Tugas Sejarah
Tugas Sejarah
DI/TII ACEH
Pemberontakan DI/TII di Aceh dimulai pada tanggal 20 September 1953. Dimulai dengan
pernyataan Proklamasi berdirinya Negara Islam Indonesia oleh Daud Beureueh, proklamasi itu
menyatakan diri bahwa Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia (NII) dibawah
kepemimpinan Imam Besar NII Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.
Daud Beureueh adalah seorang pemimpin sipil, agama, dan militer di Aceh pada masa perang
mempertahankan kemerdekaan Indonesia ketika agresi militer pertama Belanda pada
pertengahan tahun 1947. Sebagai "Gubernur Militer Daerah Istimewa Aceh" ia berkuasa penuh
atas pertahanan daerah Aceh dan menguasai seluruh aparat pemerintahan baik sipil maupun
militer. Peranannya sebagai seorang tokoh ulama membuat Daud Beureuh tidak sulit
memperoleh pengikut. Dalam persiapan melancarkan gerakan perlawanannya Daud Beureueh
telah berhasil mempengaruhi banyak pejabat-pejabat Pemerintah Aceh, khususnya di daerah
Pidie. Pada masa-masa awal setelah proklamasi NII Aceh dan pengikut-pengikutnya berhasil
mengusai sebagian besar daerah Aceh termasuk beberapa kota.
Tidak lama setelah pemberontakan pecah, Pemerintah Republik Indonesia melalui Perdana
Menteri Ali Sastroamidjojo segera memberikan penjelasan secara runut tentang peristiwa
tersebut di depan Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 28 Oktober 1953.
3.
^ Sastroamidjojo (1953) p. 18
^ "Keterangan Pemerintah tentang peristiwa Daud Beureuh : [diutjapkan dalam rapat
pleno terbuka Dewan Perwakilan Rakjat Republik Indonesia tanggal 28 Oktober 1953] ; Djawaban
Pemerintah [atas pemandangan umum Dewan Perwakilan Rakjat mengenai keterangan
Pemerintah] tentang peristiwa Daud Beureuh : [diutjapkan oleh Perdana Menteri dalam rapat
pleno terbuka Dewan Perwakilan Rakjat tanggal 2 Nopember 1953] / [Ali Sastroamidjojo]" (PDF).
1953.
^ Reid (2005), p. 341
Dijk, C. van (Cornelis) Rebellion under the banner of Islam : the Darul Islam in
Indonesia The Hague: M. Nijhoff,1981.ISBN 90-247-6172-7
"Rahasia pemberontakan Atjeh dan kegagalan politik Mr. S.M. Amin / A.H.
Gelanggang" (PDF). 1956. Rahasia pemberontakan Atjeh dan kegagalan politik Mr. S.M.
Amin, Kutaradja.
"Disekitar peristiwa berdarah di Atjeh / S.M. Amin" (PDF). 1956. Disekitar peristiwa
berdarah di Atjeh, Jakarta.
"Mengapa Aceh bergolak / Hasan Saleh ; [ed. Anzis Kleden ... et al.]" (PDF).
1992.Mengapa Aceh bergolak Jakarta.
Umar, Mawardi & Al Chaidar. 2006. Darul Islam Aceh: Pemberontak atau Pahlawan?
Negara Islam Indonesia (disingkat NII; juga dikenal dengan nama Darul Islam atau DI) yang
artinya adalah "Rumah Islam" adalah kelompok Islam di Indonesia yang bertujuan untuk
pembentukan negara Islam di Indonesia. Ini dimulai pada 7 Agustus 1942 oleh sekelompok milisi
Muslim, dikoordinasikan oleh seorang politisi Muslim radikal karismatik, Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo di Desa Cisampah, Kecamatan Ciawiligar,
Kawedanan Cisayong, Tasikmalaya, Jawa Barat. Kelompok ini mengakuisyariat islam sebagai
sumber hukum yang valid. Gerakan ini telah menghasilkan pecahan maupun cabang yang
terbentang dariJemaah Islamiyah ke kelompok agama non-kekerasan.
Gerakan ini bertujuan menjadikan Republik Indonesia yang saat itu baru saja diproklamasikan
kemerdekaannya dan ada pada masa perang dengan tentara Kerajaan Belanda sebagai
negara teokrasi dengan agama Islam sebagai dasar negara. Dalam proklamasinya bahwa
"Hukum yang berlaku dalam Negara Islam Indonesia adalah Hukum Islam", lebih jelas lagi dalam
undang-undangnya dinyatakan bahwa "Negara berdasarkan Islam" dan "Hukum yang tertinggi
adalah Al Quran dan Hadits". Proklamasi Negara Islam Indonesia dengan tegas menyatakan
kewajiban negara untuk membuat undang-undang yang berlandaskan syariat Islam, dan
penolakan yang keras terhadap ideologi selain Alqur'an dan Hadits Shahih, yang mereka sebut
dengan "hukum kafir", sesuai dalam Qur'aan Surah 5. Al-Maidah, ayat 50. [butuh rujukan]
Daftar isi
[sembunyikan]
1 Pergerakan
o
3 Pranala luar
(Kahar muzakar)
Di Sulawesi Selatan juga timbul pemberontakan DI/TIl yang dipimpin oleh Kahar Muzakar.
Pada tanggal 30 April 1950 Kahar Muzakar menuntut kepada pemerintah agar pasukannya
yang tergabung dalam Komando Gerilya Sulawesi Selatan dimasukkan ke dalam Angkatan
Perang RIS (APRIS). Tuntutan ini ditolak karena harus melalui penyaringan.
Pemerintah melakukan pendekatan kepada Kahr Muzakar dengan memberi pangkat Letnan
Kolonel. Akan tetapi pada tanggal 17 Agustus 1951 Kahar Muzakar beserta anak buahnya
melarikan diri ke hutan dan melakukan aksi dengan melakukan teror terhadap rakyat. Untuk
menghadapi pemberontakan DI/TIT di Sulawesi Selatan ini pemerintah melakukan operasi
militer. Baru pada bulan Februari 1965 Kahar Muzakar berhasil ditangkap dan ditembak mati
sehingga pemberontakan DI/TII di Sulawesi dapat dipadamkan.
gagal ia melarikan diri ke luar negeri. Selanjutnya ia pulang ke Indonesia bergabung dengan
Amir Syarifuddin untuk mengadakan propaganda-propaganda anti pemerintah di bawah
pimpinan Sukarno-Hatta.
Front Demokrasi Rakyat (FDR) ini didukung oleh Partai Sosialis Indonesia, Pemuda Sosialis
Indonesia, PKI, dan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Kelompok ini
seringkali melakukan aksi-aksinyaantaralain:
(1) melancarkanpropagandaantipemerintah,
(2) mengadakan pemogokan-pemogokan kerja bagi para buruh di perusahaan misalnya di
pabrik karung di Delanggu Klaten.
(3) melakukan pembunuhan-pembunuhan misalnya dalam bentrokan senjata di Solo tanggal 2
Juli 1948, Komandan Divisi LIV yakni Kolonel Sutarto secara tiba-tiba terbunuh. Pada tanggal 13
September 1948 tokoh pejuang 1945, Dr. Moewardi diculik dan dibunuh.
