Anda di halaman 1dari 175

MANAJEMEN KEUANGAN PERUSAHAAN

Edisi 1
Dr. H. Jaja Suteja, SE., MSi.

Sanksi Pelanggaran Pasal 72


Undang-Undang Nomor 19 tahun 2002 Tentang Hak Cipta
1.

Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan


perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49
Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing
paling sedikit 1 (satu) bulan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00
(satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000 (lima miliar rupiah).

2.

Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan,


atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil
pelanggaran hak cipta atau hak terkait Sebagai dimaksud pada Ayat (1)
dipidana dengan Pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

KATA PENGANTAR
Assala mualaiku m Wr. Wb.
Tren globalisasi bisnis dan berbagai isu lokal pada saat ini telah
terdokumentasi dengan baik dalam laporan keuangan, baik dalam korporasi
besar maupun kecil, sehingga pada akhirnya berbagai kecenderungan
tersebut berpengaruh secara signifikan pada kinerja keuangan, karenanya
pemahaman atas beragam konsep manajemen keuangan, khususnya
keuangan korporasi (corporate financial management) sangat penting,
baik bagi pihak manajemen, pemerintah, mereka yang berminat dalam
manajemen keuangan perusahaan, para mahasiswa sekolah bisnis maupun
para pemerhati masalah keuangan.

Buku Manajemen Keuangan Perusahaan Edisi 1 ini hadir dengan tujuan


untuk memberikan salah satu referensi penting dalam menangani sejumlah
masalah tata kelola keuangan perusahaan. Selain itu, buku ini penting
sebagai buku referensi bagi mahasiswa bisnis yang mengambil konsentrasi
manajemen keuangan perusahaan, baik mahasiswa S1 (Sarjana), mahasiswa
S2 (Magister) maupun mahasiswa S3 (Doktoral).

Buku ini disajikan dalam format penuntun belajar agar pembaca dapat
memahami teori kuangan perusahaan secara komprehensif. Dalam buku
ini dibahas mengenai: pengertian, fungsi, dan peran manajemen keuangan,
kerangka dasar keuangan korporasi, analisis laporan keuangan, nilai waktu
uang, teori struktur modal perusahaan, kebijakan dividen perusahaan,
merger dan akuisisi.

Dalam kesempatan ini juga penulis mengucapkan terima kasih yang


sebesar-besarnya kepada Dekan Fakultas Ekonomi Unpas, Dr. H. R. Abdul
Maqin, S.E., M.P. yang telah memberikan dorongan kepada penulis agar dapat
menyelesaikan buku referensi ini tepat waktu, juga PD II FE Unpas, Dr. Atang
Hermawan, S.E., MSIE., Ak.; PD III FE Unpas, Sadikun Citra Rusmana, S.E.;
Wasito, S.E., MSIE.; dan juga kepada Dr. H. Juanim, S.E., M.Si.; Sdr. Bayu Indra
Setia, S.E., M.Si.; serta Sdr. Ardi Gunardi, S.E. yang telah membantu terbitnya
buku ini.

Akhirnya harapan penulis semoga kehadiran buku ini dapat bermanfaat,


saran dan kritik konstruktif sangat terbuka demi perbaikan buku ini pada
masa yang akan datang.

Wassala mualaiku m Wr. Wb.

Bandung, Medio April 2012


Penulis

DAFTAR ISI

1 Pengertian, Fungsi, dan Peran Manajemen Keuangan


2 Kerangka Dasar Keuangan Korporasi
3 Analisis Laporan Keuangan
4 Nilai Waktu Uang
5 Teori Struktur Modal Perusahaan
6 Kebijakan Dividen Perusahaan
7 Merger dan Akuisisi

21

39

65

75

105

123

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Pola Aliran Kas (Cash Flow) antara Perusahaan (The Firm)
dengan Pasar Keuangan (Financial Market) (5)

Gambar 1.2 Pengaruh Berbagai Ilmu terhadap Manajemen Keuangan (7)

Gambar 1.3 Hubungan Fungsi Keuangan dengan Tujuan Perusahaan (11)


Gambar 2.1 Basic Corporate Finance Framework (24)
Gambar 2.2 Contoh Komponen Neraca (27)

Gambar 2.3 Contoh Laporan Laba Rugi Perusahaan (29)


Gambar 2.4 Distribusi Aliran Kas Perusahaan (30)
Gambar 2.5 The Cost of Capital (33)

Gambar 5.1 Hubungan EBIT~EPS dalam Penentuan Pilihan Debt Equity


Financing (79)
Gambar 5.2 Target Struktur Modal Optimal (81)

Gambar 5.3 Hubungan Non Monotonic Nilai Perusahaan ~ Struktur


Modal (82)

Gambar 5.4 Hubungan antara Nilai Perusahaan dengan Tingkat Pengeluaran


Manajer dalam Bentuk Kemewahan Fasilitas (92)
Gambar 7.1 Ekspektasi Utilitas berdasarkan Expectation Theory (144)

Pengertian, Fungsi, dan Peran


Manajemen Keuangan
Jaja Suteja

Manajemen keuangan merupakan seni dan pengetahuan yang memberikan


peran penting dalam menentukan berbagai alternatif solusi mengenai
set peluang investasi dan ragam sumber pendanaan optimal yang dapat
diakses oleh perusahaan

BA B

Pengertian, Fungsi, dan Peran


Manajemen Keuangan

Setelah membaca topik ini diharapkan memahami:


1. Pengertian Manajemen Keuangan

2. Berbagai Fungsi dan Peran Manajemen Keuangan Perusahaan


3. Tujuan Manajemen Keuangan Perusahaan
. Berbagai Bentuk Organisasi Perusahaan
5. Konflik Keagenan Perusahaan
. Evolusi Teori Keuangan

A. Pengerti an Manajemen Keuangan Perusahaan

euangan merupakan bidang kajian yang sangat luas dan dinamis. Dalam
praktiknya masalah tersebut seringkali berpengaruh baik secara langsung
maupun tidak langsung terhadap sisi kehidupan setiap orang dan perusahaan
atau organisasi. Uang (money) bagi perusahaan dapat dianalogikan seperti
darah dalam suatu sistem metabolisme tubuh manusia, darah akan
memiliki fungsi dan peran yang sangat signifikan. Bayangkan, bagaimana
manusia tanpa darah atau perusahaan tanpa memiliki uang (money) satu
sen/rupiah pun, apa yang yang akan terjadi? Manusia tanpa darah pasti
akan meninggal, begitu juga dengan perusahaan, tanpa dukungan finansial

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

yang memadai akan sangat sulit untuk melakukan kegiatan bisnis sebelum
betul-betul kemudian dinyatakan mengalami financial distress atau bahkan
pailit/bangkrut. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk mengelola sumber
daya uang secara lebih profesional.

Secara umum, manajemen keuangan didefinisikan sebagai seni dan ilmu


dalam mengelola uang (the art and science of managing money). Jika kita
berbicara tentang keuangan, maka ada tiga area yang saling berkaitan, yaitu:
(i) Uang dan Pasar Modal (money and capital market), termasuk di dalamnya
pasar sekuritas dan lembaga keuangan, (ii) Investasi (investments), baik yang
dibuat oleh investor individual maupun lembaga dalam memilih portofolio
sekuritas, serta (iii) Manajemen Keuangan (financial management), yang
mencakup pembuatan keputusan keuangan dalam perusahaan.

1. Uang dan Pasar Modal (Money and Capital Market)


Setiap individu maupun perusahaan yang memiliki kelebihan (surplus)
uang atau dana dapat melakukan kegiatan investasi. Terdapat banyak ragam
sarana yang dapat dilakukan untuk berinvestasi, mulai dengan investasi
yang dilakukan pada sektor bisnis riil/nyata, sampai dengan investasi
yang dilakukan pada jenis aktiva-aktiva tidak berwujud, salah satunya
adalah berinvestasi pada pasar modal (capital market) dengan membeli
sekuritas/surat berharga yang tersedia. Sementara itu, setiap perusahaan
yang membutuhkan dana juga dapat menjual sekuritas/surat berharga
pada pasar modal.
Selain pasar modal, juga terdapat lembaga lain yang memungkinkan
pemilik dana dan pihak-pihak yang membutuhkan dana dapat bertemu,
seperti bank, perusahaan asuransi, reksa dana, dan lain-lain. Mereka
inilah yang disebut dengan lembaga keuangan (financial institution),
selanjutnya lembaga keuangan ini juga memberikan pelayanan mengenai
jasa keuangan, yaitu pemberian jasa dan produk-produk keuangan kepada
individu, perusahaan dan pemerintah.

BAB 1 Pengertian, Fungsi, dan Peran Manajemen Keuangan

2. Investasi (Investments)
Terdapat banyak alternatif pilihan bagi seseorang individu dan lembaga
atau perusahaan untuk melakukan aktivitas investasi, baik investasi pada
aktiva nyata maupun dalam sejumlah instrumen investasi berbentuk
sekuritas. Untuk dapat meningkatkan beragam pilihan investasi tersebut,
investor dapat membentuk portofolio investasi (portfolio investments).
Untuk itu dibutuhkan analis sekuritas untuk memilih investasi atau
sekuritas mana yang memberikan imbal hasil (return) tinggi. Analis dapat
bekerja sendiri maupun bergabung pada perusahaan pialang sekuritas atau
brokerage house.

3. Manajemen Keuangan (Financial Management)


Dalam sejumlah terbitan buku beberapa orang sering menyebutnya
sebagai keuangan manajerial atau managerial finance, yaitu suatu kegiatan
yang berhubungan dengan beragam fungsi dan peran serta tugas yang
harus dilakukan oleh manajer keuangan dalam perusahaan bisnis dalam
kaitannya dengan pengambilan keputusan keuangan. Manajer keuangan
adalah orang yang bertanggung jawab secara aktif dalam mengelola
keuangan pada berbagai jenis usaha atau bisnis, baik perusahaan keuangan
atau non keuangan, perusahaan perseorangan atau public, perusahaan
besar atau kecil, perusahaan yang mencari keuntungan maupun non profit
motive.
Manajer keuangan secara aktif mencari sumber-sumber dana
(source of fund) dari berbagai pihak untuk kemudian diinvestasikan
dalam berbagai kegiatan produktif (allocation of fund on producting
assets). Dari kegiatan investasi dalam aktiva produktif inilah perusahaan
diharapkan dapat memperoleh nilai tambah baik berupa keuntungan atau
kesejahteraan secara finansial (economic or financial welfares) maupun
kesejahteraan dalam bentuk lain bagi para pemegang saham perusahaan
(shareholders).

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

Total Value of the Firm


to Investors in the
Financial Markets

Total Value of
Firms Assets
B Firm invests
in assets

A Firm issues securities

Current Assets
Fixed Assets
C

Retained
cash flows

Cash flow from


firms assets

Financial markets

Short-term debt
Long-term debt
Equity shares

Dividends
and debts
payments

Government

Sumber: Ross, Westerfield, Jordan (200:15)

Gambar 1.1
Pola Aliran Kas (Cash Flow) antara Perusahaan
(The Firm) dengan Pasar Keuangan (Financial Market)

Dari Gambar 1.1 tersebut tampak pola aliran kas, mulai dari perusahaan
(the firm), untuk mendukung rencana investasi selanjutnya perusahaan
mengeluarkan atau menerbitkan surat berharga (bond or equity issue).
Uang hasil penerbitan sekuritas tersebut kemudian diinvestasikan pada
aset atau aktiva perusahaan, baik dalam bentuk current maupun fixed
assets. Utilisasi aktiva tersebut akan menciptakan aliran kas (cash flow from
firms assets). Aliran kas yang tercipta selanjutnya akan didistribusikan
oleh manajemen perusahaan berdasarkan berbagai kebijakan keuangan
(diversified financial policies), sebagian dana tersebut dikembalikan kepada
perusahaan dalam bentuk dana ditahan (retained earning) sebagian lagi
didistribusikan kepada pemilik perusahaan (owners or shareholders) dalam
bentuk dividen (dividend cash payment) atau digunakan untuk membayar
BAB 1 Pengertian, Fungsi, dan Peran Manajemen Keuangan

berbagai kewajiban yang jatuh tempo (debt due maturity). Karena


perusahaan adalah lembaga bisnis yang memanfaatkan area public terbesar,
oleh karena itu mereka juga harus membayar pajak (corporate income tax)
yang harus dibayarkan kepada pemerintah dalam rangka berkontribusi
dalam pemeliharaan sarana publik.

B. Fungsi dan Peran Manajemen Keuangan

Dalam praktiknya tidak pernah ada aktivitas bisnis (business activities)


dalam suatu organisasi laba (profit organization), khususnya perusahaan
tanpa pernah berinteraksi dengan bagian keuangan. Oleh karena itu, fungsi
manajemen keuangan dapat dijelaskan melalui peran dan fungsi dari
manajemen keuangan dalam perusahaan. Hubungan antara manajemen
keuangan dengan bidang fungsional lainnya dalam sebuah perusahaan
bisnis bersifat saling melengkapi (complementary role of managing
corporate each other). Artinya, dalam satu tata kelola perusahaan, misalnya
bidang atau bagian pemasaran (marketing department) hanya sebagai
salah satu sub sistem saja, oleh karena dengan sendirinya tidak bisa secara
sepihak memutuskan untuk melakukan strategi fungsional tertentu tanpa
memperhatikan arah kebijakan korporat, misalnya ekspansi pasar (existing
or new market expantion) karena harus memperoleh dukungan pendanaan,
sumber daya manusia dan aspek lainnya dari perusahaan. Dengan demikian,
bidang fungsional tersebut seharusnya bersinergi dan implementasi antara
kebijakan tersebut harus bersifat unified, integrated, dan comprehensive.
Begitu pula dengan bagian atau departemen lainnya, departemen
sumber daya manusia (HRM Department) dalam mengeksekusi strategi
fungsionalnya juga tidak bisa melakukannya atau memutuskan secara
sepihak, misalnya merekrut karyawan tanpa ada perencanaan dan
pengalokasian dana atau menaikkan gaji para karyawannya demi alasan
produktivitas. Dengan demikian, bidang-bidang fungsional tersebut dalam
tata kelola perusahaan sifatnya saling mendukung untuk sebuah strategi
perusahaan yang handal.

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

Dalam kaitan tersebut, manajemen keuangan perusahaan memiliki


peran yang sangat penting dalam mencari berbagai sumber pendanaan
perusahaan agar dapat menjamin bahwa rencana strategik dapat
diimplementasikan pada berbagai bidang fungsional, termasuk adanya
dukungan finansial yang memadai (available source of fund).
Berdasarkan Gambar 1.2 tampak bahwa dalam hubungannya dengan
bagian lain dalam perusahaan seperti bagian akuntansi misalnya, fungsi
keuangan untuk sejumlah besar perusahaan kecil atau small business
enterprise dilakukan juga oleh controller, sedangkan pada perusahaan
besar (large enterprise) pada umumnya bagian controller kerap dilibatkan
dalam kegiatan keuangan.
Namun demikian, tugas bagian keuangan berbeda dengan akunting.
Bagian akunting menekankan pada accrual basis bahwa pendapatan diakui pada saat penjualan (walaupun belum terjadi pembayaran) dan biaya
diakui jika sudah dikeluarkan. Bagian keuangan menekankan pada cash
basis (cash flow), yaitu pendapatan dan biaya yang benar-benar terjadi.
Gambar 1.2 berikut ini akan memberikan sebuah delinasi work flow
hubungan di antara bidang-bidang tersebut:
Keputusan Keuangan

Analisis Kelayakan Investasi


Modal Kerja
Sumber dan Biaya Modal
Penentuan Struktur Modal/
Dividen, dan lain-lain

Akuntansi, Ekonomi
Makro/Mikro, Metode
Kuantitatif, Marketing,
MSDM, dan lain-lain

Memaksimumkan
Kesejahteraan para Pemilik

Sumber: Sjahrial (200:3)

Gambar 1.2
Pengaruh Berbagai Ilmu terhadap Manajemen Keuangan

BAB 1 Pengertian, Fungsi, dan Peran Manajemen Keuangan

Dalam menjalankan fungsi dan peran tersebut, manajemen keuangan


tidak bisa lepas dari berbagai pengaruh perubahan kondisi, baik aspek
internal maupun eksternal. Aspek internal terkait perkembangan dalam
perusahaan, sementara kondisi lingkungan eksternal perusahaan ditunjuk
kan oleh perkembangan indikator ekonomi makro yang eksistensinya
relatif bersifat uncontrollable factors.
Dalam proses pembuatan keputusan keuangan (financial decision
making process), bagian akunting menekankan pengumpulan dan penyajian
data keuangan (collection and presentation of financial data), sementara itu
bagian keuangan menekankan pada evaluasi data keuangan dan membuat
keputusan berdasarkan pertimbangan imbal hasil dan risiko atau return
and risk. Bidang-bidang tersebut sangat berpengaruh terhadap manajemen
keuangan dalam merumuskan berbagai kebijakan atau keputusan keuangan.
Berbagai kebijakan/keputusan keuangan tersebut tujuan akhirnya adalah
bagaimana memaksimumkan kekayaan atau kemakmuran dari para pemilik
perusahaan (shareholders).
Tujuan memaksimumkan kemakmuran pemegang saham dapat di
tempuh dengan memaksimumkan nilai sekarang dari semua keuntungan
pemegang saham yang diharapkan akan diperoleh di masa yang akan
datang (present value of expected cash flow). Kemakmuran pemegang saham
meningkat bila harga saham yang dimilikinya juga meningkat. Harga pasar
saham yang terbentuk dipengaruhi beberapa faktor, antara lain: (i) Earning
per Share (EPS), (ii) Price Earning Ratio (PER), (iii) tingkat bunga bebas
risiko, (iv) tingkat kepastian operasi perusahaan, dan lain-lain.
Makin besar ukuran perusahaan, maka makin besar tingkat
independennya, dalam sebuah perusahaan besar bagian keuangan sering
menjadi suatu departemen yang terpisah dan mempunyai hubungan
langsung dengan pemimpin perusahaan (Chief Executive Officer) melalui
pemimpin bagian keuangan atau Chief Financial Officer. Bagian keuangan
ini membawahi treasurer dan controller. Treasurer adalah orang atau
pejabat yang bertanggung jawab terhadap kegiatan keuangan seperti: (i)
perencanaan keuangan, (ii) mencari sumber dana (iii) menginvestasikan
dana, (iv) mengelola kas, (v) mengelola kegiatan kredit, (vi) mengelola dana
pensiun, dan (vii) mengelola foreign exchange. Controller adalah akuntan


Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

kepala (chief accountant) dan bertanggung jawab atas kegiatan akunting


perusahaan seperti, corporate accounting, pengelolaan pajak, akuntansi
keuangan, dan biaya.
Kegiatan utama manajer keuangan adalah membuat keputusan investasi
dan pendanaan (financial decisions). Kegiatan ini dapat digambarkan
melalui neraca perusahaan. Di sisi kiri adalah keputusan investasi, yaitu
membuat keputusan atas aktivitas kegiatan investasi pada beragam
aktiva produktif yang dilakukan yang dicerminkan pada pemilikan harta
atau aktiva perusahaan: harta lancar/current assets maupun harta tetap/
fixed assets. Di sisi kanan adalah keputusan keuangan, yaitu menentukan
kombinasi dan jenis-jenis sumber dana yang digunakan untuk membiayai
kegiatan produktif perusahaan.

C. Tujuan Utama Perusahaan

Manajer dan pemegang saham adalah pihak yang berbeda. Setiap


kegiatan manajer harus dilakukan untuk mencapai tujuan pemiliknya. Jika
manajer dapat mencapai tujuan yang ditetapkan pemilik perusahaan, maka
manajer juga mencapai tujuan finansial dan tujuan profesionalnya.

1. Memaksimumkan Kesejahteraan Pemilik Perusahaan (Maximize


Shareholders Wealth)
Tujuan utama yang ditetapkan oleh pemilik perusahaan adalah
bagaimana memaksimumkan kesejahteraan pemegang saham (how to
maximize shareholders wealth) dari aktivitas bisnisnya saat ini yang dikelola
oleh para agen profesional (management). Pencapaian tujuan ini diukur
melalui harga saham perusahaan, jika harga saham meningkat, maka
kesajahteraan pemegang saham juga meningkat. Harga saham ini tergantung
pada timing atas return (cash flow) dan risikonya. Penetapan tujuan ini
juga berarti bahwa perusahaan harus menggunakan sumber dana berbiaya
rendah atau melakukan investasi dengan return tinggi, sehingga harga
saham akan meningkat. Dengan konsep ini, maka penilaian pendapatan
per lembar saham atau Earning per Share (EPS) menjadi penting, karena
merupakan indikator atas imbal hasil atau return (cash flow) di masa yang
akan datang dan mempengaruhi harga saham perusahaan saat ini.
BAB 1 Pengertian, Fungsi, dan Peran Manajemen Keuangan

2. Memaksimumkan Profit (Profit Maximization)


Memaksimumkan profit biasanya dilakukan untuk tujuan jangka
pendek. Dalam jangka panjang, tujuan memaksimumkan profit tidak
dapat dilakukan, karena mengabaikan: (i) timing of the return, (ii) cash
flow kepada pemegang saham, (iii) tingkat risiko yang dihadapi, dan
(iv) masalah waktu (timing).
Jika ada dua proyek yang menghasilkan EPS berbeda, maka perusahaan
harus mengambil proyek dengan EPS besar pada awal-awal tahun cash
flow. Pemegang saham menerima cash flow dalam bentuk dividen maupun
penjualan sahamnya. Jadi profit tinggi, yang berarti EPS tinggi, tidak berarti
bahwa cash flow yang diterima pemegang saham juga tinggi, karena belum
tentu Board of Directors akan memberikan dividen tinggi kepada para
pemilik perusahaan.
Tujuan maksimisasi profit biasanya mengabaikan risiko (risk avoidance),
yaitu kemungkinan kondisi di mana hasil aktual yang terjadi berbeda dari
yang diharapkan. Di lain pihak, terjadi trade-off antara return (cash flow)
dan risiko (risk bearing). Seperti yang kita ketahui bersama-sama, return
dan risk merupakan determinan harga saham, yang pada akhirnya akan
menentukan kesejahteraan pemegang saham (shareholders welfare). Cash
flow tinggi berhubungan dengan harga saham tinggi, sedangkan risiko
tinggi akan menyebabkan harga saham menjadi rendah. Berdasarkan atas
pertimbangan tersebut, maka maksimisasi profit bukan menjadi tujuan
yang ditetapkan oleh pemilik perusahaan, sehingga juga bukan merupakan
tujuan manajer keuangan.
Hubungan fungsi keuangan dengan tujuan perusahaan secara
sederhana dapat dilukiskan dalam Gambar 1.2 Tampak bahwa dari
relasional tersebut, ending destination-nya adalah how to maximize value
of the firm.
Fungsi manajemen keuangan yang direpresentasikan pada kebijakan
investasi (investment policy) dan kebijakan pendanaan atau pembelanjaan
(financing policy) akan memiliki implikasi terhadap pendapatan yang
terealisasi (realized return) dengan risiko bisnis yang dihadapi dan pada sisi
lain juga akan berpengaruh terhadap risiko keuangan. Perpaduan antara
risiko bisnis yang bersifat unik/spesifik dengan risiko yang muncul karena
10

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

manajemen perusahaan mengungkit (lever) usahanya dengan sumber


pendanaan yang berasal dari eksternal melalui utang (debt financing)
akan menghasilkan risiko total (total risk). Jumlah risiko total ini akan
berpengaruh terhadap pencapaian nilai perusahaan (value of the firm).
Gambar 1.3 hubungan fungsi keuangan dengan tujuan perusahaan.
Fungsi Keuangan

Faktor
Eksternal
Perusahaan

Risiko Bisnis

Risiko Keuangan

Keputusan
Pembelanjaan

Keputusan Dividen

Pendapatan
Risiko
Total
Pendapatan

Nilai
Perusahaan

Pendapatan

Keputusan
Investasi

Harga Pasar
Saham

Harga Pasar
Saham

Gambar 1.3
Hubungan Fungsi Keuangan dengan Tujuan Perusahaan

Bagi perusahaan terbuka (tbk.), pencapaian nilai perusahaan akan


terepresentasikan dari apresiasi pasar atau investor berupa harga saham
saat ini (current market stock price). Namun demikian, apresiasi harga
saham tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh faktor fundamental saja,
akan tetapi faktor eksternal perusahaan juga akan mempengaruhi terhadap
harga pasar yang tercipta.
Hasil sejumlah studi empiris menunjukkan bahwa faktor fundamental
mampu menjelaskan pergerakan harga saham berkisar antara 5% s.d. 27%
saja (suteja, 2010), sehingga masih tersisa banyak faktor yang berpengaruh
terhadap pergerakan harga saham suatu perusahaan emiten di suatu pasar
modal (capital market).
BAB 1 Pengertian, Fungsi, dan Peran Manajemen Keuangan

11

D. Berbagai Bentuk Organisasi Bisnis


Untuk menuju tercapainya tujuan pemilik perusahaan, maka perlu
dibentuk organisasi yang akan mampu mewadahi aspirasi atau keinginan
dari investor. Dalam praktiknya banyak organisasi bisnis yang dapat
dibentuk sesuai dengan keinginan dan tingkat kompleksitas kegiatan bisnis
yang ada.
1. Perusahaan Perseorangan
Pemilik perusahaan adalah satu orang di mana tanggung jawab terhadap
kewajiban (utang) kepada pihak ketiga sepenuhnya pada pemilik
hingga harta milik pribadinya. Meskipun cara-cara pengelolaannya
sederhana, mudah, fleksibel, namun agak sulit dipertahankan ketika
tingkat kerumitan kegiatan bisnis meningkat secara signifikan,
meskipun tidak menutup untuk berkembang menjadi perusahaan
dengan skala besar, namun tetap akan menjadi sulit untuk dikelola
secara profesional hal ini karena tuntutan dari lingkungan bisnis itu
sendiri.
2. Persekutuan: Firma (Fa) dan Komanditer (CV)
Perusahaan firma atau komanditer adalah jenis organisasi bisnis
yang dibentuk oleh 2 (dua) orang atau lebih bersepakat mendirikan
perusahaan di mana tanggung jawab terhadap kewajiban (obligation)
kepada pihak ketiga sepenuhnya pada pemilik hingga harta milik
pribadinya.
3. Perseroan Terbatas (PT atau NV)
Bentuk organisasi bisnis seperti ini adalah bentuk organisasi bisnis yang
paling ideal dan umum. Bentuk organisasi bisnis ini mencerminkan
adanya pemisahan antara pemilik perusahaan (shareholders) dengan
pimpinan perusahaan (Board of Directors), di mana tanggung jawab
terhadap kewajiban (obligation) kepada pihak ketiga bagi pemilik
hanya sebesar modal yang disetor saja (sebesar harta perusahaan),
sehingga harta pribadi pemilik tidak digunakan untuk membayar sisa
utang.

12

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

E. Masalah Keagenan (Agency Problems)


Dari pembahasan sebelumnya manajer harus menjalankan tujuan yang
telah ditetapkan pemilik perusahaan. Dengan kata lain, manajer adalah
agen para pemilik perusahaan. Pada kenyataannya, manajer juga memiliki
tujuan pribadi yang menyangkut kesejahteraan, keamanan kerja dan benefit
lainnya. Akibatnya, manajer enggan melakukan kegiatan yang berisiko
tinggi jika hal tersebut akan membahayakan kepentingan pribadinya.
Perbedaan tujuan inilah yang menyebabkan konflik yang disebut sebagai
agency conflict/problem, bahwa manajer akan mendahulukan kepentingan
pribadi dibandingkan dengan kepentingan perusahaan secara keseluruhan.
Untuk meminimalkan agency problem biasanya digunakan: (i) market forces
dan (ii) agency cost.

Market Forces: Pemegang saham utama (major shareholder) dengan


jumlah saham mayoritas dan ancaman pengambilalihan
oleh perusahaan lain (threat of takeover or hostile takeover)
merupakan market forces. Kedua hal ini memungkinkan
pemegang saham mengganti manajer dan menekan
manajer untuk melakukan apa yang diinginkan pemegang
saham.
Agency Costs: Biaya-biaya ini digunakan untuk memonitor tingkah
laku manajer, memberikan insentif finansial agar mau
mencapai tujuan atau kegiatan yang harus dilakukan dan
agar manajer tidak melakukan kecurangan-kecurangan.
Beberapa contoh agency cost adalah incentive plan dan
performance plan. Incentive plan memberi manajer
kompensasi berupa saham perusahaan (stock option).
Sementara itu performance plan adalah kompensasi yang
akan diberikan jika manajer mencapai standar tertentu.

BAB 1 Pengertian, Fungsi, dan Peran Manajemen Keuangan

13

F. Evolusi Teori Keuangan


Manajemen keuangan sebagai bagian dari akar ilmu pengetahuan
sosial, juga menunjukkan perkembangan seperti halnya cabang ilmu
pengetahuan lainnya, meskipun akselerasi perkembangannya tidak secepat
ilmu-ilmu keperilakuan (behavioral sciences). Beberapa catatan mengenai
evolusi teori keuangan:
1. Konsep Pasar Modal Sempurna (Perfect Capital Market)
Secara umum pasar modal sempurna memiliki karakteristik: (i) tidak
ada biaya transaksi, (ii) tidak ada pajak, (iii) ada cukup banyak pembeli
dan penjual, (iv) ada kemampuan akses yang sama ke pasar, (v) tidak
ada biaya informasi, (vi) setiap orang memiliki harapan yang sama,
dan (vii) tidak ada biaya yang berhubungan dengan hal kesulitan
keuangan.
2.
3.

Konsep Diskonto Aliran Kas (Discounted Cash Flow)


Teori ini dikembangkan oleh John Burr Williams dan Myron J. Gordon.
Konsep dasar dari teori ini adalah pada nilai waktu uang (time value
of money).

Teori Struktur Modal (Capital Structure Theory)


Teori ini dikembangankan oleh Franco Modigliani dan Merton Miller
atau kemudian dikenal dengan istilah MM theory pada Tahun 1958.
Teori yang dikembangkan bahwa nilai suatu perusahaan tergantung
pada arus penghasilan di masa depan (future earning streams) dan
oleh karena itu, tidak tergantung pada struktur modal. Teori MM yang
pertama ini mengasumsikan pada pasar modal sempurna dan tidak ada
pajak, sehingga sering disebut model MM tanpa Pajak (MM 1 without
Tax). Sekitar tahun 1963 model ini disempurnakan dengan Model MM
dengan Pajak (MM 1 with Tax).

Dengan adanya pajak penghasilan, utang dapat menghemat pajak
yang dibayar (tax shield). Tetapi teori ini lupa bahwa utang yang besar
dapat menimbulkan financial distress. Karena ada kelemahan tersebut
kemudian model ini diperbaiki yang sering disebut Tax SavingFinancial Cost Trade off Theory atau lebih dikenal dengan Teori Trade
off atau Balance Theory.
14

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

4.

5.

6.

7.

Teori Dividen (Dividend Theory)


Teori ini juga dikembangkan oleh Modigliani dan Miller yang kemudian
teorinya dikenal dengan Teori MM atau MM Model yang menyebutkan
bahwa kebijakan dividen tidak mempengaruhi nilai perusahaan, karena
setiap rupiah pembayaran dividen akan mengurangi laba ditahan yang
digunakan untuk membeli aktiva baru.

Teori Portfolio dan Capital Asset Pricing Model


Teori Portfolio Modern dikembangkan oleh Harry Markowitz pada
tahun 1990 yang membawanya untuk meraih penghargaan tertinggi
dalam ilmu pengetahuan, ia mendapat hadiah Nobel. Pelajaran
utama dari teori ini adalah bahwa risiko dapat dikurangi dengan
cara mengkombinasikan beberapa jenis aktiva berisiko (risky assets)
daripada hanya memegang salah satu jenis aktiva saja.

Teori yang berkaitan dengan teori portfolio adalah Capital Asset
Pricing Model (CAPM) yang dikembangkan Sharpe, John Litner dan Jan
Moissin yang secara terpisah menunjukkan bahwa tingkat keuntungan
yang disyaratkan (required rate of return) pada suatu aktiva berisiko
merupakan fungsi dari tiga faktor, yaitu:
tingkat keuntungan bebas risiko,
tingkat keuantungan yang disyaratkan pada portfolio dengan
risiko rata-rata, dan
volatilitas tingkat keuntungan aktiva berisiko tersebut.
Teori Harga Opsi (Option Pricing Theory)
Option adalah hak untuk membeli atau menjual suatu aktiva pada
harga yang telah ditentukan pada waktu yang telah ditentukan pula.
Teori ini secara formal dikembangkan oleh Fisher Black dan Myron
Scholes yang sering disebut Black-Scholes Option Pricing Model.

Hipotesis Penelitian Pasar Efisien (Efficient Market Hypothesis)


Teori ini dikembangkan oleh Eugene F. Fama. Terminologi efisien dalam
teori ini lebih menekankan pada konsep efisiensi secara informasi.
Teori ini mengatakan jika pasar efisien (efficient market), maka harga
yang terbentuk merefleksikan seluruh informasi yang ada. Menurut
teori ini pasar efisien dibagi menjadi tiga:
BAB 1 Pengertian, Fungsi, dan Peran Manajemen Keuangan

15

8.

a) Pasar efisien bentuk lemah (weak form efficient market hypothesis):


jika harga sekuritas mengekspresikan seluruh informasi harga
di masa lalu, sehingga upaya investor untuk memperoleh excess
return dengan memanfaatkan data harga di masa lalu adalah siasia (harga adalah random walk).
b) Efisiensi bentuk setengah kuat (semi strong form efficient market
hypothesis): jika harga mencerminkan informasi harga historis
plus informasi yang tersedia bagi publik.
c) Efisiensi bentuk kuat (strong form efficient market hypothesis):
jika harga sekuritas mengekspresikan seluruh informasi yang
ada, baik harga sekuritas masa lalu, informasi yang tersedia bagi
publik, maupun informasi yang bersifat privat.

Teori Keagenan (Agency Theory)


Teori ini dikembangkan oleh Michael C. Jensen dan William H. Meckling
yang lebih familiar dengan Jensen and Meckling (1976). Teori ini
muncul karena adanya keterpisahan antara pemilik dan manajemen.
Agency relationship muncul ketika individu (majikan atau principals)
membayar individu lain (agent/management) untuk bertindak atas
namanya, mendelegasikan kekuasaan untuk membuat keputusan
kepada agen atau karyawannya. Teori keagenan dapat dipandang
sebagai suatu versi dari game theory (Mursalim, 2005), yang membuat
suatu model kontraktual antara dua atau lebih orang (pihak), di mana
salah satu pihak disebut agent dan pihak yang lain disebut principals

Pemilik perusahaan atau principals or shareholders men
delegasikan pertanggung jawaban atas decision making kepada
manajemen atau agent, hal ini dapat pula dikatakan bahwa principals
memberikan suatu amanah kepada agent untuk melaksanakan tugas
tertentu sesuai dengan kontrak kerja yang telah disepakati. Wewenang
dan tanggung jawab agent maupun principals diatur dalam kontrak
kerja atas persetujuan bersama.

Scott (2000) menyatakan bahwa perusahaan mempunyai
banyak kontrak, misalnya kontrak kerja antara perusahaan dengan

16

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

9.

para manajernya dan kontrak pinjaman antara perusahaan dengan


krediturnya. Kontrak kerja yang dimaksud adalah kontrak kerja antara
pemilik modal dengan manajer perusahaan. Di mana antara agent
dan principals ingin memaksimumkan utility masing-masing dengan
informasi yang dimiliki. Tetapi di satu sisi, agent memiliki informasi
yang lebih banyak (fully information) dibanding dengan principals,
sehingga menimbulkan adanya asymmetric information. Informasi yang
lebih banyak dimiliki oleh manajer dapat memicu untuk melakukan
tindakan-tindakan sesuai dengan keinginan dan kepentingan untuk
memaksimumkan utility-nya (perquisite motive).

Sedangkan bagi pemilik modal dalam hal ini investor, akan
sulit untuk mengontrol secara efektif tindakan yang dilakukan oleh
manajemen karena hanya memiliki sedikit informasi yang ada. Oleh
karena itu, terkadang kebijakan-kebijakan tertentu yang dilakukan
oleh manajemen perusahaan tanpa sepengetahuan pihak pemilik
modal atau investor.

Teori Informasi Asimetrik (Asymmetric Information Theory)



Manajer sebagai pengelola perusahaan lebih banyak mengetahui
informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang akan datang
dibandingkan pemilik (pemegang saham). Oleh karena itu, sebagai
pengelola, manajer berkewajiban memberikan sinyal mengenai
kondisi perusahaan kepada pemilik. Sinyal yang diberikan dapat
dilakukan melalui pengungkapan informasi akuntansi seperti laporan
keuangan. Akan tetapi, informasi yang disampaikan terkadang diterima
tidak sesuai dengan kondisi perusahaan sebenarnya. Kondisi ini
dikenal sebagai informasi yang tidak simetris atau asimetri informasi
(asymmetric information).

Asimetri informasi terjadi karena manajer lebih superior dalam
menguasai informasi dibanding pihak lain (pemilik atau pemegang
saham). Asimetri antara manajemen (agent) dengan pemilik
(principals) memberikan kesempatan kepada manajer untuk bertindak
oportunis, yaitu memperoleh keuntungan pribadi.

BAB 1 Pengertian, Fungsi, dan Peran Manajemen Keuangan

17

Conclusion Remark
Tujuan utama perusahaan adalah meningkatkan kesejahteraan
pemegang saham atau para pemilik. Bagi perusahaan terbuka atau
perusahaan yang tanda kepemilikannya telah beredar di pasar modal
(public), maka tujuan ini direpresentasikan oleh harga saham di pasar.
Bagi perusahaan non public, biasanya tujuan ini dicerminkan oleh nilai
perusahaan. Oleh karena itu, manajer keuangan berupaya agar nilai saham
atau nilai perusahaan meningkat.
Manajer keuangan harus memilih alternatif yang dapat meningkatkan
nilai perusahaan secara keseluruhan, misalnya memilih investasi dengan
return tinggi, menggunakan sumber dana berbiaya rendah, dan lain-lain.
Dengan kata lain, manajer keuangan harus memperhitungkan return dan
risiko, dan akibatnya pada nilai saham atau perusahaan. Dalam meraih
destinasi bisnis dari para pemilik perusahaan, ada banyak faktor yang
berpengaruh, mulai faktor internal yang relatif terkendali sampai dengan
faktor eksternal yang bersifat uncontrollable.
Ilmu manajemen keuangan seperti halnya ilmu-ilmu lainnya juga
mengalami perkembangan sesuai dengan perubahan dan ragamnya
tantangan yang dihadapi. Paradigma keputusan investasi relatif memiliki
tingkat prioritas yang lebih bermakna jika dibandingkan dengan per
masalahan kebijakan pembelanjaan, perkembangan konsepsi ini telah
menggeser paradigma lama mengenai urgensi kebijakan pembelanjaan
perusahaan. Perkembangan terakhir dari evolusi ilmu manajemen
keuangan cenderung bertumpu pada masalah-masalah yang terkait
perilaku keuangan atau financial behavior. Masalah manajemen keuangan
keperilakuan seiring dengan meningkatnya dominasi investasi dan makin
bergairahnya pasar modal di beberapa negara berkembang.
Perkembangan financial behavior ini tidak lepas dari adanya kenyataan
bahwa terdapat informasi yang tidak simetris (asymmetric information) di
antara para pemilik dan manajemen, kenyataan tersebut seringkali memicu
adanya konflik di antara mereka, oleh karena kondisi demikian mendorong
adanya konsep signaling dan masalah keagenan perusahaan.
18

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

DAFTAR PUSTAKA
Brigham, Eugene F. and Michael C. Ehrhard. 2002. Financial Management
Theory and Practice (10th edition). Thomson Learning Inc.

