Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

Hubungan Pusat Dan Daerah Serta Pembagian Urusan


Pemerintahan
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Hukum Pemerintahan Daerah
Dosen Pengampu: Putri Eka Ramadhani, S.H, M.Hum

Disusun Oleh:
M Hafiz Ramdhani Barus 0203212039
Khoirotun Nisa Pulungan 0203212036
Selamat Sentosa Hasibuan 0203212096
Maya Novi Yanti 0203212041

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA


(SIYASAH)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarokatuh

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, hidayah, dan
karunianya berupa nikmat iman dan kesehatan sehingga kami dapat menyelesaikan
penulisan makalah. Tidak lupa sholawat beserta salam tercurahkan kepada baginda
nabi besar Muhammad SAW semoga kita dapat syafaatnya di hari akhir kelak.

Makalah yang berjudul “Hubungan Pusat Dan Daerah Serta Pembagian


Urusan Pemerintahan”. Semoga dengan adanya makalah ini dapat membantu kita
untuk menambah ilmu dan wawasan tentang Hukum pemerintahan daerah.

Dengan kerendahan hati, kami memohon maaf kepada para pembaca


apabila terdapat banyak kesalahan dalam penulisan dan kekurangan. Oleh karena
itu kami berharap kepada para pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang
bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Dalam penulisan makalah ini, kami berupaya untuk mengikuti aturan dan
kaidah penulisan makalah dengan baik, maka kami yakin penulisan makalah ini
layak dipresentasikan dalam kelas. Apabila terdapat kesalahan dalam makalah ini
kami membutuhkan masukannya untuk menjadikan makalah ini lebih baik lagi.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarokatuh.

Medan, 22 September 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii


DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
A. Latar Belakang ........................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 3
A. Sistem Rumah Tangga Formil .................................................................. 3
B. Sisten Rumah Tangga Materil .................................................................. 6
C. Sistem Rumah Tangga Nyata .................................................................... 8
D. Pembagian Urusan Pemerintahan .......................................................... 11
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 14
A. KESIMPULAN......................................................................................... 14
B. SARAN ...................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 16

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konsep hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam
negara kesatuan republik Indonesia dalam rangka otonomi yang seluas-luasnya
berdasarkan UUD 1945 adalah bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara
hukum yang berdasar sistem konstitusi maka dalam setiap tindakan hukum
mengenai konsep hubungan kewenangan antara pusat dan daerah harus dibangun
melalui peraturan perundang-undangan, di mana secara yuridis kewenangan adalah
hak dan kekuasaan pemerintah yang sah secara hukum, maka dalam konsep negara
hukum (rechstaat) segala tindakan pemerintah yang bersumber dari
kewenangannya haruslah bersandarkan pada asas legalitas. Oleh karenanya,
kewenangan yang merupakan salah satu bentuk kekuasaan memiliki legitimasi
(keabsahan), yang nantinya terhadap hubungan kewenangan tersebut memiliki
legitimate power. Dalam peraturan perundang-undangan terkait pembagian
kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah sebagaimana yang diatur dalam
UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah jelas tidak mencerminkan
otonomi luas.

Penyelenggaraan sistem pemerintahan di daerah merupakan suatu hal yang


sangat sakral karena menyangkut tatanan dan keutuhan Negara kesatuan.1
Penyelenggaraan pemerintahan dalam konsep hubungan antara pemerintah pusat
dan daerah, secara filosofis bertumpuh pada tujuan negara sebagaimana dimaksud
pada alenea ketiga dan keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Pengaturan
mengenai hubungan antara pusat dan daerah dalam tataran teoritis berkaitan dengan
pembagian kekuasaan secara horizontal dan vertikal. Pembagian kekuasaan secara
horizontal merupakan pembagian kekuasaan, dimana kekuasaan dalam suatu
negara dibagi dan diserahkan kepada cabang kekuasaan negara yakni kekuasaan

1
. Asgar, Sukitman, “Analisis Yuridis Pasal 18 UUD Tahun 1945 Junto UU Nomor 23 Tahun
2014 Tentang Pemerintahan Daerah”, Jurnal HIBUALAMO, 2 (1): 58-68 (2018), h. 61

1
eksekutif (pemerintahan), kekuasaan legislatif (parlamen) dan kekuasaan yudikatif
(badan peradilan). Sementara itu, pembagian kekuasaan secara vertikal yaitu
pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat (nasional) dan satuan pemerintahan
yang lebih rendah (pemerintah daerah).

