Anda di halaman 1dari 4

Jemala

Barang Kerja Semuanya Biasa


Abdul Malik

KISAH ini berawal dari seorang Menteri Kerajaan Ban. Sesuai dengan jabatan yang diemban, dia
mendapatkan limpahan tugas dari Baginda Sultan. Sang Menteri memahami benar bidang
tugasnya dan kesemuanya itu dilaksanakannya dengan penuh tanggung jawab, tanpa sedikit pun
terkesan lamban. Tak hanya sampai di situ, sebagai seorang profesional, semua kegiatan
pemerintahan di bidang tugasnya dilaksanakannya secara tepat dan cepat, tanpa membuang waktu
barang sesaat. Dia berjaya membuktikan diri sebagai pemimpin yang cekap dan cergas (giat, gesit,
cekatan, dan tangkas) sehingga rajanya tak perlu menaruh was-was.
Raja Ali Haji rahimahullah menukilkan kisahnya di dalam Syair Abdul Muluk, bait 414,
dengan begitu berkesan.

Karena menteri orang berbangsa


Barang kerja semuanya biasa
Habislah berkumpul negeri dan desa
Kepada baginda berbuat jasa

Seperti yang terekam di dalam bait syair di atas, Sang Menteri melaksanakan semua
tugasnya dengan penuh tanggung jawab, tanpa berasa terbebani secara berlebihan. Semua
pekerjaan itu, baik berat maupun ringan, dianggapnya sebagai sesuatu yang biasa karena memang
harus dilaksanakan secara profesional. Dia menyadari benar bahwa semakin tinggi pangkat dan
jabatannya akan semakin banyak pula tugas yang harus dikerjakan dan semakin besar pula
tanggung jawabnya. Sifat, sikap, dan perilakunya itulah yang menunjukkan bahwa dia memang
orang berbangsa. Artinya, dengan kecergasannya Sang Menteri telah menampilkan dirinya sebagai
sosok pemimpin terbilang, yang menjadi tumpuan harapan semua orang. Dengan demikian, sifat,
sikap, dan perilaku cergas—cepat, tangkas, dan tak melalaikan pekerjaan—dalam melaksanakan
tugas menjadi kualitas budi pekerti yang seyogianya dimiliki oleh setiap pemimpin budiman.
Sebagai petinggi dengan jabatan penting, yang menentukan maju-mundur negeri, Sang
Menteri sangat menyadari bahwa kebijakan dan kiat kepemimpinannya berdampak luas kepada
negeri dan rakyat. Oleh sebab itu, dia harus melaksanakan amanah yang diembannya dengan penuh
siasat (strategi yang baik), tak boleh sedikit pun ada yang cacat. Dengan begitulah, bakti yang
dilaksanakannya akan mencapai matlamat sehingga memperoleh sebanyak-banyaknya manfaat.
Pemimpin sekelas menteri itu sadar akan tunjuk ajar dan pedoman yang tertuang di dalam
Gurindam Dua Belas, Pasal yang Ketujuh, bait 3, yang memang harus diperhatikan oleh setiap
pejabat agar pekerjaannya beroleh berkat.

Apabila kita kurang siasat


Itulah tanda pekerjaan hendak sesat

Pemimpin dengan kualitas cergas itu memang patut menyandang predikat orang berbangsa
(terhormat dan mulia). Apatah lagi, karena sifat kerendahhatiannya, dia tetap menganggap
tanggung jawab yang besar yang dibebankan kepadanya sebagai pekerjaan biasa, yang memang
harus dikerjakannya secara seksama. Sekali bersedia memikul amanah, pantangkan diri berpaling
tadah.
Jabatan dan pangkat tinggi yang disandangnya tak membuatnya lupa diri. Apatah lagi
hanya sibuk dengan pencitraan diri, yang boleh berubah ujub dan takabur tanpa disadari. Pemimpin
seperti Menteri Negeri Ban itu sadar bangat bahwa semua sifat dan perangai negatif itu merugikan
diri, rakyat, dan negeri. Bukankah baktinya yang ikhlas dengan mengerahkan semua kemampuan
diri akan menentukan nasib bangsa, baik sekarang maupun nanti? Pasalnya, sebagai pemegang
amanah kepemimpinan, keselamatan bahtera bangsa menuju dermaga impian sangat ditentukan
oleh komitmennya sebagai nakhoda yang mengendalikannya.
“Maka hendaklah ahli al-mahkamah tatkala berhimpun di dalam mahkamah jangan ia ‘ujub
dan takabur akan dirinya akan ia mendapat pangkat daripada jabatan menteri atau pegawai seperti
meridakan diri ‘ujub yang demikian itu. Akan tetapi, hendaklah tafakur dan insaf pada memandang
orang yang berdakwa itu karena adalah mahkamah itu seolah-olah satu bahtera di lautan besar,
dipukul ribut yang amat besar. Jika tiada baik-baik ahli bahtera itu membicarakannya, hampir
tenggelam binasa dirinya di dalam dunia dan di dalam akhirat,” (Raja Ali Haji dalam Abdul Malik
(Ed.) 2013, 63).
Amanat tersurat di dalam Tsamarat al-Muhimmah di atas memang tertuju kepada para
pemimpin dan orang-orang yang terlibat dalam pekerjaan yang berhubung dengan peradilan. Akan
tetapi, secara tersirat, pesan itu juga berlaku dan begitu mustahak bagi semua pemimpin, apa pun
peringkat kepemimpinannya. Semua bangsa yang beradab mengandalkan pemimpinnya dari
kalangan orang-orang yang senantiasa tafakur dan sadar diri sehingga selalu bersedia menunaikan
baktinya secara cerdas dan cergas, tanpa terlintas sedikit pun untuk bermalas-malas atau berbuat
culas.
Pemimpin yang cergas menyadari benar akan tunjuk ajar kepemimpinan dari syair nasihat
yang terhimpun di dalam Tsamarat al-Muhimmah, bait 36. Oleh sebab itu, dia akan berusaha
sekuat dapat untuk menghindari sifat dan tabiat yang mendatangkan mudarat.