Brigham, Eugene F. and Joel F. Houston. 2008. Fundamentals of Financial


Management. Jakarta: Salemba Empat.

Gitman, Lawrence J. 2000. Principle of Managerial Finance. AddisonWesley.


Husnan, Suad. 1997. Manajemen Keuangan Teori dan Penerapan: Keputusan
Jangka Pendek (edisi ke-4). Yogyakarta: BPFE.

Jensen, Michael C. and W. H. Meckling. 1976. Theory of The Firm: Managerial


Behavior, Agency Cost and Ownership Structure. Journal of Financial
Economics, 3: 305-360.

Keown, Arthur J. et al. 2001. Dasar-Dasar Manajemen Keuangan (edisi ke-7).


Jakarta: Salemba Empat.
Margaretha, Farah. 2005. Teori dan Aplikasi Manajemen Keuangan. Jakarta.
Grasindo.

Martono dan Agus Harjito. 2002. Manajemen Keuangan (edisi ke-1).


Yogyakarta: Ekonisia.

Mursalim. 2005. Income Smoothing dan Motivasi Investor: Studi Empiris


pada Investor di BEJ. Jurnal Simposium Nasional Akuntansi, VIII: 195206.

Muslich, Mohamad. 2003. Manajemen Keuangan Modern: Analisis,


Perencanaan dan Kebijaksanaan. Jakarta: Bumi Aksara.
Pratowo, Dwi dan Rifka Julianti. 2002. Analisis Laporan Keuangan Konsep
dan Aplikasi (edisi Revisi). Yogyakarta: YPKN.

BAB 1 Pengertian, Fungsi, dan Peran Manajemen Keuangan

19

Riyanto, Bambang. 2001. Dasar-Dasar Pembelanjaan Perusahaan (edisi


ke-4). Yogyakarta: BPFE.
_____________________. 2008.
Yogyakarta: BPFE.

Dasar-Dasar

Pembelanjaan

(edisi

ke-4).

Saragih, F. A. H. Manurung. dan J. Manurung. 2005. Dasar-Dasar Keuangan


Bisnis: Teori dan Aplikasi. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Sartono, Agus. 2001. Manajemen Keuangan: Teori dan Aplikasi (edisi ke-4).
Yogyakarta: BPFE.
_______________. 2008. Manajemen Keuangan: Teori dan Aplikasi. Yogyakarta:
BPFE.
Sawir, Agnes. 2005. Analisa Kinerja Keuangan dan Perencanaan Keuangan
Perusahaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Scott, William R. 2000. Financial Accounting Theory (2nd edition). Canada:


Prentice Hall.
Sundjaja, Ridwan S. dan Inge Barlian. 2002. Manajemen Keuangan Satu
(edisi ke-4). Jakarta: Prenhallindo.

____________________________________________. 2002. Manajemen Keuangan Dua


(edisi ke-4). Jakarta: Literata Lintas Media.
Sutrisno. 2001. Manajemen Keuangan (edisi ke-1), Yogyakarta: Ekonisia.

__________. 2005. Manajemen Keuangan Teori, Konsep, dan Aplikasi.


Yogyakarta: Ekonisia.
Syamsudin, Lukman. 2002. Manajemen Keuangan Perusahaan (edisi ke-7).
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Van Horne, James C., and Wachowicz, Jr., John Martin. 2008. Fundamentals
of Financial Management (13th edition). Harlow: Prentice-Hall, Inc.

Weston, J. Fred and Copeland, Thomas E. 1992. Managerial Finance. New


York: The Dryden Press.
20

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

Kerangka Dasar
Keuangan Korporasi
Jaja Suteja

Pada dasarnya sebuah kegiatan bisnis diawali oleh seorang investor yang
bersedia untuk berinvestasi atas sumber daya yang dia miliki. Kesediaan
investor tersebut untuk selanjutnya menjadi nilai tukar (exchange rate)
terhadap besarnya imbal hasil investasi yang diharapkan (expected
return on the investment)

BA B

Kerangka Dasar Keuangan


Korporasi

Setelah membaca topik ini diharapkan memahami:


1. Kerangka Dasar Keuangan Korporasi
2. Laporan Keuangan Perusahaan
3. Imbal Hasil Investasi

4. Pola Distribusi Aliran Kas Perusahaan

5. Biaya Modal dan Biaya Modal Tertimbang

Kerangka Dasar Keuangan Korporasi

ada dasarnya sebuah kegiatan bisnis diawali oleh seorang investor yang
bersedia untuk berinvestasi atas sumber daya yang dia miliki. Kesediaan
investor tersebut untuk selanjutnya menjadi nilai tukar (exchange rate)
terhadap besarnya imbal hasil investasi yang diharapkan (expected return
on the investment). Pertanyaan selanjutnya adalah berapa besar imbal hasil
tersebut? Para ahli ekonomi keuangan (financial economist) berpendapat
bahwa, Semakin berisiko suatu investasi, maka makin tinggi return
ekspektasinya (the riskier the investment, the higher the expected return).
Jumlah investasi awal yang dilakukan oleh (seorang) investor pada
perusahaan, seringkali menjadi investasi atau modal awal (initial investment
or capital). Untuk kemudian investasi menjadi aktiva/kekayaan perusahaan

22

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

(firms assets) baik itu pada aktiva lancar seperti: kas, ekuivalen kas, surat
berharga, piutang dagang, maupun beragam persediaan. Sebagian investasi
tersebut dibelanjakan untuk mendukung sustainabilitas perusahaan,
seperti: plant, property, equiptment, land, dan juga beragam jenis investasi
jangka panjang lainnya. Dalam sejumlah kasus, secara khusus pada kasus
perusahaan kecil (small business), seorang investor melakukan sendiri
pengambilan keputusan tersebut (all of the firms investment decision).
Namun demikian, pada kasus lain pada sejumlah perusahaan bertumbuh
(growths firms), pengambilan keputusan tersebut telah didelegasikan
pada pihak atau orang lain yang kemudian dikenal sebagai manajemen
perusahaan/agen.
Agar imbal hasil yang diekspektasikan investor dapat dipenuhi,
maka langkah selanjutnya adalah manajemen atau pemilik perusahaan
atau investor harus segera me-utilisasi aktiva yang dimiliki untuk bisa
menghasilkan suatu produk (barang dan atau jasa) yang dapat dijual pada
para pembeli (the buyers). Tentu saja, dalam proses penciptaan barang
dan jasa yang dapat dijual tersebut, perusahaan mengeluarkan berbagai
biaya, sebagai contoh: biaya operasi dan produksi, biaya distribusi dan
penyimpanan/pergudangan, biaya tenaga kerja dan juga pajak. Selisih
antara berbagai biaya yang dikeluarkan dengan total pendapatan atau
transaksi yang terjadi merupakan keuntungan perusahaan (the firms
profit).
Dalam perspektif manajemen keuangan, keuntungan perusahaan ini
selanjutnya digunakan sebagai dasar estimasi imbal hasil investor. Untuk
memperoleh delinasi yang lebih jelas, maka selanjutnya pembahasan akan
lebih difokuskan pada sisi atau aspek investors yang telah memutuskan
sumberdayanya (money capital) diinvestasikan dalam bisnis tertentu.
Dalam praktik terbaiknya, sangat jarang suatu bisnis hanya didanai
oleh seseorang investor saja (all equity financing), namun ada banyak
investor yang berpartisipasi dalam pembelanjaan aset-aset perusahaan.
Tidak semua investor memiliki kesamaan tujuan, dalam konteks ini, tujuan
para investor diklasifikasikan pada tujuan/kontrak pada saat mereka
(investors) mendirikan perusahaan.
BAB 2 Kerangka Dasar Keuangan Korporasi

23

Berkenaan dengan kontrak investor pada saat mereka mendirikan atau


mengembangkan usaha perusahaan, ada 2 (dua) tipe kontrak dasar, yaitu
(i) debt contracts dan (ii) equity contracts. Debt contract merupakan suatu
kesepahaman yang memuat kesanggupan/janji debitur untuk membayar
kembali kepada para investor. Pihak yang memiliki hak/claims atas aktiva
yang dibiayainya (invested assets) disebut debtholders.
Gambar 2.1 berikut menggambarkan mengenai kedua jenis kontrak
seperti yang telah dijelaskan dalam bagian atau paragraf sebelumnya.

Investasi

Returns

Para
Manajer

Debt
Investors
Dana

Returns

Equity
Investors
Returns

Sumber: Preve and Sarria-Allende (2010:4)

Gambar 2.1
Basic Corporate Finance Framework

Gambar 2.1 mengilustrasikan kegiatan bisnis utama perusahaan,


diawali dari aktivitas pengidentifikasian atas berbagai peluang investasi
(investment scanning) kemudian mencari sumber pendanaan untuk
melanjutkan peluang investasi tersebut. Tahap selanjutnya adalah
mengeksekusi beragam investasi terpilih tersebut untuk menghasilkan
pendapatan dan dari sumber ini perusahaan akan membayar biaya operasi,
kewajiban terhadap kreditur juga termasuk imbal hasil (return) bagi pemilik
perusahaan (equity holders return atau Return On Equity ~ ROE).

24

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

Sementara itu yang dimaksud dengan equity contracts menunjukkan


situasi yang bertolak belakang dengan penjelasan pertama, dalam kontrak
atau perjanjian jenis kedua ini, mengindikasikan adanya residual claims
atas invested assets atau profit perusahaan. Profit adalah nilai dalam satuan
moneter setelah perusahaan membiayai semua biaya operasi dan kewajiban
(obligations) pada kreditur atau debtholders. Pemilik jenis klaim terakhir
ini kemudian disebut equityholders atau equitycontracts.
Untuk memperoleh relasional dari berbagai kegiatan bisnis perusahaan,
maka selanjutnya disajikan dalam bentuk laporan keuangan perusahaan (the
firms financial statement). Laporan keuangan perusahaan merupakan satu
set dokumen (a set of documents) yang memuat dan mengelola berbagai
informasi penting tentang aktivitas yang telah dilakukan oleh manajemen
perusahaan pada suatu waktu tertentu di masa lalu. Ada dua jenis laporan
keuangan standar, yaitu: (i) neraca (the balance sheet) dan (ii) laporan laba
rugi (the income statement).

Laporan Keuangan Perusahaan (A Corporate Financial Statement)


Dalam penjelasan sebelumnya disebutkan bahwa beragam kegiatan
utama perusahaan dicatat dalam dua jenis laporan keuangan utama, yaitu:
(i) neraca dan (ii) laporan laba rugi. Pada bagian atau paragraf selanjutnya
penulis akan menjelaskan karakteristik utama dari kedua laporan
keuangan tersebut yang dilakukan secara terpisah dan begitu juga interaksi
di antara keduanya. Interaksi di antara keduanya sangatlah penting bagi
para analis keuangan untuk memperoleh gambaran/potret/snapshot yang
lebih lengkap mengenai situasi keuangan perusahaan dan kinerja bisnis
perusahaan (business performance of the firm).
Neraca (The Balance Sheet)
Sebuah neraca perusahaan menyediakan sebuah potret atau snapshot
perusahaan pada suatu periode waktu tertentu atas berbagai aktivitas
yang telah dilakukan perusahaan. Laporan tersebut pada dasarnya terdiri
dari 2 (dua) bagian utama, yaitu: (i) sisi sebelah kiri (left hand side) yang

BAB 2 Kerangka Dasar Keuangan Korporasi

25

menyajikan aset/aktiva perusahaan, dan (ii) sisi sebelah kanan (right hand
side) menyajikan kewajiban atau liabilities perusahaan. Aktiva tersebut
mencerminkan investasi yang telah dilakukan oleh perusahaan, sementara
itu kewajiban atau utang menggambarkan bagaimana aktiva perusahaan
tersebut didanai. Dari penyajian sebuah neraca perusahaan adalah mudah
untuk memahaminya, karena kedua sisi neraca merefleksikan seperti dua
sisi koin/mata uang. Satu sisi neraca tidak dapat dipengaruhi atau dirubah
tanpa merubah atau mempengaruhi sisi yang lainnya dan keduanya
memiliki ukuran yang sama (misalnya, aktiva akan sama dengan utang
perusahaan; TA = E + D).
Sebagai contoh, apabila manajemen perusahaan melakukan investasi
baru, maka perusahaan juga harus mencari tambahan pendanaan
(peningkatan aktiva merefleksikan adanya investasi sementara peningkatan
utang merefleksikan pendanaan). Dengan cara yang sama, seandainya kita
memperoleh pendanaan baru, maka manajemen perusahaan memperoleh
kas atau membeli barang atau perlengkapan kantor (meningkatnya baik
aktiva maupun utang).
Komponen-komponen yang disajikan dalam sebuah neraca disusun
dengan urutan-urutan tertentu. Aktiva dalam neraca diawali dengan beragam
aktiva yang likuid (aktiva yang dengan mudah dapat dikonversikan kembali
menjadi kas). Sementara utang disajikan atau diurutkan berdasarkan pada
tingkat klaim dan waktu jatuh tempo (i.e. when the liabilities is due). Pada sisi
aktiva, beragam komponen aktiva diurutkan berdasarkan tingkat likuiditas
(descending liquidity), hal ini berarti komponen aktiva yang paling likuid
akan disajikan pada daftar aktiva teratas, sementara yang lainnya ada di
bawahnya. Berdasarkan aturan tersebut, maka aktiva perusahaan disusun
dengan urut-urutan sebagai berikut: cash, bank accounts or cash equivalent,
marketable or tradable securities, trade or account receivables, inventories
and at the very bottom, property, plant, and equipment (PPE). Perlu dicatat
bahwa aktiva-aktiva tersebut dikelompokkan menjadi 2 (dua) kategori
utama, yaitu: (i) aktiva jangka pendek atau aktiva lancar yang diharapkan
dapat menjadi kas dalam jangka pendek dan (ii) aktiva tetap atau aktiva
tidak lancar yang diharapkan dapat kembali menjadi kas lebih dari 1 (satu)
tahun.
26

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

Pada sisi utang perusahaan dalam sebuah neraca komponen


komponen disusun berdasarkan pada tingkat eksibilitasnya, komponenkomponen pasiva yang memiliki tingkat jatuh tempo atau klaim tercepat
akan ditempatkan pada daftar yang paling atas, sementara komponen
pasiva atau utang yang klaimnya masih panjang (the furthest-dated claim)
ditempatkan pada bagian bawah neraca sebelah kanan. Dengan demikian,
klaim terendah dalam susunan utang adalah ekuitas atau modal sendiri
yang akan menerima klaim aset setelah semua kewajiban terpenuhi (The
least exigible claim consists of equity, since equity holders receive their part
after all other obligations have been satisfied).
Current Liabilities

Current Assets

Suppliers
Employees
Short Term Financial Debt
Taxes

Cash & Bank Accounts


Trade Receivables
Inventories
Other Current Assets

Non Current Liabilities


Non Current Assets
Goodwill
Property, Plant & Equipment
Other Long Term Assets

Long Term Financial Debt


Other Long Term Liabilities
Shareholders Equity

Sumber: Preve and Sarria-Allende (2010:6)

Gambar 2.2
Contoh Komponen Neraca

Seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa neraca


adalah snapshot dari investasi dan pendanaan perusahaan yang telah terjadi
pada suatu waktu tertentu. Dalam praktiknya, snapshot/potret tersebut
merujuk pada horizon waktu satu bulan, triwulan, semester, tahunan atau
periode waktu lainnya. Snapshot/potret kebijakan investasi dan pendanaan
perusahaan selanjutnya dikomparasikan antar waktu untuk memperoleh
gambaran evolusi perubahan investasi dan pendanaan sepanjang waktu.
BAB 2 Kerangka Dasar Keuangan Korporasi

27

Ketika seseorang sedang menganalisis investasi perusahaan, pada


dasarnya mereka tidak hanya melihat bagaimana ukuran atau besaran
investasinya saja (not just only size of investments), namun juga mereka
harus memahami apa yang menjaid faktor pemicunya (main drivers),
dengan perkataan lain, apa yang sedang terjadi dalam perusahaan manakala
adanya perubahan secara dramatis pada akun piutang usaha atau tingkat
persediaan. Peningkatan investasi baru juga mengindikasikan adanya
pertumbuhan pendanaan aset, pertanyaan pentingnya adalah apakah
investasi tersebut didanai oleh sumber jangka pendek atau jangka panjang?
oleh debt atau equity? Pilihan alternatif pendanaan akan berpengaruh
terhadap kinerja keuangan perusahaan secara signifikan dan juga pada
keterbukaan risiko perusahan (corporate risk exposure).
Untuk memperoleh hasil analisis kinerja keuangan perusahaan,
maka proses analisis seharusnya dilakukan dengan membandingkan
akun-akun yang ada dalam neraca dan juga laporan laba rugi perusahaan.
Penggabungan analisis kedua laporan keuangan tersebut akan mampu
menggambarkan apa yang sudah terjadi pada masa lalu dengan utilisasi
aktiva perusahaan oleh manajemen. Satu hal, analisis secara simultan
laporan keuangan perusahaan (balance sheet and income statement) sebagai
suatu skenario film, akan mampu menceritakan potret keterkaitan angkaangka di antara keduanya sebagai suatu potret implementasi kebijakan
keuangan perusahaan. Itulah inti dari analisis kinerja keuangan perusahaan,
selanjutnya konsep analisis ini dalam praktiknya kita kenal sebagai analisis
rasio keuangan perusahaan.

Laporan Laba Rugi Perusahaan (Corporate Income Statement)


Laporan laba rugi perusahaan adalah suatu gambaran dari representasi
operasi bisnis perusahaan, yang secara khusus akan memuat catatan
mengenai total penjualan yang terealisasi dan beragam biaya (cost) yang
terjadi sepanjang waktu pada periode tersebut/tertentu, dari laporan ini
keuntungan bersih perusahaan dihitung. Seperti halnya neraca, laporan
laba rugi juga dapat disusun sesuai dengan horizon waktu yang diinginkan,
per bulan, per triwulan, semester atau laporan laba rugi perusahaan per
tahun.
28

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

Berikut Gambar 2.3 contoh komponen atau akun yang secara umum
ada dalam sebuah laporan laba rugi perusahaan. Dari contoh sampel
sederhana sebuah laporan keuangan seperti yang diperlihatkan pada
Gambar 2.3 mengilustrasikan bagaimana profit dihitung. Seperti yang
dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa ada relasional kuat antara
neraca dengan laporan laba rugi perusahaan.
Net Sales

Minus

Cost of Goods Sold


Gross Profit (or Contribution Margin)

Minus
Minus

Fixed Costs
EBIT

Interest Expenses
Income Before Taxes

Minus

Income Taxes
Net Income

Sumber: Preve and Sarria-Allende (2010:9)

Gambar 2.3
Contoh Laporan Laba Rugi Perusahaan

Perubahan pada neraca otomatis akan berpengaruh terhadap


komponen yang ada dalam laporan laba rugi. Memahami interaksi antara
kedua laporan tersebut sangat krusial untuk memperoleh konklusi akurat
mengenai kinerja bisnis dan kemampulabaan perusahaan. Laporan laba
rugi perusahaan menunjukkan bagaimana keuntungan (accounting profit)
dihasilkan dari operasi perusahaan.
Dalam praktiknya, investor akan memperoleh imbal hasil dari kegiatan
operasinya, di mana return yang diterima berasal dari profit yang dihasilkan.
Namun demikian, perhatian investor tidak hanya pada masalah profit
saja, akan tetapi juga aliran kas perusahaan (cash flow of the firm). Lebih
spesifik lagi, investor akan memperhatikan jumlah kas yang telah mereka
investasikan kemudian mereka juga akan membandingkan nilai ini dengan
jumlah kas dari return investasinya.
BAB 2 Kerangka Dasar Keuangan Korporasi

29

Imbal Hasil Investasi (Return on Investment)


Pada saat aliran kas (cash inflow) terealisasi dari sejumlah transaksi
penjualan, manajemen akan mendistribusikan kas tersebut kepada
beragam pemegang klaim. Kelompok pertama yang memiliki klaim atas
kas dari pendapatan perusahaan adalah tenaga kerja dan para vendor atau
providers atau suppliers. Selanjutnya kelompok berikutnya adalah beragam
pemenuhan atas pemegang klaim keuangan, misalnya pembayaran bunga
dan prinsipalnya (debtholders or bondholders), termasuk pembayaran
pajak. Setelah semua klaim terpenuhi, maka sisa kas menjadi hak para
pemilik sebagai residual claim atau sebagai equityholders sering juga disebut
shareholders atau para pemegang saham perusahaan.
Suppliers
Employees

Investments

Financial
Debt
Shareholders
Equity

Sumber: Preve and Sarria-Allende (2010:10)

Gambar 2.4
Distribusi Aliran Kas Perusahaan

Gambar 2.4 mengilustrasikan distribusi penerima kas perusahaan,


dan secara khusus bagaimana return investasi dari seorang investor dihitung
atau ditentukan. Dari gambar tersebut, arah anak panah menunjukkan
distribusi aliran kas perusahaan berdasarkan pada senioritas klaim. Dari
diskusi sebelumnya, jelas bagaimana para investor (a financial investors)
dibayar dari aliran kas yang dihasilkan perusahaan, namun pertanyaannya
30

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

adalah apakah nilai/kas yang dibayarkan tersebut cukup memuaskan dari


ekspektasi imbal hasil (return) sebelumnya?

Return yang diharapkan Investor Biaya Modal (Investors Expected


Return Cost of Capital)
Pada bagian awal bab ini telah disinggung mengenai nilai tukar
(exchange rate) dari kesediaan seorang investor untuk berinvestasi
dalam aset perusahaan. Nilai tukar tersebut pada dasarnya adalah sebuah
kompensasi atas risiko yang kemungkinan ia tanggung. Oleh karena itu,
makin besar kesedian atas risk bearing, maka makin besar ekspektasi
return dari kegiatan investasinya.
Perbedaan alokasi dari kas yang dihasilkan akan berimplikasi terhadap
besaran risiko yang dipikulnya (risk bearing), sebagai contoh, pegawai,
pemasok atau supplier dan kreditur atau debtholders akan menerima
pembayaran sesuai dengan janji atau promise atau skedul. Sementara
pemilik perusahaan atau owners or shareholders, mereka tidak memiliki
janji pembayaran tertentu,mereka hanya akan menerima claim/tuntutan/
hak setelah semua bagian telah menerima haknya masing-masing, sebagai
konsekuensinya para pemilik perusahaan akan memiliki tingkat risiko
yang lebih besar jika dibandingkan dengan pihak lain yang memiliki skala
prioritas tuntutan terhadap cash inflow yang lebih tinggi.

Permasalahannya adalah bagaimana kita dapat memisahkan atau
menjelaskan perbedaan return ekspektasi (expected return) dari investor
yang berbeda? Pertimbangkan apabila ada seseorang tidak menanggung
risiko dalam bisnisnya, pastilah investor itu akan memilih investasi bebas
risiko (riskless investment). Sekarang pertimbangkan kembali apabila
seseorang berinvestasi pada aset berisiko (risky assets), tentu saja mereka
(investors) tidak akan menerima return atau imbal hasil yang lebih kecil
dari investasi bebas risiko, mereka akan mensyaratkan atau menghendaki
adanya risiko premium di atas investasi bebas risiko. Berdasarkan pada
penjelasan tersebut, maka kita dapat memformulasikan secara matematik
persamaan return ekspektasi, yaitu:

BAB 2 Kerangka Dasar Keuangan Korporasi

31

Expected Return = Rf + Risk Premium ............................................... (2.1)


di mana:
Rf
= the return promised by a risk-free investment
Risk Premium = the extra return that an investor requires for an investment
with a given level of risk

Apabila return ekspektasi dari seseorang investor secara sendirisendiri, maka rumusan ekspektasi return investasi secara umum dapat
dirubah menjadi persamaan return ekspektasi individu investor sebagai
berikut:
Ke = Rf + Risk Premiume ................................. (2.2)

di mana:
Ke
= biaya modal sendiri (cost of equity)
Rf
= investasi bebas risiko (risk free rate)
Risk premium = the extra return that an investor requires for an investment
with a given level of risk

Apabila investasi dalam aktiva tersebut berasal dari pinjaman/utang di


mana biaya utang dinotasikan dengan kd maka persamaan tersebut dirubah
menjadi:
Kd = Rf + Risk Premiumd ............................. (2.3)

Karena pemegang ekuitas/pemilik perusahaan memiliki prioritas


terendah terhadap klaim/tuntutan cash inflow atau aktiva, maka equityholder
akan memiliki tingkat risiko yang lebih besar dari debtholders, di mana nilai Rf
sama pada kedua persamaan, maka: Risk Premiume > Risk Premiumd , oleh
karena itu Ke > Kd kondisi ini mencerminkan bahwa risiko yang lebih tinggi
dari pemilik ekuitas dikaitkan dengan makin tingginya ekspektasi tingkat
imbal hasilnya.
Seperti yang dijelaskan pada paragraf sebelumnya, bahwa sangat
kecil aktiva hanya dibiayai dari satu jenis sumber saja, tapi ada banyak
sumber pendanaan yang terlibat di dalam sebuah perusahaan. Oleh karena
32

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

itu, kombinasi sederhana dari minimal 2 (dua) sumber pendanaan (Debt


vs Equity) akan menghasilkan biaya rata-rata tertimbang dari komposisi
masing-masing WACC atau Weighted Average Cost of Capital dengan
formulasi sebagai berikut:
B
rS = r0 + (1 - TC )(r0 - rB )
S

Gambar 2.5 mengilustrasikan bagaimana ekspektasi return baik dari


debt dan ekuitas dihitung di mana komposisi ekuitas dan debt masing masing
E/(D+E) dan D/(D+E), sementara biaya modal bersih dari pinjaman:
Kd (after tax) = Kd (1t) ............................ (2.4)
Debtholders
Investment
Equityholders

Kd = Rf + RPd
Ke = Rf + RPe

WACC

Sumber: Preve and Sarria-Allende (2010:12)

Gambar 2.5
The Cost of Capital

Conclusion Remarks
Laporan keuangan perusahaan merupakan catatan penting mengenai
sejarah aktivitas bisnis yang telah dilakukan oleh manajemen pada periode
tertentu di masa lalu. Dua format laporan keuangan dasar, yaitu neraca
dan laporan laba rugi. Neraca mengindikasikan sejarah investasi baik
dalam bentuk aktiva lancar maupun aktiva tidak lancar. Sementara pada
sisi kanan neraca menunjukkan sumber pendanaan yang digunakan untuk
membelanjai aktiva tersebut.
BAB 2 Kerangka Dasar Keuangan Korporasi

33

Laporan laba rugi mengindikasikan optimalisasi utilisasi aset


menjadi produk yang dapat dijual. Dalam laporan laba rugi akan tercermin
besarnya biaya yang dikeluarkan dalam menghasilkan penjualan barang.
Dari komponen laba rugi ini akan dihitung mengenai keuntungan yang
dihasilkan oleh perusahaan.
Dalam praktik terbaiknya, pada umumnya perusahaan mengakses
sumber pendanaan dari lebih satu jenis sumber (Debt + Equity), oleh karena
itu, biaya yang dikeluarkan perusahaan merupakan biaya tertimbang ratarata (WACC). Kombinasi dari (D + E) setiap perusahaan berbeda-beda
dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya, ada banyak faktor yang
berpengaruh terhadap optimalisasi kombinasi antara debt dan equity.

34

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

DAFTAR PUSTAKA
Brigham, Eugene F. and Joel F. Houston. 2008. Fundamentals of Financial
Management. Jakarta: Salemba Empat.
Brigham, Eugene F. and Michael C. Ehrhard. 2002. Financial Management
Theory and Practice (10th edition). Thomson Learning Inc.

Gitman, Lawrence J. 2000. Principle of Managerial Finance. AddisonWesley.


Hasanawati, Sri. 2005. Implikiasi Keputusan Investasi, Pendanaan dan
Dividen terhadap Nilai Perusahaan Publik di Bursa Efek Jakarta.
Manajemen Usahawan Indonesia, 9: 42-47.
Husnan, Suad. 1997. Manajemen Keuangan Teori dan Penerapan: Keputusan
Jangka Pendek (edisi ke-4). Yogyakarta: BPFE.

Keown, Arthur J. et al. 2001. Dasar-Dasar Manajemen Keuangan (edisi ke-7).


Jakarta: Salemba Empat.
Margaretha, Farah. 2005. Teori dan Aplikasi Manajemen Keuangan. Jakarta.
Grasindo.

Martono dan Agus Harjito. 2002. Manajemen Keuangan (edisi ke-1).


Yogyakarta: Ekonisia.

McConnell, John and Henri Servaes. 1990. Additional Evidence on Equity


Ownership and Corporate Value. Journal of Financial Economics, 27:
595-612.
Mesbacher. 2004. Does Capital Structure Influence Firms Value? Academic
Paper. University of Ulster German.

Miller, M. H. and F. Modigliani. 1966. Some Estimates of the Cost of Capital


to the Electric Utility Industry, 1954-57. American Economic Review,
57: 33-91.

BAB 2 Kerangka Dasar Keuangan Korporasi

35

Miller, M. H. 1977. Debt and Tax. The Journal of Finance, 32 (2): 261-275.

Modigliani, F. and M. H. Miller. 1958. The Cost of Capital, Corporation


Finance and The Theory of Investment. American Economic Review,
48: 261-297.

Muslich, Mohamad. 2003. Manajemen Keuangan Modern: Analisis,


Perencanaan dan Kebijaksanaan. Jakarta: Bumi Aksara.
Myers, S. 1977. Determinants of Corporate Borrowing. Journal of Financial
Economics, 5: 147-175.

Myers, S. and N. Majluf. 1984. Corporate Financing Decisions When


Firms Have Information Investor Do Not Have. Journal of Financial
Economics, 13: 187-221.
Myers, S. C. 1984. The Puzzle. The Journal of Finance, 39 (3): 575-590.

OConnor, Dennis and Alberto Bueso. 1988. Managerial Finance, New York:
Prentice Hall.

Pangeran. 2003. Pemilihan antara Penawaran Sekuritas Ekuitas dan


Utang: Suatu Pengujian Empiris Terhadap Pecking Order Theory dan
Balancing Theory. Manajemen Usahawan Indonesia, 4: 27-46.
Pratowo, Dwi dan Rifka Julianti. 2002. Analisis Laporan Keuangan Konsep
dan Aplikasi (edisi Revisi). Yogyakarta: YPKN.

Preve, Lorenzo A. and Virginia Sarria-Allende. 2010. Working Capital


Management. New York: Oxford University Press, Inc. www.oup.com.
Ratnawati, Kusuma. 2001. Analisis Perbedaan Struktur Modal dan Faktor
Intern, Faktor Ekstern Perusahaan Industri PMA dan PMDN di Bursa
Efek Jakarta, serta Pengaruhnya terhadap Nilai Perusahaan. Penelitian
Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya. 77-86.

36

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

Riyanto, Bambang. 2001. Dasar-Dasar Pembelanjaan Perusahaan (edisi


ke-4). Yogyakarta: BPFE.
__________. 2008. Dasar-Dasar Pembelanjaan (edisi ke-4). Yogyakarta: BPFE.

Sartono, Agus. 2001. Manajemen Keuangan: Teori dan Aplikasi (edisi ke-4).
Yogyakarta: BPFE.
_______________. 2008. Manajemen Keuangan: Teori dan Aplikasi. Yogyakarta:
BPFE.

Saragih, F. A. H. Manurung. dan J. Manurung. 2005. Dasar-Dasar Keuangan


Bisnis: Teori dan Aplikasi. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Sawir, Agnes. 2005. Analisa Kinerja Keuangan dan Perencanaan Keuangan


Perusahaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Shim, Jae K. and Joel G. Siegel. 2001. Managerial Finance, New York:
McGraw Hill.

Steiner, Lorenz Thomas. 1996. A Reexamination of the Ralationship between


Ownership Structure, Firm Diversification and Tobins Q. Journal of
Business and Economics, 35 (4).
Sundjaja, Ridwan S. dan Inge Barlian. 2002. Manajemen Keuangan Satu
(edisi ke-4). Jakarta: Prenhallindo.

____________________________________________. 2002. Manajemen Keuangan Dua


(edisi ke-4). Jakarta: Literata Lintas Media.
Sutrisno. 2001. Manajemen Keuangan (edisi ke-1), Yogyakarta: Ekonisia.

__________. 2005. Manajemen Keuangan Teori, Konsep, dan Aplikasi.


Yogyakarta: Ekonisia.
Syamsudin, Lukman. 2002. Manajemen Keuangan Perusahaan (edisi ke-7).
Jakarta: Raja Grafindo Persada.

BAB 2 Kerangka Dasar Keuangan Korporasi

37

Van Horne, James C., and Wachowicz, Jr., John Martin. 2008. Fundamentals
of Financial Management (13th edition). Harlow: Prentice-Hall, Inc.

Weston, J. Fred and Copeland, Thomas E. 1992. Managerial Finance. New


York: The Dryden Press.
________________________________________________. 1999. Manajemen Keuangan.
Jakarta: Erlangga.

38

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

Analisis Laporan
Keuangan
Jaja Suteja

Analisis laporan keuangan mencakup perbandingan kinerja perusahaan


dengan perusahaan lain dalam industri yang sama, evaluasi kecenderungan
posisi keuangan perusahaan sepanjang waktu. Analisis laporan keuangan
yang mencakup analisis rasio keuangan, analisis kelemahan dan kekuatan
di bidang finansial akan sangat membantu dalam menilai prestasi
manajemen masa lalu dan prospeknya di masa datang.

BA B

Analisis Laporan
Keuangan

Setelah membaca topik ini diharapkan memahami:


1. Pentingnya Rasio Keuangan
2. Jenis-jenis Rasio Keuangan

3. Mengevaluasi Laporan Keuangan Perusahaan

Pendahuluan

nalisis laporan keuangan didesain untuk menentukan kekuatan dan


kelemahan relatif perusahaan. Para investor membutuhkan informasi
dalam rangka menentukan baik aliran kas perusahaan masa depan dan
juga risiko dari kegagalan aliran kas tersebut. Para manajer keuangan
membutuhkan informasi yang dihasilkan dari kegiatan analisis baik itu
untuk mengevaluasi kinerja keuangan masa lalu, akan tetapi juga untuk
memetakan berbagai rencana masa depan. Aktivitas analisis keuangan
perusahaan memfokuskan pada laporan keuangan sebagai highlight aspek
kunci kegiatan atau operasi perusahaan.
Analisis laporan keuangan perusahaan mempelajari bagaimana ke
terkaitan di antara angka angka/numerics baik dalam laporan laba rugi,
dalam neraca perusahaan, maupun di antara laporan laba rugi dan neraca
perusahaan. Bagaimanapun hubungan atau keterkaitan tersebut selalu
berubah sepanjang waktu sebagai sebuah trend/inclination dan bagaimana
40

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

sebuah perusahaan tertentu membandingkan kinerja dengan perusahaan


lainnya dalam suatu industri (benchmarking). Namun demikian, analisis
laporan keuangan perusahaan tetap memiliki keterbatasan dan mengguna
kan pertimbangan tertentu, meskipun demikian produk atau hasil analisis
ini dapat menyediakan banyak pandangan yang sangat bermanfaat bagi
operasi perusahaan.
Laporan keuangan perusahaan umumnya digunakan untuk membantu
memprediksikan earnings dan dividen perusahaan di masa depan. Dari
sudut pandang seorang investor, prediksi kondisi keuangan masa depan
tidak lain merupakan substansi utama dari analisis laporan keuangan
secara keseluruhan. Dari sudut pandang manajemen, analisis laporan
keuangan sangat bermanfaat baik itu untuk membantu mengantisipasi
kondisi keuangan masa depan dan lebih penting lagi, sebagai titik awal
untuk merencanakan berbagai tindakan yang akan berpengaruh terhadap
berbagai aktivitas masa depan perusahaan.

1. Pengertian Laporan Keuangan

Laporan keuangan (financial statement) adalah laporan yang memuat


hasil-hasil perhitungan dari proses akuntansi yang menunjukkan kinerja
keuangan suatu perusahaan pada suatu saat tertentu. Laporan keuangan
yang disusun secara baik dan akurat dapat memberikan gambaran keadaan
yang nyata mengenai hasil atau prestasi yang telah dicapai oleh suatu
perusahaan selama kurun waktu tertentu, keadaan inilah yang digunakan
untuk menilai kinerja keuangan.

2. Pengguna Hasil Analisis Laporan Keuangan

Informasi mengenai kinerja keuangan suatu perusahaan sangat ber


manfaat untuk berbagai pihak, seperti investor, kreditur, pemerintah, bankers,
pihak manajemen sendiri dan pihak-pihak lain yang berkepentingan.
Arti penting analisis laporan keuangan adalah sebagai berikut:

Kreditur Dagang
Bagi para kreditur dagang, laporan keuangan perusahaan digunakan
sebagai informasi awal mengenai kemampuan perusahaan dalam
BAB 3 Analisis Laporan Keuangan

41

menutup kewajibannya yang harus segera mereka penuhi dengan


beragam aktiva lancar yang mereka miliki. Dengan demikian, mereka
lebih memfokuskan pada masalah likuiditas.