Berangkat dari konstruksi Pasal 1 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, jelas
terlihat bahwa konsep negara kesatuan merupakan lasandan konstitusional
hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Perubahan (amandemen) terhadap
ketentuan Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B UUD 1945 (amandemen), memberikan
arah dan format baru dalam kaitan dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan
pemerintahan di daerah. Perubahan terhadap Pasal 18 UUD 1945 juga dimaksudkan
untuk lebih memperjelas pembagian daerah dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sistem Rumah Tangga Formil


Pada sistem rumah tangga formal, pembagian wewenang, tugas dan
tanggung jawab antara pusat dan daerah untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan tertentu tidak ditetapkan secara rinci. Sistem rumah tangga formal
berpangkal tolak dari prinsip bahwa tidak ada perbedaan sifat antara urusan yang
diselenggarakan pusat dan yang diselenggarakan daerah. Apa saja yang dapat
diselenggarakan oleh pusat pada dasarnya dapat pula diselenggarakan oleh daerah.
Pembagian wewenang, tugas dan tanggung jawab untuk mengatur dan mengurus
suatu urusan pemerintahan semata-mata didasarkan pada keyakinan bahwa suatu
urusan pemerintahan akan lebih baik dan berhasil kalau diurus dan diatur oleh suatu
pemerintahan tertentu, dan begitu pula sebaliknya.2

Satu-satunya pembatasan terhadap daerah adalah bahwa daerah tidak


boleh mengatur apa yang telah diatur oleh undang-undang dan atau peraturan
daerah yang lebih tinggi tingkatannya. Apabila pihak yang lebih tinggi kemudian
mengatur apa yang tadinya telah diatur oleh daerah, maka peraturan daerah yang
bersangkutan sejak itu tidak berlaku lagi.3

Sistem rumah tangga ini mempunya landasan pemikiran bahwa tidak ada
perbedaan urusan secara prinsipnya antara urusan pemerintah pusat atau urusan
pemerintah daerah. Sistem ini sudah lebih baik jika si bandingkan dengan sisitem
rumah tangga materil, karena unsur-unsur pemberian hak kemandirian dan
kebebasan daerah otonom dalam mengurus rumah tangganya sendiri. contohnya
seperti pelaksanaan ritual “balimau kasai” di kabupaten pelalawan, “bakar
tongkang” di kabupaten Rokan Hilir, “pacu jalur” di Kabupaten Kuantan singingi.

2
. Bagir Manan, Op. Cit., h. 30.
3
. Ibid.

3
Namun di dalam pelaksanaan sistem rumah tangga ini, terdapat beberapa
kendala yang dialami oleh pemerintah daerah. Yaitu antara lain:

1) Sistem rumah tangga ini menuntut pemerintah daerah agar mempunyai


inisiatif yang tinggi. Apa saja urusan penyelenggaraan pemerintah yang
bisa di laksanakan oleh pemerintah derah. Hal ini berpotensi terjadinya
perbedaan yang mencolok antara daerah yang memiliki inisiatif tinggi
dengan daerah yang memiliki inisiatif yang rendah. Dengan demikian
tingkat keegoan daerah meningkat yang tentu mengancam negara republik
indonesia dalam kerangka negara kesatuan.
2) Anggaran daerah yang terbatas untuk melaksanakan seluruh usaha
penyelenggaraan pemerintah yang sekiranya sangat efektif dan efisien jika
dilaksanakan oleh pemerintah daerah.
3) Pemerintah derah sulit untuk mengetahui urusan-urusan apa saja yang
tidak diberikan dan yang telah diberikan. Karena urusan tersebut tidak
terdapat pada legal formal yang menjadi dasar hukum usaha
penyelenggaraan pemerintah. Akibatnya pemerintah daerah tidak berani
untuk berinisiatif menyelenggarakan urusan tersebut dengan kekhawatiran
akan menyalahi tugas, wewenang dan tanggung jawabnya.4

