Anda di halaman 1dari 2

Lagu Lancang Kuning itu adalah lagu rakyat yang sangat populer di Riau, negeri yang dijuluki Bumi

Lancang Kuning. Dalam sebuah versi sejarah Melayu, kapal Lancang Kuning yang legendaris itu
tenggelam di Tanjung Jati, perairan Bengkalis. Tak terurai dengan jelas apakah musibah itu akibat
human error ataukah karena keganasan alam yang tak teratasi oleh kemampuan seorang anak
manusia.
Pesan lirik lagu itu jelas, tidak ada yang tersembunyi. Untuk melayarkan sebuah kapal, seorang
nakhoda haruslah paham. Filosofi kapal Lancang Kuning berlayar malam ini, agaknya menjadi satu
dari sekian banyak untaian butir kearifan Melayu yang melintasi zamandan mengandung dimensi
universal. Sampai kini, setiap kali, ketika kita berada dalam suatu proses pemilihan seorang
pimpinan, entah itu Ketua RT, RW, Kepala Desa, Ketua Partai atau pemilihan seorang kepala
pemerintahan, kita selalu diingatkan pesan Lancang Kuning ini. Hati-hati memilih pemimpin.
Karena seorang pemimpin, kendati dalam konsep kepemimpinan Melayu hanya didulukan
selangkah dan ditinggikan seranting, tapi hak dan kewajiban yang melekat padanya cukup besar.
Seorang pemimpin, pada tingkatan apapun, tidak hanya mendapatkan hak-hak istimewa
dibandingkan dengan mereka yang dipimpin, tetapi juga dipundaknya terletak tanggungjawab yang
berat, yang merupakan amanah yang harus dipikulnya. Amanah itu bila dilaksanakan dengan baik
dia akan menjadi berkah, namun bila disalahgunakan dia akan menjadi musibah.
Kenapa perumpamaannya sebuah kapal yang berlayar malam? Kenapa tidak sebuah kapal yang
berlayar saja, tidak pakai siang dan malam? Namun agaknya itu pulalah yang menandakan
keberpahaman orang-orang tua kita dulu, yang menciptakan syair lagu itu. Tentu tidak ada
kaitannya dengan kapal penyelundup atau kapal perompak, sebuah stigma yang acapkali diberikan
pada masyarakat tradisional di kepulauan. Sebuah kapal yang berlayar malam, dia tidak bersuluh
benderang matahari tapi bersuluh kunang-kunang bintang di langit. Alpa membaca bintang
alamatlah kapal akan kehilangan arah tujuan.
Ketika dewasa ini kita sedang dibuai oleh sepoi-sepoi angin demokrasi, ada yang menggugah
bersuara lantang. Kita bukan hanya memilih seorang presiden, kita mencari sosok seorang
pemimpin yang bisa menjadi superman, bisa menjadi hero bahkan superhero. Kita memerlukan
seorang pahlawan untuk menyelamatkan bangsa ini, ratap Anis Matta dalam bukunya Mencari
Pahlawan Indonesia. Kita mencari seorang pucuk pimpinan yang mampu membawa bangsa ini
segera keluar dari keterpurukan dan segera berpacu dalam suatu langkah yang pasti menuju
puncak. Kalau hanya sekadar mencari seorang presiden, kita sudah punya pengalaman dengan
lima presiden. Masing-masing dengan kebesarannya, sebagaimana sms yang saya terima. Presiden
Soekarno, adalah seorang pemimpin besar. Presiden Soeharto, jenderal besar. Presiden BJ Habibie,
ilmuwan besar, Presiden Abdurrahman Wahid, ulama besar dan Presiden Megawati Soekarnoputri,
memiliki nama besar. Terlepas dari jasa-jasa dan segala kelebihannya masing-masing, kelima
presiden tersebut dianggap belum mampu memberikan suatu solusi yang tepat untuk membawa
bangsanya ke puncak kejayaan. Bahwa beliau-beliau itu telah menorehkan sejarah, tentu tidak bisa
dipungkiri. Dulu kita pikir, barangkali karena kita terlalu hemat memilih presiden, potensi tidak
terangkat secara optimal; bayangkan, 53 tahun merdeka, kita baru memiliki dua orang presiden.
Kita pun kemudian ngebut bongkar pasang presiden. Diharapkan dengan demikian kita akan
segera mendapatkan apa yang kita cari, tapi ternyata belum juga. Oleh karenanya berbagai
seminar, diskusi dan dialog diadakan untuk mencari sosok yang sesuai dengan tuntutan zaman.
Seorang pemimpin pada dasarnya adalah seorang nakhoda. Dia dituntut harus mampu menakhodai
kapalnya supaya selamat sampai ke pulau tujuan, tidak kurang sesuatu apapun. Dan untuk
selamat sampai ke pulau tujuan, sang nakhoda haruslah paham, begitulah yang diajarkan kearifan
Melayu. Seluruh kompetensi secara sederhana dihimpun dalam kata paham. Namun sesungguhnya
bila kita renungkan lebih dalam, paham disini mengandung dimensi capability, capacity dan
credibility, suatu persyaratan minimal untuk menjadi seorang nakhoda yang baik, yang tidak hanya

