Anda di halaman 1dari 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Zeolit
Zeolit merupakan mineral yang memiliki struktur kristal aluminasilikat yang
berbentuk rangka (framework) tiga dimensi, mempunyai rongga dan saluran serta
mengandung ion-ion logam seperti Na, K, Mg, Ca dan Fe serta molekul air. Zeolit
pertama kali ditemukan pada tahun 1756 oleh Cronstedt, ahli mineral dari Swedia.
Zeolit merupakan Kristal alumina-silika yang mempunyai struktur berongga atau
berpori dan mempunyai sisi aktif yang bermuatan negatif yang mengikat secara
lemah kation penyeimbang muatan. Zeolit terdiri atas gugusan alumina dan
gugusan silika-oksida yang masing-masing berbentuk tetrahedral dan saling
dihubungkan oleh atom oksigen yang sedemikian rupa sehingga membentuk
kerangka tiga dimensi (Bell, 2001).
Kerangka dasar struktur zeolit yang terdiri dari unit-unit tetrahedral AlO 4 dan
SiO4 saling berhubungan melalui atom O dan di dalam struktur tersebut Si 4+ dapat
diganti dengan Al3+ sehingga rumus empiris zeolit menjadi (Widayat dkk.,2006):
Mx/n.[(AlO2)x(SiO2)y] mH2O
Dimana : M = Kation alkali atau alkali tanah
n = Valensi kation M (alkali/alkali tanah)
x,y = Jumlah tetrahedron per unit sel
m = Jumlah molekul air per unit sel

Gambar 2.1 Rangka zeolit yang terbentuk dari ikatan 4 atom O dengan 1 atom Si

Zeolit merupakan katalis yang cukup efektif digunakan pada proses cracking,
isomerization, dan hydrocarbon alkylation. Peran zeolit sebagai katalis
berdasarkan pada tiga sifatnya, yaitu:
1. Penyaring molekul, sifat sebagai penyaring molekul yang dimiliki oleh zeolit
dapat dimanfaatkan untuk menyeleksi reaktan, hasil antara dan produk akhir
yang terlibat dalam proses katalitik oleh katalis.
2. Pusat asam, adanya pusat asam pada zeolit dapat memberikan medium yang
kondusif (lebih reaktif) untuk proses katalitik.
3. Rasio Si/Al, semakin tinggi rasio Si/Al yang tinggi akan menyebabkan
stabilitas termal yang tinggi, dimana setiap jenis zeolit mempunyai batas rasio
Si/Al yang berbeda-beda.
Sifat sebagai katalis didasarkan pada adanya ruang kosong yang dapat
digunakan sebagai katalis ataupun sebagai penyangga katalis untuk reaksi
katalitik. Bila zeolit digunakan pada proses katalitik maka akan terjadi difusi
molekul ke dalam ruang kosong antar kristal dan reaksi kimia juga terjadi
di permukaan saluran tersebut.
2.2 Sifat sifat Zeolit
Zeolit mempunyai struktur berongga (Gambar 2.2) yang biasanya diisi oleh air
dan kation yang bisa dipertukarkan dan memiliki ukuran pori tertentu.

Gambar 2.2 Struktur pori di dalam zeolit (Weller,1994)


Zeolit mempunyai sifat-sifat kimia, diantaranya:
1. Dehidrasi

Sifat dehidrasi zeolit berpengaruh terhadap sifat jerapannya. Keunikan zeolit


terletak pada struktur porinya yang spesifik. Pada zeolit alam di dalam
pori-porinya terdapat kation-kation atau molekul air. Bila kation-kation atau
molekul air tersebut dikeluarkan dari dalam pori dengan suatu perlakuan tertentu
maka zeolit akan meninggalkan pori yang kosong (Barrer, 1982).
2. Penjerapan
Dalam keadaan normal ruang hampa dalam kristal zeolit terisi oleh molekul
air yang berada di sekitar kation. Bila zeolit dipanaskan maka air tersebut akan
keluar. Zeolit yang telah dipanaskan dapat berfungsi sebagai penjerap gas atau
cairan (Khairinal, 2000).
3. Penukar Ion
Ion-ion pada rongga berguna untuk menjaga kenetralan zeolit. Ion-ion ini dapat
bergerak bebas sehingga pertukaran ion yang terjadi tergantung dari ukuran dan
muatan maupun jenis zeolitnya. Sifat sebagai penukar ion dari zeolit antara lain
tergantung dari sifat kation, suhu, dan jenis anion (Bambang, 1995).
4. Katalis
Zeolit sebagai katalis hanya mempengaruhi laju reaksi tanpa mempengaruhi
kesetimbangan reaksi karena mampu menaikkan perbedaan lintasan molekular
dari reaksi. Katalis berpori dengan pori-pori sangat kecil akan memuat
molekul-molekul kecil tetapi mencegah molekul besar masuk. Selektivitas
molekuler seperti ini disebut molecular sieve yang terdapat dalam substansi zeolit
alam (Bambang, 1995).
5. Penyaring / pemisah
Zeolit sebagai penyaring molekul maupun pemisah didasarkan atas perbedaan
bentuk, ukuran, dan polaritas molekul yang disaring. Sifat ini disebabkan oleh
zeolit mempunyai ruang hampa yang cukup besar. Molekul yang berukuran lebih
kecil dari ruang hampa dapat melintas sedangkan yang berukuran lebih besar dari
ruang hampa akan ditahan (Bambang, 1995).
Proses aktivasi zeolit alam dapat dilakukan dengan 2 cara, yang pertama yaitu
secara fisika melalui pemanasan dengan tujuan untuk menguapkan air yang

terperangkap di dalam pori-pori kristal zeolit, sehingga luas permukaannya bertambah


(Khairinal, 2000). Proses pemanasan zeolit dikontrol, karena pemanasan yang
berlebihan kemungkinan akan menyebabkan zeolit tersebut rusak. Proses yang kedua
yaitu aktivasi zeolit alam secara kimia dengan tujuan untuk membersihkan
permukaan pori, membuang senyawa pengotor dan mengatur kembali letak atom
yang dapat dipertukarkan.
Aktivasi asam menyebabkan terjadinya dekationisasi yang menyebabkan
bertambahnya luas permukaan zeolit karena berkurangnya pengotor yang menutupi
pori-pori zeolit. Luas permukaan yang bertambah diharapkan meningkatkan
kemampuan zeolit dalam proses penjerapan (Weitkamp, 1999). Tingginya kandungan
Al dalam kerangka zeolit menyebabkan kerangka zeolit sangat hidrofilik. Sifat
hidrofilik dan polar dari zeolit ini merupakan hambatan dalam kemampuan
penjerapannya. Proses aktivasi dengan asam dapat meningkatkan kristalinitas,
keasaman dan luas permukaan (Harlinawati, 2004).
Heraldy (2003) juga mengkaji aktivasi asam terhadap zeolit alam asal Ponorogo
dan Wonosari. Asam yang dipergunakan adalah HCl, HNO 3, H2SO4, dan H3PO4.
Hasilnya menunjukkan bahwa perlakuan asam terhadap zeolit alam asal Ponorogo
dan Wonosari dapat meningkatkan daya jerap zeolit alam terhadap limbah cair.
Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa perlakuan asam telah berhasil melepaskan
alumunium dari kerangka zeolit dan mampu meningkatkan keasaman zeolit.
Peningkatan keasaman zeolit disebutkan mampu memperbesar kemampuan
penjerapan zeolit. Hal itu terjadi karena banyaknya pori-pori zeolit yang terbuka dan
permukaan padatannya menjadi bersih dan luas.
Ion-ion pada rongga atau kerangka zeolit berguna untuk menjaga kenetralan zeolit.
Ion-ion ini dapat bergerak bebas sehingga dapat dipertukarkan. Pertukaran ion dalam
zeolit merupakan proses pertukaran kation yang ada dalam sistem pori intra kristalin
dengan kation lain yang berasal dari larutan. Pertukaran ion tidak berlangsung
sempurna jika konsentrasi larutan tidak cukup besar. Kekuatan zeolit sebagai
penjerap, katalis, dan penukar ion sangat tergantung dari perbandingan Al dan Si,
sehingga berdasarkan kadar Si, zeolit dikelompokkan menjadi 3 (Sutarti, 1994):
1. Zeolit dengan kadar Si rendah

