Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit Tubercolusis atau yang sering disebut TB Paru adalah
infeksi menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tubercolusis.1
Indonesia berada pada tingkat ke-3 terbesar didunia dalam jumlah penderita
Tuberkulosis (TB), setelah India dan Cina. TB merupakan salah satu penyakit
menular yang masih menjadi menjadi perhatian dunia hingga saat ini.
Diperkirakan

1/3

dari

penduduk

dunia

tanpa

diketahui

terinfeksi

Mycobacterium Tuberculosis dan sekitar 95% penderita TB paru berada di


negara berkembang, dimana 75% di antaranya adalah usia produktif, TB paru
biasanya mengenai usia dewasa muda antara 15-44 tahun (Jurnal PPTI,
2012). World Health Organization (WHO) mencanangkan TB Paru sebagai
kedaruratan global, karena penyakit TB Paru tidak terkendalikan pada
sebagian besar Negara di dunia. Pada tahun 1995, WHO memperkirakan
setiap tahun terjadi sekitar 9 juta kasus baru TB Paru dengan angka kematian
sekitar 3 juta orang.2
Berdasarkan Data dari Dinas Kota Palembang diketahui kejadian
TB paru tahun 2012 yaitu 1350 penderita dan tahun 2013 mencapai 1457
penderita. Berdasarkan data yang didapat di Puskesmas 4 Ulu Palembang
Jumlah kasus TB Paru BTA (Basil Tahan Asam) positif pada tahun 2012
tercatat sebanyak 58 jiwa dan tahun 2013 sebanyak 51 jiwa penderita.3
Pengobatan TB paru membutuhkan waktu minimal 6 bulan.
Seorang pasien TB paru dewasa akan kehilangan waktu kerjanya 3 sampai 4
bulan.2 Kualitas hidup merupakan indikator penting untuk menilai
keberhasilan dari intervensi pelayanan kesehatan, baik dari segi pencegahan
maupun pengobatan.4

Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif dan pada


waktu batuk atau bersin penderita menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat mengeluarkan
sekitar 3000 percikan dahak. Anggota keluarga kasus TB BTA positif
merupakan golongan masyarakat yang paling rentan tertular penyakit TB paru
karena sulit menghindari kontak dengan penderita.1 Walaupun petugas
puskesmas sudah melakukan promosi pada kontak dan penderita TB sebagai
aplikasi dari program Directly Observed Treatment of Shortcourse (DOTS)
yakni penemuan dengan strategi passive promotion case detection, namun
tidak semua suspek atau kontak mau periksa dahak ke puskesmas.2
Peningkatan penemuan kasus TB paru dewasa diharapkan dapat
terjadi, agar penularan kasus TB paru dewasa dapat ditekan semaksimal
mungkin dan pengobatan pada penderita dapat dilakukan sedini mungkin.
Hal ini tentunya memerlukan kerjasama dari beberapa pihak antara lain pihak
keluarga, petugas puskesmas sebagai lini pertama petugas kesehatan tingkat
primer dan penderita itu sendiri.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana gambaran cakupan CDR TB Paru di Puskesmas 4 Ulu pada
tahun 2013?
2. Apa permasalahan atau hambatan yang mempengaruhi cakupan CDR TB
Paru di Puskesmas 4 Ulu pada tahun 2013?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui penemuan kasus TB paru dewasa BTA (+) di Puskesmas 4 Ulu


1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui gambaran penemuan kasus TB paru dewasa BTA (+)
lebih cepat
2. Mengetahui permasalahan atau hambatan yang terjadi sepanjang
perlaksanaan pelayanan kesehatan khususnya pada penderita TB paru
dewasa
1.4 Manfaat
1.4.1
Puskesmas
untuk mengevaluasi dan meningkatkan efektivitas pelayanan penyakit
menular khususnya TB paru di puskesmas.
1.4.2

Dinas Kesehatan
mengetahui permasalahan yang dihadapi oleh puskesmas dalam
melaksanakan pelayanan penyakit menular khususnya TB paru dan
mampu memberi dukungan dan sarana untuk meningkatkan
efektivitas program tersebut

1.4.3

Mahasiswa
Menambah pengetahuan dan pengalaman khususnya tentang penyakit
TB paru

1.4.4

Masyarakat
Mendapatkan pelayanan secara terpadu pada program pelayanan
penyakit menular

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Tuberkulosis paru (TB Paru) adalah infeksi paru yang menyerang jaringan
parenkim paru yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tuberkulosis.5
2.2. Epidemiologi
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting
di dunia ini. Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh
Mycobacterium tuberculosis. Pada bulan Maret 1993 WHO mendeklarasikan TB
sebagai Global Health Emergency. TB dianggap sebagai masalah kesehatan dunia
yang penting karena lebih kurang 1/3 penduduk dunia terinfeksi oleh
mikobakterium TB. Pada tahun 1998 ada 3.617.047 kasus TB yang tercatat
diseluruh dunia. Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB
didunia, terjadi pada negara-negara berkembang.5
Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru
tuberkulosis pada tahun 2002, 3,9 juta kasus dengan hasil BTA (Basil Tahan
Asam) positif. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan
menurut regional WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia Tenggara yaitu
33 % dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari jumlah penduduk
dunia maka terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di Afrika hampir 2 kali
lebih besar dari Asia Tenggara yaitu 350 kasus per 100.000 penduduk. Demikian
juga, kematian wanita akibat TB lebih banyak dari pada kematian kerana
kehamilan, persalinan dan nifas.6
Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara
ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan
kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada
kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Jika ia
meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun.
Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya
secara sosial stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat.7
Situasi TB didunia semakin memburuk, jumlah kasus TB meningkat dan
banyak yang tidak berhasil disembuhkan terutama pada negara-negara yang

