Penyusun:
Safri Nugraha, SH, LLM, Ph.D, Prof.
Eko Prasojo, Mag.rer.publ, Dr.rer.publ, Prof.
Irfan Ridwan Maksum, Drs, M.Si
Harsanto, SH, M.Si
Teguh Kurniawan, S.Sos, M.Sc
Bani Pamungkas, SH
KERJASAMA ANTARA
KEMENTERIAN NEGARA PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
DAN
PUSAT KAJIAN PEMBANGUNAN ADMINISTRASI DAERAH DAN KOTA
FISIP UNIVERSITAS INDONESIA
DAFTAR ISI
Daftar Isi
Ringkasan Eksekutif
iii
Bab I
Pendahuluan
Bab II
Bab III
25
Bab IV
32
Bab V
56
Daftar Pustaka
58
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
RINGKASAN EKSEKUTIF
PENDAHULUAN
Kebijakan nasional yang menjadi produk hukum untuk mengatur sistem
kehidupan bernegara dan bermasyarakat harus memiliki legitimasi yang kuat.
Legitimasi dari setiap produk hukum terutama dapat dihubungkan dengan
sandaran legalitas dari produk hukum tersebut. Dalam hal tata hubungan
kewenangan pemerintah Pusat dan Daerah, UUD 1945 hasil amandemen
secara eksplisit menyatakan perlunya sebuah produk hukum setingkat
Undang-undang (UU). Pada Ayat (1) Pasal 18 A UUD 1945 menyatakan
sebagai berikut:
Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah
provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota,
diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan
keragaman daerah.
Frasa diatur dengan Undang-undang menandakan bahwa materi tata
hubungan kewenangan yang dimaksud bukan berada di dalam sebuah
produk hukum lain, tetapi secara khusus harus disusun pada sebuah UU.
Sandaran legalitas dari Pasal tersebut sangatlah kuat untuk menyusun
sebuah UU.
Persoalan muncul, apakah UU yang akan mengatur hubungan kewenangan
tersebut akan bersamaan dengan UU yang mengatur perihal pemerintahan
daerah? Pertanyaan ini sangat urgen untuk dijawab guna menghindari
terjadinya tumpang-tindih materi pengaturan yang berkaitan dengan materi
tata hubungan kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Selanjutnya pada frasa tata hubungan kewenangan antara Pemerintah Pusat
dan Daerah, dengan menilik sistematika asas pemerintahan yang tidak
hanya melalui desentralisasi dan tugas pembantuan semata, maka materi tata
hubungan kewenangan juga mengatur asas dekonsentrasi sebagai sebuah
sistem pemerintahan.
Materi tata hubungan kewenangan antar Pemerintah Pusat dan Daerah ini
mengatur asas dekonsentrasi yang tidak menjadi materi pengaturan dalam
UU yang mengatur pemerintahan daerah. Berdasarkan hal tersebut di atas,
kekhawatiran akan terjadi tumpang tindih sesungguhnya dapat dihindari.
Oleh sebab itu diperlukan suatu kegiatan yang komprehensif guna menyusun
rancangan Undang-Undang (RUU) Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah. Kebijakan dalam tata hubungan kewenangan
antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjadi sangat penting dan perlu
untuk mengurangi persoalan-persoalan yang selama ini menyertai hubungan
pemerintah pusat dan daerah terlebih dalam era otonomi. Fokus penyusunan
RUU tersebut diarahkan pada penentuan materi dan susunan yang akan
termuat dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Tata Hubungan
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
jenjang menjadi suatu hal yang pelik. Sebagai contoh, wewenang yang
diberikan ke daerah Kabupaten/Kota berdampak kepada melemahnya posisi
gubernur. Walaupun ia memiliki fungsi dekonsentrasi karena gubernur itu
adalah juga sekaligus sebagai wakil Pemerintah dalam rangka dekonsentrasi.
Dalam kasus ini terdapat adanya dual function karena daerah otonom itu
adalah separateness (disintegrasi) sehingga harus mengintegrasikan kembali
(how to reintegrated). Pengintegrasiannnya dengan jalan provinsi memiliki
dual status sebagai daerah otonom dan sebagai daerah administrasi,
konsekuensinya gubernur juga memilki dual role sebagai wakil pemerintah
pusat dan sebagai kepala daerah.
Konstruksi ideal teoritis tersebut memerlukan konkritisasi dalam satu implikasi
kebijakan tertentu. Hal tersebut disebabkan dalam realita empirik justru
merebak dispute yang berlarut-larut di seputar tata hubungan kewenangan
antar Pemerintah dan Pemerintah Daerah atau antar Daerah.
Perlunya Tata Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dan antar
Daerah
Sekarang ini, yang perlu dilembagakan adalah penataan hubungan
kewenangan di antara organisasi pemerintah di setiap level. Jika gubernur
merupakan wakil pemerintah maka apa saja kewenangannya dan
hubungannya dengan pemerintah daerah perlu ditegaskan dan dirinci.
Sebagai wakil Pemerintah, gubernur harus jelas hubungannya dengan para
Menteri bukan hanya dengan Presiden. Bagaimana tata hubungan antara
gubernur sebagai wakil Pemerintah dengan Para Menteri dan atau Kepala
Lembaga Pemerintah Non Departemen. Bagaimana pula hubungan Dinas
(Provinsi, dan Kabupaten/ Kota) dengan departemen-departemen teknis?
Bagaimana pula hubungan antara Gubernur dengan Para Bupati/ Walikota di
wilayahnya? Anggota DPRD dan pejabat Pemerintah di Pusat, Provinsi, dan
Kabupaten/ Kota. Hal itu semua tentu memerlukan kearifan pemerintahan.
Secara keseluruhan, perlu dilakukan pelembagaan hubungan di antara
lembaga-lembaga pemerintah baik secara horizontal maupun vertikal yang
didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan rasional akademis untuk
menghindari polemik.
Beberapa hal yang mendorong secara utuh perlunya tata hubungan tersebut
antara lain: (a) Bahwa Filosofis dasar keberadaan pemerintahan daerah
dalam Negara kesatuan Republik Indonesia berkenaan dengan pelaksanaan
asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan, merupakan subsistem dari pemerintahan Nasional. (b) pelaksanaan pemerintahan yang baik
menuntut adanya hubungan saling ketergantungan antar berbagai elemen
Pemerintahan dalam bingkai Negara kesatuan Republik Indonesia; (c)
tuntutan globalisasi menghendaki pemerintahan yang kuat dalam berbagai
jenjang yang saling bersinergi; (d) Bahwa keadaan kemajuan bangsa
Indonesia yang memiliki karakter budaya yang tinggi dan majemuk
memerlukan pemeirntahan yang mampu menjadi pendorong inistiatif lokal,
pendorong berbagai perubahan ke arah kemajuan bangsa dan penyeimbang
bagi setiap lapisan masyarakat dengan kompleksitas sistem yang ada.
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
Area Tata Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah dan antar Daerah
Konsepsi untuk mewujudkan kehendak filosofis di atas berupa sebuah
mekanisme dan proses timbal balik antar berbagai unsur dalam pemerintahan
berdasarkan prinsip kepemerintahan yang baik. Untuk itu, tata hubungan
yang ada mengharuskan operasionalisasi dari konsepsi tersebut. Singkat
kata, tata hubungan adalah mekanisme dan proses timbal balik antar
berbagai unsur dalam pemerintahan berdasarkan prinsip kepemerintahan
yang baik. Unsur dalam pemerintahan adalah elemen-elemen yang
membentuk sistem pemerintahan yang meliputi: wewenang, Jabatan, dan
Wilayah.
Tata hubungan wewenang adalah mekanisme dan proses timbal balik dalam
hal pembagian dan penyerahan wewenang atas dasar prinsip
kepemerintahan yang baik. Tata Hubungan wilayah adalah mekanisme dan
proses timbal balik dalam hal wilayah pemerintahan atas dasar prinsip
kepemerintahan yang Baik. Tata Hubungan jabatan adalah mekanisme dan
proses timbal balik dalam hal jabatan berdasarkan prinsip kepemerintahan
yang baik.