Zeolit jenis ini banyak mengandung Al (kaya Al), berpori, mempunyai nilai
ekonomi tinggi karena efektif untuk pemisahan atau pemurnian dengan kapasitas
besar. Volume porinya dapat mencapai 0,5 cm

/ cm

volume zeolit. Kadar

maksimum Al dicapai jika perbandingan Si/Al mendekati 1 dan keadaan ini


mengakibatkan daya penukaran ion maksimum.
2. Zeolit dengan kadar Si sedang
Kerangka tetrahedral Al dari zeolit tidak stabil terhadap pengaruh asam dan
panas. Jenis zeolit mordenit mempunyai perbandingan Si/Al = 5 sangat stabil.
3. Zeolit dengan kadar Si tinggi
Zeolit ini mempunyai perbandingan Si/Al =10-100 sehingga sifat permukaannya
tidak dapat diperkirakan lebih awal. Sangat higroskopis dan menyerap molekul
non-polar sehingga baik digunakan sebagai katalisator asam untuk hidrokarbon.

Aktivasi katalis biasanya diikuti dengan karakterisasi zeolit yang bertujuan


untuk mengetahui luas permukaan total, volume pori total, dan jari-jari pori
rata-rata. Luas permukaan merupakan luas total permukaan per gram katalis. Luas
permukaan dipengaruhi oleh besar atau kecilnya pori pada permukaan katalis.
Semakin kecil pori, luas permukaan akan semakin besar sehingga aktivitas zeolit
dapat meningkat. Dalam reaksi katalitik, luas permukaan sangat mempengaruhi
laju reaksi, karena semakin besar luas permukaan menyebabkan semakin banyak
reaktan yang dapat teradsorpsi pada sisi aktif katalis.
Proses dealuminasi merupakan suatu metode untuk menjaga stabilitas struktur
pori dan menghilangkan alumina dari kerangka zeolit agar katalis ini tidak mudah
mengalami deaktivasi. Proses dealuminasi biasanya dilakukan dengan menambah
sejumlah asam (misalnya amonium klorida, asam klorida, asam florida, dan
sebagainya) pada zeolit. Sedangkan proses kalsinasi adalah proses hidrothermal
yang dilakukan untuk menjaga agar katalis yang diperoleh relatif stabil pada suhu
tinggi (Jestyssa, 2010)

2.3 Minyak Jelantah (Waste Cooking Oil)

Minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia sebagai bahan
makanan pada proses penggorengan. Minyak goreng berfungsi sebagai penghantar
panas, penambah rasa gurih pada makanan dan penambah nilai kalori bahan
makanan (Winarno, 1997). Minyak goreng dapat diperoleh dari sumber nabati
yang disebut dengan minyak goreng nabati. Minyak goreng nabati biasa
diproduksi dari kelapa sawit, kelapa atau jagung.
Minyak jelantah (waste cooking oil) merupakan limbah yang berasal dari
jenis-jenis minyak goreng seperti halnya minyak jagung, minyak sayur, dan lain
sebagainya. Jika dilihat dari komposisinya minyak jelantah mengandung senyawa
yang bersifat karsinogenik (senyawa yang dapat memicu berkembangnya sel
kanker dalam tubuh makhluk hidup), yang terjadi selama proses penggorengan.
Penggunaan minyak nabati berulang kali tentunya sangat membahayakan
kesehatan. Hal ini dikarenakan selain semakin banyaknya kotoran yang
terkandung dalam minyak goreng akibat penggorengan bahan makanan
sebelumnya dan semakin banyaknya senyawa-senyawa asam karboksilat bebas di
dalam minyak, serta warna minyak goreng yang semakin tidak jernih jika dipakai
berulang kali. Sedangkan pembuangan minyak goreng bekas secara langsung ke
lingkungan akan menimbulkan pencemaran. Untuk itu perlu penanganan yang
tepat agar limbah minyak jelantah dapat bermanfaat dan tidak menimbulkan
kerugian dari aspek kesehatan manusia dan lingkungan, dimana kegunaan lain
dari minyak jelantah adalah sebagai bahan bakar alternatif yaitu biodiesel.

