
itu, terdapat juga Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) yang digunakan untuk
mengukur persamaan peranan antara perempuan dan laki-laki dalam pengambilan
keputusan di bidang politik maupun manajerial. Kedua indeks ini diharapkan
mampu memberikan gambaran kemajuan kesetaraan dan keadilan gender yang
dicapai melalui berbagai program-program pembangunan.
Pencapaian pembangunan manusia secara kuantitatif dapat dilihat dari
besaran IPM. Besaran angka IPM semata tidak dapat menjelaskan seberapa besar
perbedaan (gap) pencapaian kualitas hidup perempuan dan laki-laki yang diukur
melalui gabungan indikator kesehatan, pendidikan dan daya beli. Melalui IPG
(Indeks Pembangunan Gender), perbedaan pencapaian yang menggambarkan
kesenjangan pencapaian antara laki-laki dan perempuan dapat terjelaskan, yakni
dengan mengurangkan nilai IPM dengan IPG. Sedangkan IDG dapat
menggambarkan perbedaan peranan antara perempuan dan laki-laki dari
pencapaian
kapabilitas
berdasarkan
status
dan
kedudukan
perempuan
kualitas sebenarnya masih banyak hal yang perlu ditingkatkan (KPPPA, 2012a).
IDG dibentuk berdasarkan tiga komponen, yaitu keterwakilan perempuan
dalam parlemen, perempuan sebagai tenaga profesional, manajer, administrasi,
dan teknisi; dan sumbangan pendapatan. Dengan demikian, arah dan perubahan
IDG sangat dipengaruhi oleh ketiga komponen pembentuk IDG tersebut. Besaran
nilai indikator yang terekam dari kegiatan pengumpulan data merupakan hasil
akumulasi dampak dari berbagai kebijakan baik bersifat langsung maupun tidak
langsung dari program-program pembangunan yang telah dilaksanakan. Hasilnya
menggambarkan kondisi nyata perempuan sehubungan dengan peranannya dalam
pengambilan keputusan di berbagai bidang kehidupan.
37
Kesetaraan dan keadilan gender bisa dimaknai sebagai suatu kondisi dimana
porsi dan siklus sosial perempuan dan laki-laki setara, serasi, seimbang dan
harmonis, tanpa ada salah satu kelompok yang merasa dirugikan atau
dimarginalkan.
persamaan status dan kedudukan antara laki-laki dan perempuan, tetapi bisa juga
bermakna pada persoalan persamaan peranan. Persamaan peranan dalam hal ini
seperti partisipasi dalam proses pengambilan keputusan di bidang politik maupun
penyelenggaraan pemerintahan, kehidupan ekonomi dan sosial, khususnya
kontribusi perempuan dalam pendapatan rumah tangga. Unsur-unsur persamaan
peranan tersebut merupakan komponen yang tercakup dalam penghitungan indeks
pemberdayaan gender (IDG). Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, IDG
merupakan ukuran komposit yang dapat digunakan untuk mengkaji sejauh mana
persamaan peranan perempuan dalam proses pengambilan keputusan serta
kontribusi dalam aspek ekonomi maupun sosial (KPPPA, 2012a).
Perkembangan IDG antara tahun 2005 sampai dengan 2012 menunjukkan
kecenderungan yang meningkat (Gambar 12). Pada tahun 2009, pencapaian IDG
masih sebesar 63,5 dan dalam kurun waktu 3 tahun telah meningkat 6,6 unit atau
menjadi 70,1 pada tahun 2012. Kondisi ini menunjukkan bahwa peran serta
perempuan dalam pengambilan keputusan dan kegiatan ekonomi semakin
meningkat dengan lebih cepat dibandingkan kurun waktu 2005-2008.
72.0
70.0
68.2
68.0
70.1
69.1
66.0
64.0
62.0
60.0
61.3
61.8
62.3
63.5
59.7
58.0
56.0
54.0
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
38
Laki-laki
Perempuan
Gambar 13. Komponen IDG antara laki-laki dan perempuan tahun 2012
Upaya pemerintah dalam meningkatkan kapabilitas penduduknya masih
meninggalkan persoalan yaitu masih terjadinya ketimpangan aksesibilitas antara
laki-laki perempuan. Pada uraian sebelumnya telah dipaparkan bahwa pencapaian
perempuan dalam bidang pendidikan dan ketenagakerjaan relatif masih tertinggal
dari pencapaian laki-laki. Ketimpangan ini ternyata terjadi pula dalam bidang
politik. Keterwakilan perempuan dalam parlemen masih relatif kecil yaitu hanya
sebesar 17,49 persen. Nilai ini masih dibawah kuota yang diatur dalam UU No.12
Tahun 2003, yang menyebutkan bahwa kuota perempuan untuk dapat
39
komponen
yaitu
persentase
tenaga
profesional,
Tabel 4. Penduduk yang bekerja menurut jabatan dan jenis kelamin tahun 2012
40
41
Kesenjangan
42
90.00
80.00
70.00
60.00
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
IDG Indonesia
terhadap capaian pembangunan di suatu wilayah, akan tetapi indikator ini tidak
mampu mencerminkan disparitas gender yang justru sedang menjadi perhatian
global. Untuk memenuhi kebutuhan terakhir maka disusun Indeks Pembangunan
Gender (IPG), yang pada dasarnya hampir sama dengan IPM tetapi dilakukan
pemilahan jenis kelamin untuk masing-masing komponennya. Jadi, dengan
menggunakan IPG akan dapat diukur capaian pembangunan manusia yang telah
memasukkan aspek disparitas gender. Penting untuk dicatat bahwa IPG
43
44
46
BAB IV
ISU-ISU PRIORITAS
Hak asasi manusia merupakan sekumpulan hak yang melekat pada hakikat
dan keberadaan manusia sebagai makhluk hidup yang wajib dihormati, dijunjung
tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Penghormatan,
perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia, termasuk hak asasi laki-laki dan
hak asasi perempuan termaktub dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). UUD 1945 mengamanatkan 14 (empat belas)
Rumpun Hak Dasar dan terjabarkan dalam 40 (empat puluh) Hak Konstitusional
bagi seluruh warga negara Indonesia. UUD 1945 juga menjamin hak setiap warga
negara Indonesia untuk dapat menikmati dan berpartisipasi dalam pembangunan
di berbagai bidang. Namun, kenyataan masih menunjukkan bahwa dalam hal
perolehan akses, manfaat, dan partisipasi dalam pembangunan serta kontrol
terhadap sumber daya masih terdapat kesenjangan antara penduduk perempuan
dan laki-laki (KPPPA, 2012a).
Di samping itu, keberhasilan pencapaian pembangunan seyogyanya tidak
diukur dari pencapaian pembangunan ekonomi semata, melainkan dilihat juga dari
pembangunan sumber daya manusianya. Pembangunan kualitas hidup manusia
merupakan upaya terus menerus yang dilakukan pemerintah dalam rangka
mencapai kehidupan yang lebih baik. Upaya pembangunan ini ditujukan untuk
kepentingan seluruh penduduk tanpa membedakan laki-laki atau perempuan.
Namun, dalam pelaksanaannya masih terdapat kelompok penduduk perempuan
yang tertinggal dalam pencapaian kualitas hidup. Ketertinggalan ini dapat terjadi
akibat belum terintegrasikannya secara penuh kesetaraan dan keadilan gender
dalam
pembangunan.
Di
lain
pihak,
keberhasilan
pembangunan
yang
47
Dinamika
organisasi ekonomi dan sosial sebagai bagian dari kelembagaan ekonomi dan
sosial dapat merasionalisasikan prosedur dan mekanisme kerjanya sehingga
menghasilkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam kerangka efisiensi
dan optimalisasi organisasi. Dinamika ekonomi dan sosial yang mengarah kepada
kesetaraan gender ini diperkuat juga oleh peningkatan rasional individu untuk
mematuhi hak-hak asasi manusia dan ketentuan hukum yang melarang adanya
praktek diskriminasi dalam pendidikan, pekerjaan maupun aspek lain dalam
kehidupan sosial. Kekuatan lain yang dapat memperkecil kesenjangan antara lakilaki dan perempuan adalah inovasi sosial dan teknologi.
48
untuk
mengerjakan
sesuatu
dengan
cara
yang
berbeda,
khususnya
pengorganisasian relasi sosial dengan cara yang baru dan mengarah kepada
kesetaraan gender. Di samping itu, keinginan perempuan dan komitmen laki-laki
dan perempuan untuk meningkatkan kualitas hidup perempuan melalui pilihanpilihan kehidupan sehari-hari dalam bidang pekerjaan (ekonomi), relasi sosial
maupun politik merupakan kekuatan lain yang dapat mendorong untuk
mewujudkan kesetaraan gender.
Upaya untuk mencapai kesetaraan gender telah mengalami kemajuan di
beberapa area kunci kebutuhan dasar yaitu pada bidang kesehatan dan pendidikan,
terbuka kesempatan yang lebih besar bagi perempuan untuk berpartisipasi dan
pengambilan keputusan maupun ketersediaan perangkat hukum yang diperlukan
untuk pengarusutamaan gender dalam pembangunan. Indeks paritas gender di
bidang pendidikan telah tercapai.
signifikan dan tidak ada kesenjangan gender yang berarti pada kematian bayi dan
anak di bawah umur lima tahun. Tingkat partisipasi tenaga kerja perempuan terus
tumbuh dengan tingkat penghasilan perempuan berpendidikan yang lebih baik
dibanding dengan laki-laki.
walaupun masih belum dapat memenuhi kuota yang telah disediakan. Namun,
tantangan kesetaraan dan keadilan gender, pemberdayaan perempuan dan
penghapusan kekerasan terhadap perempuan masih cukup besar di masa
mendatang. Beberapa tantangan yang masih harus mendapatkan perhatian yang
besar antara lain implementasi komitmen global untuk kesetaraan gender, belum
mantapnya
kelembagaan
pengarusutamaan
gender
dalam
pembangunan,
49
Perempuan merupakan
golongan mayoritas dari kelompok orang miskin di dunia dan jumlah perempuan
di pedesaan miskin telah meningkat 50% sejak tahun 1975. Perempuan juga
merupakan mayoritas penyandang buta huruf di dunia. Perempuan di Asia dan
Afrika setiap minggu bekerja 13 jam lebih
Pekerjaan
perempuan di rumah dan dalam lingkup keluarga tidak dibayar dan apabila
pekerjaan ini diperhitungkan sebagai produktivitas nasional maka penghasilan
global akan meningkat antara 25 sampai 30%.
ditetapkannya oleh Majelis PBB pada tahun 1979 Konvensi Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All
Forms of Discrimination Against Women CEDAW).
CEDAW merupakan konvensi yang mengikat bagi negara yang telah
meratifikasinya.
50
konseptual yang menjadi komitmen dan tertuang dalam konvensi yang terdiri dari
preambul dan 30 pasal.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
yang meliputi :
a. Penjaminan kesetaraan dan non-diskriminasi
b. Larangan diskrimisasi
c. Perlindungan hukum perempuan
d. Lembaga dan mekanisme untuk implementasi dan monitoring
e. Inkorporasi dan aplikasi perjanjian
f. Langkah-langkah khusus sementara
Kekerasan berbasis gender
a. Kekerasan dalam rumah tangga
b. Perkosaan dan bentuk-bentuk penyerangan seksual lainnya
Perdagangan dan eksploitasi prostitusi
Kehidupan politik dan publik
Kewarganegaraan
Pendidikan
Ketenagakerjaan
51
8. Kesehatan
9. Kehidupan ekonomi dan sosial
10. Perempuan pedesaan
11. Kesetaraan dihadapan hukum
12. Perkawinan dan keluarga
Negara yang telah meratifikasi CEDAW memiliki komitmen untuk
melaksanakan kewajiban yang tertuang dalam konvensi dan menyampaikan
laporan tentang langkah-langkah legislatif, kehakiman, administratif atau lainnya
yang telah diadopsi untuk memberi pengaruh tingkat pemenuhan kewajiban pada
ketetapan konvensi CEDAW. Laporan ke-6 dan 7 dari Indonesia mendapatkan
apresiasi untuk kemajuan yang telah dicapai dalam pencapaian kesetaraan
perempuan. Beberapa hal mendasar yang masih perlu mendapatkan perhatian
meliputi :
1. Kemungkinan perempuan kurang menyadari akan hak-haknya berdasarkan
konvensi CEDAW atau Undang-Undang Nomor 28 tahun 1984 sehingga
tidak memiliki kapasitas untuk mengklaim hak-haknya.
2. Kemungkinan kurang sadarnya pengadilan, profesional di bidang hukum
dan aparat penegak hukum terhadap kewajiban dalam CEDAW maupun
kegagalan untuk secara penuh dan sistematis mengintegrasikan kewajibankewajiban dalam CEDAW ke dalam perundang-undangan Indonesia.
3. Pengertian dan definisi diskriminasi yang termuat dalam Undang-Undang
Nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia, yaitu diskriminasi
adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung
ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar
agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status
ekomomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik. yang berakibat
pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan
atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan
baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum,
sosial, budaya. dan aspek kehidupan lainnya masih memberikan peluang
untuk terjadinya diskriminasi terhadap perempuan.
4. Kekhawatiran kegagalan untuk secara konsisten mengimplementasikan
ketentuan dalam CEDAW pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota karena
setelah penerapan kebijakan desentralisasi banyak pemerintah daerah yang
52
akan
masih
persisten.
Persistensi
stereotip
ini
Tindak
Pidana
Perdagangan
Orang
terhadap
53
pengambil
kebijakan
bahwa
pemberdayaan
perempuan
54
Peningkatan
ketidaksetaraan
gender
sangat
terkait
dengan
setiap
tantangan
56
tampaknya tujuan MDGs dalam bidang gender sudah pada jalurnya (on the track).
Dua dari enam indikator yang tercantum dalam target MDGs bahkan sudah
melampaui target yang ditetapkan. Dua indikator tersebut yaitu rasio anak
perempuan di Sekolah Menengah Pertama dan rasio anak perempuan di Sekolah
Menengah Atas dengan capaian pada tahun 2011 masing-masing sebesar 103,45
persen dan 101,41 persen, dimana target dari kedua indikator tersebut sebesar 100
persen. Sementara keempat target lainnya capaiannya sudah sangat bagus di atas
97 persen. Apabila capaian ini dapat dipertahankan dan ditingkatkan, maka
harapan unutk mencapai target MDGs sangat mungkin diwujudkan (KPPPA,
2012). Seyogyanya tujuan MDGs diperlakukan tidak sebagai agenda yang baru
sama sekali, tetapi merupakan wahana baru untuk implementasi CEDAW dan
Beijing Platform for Action.
Berdasarkan pada kerangka kebijakan CEDAW, program dan 12 area kritis
Beijing Platform for Action serta tujuan dan target MDGs, maka dapat digaris
bawahi beberapa hal agar tujuan MDGs dapat menjadi wahana untuk mencapai
kesetaraan gender, yaitu (Neuhold, 2005):
a. Diperlukan komitmen yang kuat untuk mengimplementasikan kerangka
kebijakan CEDAW.
b. Pengembangan strategi dan implementasi Beijing Platform for Action perlu
dirancang bersama-sama dengan melibatkan dan partisipasi aktif dari
pemerintah, pakar perempuan dan laki-laki, lembaga swadaya masyarakat,
masyarakat madani dan pemanfaatan jejaring.
57
dan
pendampingan,
maupun
teknologi,
peralatan,
Kekerasan
58
secara
internasional
melalui
komitmen
konvensi
CEDAW
59
sebagai fenomena gunung es, masih sangat banyak perempuan korban tindak
kekerasan yang tidak mampu dan tidak berani mengemukakan pengalaman
kekersan yang dialaminya. Diduga banyak juga perempuan yang tidak mau atau
tidak berani mendatangi lembaga pengada layanan untuk meminta bantuan.
Walaupun demikian, kecenderungan (Gambar 15), lokasi kejadian, karakteristik
dan informasi bentuk kekerasan masih dapat dimanfaatkan untuk bahan
pertimbangan pengembangan kebijakan dan program untuk penghapusan
kekerasan terhadap perempuan.
250,000
200,000
150,000
Jumlah Kasus
100,000
50,000
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
proporsi kekerasan dalam keluarga dan relasi personal menurun menjadi 66% dan
proporsi kekerasan terhadap perempuan dalam komunitas meningkat menjadi
34%, sedangkan kekerasan yang berkaitan dengan peran negara masih tetap
kurang dari 0,1%.
keluarga dan relasi personal meliputi kekerasan psikis, fisik, kekerasan seksual
dan kekerasan ekonomi. Jenis kekerasan dalam rumah tangga dan relasi personal
60
yang paling banyak adalah kekerasan terhadap istri dan sisanya mencakup
kekerasan dalam pacaran, kekerasan yang dilakukan oleh mantan suami atau
mantan pacar, dan kekerasan terhadap pekerja rumah tangga.
Faktor penyebab
terjadinya kekerasan dalam keluarga dan relasi personal menurut Hendrya (2011)
adalah karena faktor ketidakadilan gender dan faktor budaya, disfungsi anggota
keluarga dan perselingkuhan serta kurangnya rasa tanggung jawab. Kekerasan
terhadap perempuan akan berdampak secara psikologis. Dampak psikologis yang
dominan akan dirasakan perempuan korban kekerasan adalah timbulnya stres,
depresi, rasa marah, terhina, rasa tidak berdaya, kehilangan nafsu makan, susah
tidur, turun berat badan, sering menangis dan perasaan ingin bunuh diri. Dampak
ini tentu sangat mengganggu perempuan dan konsekuensinya perempuan korban
kekerasan akan kesulitan mengapresiasikan dan mengolah sumber daya yang ada
dalam dirinya untuk dapat menyelesaikan permasalahan dan mengambil
keputusan serta berpartisipasi dalam pembangunan.
Upaya pemberdayaan
Tahun 2009
Tahun 2012
Gambar 16. Proporsi bentuk kekerasan terhadap perempuan tahun 2009 dan 2012
Karakteristik korban dan pelaku kekerasan terhadap perempuan yang terdata
pada tahun 2012 disajikan pada Tabel 8 dan 9.
kekerasan terhadap perempuan adalah SLTA (44,3 %) dan disusul pelaku dengan
tingkat pendidikan SLTP (20,4 %). Berdasarkan informasi ini dapat dikatakan
bahwa usia dan pendidikan korban sebagian besar berada pada tingkat SLTP dan
SLTA. Perempuan usia anak rentan mengalami kekerasan di ranah komunitas
yang dapat terjadi pada saat perjalanan menuju atau dari sekolah, di dalam
kendaraan umum, di sekolah atau ditempat berkumpulnya anak remaja. Oleh
karena itu, upaya pencegahan kekerasan terhadap perempuan dapat dibangun dan
diintegrasikan dalam proses pendidikan di sekolah formal maupun kelompokkelompok kegiatan remaja. Materi atau pengetahuan untuk merespon terhadap
hal-hal yang berkaitan dengan kekerasan terhadap perempuan perlu diberikan
pada perempuan usia anak SLTP dan SLTA. Di samping itu, mekanisme
pengaduan, penanganan dan pelayanan kekerasan terhadap perempuan dapat
dikembangkan di tingkat sekolah dan pelayanannya ramah terhadap anak
perempuan.
Tabel 8. Persentase tingkat usia korban dan pelaku kekerasan
terhadap perempuan di komunitas tahun 2012
Usia
Kurang 5 tahun
6 - 12 tahun
13 - 18 tahun
19 - 24 tahun
25 - 40 tahun
lebih 40 tahun
lainnya
Korban
2.5
10.
6
34.
9
19.
5
24.
6
6.5
1.4
Pelaku
0.6
1.4
13.8
21.8
36.0
19.0
7.5
62
Korban
3.8
4.1
14.2
30.9
35.3
6.0
5.7
Pelaku
3.0
4.2
12.8
20.4
44.3
11.6
3.7
Tahun 2009
63.6
12.1
7.8
Tahun 2012
19.2
10.1
24.3
7.6
6.2
2.6
0.2
3.7
32.9
3.7
6.0
63
perempuan dalam rumah tangga dan relasi personal masih dominan sampai saat
ini. Pemerintah berkewajiban untuk memecah dikotomi ranah privat dan publik
dengan memberikan perhatian dan terobosan yang dapat mengkaitkan perilaku
privat yang ilegal dengan kebijakan publik.
kekerasan.
Pemahaman
terhadap
faktor-faktor
penyebab
64
terhadap perempuan.
Di samping itu,
65
Kekerasan terhadap
perempuan yang berada dalam ranah privat sudah diperluas menjadi perhatian
publik dan menjadi tanggung jawab pemerintah dan masyarakat luas untuk
menghapusnya.
