Mekanisme patogenesis SLE merupakan interaksi dari gen tersangka dan faktor
lingkungan yang menyebabkan respon imun abnormal. Respon tersebut meliputi (1) Aktivasi
imunitas innate (sel dendritik) oleh CpG DNA, DNA pada kompleks imun, dan RNA pada
proteinself-antigen; (2) penurunan ambang aktivasi dari sel imun adaptif (limfosit spesifik
antigen T dan B); regulasi dan inhibisi inefektif dari CD4+ dan CD8+ sel T; pengurangan
bersihan sel apoptosis dan kompleks imun.Self-antigen dapat dikenali oleh sistem imun pada
permukaan sel apoptotik; sehingga antigen, autoantibodi dan komplek imun menetap pada
jangka waktu panjang, menyebabkan inflamasi dan penyakit berkembang.3
Aktivasi imun dari sel yang bersirkulasi maupun melekat pada jaringan disertai
dengan pelepasan tumor necrosis factor (TNF) proinflamator, interferon tipe 1 dan 2 (IFNs),
dan sitokin B stimulator limfosit (BLyS) dan interleukin (IL)-10. Lupus T dan sel natural
killer (NK) gagal memproduksi IL-2 dan transforming growth factor(TGF) yang
1
menginduksi regulasi CD4+ dan sel inhibisi CD8+. Akibat abnormalitas ini adalah produksi
dari antibodi patogenik dan kompleks imun. Aktivasi komplemen dan sel imun menyebabkan
pelepasan chemotaxin, sitokin, chemokin, peptida vasoaktif dan enzim perusak. Pada
inflamasi kronis, akumulasi dari growth factor dan produk oksidasi kronis menyebabkan
kerusakan jaringan ireversibel pada glomerulus, paru dan jaringan lainnya.3
SLE merupakan penyakit multigenik. Pada individu yang rentan, kombinasi dari
berbagai gen normal yang masing-masing berkontribusi terhadap sedikit respon imun yang
abnormal. Jika variasi tersebut terakumulasi maka akan timbul penyakit. Defisiensi
homozigot terhadap komponen komplemen C1q,C2,C4 merupakan predisposisi kuat
terjadinya SLE. Beberapa gen mempengaruhi manifestasi klinis penyakit (contohnya nefritis
dipengaruhi oleh FcR 2A/3A, MBL, PDCD1; artritis dan vaskulitis dipengaruhi MCP-1).3
Wanita lebih mudah terkena lupus karena memiliki respon antibodi yang lebih tinggi.
Wanita yang terekspos kontrasepsi yang mengandung esterogen resikonya meningkat 1,2-2
kali lipat. Beberapa stimulus lingkungan dapat mempengaruhi SLE. Paparan ultraviolet
menyebabkan flare SLE pada hampir 70% pasien, virus Epstein Barr mungkin merupakan
agen infeksius yang dapat memicu SLE.3
Epidemiologi
Insiden tahunan SLE di Amerika serikat sebesar 5,1 per 100.000 penduduk, sementara
prevalensi SLE di Amerika dilaporkan 52 kasus per 100.000 penduduk, dengan rasio gender
wanita dan laki-laki antara 9-14:1.4 Belum terdapat dataepidemiologi SLE yang mencakup
semua wilayah Indonesia. Data tahun 2002 diRSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta,
didapatkan 1.4% kasus SLE dari totalkunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit
Dalam5, sementara di RS HasanSadikin Bandung terdapat 291 Pasien SLE atau 10.5% dari
total pasien yang berobat kepoliklinik reumatologi selama tahun 20106.
Manifestasi klinis SLE sangat luas, meliputi keterlibatan kulit dan mukosa, sendi,
darah, jantung, paru, ginjal, susunan saraf pusat (SSP) dan sistem imun. Dilaporkan bahwa
pada 1000 pasien SLE di Eropa yang diikuti selama 10 tahun, manifestasi klinis terbanyak
berturut-turut adalah artritis sebesar 48,1%, ruam malar 31,1%, nefropati 27,9%,
fotosensitiviti 22,9%, keterlibatan neurologik 19,4% dan demam 16,6% sedangkan
manifestasi klinis yang jarang dijumpai adalah miositis 4,3%, ruam diskoid 7,8 %, anemia
hemolitik 4,8%, dan lesi subkutaneus akut 6,7%7.