Dalam pengertian rumah tangga formil atau sering disebut sebagai suatu
ajaran rumah tangga formil (formele hiiishoudingsleer), tidak ada perbedaan sifat
antara urusan-urusan yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat dan oleh daerah-
daerah otonom yang dapat dikerjakan oleh masyarakat hukum yang pada prinsipnya
akan dapat dilakukan oleh masyarakat hukum yang lain. Bila dilakukan pembagian
tugas, maka hal itu semata-mata didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan yang
bersifat rasional dan praktis. Artinya, pembagian itu tidak dikarenakan materi yang
diatur berbeda sifatnya, tetapi semata-mata karena keyakinan bahwa
kepentingankepentingan daerah itu dapat lebih baik dan lebih berhasil
diselenggarakan sendiri oleh setiap pemerintah daerah daripada oleh pemerintah

4
. https://www.slideshare.net/rudybochahbochah/ajaran-otonomi-daerah di akses tanggal: 22
september 2023.

4
pusat. Jadi pertimbangan efisiensilah yang menentukan pembagian tugas, dan
bukan disebabkan perbedaan sifat urusan-urusan yang menjadi tanggungan masing-
masing. Dalam ajaran ini tidak secara apriori ditetapkan hal yang termasuk rumah
tangga daerah. Justru ini dan macam urusan rumah tangga daerah sepenuhnya
tergantung atas prakarsa atau inisiatif daerah yang bersangkutan.

Dengan demikian, urusan rumah tangga daerah tidak diperinci normatif


dalam UU pembentukannya, tetapi ditentukan dalam suatu rumusan umum.
Rumusan umum hanya mengandung prinsip-prinsipnya saja, sedangkan pengaturan
lebih lanjut diserahkan kepada prakarsa daerah bersangkutan. Batas-batas
pelaksanaan urusan juga tidak ditentukan, tergantung kepada kedaan, waktu, dan
tempat.

Dari batasan konsep “rumah tangga formil” bisa dilihat bahwa pemerintah
daerah dapat lebih leluasa untuk bergerak, seperti dinyatakan oleh Koswara
Kertapraja (2010;19), bahwa; “dari batasan tentang konsep rumah tangga formil
tersebut bisa dilihat bahwa unsur dari pemerintah daerah akan dapat lebih leluasa
untuk bergerak(vrieje taak) dan berinovasi untuk mengambil inisiatif, melihat
alternatif, dan mengambil keputusan dalam segala hal bidang yang menyangkut
kepentingan daerahnya. Walaupun keleluasaan (discretion) pemerintah daerah
dalam sistem rumah tangga formil lebih besar, tetap ada pembatasan, yakni dalam
bentuk:

1) Pemerintah daerah hanya boleh mengatur urusan sepanjang urusan itu


tidak atau belum diatur dengan peraturan perundang-undangan atau
peraturan daerah yang lebih tinggi tingkatannya.
2) Bila suatu negara atau daerah yang lebih tinggi tingkatannya kemudian
diberikan kewenangan mengatur sesuatu urusan yang semula diatur oleh
daerah yang lebih rendah, peraturan daerah yang lebih rendah tersebut
selanjutnya dinyatakan tidak berlaku lagi.

Secara positif sistem rumah tangga formil sudah memenuhi kriteria


keleluasaan berprakarsa bagi daerah untuk mengembangkan otonomi daerahnya.

5
Dilain pihak, sistem ini tidak atau kurang memberi kesempatan kepada pemerintah
pusat untuk mengambil berbagai inisistif guna menyerasikan dan menyeimbangkan
pertumbuhan dan kemajuan antara daerah yang kondisi dan potensinya tidak sama.
Pemerintah pusat membiarkan setiap daerah berinisiatif sendiri, tanpa melihat
kondisi dan potensi riil daerah masing-masing.