66
untuk
mencapai
kesetaraan
gender
melalui
pengintegrasian
67
Komponen Kunci
Peraturan perundang-undangan,
Peraturan/Keputusan, Surat Edaran
Menteri/Kepala LPND, Peraturan
Daerah
Kebijakan, strategi, program, proyek,
kegiatan, kerangka kerja
akuntabilitas, kerangka pemantauan
dan evaluasi
Struktur dan mekanisme pemerintah dan Struktur organisasi pemerintah,
pemerintah daerah yang mendukung
pemerintah daerah yang mempunyai
implementasi PUG
tugas dan fungsi untuk mendukung
pelaksanaan PUG baik dalam bentuk
unit kerja struktural seperti Badan,
Biro, Bagian dan dalam bentuk unit
kerja adhoc, seperti Pokja, focal
point PUG dansebagainya.
Sumberdaya yang memadai
SDM yang memiliki
kesadaran,respon, ketrampilan dan
motivasi untuk melaksanakan
PUG
e
f
68
Kementerian
Dalam
Negeri,
Kementerian
Luar
Negeri,
Kementerian
Energi
dan
SDM,
Kementerian
Perindustrian,
KESRA,
Kementerian
Sekretariat
Negara,
Kementerian
69
Kementerian
Energi
dan
SDM,
Kementerian
Perindustrian,
Perdagangan,
70
Koordinator
Perekonomian,
Kementerian
Dalam
Negeri,
Kehutanan,
Kementerian
Tenaga
Kerja
dan
Transmigrasi,
KUKM,
PPN/BAPPENAS,
Kementerian
BKKBN
dan
Lingkungan
Mahkamah
Hidup,
Agung.
Kementerian
Sedangkan
20
Renstra
K/L
yakni
Kementerian
Koordinator
POLHUKAM,
Kementerian
71
belum
mengintegrasikan
Kementerian/Lembaga
yaitu
isu
gender
Kementerian
kedalam
dokumen
Koordinator
Renja
POLHUKAM,
peran
lembaga
yang
72
2000
tentang
73
PUG
sangat
ditentukan
oleh
penempatan
level
74
Koordinator
75
melakukan
dan
ESDM,
Kementerian
Perdagangan,
Kementerian
Pertanian,
KESRA,
77
data
Evaluasi
PP
dan
PA Tahun
2012,
ada
25
78
KESRA, Kementerian
Koordinator
Perdagangan, Kementerian
(35
persen)
yakni
Kementerian
Koordinator
79
Keuangan,
Kementerian
Energi
dan
SDM,
Kementerian
Kementerian
Perhubungan,
Kementerian
Tenaga
Kerja
dan
dan Informatika,
KESRA, Kementerian
Koordinator
dan
SDM,
Kementerian
Perindustrian,
Kementerian
Pertanian,
80
PUG baik dalam tahapan perencanaan, pelaksanaan dan monitoring dan evaluasi
dipandang penting guna tercapainya kesetaraan gender secara efektif dan
efisien.Berdasarkan Evaluasi PP dan PA tahun 2012, terdapat 19 Kementerian/
Lembaga (51 persen) yang melibatkan lembaga masyarakat dalam proses
pelaksanaan PUG yaitu Kementerian Koordinator Perekonomian, Kementerian
Sekretariat Negara, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM,
Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian,
Kementerian Kehutanan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Tenaga Kerja
dan Transmigrasi, Kementerian PU, Kementerian Kesehatan, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Sosial, Kementerian Agama,
Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian KUKM, Kementerian
Pembangunan Daerah Tertinggal dan
Kementerian
Energi
dan
SDM,
Kementerian
Perdagangan,
tidak
mempunyai
peraturan
perundang-undangan
sebagai
dasar
Undang No. 33 Tahun 2004, maka kepada Pemerintah Daerah Provinsi telah
diberikan otonomi yang terbatas berdasarkan prinsip desentralisasi dan
dekonsentrasi, sedangkan kepada pemerintah daerah Kabupaten dan Kota
diberikan otonomi daerah yang luas dan utuh berdasarkan prinsip desentralisasi.
Dengan penerapan kebijakan otonomi daerah tersebut, pengaturan kelembagaan
menjadi kewenangan masing-masing daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007
tentang
Pemerintah
dan
Dua
83
(70%) telah menyusun rencana kerja tahunan dan 10 provinsi (30%) belum
menyusun rencana kerja tahunan.
building dijumpai di 23 provinsi (69%) dan tidak tersedia dukungan dana untuk
pelaksanaan PUG di 10 provinsi (31%).
e. Sistem Informasi dan Data Terpilah
Dalam rangka mendukung pelaksanaan PUG, 22 Provinsi (67 persen) telah
menyusun profil gender, statistik gender dan data terpilah berdasarkan jenis
kelamin. Sedangkan 11 Provinsi (33 persen) tidak memiliki profil gender, statistik
gender, dan data terpilah berdasarkan jenis kelamin yaitu Nanggroe Aceh
Darussalam, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, NTT, Kalimantan Tengah,
Kalimantan Selatan, Gorontalo, Maluku Utara dan Papua Barat. Sebagai upaya
untuk penyiapan data terpilah berdasarkan jenis kelamin di provinsi, maka 15
Provinsi (45 persen) telah membentuk forum data yang ditetapkan dengan
Keputusan Gubernur atau Keputusan Kepala Badan PP dan PA. Sedangkan 18
Provinsi (55 persen) tidak membentuk forum data yakni Nanggroe Aceh
Darussalam, Riau,Jambi, Kep Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Bengkulu, DKI
Jakarta, Banten, NTT, Kalbar, Kalteng, Kalsel, Sulteng, Sulsel, Gorontalo,
Maluku, Maluku Utara dan Papua.
f. Alat Analisis
Penggunaan alat analisis gender telah digunakan di 22 provinsi (67%) dalam
perencanaan/penganggaran dan 11 provinsi (33%) belum menggunakan alat
analisis. Jumlah Provinsi yang memiliki 3 SKPD atau lebih yang melakukan
analisis gender untuk menyusun program dan kegiatan terdapat di 20 Provinsi (61
persen). Sedangkan jumlah Provinsi yang mempunyai 2 SKPD yang melakukan
analisis gender untuk menyusun program dan kegiatan mencakup 4 Provinsi (12
persen) yakni NAD, Kep. Bangka Belitung, NTB,dan Kalimantan Timur. Jumlah
84
Riau, Jambi,
Bengkulu, NTT, Kalimantan Tengah, Maluku, Maluku Utara dan Papua Barat.
Satuan kerja perangkat daerah di 25 provinsi (76%) telah menggunakan analisis
gender dan 8 provinsi (24%) belum menggunakan analisis gender.
Dalam
85
86
untuk
87
teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi
kesejahteraan umat manusia.
Selain ketentuan di atas, Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 (amandemen) juga
merumuskan bahwa setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar,
sedangkan pemerintah wajib membiayainya. Pasal 31 ayat (3) dan (4) juga
menegaskan bahwa pemerintah memiliki kewajiban untuk mengusahakan
penyelenggaraan pengajaran nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa dengan memprioritaskan anggaran sekurang-kurangnya 20 persen dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD).
berhak
memperoleh
pendidikan
dan
pengajaran
dalam
rangka
88
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.
Di tingkat internasional, Kovenan Internasional Hak ECOSOB yang telah
diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 2005, Hak Atas
Pendidikan, Negara memiliki kewajiban untuk :
a. Pendidikan dasar harus diwajibkan dan tersedia secara cuma-cuma bagi
semua orang;
b. Pendidikan lanjutan dalam berbagai bentuknya, termasuk pendidikan teknik
dan kejuruan tingkat menengah, harus tersedia secara umum dan terbuka bagi
semua orang dengan segala cara yang layak dan khususnya dengan
menerapkan pendidikan cuma-cuma secara bertahap;
c. Pendidikan tingkat tinggi harus dapat dicapai oleh siapa pun juga,
berdasarkan kapasitas, dengan cara-cara yang layak, dan khususnya dengan
menerapkan pendidikan cuma-cuma secara bertahap;
d. Pendidikan dasar harus sedapat mungkin didorong atau diintensifkan bagi
orang-orang yang belum pernah menerima atau menyelesaikan keseluruhan
periode pendidikan dasar mereka;
e. Pengembangan suatu sistem sekolah pada semua tingkat harus diupayakan
secara aktif, suatu sistem beasiswa yang memadai harus dibentuk, dan
kondisi-kondisi
material
staf
pengajar
harus
ditingkatkan
secara
berkelanjutan.
Dalam konteks pemenuhan hak atas pendidikan, Negara menjadi pihak
utama yang bertanggung jawab untuk menjaminnya. Pada Pasal 53 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak terdapat
penegasan bahwa negara, dalam hal ini Pemerintah, memiliki tanggung jawab
memberikan biaya pendidikan dan/atau bantuan cuma-cuma atau pelayanan
khusus bagi anak dari keluarga tidak mampu, anak terlantar, dan anak yang
bertempat tinggal di daerah terpencil. Oleh karena itu pemerintah secara terus
menerus harus berupaya untuk meningkatkan mutu pendidikan dimulai dengan
89
berhak
mendapatkan
pendidikan
dan
pengajaran
untuk
mengambangkan diri dan kecerdasannya sesuai minat dan bakatnya, termasuk hak
mendapatkan pendidikan luar biasa bagi penyandang cacat. Negara dan
Pemerintah wajib menyediakan pendidikan dan pengajaran yang berkualitas bagi
semua anak Indonesia dan menjamin semua anak Indonesia mendapatkan
pendidikan yang layak. Pendidikan memainkan sebuah peranan penting untuk
memberdayakan perempuan, melindungi anak-anak dari eksploitasi kerja dan
seksual yang berbahaya. Karena pada hakekatnya dengan pendidikan, anak
Indonesia akan tumbuh menjadi generasi masa depan yang cerdas, berkarakter,
berakhlak mulia serta memiliki ketrampilan dan kemampuan yang unggul.
Sejauh mana negara melindungi hak-hak anak menjadi gambaran bagaimana
negara mempersiapkan masa depan bangsanya. Kurang optimalnya pemerintah
dalam menjalankan beberapa tanggung jawabnya telah membuat hak-hak anak
Indonesia semakin rentan dan sering dilanggar. Lebih jauh lagi kegagalan dalam
pembangunan pendidikan, berarti gagalnya pemerintah mewujudkan pendidikan
yang terjangkau bagi seluruh masyarakat dan berdampak langsung pada
pembangunan ekonomi yang kemudian memunculkan ketidak seimbangan
terutama pada tekanan-tekanan kehidupan yang sangat berat bagi banyak keluarga
Indonesia. Tekanan-tekanan kehidupan ini memaksa sejumlah anak untuk terlibat
dalam aktivitas ekonomi yang tidak seharusnya mereka lakukan. Banyak anak
yang putus sekolah, menjadi pekerja anak, bekerja di jalanan atau menjadi
pengemis dan permasalahan lain yang timbul akibat kurangnya pengetahuan dan
90
akhirnya anak yang berhadapan dengan hukum. Berdasarkan data yang diperoleh
dari Profil Anak Indonesia yang diterbitkan KPPPA yang bersumber dari Susenas
2010, Badan Pusat Statistik, diketahui bahwa:
Jumlah penduduk Indonesia 237,641 juta jiwa, dari jumlah tersebut sekitar
34,26 persen adalah anak berusia 0-17 tahun (81,4 juta jiwa ) (SENSUS
2010, BPS).
Anak indonesia yang memiliki akta kelahiran sekitar 54,79 persen, dari
jumlah tersebut 14,57 persen tidak dapat menunjukkan akta kelahiran,
sedangkan jumlah anak yang tidak memiliki akta kelahiran 44,09 persen
(SUSENAS 2010, BPS).
Secara nasional sebesar 1,59 persen anak perempuan berumur 10-17 tahun
berstatus kawin dan pernah kawin (perdesaan 2,17%; perkotaan 0,98%),
dari jumlah tersebut kawin pertama usia <15 tahun 35,78%, kawin pertama
usia 16 tahun 37,03%, dan kawin pertama usia 17-18 tahun sebesar 27,19 %
(SUSENAS 2010, BPS).
Persentase penduduk usia 7-17 tahun yang pernah sekolah dengan status
putus sekolah di Indonesia sebesar 2,91 persen, artinya dari setiap 1000
orang penduduk usia 7-17 tahun terdapat 29 anak yang putus sekolah. , anak
putus sekolahlebih banyak terjadi di perdesaan (3,51 persen) dibandingkan
91
di perkotaan (2,28 persen). Putus sekolah lebih banyak dialami oleh anak
laki-laki (3,60 persen) dibanding anak perempuan (2,17 persen).
Hasil Susenas tahun 2011 menunjukkan bahwa terdapat anak berumur 5-6
tahun yang saat ini bersekolah (25,72 persen), meskipun pada kelompok
umur ini bukan merupakan usia wajib sekolah. Jika dilihat berdasarkan
kelompok umur.
terlihat bahwa anak pada kelompok umur 7-17 yang bersekolah sebesar
90,07 persen, anak yang tidak/belum sekolah sebesar 1,25 persen dan anak
yang tidak sekolah lagi sebesar 8,68 persen.
Jenis PAUD yang paling banyak diikuti oleh anak usia 0-6 tahun adalah
TK/RA/BA yaitu sebesar 67,87 persen.
perempuan sudah memiliki peluang dan kesempatan yang hampir setara untuk
mendapatkan layanan pendidikan. Namun, kesenjangan gender masih dijumpai di
beberapa daerah, antara penduduk kaya dan penduduk miskin, serta antara daerah
perkotaan dan perdesaan. Kesetaraan gender dalam proses pembelajaran masih
perlu ditingkatkan agar sepenuhnya responsif gender. Proses pembelajaran masih
belum sepenuhnya responsif gender ditunjukkan oleh (1) materi bahan ajar yang
pada umumnya masih bias gender, (2) proses pembelajaran di kelas yang belum
sepenuhnya mendorong partisipasi aktif secara seimbang antara laki-laki dan
perempuan, serta (3) lingkungan fisik sekolah yang belum memenuhi kebutuhan
spesifik anak laki-laki dan perempuan. Di samping itu, pengelolaan pendidikan
juga masih perlu dilaksanakan secara berkeadilan gender atau memberikan
peluang yang adil bagi laki-laki dan perempuan untuk berpartisipasi dalam proses
pengambilan keputusan (Permendiknas 84/2008).
92
Berdasarkan informasi tersebut memang dapat diperoleh berbagai temuantemuan yang sebenarnya dapat dijadikan acuan dari berbagai lembaga atau
institusi dalam menyusun berbagai kebijakan, program dan kegiatan sebagai
intervensi dalam memajukan pendidikan di Indonesia. Tetapi permasalahan yang
terjadi pada tataran implementasi sedemikian kompleksnya, yang bila ditinjau
ekonomi-sosial, dikenal dengan bangunan pendidikan, yang mencakup segala
unsur yang membentuk pendidikan, mulai dari dari pelaku utama pendidik,
peserta didik sampai pada unsur-unsur lainnya seperti pendekatan, sistem, dan
metode pendidikan. Sedangkan tinjauan teknologi-manajerial membedakan
bangunan pendidikan ke dalam 3 (tiga) unsur yaitu kerangka, pranata, dan
kurikulum. Permasalahan-permasalahanm ketimpangan dan kesenjangan yang
terjadi pada pada bangunan pendidikan sering menyebabkan terjadinya
diskriminasi pendidikan. Diskriminasi pendidikan yang terjadi, tidak hanya
disebabkan oleh penyimpangan dalam pelaksanaan kebijakan, tetapi juga
disebabkan karena kebijakan pemerintah yang tidak memihak kepada rakyat kecil.
Lebih lanjut, praktik diskriminasi pendidikan dapat dilihat dari beberapa aspek
antara lain diskriminasi pembangunan pendidikan antara pedesaan dan perkotaan.
Rendahnya fasilitas pendidikan di pedesaan, diskriminasi pada kelas sosial peserta
didik,
termarginalisasi
oleh
perkasanya
pasar
dalam
memperoleh
kesempatan
pendidikan. Kelompok ini tidak saja sukar untuk menaikkan taraf hidup dengan
memperoleh pendidikan yang layak, melainkan juga dengan mudah diperlakukan
secara tidak adil oleh pihak-pihak yang menguasai pangsa pasar. Misi agung
pendidikan sebagai pencerdas kehidupan bangsa, di masa kini tidak ubahnya lahan
bisnis yang subur.
4.4.1. Diskriminasi Pendidikan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memberikan batasan pengertian tentang
diskriminasi, sebagai berikut: Diskrimasi mencakup perilaku apa saja, yang
berdasarkan perbedaan yang dibuat berdasarkan alamiah atau pengkategorian
masyarakat, yang tidak ada hubungannya dengan kemampuan individu atau
jasanya.
93
kejadian
yang
biasa
dalam masyarakat
karena
adanya
94
Tanpa
disadari
ternyata
Diskriminasi
juga
dilakukan
oleh
dunia
pendidikan
Indonesia
akhir-akhir
ini
semakin
dan
psikomotorik
selalu
diabaikan. Pelaksanaan
evaluasi
dari
lemahnya
pelayanan
pemerintah dalam
pemberian
pengakuan atas hak penduduk dan kebebasan sipil, ada fakta yang cukup
mengagetkan seputar kehidupan anak di perbatasan Indonesia dengan
Malaysia. Sebagian besar pelajar SMA yang berada di tiga kecamatan,
yang terletak di Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur, yang berbatasan
dengan Malaysia, justru mengantongi akta kelahiran yang dikeluarkan
pemerintah Malaysia. Sementara itu lebih kurang 32.000 anak yang
dilahirkan dari pasangan Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja di
96
akses
pendidika
97
dan
pendidika
n
yang
berkualita
s.
Sepanjan
g
2010-
2013
ditemuka
n
15
(lima
belas)
bentukbentuk
diskrimin
asi
yang
dilakukan
sekolah
kepada
siswa,
sebagai
berikut:
1. Tidak
bisa
sekolah
karena
tidak
memiliki
akte
kelahiran
2. Tidak
bisa
98
masuk
RSBI
karena
nilainya
kurang,
atau kursi
sudah
diplot
siswa
lain.
3. Tidak
bisa ikut
olimpiade
karena
tidak
punya
akte
kelahiran
4. Sekolah
membeda
kan status
orang tua
5. Disabilita
s
6. Anak
mendapat
kan nilai
kecil
karena
tidak mau
mengikuti
les/kegiat
99
an
tambahan
dari
sekolah
lantaran
tidak
punya
biaya
7. Stigma
negatif
karena
pindahan
dari
sekolah
lain
8. Orang tua
odha anak
dikembali
kan
ke
orang tua
9. Tidak
bisa
masuk
jurusan
yang
diinginka
n karena
jurusan
sudah
diisi oleh
orang tua
yang
100
punya
pengaruh/
ekonomi
10. Tidak
dapat
raport
karena
belum
lunas SPP
11. Tidak
mendapat
nilai
agama
karena
orang tua
penghayat
aliran
kepercaya
an
12. Tidak
mendapat
kan
pendidika
n
agama
yang
sesuai
karena
sekolahny
a dikelola
orang
yang
101
berbeda
agama
13. Stigma
negatif
karena
menjadi
korban
kekerasan
seksual
14. Anak
mendapat
pelajaran
yang
menyema
ikan
diskrimin
asi gender
15. Anak
tidak
boleh
masuk
sekolah,
dipersulit
pindah
karena
keyakinan
nya
g. Walaupun pendidikan telah digratiskan, tapi faktanya masyarakat belum
bebas memilih sekolah favorit maupun unggulan sesuai keinginannya.
Untuk memilih sekolah unggulan maka ada prasyarat pembiayaan yang
harus dilalui peserta didik. Atas nama biaya komite sekolah dan
terbatasnya kuota peserta didik di sekolah unggulan mengharuskan
102
103
dalam
pencarian
lapangan
kerja.
Pemberi
kerja
sering
for
Economic
Co-operation
and
Sekolah
Bertaraf
Internasional
(RSBI/Sekolah
Bertahap
dapat
menimbulkan
kesan
adanya
kasta-kasta
dalam
sama, fasilitas yang sama, dan kualitas yang sama. Dengan demikian,
dalam memajukan kualitas pendidikan nasional, pemerintah seharusnya
tidak bertindak diskriminatif. Namun pada akhirnya Mahkamah Konstitusi
(MK) membatalkan Pasal ini dan menghapus keberadaan rintisan sekolah
bertaraf internasional (RSBI/SBI).
