TINJAUAN PUSTAKA
1.
Definisi
Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya
tonus dan spasme otot, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein kuat
yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Penyakit ini disebabkan oleh Clostridium
tetani, merupakan basil Gram positif anaerob. Bakteri ini nonencapsulated dan
berbentuk spora, yang tahan panas, pengeringan dan desinfektan. Spora adalah di
mana-mana dan ditemukan di tanah, debu rumah, usus hewan dan kotoran manusia.
Spora ini akan memasuki tubuh penderita, lalu mengeluarkan toksin yang bernama
tetanospasmin.
2.
Etiologi
Kuman yang menghasilkan toksin adalah Clostridridium tetani, kuman
Basil Gram-positif dengan spora pada pada salah satu ujungnya sehingga
membentuk gambaran tongkat penabuh drum atau raket tenis.
Mampu membentuk spora (terminal spore) yang mampu bertahan dalam suhu
tinggi, kekeringan dan desinfektans.
Kuman hidup di tanah dan di dalam usus binatang, terutama pada tanah di daerah
pertanian/peternakan.
Spora
dapat
menyebar
kemana-mana,
mencemari
lingkungan secara fisik dan biologik. Spora mampu bertahan dalam keadaan yang
tidak menguntungkan selama bertahun-tahun, dalam lingkungan yang anaerob
dapat berubah menjadi bentuk vegetative yang akan menghasilkan eksotoksin.
Kuman ini memiliki toksin yang dapat menghancurkan sel darah merah, merusak
leukosit dan merupakan tetanospasmin yaitu toksin yang neuro tropik yang dapat
menyebabkan ketegangan dan spasme otot
Spora dari Clostridium tetani resisten terhadap panas dan juga biasanya terhadap
antiseptis. Sporanya juga dapat bertahan pada autoclave pada suhu 249.8F
(121C) selama 1015 menit. Juga resisten terhadap phenol dan agen kimia yang
lainnya.
dalam bentuk spora. Penyakit akan muncul bila spora tumbuh menjadi bentuk
vegetatif yang menghasilkan tetanospasmin pada keadaan tekanan oksigen rendah,
nekrosis jaringan atau berkurangnya potensi oksigen.
Masa inkubasi dan beratnya penyakit terutama ditentukan oleh kondisi luka.
Beratnya penyakit terutama berhubungan dengan jumlah dan kecepatan produksi
toksin serta jumlah toksin yang mencapai susunan saraf pusat. Faktor-faktor tersebut
selain ditentukan oleh kondisi luka, mungkin juga ditentukan oleh strain Clostridium
tetani. Pengetahuan tentang patofisiologi penyakit tetanus telah menarik perhatian
para ahli dalam 20 tahun terakhir ini, namun kebanyakan penelitian berdasarkan atas
percobaan pada hewan.
a. Penyebaran toksin
Toksin yang dikeluarkan oleh Clostridium tetani menyebar dengan berbagai
cara, sebagai berikut:
1. Masuk ke dalam otot
Toksin masuk ke dalam otot yang terletak dibawah atau sekitar luka,
kemudian ke otot-otot sekitarnya dan seterusnya secara ascenden melalui sinap ke
dalam susunan saraf pusat.
2. Penyebaran melalui sistem limfatik
Toksin yang berada dalam jaringan akan secara cepat masuk ke dalam nodus
limfatikus, selanjutnya melalui sistem limfatik masuk ke peredaran darah
sistemik.
3. Penyebaran ke dalam pembuluh darah.
Toksin masuk ke dalam pembuluh darah terutama melalui sistem limfatik,
namun dapat pula melalui sistem kapiler di sekitar luka. Penyebaran melalui
pembuluh darah merupakan cara yang penting sekalipun tidak menentukan
beratnya penyakit. Pada manusia sebagian besar toksin diabsorbsi ke dalam
pembuluh darah, sehingga memungkinkan untuk dinetralisasi atau ditahan dengan
pemberian antitoksin dengan dosis optimal yang diberikan secara intravena.
Toksin tidak masuk ke dalam susunan saraf pusat melalui peredaran darah karena
sulit untuk menembus sawar otak. Sesuatu hal yang sangat penting adalah toksin
bisa menyebar ke otot-otot lain bahkan ke organ lain melalui peredaran darah,
sehingga secara tidak langsung meningkatkan transport toksin ke dalam susunan
saraf pusat.
Tetanus toxin:
Rasa sakit
Rasa sakit timbul dari adanya kekakuan otot dan kejang. Kadang kala
ditemukan neurotic pain yang berat pada tetanus lokal sekalipun pada saat tidak
ada kejang. Rasa sakit ini diduga karena pengaruh toksin terhadap sel saraf
ganglion posterior, sel-sel pada kornu posterior dan interneuron.
Fungsi Luhur
Kesadaran penderita pada umumnya baik. Pada mereka yang tidak sadar
biasanya berhubungan dengan seberapa besar efek toksin terhadap otak, seberapa
jauh efek hipoksia, gangguan metabolisme dan sedatif atau antikonvulsan yang
diberikan.
2. Aktifitas neuromuskular perifer
Toksin tetanus menyebabkan penurunan pelepasan asetilkolin sehingga
mempunyai efek neuroparalitik, namun efek ini tertutup oleh efek inhibisi di
susunan saraf pusat. Neuroparalitik bisa terjadi bila efek toksin terhadap SSP
tidak terjadi, namun hal ini sulit karena toksin secara cepat menyebar ke SSP.
Kadang-kadang efek neuroparalitik terlihat pada tetanus sefal yaitu paralisis
nervus fasialis, hal ini mungkin n. fasialis lebih sensitif terhadap efek paralitik
dari toksin atau karena axonopathi.
Efek lain toksin tetanus terhadap aktivitas neuromuskular perifer berupa:
1. Neuropati perifer
2. Kontraktur miostatik yang dapat berupa kekakuan otot, pergerakan otot yang
terbatas dan nyeri, yang dapat terjadi beberapa minggu sampai beberapa bulan
setelah sembuh.
3. Denervasi parsial dari otot tertentu.
3. Perubahan pada sistem saraf autonom
Pada tetanus terjadi fluktuasi dari aktifitas sistem simpatis dan parasimpatis,
hal ini mungkin terjadi karena adanya ketidakseimbangan dari kedua sistem
tersebut. Mekanisme terjadinya disfungsi sistem autonom karena efek toksin yang
berasal dari otot (retrograd) maupun hasil penyebaran intraspinalis (dari kornu
anterior ke kornu lateralis medula spinalis torakal). Gangguan sistem autonom
bisa terjadi secara umum mengenai berbagai organ seperti kardiovaskular, saluran
cerna, kandung kemih, fungsi kendali suhu dan kendali otot bronkus, namun
dapat pula hanya mengenai salah satu organ tertentu.
Kekakuan dan hipertonus dari otot-otot interkostal, badan dan abdomen; otot
diafragma terkena paling akhir. Kekakuan dinding thorax apalagi bila kejang
yang terjadi sangat sering mengakibatkan keterbatasan pergerakan rongga
dada sehingga menganggu ventilasi. Tetanus berat sering mengakibatkan
gagal nafas yang ditandai dengan hipoksia dan hiperkapnia. Namun dapat
terjadi takipnea akibat aktifitas berlebihan dari saraf di pusat persarafan yang
tidak terkena efek toksin.
Kendala etik
6. Gangguan metabolik
Metabolik rate pada tetanus secara bermakna meningkat dikarenakan adanya
kejang, peningkatan tonus otot, aktifitas berlebihan dari sistem saraf simpatik dan
perubahan hormonal. Konsumsi oksigen meningkat, hal ini pada kasus tertentu
dapat dikurangi dengan pemberian muscle relaxans. Berbagai percobaan
memperlihatkan adanya peningkatan ekskresi urea nitogen, katekolamin plasma
dan urin, serta penurunan serum protein terutama fraksi albumin.
Secara teoritis ileus, distonia kolon, gangguan evakuasi usus besar dan retensi
urin dapat terjadi karena gangguan keseimbangan simpatis-parasimpatis karena
efek toksin baik di tingkat batang otak, hipotalamus maupun ditingkat saraf
perifer simpatis, parasimpatis. Disfungsi organ dapat pula terjadi sebagai akibat
gangguan mikrosirkulasi dan perubahan permeabilitas kapiler pada organ tertentu.
4.
Manifestasi Klinis
Variasi masa inkubasi sangat lebar, biasanya berkisar anatara 5-14 hari. Makin
lama masa inkubasi, gejala yang timbul makin ringan. Derajat berat penyakit selain
berdasarkan gejala klinis yang tampak juga dapat diramalkan dari lama masa inkubasi
atau lama period of onset. Kekakuan dimulai pada otot setempat atau trismus,
kemudian menjalar ke seluruh tubuh, tanpa disertai gangguan kesadaran. Kekakuan
tetanus sangat khas, yaitu fleksi kedua lengan dan ekstensi pada kedua kaki, fleksi
pada kedua kaki, tubuh kaku melengkung bagai busur.
Penyakit ini biasanya terjadi mendadak dengan ketegangan otot yang makin
bertambah terutama pada rahang dan leher. Dalam waktu 48 jam penyakit ini menjadi
nyata dengan:
1.
2.
3.
4.
5.
Tetanus Cephalic
Tetanus cephalic adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa
inkubasi berkisar 1 2 hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti
dilaporkan di India ), luka pada daerah muka dan kepala, termasuk adanya
benda asing dalam rongga hidung.
Gejalanya berupa trismus, disfagia, rhisus sardonikus dan disfungsi
nervus kranial. Tetanus sefal jarang terjadi, dapat berkembang menjadi tetanus
umum dan prognosisnya biasanya jelek.
Tetanus umum
Bentuk tetanus yang paling sering ditemukan. Sering menyebabkan
komplikasi yang tidak dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala
timbul secara diam-diam. Trismus merupakan gejala utama yang sering
dijumpai (50%), yang disebabkan oleh kekakuan otot-otot masseter,
Lokalisasi kekakuan dekat dengan luka berupa spasme disekitar luka dan
kekakuan umum terjadi beberapa jam atau hari.
Grade II: sedang
-
Tetanus neonatorum
Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya infeksi
tali pusat, umumnya karena tehnik pemotongan tali pusat yang aseptik dan ibu
yang tidak mendapat imunisasi yang adekuat. Gejala yang sering timbul
adalah ketidakmampuan untuk menetek, kelemahan, irritable diikuti oleh
kekakuan dan spasme. Posisi tubuh klasik : trismus, kekakuan pada otot
punggung menyebabkan opisthotonus yang berat dengan lordosis lumbal.
Bayi mempertahankan ekstremitas atas fleksi pada siku dengan tangan
mendekap dada, pergelangan tangan fleksi, jari mengepal, ekstremitas bawah
hiperekstensi dengan dorsofleksi pada pergelangan dan fleksi jari-jari kaki.
Kematian biasanya disebabkan henti nafas, hipoksia, pneumonia, kolaps
sirkulasi dan kegagalan jantung paru.
5.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan riwayat imunisasi:
-
Temuan laboratorium:
-
Lekositosis ringan
6.
Diagnosis banding
7.
GAMBARAN DIFFERENTIAL
Demam, trismus tidak ada, sensorium depresi, abnormal CSF
Trismus tidak ada, paralisa tipe flaccid, abnormal CSF
Gigitan binatang, trismus tidak ada, hanya oropharingeal spasme
Hanya local, regiditas seluruh tubuh atau spasme tidak ada
Trismus atau spasme seluruh tubuh tidak ada
Hanya carpopedal dan laryngeal spasme, hypocalcemia
Relaksasi komplet diantara spasme
Dystonia, respons dengan diphenydramine
Sensorium depressi
Trismus tidak ada, sensorium depressi
Trismus inkonstan, relaksasi komplet diantara spasme
Hanya local
Penatalaksanaan
a
Pencegahan
1.
Mencegah terjadinya luka.
2.
3.
Tetanus
Imun
Globulin
(TIG)
lebih
dianjurkan
pemakaiannya
Pengobatan spesifik dengan ATS 20.000 U/hari selama 2 hari berturutturut secara I.M dengan didahului uji kulit dan mata. Bila hasil positif,
maka pemberian ATS harus dilakukan dengan disensitisasi cara besredka.
Largaktil
Spasme laring
8. Komplikasi
1
Gangguan pada ventilasi paru, akibat spasme otot-otot pernapasan dan spasme
laring atau akibat dari penimbunan sekresi dapat menimbulkan aspirasi
pneumonia, atelektasis, emfisema mediastinum atau pneumothoraks.
Laserasi pada lidah atau mukosa pipi, hematoma intramuskuler dan frakturfraktur vertebra dapat terjadi setelah serangan kejang tetanik.
Jika penyakit berlangsung lama, dapat terjadi malnutrisi dan dehidrasi koloid
bisa diberikan perhatian yang memadai pada masalah keseimbangan cairan
dan pemasukan kalori.
Pada kasus yang berat sering terjadi komplikasi disfungsi autonomik yang
ditandai oleh :
-
Takikardia
Aritmia
Hiperpireksia
Vasokonstriksi perifer
9. Prognosis
Faktor-faktor yang dapat memperburuk keadaan yaitu :
1
Pengobatan terlambat
BAB IV
KESIMPULAN
1
Penyakit
Tetanus
adalah
gangguan
neurologis
yang
ditandai
dengan
meningkatnya tonus dan spasme otot, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu
toksin protein kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani.
2
Tetanus disebabkan oleh kuman Clostridium tetani, suatu kuman gram positif.
Tetanus terlokalisasi
Tetanus sefalik
Tetanus neonatus
Diagnosis dapat ditegakkan dengan gejala klinis yang ditemukan, riwayat trauma
dan biakan kuman.
DAFTAR PUSTAKA
Behrman, Kligman, Arvin. 2000. Nelson. Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15. Vol. 2.
Jakarta: EGC.
Hasan R, Alatas Husein. 1985. Tetanus, Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak FKUI.
Jakarta: FKUI.
Hendarwanto. 2001. llmu Penyakit Dalam, Jilid 1. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
Himawan, Sutisna. 1996. Kumpulan Kuliah Patologi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Horrison. 1995. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 2 Edisi 13. Jakarta:
EGC.
Mardjono, Mahar. 2004. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat.
Nelson, et al. 1996. Ilmu Kesehatan Anak, Edisi 12 Bagian 2. Jakarta: EGC.
Noer Sjaifoellah, HM. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi 3. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.
Prijanto M, Handayani S, Parwati D, et al. 2002. Status Kekebalan Terhadap Difteri
dan Tetanus Pada Anak Usia 4-5 Tahun dan Siswa SD Kelas VI, Cermin
Dunia Kedokteran No. 134.
Rahim Abdulah, Lintang M, Suharto, J. Suharno. 1994. Batang Positif Gram. Buku
Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: Bina Rupa Aksara.
Soedarmo, Sumarmo P. Poorwo. Herry Garna, et al. 2002. Buku Ajar Infeksi &
Pediatric Tropis. Edisi Kedua. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI.
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
1986. Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 2. Jakarta: Infomedika.