Tabel 2.1 Standar Mutu Biodiesel SNI -04-7182-2006, Minyak Solar 48 dan 51
Parameter
dan
Satuannya
Densitas pada 15C.
Kg/m3
Viskositas
kinematik pada
40mm2/s (cSt)

Standar Mutu
Biodiesel SNI04-7182-2006

Batas nilai
Standar Mutu
Jenis Minyak
Solar 48

Standar Mutu
Jenis Minyak
Solar 51

850 890

815 870

820 860

ASTM D
1298

2,3 6,0

2,0 4,5

2,0 5,0

ASTM D
445

Metode
Uji

10

2.4 Katalis
Katalis adalah suatu zat yang meningkatkan kecepatan reaksi untuk mencapai
kesetimbangan pada reaksi kimia tetapi tidak habis bereaksi. Peranan katalis
adalah menurunkan energi bebas pengaktifan. Katalis membentuk interaksi
dengan pereaksi untuk mencapai suatu kompleks teraktifkan. Berbagai katalis
yang dipakai dalam reaksi, dapat berfungsi namun tidak semua memberikan
mekanisme yang sama, misalnya tingkat energi bebasnya (Cotton dan Wilkinson,
1989).
Ada beberapa kriteria yang harus diperhatikan untuk menilai baik atau tidaknya
suatu katalis, diantaranya (Cotton dan Wilkinson, 1989):
1. Aktivasi yaitu kemampuan katalis untuk mengkonversi reaktan menjadi
produk yang diinginkan.
2. Selektivitas yaitu kemampuan katalis untuk mempercepat reaksi yang
diinginkan diantara beberapa reaksi yang mungkin terjadi.
3. Yield yaitu jumlah produk yang terbentuk untuk setiap satuan reaktan yang
terkonsumsi.
4. Kestabilan yaitu lamanya katalis memiliki aktivitas dan selektivitas seperti
keadaan semula.
5. Kemudahan diregenerasi

yaitu

proses

mengembalikan

aktivitas

dan

selektivitas seperti semula.


Katalis dibagi menjadi dua bagian yaitu katalis homogen dan katalis heterogen.
Katalis homogen adalah katalis yang ada dalam fase yang sama dengan pereaksi
dalam reaksi yang dikatalisisnya. Sedangkan katalis heterogen adalah katalis yang
ada dalam fase yang berbeda dengan pereaksi dalam reaksi yang dikatalisisnya
(Syukri, 1999).
2.4.1

Katalis Homogen
Katalis homogen merupakan katalis yang berada dalam fase yang sama dengan
molekul-molekul reaktan. Keuntungan dari katalis homogen bila dibandingkan
dengan katalis heterogen, katalis homogen mudah dikarakterisasi, misalnya secara
spektroskopi. Mekanisme reaksi dapat dibuat untuk memprediksi suatu reaksi.
Selain itu, katalis ini mudah terdispersi secara efektif sehingga semua molekul
katalis dapat berinteraksi dengan reaktan. Kerugian dari katalis homogen yaitu
sulit memisahkan katalis dari produk dan biaya yang cukup mahal. Selain itu