4.4.3. Faktor Penyebab Diskriminasi Dalam Pendidikan
Semua warga negara harus mempunyai kesempatan yang sama di bidang
pendidikan. Oleh karena itu, diskriminasi pendidikan, baik menyangkut
diskriminasi sosial, diskriminasi kewilayahan, maupun diskriminasi agama, harus
dihapuskan, setidaknya diperkecil. Semua warga negara harus mempunyai akses
yang sama. Tidak boleh dibedakan kaya-miskin. Ini berarti bahwa Pemerintah
juga harus terus berupaya meningkatkan kualitas pendidikan agar merata di semua
wilayah Tanah Air. Peningkatan kualitas ini menyangkut sarana dan prasarana,
guru, ataupun aspek pendidikan lainnya. Sistem pendidikan misalnya, membuat
manusia mampu menggunakan akal-kreatif agar dapat bertahan hidup di dunia
ini. Pendidikan menjadi faktor penggerak yang utama bagi manusia untuk
"mengembangkan nasib" menjadi lebih baik. Tak ada satu pun alasan bagi sebuah
institusi pendidikan untuk menolak individu yang ingin menempuh pembelajaran.
Setiap manusia memiliki hak dasar untuk merasakan pendidikan secara layak.
Sehingga kebodohan tidaklah menjadi penghalang bagi masyarakat lebih
mengembangkan kemampuan untuk mensejahterakan dirinya.
Dilematis memang nyata terjadi di dunia pendidikan, pendidikan telah
merangkak menjadi komoditi mewah, yang tidak dengan mudah bisa diakses oleh
warga negara secara adil. Biaya pendidikan yang mahal adalah penyebab
utamanya. Oleh karena itu, penciptaan diskriminasi justru dimulai dari
pendidikan, hanya orang mampu secara ekonomi yang boleh menikmati
pendidikan di berbagai level pendidikan. Padahal, dipercaya bahwa pendidikan
adalah media bagi manusia untuk berlaku lebih baik di dunia ini.
Dengan pendidikan, segala aturan dan norma yang berlaku di masyarakat bisa
ditransformasikan
kepada
individu.
Roh
pendidikan
berupa
105
merasuk ke dalam kehidupan masyarakat tentu saja terjadi karena tiap warga
negara Indonesia belum memperoleh pendidikan yang berkualitas secara setara.
Perlakuan diskriminatif muncul karena kecemburuan, kebodohan dan sikap
memandang rendah manusia. Pendidikan adalah medium yang mampu menghapus
segala penyebab diskriminasi tersebut. Melalui pendidikan, manusia diajarkan
untuk memandang manusia apa adanya. Melalui pendidikan pula, menurut Emile
Durkheim, sikap taat pada aturan yang telah tertata sebelum manusia lahir
bisa dibentuk. Selama ini, pemaknaan pendidikan untuk semua justru sering
berada pada ruang yang salah-kaprah. Jika bangsa Indonesia mau menghapuskan
segala bentuk diskriminasi yang kerap terlihat dalam masyarakat, mau tidak mau
pendidikan yang berkualitas harus dibentuk oleh Pemerintah. Pendidikan harus
menjadi ranah yang mudah dijangkau oleh siapa pun di republik ini, bukan malah
menjadi pemikiran kedua bagi pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan.
Membangun negara melalui pendidikan yang ramah bagi semua akan tercipta
masyarakat yang saling menghormati tiap hak yang melekat pada diri individu
dan meningginya sikap toleransi. Walau ada sedikit kemajuan di era desentralisasi
saat ini, karena pemerintah daerah dengan kreatif melaksanakan amanah
konstitusi tersebut dengan model pendidikan gratis ke jenjang lebih tinggi lainnya
selain pendidikan dasar saja. Walaupun masih muncul kritikan oleh beberapa
pakar yang menilai kualitas pendidikan gratis kurang dibanding pendidikan yang
berbayar dan mahal.
Dilihat dari kacamata waktu dan strata kehidupan, pendidikan mengandung
nuansa kebertingkatan. Disatu pihak, karena merupakan sebuah proses maka
pendidikan memuat pentahapan. Dilain pihak, karena ada pendidik dan ada
peserta didik, maka pendidikan mengenal perbedaan status. Karena kenyataan,
pendidikan amat rentan terhadap kekerasan. Oleh karenanya bagaimana
pentahapan waktu dan perbedaan strata kestatusan itu harus dikelola, sehingga
pendidikan mampu menjadi sarana pemberdayaan, pengayaan dan tidak melindas
nilai-nilai kemanusiaan, seperti kemerdekaan, hormat pada pribadi dan keadilan.
Walau ada sedikit kemajuan di era desentralisasi saat ini, karena Pemerintah
Daerah dengan kreatif melaksanakan amanah konstitusi tersebut dengan model
pendidikan gratis ke jenjang lebih tinggi lainnya selain pendidikan dasar saja.
106
Walaupun masih muncul kritikan oleh beberapa pakar yang menilai kualitas
pendidikan gratis kurang dibanding pendidikan yang berbayar dan mahal.
Pendidikan mengandung nuansa kebertingkatan. Di satu pihak, karena
merupakan sebuah proses maka pendidikan memuat pentahapan. Dilain pihak,
karena ada Pendidik dan ada Peserta Didik, maka pendidikan mengenal perbedaan
status. Yang dapat menyebabkan bahwa
Piramida Bangunan
107
didik, tanpa melihat kebutuhan dan keterlibatan peserta didik. Satu hal yang pasti
akan banyak terjadi benturan-benturan yang suklit dihindari dan akhirnya
membuahkan pertentangan dan diskriminasi.. Piramida ini harus diubah, harus
dibalik. Peserta didik harus berada di posisi teratas dan ditengah adalah kurikulum
yang merupakan produk bersama melibatkan peserta didik dan elemen pendidikan
lainnya dan pendidik berada dibawah dengan membawa kurikulum untuk
diterapkan pada peserta didik.
Banyak faktor penyebab terjadinya kasus diskriminasi yang terjadi dalam
dunia pendidikan, antara lain adalah:
a. Anggapan yang salah tentang siswa-siswa yang memiliki keterbatasan fisik.
Anak-anak yang memiliki cacat fisik selalu dinomor duakan. Siswa
yang memiliki keterbatasan fisik tidak dapat menempuh pendidikannya di
sekolah umum, melainkan harus di sekolah luar.
b. Pembiaran masyarakat
Saat
terjadi
diskriminasi
terhadap
anak-anak
yang
memiliki
108
beranggapan
bahwa
jika
anak-anak
yang
memiliki
109
banyak anak-anak miskin yang sudah mulai putus asa. Mereka mulai
berpikir bahwa pendidikan hanya untuk anak dari keluarga kaya.
j. Tidak adanya bantuan dari pemerintah, menyebabkan pertanyaan kepada
siapa lagi anak-anak miskin harus meminta bantuan, jika tidak kepada
pemerintah. Pemerintah yang sebenarnya dapat memberikan bantuan kepada
siswa-siswa
miskin
malah
menghambur-hamburkan
uang
untuk
kapasitas,
moral,
komitmen,
dan
status
pendidik,
110
upaya
memerangi
diskriminasi,
diperlukan
pertimbangan-
111
mengatasi
diskriminasi
pendidikan
dalam
proses
Sehingga proses
mampu
berkarya.
Kebijakan
pemerintah dan
partisipasi
kesetaraan
gender
ke
dalam
kurikulum
dilakukan
dengan
113
114
prinsip, dan norma-norma hukum hak asasi manusia internasional yang telah
dituangkan dalam peraturan perundang-undangan nasional hendaknya diwujudkan
pada implementasinya. Ketidakjelasan arah politik hukum yang paling
berpengaruh menjadi penyebab utama penyimpangan substansi dan praktekpraktek hukum harus dihindari. Aparat hukum sebagai para pelaksana Undangundang dalam konteks implementasi sistem peradilan pidana anak, bertugas dan
berperan
116
Tangga
UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
sudah
terorganisir.
Kondisi
ini
semakin
diperburuk
dengan
60,0 persen adalah pelaku tindak pidana pencurian, penyalahgunaan narkoba (9,5
persen), perkosaan/pencabulan (6,0 persen), kecelakaan lalu lintas yang
mengakibatkan kematian orang lain (5,0 persen), pengeroyokan (4,0 persen) dan
penganiayaan (4,0 persen). Belum lagi data tahun 2011 sampai dengan rahun 2013
m yang menunjukan peningkatan kejahatan yang dilakukan baik terhadap anak
(korban) maupun kejahatan yang dilakukan anak (pelaku).
Melihat kenyataan yang demukian, dapat kita katakan bahwa walaupun
telah banyak peraturan dan kebijakan telah dibuat, namun ternyata dalam
prakteknya yang terjadi dilapangan menunjukkan bahwa:
mayoritas anak tidak didampingi penasehat hukum selama proses di
peradilan
masih banyak (mayoritas) anak yang berhadapan dengan hukum di tahan
mayoritas putusan hakim pidana penjara
lebih dari 50 % anak di tahan dan menjalani pidana ditempatkan di tahanan
undangan yang terkait anak dan hal-hal yang berhubungan dengan perspektif
119
120
pengasuhan anak merupakan salah satu faktor yang menentukan pertumbuhan dan
perkembangan anak. Kehilangan pengasuhan yang baik, misalnya perceraian,
kehilangan orang tua, pengabaian atau pembiaran per-kembangan anak baik untuk
sementara maupun selamanya, bencana alam dan berbagai hal yang bersifat
traumatis lainnya sangat mempengaruhi kesehatan fisik dan psikologisnya. Pada
prakteknya, dalam pengasuhan ini, orang tua pun tidak dapat melakukan sendiri,
lingkungan masyarakat atau kondisi sosial masyarakat, budaya dan ekonomi
bahkan politik
antara anak anak dengan orang dewasa dilatarbelakangi oleh hal-hal berbagai hak
antara lain: (i) anak-anak dianggap tidak mengetahui permasalahannya; (ii)
persepsi anak-anak dianggap tidak sesuai dengan persepsi orang dewasa; dan (iii)
orang dewasa meyakini bahwa persepsi mereka dapat mewakili persepsi anakanak. Banyak orang tua yang tidak mengetahui, tidak paham dan sering
mengabaikan pola-pola pengasuhan anak sesuai dengan perkembangan anak.
Ketidak pedulian orang tua pada anak juga memperbesar jurang pemahaman dan
kemampuan berkomunikasi dengan anak. Secara spesifik kebijakan atau aturan
mengenai pola pengasuhan anak yang berlaku di Indonesia memang belum ada..
Untuk itu diperlukan adanya penyebar luasan dan peningkatan pengetahuan,
pendidikan kepada masyaraka, khususnya para orang tua tentang pola pengasuhan
yang universal yang dapat dipergunakan oleh semua orang tua dan dapat
diberlakukan pada semua anak tanpa terkecuali. Jika hal ini tidak lakukan dampak
negatif yang mungkin terjadi adalah anak-anak akan mencari di luar rumah yang
cenderung bisa memungkinkan terampas hak-haknya, menjadi dewasa sebelum
waktunya, memperoleh berbagai macam kekerasan, ketidakadilan, penelantaran,
diskriminasi, eksploitasi, maupun perbuatan negatif lainnya. Keadaan ini juga
diperburuk dengan masih belum optimalnya penye-lenggaraan pelayanan sosial
bagi anak yang berbasiskan masyarakat dan kebijakan-kebijakan pemerintah
dalam pembangunan yang belum sensitif terhadap perinsip dan hak-hak dasar
anak.
4.6.1. Upaya Yang Telah Dilakukan
Memang Pemerintah, Kementerian dan Lembaga maupun masyarakat tidak
diam membiarkan begitu saja segala aspek yang dapat menghalangi tumbuh
kembang dan perlindungan anak tumbuh dengan subur. Upaya-upaya yang
bertujuan untuk melindungi anak yang memberikan jaminan terpenuhinya hakhak anak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, baik dalam bentuk regulasi
maupun penerapannya sudah banyak dilakukan. Sejak 2009 kewenangan
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) telah
bertambah untuk melakukan koordinasi dalam kebijakan tentang penyelenggaraan
perlindungan anak. Di satu sisi, sejauh ini tindak lanjut koordinasi ini belum
122
tampak
optimal,
masing-masing
Kementerian/Lembaga
memiliki
dan
Dan
Dan
Dan
Dan
123
mereka.
mendorong K/L dan daerah dalam membangun
jejaring kelembagaan
penghapusan
kemiskinan
dan
akses
pendidikan
serta
124
o Layanan pengaduan,
o Layanan kesehatan,
o Layanan rehabilitasi sosial,
o Layanan pemulangan dan reintegrasi sosial,
o Layanan bantuan hukum
Peraturan Menteri ini diterbitkan sebagai pedoman untuk dilaksanakan
oleh Pusat Pelayanan Terpadu di seluruh Indonesia
Dapat dicatat pula berbagai program-program dari masing-masing kementerian
antara lain:
Program Penarikan Pekerja Anak dalam rangka menunjang Program
Keluarga Harapan (PPA-PKH) telah diselenggarakan oleh Kementerian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi sejak 2008, namun hingga saat ini baru
berhasil menarik puluhan ribu anak dari pekerjaan dan di kembalikan ke
bangku sekolah, padahal jutaan anak yang telah terseret menjadi Pekerja
Anak.
Koordinasi
antara
Kementerian
Tenaga
Kerja
dan
Transmigrasi
126
Undang-Undang dan
data dan
yang
bersifat
lintas
bidang
pembangunan
sehingga
an/kebijakan.
Kebijakan perlindungan anak dan pemenuhan hak anak yang selama ini
ada masih perlu ditingkatkan dengan fokus proritas pada peningkatan
kualitas tumbuh kembang anak, peningkatan perlindungan anak dari
berbagai
tindak
kekerasan
dan
peningkatan/penguatan
jejaring
127
Untuk lebih mewujudkan apa yang diharapkan dalam perlindungan anak dan
pemenuhan hak anak dalam masa lima tahun kedepan di bidang perlindungan:
1. Diperlukan adanya aksi pemantauan pelaksanaan konvensi hak anak menjadi
kegiatan strategis. Aksi pemantauan ini dapat digunakan motor gerakan
nasional untuk pemenuhan hak anak intuk mengetahui sejauh mana
kewajiban menghormati anak, kewajiban melindungi anak dan kewajiban
memenuhi hak anak seperti yang tertuang dalam berbagai peraturan
perundangan dan kebijakan maupun Konvensi Hak Anak.
2. Perlu mewujudkan lingkungan kondusif yang melindungi dan memenuhi hak
anak, seperti:
o komitmen pemerintah terhadap perlindungan
o perundangan dan penerapannya (enforcement).
o Diskusi terbuka mengenai perlindungan anak
o Sikap, adat istiadat, perilaku dan kebiasaan
o Ketrampilan hidup, pengetahuan dan partisipasi anak
o Kapasitas penyedia pelayanan
o Pelayanan untuk korban
o Pemantauan pelaksanaannya
3. Perlu dilakukan berbagai analisis dan pemetaan tentang kondisi anak
berkaitan dengan isu-isu yang berkembang
128
Sistem Peradilan:
- Norma dan standar : Apa yang dikatakan UU
- Struktur dan mandat: Bagaimana UU dibuat & bagaimana UU
-
ditegaskan.
Prosedur : Bagaimana UU hendaknya diterapkan
Sistem Perubahan Perilaku Sosial
Pemetaan dan Penilaian pelaksanaan
untuk mencari strategi yang komprehensif dan membangun sistem
beberapa
kelompok
mengembangkan
berbagai
model
pembelajaran dan pendidikan alternative bagi anak dan orang tua. Harus ada
perubahan paradigma kebijakan pendidikan dengan pendekatan pendidikan
kritis.
129
orangtua
sendiri)
dan
memberikan
sanksi
bagi
setiap
130
demikian harus diakui bahwa praktik semacam ini masih sangat baru
dilakukan di Indonesia. Pertanyaannya: apakah kegiatan pemantauan ini
bisa menjadi motor gerakan nasional untuk pemenuhan hak anak?
11. Perlu diperhatikannya beberapa hal yang mempengaruhi lingkungan
o
o
o
o
o
o
o
o
korban anak
Menentukan tujuan spesifik untuk mempromosikan kesejahteraan anak
dan perlindungannya sekaligus kapasitas keluarga untuk memenuhi
Sistem Peradilan:
Norma dan standar : Apa yang dikatakan UU
Struktur dan mandat: Bagaimana UU dibuat & bagaimana UU
ditegaskan.
Prosedur : Bagaimana UU hendaknya diterapkan
Sistem Perubahan Perilaku Sosial
Pemetaan dan Penilaian pelaksanaan
untuk mencari strategi yang komprehensif dan membangun sistem
memperkuat perlindungan anak.
132
melalui
serangkaian
nyata
sebagai
berikut:
1)
133
18. Masyarakat melalui berbagai organisasi masyarakat/LSM perlu bersamasama melakukan berbagai tindakan nyata, baik yang bersifat pencegahan
maupun penanganan antara lain:
berperan aktif berpatisipasi dalam penyuluhan tentang cara-cara hidup
yang sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat, agar setiap
keluarga melakukan elstra kontrol bagi anak-anak guna mencegah
dalam
mempromosikan
lembaga-lembaga media
memberikan bantuan dan dampingan yang diperlukan kepada korban
4.7. Isu Gender dan Anak Dalam Kesehatan TBC dan HIV/AIDS
Kesehatan tidak semata-mata dipengaruhi faktor biologis dan genetik.
Faktor sosial-budaya, ekonomi, politik, dan lingkungan, secara tidak langsung
juga mempengaruhi kesehatan. Menurut dari Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO), kesehatan adalah suatu keadaan sejahtera secara utuh baik fisik, mental
dan sosial, tidak hanya terbebas dari penyakit dan kecacatan.
134
Berbagai studi telah menunjukkan bahwa HIV dan AIDS bukan semata
persoalan kesehatan saja, tetapi lebih juga merupakan permasalahan sosial
budaya. Konstruksi gender di dalam masyarakat yang membedakan peran lakilaki dan perempuan berpengaruh terhadap penyebaran infeksi HIV. Dampak sosial
yang ditimbulkannya pun berlapis, mulai dari lingkaran terdekat yaitu keluarga,
teman, tetangga, rekan kerja, bahkan yang lebih luas lagi adalah lingkungan
sosial. Meskipun secara sosial HIV dan AIDS ini tidak tampak, akan tetapi
kerusakan yang ditimbulkan sangatlah nyata. Penyebaran HIV dan AIDS bukan
lagi
merupakan
isu
netral
gender, atau
tidak
mempersoalkan
bahwa
tataran
penentu
kebijakan,
sensitifitas
terhadap
persoalan
135
mempunyai kebutuhan yang berbeda, maka sumber daya dan program pun hatus
dipastikan supaya dapat mengakomodir kebutuhan-kebutuhan yang berbeda
tersebut; memastikan laki-laki dan perempuan mempunyai kesempatan yang
sama; dan jika dibutuhkan perlakuan dan perhatian yang berbeda dapat dilakukan
untuk memastikan kesetaraan hasil dan tujuan dan juga untuk mengejar
ketinggalan yang disebabkan oleh sejarah dan diskriminasi di masa lalu yang
mungkin dialami oleh perempuan dan laki-laki.
Millenium Development Goals Tahun 2010 menjelaskan jumlah infeksi HIV
baru di Indonesia menunjukkan adanya peningkatan. Sepanjang periode 1996
sampai dengan 2006, angka kasus HIV meningkat sebesar 17,5 persen dan
diperkirakan bahwa ada sekitar 193.000 orang yang saat ini hidup dengan HIV di
Indonesia. Epidemi AIDS umumnya terkonsentrasi pada populasi berisiko tinggi
di sebagian besar wilayah Indonesia dengan prevalensi orang dewasa dengan
AIDS menurut estimasi nasional 0,22 persen pada tahun 2008. Dua provinsi di
Tanah Papua (Papua dan Papua Barat) mengalami pergeseran ke generalized
epidemic dengan prevalensi 2,4 persen pada populasi umum usia 15-49 (STHP,
Kemkes, P2PM, 2007).
Sementara itu, jumlah kumulatif kasus AIDS juga cenderung terus
meningkat, yaitu sebesar 19.973 kasus pada tahun 2009, lebih dari dua kali lipat
dibandingkan dengan jumlah kumulatif pada tahun 2006 sebesar 8.194 kasus.
Angka kasus HIV dan AIDS sebagian besar dijumpai di semua wilayah Indonesia,
namun jumlah kasus bervariasi antarprovinsi
Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah kesehatan masyarakat hingga
kini. Paling sedikit satu orang akan terinfeksi TB setiap detik. Setiap hari 20.000
orang jatuh sakit TB, artinya setiap 5 detik satu orang jatuh sakit TB di dunia.
