Laporan Kelompok Tutorial Ske 1 Blok THT
Laporan Kelompok Tutorial Ske 1 Blok THT
KELOMPOK 17
TUTOR: dr. Murkati M.Kes.
Adhe Marlin Sanyoto
G0012002
G0012132
G0012230
Helmi Fakhruddin
G0012090
Canda Arditya
G0012046
Silvia Khasnah W
G0012212
Ni Nyoman Widyastuti
G0012148
G0012066
Agustin Febriana
G0012008
G0012068
G0012016
Azalia Virsalina
G0012038
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
TAHUN 2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
SKENARIO
Aduh telingaku berbau busuk!
Seorang buruh bangunan laki-laki usia 25 tahun, datang ke praktek
dokter umum dengan keluhan utama telinga kanan mengeluarkan cairan
kuning, kental dan berbau busuk. Pasien juga mengeluh telinga berdenging
sehingga pendengaran terganggu, disertai kepala pusing. Pasien sejak remaja
sering pilek, disertai hidung tersumbat bergantian kanan dan kiri terutama
jika terpapar debu. Satu tahun yang lalu, telinga kanan keluar cairan encer,
jernih dan ada sedikit darah. Riwayat kambuh-kambuhan terutama jika batuk
dan pilek.
Pada pemeriksaan otoskopi telinga kanan didapatkan: discharge
mukopurulen dan granuloma. Rhinoskopi anterior terdapat: discharge
seromukous, konka hipertrofi, livide. Pemeriksaan pharing didapatkan:
mukosa hiperemi. Selanjutnya, dokter merencanakan pemeriksaan penunjang.
B. Tujuan Pembelajaran
1. Mahasiswa mampu mengtahui anatomi, fisiologi dan histologi sistem
pendengaran.
2. Mahasiswa mengetahui macam-macam pemeriksaan pada hidung, telinga
dan tenggorokan.
3. Mahasiswa mengetahui faktor resiko dan patofisiologi dari Otitis Media
Akut. Gejala, pemeriksaan penunjang, dan penatalaksanaannya.
4. Mahasiswa mengetahui faktor resiko dan patofisiologi dari Otitis Media
Supuratif Kronis. Gejala, pemeriksaan penunjang, dan penatalaksanaannya.
5. Mahasiswa mengetahui faktor resiko dan patofisiologi dari Rhinitis
Allergica. Gejala, pemeriksaan penunjang, dan penatalaksanaannya.
6. Mahasiswa mengetahui bagaimana hubungan antara riwayat penyakit
dahulu dengan penyakit sekarang.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Istilah-Istilah Asing
3
labyrintus osseus. Terdiri dari duktus semi sirkularis, utriculus, sacculus dan
duktus cochlearis. Di dalam labyrintus osseus terdapat cairan yang disebut
perilymphe dan di dalam labyrintus membranaceus terdapat cairan
endolymphe.
Gelombang suara
merupakan getaran udara yang merambat yang terdiri dari area bertekanan
tinggi disebabkan kompresi molekul udara dan area bertekanan rendah yang
disebabkan oleh rarefaction molecule.
5
Kecepatan suara adalah sekita 344 m/s pada suhu 20C di permukaan
air laut. Semakin tinggi suara dan altitudenya, kecepatan rambat suara
makin tinggi (Barrett, 2011).
intensitas dan kualitas. Pitch atau tone ditentukan oleh frekuensi getaran.
Makin besar frekuensinya, makin tinggi pitch-nya. Telinga manusia mampu
mendengar suara dengan frekuensi dari 20 sampai 20.000 Hz. Namun, yang
paling sensitif adalah antara 1.000-4.000 Hz. Suara pria dalam percakapan
normalnya sekitar 120 Hz sedangkan wanita mencapai 250 Hz. Jumlah pitch
yang dapat dibedakan oleh orang normal adalah sekitar 2000, tetapi musisi
yang terlatih dapat lebih dari itu. Suara yang paling mudah dibedakan
nadanya adalah suara dengan frekuensi 1000-3000 Hz. Lebih atau kurang
dari itu akan semakin sulit dibedakan.