11

dapat terjadi korosi dan hilangnya katalis pada perolehan kembali katalis
(Parker, 1982; Gates, 1979).
2.4.2 Katalis Heterogen
Katalis heterogen merupakan katalis yang berada dalam fase yang berbeda
dengan pereaksi (molekul-molekul) yang bereaksi, biasanya katalis ini berupa
padatan agar bisa dipisahkan, sedangkan reaktannya dalam bentuk cairan atau gas
(Parker, 1982).
Katalis heterogen bereaksi pada permukaan bahan. Reaksi fase gas dan fase
cair dikatalisis heterogen biasanya lebih mungkin terjadi dipermukaan katalis
daripada di fase gas atau fase cair. Untuk alasan ini maka kadangkala katalis
heterogen disebut sebagai katalis kontak, dimana proses katalisis heterogen
sedikitnya dapat melalui empat tahap (Holtzclaw, 1988):
1. Adsorpsi reaktan pada permukaan katalis.
2. Aktivasi penyerapan reaktan.
3. Reaksi reaktan yang terserap dan
4. Difusi produk dari permukaan katalis ke fase gas atau cair.
2.5 Impregnasi
Preparasi katalis dengan menggunakan metode impregnasi yaitu dengan
mengadsorpsikan garam prekursor yang mengandung komponen aktif logam di
dalam larutan kepada padatan pengemban. Mekanisme pendistribusian logam
pada padatan pengemban dimulai dengan pengisian pori pengemban yang terisi
solven sebelum pengemban berinteraksi dengan garam prekursor. Impregnasi
sering juga disebut sebagai difusi karena impregnasi terhadap pengemban terjadi
karena adanya difusi garam di dalam pelarut yang mengisi pori. Pengerjaannya
dilakukan dengan mengaduk suspensi padatan di dalam larutan garam prekursor
selama waktu tertentu yang kemudian diikuti dengan pemisahan pengemban
termodifikasi dengan penyaringan dan sentrifugasi. Langkah selanjutnya adalah
dengan pengeringan, kalsinasi dan reduksi untuk mereduksi garam menjadi
logam. Impregnasi dengan cara seperti ini telah digunakan untuk membuat katalis
dengan berbagai macam kombinasi logam yang digunakan di dalam berbagai
industri. Sebagai contoh katalis nikel yang terembankan pada alumina, titania,
silika, niobia, dan vanadium pentoksida dibuat dengan cara mengadsorpsikan

12

nikel nitrat dari larutan yang ditambahkan ammonia. Pengemban kemudian


dipanaskan pada 120oC, dikalsinasi pada 370oC sebelum direduksi. Kemudahan
untuk mereduksi katalis bergantung pada kristalinitas pengemban. Pada
pengemban yang kristalinitasnya lebih tinggi maka garam lebih mudah direduksi
dibandingkan pada pengemban yang kristalinitasnya rendah (Triyono, 2007).
Jumlah dan lokasi teradsorpsinya garam prekursor pada pengemban ditentukan
oleh prosedur adsorpsinya. Variabel yang perlu diperhatikan pada proses
impregnasi adalah meliputi konsentrasi garam prekursor, tipe garam pelarut,
temperatur, sifat pengemban waktu kontak dan keberadaan komponen lain yang
tercampur di dalam pengemban ataupun di dalam larutan prekursor.
Distribusi komponen aktif di dalam partikel pengemban dapat dikelompokkan
menjadi tiga berdasarkan posisi adsorpsi pada bagian partikelnya. Pertama adalah
bilamana komponen aktif terdistribusi merata pada seluruh bagian partikel baik di
bagian luar maupun bagian dalam. Yang kedua bilamana komponen aktif hanya
terdapat pada bagian luar dan yang ketiga bila komponen aktif terdistribusi pada
bagian dalam. Interaksi antara prekursor dengan pengemban merupakan faktor
utama yang menentukan distribusi di atas. Interaksi yang kuat mengakibatkan
distribusi logam hanya pada bagian luar sedangkan konsentrasi prekursor hanya
menentukan ketebalan, lama waktu impregnasi akan menentukan ketebalan bagian
pengembangan terimpregnasi. Sebaliknya bila interaksi lemah mengakibatkan
distribusi cenderung di bagian dalam atau merata seluruh bagian dari partikel.

2.6 Logam Transisi Sebagai Katalis


Logam transisi yang mengkatalisis reaksi kimia merupakan dasar yang sangat
penting dalam proses industri, seperti reaksi hidrogenasi, reaksi karbonilasi dan
reaksi polimerisasi bertekanan rendah untuk etilen dan propena. Semua proses ini
berjalan secara heterogen dimana suatu bahan yang padat digunakan sebagai
katalis (Cotton dan Wilkinson, 1989).

