Anda di halaman 1dari 45

LAPORAN TUTORIAL

BLOK THT SKENARIO 1

KELOMPOK 17
TUTOR: dr. Murkati M.Kes.
Adhe Marlin Sanyoto

G0012002

Michael Asby Wijaya

G0012132

Wiryana I Gst Ngr. Agung

G0012230

Helmi Fakhruddin

G0012090

Canda Arditya

G0012046

Silvia Khasnah W

G0012212

Ni Nyoman Widyastuti

G0012148

Ellena Rachma Kusuma

G0012066

Agustin Febriana

G0012008

Elvia Rahmi Marga Putri

G0012068

Anggraini Lalang Buana

G0012016

Azalia Virsalina

G0012038

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
TAHUN 2014
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
1

SKENARIO
Aduh telingaku berbau busuk!
Seorang buruh bangunan laki-laki usia 25 tahun, datang ke praktek
dokter umum dengan keluhan utama telinga kanan mengeluarkan cairan
kuning, kental dan berbau busuk. Pasien juga mengeluh telinga berdenging
sehingga pendengaran terganggu, disertai kepala pusing. Pasien sejak remaja
sering pilek, disertai hidung tersumbat bergantian kanan dan kiri terutama
jika terpapar debu. Satu tahun yang lalu, telinga kanan keluar cairan encer,
jernih dan ada sedikit darah. Riwayat kambuh-kambuhan terutama jika batuk
dan pilek.
Pada pemeriksaan otoskopi telinga kanan didapatkan: discharge
mukopurulen dan granuloma. Rhinoskopi anterior terdapat: discharge
seromukous, konka hipertrofi, livide. Pemeriksaan pharing didapatkan:
mukosa hiperemi. Selanjutnya, dokter merencanakan pemeriksaan penunjang.

B. Tujuan Pembelajaran
1. Mahasiswa mampu mengtahui anatomi, fisiologi dan histologi sistem
pendengaran.
2. Mahasiswa mengetahui macam-macam pemeriksaan pada hidung, telinga
dan tenggorokan.
3. Mahasiswa mengetahui faktor resiko dan patofisiologi dari Otitis Media
Akut. Gejala, pemeriksaan penunjang, dan penatalaksanaannya.
4. Mahasiswa mengetahui faktor resiko dan patofisiologi dari Otitis Media
Supuratif Kronis. Gejala, pemeriksaan penunjang, dan penatalaksanaannya.
5. Mahasiswa mengetahui faktor resiko dan patofisiologi dari Rhinitis
Allergica. Gejala, pemeriksaan penunjang, dan penatalaksanaannya.
6. Mahasiswa mengetahui bagaimana hubungan antara riwayat penyakit
dahulu dengan penyakit sekarang.

7. Mahasiswa mengetahui patofisiologi gejala-gejala yang timbul pada


skenario.
8. Mahasiswa mengetahui pengertian tinnitus, penyebab, pemeriksaan dan
penatalaksanaannya.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Istilah-Istilah Asing
3

Otoskopi; rhinoskopi anterior; discharge mukopurulen; granuloma;


discharge seromukous; konka hipertrofi; livide;hiperemi
B. Identifikasi Masalah dan Pembahasan
1. Bagaimana anatomi, fisiologi dan histologi sistem pendengaran?
Anatomi Sistem Pendengaran
Organon auditus terdiri dari tiga bagian, yaitu: auris eksterna, auris
media, dan auris interna. Auris eksterna terdiri dari auriculae dan meatus
acusticus eksternus. Auris media terdiri dari membrana tympanica, cavum
tympani, ossiculae auditivae, musculi ossiculae auditivae dan tuba auditiva
eustachii
Sementara auris media terdiridari labyrintus membranaceus dan
labyrintus osseus.
Membrana tympanica terdiri dari dua pars, yaitu: pars tensa dan pars
flaccida. Pars tensa terdiri dari tiga lapisan, yaitu: stratum cutaneum, lamina
propria dan stratum mukosum. Sementara pars flaccida hanya terdiri dari
dua lapisan saja, yaitu: pars cutaneum dan pars mukosum. Di tengah-tengah
membrane

tympanica terdapat penonjolan akibat pendesakan dari

manubrium mallei yang disebut umbo. Dari umbo, membrane tympanica


dapat dibagi menjadi empat kuadran yaitu kuadran anterior superior,
anterior inferior, posterior superior dan posterior inferior. Pada kuadran
anterior inferior terdapat daerah yang memantulkan cahaya bila disinari
yang disebut cone of light.
Ossiculae auditivae terdiri dari os malleus, os incus dan os stapes.
Ossiculae tersebut berfungsi untuk menghantarkan getaran dari membrane
tympanica ke auris interna. Pada os malleus dilekati oleh m. tensor
tympanica dan pada os stapes dilekati oleh m. stapedius. Kedua musculi
tersebut berfungsi untuk meredam getaran os malleus maupun os stapes.
Labyrintus osseus adalah kumpulan organ berdinding tulang pada
auris interna. Terdiri dari vestibulum, kanalis semi sirkularis dan cochlea.
Labyrintus membranaceus berupa membrane yang berada di dalam
4

labyrintus osseus. Terdiri dari duktus semi sirkularis, utriculus, sacculus dan
duktus cochlearis. Di dalam labyrintus osseus terdapat cairan yang disebut
perilymphe dan di dalam labyrintus membranaceus terdapat cairan
endolymphe.

Fisiologi Sitem Pendengaran


Telinga secara anatomis terbagi menjadi tiga bagian yaitu telinga luar,
tengah dan dalam. Telinga luar dan tengah berperan dalam transmisi suara
melalui udara menuju telinga bagian dalam yang terisi cairan. Pada telinga
dalam ini, terjadi amplifikasi energi suara. Di sana juga terdapat dua macam
sistem sensoris yaitu koklea yang mengkonversikan gelombang suara
menjadi impuls saraf dan vestibular apparatus yang berguna untuk
keseimbangan (Sherwood, 2010).
Pendengaran merupakan persepsi saraf terhadap suara yang terdiri dari
aspek identifikasi suara dan lokalisasinya. Suara merupakan sensasi yang
dihasilkan saat getaran longitudinal molekul lingkungan luar yang
menghantam membran timpani (Barrett, 2011).

Gelombang suara

merupakan getaran udara yang merambat yang terdiri dari area bertekanan
tinggi disebabkan kompresi molekul udara dan area bertekanan rendah yang
disebabkan oleh rarefaction molecule.
5

Kecepatan suara adalah sekita 344 m/s pada suhu 20C di permukaan
air laut. Semakin tinggi suara dan altitudenya, kecepatan rambat suara
makin tinggi (Barrett, 2011).

Suara dikarakteristikan berdasarkan tone,

intensitas dan kualitas. Pitch atau tone ditentukan oleh frekuensi getaran.
Makin besar frekuensinya, makin tinggi pitch-nya. Telinga manusia mampu
mendengar suara dengan frekuensi dari 20 sampai 20.000 Hz. Namun, yang
paling sensitif adalah antara 1.000-4.000 Hz. Suara pria dalam percakapan
normalnya sekitar 120 Hz sedangkan wanita mencapai 250 Hz. Jumlah pitch
yang dapat dibedakan oleh orang normal adalah sekitar 2000, tetapi musisi
yang terlatih dapat lebih dari itu. Suara yang paling mudah dibedakan
nadanya adalah suara dengan frekuensi 1000-3000 Hz. Lebih atau kurang
dari itu akan semakin sulit dibedakan.
Intensitas atau kekerasan tergantung oleh amplitudo gelombang suara
atau perbedaan tekanan antara daerah gelombang bertekanan tinggi akibat
kompresi dan daerah bertekanan rendah akibat rarefaction. Dalam interval
suara yang dapat didengar, makin besar amplitudonya, makin keras suara
tersebut terdengar. Kekerasan atau kebisingan suara diukur dengan satuan
dB (desibel)yang merupakan pengukuran logaritmis dari intensitas
dibandingkan dengan suara teredup yang bisa didengar (ambang
pendengaran).

Suara

dengan

kebisingan

melebihi

100

dB

dapat

menyebabkan kerusakan permanen pada koklea (Barrett, 2011).


Suara dengan range 120 sampai 160 dB seperti alarm kebakaran
maupun pesawat jet diklasifikasikan sebagai suara yang menyakitkan; 90110 dB (subway, bass drum, gergaji mesin) diklasifikasikan sebagai suara
yang ekstrem tinggi; 60-80dB (alarm jam, lalu lintas yang bising,
percakapan) diklasifikasikan sebagai sangat keras; 40-50 dB (hujan, bising
ruangan normal) moderate, dan 30 dB (bisikan, perpustakaan) sebagai
redup. (Yarnick, 1995).
Timbre atau kualitas suara tergantung pada overtone yang merupakan
frekuensi tambahan yang menumpuk pada pitch atau tone dasar. Misalnya
adalah nada C pada terompet akan terdengar berbeda dengan piano.
6

Overtone inilah yang dapat menyembabkan suara dapat memiliki


karakteristik yang berbeda-beda.
1. Telinga Luar
Telinga luar terdiri dari pinna/auris (daun telinga) dan meatus
akustikus eksterna. Pinna adalah struktur menonjol yang merupakan
kartilago terbalut kulit. Fungsi utamanya adalah mengumpulkan dan
menghubungkan suara menuju meatus akustikus eksterna. Karena
bentuknya, pinna secara parsial membatasi suara yang berasal dari belakang
sehingga timbrenya akan berbeda. Dengan begitu, kita dapat membedakan
apakah suaranya berasal dari depan atau belakang.
Lokalisasi suara yang berasal dari kanan atau kiri ditentukan oleh dua
hal. Pertama adalah gelombang suara mencapai telinga yang lebih dekat
terlebih dahulu sebelum sampai ke telinga yang lebih jauh. Kedua adalah
saat mencapai telinga yang lebih jauh, intensitas suaranya akan lebih kecil
dibandingkan telinga yang lebih dekat. Selanjutnya, korteks auditori
mengintegrasikan kedua hal tersebut untuk menentukan lokalisasi sumber
suara. Oleh karena itu, lokalisasi suara akan lebih sulit dilakukan jika hanya
menggunakan satu telinga.
Jalur masuk pada telinga luar dilindungi oleh rambut halus. Kulit yang
membatasi kanal tersebut berisi kelenjar keringat termodifikasi yang
menghasilkan serumen (earwax), yang akan menangkap partikel-partikel
asing yang halus (Sherwood, 2010).
2. Telinga Tengah
Telinga tengah mengirimkan pergerakan vibratori dari membran
timpani menuju cairan pada telinga dalam. Ada tiga tulang ossicle yang
membantu proses ini yaitu malleus, incus dan stapes yang meluas dari
telinga tengah. Malleus menempel pada membran timpani sedangkan stapes
menempel pada oval window yang merupakan gerbang menuju koklea yang
berisi cairan.
3. Membran timpangi (gendang telinga)
7

Membran timpani berada pada perbatasan telinga luar dan tengah.