Bagi daerah yang kondisi dan potensinya menguntungkan, keleluasaan dan


inisiatif daerah akan mendorong pertumbuhan dan perkembangan yang lebih cepat.
Sebaliknya, bagi daerah yang kondisi dan potensinya kurang menguntungkan
(minus, miskin, terpencil dan lain sebagainya), keleluasaan dan prakarsa daerah
tidak mampu mengimbangi pusat untuk pemerataan dan memeihara keseimbangan
laju pertumbuhan antar daerah, dipandang perlu.5

B. Sisten Rumah Tangga Materil


Dalam sistem rumah tangga material ada pembagian wewenang tugas dan
tanggung jawab yang rinci antara pusat dan daerah. Urusan pemerintahan yang
termasuk ke dalam urusan rumah tangga daerah ditetapkan dengan pasti. Sistem
rumah tangga material berpangkal tolak ada pemikiran bahwa memang ada
perbedaan mendasar antara urusan pemerintahan pusat dan daerah. Daerah
dianggap memang memiliki ruang lingkup urusan pemerintahan tersendiri yang
secara material berbeda dengan urusan pemerintahan yang diatur dan diurus oleh
pemerintah pusat.6

Ajaran rumah tangga materiil (materiele huishoudingsleer) merupakan


penyerahan urusan rumah tangga daerah dimana antara pemerintah pusat dan
daerah terdapat pembagian tugas yang diperinci secara tegas di dalam undang-
undang pembentukannya. Kewenangan setiap daerah meliputi tugas-tugas yang
ditentukan satu per satu. Oleh karena itu, apa yang tidak tercantum dalam rincian
tersebut tidak termasuk dalam urusan rumah tangga daerah. Daerah tidak
mempunyai kewenangan untuk mengatur kegiatan di luar yang sudah diperinci atau

5
. Rahyunir Rauf, Asas Penyelenggaraan Pemerintah Daerah, (Pekanbaru: Zanafa
publishing, 2018), h. 135-137.
6
. Op.Cit., Ni’matul Huda, h 87.

6
ditetapkan. Dalam pola rumah tangga ini, isi atau luas otonomi bagi daerah
mungkin sangat terbatas. Daerah yang bersangkutan tidak dapat melakukan sesuatu
yang tidak diatur dalam undang-undang pembentukan daerahnya.7

Dalam sistem rumah tangga material ada pembagian wewenang, tugas dan
tanggung jawab yang rinci antara pusat dan daerah, urusan pemerintahan yang
termasuk ke dalam rumah tangga daerah ditetapkan dengan pasti. Sistem rumah
tangga material ini pada dasarnya berpangkal tolak pada pemikiran yang kurang
tepat yaitu anggapan bahwa urusan pemerintahan itu dapat dipilah-pilah,
dikarenakan banyak urusan pemerintahan menampakan sifat atau karakter ganda.
Hal ini juga dikarenakan sistem rumah tangga material tidak memberikan peluang
untuk secara cepat menyesuaikan suatu urusan pemerintahan dengan perubahan-
perubahan yang terjadi. Dari analisis Bagir Manan menyimpulkan bahwa sistem
rumah tangga material tidak dapat dijadikan patokan objektif untuk menciptakan
hubungan yang serasi antara pusat dan daerah.8

Apa yang tidak tercantum di dalam perincian maka tidak termasuk rumah
tangga daerah, melainkan tetap berada dalam tangan pemerintah pusat. Dengan
perkataan lain di sini secara priori ditetapkan apa yang termasuk rumah tangga
daerah Ratio daripada pembagian tugas itu didasarkan dalam suatu keyakinan,
bahwa ada perbedaan tugas yang asasi dalam menjalankan usaha-usaha memajukan
kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat antara negara dan daerah-daerah
otonomi yang lebih kecil. 9 Daerah daerah otonom sebagai masyarakat hukum yang
lebih kecil mempunyai urusan-urusan sendiri yang secara prinsipil berbeda dari
negara sebagai masyarakat yang lebih besar dan berada di atasnya. Negara dan
daerah-daerah otonom itu masing-masing mempunyai urusan-urusan sendiri yang
spesifik. Di sini yang berbeda adalah materi yang menjadi objek pengurusan dan
pengaturan dari masing-masing masyarakat hukum itu. Karena itulah ajaran ini

7
. Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah, op. cit /h 85.
8
. Kertapradja, Koswara,. Otonomi Daerah Untuk Demokrasi & Kemandiri Rakyat, Candi
Cipta Paramuda, Bandung, (2002), h. 73
9
. Rohmat Sumitro. Peraturan Peraturan Peeundang Undangan Tentang Peraturan
Pemerintahan Daerah Tahun 1945-1983 . (Jakarta-Bandung, PT. Eresco-Tarate, 1983), h. 32