Dengan demikian, tata hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
adalah mekanisme dan proses timbal balik antara unsur Pemerintah Pusat
dan unsur Pemerintah daerah berdasarkan prinsip kepemerintahan yang baik.
Tata Hubungan Antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupatan/ Kota
adalah mekanisme dan proses timbal balik antara unsur Pemerintah Provinsi
dan unsur pemerintah Kabupaten/ Kota berdasarkan kepemerintahan yang
baik.
Pola hubungan yang tercipta dapat beranjak pada hubungan vertikal,
horizontal dan diagonal. Hubungan-hubungan tersebut dapat terjadi baik
dalam area dekonsentral, desentralisasi, dan medebewind maupun dalam
antar ketiga area tersebut.
HUBUNGAN PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH DI
INDONESIA
Ada dua alasan utama mengapa Konstruksi Ulang Hubungan Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah di Indonesia merupakan hal yang penting
untuk dibahas. Pertama, hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah, selanjutnya dalam disingkat dengan hubungan pusat dan daerah,
adalah masalah nasional yang sangat kritis yang selalu bergerak dari satu
pendulum yang memusat (sentripetalis) ke arah pendulum yang menyebar
(sentrifugalis). Hubungan dinamis yang kritis ini seringkali dapat
menyebabkan gerakan separatis yang berujung pada situasi turbulens dan
hancurnya eksistensi sebuah negara. Kedua, dalam wacana akademik,
gagasan dan konsep federalisme dan negara federal yang merupakan wujud
gerakan negara yang bersifat menyebar telah memperoleh stigma buruk
dalam sejarah perjalanan negara dan bangsa Indonesia. Federalisme dan
negara federal dalam konteks hubungan pusat dan daerah telah dipahami
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
10
11
12
13
Salah satu perubahan besar konstruksi hubungan antara Pusat dan Daerah
berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 dan juga UU 32 No. 32 tahun 2004
dibandingkan dengan Undang-Undang sebelumnya adalah dianutnya prinsip
kewenangan sisa (residu of powers) dalam pembagian kewenangan antar
tingkatan pemerintahan. Kewenangan Kabupaten dan Kota mencakup semua
kewenangan pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik, luar
negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta
kewenangan bidang lainnya yang ditetapkan sebagai kewenangan pusat.
Dengan demikian semua kewenangan pada dasarnya sudah ada pada
kabupaten dan kota, sehingga tidak perlu dilakukan penyerahan secara aktif
oleh pusat. Dalam penjelasan pasal 11 ayat 1 UU No. 22 tahun 1999
disebutkan bahwa pada dasarnya seluruh kewenangan sudah berada pada
daerah Kabupaten dan Kota. Oleh karena itu, penyerahan kewenangan tidak
perlu dilakukan melalui pengakuan oleh pemerintah. Secara material
ketentuan penjelasan pasal 11 ini memiliki makna dan semangat yang dianut
oleh konstitusi dalam kebanyakan negara federal. Pada sisi lainnya,
ketentuan pasal 7 dan pasal 11 UU No. 22 tahun 1999 dapat pula ditafsirkan
sebagai kewenangan yang tabu untuk di desentralisasikan (Hoessein,
2001:18). Kewenangan yang secara enumeratif diserahkan kepada pusat
dalam pasal 7 dengan demikian, hanya dapat dilaksanakan melalui asas
sentralisasi atau dekonsentrasi. Ketentuan rinci mengenai bidang-bidang
pemerintahan yang disebutkan dalam pasal 7 dan pasal 9, ditetapkan oleh
pemerintah melalui Peraturan Pemerintah (pasal 12).
Bentuk pembagian wewenang dengan azas residu of powers pada daerah
Kabupaten dan Kota ini, menyerupai pembagian wewenang yang lazim
dilakukan oleh beberapa negara federal, seperti USA, Jerman, Austria dan
Swiss, dimana wewenang pemerintah federal dirinci dalam Konstitusi,
sementara wewenang lain yang tidak disebutkan sebagai wewenang federal
secara otomatis menjadi wewenang negara bagian (Prasojo, 2005:163).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa secara substansial UU No. 22/1999
menganut prinzip kelaziman yang diterapkan di negara federal dalam hal
pembagian wewenang.
Salah satu masalah yang dihadapi dalam implementasi otonomi daerah yang
berakar dari konstruksi hubungan antara Pusat dan Daerah adalah
ketidakjelasan model pembagian kewenangan antar tingkat pemerintahan.
Secara teoritik dan praktek internasional di beberapa negara, terdapat dua
prinsip dasar yang dapat dilakukan dalam membagi kewenangan yaitu
berdasarkan kepada fungsi dan berdasarkan kepada politik. Atas dasar fungsi
kewenangan dibagi menurut fungsi mengatur dan fungsi mengurus. Artinya,
untuk suatu jenis kewenangan, fungsi mengatur dan mengurus ditetapkan
dan dibagi secara tegas untuk setiap tingkatan pemerintahan. Sebaliknya, jika
prinsip dasar yang dianut adalah berdasarkan pembagian politik, maka fungsi
mengatur dan mengurus ini tidak secara tegas dibagi antara tingkatan
pemerintahan. Sehingga untuk satu jenis kewenangan sektoral bisa terdapat
fungsi mengatur dan mengurus yang sama dan dimiliki oleh dua tingkatan
pemerintahan yang berbeda. Ketidakjelasan model pembagian kewenangan
ini, dalam prakteknya terefleksi dalam dua wajah. Pertama, untuk sektorsektor yang bersifat profit seringkali terjadi tumpang tindih antara pusat,
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
14
15
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
16
Pada sisi lainnya, kekuasaan yang dimiliki oleh DPD hanya terbatas pada
produk Undang-undang yang memiliki keterkaitan langsung dengan
kepentingan daerah, misalnya berkaitan dengan otonomi daerah dan
perimbangan daerah. Dalam keputusan terhadap produk Undang-undang
yang lain DPD tidak memiliki hak Veto. Dalam jangka panjang, kekuasaan
yang dimiliki oleh DPD harus bersifat veto dan diperluas tidak saja pada
produk Undang-Undang yang berkaitan dengan kepentingan daerah, tetapi
juga Undang-undang yang lainnya.
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
17
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kebijakan nasional yang menjadi produk hukum untuk mengatur sistem
kehidupan bernegara dan bermasyarakat harus memiliki legitimasi yang kuat.
Legitimasi dari setiap produk hukum terutama dapat dihubungkan dengan
sandaran legalitas dari produk hukum tersebut. Dalam hal tata hubungan
kewenangan pemerintah Pusat dan Daerah, UUD 1945 hasil amandemen secara
eksplisit menyatakan perlunya sebuah produk hukum setingkat Undang-undang
(UU). Pada Ayat (1) Pasal 18 A UUD 1945 menyatakan sebagai berikut:
Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah
provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota,
diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan
keragaman daerah.
Frasa diatur dengan Undang-undang menandakan bahwa materi tata
hubungan kewenangan yang dimaksud bukan berada di dalam sebuah produk
hukum lain, tetapi secara khusus harus disusun pada sebuah UU. Sandaran
legalitas dari Pasal tersebut sangatlah kuat untuk menyusun sebuah UU.
Persoalan muncul, apakah UU yang akan mengatur hubungan kewenangan
tersebut akan bersamaan dengan UU yang mengatur perihal pemerintahan
daerah? Pertanyaan ini sangat urgen untuk dijawab guna menghindari terjadinya
tumpang-tindih materi pengaturan yang berkaitan dengan materi tata hubungan
kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Selanjutnya pada frasa tata hubungan kewenangan antara Pemerintah Pusat
dan Daerah, dengan menilik sistematika asas pemerintahan yang tidak hanya
melalui desentralisasi dan tugas pembantuan semata, maka materi tata
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
Oleh sebab itu diperlukan suatu kegiatan yang komprehensif guna menyusun
rancangan Undang-Undang (RUU) Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah. Kebijakan dalam tata hubungan kewenangan
antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjadi sangat penting dan perlu
untuk mengurangi persoalan-persoalan yang selama ini menyertai hubungan
pemerintah pusat dan daerah terlebih dalam era otonomi.