Pemegang Obligasi
Laporan keuangan perusahaan bagi para bondholders merupakan
informasi awal mengenai prediksi aliran kas masuk perusahaan dalam
jangka panjang (long term expected cash inflows of the firm).
Pemegang Saham
Bagi para pemegang saham (stockholders) hasil analisis laporan
keuangan perusahaan akan dijadikan sebagai dasar pengambilan
keputusan, apakah perusahaan yang dia miliki merupakan perusahaan
yang sehat atau sebaliknya. Indikator awal mengenai tingkat kesehatan
tersebut akan dapat dilihat dari berbagai jenis rasio kemampulabaan
perusahaan (profitability ratio). Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa bagi stockholders mereka akan lebih memfokuskan pada
profitabilitas, arus kas jangka panjang dan kesehatan perusahaan.
Perencana
Bagi para perencana perusahaan, informasi yang diperoleh dari lebih
memfokuskan pada penilaian posisi keuangan saat ini dan evaluasi
peluang potensial perusahaan.

Pengawas
Bagi para pengawas (supervisors), produk analisis laporan keuangan
perusahaan sering dipergunakan sebagai dasar penilaian mengenai
efektivitas dan efisiensi operasi perusahaan dari beragam aktiva atau
kekayaan yang dimiliki oleh perusahaan. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa bagi para pengawas lebih memfokuskan pada ROI
untuk beragam aset dan efisiensi aset.

3. Bentuk Dasar Laporan Keuangan

Ada banyak laporan keuangan yang dikeluarkan perusahaan, tetapi


yang umum digunakan adalah: (1) neraca, (2) laporan laba rugi. Berikut
adalah penjelasan kedua laporan keuangan tersebut beserta contohnya:
42

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

a. Neraca
Neraca (balance sheet) merupakan sebuah ringkasan posisi keuangan
perusahaan pada tanggal tertentu yang menunjukkan total assets = total
liabilities + owners equity. Contoh berikut ini adalah neraca hipotesis
PT ABC pada periode tertentu sebagai berikut:

Kas
Piutang usahac
Persediaan
Biaya dibayar dimukad
Piutang pajak
Aktiva lancare
Aktiva tetapf
Akumulasi
penyusutang
Aktiva tetap bersih
Aktiva tetap lainnya
Total aktivab

PT ABC
(dilihat dari sisi aset)
Neraca 31 Desember, 2009a
(dalam Rp)
2.848.000
10.848.000
21.264.000
336.000
560.000
35.856.000
25.536.000

(13.712.000)
11.824.000
4.320.000
52.000.000

posisi aset pada tanggal


tertentu
b)
apa yang dimiliki perusahaan
c)
jumlah utang para pelanggan
d)
biaya dimuka yang siap
dibayar
e)
aktiva lancar
f)
jumlah aktiva tetap
g)
akumulasi pengurangan atas
penggunaan aset tetap
a)

Neraca dilihat dari sudut pandang aktiva menggambarkan sisi output


dari kebijakan investasi perusahaan. Dari sudut pandang aktiva investasi
perusahaan dikategorikan pada: (i) investasi jangka pendek, dan (ii) investasi
jangka panjang. Investasi jangka pendek selanjutnya menunjukkan isi
investasi pada aktiva lancar (current assets) dalam pandangan manajemen
keuangan sisi investasi ini menggambarkan modal kerja perusahaan atau
corporate working capital.
Sementara sisi investasi jangka panjang menunjukkan investasi dalam
aktiva tetap (fixed assets). Komponen utama dalam investasi aktiva tetap
umumnya terdiri dari property, plant, dan equipment (PPE).
BAB 3 Analisis Laporan Keuangan

43

Wesel bayar
Utang dagangc
Utang pajakd
Utang lancar lainnyad
Utang lancare
Utang jangka panjangf

PT ABC
(dilihat dari sisi utang)
Neraca 31 Desember, 2009
(dalam Rp)

Modal sendiri
Saham biasa nominal 16.000g
Tambahan modalg
Laba ditahanh
Total modal sendiri
Total utang dan modal sendiria, b

7.168.000
2.368.000
576.000
3.056.000
13.168.000
10.096.000
6.736.000
5.776.000
16.224.000
28.736.000
52.000.000

aktiva = utang + modal


sendiri
b)
apa yang menjadi utang
perusahaan dan posisi
kepemilikan usaha
c)
kewajiban pada pemasok
perusahaan
d)
upah dan gaji yang masih
harus dibayar
e)
utang usaha < 1 tahun
f)
utang > 1 tahun
g)
investasi milik
perusahaan sendiri
h)
earnings reinvested
a)


Neraca dilihat dari sudut pandang utang dan modal mengindikasikan
atau menggambarkan kebijakan pendanaan (financing decisions) yang
dilakukan oleh perusahaan. Pada dasarnya, neraca dilihat dari sisi utang
menggambarkan mengenai sumber pendanaan jangka pendek perusahaan
(short term financing) dan sumber pendanaan jangka panjang perusahaan
(long term financing) termasuk sumber pendanaan abadi yang berasal
dari para pengambil bagian dalam perusahaan atau sering disebut dengan
modal sendiri (equity financing).
b. Laporan Laba Rugi

Laporan laba rugi (income statement) merupakan sebuah ringkasan


mengenai pendapatan dan biaya-biaya selama periode tertentu yang
menggambarkan apakah perusahaan dalam posisi untung atau rugi. Berikut
ini contoh hipotesis mengenai laporan laba rugi PT ABC pada periode
tertentu, secara rinci komponen/pos yang ada dalam sebuah laporan laba
rugi standar sebagai berikut:
44

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

PT ABC
Laporan Laba Rugi 31 Desember, 2009a
(dalam Rp)

Penjualan bersih
Harga pokok penjualanb
Laba kotor
Biaya administrasi dan umumc
EBITd
Biaya bungae
EBTf
Pajak
EATg
Dividen kas
Peningkatan laba ditahan

63.872.000
42.880.000
20.992.000
14.592.000
6.400.000
1.360.000
5.040.000
1.824.000
3.216.000
2.288.000
928.000

mengukur kemampuan
perusahaan untuk
memperoleh keuntungan
b)
yang diterima atau akan
diterima dari pelanggan
c)
biaya penjualan, iklan,
administrasi kantor, dan
lain-lain
d)
pendapatan operasi
e)
biaya dana pinjaman
f)
pendapatan kena pajak
g)
jumlah yang siap diterima
oleh pemilik perusahaan
a)

Laporan laba rugi PT ABC untuk Tahun 2009, penerimaan penjualan


(sales revenue) adalah Rp 63.872.000. Laba kotor (gross profit) Rp 20.992.000
diperoleh dari penjualan dikurangi harga pokok penjualan (cost of goods
sold) dan merupakan jumlah yang digunakan untuk menutup biaya operasi,
biaya finansial dan pajak. Laba operasi (operating profit) Rp 6.400.000
diperoleh setelah laba kotor dikurangi biaya operasi, berarti perusahaan
sudah membayar biaya produksi dan biaya penjualan produk. Laba operasi
sering disebut earning/net profit before interest and taxes (EBIT), karena
digunakan untuk membayar biaya finansial, yaitu pembayaran bunga
pinjaman dan membayar pajak. Laba operasi dikurangi pembayaran bunga
diperoleh laba sebelum pajak atau earning before tax/EBT, besarnya Rp
5.040.000. Laba bersih (earning/net profit after tax = EAT) Rp 3.216.000
didapat setelah laba sebelum pajak dikurangi pajak. Laba bersih inilah yang
menjadi hak/milik pemegang saham.

4. Rasio Keuangan

Pada bagian ini, akan digambarkan suatu konstruksi dan interpretasi


dari rasio utama yang digunakan untuk meringkas informasi keuangan
BAB 3 Analisis Laporan Keuangan

45

perusahaan. Kemudian setelah menjelaskan serta mengenalkan rasio-rasio


kunci tersebut, akan dipertimbangkan bagaimana dapat dipergunakan
untuk dapat menyertakan informasi mengenai kondisi keuangan dan untuk
mem-forecast prospek perusahaan di masa depan.
Secara garis besar ada empat jenis rasio yang dapat digunakan untuk
menilai kinerja keuangan perusahaan, yaitu rasio likuiditas, aktivitas,
leverage, dan profitabilitas. Keempat jenis rasio tersebut dijelaskan sebagai
berikut:
a. Rasio Likuiditas

Menyoal masalah rasio likuiditas, seharusnya memahami juga apa arti


dari likuiditas itu sendiri. Aktiva likuid secara khusus dicirikan sebagai
suatu aset/aktiva yang dapat dengan mudah dikonversikan menjadi kas/
cash. Tapi apa artinya semua ini? Konversi terhadap karakteristik kas
secara khusus menjelaskan tiga kondisi/keadaan. Pertama, menjelaskan
bagaimana konversi aset menjadi kas dalam horizon waktu jangka pendek,
tapi kondisi tersebut tidaklah memadai untuk dapat menjelaskan mengenai
konsep Likuiditas. Kedua, konversi aset menjadi karakteristik kas tidak
disertai dengan penurunan nilai aset tersebut secara signifikan (lost of
value) dan ketiga, kondisi likuiditas dari aset bersifat scalable, hal ini berarti
sejumlah aset tertentu dapat dikonversikan menjadi kas.
Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa kita sangat peduli terhadap
likuiditas? Analisis likuiditas akan mampu memberikan informasi seseorang
menentukan apakah perusahaan mampu membayar kewajibannya yang
telah jatuh tempo dalam satu tahun (ingat bahwa kondisi likuiditas selalu
dikaitkan dengan kecepatan dan dalam bahasa sederhana kemudian disebut
jangka pendek). Bagaimanapun dengan membandingkan keseluruhan
aktiva lancar dengan kewajiban lancarnya yang jatuh tempo satu tahun atau
kurang kemudian sering disebut bahwa perusahaan memiliki kemampuan
bayar, rasio ini pada analisis selanjutnya disebut liquidity ratio atau rasio
likuiditas. Rasio likuiditas menyediakan beragam informasi mengenai
kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban keuangan perusahaan
jangka pendek.

46

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

Liquidity Ratio yang umum digunakan antara lain:


1) Current ratio (rasio lancar): alat ukur bagi kemampuan likuiditas
(solvabilitas jangka pendek), yaitu kemampuan untuk membayar
utang yang segera harus dipenuhi dengan aktiva lancar.

Formulasi:
CR =

Aktiva lancar
100%
Utang lancar

2) Quick ratio/acid test ratio (rasio cepat): alat ukur bagi kemampuan
perusahaan untuk membayar utang yang segera harus dipenuhi
dengan aktiva lancar yang lebih likuid.

Formulasi:
Aktiva lancar - Persediaan
QR =
100%
Utang lancar

b. Rasio Aktivitas
Rasio aktivitas atau dikenal juga sebagai rasio operasi/efisiensi, yaitu
memfokuskan pada tingkat efisiensi di mana aset-aset dikelola perusahaan,
dengan perkataan lain rasio-rasio ini meringkas berbagai informasi,
sehingga dapat membantu seseorang menilai apakah suatu perusahaan
memiliki jumlah investasi yang tepat untuk setiap aset operasi. Oleh
karenanya, pada umumnya rasio operasi rumusannya beragam dari satu
perusahaan kepada perusahaan lainnya dalam suatu industri.

Rasio-rasio ini antara lain:


1) Receivable turnover (perputaran piutang): mengukur kualitas
piutang perusahaan dan kesuksesan perusahaan dalam me
ngumpulkan piutang dagang tersebut.

Formulasi:
Penjualan Kredit Bersih Setahun
Receivable turnover =

Rata-Rata Piutang

2) Inventory turnover (perputaran persediaan): rasio untuk


mengukur efisiensi penggunaan persediaan atau rasio untuk
mengukur kemampuan dana yang tertanam dalam persediaan
untuk berputar dalam suatu periode tertentu.
BAB 3 Analisis Laporan Keuangan

47

Formulasi:
Harga Pokok Penjualan

Inventory turnover =
Rata - Rata Persediaan
3) Receivable turnover in days (perputaran piutang harian):
mengukur kemampuan perusahaan dalam mengumpulkan
jumlah piutang dalam setiap jangka waktu tertentu.

Formulasi:
Average collection period = Jumlah Hari dalam Setahun
Perputaran Piutang

c.

4) Total assets turnover (perputaran aktiva): rasio untuk mengukur


efisiensi penggunaan aktiva secara keseluruhan.

Formulasi:

Total assets turnover =

Penjualan Bersih
Total Aktiva

Rasio Leverage Finansial

Penggunaan utang dalam pendanaan bisnis dalam perspektif


manajemen keuangan disebut leverage. Dalam ilmu fisika, leverage adalah
sesuatu yang mampu mengangkat/mengungkit dengan kekuatan tertentu.
Utang (debts) adalah salah satu alat pendanaan yang memiliki pengaruh
yang sama baik terhadap kinerja atau return maupun risiko yang harus
dipikul atau ditanggung oleh perusahaan. Dengan demikian, rasio leverage
finansial merupakan rasio yang mengukur seberapa banyak perusahaan
menggunakan dana dari utang.
Rasio-rasio ini antara lain:

1) Debt ratio (rasio utang): rasio yang menghitung berapa bagian
dari keseluruhan kebutuhan dana yang dibiayai dengan utang.

48

Formulasi:

Debt ratio =

Total Utang
Total Aktiva

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

2) Total debt to equity ratio (rasio total utang terhadap modal


sendiri)

Formulasi:

Total debt to equity ratio =

Total Utang
Modal Sendiri

3) Time interest earned ratio: rasio untuk mengukur seberapa besar


keuntungan dapat berkurang (turun) tanpa mengakibatkan
adanya kesulitan keuangan, karena perusahaan tidak mampu
membayar bunga.

Formulasi:

Total assets turnover (perputaran aktiva): rasio untuk mengukur


efisiensi penggunaan aktiva secara keseluruhan.

c.

Time interest earned ratio =

4.

Formulasi:

Total assets turnover =

EBIT
Beban Bunga

Penjualan Bersih
Total Aktiva

Rasio Leverage Finansial

Penggunaan utang dalam pendanaan bisnis dalam perspektif


manajemen keuangan disebut leverage. Dalam ilmu fisika, leverage adalah
sesuatu yang mampu mengangkat/mengungkit dengan kekuatan tertentu.
Utang (debts) adalah salah satu alat pendanaan yang memiliki pengaruh
yang sama baik terhadap kinerja atau return maupun risiko yang harus
dipikul atau ditanggung oleh perusahaan. Dengan demikian, rasio leverage
finansial merupakan rasio yang mengukur seberapa banyak perusahaan
menggunakan dana dari utang.
Rasio-rasio ini antara lain:

1) Debt ratio (rasio utang): rasio yang menghitung berapa bagian
dari keseluruhan kebutuhan dana yang dibiayai dengan utang.

Formulasi:

Debt ratio =

Total Utang
Total Aktiva

BAB 3 Analisis Laporan Keuangan

49

2) Total debt to equity ratio (rasio total utang terhadap modal


sendiri)

Formulasi:

Total debt to equity ratio =

Total Utang
Modal Sendiri

3) Time interest earned ratio: rasio untuk mengukur seberapa besar


keuntungan dapat berkurang (turun) tanpa mengakibatkan
adanya kesulitan keuangan, karena perusahaan tidak mampu
membayar bunga.

Formulasi:

Time interest earned ratio =

EBIT
Beban Bunga

d. Rasio Profitabilitas
Kemampulabaan perusahaan merupakan bagian perhatian utama
seorang manajer (barangkali kecuali bagi para manajer non profit
institution). Konsep kemampulabaan perusahaan sangatlah luas, namun
demikian sangatlah kritis/penting bahwa satu yang amat menentukan baik
itu pada tingkat atau tataran akuntansi dalam hal profit diukur dan faktor
skala digunakan untuk dasar perhitungannya. Sebagai contoh, dengan
memperhatikan tingkatan data untuk beberapa contoh adalah sangat
bermanfaat untuk mengevaluasi keuntungan operasi perusahaan dengan
cara membandingkan dengan sejumlah bisnis sejenis tanpa memperhatikan
tingkat leverage (mengukur profit pada tingkat EBIT atau EBITDA).

Rasio-rasio ini antara lain:

1) Gross profit margin

Formulasi:

Gross profit margin =

2) Net profit margin



50

Formulasi:

Net profit margin =

Penjualan Bersih - HPP


Penjualan Bersih

EAT
Penjualan Bersih

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

3) Return on assets

Formulasi:

Return on assets =

4) Return on equity

Formulasi:

Return on equity =

EAT
Total Assets

EAT
Total Modal Sendiri

5. Evaluasi Rasio-Rasio Keuangan


Summary evaluasi rasio-rasio keuangan disajikan seperti berikut:
Liquidity ratio:
Current ratio
Naik
Membaik
Quick ratio
Naik
Membaik
Cash ratio
Naik
Membaik
Leverage ratio:
Debt to total assets ratio
Debt to equity ratio
Long term debt to equity ratio
Time interest earned ratio
Activity ratio:
Receivable turnover
Average collection period
Inventory turnover
Average days in inventory
Assets turnover
Profitability ratio:
Gross profit margin
Operating profit margin
Net profit margin
Return on assets
Return on equity

Naik
Naik
Naik
Naik

Memburuk
Memburuk
Memburuk
Membaik

Naik
Naik
Naik
Naik
Naik

Membaik
Memburuk
Membaik
Memburuk
Membaik

Naik
Naik
Naik
Naik
Naik

Membaik
Membaik
Membaik
Membaik
membaik

BAB 3 Analisis Laporan Keuangan

51

6. Keterbatasan Analisis Rasio Keuangan


Adapun keterbatasan dari analisis rasio keuangan adalah sebagai
berikut:
a. Perbedaan metode akuntansi yang dipakai untuk menyusun laporan
keuangan.
b. Penjualan perusahaan yang bersifat musiman.
c. Kesulitan untuk menentukan jenis industri apabila perusahaan mem
punyai berbagai lini produk.
d. Perusahaan dapat melakukan window dressing.

7. Latihan dan Penyelesaian


Soal 1.

Diketahui laporan keuangan PT Bumi Jaya sebagai berikut:


PT Bumi Jaya
Neraca 31 Desember, 2009
(dalam jutaan Rp)

Kas

Piutang

Persediaan

Total aktiva lancar


Aktiva tetap
Total aktiva

52

880

1.100
3.300
5.280
2.420
7.700

Utang dagang
Utang wesel

Utang lainnya

660
880
440

Total utang lancar

1.980

Utang dan modal sendiri

7.700

Utang jangka panjang


Modal sendiri

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

880

4.840

Penjualan

PT Bumi Jaya
Laporan Laba Rugi 31 Desember, 2009
(dalam jutaan Rp)

Harga pokok penjualan


Laba bruto

11.000
8.120

Biaya operasi:

Biaya penjualan

1.100
1.268

Biaya administrasi dan umum


EBIT

2.880

2.368
512
52

Bunga

Laba sebelum pajak

460
230

Pajak (50%)
Laba bersih

230

Dari data tersebut, hitunglah:


a. Current Ratio
b. Quick Ratio
c. Debt Ratio
d. Average Collection Period
e. Total Asset Turnover
f. Total Debt to Equity Ratio
g. Net Profit Margin
Penyelesaiannya:

Aktiva lancar
100%
Utang lancar
5.280
=
100%
1.980
= 2,67 atau 267%
a.

Current Ratio =

BAB 3 Analisis Laporan Keuangan

53

b.

Quick Ratio =

=
=

Aktiva lancar - Persediaan


100%
Utang lancar

(5.280 - 3.300)
1.980

1.980
1.980

100%

= 1
= 100%
c.

Debt Ratio =

=
=

Total Utang
100%
Total Aktiva

(1.980 + 880)
7.700

2.860
7.700

= 0,37
= 37%
d.

Average Collection Period



e.


f.

1.100365
11.000

= 36,5 hari

Total Debt to Equity Ratio =


54

Piutang Jumlah Hari dalam Setahun


Penjualan Kredit

Penjualan Bersih
Total Aktiva
11.000
=
7.700
= 1,43 kali

Total Asset Turnover =

100%

Total Utang
Modal Sendiri

(1.980 + 880)
4.840

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)


g.

Net Profit Margin =



Soal 2.

= 0,59 = 59%

Laba Bersih setelah Pajak


Penjualan Bersih

230
11.000
= 0,021 = 2,1%
=

Lengkapilah Neraca dan Laporan Laba Rugi PT Bunga Flamboyan berikut:

Kas
Piutang
Persediaan
Aktiva tetap
Total aktiva

PT Bunga Flamboyan
Neraca 31 Desember, 2009
(Rp)

800.000

Utang lancar
10% obligasi
Modal sendiri

Total utang dan modal sendiri

PT Bunga Flamboyan
Laporan Laba Rugi 31 Desember, 2009
(Rp)

Penjualan neto
Harga pokok penjualan
Laba bruto
Biaya administrasi dan umum
Biaya penjualan
EBIT
Bunga 10%
Laba sebelum pajak
Pajak (50%)
Laba neto

8.000.000
4.000.000

12.000.000

BAB 3 Analisis Laporan Keuangan

55

Keterangan:
a. Tingkat perputaran aktiva = 4
b. Tingkat perputaran persediaan = 7,5
c. Quick Ratio = 100%
d. Rasio aktiva tetap dengan aktiva total = 60%
e. Rasio utang jangka panjang dengan aktiva tetap = 50%
f. Operating ratio (rasio biaya total dengan penjualan) = 60%
g. Rasio kas dengan persediaan = 50%
Penyelesaiannya:

Rasio operasi =

biaya total
Penjualan

= 60%

= Rp 20.000.000

Penjualan

12.000.000
12.000.000
0, 6

Tingkat perputaran aktiva =

Penjualan
= 4
Total aktiva
20.000.000
=4
Total aktiva

= Rp 5.000.000

Total aktiva = 20.000.000


4

Rasio aktiva tetap dengan total aktiva =

Aktiva tetap
= 60%
Total aktiva

= Aktiva tetap = 60%


5.000.000

Aktiva tetap = 60% 5.000.000




= Rp 3.000.000
56

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

Aktiva lancar = Total aktiva Aktiva tetap



= 5.000.000 3.000.000

= Rp 2.000.000

Rasio utang jangka panjang dengan aktiva tetap


=

Utang jangka panjang


= 50%
3.000.000


Utang jangka panjang = 50% 3.000.000
= Rp 1.500.000

Rasio kas dengan persediaan =

Kas
= 50%
800.000


Kas = 50% 800.000

= Rp 400.000

Piutang = Aktiva lancar Kas Persediaan



Piutang = 2.000.000 400.000 800.000
= Rp 800.000

Quick ratio = Aktiva lancar - Persediaan = 100%


Utang Lancar

2.000.000 - 800.000
=1
Utang Lancar


Utang lancar = 2.000.000 800.000

= Rp 1.200.000

Modal sendiri = 5.000.000 1.200.000 1.500.000



= Rp 2.300.000

Perputaran persediaan =

H arg a pokok penjualan


= 7,5 kali
Persediaan
H arg a pokok penjualan
= 7,5 kali
800.000
BAB 3 Analisis Laporan Keuangan

57


Harga pokok penjualan = 7,5 800.000

= Rp 6.000.000

Dengan demikian, neraca dan laporan laba-rugi adalah sebagai berikut:


PT Bunga Flamboyan
Neraca 31 Desember, 2009
(Rp)

Kas

Piutang

Persediaan

Aktiva tetap
Total aktiva

400.000
800.000
800.000

3.000.000
5.000.000

Penjualan neto

Utang lancar

10% obligasi

Laba bruto

Modal sendiri

Total utang dan modal sendiri

Biaya administrasi dan umum


Biaya penjualan
EBIT

1.500.000

PT Bunga Flamboyan
Laporan Laba Rugi 31 Desember, 2009
(Rp)

Harga pokok penjualan

20.000.000
6.000.000
8.000.000
4.000.000

Bunga 10%

Laba sebelum pajak


Pajak (50%)
Laba neto

58

1.200.000

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

2.300.000

5.000.000

14.000.000
12.000.000
2.000.000
150.000

1.850.000
925.000
925.000

Soal 3.

Lengkapilah neraca berikut ini dengan menggunakan data berikut:


Debt to net worth ratio
41,8%
Acid test ratio
2,3
Periode pengumpulan piutang
40 hari
Gross profit margin
22%
Perputaran persediaan
6,5 kali
Perputaran aset
1,3 kali
PT Rennais
Neraca 31 Desember, 2009
(Rp)

Kas

Piutang

Persediaan

Utang lancar
Saham biasa

Laba ditahan

Bangunan dan perlengkapan kantor


Total aktiva

Total pasiva

20.000
35.000

PT Rennais
Laporan Laba Rugi 31 Desember, 2009
(Rp)

Penjualan neto

Harga pokok penjualan


Laba bruto

Penyelesaiannya:

Debt to net worth = 41,8%

Utang
= 41,8%
Saham biasa + Laba ditahan


Utang = 41,8% (20.000 + 35.000)
= Rp 22.990

BAB 3 Analisis Laporan Keuangan

59

Total pasiva = Total utang + total modal sendiri



= 22.990 + 55.000

= Rp 77.990

Acid test ratio = 2,3

Aktiva lancar - Persediaan = 2,3


Utang lancar


(Kas + Piutang) = 2,3 22.990
= Rp 52.877

Perputaran aktiva = 1,3

Periode pengumpulan piutang = 40 hari

Penjualan = 1,3
Total Aktiva


Penjualan = 1,3 77.990

= Rp 101.387


Rata-rata piutang = (penjualan/360) 40

= (101.387/360) 40 = Rp 11.265
Kas = (Kas + Piutang) Piutang

= 52.877 11.265 = Rp 41.612

Gross profit margin = 22%


Harga pokok penjualan = (1 GPM) penjualan

= (1 22%) 101.387

= Rp 79.082

Perputaran persediaan = 6,5 kali

Harga pokok penjualan


Rata - rata persediaan


Rata-rata persediaan

= 6,5

= 79.082/6,5
= Rp 15.598

Bangunan dan perlengkapan kantor = Total aktiva Aktiva lancar


= 77.990 (41.612 + 11.265 + 15.598)
= Rp 9.515
60

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

PT Rennais
Neraca 31 Desember, 2009
(Rp)

Kas

41.612

Piutang

Persediaan

Bangunan dan perlengkapan kantor


Total aktiva

11.265
15.598
9.515

77.990

PT Rennais
Laporan Laba Rugi 31 Desember, 2009
(Rp)

Penjualan neto

Harga pokok penjualan


Laba bruto

101.387
79.082

Soal 4.

Utang lancar

22.990

Total pasiva

77.990

Saham biasa

Laba ditahan

20.000
35.000

22.305

Diketahui neraca dan laporan laba rugi PT Bremen sebagai berikut:

Kas

Piutang

Persediaan

Total aktiva
lancar

Aktiva tetap
Total aktiva

PT Bremen
Neraca 31 Desember, 2009
(Rp)

540.000.000 Utang dagang


650.000.000 Utang wesel

1.750.000.000 Utang lainnya

430.000.000
540.000.000
320.000.000

2.940.000.000 Total utang lancar

1.290.000.000

4.250.000.000 Utang dan modal sendiri

4.250.000.000

Utang jangka panjang

1.310.000.000 Modal sendiri

540.000.000

2.420.000.000

BAB 3 Analisis Laporan Keuangan

61

Penjualan

PT Bremen
Laporan Laba Rugi 31 Desember, 2009
(Rp)

Harga pokok penjualan


Laba bruto

Biaya operasi:

Biaya penjualan

Biaya administrasi dan umum


EBIT

6.600.000.000
4.160.000.000
650.000.000
734.000.000

2.440.000.000

1.384.000.000
1.056.000.000
106.000.000

Bunga

Laba sebelum pajak

950.000.000
475.000.000

Pajak (50%)
Laba bersih

475.000.000

Dari neraca dan laporan laba rugi PT Bremen tersebut, saudara diminta
untuk menghitung:
a. Berapa perputaran kas (cash turnover)?
b. Berapa perputaran piutang (receivable turnover)?
c. Berapa perputaran persediaan (inventory turnover)?
Penyelesaiannya:
a.

Cash turnover =

62

Penjualan
Kas
6.600.000.000
540.000.000

= 12,22 kali berputar dalam setahun

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

b.

Receivable turnover =

Penjualan
Piutang
6.600.000.000
650.000.000

= 10,15 kali berputar dalam setahun


c.

Inventory turnover =

Harga Pokok Penjualan


Rata - rata persediaan

= 4.160.000.000
1.750.000.000

= 2,38 kali berputar dalam setahun

Conclusion Remark

Untuk menilai kondisi keuangan dan prestasi perusahaan, analis


keuangan memerlukan beberapa tolok ukur. Tolok ukur yang sering dipakai
adalah rasio atau indeks, yang menghubungkan dua data keuangan yang
satu dengan yang lainnya. Rasio analisis keuangan meliputi dua jenis
perbandingan. Pertama, analis dapat membandingkan rasio sekarang
dengan yang lalu dan yang akan datang untuk perusahaan yang sama
(perbandingan internal). Kedua, perbandingan meliputi perbandingan rasio
perusahaan dengan perusahaan lainnya yang sejenis atau dengan rata-rata
industri pada satu titik yang sama (perbandingan eksternal).
Rasio-rasio dikelompokkan kedalam 5 kelompok dasar, yaitu: likuiditas,
leverage, aktivitas, profitabilitas, dan penilaian. Sejumlah rasio yang tak
terbatas banyaknya dapat dihitung, akan tetapi dalam praktiknya cukup
digunakan beberapa jenis rasio saja. Meskipun rasio-rasio merupakan alat
yang sangat berguna, tetapi tidak terlepas dari beberapa keterbatasan dan
harus digunakan dengan hati-hati. Rasio disusun dari data akuntansi dan
data tersebut dipengaruhi oleh cara penafsiran yang berbeda dan bahkan
bisa merupakan hasil manipulasi.

BAB 3 Analisis Laporan Keuangan

63

DAFTAR PUSTAKA
Atmaja, Lukas Setia. 2008. Teori dan Praktik Manajemen Keuangan.
Yogyakarta: Andi.
Brealey, Richard A., Myers, Stewart C., and Marcus, Alan J. 2009. Fundamentals
of Corporate Finance (6th edition). McGraw-Hill.

Bringham, Eugene F., and Gapenski, Louis C. 1996. Intermediate Financial


Management (5th edition). New York: The Dryden Press.

Brigham, Eugene F., and Daves, Phillip R. 2007. Intermediate Financial


Management (9th edition). Mason: Thomson.
Husnan, Suad. 1996. Kumpulan Soal dan Penyelesaiannya: Manajemen
Keuangan Teori dan Penerapan (edisi ke-3). Yogyakarta: BPFE.

Husnan, Suad dan Pudjiastuti, Enny. 2006. Dasar-Dasar Manajemen


Keuangan (edisi ke-5). Yogyakarta: UPP STIM YKPN.

Riyanto, Bambang. 2001. Dasar-Dasar Pembelanjaan Perusahaan (edisi


ke-4). Yogyakarta: BPFE.
Ross, Stephen A., Westerfield, Randolph W., and Jordan, Bradford D. 2008.
Fundamentals of Corporate Finance (8th edition). New York: McGrawHill/Irwin.
Sartono, Agus. 2008. Manajemen Keuangan Teori dan Aplikasi (edisi ke-4).
Yogyakarta: BPFE.
Sjahrial, Dermawan. 2009. Manajemen Keuangan (edisi ke-3). Jakarta: Mitra
Wacana Media.

______________________. 2009. Pengantar Manajemen Keuangan (edisi ke-3).


Jakarta: Mitra Wacana Media.
Van Horne, James C., and Wachowicz, Jr., John Martin. 2008. Fundamentals
of Financial Management (13th edition). Harlow: Prentice-Hall, Inc.

Weston, J. Fred and Copeland, Thomas E. 1992. Managerial Finance. New


York: The Dryden Press.
64

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

Nilai Waktu Uang


Jaja Suteja

Sejumlah uang yang akan diterima dari hasil investasi pada akhir tahun,
kalau kita memperhatikan nilai waktu uang, maka nilainya akan lebih
rendah pada akhir tahun depan. Jika kita tidak memperhatikan nilai waktu
dari uang, maka uang yang akan kita terima pada akhir tahun depan
adalah sama nilainya yang kita miliki sekarang.

BA B

Nilai Waktu Uang

Setelah membaca topik ini diharapkan memahami:


1. Analisis Penghitungan Present Value

2. Waktu dari Arus Kas Mempengaruhi Nilai Aktiva dan Return

A. Pendahuluan

ilai waktu uang merupakan konsep sentral dalam manajemen


keuangan. Beberapa pakar yang mengatakan bahwa pada dasarnya
manajemen keuangan merupakan aplikasi konsep nilai waktu uang.
Pemahaman nilai waktu uang sangat penting dalam studi manajemen
keuangan. Banyak keputusan dan teknik dalam manajemen keuangan yang
memerlukan pemahaman nilai waktu uang. Biaya modal, analisis keputusan
investasi (penganggaran modal), analisis alternatif dana, penilaian surat
berharga, penetapan skedul pelunasan utang, investasi, pembelian
peralatan merupakan contoh-contoh teknik dan analisis yang memerlukan
pemahaman konsep nilai waktu uang.
Oleh karena itu, penting untuk mengetahui konsep waktu dari uang
sebelum mempelajari materi yang lain. Uang yang dimiliki sekarang jauh
lebih berharga dibandingkan dengan uang yang akan diterima tahun depan,
karena uang yang kita miliki sekarang dapat diinvestasikan, ditabung atau
didepositokan yang dapat menghasilkan bunga, sehingga nilainya lebih
tinggi.
66

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

B. Pengertian Nilai Waktu Uang


Pemahaman konsep nilai waktu uang diperlukan oleh manajer
keuangan dalam mengambil keputusan ketika akan melakukan investasi
pada suatu aktiva dan pengambilan keputusan ketika akan menentukan
sumber dana pinjaman yang akan dipilih. Konsep nilai waktu dari uang
berhubungan dengan tingkat bunga yang digunakan dalam perhitungan
aliran kas. Present value akan berbeda dengan nilai uang tersebut di masa
yang akan datang (future value), karena adanya faktor bunga.
Suatu jumlah uang tertentu yang diterima waktu yang akan datang jika
dinilai sekarang, maka jumlah uang tersebut harus didiskon dengan tingkat
bunga tertentu (discount factor), sedangkan suatu jumlah uang tertentu
saat ini dinilai untuk waktu yang akan datang maka jumlah uang tersebut
harus digandakan dengan tingkat bunga tertentu (compound factor).

C. Future Value

Nilai waktu yang akan datang merupakan nilai uang yang akan datang
dari satu jumlah uang atau suatu seri pembayaran pada waktu sekarang,
yang dievaluasi dengan suatu tingkat bunga tertentu. Proses yang mengarah
dari nilai sekarang (present value) menuju nilai masa depan (future value)
disebut dengan pemajemukan. Pemajukan adalah proses aritmatika untuk
menetapkan nilai akhir dari arus kas atau rangkaian arus kas ketika bunga
majemuk digunakan.
a. Bunga Sederhana
Bunga adalah sejumlah uang yang dibayarkan atau dihasilkan sebagai
kompensasi terhadap apa yang dapat diperoleh dari penggunaan uang.
Bunga sederhana adalah bunga yang dibayarkan atau dihasilkan hanya
dari jumlah uang mula-mula atau pokok pinjaman yang dipinjamkan atau
dipinjam.
Formula:
Si = P0 (i) (n)

BAB 4 Nilai Waktu Uang

67

di mana:
Si = jumlah bunga sederhana
P0 = pinjaman
i = tingkat bunga
n = jangka waktu

Untuk setiap tingkat bunga sederhana, maka nilai akhir untuk


perhitungan akhir n periode adalah:
FVn = P0 [1 + (i) (n)]

Menghitung nilai pada waktu sekarang jumlah uang yang baru dimiliki
beberapa waktu kemudian adalah:
PV0 = P0 =

FVn
{1 + (i )(n)}

b. Bunga Majemuk
Bunga majemuk menunjukkan bahwa bunga yang dibayarkan atau
dihasilkan dari bunga yang dihasilkan sebelumnya, sama seperti pokok
yang dipinjam atau dipinjamkan.
Secara umum future value dari jumlah uang pada akhir periode n
adalah:
FVn = P0 (1 + i)n atau FVn = P0 (FVIFi, n)
c.

Present Value
Nilai sekarang atau present value dari arus kas atau serangkaian
arus kas di masa mendatang. Proses pencarian nilai sekarang dari arus
kas atau serangkaian arus kas, pendiskontoan merupakan kebalikan dari
pemajemukan.
Formula:
PV0 = P0 = FVn/(1 + i)n atau P0 = FVn [1/(1 + i)n]

68

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

d. Annuity
Annuity atau anuits adalah deretan pembayaran dengan jumlah uang
yang sama selama sejumlah tahun tertentu.

1) Anuitas Nilai Masa Datang


Nilai yang akan datang dari suatu anuitas merupakan nilai anuitas
majemuk masa datang dengan pembayaran atau penerimaan periodic (R)
dan n sebagai jangka waktu anuitas.
Formula untuk mencari nilai masa datang suatu anuitas biasa adalah:
FVAn = R [ (1 + i)n 1]/i atau FVAn = R (FVIFAi, n)

di mana:
FVAn
= nilai masa depan anuitas sampai periode n
R
= pembayaran atau penerimaan
n
= waktu anuitas
i
= tingkat bunga
FVIFAi, n = nilai akhir faktor bunga anuitas pada i% untuk n periode

Apabila pembayaran bunga dibayarkan sebanyak m kali dalam setahun,


maka nilai yang akan datang dapat dihitung dengan formula:
FVn = PV0 [1 + (i/m)m.n

di mana:
FVn = nilai waktu yang akan datang pada tahun ke n
PV0 = nilai sekarang
m = frekuensi pembayaran bunga dalam setahun
n = jumlah tahun

2) Anuitas Nilai Sekarang


Nilai sekarang dari suatu anuitas merupakan nilai anuitas majemuk
saat ini dengan pembayaran atau penerimaan periodic (R) dan n sebagai
jangka waktu anuitas.

BAB 4 Nilai Waktu Uang

69

Formula:

PVAn = R [1/(1 + i)1] + R [1/(1+i)2 + + R [1/(1 + i)n]


atau

PVAn = R [PVIFi, 1 + PVIFi, 2 + + PVIFi, n]

di mana:
PVAn
= nilai sekarang anuitas
R
= pembayaran atau penerimaan
N
= jumlah waktu anuitas
PVIFAi, n = nilai sekarang faktor bunga anuitas pada i% untuk n periode

D. Latihan dan Penyelesaian


Soal 1.