Diagnosis SLE
Penegakan diagnosis SLE mengacu pada kriteria dari the American College of
Rheumbatology (ACR) revisi tahun 1997.8 Namun, mengingat dinamisnya keluhan dan tanda
SLE dan pada kondisi tertentu seperti lupus nefritis, neuropskiatrik lupus (NPSLE)
dimungkinkan kriteria tersebut tidak terpenuhi.
Kriteria Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik
Kriteria
Ruam malar
Batasan
Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah malar dan
Ruam discoid
Fotosensitifitas
Ulkus mulut
baik dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh dokter pemeriksa.
Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat oleh dokter
Artritis
pemeriksa.
Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi perifer, ditandai
oleh nyeri tekan, bengkak atau efusia.
Serositis
Pleuritis
a.
Perikarditis
Gangguan renal
b.
Atau
Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial friction rub atau
a.
Gangguan neurologi
b.
a.
b.
elektrolit).
atau
Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan
metabolic (misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan
Gangguan hematologik
a.
b.
c.
Gangguan imunologik
d.
a.
b.
elektrolit).
Anemia hemolitik dengan retikulosis
atau
Lekopenia <4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan/lebih
atau
Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan/lebih
atau
Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan oleh obat-obatan
Anti-DNA: antibodi terhadap native DNA dengan titer yang abnormal
atau
Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear Sm, atau
c.
antibodi treponema.
Titer abnormal dari antibodi anti-nuklear berdasarkan pemeriksaan
(ANA)
Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki sensitivitas 85%
dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif, maka
sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis.1
Derajat Berat Ringannya Penyakit SLE
Seringkali terjadi kebingungan dalam proses pengelolaan SLE, terutamamenyangkut
obat yang akan diberikan, berapa dosis, lama pemberian dan pemantauan efek samping obat
yang diberikan pada pasien. Salah satu upaya yang dilakukan untuk memperkecil berbagai
kemungkinan kesalahan adalah dengan ditetapkannya gambaran tingkat keparahan SLE.
Kriteria untuk dikatakan SLE ringan adalah:
1. Secara klinis tenang
2. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa
3. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung, gastrointestinal, susunan
saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit.
Contoh SLE dengan manifestasi arthritis dan kulit.
Penyakit SLE dengan tingkat keparahan sedang manakala ditemukan:
1. Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II)
2. Trombositopenia (trombosit 20-50x103/mm3)
3. Serositis mayor
Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa apabila ditemukan keadaan sebagaimana
tercantum di bawah ini, yaitu:
4
pengobatan
pada
SLE
ringan
dijalankan
secara
bersamaan
dan
berkesinambungan serta ditekankan pada beberapa hal yang penting agar tujuandi atas
tercapai, yaitu:
Obat-obatan penghilang nyeri seperti paracetamol 3 x 500 mg, bila diperlukan
Obat anti inflamasi non steroidal (OAINS), sesuai panduan diagnosis dan pengelolaan
Klorokuin basa 3,5-4,0 mg/kg BB/hari (150-300 mg/hari) (1 tablet klorokuin 250 mg
mengandung 150 mg klorokuin basa) catatan periksa mata pada saat awal akan
pemberian dan dilanjutkan setiap 3 bulan, sementara hidroksiklorokuin dosis 5- 6,5
mg/kg BB/ hari (200-400 mg/hari) dan periksa mata setiap 6-12 bulan. Kortikosteroid
sitopenia,
seringkali
diberikan
gabungan
antara
kortikosteroid
dan
Ilustrasi Kasus
Telah dirawat seorang pasien perempuan, umur 20 tahun di bangsal penyakit dalam
sejak tanggal 2 Februari 2015 dengan:
Nyeri sendi kaki dan tangan yang meningkat sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit.
Nyeri terasa hilang timbul, nyeri terutama dirasakan jika pasien menggerakkan kaki
dan tangan, nyeri kadang disertai dengan bengkak, kaku-kaku di pagi hari, dan
mengenai kedua sisi tangan dan kaki. Tidak ada kemerahan pada sendi yang terasa
nyeri, tidak terasa panas, dan tidak ada riwayat trauma pada sendi yang nyeri. Nyeri
sudah dirasakan pasien sejak kurang lebih 1 tahun yang lalu, semakin meningkat 3
hari terakhir.
Sariawan di rongga mulut yang hilang timbul sejak 1 tahun yang lalu.