Pokok Permasalahan
1. Berdasarkan naskah akademik yang ada, materi apa saja yang termuat
dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Tata Hubungan Wewenang antara
Pemerintah Pusat dan Daerah serta antar Daerah?
2. Bagaimana susunan Rancangan Undang-undang (RUU) tersebut?
3. Bagaimana melakukan sosialisasi RUU Tata Hubungan wewenang hubungan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta antar Daerah dalam rangka
umpan balik bagi perbaikan RUU tersebut?
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
Tujuan
1. Mengidentifikasi materi-materi yang termuat dalam Rancangan Undangundang (RUU) Tata Hubungan Wewenang antara Pemerintah Pusat dan
Daerah serta antar Daerah berdasarkan naskah akademik yang sudah
disusun sebelumnya.
2. Menyusun RUU Tata Hubungan Wewenang antara Pemerintah Pusat dan
Daerah serta antar Daerah.
3. Mengembangkan kegiatan sosialisasi dalam rangka feed-back bagi perbaikan
susunan RUU tersebut.
Manfaat
Sebuah RUU memberikan kepastian dalam menyusun UU yang sesungguhnya,
sehingga materi yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat dan
bernegara semakin tinggi kualitasnya karena terjamin kepastian hukum sesuai
dengan cakupannya. Oleh karena itu, RUU Tata Hubungan Wewenang antara
Pemerintah Pusat dan Daerah serta antar Daerah ini memberikan landasan yang
kuat bagi Pemerintah, Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk menjalankan berbagai
kewenangan dalam rangka penyempurnaan kerangka hukum desentralisasi.
Metodologi Penyusunan
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
Hubungan.
4. Seminar/Lokakarya
hasil
penelitian
berupa
naskah
akademik
untuk
Ruang Lingkup
Aktivitas
Bulan 1
Bulan 2
Bulan 3
Bulan 4
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Desk Riset
Focus Group Discussion
Konsinyasi
Seminar/Lokakarya
Sosialisasi
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
Adapun
rincian
langkah
pelaksanaan
kegiatan
berdasarkan
metode
Desk Riset
Kegiatan yang
dilakukan
Penelaahan informasi
dari naskah akademik
dan informasi lainnya
dari berbagai sumber
yang relevan dengan
topik kegiatan
Durasi
Pelaksanaan
Dalam kurun
waktu 2 (dua)
bulan selama
kegiatan
dilaksanakan
Diskusi
4 (empat) kali
Focus Group Pelaksanaan
Kelompok
Terarah pelaksanaan @ 2
Discussion
dengan mengumpulkan
jam
nara
sumber
yang
homogen dalam suatu
ruangan.
Penyusunan
naskah 2 (dua) kali @ 2
Konsinyasi
RUU Tata Hubungan
hari pelaksanaan
Pemaparan
hasil 4 (empat) kali @ 2
Seminar /
penelitian
berupa jam pelaksanaan
Lokakarya
naskah akademik dan
draft sementara RUU
untuk
mendapatkan
masukan
bagi
penyusunan
Rancangan
UndangUndang
Sosialisasi
Mensosialisasikan
3 (dua) kali @ 2
Daraft
RUU
Tata jam pelaksanaan
Hubungan
Kewenangan
Pemerintah,
Provinsi
Dan Kabupaten/Kota
Bentuk Keluaran
Informasi
mengenai urgensi
penyusunan RUU
berdasarkan
peraturan
yang
ada
serta
kebutuhan materi
yang harus diatur
dalam RUU
Masukan
nara
sumber mengenai
materi pengaturan
RUU
Draft RUU
Masukan
penyempurnaan
Naskah Akademik
dan
Draft
Sementara
Masukan
terhadap
Akhir RUU
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
Draft
Desk Riset
Focus Group
Discussion
Konsinyasi
Seminar/Lokakarya
Sosialisasi
Sistematika Laporan
Bab I: Pendahuluan. Bab ini berisikan latar belakang, pokok masalah, tujuan
dan manfaat dari dilaksanakannya pemahaman dan sosialisasi penyusunan
RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah serta metode
yang digunakan dan ruang lingkup pekerjaan yang dilakukan dalam kegiatan
pemahaman dan sosialisasi penyusunan RUU tersebut. Selain itu, bab ini juga
berisikan jadwal pelaksanaan kegiatan, rincian langkah kegiatan dan sistematika
penyusunan laporan.
Bab II: Hubungan Wewenang antara Pemerintah dan Daerah serta antar Daerah.
Bab ini berisikan urgensi penyusunan hubungan wewenang antara Pemerintah
dan Daerah serta antar Daerah berdasarkan UUD 1945 hasil amandemen dan
UU 32/2004, pembagian urusan-urusan kepemerintahan yang dapat dilakukan
serta kedudukan dari badan khusus yang mungkin saja dibentuk akibat
pembagian urusan-urusan kepemerintahan tersebut.
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
Bab III: Tata Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Bab ini berisikan
esensi dari penyelenggaraan desentralisasi dan kebutuhan akan pengaturan
hubungan kewenangan dalam pelaksanaan desentralisasi tersebut, serta
kemungkinan pengaturan hubungan kewenangan antara Pemerintah dan Daerah
yang dapat dilakukan.
Bab IV: Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di Indonesia. Bab
ini berisikan dinamika hubungan antara Pusat dan Daerah selama ini serta
problematika yang dihadapinya, konstruksi hubungan di masa orde baru, serta
bagaimana mengkontruksi ulang hubungan tersebut guna mencapai titik
keseimbangan baru dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Bab V: Kesimpulan dan Saran. Bab ini berisikan kesimpulan dari pembahasan
yang dilakukan terhadap hubungan antara Pemerintah dan Daerah serta saran
yang dapat dilakukan untuk menindaklanjuti kegiatan pemahaman dan
sosialisasi penyusunan RUU ini di masa datang.
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
BAB II
HUBUNGAN WEWENANG ANTARA PEMERINTAH DAN DAERAH SERTA
ANTAR DAERAH
Pendahuluan
Undang-Undang Dasar 1945 telah diubah beberapa kali. Dalam beberapa kali
perubahan selain tetap mempertahankan beberapa pasal-pasal asli, terdapat
juga beberapa pasal-pasal yang diubah. Salah satu Pasal yang diubah adalah
Pasal 18.
Perubahan Pasal 18 ini tergolong rumit. Judul bab yang membawahi Pasal 18,
baik pada Pasal yang asli maupun Pasal-Pasal hasil amandemen tetap sama
yaitu dengan judul Pemerintah Daerah. Pasal 18 baru hasil amandemen terakhir
terdiri dari 7 (tujuh) ayat. Ayat (1) Pasal 18 hasil amandemen ini mendapat
inspirasi dari Penjelasan Pasal 18 asli dan Tap MPR No. IV/MPR/2000 yang
merekomendasikan agar otonomi disusun secara bertingkat.
Pasal 18 UUD 1945 hasil amandemen yang lain yaitu Pasal 18A dan Pasal 18B,
masing-masing dijabarkan dalam 2 (dua) ayat. Sekalipun Pasal-pasal tersebut,
khususnya pasal 18A (1) secara eksplisit hanya mengatur desentralisasi dan
tugas pembantuan, namun pengaturan oleh produk hukum yang lebih rendah
dan penyelenggaraan dekonsentrasi tidak dapat dicegah. Pengaturan dan
penyelenggaraan dekonsentrasi sebenarnya merupakan bagian dari pengaturan
dan penyelenggaraan sentralisasi. Oleh karena itu tidak perlu diatur dalam UUD.
Kedudukan
Provinsi
dan
Kabupaten/Kota
terhadap
Pemerintah
bersifat
subordinatif. Daerah otonom adalah ciptaan Pemerintah dan dapat dihapus oleh
Pemerintah (local government is creature of central government). Namun dilihat
dari konsep hubungan wewenang baik antara Pemerintah dan Provinsi maupun
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
Pemerintah
Provinsi
Kabupaten
Provinsi
Kota
Kabupaten
Kota
Hubungan yang terjadi baik dalam kerangka asas desentralisasi maupun dalam
kerangka asas dekonsentrasi bersifat resiprokal. Undang-undang No. 32 Tahun
2004 nampaknya lebih mengarah kepada peraturan hubungan yang bersifat
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
10
searah dan hirarkis semata (downward). Disamping itu, hubungan yang bersifat
diagonal pun tidak banyak terakomodasi dalam UU tersebut.