Agus sebagai nasabah membutuhkan dana sebesar Rp 14.479.800,- pada


akhir tahun ke-12. Misalkan bahwa yang terbaik bagi nasabah adalah
membayarkan suatu jumlah yang tetap setiap tahunnya ke rekening
tabungan di bank yang memberikan bunga majemuk 12% per tahun.
Pembayaran pertama harus dilakukan pada akhir tahun pertama.
a. Berapa rencana jumlah yang akan dibayar tahunan untuk mencapai
tujuan tersebut?
b. Jika nasabah menyetorkan uang sekaligus, berapa yang harus nasabah
setorkan untuk memperoleh dana sebesar Rp 14.479.800,- pada akhir
tahun ke-12 dengan tingkat bunga 12% per tahun?
Penyelesaiannya:
a.

Pembayaran tahunan yang direncanakan:


FVn = R (FVIFi, n)
FV12 = Rp 14.479.800
i = 12%
n = tahun
FVIF12%, 12 tahun = 24,133 (lihat tabel anuitas)

70

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

b.

FV12
14.479.800
=
= Rp 600.000,FV12%12
24,133

Jumlah Rp 600.000,- adalah angsuran per tahun untuk mencapai


akumulasi dana sebesar Rp 14.479.800,- pada akhir tahun ke-12.

Pembayaran sekaligus yang harus dilakukan:


PVn = FVn (PVIVi, n)
FV = Rp 14.479.800
i = 12%
n = 12 tahun
PVIF12%, 12 tahun = 0,2567 (lihat tabel present value)
PV12 = FV12 (PVIF12%, 12)

= 14.479.800 (0,2567) = Rp 3.716.694,66

Jumlah Rp 3.716.694,66 adalah jumlah yang harus disetorkan


untuk memperoleh hasil akhir tahun ke-12 sebesar 14.479.800,-

Soal 2.

Tuan Gerrard memperoleh pinjaman dari Standard Chartered Bank sebesar


$ 50.000.000 dengan tingkat bunga sebesar 20% yang harus dibayar
dari sisa pinjaman. Pembayaran angsuran ditambah bunga setiap tahun
jumlahnya sama selama 6 tahun.
a. Berapa jumlah angsuran yang harus dibayar Tuan Gerrard setiap
tahun?
b. Buatlah tabel amortisasi pinjaman tersebut.
Penyelesaiannya:

a. Besarnya pembayaran angsuran tiap tahun dihitung:



PVAn = R {1 [1/(1 + i)]n/i =50.000.000 {1 [1/1 + 0,2]6/0,2} atau

R = 50.000.000/3,326 (lihat tabel anuitas)
= $ 15.033.073

Untuk mempermudah perhitungan, maka besarnya R (pembayaran


angsuran plus bunga) setiap tahun dibulatkan menjadi $ 15.033.000
BAB 4 Nilai Waktu Uang

71

b.

Tabel amortisasi pinjaman:

Tahun

Pembayaran

Bunga

Angsuran Pinjaman

50.000.000

6.039.600

38.927.400

15.033.000

10.000.000

5.033.000

15.033.000

7.785.480

7.247.520

15.033.000

15.033.000

15.033.000

15.033.000

8.993.400
6.335.976
4.596.571
2.509.285

Sisa Pinjaman

8.697.024

10.436.429

12.523.715*

Keterangan: Terdapat selisih sebesar $ 22.712 akibat pembulatan


*

44.967.000
31.679.880
22.982.856

12.546.427*

Soal 3.

Satria membeli saham 10 tahun yang lalu dengan harga Rp 20.000,- per
lembar saham. Jika saat ini saham tersebut dapat terjual dengan harga
Rp 43.180,- per lembar saham, maka berapa tingkat bunga yang berlaku?
Penyelesaiannya:
FVr,n
Rp 43.180
FVIFAr,10

= P0 (FVIFA)
= Rp 20.000 (FVIFAr,10)
= Rp 43.180/Rp 20.000
= 2,159

Dengan melihat tabel pada baris 10 tahun, maka diperoleh tingkat


bunga yang sesuai adalah r = 8%.
Soal 4.

Neymar terpilih sebagai Young Player of the Year. Ia boleh memilih salah
satu hadiah yang menarik (1) menerima uang pembinaan per tahun sebesar
$ 250.000 yang diterima setiap akhir tahun selama 10 tahun, (2) menerima
hadiah tabungan senilai $ 1.500.000 atau (3) voucher liburan ke Raja Ampat
senilai $ 1.000.000. Discount rate yang tepat adalah 8%. Alternatif hadiah
mana yang sebaiknya Neymar pilih?
72

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

Penyelesaiannya:

(1) PVAr, t = P0 (PVIFA)


= 250.000 [PVIFA (8%,10)]
= 250.000 (6,710) = $ 1.677.500
(2) Menerima tabungan saat ini senilai $ 1.500.000
(3) Voucher liburan ke Raja Ampat $ 1.000.000

Dengan demikian, sebaiknya Neymar memilih untuk menerima uang


pembinaan saja.

Conclusion Remark

Nilai waktu uang merupakan konsep sentral dalam manajemen


keuangan. Pemahaman nilai waktu uang sangat penting dalam studi
manajemen keuangan. Banyak keputusan dan teknik dalam manajemen
keuangan yang memerlukan pemahaman nilai waktu uang. Biaya modal,
analisis keputusan investasi (penganggaran modal), analisis alternatif dana,
penilaian surat berharga, merupakan contoh-contoh teknik dan analisis
yang memerlukan pemahaman konsep nilai waktu uang.
Tujuan dari rencana keuangan adalah untuk mencapai keadaan
perekonomian seseorang seperti yang ditargetkan sebelumnya. Maka dalam
merencanakan keuangan penting kita ketahui bahwa inflasi merupakan
bagian yang inheren pula dari setiap tindakan/keputusan keuangan yang
diambil. Misalnya dalam keputusan memilih investasi, jangan sampai
pengorbanan sekarang yang kita lakukan, alih-alih mendapat nilai tambah,
akhirnya justru menurun.
Pemahaman konsep nilai waktu uang diperlukan oleh manajer
keuangan dalam mengambil keputusan ketika akan melakukan investasi
pada suatu aktiva dan pengambilan keputusan ketika akan menentukan
sumber dana pinjaman yang akan dipilih. Suatu jumlah uang tertentu yang
diterima waktu yang akan datang jika dinilai sekarang, maka jumlah uang
tersebut harus didiskon dengan tingkat bunga tertentu (discount factor).
Suatu jumlah uang tertentu saat ini dinilai untuk waktu yang akan datang
maka jumlah uang tersebut harus digandakan dengan tingkat bunga
tertentu (compound factor).
BAB 4 Nilai Waktu Uang

73

DAFTAR PUSTAKA
Atmaja, Lukas Setia. 2008. Teori dan Praktik Manajemen Keuangan.
Yogyakarta: Andi.
Brealey, Richard A., Myers, Stewart C., and Marcus, Alan J. 2009. Fundamentals
of Corporate Finance (6th edition). McGraw-Hill.

Bringham, Eugene F., and Gapenski, Louis C. 1996. Intermediate Financial


Management (5th edition). New York: The Dryden Press.

Brigham, Eugene F., and Daves, Phillip R. 2007. Intermediate Financial


Management (9th edition). Mason: Thomson.
Husnan, Suad. 1996. Kumpulan Soal dan Penyelesaiannya: Manajemen
Keuangan Teori dan Penerapan (edisi ke-3). Yogyakarta: BPFE.

Husnan, Suad dan Pudjiastuti, Enny. 2006. Dasar-Dasar Manajemen


Keuangan (edisi ke-5). Yogyakarta: UPP STIM YKPN.

Riyanto, Bambang. 2001. Dasar-Dasar Pembelanjaan Perusahaan (edisi


ke-4). Yogyakarta: BPFE.
Ross, Stephen A., Westerfield, Randolph W., and Jordan, Bradford D. 2008.
Fundamentals of Corporate Finance (8th edition). New York: McGrawHill/Irwin.
Sartono, Agus. 2008. Manajemen Keuangan Teori dan Aplikasi (edisi ke-4).
Yogyakarta: BPFE.
Sjahrial, Dermawan. 2009. Manajemen Keuangan (edisi ke-3). Jakarta: Mitra
Wacana Media.

______________________. 2009. Pengantar Manajemen Keuangan (edisi ke-3).


Jakarta: Mitra Wacana Media.
Van Horne, James C., and Wachowicz, Jr., John Martin. 2008. Fundamentals
of Financial Management (13th edition). Harlow: Prentice-Hall, Inc.

Weston, J. Fred and Copeland, Thomas E. 1992. Managerial Finance. New


York: The Dryden Press.
74

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

Teori Struktur
Modal Perusahaan
Jaja Suteja

Dalam praktik terbaiknya, optimalisasi struktur modal dan leverage factor


bertujuan untuk meningkatkan nilai perusahaan (value of the firm),
namun rasio ideal kebijakan ini bersifat relatif bagi setiap perusahaan

BA B

Teori Struktur Modal


Perusahaan

Setelah membaca topik ini diharapkan memahami:

1. Pengertian Struktur Modal dan Keuangan Perusahaan


2. Struktur Modal Optimal dan Nilai Perusahaan

3. Berbagai Pendekatan dalam Struktur Modal Perusahaan


4. Proposisi Modigliani dan Miller

5. Teori-Teori Struktur Modal Perusahaan

1. Pengertian Struktur Modal

engapa struktur modal perusahaan (corporate capital structure)


merupakan salah satu masalah penting bagi suatu perusahaan? Untuk
menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita mulai memahami apa yang
dimaksud dengan struktur modal, beberapa pendekatan penting dalam
struktur modal perusahaan, serta teori-teori struktur modal perusahaan.
Perlu kiranya kita pahami terlebih dahulu perbedaan antara struktur
modal (capital structure) dengan struktur keuangan (financial structure).
Pemahaman ini penting agar mampu membedakan aset mana saja yang
dibiayai oleh sumber pendanaan jangka panjang (umumnya komponen
aktiva tetap, seperti: property, plant, dan equipment) dan mana yang dibiayai
oleh pendanaan yang bersifat spontan (spontaneous financing) atau jangka
pendek (umumnya modal kerja perusahaan atau modal kerja yang bersifat
76

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

musiman), sehingga aspek-aspek penilaian kinerja keuangan perusahaan


(corporate finance assesment), seperti: likuiditas, solvabilitas, profitabilitas,
dan marketabilitas perusahaan relatif lebih mudah dianalisis.
Struktur modal perusahaan adalah perbandingan antara utang jangka
panjang (long term debt) dengan modal sendiri (equity) yang dipergunakan
oleh perusahaan. Keown (2001) secara tegas menyebutkan bahwa yang
dimaksud dengan struktur modal dan struktur keuangan sebagai berikut:

Financial structure is the mix of all items that appear on the right
hand side of companys balance sheet. Capital structure is the mix of the
long-term sources of funds used by the firm. The relationship between
financial dan capital structure can be expressed in equation form:
(financial structure) (current liabilities) = capital structure.
Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa struktur keuangan
merupakan perpaduan dari seluruh bagian atau komponen-komponen yang
ada disebelah kanan (right hand side) suatu neraca perusahaan. Sementara
itu, struktur modal merupakan sumber pembiayaan jangka panjang yang
digunakan oleh perusahaan, dengan demikian struktur modal merupakan
bagian saja dari struktur keuangan perusahaan.
Keown (2001) selanjutnya mengemukakan bahwa tujuan pengelolaan
struktur modal perusahaan (capital structure management) adalah
untuk membuat suatu komposisi relatif antara sumber dana permanen
perusahaan dengan cara memaksimumkan harga saham perusahaan dan
meminimumkan biaya modal perusahaan (cost of capital), dengan demikian
hal tersebut akan mampu menyeimbangkan antara risiko (risk) dan tingkat
pengembalian yang diharapkan.
Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa struktur modal adalah
kombinasi atau persentase yang dinamis baik dalam artian relatif maupun
absolut antara sumber pendanaan jangka panjang yang berasal dari utang
(long term debt) dengan modal yang berasal dari para pemilik perusahaan
atau modal sendiri (equity). Oleh karena itu, struktur modal ini sering
disebut sebagai komposisi pendanaan perusahaan yang relatif permanen.
BAB 5 Teori Struktur Modal Perusahaan

77

Utang dan Risiko Perusahaan


Dalam praktiknya, tidak ada satupun kegiatan bisnis yang benarbenar bebas dari risiko (riskless business activities absolutely), meskipun
suatu instrumen investasi dikatakan riskless assets namun keberlakuannya
pada suatu situasi tertentu disertai dengan asumsi tertentu pula. Misalnya,
keberlakuan mengenai konsep pasar modal sempurna (perfect capital
market concept) yang menganggap bahwa di pasar tidak ada biaya pajak,
tidak ada biaya kebangkrutan, semua pelaku pasar memiliki informasi yang
sama dan lainnya.
Begitu juga dengan penggunaan utang (financial leverage) sebagai
sumber pendanaan dalam perusahaan akan menimbulkan risiko tambahan
(additional risk) bagi perusahaan, selain jenis risiko sebagai konsekuensi
kegiatan operasi bisnis dan risiko pasar. Sejumlah risiko tersebut di
antaranya, adalah: (1) risiko bisnis (business risk), (2) risiko pasar (market
risk), dan (3) risiko finansial (financial risk).

Risiko bisnis (business risk) adalah risiko unik, risiko yang timbul pada
perusahaan tertentu yang belum tentu dihadapi oleh perusahaan lain.
Dengan demikian, tidak bersifat sistematis (un-systematic risk), misalnya
risiko yang ditimbulkan karena kegiatan operasional perusahaan akibat
ketidakpastian pendapatan operasional. Menurut Brigham (1999), risiko
bisnis ditentukan oleh beberapa faktor, di antaranya: (i) sensitivitas
permintaan, (ii) harga jual, (iii) harga input, (iv) kemampuan menyesuai
kan harga output terhadap perubahan input, (v) operating leverage, dan
lainnya.

Risiko pasar (market risk) merupakan risiko yang terjadi di luar kegiatan
perusahaan yang tidak dapat diantisipasi oleh perusahaan. Risiko ini sering
disebut juga dengan risiko sistematik (systematic risk). Beberapa faktor
yang menyebabkan terjadinya risiko pasar adalah: (i) inflasi, (ii) resesi,
(iii) pembayaran bunga yang tinggi, dan (iv) faktor lainnya yang bersifat
makro. Oleh karena itu, risiko bisnis relatif lebih terkontrol (controllable
factors), maka risiko pasar ini relatif bersifat given, dengan demikian yang
tersisa adalah risiko pasar, oleh karena risiko jenis ini sangat penting
untuk diperhatikan oleh manajemen perusahaan. Selanjutnya manajemen
78

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

perusahaan akan membandingkan bagaimana tingkat risiko perusahaan


dengan risiko pasar, sensitifitas ini diukur dalam bentuk slope/gradient/
tangent yang kemudian dikenal dengan beta.

Risiko finansial (financial risk) adalah risiko yang timbul karena
keputusan penggunaan sumber dana dengan beban tetap, seperti biaya
bunga atas penggunaan utang dan dividen atas penerbitan saham preferen,
risiko ini dalam manajemen keuangan disebut sebagai risiko tambahan
atau additional risk. Semakin kecil kemampuan perusahaan memperoleh
laba operasi (operating income) atau Earnings Before Interest dan Tax
(EBIT) akan menyebabkan ketidakmampuan perusahaan memberikan
keuntungan bagi pemegang saham sehingga memperkecil pendapatan
per lembar saham atau Earnings per Share (EPS). Hubungan antara EBIT
dengan EPS ini akan memberikan gambaran mengenai peta pembiayaan,
apakah relatif meguntungkan dengan modal sendiri (equity financing) atau
justru sebaliknya lebih menguntungkan melalui utang (debt financing).
Gambar 5.1 berikut memberikan ilustrasi mengenai peta pilihan pem
biayaan equity atau debt.
EPS

4
3
2
1
0

selisih keuntungan menggunakan


utang daripada saham
indefferent point

selisih keuntungan menggunakan


utang daripada saham
EBIT
1
2
3

Sumber: Atmaja (2008:270)

Gambar 5.1
Hubungan EBIT~EPS dalam Penentuan Pilihan
Debt Equity Financing

Dari Gambar 5.1 tersebut tampak bahwa titik indefferent point


menunjukkan titik temu di antara dua atau lebih jenis pembiayaan, pada
titik tersebut menunjukkan dengan berbagai alternatif sumber pendanaan
akan memiliki nilai EPS yang sama dengan targetted EBIT. Setelah titik
BAB 5 Teori Struktur Modal Perusahaan

79

tersebut, maka sumber pembiayaan dengan sumber tertentu, misalnya


melalui utang lebih menguntungkan, sementara itu sebelum titik tersebut
alternatif pembiayaan saham lebih menguntungkan dari alternatif pem
biayaan lainnya.

2. Struktur Modal Optimal dan Nilai Perusahaan

Dalam praktiknya sangat sulit ditemukan perusahaan dalam


pemenuhan kebutuhan pembiayaanya hanya mengandalkan salah satu
sumber pendanaan saja, misalnya utang (all debt financing) atau modal
sendiri (all equity financing), yang paling sering dilakukan manajemen
perusahaan adalah mengoptimalkan kombinasi di antara kedua sumber
pendanaan tersebut.
Studi yang dilakukan oleh Hampton (1997:214) menyatakan bahwa
perimbangan dalam berbagai komponen struktur modal sedemikian
rupa, sehingga biaya penggunaan modal (cost of capital) adalah minimum.
Lebih lanjut dalam studinya, komponen yang dimaksud adalah biaya rata
rata tertimbang atau Weighted Average Cost Of Capital (WACC). Secara
sederhana, pemahaman mengenai biaya modal rata-rata tertimbang dapat
dilukiskan sebagai berikut, apabila sumber pendanaan tersebut berasal
dari dua sumber pendanaan yaitu, debt dan equity (D dan E), dengan biaya
modal masing masing sebesar (Kd) dan biaya modal sendiri (Ke), maka
rumusan biaya modal tertimbang (WACC) sebagai berikut:
D

E
WACC = * Kd + * Ke
A

Dengan diketahuinya biaya penggunaan modal, maka secara teoritis


struktur modal optimum dapat ditentukan. Biaya penggunaan modal
sangat dipengaruhi oleh persepsi investor dan kreditur terhadap risiko
yang mungkin diderita atas modal yang ditanamkannya. Semakin besar
tingkat penggunaan utang jangka panjang berarti juga akan semakin besar
pula risiko yang mungkin diderita oleh para investor, karena meningkatnya
tambahan risiko (additional risk) pada risiko total yang dihadapi oleh
perusahaan.
80

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

Nilai Pasar Perusahaan

Dalam praktik terbaiknya, optimalisasi rasio utang perusahaan


diperoleh dari trade-off antara manfaat berutang (tax shield/saving) dan
biaya penggunaan utang (cost of debt) dengan asumsi aset perusahaan dan
perencanaan investasi bersifat konstan. Perusahaan dipandang melakukan
keseimbangan antara nilai manfaat dari interest tax shield dengan kerugian
akibat berbagai biaya kebangkrutan atau kesulitan keuangan. Berdasarkan
hal ini, maka perusahaan melakukan substitusi ekuitas dengan utang atau
substitusi utang dengan ekuitas (equity dan debt substitution each other),
sampai suatu saat di mana struktur pembiayaan antara Debt (D) dan Equity
(E) mencapai titik optimum, seperti terlihat pada Gambar 5.2 berikut:
Nilai Perusahaan
maksimum

Nilai sekarang
dari tax saving

Nilai
perusahaan
tanpa utang

Biaya Kesulitan
Keuangan

Jumlah Utang Maksimum

Sumber: Ross, Westerfield, Jordan (2008:570)

Nilai Perusahaan
dengan Utang
B/V

Gambar 5.2
Target Struktur Modal Optimal

Biaya kesulitan keuangan atau cost of financial distress terdiri dari


biaya-biaya seperti: (i) biaya legal dan adminsitrasi kebangkrutan, (ii)
agency, (iii) moral hazard, dan monitoring, (iv) kontrak dan lainnya. Biaya
ini akan mengurangi besanya formal default nilai perusahaan, walaupun
secara formal default dapat dihindari dan besarnya dapat diperdebatkan
(debatable). Lebih lanjutnya, penjelasan tentang biaya kesulitan keuangan
misalnya covenants utang tidak akan memuaskan sebelum biaya agency
dan moral hazard dapat dikenali dengan baik. Dari Gambar 5.2, nilai
perusahaan yang berutang adalah hasil akumulasi dari nilai perusahaan
tanpa utang dengan nilai sekarang dari manfaat pajak atau present value of
tax shield atau tax saving.
BAB 5 Teori Struktur Modal Perusahaan

81

VL = VU + TcB PV* (cost of financial distress agency cost)


Keterangan:
VL = Nilai perusahaan yang berutang
VU = Nilai perusahaan yang tidak berutang
TcB = Manfaat pajak (tax rate interest expenses)
PV = Nilai sekarang
Value
V3

Nilai perusahaan
optimal

V2

Nilai Perusahaan
= VL = (D, E)
Percentage of
Debt to Equity

V1
D/E 1 (%)

D/E (%)

D/E n2%

Gambar 5.3
Hubungan Non Monotonic Nilai Perusahaan ~ Struktur Modal

Perlu dicatat bahwa hal yang menarik dari relasional antara struktur
modal perusahaan dengan nilai perusahaan adalah bahwa hubungan
tersebut tidaklah bersifat linier, hal ini dapat diartikan bahwa tidak
secara sistematis bahwa makin tinggi leverage, maka makin tinggi nilai
perusahaan, begitu juga turunnya rasio leverage juga akan menurunkan
nilai perusahaan, namun demikian hubungan di antara kedua variabel
tersebut lebih bersifat non monotonic relationship. Hubungan yang bersifat
non monotonic tersebut mengindikasikan bahwa tidak ada suatu struktur
hubungan yang bersifat generic, yang berlaku bagi semua perusahaan
dalam suatu industri atau lebih.

3. Pendekatan-Pendekatan dalam Struktur Modal

Perubahan penggunaan sumber pendanaan yang dilakukan oleh


perusahaan akan memiliki implikasi penting baik bagi manajemen maupun
82

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

terhadap persepsi investor atau pasar (market response). Berkenaan dengan


hal tersebut, maka terdapat sejumlah pendekatan yang biasa digunakan,
di antaranya: (a) pendekatan laba operasi, (b) pendekatan tradisional, dan
(c) pendekatan Modigliani dan Miller (MM Approach). Secara lebih detail
dijelaskan sebagai berikut:
a.

Pendekatan Laba Operasi Bersih (Net Operating Income Approach)


David Durand (1952) dalam artikelnya mengemukakan mengenai
pendekatan laba operasi bersih (net operating income) dalam menjelaskan
mengenai struktur modal perusahaan. Selanjutnya Durand menggunakan
asumsi bahwa investor memiliki reaksi yang berbeda terhadap penggunaan
utang perusahaan. Pendekatan ini melihat bahwa biaya modal rata-rata
tertimbang bersifat konstan berapapun tingkat utang yang digunakan
perusahaan.

b. Pendekatan Tradisional (Traditional Approach)


Menurut pendekatan ini diasumsikan bahwa terjadi perubahan
struktur modal dan peningkatan nilai total perusahaan melalui penggunaan
financial leverage. Dalam pendekatan ini, dijelaskan bagaimana struktur
modal dan leverage factor sebagai salah satu determinan penting yang
berpengaruh terhadap kemampulabaan perusahaan. Menurut pendekatan
ini dengan menggunakan beberapa tingkat perubahan komposisi struktur
modal dan leverage factor memberikan jawaban terhadap suatu relasional
sederhana antara likuiditas, profitabilitas, dan risiko perusahaan.
c.

Pendekatan Modigliani dan Miller (MM Approach)


Modigliani dan Miller (MM) berpendapat bahwa risiko total bagi
seluruh pemegang saham tidak berubah walaupun struktur modal
perusahaan mengalami perubahan. Hal ini didasarkan pada pendapat
bahwa pembagian struktur modal antara utang dan modal sendiri selalu
terdapat perlindungan atas nilai investasi. Hal ini terjadi karena nilai
investasi total perusahaan tergantung dari keuntungan dan risiko, sehingga
nilai perusahaan tidak berubah walaupun struktur modalnya berubah.
Asumsi yang digunakan adalah pasar modal sempurna, nilai yang
diharapkan dari distribusi probabilitas semua investor sama, perusahaan
mempunyai risiko usaha yang sama dan tidak ada pajak.
BAB 5 Teori Struktur Modal Perusahaan

83

Pendapat Modigliani Miller atau lebih dikenal dengan MM theory ini


didukung oleh adanya proses arbitrase, yaitu proses mendapatkan 2 (dua)
aktiva yang pada dasarnya sama dan membelinya dengan harga yang ter
murah serta kemudian menjual lagi aset tersebut dengan harga yang lebih
tinggi. Perimbangan di antara sumber pendanaan perusahaan seharusnya
telah mengakomodir atau mempertimbangkan berbagai manfaat (tax
sh
i
eld) dan risiko yang harus ditanggung oleh perusahaan (cost of financial
distress atau bankruptcy cost) sehubungan dengan pemanfataan sumber
pendanaan tersebut. Komposisi relatif sumber dana tersebut kemudian
dikenal dengan struktur modal optimal (optimal capital structure).
Sejumlah faktor sangat berpengaruh terhadap struktur modal,
menurut DAmrosio dan Hodges (1984:157) faktor-faktor tersebut adalah:
(i) tingkat pertumbuhan penjualan; (ii) stabilitas penjualan di masa depan;
(iii) struktur persaingan dalam industri; (iv) sikap manajemen perusahaan
maupun pemilik perusahaan terhadap risiko; (v) posisi pengendalian dari
pemilik dan manajemen perusahaan, dan (vi) sikap kreditor terhadap
industri dan perusahaan.

4. Proposisi Modigliani dan Miller (MM Proposition)

Modigliani dan Miller (1958:261-297) seperti yang dikutip oleh


Myers
dan Brealey (2004) yang selanjutnya dikenal dengan MM theory memberikan
gambaran bagaimana efek pendanaan terhadap nilai perusahaan ketika
ada pajak dan tidak ada pajak (with dan without tax) dalam teorinya MM
menggunakan beberapa asumsi di antaranya: (i) Pasar modal sempurna
(perfect capital market), (ii) Tidak ada biaya transaksi (no transaction cost),
dan (iii) Tidak memperhitungkan biaya kebangkrutan atau no financial
distress. Lebih lanjut menurut teori MM ini dapat disimpulkan sebagai
berikut:
a. Proposisi Modigliani dan Miller I (MM I without Tax)
Menurut proposisi ini bahwa nilai perusahaan tanpa utang atau unleveraged firm (VU) sama dengan perusahaan yang menggunakan utang
atau leveraged firm. (VL), secara sederhana proposisi tersebut dapat
direpresentasikan dalam kesamaan sebagai berikut:
84

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

(VU) = (VL) .......................................................................................................................... (i)


Keterangan:
VL = (Leveraged Firm) perusahaan yang menggunakan utang
VU = (UnLeveraged Firm) perusahaan yang tidak menggunakan utang

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa proposisi ini menyimpulkan


bahwa nilai perusahaan selalu sama dengan berbagai struktur modalnya.
Berkaitan dengan biaya modal, dengan asumsi seperti dikemukakan pada
bagian sebelumnya, maka MM berargumentasi bahwa ekspektasi tingkat
pengembalian modal atas ekuitas berhubungan secara positif dengan
leverage, karena risiko terhadap pemegang saham meningkat dengan
adanya leverage.

b. Proposisi Modigliani dan Miller I dengan pajak (MM I with Tax)


Memperhatikan sejumlah kelemahan pada studi sebelumnya, dalam
studi berikutnya, MM melakukan perbaikan atas perumusan proposisi
yang telah dilakukan pada bagian sebelumnya, dengan memasukan pajak
perusahaan (tax advantage to debt). Oleh karena itu, dengan adanya utang
akan mampu mengurangi pajak perusahaan.
Dengan menggunakan asumsi-asumsi yang sama pada proposisi MM I
sebelumnya, maka nilai perusahaan dengan memperhitungkan pajak (Tc)
akan bertambah besar karena adanya keuntungan pajak atau tax shield dari
utang perusahaan, dapat diformulasikan sebagai berikut:
VL = VU + TcB ...................................................................................................................... (ii)
Keterangan:
VL = Nilai perusahaan bagi yang menggunakan utang
VU = Nilai perusahaan yang tidak menggunakan utang
TcB = Tax shield atau Tax saving atau penghematan pajak
c.

Proposisi Modigliani dan Miller tanpa pajak (MM II without Tax)


Dengan rata-rata biaya modal tertimbang atau Weighted Average Cost
of Capital (rWACC), biaya utang (rB) dan biaya ekuitas (rS) serta nilai utang (B)
dan nilai saham (S), maka rata-rata biaya modal tertimbang atau Weighted
Average Cost of Capital (rWACC,) dapat ditulis sebagai berikut:
BAB 5 Teori Struktur Modal Perusahaan

85

WACC =

B
S
xrB +
xrS
(B + S )
(B + S )

Dengan memasukan biaya modal tanpa utang di mana rWACC= rO=


(Overall cost of capital), maka persamaan tersebut di atas dapat dirumuskan
kembali sebagai berikut:
r

WACC =

B
S
xrB +
xrS ....................................................................... (iii)
(B + S )
(B + S )

Dari persamaan tersebut, tampak bahwa ekspektasi tingkat


pengembalian sekuritas (rS) merupakan fungsi linier dari rasio utang
B
terhadap ekuitas ( ). Lebih lanjut, dalam proposisi MM II tanpa pajak
S
menyebutkan bahwa dengan adanya tambahan utang, maka risiko ekuitas
akan meningkat pula. Dua kesimpulan dari proposisi MM II tanpa pajak
sebagai berikut:
(i) Adanya peningkatan beban ekuitas dapat ditutup secara sempurna
(offset) oleh peningkatan proporsi utang.
(ii) Nilai perusahaan adalah invarian terhadap leverage.
Dalam praktik terbaiknya (in the best practices), kesimpulan pertama
dari proposisi MM II tanpa pajak, seringkali tidak dapat dipenuhi secara
tepat karena risiko ekuitas (equity risk) meningkat bersamaan dengan
meningkatnya leverage.

d. Proposisi Modigliani dan Miller dengan Pajak (MM II with Tax)


Dengan memperhatikan adanya pajak perusahaan (corporate tax),
maka besarnya biaya ekuitas (cost of equity) akan meningkat sejalan dengan
adanya leverage, karena risiko ekuitas meningkat dengan adanya leverage.
Apabila diformulasikan maka proposisi MM II dengan adanya pajak sebagai
berikut:
B
rS = r0 + (1 - TC )(r0 - rB ) ....................................................................................... (iv)
S

86

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

Lebih lanjut, proposisi MM tidak memperhitungkan biaya kebangkrutan


(bankruptcy cost atau financial distress). Dengan memperhitungkan biaya
kebangkrutan dan manfaat dari tax deductible, maka modifikasi dari
proposisi MM tidak lain adalah teori statitic trade-off atau balance theory.

5. Teori Struktur Modal (Capital Structure Theory)

Pada bagian ini akan diuraikan sejumlah teori yang sering dijadikan dasar
argumentasi mengenai keputusan struktur modal perusahaan (corporate
capital structure decisions). Secara umum, teori tersebut didasarkan pada
adanya informasi yang tidak simetris (asymmetric information) dan adanya
pemisahan antara ownership dan control perusahaan (the separation
between ownership dan controll).
a. Teori Static Trade-off atau Balance theory
Teori struktur modal banyak diilhami dari proposisi Modigliani dan
Miller (1958), seperti halnya dalam teori static trade-off ini, merupakan
pengembangan dari proposisi Modigliani Miller II dengan pajak (MM II with
tax) dengan memasukkan kebangkrutan, biaya keagenan dan hilangnya
manfaat pajak karena tidak menggunakan pendanaan utang ke dalam
model untuk menunjukkan bahwa tingkat marginal pajak bondholders lebih
kecil dari tingkat marginal pajak perusahaan (keuntungan pajak marginal
karena utang yang muncul dari penurunan pajak akibat pembayaran bunga
atas utang), oleh karena itu adanya keuntungan pajak bersih dari adanya
utang. Struktur modal optimal dapat diperoleh di mana keuntungan pajak
dari utang sama dengan biaya-biaya yang terkait dengan struktur modal itu
sendiri.
Sementara itu studi yang dilakukan oleh Baxter (1967) seperti dikutip
oleh Um Taejong (2001) berargumentasi bahwa terkait dengan adanya
struktur modal yang eksesif mampu meningkatkan biaya modal perusahaan.
Tingkat struktur modal yang cukup tinggi ini akan meningkatkan
probabilitas kebangkrutan dan oleh karena itu akan meningkatkan risiko
perusahaan secara keseluruhan. Selanjutnya Baxter menyebutkan bahwa
BAB 5 Teori Struktur Modal Perusahaan

87

tingkat toleransi struktur modal akan sangat tergantung pada varians


dari pendapat bersih perusahaan. Dengan memasukkan probabilitas
kebangkrutan yang terkait dengan proporsi rasio debt yang tinggi, argumen
tersebut melemahkan asumsi yang telah dikemukakan sebelumnya oleh
Modigliani dan Miller (1958) dan Miler (1977) dalam Myers

dan Brealey
(2006).
Studi Myers (2001) berpendapat bahwa faktor yang penting
menjelaskan perbedaan rasio utang (debt ratio) antara perusahaan
adalah biaya penyesuaian (cost of adjustment). Dalam studinya, Myers
lebih lanjut mengemukakan bahwa bila tidak ada biaya penyesuaian
atau cost of adjustment, maka teori static trade-off adalah benar adanya,
sehingga setiap perusahaan akan mempunyai rasio utang yang optimal.
Namun demikian dalam kenyataannya, besarnya biaya penyesuaian tidak
dapat dihindari. Dengan demikian, selalu terdapat lag untuk melakukan
penyesuaian-penyesuaian yang diperlukan untuk menuju rasio utang
optimal. Argumentasi dari hal ini bahwa: perusahaan tidak dapat secara
tepat menutup biaya-biaya penyesuaian bila ada kejadian-kejadian yang
secara acak menimpa perusahaan, sehingga rasio utang berbeda dari
tingkat optimum.
Dari deskripsi mengenai teori static trade-off dapat diketahui dan
dipahami bahwa struktur modal yang dibentuk berdasarkan teori ini
didasarkan atas perhitungan tingkat kesulitan keuangan atau financial
distress. Selanjutnya teori ini memandang bahwa: perusahaan sebagai
setting suatu target rasio utang terhadap nilai perusahaan. Myers (2001)
selanjutnya menjelaskan bahwa teori ini akan benar bila diasumsikan
perusahaan tidak perlu ada biaya penyesuaian untuk menuju target rasio
tersebut apabila rasio aktual berbeda dengan target rasio. Asumsi ini
lemah karena biaya penyesuaian ada, sehingga ada lag untuk melakukan
penyesuaian menuju ketingkat optimum. Selanjutnya apabila biaya
penyesuaian rendah (lower cost of adjustment) apakah perusahaan akan
berusaha menuju tingkat optimum? Oleh karenanya, nilai perusahaan yang
mempunyai utang dapat diformulasikan sebagai berikut:
VL = VU + T . D {[PV of cost of financial distress] [Agency cost]}
88

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

Berbeda dengan teori yang dikemukakan oleh Modigliani dan Miller


(1958) dengan irrelevance thorem-nya, model static trade-off theory
yang juga disebut balancing theory atau driven capital theory atau taxshelter-bankruptcy approach, memandang bahwa struktur modal optimal
(optimal debt-equity ratio) ditentukan oleh keseimbangan antara manfaat
penurunan pajak, karena menggunakan utang dengan biaya kebangkrutan
dengan menggunakan sumber pendanaan utang itu sendiri. Dengan kata
lain, sebuah perusahaan akan menggunakan utang hingga marginal effects
utang sama dengan marginal cost utang dan oleh karenanya struktur modal
optimal terealisasi pada titik di mana manfaat bersih penggunaan utang
sama dengan nol. Oleh karena itu, munculnya ekspektasi kebangkrutan
dan manfaat penurunan pajak atas penggunaan utang menjadi landasan
konseptual dalam static trade-off theory. Secara matematis dikatakan bahwa
ketika suatu garis mencapai puncaknya, maka nilai marginalnya sama
dengan nol, sementara itu fungsi dari persamaan tersebut telah mencapai
nilai puncaknya, hal ini berarti kombinasi antara Bond atau Debt (B atau
D) dengan Saham atau Equity (S atau E) mencapai nilai maksimum, secara
sederhana deskripsi tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.2 dan Gambar
5.3 pada bagian sebelumnya.
Apabila perusahaan memilih untuk menerbitkan saham atau obligasi
(bond or stock issueing) dalam rangka memperbesar modalnya, maka
perusahaan dapat melakukannya dengan cara menawarkan surat berharga
di pasar modal (right issue) pada pemegang saham lama, mengeluarkan
surat bukti utang (bond issue) atau mencari investor perorangan secara
langsung atau lembaga keuangan. Merujuk pendapat yang dikemukakan
oleh Myers (1977) trade-off hypotheses menyimpulkan bahwa:
Perusahaan dapat dilihat sebagai setting suatu target rasio utangnilai perusahaan, dan secara bertahap menuju target yang diinginkan
(required targetted capital structure).
Perusahaan yang memaksimumkan nilai perusahaan dengan men
ciptakan keseimbangan manfaat (the tax advantages of borrowed
money) dengan biaya (the costs of financial distress), sehingga tradeoff dibutuhkan untuk memperoleh titik optimum.
BAB 5 Teori Struktur Modal Perusahaan

89


Seringkali bahwa titik keseimbangan tersebut terjadi dalam
horizon waktu jangka panjang dengan record kegiatan usaha yang
cukup panjang. Equilibrium of the debt to equity ratio, merupakan
fungsi turunan/derivatif dari nilai perusahaan (VL).

b. T
eori Keagenan
(Agency Theory)
Berbeda dengan teori sebelumnya, teori struktur modal dengan mem
perhatikan munculnya masalah keagenan (the agency cost theory of capital),
berargumentasi bahwa struktur modal optimal ditentukan oleh biaya yang
muncul dari konflik antara pemilik dan manajemen atau antara principals
dan agents.
Berdasarkan teori ini, sumber konflik dibedakan menjadi dua
aspek, yaitu:
Manajer atau inside-managers dan pemilik perusahaan (shareholders)
atau agency cost of equity.
Antara pemilik perusahaan (shareholders) dan perusahaan yang mem
berikan pinjaman pada perusahaaan (debtholders).
Kedua jenis konflik yang berbeda ini menghasilkan biaya keagenan
ekuitas (equity agency cost) dan biaya keagenan utang (debt agency cost).
Bauran optimal rasio utang dan ekuitas dicapai dalam proses penurunan
masalah biaya keagenan ekuitas dan utang tersebut. Struktur modal
optimal berdasarkan the agency cost theory, diperoleh manajer dengan
memilih tingkat utang dan modal sendiri serta dengan meminimalisasi
biaya keaganenan yang muncul dari kedua konflik tersebut.
Salah satu mekanisme yang sering dipergunakan dalam memecahkan
masalah keagenan adalah dengan pemberian fee schedule kepada
manajemen. Dalam konteks fee schedule dan kemungkinan adanya
kebangkrutan akibat utang, maka kinerja manajemen berkaitan dengan
struktur modal, misalnya rasio utang terhadap ekuitas. Semakin besar rasio
ini, maka semakin besar risiko terjadinya kebangkrutan. Oleh karena itu,
semakin diperlukan efisiensi manajemen untuk mengindari risiko ini.
Tujuan utama perusahaan adalah untuk meningkatkan kemakmuran
pemegang saham melalui peningkatan nilai perusahaan sering sekali
tidak sejalan dengan tujuan pihak manajemen (manajer) perusahaan,
sehingga timbul konflik kepentingan antara manajer dengan pemegang
90

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

saham. Konflik kepentingan antara manajer dengan pemegang saham


dapat diminimumkan dengan suatu mekanisme pengawasan yang
dapat mensejajarkan kepentingan-kepentingan terkait tersebut. Untuk

meyakinkan bahwa manajer bekerja sungguh-sungguh untuk kepentingan


pemegang saham, pemegang saham harus mengeluarkan biaya yang disebut
agency cost, yang meliputi:
(i) pengeluaran untuk monitoring kegiatan manajer,
(ii) pengeluaran untuk membuat struktur organisasi yang meminimalkan
tindakan-tindakan manajer yang tidak diinginkan, dan
(iii) serta opportunity cost yang timbul akibat kondisi di mana manajer
tidak dapat segera mengambil keputusan tanpa persetujuan pemegang
saham.