Rambut rontok sejak 3 bulan yang lalu jika pasien menyikat rambut, rambut rontok
juga diikuti dengan alis mata yang rontok.
Bercak merah pada hampir semua kulit sejak 3 bulan yang lalu, tidak disertai rasa
gatal dan perih.
Bercak kemerahan pada wajah sejak 3 bulan yang lalu, wajah memerah terutama pada
daerah pipi dan hidung, wajah semakin memerah jika pasien terkena sinar matahari
yang lama. Bercak tidak menetap, tidak terasa perih dan gatal.
Kulit terasa nyeri jika terkena sinar matahari sejak 3 bulan yang lalu.
Perut tampak semakin membuncit sejak 3 bulan yang lalu, tidak disertai nyeri.
Sesak nafas sejak 3 hari yang lalu, sesak tidak dipengaruhi oleh cuaca, suhu, dan
makanan. Tidak ada riwayat menggunakan bantal yang lebih tinggi saat tidur dan
tidak ada riwayat terbangun tengah malam karena sesak. Sesak tidak disertai bunyi
menciut.
Batuk sejak 3 hari yang lalu, berdahak, dahak berwarna putih kekuningan, tidak
berdarah.
Demam sejak 2 hari yang lalu, terus menerus, tidak tinggi, tidak menggigil, dan tidak
berkeringat.
Buang air kecil dan buang air besar dalam batas normal.
Pasien memiliki riwayat kejang 4 kali dalam kurun waktu 1 tahun terakhir. Yang
terakhir 3 bulan yang lalu, lama kejang 5 detik, kejang seluruh tubuh, setelah kejang
pasien sadar. Pasien tidak pernah dibawa berobat.
Riwayat alergi terhadap makanan, cuaca, binatang, dan debu tidak ada.
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan seperti ini sebelumnya.
Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum : sedang
Kesadaran
: CMC
TD
: 130/70 mmHg
9
Nadi
Pernafasan
: 28 kali / menit,teratur
Suhu
: 380 C
TB
: 155 cm
BB
: 45 kg
BMI
: 18,73
BBI
: 55 kg
Kesan
: normoweight
Anemia
: (-)
Edema
: (+)
Ikterus
: (-)
Sianosis
: (-)
:5
Status Dermatologikus:
Lokasi
Distribusi
: bilateral, universal
Batas
: tegas
Bentuk/ ukuran
Efloresensi
Rambut
Mata
Telinga
Hidung
Tenggorok
: stomatitis (+), caries (-), kandidiasis oral (-), atrofi papil lidah (-)
Leher
10
Thorak
Paru depan
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Paru belakang
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Jantung
Inspeksi
Palpasi
: iktus teraba 1 jari medial LMCS RIC V, luas 1 jari, tidak kuat angkat,
thrill (-)
Perkusi
: batas jatung kanan LSD, batas Jantung Atas : RIC II, Kiri : 1 jari medial
LMCS RIC V, pinggang jantung (+)
Auskultasi
: bunyi jantung murni, irama jantung reguler , M1>M2, P2<A2, bising (-)
Abdomen :
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Aukultasi
11
Anggota gerak :
Reflek fisiologis +/+
Edema +/+
Status lokalisata:
Sendi
MCP
PIP
MTP II-V
IP ibu jari
Pergelangan tangan
Inspeksi
Tampak bengkak,
Palpasi
Teraba
deformitas (-)
pembengkakan,
Tampak bengkak,
deformitas (-)
pembengkakan,
Tampak bengkak,
deformitas (-)
pembengkakan,
Tampak bengkak,
deformitas (-)
pembengkakan,
Tampak bengkak,
deformitas (-)
pembengkakan,
ROM
Terbatas karena nyeri
Hb
: 11,1 gr/dl
Ht
: 34%
Leukosit
: 7.900 /mm3
Trombosit
: 166.000/mm3
LED
: 55 mm/jam
DC
: 0/0/4/76/17/3
Warna
Protein
Leukosit
Eritrosit
: kuning
: (+++)
: 4-6/LPB
: 2-3/LPB
Silinder
: 2-3/LPK
Epitel
: gepeng (+)
Bilirubin
: (-)
Urobilinogen : (+)
Warna
Konsistensi
Leukosit
Eritrosit
: cokelat
: lembek
: 0-1 /LPB
: 0-1 /LPB
Telur cacing
Darah
Lendir
: (-)
: (-)