Area tekanan tinggi da rendah pada gelombang suara akan menyebabkan
membran timpani bergetar ke dalam dan ke luar.
Supaya membran tersebut dapat secara bebas bergerak kedua arah,
tekanan udara istirahat pada kedua sisi membran timpani harus sama.
Membran sebelah luar terkekspos pada tekanan atmosfer yang melewati
meatus akustikus eksterna sedangkan bagian dalam menghadapi tekanan
atmosfer dari tuba eustachius yang menghubungkan telinga tengah ke
faring. Secara normal, tuba ini tertutup tetapi dapat dibuka dengan gerakan
menguap, mengunyah dan menelan.
Pada perubahan tekanan eksternal yang cukup signifikan seperti
saat dalam pesawat, membran timpani menonjol dan menimbulkan rasa
nyeri ketika tekanan luar telinga berubah sementara bagian dalam tidak
berubah. Pembukaan tuba eustachius dengan menguap dapat membantu
untuk menyamakan tekanan tersebut (Sherwood, 2010).
Saat membran timpani bergetar, tulang-tulang tersebut bergerak
dengan frekuensi yang sama , mentransmisikan frekuensi tersebut dari
menuju oval window. Selanjutnya, tiap-tiap getaran menghasilkan
pergerakan seperti gelombang pada cairan di telinga dalam dengan frekuensi
yang sama dengan gelombang suara aslinya.
Sistem osikular mengamplifikasikan tekanan dari gelombang suara
pada udara dengan dua mekanisme untuk menghasilkan getaran cairan pada
koklea. Pertama adalah karena permukaan area dari membran timpani lebih
besar dari oval window, tekanan ditingkatkan ketika gaya yang
mempengaruhi membran timpani disampaikan oleh ossicle ke oval window
(tekanan=gaya/area). Kedua adalah kerja dari ossicle memberikan
keuntungan mekanis lainya. Kedua hal tersebut meningkatkan gaya pada
oval window sampai 20 kali. Tambahan tekanan tersebut penting untuk
menghasilkan pergerakan cairan pada koklea.
Beberapa otot tipis di telinga tengah dapat berkontraksi secara refleks
terhadap suara keras (70 dB) menyebabkan membran timpani menebal dan
8

menyebabkan pembatasan gerakan pada rangkaian ossicle. Pengurangan


pergerakan pada struktur telinga tengah akan mengurangi transmisi dari
suara yang keras tersebut ke telinga dalam guna melindungi bagian sensoris
dari kerusakan. Refleks tersebut berlangsung relatif lambat, terjadi
setidaknya sekitar 40 msec sesudah pajanan terhadap suara keras. Oleh
karena itu, hanya bisa melindungi dari suara yang berkepanjangan, bukan
suara yang sangat tiba-tiba seperti ledakan (Sherwood, 2010).
4. Koklea
Koklea adalah sebuah struktur yang menyerupai siput yang
merupakan bagian dari telinga dalam yang merupakan sistem tubular
bergurung yang berada di dalam tulang temporalis. Berdasarkan
panjangnya, komponen fungsional koklea dibagi menjadi tiga kompartemen
longitudinal yang berisi cairan. Duktus koklear yang ujungnya tidak terlihat
dikenal sebagai skala media, yang merupakan kompartemen tengah. Bagian
yang lebih di atasnya adalah skala vestibuli yang mengikuti kontur dalam
spiral dan skala timpani yang merupakan kompartemen paling bawah yang
mengikuti kontur luar dari spiral.
Cairan di dalam skala timpani dan skala vestibuli disebut perilimfe.
Sementara itu, duktus koklear berisi cairan yang sedikit berbeda yaitu
endolimfe. Bagian ujung dari duktus koklearis di mana cairan dari
kompartemen atas dan bawah bergabung disebut dengan helikotrema. Skala
vestibuli terkunci dari telinga tengah oleh oval window, tempat stapes
menempel. Sementara itu, skala timpani dikunci dari telinga tengah dengan
bukaan kecil berselaput yang disebut round window. Membran vestibular
tipis membentuk langit-langit duktus koklear dan memisahkannya dari skala
vestibuli. Membran basilaris

membentuk dasar duktus koklear yang

memisahkannya dengan skala timpani. Membran basilar ini sangat penting


karena di dalamnya terdapat organ korti yang merupakan organ perasa
pendengaran (Sherwood, 2010).

1) Aliran gelombang getaran melewati skala vestibuli dan skala


timpani yang berguna untuk meredam tekanan (bukan persepsi suara).
2)Aliran gelombang yang berkaitan dengan persepsi suara akan melewati
shorcut menembus membran vestibularis lalu mencapai membran basilaris
yang di dalamnya terdapat organ korti sebagai reseptor stimulus suara
5. Sel Korti dan Sel Rambut
Dalam organ korti pada satu koklea terdapat sekitar 15.000 sel rambut
yang menjadi reseptor suara. Sel-sel tersebut tersusun dalam baris paralel
empat. Satu baris berupa sel rambut dalam dan tiga lainnya merupakan sel
rambut dalam. Pada masing-masing sel rambut akan ada penonjolan sekitar
100 rambut yang dikenal sebagai stereosilia (mikrovili yang diperkuat
dengan aktin).
Sel-sel rambut ini merupakan mekanoreseptor yang menghasilkan
sinyal neural ketiga permukaan rambutnya mengalami deformasi secara
mekanis berkaitan dengan pergerakan cairan di telinga dalam. Stereosilia ini
berkontak dengan membran tektorial, struktur mirip tenda yang menjalar
pada seluruh panjang organ korti.
Kerja mirip piston yang dilakukan stapes melawan oval window
menghasilkan gelombang tekanan pada kompartemen atas. Karena cairan
tidak dapat dikompresi, tekanan dihamburkan dalam dua arah ketika stapes
10

menyebabkan oval window menggembung ke belakang yaitu dengan


pergeseran round window dan defleksi membran basilar.
Gelombang tekanan tersebut akan menekan perilimfe ke depan pada
kompartemen atas, kemudian ke helikotrema dan ke kompartemen bawah.
Selanjutnya, hal tersebut menyebabkan round window menggembung ke
arah luar (ke arah telinga tengah) untuk mengkompensasi peningkatan
tekanan. Ketika stapes bergerak ke arah belakang dan menarik oval window
ke arah telinga tengah, perilimfe akan bergeser ke arah berlawanan,
menggantikan area yang tadinya diisi round window. Jalur ini tidak
menghasilkan persepsi suara, hanya mengurangi tekanan saja.
Gelombang tekanan yang berkaitan dengan persepsi suara akan
menggunakan jalur pintas. Gelombang tekanan pada kompartemen atas
ditransfer melalui membran vestibular yang tipis ke duktus koklear dan
melalui membran basilar ke kompartemen bawah. Hal tersebut selanjutnya
akan memfasilitasi round window untuk menggembung ke arah luar dan
dalam. Perbedaan utama pada jalur ini adalah transmisi gelombang tekanan
melalui membran basilar menyebabkan membran tersebut bergerak ke atas
dan ke bawah atau bergetar yang sinkron dengan gelombang tekanan.
Akibatnya sel rambut pada organ korti yang ada di sana juga ikut bergerak.
Sel rambut yang berfungsi untuk mendengar adalah sel rambut dalam.
Sel tersebut mentransformasikan gaya mekanis suara menjadi impuls
elektris pendengaran. Stereosilia pada sel reseptor tersebut berkontak
dengan membran tektorial yang kaku sehingga sel tersebut akan membelok
kembali (bolak-balik), saat membran basilar yang berosilasi menggeser
posisinya.
Gerakan bolak-balik tersebut akan menyebabkan pembukaan dan
penutupan kanal kation secara mekanis pada sel rambut menghasilkan
depolarisasi atau hiperpolarisasi sesuai dengan frekuensi suara penstimulus.
Stereosilia pada masing-masing sel rambut tersusun ke dalam baris-baris
yang berurutan sesuai dengan tinggi (seperti tangga). Tip links, yang
merupakan CAMs (cell adhesion molecules), menghubungkan ujung
11

stereosilia dalam barisan tersebut. Saat membran basilar bergerak ke atas,


bundle stereosilia membengkok ke arah membran yang paling tinggi,
meregangkan tip links tersebut. Peregangan tersebut akan membuka kanal
kation.
K+ lebih banyak ditemukan di endolimfe daripada yang ditemukan di
dalam sel. Beberapa kanal kation memang sudah terbuka dalam keadaan
istirahat yang memungkinkan K+ mengalir. Semakin banyak kanal yang
terbuka, lebih banyak K+ yang memasuki sel rambut. Tambahan K+ ini
akan mendepolarisasi sel rambut. Sebaliknya, saat membran basilaris turun,
terjadilah hiperpolarisasi karena makin banyak K+ yang tidak bisa masuk
sel (Sherwood, 2010).
Sel rambut tidak menghasilkan potensial aksi melainkan akan
bersinaps secara kimia dengan ujung serat saraf afferen nervus koklearis.
Kadar K+ yang rendah menyebabkan sel rambut dalam mengeluarkan
secara spontan neurotransmiter melalui eksositosis yang diinduksi oleh
Ca2+ dalam kondisi tidak ada stimulasi. Depolarisasi akan menyebabkan
pembukaan kanal bergerbang listrik Ca2+. Akibatnya terjadilah peningkatan
kecepatan pengeluaran neurotransmitter. Pada hiperpolarisasi, terjadi hal
yang sebaliknya.1 Potensial membran istirahat sel rambut adalah sekitar -60
mV. Saat stereosilia terdorong ke arah kinosilia, potensial membran dapat
berkurang menjadi -50 mV (Barrett, 2011).
Sementara itu, sel rambut luar menjalankan fungsi elektromotili. Sel
tersebut secara aktif dan sering mengubah panjangnya sebagai respon
terhadap perubahan potensial membran. Sel akan memendek saat
depolarisasi dan memanjang saat hiperpolarisasi. Perubahan tersebut akan
mengamplifikasi pergerakan dari membran basilaris. Oleh karena itu, sel
rambut luar akan membantu reseptor sensori supaya lebih sensitif terhadap
intensitas suara dan diskriminasi bermacam pitch suara (Sherwood, 2010).
6. Diskriminasi Pitch, Timbre dan Kebisingan (Loudness)
Diskriminasi pitch atau nada tergantung pada bentuk dari membran
basilaris. Daerah yang berbeda dari membran basilaris secara alami bergetar
12

secara maksimal pada frekuensi yang berbeda. Ujung sempit dekat oval
window akan bergetar paling baik pada nada berfrekuensi tinggi sedangkan
area yang luas dekat helikotrema paling baik pada nada rendah. Saat
gelombang suara dengan frekuensi tertentu menyebabkan osilasi stapes,
gelombang tersebut akan berjalan ke membran basilar yang memiliki daerah
sensitif

terhadap

frekuensi

tersebut.