Setiap hari 5.000 orang meninggal akibat TB, jadi di dunia ini setiap 20 detik satu
orang meninggal akibat TB. TB membunuh hampir satu juta perempuan
setahunnya. Angka tersebut lebih tinggi dari kematian perempuan akibat proses
kehamilan dan persalinan. TB membunuh 100.000 anak setiap tahunnya. Sekitar
40% beban TB di dunia terjadi di negaraAsia Tenggara yang tergabung dalam
koordinasi WHO SouthEast Asia Regional Office (SEARO). Di kawasan ini setiap
tahun terdapat sekitar 3 juta kasus baru dan 750.000 kematian akibat TB, atau
136
hampir 2.000 orang meninggal setiap harinya. Di India saja misalnya, setiap menit
ada satu orang yang meninggal akibat TB. Sampai saat ini tidak ada satu
negarapun di dunia yang telah bebas TB.1 Karena itu, tidaklah berlebihan bila
banyak orang bertanya, bagaimana gambaran TB di masa datang? Bila situasi
penanggulangan TB tetap seperti sekarang ini, maka jumlah kasus TB di tahun
2020 akan meningkat menjadi 11 juta jiwa, artinya 200 juta kasus TB dalam dua
dekade pertama abad 21 ini.2 Insidens TB akan terus meningkat, dari 8,8 juta
kasus di tahun 1995 menjadi 10,2 juta kasus di tahun 2000 dan 11,9 juta kasus TB
baru di tahun 2005
Data April 2013 sekitar 60 persen pengindap HIV di Provinsi Papua
diketahui menderita tuberculosis (TBC), demikian pula sebaliknya 40 persen
pasien TB/TBC kemudian terdeteksi terserang virus penyakit mematikan
tersebut. Tingginya penderita HIV yang mengindap TBC, disebabkan daya tahan
tubuh pasien terus menurun sehingga cenderung mudah terserang tuberculosis.
Saat ini jumlah pengindap HIV di Papua tercatat 13.726 orang dan yang
menggunakan ARV hanya sekitar 2.091 penderita.
Penyakit TBC dapat menyerang siapa saja (tua, muda, laki-laki, perempuan,
miskin, atau kaya) dan dimana saja. Setiap tahunnya, Indonesia bertambah dengan
seperempat juta kasus baru TBC dan sekitar 140.000 kematian terjadi setiap
tahunnya disebabkan oleh TBC. Bahkan, Indonesia adalah negara ketiga terbesar
dengan masalah TBC di dunia. Survei prevalensi TBC yang dilakukan di enam
propinsi pada tahun 1983-1993 menunjukkan bahwa prevalensi TBC di Indonesia
berkisar antara 0,2 0,65%. Sedangkan menurut laporan Penanggulangan TBC
Global yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2004, angka insidensi TBC pada
tahun 2002 mencapai 555.000 kasus (256 kasus/100.000 penduduk), dan 46%
diantaranya diperkirakan merupakan kasus baru.
Data WHO menunjukkan bahwa Indonesia adalah penyumbang kasus
terbesar ketiga di dunia. Setiap tahunnya jumlah penderita baru TB menular
adalah 262.000 orang dan jumlah seluruh penderita adalah 583.000 orang
pertahunnya. Diperkirakan sekitar 140.000 orang Indonesia yang meninggal setiap
tahunnya akibat TB. Setiap satu menit di Indonesia muncul satu penderita baru TB
paru, setiap dua menit muncul satu penderita baru TB paru yang menular, dan
137
setiap empat menit satu orang meninggal akibat TB.4 TB bukan lagi jadi masalah
kesehatan masyarakat di satu negara bila jumlah penderita baru yang menular
kurang dari satu orang untuk setiap satu juta penduduk. Artinya, untuk Indonesia
harus kurang dari 200 orang setahunnya. Tegasnya, tugas kita adalah menurunkan
angka 262.000 yang ada sekarang menjadi 200 orang saja. Jelas satu tantangan
yang berat.Directly Observed Treatment Short Course Berbagai program
kesehatan
telah
dilakukan,
memang
kemajuan
telah
dirasakan,
tetapi
mungkin, situasi ini dapat meningkatkan kasus HIV pada perempuan beresiko
rendah dan anak-anak mereka.
Dinamika penularan HIV dalam konteks pasangan intim di Asia menunjukan
bahwa penularan terhadap pasangan di kalangan pekerja seks mencapai 10 juta,
pengguna narkoba suntik mencapai 4 juta, Laki-laki dengan laki-laki dan waria
sebanyak 16 juta, pelanggan (migran, pengemudi truk, dll.) mencapai 75 juta, dan
pasangan perempuan mencapai 50 juta. Lebih jauh lagi dampak HIV pada
perempuan lebih besar karena pelanggaran hak-hak mereka umumnya relatif
dimaklumi (kompromistis) dan mereka umumnya kurang mendapatkan akses
terhadap layanan hukum, ekonomi dan kesehatan serta dukungan dari masyarakat.
Sebuah studi
terinfeksi HIV selama hubungan seks yang tidak aman adalah dua hingga empat
kali lipat dibandingkan laki-laki. Secara biologis, perempuan memiliki wilayah
mucous membrane lebih luas dan terekspos pada saat persetubuhan, serta
menampung lebih banyak kuantitas cairan (semen) yang terinfeksi dibandingkan
laki-laki. Kemungkinan lain disebabkan oleh terjadinya hubungan seksual dengan
kekerasan atau pemaksaan.
Di Indonesia, secara kumulatif pada rentang waktu 2005 hingga 2011 jumlah
kasus HIV dan AIDS terus meningkat dan prosentase kasus perempuan terus
meningkat. Tahun 2005 tercatat 859 kasus HIV dan 2639 kasus AIDS. Memasuki
2010, jumlahnya meningkat menjadi 21591 kasus HIV dan 4917 kasus AIDS.
Dari jumlah kasus 2010 tersebut, 8.360 (38,7%) dialami oleh perempuan.
Presentasi ini meningkat dari tahun 2009 dimana terdapat 25,80% kasus pada
perempuan. Dalam laporan Kemkes, diantara kasus AIDS baru, persentase
perempuan berubah dari 16,90% pada bulan Juni 2006 menjadi 35,13% pada
bulan Juni 2011 (Data Kementerian Kesehatan, Laporan Situasi HIV dan AIDS
di Indonesia, Juni 2006 dan Juni 2011).
Kurang akses memperoleh informasi/pengetahuan penggunaan kondom
pada hubungan seks. Secara nasional, persentase perempuan tidak menikah 10,3
persen lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki pada sebesar 18,4 persen tahun
2007 di kota desa.
139
belum
mampu
mengimbangi
cepatnya
penyebaran
infeksi
140
pencegahan di
mitigasi
dampak;
yang
terjadi
melalui
pertukaran alat suntik dan hubungan seksual berisiko di antara populasi kunci.
Populasi kunci adalah lelaki dan perempuan pengguna narkoba suntik, termasuk
mereka yang ada di lapas/rutan; pekerja seks langsung
pelanggan pekerja seks; dan lelaki yang seks dengan lelaki; waria dan pasangan
141
intim seluruh populasi kunci. Dalam kelompok ini, program pencegahan akan
juga menjangkau kelompok usia muda (15-24 tahun) dan para pekerja baik dari
sektor pemerintah maupun swasta, buruh, pekerja migran, dan penularan HIV dari
ibu ke bayi. Di Provinsi Papua dan Papua Barat, upaya pencegahan di atas
ditujukan juga untuk masyarakat umum.
Implementasi pada area pencegahan meliputi kegiatan:
a. Penyebarluasan informasi masih banyak menyasar pada populasi kunci
(pekerja seks, waria, LSL, penasun) namun penyebaran informasi kepada
pelanggan masih kurang. Sementara itu di kalangan populasi kunci pun
pengetahuan tentang cara penularan dan pencegahan HIV masih rendah.
Di kalangan populasi umum (usia 15-24 tahun) pengetahuan tentang HIV
masih sekitar 11 % , perempuan populasi umum masih banyak yang belum
terpapar informasi HIV secara komprehensif.
Padahal kecenderungan
142
143
mobilisasi komunitas terkait PMTCT. Juga dapat disebabkan karena materimateri dalam pelatihan yang dilakukan belum mengalami penyesuaian.
i. Data tentang kasus HIV dan AIDS belum terpilah berdasarkan gender
(perempuan, laki-laki, waria, juga tidak terpilah mengenai berapa jumlah
remaja perempuan yang terinfeksi HIV). Juga tidak ada data yang
teragregasi mengenai perempuan hamil. Setiap 3 bulan Kementerian
Kesehatan melaporkan data kasus AIDS terpilah berdasarkan jenis kelamin
(laki-laki dan perempuan) dan juga berdasarkan umur. Waria tidak
dipisahkan dan dilaporkan sebagai laki-laki.
Isu gender pada implementasi perawatan mencakup antara lain:
a. Secara umum layanan kesehatan masih sulit diakses oleh perempuan.
Keterbatasan ini dalam hal jumlah layanan, jarak lokasi layanan, jam
layanan, serta biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan layanan.
Bagi WBP perempuan, kesulitan akan akses layanan yang ramah kerap
terjadi antara lain karena faktor kelebihan jumlah penghuni, kurangnya staf,
termasuk petugas kesehatan yang ramah terhadap WBP. Selain itu layanan
terkait HIV dan AIDS umumnya belum terintegrasi dengan layanan
kekerasan terhadap perempuan dan belum mengakomodir isu-isu strategis
pada perempuan, khususnya pemenuhan hak kesehatan reproduksi dan
kesehatan seksual perempuan.
b. Terkait akses layanan kesehatan, perempuan positif sering kali mengalami
stigma dan berbagai beban terkait peran gendernya sebagai perempuan.
Selain mendapat stigma status HIV nya, mereka sering distigma berdasarkan
perilaku, misalnya sebagai penasun dan atau sebagai pekerja seks.
Pengalaman yang sama juga kerap dialami waria dan gay. Situasi tersebut
menghambat akses mereka karena mereka sering ketakutan akan stigma
tersebut saat mengakses layanan. Selain itu beberapa IDU perempuan yang
karena kebutuhan rumah tangganya harus mencari nafkah sebagai WPS,
menyulitkan akses mereka terhadap layanan kesehatan. Perempuan positif
secara teknis (selain merawat dirinya) terbebani untuk merawat bayinya
yang positif.
144
untuk ODHA
dan masyarakat yang terdampak HIV yang memerlukan dukungan sosial dan
ekonomi, meliputi antara lain:
a. Informasi mengenai program mitigasi dampak belum banyak diketahui
perempuan dan ODHA. Hal ini sedikit banyak terkait masih kurangnya
respon berbagai pihak pada isu pemberdayaan pemberdayaan perempuan
positif (ekonomi, sosial, dll), karena lebih memfokuskan pada isu kesehatan.
b. Situasi perempuan positif (dari sisi ekonomi, kesehatan, tempat tinggal jauh,
minim fasilitas komunikasi, dll) mengurangi kemampuan mereka dalam
mengakses program.
c. Masih ada ketakutan akan stigma dan diskriminasi dari pelaksana program
di di kalangan ODHA. Terlebih memang karena mereka mengetahui bahwa
masih ada shelter (rumah singgah) yang dikelola pemerintah yang menolak
melayani ODHA.
d. Di kalangan penasun perempuan, akses terhadap program mitigasi sangat
sulit juga dikarenakan adanya ketergantungan mereka terhadap pasangannya
145
(dalam hal ekonomi, emosional). Artinya, tindakan mereka dalam hal akses
layanan sangat bergantung pada keputusan pasangannya.
Isu gender untuk pengembangan
pengurangan
khususnya
lingkungan
yang
kondusif,
termasuk
pemerintah
perda-perda
anti
prostitusi
di
beberapa
daerah
yang
146
147
relatif
tinggi, (2) jumlah penduduk yang memang sangat besar, (3) struktur umur yang
muda lebih besar , dan (4) penyebaran penduduk yang tidak merata.
Berbagai kajian dan difinisi terkait dengan tenaga kerja informal dan ciri
ciri pekerjaan yang dilakukan telah dapat diformulasikan baik berdasarkan status
pekerjaannya, status pekerjaan yaitu berusaha sendiri tanpa dibantu orang lain,
berusaha dengan dibantu anggota rumah tangga/buruh tidak tetap, pekerja
keluarga, sering dipakai sebagai proksi pekerja sektor informal.
Pengelompokkan definisi formal dan informal menurut Hendri Saparini dan
M. Chatib Basri dari Universitas Indonesia, menyebutkan bahwa ciri-ciri tenaga
kerja sektor informal dapat dirumuskan. sebagai berikut;
Tenaga kerja bekerja pada segala jenis pekerjaan tanpa ada perlindungan
negara dan atas usaha tersebut tidak dikenakan pajak, pekerja tidak
menghasilkan pendapatan yang tetap dengan ,tempat bekerja tidak terdapat
148
keamanan kerja , tidak ada status permanen atas pekerjaan tersebut dan unit
usaha atau lembaga yang tidak berbadan hukum. Sedangkan ciri-ciri kegiatan
informal bersandar pada sumber daya lokal, biasanya usaha milik keluarga,
operasi skala kecil, padat karya, keterampilan diperoleh dari luar sistem formal
sekolah dan tidak diatur dan pasar yang kompetitif. adalah mudah masuk, artinya
setiap orang dapat kapan saja masuk ke jenis usaha informal ini,
Pemahaman konsep seperti tersebut diatas haruslah menjadi konsepsi dan
landasan mengembangkan kebijakan yang lebih berpihak kepada kelompok
masyarakat
rentan
dalam
mengatasi
permasalahaan
Pembangunan
dan
penduduk
perempuan
mencapai angka sebesar 8,07 % dan laki laki 7,41 %. Dibandingkan di perdesaan
angkanya lebih tinggi yaitu perempuan 5,49 % dan laki laki 4, 18%..(BPS dan
KPPPA,2012).
Selanjutnya BPS kerjasama dengan KPPPA (2012) melaporkan bahwa pada
tingkat pendidikan yang rendah, persentase perempuan yang bekerja lebih tinggi
dibandingkan laki-laki, sedangkan pada pendidikan SMP dan SMA keatas
persentase laki-laki yang lebih tinggi dibandingkan perempuan. Persentase
tertinggi penduduk 15 tahun keatas yang bekerja baik laki-laki maupun
perempuan adalah di pertanian, kehutanan, pekerja buruh,
dan perikanan.
Demikian pula pada lapangan usaha industri pengolahan, perdagangan, dan jasa
kemasyarakatan, sosial, dan perorangan persentase perempuan lebih tinggi
dibandingkan laki-laki. Kondisi tersebut berdampak bahwa persentase pengusaha
149
mikro dan kecil baik laki-laki maupun perempuan tertinggi ada pada tingkat
pendidikan tamat SD ke bawah.
merupakan
pekerja
keluarga
yang
secara
ekonomi
tidak
mendapatkan imbalan jasa. Angka ini lebih besar dibandingkan pekerja keluarga
laki-laki yang hanya 8,7 persen. Kondisi ini harus menjadikan perhatian semua
stake holder dalam mengembangkan kebijakan dalam mewujudkan kesetaraan
gender yang harus berawal dari persoalan ekonomi sebagai entry point dalam
pembangunan
bidang
kesehatan
dan
pendidikan
serta
bidang
bidang
pembangunan lainnya.
Persentase Kepala Rumah Tangga menurut Jenis Kelamin dan Daerah
Tempat Tinggal, 2012, seperti gambar berikut:
150
Data
Kepala
Persentase
Rumah
Tangga
Tempat
Tinggal,
ganbaran
ternyata
banyak
kota
dan
berperan
perdesaan
sebagai
kepala
besar
yang
mencapai
besar
mereka
adalah
sedangkan
23,67
sisanya
Persentase Kepala
SLTA (Sumber BPSRumah Tangga
KPPA, 2013).
menurut Jenis
Kelamin dan
Pendidikan
Kondisi ini
Tertinggi
yangmenambah permasalahan ketenagkerjaan yang perlu mendapat
Ditamatkan,
perhatian. 2012
Persentase Kepala Rumah tangga berdasarkan jenis kelamin dan jenis
Pekerjaan di bawah ini menginformasikan bahwa jumlah perempuan yang bekerja
sendiri di banding dengan laki laki jauh lebih besar yaitu 34, 9 6 persen sedangkan
laki laki 21,40 %.. Namun pada pada jenis pekerjaan yang dibantu tenaga tidak
151
tetap . Demikian berbeda pada mereka yang bekerja dengan dibantu oleh tenaga
bebas atau tidak dibayar yang umumnya tenaga kerja dalam keluarga angkanya
mendekati sama yaitu peremuan 20,17% ,sedangkan laki laki 22, 79 %.Untuk
pekerjaan bebas ternyata perempuan lebih besar dari laki laki yaitu 15,28 % dan
13, 94%.
Kesemua kegiatan produksi yang dilakukan pada data yang di ungkapkan
tersebut umumnya memerlukan modal yang sangat kecil terutama bila bekerja
sebagai pengusaha ekonomi informal. Hal ini sangat dimungkinkan karena jenis
usha ini memilki ciri aktivas bersandar pada sumber daya lokal, biasanya usaha
milik keluarga, operasi skala kecil, padat karya, keterampilan diperoleh dari luar
sistem formal sekolah dan tidak diatur dan pasar yang kompetitif. adalah mudah
masuk, artinya setiap orang dapat kapan saja masuk ke jenis usaha informal ini,
Kajian KPPA tahun 2012 telah pula mendifiniskan tentang industri rumahan .
Industri Rumahan (Cottage Industry) adalah suatu sistem produksi, yang
berarti ada produk yang dihasilkan melalui proses pembentukan nilai tambah dari
bahan baku tertentu, yang dilakukan di tempat rumah perorangan dan bukan di
suatu lokasi khusus (pabrik). Proses produksi tersebut memanfaatkan prasarana,
sarana serta peralatan produksi lainnya yang dimiliki oleh perorangan/kelompok
usaha bersama/koperasi. Umumnya produk dari Industri Rumahan berupa buatan
tangan (hand made), bersifat unik pada cara-cara yang berbeda nyata, serta sering
dikaitkan dengan kearifan lokal (local wisdom) dan teknologi tepat sasaran. Hasil
berbagai FGD dengan instusi yang melakukan pemberdayaan masyarakat adalah
kelompok yang telah melalui fase ini , dengan kata lain tidak satu instusi
pemerintah melakukan pembinaan kepada individu ataupun kelompok ini secara
konseptual dan lebih kepada klompok atau gabungan kelompok yang telah
berkembang maju. Sehingga dirumuskan perlunya KPPA secara konseptual
memberikan pembinaan dan pengembangan agar kelompok ini menjadi indudtri
mikro dan mampu mengakses pada program pemerintah atau lembaga lain untuk
lebih maju.
152
1 = Berusaha Sendiri
2 = Berusaha Dibantu Buruh Tidak Tetap/Buruh Tidak Dibayar
3 = Berusaha Dibantu Buruh Tetap
4 = Buruh/Karyawan/Pegawai
5 = Pekerja Bebas
6 = Pekerja Tidak Dibayar
153
dari total TKI yang tercatat di BNP2TKI, belum termasuk TKW yang pergi secara
illegal. Angka persentase ini jauh lebih kecil dibandingkan tahuntahun
sebelumnya, karena adanya perjanjian moratorium TKI dengan beberapa Negara
penerima TKI karena terjadinya kasuskekerasan terhadap TKW. Berbagai
Kebijakan maupun implementasinya yang telah dikembangkan oleh pemerintah
baik dalam rangka perlindungan tenaga Kerja pra penempatan maupun pasca
penempatan. Pemberdayaan masyrakat perdesaan sebagai sumber dari lahirnya
pekerja pekerja penata Laksana rumah tangga ( PLRT) karena himpitan ekonomi
dan kemiskinan khususnya pada perempuan.
Kajian KPP dan PA bekerjasama dengan Pusat kajian wanita Universitas
Airlangga Surabaya tahun 2009, melaporkan bahwa,
berkembang baik industri kecil maupun
sebagai
berikut:
154
merumuskan
mengadvokasikan
perempuan, sehingga menjadi salah satu kendala yang harus pertama kali di
luruskan.