: (-)
: sinus
: 98 x /menit
: normal
: normal
: 0,12-0,16 detik
Daftar Masalah :
Artritis
Fotosensitivitas
Ruam malar
Ruam diskoid
Bronchopneumonia
Proteinuria
Diagnosis Kerja :
Diagnosis primer :
Diagnosis sekunder :
13
Diagnosis Banding :
Rheumatoid arthritis
Pneumonitis lupus
Terapi :
Anjuran :
Elektrolit (Na,K,Cl,Ca)
GDS
Profil lipid
Asam urat
Anti-dsDNA
Esbach urine
Kultur sputum
Ro Thorak PA
USG Ginjal
Follow Up
Tanggal 3 Februari 2015 jam 07.00
14
S/ Nyeri sendi (+) menurun, sesak nafas (+) berkurang, demam (+)
Sens
CMC
VAS : 2
TD
130/70
HR
80x/min
RR
26x/min
T
37,8 0C
Ureum
: 51 mg/dl
Kreatinin
: 0,6 mg/dl
SGOT
: 64 u/l
SGPT
: 55 u/l
Albumin
: 1,0 gr/dl
Globulin
: 4,7 gr/dl
Na
: 150 mmol/l
: 2,7 mmol/l
Cl
: 124 mmol/l
Ca
: 6,9 mg/dl
GDS
: 121 mg/dl
LDL
: 57 mg/dl
HDL
: 16 mg/dl
Trigliserida
: 147 mg/dl
Asam urat
: 12 mg/dl
pH
: 7,46
15
pCO2
: 27 mmHg
pO2
: 83 mmHg
HCO3-
: 19,7 mmol/L
BEecf
: -4,0 mmol/L
SO2
: 97%
Ro Thorax PA
Diafragma baik
Kesan:
o Bronchopneumonia
o DD/ Bendungan paru
Kesan:
Gangguan faal hepar, hipoalbuminemia, hipernatremia, hipokalemia, hipokalsemia,
hiperurisemia, alkalosis respiratorik, hipoksia ringan
Sikap:
setelah koreksi
Inj Ca gluconas 1x1amp
USG Abdomen
16
Advis terapi:
Anjuran :
Anti-dsDNA
Konsul mata untuk pemakaian kloroquin jangka panjang
Advis terapi:
Oksigen 2 liter/menit
Inj. Ceftazidime 2x1gr (iv)
Inf. Levofloxacine 1x500mg (iv)
Nebu farbivent / 4 jam
Nebu fluimucyl / 6 jam
17
Anjuran :
TD
130/70
HR
84x/min
RR
24x/min
T
37 0C
Na
: 149 mmol/l
: 3,1 mmol/l
Cl
: 121 mmol/l
Esbach urine
USG Ginjal
Ginjal kanan
o bentuk dan ukuran normal, tepi reguler, echo normal, cortex dan medulla
dapat didiferensiasi, ukuran cortex 9,2 mm, piramida prominent, tidak ada
batu.
Ginjal kiri
o bentuk dan ukuran normal, tepi reguler, echo normal, cortex dan medulla
dapat didiferensiasi, ukuran cortex 9,2 mm, piramida prominent, tidak ada
batu.
Vesica Urinaria :
18
Kesimpulan
TD
130/80
HR
88x/min
RR
24x/min
T
37,1 0C
Drip Metilprednisolon 250mg dalam 100cc NaCl 0,9% habis dalam 1 jam 1x sehari
TD
130/80
HR
82x/min
RR
20x/min
T
36,8 0C
Albumin
: 1,2 gr/dl
Globulin
: 3,8 gr/dl
Kesan : hipoalbuminemia
Sikap:
TD
130/70
HR
84x/min
RR
20x/min
T
37 0C
Sikap:
TD
130/80
HR
86x/min
RR
20x/min
T
36,8 0C
HbsAg
: non reaktif
Anti-HCV
: 0,17
20
Kultur sputum:
Klebsiella pneumoniae
Pseudomonas aeruginosa
USG Abdomen
Hati : membesar, permukaan rata, parenkim homogen dan halus, pinggir tajam, vena
tidak melebar, duktus biliaris tidak melebar, vena porta normal
Pankreas : normal
Kesan:
o Fatty liver
o Efusi pleura bilateral
o Ascites
TD
140/80
HR
84x/min
RR
26x/min
T
37 0C
Paru depan
Inspeksi
statis
dinamis
Palpasi
statis
dinamis
Palpasi
Auskultasi
Palpasi
: iktus teraba 1 jari medial LMCS RIC V, luas 1 jari, tidak kuat angkat,
thrill (-)
Perkusi
: batas jatung kanan LSD, batas Jantung Atas : RIC II, Kiri : 1 jari medial
LMCS RIC V, pinggang jantung (+)
Auskultasi
: bunyi jantung murni, irama jantung reguler , M1>M2, P2<A2, bising (-)
EKG
Irama
: sinus
HR
: 110 x /menit
Axis
: normal
Gel P
: normal
PR interval
: 0,12-0,16 detik
Kesan : sinus takikardia, low voltage
Echocardiography
Jam 16.00
Telah dilakukan pleurocentesis pada pleura dextra. Dikeluarkan cairan jernih sebanyak 300cc.
