Anda di halaman 1dari 11

PEMERIKSAAN FISIK TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROK (THT)

Tujuan Pembelajaran
Mahasiswa diharapkan mampu melakukan pemeriksaan fisik telinga, hidung dan tenggorok
setelah mempelajari skill ini sesuai dengan tujuan pembelajaran berikut:
1. Melakukan pemeriksaan fisik telinga dengan benar.
2. Melakukan pemeriksaan fisik hidung dengan benar.
3. Melakukan pemeriksaan fisik tenggorok dengan benar.

TEORI
Penegakan diagnosis suatu kelainan atau penyakit THT, diperlukan kemampuan dan
keterampilan melakukan anamnesis dan pemeriksaan organ-organ tersebut.

A. Telinga
Keluhan utama yang sering ditemui pada penderita dengan gangguan telinga berupa:
1) Gangguan pendengaran/tuli.
2) Suara berdenging (tinnitus).
3) Rasa pusing yang berputar (vertigo).
4) Rasa nyeri didalam telinga (otalgia).
5) Keluar cairan dari telinga (otore).

Gangguan pada telinga dapat terjadi pada satu ataupun kedua telinga, timbul tiba-tiba
ataupun memberat secara bertahap. Gangguan pendengaran dapat terjadi akibat trauma kepala,
trauma akustik, infeksi (parotitis, influenza berat dan meningitis) atau sebagai efek samping dari
pemakaian obat-obatan yang bersifat ototoksik. Gangguan pendengaran dapat diderita sejak bayi
sehingga biasanya disertai juga dengan gangguan bicara dan komunikasi. Gangguan
pendengaran biasanya disertai dengan tinnitus pada awalnya, walaupun pada beberapa kasus
ketulian dapat terjadi total dan mendadak.
Gangguan telinga luar dan telinga tengah dapat menyebabkan tuli konduktif, sedangkan
gangguan telinga dalam menyebabkan tuli saraf, mungkin tuli koklea atau tuli retrokoklea.
Kelainan tuli konduktif terdapat gangguan hantaran suara, sedangkan pada tuli saraf terdapat
kelainan perseptif dan sensorineural.
Tuli campur merupakan kombinasi tuli konduktif dan tuli saraf, dapat merupakan satu
penyakit ataupun karena dua penyakit yang berbeda. Vertigo merupakan keluhan gangguan
keseimbangan dan rasa ingin jatuh. Perubahan posisi biasanya mempengaruhi kualitas dan
kuantitas vertigo. Vertigo biasanya juga disertai dengan keluhan mual, muntah, rasa penuh di
telinga dan telinga berdenging yang kemungkinan kelainannya terdapat di labirin atau disertai
keluhan neurologis seperti disartri dan gangguan penglihatan sentral. Kadang-kadang keluhan
vertigo akan timbul bila ada kekakuan pergerakan otot-otot leher. Penyakit diabetes mellitus,
hipertensi, arteriosklerosis, penyakit jantung, anemia, kanker, sifilis dapat menimbulkan keluhan
vertigo dan tinnitus.
Otalgia biasanya merupakan nyeri alih dari rasa nyeri pada gigi molar, sendi rahang, dasar
mulut, tonsil atau tulang servikal. Sedangkan otore dapat berasal dari infeksi telinga luar, namun
bila secret banyak dan bersifat mukoid umumnya berasal dari infeksi telinga tengah. Bila sekret
bercampur darah, harus dicurigai adanya infeksi akut berat atau keganasan, dan harus diwaspadai
adanya liquor cerebrospinal (LCS) bila cairan keluar seperti air jernih.

Hidung
Hidung memiliki fungsi yang penting sebagai jalan nafas, pengatur kondisi udara, penyaring
udara, indra penghidu, resonansi suara, turut membantu proses bicara dan refleks nasal. Keluhan
utama penyakit atau kelainan hidung dapat berupa sumbatan hidung, secret hidung dan
tenggorok, bersin, rasa nyeri di daerah muka dan kepala, perdarahan hidung dan gangguan
penghidu. Gangguan penghidu dapat berupa hilangnya penciuman (anosmia) atau berkurang
(hiposmia), disebabkan karena adanya kerusakan pada saraf penghidu ataupun karena sumbatan
pada hidung.
Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal, sering dijumpai dengan tanda dan gejala
nyeri di daerah dahi, pangkal hidung, pipi dan tengah kepala. Rasa nyeri dapat bertambah bila
menundukkan kepala dan dapat berlangsung sampai beberapa hari. Sinusitis yang paling sering
ditemukan ialah sinusitis maksilaris, kemudian sinusitis etmoidalis, sinusitis frontalis dan
sinusitis sfenoidalis.
Tenggorok
Tenggorok dibagi menjadi faring dan laring. Berdasarkan letaknya faring dibagi atas:
1) Nasofaring.
2) Orofaring.
 Dinding posterior faring
 Fossa tonsil
 Tonsil
3) Laringofaring (Hipofaring).

Fungsi faring terutama untuk respirasi, proses menelan, resonansi suara dan artikulasi.
Keluhan di daerah faring umumnya berupa nyeri tenggorok (odinofagi), rasa penuh dahak di
tenggorok, rasa ada sumbatan dan sulit menelan (disfagi). Kelainan yang sering dijumpai pada
faring yaitu tonsillitis, faringitis, tonsilofaringitis dan karsinoma nasofaring. Laring merupakan
bagian terbawah dari saluran nafas bagian atas. Bentuknya menyerupai limas segitiga
terpancung, dengan bagian atas lebih besar daripada bagian bawah. Laring berfungsi untuk
proteksi, batuk, respirasi, sirkulasi, menelan, emosi serta fonasi. Fungsi laring untuk proteksi
ialah mencegah makanan dan benda asing masuk ke dalam trakea dengan jalan menutup aditus
laring dan rima glottis secara bersamaan. Selain itu dengan refleks batuk, benda asing yang telah
masuk ke dalam trakea dapat dibatukkan keluar.
Suara parau merupakan gejala penyakit yang khas untuk kelainan tenggorok khususnya
laring terkait dengan fungsi fonasi dari laring. Sedangkan lainnya dapat berupa batuk, disfagi,
dan rasa ada sesuatu di tenggorok. Kelainan yang sering dijumpai pada laring yaitu laryngitis,
paralisa otot laring dan tumor laring.

ALAT DAN BAHAN


1. Lampu kepala
2. Spatel lidah
3. Spekulum hidung
4. Corong telinga
5. Kaca laring
TEKNIK PEMERIKSAAN
1. Pemeriksa mengucapkan salam dan memperkenalkan diri.
2. Pemeriksa menerangkan pemeriksaan yang akan dilakukan.
3. Pemeriksan mempersiapkan alat dan bahan yang diperlukan.
4. Pemeriksa mengatur posisi pasien:
 Pasien dewasa duduk berhadapan dengan pemeriksa lutut bersisian. Jangan menjepit
kaki penderita diantara kaki pemeriksa.
 Pasien anak dipangku dengan posisi yang sama dengan ibu.
 Pasien bayi ditidurkan di pangkuan (paha) orang tua.
a) Inspeksi muka: lihat muka penderita dari depan, kalau dipandang perlu juga dari
samping kanan dan kiri. Perhatikan bentuk muka, hidung, bentuk kedudukan dan letak
kedua telinga kanan-kiri.
b) Palpasi sinus para nasal: pegang kepala penderita dengan kedua tangan di kanan dan kiri
kepala penderita; ibu jari di depan, jari-jari lain di belakang kepala. Tekan dengan ibu
jari kanan dan kiri. Bandingkan nyeri tekan kanan dengan kiri.
5. Pemeriksaan Telinga:
 Pasien duduk dengan posisi badan condong ke depan dan kepala lebih tinggi sedikit
dari kepala pemeriksa, untuk memudahkan melihat liang telinga dan membran
timpani.
 Atur lampu kepala supaya fokus dan tidak mengganggu pergerakan, kira kira 20-30
cm di depan dada pemeriksa dengan sudut kira kira 60 derajat, lingkaran fokus dari
lampu berdiameter 2-3 cm.
 Inspeksi dan palpasi: telinga luar apakah terdapat kelainan/abnormalitas.
o Daun telinga: diperhatikan bentuk serta tanda-tanda peradangan atau
pembengkakan. Daun telinga ditarik, untuk menentukan nyeri tarik dan menekan
tragus untuk menentukan nyeri tekan.
o Daerah mastoid: adakah abses atau fistel di belakang telinga. Mastoid diperkusi
untuk menentukan nyeri ketok.
o Palpasi dengan penekanan pada tragus, aurikula, dan os. mastoideus di posterior
aurikula. Perhatikan adanya nyeri tekan, kemungkinan otitis eksterna dan
mastoiditis.
 Untuk memeriksa telinga, harus diingat bahwa liang telinga tidak lurus. Untuk
meluruskannya maka daun telinga ditarik ke atas belakang dan tragus ditarik ke
depan; sedangkan pada anak, daun telinga ditarik ke bawah. Dengan demikian liang
telinga dan membran timpani akan tampak lebih jelas.
 Liang telinga dikatakan lapang apabila pada pemeriksaan dengan lampu kepala
tampak membran timpani secara keseluruhan (pinggir dan refleks cahaya). Seringkali
terdapat banyak rambut di liang telinga,atau liang telinga sempit (tidak tampak
keseluruhan membran timpani) sehingga perlu dipakai corong telinga. Pemeriksaan
pada anak oleh karena liang telinganya sempit lebih baik dipakai corong telinga.
 Untuk pemeriksaan detail membran timpani seperti perforasi, hiperemis atau bulging
dan retraksi, dipergunakan otoskop. Otoskop dipegang seperti memegang pensil.
Dipegang dengan tangan kanan untuk memeriksa telinga kanan dan dengan tangan
kiri bila memeriksa telinga kiri. Supaya posisi otoskop ini stabil maka jari kelingking
tangan yang memegang otoskop ditekankan pada pipi pasien. Yang dinilai atau
diamati pada membran timpani yaitu: nilai warna, reflek cahaya, perforasi dan
tipenya dan gerakannya. Warna membran timpani yang normal putih seperti mutiara.
Refleks cahaya normal berbentuk kerucut, warna seperti air raksa. Bayangan kaki
maleus jelas kelihatan bila terdapat retraksi membran timpani ke arah dalam.
 Perforasi umumnya berbentuk bulat. Bila disebabkan oleh trauma biasanya berbentuk
robekan dan di sekitarnya terdapat bercak darah. Lokasi perforasi dapat di atik (di daerah
pars flaksida), di sentral (di pars tensa dan di sekitar perforasi masih terdapat membran)
dan di marginal (perforasi terdapat di pars tensa dengan salah satu sisinya langsung
berhubungan dengan sulkus timpanikus). Gerakan membran timpani normal dapat dilihat
dengan memakai balon otoskop. Jika terjadi sumbatan tuba Eustachius, maka membran
timpani tidak terdapat gerakan.
6. Pemeriksaan Hidung, Nasofaring dan Sinus Paranasal:
 Hidung luar: bentuk hidung diperhatikan apakah ada deformitas atau depresi tulang
hidung. Apakah ada pembengkakan di daerah hidung dan sinus paranasal. Palpasi dengan
jari untuk identifikasi adanya krepitasi tulang hidung atau rasa nyeri tekan akibat