7
disebut ajaran rumah tangga material. Apabila otonomi daerah menurut paham ini
kita tinjau, maka isi rumah tangga itu bersifat terbatas sekali. Daerah otonom tidak
dapat melakukan suatu yang tidak tersebut dalam undang-undang pembentukannya,
sehingga segala langkah kerja dari daerah itu tidak dapat keluar dari ketentuan-
ketentuan undang-undang tadi. Dengan demikian daerah tidak dapat leluasa
bergerak dan mengembangkan inisiatifnya. 10

C. Sistem Rumah Tangga Nyata


Dalam sistem ini, penyerahan urusan atau tugas dan kewenangan kepada
daerah didasarkan pada faktor yang nyata atau riil, sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuan yang riil dari daerah maupun pemerintah pusat serta pertumbuhan
kehidupan masyarakat yang terjadi.11 Sistem rumah tangga ini lazim pula disebut
(sistem) otonomi nyata atau otonomi riil. Disebut “nyata”, karena isi rumah tangga
daerah didasarkan kepada keadaan dan faktor-faktor yang nyata. Tresna menyebut
sistem ini mengambil jalan tengah.12

Melalui sistem rumah tangga formal yang disertai dengan unsur-unsur


sistem rumah tangga material maka otonomi dianggap dapat diwujudkan secara
wajar. Dari ciri-ciri di atas maka tidaklah berlebih-lebihan kalau dikatakan bahwa
sistem rumah tangga nyata memang mencerminkan sistem tersendiri yang berbeda
dari sistem rumah tangga formal dan sistem rumah tangga material. Sebagai jalan
tengah, sistem rumah tangga nyata diharapkan dapat mengatasi kesulitan atau
kelemahan yang terkandung dalam sistem rumah tangga formal dan sistem rumah
tangga material.

Pada Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5) UUD 1945 dinyatakan pemerintahan
daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, dan diberikan otonomi yang seluas-
luasnya. Jimly Asshiddiqie mengatakan struktur pemerintahan berdasarkan pasal

10
. Bagir Manan Pajajaran. Majalah Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Jilid V no.3 1974,
h. 39.
11
. Op.Cit., Ni’matul Huda, h. 17.
12
. Op.Cit., Bagir Manan, Hubungan Pusat Daerah…, h. 30

8
tersebut terdiri atas tiga tingkatan yang masing-masing memiliki otonominya
sendiri-sendiri, yaitu pemerintah pusat, provinsi, dan kota atau kabupaten.
Akibatnya, agar sistem pemerintahan yang efektif dapat bekerja, namun menjadi
sulit terkonsolidasi karena masing-masing unit organisasi pemerintahan di setiap
angkatan bersifat otonom.13

Dalam rangka mewujudkan pembagian kewenangan yang concurrent


penyelenggara negara secara proporsional telah menyusun secara rinci/rigid antara
pemerintah, daerah provinsi, dan daerah kota atau kabupaten berdasarkan prinsip
akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas, serta kepentingan strategis nasional.
Melalui tugas fungsi dan wewenang dari hubungan antara pemerintah pusat dengan
daerah, dapat diketahui bahwa:

1) Indonesia sebagai negara kesatuan penganut konsepsi kesejahteraan akan


kesulitan melaksanakan urusan yang berada di luar kompetensi negara
terutama persoalan yang bersifat lokalitas (local wisdom) yang
membutuhkan penanganan serius dan berbeda-beda antar daerah satu
dengan yang lainnya
2) Terdapat ketidak konsistenan pengaturan hubungan kewenangan antara
pusat dan daerah. Pasal 18 ayat (5) UUD menghendaki pemerintahan
daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan lain yang
ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat. Pasal 9 UU Pemda 2014
melakukan penyeragaman secara rinci menurut sistem rumah tangga
material urusan kewenangan antara pusat, provinsi dan kabupaten kota
3) Menurut teori perundangan, bila membandingkan substansi yang
dikehendaki Pasal 18 UUD 1945 dan UU Pemda 2014, maka dapat
dikatakan telah terjadi pertentangan antara substansi pengaturan baik yang
dikehendaki oleh undang-undang dasar dengan undang-undang
pemerintahan daerah. Hal ini dapat berpotensi memicu gugatan ke
Mahkamah Konstitusi

13
. Jimly Asshiddiqie, Komentar atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 57.