23
pH
: 7,42
pCO2
: 27 mmHg
pO2
: 90 mmHg
HCO3-
: 23,6 mmol/L
BEecf
: -1,4 mmol/L
SO2
: 98%
TD
140/80
HR
84x/min
RR
26x/min
T
37 0C
: 12 cc
Kekeruhan
: negatif
Warna
: kekuningan
Jumlah sel
: 200/mm3
Protein
: 1,2
Glukosa
: 98 mg/dl
LDH
: 234
Rivalta
: negatif
LVH konsentrik
Global normokinetik
TR mild
PR mild
Variasi mitral inflow >15%, variasi trikuspid inflow >25%, swinging heart (-)
Advis terapi:
TD
140/80
HR
90x/min
RR
24x/min
T
37 0C
Hb
: 9,7 gr/dl
25
Hematokrit
: 30%
Leukosit
: 5.720/ mm3
Trombosit
: 192.000/ mm3
Ureum
: 13 mg/dl
Kreatinin
: 0,3 mg/dl
SGOT
: 21 u/l
SGPT
: 18 u/l
Albumin
: 1,5 gr/dl
Globulin
: 3,3 gr/dl
Na
: 141 mmol/l
: 3,0 mmol/l
Cl
: 113 mmol/l
Ca
: 7,5 mg/dl
Sikap:
MCV
: 83 fL
MCH
: 27 pg
MCHC
: 32%
Retikulosit
: 3,1 %
26
Coombs test
Jam 19.00
Coombs test : ICT (-), DCT (+)
Screening antibody
Terapi lain lanjut
27
Diskusi
Telah dirawat seorang perempuan usia 20 tahun sejak tanggal 2 Februari 2015 di
bangsal penyakit dalam RSUP M Djamil Padang dengan diagnosis :
Perhimpunan Reumatologi Indonesia tahun 2011. Dari 11 kriteria diagnosis SLE, pada pasien
ini ditemukan positif pada seluruh kriteria. Nyeri sendi pada tangan dan kaki dirasakan
meningkat sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Ruam malar, ruam diskoid,
fotosensitivitas, dan ulkus mulut dialami oleh pasien sejak 3 bulan yang lalu. Gangguan renal
dideteksi dari adanya proteinuria pada urinalisis. Sebelumnya, pasien sudah dirawat di RSUD
Payakumbuh dan sudah dianjurkan pemeriksaan Antibodi Antinuklear (ANA) dan didapatkan
hasil yang positif. Selama rawatan di RSUP Dr. M. Djamil, pasien dilakukan pengecekan
anti-dsDNA dan didapatkan hasil yang positif yang mengindikasikan adanya gangguan
imunologik pada pasien.
Nefritis lupus pada pasien ini ditegakkan berdasarkan kriteria yang dikeluarkan oleh
ACR tahun 2012. Pada panduan tersebut, disebutkan nefritis lupus didefinisikan sebagai
manifestasi klinis dan laboratorium yang sesuai dengan kriteria ACR, yaitu proteinuria
persisten > 0,5 gr/hari atau lebih besar dari 3+ dengan dipstick, dan/atau cellular cast
termasuk eritrosit, hemoglobin, granular, tubular, atau campuran. The Task Force Panel
merekomendasikan semua pasien dengan bukti klinis nefritis lupus aktif dan belum diterapi
sebelumnya untuk menjalani pemeriksaan biopsi ginjal sehingga kelainan glomerular bisa
diklasifikasikan dengan klasifikasi ISN/ RPS.