Energi

gelombangnya

akan

dihamburkan dengan adanya osilasi membran ini sehingga berakhir pada


area maksimal tadi. Adanya overtone pada bermacam frekuensi akan
menyebabkan membran basilaris bergetar secara simultan tetapi kurang
intens dibandingkan nada dasarnya sehingga sistem saraf pusat dapat
membedakan timbre suara.
Sementara itu, diskriminasi kebisingan atau kenyaringan tergantung
dari amplitudonya. Gelombang suara yang berasal dari sumber yang lebih
keras akan menghantam gendang telinga (membran timpani) sehingga
bergetar dengan lebih bertenaga meskipun frekuensinya tetap sama. Osilasi
pada membran basilaris yang lebih besar akan diinterpretasikan sebagai
suara yang lebih keras oleh sistem saraf pusat (Sherwood, 2010).
7. Korteks Auditori
Sebagaimana area pada membran basilaris yang berasosiasi dengan
nada tertentu, korteks auditori primer pada lobus temporalis juga tersusun
secara tonotopically. Masing-masing area pada membran basilaris tersebut
terkait pada area spesifik pada korteks auditori primer (satu nada, satu
neuron kortikal teraktivasi).
Saraf afferen yang mengambil sinyal auditori dari sel rambut dalam
akan keluar dari koklea melalui nervus auditori. Ada beberapa sinaps yang
terjadi terutama pada batang otak dan nukleus geniculatum medial
thalamus.Batang otak menggunakan input auditori untuk kewaspadaan dan
bangun. Pada batang otak, jaras saraf auditori ini akan menuju baik sisi
ipsilateral maupun kontralateralnya sehingga kedua lobus temporal akan
mendapatkan impuls. Oleh karena itu, gangguan pada jaras di atas batang
otak pada satu sisi tidak akan mengganggu pendengaran.
13

Korteks auditori primer juga dapat menerima bermacam suara yang


berbeda sedangkan korteks auditori yang lebih tinggi mengintegrasikan
suara yang berbeda tersebut menjadi koheren sebagai pola yang berarti.
Dengan begitu, kita dapat membedakan suara-suara terpisah yang masuk ke
telinga dan memilih mana suara yang memang penting untuk didengarkan
(Sherwood, 2010).
Area auditori ternyata memiliki spesialisasi hemisfer. Pada area
Brodman 22 diperkirakan merupakan tempat pemprosesan sinyal auditori
yang berhubungan dengan pembicaraan. Dalam proses bahasa, bagian kiri
lebih aktif daripada sisi kanan. Area 22 sebelah kanan lebih kepada melodi,
nada dan intensitas suara.
Jalur auditori bersifat sangat plastis yang sangat dimodifikasi oleh
pengalaman. Pada orang yang mengalami tuli sebelum kemampuan
berbahasanya berkembang, ternyata dengan melihat tanda-tanda bahasa juga
akan mengaktivasi area assosiasi auditori. Sebaliknya, individu yang buta
pada masa awal hidup dapat melokalisasi suara jauh lebih baik daripada
mereka yang memiliki penglihatan normal. Plastisitas juga sangat nampak
pada musis yang dapat lebih peka terhadap suara dibanding non musisi
(Barrett, 2011).
Histologi Sistem Pendengaran
Telinga Luar
Auricula, atau pinna (sayap) terdiri ataas suatu lempeng cartilago
elastic ireguler berbentuk corong, yang ditutupi secara erat oleh kulit dan
menghantarkan gelombang suara ke dalam meatus acusticus externus.
Saluran ini dilapisi oleh epitel skuamosa berlapis yang berlanjut dengan
kulit auricular dan di dekat folikel rambutnya, kelenjar sebasea, dan kelenjar
keringat apokrin termodifikasi yang disebut kelenjar seruminosa ditemukan
pada submukosa. Serumen adalah materi kekuningan berlemak yang
dihasilkan dari sekresi kelenjar sebasea dan seruminosa. Serumen
mengandung berbagai protein, asam lemak jenuh, dan keratinosit yang
14

terlepas dan memiliki sifat antimikroba protektif. Dinding meatus acusticus


externus ditunjang oleh kartilago elastic di sepertiga luarnya, sedangkan os
temporal menutup bagian dalam.
Membran timpani berupa lembar epithelial. Sisi luarnya dilapisi
epidermis dan permukaan dalamnya dilapisi epitel selapis kuboid yang
menyatu dengan lapisan rongga timpani di telinga tengah. Di antara lapisan
epitel tersebut terdapat lapisan tipis jaringan ikat fibrosa yang terdiri atas
serat-serat kolagen dan elastin serta fibroblast.
Telinga Tengah
Rongga timpani terutama dilapisi oleh selapis epitel kuboid yang
berada di lamina propia yang sangat melekat pada periosteum. Di dekat tuba
auditorius, epitel selapis ini secara berangsur berubah menjadi epitel
bertingkat silindris bersilia yang melapisi tuba tersebut. Pada dinding medial
bertulang telinga tengah terdapat dua area berlapis membrane dan tidak
bertulang yaitu tingkap lonjong (fenestra ovalis) dan tingkap bundar
(fenestra rotunda).
Ossicula auditus terdiri atas malleus, incus, dan stapes. Malleus
menempel pada jaringan ikat membrane timpani dan stapes melekat pada
jaringan ikat membrane di tingkap lonjong. Tulang-tulang ini berartikulasi
di sendi synovial yang bersama-sama periosteum sepenuhnya dilapisi epitel
selapis gepeng.
Telinga Dalam
Telinga dalam berada sepenuhnya di dalam os temporal, dimana
sederetan ruang yang saling berhubungan, labirin bertulang, menamping
serangkaian saluran kontinu berlapis epitel yang terisi cairan dan bilik yang
membentuk labirin membranosa yang lebih kecil. Labirin membranosa
berasal dari vesikel ectodermal, otokista, yang melekuk ke dalam jaringan
ikat di dalamnya selama minggu keempat perkembangan embrio,
kehilangan kontak dengan ectoderm permukaan, dan menjadi terbenam pada
rudiment bakal os temporal. Selama proses tersebut, vesicula otica berubah
bentuk, yang membentuk 2 cabang utama di labirin membranosa.
15

Pada setiap struktur lapisan epitel memiliki area luas mekanoreseptor


sensorik kolumner yang disebut sel rambut di region khusus:
1. Dua macula utriculus dan sacculus
2. Tiga crista ampullaris di pelebaran region ampula pada setiap
duktus semicircularis
3. Organ corti spiral panjang pada duktus cochlearis
Cochlea berukuran panjang sekitar 35 mm dan membentuk dua
setengah putaran di sekeliling inti tulang yang disebut modiolus. Modiolus
memiliki pembuluh darah dan bsadan sel dan processus cabang akustik saraf
cranial ke delapan di ganglion cochleare atau ganglion spirale.
Semua region labirin bertulang terisi perilimfe dengan komposisi ion
yang serupa dengan cairan serebrospinal dan cairan ekstrasel jaringan lain,
tetapi memiliki sedikit protein. Perilimfe dihasilkan dari mikrovaskuler
periosteum dan dialirkan melalui suatu duktus perilymphaticus ke dalam
ruang subarachnoid yang berdekatan. Cairan ini menahan dan menyangga
labirin membranosa tertutup yang melindunginya dari dinding keras labirin
bertulang. Labirin membranosa terisi dengan endolimfe, yang juga
mengandung sedikit protein dan lebih lanjut ditandai oleh kadar kalium
yang tinggi (150 mM) dan natrium yang rendah (16 mM), yang serupa
dengan kadarnya dalam cairan intrasel. Endolimfe dihasilkan terutama oleh
kapiler di stria vaskularis di dinding duktus cochlearis dan mengalir dari
vestibulum ke dalam sinus venosa dura mater oleh duktus endolymphaticus
yang kecil.
Sacculus dan utriculus terdiri atas suatu selubung tipis jaringan ikat
yang dilapisi epitel selapis gepeng. Labirin membranosa melekat pada
periosteum labirin oseosa melalui untaian jariga ikatyang mengandung
mikrovaskuler yang menyuplai jaringan labirin membranosa. Kedua macula
pada dinding sacculus dan utriculus adalah area kecil sel neuroepitel
kolumner yang dipersarafi oleh cabang nervus vestibularis. Makula sacculus
dan utriculus terdiri atas penebalan dinding yang memiliki beberapa ribu sel