Sejumlah peneliti telah memberikan kontribusinya dalam membuat


suatu model yang dapat menjelaskan hubungan antara struktur modal
dengan masalah keagenan (konflik kepentingan antara principals dan agent).
Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa hubungan keagenan muncul
ketika satu atau lebih individu (majikan) menggaji individu lain (agen atau
karyawan) untuk bertindak atas namanya, mendelegasikan kekuasaan
untuk membuat keputusan kepada agen dan karyawannya. Dalam konteks
manajemen keuangan, hubungan ini muncul antara: pemegang saham
(shareholders) dengan para manajer dan antara pemegang saham dengan
kreditor (bondholders atau pemegang obligasi).
Jensen dan Meckling mengidentifikasi adanya dua tipe konflik
keagenan, yaitu konflik keagenan antara pemegang saham dengan manajer
dan konflik keagenan antara pemegang saham dengan kreditor. Tipe konflik
yang pertama antara shareholders dan managers akan menimbulkan biaya
yang disebut biaya keagenan ekuitas. Konflik ini muncul karena managers
memiliki saham perusahaan kurang dari 100%. Oleh karenanya, mereka
tidak dapat menikmati keseluruhan manfaat dari keuntungan dengan
meningkatnya aktivitas, akan tetapi mereka juga harus menanggung
keseluruhan biaya aktivitas bisnisnya. Sebagai contoh, para manajer dapat
berinvestasi pada tingkat usaha yang rendah dalam mengelola sumber daya
perusahaan, mereka akan berusaha memaksimumkan kepentingannya
melalui sumber daya yang mereka kuasai saat ini, misalnya dalam bentuk
BAB 5 Teori Struktur Modal Perusahaan

91

kemewahan dan kesejahteraan yang bukan dalam bentuk satuan moneter


atau satuan uang, seperti kantor yang mewah, keanggotaan profesional,
dan lain-lain.
Studi yang dilakukan oleh Jensen dan Meckling (1976) menyajikan
hubungan antara kekayaan atau kemakmuran shareholders dan
pembelanjaan atau pengeluaran manajer dalam sebuah grafik kartesius
seperti ditunjukkan dalam Gambar 5.4 Huruf F merepresentasikan
pengeluaran manajer dalam bentuk kemewahan fasilitas (non pecuniary
benefits), sementara itu simbol V pada sisi lain merepresentasikan
nilai perusahaan dan kekayaan para pemilik. Apabila dilihat dari gambar
tersebut, maka pada titik F111 para insiders memiliki bagian perusahaan
atau saham sebesar 12 (menunjukkan bagian perusahaan yang dimiliki
oleh outsiders).
Nilai Perusahaan
V

V1

V11

V111

IC1

IC2

IC3

F1 F11
F111 F
Pengeluaran Manajer dalam bentuk Kemewahan Fasilitas
Sumber: Jensen dan Meckling, 1976

Gambar 5.4
Hubungan antara Nilai Perusahaan dengan Tingkat
Pengeluaran Manajer dalam Bentuk Kemewahan Fasilitas

Penjelasan selanjutnya, tingkat konsumsi atas kemewahan fasilitas


yang dilakukan oleh para manajer perusahaan dalam peraga tersebut
ditunjukkan oleh kurva indifferen (ICIndifference Curve) ketiga, yaitu
(IC3). Pada titik ini para insiders berusaha mencoba untuk memenuhi
kepentingannya melalui kekayaan yang dimiliki oleh outsider shareholders.
Sebagai akibatnya, nilai perusahaan dan kekayaan pemilik ditunjukkan
oleh V111.
92

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

Namun demikian, ketika manajer memiliki saham sebesar 1


dari saham perusahaan, hal ini mengindikasikan adanya peningkatan
kepemilikan insiders, oleh karenanya hal ini terkait dengan semakin
menurunnya berbagai pengeluaran yang dilakukan para manajer dalam
bentuk kemewahan fasilitas, sehingga dalam kondisi ini ditunjukkan
berbagai pengeluaran tersebut dicerminkan oleh titik F11, dan pengeluaran
tersebut ada dalam kurva indiferen dua (IC11), sebagai akibat adanya
peningkatan nilai perusahaan sebagaimana ditunjukkan oleh V11. Apabila
kita lihat titik ini lebih besar jika dibandingkan ketika para insiders memiliki
bagian perusahaan lebih kecil.
c. Teori Informasi Asimetrik
Akerlof dan Stiglitz (2001: 195-211) menyebutkan bahwa berdasarkan
teori informasi simetris, informasi yang diterima para pelaku pasar
diasumsikan akan sama dengan informasi yang ada pada manajemen
perusahaan. Dalam kenyataannya manajer perusahaan memiliki informasi
yang relatif lebih banyak daripada informasi yang tersedia bagi para
investor luar. Kondisi ini disebut dengan asymmetric information.
Dalam kenyataanya stakeholders perusahaan memiliki derajat
penguasaan informasi yang beragam. Kenyataan tersebut terjadi karena
satu pihak memiliki akses dan kewenangan yang lebih luas terhadap
sumber daya perusahaan. Manajemen sebagai agen dari pemilik dalam
kenyataanya memiliki akses dan informasi yang lebih banyak, sementara
para pemilik dan berbagai pihak lainnya terdistorsi oleh kendala akses
terhadap sumber daya perusahaan. Dengan demikian, di luar manajemen
terdapat disparitas penguasaan informasi mengenai perusahaan termasuk
para pemilik sebagai principals perusahaan. Baik secara theoritical concept
maupun secara empiris, dalam relevant content insiders dan outsiders dua
kelompok yang memiliki persentase penguasaan informasi yang sangat
jauh berbeda.
Studi yang dilakukan oleh Myers (2001) mengemukakan bahwa
terdapat berbagai pendekatan informasi asimetrik sesuai dengan teori
yang dikembangkannya, yaitu Teori Pecking Order. Teori ini agak bertolak
belakang dengan prediksi struktur modal seperti yang diusulkan oleh static
trade-off theory atau balance theory.
BAB 5 Teori Struktur Modal Perusahaan

93

Dalam praktik bisnis sehari-hari terdapat perimbangan antara jumlah


seluruh modal asing dengan jumlah modal sendiri akan membentuk
struktur keuangan, sedangkan perimbangan antara modal asing dan
modal sendiri dalam jangka panjang akan membentuk struktur modal.
Jadi, struktur modal merupakan bagian dari struktur keuangan. Struktur
modal menekankan perimbangan antara modal asing jangka panjang
dan modal sendiri, sedangkan struktur keuangan mencakup keseluruhan
pos-pos yang terdapat di sebelah kredit neraca (right hand side of balance
sheet). Di dalam suatu perusahaan, struktur modal mempunyai pengaruh
yang penting terhadap likuiditas dan profitabilitas perusahaan. Makin
besar jumlah utang jangka panjang yang jatuh tempo makin tidak baik
bagi likuiditas dan makin besar jumlah biaya utang jangka panjang makin
kurang baik bagi profitabilitas perusahaan.
Studi empiris Wibowo (2006) menyebutkan bahwa, manajemen sebagai
agen dari pemilik perusahaan, manajer seharusnya memaksimumkan
kesejahteraan para memiliki saat ini. Namun demikian, tidak seharusnya
manajemen membebankan kesejahteraannya menjadi beban perusahaan.
Oleh karenanya, perlu ada suatu mekanisme pengendalian untuk mengurangi
terjadinya konflik keagenan, salah satunya melalui struktur kepemilikan
perusahaan. Struktur kepemilikan yang menyebar menyebabkan kekuatan
para pemilik untuk mengendalikan kegiatan manajemen menjadi lemah
dan akan memperburuk kinerja pada periode selanjutnya. Hasilnya
menyebutkan adanya hubungan yang bersifat spourious antara average
yang tidak memiliki arti ekonomi. Sementara variabel average (debt/a),
konsisten memiliki hubungan negatif dan signifikan secara statistik.
Adanya informasi asimetrik akan membawa implikasi terhadap
manajemen keuangan. Manajer pada umumnya cenderung untuk me
nyampaikan informasi yang baik mengenai perusahaan. Sementara itu, para
investor tahu kecenderungan tersebut sehingga mereka melihat penawaran
saham baru atau Initial Public Offering (IPO) sebagai sinyal berita buruk
sehingga harga saham perusahaan cenderung turun jika saham baru
diterbitkan. Ini menyebabkan biaya modal sendiri menjadi tinggi dan nilai
perusahaan cenderung turun. Hal ini mendorong perusahaan untuk lebih
menyukai menerbitkan obligasi daripada menerbitkan saham baru.
94

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

Selanjutnya Robert Gordon Donaldson dengan memperhatikan


kenyataan mengenai adanya informasi asimetrik, menyimpulkan bahwa
perusahaan lebih senang menggunakan dana dengan urut-urutan sebagai
berikut:
laba ditahan dan depresiasi,
utang dengan biaya rendah, dan
penjualan saham baru.

Informasi asimetrik memberikan andil yang cukup besar dalam


pemikiran manajer keuangan untuk mengatur urut-urutan kemampuan
pendanaan investasi, terutama pertimbangan aspek financial distress.
Urutan dalam pendanaan ini dalam manajemen keuangan sering disebut
dengan istilah Pecking Order Theory atau Pecking Order Hypothesis.
Dalam perkembangan selanjutnya, muncul teori pecking order yang
lebih lengkap atau kemudian dikenal dengan Modified Pecking Order Theory
yang dikemukakan oleh Myers (2001). Studi empiris yang dilakukan oleh
Myers dan Majluf (1984) dan Myers (2001) menunjukkan bahwa manajer
perusahaan atau insiders diasumsikan memiliki informasi private mengenai
karakteristik peluang perusahaan atau kualitas perusahaan secara
keseluruhan. Struktur modal dirancang untuk mengurangi terjadinya
inefisiensi dalam pengambilan keputusan investasi perusahaan yang
disebabkan oleh informasi yang tidak simetris. Pendekatan biaya informasi
dalam konteks struktur modal sebagai hasil pilihan instrumen pendanaan
untuk mendanai peluang investasi dan pilihan instrumen pendanaan
tersebut sangat tergantung pada biaya yang muncul dari adanya informasi
yang tidak simetris antara insiders dan outsiders.
Gambaran terakhir mengenai teori informasi asimetris ini diberikan
oleh Akerlof dan Stiglitz (2001: 195-211). Dalam artikelnya Akerlof
dan Stiglitz (2001: 195-211) memberikan gambaran mengenai aspek
ketidaksimetrisan informasi dalam bisnis. Mereka menyebutkan bahwa
dampak potensial dari terjadinya asymmetric information adalah timbulnya
kegagalan pasar (market failure). Sebagai contoh yang paling umum untuk
menjelaskan fenomena informasi yang tidak simetris terjadi pada pasar
mobil bekas (used car market) di mana penjual memiliki informasi yang
BAB 5 Teori Struktur Modal Perusahaan

95

lebih baik atau terdapat asymmetric information atas calon pembeli.


Pemilik mobil bekas lebih mengetahui kondisi mobilnya dibandingkan
calon pembeli. Pemilik mobil bekas ini mungkin menjual Lemon (mobil
yang jelek) dan mengakunya sebagai Orange (mobil yang bagus).
Sebaliknya pembeli mobil, yang menyadari memiliki informasi yang kurang
dibandingkan dengan yang dimiliki oleh penjual, tidak dapat membedakan
antara lemon dan orange.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana asymmetric information
dapat mengakibatkan kegagalan pasar (market failure). Pembeli cenderung
akan menurunkan harga karena mereka tidak dapat membedakan antara
mobil bagus dengan yang jelek. Sementara itu pemilik mobil bagus pun tidak
bersedia untuk menjual mobilnya pada harga yang tidak sesuai, sehingga
mengakibatkan kemungkinan pembeli memperoleh mobil jelek semakin
besar dan semakin menurunkan kesediaan harga yang mereka bayar. Oleh

karena itu, pada akhirnya pasar mobil bekas tidak berfungsi dengan baik.
Alasan semacam ini dapat diterapkan di semua jenis pasar yang kerap terjadi
asymmetric information, termasuk dalam financial market. Secara jelas satu
cara untuk membuat agar pasar mobil bekas tersebut berfungsi adalah
dengan mengurangi asymmetric information dengan cara memberikan
keleluasaan kepada pembeli untuk mengecek atau membawa mobilnya ke
montir yang tahu lebih baik tentang kondisi mobil bekas tersebut.
Dari ilustrasi yang dikemukakan oleh Akerlof dan Stiglitz (2001: 195211), asymmetric information dapat juga terjadi dalam penentuan struktur
modal perusahaan di mana pihak insider investors atau managerial ownership
lebih mengetahui kondisi serta prospek perusahaannya dibanding pihak
outsider investors, sehingga dapat menimbulkan asymmetric information
antara manajer dengan investor luar atau dengan pasar.
Hal ini terjadi
karena di pasar bursa terdapat inform traders dan un-inform traders. Dengan
demikian, apa alasan dibalik manajemen memutuskan untuk melakukan IPO,
right issue atau melakukan bond issue, hanya pihak manajemen sajalah yang
mengetahui secara pasti dibalik pemilihan kebijakan pendanaan tersebut,
serta mengapa manajemen melakukan suatu urut-urutan skala atau rating
penentuan sumber pendanaan perusahaan. Pihak luar hanya melakukan
interpretasi atas kebbijakan yang telah diambil oleh manajemen, kenyataan
seperti ini yang mendorong munculnya teori signaling.
96

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

d. Pecking Order Theory (POT)


Menurut teori ini bahwa keputusan pendanaan (financing decisions)
mengikuti suatu hierarki di mana sumber pendanaan dari dalam perusahaan
(internal financing) lebih didahulukan daripada sumber pendanaan dari
luar perusahaan (external financing). Dalam hal perusahaan menggunakan
pendanaan dari luar, pinjaman (debt) lebih diutamakan daripada pendanaan
dengan tambahan modal dari pemegang saham baru (external equity).
Teori pecking order ini didukung bukti empiris bahwa perusahaan yang
menghasilkan laba besar cenderung memiliki rasio utang yang relatif kecil.
Model ini dikembangkan Steward Myers (1984). Berpijak dari asimetri
informasi, model ini menjelaskan hierarki preferensi sumber dana. Menurut
teori ini, manajer tak memiliki target rasio utang, seperti halnya yang
menjadi dasar trade off theory atau static theory. Rasio utang yang terjadi
adalah akibat preferensi. Manajer paling menyukai sumber dana dari dalam
perusahaan, yaitu laba ditahan karena sudah siap pakai dan tidak ada biaya
untuk memperolehnya. Apabila sumber ini tak mencukupi, manajer akan
beralih ke sumber dari luar. Sumber dana luar yang lebih diminati adalah
utang karena tidak menyebabkan dilusi kepemilikan dan memiliki manfaat
pajak. Utang juga disukai karena mencerminkan optimisme kemampuan
manajemen untuk membayar bunganya. Apabila masih belum cukup,
barulah perusahaan beralih ke penjualan saham baru.
Menurut Pecking Order Theory, pemenuhan kebutuhan pendanaan
dapat dilakukan dengan urut-urutan sebagai berikut:
Perusahaan lebih menyukai pendanaan internal,
Perusahaan akan melakukan penyesuaian menuju kepada target rasio
dividend payout meskipun dividen bersifat sticky. Penyesuain dilakukan
secara bertahap akibat pergerseran dengan adanya kesempatan
investasi.
Jika dana internal yang berasal dari laba ditahan (retained earnings)
kurang dibandingkan dengan kebutuhan investasi, perusahaan akan
mengeluarkan dana dari kas atau mencairkan marketable securities.
Jika dana eksternal tetap dibutuhkan, maka perusahaan akan melepas
sekuritas diawali sekuritas yang paling aman, yaitu utang, hybrid
securities (misalnya convertible bonds) dan kemudian adalah ekuitas
sebagai pilihan terakhir.
BAB 5 Teori Struktur Modal Perusahaan

97

e.

Teori Signal
Studi yang dilakukan oleh Miller dan Rock (1985); Ambarish et al.
(1987), berpendapat bahwa dalam kondisi informasi yang asimetrik,
investor sulit untuk membedakan secara objektif antara perusahaan baik
dan kurang baik. Setiap pernyataan yang dikeluarkan oleh perusahaan tidak
memiliki kandungan informasi, hal ini mengingat pernyataan manajemen
perusahaan yang baik maupun yang tidak baik selalu mengatakan prospek
yang baik di masa yang akan datang. Atas pernyataan tersebut, hanya
waktu yang dapat membuktikan apakah informasi tersebut benar atau
sebaliknya.
Teori signal dikembangkan baik melalui literatur ekonomi maupun
keuangan untuk menjelaskan kondisi di mana keuangan perusahaan
(manajemen dan direksi) umumnya memiliki informasi yang lebih
baik tentang prospek perusahaan saat ini maupun yang akan datang di
bandingkan dengan para investor.
Pembayaran melalui modal sendiri dalam hal ini laba ditahan (retained
earnings) merupakan contoh klasik mengenai penyampaian informasi
melalui signaling. Jika manajemen mengumumkan perubahan pembayaran
dividennya (kenaikan atau penurunan) yang nyata pada jumlah dividen per
lembar saham yang dibagikan, investor akan menangkap ini sebagai sinyal
bahwa kondisi keuangan perusahaan (prospek penghasilan) saat ini dan di
masa mendatang. Sebaliknya, jika investor mengharapkan suatu pembagian
dividen, namun manajemen tidak memutuskan membagi dividen, manajer
sedang mengirimkan sinyal negatif. Kebijakan tersebut memiliki implikasi
terhadap struktur modal perusahaan.
Perusahaan dengan komposisi insiders yang tinggi misalnya, maka
signal yang sering disampaikan adalah perlunya mekanisme kontrol yang
lebih baik (seimbang), sehingga probabilitas menggunakan debt financing
dalam pemenuhan kebutuhan pendanaannya relatif lebih besar jika
dibandingkan dengan perusahaan yang komposisi insiders-nya relatif lebih
kecil.
f.

Teori Market Timing


Pada dasarnya teori ini menjelaskan bagaimana perilaku perusahaan
(corporate behavior) dalam melepas atau menerbitkan saham pada waktu
98

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

yang akurat (to time stock issue). Merujuk teori ini perusahaan akan berupaya
melepas sahamnya ketika harga saham tinggi. Hal ini dapat diartikan
bahwa manajemen perusahaan akan melepas sahamnya pada pasar ketika
kinerja pasar dalam keadaan baik, pernyataan ini sering dikaitkan dengan
fenomena adanya biaya adverse selection dan implementasi konsep modified
pecking order dalam praktiknya.

Menurut Hovakimian et al. (2004) menyebutkan bahwa: The market
timing hypothesis is empirically motivated dan states that firms time equity
issuance to periods of high market performance. The underlying reasons
for this behavior could be related to the costs of adverse selection as in the
pecking order or to some other phenomenon (Baker and Wurgler, 2002). The
predictions of the market timing hypothesis regarding the effect of market
performance coincide with the predictions of the pecking order hypothesis.
The market timing hypothesis makes no predictions regarding the effects of
profitability.
Secara sederhana apa yang dimaksud oleh Hovakimian et al. (2004)
bahwa hipotesis market timing dimotivasi oleh suatu fakta bahwa
perusahaan akan melepas sahamnya pada saat kinerja pasar sangat baik,
alasannya ini dikaitkan dengan fenomena pecking order dan biaya adverse
selection yang terjadi. Menurut hipotesis ini dikatakan bahwa teori ini tidak
dikaitkan dengan efek kemampulabaan perusahaan.

Conclusion Remark

Pemahaman mengenai struktur modal dan keuangan adalah penting


agar mampu membedakan aset mana saja yang dibiayai oleh sumber
pendanaan jangka panjang (umumnya komponen aktiva tetap, seperti:
property, plant, dan equipment) dan mana yang dibiayai oleh pendanaan
yang bersifat spontan. Struktur modal perusahaan adalah perbandingan
antara utang jangka panjang (long term debt) dengan modal sendiri (equity)
yang dipergunakan oleh perusahaan.
Dalam kenyataannya, sangat sulit ditemukan perusahaan dalam
pemenuhan kebutuhan pembiayaanya hanya mengandalkan salah satu
sumber pendanaan saja, misalnya utang (all debt financing) atau modal
sendiri (all equity financing), yang paling sering dilakukan manajemen
BAB 5 Teori Struktur Modal Perusahaan

99

perusahaan adalah mengoptimalkan kombinasi di antara kedua sumber


pendanaan tersebut.
Dengan diketahuinya biaya penggunaan modal, maka secara teoritis
struktur modal optimum dapat ditentukan. Biaya penggunaan modal
sangat dipengaruhi oleh persepsi investor dan kreditur terhadap risiko
yang mungkin diderita atas modal yang ditanamkannya. Semakin besar
tingkat penggunaan utang jangka panjang berarti juga akan semakin besar
pula risiko yang mungkin diderita oleh para investor, karena meningkatnya
tambahan risiko (additional risk) pada risiko total yang dihadapi oleh
perusahaan.
Dalam praktik terbaiknya, optimalisasi rasio utang perusahaan
diperoleh dari trade-off antara manfaat berutang (tax shield/saving) dan
biaya penggunaan utang (cost of debt) dengan asumsi aset perusahaan dan
perencanaan investasi bersifat konstan. Perusahaan dipandang melakukan
keseimbangan antara nilai manfaat dari interest tax shield dengan kerugian
akibat berbagai biaya kebangkrutan atau kesulitan keuangan. Berdasarkan
hal ini, maka perusahaan melakukan substitusi ekuitas dengan utang atau
substitusi utang dengan ekuitas (equity dan debt substitution each other),
sampai suatu saat di mana struktur pembiayaan antara Debt (D) dan Equity
(E) mencapai titik optimum.

100

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

DAFTAR PUSTAKA
Brealey, Richard A., Myers, Stewart C., and Marcus, Alan J. 2009. Fundamentals
of Corporate Finance (6th edition). McGraw-Hill.

Brigham, Eugene F. and Joel F. Houston. 2008. Fundamentals of Financial


Management. Jakarta: Salemba Empat.
Brigham, Eugene F. and Michael C. Ehrhard. 2002. Financial Management
Theory and Practice (10th edition). Thomson Learning Inc.

Durand, David. 1952. Costs of Debt and Equity Funds For Business: Trends
and Problems of Measurement. Conference on Research in Business
Finance: 215262.

Gitman, Lawrence J. 2000. Principle of Managerial Finance. AddisonWesley.


Hasanawati, Sri. 2005. Implikiasi Keputusan Investasi, Pendanaan dan
Dividen terhadap Nilai Perusahaan Publik di Bursa Efek Jakarta.
Manajemen Usahawan Indonesia, 9: 42-47.

Hovakimian, Armen, Gayane Hovakimian, and Hassan Tehranian. 2004.


Determinants of target capital structure: The case of dual debt and
equity issues. Journal of Financial Economics, 71 : 517540.
Husnan, Suad. 1997. Manajemen Keuangan Teori dan Penerapan: Keputusan
Jangka Pendek (edisi ke-4). Yogyakarta: BPFE.

Jensen, M. C., Meckling, W., 1976. Theory of the firm: managerial behavior,
agency costs and capital structure. Journal of Financial Economics,
3: 305360.

Keown, Arthur J. et al. 2001. Dasar-Dasar Manajemen Keuangan (edisi ke-7).


Jakarta: Salemba Empat.

BAB 5 Teori Struktur Modal Perusahaan

101

Margaretha, Farah. 2005. Teori dan Aplikasi Manajemen Keuangan. Jakarta.


Grasindo.

Martono dan Agus Harjito. 2002. Manajemen Keuangan (edisi ke-1).


Yogyakarta: Ekonisia.

McConnell, John and Henri Servaes. 1990. Additional Evidence on Equity


Ownership and Corporate Value. Journal of Financial Economics, 27:
595-612.
Mesbacher. 2004. Does Capital Structure Influence Firms Value? Academic
Paper. University of Ulster German.

Miller, M. H. and F. Modigliani. 1966. Some Estimates of the Cost of Capital


to the Electric Utility Industry, 1954-57. American Economic Review,
57: 33-91.
Miller, M. H. 1977. Debt and Tax. The Journal of Finance, 32 (2): 261-275.

Miller, Merton H. and Kevin Rock. 1985. Dividend Policy under Asymmetric
Information. The Journal of Finance, 40 (4): 1031-1051.

Modigliani, F. and M. H. Miller. 1958. The Cost of Capital, Corporation


Finance and The Theory of Investment. American Economic Review,
48: 261-297.

Muslich, Mohamad. 2003. Manajemen Keuangan Modern: Analisis,


Perencanaan dan Kebijaksanaan. Jakarta: Bumi Aksara.
Myers, S. 1977. Determinants of Corporate Borrowing. Journal of Financial
Economics, 5: 147-175.

Myers, S. and N. Majluf. 1984. Corporate Financing Decisions When


Firms Have Information Investor Do Not Have. Journal of Financial
Economics, 13: 187-221.
Myers, S. C. 1984. The Puzzle. The Journal of Finance, 39 (3): 575-590.

OConnor, Dennis and Alberto Bueso. 1988. Managerial Finance, New York:
Prentice Hall.
102

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

Pangeran. 2003. Pemilihan antara Penawaran Sekuritas Ekuitas dan


Utang: Suatu Pengujian Empiris Terhadap Pecking Order Theory dan
Balancing Theory. Manajemen Usahawan Indonesia, 4: 27-46.
Pratowo, Dwi dan Rifka Julianti. 2002. Analisis Laporan Keuangan Konsep
dan Aplikasi (edisi Revisi). Yogyakarta: YPKN.

Preve, Lorenzo A. and Virginia Sarria-Allende. 2010. Working Capital


Management. New York: Oxford University Press, Inc. www.oup.com.

Ratnawati, Kusuma. 2001. Analisis Perbedaan Struktur Modal dan Faktor


Intern, Faktor Ekstern Perusahaan Industri PMA dan PMDN di Bursa
Efek Jakarta, serta Pengaruhnya terhadap Nilai Perusahaan. Penelitian
Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya. 77-86.

Riyanto, Bambang. 2001. Dasar-Dasar Pembelanjaan Perusahaan (edisi


ke-4). Yogyakarta: BPFE.
__________. 2008. Dasar-Dasar Pembelanjaan (edisi ke-4). Yogyakarta: BPFE.

Sartono, Agus. 2001. Manajemen Keuangan: Teori dan Aplikasi (edisi ke-4).
Yogyakarta: BPFE.
_______________. 2008. Manajemen Keuangan: Teori dan Aplikasi. Yogyakarta:
BPFE.

Saragih, F. A. H. Manurung. dan J. Manurung. 2005. Dasar-Dasar Keuangan


Bisnis: Teori dan Aplikasi. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Sawir, Agnes. 2005. Analisa Kinerja Keuangan dan Perencanaan Keuangan
Perusahaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Shim, Jae K. and Joel G. Siegel. 2001. Managerial Finance, New York:
McGraw Hill.

Steiner, Lorenz Thomas. 1996. A Reexamination of the Ralationship between


Ownership Structure, Firm Diversification and Tobins Q. Journal of
Business and Economics, 35 (4).

BAB 5 Teori Struktur Modal Perusahaan

103

Sundjaja, Ridwan S. dan Inge Barlian. 2002. Manajemen Keuangan Satu


(edisi ke-4). Jakarta: Prenhallindo.

____________________________________________. 2002. Manajemen Keuangan Dua


(edisi ke-4). Jakarta: Literata Lintas Media.
Sutrisno. 2001. Manajemen Keuangan (edisi ke-1), Yogyakarta: Ekonisia.

__________. 2005. Manajemen Keuangan Teori, Konsep, dan Aplikasi.


Yogyakarta: Ekonisia.
Syamsudin, Lukman. 2002. Manajemen Keuangan Perusahaan (edisi ke-7).
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Van Horne, James C., and Wachowicz, Jr., John Martin. 2008. Fundamentals
of Financial Management (13th edition). Harlow: Prentice-Hall, Inc.

Weston, J. Fred and Copeland, Thomas E. 1992. Managerial Finance. New


York: The Dryden Press.
________________________________________________. 1999. Manajemen Keuangan.
Jakarta: Erlangga.

104

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

Kebijakan Dividen
Perusahaan
Jaja Suteja

Kebijakan dividen perusahaan sering dijadikan sebagai alat komunikasi


manajemen dengan pasar, namun seberapa efektif komunikasi tersebut
dilakukan manajemen seringkali sangat dipengaruhi oleh seberapa besar
mereka memenuhi keinginan dari clientele effect

BA B

Kebijakan Dividen
Perusahaan

Setelah membaca topik ini diharapkan memahami:

1. Memahami apa yang dimaksud dengan kebijakan dividen


perusahaan
2. Berbagai pendekatan dalam menentukan besaran dividen

3. Dividen sebagai kebijakan kontroversial, dividen sebagai


political finance, residual dividend policy, dan dividend is sticky
4. Clientele effect dividend

5. Repurchase stock dan stock split

A. Pendahuluan
Pengertian Dividen

alam manajemen keuangan pengertian dividen merujuk pada polapola distribusi besaran atau magnitude finansial yang diterima oleh para
pemegang saham perusahaan pada suatu waktu tertentu. Pengertian
tersebut secara operasional ditunjukkan oleh besaran nisbah antara
keuntungan bersih yang diperoleh perusahaan pada waktu tertentu setelah
dikurangi besarnya bagian keuntungan yang akan diinvestasikan kembali
pada perusahaan (retained earnings) dengan jumlah saham yang beredar
(outstanding share).
Studi empiris Frankfurter (2003) menyatakan bahwa dividen sebagai
indikasi distribusi besaran dana yang dikeluarkan oleh perusahaan pada
106

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

para pemegang saham. Dividen tersebut biasanya didefinisikan sebagai


pembagian laba setelah pajak (tahun lalu atau tahun berjalan) dalam
bentuk aktiva riil kepada pemegang saham perusahaan sesuai dengan
proporsi kepemilikan sahamnya pada perusahaan. Ada
empat hal penting
dari definisi tersebut, yaitu:
1) bahwa dividen hanya dapat dibagi dari sumber laba setelah pajak dan
bukan dari sumber ekuitas lainnya seperti saham
2) dividen harus dibagikan dalam bentuk aktiva riil bukan aset keuangan
(financial asset). Sudah merupakan praktik bisnis yang lazim,
perusahaan membagi dividen dalam bentuk uang tunai karena uang
tunai merupakan bentuk aktiva riil yang paling nyaman
3) para pemegang saham mendapat pembagian dividen sesuai dengan
proporsi kepemilikan saham
4) bagi para pemegang saham, dividen yang diterimanya merupakan
pendapatan yang teratur (regular income) sehingga dividen merupakan
objek pajak.

Kebijakan dividen tiap-tiap perusahaan tidak sama. Ada pilihan yang


dihadapi manajer keuangan ketika memutuskan untuk mendistribusikan
sejumlah kas kepada pemegang saham. Perusahaan yang membagi dividen
menurut contracting theory merupakan perusahaan yang mementingkan
nilai perusahaan. Oleh karena perhatiannya pada nilai perusahaan, maka
pemegang saham akan menanggapi positif atas kebijakan tersebut.
Kebijakan dividen atau keputusan dividen pada dasarnya adalah
menentukan porsi keuntungan yang akan dibagikan kepada pemegang
saham dan yang akan ditahan sebagai bagian dari laba ditahan (Levy
dan Sarnat, 1990). Selain pengumuman laba, perusahaan go public
memiliki kewajiban untuk memberikan informasi lain yang relevan, yaitu
pengumuman besarnya dividen. Hasil-hasil riset sebelumnya menunjukkan
teka-teki (puzzle) mengenai muatan informasi dari pengumuman dividen
(dividend is puzzle).
Studi yang dilakukan oleh Miller dan Modigliani (1961) menunjukkan
bahwa dividen memiliki sifat tidak relevan (irrelevant) dalam menentukan
nilai perusahaan. Riset-riset mengenai muatan informasi dividen yang
telah dilakukan untuk menunjukkan bahwa pengumuman dividen memiliki
BAB 6 Kebijakan Dividen Perusahaan

107

muatan informasi yang bermanfaat bagi investor menemukan bukti yang


berbeda. Akan tetapi, yang menjadi pertanyaan adalah mengapa masih
banyak perusahaan yang membayar dividen, bahkan meningkatkan nilai
dividennya. Kemudian studi empiris yang dilkukan oleh Watts dalam
Romon (2000) menunjukkan adanya abnormal return tidak signifikan yang
diperoleh investor, yang membuktikan tidak adanya kandungan informasi
dari pengumuman dividen.
Sedangkan Ross (1977) menunjukkan bahwa pengumuman
dividen merupakan suatu informasi yang digunakan oleh manajer
untuk menunjukkan nilai dan prospek perusahaan di masa akan datang.
Pengumuman dividen dianggap memiliki muatan informasi apabila pasar
bereaksi pada saat pengumuman tersebut diterima oleh pasar.
Menurut Arnott dan Asness (2001), kebijakan dividen telah menjadi
controversial puzzle. Beberapa pilihan dapat diambil untuk menentukan
mana yang lebih baik bagi pemegang saham atau manajemen: membayarkan
laba dalam bentuk dividen, menginvestasikan kembali laba yang diperoleh,
ditambahkan dalam laba ditahan, atau mendanai proyek-proyek internal
yang potensial. Menurut Miller dan Modigliani (1961) kebijakan dividen
tidak mempengaruhi nilai perusahaan, apapun pilihan yang diambil,
pengaruhnya akan sama.
Hasil studi Lamont (1998) dan Bernstein (2001) menemukan bahwa
rasio pembayaran dividen yang tinggi meramalkan pertumbuhan laba
yang tinggi. Hal ini konsisten dengan pandangan bahwa manajer memiliki
informasi privat yang disampaikan dalam bentuk kebijakan dividen
(perusahaan akan membayar dividen lebih banyak jika manajer mengetahui
laba akan datang lebih besar, demikian sebaliknya).
Alexander et al. (1993) menyatakan bahwa keputusan dividen
merupakan sesuatu yang penting karena dapat meningkatkan kesejahteraan
para pemegang saham. Studi Chang dan Rhee (1990) melakukan penelitian
mengenai pengaruh pajak pribadi (personel tax) terhadap kebijakan
dividen perusahaan dan pembuatan keputusan struktur modal. Dalam
studi tersebut mereka menunjukkan bahwa besarnya rasio pembayaran
dividen dipengaruhi oleh perubahan pajak pribadi dalam setiap periode.
Dengan pilihan beberapa faktor yang diduga berpengaruh terhadap rasio
108

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

pembayaran dividen, yaitu potensi pertumbuhan (growth potential),


variabilitas laba, non debt tax shield, size perusahaan, dan profitabilitas
(Sutrisno, 2001). Hasil studinya membuktikan bahwa secara keseluruhan
periode potensi pertumbuhan dan variabilitas laba berpengaruh secara
negatif terhadap rasio pembayaran dividen. Sedangkan non debt tax shield,
size of the firm, dan profitabilitas berpengaruh positif signifikan terhadap
rasio pembayaran dividen.
Manajemen mempunyai 2 (dua) alternatif perlakuan terhadap peng
hasilan bersih sesudah pajak (EAT) perusahaan yaitu:
1) Dibagikan kepada para pemegang saham perusahaan dalam
bentuk dividend.
2) Diinvestasikan kembali ke perusahaan sebagai laba ditahan
(retaired earning).
Pada umumnya sebagian EAT (Earning After Tax) dibagi dalam
bentuk dividen dan sebagian lagi diinvestasikan kembali, artinya
manajemen harus membuat keputusan tentang besarnya EAT yang
dibagikan sebagai dividen. Pembuat keputusan tentang dividen ini
disebut kebijakan dividen (dividend policy).
Persentase dividen yang dibagi dari EAT disebut Dividend Payout
Ratio (DPR).
DPR =

Dividen yang dibagi


EAT

Oleh karena itu, dari persamaan tersebut dapat dihitung kembali nilai
taua rasio dividend cash payment. Prosentasi laba ditahan dari EAT adalah
1 DPR.

Kebijakan Dividen dalam Praktik


Pada praktiknya perusahaan cenderung memberikan dividen dengan


jumlah yang relatif stabil atau meningkat secara teratur. Kebijakan
ini kemungkinan besar disebabkan oleh asumsi bahwa:
BAB 6 Kebijakan Dividen Perusahaan

109

a.