28
Namun karena belum bisa dilakukan biopsi ginjal, klasifikasi dilakukan dengan
penilaian berdasarkan panduan dari WHO. Dari panduan tersebut, dengan adanya proteinura
2,5 gr/hari namun kreatinin dan tekanan darah masih dalam batas normal, klasifikasi lupus
nefritis pasien ini adalah kelas II. Namun, pada kelas II, anti ds-DNA dinyatakan negatif,
29
padahal pada pasien ini memiliki anti-dsDNA yang positif, yang berarti bisa berada pada
kelas III.
Neuropsikiatri lupus pada pasien ini juga ditegakkan berdasarkan rekomendasi
EULAR dan jurnal oleh Monov S dan Monova D di Bulgaria. Dari sumber tersebut
dinyatakan bahwa karena tidak adanya gold standard diagnostik untuk kelainan ini, maka
beberapa pemeriksaan bisa dilakukan untuk mendukung penegakan diagnosis seperti
pemeriksaan cairan serebrospinal dan pencitraan seperti MRI. Menurut kriteria ACR, adanya
gangguan neurologis dan psikiatrik pada pasien lupus ditegakkan jika adanya kejang atau
psikosis yang tidak disebabkan oleh obat-obatan dan gangguan metabolik. Oleh karena itu,
walaupun belum dilakukannya pemeriksaan yang dianjurkan EULAR, pasien ini bisa
dicurigai adanya neuropsikiatri lupus.
Pada pasien ini juga dicurigai adanya hepatitis autoimun yang diagnosisnya
ditegakkan berdasarkan sistem skoring International Autoimmune Hepatitis Group yang
disetujui oleh AASLD. Walaupun tidak semua kriteria sudah bisa ditentukan nilainya, namun
nilainya sudah mencapai nilai probable diagnosis dengan poin-poin seperti jenis kelamin,
tidak adanya marker virus, tidak ada penggunaan obat-obatan dan alkohol dalam jangka
waktu yang lama, adanya kelainan imun yang lain, serta respon sempurna dari pengobatan
berupa steroid.
gangguan metabolik yang selanjutnya dicurigai sebagai neuropsikiatri lupus, diikuti oleh
adanya efusi pleura dextra dan efusi perikardium moderat yang ditemukan dari sesak yang
muncul pada pasien dan pemeriksaan fisik serta penunjang seperti Ro thorax dan
echocardiografi. Setelah itu, pada follow up laboratorium didapatkan penurunan kadar Hb
dan didapatkan hasil anemia ringan normositik normokrom ec hemolitik ec autoimun.
31
32
33
DAFTAR PUSTAKA
1. Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia Untuk Diagnosis dan Pengelolaan
Lupus Eritematosus Sistemik, 2011
2. Tutuncu ZN, Kalunian KC. The Deinition and clasiication of systemic lupus
erythematosus.In: Wallace DJ, Hahn BH, editors. Dubois lupus erythematosus. 7th ed.
Philadelphia. Lippincott William & Wilkins; 2007:16-19
3. Hahn BH. Disorders of Immune-Mediated Cell Injury. In: Fauci AS, Braunwald E,
editors. Harrison's Rheumatology. 2nd Edition. Philadelphia. McGraw-Hill; 2010 : 66-69
4. Danchenko N, Satia JA, Anthony MS. Epidemiology of systemic lupus erythematosus:
acomparison of worldwide disease burden. Lupus. 2006;15(5):308-18
5. Data dari poli penyakit dalam RS Ciptomangunkusumo Jakarta, 2010
6. Data dari poliklinik reumatologi RS Hasan Sadikin Bandung, 2010
7. Cervera R, Khamashta MA, Font J, Sebastiani GD, Gil A, Lavilla P, et al . Morbidity
andmortality in systemic lupus erythematosus during a 10-year period, a comparison of
earlyand late manifestation in a cohort of 1000 patients. Medicine 2003;82:299
8. Bertsias GK, Ioannidis JPA, Boletis J, Bombardieri S, Cervera R, Dostal C, et al.
EULAR recommendations for the management of systemic lupus erythematosus (SLE).
Report of aTask Force of the European Standing Committee for International Clinical
Studies IncludingTherapeutics (ESCISIT). Ann Rheum Dis 2008;67:195205
34