16

rambut mekanosensitif beserta sel penyangga kolumner dengan inti basal,


dan ujung saraf.
Ujung apical setiap sel rambut memiliki sebuah kinosilium dengan
sebuah badan basal dan suatu aksonema termodifikasi mikrotubulus ganda
dan seberkas stereosilia kaku panjang yang tidak bercabang dan berjumlah
60-100. Stereosilia muncul dari region apical yang banyak mengandung
aktin, lempeng kutikula, yang berperan mengembalikan struktur kaku yang
menonjol ke posisi normalnyasetelah menekuk. Stereosilia tersusun dalam
barisan yang semakin memanjang dengan stereosilia terpanjang sekitar
100 m yang berada dekat dengan kinosilium. Ujung stereosilia dan
kinosilia terbenam dalam suatu lapisan gelatinosa proteoglikan kental yang
disebut membrane otolitik, dengan bagian luarnya yang terisi dengan
struktur berkapur yang disebut otolit (atau otokonia)
Di ujung basalnya, semua sel rambut bersinaps dengan ujung saraf
aferen (ke otak). Sejumlah sel rambut (tipe I) memiliki ujung basal bundar
yang dikelilingi oleh calyx terminalis aferen. Ujung basal sebagian besar sel
rambut (tipe II) berbentuk silindris dan memiliki lebih banyak ujung
tonjolan yang khas dari saraf aferen (dari otak) yang memodulasi
sensitivitas mekanoreseptor ini. Setiap sel rambut juga dikelilingi oleh sel
penyangga, yang dapat memiliki berbagai fungsi selain menyediakan
penyangga fisis untuk mekanoreseptor.
Pelebaran ampula di setiap duktus semicircularis memiliki suatu area
mekanoreseptor mirip rebung memanjang (crista ampullaris). Crista secara
histologist serupa dengan macula, dengan sel rambut, sel penyokong, dan
ujung saraf. Akan tetapi lapisan proteoglikan bernama cupula yang melekat
pada berkas rambut sel sensoris lebih tebal dan tidak memiliki otolit.
Di sepanjang permukaan duktus cochlearis dipisahkan dari scala
vestibule oleh membrane vestibularis. Struktur yang sangat tipis ini terdiri
atas suatu membrane basal dengan epitel skuamosa selapis di setiap sisinya:
satu mesotel yang menghadap skala vestibule dan bagian alain lapisan
duktus cochlearis. Sel-sel di kedua lapisan memiliki taut erat yang luas yang
17

membantu menjaga gradient ion yang sangat besar pada kedua sisi
membrane di antara endolimfe dan perilimfe.
Di dinding lateral duktus cochlearis terdapat stria vaskularis, suatu
epitel unik yang menghasilkan dan memmelihara endolimfe untuk seluruh
lapisan membranosa. Stria vaskularis menutup suatu jaringan kapiler dan
terdiri dari sel yang mempunyai banyak lekukan basal yang dalam pada
membrane plasmanya, di membrane ini terdapat banyak mitokondria.
Cairan dan pompa K+ dari kapiler oleh sel epitel tersebut dilepaskan ke
dalam duktus cochlearis sebagai endolimfe.
Di dinding yang memisahkan duktus cochlearis dari scala tympani
adalah struktur kompleks yang disebut organ spiral (organ corti) yang
memiliki reseptor auditorik khusus dalam bentuk sel rambut yang berespons
terhadap berbagai frequensi udara. Organ spiral berada di lamina basal
membrane basilaris. Sel rambut luar (outer hair cell) terdapat dalam tiga
baris di dekat fenestra ovalis, yang bertambah hingga lima baris di dekat
apeks koklea. Terdapat sebaris sel rambut dalam (inner hair cell) yang
memiliki susunan linear stereosilia pendek, sedangkan OHC masing-masing
memiliki barisan melengkung steereosilia panjang. Tidak terdapat
kinosilium yang dijumpai pada sel rambut koklea, yang memungkinkan
simetrisitas sel yang penting untuk perannya pada tranduksi sensoris.
Ujung stereosilia tertinggi OHC terbenam di dalam membrana
tectorial, suatu lapisan aseluler yang terjulur di atas organ spiral dari
modiolus. Membrana tectoria terdiri atas berkas halus kolagen (tipe II, V, IX
dan XI), proteoglikan terkait dan protein lain serta dibentuk selama periode
embrionik dari sekresi sel yang melapisi region di dekatnya (limbus spiral).
Sel rambut luar dan dalam memiliki ujung saraf aferen dan eferen
dengan IHC yang lebih banyak dipersarafi. Badan sel neuron bipolar berada
di suatu inti tulang modiolus dan membentuk ganglion spirale.
Kedua tipe utama sel penyokong kolumner berhubungan dengan sel
rambut organ spiral tersebut. Sel pilar dibuat kaku oleh berkas keratin dan
membatasi sebuah ruang segitiga berbentuk corong diantara sel rambut luar
18

dan dalam. Sel falang mengelilingi dan menyokong langsung sel rambut
dalam dan luar, yang hampir sepenuhnya menutupi setiap IHC, tetapi hanya
menutupi ujung basal OHC (Mescher, 2011).
2. Apa saja pemeriksaan fisik pada telinga, hidung dan tenggorokan?
Pemeriksaan Telinga, Hidung dan Tenggorokan
a. Pemeriksaan Telinga
Otoskopi
Alat yang digunakan untuk pemeriksaan telinga adalah lampu
kepala, corong telinga, otoskop, pelilit kapas, pengait serumen, pinset
telinga dan garputala.
Mula-mula dilihat keadaan dan bentuk daun telinga, daerah
belakang telinga. Dengan menarik daun telinga ke atas dan ke belakang,
liang telinga menjadi lebih lrus dan akan mempermudah untuk melihat
keadaan liang telinga ddan membran timpani. Pakai otoskop untuk
melihat lebih jelas bagian-bagian membran timpani. Hal-hal yang perlu
diperhatikan ketika memeriksa menggunakan otoskop adalah adakah
serumen, bagaimana konsistensi, warna dan baunya, adakah reaksi
inflamasi di liang telinga, bagaimana kondisi membran timpani, apakah
utuh, bagaimana penampakannya, dsb.
Uji pendengaran dilakukan dengan memakai garputala dan dari
hasil pemeriksaan dapat diketahui jenis ketulian apakah tuli konduktif
atau tuli perspektif. Uji penala yang dapat dilakukan adalah uji Rinne, uji
Weber dan uji Scwabah. (Soepardi, E.A., 2007)
Dari hasil pemeriksaan otoskopi pada skenario didapatkan
discharge mukopurulen dan granuloma. Granuloma dan discharge
mukopurulen menandakan adanya infeksi yang sudah berlangsung lama,
karena granuloma sendiri khas jika terjadi infeksi yan lama pada telinga.
Discharge yang keluar menandakan sudah adanya perforasi pada
membran timpani sebagai jalan keluar discharge. Hal-hal di atas

19

menandakan terjadinya infeksi kronis pada rongga telinga bagian tengah


(auris media).
b. Pemeriksaan Hidung
Rhinoskopi
Memeriksa rongga hidung bagian dalam dari depan disebut
rhinoskopi anterior. Diperlukan spekulum hidung. Vestibulum hidung,
septum nasi terutama bagian anterior, konka inferior, konka media,
meatus sinus paranasal dan keadaan mukosa rongga hidung harus
diperhatikan. Hal ini dilakukan pada bagian kiri mapun kanan juga.
Untuk melihat bagian belakang hidung dilakukan pemeriksaan
rhinoskopi posterior sekaligus untuk melihat keadaan nasofaring. Untuk
melakukan pemeriksaan rhinoskopi posterior diperlukan spatula lidah
dan kaca nasofaring. Sebelum kaca ini dimasukkan, suhu kaca dites
terlebih dahulu pada kulit belakang kiri pemeriksa. Pasien diminta
membuka mulut, lidah dua petiga anterior ditekan dengan spatula lidah.
Setelah itu kaca dimasukkan sampai ke nasofaring. Mula-mula
perhatikan bagian belakang septum dan choana. Kemudian kaca diputar
ke lateral sedikit untuk melihat konka superior, konka media, meatus
superior dan meatus media. Kaca diputar lebih ke laterallagi sehingga
dapat diindentifikasi torus tubarius, muara tuba Esutachius dan fossa
Rossenmuler.
Pada skenario didapatkan hasil pemeriksaan rhinoskopi anterior
pada pasien terdapat discharge seromukous, konka hipertrofi dan livide.
Livide merupakan tanda khas yang terjadi pada rhinitis allergica yang
persisten. Dan pada rhinitis allergica yang persisten juga terdapat
adanya konka yang hipertrofi dan adanya discharge seromukous.
(Soepardi, E.A., 2007)
c.

Pemeriksaan Faring, Rongga Mulut, Hipofaring dan Laring

20

Dengan lampu kepala dan lidah yang ditekan memakai spatula


lidah mula-mula dilihat dinding belakang faring serta kelenjar limfatika,
uvula, arkus faring, tonsil, mukosa pipi, gusi dan gigi. Perlu diperhatikan
bagaimana penampakan mukosa di rongga mulut dan faring, adakah
massa atau tumor, atau adakah peradangan atau ulkus.
Pemriksaan hipofaring dan laring memakai kaca laring. Kaca
laring dihangatkan dengan api lampu spirtus agar tidak terjadi
pengembuna pada kaca laring. Pasien diminta menjulurkan lidah sejauh
mungkin.

Lidah

dipegang

dengan

tangan

kiri

memakai

kain

kasa.Kemudian kaca laring dimasukkan ke dalam mulut dengan arah ke


bawah. Melalui kaca dapat dilihat hiofaring dan laring. (Soepardi, E.A.,
2007)
3. Bagaimana

patofisiologi,

manifestasi

klinis,

pemeriksaan

dan

penatalaksanaan dari Otitis Media Akut? Dan apa saja etiologi serta faktor
resikonya?
Otitis Media Akut (OMA)
Etiologi dan Faktor Resiko
Otitis media akut bisa disebabkan oleh bakteri dan virus. Bakteri yang
paling sering ditemukan adalah Streptococcus pneumaniae, diikuti oleh
Haemophilus influenza, Moraxella catarrhalis, Streptococcus grup A, dan
Staphylococcus aureus. Beberapa mikroorganisme lain yang jarang
ditemukan adalah Mycoplasma pneumaniae, Chlamydia pneumaniae, dan
Clamydia tracomatis.
Broides et al menemukan prevalensi bakteri penyebab OMA adalah
H.influenza 48%, S.pneumoniae 42,9%, M.catarrhalis 4,8%, Streptococcus
grup A 4,3% pada pasien usia dibawah 5 tahun pada tahun 1995-2006 di
Negev, Israil. Sedangkan Titisari menemukan bakteri penyebab OMA pada
pasien yang berobat di RSCM dan RSAB Harapan Kita Jakarta pada bulan
Agustus 2004 Februari 2005 yaitu S.aureus 78,3%, S.pneumoniae 13%,
dan H.influenza 8,7%.
21

Virus terdeteksi pada sekret pernafasan pada 40-90% anak dengan


OMA, dan terdeteksi pada 20-48%
OMA. Virus yang

cairan telinga tengah anak dengan

sering sebagai penyebab OMA adalah respiratory

syncytial virus. Selain itu bisa disebabkan virus parainfluenza (tipe 1,2, dan
3), influenza A dan B, rinovirus, adenovirus, enterovirus, dan koronavirus.
Penyebab yang jarang yaitu sitomegalovirus dan herpes simpleks. Infeksi
bisa disebabkan oleh virus sendiri atau kombinasi dengan bakteri lain
(Broides, 2009).