Pasal
Pasal 2 ayat (4)
Pernyataan
Pemerintahan
Daerah
dalam menyelenggarakan
urusan
Pemerintahan
memiliki
hubungan
dengan Pemerintah dan
dengan
Pemerintahan
Daerah
Hubungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4)
meliputi
hubungan
wewenang,
keuangan,
pelayanan
umum,
pemanfaatan sumberdaya
alam, dan sumberdaya
lainnya
Hubungan
keuangan,
pelayanan
umum,
pemanfaatan sumberdaya
alam, dan sumberdaya
lainnya
dilaksanakan
secara adil dan selaras
Hubungan
wewenang,
keuangan,
pelayanan
umum,
pemanfaatan
sumberdaya alam, dan
sumberdaya
lainnya
menimbulkan hubungan
administrasi
dan
interpretasi
Frasa
Pemerintahan
Daerah tidak lazim secara
normatif digunakan sebagai
frasa yang menunjukkan
organ.
Lazimnya
adalah
Pemerintah
Daerah
atau
Daerah
otonom.
Hubungan
yang
terselenggara
antar
Pemerintah dan Daerah
dan antar Daerah meliputi
empat aspek
Ayat
7
ini
cukup
membingungkan karena di
dalam ayat sebelumnya
telah disinggung hubungan
antar
susunan
Pemerintahan dalam empat
aspek, tetapi kemudian
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
11
kewilayahan
antar dinyatakan lebih spesifik
susunan Pemerintahan
dalam hal administrasi dan
kewilayahan.
Pasal 10, 11, (Lih. dalam UU)
Dasar
material
bagi
12, 13, dan 14
pembagian urusan yang
merupakan koridor bagi
hubungan
wewenang.
Pada pasal 14 ayat (3)
dinyatakan
bahwa
pengaturan lebih lanjut bagi
pasal 10, 11, 12, 13, dan
14
dengan
Peraturan
Pemerintah
Pasal 15, 16, (Lih. dalam UU)
Dasar
aturan
bagi
17, 18
hubungan
keuangan,
pelayanan
umum,
pemanfaatan sumberdaya
alam dan sumberdaya
lainnya.
Masing-masing
pasal memuat pernyataan
bahwa aturan pelaksanaan
hubungan di tiap aspek
tersebut dengan peraturan
perundang-undangan.
Disamping materi yang secara langsung terkait dengan perihal hubungan antar
Pemerintah dan Daerah serta hubungan antar Daerah, UU No.32 tahun 2004
juga memuat berbagai pasal yang tidak secara langsung berkaitan. Berikut ini
adalah tabel yang memuat pasal-pasal yang dimaksud :
No
1
Pasal
Pasal 5 ayat (3)
Pernyataan
interpretasi
Syarat
administratif Hubungan wewenang ini
sebagaimana
dimaksud dalam
rangka
asas
pada ayat (1) untuk desentralisasi.
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
12
Menandakan
adanya
hubungan hirarkis dan dari
bawah.
(HUBUNGAN
ADMINISTRATIF)
Untuk
membentuk
kawasan
khusus
sebagaimana
dimaksud
pada ayat (2) dan ayat (3),
Pemerintah
mengikutsertakan Daerah
yang bersangkutan
Daerah
dapat
mengusulkan
pembentukan
kawasan
khusus
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
kepeada Pemerintah
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
13
10
keterangan
pertanggungjawaban
kepada
DPRD,
serta
menginformasikan laporan
penyelenggaraan
Pemerintahan
Daerah
kepada masyarakat.
Pasal 27 ayat Laporan penyelenggaraan
(3)
Pemerintahan
Daerah
kepada
Pemerintah
sebagaimana
dimaksud
pada ayat (2) disampaikan
kepada Presiden melalui
Menteri
dalam
negeri
untuk
Gubernur,
dan
kepada Menteri Dalam
Negeri melalui Gubernur
untuk Bupati WaliKota 1
(satu) kali dalam 1 (satu)
tahun.
Pasal 29 ayat Pemberhentian
kepala
(4) huruf a.
Daerah dan wakil kepala
Daerah diusulkan kepada
Presiden
berdasarkan
putusan
Mahkamah
Agung atas pendapat
DPRD
bahwa
kepala
Daerah dan/ atau wakil
kepala Daerah tidak lagi
memenuhi
syarat,
melanggar sumpah/ janji
jabatan,
tidak
melaksanakan kewajiban
dan/
atau
melanggar
larangan.
Pasal 29 ayat Presiden
wajib
(4) huruf e.
memproses
usul
pemberhentian
kepala
Daerah dan/ atau wakil
kepala Daerah tersebut
paling lambat 30 (tiga
puluh) hari sejak DPRD
menyampaikan
usul
tersebut.
Pasal 30 dan 31 (Lihat dalam UU)
Hubungan
wewenang
Hirarkis, vertikal, dari atas
dalam
rangka
desentralisasi
dan
dekonsentrasi
kepada
Gubernur.
(HUBUNGAN
ADMINISTRATIF)
Hubungan
wewenang
dalam
rangka
asas
Desentralisasi
vertikal
kepada Pemerintah
(HUBUNGAN
ADMINISTRATIF)
Hubungan
wewenang
dalam
rangka
asas
sentralisasi
dan
desentralisasi vertikal dari
atas.
(HUBUNGAN
ADMINISTRATIF)
s.d.a perihal penghentian
langsung oleh Presiden
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
14
11
12
13
14
15
Dalam
rangka
Desentralisasi, hubungan
bersifat vertikal ke atas.
(HUBUNGAN
ADMINISTRATIF)
Sentralisasi, dekonsentrasi,
dan desnetralisasi. Sifat
hubungannya vertikal dari
atas
(HUBUNGAN
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
15
16
17
18
19
20
21
ADMINISTRATIF)
Dekonsentrasi
desentralisasi.
hubungannya vertikal
atas.
(HUBUNGAN
ADMINISTRATIF)
Dekonsentrasi
desentralisasi vertikal
bawah ke atas.
(HUBUNGAN
ADMINISTRATIF)
dan
Sifat
dari
dan
dari
Dekonsentrasi
dan
desentralisasi.
Sifat
hubungannya vertikal dari
bawah ke atas
(HUBUNGAN
ADMINISTRATIF)
Sentralisasi, Dekonsentrasi
dan desentralisasi. Sifat
hubungannya vertikal dari
bawah ke atas
(HUBUNGAN
ADMINISTRATIF)
Sentralisasi
Hubungan SDM
(HUBUNGAN
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
16
22
Pasal 132
23
24
25
26
departemen/
lembaga
Pemerintah
non
departemen
atau
sebaliknya,
ditetapkan
oleh
menteri
dalam
negerisetelah memperoleh
pertimbangan
Kepala
badan
Kepegawaian
Negara
Penetapan
formasi
pegawai
negeri
sipil
Daerah
Provinsi/
Kabupaten/ Kota setiap
tahun
anggaran
dilaksanakan oleh menteri
pendayagunaan aparatur
negara
Pembinaan
dan
pengawasan manajemen
pegawai
negeri
sipil
Daerah
dikoordinasikan
oleh menteri dalam negeri
dan pada tingkat Daerah
oleh Gubernur
Daerah
penghasil
sumberdaya
alam
sebagaimana
dimaksud
pada ayat (3) ditetapkan
oleh menteri dalam negeri
berdasarkan
pertimbangan dari menteri
teknis terkait
Dasar
penghitungan
bagian
daerah
dari
Daerah
penghasil
sumberdaya
alam
ditetapkan oleh menteri
teknis
terkait
setelah
memperoleh
pertimbangan
menteri
dalam negeri
Besarnya alokasi dana
darurat ditetapkan oleh
menteri keuangan dengan
memperhatikan
pertimbangan
Menteri
ADMINISTRATIF)
Sentralisasi
Hubungan SDM
(HUBUNGAN
ADMINISTRATIF)
Sentralisasi
dekonsentrasi
Hubungan SDM
(HUBUNGAN
ADMINISTRATIF)
dan
Sentralisasi
Hubungan SDA
(HUBUNGAN
ADMINISTRATIF)
Sentralisasi
Hubungan
Keuangan
dan SDA
(HUBUNGAN
ADMINISTRATIF)
Sentralisasi
Hubungan keuangan
(HUBUNGAN
ADMINISTRATIF)
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
17
27
28
29
30
31
Desentralisasi
dan
sentralisasi.
Sifat
hubungannya vertikal ke
atas
Hubungan keuangan
(HUBUNGAN
ADMINISTRATIF)
Sentralisasi
Hubungan wewenang
dan keuangan
(HUBUNGAN
ADMINISTRATIF)
Dalam rangka asas
Desentralisasi
dan
hubungan yang tercipta
bersifat vertikal ke atas
Hubungan wewenang
dan keuangan
(HUBUNGAN
ADMINISTRATIF)
Desentralisasi,
dan
sentralisasi.
Sifat
hubungannya vertikal ke
atas
Hubungan wewenang dan
keuangan
(HUBUNGAN
ADMINISTRATIF)
Desentralisasi,
dekonsentrasi
dan
sentralisasi.
Sifat
hubungannya vertikal ke
atas
Hubungan wewenang
dan keuangan
(HUBUNGAN
ADMINISTRATIF)
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
18
32
33
34
35
36
Desentralisasi
dan
hubungannya
bersifat
horizontal
Hubungan pelayanan
(HUBUNGAN
ADMINISTRATIF
DAN
KEWILAYAHAN)
Desentralisasi,
dan
dekonsentrasi.
Sifat
hubungannya vertikal
Hubungan wewenang
(HUBUNGAN
ADMINISTRATIF
DAN
KEWILAYAHAN)
Sentralisasi
dan
desentralisasi.
Sifat
hubungannya vertikal,
horizontal dan diagonal
Hubungan wewenang
(HUBUNGAN
ADMINISTRATIF
DAN
KEWILAYAHAN)
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
19
Dari tabel tersebut tampak jelas sekali hubungan yang bersifat diagonal dan
horizontal masih sedikit diatur. Hubungan vertikal pun lebih banyak memuat
kewajiban-kewajiban yang diemban oleh Daerah, sedangkan hak-hak Daerah
dan apa yang harus dilakukan Pemerintah dan para menterinya memiliki porsi
yang lebih sedikit.
kewenangan
pemerintahan
saja
(eksekutif),
tidak
termasuk
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
20
Dinamis dengan
landasan; Skala Ekonomi,
Esternalitas,
Catchment Area dan
Lokalitas
Urusan Sektoral
Pemerintah Nasional
Local Needs
Dapat
Didesentralisasikan
Desentralisasi
Diwajibkan
Medebewind
Sentralisasi
Murni
Dekonsentrasi
Tidak Dapat
Didesentralisasikan
Medebewind
Sentralisasi
Dekonsentrasi
Murni
Prakarsa
Sendiri
PROVINSI
Kabupaten/Kota
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
21
dapat dikembangkan pula melalui kriteria catchment area yang tidak diatur
dalam UU tersebut.
Ada kalanya sistem pembagian wewenang yang sudah diatur dalam UU tidak
sepenuhnya menjadi pendorong terjadinya hubungan wewenang tetapi
terdapat riil yang membutuhkan penanganan pemerintahan yang cepat. Oleh
karena itu tercipta hubungan alamiah yang muncul. Sumber penataan
hubungan dalam keadaan seperti ini dapat diambil dari etika pemerintahan
atau sumber nilai-nilai moral dalam organisasi pemerintahan.
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
22
tersebut
harus
menata
proses
hubungan
yang
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
23
Penutup
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
24
BAB III
TATA HUBUNGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH
Pendahuluan
Beranjak dari pasal 1 dan pasal 18 (A), (B), (C), (D) UUD 1945, Indonesia
lazim disebut sebagai negara kesatuan yang terdesentralisasi (decentralized
unitary
state;
gedecentraliseerde
eenheidsstaat).
Menurut
Profesor
25
dan
mengurus
kepentingan-kepentingannya
dengan
aspek
26
Dalam hal ini, Profesor Bhenyamin Hoessein sebagai tim Perumus UU No. 22
Tahun 1999 juga mengatakan bahwa sekalipun setiap perubahan UU
Pemerintah Daerah pada dasarnya merupakan reformasi pemerintahan
daerah, namun terdapat perbedaan mengenai gradasi, skala dan besaran
substansi perubahan yang dikehendaki oleh UU No. 22 Tahun 1999 dan UU
No. 25 tahun 1999.
berbagai
tujuan
penyelenggaraan
negara
sehingga
desentralisasi
keseimbangan
dengan
kebutuhan
antara
kebutuhan
kesatuan
bangsa
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
27
pemerintahan
dalam
konteks
desentralisasi
merupakan
itu
adalah
separateness
(disintegrasi)
sehingga
harus
Perlunya Tata Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dan antar
Daerah
wakil
pemerintah
maka
apa
saja
kewenangannya
dan
28
atas
pertimbangan-pertimbangan
rasional
akademis
untuk
menghindari polemik.
Beberapa hal yang mendorong secara utuh perlunya tata hubungan tersebut
antara lain: (a) Bahwa Filosofis dasar keberadaan pemerintahan daerah
dalam Negara kesatuan Republik Indonesia berkenaan dengan pelaksanaan
asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan, merupakan subsistem dari pemerintahan Nasional. (b) pelaksanaan pemerintahan yang baik
menuntut adanya hubungan saling ketergantungan antar berbagai elemen
Pemerintahan dalam bingkai Negara kesatuan Republik Indonesia; (c)
tuntutan globalisasi menghendaki pemerintahan yang kuat dalam berbagai
jenjang yang saling bersinergi; (d) Bahwa keadaan kemajuan bangsa
Indonesia yang memiliki karakter budaya yang tinggi dan majemuk
memerlukan pemeirntahan yang mampu menjadi pendorong inistiatif lokal,
pendorong berbagai perubahan ke arah kemajuan bangsa dan penyeimbang
bagi setiap lapisan masyarakat dengan kompleksitas sistem yang ada.
Disamping itu, yang tidak dapat dielakkan adalah amanat UUD. Pasal 1, 18,
18 A dan 18 B, 20 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945; khususnya ayat (1) pasal
18 A menyatakan:
Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah
provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota,
diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan
keragaman daerah.
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
29
Area Tata Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah dan antar Daerah
Tata hubungan wewenang adalah mekanisme dan proses timbal balik dalam
hal
pembagian
dan
penyerahan
wewenang
atas
dasar
prinsip
30
Penutup
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
31
BAB IV
HUBUNGAN PEMERINTAH PUSAT DAN
PEMERINTAH DAERAH DI INDONESIA
Pendahuluan
Hubungan
dinamis
yang
kritis
ini
seringkali
dapat
Negara nasional terlalu kecil untuk mengatur dan mengurus masalahmasalah yang sangat besar, tetapi terlalu besar untuk mengatur dan
mengurus masalah-masalah yang sangat kecil (lihat misalnya Bell, 1988:2).
Ungkapan ini mengisyaratkan, bahwa peran negara nasional sebagai
pengatur dan penyelenggara akan semakin berkurang dan akan sangat
tergantung dengan mekanisme koordinasi dan pembagian kekuasaan baik
pada tingkat internasional maupun pada tingkat lokal (Fukuyama, 2004: 95).
Konsekuensi logis dari hal ini adalah penyerahan sebagian kekuasaan
kepada unit-unit sub nasional dan lokal. Karena itu, pengaturan dan
penyelenggaraan tugas-tugas negara dan pemerintahan akan senantiasa
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
32
berubah secara periodik, baik pada negara yang berstruktur federal maupun
negara yang berstruktur unitaris (kesatuan).
33
tidak berada dalam ruang vakuum, tetapi sangat dipengaruhi oleh faktorfaktor internal nasional dan faktor-faktor eksternal internasional yang
berkembang.