9
4) Pembagian kewenangan pusat dan daerah menurut UU Pemda 2014
dengan pola penyeragaman kewenangan. Padahal, pasal 18A UUD 1945
menghendaki agar memperhatikan kekhususan daerah atau keistimewaan
yang terdapat di masing-masing daerah dan keragaman antar daerah yang
satu dengan daerah lain. Disinilah pemerintah menggunakan asas
sentralisasi dengan wajah dekonsentrasi, sehingga pemerintah memiliki
kewenangan luas melaksanakan isu strategis nasional di daerah. Akhirnya,
sistem rumah tanggal formal dan nyata (riil) pun ditanggalkan
5) Hubungan pusat dan daerah tidak memperhatikan: a) hak-hak masyarakat
daerah untuk turut secara bebas dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah sesuai dengan dasar kerakyatan sebagaimana sila keempat
Pancasila; b) Hak-hak rakyat daerah untuk berinisiatif atau berprakarsa
mengatur dan mengurus urusan-urusan yang dianggap penting; c)
memperhatikan local wisdom; dan d) mengurangi keadilan dan
kesejahteraan sosial di daerah
6) Dari aspek manajemen pemerintahan, penyelenggaraan pemerintahan
bukan hanya sebatas pada tercapainya efisiensi atau efektivitas
pemerintahan, tetapi juga harus mengedepankan aspek pemerataan
pembangunan. Penumpukan anggaran di pusat dan distribusi anggarannya
harus dievaluasi dan diarahkan pada pencapaian pemerataan
pembangunan.
7) Pemerintah pusat dan provinsi diberikan kewenangan besar untuk
mengawasi kota atau kabupaten. Provinsi yang sebelumnya lemah dan
terbatas diperkuat dengan penambahan fungsi dan kewenangan kepada
gubernur. Hal inilah yang kemudian memicu ketidak berdayaan kota atau
kabupaten. Seharusnya, pemerintah provinsi diarahkan pada peran,
koordinasi, fasilitatif, insentif, dan pemberdayaan bukan melakukan peran

10
secara langsung khususnya dalam pemberian pelayanan publik dan
pembangunan, kecuali untuk yang sifatnya lintas kota atau kabupaten.14

D. Pembagian Urusan Pemerintahan


Pembagian kewenangan dalam hubungan pusat dan daerah adalah
menyangkut pembagian urusan rumah tangga atau dalam bahasa peraturan
perundangan disebut dengan urusan pemerintahan. Menurut Ni’matul Huda, pada
hakikatnya urusan pemerintahan terbagi dalam dua kelompok. Pertama, urusan
pemerintahan yang sepenuhnya diselenggarakan oleh pemerintah tanpa asas
desentralisasi. Berbagai urusan pemerintahan tersebut secara eksklusif menjadi
wewenang pemerintah, baik pemerintah negara kesatuan maupun pemerintah
negara federal. Sejumlah urusan pemerintahan.

Dalam perspektif hukum, wewenang sekaligus hak dan kewajiban (rechten


en plichten). Dalam kaitannya dengan otonomi daerah, hak mengandung pengertian
kekuasaan yang mengatur sendiri (selfregelen) dan mengelola sendiri
(selfbesturen). 15 Sedangkan kewajiban memunyai dua pengertian yakni horizontal
dan vertikal. Secara horizontal berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan
pemerintahan sebagaimana mestinya sedangkan wewenang dalam pengertian
vertikal berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam suatu tertib
ikatan pemerintah negara secara keseluruhan.16

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya diatas, bahwa pembagian


kekuasaan secara horizontal dan pembagian kekuasaan secara vertikal, dalam
konsep negara kesatuan memberikan kosekuensi penyerahan urusan pemerintahan.
Salah satu permasalahan yang mendasar adalah pendelegasian kewenangan kepada
pemerintah daerah serta seberapa besar kewenangan yang dilimpahkan atau
diserahkan kepada daerah dalam mengurus dan mengatur pelaksanaan
pemerintahan di daerah.