Aksi pengacauan di Solo yang dilakukan PKI ini selanjutnya meluas dan mencapai puncaknya
pada tanggal 18 September 1948. PKI berhasil menguasai Madiun dan sekitarnya seperti Blora,
Rembang, Pati, Kudus, Purwadadi, Ponorogo, dan Trenggalek. PKI mengumumkan berdirinya
Soviet Republik Indonesia. Setelah menguasai Madiun para pemberontak melakukan
penyiksaan dan pembunuhan besar-besaran. Pejabat-pejabat pemerintah, para perwira TNI dan
polisi, pemimpin-pemimpin partai, para ulama, dan tokoh-tokoh masyarakat banyak yang
menjadi korban keganasan PKI. Pemberontakan PKI di Madiun ini bertujuan meruntuhkan
pemerintah RI yang berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945 yang akan diganti dengan
pemerintahan yang berdasar paham komunis. Kekejaman PKI ketika melakukan pemberontakan
pada tanggal 18 September 1948 tersebut mengakibatkan kemarahan rakyat. Oleh
Karena itu pemerintah bersama rakyat segera mengambil tindakan tegas terhadap kaum
pemberontak. Dalam usaha mengatasi keadaan, Pemerintah mengangkat Kolonel Gatot Subroto
sebagai Gubernur Militer Daerah Istimewa Surakarta dan sekitarnya, yang meliputi Semarang,
Pati, dan Madiun. Panglima Jenderal Sudirman segera memerintahkan kepada Kolonel Gatot
Soebroto di Jawa Tengah dan Kolonel Soengkono di Jawa Timur agar mengerahkan kekuatan
kekuatan TNI dan polisi untuk menumpas kaum pemberontak. Karena Panglima Besar Jenderal
Sudirman sedang sakit maka pimpinan operasi penumpasan diserahkan kepada Kolonel A. H.
Nasution, Panglima Markas Besar Komando Jawa (MBKD). Walaupun dalam operasi
penumpasan PKI Madiun ini menghadapi kesulitan karena sebagian besar pasukan TNI
menjaga garis demarkasi menghadapi Belanda, dengan menggunakan dua brigade kesatuan
cadangan umum Divisi III Siliwangi dan brigade Surachmad dari Jawa Timur serta kesatuankesatuan lainnya yang setia kepada negara Indonesia maka pemberontak dapat ditumpas. Pada
tanggal 30 September 1948 seluruh kota Madiun dapat direbut kembali oleh TNI. Musso yang
melarikan diri ke luar kota dapat dikejar dan ditembak TNI. Sedangkan Amir Syarifuddin
tertangkap di hutan Ngrambe, Grobogan, daerah Puwadadi dan dihukum mati. Akhirnya
pemberontakan PKI di Madiun dapat dipadamkan meskipun banyak memakan korban dan
melemahkan kekuatan pertahanan RI.
September 1948 di Kota Madiun oleh Muso, seorang tokoh Partai Komunis Indonesia dengan
didukung pula oleh Menteri Pertahanan saat itu, Amir Sjarifoeddin.
Pada saat itu hingga era Orde Lama, peristiwa ini dinamakan Peristiwa Madiun, dan tidak pernah
disebut sebagai pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI). Baru di eraOrde Baru,
peristiwa ini mulai dinamakan Pemberontakan PKI Madiun.
Bersamaan dengan itu terjadi penculikan tokoh-tokoh masyarakat yang ada di Madiun, baik itu
tokoh sipil maupun militer di pemerintahan ataupun tokoh-tokoh masyarakat dan agama.
Masih ada kontroversi mengenai peristiwa ini. Sejumlah pihak merasa tuduhan bahwa PKI yang
mendalangi peristiwa ini sebetulnya adalah rekayasa pemerintah Orde Baru (dan sebagian
pelaku Orde Lama).
Pada era ini aksi saling menculik dan membunuh mulai terjadi, dan masing-masing pihak
menyatakan, bahwa pihak lainlah yang memulai. Banyak reska perwira TNI, perwira polisi,
pemimpin agama, pondok pesantren di Madiun dan sekitarnya yang diculik dan dibunuh.
Pada 10 September 1948, mobil Gubernur Jawa Timur, RM Ario Soerjo, dan mobil 2 perwira
polis dicegat massa pengikut PKI di Kedunggalar, Ngawi, Jawa Timur. Ke-3 orang tersebut
dibunuh dan jenazah nya dibuang di dalam hutan. Demikian juga dr. Moewardi yang sering
menentang aksi-aksi golongan kiri, diculik ketika sedang bertugas di rumah sakit Solo, dan kabar
yang beredar ia pun juga dibunuh. Tuduhan langsung dilontarkan, bahwa pihak lainlah yang
melakukannya. Di antara yang menjadi korban juga adalah Kol. Marhadi yang namanya
sekarang diabadikan dengan Monumen yang berdiri di tengah alun-alun Kota Madiun dan nama
jalan utama di Kota Madiun.
Kelompok kiri menuduh sejumlah petinggi Pemerintah RI, termasuk Wakil Presiden Mohammad
Hatta telah dipengaruhi oleh Amerika Serikat untuk menghancurkan Partai Komunis Indonesia,
sejalan dengan doktrin Harry S. Truman, Presiden AS yang mengeluarkan gagasan Teori
Domino. Truman menyatakan, bahwa apabila ada satu negara jatuh ke bawah pengaruh
komunis, maka negara-negara tetangganya akan juga akan jatuh ke tangan komunis, seperti
layaknya dalam permainan kartu domino. Oleh karena itu, dia sangat gigih dalam memerangi
komunis di seluruh dunia.
Sebelumnya pada 21 Juli 1948 telah diadakan pertemuan rahasia di hotel "Huisje Hansje"
Sarangan, Plaosan, Magetan|sarangan, dekat Madiun yang dihadiri oleh Soekarno, Hatta,
Soekiman Wirjosandjojo (Menteri Dalam Negeri), Mohamad Roem (anggota Masyumi) dan
Kepala Polisi Soekanto Tjokrodiatmodjo, sedangkan di pihak Amerika Serikat hadir Gerald
Hopkins (penasihat politik Presiden Truman), Merle Cochran (pengganti Graham yang mewakili
Amerika Serikat dalam Komisi Jasa Baik PBB). Dalam pertemuan Sarangan, yang belakangan
dikenal sebagai "Perundingan Sarangan", diberitakan bahwa Pemerintah Republik Indonesia
menyetujui Red Drive Proposal (proposal pembasmian kelompok merah). Dengan bantuan
Arturo Campbell, Soekanto berangkat ke Amerika Serikat guna menerima bantuan untuk
Kepolisian RI. Campbell yang menyandang gelar resmi Atase Konsuler pada Konsulat Jenderal
Amerika Serikat di Jakarta, sesungguhnya adalah anggota Central Intelligence Agency (CIA),
badan intelijen Amerika Serikat.
Selain itu dihembuskan isu bahwa Soemarsoso, tokoh Pesindo, pada 18 September
1948 melalui radio di Madiun telah mengumumkan terbentuknya Pemerintah Front Nasional bagi
Karesidenan Madiun. Namun Soemarsono kemudian membantah tuduhan yang mengatakan
bahwa pada dia mengumumkan terbentuknya Front Nasional Daerah (FND) dan telah terjadi
pemberontakan PKI. Dia mengatakan bahwa FND dibentuk sebagai perlawanan terhadap
ancaman dari pemerintah pusat.
Pada 19 September 1948, Presiden Soekarno dalam pidato yang disiarkan melalui radio
menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia, untuk memilih: Muso atau Soekarno - Hatta.
Maka pecahlah konflik bersenjata, yang pada waktu itu disebut sebagai Madiun Affairs (Peristiwa
Madiun), dan pada zaman Orde Baru kemudian dinyatakan sebagai pemberontakan PKI.
pemberontakan Andi Azis. Akan tetapi, setelah upayanya untuk melarikan diri, akhirnya dia berhasil
meloloskan diri dan pergi ke Maluku. Selain itu, Soumokil juga dapat memindahkan anggota KNIL dan
pasukan Baret Hijau dari Makasar ke Ambon.
daerah memprovokasi
masayarakat Ambon bahwa penggabungan wilayah Ambon ke NKRI akan menimbulkan bahaya di
kemudian hari sehingga seluruh masyarakat diingatkan untuk menghindari dan waspada dari
ancaman
bahaya
tersebut.
Pada tanggal 20 April tahun 1950, diajukannya mosi tidak percaya terhadap parlemen NIT sehingga
mendorong kabinet NIT untuk meletakan jabatannya dan akhirnya kabinet NIT dibubarkan dan
bergabung ke dalam wilayah NKRI. Kegagalan pemberontakan yang di lakukan oleh Andi Abdoel Azis
(Andi Azis) menyebabkan berakhirnya Negara Indonesia Timur. Akan tetapi Soumokil bersama para
anggotanya tidak akan menyerah untuk melepaskan Maluku Tengah dari wilayah Negara Kesatuan
Republik Indoneisa. Bahkan dalam perundingan yang berlangsung di Ambon dengan pemuka KNIL
beserta Ir. Manusaman, ia mengusulkan supaya daerah Maluku Selatan dijadikan sebagai daerah
yang merdeka, dan bila perlu seluruh anggota dewan yang berada di daerah Maluku Selatan dibunuh.
Namun, usul tersebut ditolak karena anggota dewan justru mengusulkan supaya yang melakukan
proklamasi kemerdekaan di Maluku Selatan tersebut adalah Kepala Daerah Maluku Selatan, yaitu J.
Manuhutu. Akhirnya, J. Manuhutu terpaksa hadir pada rapat kedua di bawah ancaman senjata.
2.
Tujuan
Pemberontakan
RMS
di
Maluku
Pemberontakan RMS yang didalangi oleh mantan jaksa agung NIT, Soumokil bertujuan untuk
melepaskan wilayah Maluku dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebelum diproklamasikannya
Republik Maluku Selatan (RMS), Gubernur Sembilan Serangkai yang beranggotakan pasukan KNIL
dan partai Timur Besar terlebih dahulu melakukan propaganda terhadap Negara Kesatuan Republik
Indonesia untuk memisahkan wilayah Maluku dari Negara Kesatuan RI. Di sisi lain, dalam menjelang
proklamasi RMS, Soumokil telah berhasil mengumpulkan kekuatan dari masyarakat yang berada di
daerah Maluku Tengah. Sementara itu, sekelompok orang yang menyatakan dukungannya terhadap
Negara Kesatuan Republik Indonesia diancam dan dimasukkan ke penjara karena dukungannya
terhadap NKRI dipandang buruk oleh Soumokil. Dan pada tanggal 25 April 1950, para anggota RMS
memproklamasikan berdirinya Republik Maluku Selatan (RMS), dengan J.H Manuhutu sebagai
Presiden dan Albert Wairisal sebagai Perdana Menteri. Para menterinya terdiri atas Mr.Dr.C.R.S
Soumokil, D.j. Gasperz, J. Toule, S.J.H Norimarna, J.B Pattiradjawane, P.W Lokollo, H.F Pieter, A.
Nanlohy,
Dr.Th.
Pattiradjawane,
Ir.J.A.
Manusama,
dan
Z.
Pesuwarissa.
Pada tanggal 27 April 1950 Dr.J.P. Nikijuluw ditunjuk sebagai Wakil Presiden RMS untuk daerah luar
negeri dan berkedudukan di Den Haang, Belanda, dan pada 3 Mei 1950, Soumokil menggantikan
Munuhutu sebagai Presiden Rakyat Maluku Selatan. Pada tanggal 9 Mei, dibentuk sebuah Angkatan
Perang RMS (APRMS) dan Sersan Mayor KNIL, D.J Samson diangkat sebagai panglima tertinggi di
angkatan perang tersebut. Untuk kepala staf-nya, Soumokil mengangkat sersan mayor Pattiwale, dan
anggota staf lainnya terdiri dari Sersan Mayor Kastanja, Sersan Mayor Aipassa, dan Sersan Mayor
Pieter.
Untuk
sistem
kepangkatannya
mengikuti
system
dari
KNIL.
dikuasai
oleh
pasukan
militer
tersebut.
Dengan jatuhnya pasukan RMS yang berada di daerah Ambon, maka hal ini membuat perlawanan
yang dilakukan oleh pasukan RMS dapat ditaklukan. Pada tanggal 4 sampai 5 Desember, melalui
selat Haruku dan Saparua, pusat pemerintahan RMS beserta Angkatan Perang RMS berpindah ke
Pulau Seram. Pada tahun 1952, J.H Munhutu yang tadinya menjabat sebagai presiden RMS
tertangkap di pulau Seram, Sementara itu sebagian pimpinan RMS lainnya melarikan diri ke Negara
Belanda. Setelah itu, RMS kemudian mendirikan sebuah organisasi di Belanda dengan pemerintahan
di
pengasingan
(Government
In
Exile).
Beberapa tokoh dari pimpinan sipil dan militer RMS yang tertangkap akhirnya dimajukan ke meja
hijau. Pada tanggal 8 Juni 1955, hakim menjatuhi sanksi hukuman tehadap :
1. J.H Munhutu, Presiden RMS di Hukum selama 4 Tahun
2. Albert Wairisal, menjabat sebagai Perdana Menteri Dalam Negeri di jatuhi hukuman 5 Tahun
3. D.J Gasper, menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri di jatuhi hukuman 4 Tahun
4. J.B Pattirajawane, menjabat sebagai Menteri Keuangan di jatuhi hukuman selama 4 Tahun
5. G.G.H Apituley, menjabat sebagai Menteri Keuangan di jatuhi hukuman selama 5 Tahun
6. Ibrahim Oharilla, menjabat sebagai Menteri Pangan di jatuhi hukuman selama 4 Tahun
7. J.S.H Norimarna, menjabat sebagai Menteri Kemakmuran di jatuhi hukuman selama 5
Tahun
8. D.Z Pessuwariza, menjabat sebagai Menteri Penerangan di jatuhi hukuman selama 5
Tahun
9. Dr. T.A Pattirajawane, menjabat sebagai Menteri Kesehatan di jatuhi hukuman selama 3
Tahun
10. F.H Pieters, menjabat sebagai Menteri Perhubungan di jatuhi hukuman selama 4 Tahun
11. T. Nussy, menjabat sebagai Kepala Staf Tentara RMS di jatuhi hukuman selama 7 tahun
12. D.J Samson, menjabat sebagai Panglima Tertinggi Tentara RMS di jatuhi hukuman selama 10
Tahun
Sementara itu, Dr. Soumokil, pada masa itu ia masih bertahan di hutan-hutan yang berada di pulau
Seram sampai akhirnya ditangkap pada tanggal 2 Desember 1963. Pada Tahun 1964, Soumokil
dimajukan ke meja hijau. Selama persidangan Soumokil berlangsung, meskipun ia bisa berbahasa
Indonesia, namun pada saat itu ia selalu memakai Bahasa Belanda, sehingga pada saat persidangan
di mulai, hakim mengutus seorang penerjemah untuk membantu persidangan Soumokil. Akhirnya
pada tanggal 24 April 1964, Soumokil akhirnya dijatuhi hukuman mati. Eksekusi pun dilaksanakan
pada tanggal 12 April 1966 dan berlangsung di Pulau Obi yang berada di wilayah kepulauan Seribu di
sebelah Utara Kota Jakarta.
Sepeninggal Soumokil, sejak saat itu RMS berdiri di pengasingan di Negeri Belanda. Pengganti
Soumokil adalah Johan Manusama. Ia menjadi presiden RMS pada tahun 1966-1992, selanjutnya
digantikan oleh Frans Tutuhatunewa sampai tahun 2010 dan kemudian digantikan oleh John
Wattilete.
4.
Dampak
dari
Pemberontakan
RMS
di
Maluku
Pada Tahun 1978 anggota RMS menyandera kurang lebih 70 warga sipil yang berada di gedung
pemerintahan Belanda di Assen-Wesseran. Teror tersebut juga dilakukan oleh beberapa kelompok
yang berada di bawah pimpinan RMS, seperti kelompok Bunuh Diri di Maluku Selatan. Dan pada
tahun 1975 kelompok ini pernah merampas kereta api dan menyandera 38 penumpang kereta api
tersebut.
Pada tahun 2002, pada saat peringatan proklamasi RMS yang ke-15 dilakukan, diadakan acara
pengibaran bendera RMS di Maluku. Akibat dari kejadian ini, 23 orang ditangkap oleh aparat
kepolisian. Setelah penangkapan aktivis tersebut dilakukan, mereka tidak menerima penangkapan
tersebut karena dianggap tidak sesuai dengan hukum yang berlaku. Selanjutnya mereka
memperadilkan Gubernur Maluku beserta Kepala Kejaksaan Tinggi Maluku karena melakukan
penangkapan dan penahanan terhadap 15 orang yang diduga sebagai propokator dan pelaksana
pengibaran bendera RMS tersebut. Aksi pengibaran bendera tersebut terus dilakukan, dan pada
tahun 2004, ratusan pendukung RMS mengibarkan bendera RMS di Kudamati. Akibat dari
pengibaran bendera ini, sejumlah aktivis yang berada di bawah naungan RMS ditangkap dan akibat
dari penangkapan tersebut, terjadilah sebuah konflik antara sejumlah aktivis RMS dengan Kelompok
Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia
(NKRI)
Tidak cukup dengan aksi tersebut, Anggota RMS kembali menunjukkan keberadaannya kepada
masyarakat Indonesia. Kali ini mereka tidak segan-segan untuk meminta pengadilan negeri Den
Haang untuk menuntut Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) dan menangkapnya atas kasus
Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan terhadap 93 aktivis RMS. Peristiwa paling parah terjadi
pada tahun 2007, dimana pada saat itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sedang menghadiri
hari Keluarga Nasional yang berlangsung di Ambon, Maluku. Ironisnya, pada saat penari Cakalele
masuk ke dalam lapangan, mereka tidak tanggung-tanggung untuk mengibarkan bendera RMS di
hadapan presiden SBY.
(Disarikan dari berbagai sumber)
APRA
Peristiwa Kudeta Angkatan Perang Ratu Adil atau Kudeta 23 Januari adalah peristiwa yang
terjadi pada 23 Januari 1950dimana kelompok milisi Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang
ada di bawah pimpinan mantan Kapten KNIL Raymond Westerling yang juga mantan
komandan Depot Speciale Troepen (Pasukan Khusus) KNIL, masuk ke kota Bandung dan
membunuh semua orang berseragam TNI yang mereka temui. Aksi gerombolan ini telah
direncanakan beberapa bulan sebelumnya oleh Westerling dan bahkan telah diketahui oleh
pimpinan tertinggi militer Belanda.
Daftar isi
[sembunyikan]
1 Latar belakang
2 Surat ultimatum
3 Desersi
4 Kudeta
5 Rujukan
6 Pranala luar
7 Referensi
Jenderal van Vreeden, sebagai yang harus bertanggung-jawab atas kelancaran "penyerahan
kedaulatan" pada 27 Desember1949, memperingatkan Westerling agar tidak melakukan
tindakan tersebut, tapi van Vreeden tidak segera memerintahkan penangkapan Westerling.
Pemberontakan yang dilakukan oleh Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang
dipimpin oleh mantan Kapten KNIL Raymond Westerling bukanlah pemberontakan
yang dilancarkan secara spontan. Pemberontakan ini telahdirencanakan sejak beberapa
bulan sebelumnya oleh Westerling dan bahkan telah diketahui oleh pimpinan tertinggi
militer Belanda.
Pada 25 Desember 1949 malam, sekitar pukul 20.00 Westerling
menghubungi Letnan Jenderal Buurman van Vreeden, Panglima Tertinggi Tentara
Belanda untuk menanyakan bagaimana pendapat van Vreeden mengenai rencananya
untuk melakukan kudeta terhadap Soekarno setelah penyerahan kedaulatan dari
Belanda terhadap Indonesia. Van Vreeden memang telah mendengar berbagai rumor,
antara lain ada sekelompok militer yang akan mengganggu jalannya penyerahan
kedaulatan, tidak terkecuali rumor mengenai pasukan yang dipimpin oleh
Westerling. Jenderal van Vreeden, sebagai yang harus bertanggung-jawab atas
kelancaran penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1949 tersebut memperingatkan
Westerling agar tidak melakukan tindakan seperti apa yang diungkapkan padanya.
Pada hari Kamis tanggal 5 Januari 1950, Westerling mengirim surat kepada
pemerintah RIS yang isinya adalah sebuah ultimatum. Westerling menuntut agar
Pemerintah RIS menghargai negara-negara bagian, terutama Negara Pasundan serta
Pemerintah RIS harus mengakui APRA sebagai tentara Pasundan. Pemerintah RIS
harus memberikan jawaban positif terkait ultimatum tersebutdalm waktu 7 hari dan
apabila ditolak, maka akan timbul perang besar. Ultimatum Westerling ini tentu
menimbulkan kegelisahan tidak saja di kalangan RIS, namun juga di pihak Belanda
dan dr. H.M. Hirschfeld, Nederlandse Hoge Commissaris (Komisaris Tinggi Belanda)
yang baru tiba di Indonesia. Kabinet RIS menghujani Hirschfeld dengan berbagai
pertanyaan yang membuatnya menjadi sangat tidak nyaman. Menteri Dalam Negeri
Belanda, Stikker menginstruksikan kepada Hirschfeld untuk menindak semua pejabat
sipil dan militer Belanda yang bekerjasama dengan Westerling.