Unitaris
Federalis-Unitaris
Federalis
Derajat hubungan antara Pusat dan Daerah dapat dijadikan sebagai indikasi
pada posisi mana struktur suatu negara berada. Meskipun demikian tidak
mungkin terdapat suatu negara yang sangat bersifat unitaris atau sebaliknya
sangat bersifat federalis. Elemen hubungan antara pusat dan daerah tidak
bersifat monosentris, melainkan polisentris bergerak dari satu kontinum ke
kontinum lainnya, dari kontinum unitaris ke kontinum federalis dan sebaliknya
(Laufer dan Ursula, 1998: 14). Titik temu keseimbangan antara gerakan
sentripetal dan sentrifugal dalam hubungan pusat dan daerah dapat dikaji
dalam berbagai aspek, misalnya saja dalam aspek tingkatan dan kedudukan
pemerintah daerah, pembagian kewenangan, aspek intervensi pusat terhadap
daerah, aspek keterlibatan daerah di tingkat pusat, aspek pembagian
(perimbangan) sumberdaya keuangan, dan aspek penyelesaian konflik yang
terjadi antar level pemerintahan. Dalam problem setiap negara bangsa, tugas
terberat yang harus diselesaikan oleh para pembuat keputusan politik adalah
menjaga titik keseimbangan antara gerakan yang bersifat sentrifugal dan
gerakan yang bersifat sentripetal. Kekuatan sentrifugal yang terlalu besar
akan mengakibatkan gerakan separatisme yang mungkin berakibat pada
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
34
keterkaitan
dengan
aspek
horizontal
distribution
of
power.
35
UUD 1945, baik sebelum maupun sesudah diamandemen. Dalam tulisan ini
tidak akan dibahas bagaimana pasang surut hubungan pusat dan daerah di
Indonesia sejak kita merdeka, sebagaimana terlihat dalam UU No. 1 tahun
1945, UU No. 22 tahun 1948, UUD Republik Indonesia Serikat (RIS) tahun
1949, UU No. 1 tahun 1957, UU No. 18 tahun 1965, dan UU No. 5 tahun
1974.
Berbagai
konstruksi
hubungan
Pusat
dan
Pemerintah
dalam
Pada sisi lainnya, pasca kejatuhan Soeharto juga memberikan harapan pada
kemungkinan terjadinya perubahan hubungan kekuasaan antara Pusat dan
Daerah. Hal ini terbukti dengan ditetapkannya UU No. 22 tahun 1999, yang
direvisi dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sejalan
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
36
dengan UU No. 22 tahun 1999, maka UU No. 2 tahun 1999 tentang Pemilihan
Umum juga memperkuat posisi daerah dengan diterapkannya sistem
pemilihan semi distrik pada bulan Juni 1999. Kedua UU ini sedikit banyak
telah merubah corak hubungan antara Pusat dan Daerah di Indonesia.
Kecenderungan menguatnya desentralisasi, sebagaimana tertuang dalam UU
No. 22 tahun 1999, merupakan refleksi gerakan sentrifugal yang terjadi di
Indonesia pasca kejatuhan Soeharto. Desentralisasi kewenangan yang
serupa juga terjadi di beberapa beberapa negara Asia seperti di Filipina,
Vietnam, Kamboja dan juga Cina (White and Smoke, 2005: 4). Gerakan ini
menurut White dan Smoke dipengaruhi oleh bekerjanya faktor-faktor politik,
faktor ekonomi dan faktor demografi.
UU
No.
22
tahun
1999
menghapus
pelaksanaan
azas
dekonsentrasi pada Daerah Kabupaten dan Kota, dimana azas ini hanya
dilaksanakan pada daerah Propinsi. Dengan demikian semua kewenangan
pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota pada prinsipnya merupakan
kewenangan dalam rangka desentralisasi dan sebagian dalam rangka tugas
pembantuan.
Demikian
juga
makna
desentralisasi
tidak
lagi
dalam
Kabupaten/Kota
dengan
pemerintah
Propinsi.
Konstruksi
hubungan antara pusat dan daerah seperti diatur dalam UU No. 22 tahun
1999, telah menyebabkan beralihnya kekuasaan dari Pemerintah Propinsi
kepada Pemerintah Kabupaten/Kota. Kekuatan gerakan sentrifugal ini
menjadi
menghendaki
37
antara Pusat dan Daerah, juga dalam Sistem Administrasi Publik Indonesia
secara keseluruhan (Rohdewohld, 2003: 259).
tensi
politik
yang
lebih
tinggi
daripada
upaya-upaya
38
keterbatasan
SDM
yang
memenuhi
persyaratan. Mekanisme
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
39
Potret suram otonomi daerah juga terjadi dalam pengelolaan Sumber Daya
Alam. Tidak ada peraturan daerah yang mengatur mengenai hak masyarakat
atas informasi dan keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan dan
pengambilan keputusan. Tidak dapat juga dibantah bahwa kebijakan
pelimpahan wewenang perizinan pemanfaatan SDA dari pusat kepada
daerah justru meningkatkan eksploitasi SDA yang berlebihan dan tidak
memperhatikan kelestariannya. Hal ini disebabkan karena pengelolaan SDA
oleh pemerintah daerah semata-mata dalam rangka perolehan Pendapatan
Asli Daerah (PAD) dan transaksi ekonomi politik. Proses AMDAL dalam
pemberian izin pemanfaatan SDA faktanya hanyalah bersifat formalitas dan
tidak dijadikan sebagai dasar yang objektive dalam pengambilan keputusan.
Pemberian
izin
pemanfaatan
SDA
seringkali
lebih
menguntungkan
40
partai politik. Klaim partai politik bahwa jika pencalonan dilakukan hanya
melalui partai politik akan memperkuat kelembagaan partai politik dalam
prakteknya juga tidak menjadi kenyataan (Prasojo, 2005:101). Yang terjadi
adalah praktek jual beli perahu partai politik dalam proses pencalonan
kepala daerah. Sedangkan masyarakat dipaksa untuk memilih calon yang
telah dipilih oleh parpol tanpa proses penjaringan yang partisipatif.
Meskipun
demikian,
praktek
penyelenggaraan
pemerintahan
daerah
bangga
dengan
program-program
yang
telah
memberikan
41
paling
tidak
memuat
pemikiran
ulang
mengenai
tingkatan
tingkatan
pemerintahan;
partisipasi
perimbangan keuangan
daerah
dalam
pembuatan
42
Untersuchungen
ber
das
Wesen
des
Fderalismus
diesen
fast
Seperti telah menjadi pemahaman umum, bahwa pusat dalam negara federal
adalah struktur bentukan negara-negara bagian. Kewenangan yang dimiliki
oleh pusat lazimnnya merupakan kewenangan yang diserahkan dalam
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
43
konstitusi federal (Prasojo, 2005:105). Dalam hal ini terdapat dua kelaziman
cara untuk memberikan kewenangan kepada struktur federal yang terbentuk.
Pertama, konstitusi mengatur secara detail kewenangan yang dimiliki oleh
pusat (federal). Kewenangan tersebut dapat berupa kewenangan mengatur
dan kewenangan mengurus. Kewenangan yang tidak diatur dalam konstitusi
sebagai kewenangan pusat, dengan sendirinya merupakan kewenangan
negara bagian. Prinsip inilah yang dikenal dengan kewenangan sisa untuk
negara bagian (residu of powers to state). Diantara negara-negara federal
yang menganut prinsip residu of powers to state adalah USA, Jerman, Swiss
dan Austria. Cara kedua dengan menetapkan di dalam konstitusi federal
kewenangan yang dimiliki oleh negara bagian, sedangkan sisanya dimiliki
oleh pusat. Penetapan kewenangan sisa semacam ini disebut dengan residu
of powers to federal. Negara yang menganut cara kedua ini adalah Kanada
dan India.
Dalam teori dan praktek hubungan pusat dan daerah di kebanyakan negara
federal, kekuasaan dan kewenangan pusat tidak hanya berasal dari konstitusi,
melainkan juga dari interpretasi dan komentar terhadap konstitusi yang
diberikan oleh Hakim Mahkamah Konstitusi. Sekedar menyebut contoh
kewenangan pusat yang lahir dari interpretasi dan komentar terhadap
konstitusi adalah implied powers dan necessary and proper clause di
Amerika Serikat, dan stillschweigende Kompetenzen kraft Natur der Sache
dan kraft Zusammenhang di Jerman. Kekuasaan inilah yang menyebabkan
terjadinya kecenderungan sentralisasi di negara-negara federal (Prasojo,
2003:403).