Kajian untuk mendukung Kebijakan
156
pengusaha
157
informal
158
belum
mesin pembangunan,
di bidang ekonomi,
terkoordinasi
Padahal di setiap wilayah tertentu memerlukan fokus program dan kegiatan yang
harus dilakukan oleh antar kementerian lembaga dan memerlukan penyelarasan
agar effektif dalam pencapaian target sasaran yang memprtimbangkan kesetaran
peran gender dan pemberdayaan perempuan melalui program program bidang
prioritas
159
hususnya perempuan
yang
tinggi, (2) jumlah penduduk yang memang sangat besar dengan tingkat
pendidikan yang terbatas , (3) struktur umur yang muda lebih besar , dan (4)
penyebaran penduduk yang tidak merata,maka pentingnya kebijakan
pengembangan ekonomi informal yang resposif gender.dengan sasaran
kantong kantong kemiskinan baik di perkotaan maupun perdesaan melalui;
2.
ketenagakerjaan maupun
160
termasuk
mesin
pembangunan
memang
di
nilai
strategis
dalam
implikasi internasional, seperti yang diakui oleh PBB dalam Protokol untuk
Mencegah, Menekan dan Menghukum Perdagangan Manusia, khususnya
Perempuan dan Anak, perjanjian internasional ini telah melekat pada konvensi
PBB Menentang Kejahatan Transnasional Terorganisir (CtoC) yang mulai berlaku
pada 25 Desember 2003.
protocol yang melengkapi CtoC tersebut 25 Desember 2003. Protokol ini juga
merupakan salah satu dari tiga protocol yang melengkapi CtoC tersebut.
Protokol Perdagangan manusia adalah yang pertama
merupakan
kesepakatan global, sebagai legally binding instrument pada perdagangan lebih
dari setengah abad, dan satu-satunya dengan definisi yang disepakati dengan
perdagangan orang. Salah satu tujuannya adalah untuk memfasilitasi kerjasama
internasional dalam penyelidikan dan penuntutan perdagangan tersebut. Tujuan
lainnya adalah Lain adalah untuk melindungi dan membantu korban perdagangan
manusia dengan menghormati sepenuhnya hak-hak mereka sebagaimana
ditetapkan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Protokol Perdagangan
161
diadopsi oleh PBB di Palermo pada tahun 2000 dan mulai berlaku pada tanggal 25
Desember 2003. Pada Maret 2013 telah ditandatangani oleh 117 negara termasuk
Indonesia .
Berbagai fakta mengungkapkan tentang jenis,besaran atau jumlah, waktu
maupun frekwensi terjadinya permasalahan trafficking yang terjadi selama ini di
tanah air baik yang diketemukan di dalam negeri maupun di luar negeri .Persoalan
Global
Perempuan Yang
162
Strategi Pengarusutamaan
Penanganan Trafficking.
Gender
Dalam
Pencegahan
dan
dan
kelompok
miskin).
Tujuan
untuk
memberdayakan
163
164
peraturan
perundang-undangan
telah
dihasilkan
untuk
TPPO
165
(PSO)
PELAYANAN
TERPADU
BAGI
SAKSI
166
tentang apa yang mereka perbuat sebagai landasan kerja mereka dengan
undang-undang
yang
dibuat
pemerintah
khusus
ditujukan
untuk
tersebut diatas dalam tugas dan fungsi pemangku kepentingan telah dilakukan
melalui forum koordinasi di tingkat nasional, di tingkat propinsi dan kabupaten
kota yang menyangkut 2 hal yaitu : Terkait l embaga koordinasi, Pemerintah harus
membentuk:
a. Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Pusat Pelayanan Terpadu PPT
yaitu Lembaga koordinatif yang bertugas mengkoordinasikan upaya
pencegahan dan penanganan korban tindak pidana perdagangan orang
tingka pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Terkait Pelayananan.
b. Sebagai pemangku kepentingan harus telah membuat:
1) Standar Pelayanan Minimal SPM TPPO dan
2) Prosedur Standar Operasional PSO Pelayanan Terpadu Bagi Saksi
dan/atau Korban TPP. Ketentuan tersebut telah diamanatkan melalui
Perpres No. 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan
Penanganan TPPO. Sebagai Ketua ditetapkan adalah Menko Kesra RI
dan selaku ketua harian adalah Menteri Negara
Pemberdayaan
18
167
perlindungan
perempuan dan anak sudah ada kemajuan yang sudah dicapai dengan telah
hadirnya berbagai lembaga/unit maupun pusat perlindungan bagi perempuan dan
anak korban kekerasan di berbagai wilayah di Indonesia. Sampai saat ini daerah
yang mengalokasikan anggaran untuk penanganan kekerasan terhadap perempuan
dan anak (termasuk PPTPPO) sudah 25 propinsi dan 83 kabupaten/kota; terbentuk
Pusat Pelayanan Terpadu bagi Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) di 27
propinsi dan 197 kabupaten/kota, terbentuk gugus tugas PPTPPO di 28 propinsi
dan 88 kabupaten/kota; sudah terbentuk 123 lembaga layanan korban kekerasan
berbasis rumah sakit; dan sudah terbentuk unit perlindungan perempuan dan anak
(UPPA) di 456 Mapolres. Masih banyak kendala yang dihadapi yaitu lemahnya
komitmen dalam pengintergrasian dalam perencanaan dan penganggaran yang
sangat terbatas.
Dari Perspektif tugas fungsi KPP PA maka penguatan Kelembagaan
penanganan traffiking merupakan isu strategis sebagai elemen penting agar dapat
mengintegrasikankannya dalam tugas dan fungsi aparat keamanan dan penegak
hukum. Dalam mengarus utamakan pencegahan PPTPO yang dilakukan melalui
program dan kegiatan penanggulangan kemiskinan dan peningkatan partisipasi
pendidikan di daerah tertinggal. Persoalan ekonomi dan social budaya menjadi
salah satu elemen yang penting pula, oleh karena itu upaya penanggulangannya
yang
implementasinya
rendahnya
partisipasi masyarakat.
169
170
Sesuai dengan tugas dan fungsi Gugus Tugas yang diatur melalui Perpres
Nomor 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO,
salah satunya Mengkoordinasikan upaya pencegahan dan penanganan masalah
tindak pidana perdagangan orang. Berkaitan dengan hal tersebut, telah dijalin
beberapa bentuk kerjasama baik antar daerah asal, transit dan tujuan maupun
kerjasama di lingkup propinsi masing-masing, sebagai berikut:
a. Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO Provinsi Jawa telah
menindak lanjuti MOU dengan melakukan Perjanjian Kerjasama dengan 26
Kabupaten/Kota se Jawa Barat, dan
terpadu
pencegahan,
penanganan
telah
dan
korban,
serta
171
Sejak
dan
beberapa
Pemerintah
provinsi
telah
menyatakan
172
yang
173
Kementerian
KUKM),
Kementerian
KUKM,
pelatihan
keterampilan
Kementerian
(kerjasama
Perindustrian,
dengan
Kementerian
anak (kerjasama
dan
Kementerian Agama).
Implementasi pengembangan kebijakan ini dimulai sejak tahun 2010 hingga saat
ini, Kebijakan BK TKI telah diimplementasikan di 7 kabupaten (Lampung
Selatan, Indramayu Wonosobo, Tulungagung, Lombok Timur, Belu dan Gowa)
dari 25 kabupaten kantong TKI tertinggi. Wujud nyata dilaksanakannya BK TKI
adalah terbentuknya kelompok-kelompok keluarga TKI di desa-desa kantong
TKI. Terdapat 13 instansi (SKPD) dan unsur masyarakat yang tergabung dalam
Kelompok Kerja di tingkat provinsi dan kabupaten/kota untuk saling bersinergi
melakukan pemberdayaan kepada keluarga TKI, dengan dikoordinasikan oleh
Bappeda dan instansi yang menangani pemberdayaan perempuan.
Pada tahun 2012, berkat kerjasama dan kemitraan yang semakin kuat
antara
KPPPA dengan
K/L
terkait,
maka
kebijakan
BK
TKI
telah
175
melalui
pengalokasian
anggaran
di
masing-masing
176
secara
Rehabilitasi
178
dilakukan
terhadap
pelaku
dalam
mengimplementasikan
Peran
179
identifikasi
dan
penyelesaian
kasus-kasus
TPPO
180
181
Memperhatikan
Kebijakan
khususnya
dalam
rangka
diperlukan Pengembangan
harmonisasi
kebijakan,
koordinasi
Pencegahan
dan
Penanganan
TPPO:
perlu
peningkatan
di bentuk struktur
organisasi yang linier dan lebih ramping; penguatan koordinasi mulai dari
perencanaan kebijakan program dan kegiatan; lebih gencar melakukan KIE
dan kampanye penyadaran masyarakat, pelatihan dan pendataan. Tindak
lanjut MOU antar daerah asal, transit dan tujuan, koordinasinya perlu
ditingkatkan; untuk mekanisme monitoring dan evaluasi perlu dilakukan
secara berjenjang mulai dari pusat, provinsi, hingga kabupaten/kota dan
sebaliknya. Dalam hal mekanisme pelaporan,perlu ditingkatkan koordinasi
setiap gugus tugas agar pelaporan pelaksanaan tugas secara berkala dan
berjenjang dari tingkat kabupaten/kota, ke provinsi, dan ke pusat, minimal 2
kali dalam setahun menjadi agenda penting untuk dapat mengukur kinerja
gugus tugas daerah.
182
Kerjasama:
Perlu dilakukan
perlu
program dan
kegiatan
dalam
program
harmonisasi
kebijakan
183
184
fasilitasi,
KIE,
TOT, Pelatihan
melakukan
melaksanakan dan
Provinsi
Unit
PP,
mengharmonisasikan
PA dan
KB
merumuskan
dan
advokasi,
fasilitasi,
Koordinasi
dengan
SKPD
KIE,
kab/kota
TOT, Pelatihan
serta
melakukan
185
f.
Kebijakan
pencegahan
kekerasan
dan
kekerasan dan
dan
institusi
menginstruksikan
penegak
hukum
melaksanakan
dan
merumuskan
dan
SKPD
Tingkat
melaksanakan
propinsi
dan
institusi
penegak
hukum
Unit
mengharmonisasikan
PP,
PA
dan
KB
merumuskan
dan
kekerasan dan
186
SKPD)
5.3. Bagi korban yang telah diberikan perlindungan dan pelayanan juga
dilakukan upaya pemberdayaan agar pulih
dari
trauma
yang
mengharmonisasikan
Kebijakan
pemberdayaan
korban
TOT,
Pelatihan
d. Bagi SKPD Tingkat propinsi melaksanakan
Kebijakan
Kab/kota
Unit
PP,
PA dan
KB
merumuskan
dan
diskriminasi
di
tingkat
kabupaten
/kota,
Melakukan
187
yang relevan
188
nasional
dengan
kecenderungan
untuk
mempertimbangkan
Meskipun demikian
189
(2004 dan 2009) cukup substantif. Saat ini keterwakilan perempuan di DPR
RI meningkat dari 11,8 persen di pemilu yang diselenggarakan pada tahun
2004, menjadi 18 persen pada pemilu 2009. Ini adalah angka tertingi
keterwakilan perempuan di sejarah politik Indonesia.
Yang menarik, keterwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Daerah
(DPD RI) jauh lebih baik dari DPR-RI. Perwakilan perempuan DPD RI
meningkat dari 22,6 persen di pemilu yang diselenggarakan pada tahun
2004, menjadi 26,5 persen pada pemilu 2009. Perempuan di DPRD juga
tidak terwakili dengan baik. Data yang dihimpun dari 33 propinsi
menunjukkan bahwa secara keseluruhan hanya 13,53 persen perempuan
terwakili di DPRD tingkat Provinsi. Keterwakilan perempuan berada pada
posisi terendah ditingkat kabupaten/kota. Data yang dihimpun dari 29 dari
total 497 kabupaten/kota (DPRD Kabupaten/Kota) menunjukkan bahwa
rata-rata hanya 10 persen perempuan terwakili.
2. Perempuan di Kabinet
Dari tiga puluh empat orang anggota cabinet saat ini, hanya ada 3
orang menteri perempuan dan 1 orang wakil menteri perempuan.
Kementerian yang kini di pimpin oleh menteri perempuan adalah
Kementerian
Pemberdayaan
Perempuan
dan
Perlindungan
Anak,
190
191
perempuan.
Identifikasi
diri
perempuan
dengan
peran
192
sasaran
secara
bersamaam,
karena
perempuan
seringkali
193
dunia
untuk
menghasilkan
kesepakatan
internasional
guna
perubahan cuaca ekstrim pada gender juga sangat sedikit. Dalam konteks potensi
krisis lingkungan akibat perubahan iklim, relasi sosial antara laki-laki dan
perempuan menjadi hal yang juga perlu diperhatikan. Hal ini disebabkan karena
perbedaan pengalaman laki-laki dan perempuan selama dan nantinya setelah krisis
perubahan iklim. Perbedaan ini timbul akibat norma budaya, peran laki-laki dan
perempuan dalam pekerjaan, akses terhadap sumber daya, tingkat keamanan dan
keselamatan serta perbedaan tingkat kerentanan akibat kombinasi dari faktorfaktor ini (Alston and Whittenbury, 2013).
Saat ini, sangat jelas bahwa variasi iklim berpengaruh besar terhadap
masyarakat di seluruh belahan dunia khususnya kelompok masyarakat miskin
194
yang sebagian besar diantaranya adalah perempuan. Dampak bencana alam akibat
perubahan atau variasi iklim ekstrim yang terjadi sampai saat ini telah
mengakibatkan kematian, korban luka maupun pengungsian besar-besaran. Jika
krisis bencana alam perubahan iklim terjadi pada tahun 2030 maka variabilitas
iklim akan mengancam ketahanan pangan dan kebutuhan air karena pada saat itu
popolasi dunia sudah menyebabkan peningkatan kebutuhan pangan 50% lebih
besar dari saat ini, 45% lebih banyak energi yang dibutuhkan dan 30% lebih
banyak air bersih yang dibutuhkan. Sehingga diperkirakan jumlah masyarakat
yang kekurangan gizi akan meningkat lebih dari 20 juta orang, 884 juta orang
tidak memiliki akses terhadap air bersih dan 2,6 miliar orang tidak mempunyai
sanitasi dasar. Oleh karena itu diperlukan suatu pemahaman terhadap dampak
perubahan iklim pada perempuan dan laki-laki serta pengembangan tindakan
antisipatif dan preventif berperspektif gender karena perempuan lebih rentan
terhadap kemiskinan, ketidakamanan dan kekerasan selama dan setelah kejadian
bencana alam perubahan iklim (Alston and Whittenbury, 2013).
ekonomi yang dilakukan melalui pembakaran besar-besar batu bara, minyak bumi,
kayu dan pembabatan hutan memberikan dampak yang serius terhadap iklim
global. Perubahan iklim merujuk pada penumpukan gas rumah kaca di atmosfir
karena aktifitas manusia yang akhirnya mengakibatkan peningkatan temperatur
bumi dan atmosfir. Gas rumah kaca utama yang terus meningkat konsentrasinya
di atmosfir adalah karbon dioksida. Gas ini yang dihasilkan dari pembakaran batu
bara atau kayu maupun dari penggunaan kendaraan berbahan bakar minyak bensin
atau solar.
karbon dioksida secara jauh lebih cepat dibanding kecepatan penyerapan karbon
195
sebagian besar pohon dan hutan di bumi sudah banyak yang ditebang. Negaranegara di seluruh dunia tanpa terkecuali membuang gas-gas rumah kaca dalam
jumlah yang semakin hari semakin besar ke atmosfir.
Negara-negara maju
mengeluarkan emisi gas rumah kaca lebih banyak per kapita karena secara umum
membakar lebih banyak bahan bakar fosil.
mulai membangun juga menyusul dalam menyumbang emisi gas rumah kaca
walaupun jumlahnya relatif masih lebih sedikit dibanding dengan negara maju.
Namun, setiap emisi gas rumah kaca ke atmosfir akan dapat memperparah krisis
dunia akibat perubahan iklim dan warga dunia terkena dampaknya tanpa
memandang besar kecil sumbangan emisinya. Dengan meningkatnya emisi dan
berkurangnya kemampuan penyerapan karbon dioksida maka tingkat gas rumah
kaca di atmosfir sekarang menjadi lebih tinggi dibandingkan pada masa-masa
lampau. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yang merupakan
badan dunia dengan mandat memonitor isu perubahan iklim telah menunjukkan
bahwa antara tahun 1750 dan 2005 konsentrasi karbon dioksida di atmosfir
meningkat dari sekitar 280 ppm (parts per million) menjadi 379 ppm per tahun
dan sejak itu terus meningkat dengan kecepatan 1,9 ppm per tahun. Peningkatan
konsentrasi karbon dioksida ini pada tahun 2100 diperkirakan akan meningkatkan
suhu global antara 1,8 sampai 2,9 derajat celsius (UNDP, 2007).
Isu lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan dikonsolidasikan
dalam Konferensi Rio United Nations Conference on Environment and
Development yang diselenggarakan pada tahun 1992 di Rio de Jainero dan juga
dikenal sebagai Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit). Konferensi ini
menghasilkan dokumen tidak mengikat (legally non-binding), seperti Deklarasi
Rio dan Agenda 21. Di samping itu, KTT Bumi juga menghasilkan kesepakatan
yang tertuang dalam tiga dokumen hukum mengikat (legally binding), yaitu
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Keanekaragaman Hayati
(United Nations Convention on Biological Diversity CBD), Konvensi PBB
untuk Memerangi Penggurunan (United Nations on Combating Desertification
UNCCD) dan Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (United
196
terhadap perubahan iklim. Perubahan iklim yang ekstrim akan berdampak dari
punahnya spesies sampai pengungsian besar-besaran dari makhluk hidup,
termasuk manusia.
197
salah satu negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim (Yusuf and
Francisco, 2009). Cuaca dan iklim sangat mempengaruhi kehidupan sehari-hari
masyarakat. Perubahan iklim dapat memberikan keuntungan ataupun kerugian
bagi masyarakat dan sangat tergantung dari sektor yang menjadi tumpuan
kehidupannya. Namun, untuk kejadian perubahan cuaca yang ektrim, dampak
negatif yang mengancam dapat membahayakan jiwa maupun kerugian ekonomi
yang besar. Oleh karena itu, pemahaman tentang frekuensi dan besaran dampak
perubahan cuaca dan iklim akan dapat meningkatkan daya lenting (resiliensi)
masyarakat dalam menghadapi bencana iklim.
Perubahan iklim merupakan bagian dari rantai dampak bencana akibat
kerusakan lingkungan. Perubahan iklim menyebabkan meningkatnya kejadian
bencana alam seperti badai, banjir maupun kekeringan. Dampak dari bencana
akibat perubahan iklim berbeda-beda pada setiap negara, wilayah, kelas sosial
ekonomi masyarakat, usia maupun gender. Pada setiap kejadian bencana alam
besar sebagai akibat dari perubahan iklim ataupun bukan, ternyata korban pada
wilayah negara berpenghasilan rendah cenderung lebih besar 4 kali lipat
dibandingkan korban dari negara berpenghasilan tinggi. Berdasarkan informasi
dari hasil penelitian yang terbatas, dijumpai juga pola diferensiasi gender pada
seluruh tingkat proses bencana alam paparan dan kerentanan terhadap resiko,
persepsi resiko, kesiapan menghadapi bencana, tanggap bencana, dampak fisik
bencana, dampak psikologis bencana, pemulihan dan rekonstruksi.
Penyebab
perbedaan ini belum dapat dinyatakan secara pasti apakah disebabkan oleh 1)
adanya perbedaan biologis laki-laki dan perempuan, 2) perbedaan peran dan status
sosial laki-laki dan perempuan, ataupun 3) perbedaan interaksi dari faktor biologis
dan faktor sosial. Namun, kerentanan perempuan terhadap dampak bencana
cenderung meningkat sejalan dengan perbedaan peran dan tanggung jawab secara
sosial dari perempuan serta peningkatan ketidaksetaraan akses terhadap sumber
daya dan pengambilan keputusan (WHO, 2002). Perempuan dan anak cenderung
mempunyai resiko yang lebih besar dibanding laki-laki, khususnya di negaranegara berpenghasilan rendah dan masyarakat miskin.
198
alam dan perubahan iklim lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki disebabkan
tidak saja karena faktor biologis maupun sosial, akan tetapi juga karena faktor
ekonomi dan rendahnya partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan
(Ferris, Petz and Stark, 2013). Menyadari pentingnya partisipasi publik dan
transparansi dalam proses pengambilan keputusan maka Konferensi Para Pihak
ke-18 UNFCC menegaskan bahwa pemerintah berkewajiban untuk melakukan
pendidikan, pemberdayaan dan pelibatan publik dalam pengambilan kebijakan
terkait perubahan iklim.
199
manusia dalam kurun waktu beberapa tahun mendatang (IPCC, 2007b). Efek
komponen iklim akan berpengaruh saling menguatkan sehingga dapat
meningkatkan paparan terhadap dampak dan mempersempit pilihan untuk
meresponnya. Oleh karena itu, analisis dampak perubahan iklim terhadap
multisektor menjadi lebih penting dibandingkan analisis dampak perubahan iklim
sektoral. Analisis kerentanan dan dampak perubahan iklim terhadap sektor
pertanian, sumber daya air, ekosistem dan kesehatan menunjukkan bahwa dampak
perubahan iklim dapat menimbulkan resiko ganda untuk pembangunan manusia
(World Bank, 2013).