Investor melihat kenaikan dividen sebagai suatu tanda baik


bahwa perusahaan memiliki prospek cerah, demikian sebaliknya.
Hal ini membuat perusahaan lebih senang mengambil jalan
aman, yaitu tidak menurunkan pembayaran dividen ,
b. Investor cenderung lebih menyukai dividen yang tidak ber
fluktuasi atau dividen yang stabil (dividend is sticky).
Menjaga kestabilan dividen tidak berarti menjaga Dividend Payout
Ratio tetap stabil, karena jumlah nominal dividen juga tergantung pada
penghasilan bersih perusahaan (EAT). Jika DPR dijaga kestabilannya,
misalnya ditetapkan sebesar 50% dari waktu ke waktu, tetapi EAT
berfluktuasi, maka pembayaran dividen juga akan berfluktuasi
Pada umumnya perusahaan akan menaikkan dividen hingga suatu
tingkatan di mana mereka yakin dapat mempertahankannya di masa
mendatang. Artinya, jika terjadi kondisi yang terburuk sekalipun,
perusahaan masih dapat mempertahankan pembayaran dividennya.

B. Kebijakan Dividen (Dividend Policy)

Pertimbangan Perusahaan dalam Memutuskan Kebijakan Dividen


Kebijakan dividen merupakan keputusan manajemen perusahaan.
Menurut Van Horne (1986), Weston dan Copeland (1991) ada beberapa
pertimbangan yang mempengaruhi perusahaan dalam melakukan kebijakan
dividen, yaitu:
1.

2.

Undang-Undang tentang kebijakan dividen


Undang-undang tentang kebijakan dividen secara umum memberikan
ketentuan yang mengatur bahwa pembayaran dividen harus berasal
dari laba, baik laba tahun berjalan maupun laba tahun lalu yang ada
pada akun laba ditahan di neraca. Hal lain adalah adanya larangan
pembagian dividen dengan mengurangi modal, larangan ini merupakan
isyarat untuk melindungi kepentingan pemberi modal.
Kebutuhan untuk pelunasan utang
Kebijakan dividen terkait dengan masalah pelunasan utang perusahaan.

110

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

3.

4.

5.

6.

Apabila manajemen memutuskan untuk melunasi utang yang jatuh


tempo, maka perusahaan akan menahan laba. Perusahaan tidak akan
membagikan dividen kepada pemegang saham.

Likuiditas perusahaan
Posisi likuiditas perusahaan sangat mempengaruhi kebijakan dividen.
Perusahaan yang sedang mengalami kesulitan likuiditas tidak dapat
membayar dividen secara tunai. Perusahaan yang sedang mengalami
kepailitan tidak mungkin akan membagikan dividen. Demikian pula
perusahaan yang baru melakukan ekspansi, kemungkinan besar
memiliki tingkat likuiditas rendah, sehingga tidak akan membagikan
dividen.

Posisi pemegang saham sebagai pembayar pajak.


Posisi pemegang saham sebagai pemilik perusahaan mempengaruhi
kebijakan pembagian dividen. Dalam perusahaan besar sering terjadi
konflik kepentingan antara pemegang saham yang dibebani tarif pajak
tinggi dan pemegang saham dengan pajak rendah. Golongan pertama
menginginkan pembayaran dividen yang tinggi, sedangkan golongan
kedua menginginkan pembayaran pajak yang rendah. Adanya konflik
semacam ini menuntut perusahaan untuk menerapkan kebijakan
dividen yang dapat menyelaraskan dua kepentingan golongan
tersebut.
Tingkat ekspansi aktiva
Posisi perusahaan yang mengalami pertumbuhan akan semakin
membutuhkan dana besar untuk membiayai ekspansi aktiva. Apabila
kebutuhan dana masa akan datang semakin besar, perusahaan akan
melakukan penahanan laba daripada membayar dividen.

Stabilitas laba
Stabilitas laba perusahaan mempunyai pengaruh terhadap tinggi
rendahnya pembayaran dividen kepada pemegang saham. Perusahaan
yang stabil dan mampu memprediksi laba tahun mendatang, berani
mengumumkan tingkat dividen yang tinggi atau stabil. Hal ini disebab
kan, perusahaan tersebut mempunyai tingkat kepastian yang tinggi
BAB 6 Kebijakan Dividen Perusahaan

111

7.

8.

9.

dalam perolehan laba yang besar. Dengan demikian perusahaan tersebut


memiliki tingkat persentase laba yang tinggi dalam membagikan
laba dibandingkan dengan perusahaan yang labanya berfluktuasi.
Perusahaan yang labanya berfluktuasi memiliki kecenderungan untuk
menahan laba dalam jumlah tinggi daripada membayarkannya sebagai
dividen.

Akses ke pasar modal


Perusahaan yang memiliki kinerja baik akan memiliki akses yang mudah
ke pasar modal. Perusahaan yang mapan cenderung memberikan
dividen yang tinggi daripada perusahaan kecil atau baru.

Kendali perusahaan
Kendali perusahaan dapat dipengaruhi oleh sumber-sumber pem
biayaan alternatif lain. Sumber pembiayaan yang berasal dari utang
memiliki risiko naik turunnya laba yang diperoleh perusahaan.
Pembiayaan dengan menerbitkan saham baru dapat mengurangi
kelompok dominan dalam perusahaan tersebut. Dengan mengetahui
konsekuensi penggunaan sumber-sumber tersebut, perusahaan sering
memilih menggunakan dana internal sebagai sumber pembiayaan
investasi. Akibatnya, perusahaan akan membayarkan dividen yang
rendah.
Tingkat inflasi
Inflasi mengakibatkan laba yang diperoleh perusahaan terlalu tinggi
karena perhitungan beban terlalu rendah sebagai akibat berlakunya
prinsip historis. Untuk menghindari masalah ini, ada kecenderungan
untuk memperbesar laba ditahan dan memperkecil pembagian
dividen. Bentuk pembagian dividen dapat bersifat tunai, dividen
saham, pemecahan saham, atau pembelian kembali sahan yang
beredar. Apabila perusahaan memilih membagikan dividen saham,
laba per lembar sahan atau dividen per lembar saham akan mengalami
penurunan, karena keuntungan yang diperoleh tetap sedangkan
jumlah lembar saham bertambah. Pemecahan saham menyebabkan
nilai nominal saham baru lebih kecil daripada sebelumnya, sedangkan

112

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

jumlah saham semakin banyak. Pemecahan saham dilakukan secara


proporsional, sehingga tidak akan mengubah kepemilikan saham dan
besarnya dividen.

Apabila perusahaan melakukan kebijakan membeli kembali saham
yang telah beredar, jumlah lembar saham beredar akan berkurang.
Laba per lembar saham dan dividen per lembar saham semakin tinggi,
sehingga harga saham akan meningkat. Kebijakan pembelian kembali
saham beredar dilakukan jika perusahaan memiliki tingkat likuiditas
yang tinggi dan tidak akan melakukan ekspansi.

Dalam menentukan kebijakan dividen, manajemen harus mem


perhatikan kesejahteraan para pemegang saham. Di sisi lain, manajemen
juga harus menjaga pertumbuhan perusahaan dan kelangsungan hidupnya.
Menurut Brennan dan Thakor (1990) keputusan yang menciptakan
keseimbangan di antara dividen saat ini dan pertumbuhan di masa akan
datang sehingga memaksimumkan harga saham, disebut dengan kebijakan
dividen optimal. Alli et al. (1993) membedakan variabel-variabel yang
mempengaruhi besarnya dividen sebagai berikut:
a) Legal Restriction

Peraturan tertentu yang akan membatasi besarnya dividen yang akan
dibayarkan.

b) Liquidity Position

Keuntungan yang diperoleh dan laba ditahan yang tinggi tidak harus
menyebabkan posisi kas yang tinggi juga, karena ada kemungkinan
bahwa keuntungan dan laba ditahan tersebut telah digunakan untuk
membayar utang atau melekat pada aktiva selain kas.

c) Absence or Lack of other Sources of Financing



Pada umumnya sumber dana intern mempunyai arti penting bagi
perusahaan yang baru tumbuh. Sebagai konsekuensinya, dividen yang
akan dibayarkan cenderung rendah atau bahkan tidak dibagikan,
karena manajemen akan berusaha mengakumulasikan keuntungan ke
dalam laba ditahan yang berguna untuk pendanaan intern.

BAB 6 Kebijakan Dividen Perusahaan

113

d) Earnings Predictability

Jika keuntungan berfluktuasi maka dividen tidak dapat bergantung
semata-mata dari keuntungan tersebut, sehingga diperlukan adanya
trend keuntungan yang stabil untuk menentukan porsi dividen yang
direncanakan.
e) Ownership Control

Jika perusahaan memutuskan untuk membayarkan dividen yang
tinggi, akan menyebabkan laba ditahan tidak cukup untuk membiayai
investasi barunya. Salah satu cara untuk mengatasi hal ini adalah
perusahaan menerbitkan saham baru untuk mencukupi dananya.
Keputusan ini akan menimbulkan kontrol dari pemegang saham
perusahaan lama semakin berkurang. Hal ini tidak diinginkan oleh
para pemegang saham lama, sehingga mereka akan lebih menyukai
dengan tidak memperoleh dividen.

f) Inflation

Inflasi yang tinggi akan menyebabkan ketidakmampuan perusahaan
untuk melakukan investasi baru sehingga perusahaan akan melakukan
akumulasi dananya ke dalam laba ditahan. Hal ini akan berdampak
pada penurunan terhadap pembayaran dividen.

Model Residual Dividen

Pada prakteknya ada perusahaan yang menggunakan model residual


dividend di mana dividen ditentukan dengan cara:
1. Mempertimbangkan kesempat investasi perusahaan.
2. Mempertimbangkan target struktur modal perusahaan untuk me
nentukan besarnya modal sendiri yang dibutuhkan untuk investasi.
3. Memanfaatkan laba ditahan untuk memenuhi kebutuhan akan modal
sendiri tersebut semaksimal mungkin.
4. Membayar dividen hanya jika ada sisa laba.
Dengan demikian, besarnya dividen bersifat fluktuatif. Model Residual
Dividend ini berkembang karena perusahaan lebih senang menggunakan
laba ditahan dari pada menerbitkan saham baru untuk memenuhi kebutuhan
114

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

modal sendiri, alasannya: 1) Menerbitkan saham menimbulkan biaya emisi


saham (flotation cost) dan 2) Menurut Teori Signaling Hypothesis penerbitan
saham baru sering salah artikan oleh investor bahwa perusahaan kesulitan
keuangan sehingga menyebabkan penurunan harga saham.
Model Residual Dividend menyebabkan dividen bervariasi jika
kesempatan investasi perusahaan juga bervariasi (fluktuasi), Jika kita
percaya pada teori signaling hypothesis. maka model ini sebaiknya tidak
diguanakan secara kaku untuk menetapkan besarnya dividen secara year
to year basis. Model ini lebih banyak digunakan sebagai penuntun untuk
menetapkan sasaran payout ratio jangka panjang yang memungkinkan
perusahaan memenuhi kebutuhan akan modal sendiri dengan laba
ditahan.

Teori Clientele Effect

Teori ini menyatakan bahwa kelompok (clientele) pemegang saham


yang berbeda akan memiliki preferensi yang berbeda terhadap kebijakan
dividen perusahaan.
Kelompok pemegang saham yang membutuhkan penghasilan pada
saat ini lebih menyukai suatu Dividend Payout Ratio yang tinggi. Sebaliknya
kelompok pemegang saham yang tidak begitu membutuhkan uang saat
ini lebih senang jika perusahaan menahan sebagian besar laba bersih
perusahaan.
Jika ada perbedaan pajak bagi individu (misalnya orang lanjut usia
dikenai pajak lebih ringan) maka pemegang saham yang dikenai pajak
tinggi lebih menyukai capital gains karena dapat menunda pembayaran
pajak. Kelompok ini lebih senang jika perusahaan membagi dividen
yang kecil. Sebaliknya kelompok pemegang saham yang dikenai pajak
relatif rendah cenderung menyukai dividen yang besar.
Bukti empiris menunjukkan bahwa efek dari Clientele ini ada. Tapi
menurut MM hal ini tidak menunjukkan bahwa lebih baik dari dividen
kecil, demikian sebaliknya. Efek Clientele ini hanya mengatakan bahwa
bagi sekelompok pemegang saham, kebijakan dividen tertentu lebih
menguntungkan mereka.
BAB 6 Kebijakan Dividen Perusahaan

115

Stock Repurchase, Stock Dividend, dan Stock Split


1. Stock Repurchase

Sebagai alternatif terhadap pemberian dividen berupa uang tunai
(cash dividend), perusahaan dapat mendistribusikan pendapatan
kepada pemegang saham dengan cara membeli kembali saham
perusahaan (repurchasing stock). Harga stock repurchase pada
ekilibrium dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
P=

(S Pc )
(S - n)

di mana:
P* : harga stock repurchase equilibrium
S : jumlah saham beredar sebelum stock repurchase
Pc : harga saham saat ini sebelum stock repurchase
n : jumlah lembar saham yang akan dibeli kembali oleh perusahaan

Keuntungan stock repurchase bagi pemegang saham:


1) Stock repurchase sering dipandang sebagai tanda positif bagi
investor karena pada umumnya stock repurchase dilakukan jika
perusahaan merasa bahwa saham undervalued.
2) Stock repurchase mengurangi jumlah saham yang beredar dipasar.
Setelah stock repurchase ada kemungkinan harga saham naik.

Kerugian bagi pemegang saham:


1) Perusahaan membeli kembali saham dengan harga yang terlalu
tinggi sehingga merugikan pemegang saham yang tidak menjual
kembali sahamnya.
2) Keuntungan stock repurchase dalam bentuk capital gains, padahal
sebagian investor menyukai dividen.

Keuntungan bagi perusahaan:


1) Menghindari kenaikan dividen. Jika dividen naik terlalu tinggi
dikhawatirkan di masa mendatang perusahaan terpaksa mem
116

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

bagi dividen yang lebih kecil (pada masa sulit atau banyak
kebutuhan dana investasi) yang dapat memberi pertanda
negatif. Stock repurchase merupakan alternatif yang baik untuk
mendistribusikan penghasilan yang di atas normal (extra ordinary
earnings) kepada pemegang saham.
2) Dapat digunakan sebagai strategi untuk mengacau usaha
pengambilalihan perusahaan (yang biasanya dilakukan dengan
cara membeli saham sebanyak-banyaknya hingga mencapai
jumlah saham mayoritas). Stock repurchase dapat menggagalkan
usaha ini.
3) Mengubah struktur modal perusahaan. Misalnya, perusahaan
ingin meningkatkan rasio utang dengan cara menggunakan utang
baru untuk membeli kembali saham yang beredar.
4) Saham yang ditarik kembali dapat dijual kembali ke pasar jika
perusahaan membutuhkan tambahan dana.
Kerugian bagi perusahaan adalah:
1) Dapat merusak image perusahaan karena sebagian investor
merasa bahwa stock repurchase merupakan indikator bahwa
manajemen perusahaan tidak mempunyai proyek-proyek baru
yang baik. Namun demikian, jika perusahaan benar-benar tidak
memiliki kesempatan investasi yang baik, ia memang sebaiknya
mendistribusikan dana kembali kepada pemegang saham. Tidak
banyak bukti empiris yang mendukung alasan ini.
2) Setelah stock repurchase, pasar mungkin merasa bahwa risiko
perusahaan meningkat sehingga dapat menurunkan harga saham.

Jika harus memilih antara stock repurchase dan pembayaran dividen


tunai (cash dividend), pada pasar yang sempurna (di mana tidak ada pajak,
biaya komisi untuk jual-beli saham dan efek sinyal dari pemberian dividen),
investor akan indifferent terhadap kedua pilihan. Pada pasar yang tidak
sempurna, investor mungkin akan memiliki preferensi terhadap salah satu
dari ke 2 (dua) alternatif tersebut.
Ada 3 metode yang dapat digunakan untuk membeli kembali saham:
1. Saham dapat dibeli pada pasar terbuka (open market).
BAB 6 Kebijakan Dividen Perusahaan

117

2.
3.

Perusahaan membuat penawaran formal untuk membeli saham


perusahaan dalam jumlah tertentu dan harga tertentu (pendekatan
tender offer).
Perusahaan membeli sejumlah sahamnya kembali dari satu atau
beberapa pemegang saham besar (pendekatan negotiated basis).

Stock Split dan Stock Dividend

Stock split adalah tindakan perusahaan memecah saham yang beredar


menjadi bagian yang lebih kecil. Stock dividend adalah tindakan perusahaan
memberikan saham baru sebagai pembayaran dividen.
Bagi pemegang saham, stock split tidak membuat mereka bertambah
kekayaannya karena kenaikan jumlah saham diimbangi dengan penurunan
nilai saham. Stock dividend juga tidak menambah kekayaan pemegang
saham.
Jika tidak ada keuntungan secara ekonomis mengapa perusahaan
melakukan stock split dan Stock dividend:
1. Stock split dilakukan untuk menjaga agar harga saham tetap berada
pada optimal price range. Harga saham yang tinggi akan menyulitkan
investor (terutama investor kecil) untuk membeli saham tersebut
sehingga dapat menurunkan permintaan.
2. Stock dividend digunakan perusahaan yang ingin menghemat kas atau
perusahaan dalam kesulitan keuangan. Masalah yang muncul jika
perusahaan tidak membagi dividen tunai investor bisa salah persepsi
terhadap emiten. Akibatnya harga saham bisa turun, sehingga untuk
menghindari efek negatif ini perusahaan dapat membagi stock dividend
sebagai pengganti dividen kas.
Meskipun stock split dan stock dividend tidak berbeda secara
pertimbangan ekonomis tapi perlakuan akuntansinya berbeda. Untuk stock
dividend perusahaan harus melakukan kapitalisasi nilai pasar dari stock
dividend dengan cara mentransfer sejumlah rupiah dari stock dividend ke
rekening modal.

118

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

DAFTAR PUSTAKA
Alexander, J. A. et al. 1993. Leadership Instability in Hospitals: The Influence
of Board-CEO Relations and Organizational Growth and Decline.
Administrative Science Quarterly, 38: 74-99.
Alli, K. L. et al. 1993. Determinants of Corporate Dividend Policy: A Factorial
Analysis. The Financial Review, 28 (4): 523-547.

Ap Gwilym, Owain et al. 2005. Dividend Resumption, Future Profitability


and Stock Return. School of Management, University of Southampton,
Highfield. Baker, H. dan Powel G. 1969. How Corporate Managers View
Dividend Policy. Quarterly Journal of Business and Economics, 38 (2).
Arnott, R. D. and C. S. Asness. 2001. Does Dividend Policy Foretell Earning
Growth? Working Paper. First Quadrant LP.

Baker, K. et al. 2001. Factors Influencing Dividend Policy Decisions of Nadaq


Firms. The Financial Review. 38: 19-38.

Bernstein, P. L. 2001. What Prompts Paradigm Shifts? Financial Analysts


Journal.
Bhattacharya, S. 1980. Nondissipative Signaling Structures and Dividend
Policy. Quarterly Journal of Economics, 95(1): 1-24.
Black. F. and Scholes, M. S. 1974. The Effects of Dividend Yield and Dividend
Policy On Common Stock Prices and Return. The Journal of Financial
Economics. 1: 1.
Brealey, Richard A., Myers, Stewart C., and Marcus, Alan J. 2009. Fundamentals
of Corporate Finance (6th edition). McGraw-Hill.

Brennan, M. and A. Thakor. 1990. Shareholder Preference and Dividend


Policy. Journal of Finance. 993-1018.
Brigham, Eugene F. and Joel F. Houston. 2008. Fundamentals of Financial
Management. Jakarta: Salemba Empat.
BAB 6 Kebijakan Dividen Perusahaan

119

Brigham, E. F. and L. C., Gapenski. 2000. Intermediate Financial Management.


New York: The Dryden Press.

Chang, R. P. and Ghon Rhee, S. 1990. Taxes and dividend: The impact of
personel taxes on corporate dividend policy and capital structure
decisions. Financial Management. 21-31.

Chim, S. 1999. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Dividend Payout


Ratio pada Industri Manufaktur dan Jasa di Bursa Efek Jakarta.
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Crutchley, Claire and Robert S. Hansen.1989. A Test of The Agency Theory


of Managerial Ownership, Corporate Leverage and Corporate Dividends.
Financial Management, 18: 36-46.
DeAngelo, H. and DeAngelo, L. 1990. Dividend Policy and Financial Distress:
An Empirical Investigation of Trouble New York Stock Exchange
Firms, Journal of Finance, 46: 1415-1431.

Elton, E. J. and Grueber M. J. 1995. Modern Portfolio Theory and Investment


Analysis. New York: John Wiley and Son.
Fama, E. F. and Miller, M. H. 1972. The Theory of Finance. USA: Holt, Rinehart
and Winston.
Feldstein, M. and Green J. 1983. Why Do Companies Pay Dividend? The
American Economic Review. 17-30.
Frankfurter, G. 2003. Dividend Policy Theories (1st edition), New York: John
Wiley and Son.

Friend and Puckett. 1964. Dividend and Stock Prices. The American Economic
Review.

Hasanawati, Sri. 2005. Implikiasi Keputusan Investasi, Pendanaan dan


Dividen terhadap Nilai Perusahaan Publik di Bursa Efek Jakarta.
Manajemen Usahawan Indonesia, 9: 42-47.
Husnan, S. 2001. Corporate Governace and Finance in East Asia. 2.

Husnan, S. dan Pudjiastuti E. 1994. Dasar-Dasar Manajemen Keuangan


(Edisi ke-1). Yogyakarta: AMP-YKPN.
120

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

Jensen, M. and Meckling, W. 1976. Theory of The Firm: Managerial Behavior,


Agency Cost, and Ownership Structure. Journal of Financial Economics.
3: 178-193.

Jensen, Michael. C. 1986. Agency Costs of Free Cash Flows, Corporate


Finance and Takeovers. American Economics Review, 76: 323-339.
Johnson, R. W. 1966. Financial Management (3rd edition). Allyn and Bacon.

Han, Ki C. et al. 1999. Institutional Shareholders and Dividends. Journal of


Financial and Strategic Decisions. 12 (1): 53.
Lamont, O. 1998. Earnings and Expected Returns. Journal of Finance. 53.

Levy, H. and M. Sarnat. 1990. Capital Investment and Financial Decisions.


(4th edition) Prentice Hall.

Lintner, John, 1956. Distribution of Income of Corporations Among Dividend


Retained Earnings and Taxes. American Economic Review, 46.
Michaely, R. et al. 1995. Price Reaction for Dividend Initiation and Omission
Over Reaction or Drift? Journal of Finance, 2: 573-608.
Miller, M. and Franco Modigliani. 1961. Dividend Policy, Growth and the
Valuation of Share. Journal of Business, 4 (2): 273-295.

Miller. M. H. and Scholes, M. S. 1978. Dividend and Taxes. Journal of Financial


Economics, 6: 333-364.
Nazir, Moh. 1983. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia.

Nissim and Ziv. 2001. Dividend Changes and Future Profitability. The Journal
of Finance.

Palepu, K. G. et al. 1996. Business Analysis and Valuation: Using Financial


Statetment. Cincinnati: South Western College.
Rappaport, Alfred. 1999. Creating Shareholder Value: A Guide for Managers
and Investor (2nd edition). New York: The Free Press.
Romon, F. 2000. Contribution of Dividend Policy Stability to the Measurement
of Dividend Announcement and Ex-Dividend Effects on the French
Market. Athens: WP EFMA.
BAB 6 Kebijakan Dividen Perusahaan

121

Ross, S. A. 1976. The Determination of Financial Structure The Incentive of


Signaling Approach. The Bell Journal of Economics. 23-40.
Sawitri, Ni Nyoman. 2004. Keputusan Perusahaan Membayar atau Tidak
Membayar Dividen dan Dampaknya terhadap Reaksi Pasar. Telaah
Empiris ini Program Doktor Universitas Padjadjaran Bandung. tidak
dipublikasikan.

Shefrin, Hersh M. and Mier Statman. 1984. Explaining Investor Preferences


for Cash Dividends. Journal of Financial Economics. 13 (2): 253-282.
Stanley, B. B. and Geoffrey, A. H. 1987. Foundation of Financial Management
(4th edition). Irwin Homewood.

Surasni, N. K. 1995. Beberapa Variabel yang Mempengaruhi Dividend per


Share pada Perusahaan-Perusahaan Manufaktur yang Listed di Bursa
Efek Jakarta. Penelitian yang tidak diterbitkan Universitas Gadjah
Mada.

Sutoyo, H. dan Irianto, G. 1995. Mengestimasi Target Dividend Payout Ratio


and Speed of Adjustment di Indonesia. Manajemen dan Usahawan. 3-8.
Sutrisno. 2001. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Dividend Payout
Ratio pada Perusahaan Publik di Indonesia. Tema, 11 (1).

Van Horne, James C. 1986. Fundamentals of Financial Management.


(7th edition). Prentice Hall.

Viswanath, P. V. et al. 2002. Dilution


Dividend Commiments and Liquidity:
Do Dividend Changes Reflect Informaton Signaling? Review of
Quantitative Finance and Acounting, 18 (4): 995-1018.
Weston, J. F. dan Brigham, E. F. 1990.
Dasar-Dasar Manajemen Keuangan.
Jakarta: Erlangga.

Weston, J. F. and Brigham. E. F. 1993. Essential of Managerial Finance. New


York: The Dryden Press.

122

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

Merger
dan Akuisisi
Jaja Suteja

Merger dan Akuisisi (M & A) merupakan fenomena bisnis paradoksal.


Di satu sisi, intensitasnya terus meningkat tetapi di sisi lain tingkat
kegagalannya juga cukup tinggi. Mind-set perusahaan pembeli cenderung
merasa menang dan superior (superiority syndrome). Mind-set perusahaan
yang dibeli dimerger atau diakuisisi cenderung manganggap pihak lain
sebagai barbar dan tidak punya perasaan.
(Achmad Sobirin, 2001)

BA B

Merger
dan Akuisisi

Setelah membaca topik ini diharapkan memahami:

1. Memahami apa yang telah terjadi dan dilakukan oleh sejumlah


manajemen perusahaan dalam kaitannya dengan pelaksanaan
merger dan akuisisi

2. Memahami fenomena reaksi pasar terhadap pengumuman


merger dan akuisisi perusahaan

3. Memahami fenomena reaksi pasar terkait dengan merger dan


akuisisi baik itu yang bersifat bersahabat (friendly merger)
maupun hostile merger

A. Pendahuluan

erger dan pengendalian perusahaan merupakan masalah penting


bagi perusahaan yang sedang mengalami pertumbuhan. Oleh karena itu,
manajer keuangan dituntut untuk turut serta atau berpartisipasi dalam
proses penilaian prospek merger dan dalam evaluasi terhadap perusahaan
yang akan menggabung atau bergabung. Pada sisi lain, pihak manajer
keuangan memikul tanggung jawab ganda dalam hubungannya dengan
kesulitan keuangan (financial distress) yang dihadapi oleh perusahaan. Jika
perusahaan tersebut adalah miliknya sendiri, maka kemampuan manajer
keuangan dituntut agar kerugian kepemilikannya dapat ditekan sekecil
mungkin. Di lain pihak, apabila perusahaan tersebut bukan miliknya, maka
manajer keuangan harus mengetahui hak dari kreditor.
124

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

Merger adalah kombinasi dua perusahaan atau lebih di mana muncul


perusahaan yang baru yang melanjutkan operasi kedua perusahaan tersebut.
Sedangkan konsolidasi adalah kombinasi dua perusahaan atau lebih di
mana perusahaan lain menggabungkan atau larut ke dalam perusahaan yang
diikuti. Holding company adalah sebuah bentuk kombinasi bisnis di mana
terdapat sebuah perusahaan yang membeli seluruh saham perusahaan
lain. Sementara itu, perusahaan yang sahamnya dibeli oleh perusahaan lain
masih tetap menjalankan operasinya hanya saja pengendalian perusahaan
ada pada holding company. Perusahaan yang membeli seluruh saham
perusahaan lain disebut induk perusahaan, sedangkan perusahaan yang
dibeli sahamnya disebut dengan cabang atau subsidiary.
Merger dapat dilakukan dengan cara perusahaan yang akan membeli
mengajukan penawaran dengan harga yang lebih tinggi dari harga pasar
untuk mendorong agar para pemegang saham bersedia menjualnya. Merger
dapat diketegorikan kedalam berbagai bentuk, seperti merger vertikal,
horisontal ataupun conglomerate merger.
a. Merger vertikal adalah kombinasi antara dua atau lebih perusahaan
yang memiliki buyer-seller relationship satu sama lain.
b. Merger horisontal adalah kombinasi antara dua atau lebih perusahaan
yang bersaing satu sama lain secara langsung.
c. Conglomerate merger adalah kombinasi antara dua atau lebih
perusahaan yang tidak bersaing satu sama lain secara langsung
maupun tidak memiliki buyer-seller relationship.
Penawaran tender dan alasan perusahaan yang sedang berkembang
melakukan merger:
1. Sebuah perusahaan yang mencari perusahaan untuk dibeli mengundang
pemegang saham untuk mengajukan penawaran saham atas saham
perusahaan tersebut dengan harga tertentu.
2. Suatu tender diajukan langsung kepada pemegang saham, sehingga
tidak memerlukan adanya approval dari dewan direksi perusahaan
yang akan dibeli.
3. Bagi perusahaan yang sedang berkembang dengan membeli perusahaan
lain memperoleh manfaat di mana akan lebih murah membeli aktiva
perusahaan tersebut daripada membeli secara langsung.
BAB 7 Merger dan Akuisisi

125

4.
5.
6.

Economics of scale dapat diperoleh dengan merger horisontal, selain


itu perusahaan akan memperoleh synergy jika net income perusahaan
gabungan lebih tinggi dari net income sebelum merger.
Pertumbuhan yang cepat sering lebih mudah dilaksanakan melalui
penggabungan dari pada pertumbuhan internal (dari dalam).
Pertimbangan lain adalah diversifikasi produk yang dihasilkan dan
untuk memperoleh tenaga yang profesional dengan cara membeli
perusahaan lain.

Synergy yang diperoleh dengan melakukan merger dapat dikelompokkan


menjadi 3 (tiga) kelompok:
a. Operating synergy yang diperoleh dengan adanya economics of scale,
sumber daya yang dapat saling melengkapi, koordinasi yang lebih baik
antara berbagai tahap produksi.
b. Financial synergy adalah bahwa dengan merger akan diperoleh biaya
modal yang lebih rendah dengan meningkatkan kapasitas utang atau
dengan mencapai skala yang ekonomis floation cost.
c. Disamping itu juga synergy dalam kerangka perencanaan berjangka
panjang dengan memungkinkan perusahaan untuk melakukan
ekspansi ke pasar baru secara lebih cepat sebagai tanggapan atas
adanya perubahan lingkungan bisnis.

Holding company seperti telah dijelaskan adalah bentuk perusahaan


yang menguasai saham perusahaan lain dengan demikian pengendalian
secara tidak langsung ada pada perusahaan yang menguasai saham
perusahaan lain.
Adapaun kelebihan dari holding company adalah:
a. Perusahaan yang beroperasi dalam industri yang sedang mengalami
penurunan dapat memanfaatkan dananya untuk membeli perusahaan
dalam industri yang sedang tumbuh.
b. Leverage yang lebih besar dapat dicapai melalui pemilikan sebagian
kecil.
c. Memperkecil risiko dengan menginvestasikan dana pada berbagai
perusahaan yang berbeda, sehingga penurunan return pada salah satu
perusahaan akan diimbangi dengan kenaikan pada perusahaan lain.
126

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

a.
b.

Adapun kekurangan atau kelemahan Holding Company adalah:


Partial multiple taxation, jika holding company hanya memiliki kurang
80% dari saham perusahaan cabangnya, maka return tidak boleh
digabungkan. Bagaimanapun cabang harus membayar 15% pajak
penghasilan dan mengurangi penerimaan dividen.
Risiko yang berlebihan, karena pengaruh leverage pada holding
company mengakibatkan kemungkinan kerugian atau keuntungan
yang besar.

Leveraged Buy Out (LBO) adalah suatu bentuk pembelian saham


perusahaan oleh sekelompok investor. Dalam kondisi yang seperti itu,
manajemen tetap mengendalikan jalannya perusahaan, tetapi di bawah
struktur kepemilikan yang baru. Pinjaman dalam jumlah yang besar
mungkin akan digunakan untuk membiayai pembelian tersebut bahkan
dapat mencapai debt to equity ratio 900%.
Beberapa kondisi yang mendorong berhasilnya leverage buy out
adalah:
a. Earnings harus dapat diperkirakan (predictable) dan cukup untuk
menutup bunga dan amortisasi pinjaman secara cepat.
b. Pertumbuhan aliran kas harus lebih tinggi dari pada tingkat inflasi.
c. Perusahaan harus memiliki posisi pasar yang kuat atau memiliki
market share yang cukup besar.
d. Kemampuan untuk dijual kembali di masa datang merupakan faktor
kritis terutama jika investor merencanakan untuk go public atau
menjual kembali setelah suatu jangka waktu tertentu.
Leverage buy out khususnya menghasilkan nilai karena beberapa
alasan:
a. Para manajer memiliki prestasi keberhasilan yang tinggi dan dimotivasi
dengan kesempatan untuk memperoleh kemakmuran yang besar.
b. Perusahaan menghindari kendala adanya peraturan pemerintah yang
melarang monopoli dan manfaat pajak atas kenaikan depresiasi karena
revaluasi aset serta kenaikan perlindungan pajak atas pembayaran
bunga pinjaman.
BAB 7 Merger dan Akuisisi

127

Merger dan Akuisisi (M & A) merupakan fenomena bisnis paradoksal


(Achmad Sobirin, 2001). Di satu sisi, intensitasnya terus meningkat tetapi
di sisi lain tingkat kegagalannya juga cukup tinggi. Sebagai gambaran,
Schweiger, Csiszar, dan Napier (1993) mengemukakan bahwa sejak tahun
1983 penggabungan usaha yang terjadi di Amerika, setiap tahunnya
mencapai angka 2.500 lebih. Angka ini belum termasuk keterlibatan
perusahaan Amerika dalam M & A antar negara yang jumlahnya juga
meningkat drastis. Selain Amerika, trend yang sama juga terjadi di Eropa,
Asia dan wilayah negara lain.
Di Cina misalnya antara tahun 1985-1996 terjadi M & A dengan total
nilai US $ 5,3 milyar (Milman, 1999). Sedangkan di Indonesia, meski tidak
ada angka pasti dan kegiatannya pun tidak setinggi negara-negara maju,
tidak luput dari boom M & A. Pertengahan tahun 1980-an sampai awal
tahun 1990an merupakan masa-masa subur bagi kegiatan merger dan
Akuisisi di Indonesia. Secara keseluruhan, seperti dikatakan Cartwright
dan Cooper (1993a, 1993b, 1993c; 1995), Legare (1998), dan Marks dan
Mirvis (1997, 1998), M & A yang terjadi pada tahun 1980-an dan periode
sesudahnya meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan dengan boom
M & A tahun 1960-an.
Di sisi lain tingkat kegagalan M & A juga relatif tinggi berkisar antara
50% sampai 70% (Cartwight dan Cooper 1993c). Termasuk dalam
kategori kegagalan M & A misalnya: penggabungan usaha tersebut tidak
mencapai tujuan finansial yang dikehendaki (Chatterjee et al., 1992), tidak
meningkatkan harga saham di pasar bursa (Schweiger, Csizar, Napier,
1993), tidak menciptakan sinergi yang biasa disebut 2 + 2 = 5 effect
(Mirvis dan Marks, 1992). Sebuah Perkawinan ujungnya terjadi perceraian
kembali tidak lama setelah penggabungan usaha tersebut berlangsung
(Cartwight dan Cooper 1993a, b, c). Karena secara historis M & A adalah
domain para ekonom dan para strategis (Cartwright dan Cooper, 1993c)
maka kegagalan M & A biasanya hanya dikaitkan dengan faktor-faktor
berikut: (1) jeleknya pengambilan keputusan karena membeli perusahaan

128

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

lain dengan harga yang terlalu tinggi, (2) terjadi kesalahan dalam mengelola
keuangan sehingga realisasi bertambahnya skala ekonomi dan rasio-rasio
laba yang diharapkan tidak tercapai, dan (3) terjadi perubahan pasar yang
mendadak.
Memang tidak dipungkiri bahwa ketiga faktor di atas dapat menghambat
keberhasilan M & A, namun harus diakui pula bahwa sesungguhnya M &
A bukan sekedar plain buying sekedar mengambil alih aset perusahaan
lain (Salgo, 1968) melainkan menggabungkan dua kelompok manusia
yang berbeda sikap dan perilaku, dan menggabungkan dua budaya yang
berbeda (Nahavandi dan Malekzadeh, 1988), sehingga keberhasilan atau
kegagalan M & A juga sangat bergantung pada kedua faktor ini. Davy et
al. (1988, 1989) bahkan menyatakan bahwa 33% sampai 50% kegagalan
M & A karena faktor manusia dan budaya. Sayangnya kedua faktor ini masih
sering diabaikan dalam pengambilan keputusan M & A (Schweiger dan
Ivancevich, 1985). Akibatnya tidak hanya tujuannya tidak tercapai, M & A
sering menjadi bumerang, yaitu menjadi bencana bagi perusahaan tersebut
(Feldman, 1995).
Uraian tersebut menunjukkan bahwa faktor manusia dan budaya
menjadi salah satu determinan keberhasilan dan atau kegagalan M & A.
Jika demikian, sebelum memutuskan penggabungan usaha, selayaknya
para pengambil keputusan terlebih dahulu memahami kedua faktor
ini lebih baik dan melakukan persiapan-persiapan psikologis layaknya
seseorang akan melakukan sebuah perkawinan (Cartwright dan Cooper,
1993b). Dengan pemahaman ini diharapkan agar saat implementasi
M & A, persoalan-persoalan manusia dan budaya dapat diantisipasi lebih
dini dan dapat diminimalisir. Seperti dikatakan Schweiger, Csiszar dan
Napier (1993). Kunci keberhasilan M & A selain karena pemilihan strategi
yang tepat dan harga pembelian yang wajar juga bergantung pada efektivitas
implementasinya yang tidak lain adalah bagaimana mengelola manusia dan
budaya, baik sebelum maupun sesudah M & A sah secara hukum.