Intensitas atau kekerasan tergantung oleh amplitudo gelombang suara
atau perbedaan tekanan antara daerah gelombang bertekanan tinggi akibat
kompresi dan daerah bertekanan rendah akibat rarefaction. Dalam interval
suara yang dapat didengar, makin besar amplitudonya, makin keras suara
tersebut terdengar. Kekerasan atau kebisingan suara diukur dengan satuan
dB (desibel)yang merupakan pengukuran logaritmis dari intensitas
dibandingkan dengan suara teredup yang bisa didengar (ambang
pendengaran).
Suara
dengan
kebisingan
melebihi
100
dB
dapat
secara maksimal pada frekuensi yang berbeda. Ujung sempit dekat oval
window akan bergetar paling baik pada nada berfrekuensi tinggi sedangkan
area yang luas dekat helikotrema paling baik pada nada rendah. Saat
gelombang suara dengan frekuensi tertentu menyebabkan osilasi stapes,
gelombang tersebut akan berjalan ke membran basilar yang memiliki daerah
sensitif
terhadap
frekuensi
tersebut.
Energi
gelombangnya
akan
16
membantu menjaga gradient ion yang sangat besar pada kedua sisi
membrane di antara endolimfe dan perilimfe.
Di dinding lateral duktus cochlearis terdapat stria vaskularis, suatu
epitel unik yang menghasilkan dan memmelihara endolimfe untuk seluruh
lapisan membranosa. Stria vaskularis menutup suatu jaringan kapiler dan
terdiri dari sel yang mempunyai banyak lekukan basal yang dalam pada
membrane plasmanya, di membrane ini terdapat banyak mitokondria.
Cairan dan pompa K+ dari kapiler oleh sel epitel tersebut dilepaskan ke
dalam duktus cochlearis sebagai endolimfe.
Di dinding yang memisahkan duktus cochlearis dari scala tympani
adalah struktur kompleks yang disebut organ spiral (organ corti) yang
memiliki reseptor auditorik khusus dalam bentuk sel rambut yang berespons
terhadap berbagai frequensi udara. Organ spiral berada di lamina basal
membrane basilaris. Sel rambut luar (outer hair cell) terdapat dalam tiga
baris di dekat fenestra ovalis, yang bertambah hingga lima baris di dekat
apeks koklea. Terdapat sebaris sel rambut dalam (inner hair cell) yang
memiliki susunan linear stereosilia pendek, sedangkan OHC masing-masing
memiliki barisan melengkung steereosilia panjang. Tidak terdapat
kinosilium yang dijumpai pada sel rambut koklea, yang memungkinkan
simetrisitas sel yang penting untuk perannya pada tranduksi sensoris.
Ujung stereosilia tertinggi OHC terbenam di dalam membrana
tectorial, suatu lapisan aseluler yang terjulur di atas organ spiral dari
modiolus. Membrana tectoria terdiri atas berkas halus kolagen (tipe II, V, IX
dan XI), proteoglikan terkait dan protein lain serta dibentuk selama periode
embrionik dari sekresi sel yang melapisi region di dekatnya (limbus spiral).
Sel rambut luar dan dalam memiliki ujung saraf aferen dan eferen
dengan IHC yang lebih banyak dipersarafi. Badan sel neuron bipolar berada
di suatu inti tulang modiolus dan membentuk ganglion spirale.
Kedua tipe utama sel penyokong kolumner berhubungan dengan sel
rambut organ spiral tersebut. Sel pilar dibuat kaku oleh berkas keratin dan
membatasi sebuah ruang segitiga berbentuk corong diantara sel rambut luar
18
dan dalam. Sel falang mengelilingi dan menyokong langsung sel rambut
dalam dan luar, yang hampir sepenuhnya menutupi setiap IHC, tetapi hanya
menutupi ujung basal OHC (Mescher, 2011).
2. Apa saja pemeriksaan fisik pada telinga, hidung dan tenggorokan?
Pemeriksaan Telinga, Hidung dan Tenggorokan
a. Pemeriksaan Telinga
Otoskopi
Alat yang digunakan untuk pemeriksaan telinga adalah lampu
kepala, corong telinga, otoskop, pelilit kapas, pengait serumen, pinset
telinga dan garputala.