Yakni jangan lengah dan lalai


Pekerjaan raja dihelai belai
Lengah dengan nasi dan gulai
Akhirnya kelak badan tersalai

Lawan pemimpin yang cergas memang pemimpin yang lengah dan lalai. Amanah yang
diberikan kepadanya dilalaikannya sehingga membuat dirinya, jangankan menjadi pemimpin,
bahkan menjadi rakyat biasa saja pun tak menjanjikan kejayaan. Obsesinya semata-mata “nasi dan
gulai”, sama ada dalam arti harfiah ataupun konotatif. Hanya sebatas itu sajalah matlamat
kepemimpinannya sehingga begitu bersara tak sesiapa pun berupaya mengingatnya. Menurutnya
mungkin dia orang yang pandai, tetapi bagi masyarakat yang menderita karena kepemimpinannya,
dia tak lebih dari seorang yang lalai lagi buruk perangai.
Pemimpin yang cerdas dan tangkas ibarat kuda perang yang berlari kencang. Seraya
menerjang dengan kuku kakinya yang memancarkan api, ia (kuda yang perkasa itu) menyerang ke
kubu pertahanan musuh, tanpa ragu sedikit jua pun. Dalam keadaan serupa itu, tak ada tantangan
atau cabaran kepemimpinan yang tak dapat diatasinya, bahkan Tuhan pun akan selalu bersamanya.
Bukankah Allah SWT memang bersumpah dengan menyebut kuda yang istimewa itu dalam salah
satu firman-Nya?
“Demi kuda perang yang berlari kencang dengan terengah-engah, dan kuda yang
mencetuskan api dengan pukulan (kuku kakinya), dan kuda yang menyerang dengan tiba-tiba pada
waktu pagi, maka ia menerbangkan debu, dan menyerbu ke tengah-tengah kumpulan musuh.
Sesungguhnya, manusia itu sangat ingkar, tak berterima kasih kepada Rabbnya dan sesungguhnya,
manusia itu menyaksikan (sendiri) keingkarannya. Dan, sesungguhnya dia sangat bakhil karena
cintanya kepada harta. Maka, apakah dia tak mengetahui apabila dibangkitkan apa yang ada di
dalam kubur dan dilahirkan apa yang ada di dalam dada? Sesungguhnya, Rabb mereka pada hari
itu Maha Mengetahui keadaan mereka,” (Q.S. Al-‘Adiyat:1—11).
Kualitas keteguhan hati laksana kuda perang dalam Surah Al-‘Adiyat itulah seyogianya
dimiliki oleh pemimpin yang niat dan bakti kepemimpinannya untuk kemaslahatan bangsa dan
negara. Dia tak pernah gentar berhadapan dengan apa atau siapa pun yang berusaha untuk
mengalihkan matlamatnya ke arah yang salah. Sandaran pedoman kebenarannya semata-mata
petunjuk Allah. Kepada Allah pulalah dia berlindung agar tak menyimpang dalam melaksanakan
tanggung jawab kepemimpinan yang diamanahkan kepadanya. Itulah pemimpin yang cergas dan
tangkas dalam arti yang sesungguhnya. Dalam hal ini, dia senantiasa berupaya agar terhindar dari
tergolong sebagai manusia yang ingkar, yang matlamat kepemimpinannya saling tak tumpah
dengan sekadar cintanya kepada harta. Dia sadar sesadar-sadarnya bahwa Allah telah bersumpah
untuk mengganjar pemimpin yang gila harta itu dengan sanksi yang memang sepadan dengan
keingkarannya.
Ternyata, dalam perjalanan sejarah bangsa-bangsa di dunia, senantiasa ada pemimpin yang
benar-benar memiliki keteguhan hati untuk membela marwah bangsa dan negaranya. Dia laksana
kuda perang yang siap menerjang apa atau siapa pun yang jadi penghalang niatnya yang mulia.
Pemimpin dengan kualitas itu, karena memang telah dijamin oleh Allah, seandainya gugur pun
dalam bakti kepemimpinannya, akan meninggalkan nama yang terbilang.
“… Maka kapal itupun keras juga hendak masuk. Maka lalulah berperang semula dengan