Pada 10 Januari 1950 Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa pihak
Indonesia telah mengeluarkan perintah penangkapan terhadap Westerling.
Sebelumnya, ketika Lovink masih menjabat sebagai Wakil Tinggi Mahkota (WTM),
dia telah menyarankan Hatta untuk mengenakan pasal exorbitante rechten terhadap
Westerling. Sementara itu, Westerling mengunjung Sultan Hamid II di Jakarta.
Sebelumnya, mereka pernah bertemu bulan Desember 1949. Westerling menerangkan
tujuannya, dan meminta Hamid menjadi pemimpin gerakan mereka. Hamid ingin
mengetahui secara rinci mengenai organisasi Westerling tersebut, namun dia tidak
memperoleh jawaban yang memuaskan dari Westerling. Pertemuan hari itu tidak
membuahkan hasil apapun.
Pertengahan Januari 1950, Menteri UNI dan Urusan Provinsi Seberang Lautan,
Mr.J.H. van Maarseven berkunjung ke Indonesia untuk mempersiapkan pertemuan Uni
Indonesia-Belanda yang akan diselenggarakan pada bulan Maret 1950. Hatta
menyampaikan kepada Maarseven, bahwa dia telah memerintahkan kepolisian untuk
menangkap Westerling. Ketika berkunjung ke Belanda, Menteri Perekonomian RIS
Juanda pada 20 Januari 1950 menyampaikan kepada Menteri Gtzen, agar pasukan elit
RST yang dipandang sebagai faktor risiko, secepatnya dievakuasi dari Indonesia.
Sebelum itu, satu unit pasukan RST telah dievakuasi ke Ambon dan tiba di Ambon
tanggal 17 Januari 1950. Pada 21 Januari Hirschfeld menyampaikan kepada Gtzen
bahwa Jenderal Buurman van Vreeden dan Menteri Pertahanan Belanda Schokking
telah menggodok rencana untuk evakuasi pasukan RST.
Namun upaya mengevakuasi Reciment Speciaale Troepen, gabungan baret
merah dan baret hijau terlambat dilakukan. Westerling mendengar mengenai rencana
tersebut dari beberapa bekas anak buahnya, sebelum deportasi pasukan RST ke
Belanda dimulai, pada 23 Januari 1950 Westerling melancarkan "kudetanya." Subuh
pukul 4.30 hari itu, Letnan Kolonel KNIL T. Cassa menelepon Jenderal Engles dan
melaporkan: "Satu pasukan kuat APRA bergerak melalui Jalan Pos Besar menuju
Bandung." Namun laporan Letkol Cassa tidak mengejutkan Engles, karena
sebelumnya, pada 22 Januari pukul 21.00 dia telah menerima laporan, bahwa sejumlah
anggota pasukan RST dengan persenjataan berat telah melakukan desersi dan
meninggalkan tangsi militer di Batujajar. Mayor KNIL G.H. Christian dan Kapten
KNIL J.H.W. Nix melaporkan, bahwa "compagnie Erik" yang berada
di Kampemenstraat juga akan melakukan desersi pada malam itu dan bergabung
dengan APRA untuk ikutserta dalam kudeta, namun dapat digagalkan oleh
komandannya sendiri, Kapten G.H.O. de Witt. Engles segera membunyikan alarm
besar dan segera menghubungi Letnan Kolonel TNI Sadikin, Panglima Divisi
Siliwangi. Engles juga melaporkan kejadian ini kepada Jenderal Buurman van Vreeden
di Jakarta.
Mulanya penduduk kota Bandung tidak terlalu curiga karena adalah hal yang
biasa
tentara
hilir
mudik keluar masuk
kota
Bandung pada masa
itu,
walau Perang kemerdekaan dianggap sudah berakhir. Tentara APRA pada saatitu
menggunakan truk, jeep, motorfiets, serta ada yang berjalan kaki dengan seragam
dan bersenjata lengkap dan jumlahnya ditaksir antara 500-800 personel.
Namun ketika mereka mengadakan steling di gang-gang di sepanjang jalan
Cimahi-Bandung sambil melepas tembakan ke udara. Bahkan ada di antara
mereka yang mengarahkan tembakan
kebeberapa rumah penduduk. Barulah
setelah mendengar
suara tembakan tersebut, warga seketika menjadi
waswas. Sejumlah polisi yang menjaga pos-pos sepanjang jalan raya Cimindi-Cibereum
dilucuti senjatanya. Sesampainya di kota kepanikan rakyat semakin menjadijadi, banyak toko dan rumah ditutup dan jalanan pun menjadi sepi.
Di jalan perapatan Banceuy, seorang TNI yang mengendarai jip dan tidak
bersenjata diberhentikan. Tentara itu diperintahkan untuk turun dan mengangkat
tangan lalu dengan keji ditembak mati. Pasukan APRA bergerak di Jalan Braga, di
muka Apotheek Rathkam sebuah mobil sedan juga diberhentikan.
Tiga
penumpangnya juga diperintahkan untuk turun, di antaranya seorang perwira
TNI. Tanda pangkat perwira itu diambil dan kemudian dia dibunuh. Dua orang sipil
yang bersama tentara tadi kemudian diangkut dengan truk.
Tentara APRA juga mengadakan aksi di depan Hotel Preanger. Mereka
menyerang sebuah truk berisi tiga orang TNI. Perlawanan dari TNI baru terjadi di
Jalan Merdeka, sekalipun tidak seimbang. Setelah tembak-menembak sekitar 15 menit,
10 orang TNI gugur. Tentara APRA juga menyerang truk yang dikendarai 7 orang
serdadu TNI di perempatan Suniaraja-Braga. Truk itu ditembaki dari depan dan
belakang.
Perlawanan yang cukup hebat terjadi di Kantor Kwartir Divisi Siliwangi Oude
Hospitaalweg. Satu regu stafdekking TNI terdiri dari 15 orang dipimpin Letkol
(Overste ) Sutoko dikepung tentara APRA yang jumlahnya lebih banyak. Benar-benar
pertempuran sampai peluru terakhir. Letkol Sutoko, Letkol Abimanyu dan seorang
opsir lainnya dapat menyelamatkan diri. Lainnya tewas. Markas itu diduduki dan
tentara APRA merampok brandkas sebesar F150.000.
Penumpasan APRA
Ketika
terjadi
pemberontakan APRA
tidak dilakukan perlawanan yangberarti, hal ini disebabkan karena beberapa faktor.
Pertama, karena serangan dilakukan dengan sangat tiba-tia, pembalasan tembakan pun
tidak dilakukan karena orang-orang APRA bercampur dengan orang KNIL dan KL.
Sedangkan mengenai latar belakang aksinya, diduga keras bahwa APRA ingin
mendukung berdirinya negara Pasundan, supaya negara ini bisa berdiri tanpa
gangguan TNI dan menggunakan APRA sebagai angkatan perangnya.
Secara umum boleh pasukan Divisi Siliwangi TNI tidak siap karena baru saja
memasuki Kota Bandung setelah perjanjian KMB. Panglima Siliwangi Kolonel
Sadikin dan Gubernur Jawa Barat Sewaka pada saat kejadian sedang mengadakan
peninjauan ke Kota Subang. Sementara di Jakarta pada pukul 11.00 bertempat di
kantor Perdana Mentri RIS diadakan perundingan antara Perdana Mentri RIS dan
Komisaris Tinggi Kerajaan Belanda di Indonesia. Terungkap adanya keterlibatan
tentara Belanda (diperkirakan sekitar 300 tentara Belanda berada di antara pasukan
APRA) dalam peristiwa di Bandung itu, maka diputuskan tindakan bersama.
Jendral Engels akhirnya memerintahkan pasukan APRA untuk kembali ke Batujajar, baik
karena diperintah atasannya, maupun ancaman dari Divisi Siliwangi yang tidak menjamin keselamatan
warga Belanda yang berjumlah ribuan di kota Bandung. Pada hari itu juga pasukan APRA
meninggalkan Kota Bandung. Operasi penumpasan dan pengejaran terhadap gerombolan APRA yang
sedang melakukan gerakan mundur segera dilakukan oleh TNI. Sisa pasukan Wasterling di bawah
pimpinan Van der Meulen yang bukan anggota KNIL Batujajar dan polisi yang menuju Jakarta, pada
24 Januari 1950 dihancurkan Pasukan Siliwangi dalam pertempuran daerah Cipeuyeum dan sekitar
Hutan Bakong dan dapat disita beberapa truk dan pick up, tiga pucuk bren, 4 pucuk senjata ukuran
12,7 dan berpuluh karaben.
Pada 24 Januari 1950 tengah malam terjadi tembak-menembak di Kramatalaan No.29 Jakarta
antara pauskan TNI dengan geromboan yang diduga adalah deseteurs (anggota tentara yang
melarikan diri dari dinasi tentara). Tembak-menembak tersebut berlangsung sampai 25 januari 1950
pagi. Dalam penggerebekan pasukan kita berhasil merampas 30 pucuk owens-guns.
Di kota Bandung juga diadakan pembersihan dan penahanan terhadap mereka yang terlibat,
termasuk beberapa orang tokoh Negara Pasundan. Bagaimana dengan Wasterling? Setelah melarikan
diri dari Bandung, Westerling masih melanjutkan petualangannya di Jakarta. la merencanakan suatu
gerakan untuk menangkap semua Menteri RIS yang sedang menghadiri sidang kabinet, dan
membunuh Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Sekretaris Jenderal Kementerian
Pertahanan Mr. A. Budiardjo, dan Pejabat Kepala Staf Angkatan Perang Kolonel T.B. Simatupang.
Gerakan tersebut dapat digagalkan dan kemudian diketahui bahwa otaknya adalah Sultan
Hamid II, yang juga menjadi anggota Kabinet RIS sebagai Menteri tanpa portofolio. Sultan Hamid II
dapat segera ditangkap, sedangkan Westerling sempat melarikan diri ke luar negeri pada 22 Februari
1950 dengan menumpang pesawat Catalina milik Angkatan Laut Belanda. Dengan kaburnya
Wasterling, maka gerakannya pun jadi bubar.
E.
Bila dilihat dari latar belakang pemberontakan yang dilakukan oleh APRA
(Angkatan Perang Ratu Adil) yang diketuai oleh Raymond Pierre Westerling ini
bertujuan untuk mendapat pengakuan dari pemerintah RIS yang ingin diakui sebagai
tentara Pasundan. Selain itu, pemberontakan ini juga bertujuan untuk tetap
mempertahankan pemerintahan Reupblik Federal dan tidak menginginkan adanya
penyerahan kedaulatan serta adanya tentara tersendiri di negara-negara bagian RIS.
Sehingga terjadilah pemberontakan APRA ini yang terjadi di Bandung.
Dalam pemberontakan ini, APRA berhasil menduduki markas dari Kodam
Divisi Siliwangi berhasil diduduki pada tanggal 23 Januari 1950 dan juga membunuh
para tentara Indonesia yang bermaksud untuk melawan. Salah satu tentara yang
terbunuh ialah Letnan Kolonel Lembong tewas pada peristiwa ini. Bandung pun dapat
dikuasai sementara oleh pasukan APRA untuk beberapa jam. Dalam peristiwa ini juga
menyebabkan 79 orang APRIS tewas dan juga beberapa masyarakat sekitar juga
mnejadi korban kekejaman pemberontakan ini. Dengan terjadinya peristiwa ini di
PRRI/PERMESTA
1.
Latar
Belakang
Pemberontakan
PRRI/PERMESTA
tidak
mampu
melaksanakan
pembangunan
secara
maksimal.
Selain Dewan Banteng yang bertempat di daerah Sumatra Barat, di Medan terdapat juga Dewan
Gajah yang dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolon, Panglima Tentara dan Teritorium I, pada tanggal
22 Desember 1956. Dan juga di Sumatra Selatan terbentuknya Dewan Garuda yang dipimpin oleh
Letkol
Barlian.
Selain itu pemberontakan ini juga disebabkan karena ada pengaruh dari PKI terhadap pemerintah
pusat dan hal ini menimbulkan terjadinya kekecewaan pada daerah tertentu. Keadaan tersebut
diperparah dengan pelanggaran konstitusi yang dilakukan oleh pejabat-pejabat yang berada di dalam
pemerintah
pusat,
tidak
terkecuali
Presiden
Soekarno.
Selanjutnya, PRRI membentuk Dewan Perjuangan dan tidak mengakui kabinet Djuanda. Dewan
Perjuangan PRRI akhirnya membentuk Kabinet baru yang disebut Kabinet Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia (Kabinet PRRI). Pembentukan kabinet ini terjadi pada saat Presiden
Soekarno sedang melakukan kunjungan kenegaraan di Tokyo, Jepang. Pada tanggal 10 Februari
1958, Dewan Perjuangan PRRI melalui RRI Padang mengeluarkan pernyataan berupa Piagam
Jakarta yang berisi sejumlah tuntutan yang ditujukan kepada Presiden Soekarno supaya bersedia
kembali kepada kedudukan yang konstitusional, menghapus segala akibat dan tindakan yang
melanggar UUD 1945 serta membuktikan kesediaannya itu dengan kata dan perbuatan. Tuntutan
tersebut antara lain :
1. Mendesak kabinet Djuanda supaya mengundurkan diri dan mengembalikan mandatnya
kepada Presiden Soekarno.
2. Mendesak pejabat presiden, Mr. Sartono untuk membentuk kabinet baru yang disebut Zaken
Kabinet Nasional yang bebas dari pengaruh PKI (komunis).
3. Mendesak kabinet baru tersebut diberi mandat sepenuhnya untuk bekerja hingga pemilihan
umum yang akan datang.
4. Mendesak Presiden Soekarno membatasi kekuasaannya dan mematuhi konstitusi.
5. Jika tuntutan tersebut di atas tidak dipenuhi dalam waktu 524 jam maka Dewan Perjuangan
akan mengambil kebijakan sendiri.
Setelah tuntutannya di tolak, PRRI membentuk sebuah Pemerintahan dengan anggota kabinetnya.
Pada saat pembangunan Pemerintahan tersebut di mulai, PRRI memperoleh dukungan dari
PERMESTA
dan
rakyat
setempat.