Mula-mula dilihat keadaan dan bentuk daun telinga, daerah
belakang telinga. Dengan menarik daun telinga ke atas dan ke belakang,
liang telinga menjadi lebih lrus dan akan mempermudah untuk melihat
keadaan liang telinga ddan membran timpani. Pakai otoskop untuk
melihat lebih jelas bagian-bagian membran timpani. Hal-hal yang perlu
diperhatikan ketika memeriksa menggunakan otoskop adalah adakah
serumen, bagaimana konsistensi, warna dan baunya, adakah reaksi
inflamasi di liang telinga, bagaimana kondisi membran timpani, apakah
utuh, bagaimana penampakannya, dsb.
Uji pendengaran dilakukan dengan memakai garputala dan dari
hasil pemeriksaan dapat diketahui jenis ketulian apakah tuli konduktif
atau tuli perspektif. Uji penala yang dapat dilakukan adalah uji Rinne, uji
Weber dan uji Scwabah. (Soepardi, E.A., 2007)
Dari hasil pemeriksaan otoskopi pada skenario didapatkan
discharge mukopurulen dan granuloma. Granuloma dan discharge
mukopurulen menandakan adanya infeksi yang sudah berlangsung lama,
karena granuloma sendiri khas jika terjadi infeksi yan lama pada telinga.
Discharge yang keluar menandakan sudah adanya perforasi pada
membran timpani sebagai jalan keluar discharge. Hal-hal di atas
19
20
Lidah
dipegang
dengan
tangan
kiri
memakai
kain
patofisiologi,
manifestasi
klinis,
pemeriksaan
dan
penatalaksanaan dari Otitis Media Akut? Dan apa saja etiologi serta faktor
resikonya?
Otitis Media Akut (OMA)
Etiologi dan Faktor Resiko
Otitis media akut bisa disebabkan oleh bakteri dan virus. Bakteri yang
paling sering ditemukan adalah Streptococcus pneumaniae, diikuti oleh
Haemophilus influenza, Moraxella catarrhalis, Streptococcus grup A, dan
Staphylococcus aureus. Beberapa mikroorganisme lain yang jarang
ditemukan adalah Mycoplasma pneumaniae, Chlamydia pneumaniae, dan
Clamydia tracomatis.
Broides et al menemukan prevalensi bakteri penyebab OMA adalah
H.influenza 48%, S.pneumoniae 42,9%, M.catarrhalis 4,8%, Streptococcus
grup A 4,3% pada pasien usia dibawah 5 tahun pada tahun 1995-2006 di
Negev, Israil. Sedangkan Titisari menemukan bakteri penyebab OMA pada
pasien yang berobat di RSCM dan RSAB Harapan Kita Jakarta pada bulan
Agustus 2004 Februari 2005 yaitu S.aureus 78,3%, S.pneumoniae 13%,
dan H.influenza 8,7%.
21
syncytial virus. Selain itu bisa disebabkan virus parainfluenza (tipe 1,2, dan
3), influenza A dan B, rinovirus, adenovirus, enterovirus, dan koronavirus.
Penyebab yang jarang yaitu sitomegalovirus dan herpes simpleks. Infeksi
bisa disebabkan oleh virus sendiri atau kombinasi dengan bakteri lain
(Broides, 2009).
Patofisiologi
Otitis media akut terjadi karena terganggunya faktor pertahanan tubuh.
Sumbatan pada tuba
Eustachius,
pada gendang telinga, nyeri telinga yang mengganggu tidur dan aktivitas
normal.
Diagnosis OMA dapat ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan
fisik yang cermat. Gejala yang timbul bervariasi bergantung pada stadium
dan usia pasien. Pada anak anak umumnya keluhan berupa rasa nyeri di
telinga dan demam. Biasanya ada riwayat infeksi saluran pernafasan atas
sebelumnya. Pada remaja atau orang dewasa biasanya selain nyeri terdapat
gangguan pendengaran dan telinga terasa penuh. Pada bayi gejala khas
adalah panas yang tinggi, anak gelisah dan sukar tidur, diare, kejang-kejang
dan sering memegang telinga yang sakit.
Beberapa teknik pemeriksaan dapat digunakan untuk menegakkan
diagnosis OMA, seperti otoskop, otoskop pneumatik, timpanometri, dan
timpanosintesis.Dengan otoskop dapat dilihat adanya gendang telinga yang
menggembung, perubahan warna gendang telinga menjadi kemerahan atau
agak kuning dan suram, serta cairan di liang telinga.