Kenaikan suhu semenjak tahun 1901 di kawasan Asia Tenggara tercatat
pada kisaran 0,4 1C dan untuk jangka menengah di tahun-tahun 2046-2065
200
mendatang diperkirakan akan meningkat pada kisaran 1,5 - 1C. Sedangkan untuk
jangka panjang di tahun-tahun 2081-2100 mendatang peningkatan temperatur
diperkirakan akan berkisar 2 - 4C yang menyebar merata di seluruh daratan dan
suhu tertinggi di siang hari akan mencapai 3 - 4C lebih tinggi dari temperatur
rata-rata saat ini. Kenaikan temperatur ini diperkirakan menyebar merata di
seluruh kawasan Asia Tenggara. Dampak perubahan iklim di kawasan Asia
Tenggara, termasuk Indonesia diperkirakan akan meningkatkan ancaman terhadap
ketahanan pangan, kesehatan manusia, ketersediaan air bersih, keanekaragaman
hayati dan peningkatan permukaan air laut.
Salah satu pengaruh utama iklim di Indonesia adalah ENSO (El NinoSouthern Oscillation) yang setiap beberapa tahun memicu berbagai peristiwa
cuaca ekstrim.
belahan dunia bagian selatan. Pada saat terjadi El Nino maka biasanya terjadi
kemarau panjang sehingga meningkatkan peluang terjadinya kebakaran hutan.
Selama beberapa tahun terakhir ini, berbagai peristiwa iklim ekstrim menjadi
lebih sering terjadi dan dampak yang ditimbulkannya menjadi lebih parah. Dalam
kurun waktu antara tahun 1844 1960 kemarau panjang terjadi rata-rata setiap
empat tahun, akan tetapi antara tahun 1961 2006 meningkat menjadi setiap tiga
tahun. Banjir juga semakin sering terjadi. Dalam kurun waktu antara 2001
2004 telah dilaporkan sekitar 530 kali banjir yang melanda hampir di seluruh
provinsi. Tingkat kerusakannya juga meningkat. Kejadian El Nino tahun 1997
1998 adalah yang paling parah selama 50 tahun dan tahun 1998 merupakan tahun
terpanas dalam abad dua puluh ini (UNDP, 2007).
Makin seringnya kejadian El Nino ini bertepatan dengan berlangsungnya
pemanasan global. Sepuluh kejadian El Nino paling parah terjadi setelah tahun
1970 dimana pemanasan global mulai berlangsung makin cepat.
Berbagai
perubahan iklim yang dirasakan sekarang ini bisa saja akibat El Nino atau dampak
pemanasan global, atau bahkan akibat interaksi keduanya. Namun, satu hal yang
pasti adalah perubahan telah terjadi dan konsekuensinya telah dirasakan oleh
generasi sekarang maupun generasi mendatang.
belakangan ini para petani di pulau Jawa sudah membicarakan musim yang tidak
normal. Di sebagian besar wilayah Sumatera selama kurun waktu antara tahun
201
1960 1990 dan 1991 2003, awal musim hujan menjadi terlambat 10 hingga 20
hari dan awal kemarau menjadi terlambat 10 hingga 60 hari. Pergeseran serupa
juga dirasakan di pulau Jawa. Di masa mendatang, sebagian wilayah Indonesia
terutama wilayah yang terletak di sebelah selatan katulistiwa dapat mengalami
musim kemarau yang lebih panjang dan musim hujan yang lebih pendek dengan
curah hujan yang lebih tinggi seperti disajikan pada Gambar 18. Di samping itu,
iklim kemungkinan juga akan menjadi makin berubah-ubah dengan makin
seringnya curah hujan yang tidak menentu. Suhu udara yang lebih tinggi juga
dapat mengeringkan tanah, mengurangi sumber air tanah, mendegradasi lahan dan
dalam beberapa kasus dapat mengakibatkan penggurunan (UNDP, 2007).
Gambar 18. Pola curah hujan mendatang di Pulau Jawa dan Bali (UNDP, 2007)
Perubahan iklim akan mempengaruhi semua orang di bumi ini. Namun
berbagai pengaruh perubahan iklim akan dirasakan lebih parah oleh kelompok
masyarakat yang paling miskin karena kelompok ini hidup di wilayah pinggiran
sehingga rentan terhadap banjir maupun bencana iklim lainnya. Di samping itu,
kelompok ini pada umumnya mencari nafkah dengan bertani atau menjadi
nelayan, sumber nafkah ini sangat rentan terhadap perubahan iklim. Kelompok
ini juga hanya memiliki sumber daya yang terbatas untuk mengantisipasi dan
menanggung bencana alam sehingga ketika bencana menimpa akan memberikan
dampak yang lebih besar. Di antara kelompok ini, petani yang akan paling
menderita adalah petani yang tinggal di wilayah dataran tinggi karena lahannya
202
dapat mengalami kehilangan lapisan tanah karena erosi. Hasil tanaman pangan
dataran tinggi seperti kedelai dan jagung akan menurun 20 hingga 40 persen.
Namun, seluruh petani akan mengalami dampak negatif perubahan iklim. Saat ini
saja sudah banyak petani mengalami kesulitan untuk menentukan waktu yang
tepat untuk memulai musim tanam, atau sudah mengalami gagal tanam atau gagal
panen karena hujan yang tidak menentu atau kemarau yang berkepanjangan.
Berbagai beban ini memiliki implikasi besar pada ketahanan pangan nasional.
Hal ini memperhatikan kenyataan bahwa selama kurun waktu 1981 1990, setiap
kabupaten di Indonesia setiap tahunnya rata-rata mengalami penurunan produksi
padi 100.000 ton dan pada kurun waktu 1992 2000 jumlah penurunan ini
meningkat menjadi 300.000 ton. Perubahan iklim juga berdampak luas terhadap
jutaan nelayan pesisir.
Interaks
i Gender
dan
Perubah
an Iklim
203
juga merupakan pihak yang bertanggung jawab untuk menyediakan air bersih dan
energi untuk keperluan rumah tangga. Peran ini merupakan suatu tanggung jawab
yang pada umumnya ditunaikan tanpa akses teknologi dan transportasi yang
memadai sehingga menyebabkan beban berat bagi perempuan. Di samping itu,
aktivitas penghasil uang yang dilakukan perempuan biasanya berperan penting
untuk mendukung kelangsungan kehidupan keluarga dan kebanyakan aktivitas ini
sangat bergantung pada ketersediaan sumber daya alam, seperti aktivitas
penanaman sayuran, beternak ayam ataupun mencari ikan (Hannan, 2011).
Bencana alam besar, seperti banjir dan kekeringan maupun perubahan cuaca
yang tidak ekstrim dapat berdampak serius terhadap kehidupan keluarga.
Perempuan pada umumnya berjuang menanam tanaman pangan dan mencukupi
kebutuhan air bersih dan energi bagi keperluan keluarganya. Peran penting ini
mungkin akan tetap dilakukan meskipun dibayang-bayangi dampak perubahan
iklim. Dampak perubahan iklim berpotensi akan meningkatkan beban perempuan
secara signifikan. Oleh karena itu, kesempatan untuk pemberdayaan ekonomi
bagi perempuan, seperti pendidikan dan pelatihan serta pemberian kesempatan
untuk aktivitas penghasil uang sangat diperlukan. Di samping itu, selama ini
upaya adaptasi maupun mitigasi perubahan iklim cenderung memperlakukan
perempuan sebagai pihak yang rentan terhadap bencana alam perubahan iklim dan
juga sebagai korban. Perempuan sebenarnya merupakan agen perubahan yang
hebat bagi keluarga dan komunitasnya.
Alternat
if Respon
204
Perubah
an Iklim
Untuk mencapai keberlanjutan manfaat dalam pengelolaan resiko akibat
bencana alam akibat perubahan iklim maka dapat direkomendasikan beberapa
alternatif respon untuk mengurangi resiko perubahan iklim, yaitu :
1) Pemahaman terhadap perubahan iklim perlu diformat ulang dengan
mengintegrasikan analisis gender dan khususnya memahami dampak
perubahan iklim terhadap perempuan. Di samping itu, gender dipandang
sebagai faktor kritis dalam analisis, perencanaan dan pengembangan
kebijakan perubahan iklim (Alston and Whittenbury, 2013),
2) Mendorong dan menyediakan insentif agar perempuan dapat berpartisipasi
secara efektif, termasuk berpartisipasi dalam peran kepemimpinan
manajemen resiko bencana alam perubahan iklim (Ferris, Pets dan Stark,
2013),
3) Menjamin implementasi pendekatan berbasis hak (rights-based approach)
dalam
kegiatan
antisipasi
bencana,
tanggap
bencana,
pemulihan,
205
pemenuhan hak anak (Gambar 19) menghadapi keterbatasan data yang tersedia,
namun banyak informasi dapat digunakan sebagai dasar dalam analisis. Sensus
Penduduk tahun 2010 (SP 2010) menunjukkan bahwa dari 237,64 juta jiwa,
sekitar 34,26% diantaranya adalah anak, yang berumur di bawah 18 tahun. Dari
39 juta anak, 52% tinggal diperdesaan dan sisanya berada di perkotaan.
Diperkirakan bahwa pada tahun 2025, 60% anak Indonesia tinggal di kota.
Situasi anak yang dipengaruhi oleh beberapa komponen yang terdiri dari
unsur hukum, unsur peradilan, unsur kesejahteraan sosial, unsur budaya dan
perilaku serta sistem data.
6
UndangUndang
tentang
Anak;
16
UndangUndang
yang
di
dalamnya
mencakup
ayat
tentang
anak;
6
UndangUndang
yang
tidak
terkait
langsung
dengan
anak;
207
4
Peraturan
Pemerinta
h tentang
Anak
1
Peraturan
yang
terkait
dengan
Anak
1
Peraturan
Presiden
yang
terkait
dengan
Anak
5
Keputusa
n
Presiden
tentang
Anak
1 Inpres
tentang
Anak
8
surat
Keputusa
n menteri
tentang
Anak
2
kesepakat
208
an
Bersama
Menteri
1
Instruksi
Menteri
tentang
Anak
4
Peraturan
Menteri
tentang
Anak
1
Peraturan
Menteri
yang
terkait
dengan
Anak
6
Surat
Edaran
Menteri
Dasar hukum tersebut mencakup subyek-subyek yang secara langsung
berdampak pada anak maupun yang terkait dengan anak. Selain UndangUndang no. 23 tahun 2002 dan Kepres No. 36
Tahun 1990
tentang
Pengesahan Convention On The Right Of The Child (Konvensi Tentang Hakhak Anak) Regulasi dalam peraturan perundang-undangan itu mencakup
bidang-bidang:
Kesehatan
Pendidikan
Hukum
Sosial
Ketenagakerjaan
Agama
209
210
kontribusi untuk pemenuhan Hak Anak. Sebagai contoh adalah peran bidang
perhubungan untuk menjamin keamanan anak di dalam bidang transportasi,
bidang pekerjaan umum untuk penyediaan sarana bermain anak, standard
bangunan yang aman untuk anak.Tata ruang juga belum menyentuh
kebutuhan
anak,
padahal
mereka
harus
mempunyai
ruang
untuk
yang
dilakukan
Kementerian
Pemberdayaan
Perempuan
dan
211
212
Karena sifatnya yang multi dimensi dan multi sektor, pemenuhan hak anak
memerlukan pengkoordinasian yang kuat. Pelaksanaan pemenuhan hak anak
harus dilakukan secara terintegrasi dan terkoordinasi. Untuk fungsi ini,
kelembagaan yang melaksanakan peran koordinasi perlu diperkuat. Selain itu
kualitas dan kuantitas tenaga pelaksana juga masih perlu ditingkatkan lebih
jauh lagi. Pemahaman tentang hak anak, pemahaman tentang sifat anak dan
siklus kehidupan serta hak-haknyanya masih rendah sehingga perlu
ditingkatkan agar pelaksanaan pemenuhan hak anak dapat dilakukan dengan
baik.
Masyarakat mempunyai peran yang sangat besar dalam pemenuhan hak
anak. Belum ada kajian khusus untuk itu, namun di semua bagian negeri ini,
selalu ada organisasi masyarakat yang memberikan perhatian anak di
berbagai bidang, yang seringkali pelayanan publiknya belum tersedia.
Kemampuan masyarakat dan dukungan mereka untuk pembangunan anak
perlu mendapat dukungan yang kuat, sehingga peran mereka dapat meningkat
kualitas maupun cakupannnya. Dalam banyak aspek, pemeritah tidak dapat
melakukan pelayanan pada anak secara lengkap dan memadai, pada kondisi
ini, masyarakat lah yang kemudian mengambil porsi tersebut.
Di dalam pemberian pelayanannya, lembaga masyarakat seringkali
terbentur pada peraturan yang menyulitkan mereka untuk dapat memberikan
sumbangsih. Mereka perl bantuan dan dukungan dari segi perijinan yang
dapat memudahkan mereka menjalankan kegiatannya. Dalam banyak aspek,
213
216
217
218
219
d. Adopsi anak
Masih banyak masalah yang berkaitan dengan adopsi. Banyak
keluarga miskin yang kemudian berdampak pada anak berupa kondisi yang
tidak menguntungkan, dimana banyak ditemui anak jalanan, anak terlantar,
220
kompleks
yang
memerlukan
penanganan,
pembinaan
dan
menjadi
mewujudkan
anak yang
dalam
tataran
kebijakan,
manajemen
maupun
tingkat
Di dalam
221
222
hidup. Angka tersebut jauh dari target MDGs (23 kematian bayi per
1.000 kelahiran hidup) yang ingin dicapai pada tahun 2015. Sementara
pada tahun yang sama, Angka Kematian Balita adalah sebesar 44 per
1.000 kelahiran hidup, sedangkan target MDGs pada tahun 2015 adalah
23 kematian balita per 1.000 kelahiran hidup.
Indikator lainnya adalah status gizi anak, dimana berdasarkan hasil
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010, prevalensi Balita Kurang Gizi
(BKG) pada tahun 2010 adalah sebesar 17,9 persen yang terdiri dari 4,9
persen gizi buruk dan 13 persen gizi kurang. Walaupun terus menurun,
AKB di indonesia masih tergolong tinggi jika dibandingkan dengan
negara-negara anggota ASEAN, yaitu 4,6 kali lebih tinggi dari Malaysia,
1,3 kali lebih tinggi dari Filipina, dan 1,8 kali lebih tinggi dari Thailand.
Indonesia menduduki ranking ke-6 tertinggi setelah Singapura (3 per
1.000), Brunei Darussalam (8 per 1.000), Malaysia (10 per 1.000),
Vietnam (18 per 1.000), dan Thailand (20 per 1.000).
Salah satu faktor yang memengaruhi kesehatan balita adalah makanan
yang dikonsumsi sejak lahir.Makanan yang terbaik untuk bayi adalah
ASI. Persentase balita yang mendapat ASI di Indonesia sudah cukup
tinggi, yaitu sebesar 94,94 persen dari seluruh balita di Indonesia. Ratarata lama pemberian ASI adalah sekitar 16 bulan.Rata-rata lama
pemberian ASI tanpa makanan tambahan yang hanya sekitar 4 bulan
menunjukkan
masih
adanya
Balita
yang
tidak
mendapat ASI
223
224
ketidak-sejahteraan
anak.
Anak
yang
mengalami
mutilation
diindikasikan
masih
terjadi.
Tindakan
ini
menyalahgunakan dalam
225
i. Jaminan perawatan
Jaminan kesehatan bagi keluarga miskin masih menghadapi
kendala. Disamping kendala administrasi, pelayanan juga masih
menghadapi kendala ketidak tepatan sasaran. Mereka yang bukan
keluarga miskin seingkali tidak mendapatkan haknya sementara mereka
226
yang tidka berhak dapat menerima pelayanan ini. Data keluarga yang
menjadi sasaran pelayanan tidak akurat.
Secara
nasional
pemanfaatan
Jamkesmas
untuk
pelayanan
persalinan oleh tenaga kesehatan dan kunjungan bayi (KN) masih sangat
rendah (1%), sedangkan untuk kunjungan ibu hamil K4 sedikit lebih baik
(4,8%).
j. Standar hidup, termasuk bantuan
Persentase penduduk yang memiliki akses terhadap air minum
berkualitas 2012 adalah 41,66%. Persentase kualitas air minum yang
memenuhi syarat tahun 2012 adalah 95,39%. Masih banyak keluarga
yang tidak mempunyai akses pada sumber air bersih dan juga sanitasi.
Studi Bank Dunia memperkirakan bahwa setiap tahun, rumah tangga
tanpa fasilitas sanitasi yang layak di Jakarta dan di seluruh Indonesia
membuang masing-masing sebesar 260.731 ton dan 6,4 juta ton kotoran
manusia ke pengumpulan-pengumpulan air tanpa diolah.
Selain itu
disabilitas
hanya
66
persen
kemungkinannya
untuk
hambatan
untuk memperoleh pendidikan menengah. Lebih jauh, 90% dari 1,5 juta
anak dengan disabilitas justru tidak dapat menikmati pendidikan.
Pendidikan konvensional melihat bahwa masalah disabilitas sebagai
227
perlakuan
diskriminatif
karena
pencapaian/
tingkat
untuk
berpartisipasi
dalam
kehidupan
keluarga
dan
228
sudah tidak bersekolah lagi atau yang tidak menamatkan suatu jenjang
pendidikan tertentu, dan sering digunakan sebagai salah satu indikator
keberhasilan pembangunan di bidang pendidikan.
Walaupun partisipasi anak dalam pendidikan sudah tinggi, terutama
pada pendidikan sekolah dasar, namun masih banyak anak yang mengalami
hambatan sosial-ekonomi untuk bersekolah. Anak putus sekolah di perdesaan
(3,51 persen) dibandingkan di perkotaan (2,28 persen). Sementara itu, putus
sekolah lebih banyak dialami oleh anak laki-laki (3,60 persen) dibanding anak
perempuan (2,17 persen). Pola ini terjadi baik di daerah perkotaan maupun
perdesaan.
Putus sekolah masih ada yang disebabkan oleh babagai masalah,
terutama alasan ketidak-mampuan ekonomi keluarga mereka.
Fasilitas
teknologi informasi atau internet di sekolah juga maish terbatas. Salah satu
sebabnya adalah karena keterbatasan aliran listrik dan jaringan internet.
Banyak guru masih belum mempunyai sertifikat mengajar. Ratio murid
dan guru secara nasional sudah baik, namun karena keberadaan guru tidak
merata, di banyak tempat ratio guru:murid masih rendah. Di sisi lain,
pelayanan pendidikan belum dapat memenuhi kebutuhan anak dengan
disabilitas. Kekerasan masih tinggi di sekolah, baik oleh guru pada murid
maupun di antara para murid dalam bentuk tawuran atau bullying. Cara
belajar mengajar juga belum memenuhi ketentuan KHA. Keamanan di jalur
sekolah juga belum mempunyai jaminan, sementara sekolah dan masdrasah
belum ramah anak.
Pendidikan keterampilan bagi mereka yang putus sekolah juga masih
terbatas. Pendidikan HAM juga masih terbatas, demikian pula pendidikan
kewarganegaraan, khususnya untuk anak-anak menjelang masuknya merka
pada usia untuk dapat memilih dalam pemilihan umum. Pendidikan untuk
anak yang hamil praktis belum ada.
a. Hak budaya
Sebanyak 78% bahasa di Indonesia sudah dipetakan. Sementara itu,
persentase guru bahasa Indonesiayang memiliki kemahiran berbahasa
Indonesia sesuai standar nasional baru 10%. Tidak semua provinsi atau
daerah dapat menangkap siaran melalui media elektronik dengan baik.
229
230
hasil Sakernas Agustus 2011, terdapat 3,4 juta anak berumur 10-17 tahun
pada 33 provinsi di Indonesia yang bekerja. Di lain pihak, gambaran situasi
ketenaga-kerjaan ini juga menunjukkan bahwa upaya perlindungan anak
terhadap berbagai tindakan eksploitasi untuk mempekerjakan anak belum
maksimal. Anak-anak yang mengalami eksploitasi ekonomi, penanganannya
praktis belum mencukupi.
Di bagian eksploitasi seksual anak, pemerintah mengakui tidak adanya
data akurat, namun diperkirakan dari semua kasus eksploitasi seksual sekitar
60 persen korbannya adalah anak-anak.Mayoritas korbannya adalah
perempuan disamping anak laki-laki.Mengenai eksploitasi seksual komersial
anak dilaporkan bahwa semua bentuk eksploitasi komersial anak dijumpai di
Indonesia seperti anak yang dilacurkan, pelacuran anak, perdagangan anak
untuk tujuan seksual, dan pornografi anak.Diperkirakan sekitar 30 persen dari
pekerja seksual di Indonesia yang jumlahnya 30.000-70.000 adalah anakanak.Undang-undang yang ada masih dinilai kurang efektif akibatnya anakanak korban eksploitasi seksual sering tidak mendapatkan perlidungan atau
bantuan pemulihan yang efektif.
