Disusun Oleh:
M Hafiz Ramdhani Barus 0203212039
Khoirotun Nisa Pulungan 0203212036
Selamat Sentosa Hasibuan 0203212096
Maya Novi Yanti 0203212041
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, hidayah, dan
karunianya berupa nikmat iman dan kesehatan sehingga kami dapat menyelesaikan
penulisan makalah. Tidak lupa sholawat beserta salam tercurahkan kepada baginda
nabi besar Muhammad SAW semoga kita dapat syafaatnya di hari akhir kelak.
Dalam penulisan makalah ini, kami berupaya untuk mengikuti aturan dan
kaidah penulisan makalah dengan baik, maka kami yakin penulisan makalah ini
layak dipresentasikan dalam kelas. Apabila terdapat kesalahan dalam makalah ini
kami membutuhkan masukannya untuk menjadikan makalah ini lebih baik lagi.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konsep hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam
negara kesatuan republik Indonesia dalam rangka otonomi yang seluas-luasnya
berdasarkan UUD 1945 adalah bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara
hukum yang berdasar sistem konstitusi maka dalam setiap tindakan hukum
mengenai konsep hubungan kewenangan antara pusat dan daerah harus dibangun
melalui peraturan perundang-undangan, di mana secara yuridis kewenangan adalah
hak dan kekuasaan pemerintah yang sah secara hukum, maka dalam konsep negara
hukum (rechstaat) segala tindakan pemerintah yang bersumber dari
kewenangannya haruslah bersandarkan pada asas legalitas. Oleh karenanya,
kewenangan yang merupakan salah satu bentuk kekuasaan memiliki legitimasi
(keabsahan), yang nantinya terhadap hubungan kewenangan tersebut memiliki
legitimate power. Dalam peraturan perundang-undangan terkait pembagian
kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah sebagaimana yang diatur dalam
UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah jelas tidak mencerminkan
otonomi luas.
1
. Asgar, Sukitman, “Analisis Yuridis Pasal 18 UUD Tahun 1945 Junto UU Nomor 23 Tahun
2014 Tentang Pemerintahan Daerah”, Jurnal HIBUALAMO, 2 (1): 58-68 (2018), h. 61
1
eksekutif (pemerintahan), kekuasaan legislatif (parlamen) dan kekuasaan yudikatif
(badan peradilan). Sementara itu, pembagian kekuasaan secara vertikal yaitu
pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat (nasional) dan satuan pemerintahan
yang lebih rendah (pemerintah daerah).
Berangkat dari konstruksi Pasal 1 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, jelas
terlihat bahwa konsep negara kesatuan merupakan lasandan konstitusional
hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Perubahan (amandemen) terhadap
ketentuan Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B UUD 1945 (amandemen), memberikan
arah dan format baru dalam kaitan dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan
pemerintahan di daerah. Perubahan terhadap Pasal 18 UUD 1945 juga dimaksudkan
untuk lebih memperjelas pembagian daerah dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Sistem rumah tangga ini mempunya landasan pemikiran bahwa tidak ada
perbedaan urusan secara prinsipnya antara urusan pemerintah pusat atau urusan
pemerintah daerah. Sistem ini sudah lebih baik jika si bandingkan dengan sisitem
rumah tangga materil, karena unsur-unsur pemberian hak kemandirian dan
kebebasan daerah otonom dalam mengurus rumah tangganya sendiri. contohnya
seperti pelaksanaan ritual “balimau kasai” di kabupaten pelalawan, “bakar
tongkang” di kabupaten Rokan Hilir, “pacu jalur” di Kabupaten Kuantan singingi.
2
. Bagir Manan, Op. Cit., h. 30.
3
. Ibid.
3
Namun di dalam pelaksanaan sistem rumah tangga ini, terdapat beberapa
kendala yang dialami oleh pemerintah daerah. Yaitu antara lain:
Dalam pengertian rumah tangga formil atau sering disebut sebagai suatu
ajaran rumah tangga formil (formele hiiishoudingsleer), tidak ada perbedaan sifat
antara urusan-urusan yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat dan oleh daerah-
daerah otonom yang dapat dikerjakan oleh masyarakat hukum yang pada prinsipnya
akan dapat dilakukan oleh masyarakat hukum yang lain. Bila dilakukan pembagian
tugas, maka hal itu semata-mata didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan yang
bersifat rasional dan praktis. Artinya, pembagian itu tidak dikarenakan materi yang
diatur berbeda sifatnya, tetapi semata-mata karena keyakinan bahwa
kepentingankepentingan daerah itu dapat lebih baik dan lebih berhasil
diselenggarakan sendiri oleh setiap pemerintah daerah daripada oleh pemerintah
4
. https://www.slideshare.net/rudybochahbochah/ajaran-otonomi-daerah di akses tanggal: 22
september 2023.