tidak mencelakakan penumpang kapalnya, tetapi sekaligus mampu memberikan kesenangan


kepada penumpangnya.
Capability, capable, kapabilitas, mengandung makna cakap, tanggap, tangguh. Seorang nakhoda
harus mampu melayarkan kapalnya di tengah gelap gulita dengan hanya bersuluh bintang
gemintang. Sang nakhoda harus mampu berlayar di tengah badai, tidak boleh mabuk diayun
gelombang. Sekali layar terkembang berpantang surut ke belakang.
Capacity, kapasitas, mengandung makna mampu. Sang nakhoda harus memiliki kemampuan untuk
membaca bintang di langit, harus mengerti ilmu falak, menguasai navigasi, sehingga mampu
mengarahkan haluan sesuai tujuan. Sang nakhoda harus mampu membaca arah dan mata angin,
mampu mengukur tinggi gelombang dan mampu membaca laut berkarang.
Credibility, kredibilitas, mengandung makna dapat dipercaya. Di tangan nakhoda tergantung nasib
dan nyawa ribuan penumpang. Memang benar nasib dan nyawa di tangan Tuhan, tapi bila Tuhan
menggunakan otoritasnya, maka tetap saja yang bertanggungjawab adalah sang nakhoda. Sang
nakhoda harus bisa dipercaya untuk tidak menyinggahkan kapalnya di pelabuhan yang tidak perlu,
sebaliknya harus mampu mengendalikan dirinya untuk tidak sombong. Titanic adalah sebuah kapal
yang tercanggih pada zamannya di awal abad 20. Kapal megah itu disebutkan tidak akan bisa
tenggelam. Namun apa lacur, belum lagi genap satu malam berlayar dari Eropa menuju Amerika,
kapal itu tenggelam ke dasar samudra Atlantik yang dingin membeku. Tidak kurang dari 1500
penumpangnya tewas. Nakhoda juga tidak boleh tergoda untuk menjadi bajak laut, kendati dia
bisa kalau dia mau. Dengan bermodal kredibilitas, maka seribu lembar kontrak sosial pun tidak
akan ia takuti. Karena apapun yang dilakukan oleh seorang pemimpin yang credible dan memiliki
integritas, akan selalu dilandasi dengan itikad baik untuk kemaslahatan umat.
Kearifan Lancang Kuning adalah kekayaan kearifan lokal yang universal, kearifan milik semua dan
untuk semua. Banyak nakhoda yang pintar, tapi kita agaknya memerlukan nakhoda yang paham,
yang
berani
menantang
badai
dan
paham
bagaimana
melewatinya
dengan
selamat.Sumber : http://serumpunsite.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai