Anda di halaman 1dari 118

LAPORAN AKHIR

PEMAHAMAN & SOSIALISASI PENYUSUNAN RUU TATA HUBUNGAN


KEWENANGAN PEMERINTAH PUSAT & DAERAH

Penyusun:
Safri Nugraha, SH, LLM, Ph.D, Prof.
Eko Prasojo, Mag.rer.publ, Dr.rer.publ, Prof.
Irfan Ridwan Maksum, Drs, M.Si
Harsanto, SH, M.Si
Teguh Kurniawan, S.Sos, M.Sc
Bani Pamungkas, SH

KERJASAMA ANTARA
KEMENTERIAN NEGARA PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
DAN
PUSAT KAJIAN PEMBANGUNAN ADMINISTRASI DAERAH DAN KOTA
FISIP UNIVERSITAS INDONESIA

DAFTAR ISI

Daftar Isi

Ringkasan Eksekutif

iii

Bab I

Pendahuluan

Bab II

Hubungan Wewenang Antara Pemerintah dan Daerah serta Antar


Daerah

Bab III

Tata Hubungan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah

25

Bab IV

Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di Indonesia

32

Bab V

Kesimpulan dan Saran

56

Daftar Pustaka

58

Lampiran : Draft 3 RUU 1 Desember 2006

Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

RINGKASAN EKSEKUTIF

PENDAHULUAN
Kebijakan nasional yang menjadi produk hukum untuk mengatur sistem
kehidupan bernegara dan bermasyarakat harus memiliki legitimasi yang kuat.
Legitimasi dari setiap produk hukum terutama dapat dihubungkan dengan
sandaran legalitas dari produk hukum tersebut. Dalam hal tata hubungan
kewenangan pemerintah Pusat dan Daerah, UUD 1945 hasil amandemen
secara eksplisit menyatakan perlunya sebuah produk hukum setingkat
Undang-undang (UU). Pada Ayat (1) Pasal 18 A UUD 1945 menyatakan
sebagai berikut:
Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah
provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota,
diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan
keragaman daerah.
Frasa diatur dengan Undang-undang menandakan bahwa materi tata
hubungan kewenangan yang dimaksud bukan berada di dalam sebuah
produk hukum lain, tetapi secara khusus harus disusun pada sebuah UU.
Sandaran legalitas dari Pasal tersebut sangatlah kuat untuk menyusun
sebuah UU.
Persoalan muncul, apakah UU yang akan mengatur hubungan kewenangan
tersebut akan bersamaan dengan UU yang mengatur perihal pemerintahan
daerah? Pertanyaan ini sangat urgen untuk dijawab guna menghindari
terjadinya tumpang-tindih materi pengaturan yang berkaitan dengan materi
tata hubungan kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Selanjutnya pada frasa tata hubungan kewenangan antara Pemerintah Pusat
dan Daerah, dengan menilik sistematika asas pemerintahan yang tidak
hanya melalui desentralisasi dan tugas pembantuan semata, maka materi tata
hubungan kewenangan juga mengatur asas dekonsentrasi sebagai sebuah
sistem pemerintahan.
Materi tata hubungan kewenangan antar Pemerintah Pusat dan Daerah ini
mengatur asas dekonsentrasi yang tidak menjadi materi pengaturan dalam
UU yang mengatur pemerintahan daerah. Berdasarkan hal tersebut di atas,
kekhawatiran akan terjadi tumpang tindih sesungguhnya dapat dihindari.
Oleh sebab itu diperlukan suatu kegiatan yang komprehensif guna menyusun
rancangan Undang-Undang (RUU) Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah. Kebijakan dalam tata hubungan kewenangan
antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjadi sangat penting dan perlu
untuk mengurangi persoalan-persoalan yang selama ini menyertai hubungan
pemerintah pusat dan daerah terlebih dalam era otonomi. Fokus penyusunan
RUU tersebut diarahkan pada penentuan materi dan susunan yang akan
termuat dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Tata Hubungan
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

Wewenang antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta antar Daerah


berdasarkan Naskah Akademik yang sudah ada.
Untuk itu, kajian dilakukan dengan menggunakan kombinasi antara metode
desk riset, focus group dicussion, konsinyasi, seminar/lokakarya, serta
sosialisasi.
Berdasarkan telaah filosofi yang ada dari hasil desk riset, materi yang akan
diatur dalam RUU berlandaskan kepada sejumlah analisis berikut ini.
HUBUNGAN WEWENANG ANTARA PEMERINTAH DAN DAERAH SERTA
ANTAR DAERAH
Kedudukan Provinsi dan Kabupaten/Kota terhadap Pemerintah bersifat
subordinatif. Daerah otonom adalah ciptaan Pemerintah dan dapat dihapus
oleh Pemerintah (local government is creature of central government). Namun
dilihat dari konsep hubungan wewenang baik antara Pemerintah dan Provinsi
maupun antara Pemerintah dan Kabupaten/Kota merupakan hubungan yang
bersifat resiprokal (tidak bersifat satu arah) dari atas kebawah (downward)
dan sebaliknya (upward). Hubungan tersebut berlaku pula bagi hubungan
antara Provinsi dan Kabuapten/Kota.
Dilihat dari aspek penyelenggaraan desentralisasi, tampak tiga kelompok
besar hubungan yang terjalin, yaitu: pertama, hubungan vertikal yang
terpecah menjadi hubungan antara Pemerintah dan Provinsi dan hubungan
antara Provinsi dan Kabupaten/Kota. Kedua, hubungan diagonal yakni
hubungan antara Provinsi tertentu dan Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi
lainnya. Ketiga adalah hubungan horizontal yang dapat terjadi pada
hubungan antara Provinsi dan hubungan antar Kabupaten/Kota dalam satu
Provinsi, serta hubungan antar Kabupaten/kota pada Provinsi yang
bertetangga.
Hubungan-hubungan tersebut secara faktual terjadi sebagai akibat dari
bekerjanya sisitem (jaringan) sosial organisasi sebagai akibat dari hakekat
desentralisasi yang menciptakan adanya hubungan antar organisasi.
Banyaknya Daerah otonom baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota yang ada
menambah kompleksitas bekerjanya hubungan-hubungan tersebut. Seringkali
hubungan yang terjalin bekerja secara alamiah semata, karena adanya
beberapa motif sosial-ekonomi dengan lingkup yang beragam.
Penyelenggaraan dekonsentrasi menambah hubungan yang sudah kompleks
terjadi. Sebagai wakil Pemerintah, Gubernur memiliki hubungan wewenang
yang dapat dirinci atas : (1) hubungan antara Gubernur sebagai wakil
Pemerintah dengan Para Menteri dan Kepala Lembaga Pemerintah Non
Departemen; (2) hubungan antara Gubernur sebagai wakil Pemerintah dan
Daerah Provinsi di wilayahnya; dan (3) hubungan antara Gubernur sebagai
wakil Pemerintah dengan Kabupaten/Kota di wilayahnya.
Hubungan yang terjadi baik dalam kerangka asas desentralisasi maupun
dalam kerangka asas dekonsentrasi bersifat resiprokal. Undang-undang No.
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

32 Tahun 2004 nampaknya lebih mengarah kepada peraturan hubungan


yang bersifat searah dan hirarkis semata (downward). Disamping itu,
hubungan yang bersifat diagonal pun tidak banyak terakomodasi dalam UU
tersebut.
Yang dimaksud Pemerintah dalam UU 32 tahun 2004 adalah semata-mata
Presiden. Oleh karena itu perlu dirinci kemungkinan hubungan wewenang
antar Para Menteri/kepala LPND dengan Daerah, dengan mencermati
perlunya pengaturan hubungan wewenang antar Para Menteri/Kepala LPND
sendiri di tingkat pusat.
Hubungan wewenang antara Pemerintah dan Daerah, dan antar Daerah
menurut UU No. 32 Tahun 2004 pada pasal 14 ayat (3) akan dilaksanakan
berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP). Hal ini jelas bertentangan dengan
UUD Pasal 18 amandemen terakhir yang secara tegas menyatakan bahwa
hubungan wewenang tersebut diatur dengan UU.
Dalam konteks desentralisasi, pembagian kewenangan Pemerintahan
merupakan pesebaran kewenangan Pemerintahan dari Pemerintah Pusat
kepada
Daerah-Daerah
otonom.
Kewenangan
Pemerintah
yang
didistribusikan kepada Daerah hanyalah kewenangan pemerintahan saja
(eksekutif), tidak termasuk kewenangan legislatif (pembuatan undangundang) dan kewenangan yudikatif (peradilan).
Pembagian kewenangan pemerintah, berangkat dari adanya diktum tidak
mungkin kewenangan diselenggarakan secara 100% sentralisasi atau 100%
desentralisasi dalam suatu Negara Bangsa. Terdapat kewenangan
pemerintah yang sudah merupakan keniscayaan menjadi tanggung jawab
penuh pemerintah. Hal ini terkait dengan sifat kontinumnya antara sentralisasi
dengan desentralisasi. Penyelenggara desentralisasi sendiri adalah unsur
sentralisasi. Oleh karena itu, penyelenggaraan desentralisasi dalam sebuah
sistem pemerintahan, membawa pemilihan adanya : (1) wewenang yang tidak
dapat didesentralisasikan; dan (2) wewenang yang dapat didesentralisasikan.
Wewenang yang tidak dapat didesentralisasikan adalah wewenang
pemerintah pusat menyangkut wewenang pemerintah dalam hal urusan luar
negeri, pertahanan keamanan, keuangan (fiskal dan moneter), yustisisi dan
agama. Wewenang seperti ini dapat dilakukan secara (1) murni sentralisasi,
(2) dekonsentrasi dan (3) tugas pembantuan. Sementara itu wewenang yang
dapat didesentralisasikan yang menjadi sumber wewenang concurrent dapat
dilakukan dengan (1) sentralisasi (murni) pula karena adanya urusan-urusan
yang masih harus dilakukan oleh pemerintah, (2) dekonsentrasi juga dapat
dilakukan apabila diperlukan pelembagaan apparatus pusat di daerah, (3)
desentralisasi, dan (4) tugas pembantuan.
Terjadinya hubungan wewenang antara pemerintah dan daerah terutama
disebabkan oleh adanya kewenangan yang bersifat concurrent. Wewenang
konkuren terdapat pada kelompok wewenang yang dapat didesentralisasikan.

Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

Pembagian wewenang dalam UU No. 32 tahun 2004 dikembangkan melalui


kriteria (1) ekternalitas; (2) akuntabilitas; dan (3) efisiensi. Namun masih
dapat dikembangkan pula melalui kriteria catchment area yang tidak diatur
dalam UU tersebut.
Kerapkali wewenang concurrent ini dapat menimbulkan konflik dan atau
terjadi kefakuman dalam proses pemerintahan. Namun, jika ditata secara
optimal dapat membawa sinergi dan menjaga kualitas pemerintahan lebih
terarah.
Ada kalanya sistem pembagian wewenang yang sudah diatur dalam UU tidak
sepenuhnya menjadi pendorong terjadinya hubungan wewenang tetapi
terdapat riil yang membutuhkan penanganan pemerintahan yang cepat. Oleh
karena itu tercipta hubungan alamiah yang muncul. Sumber penataan
hubungan dalam keadaan seperti ini dapat diambil dari etika pemerintahan
atau sumber nilai-nilai moral dalam organisasi pemerintahan.
Secara singkat RUU Tata Hubungan Wewenang antara Pemerintah dan
Daerah dan hubungan wewenang antar Daerah harus mengatur hubungan
yang bersifat resiprokal dalam cakupan baik berkaitan dengan Gubernur
sebagai Wakil Pemerintah maupun dalam kerangka sebagai Kepala Daerah.
Undang-undang tersebut harus menata proses hubungan yang
dikembangkan secara resiprokal di dalam cakupan tersebut.
Kedudukan Badan Khusus Pelaksana Kewenangan
Perlu menjadi catatan bahwa seringkali hubungan horizontal antar kabupaten/
Kota baik dalam Provinsi maupun antar Provinsi yang terlembaga dengan
fungsi tunggal, membawa proses diciptakannya lembaga khusus semacam
otorita seperti lazim terjadi di negara maju. Dengan demikian RUU Tata
hubungan ini pun harus diarahkan kepada kemungkinan penataan badan
semacam ini bersama Pemerintah Kabupaten/Kota maupun Pemerintah
Provinsi. Badan semacam ini dapat dikategorikan mampu menciptakan
hubungan yang bersifat vertikal, sedangkan hubungan wewenang dengan
pemerintah daerah Kabupaten/Kota bersifat diagonal. Badan semacam ini di
negara lain diciptakan melalui instrumen desentralisasi fungsional.
TATA HUBUNGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH
Secara implisit perancang konstitusi Indonesia mengakui keberadaan
sentralisasi dan desentralisasi tidak dipandang sebagai dikotomi, melainkan
sebagai kontinum. Dalam teori organisasi yang dinyatakan oleh Frank P.
Sherwood pun diungkap hal yang senada.
Penyelenggaraan pemerintahan secara sentralisasi dimaksudkan untuk
menjamin terwujudnya aspirasi dan kepentingan nasional, sedangkan
penyelenggaraan pemerintahan secara desentralisasi dimaksudkan untuk
mengakomodasi dan menyalurkan aspirasi kemajemukan masyarakat.
Dengan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan dua asas tersebut
secara bersamaan akan terwujud unity within diversity dan diversity in unity.
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

Dalam sebuah negara kesatuan, pelaksanaan desentralisasi sesungguhnya


dapat merupakan pengalihan atau pelimpahan wewenang pemerintah secara
teritorial atau fungsional. Desentralisasi teritorial atau kewilayahan berarti
pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada masayarakat lokal untuk
mengatur dan mengurus kepentingan-kepentingannya dengan aspek
kewilayahan sebagai dasar pertimbangan utama dalam penentuan batas
jurisdiksi kelembagaannya. Desentralisasi fungsional berarti pelimpahan
wewenang dari Pemerintah kepada segolongan masyarakat yang terkait
dalam fungsi pemerintahan tertentu untuk mengatur dan mengurusnya sesuai
batas yurisdiksi fungsi tersebut.
Namun, di Indonesia praktek pemerintahan yang dianut baru menserap
desentralisasi teritorial sehingga wewenang pemerintahan dibagi habis antara
Pemerintah Pusat dan elemen-elemenya serta pemerintah daerah dan
elemen-elemennya. Desentralisasi fungsional menciptakan kelembagaan
khusus pada bidang tertentu dan otonom. Pada masa Hindia Belanda, pada
1920, pernah diciptakan lembaga otonom khusus bidang tertentu yakni
pengairan (irigasi) berupa waterschappen yang di negeri Belanda sendiri
hidup dan berkembang pesat.
Sejak kemerdekaan UUD 1945 tidak menganut kembali desentralisasi
fungsional yang telah diterapkan pada masa Hindia Belanda. Adanya otonomi
khusus dan istimewa bagi daerah-daerah tertentu bukan berarti adanya
desentralisasi fungsional. Keberadaan otonomi khusus dan istimewa berada
dalam desentralisasi teritorial.
Penyelenggaraan Desentralisasi (Teritorial)
Dalam berbagai pendapat pakar, diketahui bahwa penyelenggaraan
desentralisasi senantiasa terdapat dua elemen pokok, yaitu pembentukan
daerah otonom dan penyerahan kewenangan secara hukum dari pemerintah
pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus dan/atau bagian
dari kewenangan pemerintahan tertentu. Oleh karena itu, pelaksanaan asas
desentralisasi dalam negara kesatuan berarti memberikan hak untuk
mengatur dan mengurus kepentingan dan aspirasi masyarakat setempat.
Pembentukan daerah otonom tidak semata-mata berdasarkan pertimbangan
politik, tetapi juga harus berdasarkan pertimbangan kemampuan daerah, yang
dapat diukur melalui kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya,
sosial politik, jumlah penduduk, dan luas daerah untuk menyelenggarakan
otonomi daerah.
Dengan demikian, dalam negara kesatuan tidak dimungkinkan adanya daerah
yang bersifat negara. Hal itu berarti bahwa pelaksanaan desentralisasi tidak
pernah dimaksudkan untuk mendorong lahirnya negara dalam negara. Yang
ada adalah pemerintah pusat menyerahkan atau melimpahkan kewenangan
pemerintahan dan atau wewenang tertentu kepada pemerintah daerah.
Di dalam penyelenggaraan otonomi daerah, persoalan-persoalan persebaran
wewenang dan bagaimana tata hubungan di antara pemerintah dari setiap
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

jenjang menjadi suatu hal yang pelik. Sebagai contoh, wewenang yang
diberikan ke daerah Kabupaten/Kota berdampak kepada melemahnya posisi
gubernur. Walaupun ia memiliki fungsi dekonsentrasi karena gubernur itu
adalah juga sekaligus sebagai wakil Pemerintah dalam rangka dekonsentrasi.
Dalam kasus ini terdapat adanya dual function karena daerah otonom itu
adalah separateness (disintegrasi) sehingga harus mengintegrasikan kembali
(how to reintegrated). Pengintegrasiannnya dengan jalan provinsi memiliki
dual status sebagai daerah otonom dan sebagai daerah administrasi,
konsekuensinya gubernur juga memilki dual role sebagai wakil pemerintah
pusat dan sebagai kepala daerah.
Konstruksi ideal teoritis tersebut memerlukan konkritisasi dalam satu implikasi
kebijakan tertentu. Hal tersebut disebabkan dalam realita empirik justru
merebak dispute yang berlarut-larut di seputar tata hubungan kewenangan
antar Pemerintah dan Pemerintah Daerah atau antar Daerah.
Perlunya Tata Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dan antar
Daerah
Sekarang ini, yang perlu dilembagakan adalah penataan hubungan
kewenangan di antara organisasi pemerintah di setiap level. Jika gubernur
merupakan wakil pemerintah maka apa saja kewenangannya dan
hubungannya dengan pemerintah daerah perlu ditegaskan dan dirinci.
Sebagai wakil Pemerintah, gubernur harus jelas hubungannya dengan para
Menteri bukan hanya dengan Presiden. Bagaimana tata hubungan antara
gubernur sebagai wakil Pemerintah dengan Para Menteri dan atau Kepala
Lembaga Pemerintah Non Departemen. Bagaimana pula hubungan Dinas
(Provinsi, dan Kabupaten/ Kota) dengan departemen-departemen teknis?
Bagaimana pula hubungan antara Gubernur dengan Para Bupati/ Walikota di
wilayahnya? Anggota DPRD dan pejabat Pemerintah di Pusat, Provinsi, dan
Kabupaten/ Kota. Hal itu semua tentu memerlukan kearifan pemerintahan.
Secara keseluruhan, perlu dilakukan pelembagaan hubungan di antara
lembaga-lembaga pemerintah baik secara horizontal maupun vertikal yang
didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan rasional akademis untuk
menghindari polemik.
Beberapa hal yang mendorong secara utuh perlunya tata hubungan tersebut
antara lain: (a) Bahwa Filosofis dasar keberadaan pemerintahan daerah
dalam Negara kesatuan Republik Indonesia berkenaan dengan pelaksanaan
asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan, merupakan subsistem dari pemerintahan Nasional. (b) pelaksanaan pemerintahan yang baik
menuntut adanya hubungan saling ketergantungan antar berbagai elemen
Pemerintahan dalam bingkai Negara kesatuan Republik Indonesia; (c)
tuntutan globalisasi menghendaki pemerintahan yang kuat dalam berbagai
jenjang yang saling bersinergi; (d) Bahwa keadaan kemajuan bangsa
Indonesia yang memiliki karakter budaya yang tinggi dan majemuk
memerlukan pemeirntahan yang mampu menjadi pendorong inistiatif lokal,
pendorong berbagai perubahan ke arah kemajuan bangsa dan penyeimbang
bagi setiap lapisan masyarakat dengan kompleksitas sistem yang ada.
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

Area Tata Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah dan antar Daerah
Konsepsi untuk mewujudkan kehendak filosofis di atas berupa sebuah
mekanisme dan proses timbal balik antar berbagai unsur dalam pemerintahan
berdasarkan prinsip kepemerintahan yang baik. Untuk itu, tata hubungan
yang ada mengharuskan operasionalisasi dari konsepsi tersebut. Singkat
kata, tata hubungan adalah mekanisme dan proses timbal balik antar
berbagai unsur dalam pemerintahan berdasarkan prinsip kepemerintahan
yang baik. Unsur dalam pemerintahan adalah elemen-elemen yang
membentuk sistem pemerintahan yang meliputi: wewenang, Jabatan, dan
Wilayah.
Tata hubungan wewenang adalah mekanisme dan proses timbal balik dalam
hal pembagian dan penyerahan wewenang atas dasar prinsip
kepemerintahan yang baik. Tata Hubungan wilayah adalah mekanisme dan
proses timbal balik dalam hal wilayah pemerintahan atas dasar prinsip
kepemerintahan yang Baik. Tata Hubungan jabatan adalah mekanisme dan
proses timbal balik dalam hal jabatan berdasarkan prinsip kepemerintahan
yang baik.
Dengan demikian, tata hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
adalah mekanisme dan proses timbal balik antara unsur Pemerintah Pusat
dan unsur Pemerintah daerah berdasarkan prinsip kepemerintahan yang baik.
Tata Hubungan Antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupatan/ Kota
adalah mekanisme dan proses timbal balik antara unsur Pemerintah Provinsi
dan unsur pemerintah Kabupaten/ Kota berdasarkan kepemerintahan yang
baik.
Pola hubungan yang tercipta dapat beranjak pada hubungan vertikal,
horizontal dan diagonal. Hubungan-hubungan tersebut dapat terjadi baik
dalam area dekonsentral, desentralisasi, dan medebewind maupun dalam
antar ketiga area tersebut.
HUBUNGAN PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH DI
INDONESIA
Ada dua alasan utama mengapa Konstruksi Ulang Hubungan Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah di Indonesia merupakan hal yang penting
untuk dibahas. Pertama, hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah, selanjutnya dalam disingkat dengan hubungan pusat dan daerah,
adalah masalah nasional yang sangat kritis yang selalu bergerak dari satu
pendulum yang memusat (sentripetalis) ke arah pendulum yang menyebar
(sentrifugalis). Hubungan dinamis yang kritis ini seringkali dapat
menyebabkan gerakan separatis yang berujung pada situasi turbulens dan
hancurnya eksistensi sebuah negara. Kedua, dalam wacana akademik,
gagasan dan konsep federalisme dan negara federal yang merupakan wujud
gerakan negara yang bersifat menyebar telah memperoleh stigma buruk
dalam sejarah perjalanan negara dan bangsa Indonesia. Federalisme dan
negara federal dalam konteks hubungan pusat dan daerah telah dipahami
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

semata-mata sebagai kontra negara kesatuan dan diduga kuat dengan


keinginan untuk mendirikan negara federal. Tentu saja pandangan yang keliru.
Negara nasional terlalu kecil untuk mengatur dan mengurus masalah-masalah
yang sangat besar, tetapi terlalu besar untuk mengatur dan mengurus
masalah-masalah yang sangat kecil (lihat misalnya Bell, 1988:2). Ungkapan
ini mengisyaratkan, bahwa peran negara nasional sebagai pengatur dan
penyelenggara akan semakin berkurang dan akan sangat tergantung dengan
mekanisme koordinasi dan pembagian kekuasaan baik pada tingkat
internasional maupun pada tingkat lokal (Fukuyama, 2004: 95). Konsekuensi
logis dari hal ini adalah penyerahan sebagian kekuasaan kepada unit-unit sub
nasional dan lokal. Karena itu, pengaturan dan penyelenggaraan tugas-tugas
negara dan pemerintahan akan senantiasa berubah secara periodik, baik
pada negara yang berstruktur federal maupun negara yang berstruktur
unitaris (kesatuan).
Dinamika Hubungan Pusat - Daerah
Tendensi dinamika perkembangan hubungan pusat dan daerah tidak saja
terjadi pada negara kesatuan, seperti Indonesia, tetapi juga pada negaranegara dengan struktur federal seperti Jerman, Canada, USA, Austria dan
Swiss.
Terjadinya sentralisasi kewenangan di negara-negara federal memberikan
bukti kepada kita bahwa hubungan antara pusat dan daerah merupakan
refleksi areal division of power (vertical distribution of power) yang bersifat
dinamik, berada dalam suatu kontinum antara ekstrim sentral unitaris dan
ekstrim liberal-federalis, berada antara kekuatan sentrifugal yang mendorong
keluar dan sentripetal yang menarik ke dalam. Pembagian kekuasaan secara
vertikal yang merupakan komplemen pembagian kekuasaan secara horizontal,
tidak berada dalam ruang vakuum, tetapi sangat dipengaruhi oleh faktorfaktor internal nasional dan faktor-faktor eksternal internasional yang
berkembang.
Derajat hubungan antara Pusat dan Daerah dapat dijadikan sebagai indikasi
pada posisi mana struktur suatu negara berada. Meskipun demikian tidak
mungkin terdapat suatu negara yang sangat bersifat unitaris atau sebaliknya
sangat bersifat federalis. Elemen hubungan antara pusat dan daerah tidak
bersifat monosentris, melainkan polisentris bergerak dari satu kontinum ke
kontinum lainnya, dari kontinum unitaris ke kontinum federalis dan sebaliknya
(Laufer dan Ursula, 1998: 14). Dalam problem setiap negara bangsa, tugas
terberat yang harus diselesaikan oleh para pembuat keputusan politik adalah
menjaga titik keseimbangan antara gerakan yang bersifat sentrifugal dan
gerakan yang bersifat sentripetal. Kekuatan sentrifugal yang terlalu besar
akan mengakibatkan gerakan separatisme yang mungkin berakibat pada
disintegrasi bangsa. Sedangkan kekuatan sentripetal yang berlebihan akan
menciptakan pemerintahan yang berkarakter sentralistis, dimana diskresi dan
partisipasi lokal dapat terabaikan. Kedua gerakan ini akan terus terjadi dari
satu generasi ke generasi selanjutnya, baik di negara-negara yang berbentuk
federal maupun di negara-negara yang berbentuk unitaris. Keutuhan integrasi
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

sebuah negara bangsa sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mencari


pakem keseimbangan diantara dua gerakan tersebut.
Problematika Hubungan Pusat Daerah di Indonesia
Untuk dapat merekonstruksi hubungan Pusat dan Daerah di Indonesia,
marilah kita lihat berbagai situasi problematis yang terjadi pada praktek
hubungan tersebut pada masa kekinian dalam kontek penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Pasang surut hubungan antara Pusat dan Daerah
sejatinya selalu mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia
(lihat Mackie, 1980:671). Bahkan sejak kita merdeka, berbagai gerakan
separatis yang muncul di daerah seperti PRRI dan Permesta juga sangat
terkait dengan aspek vertical distribution of power, disamping tentu saja
memiliki keterkaitan dengan aspek horizontal distribution of power.
Pergolakan tersebut merupakan reaksi terhadap kekuatan sentripetal yang
berlebihan dalam penyelenggaraan negara (Hoessein, 1995:12). Pasang
surut hubungan ini tercermin dalam berbagai produk perundang-undangan
yang mengatur mengenai pemerintahan daerah, sebagai amanat Pasal 18
UUD 1945, baik sebelum maupun sesudah diamandemen.
Pasca jatuhnya Soeharto, hubungan antara Pusat dan Daerah memiliki
ancaman sekaligus harapan. Menjadi sebuah ancaman karena berbagai
tuntutan yang mengarah kepada disintegrasi bangsa semakin besar. Efek
domino gerakan sentrifugal ini tidak berhenti, melainkan akan terus berlanjut
sampai ditemukannya titik keseimbangan antara pusat dan daerah. Gerakan
ini bukan merupakan kejadian sesaat, karena merupakan akumulasi dari
kegagalan sistem yang sangat sentralistis, sebagaimana juga terjadi di
negara-negara Afrika. (Wunsch dan Olowu, 1995: 54).
Pada sisi lainnya, pasca kejatuhan Soeharto juga memberikan harapan pada
kemungkinan terjadinya perubahan hubungan kekuasaan antara Pusat dan
Daerah. Hal ini terbukti dengan ditetapkannya UU No. 22 tahun 1999, yang
direvisi dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sejalan
dengan UU No. 22 tahun 1999, maka UU No. 2 tahun 1999 tentang Pemilihan
Umum juga memperkuat posisi daerah dengan diterapkannya sistem
pemilihan semi distrik pada bulan Juni 1999. Kedua UU ini sedikit banyak
telah merubah corak hubungan antara Pusat dan Daerah di Indonesia.
Kecenderungan menguatnya desentralisasi, sebagaimana tertuang dalam UU
No. 22 tahun 1999, merupakan refleksi gerakan sentrifugal yang terjadi di
Indonesia pasca kejatuhan Soeharto. Desentralisasi kewenangan yang
serupa juga terjadi di beberapa beberapa negara Asia seperti di Filipina,
Vietnam, Kamboja dan juga Cina (White and Smoke, 2005: 4). Gerakan ini
menurut White dan Smoke dipengaruhi oleh bekerjanya faktor-faktor politik,
faktor ekonomi dan faktor demografi.
Dalam perspektif politik, UU No. 22 tahun 1999 dapat dikatakan berhasil
meredam gerakan sentrifugal yang terjadi di daerah pasca kejatuhan
Soeharto. UU No. 22 tahun 1999 menghapus pelaksanaan azas
dekonsentrasi pada Daerah Kabupaten dan Kota, dimana azas ini hanya
dilaksanakan pada daerah Propinsi. Dengan demikian semua kewenangan
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota pada prinsipnya merupakan


kewenangan dalam rangka desentralisasi dan sebagian dalam rangka tugas
pembantuan. Demikian juga makna desentralisasi tidak lagi dalam
pemahaman administrativ tetapi dalam konteks politis, dimana pemerintah
daerah Kabupaten dan Kota berhak mengatur (regulate, regeln) dan
mengurus (manage, verwalten) rumah tangganya sendiri atas inisiatif dan
kekuatan sendiri. UU No. 22 tahun 1999 juga menghapus hierarki antara
pemerintah Kabupaten/Kota dengan pemerintah Propinsi. Konstruksi
hubungan antara pusat dan daerah seperti diatur dalam UU No. 22 tahun
1999, telah menyebabkan beralihnya kekuasaan dari Pemerintah Propinsi
kepada Pemerintah Kabupaten/Kota. Kekuatan gerakan sentrifugal ini
menjadi sangat lemah, karena para elite lokal yang menghendaki
kemerdekaan propinsi menjadi terpecah. Para Bupati dan Walikota lebih
tertarik untuk menjadi raja kecil di wilayahnya, daripada menjadi hulu
balang di negara yang akan dibentuk. UU No. 22 tahun 1999 bahkan
meletakkan dasar perubahan yang radikal (radical change) dalam hubungan
antara Pusat dan Daerah, juga dalam Sistem Administrasi Publik Indonesia
secara keseluruhan (Rohdewohld, 2003: 259).
Politik Sentralisme dan praktek ketidakadilan yang terjadi selama masa
Soeharto telah menyebabkan gerakan separatisme di beberapa daerah.
Ketidakseimbangan pembagian keuangan antara pusat dan daerah telah
menyebabkan kecemburuan di beberapa daerah.
Konstruksi Hubungan Pusat Daerah Pasca Orde Baru
Konstruksi hubungan antara Pusat dan Daerah pasca kejatuhan Soeharto
boleh jadi bisa memberikan obat penawar bagi kegelisahan dan kemarahan
daerah. Tetapi dalam prakteknya tidak serta merta menyurutkan keinginan
Aceh dan Papua untuk memerdekakan diri. Sebaliknya pemberian otonomi
yang luas kepada pemerintah daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999,
yang telah direvisi dengan UU No. 32 tahun 2004, juga telah menyebabkan
sejumlah paradoks dalam pembangunan dan pemerintahan. Bahkan hasil
penelitian di beberapa daerah mengarahkan kepada kesimpulan gagalnya
otonomi daerah yang dicerminkan dari ketiadaan political equality, local
responsiveness dan local accountability (Yappika, 2006; lihat juga untuk
konsep ini Smith, 1985:24).
Banyaknya urusan yang telah diserahkan kepada kabupaten/kota ternyata
tidak diikuti oleh kemampuan dan jumlah SDM Aparatur yang tersedia.
Terbatasnya kualifikasi dan jumlah SDM aparatur ini merupakan masalah
utama yang dihadapi oleh Kabupaten/Kota. Di beberapa daerah bahkan
pengisian jabatan dilakukan dengan mengatrol kepangkatan seseorang,
karena keterbatasan SDM yang memenuhi persyaratan. Mekanisme
Baperjakat (Badan Penilai Jabatan dan Kepangkatan) seringkali terbentur
pada keterbatasan jumlah dan kualifikasi SDM yang tersedia, di samping juga
politik afiliasi dan politik akomodasi.
Keterbatasan SDM aparatur ini sangat dirasakan dalam pelayanan publik
maupun dalam pengelolaan keuangan daerah. Tidak terkecuali adalah
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

10

keterbatasan kemampuan anggota DPRD dalam proses penganggaran.


Akibatnya, perencanaan dan pengelolaan keuangan daerah serta proses
penganggarannya masih jauh dari optimal. Hal ini dipersulit lagi oleh
perubahan sistem anggaran dari pusat yang sangat cepat dan susul
menyusul bahkan seringkali tumpang tindih-, sehingga menyulitkan respon
kemampuan SDM aparatur. Pada sisi lainnya, peran dan fungsi Gubernur
sebagai wakil pusat pun tidak berjalan efektif, sehingga SDM aparatur tidak
dapat didistribusikan secara merata kepada kabupaten/kota di propinsinya.
Otonomi daerah bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dan
akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan. Tujuan ini sangat paradoks
dengan praktek otonomi daerah yang terjadi. Jaminan partisipasi masyarakat
dalam bentuk peraturan daerah belum menjadi kebutuhan dan kewajiban bagi
pemerintah daerah. Proses perencanaan pembangunan dan anggaran
misalnya masih dipandang sebagai ekslusif domain pemerintah dan harus
dirahasiakan atau ditutupi keberadaannya dari akses publik. Pada sisi lainnya,
kesempatan masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap kinerja
pemerintah juga tidak terwujud. Tidak ada mekanisme dan prosedur yang
terlembaga yang memungkinkan masyarakat melakukan keluhan dan
mengontrol kinerja pemerintah. Keluhan masyarakat terhadap kinerja
pemerintahan daerah tidak pernah diketahui hasilnya. Akibatnya, masyarakat
tidak memperoleh informasi apakah keluhan yang disampaikan telah direspon
dan ditindaklanjuti.
Potret suram otonomi daerah juga terjadi dalam pengelolaan Sumber Daya
Alam. Tidak ada peraturan daerah yang mengatur mengenai hak masyarakat
atas informasi dan keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan dan
pengambilan keputusan. Tidak dapat juga dibantah bahwa kebijakan
pelimpahan wewenang perizinan pemanfaatan SDA dari pusat kepada
daerah justru meningkatkan eksploitasi SDA yang berlebihan dan tidak
memperhatikan kelestariannya. Hal ini disebabkan karena pengelolaan SDA
oleh pemerintah daerah semata-mata dalam rangka perolehan Pendapatan
Asli Daerah (PAD) dan transaksi ekonomi politik. Pemilihan langsung kepala
daerah yang diharapkan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat, dalam
prakteknya tidak terjadi. Proses penjaringan calon kepala daerah menjadi
domain eklusif partai politik. Klaim partai politik bahwa jika pencalonan
dilakukan hanya melalui partai politik akan memperkuat kelembagaan partai
politik dalam prakteknya juga tidak menjadi kenyataan (Prasojo, 2005:101).
Yang terjadi adalah praktek jual beli perahu partai politik dalam proses
pencalonan kepala daerah. Sedangkan masyarakat dipaksa untuk memilih
calon yang telah dipilih oleh parpol tanpa proses penjaringan yang partisipatif.
Meskipun demikian, praktek penyelenggaraan pemerintahan daerah
berdasarkan konstruksi UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 32 tahun 2004
tidaklah selalu menampakkan wajah yang suram, karena di sebagian kecil
daerah juga dapat dilihat praktek-praktek best practices dan program-program
inovasi. Salah satu faktor pengungkit dari terjadinya program-program inovasi
ini adalah peran kepemimpinan yang besar dari Bupati dan Walikota. Kitapun
sangat bangga dengan program-program yang telah memberikan
kesejahteraan kepada masyarakat seperti di Kabupaten Jembrana (Prasojo
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

11

dkk, 2004), di Kabupaten Sragen, di Kabupaten Solok, di Kabupaten


Kebumen, di Kota Tarakan dan daerah-daerah lainnya. Tetapi peran
kepemimpinan yang besar dari Bupati dan Walikota dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah sekaligus memberikan tanda tanya besar bagi
keberlanjutan program-program inovasi tersebut.
Beberapa uraian diatas tentang situasi problematik penyelenggaraan
pemerintahan daerah di Indonesia menggambarkan dua pokok permasalahan
besar dalam konteks hubungan antara pusat dan daerah kekinian. Pada satu
sisi, perubahan konstruksi hubungan pusat dan daerah berdasarkan UU 22
No. Tahun 1999, yang telah direvisi dengan UU No. 32 tahun 2004 ternyata
belum mampu secara optimal meredam kekuatan-kekuatan sentrifugal yang
mengarah pada gerakan separatisme. Bahkan kekhususan-kekhususan yang
diberikan kepada pemerintah Aceh melalui UU Pemerintahan Aceh No. 11
tahun 2006 (sebagai hasil MOU Helsinki dan merupakan revisi terhadap UU
No. 18 tahun 2001), dan kekhususan yang diberikan kepada Propinsi Papua
berdasarkan UU No. 21 tahun 2001, telah memberikan tanda tanya besar
tentang konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia. Akankah setiap
gerakan sentrifugal yang terjadi di daerah harus direspon oleh pusat dengan
memberikan kekhususan melalui/dalam UU tertentu, padahal terminologi
otonomi daerah itu sendiri sejatinya telah mengandung makna kekhususan
bagi daerah. Pada sisi lainnya, praktek penyelenggaraan pemerintahan
daerah juga diwarnai dengan berbagai problem implementasi terkait dengan
aspek efektivitas pemerintahan, pengelolaan Sumber Daya Alam, Pemilihan
Kepala Daerah, Pelayanan Publik, Hubungan antara Pemerintah Daerah dan
Masyarakatnya, Hubungan antara DPRD dan Pemerintah Daerah, serta
berbagai problem lainnya sebagaimana telah disinggung dimuka.
Kedua pokok permasalahan di atas menghendaki satu perubahan mendasar
hubungan antara pusat dan daerah. Dengan kata lain, perlu dipikirkan
konstruksi baru hubungan antara pusat dan daerah. Konstruk hubungan
tersebut paling tidak memuat pemikiran ulang mengenai tingkatan
pemerintahan, status dan kedudukannya; pembagian wewenang (atau
urusan) antar berbagai tingkatan pemerintahan; perimbangan keuangan
antar tingkatan pemerintahan; partisipasi daerah dalam pembuatan
keputusan di tingkat nasional; dan intervensi pusat terhadap daerah.
Konstruksi Ulang Hubungan Pusat Daerah untuk Indonesia
Dalam hal konstruksi ulang hubungan antara pusat dan daerah pada masa
yang akan datang, diusulkanlah pemikiran-pemikiran berikut agar dapat
dijadikan sebagai pertimbangan dalam menyusun grand design hubungan
tersebut.
Tingkatan Pemerintahan Daerah, Peran, Kedudukannya
Sebagaimana telah maklum dan telah pula kita dipahami, tingkatan
pemerintahan daerah, peran dan kedudukannya telah berubah dari satu
kurun ke kurun waktu lain di Indonesia. Berdasarkan UU No. 22 tahun 1999,
tingkatan pemerintahan daerah di Indonesia dibagi atas Propinsi dan
Kabupaten/Kota yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

12

menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Perlu dicatat disini,


penggunaan terminologi dibagi yang merujuk pada pasal 18 UUD 1945
perubahan kedua tahun 2000, dalam wacana akademik masih menimbulkan
polemik. Polemik ini bertitik tolak dari kata dibagi yang dapat dimaknai bahwa
Negara Kesatuan Republik Indonesia ini dibagi-bagi layaknya konsepsi dan
praktek di negara federal.
Perjalanan panjang penelitian di beberapa daerah mengarahkan pada
kesimpulan, bahwa praktek otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 tahun
1999 jo UU No. 32 tahun 2004 telah menyebabkan fragmentasi administrasi
(fragmanted administration) yang berlebihan di kabupaten dan kota. Kondisi
ini dalam derajat tertentu kontradiktif dengan tujuan-tujuan otonomi daerah.
Ketentuan pasal 4 ayat 2 UU No. 22 tahun 1999 yang menyebutkan tidak
adanya hirarki satu sama lain antara propinsi dan kabupaten/kota dalam
prakteknya telah menyebabkan lemahnya peran dan fungsi Gubernur sebagai
Wakil Pusat di daerah. Gubernur tidak dapat melakukan pengawasan,
pembinaan
dan
koordinasi
penyelenggaraan
pemerintahan
dan
pembangunan di Kabupaten dan Kota. Hubungan antara pemerintah
kabupaten/kota ke pusat dilakukan secara langsung, tanpa melalui Gubernur.
Peran dan fungsi Gubernur menjadi mandul. Sehingga terlihat kesan,
pemerintahan daerah menjadi sentralistis kembali. Pada tataran ideal,
seharusnya problem-problem penyelenggaraan pemerintahan daerah
berhenti dan dapat diselesaikan di tingkat Propinsi. Pada sisi lainnya batasbatas budaya di level kabupaten/kota berhimpit dengan batas-batas
administratif yang mengakibatkan kuatnya egoisme daerah dan kesukuan. UU
No. 32 tahun 2004 yang dimaksudkan untuk mengurangi masalah-masalah
yang muncul dalam implementasi UU No. 22 tahun 1999, ternyata belum
mampu merubah paradigma bupati/walikota yang terlanjur sudah terbentuk.
Dengan memperhatikan problem yang dihadapi pada tataran praktek, juga
konstruksi teoritis yang ada, maka konsensus untuk menghilangkan status
daerah administratif di tingkat kabupaten/kota, dan keinginan untuk tetap
mempertahankan dual role dan dual status dari Gubernur, harus diikuti
dengan penguatan peran Gubernur sebagai Wakil Pusat di daerah untuk
melakukan pengawasan, pembinaan dan koordinasi. Para bupati/walikota
tidak perlu merasa khawatir kewenangannya akan berkurang dengan hal ini,
karena locus dan focus otonomi daerah harus tetap berada di tingkat
kabupaten dan kota. Undang-undang harus memberikan seperangkat
instrumen kepada Gubernur untuk secara aktif melakukan fungsinya sebagai
WPP. Pemikiran ini sejalan dengan semangat otonomi daerah, yaitu untuk
mengurangi peran pusat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah
dengan mempercayakan Gubernur untuk melakukan tugas-tugas koordinasi,
pengawasan dan pembinaan terhadap Kabupaten dan Kota di wilayahnya.
Kekhawatiran bahwa Gubernur akan lebih condong sebagai Wakil Pusat
katimbang sebagai Kepala Daerah tidaklah beralasan, karena Gubernur
dipilih oleh rakyat secara langsung. Inilah yang dimaksudkan sebagai upaya
untuk menjaga keseimbangan antara gerakan sentrifugal dan gerakan
sentripetal dalam hubungan antara Pusat dan Daerah.
Pembagian kewenangan antar tingkatan pemerintahan
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

13

Salah satu perubahan besar konstruksi hubungan antara Pusat dan Daerah
berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 dan juga UU 32 No. 32 tahun 2004
dibandingkan dengan Undang-Undang sebelumnya adalah dianutnya prinsip
kewenangan sisa (residu of powers) dalam pembagian kewenangan antar
tingkatan pemerintahan. Kewenangan Kabupaten dan Kota mencakup semua
kewenangan pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik, luar
negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta
kewenangan bidang lainnya yang ditetapkan sebagai kewenangan pusat.
Dengan demikian semua kewenangan pada dasarnya sudah ada pada
kabupaten dan kota, sehingga tidak perlu dilakukan penyerahan secara aktif
oleh pusat. Dalam penjelasan pasal 11 ayat 1 UU No. 22 tahun 1999
disebutkan bahwa pada dasarnya seluruh kewenangan sudah berada pada
daerah Kabupaten dan Kota. Oleh karena itu, penyerahan kewenangan tidak
perlu dilakukan melalui pengakuan oleh pemerintah. Secara material
ketentuan penjelasan pasal 11 ini memiliki makna dan semangat yang dianut
oleh konstitusi dalam kebanyakan negara federal. Pada sisi lainnya,
ketentuan pasal 7 dan pasal 11 UU No. 22 tahun 1999 dapat pula ditafsirkan
sebagai kewenangan yang tabu untuk di desentralisasikan (Hoessein,
2001:18). Kewenangan yang secara enumeratif diserahkan kepada pusat
dalam pasal 7 dengan demikian, hanya dapat dilaksanakan melalui asas
sentralisasi atau dekonsentrasi. Ketentuan rinci mengenai bidang-bidang
pemerintahan yang disebutkan dalam pasal 7 dan pasal 9, ditetapkan oleh
pemerintah melalui Peraturan Pemerintah (pasal 12).
Bentuk pembagian wewenang dengan azas residu of powers pada daerah
Kabupaten dan Kota ini, menyerupai pembagian wewenang yang lazim
dilakukan oleh beberapa negara federal, seperti USA, Jerman, Austria dan
Swiss, dimana wewenang pemerintah federal dirinci dalam Konstitusi,
sementara wewenang lain yang tidak disebutkan sebagai wewenang federal
secara otomatis menjadi wewenang negara bagian (Prasojo, 2005:163).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa secara substansial UU No. 22/1999
menganut prinzip kelaziman yang diterapkan di negara federal dalam hal
pembagian wewenang.
Salah satu masalah yang dihadapi dalam implementasi otonomi daerah yang
berakar dari konstruksi hubungan antara Pusat dan Daerah adalah
ketidakjelasan model pembagian kewenangan antar tingkat pemerintahan.
Secara teoritik dan praktek internasional di beberapa negara, terdapat dua
prinsip dasar yang dapat dilakukan dalam membagi kewenangan yaitu
berdasarkan kepada fungsi dan berdasarkan kepada politik. Atas dasar fungsi
kewenangan dibagi menurut fungsi mengatur dan fungsi mengurus. Artinya,
untuk suatu jenis kewenangan, fungsi mengatur dan mengurus ditetapkan
dan dibagi secara tegas untuk setiap tingkatan pemerintahan. Sebaliknya, jika
prinsip dasar yang dianut adalah berdasarkan pembagian politik, maka fungsi
mengatur dan mengurus ini tidak secara tegas dibagi antara tingkatan
pemerintahan. Sehingga untuk satu jenis kewenangan sektoral bisa terdapat
fungsi mengatur dan mengurus yang sama dan dimiliki oleh dua tingkatan
pemerintahan yang berbeda. Ketidakjelasan model pembagian kewenangan
ini, dalam prakteknya terefleksi dalam dua wajah. Pertama, untuk sektorsektor yang bersifat profit seringkali terjadi tumpang tindih antara pusat,
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

14

propinsi dan kabupaten/kota. Kedua untuk sektor-sektor yang bersifat


pembiayaan, seringkali terjadi kevakuman kewenangan.
Secara khusus, problem pembagian kewenangan juga terletak pada
inkonsistensi berbagai produk perundang-undangan di negeri ini. Peraturan
Pemerintah dan Keputusan Presiden bisa mereduksi kewenangan yang
sudah diberikan Undang-Undang. Bagi daerah, inkonsistensi ini
membingungkan dan cenderung menyebabkan resentralisasi. Ujung dari
inkonsistensi ini adalah konflik sektoral antar tingkat pemerintahan. Dalam
kesempatan berpartisipasi menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah
tentang pembagian kewenangan, dapat dirasakan ketegangan antara sektor
dengan pemerintah daerah. Bahkan beberapa pemerintah daerah menuduh
pusat tidak bersungguh-sungguh mendesentralisasikan kewenangan.
Dilihat dari akar permasalahan tersebut, maka konstruksi hubungan pusat dan
daerah pada masa yang akan datang diarahkan pada dua hal. Pertama,
dalam praktek di negara-negara kesatuan model pembagian kewenangan
yang dianut adalah berdasarkan fungsi. Titik berat fungsi mengatur yang
bersifat nasional dilakukan oleh pusat. Sedangkan Propinsi dan
Kabupaten/Kota mengatur sesuai dengan tingkat kewenangan yang dimiliki.
Selaras dengan kewenangan mengatur yang dimiliki, fungsi mengurus
dilakukan oleh masing-masing tingkatan sesuai dengan kewenangan yang
dimiliki. Beberapa kewenangan yang dapat dikembangkan adalah (1)
kewenangan mengatur oleh pusat, (2) kewenangan mengatur oleh provinsi,
(3) kewenangan mengatur oleh kabupaten/kota, (4) kewenangan mengurus
dalam rangka desentralisasi, (5) kewenangan mengurus dalam rangka
dekonsentrasi, (6) kewenangan mengurus dalam rangka tugas pembantuan,
dan (7) kewenangan mengurus dalam rangka sentralisasi. Dalam praktek di
negara-negara federal, pembagian kewenangan antara federal dan negara
bagian dilakukan secara tuntas di Konstitusi, inkonsistensi dan ketidakjelasan
tersebut dapat dikurangi. Diusulkan agar pembagian kewenangan
berdasarkan kepada fungsi mengatur dan mengurus ditetapkan secara tuntas
di dalam Undang-undang. Pengaturan melalui Peraturan Pemerintah
sebagaimana yang dianut pada saat ini, cenderung menguntungkan pusat
dan melemahkan daerah.
Dilihat dari esensi tujuannya, maka desentralisasi dimaksudkan untuk
menumbuhkembangkan kemandirian daerah dalam menyelenggarakan
pemerintahan daerah, pembangunan dan pelayanan. Tujuan ini hanya akan
tercapai jika pemerintah daerah dapat membiayai pelaksanaan seluruh
kewenangan yang diserahkan kepadanya. Bertalian dengan hal tersebut perlu
adanya keselarasan antara kewenangan yang diserahkan, sumber-sumber
penerimaan yang dimiliki dan kewajiban untuk membiayainya. Kerangka
hukum konstruksi hubungan antara pusat dan daerah di Indonesia dari kurun
waktu ke waktu yang lain selalu diwarnai oleh kecenderungan sentralisasi
sumber-sumber penerimaan. Ada sejumlah faktor yang dapat menjelaskan
terjadinya hal tersebut. Pertama, desentralisasi fiskal (keuangan) adalah
persoalan krusial dan kritis menyangkut pertanyaan bagaimana menciptakan
dan mempertahankan ketergantungan daerah terhadap pusat. Kedua, UUD
1945 tidak secara tegas mengatur dan mengamanatkan satu perimbangan
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

15

dan hubungan keuangan antara pusat dan daerah. Dan ketiga,


kecenderungan keinginan dan harapan pusat untuk mendistribusikan
pembangunan ke seluruh pelosok tanah air secara adil, merata dan efisien.
Faktor-faktor ini telah menyebabkan ketergantungan daerah yang besar
terhadap pusat dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah (Crane,
1995:140, juga De Mello, 1999:8). Reformasi perimbangan keuangan melalui
UU No. 25 tahun 1999 dan direvisi melalui UU No. 33 tahun 2004 ternyata
belum mampu mengurangi ketergantungan daerah terhadap pusat. Sumbersumber penerimaan negara yang penting masih dikuasai oleh negara,
meskipun sebagian besar kewenangan sudah diberikan kepada daerah. Pada
sisi lainnya, ketidakseimbangan antara satu daerah dengan daerah lain juga
terjadi.
Berbagai persoalan hubungan keuangan antara pusat dan daerah bersumber
dari semrawutnya berbagai jenis perimbangan yang ada, disamping juga
disebabkan oleh ketiadaan jaminan yang tegas tentang hubungan ini dalam
UUD 1945. Daerah berada dalam kondisi yang rentan. Untuk mengatasi
persoalan-persoalan tersebut, ditawarkan pengungkit yang dapat dijadikan
sebagai kebijakan. Pertama, komponen perimbangan keuangan antara pusat
dan daerah harus meliputi 4 hal yaitu (1) pembagian penerimaan pajak dan
bukan pajak secara terpisah antar level pemerintahan, (2) bagi hasil
penerimaan pajak dan bukan pajak, (3) perimbangan horisontal antar daerah,
dan (4) dana subsidi perimbangan dari pusat kepada daerah. Kedua,
keempat jenis perimbangan tersebut harus disusun secara bertahap, dimana
setiap tahapan memiliki perhitungan yang mencerminkan angka kekuatan
keuangan setiap daerah. Pada tahapan keempat, yaitu dana subsidi
perimbangan pusat merupakan instrumen pengangkat daerah yang memiliki
kekuatan keuangan yang lemah. Sehingga demikian, kesenjangan horisontal
antar daerah dapat dikurangi. Ketiga, prinsip money follow function dan
money follow ressource harus berjalan selaras sehingga tidak boleh
menimbulkan kecemburuan daerah terhadap pusat dan daerah satu terhadap
daerah lain. Keempat, perlunya memperluas jenis dan prosentase bagi hasil
pajak. Kelima, perlunya mempertegas dan memperjelas ketentuan
perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam konstitusi untuk menjamin
kedudukan hukum pemerintah daerah.
Berdasarkan UU No. 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR,
DPR, DPD, dan DPRD, maka Daerah diberikan wadah institusional untuk
terlibat dalam pembuatan kebijakan di tingkat pusat. Dewan Perwakilan
Daerah berkedudukan sebagai parlemen kedua bersama-sama dengan
DPR. Meskipun demikian beberapa pemikiran perlu dikembangkan untuk
memperkuat DPD sebagai perwakilan daerah. Bahwa anggota-anggota DPD
diplih secara langsung oleh rakyat daerah dan tidak harus merupakan
anggota pemerintahan daerah dapat menyebabkan kontradiksi keputusan
pemerintahan daerah dengan keputusan anggota-anggota DPD yang
mewakili Daerah. Demikian juga dengan jumlah anggota DPD yang sama
untuk setiap daerah, dapat menyebabkan over representasi daerah-daerah
dengan penduduk sedikit terhadap daerah-daerah berpenduduk banyak.

Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

16

Pada sisi lainnya, kekuasaan yang dimiliki oleh DPD hanya terbatas pada
produk Undang-undang yang memiliki keterkaitan langsung dengan
kepentingan daerah, misalnya berkaitan dengan otonomi daerah dan
perimbangan daerah. Dalam keputusan terhadap produk Undang-undang
yang lain DPD tidak memiliki hak Veto. Dalam jangka panjang, kekuasaan
yang dimiliki oleh DPD harus bersifat veto dan diperluas tidak saja pada
produk Undang-Undang yang berkaitan dengan kepentingan daerah, tetapi
juga Undang-undang yang lainnya.

Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

17

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kebijakan nasional yang menjadi produk hukum untuk mengatur sistem
kehidupan bernegara dan bermasyarakat harus memiliki legitimasi yang kuat.
Legitimasi dari setiap produk hukum terutama dapat dihubungkan dengan
sandaran legalitas dari produk hukum tersebut. Dalam hal tata hubungan
kewenangan pemerintah Pusat dan Daerah, UUD 1945 hasil amandemen secara
eksplisit menyatakan perlunya sebuah produk hukum setingkat Undang-undang
(UU). Pada Ayat (1) Pasal 18 A UUD 1945 menyatakan sebagai berikut:
Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah
provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota,
diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan
keragaman daerah.
Frasa diatur dengan Undang-undang menandakan bahwa materi tata
hubungan kewenangan yang dimaksud bukan berada di dalam sebuah produk
hukum lain, tetapi secara khusus harus disusun pada sebuah UU. Sandaran
legalitas dari Pasal tersebut sangatlah kuat untuk menyusun sebuah UU.
Persoalan muncul, apakah UU yang akan mengatur hubungan kewenangan
tersebut akan bersamaan dengan UU yang mengatur perihal pemerintahan
daerah? Pertanyaan ini sangat urgen untuk dijawab guna menghindari terjadinya
tumpang-tindih materi pengaturan yang berkaitan dengan materi tata hubungan
kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Selanjutnya pada frasa tata hubungan kewenangan antara Pemerintah Pusat
dan Daerah, dengan menilik sistematika asas pemerintahan yang tidak hanya
melalui desentralisasi dan tugas pembantuan semata, maka materi tata

Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

hubungan kewenangan juga mengatur asas dekonsentrasi sebagai sebuah


sistem pemerintahan.
Materi tata hubungan kewenangan antar Pemerintah Pusat dan Daerah ini
mengatur asas dekonsentrasi yang tidak menjadi materi pengaturan dalam UU
yang mengatur pemerintahan daerah. Berdasarkan hal tersebut di atas,
kekhawatiran akan terjadi tumpang tindih sesungguhnya dapat dihindari.

Oleh sebab itu diperlukan suatu kegiatan yang komprehensif guna menyusun
rancangan Undang-Undang (RUU) Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah. Kebijakan dalam tata hubungan kewenangan
antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjadi sangat penting dan perlu
untuk mengurangi persoalan-persoalan yang selama ini menyertai hubungan
pemerintah pusat dan daerah terlebih dalam era otonomi.

Pokok Permasalahan

Dari uraian di atas, kegiatan penyusunan Rancangan Undang-Undang ini


berfokus pada pokok masalah berikut:

1. Berdasarkan naskah akademik yang ada, materi apa saja yang termuat
dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Tata Hubungan Wewenang antara
Pemerintah Pusat dan Daerah serta antar Daerah?
2. Bagaimana susunan Rancangan Undang-undang (RUU) tersebut?
3. Bagaimana melakukan sosialisasi RUU Tata Hubungan wewenang hubungan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta antar Daerah dalam rangka
umpan balik bagi perbaikan RUU tersebut?

Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

Tujuan

Dari fokus tersebut di atas, maka kegiatan ini bertujuan:

1. Mengidentifikasi materi-materi yang termuat dalam Rancangan Undangundang (RUU) Tata Hubungan Wewenang antara Pemerintah Pusat dan
Daerah serta antar Daerah berdasarkan naskah akademik yang sudah
disusun sebelumnya.
2. Menyusun RUU Tata Hubungan Wewenang antara Pemerintah Pusat dan
Daerah serta antar Daerah.
3. Mengembangkan kegiatan sosialisasi dalam rangka feed-back bagi perbaikan
susunan RUU tersebut.

Manfaat
Sebuah RUU memberikan kepastian dalam menyusun UU yang sesungguhnya,
sehingga materi yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat dan
bernegara semakin tinggi kualitasnya karena terjamin kepastian hukum sesuai
dengan cakupannya. Oleh karena itu, RUU Tata Hubungan Wewenang antara
Pemerintah Pusat dan Daerah serta antar Daerah ini memberikan landasan yang
kuat bagi Pemerintah, Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk menjalankan berbagai
kewenangan dalam rangka penyempurnaan kerangka hukum desentralisasi.

Metodologi Penyusunan

Berdasarkan naskah akademik Tata Hubungan Wewenang antara Pemerintah


Pusat dan Daerah serta antar Daerah, maka penyusunan RUU Tata Hubungan
Wewenang antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta antar Daerah dilakukan
melalui serangkaian metoda:

Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

1. Desk Riset dengan menelaah informasi-informasi yang telah ada sebelumnya


yang berkaitan dengan topik kegiatan.
2. Focus Group Discussion, merupakan

Diskusi Kelompok Terarah yang

dilaksanakan dengan mengumpulkan nara sumber yang bisa dikatakan


homogen dalam

suatu ruangan. FGD ini diharapkan bisa dilaksanakan di

semua daerah di Indonesia yang dianggap representatif


3. Konsinyasi untuk menyusun naskah

Rancangan Undang-Undang Tata

Hubungan.
4. Seminar/Lokakarya

hasil

penelitian

berupa

naskah

akademik

untuk

mendapatkan masukan bagi penyusunan Rancangan Undang-Undang


5. Sosialisasi Rancangan Undang-Undang Tata Hubungan Kewenangan
Pemerintah, Provinsi Dan Kabupaten/Kota

Ruang Lingkup

Kegiatan penyusunan Rancangan Undang-Undang Tata Hubungan Dan


Pembagian Kewenangan ini mencakup tata hubungan dan pembagian
kewenangan antara Pemerintah, Provinsi, dan Kabupaten/Kota atau antara
Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Jadwal Pelaksanaan Kegiatan

Kegiatan ini dilaksanakan berdasarkan jadwal pelaksanaan berikut:

Aktivitas

Bulan 1
Bulan 2
Bulan 3
Bulan 4
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

Desk Riset
Focus Group Discussion
Konsinyasi
Seminar/Lokakarya
Sosialisasi

Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

Rincian Langkah Kegiatan

Adapun

rincian

langkah

pelaksanaan

kegiatan

berdasarkan

metode

pelaksanaannya adalah sebagai berikut:

Desk Riset

Kegiatan yang
dilakukan
Penelaahan informasi
dari naskah akademik
dan informasi lainnya
dari berbagai sumber
yang relevan dengan
topik kegiatan

Durasi
Pelaksanaan
Dalam kurun
waktu 2 (dua)
bulan selama
kegiatan
dilaksanakan

Diskusi
4 (empat) kali
Focus Group Pelaksanaan
Kelompok
Terarah pelaksanaan @ 2
Discussion
dengan mengumpulkan
jam
nara
sumber
yang
homogen dalam suatu
ruangan.
Penyusunan
naskah 2 (dua) kali @ 2
Konsinyasi
RUU Tata Hubungan
hari pelaksanaan
Pemaparan
hasil 4 (empat) kali @ 2
Seminar /
penelitian
berupa jam pelaksanaan
Lokakarya
naskah akademik dan
draft sementara RUU
untuk
mendapatkan
masukan
bagi
penyusunan
Rancangan
UndangUndang
Sosialisasi
Mensosialisasikan
3 (dua) kali @ 2
Daraft
RUU
Tata jam pelaksanaan
Hubungan
Kewenangan
Pemerintah,
Provinsi
Dan Kabupaten/Kota

Bentuk Keluaran
Informasi
mengenai urgensi
penyusunan RUU
berdasarkan
peraturan
yang
ada
serta
kebutuhan materi
yang harus diatur
dalam RUU
Masukan
nara
sumber mengenai
materi pengaturan
RUU

Draft RUU
Masukan
penyempurnaan
Naskah Akademik
dan
Draft
Sementara

Masukan
terhadap
Akhir RUU

Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

Draft

Desk Riset

Focus Group
Discussion

Konsinyasi

Seminar/Lokakarya

Sosialisasi

Sistematika Laporan

Laporan ini terdiri dari 5 (lima) Bab sebagai berikut:

Bab I: Pendahuluan. Bab ini berisikan latar belakang, pokok masalah, tujuan
dan manfaat dari dilaksanakannya pemahaman dan sosialisasi penyusunan
RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah serta metode
yang digunakan dan ruang lingkup pekerjaan yang dilakukan dalam kegiatan
pemahaman dan sosialisasi penyusunan RUU tersebut. Selain itu, bab ini juga
berisikan jadwal pelaksanaan kegiatan, rincian langkah kegiatan dan sistematika
penyusunan laporan.

Bab II: Hubungan Wewenang antara Pemerintah dan Daerah serta antar Daerah.
Bab ini berisikan urgensi penyusunan hubungan wewenang antara Pemerintah
dan Daerah serta antar Daerah berdasarkan UUD 1945 hasil amandemen dan
UU 32/2004, pembagian urusan-urusan kepemerintahan yang dapat dilakukan
serta kedudukan dari badan khusus yang mungkin saja dibentuk akibat
pembagian urusan-urusan kepemerintahan tersebut.

Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

Bab III: Tata Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Bab ini berisikan
esensi dari penyelenggaraan desentralisasi dan kebutuhan akan pengaturan
hubungan kewenangan dalam pelaksanaan desentralisasi tersebut, serta
kemungkinan pengaturan hubungan kewenangan antara Pemerintah dan Daerah
yang dapat dilakukan.

Bab IV: Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di Indonesia. Bab
ini berisikan dinamika hubungan antara Pusat dan Daerah selama ini serta
problematika yang dihadapinya, konstruksi hubungan di masa orde baru, serta
bagaimana mengkontruksi ulang hubungan tersebut guna mencapai titik
keseimbangan baru dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Bab V: Kesimpulan dan Saran. Bab ini berisikan kesimpulan dari pembahasan
yang dilakukan terhadap hubungan antara Pemerintah dan Daerah serta saran
yang dapat dilakukan untuk menindaklanjuti kegiatan pemahaman dan
sosialisasi penyusunan RUU ini di masa datang.

Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

BAB II
HUBUNGAN WEWENANG ANTARA PEMERINTAH DAN DAERAH SERTA
ANTAR DAERAH

Pendahuluan

Undang-Undang Dasar 1945 telah diubah beberapa kali. Dalam beberapa kali
perubahan selain tetap mempertahankan beberapa pasal-pasal asli, terdapat
juga beberapa pasal-pasal yang diubah. Salah satu Pasal yang diubah adalah
Pasal 18.

Perubahan Pasal 18 ini tergolong rumit. Judul bab yang membawahi Pasal 18,
baik pada Pasal yang asli maupun Pasal-Pasal hasil amandemen tetap sama
yaitu dengan judul Pemerintah Daerah. Pasal 18 baru hasil amandemen terakhir
terdiri dari 7 (tujuh) ayat. Ayat (1) Pasal 18 hasil amandemen ini mendapat
inspirasi dari Penjelasan Pasal 18 asli dan Tap MPR No. IV/MPR/2000 yang
merekomendasikan agar otonomi disusun secara bertingkat.

Pasal 18 UUD 1945 hasil amandemen yang lain yaitu Pasal 18A dan Pasal 18B,
masing-masing dijabarkan dalam 2 (dua) ayat. Sekalipun Pasal-pasal tersebut,
khususnya pasal 18A (1) secara eksplisit hanya mengatur desentralisasi dan
tugas pembantuan, namun pengaturan oleh produk hukum yang lebih rendah
dan penyelenggaraan dekonsentrasi tidak dapat dicegah. Pengaturan dan
penyelenggaraan dekonsentrasi sebenarnya merupakan bagian dari pengaturan
dan penyelenggaraan sentralisasi. Oleh karena itu tidak perlu diatur dalam UUD.

Kedudukan

Provinsi

dan

Kabupaten/Kota

terhadap

Pemerintah

bersifat

subordinatif. Daerah otonom adalah ciptaan Pemerintah dan dapat dihapus oleh
Pemerintah (local government is creature of central government). Namun dilihat
dari konsep hubungan wewenang baik antara Pemerintah dan Provinsi maupun
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

antara Pemerintah dan Kabupaten/Kota merupakan hubungan yang bersifat


resiprokal (tidak bersifat satu arah) dari atas kebawah (downward) dan
sebaliknya (upward). Hubungan tersebut berlaku pula bagi hubungan antara
Provinsi dan Kabuapten/Kota. Hubungan demikian merupaka hubungan yang
dirumuskan dalam butir kedua dan keempat seperti yang tercantum dalam
sasaran kebijaka otonomi daerah dalam TAP MPR No. IV/MPR/2000 sebagai
berikut :

1. Peningkatan pelayanan publik dan pengembangan kreatifitas masyarakat


serta aparatur pemerintahan di daerah.
2. Kesetaraan hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah
dan antar-pemerintah daerah dalam kewenangan dan keuangan.
3. Untuk menjamin peningkatan rasa kebangsaan, demokrasi, dan
kesejahteraan masyarakat di daerah.
4. Menciptakan ruang yang lebih luas bagi kemandirian daerah
Dilihat dari aspek penyelenggaraan desentralisasi, tampak tiga kelompok besar
hubungan yang terjalin, yaitu: pertama, hubungan vertikal yang terpecah
menjadi hubungan antara Pemerintah dan Provinsi dan hubungan antara
Provinsi dan Kabupaten/Kota. Kedua, hubungan diagonal yakni hubungan
antara Provinsi tertentu dan Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi lainnya. Ketiga
adalah hubungan horizontal yang dapat terjadi pada hubungan antara Provinsi
dan hubungan antar Kabupaten/Kota dalam satu Provinsi, serta hubungan antar
Kabupaten/kota pada Provinsi yang bertetangga. Jika disederhanakan dalam
bagan, terdapat pola-pola hubungan yang dapat terjadi sebagai berikut :

Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

Pemerintah

Provinsi

Kabupaten

Provinsi

Kota

Kabupaten

Kota

Hubungan-hubungan tersebut secara faktual terjadi sebagai akibat dari


bekerjanya sisitem (jaringan) sosial organisasi sebagai akibat dari hakekat
desentralisasi yang menciptakan adanya hubungan antar organisasi. Banyaknya
Daerah otonom baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota yang ada menambah
kompleksitas bekerjanya hubungan-hubungan tersebut. Seringkali hubungan
yang terjalin bekerja secara alamiah semata, karena adanya beberapa motif
sosial-ekonomi dengan lingkup yang beragam.

Penyelenggaraan dekonsentrasi menambah hubungan yang sudah kompleks


terjadi seperti tergambar dalam bagan. Sebagai wakil Pemerintah, Gubernur
memiliki hubungan wewenang yang dapat dirinci atas : (1) hubungan antara
Gubernur sebagai wakil Pemerintah dengan Para Menteri dan Kepala Lembaga
Pemerintah Non Departemen; (2) hubungan antara Gubernur sebagai wakil
Pemerintah dan Daerah Provinsi di wilayahnya; dan (3) hubungan antara
Gubernur sebagai wakil Pemerintah dengan Kabupaten/Kota di wilayahnya.

Hubungan yang terjadi baik dalam kerangka asas desentralisasi maupun dalam
kerangka asas dekonsentrasi bersifat resiprokal. Undang-undang No. 32 Tahun
2004 nampaknya lebih mengarah kepada peraturan hubungan yang bersifat

Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

10

searah dan hirarkis semata (downward). Disamping itu, hubungan yang bersifat
diagonal pun tidak banyak terakomodasi dalam UU tersebut.

Yang dimaksud Pemerintah dalam UU 32 tahun 2004 adalah semata-mata


Presiden. Oleh karena itu perlu dirinci kemungkinan hubungan wewenang antar
Para Menteri/kepala LPND dengan Daerah, dengan mencermati perlunya
pengaturan hubungan wewenang antar Para Menteri/Kepala LPND sendiri di
tingkat pusat. Berbagai Pasal dalam UU No. 32 tahun 2004 yang memuat secara
langsung materi hubungan wewenang antara pemerintah dan Daerah dan antar
Daerah dipaparkan dalam tabel berikut :
No
1

Pasal
Pasal 2 ayat (4)

Pernyataan
Pemerintahan
Daerah
dalam menyelenggarakan
urusan
Pemerintahan
memiliki
hubungan
dengan Pemerintah dan
dengan
Pemerintahan
Daerah

Pasal 2 ayat (5)

Pasal 2 ayat (6)

Pasal 2 ayat (7)

Hubungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4)
meliputi
hubungan
wewenang,
keuangan,
pelayanan
umum,
pemanfaatan sumberdaya
alam, dan sumberdaya
lainnya
Hubungan
keuangan,
pelayanan
umum,
pemanfaatan sumberdaya
alam, dan sumberdaya
lainnya
dilaksanakan
secara adil dan selaras
Hubungan
wewenang,
keuangan,
pelayanan
umum,
pemanfaatan
sumberdaya alam, dan
sumberdaya
lainnya
menimbulkan hubungan
administrasi
dan

interpretasi
Frasa
Pemerintahan
Daerah tidak lazim secara
normatif digunakan sebagai
frasa yang menunjukkan
organ.
Lazimnya
adalah
Pemerintah
Daerah
atau
Daerah
otonom.
Hubungan
yang
terselenggara
antar
Pemerintah dan Daerah
dan antar Daerah meliputi
empat aspek

Terdapat prinsip keadilan


dan keselarasan

Ayat
7
ini
cukup
membingungkan karena di
dalam ayat sebelumnya
telah disinggung hubungan
antar
susunan
Pemerintahan dalam empat
aspek, tetapi kemudian

Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

11

kewilayahan
antar dinyatakan lebih spesifik
susunan Pemerintahan
dalam hal administrasi dan
kewilayahan.
Pasal 10, 11, (Lih. dalam UU)
Dasar
material
bagi
12, 13, dan 14
pembagian urusan yang
merupakan koridor bagi
hubungan
wewenang.
Pada pasal 14 ayat (3)
dinyatakan
bahwa
pengaturan lebih lanjut bagi
pasal 10, 11, 12, 13, dan
14
dengan
Peraturan
Pemerintah
Pasal 15, 16, (Lih. dalam UU)
Dasar
aturan
bagi
17, 18
hubungan
keuangan,
pelayanan
umum,
pemanfaatan sumberdaya
alam dan sumberdaya
lainnya.
Masing-masing
pasal memuat pernyataan
bahwa aturan pelaksanaan
hubungan di tiap aspek
tersebut dengan peraturan
perundang-undangan.

Seperti tergambar pada tabel di atas, hubungan wewenang antara Pemerintah


dan Daerah, dan antar Daerah menurut UU No. 32 Tahun 2004 pada pasal 14
ayat (3) akan dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP). Hal ini jelas
bertentangan dengan UUD Pasal 18 amandemen terakhir yang secara tegas
menyatakan bahwa hubungan wewenang tersebut diatur dengan UU.

Disamping materi yang secara langsung terkait dengan perihal hubungan antar
Pemerintah dan Daerah serta hubungan antar Daerah, UU No.32 tahun 2004
juga memuat berbagai pasal yang tidak secara langsung berkaitan. Berikut ini
adalah tabel yang memuat pasal-pasal yang dimaksud :

No
1

Pasal
Pasal 5 ayat (3)

Pernyataan
interpretasi
Syarat
administratif Hubungan wewenang ini
sebagaimana
dimaksud dalam
rangka
asas
pada ayat (1) untuk desentralisasi.

Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

12

Pasal 6 ayat (2)

Kabupaten/ Kota meliputi


adanya
persetujuan
DPRD Kabupaten/ Kota
dan Bupati/ WaliKota yang
bersangkutan, persetujuan
DPRD
Provinsi
dan
Gubernur
serta
rekomendasi
Menteri
dalam negeri
Penghapusan
dan
penggabungan
Daerah
otonom dilakukan setelah
melalui proses evaluasi
terhadap
penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah
Perubahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2)
dilakukan atas usul dan
persetujuan Daerah yang
bersangkutan

Menandakan
adanya
hubungan hirarkis dan dari
bawah.
(HUBUNGAN
ADMINISTRATIF)

Hubungan wewenang yang


dilakukan dalam rangka
asas desentralisasi bersifat
vertikal dari Pemerintah
(HUBUNGAN
ADMINISTRATIF)
Hubungan
wewenang
dalam
rangka
asas
desentralisasi
bersifat
vertikal kepada Pemerintah
(HUBUNGAN
ADMINISTRATIF)
Hubungan
wewenang
dalam ayat ini tidak jelas
dalam rangka asas apa?
Secara
vertikal
dari
Pemerintah.
(HUBUNGAN
ADMINISTRATIF)
Dalam
rangka
asas
desentralisasi
secara
vertikal
dari
bawah
(Daerah)
kepada
Pemerintah
(HUBUNGAN
ADMINISTRATIF)
Hubungan
wewenang
dalam
rangka
asas
desentralisasi
secara
Vertikal kepada Pemerintah
dan internal kepada DPRD
dan masyarakat.

Pasal 7 ayat (3)

Pasal 9 ayat (4)

Pasal 9 ayat (5)

Pasal 27 ayat Selain


mempunyai
(2)
kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (1),
kepala
Daerah
mempunyai
kewajiban
juga untuk memberikan
laporan penyelenggaraan
Pemerintahan
Daerah (HUBUNGAN
kepada Pemerintah, dan ADMINISTRATIF)
memberikan
laporan

Untuk
membentuk
kawasan
khusus
sebagaimana
dimaksud
pada ayat (2) dan ayat (3),
Pemerintah
mengikutsertakan Daerah
yang bersangkutan
Daerah
dapat
mengusulkan
pembentukan
kawasan
khusus
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
kepeada Pemerintah

Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

13

10

keterangan
pertanggungjawaban
kepada
DPRD,
serta
menginformasikan laporan
penyelenggaraan
Pemerintahan
Daerah
kepada masyarakat.
Pasal 27 ayat Laporan penyelenggaraan
(3)
Pemerintahan
Daerah
kepada
Pemerintah
sebagaimana
dimaksud
pada ayat (2) disampaikan
kepada Presiden melalui
Menteri
dalam
negeri
untuk
Gubernur,
dan
kepada Menteri Dalam
Negeri melalui Gubernur
untuk Bupati WaliKota 1
(satu) kali dalam 1 (satu)
tahun.
Pasal 29 ayat Pemberhentian
kepala
(4) huruf a.
Daerah dan wakil kepala
Daerah diusulkan kepada
Presiden
berdasarkan
putusan
Mahkamah
Agung atas pendapat
DPRD
bahwa
kepala
Daerah dan/ atau wakil
kepala Daerah tidak lagi
memenuhi
syarat,
melanggar sumpah/ janji
jabatan,
tidak
melaksanakan kewajiban
dan/
atau
melanggar
larangan.
Pasal 29 ayat Presiden
wajib
(4) huruf e.
memproses
usul
pemberhentian
kepala
Daerah dan/ atau wakil
kepala Daerah tersebut
paling lambat 30 (tiga
puluh) hari sejak DPRD
menyampaikan
usul
tersebut.
Pasal 30 dan 31 (Lihat dalam UU)

Hubungan
wewenang
Hirarkis, vertikal, dari atas
dalam
rangka
desentralisasi
dan
dekonsentrasi
kepada
Gubernur.
(HUBUNGAN
ADMINISTRATIF)

Hubungan
wewenang
dalam
rangka
asas
Desentralisasi
vertikal
kepada Pemerintah

(HUBUNGAN
ADMINISTRATIF)

Hubungan
wewenang
dalam
rangka
asas
sentralisasi
dan
desentralisasi vertikal dari
atas.
(HUBUNGAN
ADMINISTRATIF)
s.d.a perihal penghentian
langsung oleh Presiden

Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

14

11

Pasal 37 ayat Dalam


kedudukannya
(2)
sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1), Gubernur
bertanggungjawab kepada
Presiden

12

Pasal 42 ayat 1 Mengusulkan


huruf d.
pengangkatan
dan
pemberhentian
kepala
Daerah/
wakil
kepala
Daerah kepada presiden
melalui Menteri dalam
negeri
bagi
DPRD
Provinsi
dan
kepada
menteri
dalam
negeri
melalui Gubernur bagi
DPRD Kabupaten/ Kota
Pasal 53 ayat Tindakan
penyidikan
(1)
terhadap anggota DPRD
dilaksanakan
setelah
adanya
persetujuan
tertulis dari Menteri Dalam
Negeri
atas
nama
Presiden bagi anggota
DPRD Provinsi dan dari
Gubernur
atas
nama
menteri dalam negeri bagi
anggota
DPRD
Kabupaten/ Kota
Pasal 66 ayat 2 Dalam penyelenggaraan
pemilihan gubernur dan
wakil gubernur KPUD
Kabupaten/ Kota adalah
bagian pelaksana tahapan
penyelenggaraan
pemilihan yang ditetapkan
oleh KPUD Provinsi
Pasal 111 ayat Gubernur
dan
wakil
(1)
gubernur dilantik oleh
Menteri dalam negeri atas
nama Presiden

13

14

15

terhadap jabatan Kepala


Daerah dan wakilnya.
(HUBUNGAN
ADMINISTRATIF)
Dalam
rangka
Dekonsentrasi, dan sifat
hubungannya
vertikal
kepada Pemerintah
(HUBUNGAN
ADMINISTRATIF)
Dalam
rangka
Desentralisasi
dan
dekonsentrasi
kepada
Gubernur,
hubungannya
bersifat vertikal ke atas.
(HUBUNGAN
ADMINISTRATIF)

Dalam
rangka
Desentralisasi, hubungan
bersifat vertikal ke atas.
(HUBUNGAN
ADMINISTRATIF)

Vertikal dalam kerangka


asas desentralisasi
(HUBUNGAN
ADMINISTRATIF)

Sentralisasi, dekonsentrasi,
dan desnetralisasi. Sifat
hubungannya vertikal dari
atas
(HUBUNGAN

Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

15

16

Pasal 111 ayat Bupati dan wakil bupati


(2)
atau waliKota dan wakil
waliKota
dilantik
oleh
gubernur
atas
nama
presiden

17

Pasal 130 ayat Pengangkatan,


(1)
pemindahan
dan
pemberhentian dari dan
dalam jabatan eselon II
pada Pemerintah Daerah
Provinsi ditetapkan oleh
gubernur
Pasal 130 ayat Pengangkatan,
(2)
pemindahan
dan
pemberhentian dari dan
dalam jabatan eselon II
pada Pemerintah Daerah
Kabupaten/
Kota
ditetapkan oleh Bupati/
waliKota
setelah
berkonsultasi
kepada
gubernur
Pasal 131 ayat Perpindahan
pegawai
(1)
negeri
sipil
antar
Kabupaten/ Kota dalam
satu Provinsi ditetapkan
oleh Gubernur setelah
memperoleh
pertimbangan
Kepala
badan
Kepegawaian
Negara
Pasal 131 ayat Perpindahan
pegawai
(2)
negeri
sipil
antar
Kabupaten/ Kota antar
Provinsi
dan
antar
Provinsi ditetapkan oleh
menteri
dalam
negeri
setelah
memperoleh
pertimbangan
Kepala
badan
Kepegawaian
Negara
Pasal 131 ayat Perpindahan
pegawai
(3)
negeri
sipil
Provinsi/
Kabupaten/
Kota
ke

18

19

20

21

ADMINISTRATIF)
Dekonsentrasi
desentralisasi.
hubungannya vertikal
atas.
(HUBUNGAN
ADMINISTRATIF)
Dekonsentrasi
desentralisasi vertikal
bawah ke atas.
(HUBUNGAN
ADMINISTRATIF)

dan
Sifat
dari

dan
dari

Dekonsentrasi
dan
desentralisasi.
Sifat
hubungannya vertikal dari
bawah ke atas
(HUBUNGAN
ADMINISTRATIF)

Sentralisasi, Dekonsentrasi
dan desentralisasi. Sifat
hubungannya vertikal dari
bawah ke atas
(HUBUNGAN
ADMINISTRATIF)

Sentralisasi dan sifat


hubunagnnya
vertikal
dan
diagonal
dari
bawah
Hubungan SDM
(HUBUNGAN
ADMINISTRATIF)

Sentralisasi
Hubungan SDM
(HUBUNGAN

Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

16

22

Pasal 132

23

Pasal 135 ayat


1

24

Pasal 160 ayat


(4)

25

Pasal 160 ayat


(5)

26

Pasal 165 ayat


(2)

departemen/
lembaga
Pemerintah
non
departemen
atau
sebaliknya,
ditetapkan
oleh
menteri
dalam
negerisetelah memperoleh
pertimbangan
Kepala
badan
Kepegawaian
Negara
Penetapan
formasi
pegawai
negeri
sipil
Daerah
Provinsi/
Kabupaten/ Kota setiap
tahun
anggaran
dilaksanakan oleh menteri
pendayagunaan aparatur
negara
Pembinaan
dan
pengawasan manajemen
pegawai
negeri
sipil
Daerah
dikoordinasikan
oleh menteri dalam negeri
dan pada tingkat Daerah
oleh Gubernur
Daerah
penghasil
sumberdaya
alam
sebagaimana
dimaksud
pada ayat (3) ditetapkan
oleh menteri dalam negeri
berdasarkan
pertimbangan dari menteri
teknis terkait
Dasar
penghitungan
bagian
daerah
dari
Daerah
penghasil
sumberdaya
alam
ditetapkan oleh menteri
teknis
terkait
setelah
memperoleh
pertimbangan
menteri
dalam negeri
Besarnya alokasi dana
darurat ditetapkan oleh
menteri keuangan dengan
memperhatikan
pertimbangan
Menteri

ADMINISTRATIF)

Sentralisasi
Hubungan SDM
(HUBUNGAN
ADMINISTRATIF)

Sentralisasi
dekonsentrasi
Hubungan SDM
(HUBUNGAN
ADMINISTRATIF)

dan

Sentralisasi
Hubungan SDA
(HUBUNGAN
ADMINISTRATIF)

Sentralisasi
Hubungan
Keuangan
dan SDA
(HUBUNGAN
ADMINISTRATIF)

Sentralisasi
Hubungan keuangan
(HUBUNGAN
ADMINISTRATIF)

Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

17

27

28

dalam negeri dan menteri


teknis terkait
Pasal 170 ayat Pemerintah Daerah dapat
(1)
melakukan pinjaman yang
berasal dari penerusan
pinjaman
hutang
luar
negeri
dari
menteri
keuangan
atas
nama
Pemerintah
setelah
memperoleh
pertimbangan dari menteri
dalam negeri
Pasal 175 ayat Menteri
dalam
negeri
(1)
melakukan pengendalian
defisit anggaran setiap
Daerah

29

Pasal 175 ayat Pemerintah Daerah wajib


(2)
melaporkan posisi surplus/
defisit
APBD
kepada
menteri dalam negeri dan
menteri keuangan setiap
semester dalam tahun
anggaran berjalan

30

Pasal 185 ayat Rancangan perda Provinsi


(1)
tentang APBD yang telah
disetujui bersama dan
rancangan
peraturan
Gubernur
tentang
penjabaran
APBD
sebelum
ditetapkan
Gubernur paling lambat 3
(tiga) hari disampaikan
kepada Menteri dalam
negeri untuk dievaluasi
Pasal 186 ayat Rancangan
perda
(1)
Kabupaten/ Kota tentang
APBD yang telah disetujui
bersama dan rancangan
peraturan Bupati/ waliKota
tentang penjabaran APBD
sebelum
ditetapkan
Bupati/ WaliKota paling
lambat 3 (tiga) hari
disampaikan
kepada

31

Desentralisasi
dan
sentralisasi.
Sifat
hubungannya vertikal ke
atas
Hubungan keuangan
(HUBUNGAN
ADMINISTRATIF)

Sentralisasi
Hubungan wewenang
dan keuangan
(HUBUNGAN
ADMINISTRATIF)
Dalam rangka asas
Desentralisasi
dan
hubungan yang tercipta
bersifat vertikal ke atas
Hubungan wewenang
dan keuangan
(HUBUNGAN
ADMINISTRATIF)
Desentralisasi,
dan
sentralisasi.
Sifat
hubungannya vertikal ke
atas
Hubungan wewenang dan
keuangan
(HUBUNGAN
ADMINISTRATIF)

Desentralisasi,
dekonsentrasi
dan
sentralisasi.
Sifat
hubungannya vertikal ke
atas
Hubungan wewenang
dan keuangan
(HUBUNGAN
ADMINISTRATIF)

Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

18

32

33

34

35

36

gubernur untuk dievaluasi


Pasal 195 ayat Dalam
rangka
(1)
meningkatkan
kesejahteraan
rakyat,
Daerah
dapat
mengadakan kerjasama
dengan Daerah lain yang
didasarkan
pada
pertimbangan
efisiensi
dan efektifitas pelayanan
publik, sinergi dan saling
menguntungkan
Pasal 196 ayat Pelaksanaan
urusan
(1)
Pemerintahan
yang
mengakibatkan
dampak
lintas Daerah dikelola
bersama oleh Daerah
terkait
Pasal 198 ayat Apabila
terjadi
(1)
perselisihan
dalam
penyelenggaraan funsgi
Pemerintahan
antar
Kabupaten/ Kota dalam
satu Provinsi, gubernur
menyelesaikan
perselisihan dimaksud
Pasal 198 ayat Apabila
terjadi
(2)
perselisihan
antar
Provinsi, antara Provinsi
dan Kabupaten/ Kota di
wilayahnya, serta antara
Provinsi dan Kabupaten/
Kota di luar wilayahnya,
menteri
dalam
negeri
menyelesaikan
perselisihan
yang
dimaskud
Pasal 222 ayat (Lih. dalam UU)
(1), (2), (3) dan
(4)

Desentralisasi, dan sifat


hubungannya horizontal
Hubungan pelayanan
(HUBUNGAN
ADMINISTRATIF
DAN
KEWILAYAHAN)

Desentralisasi
dan
hubungannya
bersifat
horizontal
Hubungan pelayanan
(HUBUNGAN
ADMINISTRATIF
DAN
KEWILAYAHAN)
Desentralisasi,
dan
dekonsentrasi.
Sifat
hubungannya vertikal
Hubungan wewenang
(HUBUNGAN
ADMINISTRATIF
DAN
KEWILAYAHAN)
Sentralisasi
dan
desentralisasi.
Sifat
hubungannya vertikal,
horizontal dan diagonal
Hubungan wewenang
(HUBUNGAN
ADMINISTRATIF
DAN
KEWILAYAHAN)

Adanya hirarki vertikal


dalam
sistem
pembinaan
dan
pengawasan
bahkan
sampai camat.
Hubungan wewenang
(HUBUNGAN
ADMINISTRATIF)

Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

19

Dari tabel tersebut tampak jelas sekali hubungan yang bersifat diagonal dan
horizontal masih sedikit diatur. Hubungan vertikal pun lebih banyak memuat
kewajiban-kewajiban yang diemban oleh Daerah, sedangkan hak-hak Daerah
dan apa yang harus dilakukan Pemerintah dan para menterinya memiliki porsi
yang lebih sedikit.

Pembagian Urusan-Urusan Kepemerintahan

Pembagian kewenangan Pemerintahan dalam konteks desentralisasi merupakan


pesebaran kewenangan Pemerintahan dari Pemerintah Pusat kepada DaerahDaerah otonom. Kewenangan Pemerintah yang didistribusikan kepada Daerah
hanyalah

kewenangan

pemerintahan

saja

(eksekutif),

tidak

termasuk

kewenangan legislatif (pembuatan undang-undang) dan kewenangan yudikatif


(peradilan).

Pembagian kewenangan pemerintah, berangkat dari adanya diktum tidak


mungkin kewenangan diselenggarakan secara 100% sentralisasi atau 100%
desentralisasi dalam suatu Negara Bangsa. Terdapat kewenangan pemerintah
yang sudah merupakan keniscayaan menjadi tanggung jawab penuh pemerintah.
Hal ini terkait dengan sifat kontinumnya antara sentralisasi dengan desentralisasi.
Penyelenggara desentralisasi sendiri adalah unsur sentralisasi. Oleh karena itu,
penyelenggaraan desentralisasi dalam sebuah sistem pemerintahan, membawa
pemilihan adanya : (1) wewenang yang tidak dapat didesentralisasikan; dan (2)
wewenang yang dapat didesentralisasikan

Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

20

BAGAN PEMBAGIAN URUSAN-URUSAN KEPEMERINTAHAN

Dinamis dengan
landasan; Skala Ekonomi,
Esternalitas,
Catchment Area dan
Lokalitas

Urusan Sektoral
Pemerintah Nasional

Local Needs
Dapat
Didesentralisasikan

Desentralisasi

Diwajibkan

Medebewind

Sentralisasi
Murni

Dekonsentrasi

Tidak Dapat
Didesentralisasikan

Medebewind

Sentralisasi
Dekonsentrasi
Murni

Prakarsa
Sendiri

PROVINSI
Kabupaten/Kota

Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

21

Dari bagan, wewenang yang tidak dapat didesentralisasikan adalah


wewenang pemerintah pusat menyangkut wewenang pemerintah dalam hal
urusan luar negeri, pertahanan keamanan, keuangan (fiskal dan moneter),
yustisisi dan agama. Wewenang seperti ini dapat dilakukan secara (1) murni
sentralisasi, (2) dekonsentrasi dan (3) tugas pembantuan. Sementara itu
wewenang yang dapat didesentralisasikan yang menjadi sumber wewenang
concurrent dapat dilakukan dengan (1) sentralisasi (murni) pula karena
adanya urusan-urusan yang masih harus dilakukan oleh pemerintah, (2)
dekonsentrasi juga dapat dilakukan apabila diperlukan pelembagaan
apparatus pusat di daerah, (3) desentralisasi, dan (4) tugas pembantuan.

Terjadinya hubungan wewenang antara pemerintah dan daerah terutama


disebabkan oleh adanya kewenangan yang bersifat concurrent. Wewenang
konkuren terdapat pada kelompok wewenang yang dapat didesentralisasikan.

Pembagian wewenang dalam UU No. 32 tahun 2004 dikembangkan melalui


kriteria (1) ekternalitas; (2) akuntabilitas;

dan (3) efisiensi. Namun masih

dapat dikembangkan pula melalui kriteria catchment area yang tidak diatur
dalam UU tersebut.

Kerapkali wewenang concurrent ini dapat menimbulkan konflik dan atau


terjadi kefakuman dalam proses pemerintahan. Namun, jika ditata secara
optimal dapat membawa sinergi dan menjaga kualitas pemerintahan lebih
terarah.

Ada kalanya sistem pembagian wewenang yang sudah diatur dalam UU tidak
sepenuhnya menjadi pendorong terjadinya hubungan wewenang tetapi
terdapat riil yang membutuhkan penanganan pemerintahan yang cepat. Oleh
karena itu tercipta hubungan alamiah yang muncul. Sumber penataan
hubungan dalam keadaan seperti ini dapat diambil dari etika pemerintahan
atau sumber nilai-nilai moral dalam organisasi pemerintahan.

Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

22

Secara singkat RUU Tata Hubungan Wewenang antara Pemerintah dan


Daerah dan hubungan wewenang antar Daerah harus mengatur hubungan
yang bersifat resiprokal dalam cakupan baik berkaitan dengan Gubernur
sebagai Wakil Pemerintah maupun dalam kerangka sebagai Kepala Daerah.
Undang-undang

tersebut

harus

menata

proses

hubungan

yang

dikembangkan secara resiprokal di dalam cakupan tersebut.

Kedudukan Badan Khusus Pelaksana Kewenangan

Perlu menjadi catatan bahwa seringkali hubungan horizontal antar kabupaten/


Kota baik dalam Provinsi maupun antar Provinsi yang terlembaga dengan
fungsi tunggal, membawa proses diciptakannya lembaga khusus semacam
otorita seperti lazim terjadi di negara maju. Sekarang ini kita dihadapi oleh
diskursus yang menyita perhatian banyak kalangan pasca Tsunami AcehSumut, yakni adanya keinginan Pemerintah membentuk Badan Otorita
Khusus Aceh (BOKA). Dengan demikian RUU Tata hubungan ini pun harus
diarahkan kepada kemungkinan penataan badan semacam ini bersama
Pemerintah Kabupaten/Kota maupun Pemerintah Provinsi. Badan semacam
BOKA ini dapat dikategorikan mampu menciptakan hubungan yang bersifat
vertikal, sedangkan hubungan wewenang dengan pemerintah daerah
Kabupaten/Kota bersifat diagonal. Badan semacam ini di negara lain
diciptakan melalui instrumen desentralisasi fungsional.

UU No. 32 Tahun 2004 tidak mengakomodasi konsep Badan Otorita secara


eksplisit, walaupun terdapat pengaturan tentang kawasan khusus yang dapat
berdimensi milik Pusat atau milik Daerah. Nampaknya, pengaturan kawasan
khusus ini tidak mengacu pada konsep desntralisasi fungsional melainkan
mengacu kepada penciptaan organisasi parastatal/semi otonom. Oleh
karena itu, paradigma yang ada di belakang UU No. 32 tahun 2004 dalam
mengatur kawasan khusus ataupun badan-badan seperti BOKA masih
bersifat diametral antara menjadi milik Pusat dan menjadi milik Daerah.

Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

23

Penutup

Dapat disimpulkan bahwa: (1) sentralisasi merupakan sumber dari bangun


distribusi wewenang; (2) antara sentralisasi dan desentralisasi bersifat
kontinum; (3) hubungan wewenang antara pemerintah dan daerah terjadi
pada wewenang yang bersifat concurrent.

Beberapa hal dapat direkomendasikan : (1) Tata hubungan wewenang antara


Pemerintah dan Daerah dan antar daerah perlu diatur dengan undangundang; (2) Perlu mencermati UUD hasil amandemen dan UU lain yang
bersinggungan; (3) hubungan yang diatur adalah hubungan resiprokal dan
dalam cakupan baik penempatan Gubernur sebagai wakil pemerintah
maupun sebagai gubernur, dan (4) hubungan wewenang yang terkait dengan
lembaga khusus pun perlu diakomodasi pula mencermati perkembangan ke
depan.

Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

24

BAB III
TATA HUBUNGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

Pendahuluan

Beranjak dari pasal 1 dan pasal 18 (A), (B), (C), (D) UUD 1945, Indonesia
lazim disebut sebagai negara kesatuan yang terdesentralisasi (decentralized
unitary

state;

gedecentraliseerde

eenheidsstaat).

Menurut

Profesor

Bhenyamin Hoessein, Guru Besar FISIP-UI bidang Pemerintahan daerah,


menyatakan bahwa secara implisit perancang konstitusi Indonesia mengakui
keberadaan sentralisasi dan desentralisasi tidak dipandang sebagai dikotomi,
melainkan sebagai kontinum. Dalam teori organisasi yang dinyatakan oleh
Frank P. Sherwood pun diungkap hal yang senada:2

Such Theory has led to the idea of centralization-decentralization continuum,


which is really an attempt to describe the power relationships among the
various participants in the systems. First, however, it is important to examine
some of the assumptions of the continuum and to consider the extent to which
they limit its usefulness and applicability. The continuum assumes that there
is a certain quantum of power within an organization that can be distributed in
differing ways; and it does not account for the fact, now rather well
documented, that power is highly variable. The addition of power at one level
of hierarchy does not at all mean the automatic withdrawal of power at
another.
Penyelenggaraan pemerintahan secara sentralisasi dimaksudkan untuk
menjamin terwujudnya aspirasi dan kepentingan nasional, sedangkan
penyelenggaraan pemerintahan secara desentralisasi dimaksudkan untuk
mengakomodasi dan menyalurkan aspirasi kemajemukan masyarakat.
Dengan

penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan dua asas tersebut

secara bersamaan akan terwujud unity within diversity dan diversity in


unity.

Bhenyamin Hoessein (2004). Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah. Seminar


MENPAN-FISIP-UI.
2

Frank P. Sherwood, Devolution as A Problem of Organization Strategy, dalam


Robert T Daland, Comparative Urban Researc, Sage Publication, California: 1969, hal. 65
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

25

Dalam sebuah negara kesatuan, pelaksanaan desentralisasi sesungguhnya


dapat merupakan pengalihan atau pelimpahan wewenang pemerintah secara
teritorial atau fungsional. Desentralisasi teritorial atau kewilayahan berarti
pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada masayarakat lokal untuk
mengatur

dan

mengurus

kepentingan-kepentingannya

dengan

aspek

kewilayahan sebagai dasar pertimbangan utama dalam penentuan batas


jurisdiksi kelembagaannya. Desentralisasi fungsional berarti pelimpahan
wewenang dari Pemerintah kepada segolongan masyarakat yang terkait
dalam fungsi pemerintahan tertentu untuk mengatur dan mengurusnya sesuai
batas yurisdiksi fungsi tersebut.

Namun, di Indonesia praktek pemerintahan yang dianut baru menserap


desentralisasi teritorial sehingga wewenang pemerintahan dibagi habis antara
Pemerintah Pusat dan elemen-elemenya serta pemerintah daerah dan
elemen-elemennya. Desentralisasi fungsional menciptakan kelembagaan
khusus pada bidang tertentu dan otonom. Pada masa Hindia Belanda, pada
1920, pernah diciptakan lembaga otonom khusus bidang tertentu yakni
pengairan (irigasi) berupa waterschappen yang di negeri Belanda sendiri
hidup dan berkembang pesat.

Sejak kemerdekaan UUD 1945 tidak menganut kembali desentralisasi


fungsional yang telah diterapkan pada masa Hindia Belanda. Adanya otonomi
khusus dan istimewa bagi daerah-daerah tertentu bukan berarti adanya
desentralisasi fungsional. Keberadaan otonomi khusus dan istimewa berada
dalam desentralisasi teritorial.

Penyelenggaraan Desentralisasi (Teritorial)

Dalam berbagai pendapat pakar, termasuk pendapat Profesor Bhenyamin


Hoessein, diketahui bahwa penyelenggaraan desentralisasi senantiasa
terdapat dua elemen pokok, yaitu pembentukan daerah otonom dan
penyerahan kewenangan secara hukum dari pemerintah pusat ke pemerintah
daerah untuk mengatur dan mengurus dan/atau bagian dari kewenangan
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

26

pemerintahan tertentu. Oleh karena itu, pelaksanaan asas desentralisasi


dalam negara kesatuan berarti memberikan hak untuk mengatur dan
mengurus kepentingan dan aspirasi masyarakat setempat. Pembentukan
daerah otonom tidak semata-mata berdasarkan pertimbangan politik, tetapi
juga harus berdasarkan pertimbangan kemampuan daerah, yang dapat diukur
melalui kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik,
jumlah penduduk, dan luas daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah.

Dengan demikian, dalam negara kesatuan tidak dimungkinkan adanya daerah


yang bersifat negara. Hal itu berarti bahwa pelaksanaan desentralisasi tidak
pernah dimaksudkan untuk mendorong lahirnya negara dalam negara. Yang
ada adalah pemerintah pusat menyerahkan atau melimpahkan kewenangan
pemerintahan dan atau wewenang tertentu kepada pemerintah daerah.

Dalam hal ini, Profesor Bhenyamin Hoessein sebagai tim Perumus UU No. 22
Tahun 1999 juga mengatakan bahwa sekalipun setiap perubahan UU
Pemerintah Daerah pada dasarnya merupakan reformasi pemerintahan
daerah, namun terdapat perbedaan mengenai gradasi, skala dan besaran
substansi perubahan yang dikehendaki oleh UU No. 22 Tahun 1999 dan UU
No. 25 tahun 1999.

Perubahan yang didorong oleh kedua UU tersebut tergolong perubahan yang


radikal (radical change) atau drastis (drastic change) dan bukan perubahan
yang gradual (gradual change). Oleh karena itu, konflik, krisis dan goncangan
yang menyertai reformasi tersebut lebih besar daripada serangkaian
reformasi yang pernah terjadi sebelumnya. Undang-undang No. 32 Tahun
2004 sebagai penggantinya telah berusaha membenahi kekurangankekurangan pada UU sebelumnya meskipun masih terdapat

berbagai

kekurangan. Sebagai sebuah kebijakan pun tidak terlepas dari kritikan.

Pada dasarnya, terlepas dari polemik mengenai UU tersebut, desentralisasi


dalam konsep negara kesatuan merupakan instrumen atau alat dalam
mencapai

tujuan

penyelenggaraan

negara

sehingga

desentralisasi

keseimbangan

dengan

kebutuhan

antara

kebutuhan

kesatuan

bangsa

Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

27

merupakan variabel yang harus tetap menjadi prioritas. Pembagian


kewenangan

pemerintahan

dalam

konteks

desentralisasi

merupakan

persebaran kewenangan pemerintahan dari pemerintah pusat kepada


daerah-daerah otonom. Kewenangan pemerintah yang didistribusikan kepada
Daerah hanyalah merupakan kewenangan pemerintahan saja (eksekutif), jadi
tidak termasuk kewenangan legislatif (pembuatan undang-undang) dan
kewenangan yudikatif (peradilan).

Di dalam penyelenggaraan otonomi daerah tersebut, persoalan-persoalan


persebaran wewenang dan bagaimana tata hubungan di antara pemerintah
dari setiap jenjang menjadi suatu hal yang pelik. Sebagai contoh, wewenang
yang diberikan ke daerah Kabupaten/Kota berdampak kepada melemahnya
posisi gubernur. Walaupun ia memiliki fungsi dekonsentrasi karena gubernur
itu adalah juga sekaligus sebagai wakil Pemerintah dalam rangka
dekonsentrasi. Dalam kasus ini terdapat adanya dual function karena daerah
otonom

itu

adalah

separateness

(disintegrasi)

sehingga

harus

mengintegrasikan kembali (how to reintegrated). Pengintegrasiannnya


dengan jalan provinsi memiliki dual status sebagai daerah otonom dan
sebagai daerah administrasi, konsekuensinya gubernur juga memilki dual role
sebagai wakil pemerintah pusat dan sebagai kepala daerah.

Konstruksi ideal teoritis tersebut memerlukan konkritisasi dalam satu implikasi


kebijakan tertentu. Hal tersebut disebabkan dalam realita empirik justru
merebak dispute yang berlarut-larut di seputar tata hubungan kewenangan
antar Pemerintah dan Pemerintah Daerah atau antar Daerah.

Perlunya Tata Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dan antar
Daerah

Sekarang ini, yang perlu dilembagakan adalah penataan hubungan


kewenangan di antara organisasi pemerintah di setiap level. Jika gubernur
merupakan

wakil

pemerintah

maka

apa

saja

kewenangannya

dan

hubungannya dengan pemerintah daerah perlu ditegaskan dan dirinci.


Sebagai wakil Pemerintah, gubernur harus jelas hubungannya dengan para
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

28

Menteri bukan hanya dengan Presiden. Bagaimana tata hubungan antara


gubernur sebagai wakil Pemerintah dengan Para Menteri dan atau Kepala
Lembaga Pemerintah Non Departemen. Bagaimana pula hubungan Dinas
(Provinsi, dan Kabupaten/ Kota) dengan departemen-departemen teknis?
Bagaimana pula hubungan antara Gubernur dengan Para Bupati/ Walikota di
wilayahnya? Anggota DPRD dan pejabat Pemerintah di Pusat, Provinsi, dan
Kabupaten/ Kota. Hal itu semua tentu memerlukan kearifan pemerintahan.

Secara keseluruhan, perlu dilakukan pelembagaan hubungan di antara


lembaga-lembaga pemerintah baik secara horizontal maupun vertikal yang
didasarkan

atas

pertimbangan-pertimbangan

rasional

akademis

untuk

menghindari polemik.

Beberapa hal yang mendorong secara utuh perlunya tata hubungan tersebut
antara lain: (a) Bahwa Filosofis dasar keberadaan pemerintahan daerah
dalam Negara kesatuan Republik Indonesia berkenaan dengan pelaksanaan
asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan, merupakan subsistem dari pemerintahan Nasional. (b) pelaksanaan pemerintahan yang baik
menuntut adanya hubungan saling ketergantungan antar berbagai elemen
Pemerintahan dalam bingkai Negara kesatuan Republik Indonesia; (c)
tuntutan globalisasi menghendaki pemerintahan yang kuat dalam berbagai
jenjang yang saling bersinergi; (d) Bahwa keadaan kemajuan bangsa
Indonesia yang memiliki karakter budaya yang tinggi dan majemuk
memerlukan pemeirntahan yang mampu menjadi pendorong inistiatif lokal,
pendorong berbagai perubahan ke arah kemajuan bangsa dan penyeimbang
bagi setiap lapisan masyarakat dengan kompleksitas sistem yang ada.

Disamping itu, yang tidak dapat dielakkan adalah amanat UUD. Pasal 1, 18,
18 A dan 18 B, 20 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945; khususnya ayat (1) pasal
18 A menyatakan:
Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah
provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota,
diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan
keragaman daerah.
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

29

Frasa diatur dengan Undang-undang menandakan bahwa materi tata


hubungan kewenangan yang dimaksud bukan berada di dalam sebuah
produk hukum lain tetapi justru secara khusus harus disusun sebuah UU akan
hal itu. Sandaran legalitas dari pasal tersebut sangatlah kuat untuk kita
menyusun sebuah UU.

Area Tata Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah dan antar Daerah

Konsepsi untuk mewujudkan kehendak filosofis di atas berupa sebuah


mekanisme dan proses timbal balik antar berbagai unsur dalam pemerintahan
berdasarkan prinsip kepemerintahan yang baik. Untuk itu, tata hubungan
yang ada mengharuskan operasionalisasi dari konsepsi tersebut. Singkat
kata, tata hubungan adalah mekanisme dan proses timbal balik antar
berbagai unsur dalam pemerintahan berdasarkan prinsip kepemerintahan
yang baik. Unsur dalam pemerintahan adalah elemen-elemen yang
membentuk sistem pemerintahan yang meliputi: wewenang, Jabatan, dan
Wilayah.

Tata hubungan wewenang adalah mekanisme dan proses timbal balik dalam
hal

pembagian

dan

penyerahan

wewenang

atas

dasar

prinsip

kepemerintahan yang baik. Tata Hubungan wilayah adalah mekanisme dan


proses timbal balik dalam hal wilayah pemerintahan atas dasar prinsip
kepemerintahan yang Baik. Tata Hubungan jabatan adalah mekanisme dan
proses timbal balik dalam hal jabatan berdasarkan prinsip kepemerintahan
yang baik.

Dengan demikian, tata hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah


adalah mekanisme dan proses timbal balik antara unsur Pemerintah Pusat
dan unsur Pemerintah daerah berdasarkan prinsip kepemerintahan yang baik.
Tata Hubungan Antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupatan/ Kota
adalah mekanisme dan proses timbal balik antara unsur Pemerintah Provinsi
dan unsur pemerintah Kabupaten/ Kota berdasarkan kepemerintahan yang
baik.
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

30

Pola hubungan yang tercipta dapat beranjak pada hubungan vertikal,


horizontal dan diagonal. Hubungan-hubungan tersebut dapat terjadi baik
dalam area dekonsentral, desentralisasi, dan medebewind maupun dalam
antar ketiga area tersebut.

Penutup

Penataan hubungan antar Pemerintahan ini dimaksudkan memenuhi


kebutuhan empirik yang seringkali terjadi dispute yang tidak diinginkan yang
menyangkut mekanisme dan proses timbal balik antara berbagai unsur
pemerintahan disamping amanat UUD. Tidak dapat dipungkiri komitmen
semua pihak dalam rangka mendukung terciptanya kepemerintahan yang
baik sehingga mendorong kamajuan bangsa sangat menentukan bagaimana
penataan hubungan ini dapat berjalan. Oleh karena itu, perlu juga diantisipasi
remedy dalam penataan tersebut. Perselisihan dan Sanksi dalam penataan
tersebut juga dibutuhkan.

Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

31

BAB IV
HUBUNGAN PEMERINTAH PUSAT DAN
PEMERINTAH DAERAH DI INDONESIA

Pendahuluan

Ada dua alasan utama mengapa Konstruksi Ulang Hubungan Pemerintah


Pusat dan Pemerintah Daerah di Indonesia merupakan hal yang penting
untuk dibahas. Pertama, hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah, selanjutnya dalam disingkat dengan hubungan pusat dan daerah,
adalah masalah nasional yang sangat kritis yang selalu bergerak dari satu
pendulum yang memusat (sentripetalis) ke arah pendulum yang menyebar
(sentrifugalis).

Hubungan

dinamis

yang

kritis

ini

seringkali

dapat

menyebabkan gerakan separatis yang berujung pada situasi turbulens dan


hancurnya eksistensi sebuah negara. Kedua, dalam wacana akademik,
gagasan dan konsep federalisme dan negara federal yang merupakan wujud
gerakan negara yang bersifat menyebar telah memperoleh stigma buruk
dalam sejarah perjalanan negara dan bangsa Indonesia. Federalisme dan
negara federal dalam konteks hubungan pusat dan daerah telah dipahami
semata-mata sebagai kontra negara kesatuan dan diduga kuat dengan
keinginan untuk mendirikan negara federal. Tentu saja pandangan yang keliru.

Negara nasional terlalu kecil untuk mengatur dan mengurus masalahmasalah yang sangat besar, tetapi terlalu besar untuk mengatur dan
mengurus masalah-masalah yang sangat kecil (lihat misalnya Bell, 1988:2).
Ungkapan ini mengisyaratkan, bahwa peran negara nasional sebagai
pengatur dan penyelenggara akan semakin berkurang dan akan sangat
tergantung dengan mekanisme koordinasi dan pembagian kekuasaan baik
pada tingkat internasional maupun pada tingkat lokal (Fukuyama, 2004: 95).
Konsekuensi logis dari hal ini adalah penyerahan sebagian kekuasaan
kepada unit-unit sub nasional dan lokal. Karena itu, pengaturan dan
penyelenggaraan tugas-tugas negara dan pemerintahan akan senantiasa
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

32

berubah secara periodik, baik pada negara yang berstruktur federal maupun
negara yang berstruktur unitaris (kesatuan).

Dinamika Hubungan Pusat - Daerah

Tendensi dinamika perkembangan hubungan pusat dan daerah tidak saja


terjadi pada negara kesatuan, seperti Indonesia, tetapi juga pada negaranegara dengan struktur federal seperti Jerman, Canada, USA, Austria dan
Swiss. Di Jerman misalnya, perubahan hubungan antara pusat (Bund/federal)
dengan negara bagian (Laender/state) berkaitan langsung dengan proses
penyatuan Jerman Barat dan Jerman Timur, juga dengan proses integrasi
Eropa. Defisit subtansi federalisme terjadi pada hampir semua kewenangan
yang ditunjukkan dengan meningkatnya konsentrasi kewenangan mengatur
dan mengurus pada pusat (Bund). Peningkatan konsentrasi kewenangan
pada pusat telah menyebabkan hilangnya substansi kemandirian politik dan
kualitas negara pada negara bagian. Pada sisi lainnya juga terjadi
ketergantungan negara bagian miskin pada bantuan keuangan pusat dan
negara bagian (Prasojo, 2003:32). Tendensi ini yang disebut di Jerman
sebagai cooperative federalism sampai kepada coercive federalism (Gunlick,
Berlin, 2000: 46). Hal yang sama terjadi juga pada sistem federalisme Swiss
yang dicerminkan dengan pengambilalihan kompetensi dasar negara bagian
(Kantone) oleh pusat (Bund). Demikian juga sentralisasi kewenangan yang
terjadi di federal USA melalui proper and necessary clause. Ketentuan ini
memberikan hak kepada pusat untuk mengatur dan menyelenggarakan
kewenangan yang tidak diatur dalam konstitusi tetapi melekat secara inheren
untuk melaksanakan kewenangan yang dimiliki.

Terjadinya sentralisasi kewenangan di negara-negara federal memberikan


bukti kepada kita bahwa hubungan antara pusat dan daerah merupakan
refleksi areal division of power (vertical distribution of power) yang bersifat
dinamik, berada dalam suatu kontinum antara ekstrim sentral unitaris dan
ekstrim liberal-federalis, berada antara kekuatan sentrifugal yang mendorong
keluar dan sentripetal yang menarik ke dalam. Pembagian kekuasaan secara
vertikal yang merupakan komplemen pembagian kekuasaan secara horizontal,
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

33

tidak berada dalam ruang vakuum, tetapi sangat dipengaruhi oleh faktorfaktor internal nasional dan faktor-faktor eksternal internasional yang
berkembang.

Unitaris

Federalis-Unitaris

Federalis

Gambar 1: Kontinum Hubungan antara Pusat dan Daerah

Derajat hubungan antara Pusat dan Daerah dapat dijadikan sebagai indikasi
pada posisi mana struktur suatu negara berada. Meskipun demikian tidak
mungkin terdapat suatu negara yang sangat bersifat unitaris atau sebaliknya
sangat bersifat federalis. Elemen hubungan antara pusat dan daerah tidak
bersifat monosentris, melainkan polisentris bergerak dari satu kontinum ke
kontinum lainnya, dari kontinum unitaris ke kontinum federalis dan sebaliknya
(Laufer dan Ursula, 1998: 14). Titik temu keseimbangan antara gerakan
sentripetal dan sentrifugal dalam hubungan pusat dan daerah dapat dikaji
dalam berbagai aspek, misalnya saja dalam aspek tingkatan dan kedudukan
pemerintah daerah, pembagian kewenangan, aspek intervensi pusat terhadap
daerah, aspek keterlibatan daerah di tingkat pusat, aspek pembagian
(perimbangan) sumberdaya keuangan, dan aspek penyelesaian konflik yang
terjadi antar level pemerintahan. Dalam problem setiap negara bangsa, tugas
terberat yang harus diselesaikan oleh para pembuat keputusan politik adalah
menjaga titik keseimbangan antara gerakan yang bersifat sentrifugal dan
gerakan yang bersifat sentripetal. Kekuatan sentrifugal yang terlalu besar
akan mengakibatkan gerakan separatisme yang mungkin berakibat pada
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

34

disintegrasi bangsa. Sedangkan kekuatan sentripetal yang berlebihan akan


menciptakan pemerintahan yang berkarakter sentralistis, dimana diskresi dan
partisipasi lokal dapat terabaikan. Kedua gerakan ini akan terus terjadi dari
satu generasi ke generasi selanjutnya, baik di negara-negara yang berbentuk
federal maupun di negara-negara yang berbentuk unitaris. Keutuhan integrasi
sebuah negara bangsa sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mencari
pakem keseimbangan diantara dua gerakan tersebut.

Gambar 2: Gerakan Sentrifugal dan Sentripetal dalam hubungan Pusat dan


Daerah

Problematika Hubungan Pusat Daerah di Indonesia

Untuk dapat merekonstruksi hubungan Pusat dan Daerah di Indonesia,


marilah kita lihat berbagai situasi problematis yang terjadi pada praktek
hubungan tersebut pada masa

kekinian dalam kontek penyelenggaraan

pemerintahan daerah. Pasang surut hubungan antara Pusat dan Daerah


sejatinya selalu mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia
(lihat Mackie, 1980:671). Bahkan sejak kita merdeka, berbagai gerakan
separatis yang muncul di daerah seperti PRRI dan Permesta juga sangat
terkait dengan aspek vertical distribution of power, disamping tentu saja
memiliki

keterkaitan

dengan

aspek

horizontal

distribution

of

power.

Pergolakan tersebut merupakan reaksi terhadap kekuatan sentripetal yang


berlebihan dalam penyelenggaraan negara (Hoessein, 1995:12). Pasang
surut hubungan ini tercermin dalam berbagai produk perundang-undangan
yang mengatur mengenai pemerintahan daerah, sebagai amanat Pasal 18
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

35

UUD 1945, baik sebelum maupun sesudah diamandemen. Dalam tulisan ini
tidak akan dibahas bagaimana pasang surut hubungan pusat dan daerah di
Indonesia sejak kita merdeka, sebagaimana terlihat dalam UU No. 1 tahun
1945, UU No. 22 tahun 1948, UUD Republik Indonesia Serikat (RIS) tahun
1949, UU No. 1 tahun 1957, UU No. 18 tahun 1965, dan UU No. 5 tahun
1974.

Berbagai

konstruksi

hubungan

Pusat

dan

Pemerintah

dalam

perundang-undangan tersebut telah banyak ditulis dan disampaikan oleh


Bhenyamin Hoessein (Hoessein, 1997, 1999, 2001, 2001). Hoessein di tahun
1995 menyebutkan bahwa roda desentralisasi di Indonesia telah mengalami
lima kali perputaran (Hoessein, 1995: 15). Seiring dengan perkembangan
yang terjadi di Indonesia, telah terjadi lagi satu kali perputaran roda
desentralisasi ke arah demokrasi pada tahun 1999.

Pasca jatuhnya Soeharto, hubungan antara Pusat dan Daerah memiliki


ancaman sekaligus harapan. Menjadi sebuah ancaman karena berbagai
tuntutan yang mengarah kepada disintegrasi bangsa semakin besar. Bermula
dari kemerdekaan Timor Timur (atau Timor Leste) pada tanggal 30 Agustus
1999 melalui referendum, berbagai gelombang tuntutan disintegrasi juga
terjadi di beberapa daerah seperti di Aceh, Papua, Riau dan Kalimantan.
Meskipun ada sejumlah kalangan yang menganggap bahwa kemerdekaan
Timor Timur sudah seharusnya diberikan karena perbedaan sejarah dengan
bangsa Indonesia dan merupakan aneksasi rezim Orde Baru, tetapi efek
domino yang timbulkannya masih sangat dirasakan, bahkan dalam MOU
Helsinki yang menghasilkan UU Pemerintahan Aceh (Prasojo, 2005:22). Efek
domino gerakan sentrifugal ini tidak berhenti, melainkan akan terus berlanjut
sampai ditemukannya titik keseimbangan antara pusat dan daerah. Gerakan
ini bukan merupakan kejadian sesaat, karena merupakan akumulasi dari
kegagalan sistem yang sangat sentralistis, sebagaimana juga terjadi di
negara-negara Afrika. (Wunsch dan Olowu, 1995: 54).

Pada sisi lainnya, pasca kejatuhan Soeharto juga memberikan harapan pada
kemungkinan terjadinya perubahan hubungan kekuasaan antara Pusat dan
Daerah. Hal ini terbukti dengan ditetapkannya UU No. 22 tahun 1999, yang
direvisi dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sejalan
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

36

dengan UU No. 22 tahun 1999, maka UU No. 2 tahun 1999 tentang Pemilihan
Umum juga memperkuat posisi daerah dengan diterapkannya sistem
pemilihan semi distrik pada bulan Juni 1999. Kedua UU ini sedikit banyak
telah merubah corak hubungan antara Pusat dan Daerah di Indonesia.
Kecenderungan menguatnya desentralisasi, sebagaimana tertuang dalam UU
No. 22 tahun 1999, merupakan refleksi gerakan sentrifugal yang terjadi di
Indonesia pasca kejatuhan Soeharto. Desentralisasi kewenangan yang
serupa juga terjadi di beberapa beberapa negara Asia seperti di Filipina,
Vietnam, Kamboja dan juga Cina (White and Smoke, 2005: 4). Gerakan ini
menurut White dan Smoke dipengaruhi oleh bekerjanya faktor-faktor politik,
faktor ekonomi dan faktor demografi.

Dalam perspektif politik, UU No. 22 tahun 1999 dapat dikatakan berhasil


meredam gerakan sentrifugal yang terjadi di daerah pasca kejatuhan
Soeharto.

UU

No.

22

tahun

1999

menghapus

pelaksanaan

azas

dekonsentrasi pada Daerah Kabupaten dan Kota, dimana azas ini hanya
dilaksanakan pada daerah Propinsi. Dengan demikian semua kewenangan
pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota pada prinsipnya merupakan
kewenangan dalam rangka desentralisasi dan sebagian dalam rangka tugas
pembantuan.

Demikian

juga

makna

desentralisasi

tidak

lagi

dalam

pemahaman administrativ tetapi dalam konteks politis, dimana pemerintah


daerah Kabupaten dan Kota berhak mengatur (regulate, regeln) dan
mengurus (manage, verwalten) rumah tangganya sendiri atas inisiatif dan
kekuatan sendiri. UU No. 22 tahun 1999 juga menghapus hierarki antara
pemerintah

Kabupaten/Kota

dengan

pemerintah

Propinsi.

Konstruksi

hubungan antara pusat dan daerah seperti diatur dalam UU No. 22 tahun
1999, telah menyebabkan beralihnya kekuasaan dari Pemerintah Propinsi
kepada Pemerintah Kabupaten/Kota. Kekuatan gerakan sentrifugal ini
menjadi

sangat lemah, karena para

elite lokal yang

menghendaki

kemerdekaan propinsi menjadi terpecah. Para Bupati dan Walikota lebih


tertarik untuk menjadi raja kecil di wilayahnya, daripada menjadi hulu
balang di negara yang akan dibentuk. UU No. 22 tahun 1999 bahkan
meletakkan dasar perubahan yang radikal (radical change) dalam hubungan
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

37

antara Pusat dan Daerah, juga dalam Sistem Administrasi Publik Indonesia
secara keseluruhan (Rohdewohld, 2003: 259).

Politik Sentralisme dan praktek ketidakadilan yang terjadi selama masa


Soeharto telah menyebabkan gerakan separatisme di beberapa daerah.
Ketidakseimbangan pembagian keuangan antara pusat dan daerah telah
menyebabkan kecemburuan di beberapa daerah. Kekayaan alam di Aceh
yang diekspor menghasilkan keuntungan US$ 2 Milyar pada tahun 1997
hanya memberikan manfaat kepada masyarakat Aceh sebesar 0,05% melalui
APBN. Meskipun produksi minyak Caltex di Riau tahun 1999 mencapai 23
Trilyun, tetapi masyarakat Riau termasuk yang paling miskin di Indonesia.
Sedangkan PT Freeport yang mengeruk keuntungan tahun 1997 US$ 1,1
Milyar, tetapi masyarakat Papua tetap hidup seperti pada zaman batu.

Konstruksi Hubungan Pusat Daerah Pasca Orde Baru

Konstruksi hubungan antara Pusat dan Daerah pasca kejatuhan Soeharto


boleh jadi bisa memberikan obat penawar bagi kegelisahan dan kemarahan
daerah. Tetapi dalam prakteknya tidak serta merta menyurutkan keinginan
Aceh dan Papua untuk memerdekakan diri. Sebaliknya pemberian otonomi
yang luas kepada pemerintah daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999,
yang telah direvisi dengan UU No. 32 tahun 2004, juga telah menyebabkan
sejumlah paradoks dalam pembangunan dan pemerintahan. Bahkan hasil
penelitian di beberapa daerah mengarahkan kepada kesimpulan gagalnya
otonomi daerah yang dicerminkan dari ketiadaan political equality, local
responsiveness dan local accountability (Yappika, 2006; lihat juga untuk
konsep ini Smith, 1985:24). Otonomi daerah yang sangat luas telah
menyebabkan

tensi

politik

yang

lebih

tinggi

daripada

upaya-upaya

peningkatan pelayanan publik. Penyusunan organisasi perangkat daerah


kabupaten/kota tidak terkecuali propinsi- lebih banyak ditentukan oleh
akomodasi kepentingan-kepentingan tertentu. Setelah Pilkada langsung,
afiliasi ini menjadi lebih besar, karena politik akomodasi mewarnai proses
pemilihan langsung kepala daerah. Bahkan pengisian jabatan-jabatan dalam
struktur organisasi perangkat daerah sangat ditentukan oleh afilisasi
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

38

seseorang dengan bupati/walikota. Disamping itu, alasan Dana Alokasi


Umum dari pusat juga menjadi justifikasi perlunya pembengkakkan organisasi
perangkat (budget maximizing). Di beberapa daerah nepotisme berdasarkan
kebangsawanan, sukuisme dan afiliasi politik masih mewarnai proses
rekrutmen, penempatan, promosi dan mutasi jabatan tertentu. Bahkan gelar
kebangsawanan secara sengaja diciptakan oleh bupati/walikota untuk
memperkuat posisi jabatan, sekaligus membedakan masyarakat biasa
dengan masyarakat yang memiliki status kebangsawanan tertentu. Hal ini
muncul dengan istilah misalnya laskar dan putera asli. Istilah anak
daerah sejatinya telah muncul pada tahun 1950-an sebagai antagonis dari
orang pusat yang di drop daerah (Mackie, 1980:672).

Banyaknya urusan yang telah diserahkan kepada kabupaten/kota ternyata


tidak diikuti oleh kemampuan dan jumlah SDM Aparatur yang tersedia.
Terbatasnya kualifikasi dan jumlah SDM aparatur ini merupakan masalah
utama yang dihadapi oleh Kabupaten/Kota. Di beberapa daerah bahkan
pengisian jabatan dilakukan dengan mengatrol kepangkatan seseorang,
karena

keterbatasan

SDM

yang

memenuhi

persyaratan. Mekanisme

Baperjakat (Badan Penilai Jabatan dan Kepangkatan) seringkali terbentur


pada keterbatasan jumlah dan kualifikasi SDM yang tersedia, di samping juga
politik afiliasi dan politik akomodasi.

Keterbatasan SDM aparatur ini sangat dirasakan dalam pelayanan publik


maupun dalam pengelolaan keuangan daerah. Tidak terkecuali adalah
keterbatasan kemampuan anggota DPRD dalam proses penganggaran.
Akibatnya, perencanaan dan pengelolaan keuangan daerah serta proses
penganggarannya masih jauh dari optimal. Hal ini dipersulit lagi oleh
perubahan sistem anggaran dari pusat yang sangat cepat dan susul
menyusul bahkan seringkali tumpang tindih-, sehingga menyulitkan respon
kemampuan SDM aparatur. Pada sisi lainnya, peran dan fungsi Gubernur
sebagai wakil pusat pun tidak berjalan efektif, sehingga SDM aparatur tidak
dapat didistribusikan secara merata kepada kabupaten/kota di propinsinya.

Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

39

Otonomi daerah bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dan


akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan. Tujuan ini sangat paradoks
dengan praktek otonomi daerah yang terjadi. Jaminan partisipasi masyarakat
dalam bentuk peraturan daerah belum menjadi kebutuhan dan kewajiban bagi
pemerintah daerah. Proses perencanaan pembangunan dan anggaran
misalnya masih dipandang sebagai ekslusif domain pemerintah dan harus
dirahasiakan atau ditutupi keberadaannya dari akses publik. Proses
Musrenbang menjadi formalitas belaka, karena banyak usulan pembangunan
yang akhirnya hilang karena peran pemerintah yang sangat besar (Muluk,
2006:139). Bahkan dokumen anggaran yang seharusnya menjadi dokumen
publik hanya mungkin diakses dengan cara-cara pintu belakang. Pada sisi
lainnya, kesempatan masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap kinerja
pemerintah juga tidak terwujud. Tidak ada mekanisme dan prosedur yang
terlembaga yang memungkinkan masyarakat melakukan keluhan dan
mengontrol kinerja pemerintah. Keluhan masyarakat terhadap kinerja
pemerintahan daerah tidak pernah diketahui hasilnya. Akibatnya, masyarakat
tidak memperoleh informasi apakah keluhan yang disampaikan telah direspon
dan ditindaklanjuti.

Potret suram otonomi daerah juga terjadi dalam pengelolaan Sumber Daya
Alam. Tidak ada peraturan daerah yang mengatur mengenai hak masyarakat
atas informasi dan keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan dan
pengambilan keputusan. Tidak dapat juga dibantah bahwa kebijakan
pelimpahan wewenang perizinan pemanfaatan SDA dari pusat kepada
daerah justru meningkatkan eksploitasi SDA yang berlebihan dan tidak
memperhatikan kelestariannya. Hal ini disebabkan karena pengelolaan SDA
oleh pemerintah daerah semata-mata dalam rangka perolehan Pendapatan
Asli Daerah (PAD) dan transaksi ekonomi politik. Proses AMDAL dalam
pemberian izin pemanfaatan SDA faktanya hanyalah bersifat formalitas dan
tidak dijadikan sebagai dasar yang objektive dalam pengambilan keputusan.
Pemberian

izin

pemanfaatan

SDA

seringkali

lebih

menguntungkan

pengusaha daripada masyarakat. Pemilihan langsung kepala daerah yang


diharapkan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat, dalam prakteknya
tidak terjadi. Proses penjaringan calon kepala daerah menjadi domain eklusif
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

40

partai politik. Klaim partai politik bahwa jika pencalonan dilakukan hanya
melalui partai politik akan memperkuat kelembagaan partai politik dalam
prakteknya juga tidak menjadi kenyataan (Prasojo, 2005:101). Yang terjadi
adalah praktek jual beli perahu partai politik dalam proses pencalonan
kepala daerah. Sedangkan masyarakat dipaksa untuk memilih calon yang
telah dipilih oleh parpol tanpa proses penjaringan yang partisipatif.

Meskipun

demikian,

praktek

penyelenggaraan

pemerintahan

daerah

berdasarkan konstruksi UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 32 tahun 2004


tidaklah selalu menampakkan wajah yang suram, karena di sebagian kecil
daerah juga dapat dilihat praktek-praktek best practices dan program-program
inovasi. Salah satu faktor pengungkit dari terjadinya program-program inovasi
ini adalah peran kepemimpinan yang besar dari Bupati dan Walikota. Kitapun
sangat

bangga

dengan

program-program

yang

telah

memberikan

kesejahteraan kepada masyarakat seperti di Kabupaten Jembrana (Prasojo


dkk, 2004), di Kabupaten Sragen, di Kabupaten Solok, di Kabupaten
Kebumen, di Kota Tarakan dan daerah-daerah lainnya. Tetapi peran
kepemimpinan yang besar dari Bupati dan Walikota dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah sekaligus memberikan tanda tanya besar bagi
keberlanjutan program-program inovasi tersebut.

Beberapa uraian diatas tentang situasi problematik penyelenggaraan


pemerintahan daerah di Indonesia menggambarkan dua pokok permasalahan
besar dalam konteks hubungan antara pusat dan daerah kekinian. Pada satu
sisi, perubahan konstruksi hubungan pusat dan daerah berdasarkan UU 22
No. Tahun 1999, yang telah direvisi dengan UU No. 32 tahun 2004 ternyata
belum mampu secara optimal meredam kekuatan-kekuatan sentrifugal yang
mengarah pada gerakan separatisme. Bahkan kekhususan-kekhususan yang
diberikan kepada pemerintah Aceh melalui UU Pemerintahan Aceh No. 11
tahun 2006 (sebagai hasil MOU Helsinki dan merupakan revisi terhadap UU
No. 18 tahun 2001), dan kekhususan yang diberikan kepada Propinsi Papua
berdasarkan UU No. 21 tahun 2001, telah memberikan tanda tanya besar
tentang konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia. Akankah setiap
gerakan sentrifugal yang terjadi di daerah harus direspon oleh pusat dengan
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

41

memberikan kekhususan melalui/dalam UU tertentu, padahal terminologi


otonomi daerah itu sendiri sejatinya telah mengandung makna kekhususan
bagi daerah. Pada sisi lainnya, praktek penyelenggaraan pemerintahan
daerah juga diwarnai dengan berbagai problem implementasi terkait dengan
aspek efektivitas pemerintahan, pengelolaan Sumber Daya Alam, Pemilihan
Kepala Daerah, Pelayanan Publik, Hubungan antara Pemerintah Daerah dan
Masyarakatnya, Hubungan antara DPRD dan Pemerintah Daerah, serta
berbagai problem lainnya sebagaimana telah disinggung dimuka.

Kedua pokok permasalahan di atas menghendaki satu perubahan mendasar


hubungan antara pusat dan daerah. Dengan kata lain, perlu dipikirkan
konstruksi baru hubungan antara pusat dan daerah. Konstruk hubungan
tersebut

paling

tidak

memuat

pemikiran

ulang

mengenai

tingkatan

pemerintahan, status dan kedudukannya; pembagian wewenang (atau


urusan) antar berbagai tingkatan pemerintahan;
antar

tingkatan

pemerintahan;

partisipasi

perimbangan keuangan

daerah

dalam

pembuatan

keputusan di tingkat nasional; dan intervensi pusat terhadap daerah.

Konstruksi Ulang Hubungan Pusat Daerah untuk Indonesia

Pembahasan berbagai muatan dalam konstruksi ulang hubungan antara


Pusat dan Pemerintah tidak dapat dilepaskan dalam kerangka teori bentuk
negara dan upaya untuk menselaraskan kekuatan sentripetal dan kekuatan
sentrifugal yang senantiasa dinamis bergerak dalam sebuah negara bangsa.
Tulisan ini tidak bermaksud memprovokasi untuk mengadopsi bentuk negara
federal dan mengubah bentuk negara kesatuan yang telah menjadi
konsensus para pendiri negara. Persoalannya bukan terletak pada perubahan
bentuk negara, tetapi lebih besar pada upaya mencari format hubungan
vertikal antara pusat dan daerah. Dalam praktek hubungan antara pusat dan
daerah di berbagai negara, pendulum unitarisme dan federalisme saling
bergerak ke arah yang berlawanan. Bahkan sejak tahun 1947 seorang
sarjana hukum Jerman Bodo Denewitz mengatakan bahwa federalisme dan
unitarisme adalah dua konsep kembar yang tidak mungkin membicarakan
satu tanpa membicarakan yang lainnya. ... so haben auch die bisherigen
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

42

Untersuchungen

ber

das

Wesen

des

Fderalismus

diesen

fast

ausschlielich und zumindest regelmig nur im Zusammenhang mit dem


Begriff Unitarisme behandelt (Denewitz, 1947: 81). Kombinasi berbagai
instrumen unitarisme dan federalisme tersebut bahkan membentuk kharakter
khusus konstruk hubungan antara pusat dan daerah.

Memang dapat dipahami adanya kekhawatiran dari sejumlah kalangan


terhadap ide dan keinginan perubahan bentuk negara kesatuan ke negara
federal. Karena perubahan yang sangat radikal dalam tatanan negara
seringkali dapat menyebabkan situasi anomali dan chaos. Perubahan yang
evolutif, dilakukan secara komprehensif dengan agenda setting yang
bertahap merupakan pilihan yang mungkin dilakukan. Fakta bahwa berbagai
instrumen yang digunakan dalam negara kesatuan dan negara federal dapat
saling bertukar tidaklah dapat dipungkiri. Jika pembahasan lebih lanjut
diarahkan pada perbandingan berbagai bentuk negara federal, maka niscaya
akan kita dapatkan berbagai perbedaan yang signifikan antara federal Jerman,
federal Austria, federal USA, federal Australia, federal Kanada, federal India,
dan mungkin juga federal Malaysia. Berbagai instrumen yang dipergunakan di
masing-masing negara memiliki keunikan dari kontinum yang bersifat sangat
federalis-liberal sampai pada federalis unitaris. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa pemikiran untuk mengadopsi instrumen yang lazimnya
dipergunakan di negara federal, tanpa merubah bentuk negara kesatuan
menjadi federal, adalah sesuatu yang mungkin.

Sayangnya, ide dan pemikiran dasar federalisme dan negara federal di


Indonesia sudah terlanjur layu sebelum berkembang. Padahal melalui
penjelasan terhadap beberapa kharakter negara federal kita dapat secara
cermat memahami esensi ikatan Pusat dan Daerah yang bercorak federalis.
Hal ini akan membantu kita mengkonstruksi ulang hubungan antara pusat dan
daerah di Indonesia dengan kacamata yang lain, yaitu bentuk negara federal.

Seperti telah menjadi pemahaman umum, bahwa pusat dalam negara federal
adalah struktur bentukan negara-negara bagian. Kewenangan yang dimiliki
oleh pusat lazimnnya merupakan kewenangan yang diserahkan dalam
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

43

konstitusi federal (Prasojo, 2005:105). Dalam hal ini terdapat dua kelaziman
cara untuk memberikan kewenangan kepada struktur federal yang terbentuk.
Pertama, konstitusi mengatur secara detail kewenangan yang dimiliki oleh
pusat (federal). Kewenangan tersebut dapat berupa kewenangan mengatur
dan kewenangan mengurus. Kewenangan yang tidak diatur dalam konstitusi
sebagai kewenangan pusat, dengan sendirinya merupakan kewenangan
negara bagian. Prinsip inilah yang dikenal dengan kewenangan sisa untuk
negara bagian (residu of powers to state). Diantara negara-negara federal
yang menganut prinsip residu of powers to state adalah USA, Jerman, Swiss
dan Austria. Cara kedua dengan menetapkan di dalam konstitusi federal
kewenangan yang dimiliki oleh negara bagian, sedangkan sisanya dimiliki
oleh pusat. Penetapan kewenangan sisa semacam ini disebut dengan residu
of powers to federal. Negara yang menganut cara kedua ini adalah Kanada
dan India.

Dalam teori dan praktek hubungan pusat dan daerah di kebanyakan negara
federal, kekuasaan dan kewenangan pusat tidak hanya berasal dari konstitusi,
melainkan juga dari interpretasi dan komentar terhadap konstitusi yang
diberikan oleh Hakim Mahkamah Konstitusi. Sekedar menyebut contoh
kewenangan pusat yang lahir dari interpretasi dan komentar terhadap
konstitusi adalah implied powers dan necessary and proper clause di
Amerika Serikat, dan stillschweigende Kompetenzen kraft Natur der Sache
dan kraft Zusammenhang di Jerman. Kekuasaan inilah yang menyebabkan
terjadinya kecenderungan sentralisasi di negara-negara federal (Prasojo,
2003:403).

Selanjutnya, termasuk elemen penting dalam negara federal adalah


pengawasan federal (federal control), intervensi federal (federal intervention),
dan eksekusi federal (federal execution). Di area kekuasaan dan kewenangan
murni negara bagian, pengawasan federal bertujuan menjamin kesesuaian
norma hukum negara bagian (baik konstitusi maupun undang-undang)
dengan norma hukum konstitusi dan Undang-Undang federal. Dalam
kewenangan yang secara konstitutional ditetapkan sebagai kewenangan
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

44

pusat, tetapi penyelenggaraannya dilimpahkan kepada negara bagian, maka


pengawasan pusat tidak saja bertujuan menjamin kesesuaian norma hukum
negara bagian terhadap konstitusi federal, tetapi juga menjamin kesesuaian
pencapaian tujuan yang telah ditetapkan federal. Pengawasan pusat dapat
berujung kepada eksekusi federal, jika menurut pusat, negara bagian melukai
dan melanggar konstitusi federal. Namun demikian, untuk menjamin
eksistensi soverenitas dan karakter state pada negara bagian, maka
eksekusi pusat hanya dapat dilakukan jika tahapan berikut ini dilalui; Pertama,
negara bagian jelas-jelas melukai dan melanggar norma hukum konstitusi;
Kedua, pusat (federal) telah memberi peringatan dan ancaman terhadap
pelanggaran tersebut; dan Ketiga, negara bagian tetap tidak melakukan
koreksi terhadap pelanggaran norma hukum. Konstruksi hubungan struktur
pusat dan negara bagian dalam sebuah negara federal dengan demikian
mengizinkan eksekusi oleh pusat terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh
negara bagian, sekalipun dalam bentuk ekstrim melalui tindakan militer.
Pengaturan tindakan militer dalam eksekusi pusat terhadap negara bagian
semacam ini terdapat antara lain di dalam Konstitusi Federal Swiss Artikel
173, meskipun dalam prakteknya belum pernah diterapkan. Dengan ulasan ini
dapat dipertegas, bahwa prinsip homogenitas (kesesuaian norma hukum
yang lebih rendah terhadap norma hukum yang lebih tinggi) dalam hubungan
antara pusat dan daerah dilakukan oleh pusat, dan bukan sebaliknya oleh
negara bagian (atau oleh pemerintah daerah). Sehingga persetujuan
terhadap sebuah produk perundang-undangan di tingkat pusat yang terkait
dengan daerah, di negara federal sekalipun apalagi di negara kesatuan
tidaklah

melalui konsultasi dan persetujuan dengan Lembaga Perwakilan

Lokal (Parlemen Lokal), sebagaimana kesepakatan dalam MOU Helsinki butir


1.1.2..Decisions with regard to Aceh by Legislature of the Republic of
Indonesia will be taken in consultation with and with consent of the legislature
of Aceh. Keterlibatan negara bagian dalam proses pembuatan kebijakan dan
perundang-undangan di tingkat pusat dilakukan melalui lembaga Kamar
Kedua Parlemen.

Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

45

Berbeda dengan eksekusi federal, intervensi federal tidaklah bersifat sanksi,


karena intervensi federal tidak berkaitan dengan pelanggaran norma hukum.
Tetapi sebaliknya, intervensi federal merupakan instrumen federal yang
bertujuan menjamin kemampuan negara bagian untuk melaksanakan
kewenangannya. Intervensi federal adalah bagian dari pengawasan federal
yang bersifat bantuan. Intervensi federal hanya dapat dilaksanakan, jika
negara bagian tidak berkemampuan untuk melaksanakan kewenangan yang
dimilikinya dan atau terjadinya kondisi yang menyebabkan negara bagian
tidak berkemampuan untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Contoh
konkret intervensi federal adalah dalam kasus bencana alam yang melanda
satu negara bagian, dimana negara bagian tersebut tidak dapat mengatasi
bencana tersebut dan atau tidak dapat melaksanakan kewenangannya
karena gangguan dan kerusakan yang ditimbulkan oleh bencana tersebut.
Intervensi federal dapat dilakukan atas inisiatif federal dan dapat juga
dilakukan atas permintaan negara bagian. Konteks substansi hubungan pusat
dan negara bagian dalam hal intervensi adalah jaminan bantuan yang
diberikan

oleh

pusat

kepada

negara

bagian

terhadap

pelaksanaan

kewenangan atau urusan yang dimiliki oleh negara bagian. Tidak saja dalam
keadaan darurat bencana, tetapi juga keadaan normal dimana negara bagian
tidak mampu melaksanakan kewenangan yang dimiliki.

Keterlibatan negara bagian dalam proses pembuatan undang-undang dan


kebijakan nasional (federal) juga menjadi elemen penting dalam negara
federal. Secara mendasar hal ini bertujuan memberikan jaminan perlindungan
kepada negara bagian dari eksekusi dan intervensi federal yang dapat
menyebabkan defisit soverenitas dan otonomi negara bagian. Dalam praktek
penyelenggaraannya, bentuk dan cara keterlibatan negara bagian dalam
proses pembuatan undang-undang di tingkat pusat ini sangat beragam.
Tetapi demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa semua negara federal
menganut sistem dua kamar dalam proses artikulasi politik nasional, yaitu
sistem parlemen dua kamar; satu kamar terdiri dari wakil rakyat yang dipilih
dalam pemilihan umum, dan kamar yang lain terdiri dari wakil-wakil negara
bagian. Metode pemilihan dan keterikatan politik antara wakil-wakil negara
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

46

bagian dan negara bagian yang bersangkutan juga sangat variatif. Para
senator di Amerika Serikat dipilih secara langsung oleh rakyat negara bagian
dan tidak memiliki keterikatan politik secara formal dengan eksekutif dan
legislatif di negara bagian dalam keputusan politiknya di Senat. Di Jerman
sebaliknya, anggota Bundesrat terdiri dari kepala dan anggota-anggota
pemerintahan negara bagian (Lnder) dan keputusan politik setiap anggota
adalah terikat dengan keputusan pemerintah negara bagian. Dalam kasus
federal Swiss, disamping melalui sistem dua kamar, negara bagian juga dapat
mempengaruhi keputusan politik dan undang-undang nasional lainnya melalui
institusi demokrasi langsung (Stndemehr dan referendum). Juga dalam hal
pemberian suara, terdapat variasi antara Senat di USA dan Bundesrat di
Jerman. Setiap senator memiliki satu suara dan dapat berbeda dengan
senator lainnya dari negara bagian yang sama. Sedangkan anggota
Bundesrat tidak memiliki hak suara individu karena setiap negara bagian
hanya dihitung satu suara dan harus diberikan secara sama. Terlepas dari
sistem pemilihan dan keterikatan politik anggotanya, sistem dua kamar
merupakan elemen sentral keterlibatan negara bagian dalam proses
pembuatan undang-undang nasional (Bothe, Berlin, 1977:84). Sistem
parlemen dua kamar telah diadopsi di Indonesia dengan kewenangan yang
bersifat konsultatif.

Pembicaraan hubungan pusat dan daerah di negara berstruktur federal tidak


pula terlepas dengan perimbangan keuangan baik secara vertikal antara
negara bagian dan negara pusat maupun antara negara bagian dengan
negara bagian. Pembagian sumber-sumber keuangan dan pembiayaan
kewenangan antara pusat (federal) dan negara bagian diatur secara detail
dalam konstitusi federal. Menurut kelaziman, konstitusi menetapkan jenisjenis pajak yang dimiliki secara terpisah oleh Pusat dan Negara Bagian.
Disamping itu, karena sifat otonomi yang dimiliki oleh state yang bukan
merupakan bentukan pusat, maka sumber-sumber penerimaan terbesar dari
sektor pajak maupun non pajak dapat dimiliki secara paralel oleh pusat
maupun negara bagian, sehingga dimungkinkan terjadinya double taxation
bagi warga negara.
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

47

Dalam negara berstruktur federal yang lain, beberapa pajak potensial seperti
pajak pertambahan nilai, pajak penghasilan dan pajak penjualan dipungut
oleh negara pusat dan hasilnya dibagi secara bersama antara pusat, negara
bagian dan municipal. Konstitusi atau Undang-Undang menetapkan besarnya
bagi hasil pajak-pajak tersebut. Jika karena alasan-alasan tertentu parlemen
telah bersepakat, maka besarnya prosentase bagi hasil dapat direvisi. Di
Jerman misalnya, prosentasi bagi hasil Pajak Penghasilan adalah 42,5%
Pusat, 42,5% Negara Bagian dan 15% Kommune. Sedangkan pajak
pertambahan nilai dibagi 50,5% pusat dan 49,5% negara bagian. Disamping
pembagian secara terpisah dan bagi hasil, sistem federal Jerman juga
menganut perimbangan keuangan horizontal antara negara bagian kaya
kepada negara bagian miskin.

Uraian terkait dengan problem kekikinian yang dihadapi Indonesia dalam


konteks hubungan antara pusat dan daerah, juga uraian tentang teori dan
praktek penyelenggaraan hubungan pusat dan daerah di beberapa negara
federal dimaksudkan untuk membentangkan pemahaman dalam upaya
mencari format konstruksi hubungan antara pusat dan daerah di Indonesia
pada masa yang akan datang. Seperti yang telah disinggung dimuka, gerakan
dinamis sentripetal dan sentrifugal selalu terjadi dalam semua negara dari
satu kurun waktu ke kurun waktu yang lain, baik di negara kesatuan maupun
negara federal. Sehingga semakin jelaslah bagi kita bahwa instrumen yang
lazim dipergunakan di negara federal dapat saja diadopsi di negara kesatuan,
jika dilakukan secara cermat dan berhati-hati.

Akan halnya konstruksi ulang hubungan antara pusat dan daerah pada masa
yang akan datang, diusulkanlah pemikiran-pemikiran berikut agar dapat
dijadikan sebagai pertimbangan dalam menyusun grand design hubungan
tersebut.

Tingkatan Pemerintahan Daerah, Peran, Kedudukannya


Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

48

Sebagaimana telah maklum dan telah pula kita dipahami, tingkatan


pemerintahan daerah, peran dan kedudukannya telah berubah dari satu
kurun ke kurun waktu lain di Indonesia. Berdasarkan UU No. 22 tahun 1999,
tingkatan pemerintahan daerah di Indonesia dibagi atas Propinsi dan
Kabupaten/Kota yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Perlu dicatat disini,
penggunaan terminologi dibagi yang merujuk pada pasal 18 UUD 1945
perubahan kedua tahun 2000, dalam wacana akademik masih menimbulkan
polemik. Polemik ini bertitik tolak dari kata dibagi yang dapat dimaknai bahwa
Negara Kesatuan Republik Indonesia ini dibagi-bagi layaknya konsepsi dan
praktek di negara federal. Pandangan ini antara lain dikemukakan oleh
Bhenyamin Hoessein. Pandangan tersebut demikian adanya. Meskipun
demikian, tulisan ini tidak akan melanjutkan polemik tersebut melainkan akan
menekankan

pada konstruksi tingkatan pemerintahan daerah, peran dan

kedudukannya.

Perjalanan panjang penelitian di beberapa daerah mengarahkan pada


kesimpulan, bahwa praktek otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 tahun
1999 jo UU No. 32 tahun 2004 telah menyebabkan fragmentasi administrasi
(fragmanted administration) yang berlebihan di kabupaten dan kota. Kondisi
ini dalam derajat tertentu kontradiktif dengan tujuan-tujuan otonomi daerah.
Ketentuan pasal 4 ayat 2 UU No. 22 tahun 1999 yang menyebutkan tidak
adanya hirarki satu sama lain antara propinsi dan kabupaten/kota dalam
prakteknya telah menyebabkan lemahnya peran dan fungsi Gubernur sebagai
Wakil Pusat di daerah. Gubernur tidak dapat melakukan pengawasan,
pembinaan

dan

koordinasi

penyelenggaraan

pemerintahan

dan

pembangunan di Kabupaten dan Kota. Hubungan antara pemerintah


kabupaten/kota ke pusat dilakukan secara langsung, tanpa melalui Gubernur.
Peran dan fungsi Gubernur menjadi mandul. Sehingga terlihat kesan,
pemerintahan daerah menjadi sentralistis kembali. Pada tataran ideal,
seharusnya

problem-problem

penyelenggaraan

pemerintahan

daerah

berhenti dan dapat diselesaikan di tingkat Propinsi. Pada sisi lainnya batasLaporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

49

batas budaya di level kabupaten/kota berhimpit dengan batas-batas


administratif yang mengakibatkan kuatnya egoisme daerah dan kesukuan.
UU No. 32 tahun 2004 yang dimaksudkan untuk mengurangi masalahmasalah yang muncul dalam implementasi UU No. 22 tahun 1999, ternyata
belum mampu merubah paradigma bupati/walikota yang terlanjur sudah
terbentuk.

Dengan memperhatikan problem yang dihadapi pada tataran praktek, juga


konstruksi teoritis yang ada, maka konsensus untuk menghilangkan status
daerah administratif di tingkat kabupaten/kota, dan keinginan untuk tetap
mempertahankan dual role dan dual status dari Gubernur, harus diikuti
dengan penguatan peran Gubernur sebagai Wakil Pusat di daerah untuk
melakukan pengawasan, pembinaan dan koordinasi. Para bupati/walikota
tidak perlu merasa khawatir kewenangannya akan berkurang dengan hal ini,
karena locus dan focus otonomi daerah harus tetap berada di tingkat
kabupaten dan kota. Undang-undang harus memberikan seperangkat
instrumen kepada Gubernur untuk secara aktif melakukan fungsinya sebagai
WPP. Pemikiran ini sejalan dengan semangat otonomi daerah, yaitu untuk
mengurangi peran pusat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah
dengan mempercayakan Gubernur untuk melakukan tugas-tugas koordinasi,
pengawasan dan pembinaan terhadap Kabupaten dan Kota di wilayahnya.
Kekhawatiran bahwa Gubernur akan lebih condong sebagai Wakil Pusat
katimbang sebagai Kepala Daerah tidaklah beralasan, karena Gubernur
dipilih oleh rakyat secara langsung. Inilah yang dimaksudkan sebagai upaya
untuk menjaga keseimbangan antara gerakan sentrifugal dan gerakan
sentripetal dalam hubungan antara Pusat dan Daerah.

Pembagian kewenangan antar tingkatan pemerintahan

Salah satu perubahan besar konstruksi hubungan antara Pusat dan Daerah
berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 dan juga UU 32 No. 32 tahun 2004
dibandingkan dengan Undang-Undang sebelumnya adalah dianutnya prinsip
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

50

kewenangan sisa (residu of powers) dalam pembagian kewenangan antar


tingkatan pemerintahan. Kewenangan Kabupaten dan Kota mencakup semua
kewenangan pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik, luar
negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta
kewenangan bidang lainnya yang ditetapkan sebagai kewenangan pusat.
Dengan demikian semua kewenangan pada dasarnya sudah ada pada
kabupaten dan kota, sehingga tidak perlu dilakukan penyerahan secara aktif
oleh pusat. Dalam penjelasan pasal 11 ayat 1 UU No. 22 tahun 1999
disebutkan bahwa pada dasarnya seluruh kewenangan sudah berada pada
daerah Kabupaten dan Kota. Oleh karena itu, penyerahan kewenangan tidak
perlu dilakukan melalui pengakuan oleh pemerintah. Secara material
ketentuan penjelasan pasal 11 ini memiliki makna dan semangat yang dianut
oleh konstitusi dalam kebanyakan negara federal. Pada sisi lainnya,
ketentuan pasal 7 dan pasal 11 UU No. 22 tahun 1999 dapat pula ditafsirkan
sebagai kewenangan yang tabu untuk di desentralisasikan (Hoessein,
2001:18). Kewenangan yang secara enumeratif diserahkan kepada pusat
dalam pasal 7 dengan demikian, hanya dapat dilaksanakan melalui asas
sentralisasi atau dekonsentrasi. Ketentuan rinci mengenai bidang-bidang
pemerintahan yang disebutkan dalam pasal 7 dan pasal 9, ditetapkan oleh
pemerintah melalui Peraturan Pemerintah (pasal 12).

Bentuk pembagian wewenang dengan azas residu of powers pada daerah


Kabupaten dan Kota ini, menyerupai pembagian wewenang yang lazim
dilakukan oleh beberapa negara federal, seperti USA, Jerman, Austria dan
Swiss, dimana wewenang pemerintah federal dirinci dalam Konstitusi,
sementara wewenang lain yang tidak disebutkan sebagai wewenang federal
secara otomatis menjadi wewenang negara bagian (Prasojo, 2005:163).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa secara substansial UU No. 22/1999
menganut prinzip kelaziman yang diterapkan di negara federal dalam hal
pembagian wewenang.

Salah satu masalah yang dihadapi dalam implementasi otonomi daerah yang
berakar dari konstruksi hubungan antara Pusat dan Daerah adalah
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

51

ketidakjelasan model pembagian kewenangan antar tingkat pemerintahan.


Secara teoritik dan praktek internasional di beberapa negara, terdapat dua
prinsip dasar yang dapat dilakukan dalam membagi kewenangan yaitu
berdasarkan kepada fungsi dan berdasarkan kepada politik. Atas dasar fungsi
kewenangan dibagi menurut fungsi mengatur dan fungsi mengurus. Artinya,
untuk suatu jenis kewenangan, fungsi mengatur dan mengurus ditetapkan
dan dibagi secara tegas untuk setiap tingkatan pemerintahan. Sebaliknya, jika
prinsip dasar yang dianut adalah berdasarkan pembagian politik, maka fungsi
mengatur dan mengurus ini tidak secara tegas dibagi antara tingkatan
pemerintahan. Sehingga untuk satu jenis kewenangan sektoral bisa terdapat
fungsi mengatur dan mengurus yang sama dan dimiliki oleh dua tingkatan
pemerintahan yang berbeda. Ketidakjelasan model pembagian kewenangan
ini, dalam prakteknya terefleksi dalam dua wajah. Pertama, untuk sektorsektor yang bersifat profit seringkali terjadi tumpang tindih antara pusat,
propinsi dan kabupaten/kota. Kedua untuk sektor-sektor yang bersifat
pembiayaan, seringkali terjadi kevakuman kewenangan.

Secara khusus, problem pembagian kewenangan juga terletak pada


inkonsistensi berbagai produk perundang-undangan di negeri ini. Peraturan
Pemerintah dan Keputusan Presiden bisa mereduksi kewenangan yang
sudah

diberikan

Undang-Undang.

Bagi

daerah,

inkonsistensi

ini

membingungkan dan cenderung menyebabkan resentralisasi. Ujung dari


inkonsistensi ini adalah konflik sektoral antar tingkat pemerintahan. Dalam
kesempatan berpartisipasi menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah
tentang pembagian kewenangan, dapat dirasakan ketegangan antara sektor
dengan pemerintah daerah. Bahkan beberapa pemerintah daerah menuduh
pusat tidak bersungguh-sungguh mendesentralisasikan kewenangan.

Dilihat dari akar permasalahan tersebut, maka konstruksi hubungan pusat


dan daerah pada masa yang akan datang diarahkan pada dua hal. Pertama,
dalam praktek di negara-negara kesatuan model pembagian kewenangan
yang dianut adalah berdasarkan fungsi. Titik berat fungsi mengatur yang
bersifat

nasional

dilakukan

oleh

pusat.

Sedangkan

Propinsi

dan

Kabupaten/Kota mengatur sesuai dengan tingkat kewenangan yang dimiliki.


Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

52

Selaras dengan kewenangan mengatur yang dimiliki, fungsi mengurus


dilakukan oleh masing-masing tingkatan sesuai dengan kewenangan yang
dimiliki. Beberapa kewenangan yang dapat dikembangkan adalah (1)
kewenangan mengatur oleh pusat, (2) kewenangan mengatur oleh provinsi,
(3) kewenangan mengatur oleh kabupaten/kota, (4) kewenangan mengurus
dalam rangka desentralisasi, (5) kewenangan mengurus dalam rangka
dekonsentrasi, (6) kewenangan mengurus dalam rangka tugas pembantuan,
dan (7) kewenangan mengurus dalam rangka sentralisasi. Dalam praktek di
negara-negara federal, pembagian kewenangan antara federal dan negara
bagian dilakukan secara tuntas di Konstitusi, inkonsistensi dan ketidakjelasan
tersebut dapat dikurangi. Dalam tulisan ini diusulkan agar pembagian
kewenangan berdasarkan kepada fungsi mengatur dan mengurus ditetapkan
secara tuntas di dalam Undang-undang. Pengaturan melalui Peraturan
Pemerintah

sebagaimana

yang

dianut

pada

saat

ini,

cenderung

menguntungkan pusat dan melemahkan daerah.

Dilihat dari esensi tujuannya, maka desentralisasi dimaksudkan untuk


menumbuhkembangkan

kemandirian

daerah

dalam

menyelenggarakan

pemerintahan daerah, pembangunan dan pelayanan. Tujuan ini hanya akan


tercapai jika pemerintah daerah dapat membiayai pelaksanaan seluruh
kewenangan yang diserahkan kepadanya. Bertalian dengan hal tersebut perlu
adanya keselarasan antara kewenangan yang diserahkan, sumber-sumber
penerimaan yang dimiliki dan kewajiban untuk membiayainya. Kerangka
hukum konstruksi hubungan antara pusat dan daerah di Indonesia dari kurun
waktu ke waktu yang lain selalu diwarnai oleh kecenderungan sentralisasi
sumber-sumber penerimaan. Ada sejumlah faktor yang dapat menjelaskan
terjadinya hal tersebut. Pertama, desentralisasi fiskal (keuangan) adalah
persoalan krusial dan kritis menyangkut pertanyaan bagaimana menciptakan
dan mempertahankan ketergantungan daerah terhadap pusat. Kedua, UUD
1945 tidak secara tegas mengatur dan mengamanatkan satu perimbangan
dan

hubungan

keuangan

antara

pusat

dan

daerah.

Dan

ketiga,

kecenderungan keinginan dan harapan pusat untuk mendistribusikan


pembangunan ke seluruh pelosok tanah air secara adil, merata dan efisien.
Faktor-faktor ini telah menyebabkan ketergantungan daerah yang besar
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

53

terhadap pusat dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah (Crane,


1995:140, juga De Mello, 1999:8). Reformasi perimbangan keuangan melalui
UU No. 25 tahun 1999 dan direvisi melalui UU No. 33 tahun 2004 ternyata
belum mampu mengurangi ketergantungan daerah terhadap pusat. Sumbersumber penerimaan negara yang penting masih dikuasai oleh negara,
meskipun sebagian besar kewenangan sudah diberikan kepada daerah. Pada
sisi lainnya, ketidakseimbangan antara satu daerah dengan daerah lain juga
terjadi.

Berbagai persoalan hubungan keuangan antara pusat dan daerah bersumber


dari semrawutnya berbagai jenis perimbangan yang ada, disamping juga
disebabkan oleh ketiadaan jaminan yang tegas tentang hubungan ini dalam
UUD 1945. Daerah berada dalam kondisi yang rentan. Untuk mengatasi
persoalan-persoalan tersebut, tulisan ini menawarkan pengungkit yang dapat
dijadikan sebagai kebijakan. Pertama, komponen perimbangan keuangan
antara pusat dan daerah harus meliputi 4 hal yaitu (1) pembagian penerimaan
pajak dan bukan pajak secara terpisah antar level pemerintahan, (2) bagi
hasil penerimaan pajak dan bukan pajak, (3) perimbangan horisontal antar
daerah, dan (4) dana subsidi perimbangan dari pusat kepada daerah. Kedua,
keempat jenis perimbangan tersebut harus disusun secara bertahap, dimana
setiap tahapan memiliki perhitungan yang mencerminkan angka kekuatan
keuangan setiap daerah. Pada tahapan keempat, yaitu dana subsidi
perimbangan pusat merupakan instrumen pengangkat daerah yang memiliki
kekuatan keuangan yang lemah. Sehingga demikian, kesenjangan horisontal
antar daerah dapat dikurangi. Ketiga, prinsip money follow function dan
money follow ressource harus berjalan selaras sehingga tidak boleh
menimbulkan kecemburuan daerah terhadap pusat dan daerah satu terhadap
daerah lain. Keempat, perlunya memperluas jenis dan prosentase bagi hasil
pajak.

Kelima,

perlunya

mempertegas

dan

memperjelas

ketentuan

perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam konstitusi untuk menjamin


kedudukan hukum pemerintah daerah.

Penutup
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

54

Berdasarkan UU No. 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR,


DPR, DPD, dan DPRD, maka Daerah diberikan wadah institusional untuk
terlibat dalam pembuatan kebijakan di tingkat pusat. Dewan Perwakilan
Daerah berkedudukan sebagai parlemen kedua bersama-sama dengan
DPR. Meskipun demikian beberapa pemikiran perlu dikembangkan untuk
memperkuat DPD sebagai perwakilan daerah. Bahwa anggota-anggota DPD
diplih secara langsung oleh rakyat daerah dan tidak harus merupakan
anggota pemerintahan daerah dapat menyebabkan kontradiksi keputusan
pemerintahan daerah dengan keputusan anggota-anggota DPD yang
mewakili Daerah. Demikian juga dengan jumlah anggota DPD yang sama
untuk setiap daerah, dapat menyebabkan over representasi daerah-daerah
dengan penduduk sedikit terhadap daerah-daerah berpenduduk banyak.

Pada sisi lainnya, kekuasaan yang dimiliki oleh DPD hanya terbatas pada
produk

Undang-undang

yang

memiliki

keterkaitan

langsung

dengan

kepentingan daerah, misalnya berkaitan dengan otonomi daerah dan


perimbangan daerah. Dalam keputusan terhadap produk Undang-undang
yang lain DPD tidak memiliki hak Veto. Dalam jangka panjang, kekuasaan
yang dimiliki oleh DPD harus bersifat veto dan diperluas tidak saja pada
produk Undang-Undang yang berkaitan dengan kepentingan daerah, tetapi
juga Undang-undang yang lainnya.

Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

55

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan-pembahasan di atas yang menjadi arahan dalam


penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan
Daerah ini, dapat disimpulkan sejumlah hal sebagai berikut:

Penyusunan UU mengenai Tata Hubungan Kewenangan antara Pemerintah


Pusat dan Pemerintahan Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota atau antara
Pemerintah Provinsi dan Kabupaten dan Kota merupakan amanat UUD 1945
hasil amandemen khususnya Pasal 18 A ayat (1).

Pengaturan Tata Hubungan Wewenang antara Pemerintah dan Daerah dan


hubungan wewenang antar Daerah harus mengatur hubungan yang bersifat
resiprokal (tidak bersifat satu arah baik dari atas kebawah/downward dan
sebaliknya/upward) dalam cakupan baik berkaitan dengan Gubernur sebagai
Wakil Pemerintah maupun dalam kerangka sebagai Kepala Daerah. RUU
harus menata proses hubungan yang dikembangkan secara resiprokal di
dalam cakupan tersebut.

RUU harus diarahkan pula kepada kemungkinan penataan badan badan


khusus bersama Pemerintah Kabupaten/Kota maupun Pemerintah Provinsi.
Badan khusus ini dapat dikategorikan mampu menciptakan hubungan yang
bersifat vertikal, sedangkan hubungan wewenang dengan pemerintah daerah
Kabupaten/Kota bersifat diagonal. Badan semacam ini dapat diciptakan
melalui instrumen desentralisasi fungsional.

Secara keseluruhan, perlu dilakukan pelembagaan hubungan di antara


lembaga-lembaga pemerintah baik secara horizontal maupun vertikal yang
didasarkan

atas

pertimbangan-pertimbangan

rasional

menghindari polemik. Tata hubungan wewenang adalah

akademis

untuk

mekanisme dan

Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

56

proses timbal balik dalam hal pembagian dan penyerahan wewenang atas
dasar prinsip kepemerintahan yang baik. Tata Hubungan wilayah adalah
mekanisme dan proses timbal balik dalam hal wilayah pemerintahan atas
dasar prinsip kepemerintahan yang Baik. Tata Hubungan jabatan adalah
mekanisme dan proses timbal balik dalam hal jabatan berdasarkan prinsip
kepemerintahan yang baik.

Penyusunan RUU yang telah dilakukan dirasakan belum memadai khususnya


dalam mengakomodir pandangan dan pendapat dari segenap stakeholder
yang ada mengenai materi yang harus diatur dalam UU Tata Hubungan
Kewenangan

Saran

Berdasarkan pemaparan dan kesimpulan di atas disarankan agar dilakukan


pendalaman kajian penyusunan RUU ini di tahun mendatang sehingga dapat
mematangkan materi pengaturan dalam Draft RUU Tata Hubungan
Kewenangan yang telah dihasilkan dalam kegiatan ini. Melalui kegiatan
pendalaman dan pematangan ini diharapkan Draft RUU tersebut dapat
memperoleh

masukan-masukan

materi

yang

lebih

memadai

dan

komprehensif dari segenap stakeholder lain yang belum berkesempatan


memberi saran dan masukan dalam pelaksanaan kajian kali ini.

Dalam pendalaman dan pematangan tersebut, perlu juga memperhatikan UU


dan RUU lain yang bersinggungan dengan Draft RUU Tata Hubungan
Kewenangan ini.

Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

57

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Arthur B. Gunlicks. 2000. Fderative Systeme im Vergleich: Die USA und


Deutschland , in: Von Arnim, Hans Herbert/Frber, Gisela/Fisch, Stefan
(Eds). Fderalismus Hlt er noch, was er verspricht?, Berlin: h. 41-62
Bothe, Michael. 1977. Die Kompetenzverteilung
Bundesstaates in rechtsvergleichender Sicht. Berlin.

des

modernen

Bell, Daniel. 1988: The World in 2013, Journal Dialogue.


Clarke, Michael and Stewart, John. The Choices for Local Government; for
The 1990s and Beyond, Longmann UK,. 1991
____________. General Management in Local Government: Getting the
Balance Right. Longmann. UK. 1990
Cochrane, Allan. Whatever happened to Local Government. Open University
Press, Buckingham. 1993
Conyers, Diana. Regional Administration and Regional Planning: A Plea for
Integration. University of Nottingham, The Hague. 1983
Couch, Chrish. Urban Renewal; Theory and Practice. Mac Millan, London.
1990
Crane, Randal. 1995. The Practice of Regional Development in Indonesia:
Resolving Central-local Coordination Issues in Planning and Finance.
Public Administration and Development. Vol. 15. hal. 140.
Daft, Richard, L,. Organization Theory and Design. West Publishing Co,.
Singapore. 1992.
Daldjoeni, N,. Seluk-beluk Masyarakat Kota. Alumni. Bandung. 1992
Davey, K.J.. Pembiayaan Pemerintah Daerah: Praktek-praktek internasional
dan relevansinya bagi dunia ketiga. Jakarta: Universitas Indonesia
Press, 1988
De Mello, Luiz R. JR. 1999. Intergovernmental Fiscal Relation: Coordination
Failures and Fiscal Outcomes. Public Budgeting and Finance. Vol. 19/1.
Hal. 8.
Denewitz, Bodo. 1947. Der Fderalismus. Sein Wesen und Seine Geschichte.
Hamburg.
Deuerlein, Ernst. 1972. Fderalismus. Die historischen und philosophischen
Grundlagen des fderativen Prinzips. Bonn.
Devas, Nick. et.al.. Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia. Jakarta:
Universitas Indonesia Press, 1989.
Elcock, Howard. Local Government; Policy and Management in Local
Authorities. Routledge, London, 1994 Ed.III.

Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

58

Esterbauer, Fried und Thni, Erich. 1981. Fderalismus und Regionalismus in


Theorie und Praxis. Wien.
Fesler, James W,. Area and Administration. Univ. Alabama Press.
Alabama:1949
Frenkel, Max. 1984. Fderalismus und Bundesstaat, 1st Ed.. Bern.
Fukuyama, Francis. 2004. State Building: Governance and World Order in
the Twenty-First Century. London.
Hoessein, Bhenyamin. 1995. Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Akan Berputarkah Roda Desentralisasi dari
Efisiensi ke Demokrasi. Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas
Indonesia. Depok.
Hoessein, Bhenyamin. 2001. Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan
sebagai Tanggap terhadap Aspirasi Kemajemukan Masyarakat dan
Tantangan Globalisasi. Usahawan 04/April, Jakarta.
Hoessein, Bhenyamin. 2001 Pembagian Kewenangan antara Pusat dan
daerah, Paper seminar Konstruksi Hukum dan Politik kemandirian dan
demokrasi Otonomi Daerah, paper dipresentasikan di Malang.
Kuttenkeuler, Benedikt. 1998. Die Verankerung des Subsidiarittsprinzips im
Grundgesetz. Ein Beitrag zur Bedeutung des Subsidiarittsprinzips fr die
Kompetenzabgrenzung im Bundesstaat. Frankfurt.
Laufer, Heinz dan Mnch, Ursula.1988.
Bundesrepublik Deutschland, Opladen.

Das Foedarative System der

Leach, Steve,. Davis, Howard and Associates,. Enabling or Disabling Local


Government. Open Univ. Press. Bristol:1996
Leach, Steve., Stewart, John., and Walsh, Kieron,. The Changing
Organization and Management of Local Government. London. Mac
Millan:1994
Leemans, A.F., Changing Patterns of Local Government , The Hague, IULA,
1970.
Mackie, J.A.C. (editor). 1980. Integrating and Centrifugal Factors in
Indonesian Politic since 1945. The Making of Nation. ANU. Canberra.
Maryanov, Gerald S,. Decentralization in Indonesia as a Political Problems.
Cornell University Press. Itahca, New York: 1958
Massam, Bryan. Location and Space in Social Administration. John Wiley &
Sons. New York: 1975
Muluk, M.R. Khairul. 2006. Partisipasi Masyarakat dalam Pemerintahan
Daerah dengan Pendekatan Berpikir Sistem (Studi Administrasi Publik di
Kota Malang). Disertasi tidak diterbitkan. FISIP UI. Jakarta.
Newell, Charldean (ed). The Effective Local Government Manager. ICMA.
Washington. 1993
Norton, Alan,. International Handbook of Local and Regional Government.
Edward Elgar:1994, UK
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

59

Pitschas, Rainer. 2001. Dezentralisierung und Good Governance Zivilgesellschaftliche


Entwicklung im Konflikt mit dem effizienten Staat di dalam: Thomi,
Walter/Steinich, Markus/Polte, Winfried (editor), Dezentralisierung in
Entwicklungslandem. Jungere Ursachen, Ergebnisse und Perspektiven
staatlicher Reformpolitik, Baden-Baden, h..125-149.
Prasojo, Eko. 2003. Politische Dezentralisierung in Indonesien. Die
Fderalismusdebatte in Politik und Rechtsvergleich. Frankfurt.
Prasojo, Eko. 2005. Problem dan Prospek NAD Pasca MOU Helsinki.
Jurnal Intelijen dan Kontraintelijen. Vol. II No. 9 Desember-Januari. Centre
for Study of Intelligence and Counterintelligence BIN. Jakarta. Hal. 22-31.
Prasojo, Eko. 2005. Pilkada, Demokratisasi dan Good Governance:
Rekonseptualisasi Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan. Jurnal
Bisnis dan Birokrasi No. 2/Vol. XIII/Mei. Departemen Ilmu Administrasi
FISIP UI. Jakarta. Hal 101-109.
Prasojo, Eko. 2005. Federalisme dan Negara Federal. Sebuah Pengantar.
Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI. Jakarta.
Prasojo, Eko; Kurniawan, Teguh; Hasan, Azwar. 2004. Reformasi Birokrasi
dalam Praktek. Kasus di Kabupaten Jembrana. Departemen Ilmu
Administrasi FISIP UI. Jakarta.
Rohdewohld, Rainer. 2003. Decentralization and The Indonesian
Bureaucracy: Major Changes, Minor Impact?, di dalam Aspinal, Edward
dan Fealy, Greg. Local Power and Politics in Indonesia: Decentralization
and Democratization. Institute of Southeast Asian Studies. Singapore.
Smith, Brian C.. 1985. Decentralization. The Teritorial Dimension of the
State. London.
Schneider, Hartmut and Libercier, Marie Helene. Concept, Issues and
Experiences for Building up Participatory in Participatory
Development. DCS. USA. 1995
Smith, BC., Decentralization: The Territorial Dimension of The State. George
Allen & Unwin Publiher. London: 1985.
White, Roland dan Smoke, Paul. 2005. East Asia Decentralizes: Making Local
Government Work. The World Bank. Washington DC.
Wunsch, James S dan Olowu, Dele. 1995. Centralization and Development
in Post-Independence Africa. di dalam Wunsch dan Olowu. The Failure of
the Centralized State. Institutions and Self Governance in Africa. San
Francisco, California.
Yappika. 2006. Studi Pelaksanaan Desentralisasi yang Membukan Ruang
Partisipasi Politik Rakyat, Efektivitas Tata Pemerintahan, dan
Meningkatkan Kesejahteraan Sosial Ekonomi Masyarakat, hasil penelitian
tidak dipublikasikan. Jakarta.

Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI

60

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG TATA HUBUNGAN KEWENANGAN


ANTARA PEMERINTAH DAN PEMERINTAHAN DAERAH SERTA ANTAR PEMERINTAHAN DAERAH
PENJELASAN

URAIAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR

TAHUN

TENTANG
HUBUNGAN KEWENANGAN ANTARA PEMERINTAH DAN
PEMERINTAHAN DAERAH
SERTA ANTAR PEMERINTAHAN DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang:
a.

Bahwa Pemerintahan Daerah secara keseluruhan merupakan sub

PENJELASAN
ATAS
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ......TAHUN.....
TENTANG
HUBUNGAN KEWENANGAN ANTARA PEMERINTAH DAN
PEMERINTAHAN DAERAH
SERTA ANTAR PEMERINTAHAN DAERAH

I. PENJELASAN UMUM
1. Dasar Pemikiran

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

sistem

dari

pelaksanaannya

Negara
harus

Kesatuan

Republik

memperhatikan

Indonesia

peraturan

yang

Menurut pasal 1 dan pasal 18 (A), (B), (C), (D) UUD 1945, Indonesia

perundang-

merupakan negara kesatuan yang terdesentralisasi (decentralized unitary

undangan yang berlaku;

konstitusi Indonesia mengakui keberadaan sentralisasi dan desentralisasi

b. Bahwa keberagaman dan kekhususan yang dimiliki oleh daerah


harus berjalan seiring dengan tujuan pemberian otonomi daerah
dan tercapainya tujuan-tujuan negara;
c.

tidak dipandang sebagai dikotomi, melainkan sebagai kontinum.


Penyelenggaraan pemerintahan secara sentralisasi dimaksudkan untuk
menjamin terwujudnya aspirasi dan kepentingan nasional, sedangkan

Bahwa Hubungan kewenangan antara Pemerintah dan Pemerintahan


Daerah serta Antar Pemerintahan Daerah perlu diatur dengan
undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman
daerah;

penyelenggaraan pemerintahan secara desentralisasi dimaksudkan untuk


mengakomodasi dan menyalurkan aspirasi kemajemukan masyarakat.
Dengan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan dua asas tersebut
secara bersamaan akan terwujud unity within diversity dan diversity in

d. Bahwa untuk melaksanakan hal tersebut perlu ditetapkan UndangUndang

state; gedecentraliseerde eenheidsstaat). Secara implisit perancang

tentang

Hubungan

Kewenangan

Pemerintah

Pemerintahan Daerah serta Antar Pemerintahan Daerah.

unity.

dan
Dalam sebuah negara kesatuan, pelaksanaan desentralisasi sesungguhnya
dapat merupakan pengalihan atau pelimpahan wewenang pemerintah
secara

teritorial

atau

fungsional.

Desentralisasi

teritorial

atau

kewilayahan berarti pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada


masayarakat

lokal

untuk

mengatur

dan

mengurus

kepentingan-

kepentingannya dengan aspek kewilayahan sebagai dasar pertimbangan


utama dalam penentuan batas jurisdiksi kelembagaannya. Desentralisasi
fungsional

berarti

pelimpahan

wewenang

dari

Pemerintah

kepada

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

segolongan masyarakat yang terkait dalam fungsi pemerintahan tertentu


untuk mengatur dan mengurusnya sesuai batas yurisdiksi fungsi tersebut.

Dalam penyelenggaraan desentralisasi senantiasa terdapat dua elemen


pokok, yaitu pembentukan daerah otonom dan penyerahan kewenangan
secara hukum dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk
mengatur dan mengurus dan/atau bagian dari kewenangan pemerintahan
tertentu. Oleh karena itu, pelaksanaan asas desentralisasi dalam negara
kesatuan berarti memberikan hak untuk mengatur dan mengurus
kepentingan dan aspirasi masyarakat setempat. Pembentukan daerah
otonom tidak semata-mata berdasarkan pertimbangan politik, tetapi juga
harus berdasarkan pertimbangan kemampuan daerah, yang dapat diukur
melalui kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik,
jumlah penduduk, dan luas daerah untuk menyelenggarakan otonomi
daerah. Dengan demikian, dalam negara kesatuan tidak dimungkinkan
adanya daerah yang bersifat negara. Hal itu berarti bahwa pelaksanaan
desentralisasi tidak pernah dimaksudkan untuk mendorong lahirnya
negara dalam negara. Yang ada adalah pemerintah pusat menyerahkan
atau melimpahkan kewenangan pemerintahan dan atau wewenang tertentu
kepada pemerintah daerah.

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

Di dalam penyelenggaraan otonomi daerah tersebut, persoalan-persoalan


persebaran wewenang dan bagaimana tata hubungan di antara pemerintah
dari setiap jenjang menjadi suatu hal yang pelik. Gubernur sebagai kepala
daerah juga memiliki fungsi dekonsentrasi yaitu sebagai wakil Pemerintah
dalam rangka dekonsentrasi. Dalam kasus ini terdapat adanya dual

function karena daerah otonom itu adalah separateness (disintegrasi)


sehingga

harus

mengintegrasikan

kembali

(how

to

reintegrated).

Pengintegrasiannnya dengan jalan provinsi memiliki dual status sebagai


daerah otonom dan sebagai daerah administrasi, konsekuensinya gubernur
juga memilki dual role sebagai wakil pemerintah pusat dan sebagai kepala
daerah.

Secara keseluruhan, perlu dilakukan pelembagaan hubungan di antara


lembaga-lembaga pemerintah baik secara horizontal maupun vertikal yang
didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan rasional akademis untuk
menghindari polemik. Beberapa hal yang mendorong secara utuh perlunya
tata hubungan tersebut antara lain: (a) Bahwa Filosofis dasar keberadaan
pemerintahan

daerah

dalam

Negara

kesatuan

Republik

Indonesia

berkenaan dengan pelaksanaan asas desentralisasi, dekonsentrasi dan


tugas pembantuan, merupakan sub-sistem dari pemerintahan Nasional. (b)
pelaksanaan pemerintahan yang baik menuntut adanya hubungan saling

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

ketergantungan antar berbagai elemen Pemerintahan dalam bingkai


Negara

kesatuan

Republik

Indonesia;

(c)

tuntutan

globalisasi

menghendaki pemerintahan yang kuat dalam berbagai jenjang yang saling


bersinergi; (d) bahwa keadaan kemajuan bangsa Indonesia yang memiliki
karakter budaya yang tinggi dan majemuk memerlukan pemeirintahan
yang mampu menjadi pendorong inistiatif lokal, pendorong berbagai
perubahan ke arah kemajuan bangsa dan penyeimbang bagi setiap lapisan
masyarakat dengan kompleksitas sistem yang ada.

Disamping itu, hal pengaturan hubungan kewenangan antara Pemerintah


dan Pemerintahan Daerah serta antar Pemerintahan Daerah adalah
amanat UUD. Pasal 1, 18, 18 A dan 18 B, 20 ayat (1) dan ayat (2) UUD
1945; khususnya ayat (1) pasal 18 A menyatakan:Hubungan wewenang

antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten,


dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan
undang-undang
daerah.

Frasa

dengan
diatur

memperhatikan
dengan

kekhususan

Undang-undang

dan
secara

keragaman
eksplisit

mengindikasikan bahwa materi tata hubungan kewenangan yang dimaksud

bukan berada di dalam sebuah produk hukum lain tetapi justru secara
khusus harus disusun sebuah UU akan hal itu. Sandaran legalitas dari
pasal tersebut sangatlah kuat untuk kita menyusun sebuah UU.

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

Dengan demikian, tata hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah


adalah mekanisme dan proses timbal balik antara unsur Pemerintah Pusat
dan unsur Pemerintah daerah berdasarkan prinsip kepemerintahan yang
baik. Tata Hubungan Antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah
Kabupatan/ Kota adalah mekanisme dan proses timbal balik antara unsur
Pemerintah Provinsi dan unsur pemerintah Kabupaten/ Kota berdasarkan
kepemerintahan yang baik.

Pola hubungan yang tercipta dapat beranjak pada hubungan vertikal,


horizontal dan diagonal. Hubungan-hubungan tersebut dapat terjadi baik
dalam area dekonsentral, desentralisasi, dan medebewind maupun dalam
antar ketiga area tersebut. Disamping hubungan kewilayahan, maka
hubungan kewenangan juga meliputi hubungan jabatan, hubungan organ,
keuangan, kepegawaian, intervensi pemerintah terhadap pemerintahan
daerah, dan pelaporan serta pertanggungjawaban pemerintahan daerah.

Mengingat:
1.

Pasal 1, 18, 18 A dan 18 B, 20 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945;

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

2.

UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;

3.

UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

antara

Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG HUBUNGAN
KEWENANGAN ANTARA PEMERINTAH DAN
PEMERINTAHAN DAERAH DAN ANTAR
PEMERINTAHAN DAERAH
BAB I

BAB I

KETENTUAN UMUM

KETENTUAN UMUM

Bagian Pertama

Bagian Pertama

Pengertian

Pengertian

Pasal 1

Pasal 1

Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

1.

Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh


Pemerintah kepada Daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia.

2. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh


Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau
kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.
3. Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada
daerah

dan/atau

kabupaten/kota

desa,

dari

dan/atau

pemerintah

desa

serta

provinsi
dari

kepada

pemerintah

kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.


4. Pemerintah

Pusat, selanjutnya disebut, Pemerintah adalah

Presiden Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar 1945


5. Pemerintahan Daerah adalah Gubernur atau Bupati/Walikota
bersama

Dewan

Kabupaten/Kota

Perwakilan
dan

Rakyat

perangkat

Daerah
daerah

Provinsi
sebagai

atau
unsur

penyelenggara pemerintahan daerah


6. Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang


bersifat lokal dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia
7. Instansi Vertikal adalah perangkat Pemerintah yang ditempatkan
di Daerah untuk melaksanakan dan mengurus urusan pemerintahan
tertentu berdasarkan asas dekonsentrasi.
8. Wewenang adalah hak, kewajiban dan tanggungjawab Pemerintah
dan/atau Pemerintahan Daerah untuk menyelenggarakan urusan
pemerintahan.
9. Urusan pemerintahan adalah fungsi-fungsi pemerintahan sejenis
yang terkait dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat,
negara dan bangsa
Bagian Kedua
Tujuan
Pasal 2
Undang-Undang ini bertujuan memperjelas dan mempertegas distrubsi
kewenangan penyelenggaraan urusan pemerintahan antara pemerintah,
pemerintah daerah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota serta antar
daerah.

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

Bagian Ketiga
Azas-azas
Pasal 3
Undang-undang ini disusun berdasarkan azas kepercayaan, penghormatan,
pengakuan, dan tata kepemerintahan yang baik, serta keserasian dan
keharmonisan hubungan antar lembaga pemerintahan.
Bagian Keempat
Ruang Lingkup
Pasal 4
Undang-Undang ini mengatur hubungan kewenangan antara pemerintah dan
pemerintahan daerah yang meliputi distribusi kewenangan, hubungan
organisasi,
kepegawaian,

hubungan

wilayah,

hubungan

dan

keuangan,

hubungan

jabatan,

hubungan

hubungan

pelaporan

dan

pertanggungjawaban, dan hubungan intervenasi.

BAB II

BAB II

TATA HUBUNGAN PEMBAGIAN DAN

TATA HUBUNGAN PEMBAGIAN DAN

PENYELENGGARAAN URUSAN

PENYELENGGARAAN URUSAN

Pasal 5

Pasal 5

10

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

(1) Pembagian, penyerahan dan penyelenggaraan urusan pemerintahan


dari pemerintah kepada pemerintahan daerah didasarkan dengan
mempertimbangkan prinsip eksternalitas, akuntabilitas, efesiensi,
koneksitas dan subsidaritas

(1) Eksternalitas dalam ketentuan ini adalah penyelenggaraan urusan


pemerintahan ditentukan berdasarkan luas, besaran, dan jangkauan
dampak yang timbul akibat penyelenggaraan suatu urusan
pemerintahan. Yang dimaksud akuntabilitas adalah
pertanggungjawaban penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan
ditentukan berdasarkan kedekatannya dengan luas, besaran, dan
jangkauan dampak yang ditimbulkan oleh penyelenggaraan suatu
urusan pemerintahan. Yang dimaksud efisiensi adalah penyelenggara
suatu urusan pemerintahan ditentukan bedasarkan perbandingan
tingkat daya guna yang paling tinggi yang dapat diperoleh. Yang
dimaksud koneksitas adalah keselarasan antara kewenangan yang
dimiliki dan unsur-unsur pembiayaan. Sedangkan yang dimaksud
dengan subsidiaritas adalah bahwa kewenangan yang paling dekat
dengan masyarakat diselenggarakan oleh level pemerintahan yang
paling dekat.

(2) Urusan Pemerintah

Pusat bersifat mutlak yang meliputi politik

(2) Cukup Jelas

luar negeri, pertahanan, keamanan, justisi, moneter dan fiskal


nasional, mempunyai daya laku berskala nasional dan mengikat
bangsa secara keseluruhan sebagaimana diatur oleh UndangUndang.

(3) Urusan

Pemerintah

Provinsi

meliputi

urusan

perencanaan,

(3) Urusan perencanaan, kordinasi, pembinaan dan pengawasan merupakan

urusan di luar urusan yang diatur ayat (2) yang didesentralisasikan

11

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

koordinasi, pembinaan dan pengawasan dalam lingkup propinsi serta

oleh Pemerintah dan bersifat lintas kabupaten/ kota berdasarkan

urusan yang didekonsentrasikan kepada Gubernur.

situasi

dan

kondisi

masyarakat

setempat.

Urusan

yang

didekonsentrasikan kepada Gubernur adalah urusan Pemerintah yang


penyelenggaraanya dilakukan oleh Gubernur sebagai wakil pemerintah.
Yang dimaksud dengan pembinaan dan pengawasan adalah urusan
pemerintahan yang bertujuan menjamin terlaksananya urusan yang
diserahkan kepada daerah otonom.

(4) Urusan Pemerintah Kabupaten/ Kota menyangkut urusan pelayanan

Cukup Jelas

dan pemberdayaan masyarakat setempat.


Pasal 6
Penyerahan urusan pemerintahan dari Pemerintah kepada Pemerintahan

Pasal 6

Cukup Jelas

Daerah dilakukan dengan peraturan perundang-undangan.


Pasal 7
(1) Pemerintahan Daerah dapat mengembalikan urusan pemerintahan
yang telah menjadi wewenangnya kepada Pemerintah jika tidak
dapat melaksanakan urusan tersebut.

(2) Kriteria dan tata cara pengembalian urusan pada ayat (1) diatur

Pasal 7

(1) Meskipun secara normatif sebuah urusan telah diserahkan kepada


pemerintahan daerah, tetapi dalam prakteknya urusan tersebut dapat
diserahkan kembali kepada pemerintah jika suatu pemerintahan
daerah tidak mampu melaksanakannya.
(2) Cukup Jelas

oleh Peraturan Pemerintah

12

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

(3) Pemerintah dapat menarik kembali urusan pemerintahan yang telah


diserahkan kepada daerah jika:
(a)

terdapat kepentingan yang bersifat nasional; atau

(b)

daerah tidak dapat melaksanakannya

(4) Kriteria dan tata cara penarikan urusan pada ayat (3) diatur oleh

(3) Kepentingan nasional dalam hal ini adalah kepentingan yang


menyangkut keutuhan negara dan bangsa, memiliki keterkaitan dengan
standarisasi hukum pada tingkat nasional, dan kesatuan standarisasi
ekonomi nasional.

(4) Cukup Jelas

Peraturan Pemerintah
Pasal 8

Pasal 8

Urusan Pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 dan 7 meliputi

Dalam Undang-Undang ini titik berat mengatur standar, norma, dan

kewenangan untuk mengatur dan kewenangan untuk mengurus atau

kebijakan di tingkat nasional diletakkan pada level pemerintah pusat,

melaksanakan.

sedangkan kewenangan mengatur dan mengurus pada tingkat regional dan


lokal dilakukan oleh level pemerintah propinsi dan kabupaten/kota.

Pasal 9
Kewenangan mengatur sebagai dimaksud dalam pasal 8 terdiri atas:

Pasal 9

Cukup Jelas

(1) Kewenangan mengatur yang mutlak menjadi kewenangan


Pemerintah;
(2) Kewenangan mengatur bersifat yang konkuren;
(3) Kewenangan mengatur bersifat kerangka;

13

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

(4) Kewenangan mengatur bersifat paralel


Pasal 10

Pasal 10

(1) Dalam kewenangan mengatur yang menjadi kewenangan mutlak


pemerintah, pemerintahan daerah hanya memiliki kewenangan
untuk mengatur jika dan selama kewenangan tersebut secara
eksplisit ditetapkan oleh suatu Undang-undang.

(1)

Pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengatur dalam


Peraturan Daerah atau Peraturan Kepala Daerah jika suatu UndangUndang tertentu memberikan mandat secara eksplisit untuk
mengaturnya.

Jika

tidak,

maka

Pemerintahan

Daerah

harus

melaksanakan norma hukum yang diatur dalam peraturan perundangundangan yang dibuat oleh pemerintah.

(2) Dalam kewenangan mengatur yang bersifat konkuren pemerintahan

(2) Jika suatu urusan belum diatur oleh suatu peraturan perundang-

daerah memiliki kewenangan mengatur jika dan selama pemerintah

undangan apapun, maka pemerintahan daerah memiliki kewenangan

belum menggunakan kewenangan tersebut baik melalui UndangUndang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Keputusan

mengatur dalam bentuk peraturan daerah ataupun peraturan kepala


daerah.

Presiden maupun melalui peraturan lainnya.


(3) Dalam kewenangan mengatur yang bersifat kerangka Pemerintah

(3) Cukup Jelas

menetapkan secara umum pengaturan urusan pemerintahan dan


pemerintah daerah mengaturnya lebih lanjut dalam Peraturan
Daerah maupun Peraturan Kepala Daerah.

(4) Dalam kewenangan mengatur yang bersifat paralel Pemerintah dan


Pemerintah

Daerah

berwenang

mengatur

pemerintahan tertentu secara bersamaan.

urusan-urusan

(4) Kewenangan mengatur ini dapat dimiliki oleh pemerintahan daerah jika
suatu Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah secara eksplisit
menyerahkan kewenangan tersebut.

14

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

Pasal 11

Pasal 11

Kewenangan yang bersifat mengurus sebagaimana dimaksud dalam pasal 8

Cukup Jelas

terdiri atas:
(1) Kewenangan mengurus oleh Pemerintah dalam rangka sentralisasi;
(2) Kewenangan mengurus oleh Pemerintahan Daerah berdasarkan asas
desentralisasi;
(3) Kewenangan mengurus oleh pemerintahan daerah berdasarkan asas
dekonsentrasi;
(4) Kewenangan mengurus oleh pemerintahan daerah berdasarkan asas
tugas pembantuan;
(5) Kewenangan mengurus oleh instansi pemerintah berdasarkan asas
dekonsentrasi.
Pasal 12
(1) Pembagian

urusan

pemerintahan

Pasal 12
berdasarkan

kewenangan

(1) Cukup Jelas

mengatur dan mengurus yang menjadi wewenang Pemerintah


dan/atau Pemerintahan Daerah sebagaimana ditetapkan dalam
lampiran.
(2) Setiap sektor wajib menyesuaikan ketentuan-ketentuan peraturan

(2) Cukup Jelas

15

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

perundang-undangan yang mengaturnya sesuai dengan pembagian


urusan sebagaiman dimaksud pada ayat (1)
Pasal 13

Pasal 13
(1)

Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan

(1) Cukup Jelas

berdasarkan Undang-Undang sebagai urusannya sendiri, jika dan


selama Undang-Undang tidak menetapkan lain.

(2)

Dalam kewenangan mengurus berdasarkan azas desentralisasi

(2) Cukup Jelas

pemerintahan daerah menetapkan sendiri tata cara, organisasi


dan tujuan penyelenggaraan pemerintahan dalam peraturan
daerah dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

(3)

Pemerintah

melakukan

pengawasan

terhadap

tujuan

dan

kesesuaian hukum dalam pelaksanaan urusan pemerintahan


daerah berdasarkan azas desentralisasi.

(3)

Pengawasan terhadap tujuan adalah menyangkut apakah tujuan yang


diamanatkan dalam penyerahan urusan tersebut tercapai atau tidak
tercapai. Hal ini dapat dilihat dari berbagai indikator keberhasilan
pelaksanaan urusan. Sedangkan kesesuaian hukum menyangkut apakah
peraturan daerah yang dibuat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.

(4)

Dalam hal terjadinya pelanggaran terhadap kesesuaian hukum

(4) Cukup Jelas

penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah berdasarkan azas

16

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

desentralisasi

pemerintah

dapat

membatalkan

peraturan

daerah/peraturan kepala daerah.

(5)

Dalam hal tidak tercapainya tujuan penyelenggaran satu urusan

(5) Cukup Jelas

pemerintahan pemerintah dapat mengambil tindakan pembinaan


dan atau sanksi terhadap suatu pemerintahan daerah.

(6)

Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), (4), (5)

(6) Cukup Jelas

terhadap propinsi dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri.

(7)

Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), (4), (5)

(7) Cukup Jelas

terhadap kabupaten/kota dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri


yang dalam pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada Gubernur.

Pasal 14

Pasal 14
(1)

Dalam pelaksanaan urusan pemerintahan berdasarkan azas tugas


pembantuan,

pemerintahan

daerah

menetapkan

(1) Cukup Jelas

perangkat

pelaksana urusan tersebut jika tidak ditetapkan secara khusus


oleh Peraturan Perundang-undangan.

17

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

(2) Pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah dan Peraturan

(2) Cukup Jelas

teknis lainnya yang menyangkut pembiayaan, personel, peralatan


dan perencanaan untuk pelaksanaan tugas pembantuan.

(3) Dalam pelaksanaan urusan berdasarkan azas tugas pembantuan


perangkat

pemerintah

daerah

melaksanakan

petunjuk

(3) Cukup Jelas

yang

ditetapkan oleh pemerintah.

(4) Pengawasan terhadap pelaksanaan urusan berdasarkan azas tugas

(4) Cukup Jelas

pembantuan meliputi kesesuaian hukum dan pencapaian tujuan


urusan yang diserahkan.

(5) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan oleh

Lembaga Pemerintah Non Departemen yang bersangkutan.

perangkat pemerintah yang bersangkutan.

(6) Pelaksanaan

urusan

pemerintahan

(5) Perangkat pemerintah yang bersangkutan adalah Departemen atau

oleh

pemerintahan

(6) Cukup Jelas

kabupaten/kota berdasarkan tugas pembantuan yang berasal dari


pemerintahan propinsi dilakukan dengan mengikuti ketentuan yang
sama pada ayat (1), (2), (3), (4) dan (5) pada level propinsi.

(7) Dalam

hal

urusan

pemerintahan

berdasarkan

azas

tugas

(7) Cukup Jelas

18

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

pembantuan tidak dapat dilaksanakan dengan baik dan melanggar


ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka
level pemerintahan yang memberikan tugas pembantuan dapat
menarik kembali tugas pembantuan tersebut.
Pasal 15

Pasal 15
(1)

Dalam pelaksanaan urusan pemerintahan berdasarkan azas


dekonsentrasi,

Departemen/Lembaga

Pemerintah

(1) Cukup Jelas

Non

Departemen menyerahkan urusan pemerintahan kepada instansi


vertikal yang ada di daerah atau kepada perangkat pemerintahan
propinsi atau perangkat pemerintahan kabupaten/kota jika tidak
terdapat instansi vertikal di daerah.

(2)

urusan

(2) Koordinasi pelaksanaan urusan pemerintahan berdasarkan azas

pemerintahan berdasarkan azas dekonsentrasi wajib melakukan

dekonsentrasi dilakukan oleh Gubernur. Dalam hal ini Gubernur

Instansi

koordinasi

vertikal

dengan

bersangkutan.

di

daerah

perangkat

yang

melaksanakan

pemerintahan

daerah

yang

mengadakan rapat rutin dengan instansi vertikal, kepala daerah dan


perangkat pemerintahan daerah terkait.

(3) C k

J l

19

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

(4)

Dalam hal Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen


tidak memiliki instansi vertikal maka urusan pemerintahan
berdasarkan azas dekonsentrasi diselenggarakan oleh perangkat
pemerintahan daerah berdasarkan tugas pembantuan.

(5)

Pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah dan Peraturan

(4) Cukup Jelas

teknis lainnya yang menyangkut pembiayaan, personel, peralatan


dan perencanaan untuk pelaksanaan urusan berdasarkan azas
dekonsentrasi.

(6)

Dalam pelaksanaan urusan pemerintahan berdasarkan azas

(5) Cukup Jelas

dekonsentrasi, instansi vertikal atau organ pemerintahan daerah


wajib melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(4)

(7)

Gubernur melakukan koordinasi terhadap pelaksanaan urusan

(6) Cukup Jelas

pemerintahan berdasarkan azas dekonsentrasi.

(8)

Pengawasan terhadap pelaksanaan urusan berdasarkan azas


dekonsentrasi

meliputi

kesesuaian

hukum

dan

(7) Cukup Jelas

tujuan

20

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

penyelenggaraan urusan.

(9)

(8) Cukup Jelas

Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan oleh


instansi pemerintah yang menyerahkan urusan pemerintahan
bersama-sama dengan Gubernur.
Pasal 16

Pasal 16

(1) Cukup Jelas

(1) Dalam pelaksanaan urusan pemerintahan oleh instansi pemerintah


berdasarkan azas sentralisasi, pemerintahan daerah memberikan
bantuan bagi terlaksananya urusan tersebut sejauh tidak dilarang
oleh peraturan perundang-undangan.

(2) Cukup Jelas

(2) Bila diperlukan, instansi pemerintah sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) dapat melakukan koordinasi dan bekerjasama dengan
pemerintahan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
BAB III

TATA HUBUNGAN ORGANISASI

TATA HUBUNGAN ORGANISASI

Pasal 17

(1) Dalam

Penyelenggaraan

urusan

BAB III

Pasal 17

pemerintahan

daerah

setiap

(1). Perangkat pemerintah adalah Departemen dan Lembaga Pemerintah

21

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

perangkat pemerintah, propinsi dan kabupaten/kota memiliki

non Departemen yang meliputi Badan, Dewan, Komisi dan badan-

hubungan satu dengan lainnya.

badan pemerintahan lainnya. Perangkat Pemerintah Propinsi dan


Kabupaten/Kota adalah perangkat organisasi daerah yang meliputi
Sekretariat Daerah, Dinas, Badan, kantor dan lembaga teknis
lainnya.

(2) Hubungan perangkat antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah

(2). Cukup jelas

dan antar Pemerintahan Daerah meliputi penyelenggaraan urusan


daerah menurut asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas
pembantuan.
azas

(3) Kewajiban melakukan koordinasi dimaksudkan untuk menghindari

dekonsentrasi wajib melakukan koordinasi dengan perangkat

tumpang tindih dan mengoptimalisasi pelaksanaan dan hasil-hasil

(3) Perangkat

Pemerintah

dalam

rangka

pelaksanaan

pemerintah daerah.
(4) Dalam

penyelenggaraan

perangkat

pemerintah

urusan
propinsi

menurut
dan

azas

desentralisasi

perangkat

pemerintah

kabupaten/kota wajib melakukan koordinasi.

urusan yang diselenggarakan secara dekonsentrasi.


(4) Karena wilayah kerja perangkat Propinsi meliputi semua wilayah
kerja kabupaten/kota di Propinsi yang bersangkutan, maka setiap
penyelenggaraan urusan oleh perangkat propinsi harus dengan
koordinasi

dan

sepengetahuan

perangkat

pemerintah

Kabupaten/Kota.
(5) Dalam penyelenggaraan urusan tugas pembantuan perangkat

(5) Cukup Jelas

pemerintah yang memberikan tugas tersebut wajib melakukan


koordinasi dan pembinaan terhadap perangkat pemerintah daerah
yang menerima tugas pembantuan.
(6) Dalam penyelenggaraan urusan yang bersifat lintas wilayah suatu

(6) Cukup Jelas

22

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

daerah otonom perangkat pemerintah daerah yang bersangkutan


wajib melakukan koordinasi dan kerjasama.

(7) Perangkat pemerintah propinsi melakukan koordinasi, pembinaan

(7) Cukup Jelas

dan pengawasan dalam penyelenggaraan urusan yang bersifat lintas


kabupaten/kota di wilayah propinsi yang bersangkutan.

Pasal 18
Perangkat sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 adalah Departemen dan

Pasal 18

Cukup Jelas

Lembaga Pemerintah Non Departemen; Dinas, Badan dan Kantor serta


Lembaga Teknis Lainnya pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota.

Pasal 19
(1) Setiap perangkat Pemerintah dan Pemerintahan Daerah dalam

Pasal 19

(1) Cukup Jelas

penyelenggaraan urusan pemerintahan wajib melakukan kerjasama


antara satu dengan lainnya berdasarkan hak, kewajiban dan
wewenangannya masing-masing serta berlandaskan atas dasar
kepentingan dan kesatuan nasional secara keseluruhan.

(2) Kerjasama antara perangkat pemerintah pusat dan pemerintah

(2) Cukup Jelas

23

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

daerah

Propinsi

dilakukan

melalui

Departemen/Lembaga

Pemerintah Non Departemen dan dikoordinasikan oleh Menteri


Dalam Negeri.

(3) Kerjasama antara perangkat pemerintah propinsi dengan perangkat

(3) Cukup Jelas

pemerintah propinsi lainnya dapat dilakukan sendiri oleh propinsi


yang bersangkutan atau melalui koordinasi Menteri Dalam Negeri.

(4) Kerjasama antar perangkat pemerintah kabupaten/kota dalam satu

(4) Cukup Jelas

propinsi dapat dilakukan sendiri oleh masing-masing pemerintah


daerah tersebut atau dikoordinasikan oleh Gubernur propinsi yang
bersangkutan.

(5) Kerjasama antar perangkat kabupaten/kota di wilayah pemerintah


propinsi

yang

berbeda

dilakukan

sendiri

oleh

(5) Cukup Jelas

pemerintah

kabupaten/kota yang bersangkutan atau dikoordinasikan oleh


Gubernur Propinsi yang bersangkutan.

Pasal 20

Pasal 20

24

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

(1) Jika terjadi perselisihan antara perangkat pemerintah dan

(2) Perselisihan yang dimaksud menyangkut antara lain kejelasan

perangkat pemerintah daerah dalam penyelenggaraan urusan

terhadap satu kewenangan tertentu antar tingkat pemerintahan,

pemerintahan daerah, maka Presiden melalui Menteri Dalam


Negeri melakukan upaya-upaya penyelesaian secara adil dan selara

batas-batas wilayah penyelenggaraan urusan pemerintahan, konflik


pembiayaan dan penerimaan.

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku dan azasazas penyelenggaraan pemerintahan yang baik.

(2) Jika terjadi perselisihan antara perangkat pemerintah daerah

(2) Upaya damai diutamakan dalam penyelesaian perselisihan antar

propinsi dan daerah kabupaten/kota, maka Presiden melalui

tingkat pemerintahan. Adil dan selaras berarti sesuai dengan hak,

Menteri Dalam Negeri melakukan upaya-upaya penyelesaian secara

kewajiban dan kewenangannya masing-masing.

adil dan selaras menurut peraturan perundang-undangan yang


berlaku dan azas-azas penyelenggaraan pemerintahan yang baik.

(3) Jika terjadi perselisihan antara perangkat pemerintah daerah

(3) Cukup Jelas

kabupaten/kota dalam satu wilayah propinsi, maka Menteri Dalam


Negeri melalui Gubernur melakukan upaya-upaya penyelesaian
secara adil dan selaras menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku dan azas-azas penyelenggaraan pemerintahan yang
baik.

(4) Perselisihan yang terjadi antara perangkat pemerintah daerah

(4) Cukup Jelas

25

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

kabupaten/kota dalam wilayah propinsi yang berbeda diselesaikan


melalui Gubernur propinsi yang terkait secara adil dan selaras
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku dan azasazas penyelenggaraan pemerintahan yang baik.

(5) Keputusan yang diambil dalam perselisihan sebagaimana dimaksud

(5) Cukup Jelas

pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) bersifat mengikat masingmasing perangkat pemerintah dan pemerintahan daerah.

(6) Terhadap keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat

(6) Cukup Jelas

dilakukan upaya gugatan di Peradilan.

(1)

Pemerintahan daerah secara sendiri atau bersama-sama dengan

(1) Cukup Jelas

pemerintahan daerah lainnya dapat membentuk pemerintahan


khusus/tertentu diwilayahnya melalui Peraturan Daerah.

(2) Pemerintah dapat membatalkan Peraturan Daerah sebagaimana


dimaksud

pada

ayat

(1)

jika

pembentukan

(2) Cukup Jelas

pemerintahan

khusus/tertentu tersebut bertentangan dengan kepentingan


nasional, tumpang tindih dengan kewenangan pemerintah dan atau
menyebabkan disinsentif bagi pembangunan ekonomi, politik,

26

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

sosial dan hukum.

BAB IV

BAB IV

TATA HUBUNGAN JABATAN

TATA HUBUNGAN JABATAN

Pasal 21

Pasal 21

(1) Dalam melaksanakan urusan pemerintahan, setiap pejabat dalam

(1) Cukup Jelas

semua tingkat pemerintahan wajib memperhatikan kewenangan,


tugas pokok dan fungsi yang dimilikinya.

(2) Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat melakukan koordinasi dan

(2) Cukup jelas

pembinaan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan yang


dilakukan oleh Bupati/Walikota di wilayahnya.

(3) Gubernur melakukan koordinasi dengan pejabat instansi vertikal di


daerah

dalam

rangka

pelaksanaan

urusan

(3) Cukup Jelas

pemerintahan

berdasarkan azas dekonsentrasi dan sentralisasi.

(4) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan di daerah otonom

(4) Cukup Jelas

berdasarkan azas dekonsentrasi dan sentralisasi setiap Menteri,

27

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen, Ketua Komisi, Ketua


Dewan Pemerintah, ketuan Badan, pimpinanBadan Hukum Milik
Negara, Badan Usaha Milik Negara harus melakukan koordinasi
dengan Gubernur dan Bupati/Walikota yang bersangkutan.

(5) Bupati/Walikota dapat melakukan hubungan kerja secara langsung

(5) Cukup Jelas

dengan Gubernur di wilayah Propinsi yang berbeda melalui


Gubernur propinsi yang bersangkutan.

(6) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaporkan

(6) Cukup Jelas

kepada Gubernur propinsi dimana bupati/walikota tersebut berada.

(7) Bupati/Walikota yang melakukan perjalanan dinas ke Luar Negeri

(7) Cukup Jelas

harus memberitahukan dan melaporkan hasilnya kepada Gubernur


sebagai wakil pemerintah di daerah.

(8) Kepala Dinas dan lembaga teknis daerah propinsi melakukan


koordinasi

dengan

Kepala

Dinas

dan

lembaga

(8) Cukup Jelas

teknis

kabupaten/kota di propinsi yang bersangkutan.


BAB V

BAB V

TATA HUBUNGAN KEPEGAWAIAN

TATA HUBUNGAN KEPEGAWAIAN

28

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

Pasal 22

Pasal 22

(1) Kepegawaian negara dibagi menjadi Pegawai Pemerintah dan

(1) Cukup Jelas

Pegawai Pemerintah Daerah.

(2) Pemerintah

menetapkan

standar

dan

norma

perekrutan,

(2) Cukup Jelas

penggajian, promosi dan mutasi dalam jabatan, perpindahan


pegawai antar daerah, insentif tambahan, pengembangan kapasitas,
pengawasan dan pensiun Pegawai Pemerintah Daerah.

(3) Tata hubungan kepegawaian antara Pemerintah dan Pemerintah

(3) Cukup Jelas

Daerah diatur oleh peraturan perundang-undangan.

BAB VI

BAB VI

TATA HUBUNGAN KEUANGAN

TATA HUBUNGAN KEUANGAN

Pasal 23
(1) Hubungan keuangan antar pemerintah dan pemerintahan daerah

Pasal 23

(1) Cukup Jelas

maupun antar pemerintahan daerah memperhatikan keserasian


antara kewenangan, penguasaan sumber penerimaan dan kewajiban

29

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

pembiayaan yang dimiliki oleh masing-masing tingkat pemerintahan.

(2) Hubungan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah

(2) Cukup Jelas

dapat meliputi:
A. pembagian sumber-sumber penerimaan pajak dan bukan pajak
secara terpisah;
B. bagi hasil sumber-sumber penerimaan pajak dan bukan pajak
antar tingkat pemerintahan;
C. perimbangan horizontal antara pemerintahan daerah kaya dan
pemerintahan daerah miskin;
D. subsidi

dan

bantuan

dari

pemerintah

pusat

kepada

pemerintahan daerah.
(3) Hubungan keuangan antara pemerintah dan pemerintahan daerah

(3) Cukup Jelas

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara bertahap


dengan

memperhitungkan

kekuatan

keuangan

pemerintahan

daerah pada setiap tahapan.

(4) Pemerintah harus menjamin bahwa pada tahapan subsidi dan

(4) Cukup Jelas

bantuan dari pemerintah, kekuatan kekuangan pemerintahan

30

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

daerah tidak boleh berada dalam kesenjangan yang terlalu tinggi.

BAB VII

BAB VII

PELAPORAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN

PELAPORAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN

Pasal 24

Pasal 24

(1) Bupati/Walikota

berkewajiban

memberikan

laporan

(1) Cukup Jelas

pertanggungjawaban tentang pelaksanaan tugas, hak dan kewajiban


serta

wewenangnya

kepada

Menteri

Dalam

Negeri

melalui

Gubernur setiap tahun.

(2) Gubernur berkewajiban memberikan laporan pertanggungjawaban

(2) Cukup Jelas

tentang pelaksanaan tugas, hak dan kewajiban serta wewenangnya


kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri setiap tahun

BAB VIII

BAB VIII

HUBUNGAN INTERVENSI

HUBUNGAN INTERVENSI

31

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

Pasal 25

Pasal 25
(1) Dalam keadaan tertentu dan untuk kepentingan umum, Pemerintah
dapat

melakukan

intervensi

terhadap

pelaksanaan

(1) Cukup Jelas

tugas

Pemerintahan Daerah.

(2) Pemerintah

dapat

melakukan

tindakan

eksekusi

terhadap

(2) Cukup Jelas

pemerintahan daerah yang tidak mengindahkan peringatan dan


sanksi yang diberikan oleh pemerintah.

(3) Eksekusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa

(3) Cukup Jelas

pengurangan Dana Alokasi Umum sampai pada tindakan represif


militer.

(4) Tindakan

represif

militer

dapat

dilakukan

hanya

dengan

(4) Cukup jelas

persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan


Daerah.

BAB IX

BAB IX

TATA HUBUNGAN WILAYAH KERJA

TATA HUBUNGAN WILAYAH KERJA

32

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

Pasal 26

Pasal 26
(1) Di dalam wilayah sebuah daerah otonom terdapat pula wilayah

(1) Cukup Jelas

kerja pemerintahan umum dan wilayah kerja administrasi lapangan.

(2) Daerah Khusus/tertentu dapat dibentuk oleh pemerintah di

(2) Cukup Jelas

wilayah daerah otonom.

(3) Daerah Khusus/tertentu dapat pula dibentuk oleh pemerintahan

(3) Cukup Jelas

propinsi dan pemerintahan kabupaten/kota.

Pasal 27
(1) Wilayah-wilayah kerja sebagaimana diatur dalam pasal 26 memiliki

Pasal 27

(1) Cukup Jelas

hubungan kerja yang tidak terpisahkan satu dengan lainnya

(2) Hubungan kerja sebagaimana diatur dalam ayat (1) meliputi

(2) Cukup Jelas

hubungan wewenang, hubungan jabatan, hubungan organisasi dan


hubungan pelayanan.
(3) Kriteria dan tata cara pemberikan sanksi pada ayat (1) diatur lebih

(3) Cukup Jelas

lanjut oleh Peraturan Pemerintah

33

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

Pasal 28
(1) Wilayah pemerintahan umum sebagaimana dimaksud dalam pasal 26

Pasal 28

(1) Cukup Jelas

adalah wilayah kerja Gubernur sebagai wakil pemerintah yang


luasnya sama dan atau berhimpit dengan daerah otonom propinsi.

(2) Wilayah administrasi lapangan adalah wilayah kerja instansi

(2) Cukup Jelas

vertikal yang ada di daerah otonom yang luasnya sama dengan


wilayah kerja satu atau beberapa daerah otonom dimana instansi
vertikal itu bekerja.

(3) Wilayah pemerintahan khusus/tertentu adalah wilayah kerja suatu

(3) Cukup Jelas

unit/entitas tertentu yang dibentuk oleh pemerintah untuk


menyelenggarakan fungsi-fungsi tertentu di daerah otonom yang
luasnya bisa sama atau lebih kecil dari satu daerah otonom, atau
meliputi beberapa daerah otonom.

(4) Wilayah daerah otonom adalah wilayah kerja seorang kepala

(4) Cukup Jelas

daerah yang luasnya sebagaimana ditetapkan dalam UndangUndang pembentukan daerah otonom tersebut.

34

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

(5) Dalam melaksanakan tugasnya sebagai wakil pemerintah, Gubernur


berwenang

menyelaraskan

dan

mengkoordinasikan

(5) Cukup Jelas

seluruh

penyelenggaraan pemerintahan daerah, pemerintahan khusus dan


pemerintahan administrasi lapangan di tingkat Provinsi dan tingkat
Kabupaten/Kota.

(6) Jika terdapat perselisihan dalam penyelenggaraan pemerintahan

(6) Cukup Jelas

sebagaimana dimaksud pada ayat (5) Gubernur melakukan upayaupaya penyelesaian dengan memperhatikan kewenangan dan fungsi
masing-masing urusan pemerintahan.

(7) Gubernur memberikan laporan kepada Presiden melalui Menteri

(7) Cukup Jelas

Dalam Negeri dalam hal upaya penyelesaian dan hasilnya


sebagaimana dimaksud dalam ayat (6).
Pasal 29
(1)

Pemerintah menetapkan pembagian urusan dan fungsi antara

Pasal 29

(1) Cukup Jelas

pemerintahan daerah khusus/tertentu yang dibentuk di wilayah


daerah otonom dengan pemerintahan daerah yang bersangkutan.

(2)

Pembagian urusan dan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

(2) Cukup Jelas

35

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

meliputi kewenangan mengatur dan mengurus, pembiayaan dan


bagi hasil, dan hak dan kewajiban pelayanan kepada masyarakat.

(3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai pembagian urusan dan fungsi

(3) Cukup Jelas

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam Peraturan


Pemerintah.

Pasal 30

Pasal 30

Penyelenggaraan urusan pemerintahan dalam rangka administrasi lapangan

Cukup Jelas

dan pemerintahan khusus/tertentu di wilayah daerah otonom harus


memperhatikan pelaksanaan azas desentralisasi dan otonomi yang dimiliki
oleh pemerintahan daerah, azas keadilan dan keselarasan pemerintahan
secara menyeluruh.
Pasal 31

Pasal 31

(3) Pemerintahan daerah secara sendiri atau bersama-sama dengan

(1) Cukup Jelas

pemerintahan daerah lainnya dapat membentuk pemerintahan


khusus/tertentu diwilayahnya melalui Peraturan Daerah.

(4) Pemerintah dapat membatalkan Peraturan Daerah sebagaimana


dimaksud

pada

ayat

(1)

jika

pembentukan

(2) Cukup Jelas

pemerintahan

khusus/tertentu tersebut bertentangan dengan kepentingan

36

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

nasional, tumpang tindih dengan kewenangan pemerintah dan atau


menyebabkan disinsentif bagi pembangunan ekonomi, politik,
sosial dan hukum.

BAB X

BAB X

PENYELESAIAN KONFLIK DAN PERSELISIHAN

PENYELESAIAN KONFLIK DAN PERSELISIHAN

Pasal 32

Pasal 32

(1) Penyelesaian konflik dan perselisihan wewenang antara Pemerintah


dan Pemerintahan Daerah

(1) Cukup Jelas

dan antara Pemerintahan Daerah

dengan Pemerintahan Daerah lainnya dilaksanakan berdasarkan


ketentuan Undang-Undang ini.

(2) Penyelesaian konflik dan perselisihan diutamakan dengan melalui

(2) Cukup Jelas

upaya musyawarah untuk mencapai kesepakatan, dan apabila tidak


dapat diperoleh kesepakatan antara para pihak maka perselisihan
diselesaikan melalui upaya hukum
BAB XI

BAB XI

SANKSI

SANKSI

37

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

Pasal 33

Pasal 33
(1) Pemerintah berwenang memberikan sanksi kepada Pemerintahan

(1) Cukup Jelas

Daerah yang tidak melaksanakan kewajibannya dan/atau tidak


mematuhi ketentuan Undang-Undang ini dan Peraturan PerundangUndangan lainnya.

(2) Kriteria dan tata cara pemberikan sanksi pada ayat (1) diatur lebih

(2) Cukup Jelas

lanjut oleh Peraturan Pemerintah

BAB XII

BAB XII

KETENTUAN PERALIHAN

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 34

Pasal 34

(1) Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hubungan

(1) Cukup Jelas

antara Pemerintah dengan Pemerintahan Daerah dan antara


Pemerintahan Daerah yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini
dinyatakan tetap berlaku selama belum diatur dan/atau ditetapkan
lain oleh Undang-Undang ini.

(2) Peraturan perundang-undangan sektoral wajib menyesuaikan diri

(1) Cukup Jelas

38

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

dengan ketentuan-ketentuan yang diatur oleh Undang-Undang ini.

BAB XIII

BAB XIII

KETENTUAN PENUTUP

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 35

Pasal 35

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan agar setiap


orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undangundang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia

Disahkan di Jakarta
Pada Tanggal
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal
MENTERI HUKUM DAN HAM

39

Anda mungkin juga menyukai