peradangan hidung dan sinus paranasal.
 Rinoskopi anterior: pasien duduk menghadap pemeriksa. Spekulum hidung dipegang
dengan tangan kiri (right handed), arah horizontal, dengan jari telunjuk ditempelkan pada
dorsum nasi. Tangan kanan untuk mengatur posisi kepala. Spekulum dimasukkan ke
dalam rongga hidung dalam posisi tertutup, dan dikeluarkan dalam posisi terbuka. Saat
pemeriksaan diperhatikan keadaan :
 Rongga hidung, luasnya lapang/sempit (dikatakan lapang kalau dapat dilihat
pergerakan palatum mole bila pasien disuruh menelan), adanya sekret, lokasi serta
asal sekret tersebut.
 Konka inferior, konka media dan konka superior warnanya merah muda (normal),
pucat atau hiperemis. Besarnya, eutrofi, atrofi, edema atau hipertrofi. Septum nasi
cukup lurus, deviasi, krista dan spina. Jika terdapat sekret kental yang keluar dari
daerah antara konka media dan konka inferior kemungkinan sinusitis maksila,
sinusitis frontal dan sinusitis etmoid anterior, sedangkan sekret yang terdapat di
meatus superior berarti sekret berasal dari sinus etmoid posterior atau sinus sphenoid.
Massa dalam rongga hidung, seperti polip atau tumor perlu diperhatikan
keberadaannya. Asal perdarahan di rongga hidung, krusta yang bau dan lain-lain perlu
diperhatikan.
 Rinoskopi posterior: untuk pemeriksaan ini dipakai kaca tenggorok no.2-4. Kaca ini
dipanaskan dulu dengan lampu spritus atau dengan merendamkannya di air panas
supaya kaca tidak menjadi kabur oleh nafas pasien. Sebelum dipakai harus diuji dulu
pada punggung tangan pemeriksa apakah tidak terlalu panas. Lidah pasien ditekan
dengan spatula lidah, pasien bernafas melalui mulut kemudian kaca tenggorok
dimasukkan ke belakang uvula dengan arah kaca ke atas. Setelah itu pasien diminta
bernafas melalui hidung. Perlu diperhatikan kaca tidak boleh menyentuh dinding
posterior faring supaya pasien tidak terangsang untuk muntah. Sinar lampu kepala
diarahkan ke kaca tenggorok dan diperhatikan:
- septum nasi bagian belakang
- nares posterior (koana)
- sekret di dinding belakang faring (post nasal drip) dengan memutar kaca
tenggorok lebih ke lateral maka tampak konka superior, konka media dan konka
inferior.
Pemeriksaan rinoskopi posterior dapat dilihat nasopharing, perhatikan muara tuba,
torus tubarius dan fossa rossen muller.
7. Pemeriksaan Mulut dan Faring:
Dua per tiga bagian depan lidah ditekan dengan spatula lidah kemudian diperhatikan :
a. Dinding belakang faring: warnanya, licin atau bergranula, sekret ada atau tidak dan
gerakan arkus faring.
b. Tonsil: besar, warna, muara kripti, apakah ada detritus, adakah perlengketan dengan pilar,
ditentukan dengan lidi kapas.
Ukuran tonsil
 To Tonsil sudah diangkat
 T1 Tonsil masih di dalam fossa tonsilaris
 T2 Tonsil sudah melewati pilar posterior belum melewati garis paramedian
 T3 Tonsil melewati garis paramedian belum lewat garis median (pertengahan uvula)
 T4 Tonsil melewati garis median, biasanya pada tumor
c. Mulut :bibir, bukal, palatum, gusi dan gigi geligi.
d. Lidah : gerakannya dan apakah ada massa tumor, atau adakah berselaput.
e. Palpasi rongga mulut diperlukan bila ada massa tumor, kista dan lain-lain.
f. Palpasi kelenjar liur mayor (parotis dan mandibula).
8. Pemeriksaan Hipofaring dan Laring:
Pasien duduk lurus agak condong ke depan dengan leher agak fleksi. Lidah pasien
dijulurkan kemudian dipegang dengan tangan kiri memakai kasa (dengan jari tengah di
bawah dan jempol di atas, lidah dipegang, telunjuk di bawah hidung, jari manis dan
kelingking di bawah dagu). Pasien diminta bernafas melalui mulut dengan tenang. Kaca
tenggorok no 9 yang telah dihangatkan dipegang dengan tangan kanan seperti memegang
pensil, diarahkan ke bawah, dimasukkan ke dalam mulut dan diletakkan di depan uvula.
Diperhatikan :
a. Epiglotis yang berberbentuk omega.
b. Aritenoid berupa tonjolan 2 buah.
c. Plika ariepiglotika yaitu lipatan yang menghubungkan aritenoid dengan epiglottis.
d. Rima glotis.
e. Pita suara palsu (plika ventrikularis): warna, edema atau tidak, tumor.
f. Pita suara (plika vokalis): warna, gerakan adduksi pada waktu fonasi dan abduksi pada
waktu inspirasi, tumor dan lain-lain.
g. Valekula: adakah benda asing.
h. Sinus piriformis: apakah banyak sekret.