44
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
45
oleh
pusat
kepada
negara
bagian
terhadap
pelaksanaan
kewenangan atau urusan yang dimiliki oleh negara bagian. Tidak saja dalam
keadaan darurat bencana, tetapi juga keadaan normal dimana negara bagian
tidak mampu melaksanakan kewenangan yang dimiliki.
46
bagian dan negara bagian yang bersangkutan juga sangat variatif. Para
senator di Amerika Serikat dipilih secara langsung oleh rakyat negara bagian
dan tidak memiliki keterikatan politik secara formal dengan eksekutif dan
legislatif di negara bagian dalam keputusan politiknya di Senat. Di Jerman
sebaliknya, anggota Bundesrat terdiri dari kepala dan anggota-anggota
pemerintahan negara bagian (Lnder) dan keputusan politik setiap anggota
adalah terikat dengan keputusan pemerintah negara bagian. Dalam kasus
federal Swiss, disamping melalui sistem dua kamar, negara bagian juga dapat
mempengaruhi keputusan politik dan undang-undang nasional lainnya melalui
institusi demokrasi langsung (Stndemehr dan referendum). Juga dalam hal
pemberian suara, terdapat variasi antara Senat di USA dan Bundesrat di
Jerman. Setiap senator memiliki satu suara dan dapat berbeda dengan
senator lainnya dari negara bagian yang sama. Sedangkan anggota
Bundesrat tidak memiliki hak suara individu karena setiap negara bagian
hanya dihitung satu suara dan harus diberikan secara sama. Terlepas dari
sistem pemilihan dan keterikatan politik anggotanya, sistem dua kamar
merupakan elemen sentral keterlibatan negara bagian dalam proses
pembuatan undang-undang nasional (Bothe, Berlin, 1977:84). Sistem
parlemen dua kamar telah diadopsi di Indonesia dengan kewenangan yang
bersifat konsultatif.
47
Dalam negara berstruktur federal yang lain, beberapa pajak potensial seperti
pajak pertambahan nilai, pajak penghasilan dan pajak penjualan dipungut
oleh negara pusat dan hasilnya dibagi secara bersama antara pusat, negara
bagian dan municipal. Konstitusi atau Undang-Undang menetapkan besarnya
bagi hasil pajak-pajak tersebut. Jika karena alasan-alasan tertentu parlemen
telah bersepakat, maka besarnya prosentase bagi hasil dapat direvisi. Di
Jerman misalnya, prosentasi bagi hasil Pajak Penghasilan adalah 42,5%
Pusat, 42,5% Negara Bagian dan 15% Kommune. Sedangkan pajak
pertambahan nilai dibagi 50,5% pusat dan 49,5% negara bagian. Disamping
pembagian secara terpisah dan bagi hasil, sistem federal Jerman juga
menganut perimbangan keuangan horizontal antara negara bagian kaya
kepada negara bagian miskin.
Akan halnya konstruksi ulang hubungan antara pusat dan daerah pada masa
yang akan datang, diusulkanlah pemikiran-pemikiran berikut agar dapat
dijadikan sebagai pertimbangan dalam menyusun grand design hubungan
tersebut.
48
kedudukannya.
dan
koordinasi
penyelenggaraan
pemerintahan
dan
problem-problem
penyelenggaraan
pemerintahan
daerah
berhenti dan dapat diselesaikan di tingkat Propinsi. Pada sisi lainnya batasLaporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
49
Salah satu perubahan besar konstruksi hubungan antara Pusat dan Daerah
berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 dan juga UU 32 No. 32 tahun 2004
dibandingkan dengan Undang-Undang sebelumnya adalah dianutnya prinsip
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
50
Salah satu masalah yang dihadapi dalam implementasi otonomi daerah yang
berakar dari konstruksi hubungan antara Pusat dan Daerah adalah
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
51
diberikan
Undang-Undang.
Bagi
daerah,
inkonsistensi
ini
nasional
dilakukan
oleh
pusat.
Sedangkan
Propinsi
dan
52
sebagaimana
yang
dianut
pada
saat
ini,
cenderung
kemandirian
daerah
dalam
menyelenggarakan
hubungan
keuangan
antara
pusat
dan
daerah.
Dan
ketiga,
53
Kelima,
perlunya
mempertegas
dan
memperjelas
ketentuan
Penutup
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
54
Pada sisi lainnya, kekuasaan yang dimiliki oleh DPD hanya terbatas pada
produk
Undang-undang
yang
memiliki
keterkaitan
langsung
dengan
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
55
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
atas
pertimbangan-pertimbangan
rasional
akademis
untuk
mekanisme dan
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
56
proses timbal balik dalam hal pembagian dan penyerahan wewenang atas
dasar prinsip kepemerintahan yang baik. Tata Hubungan wilayah adalah
mekanisme dan proses timbal balik dalam hal wilayah pemerintahan atas
dasar prinsip kepemerintahan yang Baik. Tata Hubungan jabatan adalah
mekanisme dan proses timbal balik dalam hal jabatan berdasarkan prinsip
kepemerintahan yang baik.
Saran
masukan-masukan
materi
yang
lebih
memadai
dan
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
57
DAFTAR KEPUSTAKAAN
des
modernen
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
58
59
Laporan Akhir:
Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
60
URAIAN
TAHUN
TENTANG
HUBUNGAN KEWENANGAN ANTARA PEMERINTAH DAN
PEMERINTAHAN DAERAH
SERTA ANTAR PEMERINTAHAN DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang:
a.
PENJELASAN
ATAS
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ......TAHUN.....
TENTANG
HUBUNGAN KEWENANGAN ANTARA PEMERINTAH DAN
PEMERINTAHAN DAERAH
SERTA ANTAR PEMERINTAHAN DAERAH
I. PENJELASAN UMUM
1. Dasar Pemikiran
sistem
dari
pelaksanaannya
Negara
harus
Kesatuan
Republik
memperhatikan
Indonesia
peraturan
yang
Menurut pasal 1 dan pasal 18 (A), (B), (C), (D) UUD 1945, Indonesia
perundang-
tentang
Hubungan
Kewenangan
Pemerintah
unity.
dan
Dalam sebuah negara kesatuan, pelaksanaan desentralisasi sesungguhnya
dapat merupakan pengalihan atau pelimpahan wewenang pemerintah
secara
teritorial
atau
fungsional.
Desentralisasi
teritorial
atau
lokal
untuk
mengatur
dan
mengurus
kepentingan-
berarti
pelimpahan
wewenang
dari
Pemerintah
kepada
harus
mengintegrasikan
kembali
(how
to
reintegrated).
daerah
dalam
Negara
kesatuan
Republik
Indonesia
kesatuan
Republik
Indonesia;
(c)
tuntutan
globalisasi
Frasa
dengan
diatur
memperhatikan
dengan
kekhususan
Undang-undang
dan
secara
keragaman
eksplisit
bukan berada di dalam sebuah produk hukum lain tetapi justru secara
khusus harus disusun sebuah UU akan hal itu. Sandaran legalitas dari
pasal tersebut sangatlah kuat untuk kita menyusun sebuah UU.
Mengingat:
1.
Pasal 1, 18, 18 A dan 18 B, 20 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945;
2.
3.
antara
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG HUBUNGAN
KEWENANGAN ANTARA PEMERINTAH DAN
PEMERINTAHAN DAERAH DAN ANTAR
PEMERINTAHAN DAERAH
BAB I
BAB I
KETENTUAN UMUM
KETENTUAN UMUM
Bagian Pertama
Bagian Pertama
Pengertian
Pengertian
Pasal 1
Pasal 1
1.
dan/atau
kabupaten/kota
desa,
dari
dan/atau
pemerintah
desa
serta
provinsi
dari
kepada
pemerintah
Dewan
Kabupaten/Kota
Perwakilan
dan
Rakyat
perangkat
Daerah
daerah
Provinsi
sebagai
atau
unsur
Bagian Ketiga
Azas-azas
Pasal 3
Undang-undang ini disusun berdasarkan azas kepercayaan, penghormatan,
pengakuan, dan tata kepemerintahan yang baik, serta keserasian dan
keharmonisan hubungan antar lembaga pemerintahan.