Pada tanggal 2 Maret 1957, di Makasar yang berada di wilayah timur Negara Indonesia terjadi
sebuah
acara
proklamasi
Piagam
Perjuangan
Republik
Indonesia
(PERMESTA)
yang
diproklamasikan oleh Panglima TT VII, Letkol Ventje Sumual. Pada hari berikutnya, PERMESTA
mendukung kelompok PRRI dan pada akhirnya kedua kelompok itu bersatu sehingga gerakan kedua
kelompok itu disebut PRRI/PERMESTA. Tokoh-tokoh PERMESTA terdiri dari beberapa pasukan
militer yang diantaranya adalah Letnan Kolonel D.J Samba, Letnan Kolonel Vantje Sumual, Letnan
Kolonel
2. Tujuan
saleh
Lahade,
Dari
Mayor
Runturambi,
Pemberontakan
dan
Mayor
Gerungan.
PRRI/PERMESTA
Tujuan dari pemberontakan PRRI ini adalah untuk mendorong pemerintah supaya memperhatikan
pembangunan negeri secara menyeluruh, sebab pada saat itu pemerintah hanya fokus pada
pembangunan yang berada di daerah Pulau jawa. PRRI memberikan usulan atas ketidakseimbangan
pembangunan
yang
dilakukan
oleh
pemerintah
pusat.
Meskipun alasan yang dilakukan oleh PRRI ini benar, namun cara yang digunakan untuk mengoreksi
pemerintah pusat itu salah. PRRI menuntut kepada pemerintah pusat dengan nada paksaan,
sehingga pemerintah menganggap bahwa tuntutannya itu bersifat memberontak. Hal tersebut
menimbulkan kesan bagi pemerintah pusat bahwa PRRI adalah suatu bentuk pemberontakan. Akan
tetapi, jika PRRI itu dikatakan sebagai pemberontak, hal ini merupakan anggapan yang tidak tepat
sebab sebenarnya PRRI ingin membenahi dan memperbaiki sistem pembangunan yang dilakukan
pemerintah
pusat,
bukan
untuk
menjatuhkan
pemerintahan
Republik
Indonesia.
Karena ketidakpuasan PRRI terhadap keputusan pemerintah pusat, akhirnya PRRI membentuk
dewan-dewan daerah yang terdiri dari Dewan Banteng, Dewan Gajah, dan Dewan Garuda. Pada
tanggal 15 Februari 1958, Achmad Husein memproklamasikan bahwa berdirinya Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia dengan Syarifudin Prawiranegara sebagai perdana menterinya.
Proklamasi PRRI tersebut mendapat sambutan hangat dari masyarakat Indonesia bagian Timur.
Tidak lama setelah proklamasi PRRI dilakukan, pasukan gerakan PERMESTA memutuskan untuk
bergabung ke dalam kelompok PRRI. Dalam rapat raksasa yang diselenggarakan di beberapa
daerah, Kolonel D.J Somba menyatakan bahwa pada tanggal 17 Februari 1958, Komando Daerah
Sulawesi Utara dan Sulawesi tengah menyatakan putus hubungan dengan pemerintahan pusat dan
mendukung
3. Usaha
PRRI.
Pemerintah
Untuk
Menumpas
Pemberontakan
PRRI/PERMESTA
Bukit
Tinggi,
dan
Manado.
Pada awal bulan Maret, pasukan dari Divisi Diponogoro dan Siliwangi yang berada di bawah
pimpinan Kolonel Achmad Yani didaratkan di daratan Pulau Sumatera. Sebelum pendaratan itu
dilakukan, Nasution telah mengiriman Pasukan Resmi Para Komando Angkatan Darat di ladangladang minyak yang berada di kepulauan Sumatera dan Riau. Pada tanggal 14 Maret 1958, daerah
Pecan Baru berhasil dikuasai, dan Operasi Militer kemudian dikerahkan ke pusat pertahanan PRRI.
Pada tanggal 4 Mei 1958 Bukit tinggi berhasil dikuasai dan selanjutnya Pasukan Tentara Nasional
Indonesia (TNI) membereskan daerah-daerah bekas pemberontakan PRRI. Pada penyerangan
tersebut, banyak pasukan PRRI yang melarikan diri ke area perhutanan yang berada di daerah
tersebut.
Untuk melancarkan penumpasan terhadap Pemberontakan tersebut, pemerintah membentuk sebuah
pasukan Operasi Militer yang operasinya disebut Operasi Merdeka pada bulan April 1958 dan operasi
tersebut di pimpin oleh Letkol Rukminto Hendradiningrat. Organisasi PERMESTA diduga
mendapatkan bantuan dari tentara asing, dan bukti dari bantuan tersebut adalah jatuhnya pesawat
yang dikemudikan oleh A.L Pope (Seorang Warga negara Amerika) yang tertembak jatuh di Ambon
pada tanggal 18 Mei 1958. Pada tanggal 29 Mei 1961, Achmad Husein menyerahkan diri, dan pada
pertengahan tahun 1961, para tokoh-tokoh yang bergabung dalam gerakan PERMESTA juga
menyerahkan
4. Dampak
diri.
Dari
Pemberontakan
PRRI/PERMESTA
Pemberontakan yang dilakukan oleh gerakan PRRI/PERMESTA ini membawa dampak besar
terhadap hubungan dan politik luar negeri Indonesia. Dukungan dari negara Amerika Serikat terhadap
pemberontakan tersebut membuat hubungan antara Indonesia dengan Amerika menjadi tidak
harmonis. Apalagi dukungan dari Amerika Serikat terhadap PRRI/PERMESTA terbukti benar dengan
jatuhnya pesawat pengebom B-26 yang dikemudikan oleh seorang pilot bernama Allen Pope pada
tanggal 18 Mei 1958 di lokasi yang tidak jauh dari kota Ambon. Presiden RI, Ir. Soekarno beserta para
pemimpin sipil, dan militernya memiliki perasaan curiga terhadap negara Amerika Serikat dan Negara
lainnya. Malaysia yang baru merdeka pada tahun 1957 ternyata juga mendukung gerakan PRRI
dengan menjadikan wilayahnya sebagai saluran utama pemasok senjata bagi pasukan PRRI. Begitu
pula dengan Filipina, Singapura, Korea Selatan (Korsel), dan Taiwan juga mendukung gerakan
pemberontakan
yang
dilakukan
oleh
PRRI.
Akibat dari pemberontakan ini, pemerintah pusat akhirnya membentuk sebuah pasukan untuk
menumpas pemberontakan yang dilakukan oleh PRRI. Hal ini mengakibatkan pertumpahan darah
dan jatuhnya korban jiwa baik dari TNI maupun PRRI. Selain itu, pembangunan menjadi
terbengakalai dan juga menimbulkan rasa trauma di masyarakat Sumatera terutama daerah Padang.
5. Tokoh-Tokoh
PRRI/PERMESTA
Inilah tokoh-tokoh yang ikut serta dalam melangsungkan pemberontakan PRRI/PERMESTA, tokohtokoh tersebut di antaranya adalah.