dikelompokkan dalam 22 negara dengan masalah TB besar (high burden


countries). Menyikapi hal tersebut, pada tahun 1993 WHO mencanangkan TB
sebagai kedaruratan dunia (global emergency).7
Munculnya pandemi HIV/AIDS di dunia menambahkan permasalahan TB.
Koinfeksi dengan HIV akan meningkatkan risiko kejadian TB secara signifikan.
Pada saat yang sama, kekebalan ganda kuman TB terhadap obat anti TB
(multidrug resistance=MDR) semakin menjadi masalah akibat kasus yang tidak
berhasil disembuhkan. Keadaan tersebut pada akhirnya akan menyebabkan
terjadinya epidemi TB yang sulit ditangani.7
Di Indonesia, TB masih merupakan masalah utama kesehatan masyarakat
di Indonesia. Data World Health Organization (WHO) tahun 2006 menyatakan
bahwa Indonesia sebagai penyumbang TB terbesar nomor 3 di dunia setelah
India dan Cina dengan jumlah kasus baru sekitar 539.000 kasus dan jumlah
kematian sekitar 101.000 orang pertahun. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) tahun 2004 memperlihatkan bahwa insiden penyakit TB secara nasional
telah turun dari 130/100.000 penduduk menjadi 110/100.000 penduduk. Di
Indonesia Tuberkulosis adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit menular
dan merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan
penyakit pernapasan akut pada seluruh kalangan usia.7
2.3. Etiologi
Penyakit

tuberculosis

disebabkan

oleh

bakteri

Mycobacterium

Tuberkulosis. Bakteri ini berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak
berspora dan tidak berkapsul. Ukuran panjang sekitar 1 4 m dan lebar 0,3 0,6
m. Mycobacterium terdiri dari lapisan lemak yang cukup tinggi (60%). Penyusun
utama dinding sel bakteri adalah asam mikolat, complex waxes, trehalosa
dimicolat dan mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Unsur lain
yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti
arabinogalaktan dan arabinomatan. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut
menyebabkan bakteri bersifat tahan asam. Kuman TB cepat mati dengan sinar
matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam ditempat yang gelap

dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dormant atau tertidur lama
selama beberapa tahun.6
2.4. Patogenesis
Kuman Myccobacterium tuberculosis yang masuk melalui saluran nafas
akan bersarang di jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni,
yang disebut dengan sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mungkin
timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari
sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah beningdi hilus
(limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional
dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami nasib
salah satu dari yang berikut ini: 6

Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali

Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas antara lain sarang Ghon, garis
fibrotik, sarang perkapuran di hilus

Menyebar dengan cara :


-

Perkontinuitatum, menyebar kesekitarnya

Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan atau paru


yang disebelahnya atau tertelan

Penyebaran secara hematogen dan limfogen, penyebaran ini


berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman.
Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh spontan, tapin bila daya
tahan tubuh menurun penyebaran dapat menimbulkan keadaan
cukup gawat seperti tuberculosis milier, meningitis tuberculosis.
Penyebaran melalui hematogen dapat menyebabkan tuberculosis
pada organ yang diserang tersebut seperti tulang, ginjal.

Semua kejadian diatas merupakan proses tuberculosis primer. Tuberculosis


post primer muncul setelah bertahun-tahun kemudian setelah tuberculosis primer,
biasanya terjadi pada umur 15-45 tahun. Bentuk tuberculosis inilah yang akan

menyebabkan masalah kesehatan masyarakat, karena dapat menjadi sumber


penularan.6
2.5. Diagnosis
2.5.1. Gejala TB
Gambaran klinis tuberculosis dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu gejala
lokal dan gejala sistemik.7
1. Gejala lokal respiratori antara lain:

Batuk batuk lebih dari 2 minggu

Batuk berdahak dengan kadang disertai darah

Sesak nafas

Nyeri dada

Gejala gejala diatas sangat bervariasi, mulai dari tidak ada gejala
sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi

2. Gejala sistemik seperti:

Demam yang lebih dari sebulan

Malaise

Keringat malam walaupun sedang tidak beraktifitas

Anoreksia

Berat badan yang menurun dengan cepat

Gejala-gejala tersebut diatas dijumpai pula pada penyakit paru selain


tuberkulosis. Oleh sebab itu setiap orang yang datang dengan gejala tersebut
diatas harus dianggap sebagai seorang Suspek tuberkulosis atau tersangka
penderita TBC dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis
langsung.7

2.5.2. Pemeriksaan Fisik

Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan


struktur paru. Pada awal perkembangan penyakit umumnya sulit untuk ditemukan
kelainan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan: 7
Inspeksi

: Gerakan dinding dada simetris, namun kadang terdapat


retraksi rongga dada, difragma dan mediastinum.

Palpasi

: Fremitus biasanya meningkat

Perkusi

: Tergantung dari beratnya TB, bisa dari pekak sampai


redup

Auskultasi

: Suara nafas bronkial, amforik, suara nafas lemah, ronkhi


basah

2.5.3. Pemeriksaan Bakteriologis


Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakan diagnosis, menilai
keberhasilan pengobatan, dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak
untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak
yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berturutan berupa Sewaktu
Pagi Sewaktu (SPS): 7

S (sewaktu) : dahak dikumpulkan pada saat suspek TB


datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek
membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak
pagi pada hari kedua.

P (pagi)

: dahak dikumpulkan dirumah pada pagi hari

kedua, segera setalah bangun tidur. Pot dibawa dan


diserahkan sendiri kepada petugas di UPK.

S (sewaktu) : dahak dikumpulkan di UPK pada hari


kedua, saat menyerahkan dahak pagi.

Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dalam skala IUATLD


(International Union Against Tuberkulosis and Lung Disease):

Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang disebut negatif

Ditemukan 1 9 BTA dalam 100 lapang pandang hanya disebutkan


dengan jumlah kuman yang ditemukan

Ditemukan 10 99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (+1)

Ditemukan 1 10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut ++ (+2)

Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut +++ (+3)

2.5.4. Pemeriksaan Radiologis


Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan
pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun
pada kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan
indikasi sebagai berikut: 7

Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus
ini pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung
diagnosis TB paru BTA positif

Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen


dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya negatif dan tidak
ada perbaikan setelah pemberian antibiotik non OAT.

Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang


memerlukan penanganan khusus (seperti: pneumotoraks, pleuritis
eksudatif, efusi perikarditis atau efusi pleural) dan pasien yang
mengalami hemoptosis berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau
aspergiloma).

Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi aktif akan tampak


bayangan berawan di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen
superior lobus bawah, ditemukan kavitas atau bayangan bercak milier. Pada lesi
TB inaktif tampak gambaran fibrotik, kalsifikasi dan penebalan pleura

Tersangka
penderita TBC
(suspek TBC)
Periksa dahak Sewaktu, Pagi, Sewaktu

Hasil BTA
+ - -

Hasil BTA
+ + +
+ + -

Hasil BTA
- - -

Beri antibiotic Spektrum


luas
Periksa Rontgen Dada
Ada
perbaikan

Tidak ada
perbaikan

Hasil
mendukung
TBC

Hasil tidak
mendukung
TBC

Penderita TBC BTA


positif

Ulang pemeriksaan
dahak mikroskopik

Hasil BTA
+++
+++--

Hasil BTA
---

Periksa Rontgen dada

Bagan 1. Alur Diagnosis TB paru


Sumber gambar: Pedoman Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2

2.6. Klasifikasi

Hasil
mendukung
TBC

Hasil
Rontgen
negatif

TBC BTA
negative

Bukan TBC,
penyakit

10

2.6.1 Klasifikasi berdasarkan tubuh yang terkena


1. Tuberkulosis paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan
(parenkim) paru. Tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar
pada hilus.7
2. Tuberkulosis ekstra paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya
pleura, selaput otak, selaput jantung (perikardium), kelenjar limfe,
tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin,
dan lain lain.
2.6.2 Klasifikasi berdasarkan pemeriksaan mikroskopik
1. Tuberkulosis paru BTA positif 7

Sekurang kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA


positif

1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukan gambaran tuberkulosis

1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman


TB positif

1 atau lebih spesimen dahak hasilnya BTA negatif dan tidak ada
perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT

2. Tuberkulosis paru BTA negative 7

Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif

Foto toraks abnormal menunjukan gambaran tuberkulosis

Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT

Ditentukan

(dipertimbangkan)

oleh

dokter

untuk

diberi

pengobatan

2.6.3 Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya


11

1. Kasus baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau
sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu)
2. Kasus kambuh (relaps) adalah pasien tuberkulosis yang sebelumya
pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan
sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA
positif (apusan atau kultur)
3. Kasus setelah putus berobat (default) adalah pasien yang telah berobat
dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif
4. Kasus setelah gagal (failure) adalah pasien yang hasil pemeriksaan
dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima
atau lebih selama pengobatan.
5. Kasus pindahan (transfer in) adalah pasien yang dipindahkan dari
UPK

yang

memiliki

register

TB

lain

untuk

melanjutkan

pengobatannya.
6. Kasus lain adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas.
Dalam kasus ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil
pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan. 7
2.7. Penemuan Penderita TB pada Orang Dewasa
Penemuan penderita TBC dilakukan secara pasif artinya penjaringan
tersangka penderita dilaksanakan pada mereka yang datang berkunjung ke unit
pelayanan kesehatan.7
Penemuan secara pasif tersebut didukung dengan penyuluhan secara aktif
baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat untuk meningkatkan cakupan
penemuan tersangka penderita cara ini biasa dikenal dengan sebutan passive
promotive case finding ( penemuan penderita secara pasif dengan promosi yang
aktif ). Selain itu semua kontak penderita TBC Paru BTA positif dengan gejala
sama harus diperiksa dahaknya. Seorang petugas kesehatan diharapkan
menemukan tersangka penderita sedini mungkin, mengingat tuberkulosis adalah
penyakit menular yang dapat mengakibatkan kematian. Semua tersangkas

12

penderita harus diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari berturut-turut


yaitu sewaktu pagi sewaktu ( SPS ).7

2.8 Pengobatan
2.8.1. Tujuan
Pengobatan yang dilakukan bertujuan untuk menyembuhkan penderita,
mencegah kematian, mencegah kekambuhan, dan menurunkan tingkat penularan.
2.8.2. Prinsip pengobatan
Obat TB diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua kuman (termasuk
kuman persister) dapat dibunuh. Dosis tahap intensif dan dosis tahap lanjutan
ditelan sebagai dosis tunggal, sebaiknya pada saat perut kosong. Apabila paduan
obat yang digunakan tidak adekuat (jenis, dosis dan jangka waktu pengobatan),
kuman TBC akan berkembang menjadi kuman kebal obat (resisten). Untuk
menjamin kepatuhan penderita menelan obat, pengobatan perlu dilakukan dengan
pengawasan langsung (DOTS=Direcly Observed Treatment Shortcourse) oleh
seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).7
2.8.3. Jenis dan dosis OAT
a) Isoniasid (H)
Dikenal dengan INH, bersifat bakterisid, dapat membunuh 90% populasi
kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. Obat ini sangat efektif
terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif yaitu kuman yang sedang
berkembang, Dosis harian yang dianjurkan 5 mg/kgBB, sedangkan untuk
pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 10 mg/kg
BB.7
b) Rifampisin ( R )
Bersifat bakterisid dapat membunuh kuman semidormant (persister)
yang tidak dapat dibunuh oleh isoniasid dosis 10 mg/kgBB diberikan
sama untuk mengobatan harian maupun intermiten 3 kal seminggu.7

13

c) Pirazinamid ( Z )
Bersifat bakterisid dapat membunuh kuman yang berada dalam sel
dengan suasana asam. Dosis harian yang dianjurkan 25 mg/kg BB
,sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan
dengan dosis 35 mg/kg BB.7
d) Streptomisin ( S )
Bersifat bakterisid. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB
sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis
yang sama penderita berumur sampai 60 tahun dasisnya 0,75 gr/hari
sedangkan unuk berumur 60 tahun atau lebih diberikan 0,50 gr/hari.7
e) Etambulol ( E)
Bersifat sebagai bakteriostatik. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg
BB sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan
dosis 30 mg/kg/BB.7
Pengobatan TBC diberikan dalam 2 tahap yaitu tahap intensif dan lanjutan;7
Tahap Intensif
Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi
langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT terutama
rifampisin. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat biasanya
penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu sebagian
besar penderita TBC BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) pada akhir
pengobatan intensif.7
Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namum
dalam jangka waktu yang lebih lama, pengawasan ketat dalam tahap intensif
sangat penting untuk mencegah terjadinya kekebalan obat. Tahap lanjutan penting
untuk membunuh kuman persister (dormant) sehingga mencegah terjadinya
kekambuhan.7
2.8.4. Panduan OAT Di Indonesia