BAB 7 Merger dan Akuisisi

129

B. Merger dan Akuisisi Sebagai Sebuah Perkawinan


Paradoks
Achmad Sobirin (2001) membuat perumpamaan (metafora) M
& A layaknya sebuah perkawinan bukanlah hal baru dalam literatur
M & A (lihat misalnya Ivancevich, Schweiger dan Power, 1987). Layaknya
sebuah perkawinan, memahami sifat/karakter masing-masing pihak
sebelum perkawinan tersebut dilaksanakan merupakan tindakan yang
bijak mengingat perkawinan bukan sekedar bertemunya dua insan dalam
pelaminan melainkan pertemuan dua sifat, (i) karakter dan (ii) kebiasaan
dan budaya yang berbeda. Oleh karenanya, kedua belah pihak kadangkadang perlu melakukan perubahan dan harmonisasi sifat, kebiasaan dan
budaya agar perkawinan tersebut dapat berlangsung lama dan mencapai
tujuannya. Sayangnya, sifat, kebiasaan, dan budaya dari masing-masing
pihak tidak mudah berubah bahkan cenderung dipertahankan meski
perkawinan tersebut telah berlangsung. Kecenderungan ini muncul tidak
lain karena dalam diri manusia sudah terbentuk mind-set (Maks dan Mirvis,
1998) atau mental programming dalam bahasa Hofstede (1997).
Harapan bagi kita adalah sesulit apapun perubahan itu bukan berarti
bahwa mind-set tidak dapat dirubah (Hofstede, 1997), tetapi harus disadari
pula bahwa perubahan tersebut bukan pekerjaan mudah dan memerlukan
waktu yang lama (Kotter dan Heskett, 1992:105). Oleh karena itu, jika
perubahan mind-set merupakan suatu keharusan (demi langgeng dan
tercapainya cita-cita perkawinan) maka kerja sama dari pihak-pihak yang
terlibat dalam perkawinan tampaknya tidak dapat dihindarkan.
Tidak berbeda dengan sebuah perkawinan, M & A juga akan mengalami
hal serupa. M & A selalu berhadapan dengan perbedaan yang (kadangkadang) memerlukan perubahan dan penyesuaian demi suksesnya
penggabungan usaha tersebut. Sayangnya dalam melakukan M & A kedua
belah pihak cenderung mempertahankan mind-set masing-masing, yaitu
mind-set perusahaan pembeli dan mind-set perusahaan penjual meski
penggabungan usaha telah berlangsung (Marks dan Mirvis, 1998). Itulah
sebabnya saat M & A diimplementasikan sering terjadi benturan kepentingan
antara perusahaan yang mengakuisisi (berinisiatif melakukan merger)
dengan perusahaan yang dibeli/dimerger.
130

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

Mind-set perusahaan pembeli atau dalam konteks merger perusahaan


yang memimpin perusahaan lain, cenderung merasa menang dan
superior, Achmad Sobirn, 2001 (superiority syndrome). Bagi para eksekutif
perusahaan tersebut, kemenangan ini juga menunjukkan seolah-olah
mereka mempunyai kemampuan untuk memimpin perusahaan lain dan
secara psikologis memperoleh kepuasan dalam bekerja karena merasa
telah menyelesaikan pekerjaan besar. Suasana ini membuat mereka merasa
lebih percaya diri, ingin cepat-cepat menyelesaikan persoalan-persoalan M
& A yang masih mengambang, dan merasa mempunyai bargaining position
yang lebih kuat ketimbang para eksekutif dari perusahaan yang dimerger
atau diakuisisi. Sikap semacam ini dapat berdampak pada suatu anggapan
bahwa ketajaman bisnis mereka, baik dalam hal strategi, kebijakan, prosedur,
sistem, teknologi maupun orang-orangnya, lebih superior ketimbang
perusahaan yang dimerger/diakuisisi dan di sisi lain menganggap pihak
lain lebih inferior. Pernyataan seperti: mereka masih bekerja keras untuk
menyelesaikan persoalan yang kami telah selesaikan lima tahun lalu,
atau sistem kita akan membawa mereka ke dunia bisnis modern atau
teknologi yang kita miliki akan membawa mereka ke perusahaan kelas
dunia menjadi hal yang biasa.
Karena perasaan superioritas itu pula, saat implementasi M & A mulai
dijalankan, perusahaan yang memimpin mulai bergerak cepat dan mulai
melakukan konsolidasi untuk meraih keuntungan yang sudah dibayangkan
sebelumnya. Dalam kondisi yang serba cepat ini, perusahaan yang
memimpin mulai mendominasi pihak lain. Janji-janji yang diberikan saat
negosiasi berlangsung seperti misalnya mereka akan menghormati tradisi
dan kebiasaan-kebiasaan perusahaan yang dimerger/diakuisisi, mereka
lupakan begitu saja. Dibenak mereka, yang penting bagaimana anggaran
dan target-target perusahaan dapat tercapai dan kegiatan perusahaan
menampakkan hasilnya, bukan bagaimana menyelesaikan M & A secara fair
atau tidak mengakibatkan gejolak.
Mind-set perusahaan yang dibeli jika para eksekutif perusahaan yang
mengakuisisi mempunyai perasaan menang dan bersikap merendahkan
pihak lain, para eksekutif dari perusahaan yang dimerger/diakuisisi
mempunyai sikap dan perasaan yang sebaliknya. Mereka cenderung
manganggap pihak lain sebagai barbar dan tidak punya perasaan.
BAB 7 Merger dan Akuisisi

131

Bahkan dalam konteks M & A yang bersifat friendly sekalipun, perasaanperasaan seperti ini tidak dapat dihilangkan begitu saja. Akibatnya para
eksekutif mengalami cultural shock (Hofstede, 1997) segera setelah
M & A diumumkan. Mereka merasa tidak siap menghadapi tugas-tugas dan
tanggung jawab baru, tidak siap dengan perubahan struktur organisasi
yang baru, bahkan mereka terus bersikap waspada terhadap manajer yang
baru. Implikasi dari perasaan takut, bingung dan curiga yang dialami para
eksekutif menjadikan mereka berupaya untuk mengatasi/mengendalikan
dirinya. Di antaranya dengan melakukan tindakan-tindakan defensif
seperti melakukan regrouping (memisahkan diri dari kelompok eksekutif/
karyawan perusahaan pembeli) sebagai langkah awal untuk menyusun
serangan balik terhadap musuhnya (perusahaan pembeli).
Berbagai tindakan yang dilakukan seperti tidak patuh, sabotase,
atau serangan secara agresif merupakan bentuk-bentuk serangan balik
yang biasa dilakukan para eksekutif perusahaan penjual. Tujuannya
mereka ingin merebut kembali (buyback) perusahaan yang diakuisisi atau
dimerger (Mirvis dan Sales, 1990). Mulanya memang para eksekutif hanya
marah kepada pimpinan mereka, sebab karena merekalah (para pimpinan
perusahaan yang memutuskan M & A) para eksekutif menjadi bingung, curiga
dan takut. Perasaan marah ini kemudian bergeser bukan lagi ke pimpinan
mereka tetapi ke pimpinan perusahaan yang mengakuisisi. Perasaan seperti
ini biasanya berlangsung cukup lama. Jika mereka secara psikologis dapat
mengatasi perasaannya, maka langkah berikutnya mencoba melakukan
bargaining dengan pimpinan yang baru sampai kepentingan-kepentingan
mereka terakomodasi.
Dilihat dari segi waktu, kondisi ini biasa berlangsung lama, biasanya
dalam ukuran tahun, bahkan ada di antara mereka yang tidak pernah
dapat menghilangkan perasaan-perasaan tersebut di atas sehingga pilihan
yang mereka tempuh adalah keluar dari perusahaan. Marks dan Mirvis
(1998) lebih lanjut mengatakan bahwa perbedaan mind-set tersebut
tidak mungkin dapat dihilangkan sama sekali. Menghilangkan perbedaan
mind-set merupakan pekerjaan sia-sia dan hanya bersifat artifisial. Hal yang
penting adalah menyadarkan mereka bahwa kesepakatan sudah dibuat
dan M & A sudah sah secara hukum. Artinya, agar persoalan-persoalan
manusia dan budaya dapat diminimalisir, selain perbedaan tersebut harus
132

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

diintegrasikan (Pablo, 1994), para pengambilan keputusan juga patut


memperhatikan dimensi psikologis perkawinan dalam M & A dan jenisjenis perkawinannya itu sendiri (Cartwright dan Cooper, 1993b).
Dimensi Psikologis Perkawinan dalam M & A Cartwright dan Cooper
(1993b) mengidentifikasikan dimensi-dimensi psikologis dalam M & A yang
perlu dipahami ketika dua perusahaan melangsungkan sebuah perkawinan,
di antaranya:
1. M & A, layaknya sebuah perkawinan, merupakan aktivitas yang mahal.
Untuk menggabungkan dua usaha, di samping harus membayar
perusahaan yang diambil alih, juga harus mengeluarkan biaya-biaya
lain seperti jasa konsultan, jasa perantara, biaya iklan, dan biaya-biaya
lain yang terkait yang jumlahnya tidak sedikit. Demikian juga jika
terpaksa perkawinan ini tidak dapat berlangsung lama, untuk berpisah
juga memerlukan biaya yang tidak sedikit. Melihat kenyataan bahwa
tingkat perceraian M & A begitu tinggi, lebih dari 50% maka perceraian
tersebut identik dengan penghamburan uang yang sia-sia. Secara
finansial, kegagalan ini akan tampak lebih buruk lagi karena biasanya
diikuti dengan memburuknya citra perusahaan dan anjloknya harga
saham di pasar bursa. Belum lagi biaya sosialnya seperti keluarnya
para expertise dari perusahaan.
2. Perkawinan yang berhasil dan berumur panjang hanya akan terjadi jika
kedua belah pihak melakukan persiapan-persiapan yang lebih baik,
lebih lama dan keduanya memahami mind-set dan karakter masingmasing, bukan sekedar mengacu pada keuntungan strategis dari
perkawinan tersebut. Dalam hal ini penilaian terhadap kompatibilitas
budaya kedua belah pihak khususnya setelah keduanya bergabung,
menjadi sangat penting karena sekali lagi M & A bukan sekedar plain
buying melainkan penggabungan dua budaya.
3. Keberhasilan sebuah perkawinan tidak semata-mata bergantung pada
bagaimana strategi penggabungan diterapkan tetapi lebih bergantung
pada bagaimana implementasinya. Hal ini berarti keterlibatan para
eksekutif menengah dan manajer lini dalam negosiasi M & A sangat
dianjurkan mengingat merekalah yang nantinya terlibat dalam
operasionalisasi M & A. Di Jepang misalnya, praktik semacam ini
(melibatkan para eksekutif menengah dalam negosiasi) merupakan
BAB 7 Merger dan Akuisisi

133

4.

5.

hal yang biasa sehingga para eksekutif menegah dan manajer lini tidak
mengalami stress setinggi rekan-rekan mereka yang ada di Amerika
atau negara-negara barat lainnya ketika menghadapi M & A. Sebab,
karena keterlibatannya dalam proses negosiasi M & A, para eksekutif
menengah ini sudah dapat memprediksi apa yang kira-kira terjadi
setelah kedua perusahaan bergabung.
Pengalaman-pengalaman sebelumnya bukan prediktor keberhasilan
sebuah perkawinan di masa datang. Artinya, bagi perusahaan yang
pernah melakukan M & A, pengalaman tersebut dan cara-cara yang
digunakan tidak dapat begitu saja diterapkan pada M & A berikutnya
mengingat adanya perbedaan lingkungan dan karakteristik perusahaan
yang akan digabung. Sebagai contoh, menggabungkan dua perusahaan
sejenis (horisontal M & A) tentunya memerlukan pola dan cara
penggabungan yang berbeda dengan penggabungan dua perusahaan
lain jenis (vertikal M & A).
Perkawinan yang berhasil terjadi antara dua pihak yang saling mengakui
dan menerima isi kontrak. Kesepakatan M & A yang cenderung bersifat
implisit ketimbang eksplisit sering menimbulkan kesalah pahaman
dari kedua belah pihak. Oleh karenanya, kalau masing-masing pihak
tidak memahami dan mangakui mind-set partner-nya, diperkirakan
kegagalan M & A akan semakin tinggi.

Jenis-jenis Perkawinan dalam Merger dan Akuisisi

Dilihat dari aspek perilaku dan budaya, secara umum ada tiga jenis
perkawinan dalam M & A, yaitu perkawinan terbuka, perkawinan tradisional,
dan perkawinan modern atau kolaboratif (Cartwright dan Cooper, 1993b;
Napier, 1989).
Perkawinan Terbuka dari dua Organisasi atau lebih
Perkawinan terbuka dua organisasi atau lebih adalah suatu peng
gabungan dua perusahaan di mana masing-masing perusahaan mau saling
menerima apa adanya kondisi pihak lain. Di samping itu, kedua belah pihak
juga berupaya mempertahankan independensi masing-masing. Dalam
hal ini, ha-hal yang bersifat khas bagi sebuah organisasi (idiosyncrasy),
perbedaan perilaku dan perbedaan budaya organisasi dianggap bukan
134

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

merupakan variabel penting yang perlu diperdebatkan. Artinya, masingmasing pihak tidak berupaya merubah perilaku atau budaya organisasi
pihak lain sebab kedua variabel tersebut tidak dianggap sebagai faktor
pengganggu karena perbedaan tersebut bersifat natural.

Perkawinan Tradisional Suatu Organisasi Bisnis


Perkawinan tradisional sebuah organisasi bisnis pada dasarnya
adalah penggabungan dua perusahaan di mana salah satu pihak merasa
lebih dominan ketimbang pihak lain. Perkawinan seperti ini biasa disebut
sebagai perkawinan yang tidak setara (unequal marriage). Karena adanya
ketidak setaraan tersebut, maka pihak yang merasa lebih dominan
menganggap bahwa dirinya lebih berhak menentukan arah dan masa
depan perusahaan baru baik dalam hal misi dan visi perusahaan maupun
tujuan, strategi, budaya, dan perilaku organisasinya. Oleh sebab, itu jika
saat negosiasi M & A berlangsung, misalnya diketahui ada perbedaan
dalam gaya kepemimpinan dan budaya organisasi, maka segera setelah
M & A disetujui dan sah secara hukum, pihak yang merasa dominan tersebut
cenderung memaksa perusahaan yang dimerger/diakuisisi mengikuti tata
nilai dan keyakinannya serta semua peraturan yang berlaku di perusahaan
yang dominan tersebut.
Akuisisi Apollo Computer oleh Hewlett Packard atau HP (Legare,
1998) adalah salah satu contoh bentuk perkawinan tradisional. Dalam
contoh ini, HP merasa lebih dominan ketimbang Apollo oleh karenanya
inisiatif-inisiatif perubahan dilakukan oleh HP, dan konsekuensinya, apa
yang dimaui HP harus dituruti Apollo Computer.
Perkawinan Modern Suatu Organisasi Bisnis
Jenis perkawinan bisnis ini sering juga atau biasa disebut sebagai
perkawinan kolaboratif. Disebut demikian karena pada dasarnya pihakpihak yang bergabung, secara konsisten berupaya untuk mencapai tujuan
M & A yang sesungguhnya yaitu mencapai sinergi yang biasa dianalogikan
dengan 2 + 2 = 5 effect.
Dalam bahasa behavioral, kolaborasi terjadi karena salah satu pihak
berupaya maksimal untuk mencapai tujuannya dan di sisi lain ia juga ingin
membantu pihak lain secara maksimal mencapai tujuannya (lihat misalnya
George dan Jones, 1999, p. 663). Jadi dalam perkawinan modern ini masingBAB 7 Merger dan Akuisisi

135

masing pihak menyadari bahwa mereka mempunyai beberapa keunggulan


dan sekaligus kelemahan dibanding pihak lain. Mereka juga sadar bahwa
kelemahan tersebut hanya dapat di atasi jika mereka bergabung atau
memiliki perusahaan lain. Itulah sebabnya kedua belah pihak berusaha
untuk share learning saling belajar dari pihak lain.
Penggabungan usaha bisnis dapat dilakukan dengan merger antara dua
perusahaan yang menciptakan sebuah perusahaan baru atau acquisition,
yaitu bila suatu perusahaan membeli atau mengakuisisi perusahaan lain,
di mana operasi perusahaan diambil alih kejaringan operasi perusahaan
pembeli. Meskipun istilah merger dan akuisisi (M & A) mengandung
implikasi hukum yang berbeda, di sini kita akan menggunakan kedua istilah
itu secara kesatuan untuk menyebut suatu penggabungan dua atau lebih
unit usaha menjadi sebuah unit usaha operasional tunggal.
Bentuk M & A berdasarkan Martin et al. (1988) dikelompokkan menjadi
tiga, yaitu horisontal, vertikal, dan konglomerat.
1) Horisontal, penggabungan perusahaan yang bergerak dalam industri
sejenis. Sasaran dilaksanakannya merger horisontal agar diperoleh
economies of scale atas produk yang dihasilkan. Berger, Hancock, dan
Humphrey (1983), menjelaskan bahwa economies of scale adalah
kenaikan output lebih besar dari kenaikan proporsi input. Sinkey Jr.
(1992) menyatakan bahwa penggabungan input dapat meningkatkan
efisiensi sehingga terjadi peningkatan output (expanding volume).
Farre dan Shapiro (2000) mengupas bahwa horisontal merger akan
meningkatkan efisiensi sehingga diperoleh economies of scale dengan
penghematan biaya, antara lain;
a) Penyimpanan dan inventori
b) Bahan baku
c) Overhead korporasi, dan
d) Distribusi serta promosi

Apabila bidder dan target dapat memiliki kesamaan segmen pasar,
maka akan terbentuk sistem monopoli atau peningkatan market
power. Undang-Undang anti Monopoli merupakan rintangan agar
pasar tidak tejadi pasar oligopoli .
136

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

2) Vertikal, penggabungan dua atau lebih perusahaan yang bergerak


dalam proses produksi atau operasi, dari hulu ke hilir atau sebaliknya.
Salah satu tujuannya untuk penghematan biaya overhead (tranportasi,
komunikasi, asuransi, administrasi, dan keuangan). Penggabungan secara
vertikal termasuk forward integration, dan backward integration.
3) Konglomerat, penggabungan dua atau lebih perusahaan yang bergerak
dalam industri yang tidak terkait, salah satu tujuan untuk diversifikasi
usaha. Perusahaan

yang tidak efisien, tidak mampu mengoptimalan


aset, terdapat kemungkinan pihak lain dalam pengelolaan aset.
Pengelolaan tersebut akan lebih efektivitas, sehingga terjadi
peningkatan economies of scope.
Menurut Barber, Palmer, dan Wallace (1994) terdapat empat motivasi
dilakukannya M & A, yaitu:
1) Financial synergies, misalnya untuk peningkatan kapabilitas pemasaran
(market power), menambah pokok komponen (economies of scale),
konsolidasi biaya overhead, penghematan pajak (tax consideration).
2) Windows dressing, merupakan upaya akuntansi agar rasio keuangan
perusahaan menunjukkan perusahaan dalam keadaan yang sehat
(baik).
3) Disciplinenary motivation, disebabkan oleh manajemen yang kurang
efisien dan efektif, sehingga perlu adanya perbaikan.
4) Industrial organization, dikarenakan ketidakpastian adanya perubahan
ekonomi, kompetisi, kekuatan industri, dan otonomi industri.
Dipandang dari pihak perusahaan target, proses M & A merupakan
alternatif untuk menghindari akan terjadinya kebangkrutan di masa yang
akan datang. Bangkrut terjadi apabila perusahaan kesulitan likuiditas,
jumlah kewajiban melebihi nilai aset. Posisi target yang dalam keadaan
kesulitan likuiditas, kerugian usaha, terlalu besar hutang, ketidakpaduan
manajemen, kesulitan pemasaran, maka harga tawar melemah. Nilai
penggabungan perusahaan dapat positif atau negatif.
Merger dan akuisisi yang merupakan grand theory yang mendasari
pada penelitian ini telah diuraikan pada permulaan bab ini, yang selanjutnya
BAB 7 Merger dan Akuisisi

137

akan dilanjutkan dengan pembahasan middle range teori yang relevan


dengan permasalahan dan fenomena yang menjadi topik penelitian ini
yaitu banyaknya merger dan akuisisi yang mengalami kegagalan.
Bukti-bukti penghancuran nilai yang diamati dan kegagalan pasar
yang terlihat merupakan kontrol bagi perusahaan berkenaan dengan
kemampuan perusahaan pengakuisisi untuk menghasilkan pencapaian
kinerja yang diharapkan. Dari sudut pandang para pengambil keputusan
yaitu para manajer ada dua pendekatan untuk masalah ini, yaitu pendekatan
keputusan rasional dan irasional.

Tujuan-Tujuan Pertumbuhan Pandangan Keagenan

Masalah akuisisi yang menghancurkan nilai dan khususnya masalah


pembayaran berlebihan (overpayment), mempunyai akar teoritisnya
dalam literatur tentang pemisahan kepemilikan dan kontrol terhadap
keberanian berusaha dari pihak manajerial serta teori keagenan (Berle
dan Means, 1932; Jensen dan Meckling, 1976; Fama, 1980: Shleifer dan
Vishny, 1990). Schumpeter melukiskan tujuan pokok seorang entrepreneur,
yaitu membangun suatu kerajaan/imperium pribadi/bisnis di mana laba
dikorbankan demi kebesaran. Seperti ditunjukkan oleh Mueller (1995:15)
Merger merupakan jalan paling cepat dan pasti untuk tumbuh dan dengan
demikian merger mungkin ditempuh oleh para manajer sekalipun kalau
merger tidak menjanjikan laba dan peningkatan kekayaan para pemegang
saham. Kompensasi, kekuasaan, prestise, dan keamanan kerja cenderung
dinilai tinggi oleh para manajer dan menambah besarnya perusahaan
mungkin memperbesar probabilitas untuk mencapai tujuan ini.
Ada banyak kejadian bahwa penghasilan para manajer puncak dalam
perusahaan pengakuisisi meningkat meskipun dengan keadaan kinerja
yang menurun (Firth, 1991; Fowler dan Schmidt, 1989; Mueller, 1969)
dan dengan demikian, praktik-praktik kompensasi boleh jadi mendorong
kegiatan akuisisi. Sejalan dengan ini, premium akuisisi merupakan
contoh yang jelas tentang keputusan yang tidak mungkin dilakukan para
pemegang saham ketika pengimplementasian keputusan portofolio. Jadi,
dalam mencapai tujuan tersebut, para manajer melakukan akuisisi sesuai
yang dikehendaki. Premium mempunyai sedikit saja hubungannya dengan
138

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

peluang-peluang penciptaan nilai, dan para manajer tidak benar-benar


mengharapkan akuisisi-akuisisi ini memberikan nilai bagi para pemegang
saham perusahaannya.
Di sisi lainnya, suatu alternatif bagi pandangan keagenan yang
mendorong untuk memotivasi studi tentang keputusan pengalokasian
sumber daya dalam strategi Akuisisi ini adalah peranan arogansi manajerial
(managerial hubris) seperti yang dikemukakan oleh Roll (1986).

Berbagai Teori Merger dan Akuisisi

Hipotesis Penelitian Hubris (Arogansi) dalam Akuisisi Perusahaan


Hipotesis penelitian hubris (Roll, 1986) dikembangkan sebagai ke
mungkinan penjelasan tentang bukti pasar saham negatif bagi perusahaan
pengakuisisi dan telah menjadi subjek pembicaraan yang cukup intens
dalam literatur keuangan (Shleifer dan Vishny, 1988; Morck, Shleifer, dan
Vishny, 1990). Menurut pandangan Roll adalah hubris atau arogansi pada
diri seorang pengambil keputusan tunggal yang menjadikan kebanggaan
diri dan kepercayaan diri yang besar sekali yang mengarah kearogansi
menyebabkan seorang manajer membayar berlebihan (overpayment)
untuk suatu akuisisi. Dalam pandangan hubris, banyaknya peserta yang
terlibat dalam memberikan dan mengajukan penawaran dalam Akuisisi
tidak mempunyai pengaruh terhadap hasil akhir.
Hipotesis penelitian hubris pada dasarnya merupakan permasalahan
khusus tentang persepsi negatif terhadap pemenang (winners curse)
menurut teori lelang (Varaiya, 1998). Dengan demikian, menurut teori
ini, dalam lelang harga yang biasa (atau nilai aset memiliki harga yang
sama bagi semua penawaran), penawaran yang paling tinggi cenderung
mempunyai kesalahan positif menaksir yang paling tinggi dan karenanya
memenangkan lelang tetapi tidak menyukai hasilnya (Bazerman dan
Samuelson, 1983). Dalam modelnya Roll, diasumsikan bahwa pasar ber
sifat efisien, yaitu semua kemungkinan keuntungan diketahui oleh pasar
dan sudah dimasukkan dalam perusahaan target sebelum penawaran
sebenarnya dilakukan. Maka, arogansilah yang mendorong para manajer
membayar sesuatu yang lebih besar daripada harga pasar.
BAB 7 Merger dan Akuisisi

139

Asumsi terpenting yang menjadi dasar pandangan hubris ini


adalah bahwa penawaran yang diajukan dan khususnya nilai premium,
merepresentasikan anggapan yang mendasari pengambilan keputusan
tentang nilai yang dapat diciptakan dengan Akuisisi yang dilakukan para
manajer.
Hipotesis peneltian hubris meskipun secara intuitif menarik untuk
ditelaah namun mempunyai kelemahan karena asumsi utama yang
mendasarinya, anggapan yang sebenarnya dari pengambil keputusan
yang sifatnya tunggal itu. Haunschild (1994) menemukan bahwa
premium-premium yang dibayarkan oleh sebuah perusahaan pengakuisisi
mempunyai kaitan dengan premium yang dibayarkan oleh mitra-mitra yang
menjadi anggota dewan direksi perusahaan bersangkutan dan berkaitan
dengan perusahaan-perusahaan lain yang menggunakan bank investasi
yang sama. Mueller (1989) menyatakan bahwa apakah merepresentasikan
anggapan yang mendasarinya adalah tidak dapat dijawab secara inheren
akan sulit mempertahankan argumen apakah dengan premium-premium
sekarang yang besarnya sampai lima kali lipat dibanding dua puluh tahun
lalu berarti para manajer sekarang lima kali lebih yakin diri atau lima kali
lebih arogan. Juga, tim eksekutif yang sama dapat saja membuat banyak
akuisisi dan membayar semua premiumnya.
Hipotesis penelitian hubris dapat ditanyakan karena hanya didasarkan
pada efisiensi pasar yang berbentuk kuat dan karenanya, semua penawaran
termasuk dalam kategori pembayaran berlebihan (Black, 1989). Di sisi lain
dalam keadaan yang berbeda, aset yang tertanam dalam target akuisisi
kemungkinan memiliki nilai yang berbeda untuk perusahaan akuisisi yang
berbeda (Barney, 1986a). Jadi akuisisi bukan merupakan lelang harga
biasa.
Jadi, rasa keakuan dan keyakinan diri yang berlebihan dapat menjadi
sumber permasalahan dalam berbagai keputusan investasi, permasalahan
yang terjadi dengan pendekatan ini dapat dijelaskan dengan baik dalam
komentar pendapat penulis Joe Queenan (1995) di Wall Street Journal
tentang hubris atau arogansi manajerial.

140

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

Teori Aliran Kas Bebas (Free Cash Flow)


Aliran kas bebas atau free cash flow didefinisikan sebagai aliran
kas sebenarnya yang tersedia atau siap diditribusikan pada pemilik
perusahaan setelah perusahaan menutup atau mendanai semua peluang
investasi yang ada dalam fixed asset, produk baru atau modal kerja untuk
dapat menjamin agar operasi perusahaan dapat terlaksana. Jensen (1986)
mengemukakan bahwa adanya equity agency conflict antara manajemen
dengan pemegang saham, terutama jika perusahaan memiliki excess cash
flows. Excess cash flows tersebut kecenderungannya akan digunakan oleh
manajemen untuk meningkatkan kekuasaanya melalui investasi yang
berlebihan (overinvestment) dan pengeluaran yang tidak ada kaitannya
dengan kegiatan perusahaan.
Jensen (1986) menggunakan suatu pendapat tentang teori keagenan
yang menyimpulkan bahwa permasalahannya adalah bagaimana untuk
memotivasi manager untuk mengeluarkan kas dan menginvestasikannya
dalam bentuk pembelanjaan modal yang tidak sejalan dengan kepentingan
kepentingan para pemegang saham saat ini. Beberapa peneliti lain
berpendapat bahwa agency conflict dapat dikurangi (tetapi tidak dapat
dihilangkan) dengan berbagai mekanisme pasar (Jensen dan Meckling,
1976)
Brigham dan Houston (1999:56) mengemukakan bahwa aliran kas
bebas diperoleh dari aliran kas operasi (operating cash flow) dikurangi
dengan Investasi kotor dalam modal operasi. Menurut mereka operating
cash flow merupakan akumulasi dari NOPAT (Net Operating After Tax)
ditambah non tax shield atau depresiasi. Sementara itu gross investment
selisih antara net investment ditambah non tax shield atau depresiasi.
Dalam praktiknya nilai free cash flow dapat positif atau sebaliknya,
negatif. Pertanyaannya apakah dipandang tidak baik apabila perusahaan
memiliki nilai free cash flow yang negatif? Jawabannya tergantung dari nilai
NOPAT, apabila Free cash flow disebabkan oleh NOPAT yang negatif, maka
free cash flow negatif juga dianggap tidak baik, akan tetapi apabila free
cash flow negatif karena adanya peningkatan current expenses karena ada

BAB 7 Merger dan Akuisisi

141

proyek baru atau adanya peningkatan pertumbuhan perusahaan sehingga


membutuhkan dana yang cukup besar (karena perusahaan mengambil alih
perusahaan lain atau adanya penggabungan usaha/merger), maka free
cash flow negatif menjadi tidak masalah asalkan terjadinya negatif cash
flow dalam hitungan jangka pendek. Terjadinya negative cash flow akan
mempengaruhi kinerja finansial perusahaan, karena terjadinya negative
free cash flow dalam waktu yang agak lama akan mengindikasikan adanya
masalah pengelolaan operasionalisasi perusahaan yang tidak baik.

Teori Keagenan (Agency theory)


Eisenhardt (1989) dalam Andriyani (2008:20) menyatakan ada
3 (tiga) asumsi sifat manusia terkait dengan teori keagenan, yaitu: (i)
manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri (self interest), (ii)
manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang
(bounded rationality), dan (iii) manusia selalu menghindari risiko (risk
averse). Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut manajer sebagai
manusia akan cenderung bertindak oportunis, yaitu mengutamakan
kepentingan pribadi dan hal ini memicu terjadinya konflik keagenan. Teori
ini memiliki asumsi bahwa tiap-tiap individu semata-mata termotivasi oleh
kepentingan dirinya sendiri sehingga menimbulkan konflik kepentingan
antara principals dan agent. Pihak agent termotivasi untuk memaksimalkan
fee kontraktual yang diterima sebagai sarana dalam pemenuhan kebutuhan
ekonomis dan psikologisnya.
Sebaliknya, pihak principals termotivasi untuk mengadakan kontrak
atau memaksimalkan return dari sumber daya untuk mensejahterakan
dirinya dengan profitabilitas yang selalu meningkat. Konflik kepentingan ini
terus meningkat karena pihak principals tidak dapat memonitor aktivitas
agent sehari-hari untuk memastikan bahwa agent bekerja sesuai dengan
keinginan para pemegang saham. Sebaliknya, agent sendiri memiliki
lebih banyak informasi penting mengenai kapasitas diri, lingkungan kerja,
dan perusahaan secara keseluruhan. Hal inilah yang memicu timbulnya
ketidakseimbangan informasi antara principals dan agent. Kondisi ini
dinamakan dengan asimetri informasi.
142

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

Menurut Watts dan Zimmerman (1986) dalam Susanta (2006:10),


hubungan principals dan agent sering ditentukan dengan angka akuntansi.
Hal ini memicu agent untuk memikirkan bagaimana akuntansi tersebut
dapat digunakan sebagai sarana untuk memaksimalkan kepentingannya, di
mana salah satu bentuk tindakan agent tersebut adalah manajemen laba.
Perilaku manajemen laba dapat dijelaskan melalui Positive Accounting
Theory dan Agency Theory. Watts dan Zimmerman (1986) dalam Halim
et al. (2005:119) mengusulkan tiga hipotesis peneltian yang dapat dijadikan
dasar pemahaman tindakan manajemen laba, yaitu sebagai berikut:
1) Hipotesis Penelitian Program Bonus (Bonus Plan Hipotesis Penelitian).
Hipotesis penelitian ini menyatakan bahwa manajer pada perusahaan
yang menerapkan program bonus lebih cenderung untuk menggunakan
metode atau prosedur-prosedur akuntansi yang akan menaikkan laba
saat ini dengan memindahkan laba periode mendatang ke periode
berjalan.
2) Hipotesis Penelitian Perjanjian Utang (Debt Covenant Hipotesis
Penelitian). Hipotesis penelitian ini menyatakan bahwa perusahaan
yang mempunyai debt to equity ratio besar atau menghadapi kesulitan
utang, maka manajer perusahaan akan cenderung menggunakan
metode akuntansi yang akan meningkatkan laba.
3) Hipotesis Penelitian Biaya Politis (Political Cost Hipotesis Penelitian).
Hipotesis penelitian ini menyatakan bahwa semakin besar biaya politik
yang dihadapi suatu perusahaan maka manajer cenderung untuk
menangguhkan laba berjalan ke masa yang akan datang. Biaya politik
muncul sebagai akibat dari profitabilitas perusahaan yang tinggi dapat
menarik perhatian media dan konsumen.

Teori Ekspektasi (Expectation Theory)


Menurut expectation theory, ekspektasi utilitas atau prospek
merupakan sebuah fungsi non linier, nilai fungsi ini akan mengikuti
perubahan dari sumber daya atau aktiva dan cenderung fungsi tersebut
besifat concave manakala mereka memperoleh keuntungan (profit) dan
bersifat convex ketika menderita kerugian (loss). Oleh karena itu pergerakan
BAB 7 Merger dan Akuisisi

143

atau arah gradien (slope) fungsi menjadi lebih curam (steeper) ketika
menderita kerugian jika dibandingkann dengan kondisi perusahaan pada
saat membukukan keuntungan.
Sehubungan dengan teori principals agent (agency theory), principals
yang menganut prospect theory ini akan cenderung percaya kepada manajer
jika perusahaannya terus untung dan kemudian dia akan memberikan
kompensasi yang cukup tinggi kepada manajer tersebut. Sebaliknya jika
perusahaan mengalami kerugian, principals cenderung tidak akan percaya
terhadap manajer dan akan memotong atau tidak akan memberikan
kompensasi lagi. Principals akan berusaha semaksimal mungkin agar
manajemen diperbaiki dan jika mungkin memecat manajer.
Secara sederhana Gambar 7.1 Menggambarkan pergerakan nilai
fungsi terkait dengan perubahan aset-aset finansial yang mereka miliki.
Reference Point
Losses

Gains

Value

Gambar 7.1
Ekspektasi Utilitas berdasarkan
Expectation Theory

Sumber: Kahneman dan Tversky, 1979;


Pangeran, Perminas, 2003:27-46

Berdasarkan expectation theory, Perilaku manajemen dalam


pengelolaan risiko berhubungan dengan perilaku mengenai prospek
untung atau rugi. Teori ini dikembangkan oleh Daniel Kahneman dan
Amos Tversky (1979) dalam Perminas Pangeran (2003:27-46). Teori ini
menyatakan bahwa orang itu akan menjadi:
Risk taker ketika dia akan mulai merasakan kerugian: dia akan
menjual perusahaan yang tidak efisien (divestasi) untuk menutupi
kerugiannya.
144

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

Risk averse ketika mulai untung, dia akan memproteksi keuntungan


nya, biasanya dengan menjual ekuitasnya (menyebabkan volatilitas)
Usaha dan energi yang akan dia keluarkan itu akan lebih besar pada
saat dia mulai rugi dibandingkan pada saat dia untung.