kubu yang di Teluk Keriting itu. Maka azamatlah bunyinya meriam kapal itu. Maka seketika
berperang itu maka kubu Teluk Keriting pun hendak tewas sebab ubat bedilnya habis. Maka
menyuruhlah Yang Dipertuan Muda itu mengantarkan ubat sebuah sampan. Adalah yang
mengantarkan ubat bedil itu Syahbandar Bopeng, adalah budak yang mengayuhkannya, kepala
satu budak anak baik-baik namanya Encik Kalak. Maka sampan itupun dibedil oleh kapal dari laut
dengan peluru penaburnya, maka sampan itupun tenggelam. Maka lepaslah satu tong ubat bedil
itu dipikul oleh orang sampan itu naik ke darat kepada kubu Teluk Keriting itu. Maka dapatlah
lima kali tembak, maka dengan takdir Allah taala kapal itupun terbakar, meletub berterbangan
geladak kapal itu ke udara dan segala orang-orangnya pun habislah mati diterbangkan oleh ubat
bedil yang meletub itu. Syahadan adalah pada suatu kaul, orangnya ada delapan ratus yang mati
dan ada satu komesarisnya yang mati bersama-sama kapal itu….” (Matheson (Ed.) 1982, 204).
Kutipan Tuhfat al-Nafis di atas berkisah tentang peristiwa heroik ketika pasukan Kerajaan
Riau-Johor di bawah pimpinan Yang Dipertuan Muda IV, Raja Haji, bertempur dengan pasukan
VOC-Belanda dalam Perang Riau I di perairan Tanjungpinang. Ketika perang sedang berkecamuk,
pasukan Raja Haji yang bertahan di kubu Teluk Keriting nyaris kalah karena mereka kehabisan
peluru. Dalam keadaan genting itulah Baginda menunjukkan kualitas cerdas dan cergasnya tanpa
menunjukkan sikap yang panik sedikit pun. Pasukannya pun menjadi nyaman dipimpin oleh
pemimpin hebat seperti itu. Dalam keadaan kalang kabutnya perang itu, Raja Haji memerintahkan
prajuritnya mengantarkan pasokan peluru ke kubunya. Bahkan, perahu pengantar peluru itu pun
dengan laskarnya dihujani tembakan oleh pihak musuh sehingga perahu dan muatannya itu pun
tenggelam.
Untunglah, ada satu tong peluru yang dapat diselamatkan dengan cara dipikul oleh prajurit
Raja Haji. Dengan sisa peluru yang hanya dapat dilakukan lima kali tembakan itulah, Baginda dan
pasukannya menembakkannya ke kapal musuh. Dengan inayah Allah, kapal komando VOC-
Belanda—Malaka’s Walvaren—itu pun meledak berkeping-keping ke udara kena tembakan Raja
Haji dan pasukannya dari kubu Teluk Keriting. Peristiwa 6 Januari 1784 itu, menurut Tuhfat al-
Nafis, menewaskan 800 orang serdadu musuh. Itulah kemenangan gemilang pasukan Kerajaan
Riau-Johor di bawah pimpinan Raja Haji.
Kemenangan besar Raja Haji dan pasukannya itu, sesungguhnya, karena inayah Allah.
Selain itu, kualitas cerdas dan cergas yang dianugerahkan oleh Allah menggenapkan kejayaan
kepemimpinan Baginda, baik pada masa perang maupun damai. Itulah bukti bahwa kualitas cergas
menjadi indikator kejayaan kepemimpinan.
Rasulullah SAW bersabda, ''Allah SWT mencela sikap lemah, tak bersungguh-sungguh,
tetapi kamu harus memiliki sikap cerdas dan cergas. Namun, jika kamu tetap terkalahkan oleh
suatu perkara, maka kamu berucaplah, cukuplah Allah menjadi penolongku dan Allah sebaik-baik
pelindung,'' (H.R. Abu Dawud).
Semuanya sudah terang-benderang. Mustahaknya sifat dan perilaku cergas dalam
memimpin bukanlah berasal dari rujukan yang sebarang. Siapa pun pemimpinnya, unsur budi
pekerti pemimpin itu seyogianya diterapkan secara konsisten dan konsekuen agar bakti
kepemimpinan dikenang orang.***

Anda mungkin juga menyukai