14
. Jimly Asshiddiqie, Komentar atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 59.
15
. Muhammad Fauzan, Op.Cit., h. 79
16
. Ibid

11
Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 mengkonstruksikan klasifikasi
urusan pemerintahan sebagaimana disebutkan dalam pasal 9 ayat (1) sampai dengan
ayat (5). Sedangkan urusan pemerintahan absolut lebih lanjut dalam ketentuan pasal
10 ayat (1) dan ayat (2) Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014. Selanjutnya
mengenai urusan pemerintahan konkuren, lebih lanjut dalam ketentuan pasal 11
ayat (1) sampai ayat (3) Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014. Apabila
diperhatikan secara cermat, pola pembagian urusan pemerinintahan sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan pasal 9 ayat (2) dan pasal 10 ayat (1)

Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 adalah sama dengan pola


pembagian urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1)
dan ayat (3) Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004. Pembagian wewenang dalam
Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 dikembangkan melalui kriteria (1)
Eksternalitas; (2) Akuntabilitas;; dan (3) Efisiensi. Sementara itu, dalam Undang
Undang Nomor 23 Tahun 2014 sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan pasal 13,
disebutkan bahwa “Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara pemerintah
pusat dan daerah provinsi serta daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (3) didasarkan pada prinsip akuntabilitas, efisiensi, dan
eksternalitas, Serta kepentingan strategis nasional.

Pola pembagian urusan pemerintahan sebagaimana dikemukakan diatas,


dalam pelaksanaannya seringkali menimbulkan permasalahan (konflik) dan
kefakuman dalam proses pemerintahan. Sebaliknya apabila ditata secara baik akan
memberikan sinergi dan memberikan arah bagi penyelenggaraan pemerintahan
yang lebih baik dan berkualitas. Hal Ini didasarkan pada suatu realitas secara
empirik banyak terjadi tumpang tindih (overlapping) kewenangan yang kalau
dibiarkan dapat menimbulkan friksi dan ketegangan antar tingkatan pemerintahan
berkaitan dengan kewenangan daerah. Tiga jenis tumpang tindih tersebut yakni (a)
tumpang tindih antara kewenangan pusat dan daerah; (b) tumpang tindih antara
kewenangan propinsi dengan kabupaten/kota; dan (c) tumpang tindih antar
kewenangan kabupaten/ kota itu sendiri.

12
Penyebab utama dari berbagai tumpang tindih tersebut adalah tidak
sinkronnya antar berbagai peraturan perundangan yang mengatur masing-masing
kewenangan tersebut baik ditingkat undang-undang (UU), Peraturan Pemerintah
(PP), maupun di tingkat Keputusan Menteri (Kepmen) terkait dengan kewenangan
tersebut. Salah satunya adalah potensi konflik dalam kaitan dengan wewenang
pengelolaan sumber daya alam (SDA) di wilayah laut yang Berimplikasi pada
undang-undang sektoral lainnya yang berkaitan baik secara langsung maupun tidak
langsung dengan wewenang pengelolaan SDA oleh daerah.17

17
. Aritonang, Dinoroy Marganda. “Pola Distribusi Urusan Pemerintahan Daerah Pasca
Berlakunya Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah”, Jurnal
Legislasi Indonesia. (2016) h. 7

13
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Penyelenggaraan pemerintahan dalam konsep hubungan antara
pemerintah pusat dan daerah, secara filosofis bertumpuh pada tujuan negara
sebagaimana dimaksud pada alenea ketiga dan keempat Pembukaan UUD NRI
Tahun 1945. Pengaturan mengenai hubungan antara pusat dan daerah dalam tataran
teoritis berkaitan dengan pembagian kekuasaan secara horizontal dan vertikal.
Pembagian kekuasaan secara horizontal merupakan pembagian kekuasaan, dimana
kekuasaan dalam suatu negara dibagi dan diserahkan kepada cabang kekuasaan
negara yakni kekuasaan eksekutif (pemerintahan), kekuasaan legislatif (parlamen)
dan kekuasaan yudikatif (badan peradilan).