Konsep tentang eskalasi dalam komitmen juga pernah dijajaki dari


sudut pandang Teori Ekspektasi (Expectation Theory). Teori Ekspektasi ini
memprediksikan bahwa setiap individu umummnya akan menjadi pencari
risiko ketika ia kalah, tetapi menolak risiko ketika ia menang, perilaku
opportunistic yang mendasarinya.
Teori Informasi Asimetris (Asymmetric Information Theory)
Akerlof dan Stiglitz (2001:195-211) menyebutkan bahwa berdasarkan
teori informasi simetris, informasi yang diterima para pelaku pasar
diasumsikan akan sama dengan informasi yang ada pada manajemen
perusahaan. Dalam kenyataannya manajer perusahaan memiliki informasi
yang relatif lebih banyak daripada informasi yang tersedia bagi para
investor luar. Kondisi ini disebut dengan asymmetric information.
Terdapat suatu anggapan bahwa pada umumnya manajer memiliki
pengetahuan yang terbatas mengenai pasar saham serta tingkat bunga
di masa datang, tetapi mereka pada umumnya mengetahui lebih banyak
mengenai prospek perusahaan daripada investor atau analis investasi
sekalipun. Hal ini memungkinkan munculnya asymmetric information.
Dalam kasus ini manajer perusahaan percaya bahwa saham perusahaan
undervalued atau overvalued, tergantung apakah menurutnya informasi
tersebut menguntungkan atau tidak. Asymmetric information dapat terjadi
di antara dua kondisi ekstrim yaitu perbedaan informasi yang kecil sehingga
tidak mempengaruhi manajemen, atau perbedaan yang sangat signifikan
sehingga sangat berpengaruh terhadap harga saham.
Dalam artikelnya Akerlof dan Stiglitz (2001:195-211) memberikan
gambaran mengenai aspek ketidaksimetrisan informasi dalam bisnis.
Mereka menyebutkan bahwa dampak potensial dari terjadinya asymmetric
information adalah timbulnya kegagalan pasar (market failure). Sebagai
contoh yang paling umum untuk menjelaskan fenomena informasi yang
BAB 7 Merger dan Akuisisi

145

tidak simetris terjadi pada pasar mobil bekas (used car market) di mana
penjual memiliki informasi yang lebih baik atau terdapat asymmetric
information atas calon pembeli. Pemilik mobil bekas lebih mengetahui
kondisi mobilnya dibandingkan calon pembeli. Pemilik mobil bekas ini
mungkin menjual Lemon (mobil yang jelek) dan mengakunya sebagai
Orange (mobil yang bagus). Sebaliknya pembeli mobil, yang menyadari
memiliki informasi yang kurang dibandingkan dengan yang dimiliki oleh
penjual, tidak dapat membedakan antara lemon dan orange.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana asymmetric information
dapat mengakibatkan kegagalan pasar (market failure). Pembeli cenderung
akan menurunkan harga karena mereka tidak dapat membedakan antara
mobil bagus dengan yang jelek. Sementara itu pemilik mobil bagus pun tidak
bersedia untuk menjual mobilnya pada harga yang tidak sesuai, sehingga
mengakibatkan kemungkinan pembeli memperoleh mobil jelek semakin
besar dan semakin menurunkan kesediaan harga yang mereka bayar. Oleh

karena itu pada akhirnya pasar mobil bekas tidak berfungsi dengan baik.
Alasan semacam ini dapat diterapkan di semua jenis pasar yang kerap terjadi
asymmetric information, termasuk dalam financial market. Secara jelas satu
cara untuk membuat agar pasar mobil bekas tersebut berfungsi adalah
dengan mengurangi asymmetric information dengan cara memberikan
keleluasaan kepada pembeli untuk mengecek atau membawa mobilnya ke
montir yang tahu lebih baik tentang kondisi mobil bekas tersebut.
Dari ilustrasi yang dikemukan oleh Akerlof dan Stiglitz (2001:195211), asymmetric information dapat juga terjadi antara perusahaan
pengambilalih (acquier) dengan perusahaan target, di mana pihak pembeli
(buyer) atau bidder lebih mengetahui kondisi serta prospek perusahaan
lebih sedikit jika dibanding pihak penjual, sehingga dapat menimbulkan
asymmetric information antara manajer/manajemen perusahaan pembeli
dengan penjual perusahaan (merger dan akusisi).
Hal ini terjadi karena di
pasar bursa terdapat inform traders dan uninform traders.
Dalam praktiknya, fenomena asymmetric information menyebabkan
adanya akumulasi negatif dari abnormal return (negative CARs) selama
proses pengambil alihan perusahaan. Dengan demikian Teori Hubris,
tunneling hypothesis dan rendahnya transparansi pada saat tender akan
146

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

meningkatkan permasalahan Asymetric information (the hubris hypothesis,


tunneling hypothesis, and lower transparency will increase the asymmetric
problems).
Teori Signal
Studi yang dilakukan oleh Miller dan Rock (1985) dan juga Ambarish
et al. (1987) seperti yang dibahas dalam Sawitri (2004) berpendapat bahwa
dalam kondisi informasi yang asimetrik, investor sulit untuk membedakan
secara objektif antara perusahaan baik dan kurang baik. Setiap pernyataan
yang dikeluarkan oleh perusahaan tidak memiliki kandungan informasi, hal
ini mengingat pernyataan manajemen perusahaan yang baik maupun yang
tidak baik selalu mengatakan prospek yang baik di masa yang akan datang.
Atas pernyataan tersebut, hanya waktu yang dapat membuktikan apakah
informasi tersebut benar atau sebaliknya.
Teori Signal dikembangkan baik melalui literatur ekonomi maupun
keuangan untuk menjelaskan kondisi di mana keuangan perusahaan
(manajemen dan direksi) umumnya memiliki informasi yang lebih
baik tentang prospek perusahaan saat ini maupun yang akan datang di
bandingkan dengan para investor.
Pembayaran dividen, even pemecahan saham sampai aksi penggabungan
usaha dan akuisisi (M & A) merupakan contoh klasik mengenai penyampaian
informasi melalui signaling. Jika manajemen mengumumkan kenaikan
yang nyata pada jumlah dividen per lembar saham yang dibagikan, atau
menaikan harga penawaran atas suatu pengambil alihan suatu perusahaan
(M & A), investor akan menangkap ini sebagai sinyal bahwa kondisi keuangan
perusahaan (prospek penghasilan) saat ini dan di masa mendatang relatif
baik.
Sebaliknya, jika investor mengharapkan suatu pengambil alihan
atau penggabungan usaha, namun corporate action tersebut tidak pernah
direalisasikan, sampai suatu waktu perusahaan target tersebut diambil alih
perusahaan lain, atau adanya penguraian kembali perusahaan dalam suatu
perusahaan hasil merger (spin off), pada dasarnya manajer perusahaan
tersebut sedang mengirimkan sinyal negatif.
BAB 7 Merger dan Akuisisi

147

Pendekatan dan Hipotesis Peneltian Lain: Komitmen dan Penyesalan


Membatasi pembahasan hanya pada pandangan keagenan dan hubris
saja akan mengesampingkan kedalaman yang sesungguhnya tentang isu
perilaku rasional dan irasional ini. Pandangan keagenan mengabaikan
pendekatan-pendekatan alternatif, dan pandangan hubris tidak mem
pertimbangkan berbagai penyebab lainnya yang mungkin mendorong
perilaku irasional yang sama, misalnya komitmen dan penyesalan. Pada
dasarnya ketika kita benar-benar memasuki lingkungan perdebatan ini, isu
tentang rasionalitas versus irasionalitas menjadi kurang jelas (Elster, 1993).
Banyak keputusan dapat menjadi rasional secara lokal tetapi secara global
irasional, terutama dalam pengertian intertemporal.
Membahas soal komitmen dalam proses Akuisisi (McCann dan
Gilkey, 1988; Haunschlid, Davis-Blake, dan Fichman, 1994), berdasarkan
wawancara dengan para eksekutif senior dan para bankir investasi,
McCann dan Gilkey (1988:123) menyimpulan bahwa banyak akuisisi
gagal semata-mata didorong oleh komitmen untuk melakukan akuisisi,
komitmen menunjuk pada kecenderungan para CEO dan tim-tim akuisisimerger untuk memperdalam komitmen, untuk mengatrol ante (you up
the ante) dan bahkan merasionalisasi berita yang tidak baik agar supaya
mewujudkan negosiasi mencapai kesepakatan atau deal.
Pandangan Keterbatasan Sinergi
Dalam pandangan keterbatasan sinergi, permasalahan dan asumsiasumsi yang dibahas di bagian terdahulu adalah tentang motif-motif, bukan
tentang konsekuensi karena pembahasan memfokuskan perhatian pada
pentingnya ex-ante dalam tindakan-tindakan para manajer (apakah mereka
mengerti atau tidak) dan mempertimbangkan tindakan-tindakan itu dalam
konteks merealisasikan sinergi di pasar baik produk atau jasa yang sangat
kompetitif. Ini membangun landasan yang berlawanan dengan pandangan
pasar kompetitif yang mengatakan bahwa harga-harga merepresentasikan
nilai potensial dan menggunakan premium untuk memprediksi kerugian
dalam kebanyakan akuisisi.
Sinergi atau pencapaian kinerja tetap masih merupakan subjek yang
dipersoalkan dalam pembahasan. Keuntungan sinergi masih merupakan
148

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

sesuatu yang sulit untuk terwujud, Reef dan Luffman (1986:34). Para ahli
strategi yang lainnya telah mengemukakan bahwa biaya administrasi yang
menyertai integrasi pasca-merger melebihi keuntungan yang mungkin di
dapat dari segi sinergi (Lubatkin, 1983; Jones dan Hill 1998).
Para ahli dalam ilmu ekonomi bidang organisasi-industri telah
memberikan latar belakang sesungguhnya untuk mempertimbangkan
ekonomi sinergi. Beberapa ekonom telah menyatakan sikap skeptis tentang
konsep sinergi. Slusky dan Caves (1991) tidak menemukan sinergi yang
yang diharapkan dalam sampel penelitian. Setelah menemukan penurunan
dalam profitabilitas dari berbagai bidang usaha menyusul merger, Ravenscraft
dan Scherer (1998) dengan terbuka menentang hipotesis penelitian tentang
economies of scale atau economies of scope dalam akuisisi. Ekonom dari
Federal Reserve Board, Stephen Rhoades (1983:97) telah menulis, Sudah
saatnya sinergi dan argumen-argumen yang berkaitan dengan sinergi
dihentikan. Untuk beberapa waktu yang lama para ahli telah memberikan
pembenaran yang tidak berdasar untuk akuisisi dalam perekonomian AS,
yang tidak ada manfaat yang terlihat bagi sistem perekonomian.
Studi empiris Shleifer dan Vishny (1991:53) menyangkal bukti tentang
peningkatan produktivitas pabrik menyusul merger dan akuisisi dengan
mengadakan perubahan kontrol yang ditawarkan Lichtenberg dan Siegel
(1989) karena peningkatan profitabilitas itu mungkin dihasilkan oleh
pengurangan investasi dan bukan dari perbaikan nilai laba sekarang. Healy,
Palepu, dan Ruback (1992) mengecam bukti profitabilitas yang lemah dari
Ravenscaft dan Scherer (1987a) dan menunjukkan peningkatan dalam
profitabilitas menyusul akuisisi. Tetapi, Shleifer dan Vishny (1991:53)
membantah bukti ini karena Healy, Palepu, dan Ruback (1992) kemungkinan
belum mengoreksi dengan seksama penjualan-penjualan aset dan karena
nya menemukan perbaikan yang signifikan dalam profitabilitas.
Studi empiris Alberts (1984) membuktikan kebenaran sifat kompetitif
yang tajam dalam pasar produk dan jasa dengan menunjukkan bahwa
kebanyakan perusahaan pada dasarnya mendapatkan rente ekonomi
(yaitu, spread atau selisih dari Return on Capital Employee (ROCE) dikurangi
cost of capital) yang tidak jauh dari nol. Selanjutnya, Alberts menunjukkan
bahwa untuk memaksimalkan profit dalam jangka panjang, para oligopolis
BAB 7 Merger dan Akuisisi

149

tidak mengenakan harga-harga tinggi, mereka menekan spread dan


capital return minus capital cost, khususnya untuk menghalangi masuknya
kompetitor-kompetitor potensial di masa datang, dan menyimpulkan,
Struktur-struktur non kompetitif tidak mengakibatkan kinerja non
kompetitif. karena hambatan-hambatan masuk (barriers of entry) tidak
cukup tinggi untuk membuat pendapatan (earning) melebihi laba (returns)
dalam jangka panjang dengan maksimisasi nilai (value maximization)
jangka panjang (Alberts, 1984:630). You et al. (1986) tidak menemukan
bukti tentang pentingnya sinergi finansial. Selain itu, kedua peneliti ini
menemukan bahwa apakah akuisisi itu terintegrasi ke dalam perusahaan
pengakuisisi tidak mempunyai pengaruh sinergi dan kinerja.
Manfaat Pajak
Perusahaan yang sedang dalam kondisi laba yang besar harus membayar
pajak dalam jumlah yang besar pula, atau dengan kata lain mempunyai
perisai pajak potensial, namun tidak dapat mengambil keuntungan dari hal
itu. Jika itu bergabung dengan perusahaan lain yang mengalami kerugian, ia
akan dapat mengambil keuntungan dari perpajakan, sehingga beban pajak
berkurang, karena keuntungannya dapat dikompensasikan dulu dengan
kerugian perusahaan yang diakuisisi
Nilai dari keringanan pajak itu juga dapat diciptakan dalam merger
melalui revaluasi atas segenap aktiva yang telah disusutkan (depreciated)
sebelumnya. Merger memungkinkan aktiva yang sebelumnya telah
disusutkan untuk direvaluasi atau dinilai kembali, dengan demikian
kekayaan atau keuntungan tercipta dari manfaat pajak berupa penambahan
depresiasi yang bersumber dari revaluasi aktiva tersebut.

150

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

DAFTAR PUSTAKA
Agrawal, A. et al. 1992. The Post-Merger Performance of Acquiring Firms: A
Re-Examination of an Anomaly. Journal of Finance, 47: 1605-1671.

Albert, W. W. and N. P. Varaiya. 1989. Assessing the Profitability of Growth by


Acquisition: A Premium Recapture Approach. International Journal
of Industrial Organization, 7: 133-149.

Amihud, Y. et al. 1990. Corporate Control and the Choice of Investment


Financing: The case of Corporate Acquisition. Journal of Finance, 45:
603-616.
Ashford, S. J. 1988. Individual Strategies for Copying with Stress During
Organizational Transitions. Journal of Applied Behavioral Science,
24 (1): 19-36.
Ashforth, B. E. and F. Mael. 1989. Social Identity Theory and the Organization,
Academy of Management Review, 14: 20-39.
Aslinger, P. L. and T. E. Copeland. 1996. Growth Through Acquisitions: A
Fresh Look. Harvard Business Review, 126-135.

Baucus, D. A. et al. 1993. Estimating Risk Return Relationships: An Analysis


of Measures. Strategic Management Journal, 14: 387-396.

Berger, A. N., D. Hancock, and D. B. Humphrey. 1993. Bank Efficiency Derived


from the Profit Function, Journal of Banking and Finance: 317-47.
Berkovitch, E. and M. P. Narayanan. 1993. Motives for Takeovers: An
Emphirical Investigation. Journal of Financial and Quantitative
Analysis, 28: 347-362.

Brealey, Richard A., Myers, Stewart C., and Marcus, Alan J. 2009. Fundamentals
of Corporate Finance (6th edition). McGraw-Hill.
Cartwright, S. and Cooper, C. L. 1993. Of Mergers, Marriage and Divorce.
Journal of Managerial Psychology, 8 (6), 7-10.
BAB 7 Merger dan Akuisisi

151

___________________________________. 1994. The human effects of mergers and


acquisitions. Journal of Organizational Behavior. 1, 47-61.
___________________________________. 1995. Organizational marriage: hard
versus soft issues? Personnel Review, 24 (3), 32-42.

Chatterjee, S. and M. Lubatkin. 1990. Corporate Merger, Stockholder


Diversification, and Changes in Systematic Risk. Strategic Management
Journal, 11: 255-268.
Copeland, T. and J. Weston. 1983. Financial Theory and Corporate Policy.
Addison-Wesley.
Davy, J. A., A. J. Kinicki and C. L. Scheck. 1997. A Test of Job Securitys
Direct and Mediated Effects on Withdrawal Cognitions. Journal of
Organizational Behavior, 18 (4): 323349.
Dennis, D. K. and J. J. McConnell. 1986. Corporate Merger and Securities
Returns. Journal of Financial Economics, 16: 143-187.

Eisenhardt, K. 1989. Agency Theory: An Assessment and Review. Strategic


Management Review, 14: 57-74.

Fama, E. F. 1980. Agency Problem and Theory of the Firm. Journal of Political
Economy, 88: 288-307.

Franks, J. R. et al. 1991. The Post-Marger Shareprice Performance of Acquiring


Firms. Journal of Financial Economic, 29: 81-96.
Glickman, Murray. 1996. Modigliani and Miller on Capital Structure A Post
Keynesian Critique. UEL Departement of Economics Working Paper, 8.
Gujarati, Damodar N. 2002. Basics Econometrics (4th edition). McGraw-Hill.

Haspeslagh, P. C. 1990. Acquitisons as Resource Allocation Descisions: A


Multinational Perpective. Working Paper.

Harrington, D. R. and B. D. Wilson. 1989. Corporate Financial Analysis


(3rd edition). Homewood:

Irwin.
152

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

Jarrrell, S. L. 1995. The Long-Term Performance of Corporate Takeovers an


Improved Benchmark Methodology. Working Paper.

Kaplan, S. N. 1989. Management Buyouts: Evidence on Taxes as a Source of


Value. Journal of Finance, 44: 611-632.

Kotter, J. P. and Heskett, J. L. 1992. Corporate Culture and Performance. Free


Press, New York.
Lang. L. P. H. et al. 1991. The Test of the Free Cash Flow Hypothesis: The
Case of Bidder Returns. Journal of Financial Economics, 29: 315-335.
Legare, T. 1998. The human side of mergers and acquisitions. Human
Resource Planning, 21 (1): 32-41.
Marks, M. L. and P. H. Mirvis: 1992, Rebuilding After the Merger. Dealing
With Survivor Sickness. Organizational Dynamics, 21 (2): 1832.
_____________________________. 1998. Joining Forces, Jossey-Bass, San Francisco.
Martin, J. D. et al. 1988. The Theory of Finance. Chicago: The Dryden Press.
Megginson, William L. 1997. Corporate Finance Theory. Addison Wesley.
Miller, M. 1977. Debt and Taxes. Journal of Finance. 261-275.

Mirvis, P. H., and Sales, A. L. 1990. Feeling the elephant: Culture consequences
of a corporate acquisition and buy-back. In: B. Schneider (Ed.),
Organizational Climate and Culture. San Francisco: Jossey-Bass.
Moin, Abdul. 1999. Mencermati Trend Mega-Merger: Studi Kasus Tentang
Merger-Mania di Amerika. Harian Republika.

Mueller, D. C. 1995. Mergers: Theory and Evidence in G. Mussati, ed., Mergers,


Markets and Public Policy, 9-43.
Nahavandi, Afsaneh and Ali R. Malekzadeh. 1988. Acculturation in Mergers
and Acquisitions. The Academy of Management Review, 13 (1): 79-90.
Nelson, C. A. and J. G. Lagges. 1993. Corporate Boards and Mergers. Corporate
Board, 12-16.
BAB 7 Merger dan Akuisisi

153

Pablo, A. 1994. Determinants of acquisition integration level: a decisionmaking perspective, Academy of Management Journal, 37 (4): 803836.

Payamta dan Doddy Setiawan. 2004. Analisis Pengaruh Merger dan Akuisisi
Terhadap Kinerja Perusahaan Publik di Indonesia. Jurnal Riset
Akuntansi Indonesia, 7 (3): 265-282.
Porter M. E. 1987. From Competitive to Corporate Strategy. Harvard Business
Review, 43-59.

Ravenscraft, D. J. and F. M. Scherer. 1998. The Profitability of Mergers.


International Journal of Industrial Organization, 7: 101-116.

Ross, Stephen A., Westerfield, Randolph W., and Jordan, Bradford D. 2008.
Fundamentals of Corporate Finance (8th edition). New York: McGrawHill/Irwin.
Schmidt, D. R. and K. L. Fowler. 1990. Post-Acquisition Financial Performance
and Executive Compensation. Strategic Management Journal, 11: 559569.

Schweiger, David M., Ernst N. Csiszar, and Nancy K. Napier. 1993.


Implementing International Mergers and Acquisition. Human
Resource Planning, 16 (1): 53-70.
Schweiger, D. M., J. M. Ivancevich and F. R. Power. 1987. Executive Actions for
Managing Human Resources Before and After Acquisition. Academy of
Management Executive, 1 (2): 127138.

Schweiger, David L., and John M. Ivancevich. 1985. Human resources: The
forgotten factor in mergers and acquisitions. Personnel Administrator:
47-61.
Sineter, M. 1981. Mergers, Morale, and Productivity. Personnel Journal,
63-867.
Sinkey, Jr., Joseph F., 1992. Commercial Bank Financial Management: In
the Financial-Service Industry (4th edition), Macmillan Publishing
Company, Ontario.
154

Manajemen Keuangan Perusahaan (Edisi 1)

Slusky, A. R. and R. E. Caves. 1991. Synergy, Agency, and the Determinants of


Premia Paid in Mergers. Journal of Industrial Economics, 39: 277-296.

Sobirin, Achmad. 1997. Organizational Culture: Konsep, Kontroversi, dan


Manfaatnya untuk Pengembangan Organisasi. Jurnal Akuntansi dan
Auditing Indonesia, 1 (2): 152-173.
____________________. 1999. Memahami Arti dan Makna Budaya Organisasi.
Jurnal Sinergi, 2 (2): 189-215.

____________________. 2000. Privatisasi: Implikasinya terhadap Perubahan


Perilaku Karyawan dan Budaya Organisasi. Jurnal Siasat Bisnis, 5 (1):
25-48.
____________________. 2001. Merger dan Akuisisi Sebuah Perkawinan
Paradoksal. Jurnal Siasat Bisnis, 1 (6): 39-59.

Suta, I. P. G. Ary. 1992. Akuntansi dan Implikasi bagi Perusahaan Publik.


Makalah disajikan dalam Seminar Akuntansi dan Dampak Globalisasi
terhadap Pasar Modal Indonesia, Jakarta, 1-20.

Sutrisno and Bambang Sudibyo. 2000. The Influence of the Accounting


Method Selection for Merger and Acquistion on the Stock Price of
Public Companies in Indonesia. Gadjah Mada International Journal of
Business, 2 (1): 81-101.

Thaler, R. 1988. Anomalies: The Winners Curse. Journal of Economics


Perpectives, 2: 191-201.
White, L. J. 1982. Merger and Aggregate Concentration in M. Keenan and L. J.
White, Merger and Aquitions, 97-111.

Zweing, P. L. 1995. The Case Against Mergers. Business Week Special Report,
30: 122-130.

BAB 7 Merger dan Akuisisi

155

GLOSARIUM
Abnormal Return
Additional Risk

Adverse Selection

Agency Problems

Agency Conflict
Agency Cost

Agency Theory

Asymmetric
Information
Balance Sheet

: Selisih antara tingkat keuntungan sebenarnya


dengan tingkat keuntugan yang diharapkan.

: Risiko yang timbul karena keputusan penggunaan


sumber dana dengan beban tetap, seperti biaya
bunga atas penggunaan utang dan dividen atas
penerbitan saham preferen.

: Satu bentuk masalah asimetri, informasi yang terjadi


sebelum transaksi keuangan dilakukan karena
peminjam dengan kualitas yang rendah (memiliki
risiko kredit tinggi) biasanya akan mau mencari
pinjaman dengan bunga yang sangat tinggi.
: Hubungan keagenan muncul ketika satu atau lebih
individu (majikan) menggaji individu lain (agen
atau karyawan) untuk bertindak atas namanya,
mendelegasikan kekuasaan untuk membuat
keputusan kepada agen dan karyawannya.
: Konflik kepentingan antara manajer dengan
pemegang saham.

: Biaya-biaya yang digunakan untuk memonitor


tingkah laku manajer, memberikan insentif finansial
agar mau mencapai tujuan atau kegiatan yang
harus dilakukan dan agar manajer tidak melakukan
kecurangan-kecurangan.

: Suatu model kontraktual antara dua atau lebih orang


(pihak), di mana salah satu pihak disebut agent dan
pihak yang lain disebut principal.
: Kondisi di mana pihak tertentu memiliki informasi
yang lebih banyak dari pihak lain.

: Sebuah potret atau snapshot perusahaan pada suatu


periode waktu tertentu atas berbagai aktivitas yang
telah dilakukan perusahaan.

Balance Theory

Basic Corporate
Finance
Framework

Business Risk

Capital Gain

Capital Loss

Capital Structure

Capital Asset
Pricing Model
(CAPM)
Cash Flow
Predictability
Clientele Effect

: Keputusan untuk menambah utang tidak hanya


berdampak negatif, tetapi juga dapat berdampak
positif karena perusahaan harus berupaya
menyeimbangkan manfaat dengan biaya yang
ditimbulkan akibat utang.

: Kegiatan bisnis diawali oleh seorang investor yang


bersedia untuk berinvestasi atas sumberdaya
yang dia miliki. Kesediaan investor tersebut untuk
selanjutnya menjadi nilai tukar (exchange rate)
terhadap besarnya imbal hasil investasi yang
diharapkan (expected return on the investment).

: Risiko yang timbul pada perusahaan tertentu yang


belum tentu dihadapi oleh perusahaan lain dengan
demikian tidak bersifat sistematis (un-systematic risk).
: Keuntungan dari hasil jual beli saham, berupa selisih
antara nilai jual yang lebih tinggi daripada harga beli
sahamnya.
: Kerugian dari hasil jual beli saham, berupa selisih
antara nilai jual yang lebih rendah daripada harga
beli sahamnya.
: Perbandingan antara utang jangka panjang (long
term debt) dengan modal sendiri (equity) yang
dipergunakan oleh perusahaan.

: Suatu model yang menghubungkan tingkat return


yang diharapkan dari suatu aset berisiko dengan
risiko dari aset tersebut pada kondisi pasar yang
seimbang.

: Prospek perusahaan yang memacu perolehan return


investasi yang lebih besar.
: Kelompok (clientele) pemegang saham yang
berbeda akan memiliki preferensi yang berbeda
terhadap kebijakan dividen perusahaan.

Cost of Capital

Debt Covenant
Theory

Debt Financing

Discounted Cash
Flow
Dividend

Dividend Change

: Biaya riil yang harus dikeluarkan oleh perusahaan


untuk memperoleh dana, baik yang berasal dari
utang, saham preferen, saham biasa, maupun laba
ditahan untuk mendanai suatu investasi atau operasi
perusahaan.
: Perusahaan yang mempunyai debt to equity ratio
besar atau menghadapi kesulitan utang, maka
manajer perusahaan akan cenderung menggunakan
metode akuntansi yang akan meningkatkan laba.

: Menambah uang dengan menjual obligasi, wesel,


atau hipotek atau langsung meminjam dari lembaga
keuangan.
: Aliran kas yang akan diterima pada masa depan
dapat dinilai sekarang dengan menggunakan faktor
diskonto.
: Pembagian penghasilan yang dibayarkan kepada
pemegang saham berdasarkan banyaknya saham
yang dimiliki.
: Perubahan dividen, baik itu dividen meningkat
(increasing dividend) dan penurunan dividen
(decreasing dividend).

Dividend is Puzzle : Muatan informasi dividen yang telah dilakukan


untuk menunjukkan bahwa pengumuman dividen
memiliki muatan informasi yang bermanfaat bagi
investor menemukan bukti yang berbeda.
Dividend is Sticky : Dividen yang tidak berfluktuasi atau dividen yang
stabil.
Dividend Payout
Ratio
Dividend Policy

: Rasio yang mengukur persentase pendapatan bersih


yang dibayarkan dalam bentuk dividen.

: Ketentuan yang mengatur bahwa pembayaran


dividen harus berasal dari laba, baik laba tahun
berjalan maupun laba tahun lalu yang ada pada akun
laba ditahan di neraca.

Earning per Share : Keuntungan yang diberikan kepada pemegang saham


untuk tiap lembar saham yang dipegangnya.
Economic Value
Added

Economics of
Scale
Efficient Market
Hypothesis
Equity
Equity Agency
Conflict
Equity Contract

Exchange Rate
Expectation
Theory

Financial Risk

Friendly Take
Over

: Suatu sistem manajemen keuangan untuk mengukur


laba ekonomi dalam suatu perusahaan, yang
menyatakan bahwa kesejahteraan hanya dapat
tercipta jika perusahaan mampu memenuhi semua
biaya operasi (operation cost) dan biaya modal (cost
of capital).
: Penghematan kegiatan produksi karena skala usaha
menjadi lebih besar.

: Jika pasar efisien (efficient market), maka harga yang


terbentuk merefleksikan seluruh informasi yang ada.
: Modal sendiri.

: Konflik antara manajemen dengan pemegang saham,


terutama jika perusahaan memiliki excess cash flows.
: Kontrak/perjanjian yang mengindikasikan adanya
residual claims atas invested assets atau profit
perusahaan.
: Harga mata uang suatu negara dinyatakan dalam
mata uang negara lain.

: Memprediksikan bahwa setiap individu umummnya


akan menjadi pencari risiko ketika ia kalah,
tetapi menolak risiko ketika ia menang, perilaku
opportunistic yang mendasarinya.
: Risiko yang timbul karena keputusan penggunaan
sumber dana dengan beban tetap, seperti biaya
bunga atas penggunaan utang dan dividen atas
penerbitan saham preferen.

: Sebuah transaksi pengambilalihan diterima oleh


manajemen dari target firm, disetujui oleh para
pemegang sahamnya, dan diambilalih dengan mudah
(akuisisi bersahabat).

Financial Distress : Suatu keadaan atau situasi dalam hal ini perusahaan
gagal atau tidak mampu lagi memenuhi kewajibankewajiban kepada debitur karena perusahaan
mengalami kekurangan dan ketidakcukupan dana
untuk menjalankan atau melanjutkan usahanya
sehingga tujuan ekonomi yang ingin dicapai oleh
perusahaan tidak dapat dicapai.
Financial
Leverage

Financial Market

Financial
Structure
Financing
Constraint
Financing
Decisions

: Penggunaan dana dengan beban tetap dengan


harapan atas penggunaan dana tersebut akan
memperbesar pendapatan per lembar saham.

: Mekanisme pasar yang memungkinkan bagi seorang


atau koporasi untuk dengan mudah dapat melakukan
transaksi penjualan dan pembelian dalam bentuk
sekuritas keuangan.
: Perimbangan antara total utang dibanding modal
sendiri.

: Keterbatasan perusahaan dalam mendapatkan


modal dari sumber-sumber pendanaan yang tersedia
untuk berinvestasi.
: Keputusan berkaitan dengan penetapan sumber
dana yang diperlukan dan penetapan perimbangan
pembelanjaan yang terbaik (struktur modal yang
optimal)

Holding Company : Sebuah bentuk kombinasi bisnis di mana terdapat


sebuah perusahaan yang membeli seluruh saham
perusahaan lain.

Hostile Take Over : Suatu tindakan akuisisi yang dilakukan secara paksa
yang biasanya dilakukan dengan cara membuka
penawaran atas saham perusahaan yang ingin
dikuasai di pasar modal dengan harga di atas harga
pasar.
Investment
Decisions

: Keputusan terhadap aktiva apa yang akan dikelola


perusahaan.

Kebijakan
Dividen
Konglomerasi
Konsolidasi
Leverage

: Keputusan apakah laba yang diperoleh perusahaan


pada akhir tahun akan dibagi kepada pemegang
saham dalam bentuk dividen atau akan ditahan
untuk menambah modal guna pembiayaan investasi
di masa yang akan datang.

: Perusahaan yang punya bisnis beragam dan bisa-bisa


tidak ada kaitan antara satu sama lain.
: Kombinasi dua perusahaan atau lebih di mana
perusahaan lain menggabungkan atau larut ke dalam
perusahaan yang diikuti.
: Penggunaan aktiva atau dana di mana untuk
penggunaan tersebut perusahaan harus menutup
biaya tetap atau membayar beban tetap.

Leverage Buy Out : Pembelian semua saham atau aktiva perusahaan,


anak perusahaan atau divisi perusahaan oleh
sekolompok investor.
Managerial
Finance

Market Failure
Market Forces

Market Risk
Merger
Horisontal

Merger Vertikal
Netral Risk

: Suatu kegiatan yang berhubungan dengan tugastugas manajer keuangan dalam perusahaan bisnis
dalam kaitannya dengan pengambilan keputusan
keuangan.
: Situasi di mana mekanisme pasar tidak berfungsi
sebagaimana semestinya dalam konteks tertentu.
: Pemegang saham utama (major shareholder)
dengan jumlah saham mayoritas dan ancaman
pengambilalihan oleh perusahaan lain (threat of
takeover or hostile takeover).

: Risiko yang terjadi diluar kegiatan perusahaan yang


tidak dapat diantisipasi oleh perusahaan.
: Kombinasi antara dua atau lebih perusahaan yang
bersaing satu sama lain secara langsung.
: Kombinasi antara dua atau lebih perusahaan yang
memiliki buyer-seller relationship satu sama lain.
: Investor yang netral terhadap risiko.

Option Pricing
Theory
Owners
Pecking Order
Theory
Perfect Capital
Market

Perquisite Motive

Price Earning
Ratio
Realized Return

: Hak untuk membeli atau menjual suatu aktiva pada


harga yang telah ditentukan pada waktu yang telah
ditentukan pula.
: Pemilik perusahaan.

: Teori struktur pendanaan yang menawarkan


alternatif lain dalam pengambilan keputusan
pendanaan.

: Pasar modal yang memiliki karakteristik; (i)


tidak ada biaya transaksi, (ii) tidak ada pajak, (iii)
ada cukup banyak pembeli dan penjual, (iv) ada
kemampuan akses yang sama ke pasar, (v) tidak ada
biaya informasi, (vi) setiap orang memiliki harapan
yang sama, (vii) tidak ada biaya yang berhubungan
dengan hal kesulitan keuangan.
: Informasi yang lebih banyak dimiliki oleh manajer
dapat memicu untuk melakukan tindakan-tindakan
sesuai dengan keinginan dan kepentingan untuk
memaksimumkan utility-nya.
: Perbandingan antara harga saham di pasar atau
harga perdana yang ditawarkan dibandingkan
dengan pendapatan yang diterima.

: Tingkat return yang telah diperoleh investor di masa


lalu.

Residual Dividend : Perusahaan menetapkan kebijakan dividen setelah


Policy
semua investasi yang menguntungkan habis dibiayai.
Retained Earning : Bagian dari keuntungan perusahaan setelah
dipotong pajak penghasilan yang tidak dibagikan
kepada pemegang saham sebagai dividen.
Risk

Risk Averter
Risk Free Rate

: Variasi kemungkinan kejadian yang akan terjadi pada


waktu yang akan datang.
: Investor yang tidak menyukai risiko atau
menghindari risiko.
: Tingkat keuntungan bebas risiko.

Risk Premium

Risk Taker
Riskless Asset
Risky Assets

: Tambahan expected return dari risk free return akibat


adanya tambahan risiko (sesuai prinsip high riskhigh return).
: Pengambil risiko.

: Aktiva bebas risiko.


: Aktiva berisiko.

Semi Strong Form : Jika harga mencerminkan informasi harga historis


EMH
plus informasi yang tersedia bagi publik.
Shareholders

Signaling
Dividend Model
Signaling Theory

Size of The Firm

Spontaneous
Financing
Sticky
Stock Dividend
Stock Split

: Pemegang saham perusahaan.

: Informasi tentang dividen yang dibayarkan


digunakan oleh investor sebagai sinyal perusahaan di
masa akan datang.
: Pihak eksekutif perusahaan memiliki informasi
lebih baik mengenai perusahaannya akan terdorong
untuk menyampaikan informasi tersebut kepada
calon investor agar harga saham perusahaannya
meningkat.
: Cerminan besar kecilnya perusahaan yang nampak
dalam nilai total aktiva perusahaan dalam neraca
pada akhir tahun.
: Jenis pendanaan yang berubah secara otomatis
dengan berubahnya tingkat kegiatan perusahaan.
: Stabil atau tidak berfluktuasi.

: Pembayaran kepada para pemegang saham biasa


berupa tambahan jumlah lembar saham.
: Peningkatan jumlah saham beredar dengan
mengurangi nilai nominal (nilai pari) saham
tersebut.

Strong Form EMH : Jika harga sekuritas mengekspresikan seluruh


informasi yang ada, baik harga sekuritas masa
lalu, informasi yang tersedia bagi publik, maupun
informasi yang bersifat privat.

Subsidiary
Tobins Q
Trade off Theory

Weak Form EMH

: Perusahaan yang dibeli sahamnya (cabang).

: Perbandingan antara nilai pasar perusahaan dengan


nilai buku total aktiva.

: Model struktur modal yang mempunyai asumsi


bahwa struktur modal perusahaan merupakan
keseimbangan antara keuntungan penggunaan utang
dengan biaya financial distress dan agency cost.
: Jika harga sekuritas mengekspresikan seluruh
informasi harga di masa lalu, sehingga upaya
investor untuk memperoleh excess return dengan
memanfaatkan data harga di masa lalu adalah sia-sia
(harga adalah random walk).

Weighted Average : Mencerminkan rata-rata biaya modal yang


Cost of Capital
diharapkan di masa akan datang.
(WACC)

Windows Dressing : Membuat keuangan dari sebuah perusahaan terlihat


lebih baik dari sebenarnya.

INDEKS
A

Abnormal Return 108, 146


Additional Risk 78, 79, 80, 100
Adverse Selection 99
Agency Conflict 13, 141
Agency Cost 13, 82, 90, 91
Agency Problems 13
Agency Theory 16, 90, 143, 144, 152
Assets 4, 5, 9, 15, 23, 24, 25, 27, 31, 43, 48, 49, 51, 78
Asymmetric Information 17, 18, 87, 93, 95, 96, 145, 146
B

Balance Sheet 25, 28, 43, 77, 94


Balance Theory 14, 87, 93
Bankers 41
Basic Corporate Finance Framework 24
Benchmarking 41
Bondholders 30, 42, 87, 91
Business Risk 78
C

Capital Asset Pricing Model (CAPM) 15


Capital Gains 115, 116
Capital Structure 14, 76, 77, 84, 87, 89, 152
Clientele Effect 106
Contracting Theory 107
Corporate Strategy 156
Corporate Working Capital 43
Cost of Capital 31, 33, 77, 80, 85, 86, 149
Cultural Shock 132
Current Assets 5, 9, 27, 43

Debt Financing 11, 79, 80, 98, 99


Discounted Cash Flow 14
Dividend 5, 15, 97, 106, 107, 109, 110, 114, 115, 116, 117, 118
Dividend is Puzzle 107
Dividend is Sticky 106, 110
Dividend Payout Ratio 109, 110, 115
Dividend Policy 106, 110,
E

Earning per Share 8, 9


Earnings 41, 44, 79, 97, 98, 106, 114, 117, 127
Economics of Scale 126
Economic Value Added 160
Efficient Market Hypothesis 15, 16
Equity 5, 23, 24, 25, 27, 28, 30, 32, 33, 34, 43, 44, 49, 50, 51, 53, 54, 77, 79,
80, 81, 82, 86, 89, 90, 97, 99, 100, 127, 141, 143
Equity Agency Conflict 141
Exchange Rate 22, 31
Expectation Theory 143, 144, 145
F

Financial Behavior 18
Financial Distress 3, 14, 81, 82, 84, 87, 88, 89, 95, 124
Financial Leverage 78, 83
Financial Market 5, 96, 146
Financial Risk 78, 79
Financial Statement 25, 41
Financial Structure 76, 77
Fixed Assets 5, 9, 43

Holding Company 125, 126, 127


I

Interest Tax Shield 81, 100


Investment Scanning 24
K

Kebijakan Dividen 15, 106, 108, 109, 110, 111, 113


L

Leverage 46, 48, 49, 50, 51, 78, 82, 83, 85, 86,, 126, 127
Leverage Buy Out 127
M

Managerial Finance 4, 6
Market Failure 95, 96, 145, 146
Market Forces 13
Market Risk 78
Merger dan Akuisisi 124, 128, 134, 136, 138, 139, 149
Merger Horisontal 126, 136
Merger Vertikal 125
N

Numerics 40
O

Option Pricing Theory 15


Owners 5, 31

Pecking Order Theory 95, 97


Perfect Capital Market 14
Perfect Capital Market 78, 84
Perquisite Motive 17
Price Earning Ratio 8
Profitability Ratio 42, 51
R

Realized Return 10
Residual Dividend Policy 106
Retained Earning 5
Risk 8, 10, 11, 28, 31, 32, 77, 78, 79, 80, 86, 100, 142, 144, 145
Risk Bearing 10, 31
Risk Free Rate 32
Risk Premium 32
Risk Taker 144
Risky Assets 15, 31
S

Shareholders 4, 5, 8, 9, 10, 12, 16, 27, 30, 31, 90, 91, 92


Size of the Firm 109
Spontaneous Financing 76
Sticky 97, 106, 110
Stock Dividend 116, 118
Stockholders 42
Stock Split 106, 116, 118
Subsidiary 125
T

Tax Shield 14, 81, 84, 85, 100, 109, 141


Tobins Q 159
Trade Off Theory 14, 97

Value of the Firm 10, 11, 75


W

Weighted Average Cost of Capital (WACC) 33, 34, 80, 85


Windows Dressing 137

Anda mungkin juga menyukai