13

Unsur-unsur transisi mempunyai sifat-sifat tertentu, yaitu (Cotton dan


Wilkinson, 1989):
a. Semuanya adalah logam
b. Hampir keseluruhan dari unsur transisi ini bersifat keras, kuat, titik lelehnya
tinggi, titik didihnya tinggi serta menghantarkan panas dan listrik yang baik.
c. Unsur-unsur ini dapat membentuk campuran satu dengan yang lain dan
dengan unsur-unsur yang mirip logam.
d. Banyak diantaranya cukup elektropositif sehingga dapat larut dalam asam
mineral, walaupun hanya beberapa diantaranya bersifat mulia, yaitu
mempunyai potensial elektroda yang rendah sehingga tidak terpengaruh oleh
asam yang sederhana.
e. Ada beberapa pengecualian yaitu unsur-unsur ini mempunyai valensi yang
beragam dan ion-ion serta senyawanya berwarna pada satu tingkat oksidasi.
f. Karena kulit yang terisi sebagian, unsur-unsur ini membentuk paling sedikit
beberapa senyawaan paramagnetik.
Pada beberapa kasus, logam-logam transisi yang memiliki berbagai valensi
dapat membentuk suatu senyawa intermediet yang tidak stabil. Pada kasus lain,
logam-logam transisi memberikan reaksi permukaan yang sesuai. Banyak
logam-logam unsur transisi dan senyawanya memiliki sifat katalitik. Beberapa
kegunaan logam transisi adalah sebagai berikut (Lee, 1994):
1

a.

Ni

Raney

heksametilendiamin,
2
c.
d.
e.
f.

Nikel,

pada

proses

reduksi,

seperti

pembuatan

pembuatan H2 dari NH3 mereduksi antraquinon

menjadi antraquinol pada H2O2.


b.
Kompleks Ni pada sintesis Reppe (polimerisasi, alkena, seperti
menghasilkan benzen atau siklooktatetraena).
Pd digunakan untuk reaksi hidrogenasi
PdCl2 digunakan pada proses Wacker untuk mengubah etilena menjadi metanol
Cu digunakan pada proses langsung untuk pembuatan (CH3)2 SiCl2
CuCl2 digunakan pada proses Deacon untuk membuat Cl2 dari HCl.
Salah satu kegunaan yang penting dari unsur-unsur transisi dalam reaksi

katalitik adalah untuk mengatomisasi molekul-molekul diatomik dan menyalurkan


atom-atom tersebut pada reaktan yang lain dan reaksi intermediet. Gas H 2, O2, N2,
dan CO adalah molekul diatomik yang penting. Kekuatan ikatan, H, O, N dan C

14

pada permukaan logam-logam transisi memberikan daya dorong termodinamik


untuk atomisasi dan juga untuk pelepasan atom dalam reaksi dengan
molekul-molekul yang lain. Permukaan logam juga memiliki sifat-sifat yang unik
lainnya yang dapat mengkatalisis serangkaian reaksi-reaksi kompleks yang
dimulai dengan disosiasi adsorpsi yang diikuti dengan penataan ulang kompleks
melalui formasi dan pemutusan ikatan, yang terakhir proses adsorbsi dari produk
(Hegedus, 1987)
2.7 Nikel Sebagai Katalis
Nikel adalah logam putih perak yang keras. Nikel bersifat liat, dapat ditempa
dan sangat kukuh. Logam ini melebur pada suhu 1455oC dan bersifat sedikit
magnetis. Garam-garam nikel (II) yang stabil, diturunkan dari nikel(II) oksida,
NiO yang merupakan zat bewarna hijau (Vogel, 1985).
Nikel (Ni) merupakan logam yang berasal dari unsur logam transisi yang
terdapat pada orbital d pada sistem periodik unsur-unsur, distribusi elektron pada
orbital-orbital atom Ni mengikuti aturan Hund, maka terdapat elektron-elektron
yang belum berpasangan dalam orbital d dengan konfigurasi sebagai berikut :