4
pusat. Jadi pertimbangan efisiensilah yang menentukan pembagian tugas, dan
bukan disebabkan perbedaan sifat urusan-urusan yang menjadi tanggungan masing-
masing. Dalam ajaran ini tidak secara apriori ditetapkan hal yang termasuk rumah
tangga daerah. Justru ini dan macam urusan rumah tangga daerah sepenuhnya
tergantung atas prakarsa atau inisiatif daerah yang bersangkutan.
Dari batasan konsep “rumah tangga formil” bisa dilihat bahwa pemerintah
daerah dapat lebih leluasa untuk bergerak, seperti dinyatakan oleh Koswara
Kertapraja (2010;19), bahwa; “dari batasan tentang konsep rumah tangga formil
tersebut bisa dilihat bahwa unsur dari pemerintah daerah akan dapat lebih leluasa
untuk bergerak(vrieje taak) dan berinovasi untuk mengambil inisiatif, melihat
alternatif, dan mengambil keputusan dalam segala hal bidang yang menyangkut
kepentingan daerahnya. Walaupun keleluasaan (discretion) pemerintah daerah
dalam sistem rumah tangga formil lebih besar, tetap ada pembatasan, yakni dalam
bentuk:
5
Dilain pihak, sistem ini tidak atau kurang memberi kesempatan kepada pemerintah
pusat untuk mengambil berbagai inisistif guna menyerasikan dan menyeimbangkan
pertumbuhan dan kemajuan antara daerah yang kondisi dan potensinya tidak sama.
Pemerintah pusat membiarkan setiap daerah berinisiatif sendiri, tanpa melihat
kondisi dan potensi riil daerah masing-masing.
5
. Rahyunir Rauf, Asas Penyelenggaraan Pemerintah Daerah, (Pekanbaru: Zanafa
publishing, 2018), h. 135-137.
6
. Op.Cit., Ni’matul Huda, h 87.
6
ditetapkan. Dalam pola rumah tangga ini, isi atau luas otonomi bagi daerah
mungkin sangat terbatas. Daerah yang bersangkutan tidak dapat melakukan sesuatu
yang tidak diatur dalam undang-undang pembentukan daerahnya.7
Dalam sistem rumah tangga material ada pembagian wewenang, tugas dan
tanggung jawab yang rinci antara pusat dan daerah, urusan pemerintahan yang
termasuk ke dalam rumah tangga daerah ditetapkan dengan pasti. Sistem rumah
tangga material ini pada dasarnya berpangkal tolak pada pemikiran yang kurang
tepat yaitu anggapan bahwa urusan pemerintahan itu dapat dipilah-pilah,
dikarenakan banyak urusan pemerintahan menampakan sifat atau karakter ganda.
Hal ini juga dikarenakan sistem rumah tangga material tidak memberikan peluang
untuk secara cepat menyesuaikan suatu urusan pemerintahan dengan perubahan-
perubahan yang terjadi. Dari analisis Bagir Manan menyimpulkan bahwa sistem
rumah tangga material tidak dapat dijadikan patokan objektif untuk menciptakan
hubungan yang serasi antara pusat dan daerah.8
Apa yang tidak tercantum di dalam perincian maka tidak termasuk rumah
tangga daerah, melainkan tetap berada dalam tangan pemerintah pusat. Dengan
perkataan lain di sini secara priori ditetapkan apa yang termasuk rumah tangga
daerah Ratio daripada pembagian tugas itu didasarkan dalam suatu keyakinan,
bahwa ada perbedaan tugas yang asasi dalam menjalankan usaha-usaha memajukan
kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat antara negara dan daerah-daerah
otonomi yang lebih kecil. 9 Daerah daerah otonom sebagai masyarakat hukum yang
lebih kecil mempunyai urusan-urusan sendiri yang secara prinsipil berbeda dari
negara sebagai masyarakat yang lebih besar dan berada di atasnya. Negara dan
daerah-daerah otonom itu masing-masing mempunyai urusan-urusan sendiri yang
spesifik. Di sini yang berbeda adalah materi yang menjadi objek pengurusan dan
pengaturan dari masing-masing masyarakat hukum itu. Karena itulah ajaran ini
7
. Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah, op. cit /h 85.