Patofisiologi
Otitis media akut terjadi karena terganggunya faktor pertahanan tubuh.
Sumbatan pada tuba

Eustachius merupakan faktor utama penyebab

terjadinya penyakit ini. Dengan terganggunya fungsi tuba

Eustachius,

terganggu pula pencegahan invasi kuman ke dalam telinga tengah sehingga


kuman masuk dan terjadi peradangan. Gangguan fungsi tuba Eustachius ini
menyebabkan terjadinya tekanan negatif di telingah tengah, yang
menyebabkan transudasi cairan hingga supurasi. Pencetus terjadinya OMA
adalah infeksi saluran pernafasan atas (ISPA).
Makin sering anak-anak terserang ISPA, makin besar kemungkinan
terjadinya OMA. Pada bayi dan anak terjadinya OMA dipermudah karena:
1. morfologi tuba eustachius yang pendek, lebar, dan letaknya agak
horizontal; 2. sistem kekebalan tubuh masih dalam perkembangan; 3.
adenoid pada anak relatif lebih besar dibanding orang dewasa dan sering
terinfeksi sehingga infeksi dapat menyebar ke telinga tengah. Beberapa
faktor lain mungkin juga berhubungan dengan terjadinya penyakit telinga
tengah, seperti alergi, disfungsi siliar, penyakit hidung dan/atau sinus, dan
kelainan sistem imun.
Klasifikasi
Ada 5 stadium OMA berdasarkan pada perubahan mukosa telinga
tengah, yaitu:
1. Stadium Oklusi
22

Stadium ini ditandai dengan gambaran retraksi membran timpani


akibat tekanan negatif telinga tengah. Membran timpani kadang tampak
normal atau berwarna suram.
2. Stadium Hiperemis
Pada stadium ini tampak pembuluh darah yang melebar di sebagian
atau seluruh membran timpani, membrane timpani tampak hiperemis
disertai edem.
3. Stadium Supurasi
Stadium ini ditandai edem yang hebat telinga tengah disertai
hancurnya sel epitel superfisial serta terbentuknya eksudat purulen di kavum
timpani sehingga membran timpani tampak menonjol (bulging) ke arah
liang telinga luar.
4. Stadium Perforasi
Pada stadium ini terjadi ruptur membran timpani sehingga nanah
keluar dari telinga tengah ke liang telinga.
5. Stadium Resolusi
Pada stadium ini membran timpani berangsur normal, perforasi
membran timpani kembali menutup dan sekret purulen tidak ada lagi. Bila
daya tahan tubuh baik atau virulensi kuman rendah maka resolusi dapat
terjadi walaupun tanpa pengobatan.
Ada juga yang membagi OMA menjadi 5 stadium yang sedikit
berbeda yaitu: 1. stadium kataralis; 2. stadium eksudasi; 3. stadium supurasi;
4. Stadium penyembuhan; dan 5. stadium komplikasi.
Pemeriksaan dan Diagnosis
Diagnosis OMA harus memenuhi tiga hal berikut: 1. Penyakitnya
muncul mendadak (akut); 2. Ditemukannya tanda efusi di telinga tengah.
Efusi dibuktikan dengan adanya salah satu di antara tanda berikut:
menggembungnya gendang telinga, terbatas /tidak adanya gerakan gendang
telinga, adanya bayangan cairan di belakang gendang telinga, cairan yang
keluar dari telinga; 3. Adanya tanda / gejala peradangan telinga tengah, yang
dibuktikan dengan adanya salah satu di antara tanda berikut: kemerahan
23

pada gendang telinga, nyeri telinga yang mengganggu tidur dan aktivitas
normal.
Diagnosis OMA dapat ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan
fisik yang cermat. Gejala yang timbul bervariasi bergantung pada stadium
dan usia pasien. Pada anak anak umumnya keluhan berupa rasa nyeri di
telinga dan demam. Biasanya ada riwayat infeksi saluran pernafasan atas
sebelumnya. Pada remaja atau orang dewasa biasanya selain nyeri terdapat
gangguan pendengaran dan telinga terasa penuh. Pada bayi gejala khas
adalah panas yang tinggi, anak gelisah dan sukar tidur, diare, kejang-kejang
dan sering memegang telinga yang sakit.
Beberapa teknik pemeriksaan dapat digunakan untuk menegakkan
diagnosis OMA, seperti otoskop, otoskop pneumatik, timpanometri, dan
timpanosintesis.Dengan otoskop dapat dilihat adanya gendang telinga yang
menggembung, perubahan warna gendang telinga menjadi kemerahan atau
agak kuning dan suram, serta cairan di liang telinga.
Jika konfirmasi diperlukan, umumnya dilakukan dengan otoskopi
pneumatik. Gerakan gendang telinga yang berkurang atau tidak ada sama
sekali dapat dilihat dengan pemeriksaan ini. Pemeriksaan ini meningkatkan
sensitivitas diagnosis OMA. Namun umumnya diagnosis OMA dapat
ditegakkan dengan otoskop biasa.
Untuk mengkonfirmasi penemuan otoskopi pneumatik dilakukan
timpanometri. Timpanometri dapat memeriksa secara objektif mobilitas
membran timpani dan rantai tulang pendengaran. Timpanometri merupakan
konfirmasi penting terdapatnya cairan di telinga tengah. Timpanometri juga
dapat mengukur tekanan telinga tengah dan dengan mudah menilai patensi
tabung miringotomi dengan mengukur peningkatan volume liang telinga
luar. Timpanometri punya sensitivitas dan spesifisitas 70-90% untuk deteksi
cairan telinga tengah, tetapi tergantung kerjasama pasien.
Timpanosintesis, diikuti aspirasi dan kultur cairan dari telinga tengah,
bermanfaat pada anak yang gagal diterapi dengan berbagai antibiotika, atau
pada imunodefisiensi. Timpanosintesis merupakan standar emas untuk
24

menunjukkan adanya cairan di telinga tengah dan untuk mengidentifikasi


patogen yang spesifik. Menurut beratnya gejala, OMA dapat diklasifikasi
menjadi OMA berat dan tidak berat. OMA berat apabila terdapat otalgia
sedang sampai berat, atau demam dengan suhu lebih atau sama dengan 39C
oral atau 39,5C rektal, atau keduanya. Sedangkan OMA tidak berat apabila
terdapat otalgia ringan dan demam dengan suhu kurang dari 39C oral atau
39,5C rektal, atau tidak demam.
Terapi
Pengobatan OMA tergantung pada stadium penyakitnya. Pada
stadium oklusi pengobatan terutama dilakukan bertujuan untuk membuka
kembali tuba Eustachii, sehingga tekanan negative di telinga tengah hilang.
untuk itu diberikan obat tetes hidung HCl efedrin 0,5% dalam larutan
fisiologis (untuk <12 Tahun) atau HCl efedrin 1% dala, larutan fisiologis
(untuk >12 Tahun dan orang dewasa).
Selain itu sumber infeksi harus diobati. Antibiotika diberikan
apabila penyebab utamanya adalah kuman, bukan virus atau alergi.
Terapi pada stadium presupurasi ialah antibiotika, obat tetes
hidung dan analgetika. Antibiotika yang dianjurkan adalah dari golongan
penisilin atau ampisilin. Terapi awal diberikan penisilin intramuscular agar
didapatkan konsentrasi yang adekuat dalam darah, sehingga tidak terjadi
mastoiditis yang terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa,
dan kekambuhan. Pemberian antibiotika dianjurkan selama 7 hari. Bila
pasien alergi terhadap penisilin bisa diberikan eritromisin.
Pada anak, ampisilin diberikan dengan dosis 50-100 mg/Kg BB per
hari dibagi dalam 4 dosis, atau amoksisilin 40 mg/kg BB per hari dibagi
dalam 3 dosis, atau eritromisin 40 mg/kg BB per hari
Pada stadium supurasi selain diberikan antibiotika, idealnya harus
disertai dengan mirigotomi, bila membrane timpani masih utuh, dengan
miringotomi gejala gejala klinis lebih cepat hilang dan rupture dapat
dihindari.

25

Pada stadium perforasi sering terlihat secret banyak keluar dan


kadang terlihat secret keluar secara berdenyut (pulsasi). Pengobatan yang
diberikan adalah obat cuci telinga H202 3% selama 3-5 hari serta antibiotika
yang adekuat. Biasanya secret akan hilang dan perforasi dapat menutup
kembali dalam waktu 7-10 hari.
Pada stadium resolusi, maka membrane timpani berangsur normal
kembali, sekret tidak ada lagi dan perforasi membrane timpani menutup
(Djaafar, 2007).
Komplikasi
Komplikasi yang serius adalah:
a. Infeksi pada tulang di sekitar telinga tengah (mastoiditis atau petrositis)
b. Labirintitis (infeksi pada kanalis semisirkuler)
c. Kelumpuhan pada wajah
d. Tuli
e. Peradangan pada selaput otak (meningitis)
f.

Abses Otak

g. Tanda-tanda terjadinya komplikasi:


h. Sakit kepala
i.

Tuli yang terjadi secara mendadak

j.

Vertigo (perasaan berputar)

k. Demam dan menggigil. (Boies, 2012).


4. Bagaimana

patofisiologi,

manifestasi

klinis,

pemeriksaan

dan

penatalaksanaan dari Otitis Media Supuratif Kronis? Dan apa saja etiologi
serta faktor resikonya?

Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK)


Otitis media supuratif kronik (OMSK) adalah infeksi kronik telinga
tengah dengan perforasi membran timpani dan keluarnya sekret dari telinga
tengah secara terus menerus atau hilang timbul.Sekret mungkin encer atau
26

kental, bening, atau nanah.Biasanya disertai gangguan pendengaran (Kapita


Selekta, 2000).
Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) dahulu disebut otitis media
perforata (OMP) atau dalam sebutan sehari-hari congek.Yang disebut otitis
media supuratif kronis ialah infeksi kronis di telinga tengah dengan
perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah terus
menerus atau hilang timbul.Sekret mungkin encer atau kental, bening atau
berupa nanah.
Otitis media kronis adalah perforasi yang perforasi yang parmanen
dari membrana timpani, dengan atau tidak dengan perubahan permanen
pada telinga tengah (Helmi, 2002 ).
Epidemiologi
Penyakit ini terdapat pada semua bangsa di seluruh dunia baik di
negara berkembang maupun negara yang sudah maju. Di negara-negara
sedang berkembang angka kejadian OMSK jauh lebih tinggi oleh karena
beberapa hal misalnya higiene yang kurang, faktor sosio ekonomi, gizi yang
rendah, kepadatan penduduk serta masih ada pengertian masyarakat yang
salah terhadap penyakit ini sehingga mereka tidak berobat sampai tuntas.
(Djaafar, 2002).
Menurut survei yang dilakukan pada 7 propinsi di Indonesia pada
tahun 1996 ditemukan insiden Otitis Media Supuratif Kronik (atau yang
oleh awam dikenall sebagai congek) sebesar 3% dari penduduk Indonesia.
Dengan kata lain dari 220 juta penduduk Indonesia diperkirakan terdapat 6,6
juta penderita OMSK. Jumlah penderita ini kecil kemungkinan untuk
berkurang bahkan mungkin bertambah setiap tahunnya mengingat kondisi
ekonomi yang masih buruk, kesadaran akan kesehatan yang masyarakat
yang masih rendah dan sering tidak tuntasnya pengobatan yang dilakukan
(Djaafar, 2002).
Etiologi
Sebagian besar OMSK merupakan kelanjutan dari Otitis Media Akut
(OMA) dan sebagian kecil disebabkan oleh perforasi membran timpani
27