14

WHO dan IUATLD (Internatioal Union Against Tuberculosis and Lung


Disease) merekomendasikan panduan OAT Standar, yaitu:7
Kategori 1:

2HRZE / 4 H3R3

2HRZE / 4 HR

2HrZE / 6 HE
Kategori 2:

2HRZES / HRZE /5H3R3E3

2HRZES / HRZE / 5HRE


Kategori 3:

2HRZ / 4H3R3

2 HRZ / 4 HR

2HRZ / 6 HE
Program Nasional Penanggulangan TBC di Indonesia menggunakan

paduan

OAT

untuk

kategori

1:

2HRZE/4H3R3,

untuk

kategori

2:

2HRZES/HRZE/5H3R3E3, dan untuk kategori 3: 2HRZ/4H3R3.


Disamping ketiga kategori ini disediakan paduan obat sisipan (HRZE).
Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk FDC (Fixed Drug Combination) dengan
tujuan untuk memudahkam pemberian obat dan menjamin kelangsungan
(kontinuitas) pengobatan sampai selesai satu (1) paket untuk satu (1) penderita
dalam satu (1) masa pengobatan.7
a. Kategori -1 ( 2HRZE / 4H3R3 )
Tahap intensif terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z)
dan Etambutol (E) Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan
(2HRZE). Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari isoniasid
(H) dan Rifampisin (R) diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan
(4H3R3).6
Obat ini diberikan untuk:7

Penderita baru TBC Paru BTA Positif

15

Penderita TBC Paru BTA negatif Rontgen positif yang sakit berat
dan

Penderita TBC Ekstra Paru berat.

b. Kategori 2 ( 2HRZES / HRZE / 5H3R3E3 )


Tahap intensif diberikan selama 3 bulan yang terdiri dari 2 bulan dengan
Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z),dan Etambutol (E) setiap hari.
Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang
diberikan tiga kali dalam seminggu. Perlu diperhatikan bahwa suntikan
streptomisin diberikan setelah pemderita selesai menelan obat.7 Obat ini diberikan
untuk:

Penderita kambuh (relaps)

Penderita Gagal (failure)

Penderita dengan Pengobatan setelah lalai (after default)

c. Kategori 3 ( 2HRZ / 4H3R3 )


Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan
( 2HRZ ) diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan
diberikan 3 kali seminggu (4H3R3 ).7 Obat ini diberikan untuk:

Penderita baru BTA negatif dan rontgen positif sakit ringan

Penderita ekstra paru ringan yaitu TBC kelenjar limfe ( limfadenitis )


pleuritis eksudativa unilateral TBC kulit , tb tulang ( kecuali tulang
belakang ) sendi dan kelenjar adrenal.

d. OAT sisipan ( HRZE)


Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif
dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2
hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif diberikan obat sisipan ( HRZE ) setiap
hari selama 1 bulan.7
2.8.6. Pengawasan Menelan Obat (PMO)

16

Salah satu dari komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka
pendek dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan pengobatan
diperlukan seorang PMO.7
Persyaratan PMO

Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui baik oleh petugas


kesehatan maupun penderita. Selain itu harus disegani dan dihormati
oleh penderita seseorang yang tinggal dekat dengan penderita

Bersedia membantu penderita dengan sukarela

Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama


dengan penderita

Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa,


Perawat, Pekarya Sanitarian, juru imunisasi dll. Bila tidak ada petugas kesehatan
yang memungkinkan , PMO dapat berasal dari kader Kesehatan, guru, anggota
PPTI, PKK atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga.7
Tugas Seorang PMO7

Mengawasi penderita TB agar menelan obat secara teratur sampai


selesai pengobatan

Memberi dorongan kepada penderita agar mau berobat teratur

Mengingatkan penderita untuk pemeriksa ulang dahak pada waktu


waktu yang telah ditentukan.

Memberi penyuluhan pada anggota keluarga penderita TB yang


mempunyai gejala-gejala tersangka TB untuk segera memeriksakan
diri ke unit Pelayanan kesehatan.

Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan adalah


TB bukan penyakit keturunan atau kutukan, TB dapat disembuhkan dengan
berobat teratur dengan mengikuti tahap intensif dan lanjutan. Penderita juga perlu
mengetahui pentingnya berobat secara teratur karena itu pengobatan perlu
diawasi, serta mengenali fek samping obat dan tindakan yang harus dilakukan bila
terjadi efek samping tersebut.7

17

2.9 Indikator Program TB


Untuk menilai kemajuan atau keberhasilan penanggulangan TB digunakan
beberapa indikator. Indikator penanggulangan TB secara Nasional ada 2 yaitu:8

Angka Penemuan Pasien baru TB BTA positif ( Case Detection Rate =


CDR)

Angka keberhasilan Pengobatan ( Success Rate = SR)

2.10 Cara Menghitung dan Analisa Indikator6


a. Angka Penjaringan Suspek
Adalah jumlah suspek yang diperiksa dahaknya diantara 100.000
penduduk pada suatu wilayah tertentu dalam 1 tahun. Angka ini
digunakan untuk mengetahui upaya penemuan pasien dalam suatu
wilayah tertentu, dengan memperhatikan kecenderungan dari waktu ke
waktu (triwulan/tahunan).
Rumus :
Jumlah suspek yang diperiksa

X 100.000

Jumlah Penduduk
Jumlah suspek yang diperiksa bisa didapatkan dari buku daftar
suspek (TB.06) UPK yang tidak mempunyai wilayah cakupan penduduk,
misalnya rumah sakit, BP4 atau dokter praktek swasta, indikator ini tidak
dapat dihitung.
b.