Jika konfirmasi diperlukan, umumnya dilakukan dengan otoskopi
pneumatik. Gerakan gendang telinga yang berkurang atau tidak ada sama
sekali dapat dilihat dengan pemeriksaan ini. Pemeriksaan ini meningkatkan
sensitivitas diagnosis OMA. Namun umumnya diagnosis OMA dapat
ditegakkan dengan otoskop biasa.
Untuk mengkonfirmasi penemuan otoskopi pneumatik dilakukan
timpanometri. Timpanometri dapat memeriksa secara objektif mobilitas
membran timpani dan rantai tulang pendengaran. Timpanometri merupakan
konfirmasi penting terdapatnya cairan di telinga tengah. Timpanometri juga
dapat mengukur tekanan telinga tengah dan dengan mudah menilai patensi
tabung miringotomi dengan mengukur peningkatan volume liang telinga
luar. Timpanometri punya sensitivitas dan spesifisitas 70-90% untuk deteksi
cairan telinga tengah, tetapi tergantung kerjasama pasien.
Timpanosintesis, diikuti aspirasi dan kultur cairan dari telinga tengah,
bermanfaat pada anak yang gagal diterapi dengan berbagai antibiotika, atau
pada imunodefisiensi. Timpanosintesis merupakan standar emas untuk
24
25
Abses Otak
j.
patofisiologi,
manifestasi
klinis,
pemeriksaan
dan
penatalaksanaan dari Otitis Media Supuratif Kronis? Dan apa saja etiologi
serta faktor resikonya?
terkadang dapat terlihat lewat perforasi membrana timpani, serta fiksasi atau
terputusnya rangkaian osikula akibat infeksi terdahulu. Bila gangguan
pendengaran dan cacat cukup berat, dapat dipertimbangkan koreksi bedah
atau timpanoplasti.
Pada OMSK benigna, peradangan terbatas pada mukosa saja, tidak
mengenai
tulang.Perforasi
terletak
di
sentral.Jarang
menimbulkan
tidak mengenai
di
bulan,
maka
idealnya
dilakukan
miringoplasti
atau
mungkin
juga
perlu
melakukan
pembedahan,
misalnya
konservatif
dengan
medikamentosa
hanyalah
b. Komplikasi Ekstratemporal.
i. Abses subperiosteal.
c. Komplikasi Intrakranial.
i. Abses otak.
ii. Tromboflebitis.
iii. Hidrocephalus otikus.
iv. Empiema subdural/ ekstradural
5. Bagaimana
patofisiologi,
manifestasi
klinis,
pemeriksaan
dan
penatalaksanaan dari Rhinitis Allergica? Dan apa saja etiologi serta faktor
resikonya?
Rhinitis Allergica (RA)
Rhinitis alergi adalah inflamasi di dalam cavum nasi yang disebabkan
oleh alergen, seperti debu, serbuk sari bunga, dan alergen lainnya.
Patofisiologi
Rhinits alergi ini disebabkan reaksi imunologis tubuh yang berusaha
melawan alergen yang terhirup ke dalam cavum nasi. Ketika sistem imun
tubuh mengenali alergen dan menimbulkan reaksi oversensitifitas maka
sistem imun akan menghasilkan antibodi untuk melawan alergen tersebut.
Antibodi adalah protein yang khusus dikeluarkan oleh cel dan beredar di
darah untuk melawan firus dan infeksi. Reaksi alergi tidak akan muncul
pada paparan pertama alergen, terdapat tahap pengenalan sensitasi terlebih
dahulu. Setelah tubuh meningkatkan sensitifitas terhadapa alergen tersebut,
setiap tubuh terpapar alergen maka sel-sel tubuh pada bagian yang
bersangkutan akan mengeluarkan zat-zat kima berupa Histamin yang
nantinya kan menimbulkan rekasi alergi.
Rhinitis dan macam-macamnya:
A. Rhinitis Akut (Common Cold) merupakan peradangan membran
mukosa hidung dan sinus-sinus aksesoria yang disebabkan oleh virus atau
bakteri.
33
Gejala
a. Primer
i. Inflamasi membran mukosa hidung - nantinya kan menghalangi
jalan udara
ii. Produksi sekret mukus disebabkan karena terdapat inflamasi dan
menyebabkan bersin-bersin dan keluarnya sekret
iii. Hidung gatal
iv. Kesulitan dalam membau
v. Mata berair
b. Sekunder
i. Batuk
ii.