akibat trauma telinga.Kuman penyebab biasanya kuman gram positif aerob,


pada infeksi yang sudah berlangsung lama sering juga terdapat kuman gram
negatif dan kuman anaerob (Djaafar, 2002).
Kuman penyebab OMSK antara lain kuman Staphylococcus aureus
(26%), Pseudomonas aeruginosa (19,3%), Streptococcus epidermidimis
(10,3%), gram positif lain (18,1%) dan kuman gram negatif lain (7,8%).
Biasanya pasien mendapat infeksi telinga ini setelah menderita saluran
napas atas misalnya influenza atau sakit tenggorokan.Melalui saluran yang
menghubungkan antara hidup dan telinga (tuba Auditorius), infeksi di
saluran napas atas yang tidak diobati dengan baik dapat menjalar sampai
mengenai telinga (Djaafar, 2002).
Patofisiologi
Telinga tengah biasanya steril, meskipun terdapat mikroba di
nasofaring dan faring. Secara fisiologik terdapat mekanisme pencegahan
masuknya mikroba ke dalam telinga tengah oleh silia mukosa tuba
Eustachius, enzim dan antibodi.
Otitis media akut terjadi karena faktor pertahanan tubuh ini
terganggu.Sumbatan tuba Eustachius merupakan faktor penyebab utama dari
otitis media.Karena fungsi tuba Eustachius terganggu, pencegahan invasi
kuman ke dalam telinga tengah juga terganggu, sehingga kuman masuk ke
dalam telinga tengah dan terjadi peradangan.(Djafar, 2000).
Otitis media akut dengan perforasi membran timpani menjadi Otitis
media supuratif kronis apabila prosesnya sudah lebih dari 2 bulan. Bila
proses infeksi kurang dari 2 bulan, disebut otitis media supuratif subakut.
Beberapa faktor yang menyebabkan OMA menjadi OMSK ialah terapi
yang terlambat diberikan, terapi yang tidak adekuat, virulensi kuman tinggi,
daya tahan tubuh pasien rendah (gizi kurang) atau higiene buruk (Djafar,
2000).
Sebagian besar OMSK merupakan kelanjutan OMA yang prosesnya
sudah berjalan lebih dari 2 bulan.Beberapa faktor penyebab adalah terapi
yang terlambat, terapi tidak adekuat, virulensi kuman tinggi, daya tahan
28

tubuh rendah, atau kebersihan buruk.Bila kurang dari 2 bulan disebut


subakut.. Peradangan atau infeksi dari telinga tengah terjadi ketika tuba
eustachius tersumbat (blacked). Tuba eustachius adalah saluran yang
menghubungkan antara nasofaring dan telinga tengah.Otitis media kronis
terjadi karena tuba eustachius tersumbat berulang-ulang (tersumbat dalam
jangka waktu yang lama).Hal ini dapat terjadi karena alergi, infeksi
multiperl, trauma telinga dan pembesaran adenoid.Ketika telinga tengah
terinfeksi oleh bakteri atau kadang-kadang virus, ini bisa menjadi serius.
Kemungkinan otitis media kronis merupakan sebab dari OMA yang tidak
diobati secara optimal atau merupakan sebab dari infeksi telinga yang
terjadi secara berulang
Klasifikasi
OMSK dibagi dalam 2 jenis, yaitu benigna atau tipe mukosa, dan
maligna atau tipe tulang.Berdasarkan sekret yang keluar dari kavum timpani
secara aktif juga dikenal tipe aktif dan tipe tenang.
Berdasarkan aktivitas sekret yang keluar dikenal juga OMSK
tenang.OMSK aktif ialah OMSK dengan sekret yang keluar dari kavum
timpani secara aktif, sedangkan OMSK tenang ialah yang keadaan kavum
timpaninya terlihat basah atau kering.
Karena telinga tengah berhubungan dengan mastoid, maka otitis
media kronik sering kali disertai mastoiditis kronik.Kedua peradangan ini
dapat dianggap aktif atau inaktif.Aktif merujuk pada adanya infeksi dengan
pengeluaran sekret telinga atau otorrhea akibat perubahan patologi dasar
seperti kolesteatoma atau jaringan granulasi.Inaktif merujuk pada sekucle
dari infeksi aktif terdahulu yang telah terbakar habis, dengan demikian
tidak ada ottorhoe.
Pasien dengan otitis media kronik inaktif seringkali mengeluh
gangguan pendengaran. Mungkin terdapat gejala lain seperti vertigo, tinitus,
atau suatu rasa penuh dalam telinga. Biasanya tampak perforasi membran
timpani yang kering. Perubahan lain dapat menunjukkan timpanosklerosis
(bercak-bercak putih pada membran timpani), hilangnya osikula yang
29

terkadang dapat terlihat lewat perforasi membrana timpani, serta fiksasi atau
terputusnya rangkaian osikula akibat infeksi terdahulu. Bila gangguan
pendengaran dan cacat cukup berat, dapat dipertimbangkan koreksi bedah
atau timpanoplasti.
Pada OMSK benigna, peradangan terbatas pada mukosa saja, tidak
mengenai

tulang.Perforasi

terletak

di

sentral.Jarang

menimbulkan

komplikasi berbahaya dan tidak terdapat kolesteatom (Djaafar, 2002).


Proses peradangan pada OMSK tipe benigna terbatas pada mukosa
saja, dan biasanya

tidak mengenai

tulang. Perforasi terletak

di

sentral.Umumnya OMSK tipe benigna jarang menimbulkan komplikasi


yang berbahaya.Pada OMSK tipe benigna tidak terdapat koleasteatom
(Djaafar, 2003).
OMSK tipe maligna disertai dengan kolesteatom.Perforasi terletak
marginal, subtotal, atau di atik.Sering menimbulkan komplikasi yang
berbahaya atau fatal (Djaafar, 2000).
Yang dimaksud dengan OMSK tipe maligna ialah OMSK yang
disertai dengan kolesteatoma.OMSK ini dikenal juga dengan OMSK tipe
bahaya atau OMSK tipe tulang.Perforasi pada OMSK tipe maligna letaknya
marginal atau di atik, kadang-kadang terdapat juga kolesteatoma pada
OMSK dengan perforasi subtotal.Sebagian besar komplikasi yang
berbahaya atau fatal timbul pada OMSK tipe maligna.
Diagnosis Klinis
Mengingat bahaya komplikasi, OMSK maligna harus dideteksi sejak
dini.Diagnosis pasti ditegakkan pada penemuan di kamar operasi. Beberapa
tanda klinis sebagai pedoman adalah perforan pada marginal atau atik, abses
atau fistel petroanrikuler, polip atau jaringan granulasi ditelinga tengah,
sekret pembentuk nanah dan berbau khas .
Pada inspeksi telinga didapatkan

mukosa telinga hiperemisi

gelembung udara atau cairan di belakang membrana tympani.Membrani


tympani tampak kering atau perforasi (terdapat lubang pada membran
tympani) membrana tympani tampak reetraksi ke dalam.
30

Kultur dari sekret didapatkan bakteri, bakteri tersebut dapat


merupakan penyebab dari OMA yang resisten. X-ray atau CT scan kepala
didapat penyebaran dari infeksi telinga tengah
Uji fistula perlu dilakukan pada setiap kasus supurasi telinga tengah
kronik dengan riwayat vertigo.Uji ini memerlukan pemberian tekanan
positif dan negatif pada membrana timpani dan dengan demikian dapat
diteruskan melalui rongga telinga tengah.Untuk tujuan ini dapat digunakan
otoskop pneumatik bila dapat dipastikan pemasangan yang erat.Uji ini perlu
rutin dikerjakan pada pasien-pasien dengan otitis media kronik, karena
fistula sering kali ada sekalipun tanpa vertigo.Akan tetapi uji fistula yang
berhasil negatif, belum dapat menyingkirkan kemungkinan adanya fistula.
Terapi
Penatalaksanaan
Terapinya sering lama dan harus berulang-ulang karena :
1. Adanya perforasi membran timpani yang permanen
2. Terdapat sumber infeksi di faring, nasofaring, hidung, dan sinus
paranasal,
3. Telah terbentuk jaringan patologik yang ireversibel dalam rongga
mastoid
4. Gizi dan kebersihan yang kurang
Prinsip terapi OMSK tipe benigna ialah konservatif atau dengan
medikamentosa.Bila sekret yang keluar terus menerus, maka diberikan obat
pencuci telinga, berupa larutan H2O2 3% selama 3-5 hari.Setelah sekret
berkurang, maka terapi dilanjutkan dengan memberikan obat tetes telinga
yang mengandung antibiotika dan kartikosteroid.Banyak ahli berpendapat
bahwa semua obat tetes yang dijual di pasaran saat ini mengandung
antibiotika yang bersifat ototoksik.Oleh sebab itu penulis menganjurkan
agar obat tetes telinga jangan diberikan secara terus menerus lebih dari 1
atau 2 minggu atau pada OMSK yang sudah tenang.Secara oral diberikan
antibiotika dari golongan ampisilin, atau eritromisin, (bila pasien alergi
terhadap penisilin), sebelum tes resistensi diterima.Pada infeksi yang
31

dicurigai karena penyebabnya telah resisten terhadap ampisilin dapat


diberikan ampisilin asam klavulanat.
Bila sekret telah kering, tetapi perforasi masih ada setelah diobservasi
selama

bulan,

maka

idealnya

dilakukan

miringoplasti

atau

timpanoplasti.Operasi ini bertujuan untuk menghentikan infeksi secara


permanen, memperbaiki membran timpani yang perforasi, mencegah
terjadinya komplikasi atau kerusakan pendengaran yang lebih berat, serta
memperbaiki pendengaran.
Bila terdapat sumber infeksi yang menyebabkan sekret tetap ada, atau
terjadinya infeksi berulang, maka sumber infeksi itu harus diobati terlebih
dahulu,

mungkin

juga

perlu

melakukan

pembedahan,

misalnya

adenoidektomi dan tonsilektomi.