Penanganan untuk anak-anak pengungsi belum memadai. Sementara itu
prosedur baku untuk pelayanan dan perlindungan bagi anak korban bencana
alam belum ada. Ana kyang berada di
Komunitas adat terpencil belum banyak terjangkau, sementara mereka
yang menjadi korban penggunaan anak dalam produksi dan perdagangan
narkotika dan psikotropika belum mendapat perhatian. Perdagangan anak dan
penculikan anak belum dapat diatasi dengan baik, bahkan strategi yang ada
tampaknya tidak efektif. Anak-anak yang berada pada situasi jalanan, belum
dapat terjangkau dengan baik.
Berdasarkan situasi anak yang telah diuraikan, ditelaah penyebab dari situasi
itu atau faktor yang mempengaruhinya. Penyebab terdiri dari 3 unsur yaitu unsur
kebijakan dan norma, unsur kelembagaan di pemerintahan dan masyarakat serta
unsur mekanisme kerja dan proses yang ada di masyarakat. Hal ini untuk
menggambarkan bahwa pemenuhan hak anak dilakukan oleh semua pihak baik
231
2. Kelembagaan
3. Mekanisme kerja
Penyebab
1. Masih ada ketidak harmonisan peraturan perUndangUndangan
2. Belum adanya kebijakan pengintegrasian hak anak dan
pemenuhan hak anak ke dalam kebijakan, progam dan
kegiatan pembangunan
3. Kebijakan tematik belum lengkap termasuk kebijakan
peranserta masyarakat
4. Belum ada dan belum lengkapnya kebijakan
pemenuhan hak anak di K/L dan Daerah
5. Pemahaman tentang anak, hak anak dan pemenuhan
hak anak yang masih terbatas
6. Adanya budaya yang menghambat pemenuhan hak
anak
7. Partisipasi anak masih rendah
1. Kemampuan kelembagaan dalam pelayanan belum
optimal
2. Disparitas kemampuan pelayanan antar daerah
3. penegakan hukum belum optimal/masih lemah
4. Data anak belum tersedia secara memadai
5. kelembagaan keluarga belum mendapat perhatian
sebagai pelaku utama perlindungan anak
6. Lingkungan anak belum memadai untuk memberikan
dukungan bagi tumbuh kembang dan perlindungan
anak
1. Mekanisme kerja belum lengkap
2. Mekanisme pengawasan oleh masyarakat belum
terbangun
3. Tradisi gotong royong belum didayagunakan secara
optimal
4. Pada beberapa isu anak mencari sendiri jalan
penyelesaian masalahnya(Kespro)
5. Adanya hambatan prosedur dan perijinan
BAB V
STRATEGI IMPLEMENTASI PEMBERDAYAAN PEREMPUAN,
PEMBANGUNAN KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER
SERTA SISTEM PERLINDUNGAN ANAK
5.1. Strategi Implementasi Pemberdayaan Perempuan
Keberhasilan pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah, swasta maupun
masyarakat sangat tergantung dari partisipasi aktif seluruh penduduk, baik laki-laki
232
maupun perempuan.
pemanfaat dari hasil pembangunan. Partisipasi ini hanya dapat dilakukan dengan baik
oleh penduduk jika penduduknya, baik laki-laki maupun perempuan memiliki kapabilitas
dan berkualitas. Pembangunan kapabilitas sumber daya manusia perempuan dan laki-laki
yang setara di bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi diharapkan akan dapat
bermanfaat di berbagai bidang pembangunan dan kehidupan.
yang memiliki kapabilitas, minimal akan dapat dijalankan melalui kemitraan yang
produktif dan sejajar dengan laki-laki dalam menjalankan pekerjaan maupun
penyelesaian persoalan-persoalan pembangunan bangsa yang meliputi bidang sosial
budaya, ekonomi, politik maupun teknologi (KPPPA, 2012a). Pembangunan kesetaraan
kapabilitas dan kualitas penduduk laki-laki dan perempuan dapat dilakukan melalui
strategi pemberdayaan perempuan. Pemberdayaan perempuan menurut CWD (2007)
adalah suatu upaya yang dapat memperbaiki atau meningkatkan rasa percaya diri, harga
diri dan juga kapabilitas untuk memilih dan menentukan sendiri arah kehidupannya, baik
untuk pribadi maupun komunitas, serta memiliki kekuatan kolektif untuk merubah relasi
gender terkait kesempatan, akses, partisipasi dan kontrol serta memperoleh manfaatnya
dalam ranah ekonomi, politik dan sosial budaya. Dalam kaitannya dengan pembangunan,
konsep pemberdayaan perempuan telah diadopsi pada Konferensi Beijing sebagai strategi
kunci dalam pembangunan yang diharapkan akan dapat membuka cakrawala baru dalam
pembangunan.
Namun, pemberdayaan perempuan merupakan perihal yang kompleks sehingga
memerlukan pendekatan yang holistik. Pendekatan holistik yang tidak parsial diharapkan
dapat secara efektif mencapai tujuan penurunan ketidaksetaraan gender.
Untuk itu,
233
interview pakar
2.
3.
Ketiga elemen tersebut masing-masing selanjutnya diuraikan menjadi sejumlah subelemen. Untuk setiap elemen dilakukan pembagian menjadi sejumlah sub-elemen sampai
memadai. Hasil strukturisasi sub-elemen dalam suatu elemen akan diuraikan sebagai
berikut dibawah ini.
a. Institusi yang terlibat dalam pelaksanaan pemberdayaan perempuan
Elemen institusi yang terlibat dalam pemberdayaan perempuan terdiri dari 11
(sebelas) sub-elemen, yaitu: (1) Bappenas, (2) Kementerian Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak, (3) Kementerian Dalam Negeri, (4) Kementerian, (5) Lembaga
Non-kementerian/Non-struktural, (6) Pemerintah Daerah Provinsi, (7) DPRD Provinsi,
(8) Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota,
bahwa
daya
pendorong
sub-elemen
ini
tertinggi
dan
Hal ini
tingkat
ketergantungannya terendah dibanding dengan sub-elemen lainnya. Hal ini berarti juga
bahwa keenam sub-elemen ini merupakan sub-elemen pendukung untuk seluruh subelemen lainnya dan bukan merupakan akibat dari sub-elemen institusi yang terlibat
lainnya.
234
Keluaran model struktur hierarki sub-elemen pada elemen institusi yang terlibat
dalam pelaksanaan pemberdayaan perempuan seperti yang disajikan pada Gambar 21
memperjelas hubungan sub-elemen kunci yang berada pada level tertinggi dibanding
dengan sub-elemen lainnya yang berada pada level yang lebih rendah. Gambar tersebut
memberikan arti bahwa sub-elemen yang berada pada level yang lebih tinggi
mempengaruhi sub-elemen yang berada pada level yang lebih rendah.
memperlihatkan bahwa sub-elemen Bappenas (1),
Gambar 21
Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak (2), dan Kementerian Dalam Negeri (3) berada pada
235
level 7. Hal ini berarti bahwa ketiga sub-elemen ini menjadi elemen kunci dan pendorong
utama yang mempengaruhi keberhasilan pemberdayaan perempuan pada tingkat nasional
dan daerah. Sedangkan sub-elemen Kementerian (4), Lembaga Non-kementerian/Nonstruktural (5), dan Pemerintah Daerah Provinsi (6) terletak pada level 4 sampai 6
meskipun berada pada kuadran II (Dependent), hal ini berarti bahwa sub-elemen tersebut
masih sangat tergantung dengan sub-elemen kunci dalam mendukung pemberdayaan
perempuan. Sub-elemen DPRD Provinsi (7), Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota (8),
Lembaga Swadaya Masyarakat (9), Swasta (10), dan Masyarakat (11) yang berada pada
level 1, 2, dan 3 dalam kerangka pemberdayaan perempuan kinerjanya sangat dipengaruhi
dan bergantung pada Bappenas (1),
Perlindungan Anak (2), Kementerian Dalam Negeri (3), Kementerian (4), Lembaga
Non-kementerian/Non-struktural (5), dan Pemerintah Daerah Provinsi (6).
Gambar 21. Level hierarki dan hubungan dalam elemen institusi yang terlibat
236
gender belum menjadi prioritas, (4) komitmen politik dan kepemimpinan dalam PUG
masih kurang, (5) kurang memadainya sumber daya manusia di daerah, (6) kesulitan
mensinkronkan dengan program SKPD lain, (7) dampak sosialisasi dan advokasi PUG di
daerah belum optimal, (8) kurang berfungsinya mekanisme dan koordinasi pemerintah
daerah, (9) kurangnya pelibatan stakeholder.
Hasil penilaian hubungan kontekstual kendala utama pemberdayaan perempuan
terlihat bahwa sub-elemen komitmen politik dan kepemimpinan dalam PUG masih
kurang (4) dan kurang berfungsinya mekanisme dan koordinasi pemerintah daerah (8)
menjadi elemen kunci dari elemen kendala utama karena mempunyai daya pendorong
paling besar dan tingkat ketergantungan yang paling rendah. Bersama-sama dengan subelemen kurangnya pemahaman PUG dan pemberdayaan perempuan di daerah (2) dan isu
pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender belum menjadi prioritas (3),
keempatnya merupakan sub-elemen penentu. Hal ini memberikan makna bahwa dalam
pemberdayaan perempuan, kendala utama yang paling menentukan keberhasilannya
adalah penyelesaian keempat sub-elemen kendala utama tersebut diatas. Sedangkan subelemen yang memiliki daya pendorong yang paling rendah dengan tingkat
ketergantungan yang tertinggi adalah kurang memadainya sumber daya manusia di
daerah (5) dan kesulitan mensinkronkan dengan program SKPD lain (6). Hasil temuan
ini mengindikasikan bahwa untuk mendorong pemberdayaan perempuan harus diberikan
perhatian yang lebih fokus kepada peningkatan komitmen politik dan kepemimpinan
PUG di daerah dan peningkatan berfungsinya mekanisme dan koordinasi pemerintah
daerah akan dapat mensinkronkan dengan program SKPD dan mengurangi dampak
kurang memadainya sumber daya manusia di daerah sehingga pada akhirnya akan dapat
membuahkan efektifitas pemberdayaan perempuan.
Hasil analisis berdasarkan daya pendorong dan tingkat ketergantungan sub-elemen,
maka pengelompokkan kesembilan sub-elemen kendala utama dapat diklasifikasikan
seperti tertera pada Gambar 22. Gambar 22 menunjukkan bahwa sub-elemen komitmen
politik dan kepemimpinan dalam PUG masih kurang (4), kurang berfungsinya
mekanisme dan koordinasi pemerintah daerah (8), kurangnya pemahaman PUG dan
237
pemberdayaan perempuan di daerah (2) dan isu pemberdayaan perempuan dan kesetaraan
gender belum menjadi prioritas (3) masuk ke dalam kuadran IV (Independent). Hal ini
memberikan
petunjuk
bahwa
keempat
sub-elemen
tersebut
memiliki
tingkat
ketergantungan yang rendah dan kekuatan penggerak yang besar terhadap keberhasilan
pemberdayaan perempuan jika kendala utama tersebut diatasi. Sub-elemen keterbatasan
sumber daya keuangan (1), dampak sosialisasi dan advokasi PUG di daerah belum
optimal (7) dan kurangnya pelibatan stakeholder (9) masuk kedalam kuadran III
(Linkage). Hal ini menunjukkan bahwa ketiga sub-elemen tersebut memiliki daya
pendorong yang besar sekaligus memiliki ketergantungan yang tinggi pada sub-elemen
lain yang berada di kuadran IV. Sedangkan sub-elemen kurang memadainya sumber daya
manusia di daerah (5) dan kesulitan mensinkronkan dengan program SKPD lain (6)
masuk ke dalam kuadran II (Dependent). Sub-elemen kurang memadainya sumber daya
manusia di daerah (5) dan kesulitan mensinkronkan dengan program SKPD lain (6)
memiliki daya pendorong yang paling rendah dan tingkat ketergantungan yang paling
tinggi dibandingkan dengan sub-elemen lainnya.
elemen kurang memadainya sumber daya manusia di daerah (5) dan kesulitan
mensinkronkan dengan program SKPD lain (6) memiliki tingkat ketergantungan yang
tinggi sehingga sangat dipengaruhi oleh sub-elemen kendala utama lainnya.
238
ketergantungannya maka sub-elemen dalam level 1 dipengaruhi secara kuat dari subelemen yang berada pada level 2, 3, 4 dan 5. Sedangkan sub-elemen yang berada pada
level 5, yaitu komitmen politik dan kepemimpinan dalam PUG masih kurang (4), kurang
berfungsinya mekanisme dan koordinasi pemerintah daerah (8) peranannya saling
mendukung satu sama lain dan berpengaruh terhadap sub-elemen lain dalam
pemberdayaan perempuan.
239
Gambar 23. Level hierarki dan hubungan dalam elemen kendala utama
c. Strategi Implementasi
Elemen strategi implementasi pemberdayaan perempuan terdiri atas 7 sub-elemen,
yaitu (1) pemantapan kompetensi sumber daya manusia, (2) penguatan sistem data dan
informasi gender, (3) pemantapan pemahaman gender pengambil kebijakan,
pemantapan efektifitas dan pemanfaataan jejaring,
yang
berkualitas
dan
positif,
(6)
(4)
peningkatan
partisipasi
stakeholder,
(7)
240
paling tinggi dengan ketergantungan paling rendah maka sub-elemen ini dapat
memberikan pengaruh kuat bagi strategi implementasi lainnya agar pemberdayaan
perempuan dapat berhasil. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pemberdayaan
perempuan akan sulit untuk dapat direalisasikan tanpa adanya pemahaman gender
pengambil kebijakan yang mantap walaupun telah tersedia akses informasi, sistem data,
sumber daya yang kompeten, jejaring dan lain-lainnya.
Berdasarkan
hasil
klasifikasi
elemen
strategi
implementasi,
sub-elemen
pemantapan kompetensi sumber daya manusia (1), penguatan sistem data dan informasi
gender (2),
sinergitas program antar K/L dan pemerintah daerah (7) berada pada kuadran III
(Linkage). Hal ini memberikan makna bahwa keempat sub-elemen tersebut saling terkait
dalam mendukung pemberdayaan perempuan. Sedangkan sub-elemen peningkatan
partisipasi stakeholder (6)
tersebut sangat tergantung dengan sub-elemen lainnya dan merupakan hasil dari subelemen yang lain dalam pemberdayaan perempuan.
Keluaran model struktur hierarki sub-elemen pada strategi implementasi
pemberdayaan perempuan yang disajikan pada Gambar 25 memperjelas hubungan subelemen kunci yang berada pada level tertinggi (level 4) dibanding dengan sub-elemen
lainnya yang berada pada level yang lebih rendah (level 3, 2 dan 1). Gambar tersebut
memberikan arti bahwa sub-elemen yang berada pada level yang lebih tinggi
mempengaruhi sub-elemen yang berada pada level yang lebih rendah.
Gambar 31 memperlihatkan bahwa sub-elemen pemantapan pemahaman gender
pengambil kebijakan (3) berada pada level 4, yang berarti bahwa sub-elemen ini menjadi
pendorong utama dan mempengaruhi sub-elemen pada level dibawahnya. Sedangkan
sub-elemen peningkatan partisipasi stakeholder (6) berada pada level 1, yang berarti
bahwa sub-elemen ini dipengaruhi oleh sub-elemen yang berada pada level 2, 3, dan 4.
Dengan demikian, intervensi kebijakan dan pengembangan kegiatan difokuskan pada
upaya pemantapan pemahaman gender pengambil kebijakan agar pemberdayaan
perempuan dapat berjalan efektif.
241
untuk
Untuk
diperlukan dan menentukan. Di samping itu, sumber daya yang tersedia dan
upaya perlu difokuskan untuk menghilangkan kendala-kendala yang dapat
menghambat keberhasilan pemberdayaan perempuan.
Kendala-kendala yang
243
Partisipasi ini
dapat diperankan sebagai pelaku maupun sebagai pemanfaat dari hasil pembangunan.
Peran serta perempuan yang memiliki kapabilitas, minimal akan dapat dijalankan melalui
kemitraan yang produktif dan sejajar dengan laki-laki dalam menjalankan pekerjaan
maupun penyelesaian persoalan-persoalan pembangunan bangsa yang meliputi bidang
sosial budaya, ekonomi, politik maupun teknologi. Di samping itu, perempuan sangat
berperan dalam mempengaruhi kualitas generasi yang akan datang karena fungsi
reproduksi perempuan.
Namun, peningkatan kesetaraan dan keadilan gender merupakan perihal yang kompleks
sehingga memerlukan pendekatan yang holistik. Pendekatan holistik yang tidak parsial
diharapkan dapat secara efektif mencapai tujuan penurunan ketidaksetaraan gender.
Untuk itu, diperlukan suatu proses pengkajian sistem peningkatan kesetaraan dan
keadilan gender sehingga dapat dihasilkan model struktural yang memotret kompleksitas
sistem yang dikaji. Teknik Interpretive Structural Modelling (ISM) dapat digunakan
244
untuk keperluan ini. ISM menganalisis elemen sistem dan menyajikannya dalam bentuk
grafik setiap hubungan langsung dari elemen sistem dan hierarkinya. Elemen sistem
dapat berupa objek kebijakan, tujuan program, dan lain-lain tergantung dari tujuan
pemodelannya.
dibawah ini.
a. Institusi yang terlibat dalam pelaksanaan peningkatan kesetaraan dan keadilan
gender
Elemen institusi yang terlibat dalam peningkatan kesetaraan dan keadilan gender
terdiri dari 11 (sebelas) sub-elemen, yaitu: (1) Bappenas, (2) Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak, (3) Kementerian Dalam Negeri, (4) Kementerian,
(5) Lembaga Non-kementerian/Non-struktural, (6) Pemerintah Daerah Provinsi, (7)
245
DPRD Provinsi,
Masyarakat,
Lembaga Non-
kementerian/Non-struktural (5), dan Pemerintah Daerah Provinsi (6) berada pada kuadran
IV (Independent). Hal ini menunjukkan bahwa daya pendorong sub-elemen ini tertinggi
dan tingkat ketergantungannya terendah dibanding dengan sub-elemen lainnya. Hal ini
berarti juga bahwa keenam sub-elemen ini merupakan sub-elemen pendukung untuk
seluruh sub-elemen lainnya dan bukan merupakan akibat dari sub-elemen institusi yang
terlibat lainnya.
Sedangkan sub-elemen DPRD Provinsi (7), Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota
(8), Lembaga Swadaya Masyarakat (9), Swasta (10), dan Masyarakat (11) terletak
dalam kuadran II (Dependent) yang berarti bahwa sub-elemen tersebut sangat tergantung
dengan sub-elemen lainnya dalam mendukung peningkatan kesetaraan dan keadilan
gender.
ketergantungan yang paling besar dengan daya dorong yang paling rendah.
246
Keluaran model struktur hierarki sub-elemen pada elemen institusi yang terlibat
dalam pelaksanaan peningkatan kesetaraan dan keadilan gender seperti yang disajikan
pada Gambar 27 memperjelas hubungan sub-elemen kunci yang berada pada level
tertinggi dibanding dengan sub-elemen lainnya yang berada pada level yang lebih rendah.
Gambar tersebut memberikan arti bahwa sub-elemen yang berada pada level yang lebih
tinggi mempengaruhi sub-elemen yang berada pada level yang lebih rendah. Gambar 27
memperlihatkan bahwa sub-elemen Bappenas (1),
Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak (2), dan Kementerian Dalam Negeri (3) berada pada
level 7. Hal ini berarti bahwa ketiga sub-elemen ini menjadi elemen kunci dan pendorong
utama yang mempengaruhi keberhasilan peningkatan kesetaraan dan keadilan gender
pada tingkat nasional dan daerah. Sedangkan sub-elemen Kementerian (4), Lembaga
Non-kementerian/Non-struktural (5), dan Pemerintah Daerah Provinsi (6) terletak pada
level 4 sampai 6 meskipun berada pada kuadran II (Dependent), hal ini berarti bahwa subelemen tersebut masih sangat tergantung dengan sub-elemen kunci dalam mendukung
peningkatan kesetaraan dan keadilan gender.
Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota (8), Lembaga Swadaya Masyarakat (9), Swasta
(10), dan Masyarakat (11) yang berada pada level 1, 2, dan 3 dalam kerangka peningkatan
kesetaraan dan keadilan gender kinerjanya sangat dipengaruhi dan bergantung pada
Bappenas (1),
247
Lembaga Non-kementerian/Non-
Gambar 27. Level hierarki dan hubungan dalam elemen institusi yang terlibat
perempuan dan kesetaraan gender belum menjadi prioritas, (4) komitmen politik dan
kepemimpinan dalam PUG masih kurang, (5) kurang memadainya sumber daya manusia
248
di daerah, (6) kesulitan mensinkronkan dengan program SKPD lain, (7) dampak
sosialisasi dan advokasi PUG di daerah belum optimal, (8) kurang berfungsinya
mekanisme dan koordinasi pemerintah daerah, (9) kurangnya pelibatan stakeholder.
Hasil penilaian hubungan kontekstual kendala utama peningkatan kesetaraan dan
keadilan gender terlihat bahwa sub-elemen komitmen politik dan kepemimpinan dalam
PUG masih kurang (4) dan kurang berfungsinya mekanisme dan koordinasi pemerintah
daerah (8) menjadi elemen kunci dari elemen kendala utama karena mempunyai daya
pendorong paling besar dan tingkat ketergantungan yang paling rendah. Bersama-sama
dengan sub-elemen kurangnya pemahaman PUG dan pemberdayaan perempuan di daerah
(2) dan isu pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender belum menjadi prioritas (3),
keempatnya merupakan sub-elemen penentu. Hal ini memberikan makna bahwa dalam
peningkatan kesetaraan dan keadilan gender, kendala utama yang paling menentukan
keberhasilannya adalah penyelesaian keempat sub-elemen kendala utama tersebut diatas.
Sedangkan sub-elemen yang memiliki daya pendorong yang paling rendah dengan tingkat
ketergantungan yang tertinggi adalah kurang memadainya sumber daya manusia di
daerah (5) dan kesulitan mensinkronkan dengan program SKPD lain (6). Hasil temuan
ini mengindikasikan bahwa untuk mendorong peningkatan kesetaraan dan keadilan
gender harus diberikan perhatian yang lebih fokus kepada peningkatan komitmen politik
dan kepemimpinan PUG di daerah dan peningkatan berfungsinya mekanisme dan
koordinasi pemerintah daerah akan dapat mensinkronkan dengan program SKPD dan
mengurangi dampak kurang memadainya sumber daya manusia di daerah sehingga pada
akhirnya akan dapat membuahkan peningkatan kesetaraan dan keadilan gender.
Hasil analisis berdasarkan daya pendorong dan tingkat ketergantungan sub-elemen,
maka pengelompokkan kesembilan sub-elemen kendala utama dapat diklasifikasikan
seperti tertera pada Gambar 28. Gambar 28 menunjukkan bahwa sub-elemen komitmen
politik dan kepemimpinan dalam PUG masih kurang (4), kurang berfungsinya
mekanisme dan koordinasi pemerintah daerah (8), kurangnya pemahaman PUG dan
pemberdayaan perempuan di daerah (2) dan isu pemberdayaan perempuan dan kesetaraan
gender belum menjadi prioritas (3) masuk ke dalam kuadran IV (Independent). Hal ini
memberikan
petunjuk
bahwa
keempat
sub-elemen
tersebut
memiliki
tingkat
ketergantungan yang rendah dan kekuatan penggerak yang besar terhadap keberhasilan
peningkatan kesetaraan dan keadilan gender jika kendala utama tersebut diatasi. Subelemen keterbatasan sumber daya keuangan (1), dampak sosialisasi dan advokasi PUG di
daerah belum optimal (7) dan kurangnya pelibatan stakeholder (9) masuk kedalam
kuadran III (Linkage). Hal ini menunjukkan bahwa ketiga sub-elemen tersebut memiliki
249
daya pendorong yang besar sekaligus memiliki ketergantungan yang tinggi pada subelemen lain yang berada di kuadran IV. Sedangkan sub-elemen kurang memadainya
sumber daya manusia di daerah (5) dan kesulitan mensinkronkan dengan program SKPD
lain (6) masuk ke dalam kuadran II (Dependent).
sumber daya manusia di daerah (5) dan kesulitan mensinkronkan dengan program SKPD
lain (6) memiliki daya pendorong yang paling rendah dan tingkat ketergantungan yang
paling tinggi dibandingkan dengan sub-elemen lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa subelemen kurang memadainya sumber daya manusia di daerah (5) dan kesulitan
mensinkronkan dengan program SKPD lain (6) memiliki tingkat ketergantungan yang
tinggi sehingga sangat dipengaruhi oleh sub-elemen kendala utama lainnya.
sub-elemen yang berada pada level 2, 3, 4 dan 5. Sedangkan sub-elemen yang berada
pada level 5, yaitu komitmen politik dan kepemimpinan dalam PUG masih kurang (4),
kurang berfungsinya mekanisme dan koordinasi pemerintah daerah (8) peranannya saling
mendukung satu sama lain dan berpengaruh terhadap sub-elemen lain dalam peningkatan
kesetaraan dan keadilan gender.
Gambar 29. Level hierarki dan hubungan dalam elemen kendala utama
c. Strategi Implementasi
Elemen strategi implementasi peningkatan kesetaraan dan keadilan gender terdiri
atas 7
penguatan sistem data dan informasi gender, (3) pemantapan pemahaman gender
pengambil kebijakan,
(5)
peningkatan akses informasi yang berkualitas dan positif, (6) peningkatan partisipasi
stakeholder, (7) peningkatansinergitas program antar K/L dan pemerintah daerah.
251
terendah dari sub-elemen ini, yang berarti juga bahwa sub-elemen pemantapan
pemahaman gender pengambil kebijakan (3) dan peningkatan akses informasi yang
berkualitas dan positif (5) merupakan sub-elemen pendukung untuk seluruh sub-elemen
lainnya dan bukan merupakan akibat dari sub-elemen kebutuhan lainnya.
paling tinggi dengan ketergantungan paling rendah maka sub-elemen ini dapat
memberikan pengaruh kuat bagi strategi implementasi lainnya agar peningkatan
kesetaraan dan keadilan gender dapat berhasil. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
peningkatan kesetaraan dan keadilan gender akan sulit untuk dapat direalisasikan tanpa
252
adanya pemahaman gender pengambil kebijakan yang mantap walaupun telah tersedia
akses informasi, sistem data, sumber daya yang kompeten, jejaring dan lain-lainnya.
Berdasarkan
hasil
klasifikasi
elemen
strategi
implementasi,
sub-elemen
pemantapan kompetensi sumber daya manusia (1), penguatan sistem data dan informasi
gender (2),
sinergitas program antar K/L dan pemerintah daerah (7) berada pada kuadran III
(Linkage). Hal ini memberikan makna bahwa keempat sub-elemen tersebut saling terkait
dalam mendukung peningkatan kesetaraan dan keadilan gender. Sedangkan sub-elemen
peningkatan partisipasi stakeholder (6) terletak di kuadran II (Dependent), yang berarti
sub-elemen tersebut sangat tergantung dengan sub-elemen lainnya dan merupakan hasil
dari sub-elemen yang lain dalam peningkatan kesetaraan dan keadilan gender.
Keluaran model struktur hierarki sub-elemen pada strategi implementasi
peningkatan kesetaraan dan keadilan gender yang disajikan pada Gambar 31 memperjelas
hubungan sub-elemen kunci yang berada pada level tertinggi (level 4) dibanding dengan
sub-elemen lainnya yang berada pada level yang lebih rendah (level 3, 2 dan 1). Gambar
tersebut memberikan arti bahwa sub-elemen yang berada pada level yang lebih tinggi
mempengaruhi sub-elemen yang berada pada level yang lebih rendah.
Gambar 31 memperlihatkan bahwa sub-elemen pemantapan pemahaman gender
pengambil kebijakan (3) berada pada level 4, yang berarti bahwa sub-elemen ini menjadi
pendorong utama dan mempengaruhi sub-elemen pada level dibawahnya. Sedangkan
sub-elemen peningkatan partisipasi stakeholder (6) berada pada level 1, yang berarti
bahwa sub-elemen ini dipengaruhi oleh sub-elemen yang berada pada level 2, 3, dan 4.
Dengan demikian, intervensi kebijakan dan pengembangan kegiatan difokuskan pada
upaya pemantapan pemahaman gender pengambil kebijakan agar peningkatan kesetaraan
dan keadilan gender dapat berjalan efektif.
253
Dan, sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, ada 3 (tiga) fungsi
254
kebijakan
PUG
bidang
Polsuskam
baik
di
Polsuskum KPP dan PA. Adapun keluaran yang diharapkan adalah terlaksananya
kebijakan PUG bidang Polsuskam, guna tercapainya hasil diharapkan adalah
pelaksanaan kebijakan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di K/L
dan pemerintah daerah sekaligus mendukung tercapainya pelaksanaan kebijakan
kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di K/L dan pemerintah Daerah.
Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari perumusan kebijakan, pada tahapan
proses perlu penyusunan rumusan MOU yang diharapkan dapat mendukung
tercapainya keluaran berupa yang diharapkan dapat mendukung tercapainya
keluaran berupa dokumen MOU antara KPP dan PA dengan K/L dan pemerintah
daerah. Sedangkan koordinasi pelaksanaan kebijakan, pada tahapan proses
diperlukan perumusan MOU guna tercapainya hasil berupa data terpilah. di K/L
255
koordinasi pelaksanaan
dilakukan
kegiatan
aktivasi,
advokasi dan fasilitasi bagi K/L, pemerintah daerah dan jejaring KPP dan PA.
Pada tataran output, diharapkan dapat dilaksanakannya MOU dan penguatan
kelembagaan, jejaring dan SDM kompeten guna peningkatan peranserta dunia
usaha, peranserta masyarakat dan masyarakat sadar gender.
Pelaksanaan PUG secara berdayaguna dan berhasil guna memerlukan
dukungan berbagai elemen institusi. Berdasarkan analisis diketahui bahwa ada
beberapa institusi yang berperan penting dalam mendukung peningkatan
pelaksanaan PUG di K/L dan pemerintah daerah. Peran Bappenas sangat strategis
dalam mendukung implementasi PUG di K/L terutama dari sisi perencanaan
pembangunan nasional. Demikian pula peran Kementerian Dalam Negeri sangat
strategis dalam mempengaruhi dan mendukung pelaksanaan PUG di daerah
terutama pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota,
masyarakat. Sejalan dengan itu, penetapan 4 (empat) driver PUG melalui PPRG
ditingkat pusat yang beranggotakan Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian
Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, dan Kementerian PP dan PA merupakan
kebijakan yang tepat dalam mendukung akselerasi pelaksanaan PUG dimasa yang
akan datang. Peran driver PUG ditingkat nasional juga menunjukkan bahwa
Bappenas, KPP dan PA dan Kementerian Dalam Negeri berada pada level hirarki
institusi yang penting dalam mendukung pelaksanaan PUG di K/L sampai dengan
masyarakat.
Namun, beberapa kendala yang perlu diperhatikan dan ditanggulangi karena
akan menentukan keberhasilan atau kegagalan pengarusutamaan gender meliputi:
a. komitmen politik dan kepemimpinan pengarusutamaan gender yang masih
kurang,
b. kurang berfungsinya mekanisme dan koordinasi pemerintah daerah,
c. kurangnya pemahaman pengarusutamaan gender dan pemberdayaan
perempuan di daerah, dan
d. isu pemberdayaan perempuan belum menjadi prioritas.
5.3. Strategi Implementasi Pembangunan Sistem Perlindungan Anak
256
257
Unsur
Kebijakan dan norma
Faktor Penyebab
Upaya Intervensi
1. Harmonisasi peraturan
perundang-undangan
dan sinkronisasi
definisi tentang Anak
3. Pengembangan
kebijakan tematik
termasuk kebijakan
peranserta masyarakat
4. Pengembangan
perlakuan khusus
daerah tertinggal
5. Pemahaman tentang
anak, hak anak dan
pemenuhan hak anak
yang masih terbatas
6. Adanya budaya yang
menghambat pemenuhan
hak anak
Kelembagaan
Unsur
2. Pengintegrasian
pemenuhan hak anak
ke dalam program
pembangunan nasional
dan daerah
Faktor Penyebab
11. Data anak belum
tersedia secara memadai
12. kelembagaan keluarga
belum mendapat
perhatian sebagai
pelaku utama
perlindungan anak
5. Peningkatan
pemahaman tentang
anak, hak anak dan
pemenuhan hak anak
6. Peningkatan kebijakan
partisipasi anak
7. Peningkatan
kemampuan K/L dan
Pemda
8. Penguatan ketahanan
keluarga melalui
pelaksanaan
pembangunan keluarga
dan pendekatan
keluarga
Upaya Intervensi
9. Peningkatan
kemampuan peranserta
lembaga masyarakat
10. Peningkatan kualitas
lingkungan sosial
11. Pengembangan sistem
data
258
Mekanisme kerja
16. Mekanisme
pengawasan oleh
masyarakat belum
terbangun
12. Penyusunan
mekanisme hubungan
kerja pusat-provinsikab/kota
13. Penyusunan
mekanisme
pengawasan oleh
masyarakat
259
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
6.1. Simpulan
260
Berdasarkan telaahan isu-isu strategis dan prioritas serta analisis yang telah
dilakukan terkait pencapaian pemberdayaan perempuan, kesetaraan dan keadilan
gender, serta pembangunan sistem perlindungan perempuan maka dapat
disimpulkan beberapa hal, yaitu:
1. Upaya untuk mencapai kesetaraan gender telah mengalami kemajuan di
beberapa area kunci kebutuhan dasar yaitu pada bidang kesehatan dan
pendidikan, terbuka kesempatan yang lebih besar bagi perempuan untuk
berpartisipasi dan pengambilan keputusan maupun ketersediaan perangkat
hukum
yang
diperlukan
untuk
pengarusutamaan
gender
dalam
untuk
kesetaraan
pengarusutamaan
gender
gender,
dalam
belum
mantapnya
pembangunan,
kelembagaan
kekerasan
terhadap
perubahan iklim.
2. Kerangka kebijakan dan komitmen CEDAW untuk pemberdayaan
perempuan dan kesetaraan gender yang diyakini merupakan prasyarat untuk
ketahanan politik, sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan bagi masyarakat
khususnya implementasi pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota belum
dilaksanakan secara optimal. Tujuan Pembangunan Millenium (Millenium
Development Goals) dapat digunakan sebagai wahana untuk implementasi
ketentuan CEDAW, pelaksanaan program dan 12 area kritis Beijing
Platform for Action.
3. Prasyarat dan komponen kunci pengarusutamaan gender untuk pencapaian
kesetaraan gender melalui pengintegrasian pengalaman, aspirasi, kebutuhan
dan permasalahan laki-laki dan perempuan kedalam perencanaan,
pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dari seluruh bidang pembangunan
dan tingkatan pemerintahan sebagian besar telah terbangun pada tingkat
261
Namun,
komitmen
dan
kepemimpinan
untuk
pelaksanaan
serta
pelibatan
lembaga
masyarakat
dalam
pelaksanaan
pengarusutamaan gender.
4. Diskriminasi dalam proses pembelajaran atau pendidikan yang terjadi
disebabkan karena perbedaan kondisi geografis sekolah, status sosial
ekonomi masyarakat, kecacatan fisik, dan proses pembelajaran yang masih
belum sepenuhnya responsif gender.
5. Isu gender diperlukan untuk pengembangan lingkungan yang kondusif,
termasuk
masih belum
262
kualitas
hidup
perempuan
yang
berkeadilan
serta
sosial.
Untuk
263
dan
Perlindungan
Anak,
Kementerian
Perencanaan
kurangnya
mencakup a) pemantapan
6.2. Saran
Berdasarkan telaahan isu-isu strategis dan prioritas serta analisis yang telah
dilakukan terkait pencapaian pemberdayaan perempuan, kesetaraan dan keadilan
264
oleh
pemenuhan
pengarusutamaan gender.
atas
prasyarat
atas
implementasi
265
penghasilan,
serta
penghapusan
diskriminasi
terhadap
tempatkan sebagai faktor kritis dalam analisis dalam tahap perencanaan dan
266
267
kekerasan
terhadap
perempuan
maka
anggaran
khusus
untuk komplementaritas
dukungan pendanaan.
DAFTAR PUSTAKA
Alston, M. and K. Whittenbury. 2013. Research, action and policy: addressing the
gendered impacts of climate change. Springer, New York.
BAPPENAS [Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional]. 2012. Strategi Nasional Percepatan
Pengarusutamaan Gender (PUG) melalui Perencanaan dan Penganggaran yang
Responsif Gender (PPRG).
Kementerian Perencanaan Pembangunan
Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), Jakarta.
268
269
Change [M.L. Parry, O.F. Canziani, J.P. Palutikof, P.J. van der Linden and C.E.
Hanson (eds)], Cambridge University Press, Cambridge, UK.
Kanungo, S. and Bhatnagar, V.K. 2002. Beyond generic models for information
system quality, the use of Interpretive Structural Modelling (ISM). System
Research 19:531-549.
Komnas Perempuan [Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan].
2010. Tak Hanya di Rumah: Pengalaman Perempuan akan Kekerasan di Pusaran
Relasi Kekuasaan yang Timpang. Catatan Tahunan Tentang Kekerasan Terhadap
Perempuan Tahun 2009. Jakarta.
Komnas Perempuan [Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan].
2013. Korban Berjuang, Publik Bertindak: Mendobrak Stagnasi Sistem Hukum.
Catatan Tahunan Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2012. Jakarta.
KPPPA [Kementerian Pmberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak]. 2013.
Kajian Pembangunan Keluarga. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak, Jakarta.
KPPPA [Kementerian Pmberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak]. 2012a.
Profil perempuan Indonesia 2012. Kerjasama Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak dengan Badan Pusat Statistik, Jakarta.
KPPPA [Kementerian Pmberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak]. 2012b.
Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2012.
Kerjasama Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dengan Badan Pusat Statistik,
Jakarta.
KPPPA [Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Republik Indonesia], 2012c, Evaluasi Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak, di Kementerian/Lembaga dan Provinsi. Jakarta.
KPPPA [Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Republik Indonesia], Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian Keuangan,
Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian PP dan PA RI tentang Strategi
Nasional Percepatan PUG melalui PPRG, Jakarta, 2012
KPPPA [Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Republik Indonesia]. 2012d.
Peran sektor ketenagakerjaan dalam rangka
mendukung industri rumahan melalui pemberdayaan perempuan dalam sistem
ekonomi rumah tangga. Jakarta.
KPPPA [Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Republik Indonesia]. 2012e. Landasan kebijakan pembangunan industri rumahan
untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga melalui pemberdayaan perempuan.
Jakarta.
KPPPA [Kementerian Pmberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak]. 2012f.
Profil Anak Indonesia 2012. Kerjasama Kementerian Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak dengan Badan Pusat Statistik, Jakarta.
270
271
Decision-/CP.19.
Http://unfcc.int/files/meetings
/warsawnov2013/ decisions/application/pdf/cop19_lossanddamage.pdf
UNICEF [United Nations Childrens Fund]. 2009. Celebrating 20 years of the
Convention in the Rights of the Children. UNICEF, New York.
UNICEF [United Nations Childrens Fund]. 2009. Perlindungan Anak Nasional.
UNICEF-East Asia and The Pacific Region, Child Protection Program Strategy
Toolkit.
UN WOMEN [United Nations Entity for Gender Equality and Empowerment of
Women]. 2010. Apakah hukum kita meningkatkan kesetaraan gender? buku
pegangan untuk tinjauan hukum berbasis CEDAW. UN WOMEN East and
Southeast Asia Regional Office, Bangkok, Thailand.
Waldorf, L. 2007. Pathway to Gender Equality: CEDAW, Beijing and the MDGs.
UNIFEM.
WHO [World Health Organization]. 2002. Gender and Health in Disasters.
Department of Gender and Womens Health, Geneva, Switzerland.
http://www.who.int/gender/other_health/en/genderdisasters.pdf
WHO [World Health Organization]. 2004. Handbook for the Documentation of
Interpersonal Violence Prevention Programmes. Geneva, Switzerland.
Yayasan Melati, 2013, Studi Partisipatif Pemaknaan Perempuan di Tingkat
Komunitas Terhadap Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kota
Samarinda, Kalimantan Timur.
Yayasan Melati, 2013, Studi Partisipatif Pemaknaan Perempuan di Tingkat
Komunitas Terhadap Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kota
Tanjung Pinang, Provinsi Kepulauan Riau.
Yayasan Melati, 2013, Studi Partisipatif Pemaknaan Perempuan di Tingkat
Komunitas Terhadap Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kota
Semarang, Provinsi Jawa Tengah.
Yusuf, A. and Fransisco, H. 2009. Climate Change Vulnerability Mapping for
Southeast Asia. IDRC/CRDI
272