8
. Kertapradja, Koswara,. Otonomi Daerah Untuk Demokrasi & Kemandiri Rakyat, Candi
Cipta Paramuda, Bandung, (2002), h. 73
9
. Rohmat Sumitro. Peraturan Peraturan Peeundang Undangan Tentang Peraturan
Pemerintahan Daerah Tahun 1945-1983 . (Jakarta-Bandung, PT. Eresco-Tarate, 1983), h. 32
7
disebut ajaran rumah tangga material. Apabila otonomi daerah menurut paham ini
kita tinjau, maka isi rumah tangga itu bersifat terbatas sekali. Daerah otonom tidak
dapat melakukan suatu yang tidak tersebut dalam undang-undang pembentukannya,
sehingga segala langkah kerja dari daerah itu tidak dapat keluar dari ketentuan-
ketentuan undang-undang tadi. Dengan demikian daerah tidak dapat leluasa
bergerak dan mengembangkan inisiatifnya. 10
Pada Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5) UUD 1945 dinyatakan pemerintahan
daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, dan diberikan otonomi yang seluas-
luasnya. Jimly Asshiddiqie mengatakan struktur pemerintahan berdasarkan pasal
10
. Bagir Manan Pajajaran. Majalah Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Jilid V no.3 1974,
h. 39.
11
. Op.Cit., Ni’matul Huda, h. 17.
12
. Op.Cit., Bagir Manan, Hubungan Pusat Daerah…, h. 30
8
tersebut terdiri atas tiga tingkatan yang masing-masing memiliki otonominya
sendiri-sendiri, yaitu pemerintah pusat, provinsi, dan kota atau kabupaten.
Akibatnya, agar sistem pemerintahan yang efektif dapat bekerja, namun menjadi
sulit terkonsolidasi karena masing-masing unit organisasi pemerintahan di setiap
angkatan bersifat otonom.13
13
. Jimly Asshiddiqie, Komentar atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 57.
9
4) Pembagian kewenangan pusat dan daerah menurut UU Pemda 2014
dengan pola penyeragaman kewenangan. Padahal, pasal 18A UUD 1945
menghendaki agar memperhatikan kekhususan daerah atau keistimewaan
yang terdapat di masing-masing daerah dan keragaman antar daerah yang
satu dengan daerah lain. Disinilah pemerintah menggunakan asas
sentralisasi dengan wajah dekonsentrasi, sehingga pemerintah memiliki
kewenangan luas melaksanakan isu strategis nasional di daerah. Akhirnya,
sistem rumah tanggal formal dan nyata (riil) pun ditanggalkan
5) Hubungan pusat dan daerah tidak memperhatikan: a) hak-hak masyarakat
daerah untuk turut secara bebas dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah sesuai dengan dasar kerakyatan sebagaimana sila keempat
Pancasila; b) Hak-hak rakyat daerah untuk berinisiatif atau berprakarsa
mengatur dan mengurus urusan-urusan yang dianggap penting; c)
memperhatikan local wisdom; dan d) mengurangi keadilan dan
kesejahteraan sosial di daerah
6) Dari aspek manajemen pemerintahan, penyelenggaraan pemerintahan
bukan hanya sebatas pada tercapainya efisiensi atau efektivitas
pemerintahan, tetapi juga harus mengedepankan aspek pemerataan
pembangunan. Penumpukan anggaran di pusat dan distribusi anggarannya
harus dievaluasi dan diarahkan pada pencapaian pemerataan
pembangunan.
7) Pemerintah pusat dan provinsi diberikan kewenangan besar untuk
mengawasi kota atau kabupaten. Provinsi yang sebelumnya lemah dan
terbatas diperkuat dengan penambahan fungsi dan kewenangan kepada
gubernur. Hal inilah yang kemudian memicu ketidak berdayaan kota atau
kabupaten. Seharusnya, pemerintah provinsi diarahkan pada peran,
koordinasi, fasilitatif, insentif, dan pemberdayaan bukan melakukan peran
10
secara langsung khususnya dalam pemberian pelayanan publik dan
pembangunan, kecuali untuk yang sifatnya lintas kota atau kabupaten.14
14
. Jimly Asshiddiqie, Komentar atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 59.