Prinsip terapi OMSK tipe maligna ialah pembedahan, yaitu
mastoidektomi.Jadi, bila terdapat OMSK tipe maligna, maka terapi yang
tepat ialah dengan melakukan mastoidektomi dengan atau tanpa
timpanopplasti.Terapi

konservatif

dengan

medikamentosa

hanyalah

merupakan terapi sementara sebelum dilakukan pembedahan.Bila terdapat


abses subperiosteal retroaurikuler, maka insisi abses sebaiknya dilakukan
tersendiri sebelum kemudian dilakukan mastoidektomi.
Pencegahan
Pengobatan yang cepat dari OMA akan mencegah berkembangnya
OMA menjadi OMC. Pemeriksaan ulangan sesudah pengobatan dari telinga
yang terinfeksi akan menyakinkan bahwa penderita sudah sembuh.
Komplikasi
Menurut Shanbough (2003) komplikasi OMK terbagi atas:
a. Komplikasi Intratemporal
i. Perforasi membrane timpani.
ii. Mastoiditis akut.
iii. Parese nervus fasialis.
iv. Labirinitis.
v. Petrositis.
32

b. Komplikasi Ekstratemporal.
i. Abses subperiosteal.
c. Komplikasi Intrakranial.
i. Abses otak.
ii. Tromboflebitis.
iii. Hidrocephalus otikus.
iv. Empiema subdural/ ekstradural

5. Bagaimana

patofisiologi,

manifestasi

klinis,

pemeriksaan

dan

penatalaksanaan dari Rhinitis Allergica? Dan apa saja etiologi serta faktor
resikonya?
Rhinitis Allergica (RA)
Rhinitis alergi adalah inflamasi di dalam cavum nasi yang disebabkan
oleh alergen, seperti debu, serbuk sari bunga, dan alergen lainnya.
Patofisiologi
Rhinits alergi ini disebabkan reaksi imunologis tubuh yang berusaha
melawan alergen yang terhirup ke dalam cavum nasi. Ketika sistem imun
tubuh mengenali alergen dan menimbulkan reaksi oversensitifitas maka
sistem imun akan menghasilkan antibodi untuk melawan alergen tersebut.
Antibodi adalah protein yang khusus dikeluarkan oleh cel dan beredar di
darah untuk melawan firus dan infeksi. Reaksi alergi tidak akan muncul
pada paparan pertama alergen, terdapat tahap pengenalan sensitasi terlebih
dahulu. Setelah tubuh meningkatkan sensitifitas terhadapa alergen tersebut,
setiap tubuh terpapar alergen maka sel-sel tubuh pada bagian yang
bersangkutan akan mengeluarkan zat-zat kima berupa Histamin yang
nantinya kan menimbulkan rekasi alergi.
Rhinitis dan macam-macamnya:
A. Rhinitis Akut (Common Cold) merupakan peradangan membran
mukosa hidung dan sinus-sinus aksesoria yang disebabkan oleh virus atau
bakteri.

33

B. Rhinitis Kronis adalah suatu peradangan kronis pada membran mukosa


yang disebakan oleh infeksi berulang karena alergi atau karena Rhinitis
Vasomotor (Adam, 1989).
Berdasarkan penyebabnya, ada 2 golongan Rhinitis yaitu:
A. Rhinitis Alergi, disebabkan oleh alergen misalnya debu.
B. Rhinitis Non Alergi, disebabkan oleh faktor pemicu tertentu contohnya
Rhinitis Vasomotor ( Idiopatik), Rhinitis Medikamentosa, dan Rhinitis
Struktural (Abnormalitas Struktural).

Gejala
a. Primer
i. Inflamasi membran mukosa hidung - nantinya kan menghalangi
jalan udara
ii. Produksi sekret mukus disebabkan karena terdapat inflamasi dan
menyebabkan bersin-bersin dan keluarnya sekret
iii. Hidung gatal
iv. Kesulitan dalam membau
v. Mata berair
b. Sekunder
i. Batuk
ii.

Sakit tenggorokan

iii.

Kelelahan

iv.

Sakit kepala
Pemeriksaan

a. Anamnesis : gejala, onset, riwayat penyakit dahulu (alergi,dsb)


b. Pemeriksaan fisik
c. Test alergi : test kulit, pemeriksaan darah (IgE), penghitungan jumlah
eosinophil pada sel darah putih
Penatalaksanaan
a. Gaya hidup dan menghindari alergen
34

b. Medikamentosa :
i. Antihistamin
ii. Kortikosteroid
iii. Decongestan
c. Suntik alergi (imunoterapi)
Perforasi Membran Timpani
Bentuk perforasi membran timpani antara lain:
A. Perforasi Sentral
Lokasi pada pars tensa, bisa antero-inferior, postero-inferior, dan postero-inferior,
kadang-kadang sub total.
B. Perforasi Marginal
Terjadi pada pinggir membran timpani, ditandai dengan adanya erosi dari annulus
fibrosus. Perforasi marginal yang sangat luas digambarkan sebagai perforasi total.
Perforasi pada pinggir postero-superior berhubungan dengan kolesteatom.
C. Perforasi Atik
Terjadi pada pars flasida, berhubungan dengan primary acquired cholesteatoma

6. Bagaimanakah hubungan antara riwayat penyakit dahulu dengan riwayat


penyakit sekarang?
Pada saat remaja pasien sering pilek saat terpapar debu dikarenakan
pasien memiliki alergi terhadap debu sehingga memicu adanya rhinitis
alergika. Karena tidak diobati hingga tuntas dan timbul berkali-kali hal ini
berlanjut sebagai pencetus otitis media akut pada 1 tahun yang lalu. Otitis
media bisa terjadi karena pada rhinitis alergika dapat terjadi penyumbatan
tuba Eustachius. Hal ini menyebabkan tekanan negatif pada telinga tengah
sehingga membran timpani retraksi dan menyebabkan pasien merasa nyeri,
tahap ini disebut stadium oklusi. Berlanjut pada tahap hiperemis dimana
membran timpani tampak pembuluh darahnya melebar serta edema. Sekret
telah terbentuk namun masih sukar dilihat. Pada saat stadium supurasi
membran timpani menonjol ke arah telinga luar akibat edema yang hebat
pada mukosa telinga tengah dan hancurnya sel epitel superfisial, serta
terbentuknya eksudat purulen di kavum timpani. Apabila tidak ditangani dan
35

tekanan di telinga tengah tidak berkurang terjadilah iskemia, tromboflebitis


dan nekrosis mukosa serta submukosa. Di tempat ini akan terjadi ruptur dan
cairan yang tertumpuk pada kavum timpani akan mengalir ke telinga luar.
Tidak menutupnya membran timpani pada stadium resolusi berlanjut pada
penyakit otitis media supuratif kronis (OMSK) bila sudah lebih dari 2 bulan
atau 8 minggu. Cairan kental, kuning, dan berbau busuk menandakan
adanya infeksi pada telinga tengah yang merupakan invasi dari nasofaring
melalui tuba auditiva. Lamanya pasien sejak mengeluhkan cairan keluar dari
telinga 1 tahun yang lalu dapat menandakan pasien menderita otitis media
supuratif kronis. (Mansjoer,2007)
7. Bagaimanakah patofisiologi terjadinya gejala-gejala pada skenario?
Gejala pada Riwayat Penyakit Dahulu :
a. Sering pilek dan hidung tersumbat bergantian kanan dan kiri terutama
bila ada debu
Dari gejala diatas kemungkinan pasien menderita rhinitis alergika.
Rhinitis alergika adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersinbersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar
alergen yang diperantarai oleh IgE. (WHO, 2001)
Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan
tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2
fase yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat
(RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam
setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat
(RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase
hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.
Pada kontak

pertama dengan alergen atau tahap

sensitisasi,

makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen


Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di
permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk
fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II

36

membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility


Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0).
Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1)
yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2.
Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13.

IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit
B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi
imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan
diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator)
sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang
menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah
tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan
mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel)
mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah
terbentuk (Performed Mediators) terutama histamine. (Irawati, Kasakayan,
Rusmono, 2008)
Secara

garis

besar,

pengeluaran

histamine

oleh

tubuh

akan

menyebabkan, rasa gatal gidung dan bersin-bersin, hipersekresi kelenjar


mukosa dan sel goblet ditambah meningkatnya permeabilitas kapiler, dan
hidung menjadi tersumbat karena vasodilatasi sinusoid. (Swardana, 2000)
b. Telinga kanan keluar cairan encer, jernih, dan ada darah. Kambuhkambuhan jika batuk pilek.
Gejala diatas merupakan kelanjutan dari gejala pasien yang sering
menderita batuk pilek saat terpapar debu. Gejala diatas kemungkinan terjadi
karena pasien terus terpapar oleh allergen, dan tidak melakukan pengobatan
atau pencegahan supaya alerginya tidak kambuh.
Kemungkinan pasien setahun yang lalu menderita otitis media,
infeksinya berasal dari hidung pasien menyebar ke telinga tengah pasien
melalui tuba auditiva eustachii, yang merupakan penghubung nasofaring
dengan auris media. Setelah itu, terbentuk efusi di dalam auris media karena
infeksi dari hidung itu sendiri. Cairan lama-lama terakumulasi di dalam auris
37

media sehingga mendesak membrane timpani kearah lateral/bulging. Jika


keadaan ini tidak diobati (seperti kemungkinan yang terjadi pada skenario),
membrane timpani tidak dapat menahan cairan yang ada di dalam auris
media, dan terjadi rupture membrane timpani/perforasi sehingga keluar
cairan dan darah dari dalam telinga. Keadaan ini dapat terjadi kambuhkambuhan karena sumber infeksinya sendiri belum diobati. (Djaafar, 2012)
c.

Sekret kuning, kental, dan bau busuk dari telinga.