9. Pemeriksaan Leher dan Kelenjar Limfe Leher:


Untuk pemeriksaan kelenjar tiroid dan kista tiroid. Pemeriksa berdiri di belakang pasien dan
meraba dengan kedua belah tangan seluruh daerah leher dari atas ke bawah. Bila terdapat
pembesaran kelenjar limfa, tentukan ukuran, bentuk, konsistensi, perlekatan dengan jaringan
sekitarnya.
CHECK LIST SKILL LAB:
PEMERIKSAAN FISIK THT

Skor
No. Aspek Penilaian
0 1 2 3
Mempersiapkan perasaan pasien untuk menghindari rasa takut dan stress sebelum melakukan
I.
pemeriksaan fisik:
1.  Memberi salam pembuka dan memperkenalkan diri lalu
memberi penjelasan dengan benar, jelas, lengkap dan jujur
tentang cara dan tujuan pemeriksaan.
 Memberitahukan kemungkinan adanya rasa sakit atau tidak
nyaman yang timbul selama pemeriksaan dilakukan.
 Mempersiapkan alat-alat yang diperlukan: (sebutkan saja alat
sudah dipersiapkan)
2. Mencuci tangan dan memakai sarung tangan (dioralkan saja)
II. Melakukan pemeriksaan telinga (pasien posisi duduk)
3. Pakai lampu kepala dan mengarahkan cahaya lampu kepala.
Memperhatikan keadaan, bentuk daun telinga, liang telinga dan
daerah belakang telinga: ada-tidak peradangan, sikatrik
4. Menarik daun telinga ke belakang atas (dewasa) atau daun telinga ke
belakang bawah (anak).
5. Memegang otoskop (tangan kanan untuk memeriksa telinga kanan
pasien atau sebaliknya), lalu perhatikan liang telinga (normal atau
ada kelainan).
6. Mendeskripsikan membrana telinga (warna, bentuk, letak, reflek
cahaya, manubrium malae dan umbo)
III Melakukan pemeriksaan hidung
7. Memasang lampu kepala dan melakukan inspeksi hidung deviasi
septum, hiperemis, sekret/benda asing.
IV. Rinoskopi anterior
8. Memegang spekulum hidung (ditekan oleh jari tengah sampai ke jari
manis dari tangan sebelah kiri) dan masukkan ujung spekulum ke
dalam hidung secara tertutup tanpa mengenai bagian dalam hidung
dan keluarkan dalam keadaan terbuka.
9. Memeriksa vestibulum nasi, kavum nasi (normal atau deviasi
septum), konka nasi (warna, edema, jaringan tumor/polip, hipertrofi,
atrofi) serta meatus nasi inferior dan media.
V Rinoskopi posterior
10. Memakai kaca laring yang sebelumnya sudah dipanaskan dengan
lampu spiritus
11. Menyuruh pasien membuka mulut, dan tangan pemeriksa sebelah
kiri memegang tang spatel sepertiga belakang dengan 3 jari menekan
lidah pasien dan tangan kanan memegang kaca laring.
12. Pemeriksa memasukan kaca laring melewati uvula ke arah atas/
coana lalu mengarahkan lampu kepala kearah kaca laring
13. Nilai (septum deviasi/ tidak, coana, polip, post nasal drip)
VI Pemeriksaan rongga mulut, faring dan tonsil.
14. Inspeksi bibir (perhatikan warna, kelembaban, ulkus).
15. Meminta pasien untuk membuka mulut dan perhatikan lidah (apakah
ada massa tumor, atau adakah berselaput).
16. Tekan lidah dengan spatel lidah (2/3 depan), perhatikan rongga
mulut, uvula, gusi dan gigi geligi.
17. Menilai dinding faring (warna, permukaan licin atau bergranula, ada
sekret atau tidak dan gerakan arkus faring.
18. Memperhatikan tonsil (ukuran T1-T4, warna, kripta, adakah detritus
atau perlekatan).
VII Laringoskopi indirek
19. Memakai kaca laring yang sebelumnya sudah dipanaskan dengan
lampu spiritus
20. Semprotkan silocain spray ke dalam mulut pasien dan tunggu selama
10 menit
21. Arahkan lampu kepala ke faring dengan tangan kiri menjepit lidah
pasien dengan kassa steril.
22. Tangan kanan pemeriksa memegang kaca laring lalu arahkan ke pita
suara dan pasien di suruh menyebutkan “ i “
23. Melepaskan sarung tangan dan mencuci tangan (dioralkan saja)
24. Melaporkan hasil dan follow up lebih lanjut.

Keterangan Skor Aceh Besar, ................2019


0. Tidak Dilakukan sama sekali Instruktur,
1. Dilakukan tetapi tidak benar (kesalahan > 50%)
2. Dilakukan tetapi tidak benar (kesalahan < 50%)

NILAI : Skor Total X 100 = ....... ( ..............................................)


72

Anda mungkin juga menyukai