28Ni = 1s2, 2s2, 2p6, 3s2, 3p6, 4s2, 3d8

Unsur Logam Ni mempunyai orbital atom 3d yang belum penuh, maka sesuai
aturan Hund terdapat elektron-elektron yang belum berpasangan pada orbital d.
Keadaan ini akan menentukan sifat-sifat nikel, misalnya sifat-sifat magnetik,
struktur

padatan

dan

kemampuannya

membentuk

senyawa

komplek

(Hasanah, 1995).
Fenomena ini menjadikan logam Ni sangat berperan dalam berbagai reaksi
katalitik. Logam nikel mudah membentuk ikatan kovalen kordinat, maka
pembentukan intermediet pada permukaan katalisis menjadi lebih mudah. Dari
konfigurasi elektron diatas diketahui bahwa Ni adalah bervalensi dua. Nikel
bervalensi dua membentuk dua macam bentuk kompleks utama. Pertama adalah

15

kompleks spin bebas (ion atom orbital terluar) yang didalamnya adalah ligan H2O
dan NH3 (Considine, 1984).
Katalis nikel sangat dikenal dalam proses industri. Nikel telah banyak
digunakan

dalam reaksi hidrogenasi, alkilasi, hidroalkilasi, dan perengkahan

(cracking). Komposisi katalis nikel tergantung daripada reaksi yang terjadi


sebagai contoh untuk reaksi hidroalkilasi, katalis nikel mengandung logam lain
seperti tungsten (Mat and Othman, 1999).
2.8 Katalitik Perengkahan (Catalytic Cracking)
Perengkahan (Cracking) adalah suatu cara untuk memecahkan rantai molekul
hidrokarbon yang besar menjadi lebih kecil. Pemecahan ini menggunakan katalis,
atau suhu dan tekanan yang rendah dengan menggunakan katalis. Keunikan dari
reaksi ini adalah molekul hidrokarbon yang lebih kecil. Sebagai contoh
hidrokarbon C15H32 dapat dipecah dengan zeolit menjadi (Clark, 2003):

C15H32

2C2H4 + C3H6 + C8H18


etena propena oktana

Adapun 3 cara proses cracking, yaitu:


a. Cara panas (Thermal Cracking), yaitu dengan penggunaan suhu tinggi dan
b.

tekanan yang rendah.


Cara katalis (Catalytic Cracking), yaitu dengan penggunaan katalis.
Katalis yang digunakan biasanya SiO2 atau Al2O3 bauksit yang berasal dari
reaksi perengkahan katalitik melalui mekanisme perengkahan ion

c.

karbonium.
Cara Hidrocracking yang merupakan kombinasi antara perengkahan dan
hidrogenasi untuk menghasilkan senyawa yang jenuh. Reaksi tersebut
dilakukan pada tekanan tinggi. Keuntungan lain dari cara ini adalah bahwa
belerang yang terkandung dalam minyak dapat diubah menjadi hidrogen
sulfida yang kemudian dipisahkan.

16

Catalytic cracking atau perengkahan berkatalis adalah suatu cara untuk


memecahkan hidrokarbon kompleks menjadi molekul yang lebih sederhana yang
dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas produk dan juga dapat menurunkan
jumlah residu yang dihasilkan. Ada tiga tipe dari proses catalytic cracking yaitu
Fluid Catalytic Cracking (FCC), Moving bed catalytic cracking, dan Thermofor
Catalytic Cracking (TCC) (SET laboratories, 1999):
a. Fluid Catalytic Cracking
Yaitu proses perengkahan dimana minyak dipecah dengan adanya katalis
yang ada didalam reaktor dengan jalan menjaga aliran fluida dalam proses
tersebut.
b. Moving-bed Catalytic Cracking
Proses ini hampir sama dengan proses fluid catalytic cracking.
Perbedaannya terletak pada perlakuan katalis yang dipindahkan secara
kontinyu untuk dijatuhkan kedalam reaktor dan kemudian diregenerasi.

c. Thermofor Catalytic Cracking


Proses ini dilakukan dengan cara memanaskan minyak terlebih dahulu,
kemudian dialirkan hingga mencapai reaktor bed katalitik. Dalam reaktor ini
uap akan terpisah dari katalis dan mengirimnya ke kolom fraksinasi.
2.

Anda mungkin juga menyukai