Seperti yang telah dijelaskan, pasien setahun yang lalu kemungkinan

besar menderita otitis media. Akan tetapi, karena mungkin pasien tidak
melakukan pengobatan atau pengobatan setahun yang lalu tidak adekuat,
telinga tengah pasien tetap mengeluarkan cairan, ditambah daya tahan tubuh
pasien yang lemah dikarenakan pasien mempunyai alergi terhadap debu dan
terpajan setiap hari. Karena penyakit yang dideritanya sudah mencapai
kronis, maka keadaan sekret yang keluar pun berbeda dibandingkan setahun
yang lalu, yakni kuning, kental dan berbau busuk. (Balqis, 2013)
d. Telinga berdengung dan kepala pusing.
Gejala yang dirasakan pasien adalah tinnitus. Pada tinitus terjadi
aktivitas elektrik pada area auditorius yang menimbulkan perasaan adanya
bunyi, namun impuls yang ada bukan berasal dari bunyi eksternal yang
ditransfor-masikan, melainkan berasal dari sumber impuls abnormal di
dalam tubuh pasien sendiri. Impuls abnormal itu dapat ditimbulkan oleh
berbagai kelainan telinga. Tinitus dapat terjadi dalam berbagai intensitas.
Tinitus dengan nada rendah, seperti bergemuruh atau nada tinggi, seperti
berdengung. Tinitus dapat terus menerus atau hilang timbul terdengar.
Tinitus biasanya dihubungkan dengan tuli sensorineural dan dapat juga
terjadi karena gangguan konduksi. Tinitus yang disebabkan oleh gangguan
konduksi, biasanya berupa .bunyi dengan nada rendah. Jika disertai dengan
inflamasi, bunyi dengung ini terasa ber-denyut (tinitus pulsasi).Tinitus
dengan nada rendah dan terdapat gangguan konduksi, biasanya terjadi pada
38

sum-batan liang telinga karena serumen atau tumor, tuba katar, otitis media,
otosklerosis dan Iain-lain. (Djaafar, 2012)
8. Apakah pengertian dan penyebab tinnitus? Bagaimana patofisiologi,
pemeriksaan dan penatalaksanaannya?
Tinnitus
Tinnitus adalah keadaan dimana terdengar suara di telinga atau di
kepala tanpa adanya stimulus akustik. Suara yang terdengar dapat berupa
nada murni atau nada multiple dan dapat pula berupa nada tinggi, nada
rendah, berdenging, bergemuruh, bunyi klik, bunyi mendesis, kasar,
berdenyut, atau menetap.
Tinnitus merupakan hasil aktifitas abnormal di perjalanan saraf yang
diterima sebagai sensasi suara dalam pendengaran. Hal ini merupakan suatu
sistem yang kompleks dan bukan merupakan suatu penyakit. Secara
epidemiologi sekitar 10% penduduk pernah mengalami tinnitus, 1%
mengalami tinnitus berat. Kebanyakan pasien berusia 50-71 tahun.
Penyebab tinnitus
Penyebab umum:
a. Kotoran telinga berlebihan
b. Infeksi telinga
c. Cedera kepala
d. Penyakit kardiovaskuler
e. Penyakit Meniere
f. Degenerasi ossiculae auditivae
g. Paparan bising
Penyebab lain:
a. Idiopatik
b. Hearing loss
c. Presbyacusis
d. Neuroma akustik
e. Obat-obatan
39

f. Lesi pembuluh darah intra cranial


Tinnitus dapat dibedakan menjadi tinnitus subyektif dan obyektif.
Seseorang dikatakan tinnitus obyektif bila tinnitusnya dapat didengar
pemeriksa. Bila mempunyai karakter berdenyut atau timbul pada keadaan
tertentu, ada kemungkinan karena pembuluh darah yang abnormal, tuba
eustachii abnormal atau masalah otot tympani.
Tinnitus yang berasal dari pembuluh darah yang abnormal biasanya
berbunyi halus, berdesir, berdenyut sesuai irama jantung. Keadaan yang
dapat menyebabkan tinnitus objektif adalah arterio venosus shunt, arterial
bruit, venosus hum, dan patulous tuba eustachii.
Tinnitus yang berasal dari neurosensoral belum dapat dijelaskan
fisiologinya, dapat disebabkan oleh kelainan cochlea, n. cochlearis, dan
hiperaktifitas sel rambut. Tinnitus berhubungan kuat dengan depresi dan
anxietas karena dapat mempengaruhi tidur dan konsentrasi.
Evaluasi pasien dengan tinnitus
a. Bagaimana karakteristik suara dan kualitas hidup pasien
b. Riwayat hilang pendengaran
c. Ada tidaknya paparan bising
d. Pemakaian obat-obatan ototoksik
e. Pemeriksaan saraf telinga
f. Diagnose banding
g. Tinnitus subyektif / obyektif
Pemeriksaan yang dilakukan
a. Inspeksi cavum auditorius, auris eksterna, membrana tympanica, n.
V, VI, VII, articulation temporomandibularis, auskultasi jantung,
arteri karotis, region periaural
b. Pemeriksaan otoskopi melihat adanya penyakit auris eksterna dan
auris media, kotoran telinga, mobilitas abnormal membrane
tympanica dan ossicula auditiva, kontraksi musculi auris media.

40

c. Evaluasi vestibulokoklearis, test audiologi, evaluasi vestibuler,


pemeriksaan radiologi
d. Evaluasi cochlear, pure-tone audiometri, ABR (Auditory Brainstem
Response), speech audiometric, test tone decay, impedance
audiometric, reflex akustik, test reflex decay.
Penatalaksanaan tinnitus
Beberapa tinnitus dapat dieliminasi dengan obat-obatan atau
pembedahan. Vasodilator, zat anestesi, Xanax, lidocain, antidepresan dapat
mensupresi tinnitus. Terkadang beberapa kasus tinnitus dapat mengalami
resolusi spontan, tetapi banyak juga yang menetap. Pengobatan didasarkan
pada kelainan yang didapat seperti bila ada kotoran telinga maka telinga
dibersihkan, bila ada infeksi telinga maka diberi pengobatan.
Pada tinnitus subyektif karena penyebabnya sering tidak diketahui
maka pengobatan pun menjadi sulit. Bila dengan obat-obatan tidak ada
perbaikan maka diberikan TRT (Tinnitus Retraining Therapy), yaitu suatu
cara dimana pasien diberikan suara lain sehingga keluhan suara berdenging
tidak dirasakan lagi. Hal ini bisa dilakukan dengan mendengar radio FM
yang tidak sedang melakukan siaran terutama pada saat tidur. Bila tinnitus
disertai gangguan pendengaran dapat diberikan alat bantu dengar yang
disertai masking.

41

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Hasil anamnesis pada pasien di skenario didapatkan keterangan adanya
infeksi pada telinga pasien. Dari riwayat penyakit dahulu pasien yang sering pilek
saat remaja, apalagi jika terpapar debu dicurigai adanya riwayat alergi yang cukup
lama. Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior ditemukan adanya discharge
seromukous, konka hipertrofi dan livide, dan yang terakhir ini merupakan tanda
khas pada kejadian rhinitis allergica. Dan pada pemeriksaan otoskopi, telinga
kanan didapatkan adanya discharge mukopurulen, dan granuloma. Granuloma itu
sendiri merupakan tanda bahwa telah terjadi rekasi radang yang kronis yang
ditemukan biasanya pada otitis media supuratif kronis (OMSK). OMSK sendiri
dapat terjadi jika telah terjadi otitis media akut (OMA) terlebih dahulu. Jika
dilihat dari riwayat penyakit dahulu pasien, rhinitis kronis dapat menyebabkan
gangguan pada tuba eustachii yang akhirnya menyebabkan oklusi dari tuba
eustachii. Oklusi tersebut menimbulkan tekanan negatif pada telinga tengah yang
42

nantinya menghalangi keluarnya sekret dari telinga tengah ke nasofaring. Dengan


adanya infeksi yang masuk ke tuba akibat rhinitis dan juga kegagalan tuba untuk
mngeluarkan sekretnya menimbulkan terjadinya infeksi pada telinga tengah
(OMA). Karena terjadinya OMA pada pasien tidak dilakukan pengobatan yang
adekuat dan dibiarkan saja, maka lama-elamaan timbullah otitis media supuratif
kronis (OMSK).
Karena itu, dalam tatalaksana seharusnya tidak hanya dilakukan
pengobatan medikamentosa, seperti antibiotik, antiinflamasi, antinyeri, tetapi juga
perlu dilakukan pembersihan telinga tengah. Selain itu, pasien perlu diberikan
edukasi mengenai pencegahan timblnya rhinitis allergica dengan menghindari
bahan-bahan yang memicu

Saran
Dalam diskusi tutorial ini, mahasiswa sudah cukup aktif. Namun masih
kurang dalam penelusuran literature yang valid.
Tutor sudah baik dalam menjaga situasi diskusi dan juga mengarahkan
mahasiswa. Sehingga tujuan pembelajaran yang ada dapat tercapai.

43

DAFTAR PUSTAKA

Adams GL, Boies LR, Higler PA. Penyakit Telinga Tengah dan Mastoid. Boies,
Buku Ajar Penyakit THT Ed. 6. Jakarta:EGC;88-119
Balqis, Nora. 2011. Gambaran otitis media supuratif kronik di RSUP. H.Adam
Malik tahun 2008. http://www.repository.usu.ac.id (Diakses tanggal 28
Agustus 2013)
Barrett, E., dkk. 2011. Ganongs Review of Medical Physiology: Hearing &
Equilibrium 23rd Ed. Singapore: Mc Graw Hill. p.203-13.
Broides, A., dkk. Acute otitis media caused by Moraxella catarrhalis:
Epidemiologic and Clinical Characteristic. Clinical Infectious Diseases
2009;49:16417.
Djaafar, Z.A., Helmi Restuti R.D. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, Edisi Keenam. Jakarta: FKUI

44

Djaafar, Z.A.. 2003. Otittis Media Supuratif Kronik, dalam Soepardi, S.A., dkk,
(ed), Penatalaksanaan Penyakit dan Kelainan Telinga Hidung Tenggorok,
Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FK UI
Helmi. 2002. Komplikasi Otitis Media Supuratif Kronis dan Mastoiditis, dalam
Soepardi, E.A., dkk, (ed), Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher, Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FK UI
Henochowicz, S. I. 2012. Allergic rhinitis.

http://www.nlm.nih.gov/medlinepl
us/ency/article/000813.htm. (Diakses tanggal
3 September 2013)
Medicinesia. 2012. Fisiologi Pendengaran.
http://www.medicinesia.com/kedokteran-dasar/penginderaan-kedokterandasar/fisiologi-pendengaran/. (Diakses tanggal 1 September 2013)
Mescher, Anthony L. 2011. Histologi Dasar Junquiera: Teks & Atlas. Jakarta :
EGC. Page: 415-429.
Sherwood, L. 2010. Human Physiology: The Periferal Nervous System: Afferent
Division; Spesial Sense 7th Ed. Philadelphia: Brooks/Cole Engange
Learning. p. 213-23.
Suardana, W. 2000. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (PKB) ke-II, Rhinitis
Alergika Secara Komprehensif. Denpasar:
Syartika, Lisa. 2013. Tinnitus. Dalam Clinic Corner SMF THT Santosa Bandung
International Hospital (SBIH).
Yanick, P. 1995. Natural Relief from Tinnitus. United States: Good Health Guide.
p.25.

45

Anda mungkin juga menyukai