Bagian Keempat
Ruang Lingkup
Pasal 4
Undang-Undang ini mengatur hubungan kewenangan antara pemerintah dan
pemerintahan daerah yang meliputi distribusi kewenangan, hubungan
organisasi,
kepegawaian,
hubungan
wilayah,
hubungan
dan
keuangan,
hubungan
jabatan,
hubungan
hubungan
pelaporan
dan
BAB II
BAB II
PENYELENGGARAAN URUSAN
PENYELENGGARAAN URUSAN
Pasal 5
Pasal 5
10
(3) Urusan
Pemerintah
Provinsi
meliputi
urusan
perencanaan,
11
situasi
dan
kondisi
masyarakat
setempat.
Urusan
yang
Cukup Jelas
Pasal 6
Cukup Jelas
(2) Kriteria dan tata cara pengembalian urusan pada ayat (1) diatur
Pasal 7
12
(b)
(4) Kriteria dan tata cara penarikan urusan pada ayat (3) diatur oleh
Peraturan Pemerintah
Pasal 8
Pasal 8
melaksanakan.
Pasal 9
Kewenangan mengatur sebagai dimaksud dalam pasal 8 terdiri atas:
Pasal 9
Cukup Jelas
13
Pasal 10
(1)
Jika
tidak,
maka
Pemerintahan
Daerah
harus
melaksanakan norma hukum yang diatur dalam peraturan perundangundangan yang dibuat oleh pemerintah.
(2) Jika suatu urusan belum diatur oleh suatu peraturan perundang-
belum menggunakan kewenangan tersebut baik melalui UndangUndang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Keputusan
Daerah
berwenang
mengatur
urusan-urusan
(4) Kewenangan mengatur ini dapat dimiliki oleh pemerintahan daerah jika
suatu Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah secara eksplisit
menyerahkan kewenangan tersebut.
14
Pasal 11
Pasal 11
Cukup Jelas
terdiri atas:
(1) Kewenangan mengurus oleh Pemerintah dalam rangka sentralisasi;
(2) Kewenangan mengurus oleh Pemerintahan Daerah berdasarkan asas
desentralisasi;
(3) Kewenangan mengurus oleh pemerintahan daerah berdasarkan asas
dekonsentrasi;
(4) Kewenangan mengurus oleh pemerintahan daerah berdasarkan asas
tugas pembantuan;
(5) Kewenangan mengurus oleh instansi pemerintah berdasarkan asas
dekonsentrasi.
Pasal 12
(1) Pembagian
urusan
pemerintahan
Pasal 12
berdasarkan
kewenangan
15
Pasal 13
(1)
(2)
(3)
Pemerintah
melakukan
pengawasan
terhadap
tujuan
dan
(3)
(4)
16
desentralisasi
pemerintah
dapat
membatalkan
peraturan
(5)
(6)
(7)
Pasal 14
Pasal 14
(1)
pemerintahan
daerah
menetapkan
perangkat
17
pemerintah
daerah
melaksanakan
petunjuk
yang
(6) Pelaksanaan
urusan
pemerintahan
oleh
pemerintahan
(7) Dalam
hal
urusan
pemerintahan
berdasarkan
azas
tugas
18
Pasal 15
(1)
Departemen/Lembaga
Pemerintah
Non
(2)
urusan
Instansi
koordinasi
vertikal
dengan
bersangkutan.
di
daerah
perangkat
yang
melaksanakan
pemerintahan
daerah
yang
(3) C k
J l
19
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
meliputi
kesesuaian
hukum
dan
tujuan
20
penyelenggaraan urusan.
(9)
Pasal 16
Pasal 17
(1) Dalam
Penyelenggaraan
urusan
BAB III
Pasal 17
pemerintahan
daerah
setiap
21
(3) Perangkat
Pemerintah
dalam
rangka
pelaksanaan
pemerintah daerah.
(4) Dalam
penyelenggaraan
perangkat
pemerintah
urusan
propinsi
menurut
dan
azas
desentralisasi
perangkat
pemerintah
dan
sepengetahuan
perangkat
pemerintah
Kabupaten/Kota.
(5) Dalam penyelenggaraan urusan tugas pembantuan perangkat
22
Pasal 18
Perangkat sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 adalah Departemen dan
Pasal 18
Cukup Jelas
Pasal 19
(1) Setiap perangkat Pemerintah dan Pemerintahan Daerah dalam
Pasal 19
23
daerah
Propinsi
dilakukan
melalui
Departemen/Lembaga
yang
berbeda
dilakukan
sendiri
oleh
pemerintah
Pasal 20
Pasal 20
24
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku dan azasazas penyelenggaraan pemerintahan yang baik.
25
pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) bersifat mengikat masingmasing perangkat pemerintah dan pemerintahan daerah.
(1)
pada
ayat
(1)
jika
pembentukan
pemerintahan
26
BAB IV
BAB IV
Pasal 21
Pasal 21
dalam
rangka
pelaksanaan
urusan
pemerintahan
27
dengan
Kepala
Dinas
dan
lembaga
teknis
BAB V
28
Pasal 22
Pasal 22
(2) Pemerintah
menetapkan
standar
dan
norma
perekrutan,
BAB VI
BAB VI
Pasal 23
(1) Hubungan keuangan antar pemerintah dan pemerintahan daerah
Pasal 23
29
dapat meliputi:
A. pembagian sumber-sumber penerimaan pajak dan bukan pajak
secara terpisah;
B. bagi hasil sumber-sumber penerimaan pajak dan bukan pajak
antar tingkat pemerintahan;
C. perimbangan horizontal antara pemerintahan daerah kaya dan
pemerintahan daerah miskin;
D. subsidi
dan
bantuan
dari
pemerintah
pusat
kepada
pemerintahan daerah.
(3) Hubungan keuangan antara pemerintah dan pemerintahan daerah
memperhitungkan
kekuatan
keuangan
pemerintahan
30
BAB VII
BAB VII
Pasal 24
Pasal 24
(1) Bupati/Walikota
berkewajiban
memberikan
laporan
wewenangnya
kepada
Menteri
Dalam
Negeri
melalui
BAB VIII
BAB VIII
HUBUNGAN INTERVENSI
HUBUNGAN INTERVENSI
31
Pasal 25
Pasal 25
(1) Dalam keadaan tertentu dan untuk kepentingan umum, Pemerintah
dapat
melakukan
intervensi
terhadap
pelaksanaan
tugas
Pemerintahan Daerah.
(2) Pemerintah
dapat
melakukan
tindakan
eksekusi
terhadap
(4) Tindakan
represif
militer
dapat
dilakukan
hanya
dengan
BAB IX
BAB IX
32
Pasal 26
Pasal 26
(1) Di dalam wilayah sebuah daerah otonom terdapat pula wilayah
Pasal 27
(1) Wilayah-wilayah kerja sebagaimana diatur dalam pasal 26 memiliki
Pasal 27
33
Pasal 28
(1) Wilayah pemerintahan umum sebagaimana dimaksud dalam pasal 26
Pasal 28
daerah yang luasnya sebagaimana ditetapkan dalam UndangUndang pembentukan daerah otonom tersebut.
34
menyelaraskan
dan
mengkoordinasikan
seluruh
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) Gubernur melakukan upayaupaya penyelesaian dengan memperhatikan kewenangan dan fungsi
masing-masing urusan pemerintahan.
Pasal 29
(2)
35
(3)
Pasal 30
Pasal 30
Cukup Jelas
Pasal 31
pada
ayat
(1)
jika
pembentukan
pemerintahan
36
BAB X
BAB X
Pasal 32
Pasal 32
BAB XI
SANKSI
SANKSI
37
Pasal 33
Pasal 33
(1) Pemerintah berwenang memberikan sanksi kepada Pemerintahan
(2) Kriteria dan tata cara pemberikan sanksi pada ayat (1) diatur lebih
BAB XII
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 34
Pasal 34
38
BAB XIII
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 35
Pasal 35
Disahkan di Jakarta
Pada Tanggal
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal
MENTERI HUKUM DAN HAM
39