Sakit tenggorokan
iii.
Kelelahan
iv.
Sakit kepala
Pemeriksaan
b. Medikamentosa :
i. Antihistamin
ii. Kortikosteroid
iii. Decongestan
c. Suntik alergi (imunoterapi)
Perforasi Membran Timpani
Bentuk perforasi membran timpani antara lain:
A. Perforasi Sentral
Lokasi pada pars tensa, bisa antero-inferior, postero-inferior, dan postero-inferior,
kadang-kadang sub total.
B. Perforasi Marginal
Terjadi pada pinggir membran timpani, ditandai dengan adanya erosi dari annulus
fibrosus. Perforasi marginal yang sangat luas digambarkan sebagai perforasi total.
Perforasi pada pinggir postero-superior berhubungan dengan kolesteatom.
C. Perforasi Atik
Terjadi pada pars flasida, berhubungan dengan primary acquired cholesteatoma
sensitisasi,
36
IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit
B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi
imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan
diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator)
sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang
menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah
tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan
mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel)
mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah
terbentuk (Performed Mediators) terutama histamine. (Irawati, Kasakayan,
Rusmono, 2008)
Secara
garis
besar,
pengeluaran
histamine
oleh
tubuh
akan
besar menderita otitis media. Akan tetapi, karena mungkin pasien tidak
melakukan pengobatan atau pengobatan setahun yang lalu tidak adekuat,
telinga tengah pasien tetap mengeluarkan cairan, ditambah daya tahan tubuh
pasien yang lemah dikarenakan pasien mempunyai alergi terhadap debu dan
terpajan setiap hari. Karena penyakit yang dideritanya sudah mencapai
kronis, maka keadaan sekret yang keluar pun berbeda dibandingkan setahun
yang lalu, yakni kuning, kental dan berbau busuk. (Balqis, 2013)
d. Telinga berdengung dan kepala pusing.
Gejala yang dirasakan pasien adalah tinnitus. Pada tinitus terjadi
aktivitas elektrik pada area auditorius yang menimbulkan perasaan adanya
bunyi, namun impuls yang ada bukan berasal dari bunyi eksternal yang
ditransfor-masikan, melainkan berasal dari sumber impuls abnormal di
dalam tubuh pasien sendiri. Impuls abnormal itu dapat ditimbulkan oleh
berbagai kelainan telinga. Tinitus dapat terjadi dalam berbagai intensitas.
Tinitus dengan nada rendah, seperti bergemuruh atau nada tinggi, seperti
berdengung. Tinitus dapat terus menerus atau hilang timbul terdengar.
Tinitus biasanya dihubungkan dengan tuli sensorineural dan dapat juga
terjadi karena gangguan konduksi. Tinitus yang disebabkan oleh gangguan
konduksi, biasanya berupa .bunyi dengan nada rendah. Jika disertai dengan
inflamasi, bunyi dengung ini terasa ber-denyut (tinitus pulsasi).Tinitus
dengan nada rendah dan terdapat gangguan konduksi, biasanya terjadi pada
38
sum-batan liang telinga karena serumen atau tumor, tuba katar, otitis media,
otosklerosis dan Iain-lain. (Djaafar, 2012)
8. Apakah pengertian dan penyebab tinnitus? Bagaimana patofisiologi,
pemeriksaan dan penatalaksanaannya?
Tinnitus
Tinnitus adalah keadaan dimana terdengar suara di telinga atau di
kepala tanpa adanya stimulus akustik. Suara yang terdengar dapat berupa
nada murni atau nada multiple dan dapat pula berupa nada tinggi, nada
rendah, berdenging, bergemuruh, bunyi klik, bunyi mendesis, kasar,
berdenyut, atau menetap.
Tinnitus merupakan hasil aktifitas abnormal di perjalanan saraf yang
diterima sebagai sensasi suara dalam pendengaran. Hal ini merupakan suatu
sistem yang kompleks dan bukan merupakan suatu penyakit. Secara
epidemiologi sekitar 10% penduduk pernah mengalami tinnitus, 1%
mengalami tinnitus berat. Kebanyakan pasien berusia 50-71 tahun.