Proporsi Pasien TB BTA Positif diantara Suspek


Adalah presentasi pasien BTA positif yang ditemukandiantara
seluruh suspek yang diperiksa dahaknya. Angka ini menggambarkan
mutu dari proses penemuan sampai diangnosis pasien, serta kepekaan
menetapkan kriteria suspek.
Rumus :
Jumlah pasien TB BTA positif yang ditemukan

X 100%

18

Jumlah seluruh suspek TB yang diperiksa


Angka ini sekitar 5-15%. Bila angka ini terlalu kecil (< 5%)
kemungkinan disebabkan:

Penjaringan suspek terlalu longgar. Banyak orang yang tidak


memenuhi kriteria suspek, atau

Ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium (negatif palsu).

Bila angka ini terlalu besar (> 15%) kemungkinan disebabkan:

Penjaringan terlalu ketat atau

Ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium (positif palsu).

c. Angka Penemuan Kasus ( Case Detection Rate = CDR )


Adalah presentase jumlah pasien baru BTA positif yang
ditemukan dan diobati dibanding jumlah pasien baru BTA positif yang
diperkirakan ada dalam wilayah tersebut.
Rumus :
Jumlah pasien baru TB BTA Positif yang dilaporkan dalam TB.07 X100%
Perkiraan jumlah pasien baru TB BTA positif
Perkiraan jumlah pasien baru TB BTA positif diperoleh
berdasarkan perhitungan angka insidens kasus TB paru BTA positif
dikali dengan jumlah penduduk. Target Case Detection Rate Program
Penanggulangan Tuberkulosis Nasional minimal 70%.
d. Angka Keberhasilan Pengobatan
Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan presentase
pasien baru TB paru BTA positif yang menyelesaikan pengobatan (baik
yang sembuh maupun pengobatan lengkap) diantara pasien baru TB
paru BTA positif yang tercatat. Dengan demikian angka ini merupakan
penjumlahan dari angka kesembuhan dan angka pengobatan lengkap.

19

Cara perhitungan untuk pasien baru BTA positif dengan pengobatan


kategori 1.
Rumus :
Jumlah pasien baru BTA positif ( sembuh + pengobatan lengkap) X 100%
Jumlah pasien baru TB BTA positif yang diobati

BAB III

20

PROFIL PUSKESMAS 4 ULU PALEMBANG


3.1. Struktur Organisasi Puskesmas 4 Ulu Palembang Tahun 2014
PIMPINAN PUSKESMAS
dr. Hj. Nurhayati, MN
Tata Usaha:
1.

Hj. Maya Mardiah, SKM (Kasubag TU,


Penerima BLUD)
2. Niken Sartika (Keuangan Jamsostek, ASKES)
3. Grease Prathama AMF (Pengeluaran BLUD)
4. Desmiati
AMKL (Pembantu
Bendahara
Pengeluaran BLUD)
5. Sukma Sari AMAK (Inventaris Barang)

KOORDINATOR KESEHATAN
MASYARAKAT

KOORDINATOR KESEHATAN
PERORANGAN

PROMKES
H. Jumani AMKep

KESEHATAN
SEKOLAH

UNIT
PENDAFTARAN

POLI UMUM
Dr. Hj. Haniah

KESLING
Rita Rizalina,
Desmiati

KIA/KB
Siti Holijah

POLI GIGI
drg. Dwi Kartika

POLI MTBS
Dewi Isyati AMKeb

KESEHATAN GIGI &


MULUT
Juwita

USILA
Hj. Deyeri,
AMKeb

POLI KESGA
Siti Holijah

POLI KB
Yunita Wisandra
AMKeb

GIZI
MASYARAKAT
Niken Santika

P2TM
Romayana

UNIT OBAT
Ellyana AMF

UNIT
LABORATORIUM

KESEHATAN
INDRA

PENGOBATAN
H. Jumani AMKep

KA. PUSTU 2 ULU


Hj. Rodiah AMKep

KA. PUSTU 5 ULU


Yetti Sumiati

Bagan 2. Struktur Organisasi Puskesmas 4 Ulu Palembang


3.2. Letak Geografis dan Wilayah Kerja Puskesmas 4 Ulu Palembang

21

Puskesmas 4 Ulu Palembang merupakan Puskesmas Kecamatan pada


tahun 1975 ditetapkan sebagai salah satu Puskesmas Induk di Kecamatan 4 Ulu
sekaligus Puskesmas Koordinator untuk Kecamatan Seberang Ulu 1 dengan luas
wilayah kerja 285 Ha. Puskesmas 4 Ulu mempunyai 3 Puskesmas Pembantu dan
Posyandu. Wilayah kerja Puskesmas 4 Ulu meliputi 3 kelurahan, yaitu Kelurahan
2 Ulu, Kelurahan 3-4 Ulu, dan Kelurahan 5 Ulu.9
Puskesmas 4 Ulu terletak di belakang kantor Kecamatan 4 ulu yang
terletak di belakang tepi jalan sehingga untuk mencapai Puskesmas 4 Ulu relatif
lebih mudah karena dilalui oleh kendaraan umum (becak, oplet, bus), kendaraan
pribadi, dan juga dengan berjalan kaki. Geografi wilayah kerja Puskesmas 4 Ulu
terdiri dari dataran rendah dan sebagian kecil pinggiran sawah dan rawa, batas
wilayah kerja meliputi9:
a.
b.
c.
d.

Sebelah utara : 3-4 Ulu dan sungai Musi


Sebelah Selatan : Sungai Musi
Sebelah barat : 3-4 Ulu dengan I Ulu dan Musi
Sebelah timur : 7 Ulu dan jalan KH. Wahid Hasyim

Jumlah penduduk di wilayah kerja Puskesmas 4 Ulu adalah 57.983 jiwa


dengan jumlah penduduk wanita sebanyak 29.222 jiwa dan pria sebanyak 28.756
jiwa. Sebaran demografi penduduk di wilayah kerja Puskesmas 4 Ulu adalah
1.333 ibu hamil, 1.269 ibu bersalin, 1.164 bayi, 3.186, usia lanjut 12.656 jiwa.
Pada wilayah kerja ini, 5.375 jiwa kepala keluarga miskin.9

3.2.1.