Otonomi itu sendiri merupakan suatu konsep yang dinamis, yang senantisa
mengikuti dan mengalami perkembangan sejalan dengan perkembangan pemikiran
yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.Terlepas dari pengaruh politik
dengan mempertimbangkan keanekaragaman suku, ras, budaya, dan adat istiadat
menjadi hal yang mendasari dilaksanakannya otonomi yang seluas-luasnya yang
berdiri pada prinsip semua urusan pemerintahan menjadi urusan rumah tangga
daerah kecuali yang ditentukan oleh undang-undang. Sejalan dengan hal tersebut
asas desentralisasi menjadi pondasi dari banguan hubungan kewenangan antara
pemerintah pusat dan daerah, asas ini berfungsi untuk dapat menciptakan
keanekaragaman dalam penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan kondisi dan
potensi masyarakat. Selain dari konsep desentralisasi ada pula konsep
dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Dianutnya asas desentralisasi dalam negara
tidak berarti ditinggalkannya asas sentralisasi, karena kedua asas tersebut tidak
bersifat dikotomis, melainkan kontinum. Pada prinsipnya, tidaklah mungkin
diselenggarakan desentralisasi tanpa sentralisasi. Sebab desentralisasi tanpa
sentralisasi akan menghadirkan disintegrasi.

Terkait pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah


sebagaimana yang diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 jelas tidak mencerminkan

14
otonomi luas. Hal ini disebabkan; Pertama, Undang-Undang Pemda yang baru tidak
menerapkan residual function atau prinsip sisa yang benar-benar memberikan
kewenangan otonomi yang sangat luas (general competence). Residual function
adalah sistem pembagian kewenangan yang dianut dalam regulasi terdahulu yakni
UU No. 22 Tahun 1999.

Sejak UU No. 32 tahun 2004 sistem residual function mulai ditinggalkan


dan berganti menjadi concurrence function, di mana selain urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan pusat, juga terdapat urusan konkuren yang di-share
secara berimbang antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah
kabupaten/kota. Sistem ini dianut kembali di dalam UU Nomor 23 Tahun 2014,
bahkan dari rumusan yang ada, pengaturannya jauh lebih rinci daripada undang-
undang sebelumnya. Selain itu, terdapat pula ketentuan agar setiap kebijakan
konkuren daerah mesti mengikuti norma, pedoman, standar, dan kriteria yang
ditentukan pusat. Hal ini tentu merupakan bentuk pembatasan otonomi. Maka
dapatlah kita katakan bahwa konsep hubungan kewenangan pusat dan daerah di
dalam UU No. 23 Tahun 2014 menganut prinsip otonomi terbatas.

B. SARAN
Dengan dibuatnya makalah ini kami berharap agar kita dapat lebih
mengerti dan memahami tentang Hubungan Pusat Dan Daerah Serta Pembagian
Urusan Pemerintahan dalam hukum pemerintahan daerah, karena penting bagi kita
untuk mempelajari dan mengetahuinya.

15
DAFTAR PUSTAKA

Rauf, Rahyunir. 2018. Asas Penyelenggaraan Pemerintah Daerah.


Pekanbaru: Zanafa publishing.

Sumitro, Rohmat. 1983. Peraturan Peraturan Peeundang Undangan


Tentang Peraturan Pemerintahan Daerah Tahun 1945-1983. Jakarta-Bandung:
PT. Eresco-Tarate,

Asshiddiqie, Jimly. 2013. Komentar atas Undang-Undang Dasar Negara


Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Sinar Grafika

Asgar, Sukitman. 2018. “Analisis Yuridis Pasal 18 UUD Tahun 1945


Junto UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah”, Jurnal
HIBUALAMO, 2 (1): 58-68
Aritonang, Dinoroy Marganda. 2016. “Pola Distribusi Urusan
Pemerintahan Daerah Pasca Berlakunya Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014
Tentang Pemerintahan Daerah”, Jurnal Legislasi Indonesia.

Kertapradja, Koswara. 2002. Otonomi Daerah Untuk Demokrasi &


Kemandiri Rakyat, Candi Cipta Paramuda, Bandung.

Bagir Manan Pajajaran. Majalah Hukum dan Pengetahuan Masyarakat


Jilid V no.3 1974.
Op.Cit., Ni’matul Huda.

Muhammad Fauzan, Op.Cit.

Op.Cit., Bagir Manan, Hubungan Pusat Daerah


https://www.slideshare.net/rudybochahbochah/ajaran-otonomi-daerah

16

Anda mungkin juga menyukai