Penyebab tinnitus
Penyebab umum:
a. Kotoran telinga berlebihan
b. Infeksi telinga
c. Cedera kepala
d. Penyakit kardiovaskuler
e. Penyakit Meniere
f. Degenerasi ossiculae auditivae
g. Paparan bising
Penyebab lain:
a. Idiopatik
b. Hearing loss
c. Presbyacusis
d. Neuroma akustik
e. Obat-obatan
39
40
41
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Hasil anamnesis pada pasien di skenario didapatkan keterangan adanya
infeksi pada telinga pasien. Dari riwayat penyakit dahulu pasien yang sering pilek
saat remaja, apalagi jika terpapar debu dicurigai adanya riwayat alergi yang cukup
lama. Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior ditemukan adanya discharge
seromukous, konka hipertrofi dan livide, dan yang terakhir ini merupakan tanda
khas pada kejadian rhinitis allergica. Dan pada pemeriksaan otoskopi, telinga
kanan didapatkan adanya discharge mukopurulen, dan granuloma. Granuloma itu
sendiri merupakan tanda bahwa telah terjadi rekasi radang yang kronis yang
ditemukan biasanya pada otitis media supuratif kronis (OMSK). OMSK sendiri
dapat terjadi jika telah terjadi otitis media akut (OMA) terlebih dahulu. Jika
dilihat dari riwayat penyakit dahulu pasien, rhinitis kronis dapat menyebabkan
gangguan pada tuba eustachii yang akhirnya menyebabkan oklusi dari tuba
eustachii. Oklusi tersebut menimbulkan tekanan negatif pada telinga tengah yang
42
Saran
Dalam diskusi tutorial ini, mahasiswa sudah cukup aktif. Namun masih
kurang dalam penelusuran literature yang valid.
Tutor sudah baik dalam menjaga situasi diskusi dan juga mengarahkan
mahasiswa. Sehingga tujuan pembelajaran yang ada dapat tercapai.
43
DAFTAR PUSTAKA
Adams GL, Boies LR, Higler PA. Penyakit Telinga Tengah dan Mastoid. Boies,
Buku Ajar Penyakit THT Ed. 6. Jakarta:EGC;88-119
Balqis, Nora. 2011. Gambaran otitis media supuratif kronik di RSUP. H.Adam
Malik tahun 2008. http://www.repository.usu.ac.id (Diakses tanggal 28
Agustus 2013)
Barrett, E., dkk. 2011. Ganongs Review of Medical Physiology: Hearing &
Equilibrium 23rd Ed. Singapore: Mc Graw Hill. p.203-13.
Broides, A., dkk. Acute otitis media caused by Moraxella catarrhalis:
Epidemiologic and Clinical Characteristic. Clinical Infectious Diseases
2009;49:16417.
Djaafar, Z.A., Helmi Restuti R.D. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, Edisi Keenam. Jakarta: FKUI
44
Djaafar, Z.A.. 2003. Otittis Media Supuratif Kronik, dalam Soepardi, S.A., dkk,
(ed), Penatalaksanaan Penyakit dan Kelainan Telinga Hidung Tenggorok,
Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FK UI
Helmi. 2002. Komplikasi Otitis Media Supuratif Kronis dan Mastoiditis, dalam
Soepardi, E.A., dkk, (ed), Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher, Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FK UI
Henochowicz, S. I. 2012. Allergic rhinitis.
http://www.nlm.nih.gov/medlinepl
us/ency/article/000813.htm. (Diakses tanggal
3 September 2013)
Medicinesia. 2012. Fisiologi Pendengaran.
http://www.medicinesia.com/kedokteran-dasar/penginderaan-kedokterandasar/fisiologi-pendengaran/. (Diakses tanggal 1 September 2013)
Mescher, Anthony L. 2011. Histologi Dasar Junquiera: Teks & Atlas. Jakarta :
EGC. Page: 415-429.
Sherwood, L. 2010. Human Physiology: The Periferal Nervous System: Afferent
Division; Spesial Sense 7th Ed. Philadelphia: Brooks/Cole Engange
Learning. p. 213-23.
Suardana, W. 2000. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (PKB) ke-II, Rhinitis
Alergika Secara Komprehensif. Denpasar:
Syartika, Lisa. 2013. Tinnitus. Dalam Clinic Corner SMF THT Santosa Bandung
International Hospital (SBIH).
Yanick, P. 1995. Natural Relief from Tinnitus. United States: Good Health Guide.
p.25.
45