Peta Wilayah Kerja Puskesmas 4 Ulu Palembang

22

Gambar 1. Peta Wilayah Puskesmas 4 Ulu Palembang Tahun 2014


3.2.2

Luas Wilayah
Wilayah kerja puskesmas 4 Ulu Palembag terdiri dari kelurahan dengan

masing-masing PUSTU yaitu :


1. PUSTU 2 Ulu di Jln. H Faqih Usman Lrg. Perigi Darat Rt 14
Kelurahan 2 Ulu Palembang
2. PUSKESMAS 4 Ulu di Jln. Nursehan Dundang Kelurahan 3-4 Ulu
3. PUSTU 5 Ulu beralamat di Jln. H. Azhari Lrg. Lakso Rt.01
Kelurahan 5 Ulu
23

Luas wilayah kelurahan 2 Ulu adalah 18 Ha yang terdiri dari 0 Ha


untuk daerah sawah dan rawa serta 18 Ha untuk daerah kering. Luas wilayah
3-4 Ulu adalah 125 Ha yang terdiri dari 6,5 Ha untuk daerah sawah/rawa dan
118,5 Ha untuk daerah kering. Sedangkan kelurahan 5 Ulu terdiri daro 33 Ha
untuk daerah rawa dan 109 Ha untuk daerah kering.9
3.3 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Kelompok Umur
Tabel 1. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Kelompok Umur
Puskesmas 4 Ulu Tahun 20149
Jumlah Penduduk
Berdasarkan Umur (tahun)
0-4
5-9
10 14
15-19
20-24
25-29
30-34
35-39
40-44
45-49
50-54
55-59
60-64
65-74
>74
Jumlah
Total Penduduk

Jumlah
Laki-laki

Perempuan

2260
2594
2605
2388
2449
2375
3139
2200
1676
1832
1313
1574
887
1296
525
29113

2452
2658
2584
2509
2519
2140
2779
2537
2073
1762
1451
1550
894
696
557
29161
58274

3.4. Visi, Misi, Kebijakan Mutu, Motto dan Nilai Puskesmas 4 Ulu
Visi
: Terwujudnya masyarakat wilayak kerja Puskesmas 4 Ulu bersih dan
sehat yang optimal tahun 2010, bertumpu pada pelayanan prima dan
Misi

pemberdayaan masyarakat
: 1. Meningkatkan Kemitraan pada semua pihak.
2. Meningkatkan kemandirian masyarakat untuk berprilaku hidup
bersih dan sehat.
3. Meningkatkan pelayanan yang bermutu prima
4. Meningkatkan sarana dan prasarana yang optimal
5. Meingkatkan profesionalisme, Provider
24

6. Menetapkan estndar pelayanan kesehatan


Motto

: Senyum, Ramah dan Sabar selama menjalankan tugas

Budaya

:
1.
2.

Bari Prima
Kekeluargaan, Kemitraan, Keterbukaan

3.5. Sumber Daya Puskesmas 4 Ulu Palembang


3.5.1. Tenaga
Adapun sumber daya manusia yang ada di Puskesmas 4 Ulu meliputi:
medis, paramedis dan non kesehatan yang masing-masing bertanggung jawab
terhadap tugas pokok atau tugas integrasi dan fungsinya.9

Tenaga di Puskesmas 4 Ulu Palembang dengan rincian pada tabel berikut :


Tabel 2. Jumlah Tenaga Kerja Puskesmas 4 Ulu Tahun 2014
Tenaga Kesehatan
Dokter umum
Dokter spesialis
Dokter gigi
Perawat gigi
Bidan
Perawat
Pembantu ahli gizi
Kesehatan lingkungan
Analis kimia
Pembantu apoteker
Tata usaha
Jumlah

Jumlah
(orang)
2
1
1
2
8
8
1
2
1
2
5
33

25

BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Cakupan CDR TB Paru di Puskesmas 4 Ulu pada Tahun 2013
Tabel 4. Cakupan CDR TB Paru di Puskesmas 4 Ulu pada Tahun 2013
No
1

Program
Upaya Kesehatan Wajib
1. Pencegahan Penyakit Menular
CDR TB Paru
Penemuan

pasien TB paru

Target

Pencapaian

92%

62,86%

merupakan

langkah

pertama

dalam

penanggulangan kasus TB paru. Penemuan dan penyembuhan pasien TB paru,


secara bermakna akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian akibat TB paru,
penularan TB paru di masyarakat dan sekaligus merupakan pencegahan penularan
TB paru yang paling efektif di masyarakat. Sayangnya, Angka penemuan kasus
(Case Detection Rate = CDR) TB paru di Puskesmas 4 Ulu pada tahun 2013
masih tergolong rendah dan belum mencapai target. Pencapaian CDR TB paru
hanya 62,86%. Maka dari itu, diperlukan berbagai upaya untuk meningkatkan
CDR TB paru.
4.2 Permasalahan atau Hambatan yang Mempengaruhi Cakupan CDR TB
Paru di Puskesmas 4 Ulu Pada Tahun 2013

26

Cakupan CDR TB Paru di Puskemas 4 Ulu masih rendah. Berbagai


permasalahan atau hambatan yang dapat mempengaruhinya. Oleh karena itu, perlu
dilakukan analisa dengan mengunakan metode SWOT untuk mendapatkan
beberapa faktor yang mendukung keberhasilan proyek perubahan dengan tujuan
tercapainya cakupan CDR TB Paru di Puskesmas 4 Ulu. Analisa dengan metode
SWOT dilakukan beberapa langkah diawali dengan