1. Letnan Kolonel Ahmad Husein
2. Pejabat-Pejabat Kabinet PRRI, yakni: Mr. Syarifudin Prawiranegara yang menjabat sebagai
Menteri Keuangan. Mr. Assaat Dt. Mudo yang menjabat sebagai Menteri Dalam negeri.
Dahlan Djambek sempat memegang jabatan itu sebelum Mr. Assaat tiba di Padang. Mauludin
Simbolon sebagai Menteri Luar Negeri. Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo menjaba
sebagai Menteri Perhubungan dan Pelayaran. Moh Syafei menjabat sebagai Menteri PKK
dan Kesehatan. J.F Warouw menjabat sebagai Menteri Pembangunan. Saladin Sarumpet
menjabat sebagai Menteri Pertanian dan Pemburuhan. Muchtar Lintang menjabat sebagai
Menteri Agama. Saleh Lahade menjabat sebagai Menteri Penerangan. Ayah Gani Usman
Menjabat Sebagai Menteri Sosial. Dahlan Djambek menjabat sebagai Menteri Pos dan
Telekomunikasi.
3. Mayor Eddy Gagola
4. Kolonel Alexander Evert Kawilarang
5. Kolonel D.J Somba
6. Kapten Wim Najoan
7. Mayor Dolf Runturambi
8. Letkol Ventje Sumual
G30SPKI
1. LATAR BELAKANG GERAKAN 30 SEPTEMBER PKI 1965
Pemberontakan PKI tanggal 30 September 1965 bukanlah kali pertama bagi
PKI. Sebelumnya,pada tahun 1948 PKI sudah pernah mengadakan pemberontakan
di Madiun. Pemberontakan tersebut dipelopori oleh Amir Syarifuddin dan Muso.
Tujuan dari pemberontakan itu adalah untuk menghancurkan Negara RI dan
menggantinya menjadi negara komunis. Beruntunglah pada saat itu Muso dan Amir
Syarifuddin berhasil ditangkap dan kemudian ditembak mati sehingga pergerakan
PKI dapat dikendalikan.
Namun, melalui demokrasi terpimpin kiprah PKI kembali bersinar. Terlebih
lagi dengan adanya ajaran dari presiden Soekarno tentang Nasakom (Nasional,
Agama, Komunis) yang sangat menguntungkan PKI karena menempatkannya
sebagai bagian yang sah dalam konstelasi politik Indonesia. Bahkan, Presiden
Soekarno mengangap aliansinya dengan PKI menguntungkan sehingga PKI
ditempatkan pada barisan terdepan dalam demokrasi terpimpin. Hal ini hanya akan
membukakan jalan bagi PKI untuk melancarkan rencana-rencananya. Yang salah
satunya sudah terbukti adalah pemberontakan G-30-S-PKI yang dipimpin oleh
DN.Aidit. Pemberontakan itu bertujuan untuk menyingkirkan TNI-AD sekaligus
merebut kekuasaan pemerintahan.
Sebenarnya pada saat itu keburukan PKI sudah akan terbongkar dengan
ditemukannya dokumen-dokumen perjuangan PKI yang berjudul Resume Program
dan Kegiatan PKI Dewasa ini. Dalam dokumen tersebut nampak jelas disebutkan
bahwa PKI akan melancarkan perebutan kekuasaan. Akan tetapi Ir.Soekarno tidak
mempercayai hal itu dan tetap mendukung PKI.
Selain karena ingin merebut kekuasaan, ada juga factor lain yang membuat
mereka melakukan pemberontakan itu, yakni :
1. Angkatan Darat menolak pembentukan Angkatan kelima
Sementara itu, Jenderal Abdul Haris Nasution berhasil meloloskan diri dari
penculikan. Akan tetapi, putrinya Ade Irma Suryani terluka parah karena tembakan
penculik dan akhirnya meninggal di rumah sakit.
Ajudan Nasution, Letnan Satu Pierre Andries Tedean ikut menjadi sasaran
penculikan karena wajahnya mirip dengan Jenderal Nasution. Ketika itu juga
tertembak Brigadir Polisi Karel Stasuit Tubun,pengawal rumah Waperdam II
Dr.J. Leimena yang rumahnya berdampingan dengan rumah Nasution.
Lolosnya Nasution, membuat Aidit dan koleganya cemas karena akan
menimbulkan masalah besar. Untuk itu,Suparjo menyarankan agar operasi
dilakukan sekali lagi. Saat berada di istana, Suparjo melihat bahwa niliter di kota
dalam keadaan bingung. Akan tetapi, para pemimpin gerakan pada saat itu tidak
melakukan apa-apa. Hal ini menjadi salah satu penyebab kehancuran operasi
mereka.
Sementara itu, sesudah PKI dengan G 30 S/PKI nya berhasil membunuh
para pimpinan TNI AD, kemudian pimpinan G 30 S/PKI mengumumkan sebuah
dektrit melalui RRI yang telah berhasil pula dikuasai. Dekrit tersebut diberinya nama
kode Dekrit No 1 yang mengutarakan tentang pembentukan apa yang mereka
namakan Dewan Revolusi Indonesia di bawah pimpinan Letkol Untung. Berdasarkan
revolusi merupakan kekuasaan tertinggi, dekrit no 1 tersebut, maka Dewan Revolusi
merupakan kekuasaan tertinggi, Dekrit no 2 dari G 30 S/PKI tentang penurunan dan
kenaikan pangkat (semua pangkat diatas Letkol diturunkan, sedang prajurit yang
mendukung G 30 S/PKI dinaikan pangkatnya 1 atau 2 tingkat).
3. TUJUAN GERAKAN 30 SEPTEMBER PKI 1965
Dari tindakan PKI dengan G30 S/PKI-nya, maka secara garis besar dapat diutarakan
:
1. Bahwa Gerakan 30 September adalah perbuatan PKI dalam rangka usahanya untuk
merebut kekuasaan di negara Republik Indonesia dengan memperalat oknum ABRI
sebagai kekuatan fisiknya, untuk itu maka Gerakan 30 September telah dipersiapkan
jauh sebelumnya dan tidak pernah terlepas dari tujuan PKI untuk membentuk
pemerintah Komunis.
2. Bahwa tujuan tetap komunis di Negara Non Komunis adalah merebut kekuasaan
negara dan mengkomuniskannya.
3. Usaha tersebut dilakukan dalam jangka panjang dari generasi ke generasi secara
berlanjut.
4. Selanjutnya bahwa kegiatan yang dilakukan tidak pernah terlepas dari rangkaian
kegiatan komunisme internasional.
4. PENGARUH GERAKAN 30 SEPTEMBER PKI 1965 TERHADAP KEHIDUPAN
BANGSA INDONESIA
Setelah peristiwa G30S/PKI berakhir, kondisi politik Indonesia masih
belum stabil. SituasiNasional sangat menyedihkan, kehidupan ideologi nasional
belum mapan. Sementara itu, kondisi politik juga belum stabil karena sering terjadi
konflik antar partai politik. Demokrasi Terpimpin justru mengarah ke sistem
pemerintahan diktator. Kehidupan ekonomi lebih suram, sehingga kemelaratan dan
kekurangan makanan terjadi dimana mana.
Presiden Soekarno menyalahkan orang orang yang terlibat
dalam perbuatan keji yang berakhir dengan gugurnya Pahlawan Revolusi serta