15
. Muhammad Fauzan, Op.Cit., h. 79
16
. Ibid
11
Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 mengkonstruksikan klasifikasi
urusan pemerintahan sebagaimana disebutkan dalam pasal 9 ayat (1) sampai dengan
ayat (5). Sedangkan urusan pemerintahan absolut lebih lanjut dalam ketentuan pasal
10 ayat (1) dan ayat (2) Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014. Selanjutnya
mengenai urusan pemerintahan konkuren, lebih lanjut dalam ketentuan pasal 11
ayat (1) sampai ayat (3) Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014. Apabila
diperhatikan secara cermat, pola pembagian urusan pemerinintahan sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan pasal 9 ayat (2) dan pasal 10 ayat (1)
12
Penyebab utama dari berbagai tumpang tindih tersebut adalah tidak
sinkronnya antar berbagai peraturan perundangan yang mengatur masing-masing
kewenangan tersebut baik ditingkat undang-undang (UU), Peraturan Pemerintah
(PP), maupun di tingkat Keputusan Menteri (Kepmen) terkait dengan kewenangan
tersebut. Salah satunya adalah potensi konflik dalam kaitan dengan wewenang
pengelolaan sumber daya alam (SDA) di wilayah laut yang Berimplikasi pada
undang-undang sektoral lainnya yang berkaitan baik secara langsung maupun tidak
langsung dengan wewenang pengelolaan SDA oleh daerah.17
17
. Aritonang, Dinoroy Marganda. “Pola Distribusi Urusan Pemerintahan Daerah Pasca
Berlakunya Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah”, Jurnal
Legislasi Indonesia. (2016) h. 7
13
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Penyelenggaraan pemerintahan dalam konsep hubungan antara
pemerintah pusat dan daerah, secara filosofis bertumpuh pada tujuan negara
sebagaimana dimaksud pada alenea ketiga dan keempat Pembukaan UUD NRI
Tahun 1945. Pengaturan mengenai hubungan antara pusat dan daerah dalam tataran
teoritis berkaitan dengan pembagian kekuasaan secara horizontal dan vertikal.
Pembagian kekuasaan secara horizontal merupakan pembagian kekuasaan, dimana
kekuasaan dalam suatu negara dibagi dan diserahkan kepada cabang kekuasaan
negara yakni kekuasaan eksekutif (pemerintahan), kekuasaan legislatif (parlamen)
dan kekuasaan yudikatif (badan peradilan).
Otonomi itu sendiri merupakan suatu konsep yang dinamis, yang senantisa
mengikuti dan mengalami perkembangan sejalan dengan perkembangan pemikiran
yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.Terlepas dari pengaruh politik
dengan mempertimbangkan keanekaragaman suku, ras, budaya, dan adat istiadat
menjadi hal yang mendasari dilaksanakannya otonomi yang seluas-luasnya yang
berdiri pada prinsip semua urusan pemerintahan menjadi urusan rumah tangga
daerah kecuali yang ditentukan oleh undang-undang. Sejalan dengan hal tersebut
asas desentralisasi menjadi pondasi dari banguan hubungan kewenangan antara
pemerintah pusat dan daerah, asas ini berfungsi untuk dapat menciptakan
keanekaragaman dalam penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan kondisi dan
potensi masyarakat. Selain dari konsep desentralisasi ada pula konsep
dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Dianutnya asas desentralisasi dalam negara
tidak berarti ditinggalkannya asas sentralisasi, karena kedua asas tersebut tidak
bersifat dikotomis, melainkan kontinum. Pada prinsipnya, tidaklah mungkin
diselenggarakan desentralisasi tanpa sentralisasi. Sebab desentralisasi tanpa
sentralisasi akan menghadirkan disintegrasi.
14
otonomi luas. Hal ini disebabkan; Pertama, Undang-Undang Pemda yang baru tidak
menerapkan residual function atau prinsip sisa yang benar-benar memberikan
kewenangan otonomi yang sangat luas (general competence). Residual function
adalah sistem pembagian kewenangan yang dianut dalam regulasi terdahulu yakni
UU No. 22 Tahun 1999.
B. SARAN
Dengan dibuatnya makalah ini kami berharap agar kita dapat lebih
mengerti dan memahami tentang Hubungan Pusat Dan Daerah Serta Pembagian
Urusan Pemerintahan dalam hukum pemerintahan daerah, karena penting bagi kita
untuk mempelajari dan mengetahuinya.
15
DAFTAR PUSTAKA
16