melakukan identifikasi

dengan cara storming mana yang termasuk faktor internal dan eksternal sebagai
berikut :
a.Faktor Kekuatan ( Strenghts) yaitu:
1. Adanya Terdapat Puskesmas, Pustu (Puskesmas Pembantu) dan
Posyandu sebagai pusat kesehatan masyarakat dalam membantu
mendeteksi suspek TB paru.
2. Adanya undang-undang RI No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, memberi peluang yang besar bagi Puskesmas untuk
memperbaiki sistem, rencana strategik, dan rencana operasional,
mengembangkan program dan kegiatan Puskesmas secara mandiri
sesuai kebutuhan masyarakat dan potensi yang tersedia.
3. Adanya dukungan sarana transportasi dan komunikasi dari Puskesmas 4
Ulu.
b. Faktor Kelamahan ( weakness);
1. Pelayanan Sumber daya manusia untuk program TB pada Puskesmas 4
Ulu hanya memiliki 2 orang tenaga kesehatan terlatih.
2. Duplikasi pekerjaan petugas di bidang P2M khususnya yang menangani
masalah TB sehingga kurang proaktif dalam penemuan penderita TB.
3. Sarana penyuluhan yang minim.
c. Faktor Peluang (Opportunities);
1. Tingginya Dinas Kesehatan turut aktif dalam mengevaluasi program TB
paru di Puskesmas 4 Ulu
2. Banyak instansi-instansi pelayanan kesehatan swasta/non-pemerintah
yang telah dipercaya masyarakat memberikan pelayanan kesehatan.
3. Pendanaan dari pemerintah untuk progam P2ML dan terjaminnya
ketersediaan

obat-obatan

TB

oleh

pemerintah.yang

mencukupi

program.

27

d. Faktor hambatan ( Threaths);


1. Tidak Rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai penyakit TB paru.
2. Penerapan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) masih rendah.
3. Kualitas dahak yang diperiksa oleh petugas kurang baik.
4. Penyeragaman standar target CDR progam TB pemerintah yang tinggi
pada seluruh daerah di Indonesia.
5. Kerjasama yang belum berjalan dengan baik dengan instansi-instansi
pelayanan kesehatan swasta/non-pemerintah dilingkungan 4 Ulu untuk
memperluas dan memelihara kesinambungan penjaringan suspek TB
paru serta pelaporan penderita TB paru.
Agar lebih sistematis dapat dilihat pada tabel 5 Identifikasi faktor internal
dan eksternal dibawah ini sebagai berikut :

28

STRENGTHS (S)

WEAKNESSES (W)

Terdapat

Puskesmas,

Pustu

Sumber
untuk

dan

daya

manusia

program

TB

pada

(Puskesmas

Pembantu)

Posyandu

sebagai

pusat

kesehatan

masyarakat

dalam

memiliki 2 orang tenaga

membantu mendeteksi suspek

kesehatan terlatih.
Duplikasi
pekerjaan

TB paru.

Puskesmas

petugas

di

Adanya undang-undang RI No.

khususnya

32

menangani

Tahun

2004

tentang

Ulu

hanya

bidang

P2M
yang

masalah

TB

Pemerintahan Daerah, memberi

sehingga

peluang

dalam penemuan penderita

yang

besar

Puskesmas

bagi
untuk

mengembangkan program dan


kegiatan

Puskesmas

secara

dukungan

sarana

TB.
Sarana

kurang

proaktif

penyuluhan

yang

minim.

mandiri.

Adanya
transportasi

dan

komunikasi

dari Puskesmas 4 Ulu.

OPPORTUNITIES (O)

THREATS (T)

Dinas Kesehatan turut aktif

Rendahnya

pengetahuan

dalam mengevaluasi program

masyarakat mengenai penyakit

TB paru di Puskesmas 4 Ulu

TB paru.

Banyak

instansi-instansi

pelayanan
telah

dipercaya

memberikan

masyarakat

untuk

TB

pemerintah.yang
program.

oleh
mencukupi

Penyeragaman standar target


yang tinggi pada seluruh daerah

dan

di Indonesia.

terjaminnya ketersediaan obatobatan

Kualitas dahak yang diperiksa

CDR progam TB pemerintah

pemerintah
P2ML

Hidup

oleh petugas kurang baik.

progam

Perilaku

rendah.

pelayanan
dari

Penerapan

Bersih dan Sehat (PHBS) masih

yang

kesehatan.
Pendanaan

kesehatan

swasta/non-pemerintah

Kerjasama yang belum berjalan


dengan baik dengan instansiinstansi pelayanan kesehatan
swasta/non-pemerintah
dilingkungan

Ulu

untuk

memperluas dan memelihara


kesinambungan

penjaringan

29

Dilanjutkan ke langkah ke 2 ,dilakukan komparasi antara internal dan


ekesternal, selengkapnya pada tabel di bawah ini.

Tabel 6. Komparasi Faktor Internal


NO

Faktor Internal

Faktor Yang Lebih


Urgent
1

BF (%)

20

18,52%

20

18,52%

18

16,67%

19

16

14,81%

15

13,89%

108

100%

Terdapat Puskesmas, Pustu


(Puskesmas Pembantu) dan
Posyandu sebagai pusat
kesehatan masyarakat dalam
membantu mendeteksi suspek
TB paru.

Adanya undang-undang RI
No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah

Adanya dukungan sarana


transportasi dan komunikasi
dari Puskesmas 4 Ulu

Sumber daya manusia untuk


program TB pada Puskesmas
4 Ulu hanya memiliki 2 orang
tenaga kesehatan terlatih

Duplikasi pekerjaan petugas di


bidang P2M khususnya yang
menangani masalah TB
sehingga kurang proaktif
dalam penemuan penderita TB

Sarana penyuluhan yang


minim

TOTAL

NF

17,59%

30

Tabel 7. Komparasi Faktor Eksternal


NO

Faktor Internal

Faktor Yang Lebih


Urgent
a

1
2
3
4
5

Tingginya kesadaran jemaah


haji
utk
melakukan
pelayanan kesehatan
Adanya
kerjasama
dari
Kemenag dan KBIH
Adanya Siskohot Pem kes
haji
Tidak dipatuhinya system
pembagian KBIH

19

19,00%

16

16,00%

15

15,00%

19

19,00%

16

16,00%

15

15,00%

100

100%

4
4

Dropping
logistik 4
kebutuhan vaksin yang
tidak tepat waktu
Masih banyak jemaah yg 4

KBIH

BF (%)

menyerahkan
ke
mengambil BKJH
TOTAL

NF

Berbagai permasalahan atau hambatan yang dapat mempengaruhinya juga dapat


di jabarkan dalam diagram fishbone.
manusia

metode
Penerapan
PHBS masih
rendah

Kurangnya pengetahuan
masyarakat tentang
penyakit TB Paru

Sarana penyuluhan
kurang

Penyuluhan/Promkes

Cakupan CDR TB
Paru rendah

Petugas belum
proaktif

Kesadaran
masyarakat
tentang TB
Paru kurang

31

sarana

dana
lingkungan
Dari diagram fishbone di atas, didapatkan bahwa berbagai masalah yang

kemungkinan menjadi penyebab rendahnya cakupan CDR TB Paru di puskesmas


4 Ulu, sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Pengetahuan masyarakat mengenai penyakit TB paru masih rendah


Penerapan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) masih rendah
Petugas belum proaktif
Minimnya tenaga kesehatan yang terlatih
Sarana penyuluhan yang minim
Kualitas dahak yang diperiksa oleh petugas TB kurang baik
Dari berbagai masalah di atas, Pengetahuan masyarakat mengenai

penyakit TB paru masih rendah kami jadikan sebagai akar masalah. Langkah awal
untuk meningkatkan cakupan CDR TB Paru dapat dimulai dari diri sendiri.
Kebanyakan suspek TB paru tidak mau memeriksakan dirinya karena
ketidaktahuannya akan penyakit TB paru dan cara penularannya.
Pengetahuan yang merupakan hasil tahu pada obyek melalui indera yang
dimilikinya merupakan faktor dominan dalam hal membentuk perilaku seseorang.
Selain itu pengetahuan juga merupakan salah satu faktor untuk mempermudah
timbulnya perilaku pada seseorang. Penderita yang mempunyai pengetahuan
rendah akan berisiko berperilaku tidak berobat ke tenaga kesehatan 2,3 kali
dibanding dengan penderita yang berpengetahuan tinggi.10
Variabel pengetahuan tentang penyakit merupakan variabel yang dapat
mempengaruhi persepsi seseorang terhadap suatu penyakit yang pada akhirnya
dapat mempengaruhi perilaku seseorang untuk mengurangi ancaman dari suatu
penyakit. Pengetahuan juga sangat dibutuhkan dalam perubahan pola pikir dan
perilaku. Salah satu alasan pokok seseorang berperilaku kesehatan karena adanya
pemikiran dan perasaan (Though and feeling), yang meliputi antara lain
pengetahuan.2
Dalam strategi perubahan perilaku, WHO menyarankan melakukan
perubahan perilaku melalui pendidikan/pengetahuan yang diawali dengan
memberikan informasi/pengetahuan tentang kesehatan, sehingga diharapkan
32

pengetahuan masyarakat menjadi meningkat. Dengan meningkatnya pengetahuan,


maka akan menimbulkan kesadaran, yang pada akhirnya mereka akan berperilaku
sesuai dengan pengetahuan yang mereka miliki. Perubahan perilaku dengan cara
ini, memang membutuhkan waktu yang cukup lama, sehingga hasilnya kadang
tidak langsung terlihat. Tetapi perubahan tersebut akan bersifat lebih langgeng
dibandingkan dengan cara yang lain, karena didasari oleh kesadaran mereka
sendiri, bukan karena paksaan dari pihak lu

33

BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Masalah utama yang mempengaruhi cakupan CDR TB paru di Puskesmas
4 Ulu pada tahun 2013 Pengetahuan masyarakat mengenai penyakit TB paru
masih rendah. Penderita yang mempunyai pengetahuan rendah akan berisiko
berperilaku tidak berobat ke tenaga kesehatan 2,3 kali dibanding dengan penderita
yang berpengetahuan tinggi. Dengan arti lain, semakin banyak suspek TB paru
yang memiliki pengetahuan tentang TB paru akan sadar dan memeriksakan
dirinya ke petugas kesehatan terdekat. Diharapkan dengan begitu angka penemuan
kasus akan semakin tinggi sehingga penularan kasus TB paru dapat berkurang.
5.2 Saran
1. Agar lebih meningkatkan penyuluhan kesehatan, khususnya pengetahuan
tentang penyebab penyakit TB dan adanya pengobatan gratis, terutama
kepada penderita suspek TB Paru yang tidak bekerja.
2. Lebih meningkatkan kemitraan dengan berbagai sektor, baik pemerintah
maupun swasta, antara lain dengan :

Mendorong

perusahaan

untuk

berperan

aktif

dalam

program

penanggulangan TB di tempat kerja melalui koordinasi dengan


kementerian terkait, misalnya Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Lebih meningkatkan hubungan kerjasama dengan LSM/Ormas yang


peduli akan penyakit TB.

DAFTAR PUSTAKA
1. Enarson DA, Chen YC, Murray JF. Global epidemiology of tuberculosis.
In: Rom WN, Garay SM, Blomm BR, editors. Tuberculosis. Philadelphia:
Lippincott william & wilkins; 2004. p. 13-27.
2. WHO ( 2011). Global Tuberculosis Control; WHO report 2011, WHO,
Geneva.
3. Dinkes Palembang. Profil Dinas Kesehatan Kota Palembang. Palembang:
Dinas Kesehatan Kota Palembang; 2013.
4. Notoatmojo S. Pendidikan dan perilaku kesehatan Jakarta: Rineka cipta;
2009.
5. Depkes RI. 2008. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis.
Jakarta
6. Sudoyo, W. Aru. dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II.
Jakarta : Pusat Penerbitan IPD FKUI
7. Sub Direktorat TB Departemen Kesehatan RI 2008. lembar Fakta TB.
Jakarta: Depkes RI Diakses dari www.depkes.go.id tanggal 25 Juni 2012
8. WHO.2008. Indonesia Profil dalam WHO Report 2008 in Global
Tuberkulosis control. Deakses dari www.WHO.org tanggal 25 Juni 2012.
9. Puskesmas 4 Ulu Palembang. Profil Puskesmas 4 Ulu Palembang, 2014.
10. Notoatmodjo, Soekidjo. (2010). Ilmu Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta,
Jakarta.
11. Notoatmodjo, Soekidjo. (2005). Promosi Kesehatan, Teori dan Aplikasi.
PT. Rineka Cipta, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai