Anda di halaman 1dari 49

Tu (Dilarang Bersiul di Hutan)

Maya Lestari GF, Padang


Pemenang 3 LMCPI Annida VII
Setiap kali hujan datang, Tu selalu berlari menuju ambang pintu dan mendongak
melihat langit. Warna yang abu-abu pucat membentang luas di atas kepalanya. Seolaholah bentangan itu menutup langit dari timur ke barat, dari utara ke selatan. Titik-titik air
jatuh deras dari langit, mengguyur daun-daun yang mengembang, merekah kesegaran.
Air jatuh di helai-helai daun nipah yang menjadi atap rumah, untuk kemudian meluncur
jatuh ke bawah dan menghunjam tanah, meninggalkan lubang-lubang kecil berderet di
sekeliling rumah. Kadang-kadang guntur meledak hebat sekali, nyaris memekakkan
telinga. Juga petir yang seperti berurat-urat di langit sesekali mengilat. Pada saat-saat
seperti itu orang-orang akan lebih senang berada di dalam rumah yang hangat. Mereka
yang berada di luar akan segera berlari-lari pulang sekedar berusaha menghindarkan diri
diperangkap hujan lebih lama.
Masuk ke dalam, Tu.
Satu orang yang paling tidak suka melihat Tu berlama-lama di ambang pintu adalah
Momoa. Kalau hujan sudah turun dengan lebat ia lebih suka berbaring di lantai kayu
dengan sehelai selimut tipis yang menutupi kakinya. Momoa suka mengeluh dingin bila
hujan datang. Dan pintu yang terbuka membawa hawa dingin itu masuk lebih banyak,
membuat Momoa menggigil.
Dengan enggan Tu mengangguk lalu menutup pintu. Rumah seketika gelap dan semua
benda di dalamnya hanya menjadi bayangan samar. Hanya ada satu jendela di rumah. Di
dekat pintu. Itu pun tertutup sebelah. Daun pintu jendela yang satu lagi dibiarkan sedikit
merenggang.
Tu berjalan ke bawah jendela itu dan duduk. Memerhatikan Momoa yang membawa
selimutnya lebih tinggi menutup badannya. Tu tidak ingat sudah berapa lama ia tinggal
dengan Momoa, yang pasti semenjak orang tua Tu meninggal, ia sudah bersama Momoa.
Alam sedang mencurahkan berkat dan kesegarannya untuk bumi, ia mendengar
Momoa berkata, Jangan ganggu alam menjalankan tugasnya.
Tu melihat sebentar ke luar.
Menjalankan tugasnya? ia mengulang kata-kata terakhir Momoa.
Kita semua berasal dari alam. Dilahirkan oleh alam, dan diberi berkat oleh alam,
berujar Momoa, Kek Anta telah mengatur semuanya dengan sempurna. Ia adalah wujud
alam ini. Batu, sungai, hutan, gunung, pantai. Adalah kewajiban kita untuk menjaganya,
agar selalu diberi berkat oleh alam.
Tu tak menjawab. Dilihatnya kembali hujan yang masih deras mengguyur di luar.
Kepalanya menyembul dari bawah jendela. Langit masih berwarna abu-abu pucat. Hujan
yang diturunkan pun masih sederas yang tadi.

Tutuplah jendelanya, Tu, ujar Momoa lagi, Dingin.


Nanti jadi gelap, Tu protes.
Terang dan gelap adalah bagian dari alam. Hanya matamu yang tak bisa melihat
kesatuannya, jawab Momoa. Tutuplah jendelanya.
Tu mengulurkan tangan, menutup jendela.
***
Hujan berhenti ketika masa tengah hari telah berlalu lama. Tu membuka pintu dan
mendapati alam sama sekali berbeda dengan sebelumnya. Langit tampak bersih cerah.
Sesaput awan melenggang melayari langit yang biru membentang. Tu melihatnya serupa
kapal di atas lautan. Ia tersenyum.
Tu menuruni tangga kayu. Anak-anak tangga itu berbentuk bulat dan jumlahnya tak
lebih dari tiga buah. Di anak tangga terbawah ia melompat dan hup! Kakinya menjejak
tanah. Tanah basah dan becek. Air menggenang di mana-mana. Ceruk-ceruk tanah nyaris
seperti danau-danau yang kebanyakan air. Sayang tidak ada ikannya. Jati, yang rumah tak
jauh dari rumah Tu, sendiri melambai dari jendela. Tu membalas lambaian itu, ia berlari
kecil untuk mendapati Jati.
Andui bilang kalau dia akan ke rumah Kak Juli, Jati memberitahu.
Apakah kau akan melihat itu? mata Tu membesar.
Itu? Jati mengerutkan kening, lalu tertawa kecil, nyaris tanpa suara, Tentu saja kita
akan melihat itu, kita akan melihat bagaimana Andui belajar di sana.
Ayo kita pergi.
Apakah Momoa tidak melarang? tanya Jati sambil melirik sebentar ke rumah Tu.
Tu menggeleng.
Kalau begitu ayo.
Hei, kalian akan pergi ke mana?
Seorang perempuan muncul di belakang Jati. ia membawa semangkuk besar bu yang
mengepul hangat.
Kami akan melihat Andui, jawab Jati. Perempuan itu adalah ibunya.
Apakah ia masih belajar bersama orang dari kota itu? tanya ibu Jati.

Jati mengangguk.
Kalau begitu kalian hati-hatilah, berujar ibu Jati, Kota itu penuh dengan orangorang jahat. Mereka itu licik dan curang. Tidak jujur. Mereka suka menipu. Kalian
awasilah Andui. Jangan sampai ia terpengaruh oleh orang kota itu.
Jati mengangguk.
Jangan sampai orang itu merusak suku Lom yang masih murni seperti bayi, ibu Jati
mendengus sedikit, Alam memberi berkah kepada kita karena kemurnian hati kita.
Jangan orang kota itu memberi pengaruh buruk sehingga kita kena kutukan.
Jati mengangguk lagi.
Pergilah, ujar Ibu Jati, Tapi kalian cepatlah kembali.
Jati dan Tu mengangguk lalu dengan cepat mereka berlalu. Melintasi tanah yang
becek. Melintasi ceruk-ceruk yang kecil maupun yang besar.
Apakah menurutmu orang kota memang jahat? tanya Tu pada Jati.
Entahlah, Jati mengangkat bahu, tapi kata kepala dusun, orang itu banyak yang
licik dan tidak jujur. Mereka suka menyakiti orang lain untuk mencapai keinginannya.
Sebuah ceruk besar menghadang mereka. Penuh dengan air. Tanah di sisi kiri dan
kanan ceruk itu berlumpur. Tampak bekas-bekas kaki orang di sana, pertanda sebelum
mereka tiba di sini, telah ada sebelumnya orang yang melintasi jalani itu.
Pelan-pelan kaki telanjang Jati masuk ke dalam ceruk itu, lalu dengan wajah
gembira ia berkata.
Lihat ini adalah danau kecil, tidak dalam, hanya sebatas mata kakiku.
Ya, Tu tertawa. Ia mengikuti Jati. Pelan-pelan dimasukkannya kakinya ke danau
kecil itu.
Hei, itu kan kotor, tiba-tiba mereka mendengar seseorang berseru. Cepat mereka
menoleh. Andija berdiri beberapa puluh langkah dari mereka. Pakaiannya terlihat bersih
juga kakinya. Ia mengenakan sandal.
Lihat dia, bisik Jati, Dia sudah mengenakan sandal. Dia sudah menjauhi bumi.
Tu mengangguk.
Ayo cepat pergi.
Ya.
Kembali mereka berjalan menyusuri jalan tanah. Melewati rumah-rumah, pepohonan
yang basah dan cericit hewan hutan. Samar-sama suara arus sungai Air Abik menyusup

ke telinga, meninggalkan kesan yang begitu nyaman. Katak-katak melompat di antara


pohon.
Apa yang dipelajari Andui? tanya Tu tiba-tiba begitu mereka melihat rumah yang
dituju. Rumah itu disangga oleh empat belas batang kayu yang sama sekali tak bisa
dibilang lurus. Atapnya daun nipah yang disusun sedemikian rupa sehingga tak
memungkinkan air hujan untuk menyusup masuk ke dalam rumah. Di depan rumah ada
atap tambahan yang disangga tiga tonggak kayu untuk melindungi pintu dan jendela dari
hujan. Sama seperti rumah Tu, rumah itu juga hanya memiliki satu jendela. Dua buah
keranjang rotan tertelungkup di samping rumah. Di dekatnya sebuah topi lebar dari daun
pandan.
Mereka mendengar suara Andui.
Entahlah, ujar Jati sambil mengangkat bahu, dibawanya Tu untuk mendekat ke
rumah itu. Pintunya terbuka lebar. Tapi mereka tidak ke sana. Jati malah membawa Tu ke
samping rumah dan menguping.
Ayo kita dengar apa yang mereka bicarakan.
Tu ikut menguping.
Mereka mendengar seseorang berkata tentang huruf-huruf, lalu Andui dan beberapa
orang lain mengikuti kata orang itu.
Mereka belajar apa? tanya Tu.
Mereka belajar membaca.
Membaca apa?
Jati mengangkat bahu.
Mereka kembali menguping. Beberapa saat kemudian terdengar suara tawa dari dalam
rumah.
Sepertinya belajar membaca itu menyenangkan, gumam Tu.
Ya, tapi tak ada gunanya, Jati lalu menyeret Tu menjauhi rumah itu, Begitu kata
ibu.
Mengapa tak ada gunanya?
Sebab tak bisa digunakan untuk menamam lada, jawab Jati, Untuk menanam lada
kita hanya membutuhkan tenaga, dan peralatan berladang. Aku pernah melihat Andui
belajar membaca di rumah, membosankan, tahu tidak?
Membosankan? Tu membesarkan mata.
Ya, seluruh waktu hanya dihabiskan untuk melihat-lihat sebuah buku, tidakkah itu siasia? Jati berkata, aku bisa menanam sepetak ladang selama waktu Andaui membaca
sebuah buku.
Tu terdiam sejenak.
Kalau tidak ada gunanya, mengapa membaca itu diajarkan? tanyanya kemudian.
Jati mengangkat bahu.
Kata Ibu... ujarnya setelah melompati sebuah ceruk, Membaca itu kegiatan orang
kota, bukan orang-orang suku Lom yang masih murni seperti kita.
Oh, ya?

Orang-orang kota itu suka membaca dan akibatnya mereka menjadi orang yang licik,
tamak, suka menipu, bahkan, kata kepala dusun...orang kota itu bisa dibeli dengan uang.
Ya?
Tapi kita...suku Lom sangat mementingkan kejujuran, dan kedamaian. Kita menyatu
dengan alam dan diberi berkah oleh alam. Di sekeliling kita banyak terdapat roh-roh
kehidupan yang menghuni setiap tanaman. Roh-roh yang memberi berkat.
Tu tak menjawab. Hanya diikutinya saja langkah-langkah Jati menyusuri jalan tanah
dusun yang becek.
***
Andui belajar membaca, kata Tu pada Momoa siang itu. Mereka berada di tepi
sungai Air Abik yang bening. Dasar sungai itu terlihat begitu jelas, layaknya kaca.
Kerikil coklat, kuning muda dan abu-abu seperti permata di dasar sungai. Ikan seluang
berenang-berenang riang di antara lumut dan tanaman-tanaman air. Momoa duduk di atas
batu hitam datar. Tangan kanannya mengambang di atas permukaan sungai untuk
kemudian turun dan dengan lembut menjentik-jentikkan jemarinya. Jentikan itu berirama,
Membentuk riak-riak kecil yang melebar hingga ketepian sungai. Dan seperti sebuah
lagu, irama jentikan itu menarik ikan-ikan kecil untuk mendekat ke Momoa. Kulit
Momoa tampak mengkilat di bawah sinar matahari. Itu membuat ia tampak seperti raja.
Andui belajar membaca, kata Tu lagi pada Momoa. Matanya memandang lurus ke
Momoa meminta untuk ditanggapi. Di usianya yang kedua belas, Tu mulai tampak
tumbuh sebagai seorang laki-laki suku Lom, bukan bocah kecil lagi.
Momoa mengangguk-angguk. Dihentikannya jentikannya. Ketika ikan-ikan itu sudah
menjauh Momoa menceduk air lalu meminumnya. Dipandangnya Tu.
Dahulu, Kek Anta membangun alam dengan kekuatannya, segala sesuatu lahir dari
kemuliannya. Gunung, hutan, sungai. Anak-anak yang ia turunkan lalu memikul satu
kewajiban untuk menjaga itu semua agar berkah dan kebahagiaan tetap tercurah. Agar
roh-roh kehidupan selalu berdiam di pepohonan. Agar roh-roh kehidupan juga tetap
berdiam di tanaman-tanaman supaya hasil panen terus melimpah. Kau lihat ikan-ikan
kecil tadi, Tu? Memoa berujar sambil menyapu pandangannya ke permukaan sungai
yang bening datar, Anak-anak Kek Anta bersahabat dengan alam, dan karena itu pula
alam tak pernah menjauh. Kita, suku Lom sebagai anak-anak Kek Anta, dicintai oleh
alam. Dan karena itu pula alam tak pernah menjauh. Kita, suku Lom sebagai anak-anak
Kek Anta, dicintai oleh alam. Ikan-ikan kecil di sungai mendekat dan ramah kepada kita
karena kita tak pernah memakan mereka. Kita hanya memakan ikan-ikan besar, itu pun
dengan seperlunya, tidak berlebihan. Kita tidak pernah menebang pohon yang masih
muda, kita hanya menebang pohon yang besar dan matang, itu pun dengan upacara
khusus. Kita menyatu dengan alam, dan karena itu kita diberi berkah, Momoa
memandang Tu, Apakah kau juga ingin belajar membaca seperti Andui dan berlaku
layaknya orang kota seperti Andija?
Tu tak menjawab.

Andija telah menjauh dari alam, ia tak lagi dicintai, Momoa bangkit dari duduknya,
Dulu aku pergi ke kota bersama kepala dusun dan yang kudapati adalah orang-orang
kota yang pendusta, tak bisa dipercaya dan dibeli dengan uang. Kita orang Lom
mementingkan kejujuran, kasih sayang dan harga diri. Itu adalah kemuliaan paling utama
dari seorang manusia.
Momoa melompat ke tepi sungai. Dipandangnya Tu.
Banyak anak-anak suku Lom yang belajar bersama guru yang dari kota itu. Tapi itu
tak menjadikan anak-anak pandai bertanam lada, dan mengerti adat mereka sendiri.
Kepandaian membaca itu juga tak membuatmu pandai bergaul dengan alam. Kau
pergilah ke kota, atau setidaknya pergilah ke Bangka, di sana kau bisa dapati orang-orang
kota yang pandai membaca itu, merusak alam dan akhirnya kena kutukan.
Tu menatap Momoa.
Kutukan itu tak pernah datang ke kita, bukan? Momoa membesarkan mata, Alam
memberi berkah pada kita karena kita tak menjauh darinya, Momoa menunjuk kakinya
yang telanjang, Kita terikat pada alam ini, Tu. Kita terikat pada Gunung Pelawan dan
dengan segala roh-roh kehidupan yang ada di dalamnya. Kita terikat dan mempercayai
istri kepala dusun sebagai penimba mato kiamat yang akan menjaga kita dari semua
kutukan itu.
Tu tak menjawab. Momoa mendekat pada Tu.
Bahkan demi menjaga alam, kita pun dilarang bersiul di sini, supaya roh-roh
kehidupan tidak menjauh dan pergi meninggalkan kita, Momoa menatap Tu lekat-lekat.
Kau mengerti, Tu?
Tu tetap tak menjawab.
Kau mengerti, Tu?
Tu memberanikan diri menatap Momoa. Dua pandang mata mereka bertemu. Tatapan
Momoa begitu kuat dan tajam, pertanda kekerasan hatinya. Orang-orang dusun sangat
menghormati Momoa. Ia pandai mengucap jirat untuk menjaga ladang orang-orang dusun
dari pencurian atau memaksa orang untuk mengakui kesalahannya. Tu sangat
menghormati Momoa atas semua kepandaian dan wibawanya.
Tu mengangguk.
Bagus, kau mengerti, Momoa meletakkan telapak tangannya di kepala Tu, Jadilah
kau penjaga alam ini, sehingga kau dicintai dan diberi berkah oleh apa yang kau jaga.
***
Keadaan rumah beratap daun nipah dengan dua keranjang rotan di sampingnya itu
masih sama seperti terakhir kali Tu melihatnya bersama Jati. Bedanya, sekarang daun-

daun nipah itu tidak lagi basah dan meneteskan titik-titik air ke tanah. Atap itu kering,
dan bila angin datang, daun-daun nipah yang menjuntai melambai-lambai tertiup angin.
Sepasang sandal jepit tergeletak di kaki tangga.
Tu tahu, bangunan itu bernama sekolah. Gurunya bernama Kak Juli yang didatangkan
dari Belinyu. Kak Juli tinggal di bangunan itu, dan setiap hari Sabtu ia pulang ke Belinyu
untuk kembali lagi hari Minggu sore. Tu sering melihat Kak Juli tapi tak pernah bertegur
sapa dengannya.
Kali ini, tanpa Jati, ia memberanikan diri untuk datang ke bangunan sekolah itu. Pelanpelan ia melangkah ke samping rumah dan menguping pembicaraan di dalam.
Ia mendengar beberapa suara. Ia juga mendengar suara Andui.
Mereka berangkat ke sekolah ketika hari sudah siang. Dulu, seingat Tu anak-anak suku
Lom bersekolah pagi hari, tapi entah kenapa kemudian berubah menjadi siang hari.
Biasanya, kalau pergi ke sekolah, Andui membawa sebuah tas pandan. Isinya buku dan
pensil. Wajah Andui terlihat bahagia setiap kali pergi ke sekolah. Kadang-kadang Tu
bertanya sendiri, apakah sekolah betul-betul menyenangkan? Apakah belajar membaca
itu betul-betul membahagiakan? Karena sepertinya anak-anak yang belajar itu sering
sekali tertawa.
Tu mendengar seseorang berbicara mengenai sesuatu yang tidak dimengerti oleh Tu.
Ada kata-kata negara, bangsa, dan yang lainnya. Itu semua hal yang baru bagi Tu, dan ia
merasa aneh dengan itu semua. Apakah Momoa benar ketika mengatakan bahwa orang
kota dengan segala perilakunya hanya akan merusak keseimbangan yang mulanya
tercipta antara manusia dengan alam?
Tu berdiam sejenak, menimbang-nimbang, apakah ia akan tinggal di sana lebih lama
lagi ataukah harus pergi. Tapi kemudian kakinya melangkah dan ia memutuskan untuk
pergi.
Hai! tiba-tiba ia mendengar seseorang memanggil. Cepat Tu menoleh. Kak Juli. ia
berdiri di ambang pintu, menatap Tu dengan senyum.
Ingin belajar? tanyanya pada Tu.
Tu tak menjawab. Ia mendengar suara langkah-langkah kaki di dalam bangunan itu
lalu beberapa kepala muncul di ambang pintu. Salah satunya Andui.
Tu, panggil Andui, Kau mau belajar?
Mendadak Tu merasa malu karena ketahuan telah menguping. Ia melangkah mundur.
Ia merasa seperti maling yang ketahuan sedang mengambil barang yang bukan miliknya.

Ayo, masuk, Kak Juli berkata dengan ramah. Ia menuruni tangga dan memasang
sandal. Didekatinya Tu, Kau suka belajar, Tu?
Tu kembali melangkah mundur. Anak-anak seusianya yang berdiri di ambang pintu
juga tengah menatapnya. Andui terlihat sedang menuruni tangga.
Tu? Kak Juli berkata lagi, Namamu Tu, kan? Mau bergabung bersama temantemanmu untuk belajar?
Tu menatap Kak Juli, lalu Andui, lalu anak-anak yang lain. Lalu ia teringat Momoa.
Tu?
Tidak! kata Tu kemudian sambil melangkah mundur sekali lagi, Aku cuma mau
bilang, dilarang bersiul di sini. Kau bisa menakut-nakuti roh kehidupan yang ada di
pepohonan.
Ia lalu berbalik, secepatnya berlari pergi. Melintasi jalan tanah, melintasi pepohonan.
Tu! ia mendengar seseorang berteriak.
Tu terus berlari, tak tahu apakah harus menangis atau tertawa.
Padang, 30 Juni 2005
Keterangan:
Suku Lom: adalah sebuah suku terpencil yang tinggal di Dusun Air Abik, Dusun Pejam,
Desa Gunung Muda, Kecamatan Belinyu, Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka
Belitung. Suku ini dikenal sebagai suku yang masih sangat kuat memegang kemurnian
tradisi mereka di tengah perubahan zaman. Umumnya orang-orang suku Lom mencela
hidup orang kota yang sudah kehilangan jati diri.
Kek Anta: Nenek moyang suku Lom, ia dipercaya sebagai seorang yang sakti yang
diibaratkan dapat melahirkan berbagai wujud alam di Bangka seperti batu, sungai, hutan,
gunung, dan lain-lain
Bu: nasi
Penimba Mato Kiamat: Pelindung bencana besar.
Jirat: semacam mantra untuk menjaga ladang dari pencurian.
==============================
RAMBUT GONDRONG ZUL
Boim Lebon
07:30.
Zul masih ngulet di atas kasur. Gaya nguletnya lain daripada yang lain! Kaya penari
balet lagi show, tangannya melesat ke atas, kakinya megar, terus pose beberapa detik,

baru ganti gaya lagi! Ya, begitu berulang-ulang, sampai akhirnya cowok bernama
lengkap Zulkifli itu melintir dan jatuh dari atas kasurnya!
Gedubraaak!
Aduuh! Kenapa saya ada di sini? Zul mengucek-ucek matanya yang belo dan
berbulu mata lentik, kaya mata itik. Hihihi.
Setelah menyadari bahwa dirinya barusan bermimpi terjun payung dari pesawat
hercules, cowok kelas satu aliyah itu berusaha bangun untuk langsung mandi, tidak lupa
menggosok gigi, habis mandi kutolong iiih kok jadi nyanyi?
Iiih, kenapa juga saya bisa ada di sini?
Zul melihat ke jam dinding yang tertawa.
Zul kaget.
Wow, udah siang!
Cowok yang punya berat badan 55 kg itu segera bergerak meninggalkan kamarnya
menuju kamar mandi, tapi sebelum benar-benar keluar dari kamarnya, anak yang punya
rambut panjang menjuntai nyaris melewati bahunya itu tertegun.
Dia melihat ada seseorang berdiri di hadapannya dengan wajah yang jelek banget!
Muka gembil dan rambut panjang awut-awutan. Zul kembali mengulang adegan, yaitu
mengucek-ucek matanya yang belo dan berbulu mata lentik itu. Zul menajamkan
pandangan ke arah sosok misterius. Tentu saja sambil membaca doa-doa yang
dihapalnya.
Allahumma barik lana fima rajak tana wa kina aja bannnar, eh itu sih doa mau makan,
Ya Allah doa apalagi ya?
Zul mulai panas dingin.
S-siapa dia? Makhluk halus dari mana ini? Hiiii syereeem!
Zul kembali mengucek-ucek matanya (iiih, apa nggak ada adegan lain? Dari tadi
ngucek-ngucek mata melulu!), sambil menahan napasnya dan mengamati sosok aneh bin
ajaib di hadapannya itu, dan ternyata olala, cowok yang punya pipi temben itu pun
tersadar sambil nyengir, rupanya dia sedang berdiri di depan cermin! Hihihi.
Akhirnya Zul dengan cengengesan segera masuk ke kamar mandi.
Kirain ada penampakan!
***
04:00
Sebetulnya Zul sudah bangun pada jam segitu. Shalat tahajud dua rakat, plus witir tiga
rakaat, terus berangkat ke masjid di belakang rumah. Shalat Subuh berjamaah, ikutan
talim masjid, terus balik lagi ke rumah, terus mata sepet, ya tidur lagi, deh!
Yah, Zul masuk sekolah siang, jadinya dia masih bisa tidur lagi setelah aktifitas ibadah
paginya beres.
Zul ini anak kos-kosan. Tadinya sih dia sekolah di daerah Tangerang, sekolah di SMP
Negeri, tapi karena dia ingin masuk ke sekolah agama yang bagus menurut informasi
yang dia terima, maka akhirnya dia sekolah di luar kota.
Waktu itu Zul bertemu sama Yudha, kakak kelasnya yang cerita kalo di sebuah daerah
ada sekolah SMU yang berasrama dan memiliki sejumlah mata pelajaran bagus, artinya
ada keseimbangan antara pelajaran umum dan pelajaran agamanya, bahkan kata Yudha,

banyak siswanya yang sudah hapal Quran. Zul tertarik. Dia ngomong sama ortunya dan
ortunya setuju sekallleee!
Apalagi Zul waktu itu bilang dia mau berubah jadi anak yang shaleh, nggak mau
banyak main, nggak mau naksir-naksiran lagi, pokoknya nggak mau buang-buang waktu
lagi, deh! Percuma! Nggak benar itu filosofi muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk
surga! Uh, nehi!
Tapi pas Zul daftar, di sekolah itu lagi ada renovasi, akibatnya asramanya nggak bisa
langsung dipakai. Jadinya dia kudu kos dulu. Namun begitu ia merasa tetap bisa melatih
sifat kemandirian. Misalnya dengan cara belajar bangun malam untuk shalat tahajud,
nyuci baju sendiri, masak nasi sendiri, mandi sendiri! Hihihi.
Tapi untuk bangun malam, kadang-kadang masih sering kebablasan. Apalagi kalo
malamnya dia keasyikan nonton tivi, jangankan tahajud, subuh juga suka los! Makanya
mulai sekarang dia nggak mau lagi di kamarnya ada tivi!
Pokoknya yang namanya tv tidak boleh ada di kamar lagi, harus masuk ke ruang tamu!
Lho, kok cuma pindah ke ruang tamu? Sama aja, dong! Nggak, pokoknya nggak ada lagi
yang namanya tivi, radio, cd, vcd, dvd, si didi, eh, ini kan nama kucing tetangga,
pokoknya semua harus mengungsi dari ruangan ini!
Ya, sebetulnya menurut Zul yang namanya tivi itu bisa dibilang penting nggak
penting! Dibilang penting karena suka ada informasi menarik, tapi jadi nggak penting
karena di sana masih suka ada tayangan yang bikin mata dan hati risih. Bahkan kalo
diitung-itung masih banyak yang bikin risih daripada yang berisi. Jadi ya gitu deh,
penting nggak penting, pokoknya harus ngungsi!
Yang jelas, untuk sementara tivi itu harus diparkir di dalam lemari pakaiannya, berikut
perangkat lunak lainnya. Nanti, kalo acara-acara tivi di Indonesia udah banyak yang baik
dan benar Zul akan memajangnya kembali.
Zul sudah mandi. Mencari baju di lemari bajunya yang penuh sesak dengan segala
macam barang, jadi selain ada baju, ya ada tivi yang disimpan, juga ada album foto
kenangan waktu SMP dulu.
Aduh, Zul mesem-msesem melihat foto seorang cewek cantik dalam album itu.
Maharani kamu kok cantik banget, sih? kata Zul sambil geleng-geleng kepala, ke kiri
ke kanan, ke atas ke bawah.
Dulu Zul naksir banget ama si Rani itu, bahkan sampai sering ngimpi berdampingan
dengan Maharani hingga akhir hayat. Duilee!
Tapi ketika Zul mendapat nasihat dari Yudha supaya jangan mikiriin cewek dulu, Zul
berusaha melupakan Maharani yang sebetulnya sudah mulai memberikan lampu ijo.
Udahlah Zul jangan mikirin yang begituan dulu kalo lo mau cita-cita kesampaian,
pesan Yudha.
Buat Zul, berat melupakan Maharani yang cantik, makanya ketika dia ingin pindah
sekolah ke sekolah agama yang bagus, pikirnya sekalian aja biar bisa ngelupain
Maharani, deh. Biar nggak ketemu-ketemu lagi, gitu! Abis, kalo masih ketemu susah
ngelupainnya!
Tapi untuk sementara Zul belum bisa membuang sisa-sisa foto itu, makanya sebagian
disembunyikan di lemari bajunya. Itung-itung pengganti kamper!
***

08:30!
Ini adalah hari Jumat! Saatnya untuk bersih-bersih!
Zul yang sudah mandi, langsung mau nyari barbershop! Doski mau potong bebek angsa,
eh sori, mau potong rambut!
Udah tiga bulan lebih cowok kelahiran kota industri ini nggak potong rambut sehingga
rambutnya mulai gondrong. Lagian kasihan sama kutu, jadi pusing kalau mau jalan-jalan
di kepala Zul. Juga Ustadz Hendra paling nggak suka melihat santri cowok berambut
gondrong!
Setelah rapih-jali, Zul keluar kamar untuk mencari tukang potong rambut. Ketika
melewati sebuah pusat pertokoan, Zul mampir dulu. Mau lihat-lihat dan numpang
ngadem.
Biar pun baru buka tapi pusat pertokoan itu sudah ramai. Zul melihat-lihat deretan
kemeja yang dipajang, dan tiba-tiba Zul beristigfar, karena di ujung sana nampak seorang
cewek cantik berdiri memandang ke arahnya. Zul terus ngucap sambil berusaha
menundukkan pandangan, dia nggak mau tergoda untuk melihat sosok itu.
Ya, biarpun baru beberapa bulan jadi anak sekolah agama, Zul sudah ingin kelihatan
sebagai anak santri yang hakiki. Sambil melihat-lihat ke deretan kemeja dia terus saja
menundukkan pandangan, dan ketika mendekati ke arah cewek cantik itu, Zul tanpa
sengaja melihat ke arah kakinya, lho kok menggantung? Zul kaget.
Setan? Masak sih, siang-siang ada setan?
Buru-buru Zul merapal doa-doa yang dihapalnya lagi, Allahuma barik lana, iiih, kok
doa mau makan lagi? Bismilllah Bismillah
Zul mengucek-ngucek matanya yang belo dan punya bulu mata lentik itu. Again,
ngucek-ngucek mata lagi? Abis, mau ngucek-nguce mata siapa lagi!
Akhirnya Zul memastikan sosok cewek cantik tadi oops, teryata sebuah manekin!
Zul jadi ngikik sendiri! Capek-capek udah jaga pandangan mata, taunya cuma cewek
boongan alias boneka peraga yang sengaja di pajang di sudut toko! Ih, jijay bajaj!
Setiap minggu, biasanya menjelang shalat Jumat si Zul emang suka rapih-rapih, dengan
memotong kuku tangannya, kuku kakinya dan juga kalo kerajinanan sampe ke kuku-kuku
teman-temannya. Hehehe. Eh, asal jangan motongin kuku kaki kuda aja! Disepak tau
rasa, deh, Zul!
Zul memang paling terkenal rapi-rapi. Eh, rapi itu bersih, dan bersih itu sebagian
daripada iman. Iya, kan? Tapi kadang suka kelewatan, bisa hampir semua tempat dia
rapihkan. Dari mulai kamar, terus lemari bukunya, terus kamar mandinya, dan kadangkadang kelasnya juga dirapikan, terus sandal-sandal di masjid, sandal-sandal di toko
Hihihi.
***
09:15
Di dekat pertokoan ada sebuah barbershop, dan Zul berjalan ke arah tempat itu. Tapi
penuh.
Berapa orang lagi nih, Kang? tanya Zul ke tukang potong rambut. Yang ngantri?
Ya, ada empat setengah kepala lagi, deh!

Lho, kok pake setengah, sih?


Yang satu anak kecil!
Oooh
Kalo diitung-itung setiap kepala menghabiskan waktu setengah jam, berarti bisa dua
jam lebih Zul harus menunggu giliran dipotong rambutnya.
Hm, daripada nunggu dua jam mendingan cari tempat lain, deh!
Zul memutuskan naik angkot yang melewati pasar tradisional, di sana kayanya lebih
banyak tempat untuk potong rambut.
Tapi pas sampai sana tempat itu juga penuh!
Duile, banyak banget orang mau potong rambut!
Zul melihat ke jam tangannya, menghitung-hitung, Hmm, setengah dua belas sudah
harus siap shalat jumat, nih. Jadi masih sempat mencari tempat lain.
Ya, Zul memutuskan jalan lagi untuk mencari tempat cukur yang lain.
10:30
Pas di barbershop pojokan pasar Zul menarik napas lega, karena agak mendingan, di
situ si tukang cukur cuma nyukur satu orang aja.
Berarti cuma nunggu sebentaran, nih, kata Zul seraya bersiap memasuki tempat
cukur rambut.
Tapi begitu mau masuk ke barbershop, Zul kaget bukan main. Dia melihat Maharani!
Dia langsung mengucek-ngucek matanya yang belo dan punya bulu mata lentik itu. Kali
ini nggak cuma sekali mengucek, bahkan sampai pake so clean segala biar pandangan
matanya jadi is the best!
Eh, nggak salah lihat, nih?
Eh, Zul? ujar si Rani.
R-ante eh kok rante, R-ranii?
Kok kamu di sini? tanya Maharani lagi.
Saya kan sekarang sekolah di sini, mondok di sini, kamu sendiri ngapain di sini?
tanya Zul masih nggak percaya.
Lagi ke rumah nenek. Dia sakit jadi sekeluarga pada nengokin. Iiih, gak nyangka ya
bisa ketemu di sini, ujar Rani kelihatan senang bertemu Zul.
Eh, i-iya, kata Zul mulai deg-degan.
Udah lama juga ya nggak ketemu, sejak lulus sampe sekarang. Lama juga ya?
Iya, hampir setengah tahun.
Eh, kamu gemukan, deh! komentar Maharani lagi. Makan melulu ya?
Zul nyengir. Pantesan aja yang diingatnya cuma doa mau makan!
Di sini udaranya kan masih bersih, jawab Zul memberi alasan kenapa badannya
tumbuh subur.
Terus kamu ngapain?
M-mau potong rambut...
Potong rambut? Kayanya kamu bagusan gondrong, gitu. Manglingin tau. Aku aja tadi
nggak tau kalo itu kamu.
Ooh, gitu ya? idung Zul kembang-kempis.
11:30

Sebelum azan berkumandang Zul sudah ada di masjid sekolahan, untuk shalat Jumat
berjamaah.
Hei, Zul, rambut kamu masih gondrong? Ntar ditegur Ustad Hendra lho! kata
Ridwan yang menggelar sajadah di samping Zul.
Iya, nih, mungkin besok kali baru gue mau potong. Abis, abis
Abis kenapa?
Ah, abis abis...
Zul nggak berani meneruskan kata-katanya hanya dalam hatinya dia bertekad, untuk
menjadi calon santri yang baik, harus mampu mengenyahkan godaan, termasuk godaan
dari sang cewek pujaan yang tiba-tiba saja muncul di sebuah kota yang berjarak sekitar
300 kilo meter dari kota asalnya itu!
Abis jumatan deh, baru potong... kata Zul lagi.
Lho, kan sunahnya sebelum Jumatan rapih-rapih, bersih-bersih
Zul cuma nyengir.
***
16:45
Zul bertekad potong rambut!
Habis shalat Ashar, kebetulan jam terakhir kosong, Zul kembali mencari barber shop.
Tapi anehnya Zul mendatangi tempat cukur di mana dia bertemu dengan Maharani tadi.
Kayanya nyukur di sini enak, deh! Adem, kata Zul beralasan.
Atau Zul masih berharap ketemu lagi dengan cewek cantik mantan incerannya di SMP
dulu?
Ah, nggak! Ini baru salah satu godaan, pokoknya saya harus potong rambut! Apapun
yang terjadi! Niatnya potong rambut. Biar kelihatan rapih dan bersih! Titik! Nggak ada
niat-niat lain! Titik. Tapi kalo dia nongol lagi, gimana? Koma
Mau dipotong model apa nih? tanya tukang cukur mengingatkan Zul yang bengong.
Eh, potong pendek Kang!
Sepuluh senti, lima senti?
Satu senti!
Botak dong?
Tak lama, rambut Zul sudah hampir lenyap dipangkas pisau cukur. Tersisa sedikit. Zul
kelihatan lebih segar, karena kepalanya yang punya satu pitak itu kelihatan lebih cerah
dan bercahaya, apalagi kalo berdiri di bawah lampu neon!
Masa bodo, kalo ntar ketemu Maharani lagi dan dia bilang suka rambut gondrong
masa bodo! Rambut gue sekarang botak dan itulah gue!
Eh, pas keluar dari barbershop anehnya Maharani lewat lagi. Tentu saja Zul kaget lagi,
tapi kali ini dia nggak perlu ngucek-ngucek mata lagi. Nanti terlalu banyak pengulangan
adegan!
Eh, kok ketemu lagi, sih? Jadi sepeti kebetulan, deh! tegur Zul ke Rani.
Iya, kaya di sinetron-sinetron! jawab Maharani menimpali. Tadi siang belanja tapi
masih ada yang kurang, terus disuruh ke sini lagi, deh. Lha, kamu juga ngapain lagi di
sini?
"Potong rambut! kata Zul menjawab dengan mantap.

Ow, pantesan, kamu jadi kelihatan botski begitu? Aduuuh bagus banget! Jadi
keliatan rapih!
Lha, tadi kamu bilang suka cowok rambut gondrong?
Oh, saya sih melihat cowok rambut gondrong suka, melihat cowok rambutnya botak
juga suka
Hah, Zul jadi bingung. Tapi kini tekadnya sudah bulat, Tapi sori, saya harus cepat
pulang, karena menjelang magrib ada talim!.
Cepat pulang? Iih, kayaknya lagunya slank aja. Eh, tapi aku paling suka deh sama
cowok yang hobi talim!
Hah?
Boleh ikutan talim, Zul?
Eh nggak, nggak boleh ini talim khusus santri! jelas Zul. Khusus anak-sanak
sekolahan aja!
Ikut pulang bareng, deh! Kita kan satu arah. Rumah nenekku di belakang sekolahan
kamu lho, ternyata!
Eh jangan!
Dulu kamu paling sering ngajakin pulang bareng. Kamu kok sekarang berubah, deh!
Eh iya, eh nggak, eh iya, ehenggak, eh iya gue udah berubah, eh nggak kok! G-gue
masih seperti yang dulu, yuk kita pulang bareng
Maharani tersenyum.
Tapi ketika hendak melangkah menggandeng tangan Rani, kaki Zul tersandung badan
trotoar. Dia terjatuh! Gedubraaak!
Eh, di mana nih? Zul mengucek-ngucek matanya yang belo dan punya bulu mata
lentik itu sambil melihat ke sekelilingnya. Lho, Maharani mana?
Hei suara apa, itu? teriak suara bariton dari arah depan.
Tak ada jawaban, yang ada hanya cekikikan anak-anak sekelas!
Zul, kenapa kamu? Ya, ampun tidur lagi!
Astagfirullah, j-jadi, j-jadi saya m-mimpi? Alhamdulilllaaaah! teriak Zul dari
bangkunya!
Hei, Zul, bentak Ustadz Hendra dari depan kelas, kamu ngigo ya? Di kelas kok
bisa tertidur? Cepat bangun dan cuci muka sana!
Eh iya, Pak
Hei Zul, tahan ustad Hendra, kenapa rambutmu belum dipotong?
Eh, nanti pulang pulang sekolah jawab Zul dengan cepat ngeloyor keluar kelas.
Sementara tawa cekikikan anak sekelas belum juga mereda. Hihihi.
Muharam 1426 H
====================
SLAMET, HEPY, DAN TAHUN BARU
Iyus
Pagi tahun baru 2006 di rumah Erdin dibuka dengan kehebohan. Pasalnya, Mami
mencak-mencak ketika masuk ke kamar mandi tercium aroma jengkol yang menyengat.

Erdin, Zef, Atiee!!! teriak Mami dengan histeris, mengingatkan orang pada
jurus Auman Singa di film Kungfu Hustle-nya Stephen Cow.
Erdin yang lagi berskiping ria, buru-buru berlari ke arah si empunya suara. Bang Zef
yang masih gosok gigi langsung mencelat keluar dari kamar mandi. Sementara Mpok
Atie yang asyik memupuri mukanya, spontan ngibrit menuju asal suara.
Ada apa sih, Mi?? tanya Erdin, Bang Zef, dan Mpok Atie bareng-bareng, kayak
keluar dari satu tenggorokan.
Siapa yang pipis dengan aroma jengkol ini?! tanya Mami dengan gaya interogator.
Ketiga kakak beradik itu serentak mengendus-ngendus aroma yang dimaksud Mami.
Hmmjengkol jenis apa nih? tanya Erdin sambil terus mengendus.
Kayaknya semur jengkol nih sahut Bang Zef.
Ah, bukan. Ini mah kerupuk jengkol, ralat Mpok Atie.
Kalian ini apa sih?! sergah Mami sambil melotot. Mami tanya siapa yang pipis
dengan aroma jengkol ini, bukan identifikasi jenis jengkolnya!
HmmMami baru nyadar ya? tanya Bang Zef. Fenomena ini kan muncul sejak si
Slamet numpang di rumah kita.
Iya, Mi, timpal Mpok Atie. Mami ingat nggak, kemaren kamar mandi kita beraroma
apa? Pete kan? Itu karena dia habis makan pete dua papan.
Ya Allah, Slamet! pekik Mami. Aduh, gimana caranya menghilangkan aroma jengkol
ini ya?
Tenang, Mi, sahut Erdin dengan gayanya yang tengil. Menghilangkan aroma
jengkol ini sangat mudah.
Caranya? tanya peserta yang hadir.
Caranya, nanti kalo Slamet datang, kita suruh dia makan pete yang banyak, karena
aroma pete dapat menghilangkan aroma jengkol yang menyengat.
Lha, nanti kan jadi bau pete? protes Mpok Atie.
Jangan panik! Untuk menghilangkan bau pete, caranya juga sangat mudah.
Gimana caranya? tanya semua orang.

Suruh si Slamet makan jengkol lebih banyak lagi, karena aroma jengkol dapat
menghilangkan aroma pete yang menyengat.
Bang Zef siap memoles kepala Erdin, tapi si empunya kepala buru-buru kabur ke
depan untuk melanjutkan skipingnya. Pas Erdin membuka pintu, Slamet muncul. Erdin
hampir nabrak cowok jangkung itu.
Eh, Met, kamu dicari Mami tuh, sambut Erdin.
Ada apa?
Soal jengkol!
Jengkol? Ada apa dengan jengkol?
Erdin ngangkat bahu. Slamet ngoloyor ke dalam. Mami yang masih uring-uringan
langsung mendampratnya.
Slamet, kamu kalo makan jengkol jangan pipis di sini! rutuk Mami.
Lha, jadi saya harus pipis di mana, Tante? tanya Slamet dengan wajah lugu.
Di terminal sana! sungut Mami. Kamu tahu nggak sih, di rumah ini nggak ada
orang yang doyan jengkol.
Habis, saya bingung harus makan apa, Tante. Sekarang kan lagi musim makanan
mengandung formalin. Daripada saya kena penyakit, saya makan jengkol aja yang bebas
formalin. Lagian kan jengkol mengandung vitamin B, A, dan U yang tinggi, Tante.
Vitamin B, A, dan ..?
Iya, Tante... jawab Slamet, kalem. Vitamin B..A..U...
Itulah segelintir masalah yang dihadapi keluarga Erdin di tahun baru. Slamet yang jadi
trouble maker itu datang persis subuh-subuh di malam tahun baru kemarin. Katanya dia
habis ikut pawai tiup terompet sama teman-teman sekampungnya di monas. Sambil niup
terompet yang bikin kuping kriting, cowok itu melas-melas supaya diizinkan numpang
tidur di rumah Erdin.
Please dong, Tante, rumah saya lagi kena banjir tahunan. Saya kan nggak mungkin
tidur di emperan toko. Tahun baru gitu loh, Tante...
Kamu ini! Udah tahu rumah kebanjiran malah ikut pawai tahun baruan! semprot
Mami. Memangnya dengan niup terompet banjir di rumah kamu itu bakal surut?

Ya, nggak sih, Tante, sahut Slamet. Kan nggak perlu niup terompet banjirnya juga
lama-lama surut sendiri.
Sambil menahan dongkol, Mami akhirnya mengizinkan Slamet untuk nginap di
rumahnya. Kedongkolan Mami memang ada alasannya. Terbukti, besoknya, pagi-pagi
buta, dari kamar Slamet melengking lagu dangdut yang digeber dengan volume tinggi.
Aku bukan pengemis cintaaaa......!
Mami yang lagi tadarusan di kamarnya langsung syok.
Slameeet...! Mami menahan gemeletuk giginya sambil keluar lalu menggedor pintu
kamar Slamet.
Slamet, buka pintunya! teriak Mami.
Pintu terbuka, kepala Slamet nongol. Terasa hempasan angin diikuti raungan musik
dangdut yang keluar dari kamar Slamet.
Ada apa, Tante? tanyanya tanpa dosa.
Kamu sadar nggak ini jam berapa?
Emang kenapa, Tante?
Emang kenapa? Mami melotot. Kamu pikir apa yang biasa dilakukan orang pagipagi buta begini?
Tidur lagi. Tapi, saya lagi senam aerobik, Tante. Tante mau ikut? Sini ke dalam,
Tante!
Mami sudah tak sanggup lagi. MATIKAN MUSIKNYAAAA.....!
Jurus Auman Singa lagi. Dan Slamet langsung mencelat ke dalam, lalu raungan musik
dangdut itu pun mati seketika.
***
SELAMAT TAHUN BARU 2006. Triple-E membaca spanduk gede yang terpampang
di pintu masuk RSJ Mendingan Waras itu.
Jadi, sekarang mami kamu selalu mengeluarkan jurus Auman Singa setiap marah
sama sesuatu? tanya Evita, ngomentarin cerita tentang si Slamet yang heboh.
Tadinya ogut khawatir itu jadi kebiasaan baru Mami dalam rangka mengisi tahun baru
2006 ini, sahut Erdin. Tapi, pas si Slamet udah balik lagi ke rumahnya, Mami udah
nggak teriak-teriak lagi tuh.

Berarti nasib kita masih lebih baik, Ta, timpal Eddy. Di tahun baru ini kita juga lagi
kedatangan tamu, Din. Hepy namanya. Dia anak kakaknya Bibi Maryam yang lagi tugas
di Jakarta.
Gimana orangnya? Rese kayak si Slamet nggak?
Untungnya nggak. Semua kebiasaannya normal-normal aja.
Cuma, timpal Evita. Narsisnya itu nggak ketulungan. Setiap hari dia ngebanggabanggain soal kehebatan prestasi kerjanya melulu. Pegawai teladan-lah, the rising starlah, pokoknya bikin bete deh!
Wah, itu bagus. Berarti si Hepy itu orangnya kreatif dan inovatif.
Iya sih. Cuma kadang-kadang ngenyeknya itu bikin kuping panas. Abis, dia selalu
ngebandingin pekerjaannya dengan pekerjaan kita di Wistang.
Slamet, pasien RSJ yang masih suka angot, muncul sambil menjinjing kantong semen
berisi sesuatu. Di belakang Slamet, Pak Munadi berjalan membuntuti dengan muka
curiga.
Hei, Slamet, bawa apa kamu? teriak Pak Munadi.
Slamet cengar-cengir di tempatnya. Ini Apel...!
Slamet menunjukkan bungkusan kantong semen berisi tikus hasil buruannya yang
bergerak-gerak.
Kamu jangan macam-macam ya, Met. Di sini dilarang piara binatang! Awas kamu
kalau ketahuan bawa binatang.
Pak Munadi pergi sambil menggerutu. Triple-E menghampiri Slamet.
Eh, Met, tikus jenis apa yang berhasil kamu tangkep? tanya Eddy.
Ini Apel! sahut Slamet dengan sengit.
Coba sini saya lihat! Erdin mengambil kantong semen dari tangan Slamet lalu
membukanya. Dua ekor tikus di dalamnya langsung berlompatan.
Nah, ini tikus kan? Kamu bilang ini apel? Gimana sih kamu? sungut Evita.
Iya...ini memang tikus, tapi saya kasih nama Apel!
Triple-E geleng-geleng kepala, lalu ngeloyor menuju ruang Om Probo.

Di tahun baru ini, Om ingin membuat program yang mengarahkan pasien untuk
berpikir secara ilmiah. Harapan Om, pasien yang sudah mulai sembuh bisa menggunakan
kembali nalarnya dengan baik.
Apa nama programnya, Om?
Lomba berpikir ilmiah. Tapi, pasien nggak perlu harus membuat percobaan. Yang
penting mereka punya ide untuk kita nilai ilmiah atau tidak.
Ide Om Probo itu digelar dua hari kemudian.
Kamu punya ide ilmiah apa? tanya Om Probo kepada seorang pasien yang asyik
mengunyah makanan.
Ini hasil penelitian dadakan, baru aja saya lakukan.
Apa hasil penelitian kamu?
Menggabungkan dua jenis tanaman yang berbeda spesiesnya. Saya rasa ini pasti
berhasil.
Oh ya? Om Probo, antusias. Apa dua jenis tanaman itu?
Kelapa dan singkong.
Om Probo berpikir sebentar. Apa yang terjadi dengan kedua tanaman itu?
Jadi getuk, sahut si pasien sambil menunjukkan makanan di tangannya.
Sementara itu Triple-E sedang menghadapi Dulkamdi dan Jonted yang terlibat perang
mulut.
Kenapa kalian berantem? tanya Erdin.
Dia ngatain saya kambing kurap! teriak Dulkamdi setengah menangis. Saya kan
selebritis!
Lho, saya cuma bilang, Selamat Tahun Baru, Kambing Kurap!. Emang itu salah?
balas Jonted nggak mau kalah.
Jelas salah, sahut Eddy. Soalnya teman kamu ini bukan kambing, apalagi kambing
kurap. Dia ini selebritis...
Kamu harus minta maaf sama dia, kata Evita. Bilang, Selamat Tahun Baru,
Selebritis. Ayo!

Ntar dulu. Saya mau tanya, kata Jonted. Kalau saya nggak boleh ngatain selebritis
sebagai kambing kurap, boleh nggak saya ngatain kambing kurap sebagai selebritis?
Triple-E berpikir sebentar.
Boleh! jawab Erdin mantap. Boleh banget. Ayo lakukan!
Asal kambing kurap itu nggak tersinggung aja, timpal Eddy.
Terima kasih kalo begitu, ucap Jonted. Habis gitu dia ngomong keras-keras ke arah
Dulkamdi, Selamat Tahun Baru, Selebritis!
Dulkamdi tersenyum senang. Triple-E kelihatan lega karena berhasil mendamaikan
dua pasien itu. Sementara Jonted ngoloyor sambil nyengir penuh kemenangan.
Ah, kena kita dikadalin si Jonted! cetus Evita.
Iya, ogut juga baru sadar... Erdin menyahut dengan lesu.
Jadi...tetap saja si Dulkamdi itu kambing kurap kan...? tanya Eddy, sambil
memanyunkan bibirnya.
***
Di rumah Eddy, keluarga Bibi Maryam sedang membicarakan soal Hepy, keponakan
Paman Yadi yang numpang tinggal buat ngurus kenaikan jabatannya di kantor cabang
Jakarta.
Kalian contoh tuh si Hepy, cetus Bibi Maryam. Kerja baru satu tahun, dia sudah
mau diangkat jadi kepala cabang Jakarta. Hebat nggak tuh?
Satu tahun? Eddy bertanya sambil ngemil combro. Gimana bisa? Kalo nggak
nyogok, pasti ada main tuh si Hepy.
Buruk sangka deh! sungut Bibi. Ingat ya, sirik itu tanda tak mampu.
Bukan sirik, Bi, ralat Evita. Eddy cuma curiga. Kepala Cabang itu kan jabatan
tertinggi di kantor cabang. Masa sih bisa didapat cuma dalam jangka satu tahun?
Ogut baru percaya kalo si Hepy itu kerja di ABTI.
ABTI? tanya Bibi Maryam. Apa itu?
Asosiasi Bandar Togel Indonesia...
Ah, kamu! sergah Bibi, sebel. Kalo sirik bilang aja sirik!

Tahu-tahu yang diomongin nongol. Hepy muncul dari pintu gerbang diapit sama Bang
Zambronx yang pake seragam polisi! Triple-E langsung melotot. Bang Zambronx preman
jalanan jadi polisi?
Hai! sapa Hepy dengan riang. Lagi pada ngobrolin apaan nih?
Nggak, lagi kaget aja ngelihat gandengan kamu.
Oh ya? Kenalin nih. Bang Zambronx...
Kamu ngapain juga, Bronx, pake pakaian polisi? Kamu kan preman?
Biarin. Polisi aja boleh pake pakaian preman, kenapa preman nggak boleh pake
pakaian polisi?
Evita menarik tangan Hepy sambil berbisik, Ngapain juga kamu bergaul sama
Zambronx? Kamu kan cewek baik-baik, Py!
Ih, biarin aja. Bang Zambronx kan juga preman baik-baik.
Kamu jangan ngeyel ya, Py! Kamu anak baru di sini. Aku tuh tahu banget gimana
kelakuan Zambronx.
Aku cuma berteman kok. Lagian Bang Zambronx tuh orangnya baik, suka nolong aku
kalo lagi digangguin sama cowok-cowok norak di sini.
Evita cuma bisa geleng kepala. Hepy nggak bisa dikasih tahu kalau Zambronx itu BD
yang paling dicari sama polisi berpakaian preman. Dia itu bukan cuma BD narkoba, tapi
juga BD togel.
Abang balik dulu ya, Py, kata Zambronx sambil melambaikan tangan. Kalo kamu
dapat masalah sama cowok-cowok di sini, jangan ragu-ragu buat ngontak Abang.
Daag..!
Hepy balas berdaag ria. Eddy dan Evita saling pandang sambil tersenyum sepet.
Eh, Bi, besok aku menghadap direktur utama buat ngomongin soal pengangkatan aku
jadi kepala cabang Jakarta. Bibi mau nggak nganterin aku?
Ah, Bibi malu, Py, sahut Bibi Maryam. Ajak Eddy dan Evita aja tuh. Biar mereka
bisa belajar sama kamu, gimana caranya mengukir prestasi kayak kamu.
Boleh, jawab Hepy sambil melihat Eddy dan Evita dengan pandangan nyebelin,
asal mereka nggak bikin bete aja.

Besok paginya, Hepy sudah melenggang di kantornya dengan lagak tengil yang nggak
ketulungan. Apalagi di kanan dan kirinya berjalan Eddy dan Evita dengan wajah manyun.
Pikiran Hepy, orang pasti menganggap dua saudaranya itu bodyguard sewaannya.
Kalian tunggu di sini ya! perintah Hepy. Aku mau menghadap dirut yang udah
nggak sabar buat ngangkat aku jadi kepala cabang di sini.
Eddy dan Evita cuma bisa menatap Hepy dengan sinis campur pasrah. Hepy
melangkah dengan gagah gemulai menuju ruangan dengan pintu bertuliskan Dont
Disturb! Dirut Gitu Lohh..!
Kepala cabang? gerutu Eddy. Huh, amit-amit cabang bayi...!
Paling urusannya dari Cabang sampai Merauke... sahut Evita.
Sementara di dalam ruang dirut, Hepy duduk dengan khusyuk, menunggu detik-detik
dirut mengeluarkan suara emasnya yang berisi persetujuan pengangkatan dirinya sebagai
kepala cabang.
Hepy... akhirnya setelah ditunggu lama, terdengar juga suara dirut. kamu sudah satu
tahun bekerja di perusahaan ini. Mulai dari jadi SPG (Sales Promotion Girl), lalu STM
(Sales Ter-Manja), dan terakhir SMA (Sales Minta Ampun). Hari ini saya telah
memutuskan untuk mengangkat kamu menjadi kepala cabang Jakarta.
Hepy kelihatan senang bukan main, wajahnya bercabang-cabang...senang, bahagia,
bangga, dan senang lagi.
Nah, apa pendapat kamu tentang keputusan saya ini, Hepy? tanya sang dirut.
Terima kasih... suara Hepy terdengar pelan.
Terima kasih? Cuma terima kasih yang bisa kamu lakukan?
Iya deh iya...terima kasih atas semua kebaikan Papi selama ini kepada Hepy...
Eddy dan Evita yang diam-diam mengintip adegan itu, nggak tahan untuk nggak
ketawa. Dasar si Hepy Anak Papi! ***
========================
Onengan
Hanan Novianti
Perjalanan terasa amat panjang, padahal jam baru menunjukkan pukul 1.15 siang.
setengah jam sejak aku naik becak ini. Sinar matahari begitu terik, membuat peluh dan
dahaga. Atap becak yang melindungi seolah tidak sanggup menahan pancarannya. Aku
berpikir tentang bapak si tukang becak. Luar biasa semangatnya mencari nafkah. Terik

matahari seperti bukan halangan baginya untuk terus mengayuh. Mengayuh pedalnya,
mengayuh hidupnya.
Aku melirik ke sebelahku, Mbak Narti. Sejak menjemputku tadi di terminal ia tidak
banyak bicara. Masih jauh ya, Mbak? tanyaku memulai pembicaraan.
Ndak, kok. Sebentar lagi. Habis ini kita masuk ke gang yang di sebelah sana itu.
Kamu udah ndak sabar, ya?
Sebentar lagi itu ternyata masih setengah jam lagi. Setelah kami masuk ke gang kecil,
kami masih harus belok kanan, belok kiri, belok kanan lagi... Lalu berhentilah kami di
depan sebuah rumah besar berpagar kayu setinggi pinggang. Ada pohon jambu dan
mangga di pekarangannya. Beberapa ekor ayam bertengger di atas pintu pagar. Rumah
itu kelihatan apik, bersih. Aku menarik napas lega. Akhirnya sampai juga.
Iki, Pak, perjalanan tadi kami bayar dengan lima ribu rupiah saja. Di daerahku, tidak
mungkin dibayar segitu. Aku menunggu sampai Mbak Narti masuk ke pekarangan, lalu
kuberikan uang tambahan kepada tukang becak itu. Dia tersenyum. Matur nuwun,
ujarnya.
Aku mengikuti Mbak Narti masuk ke pekarangan. Ayam-ayam yang tadi bertenggeran
di pintu pagar kini asyik mematuk-matuk tanah.
Dikasih lima ribu juga dia mau. Biasanya juga segitu, ternyata Mbak Narti tahu aku
memberi tambahan uang ke bapak tukang becak.
Habis kasihan, Mbak. Panas-panas begini narik becak. Jauh, lagi.
Ya, memang pekerjaannya begitu. Sudah resiko. Tapi kamu ini murah hati. Seperti
Mbah-mu.
Mbak Narti kemudian mengetuk pintu. Kula nuwun...
Tidak berapa lama keluar seorang perempuan seusiaku. Ketika dia melihat Mbak Narti,
wajahnya langsung sumringah. Oalah... Mbak Narti. Tak kira sopo. Perempuan itu
melihat ke arahku. Mbak Ima, ya? Monggo. monggo, masuk. Sudah ditunggu Mbah
Batik.
Kami pun masuk ke dalam rumah, duduk di atas kursi kayu berukir.
Kalau di sini, Mbah Sumi dipanggil Mbah Batik, celetuk Mbak Narti. Aku cuma
mengangguk seraya tersenyum tipis.
Aku merasa jantungku berdetak semakin kencang. Tanganku berkeringat. Pertemuan
ini adalah pertemuan pertama sejak 12 tahun yang lalu. Mbah Sumi datang ke rumah
dengan mengenakan kebaya dan kain batik. Sanggulnya besar. Tusuk kondenya juga tak

kalah besar. Sosok Mbah Sumi saat itu amat asing dan aneh bagiku. Di rumah ia tinggal
di kamar belakang. Menjelang Isya, saat aku baru selesai mengaji bersama Ibu, Mbah
Sumi selalu menyanyikan lagu-lagu aneh. Tembang Jawa. Tapi aku sangat tidak suka
nyanyiannya. Aneh. Ketika itu, hampir tak ada yang aku suka darinya. Aku tak suka
bajunya, sanggulnya yang besar, aku tak suka bau parfumnya. Jika Mbah Sumi minta
dipeluk aku tak pernah mau. Namun Mbah Sumi seakan tak peduli akan sikapku waktu
itu. Ia selalu menunjukkan rasa sayangnya padaku. Dia tetap senang memangkuku,
memberiku baju-baju kebaya kecil buatannya sendiri, menciumku (yang sering kali
kutolak), bahkan menceritakan dongeng sebelum tidur.
Sampai suatu ketika.
Di sekolah, aku baru saja belajar surat Al Kafirun. Aku pulang dari sekolah, dengan
hapalan surat yang masih terngiang-ngiang di kepala. Ah, aku tak sabar menunjukkan
pada orang-orang di rumah bahwa aku sudah hapal surat Al Kafirun dengan
terjemahannya. Aku masuk ke dalam rumah. Assalamualaikum...
Tak ada jawaban, tapi ada Mbah yang duduk di kursi makan sambil menyulam. Eh...
sudah pulang to, Nduk?
Aku mencium tangan Mbah. Sebenarnya aku lebih berharap bisa menunjukkan hasil
hapalanku ke Ibu, tapi aku terlalu tak sabar untuk bercerita. Akhirnya aku bercerita ke
Mbah Sumi.
Mbah, tadi aku belajar surat Al Kafirun. Sekarang aku udah hapal. Mbah Sumi
dengerin, ya... aku bersemangat sekali. Kulafalkan surat itu dengan artinya. Mbah hanya
mendengarnya, tersenyum lalu terdiam. Kemudian ia meneruskan menyulam.
Bener kan, Mbah? Mbah kok diem aja? Mbah nggak dengerin aku, ya? aku protes
karena Mbah Sumi tidak berkomentar apa-apa.
Mbah menjawab sambil terus menyulam. Mbak ndak tahu, Nduk. Mbah ndak hapal.
Aku kecewa dengan reaksi Mbah yang biasa saja. Ih, Mbah kok nggak hapal, sih...
Mbah kan udah gede...
Tak ada reaksi dari Mbah. Kemudian ia berkata, Makan dulu, Nduk. Mbah tadi bikin
ayam goreng buat kamu.
Masih kesal dengan Mbah, aku hanya menjawab. Nggak mau! Aku mau shalat dulu.
karena terbiasa shalat berjamaah, aku bertanya ke Mbah, Mbah, shalat jama'ah, yuk.
Mbah jadi imam, ya?
Mbah kembali hanya menatapku. Kamu dulu aja, Nduk.
Ayo dong, Mbah... nanti kan kalo shalat jamaah, pahalanya jadi 27...

Mbah ndak bisa shalat, Nduk...


Iih... masa' Mbah nggak bisa shalat juga... Mbah kan udah gede...
Nduk, Mbah berhenti menyulam dan mengusap kepalaku. Nduk, Mbak ndak bisa
karena Mbah ndak pernah diajari. Agama Mbah beda sama agama kamu.
Mbah bukan orang Islam? aku cukup terkejut mendengar perkataan Mbah. Lalu,
kata-kata itu keluar begitu saja...
Berarti Mbah orang kafir, dong? Ih, Mbah orang kafir!
Astaghfirullah al'adzim....
Ada hati yang telah robek. Ada luka yang menganga. Mungkin. Dan luka itu
barangkali telah menganga sekian lama. Setelah beberapa tahun aku baru sadar bahwa
perkataanku itu bisa saja menyakiti Mbah, walaupun itu hanya celetukan spontan seorang
anak berusia 8 tahun. Dua hari setelah kejadian itu Mbah pulang ke Solo. Sejak itu, aku
tidak pernah bertemu Mbah lagi...
Ima, ayo! Kita ke belakang. Ketemu Mbah di belakang. Kok malah bengong, to?
Mbak Narti mengajakku.
Kami tiba di pekarangan belakang rumah yang ternyata sangat luas. Ada sebuah
pendopo yang terpisah dari rumah utama. beberapa orang terlihat sedang membatik di
pendopo itu. Di samping pendopo, terlihat kain-kain batik sedang dijemur. Seseorang
berjalan tergopoh-gopoh dari balik kain-kain batik itu.
Mbah Sumi.
Dia berjalan cepat, mengangkat kain batiknya, menghampiriku. memelukku.
Oalah... cucuku... Iqlima cucuku. Duh, Gusti... sudah besar sekali kamu, Nduk... duh,
Cah Ayu.. ayu tenan, Mbah tak henti-hentinya menciumku, membelai kepalaku, sampaisampai posisi jilbabku bergeser. Ayo, duduk. Mbah mengajakku duduk di sebuah kursi
bambu, di bawah pohon kecapi yang menjulang tinggi.
Kamu sendirian, Nduk? Kukira adikmu ikut. Sopo nama adikmu itu? Mbah lupa,
sopo, ya... tak inget-inget...
Nabil...
Iya, iya. Nabil. Ndak diajak?
Nggak, Mbah. Nabil lagi ada ujian.
Setelah itu kami berbincang-bincang sebentar. Tidak. Sebenarnya Mbah lah yang lebih
banyak bercerita. Aku lebih banyak diam. Mbak Narti yang tadi ikut bersamaku ke
belakang, kini sedang asyik mengobrol dengan beberapa perempuan di pendopo, sambil

mencermati kain-kain yang sedang dibuat. Mbah Sumi bercerita tentang kegelisahannya
menanti-nanti kedatanganku. Bagaimana dia selama berhari-hari sibuk membuatkan
kebaya untukku, dan beberapa lembar kain batik khusus untukku.
Oalah, aku kebanyakan cerita. Yo, wis. Kamu bersih-bersih dulu. Seger-seger dulu,
Mbah kemudian memanggil perempuan yang membuka pintu tadi. Ning... Ningsih...
kemari! Tolong bantu Mbakmu ini bawa barang-barangnya ke kamar.
Aku merebahkan diri di atas tempat tidur. Memejamkan mata. Mengistirahatkan
tubuhku yang terasa sangat lelah. Sebenarnya aku enggan datang ke Solo. Namun setelah
Bapak meninggal, Mbah Sumi terus mengirim telegram, memintaku untuk datang ke sini.
Mbah Sumi sendiri tidak bisa melayat, karena tidak bisa melakukan perjalanan jauh.
Sejak keberangkatanku semalam, aku terus bertanya-tanya apa alasan Mbah Sumi
memintaku datang ke kota ini.
Usai shalat ashar, Ningsih memanggilku dari balik tirai kamar. Mbak... Mbak Ima,
dipanggil Mbah Batik, diminta ke pendopo.
Iya, Ning. Sebentar lagi aku ke pendopo, aku meneruskan membaca Al Ma'tsurat
sebentar. Berganti pakaian dan jilbab, kemudian bergegas ke belakang.
Iki, lho Nduk... Batik yang Mbah bikinin buat kamu, tukas Mbah saat aku tiba di
pendopo. Batik itu berwarna putih-coklat krem, dengan motif kotak dan hiasan di
tengahnya. Terus ini kebayanya. Pas, kan? Mbah mengepaskan baju itu.
Aku memperhatikan kebaya itu. Kayaknya... agak tipis dan sempit ya buatku,
Mbah...? Astaghfirullah, kenapa aku mesti ngomong gitu? Kenapa aku tidak diam saja
dan menerima kebaya itu? Duh, aku keceplosan ngomong....
Lalu Mbah terdiam sebentar. Oalah, aku lupa. Kamu kan pake jilbab.
Aku juga terdiam sambil mengamati kebaya di tangan Mbah. Aduh, suasana jadi tidak
enak. Terbayang lagi kenangan 12 tahun yang lalu....
Mbah Sumi tidak bicara apa-apa lagi soal kebaya itu. Aku juga tak bicara apa-apa lagi
soal kebaya itu. Bahkan kami tidak bicara apa-apa pun lagi setelah itu. Hanya mengamati
para perempuan yang sedang meniup cantingnya agar lilin dalam canting tidak membeku.
Seandainya mereka bisa mencairkan kebekuan antara aku dan Mbah. Alhamdulillah, hal
itu tak berlangsung lama. Seorang pria memanggil Mbah, mengatakan bahwa di depan
ada tamu yang mencari Mbah.
Sebentar ya, aku tak ke depan dulu, ujar Mbah yang dibalas dengan anggukanku.
Aku duduk sendiri di atas bangku kayu, memperhatikan para pembatik di pendopo. Aku
menghampiri mereka, mengamati lebih dekat bagaimana cara mereka membuat kain
batik yang indah-indah itu. Sebenarnya aku ingin berbincang-bincang banyak dengan

mereka semua. Tapi aku tak bisa bahasa Jawa. Lagipula, aku takut mengganggu mereka.
Akhirnya aku cukup puas mengamati dan mengagumi hasil kerja mereka.
Membatik itu bukan cuma keahlian yang diperlukan... tapi juga rasa, kebijaksanaan,
pengalaman, ketulusan... seorang perempuan keluar dari balik pintu bagian dalam
pendopo.
Bude Inggit! Alhamdulillah... dari sekian banyak wajah asing di sini, akhirnya ada
seorang yang kukenal. Bude Inggit adalah sepupu Bapakku. Ia pernah beberapa kali
datang ke rumah. Ke Jakarta. Pertama kali ketika aku berumur 9 tahun. Bude Inggit
membantu menjagaku saat Ibu melahirkan adikku, Nabil. Saat melahirkan Nabil, Ibu
meninggal. Selama beberapa waktu Bude Inggit yang mengurusku. Dia amat baik.
Tentunya ukuran 'baik' bagiku saat itu adalah karena ia tidak pernah memarahiku dan
suka membelikanku es krim. Makanan yang sangat dilarang oleh ibu. Terakhir Bude
Inggit datang ketika pemakaman Bapak. Tapi itu tak lama. Ia langsung pulang ke Solo
karena harus mengurus suaminya yang juga sedang sakit.
Bude Inggit...! Kok nggak bilang-bilang kalo' Bude ada di sini?
Kamu yang ndak bilang kalo ada di sini. Tadi Ningsih bilang, ada tamu dari Jakarta.
Ternyata kamu. Gimana? Apa kabar Cah Ayu?"
Baik. Baik, Bude. Cuma masih capek aja. Alhamdulillah banget... Untung ada bude.
Ima bingung. Di sini nggak ada yang Ima kenal.
Lho, kan ada Mbah Sumi...
Seandainya Bude Inggit tahu bagaimana hubunganku dengan Mbah Sumi....
Dengan Bude Inggit, tak ada kebekuan yang terjadi Yang ada kehangatan. Bude Inggit
juga membantu menjadi penerjemah antara aku dengan para pembatik di pendopo.
Kain-kain yang di sana itu sudah jadi ya, Bude? tanyaku sambil menunjuk ke arah
kain-kain batik yang sedang dijemur.
Belum, jawab Bude. Yang itu perlu dicelup lagi.
Lho, memangnya harus berapa kali dicelup, Bude?
Tergantung warna yang ingin dihasilkan. Setelah membatik, ada lagi proses yang
namanya mbabar. Maksudnya, tahap penyelesaian. Nah, mbabar itu dibagi-bagi lagi
tahapannya. Pertama medel, bironi, terus nyoga, lalu nyareni. Setiap tahap bisa berharihari.
Bude Inggit menjelaskan tahapan-tahapan itu. Nah, ini yang sudah jadi, kemudian
Bude menunjukkan beberapa kain yang sedang dipegang seorang perempuan. Ini pake

saren kualitas terbaik. Kalau pake saren yang paling baik, setiap pagi kain musti
diembun-embunkan subuh-subuh, sampai matahari mau terbit.
Saren itu opo, Bude? tanyaku ikut-ikut ngomong Jawa.
Saren itu ya adonan yang dipake buat nyareni. Mbah-mu paling pinter bikin adonan
saren.
Kemudian Bude Inggit juga menjelaskan tentang motif-motif kain. Kalau di sini, yang
paling terkenal ya motif parangnya. Ada juga motif-motif lain. Mbah Batik juga bikin
motif-motif tertentu sesuai pesanan. Setiap motif punya makna masing-masing. Bude
Inggit menunjukkan sebuah kain. Ini. Kain pesenanku. Ini namanya Sri Nugroho.
Lambang mendapatkan anugrah. Dapet calon menantu, kata Bude sambil tersenyum
lebar.
Semangat sekali ia bercerita.
Kalau ini, maksudnya apa Bude? tanyaku sambil menyodorkan sebuah kain
pemberian Mbah. Ini dari Mbah.
Ini namanya motif Onengan. Oneng artinya rindu. Onengan berarti kerinduan kepada
seseorang yang dicintai, Bude menatapku. Ini ungkapan kerinduan Mbah ke kamu, Cah
Ayu.
Mbah Sumi rindu padaku?
Aku asyik mendengarkan Bude Inggit hingga tak terasa tiba waktu maghrib. Suara
adzan terdengar sangat dekat. Ternyata ada sebuah pendopo kecil yang sejak tadi tidak
kulihat karena terhalang kain-kain batik yang sedang dijemur. Sebuah mushola. Suara
adzan berasal dari sana. Belum sempat aku merasa heran, Bude Inggit sudah berkata,
Monggo, Ma. Kamu shalat dulu. Jama'ah saja sama yang lain di mushala.
Aku bergegas ke dalam rumah utama. Berwudhu. Dengan sebersit tanya yang masih
menggantung di kepala.
Para pegawai Mbah tidak melakukan shalat isya berjamaah. Bakda maghrib mereka
langsung pulang, karena keluarga mereka sudah menunggu di rumah. Menunggu Isya,
aku tilawah. Alam begitu hening. Hanya suara jangkrik dan suara burung malam yang
terdengar sesekali. Aku membaca ayat-ayat-Nya. Keheningan ini juga ayat-ayat-Nya.
Malam ini adalah ayat-Nya, begitu juga malam-malam sebelumnya. Hidup yang kulalui
adalah ayat-Nya. Lalu, bagaimanakah aku membaca ayat-ayat-Nya selama ini? Sudah
sempurnakah? Sudah dengan lafal yang benarkah? Sudah dengan penglihatan yang
benarkah?
Shodakallahul adzim...

Tak kusadari, keheningan telah terpecah dengan suara isak tangisku sendiri.
Keheningan telah mengingatkanku pada detik-detik ketika menunggu Bapak di rumah
sakit. Aku menarik nafas. Dada ini terasa amat sesak. Astaghfirullah al'adzim... apakah
rasa sesak ini karena ketidakikhlasanku? Lapangkanlah jiwaku, ya Rabb... ikhlaskanlah
hatiku....
Selama tiga hari berikutnya aku tidak bertemu Mbah Sumi. Juga Bude Inggit. Kata
Ningsih, Mbah Sumi sedang ada urusan. Aku mulai tidak betah. Hari pertama, aku
celingukan di antara para pembatik. Seorang yang sudah dikenalkan bude Inggit padaku
kemudian menawariku untuk mencoba membantik. Dengan bahasa isyarat, tentunya.
sebab ia tak bisa bahasa Indonesia. Atau terbalik? Aku yang tak bisa bahasa Jawa.
Membatik ternyata tak segampang yang kukira. Padahal aku tinggal mengikuti motif
parang sederhana, namun susahnya bukan main. Olesan lilin-ku tidak rata. Aku meniup
cucuk canting terlalu keras sehingga malam-nya tumpah ke tanganku. Panas! Lilinku juga
menetes-netes ke kain.
Hari kedua aku diajak melihat proses pencelupan. Aku baru mengerti perkataan Bude
Inggit. Bahwa membatik itu perlu ketulusan, kebijaksanaan dan pengalaman. Seorang
pembatik harus tulus mengerjakan proses membatik yang demikian lama. Dan
pengalaman seorang pembatik ditunjukkan lewat kain batik buatannya.
Hari ketika aku ngobrol-ngobrol sebentar dengan Ningsih. Tapi tak lama. Ningsih
masih harus menyelesaikan kain buatannya. Dari Ningsih aku tahu bahwa Mbah sedang
ke Yogya, dan Ningsih tidak tahu kapan Mbah pulang. Ia juga tidak tahu alasan mengapa
Mbah begitu ingin aku datang ke kota ini...
Sudah lima hari aku di sini, dan ini hari ke empat tanpa Mbah. Aku mulai merasa
bosan. Bude Inggit tak datang-datang mengunjungiku. Terus terang, aku mulai agak
kesal. Aku diminta ke sini sama Mbah, tapi Mbah malah pergi. Atau janganjangan...Mbah marah padaku gara-gara soal kebaya itu? Mengapa mesti marah? Atau
jangan-jangan Mbah nggak mau ketemu aku? Ya, Allah... prasangka buruk datang lagi...
Duh, susah sekali menghilangkan prasangka ini.
Ndak mau tunggu Mbah Batik dulu, Mbak? ujar Ningsih ketika aku menitipkan surat
untuk Mbah, Aku akan pulang.
Maunya, Ning. Tapi aku nggak bisa lama-lama di sini. Lagipula, kita kan juga nggak
tahu Mbah pulang kapan.
Waduh, Mbak. Nanti aku ngomong apa, kalau Mbah Batik pulang?
Sudah, nggak usah khawatir. Yah? aku memeluk Ningsih. Makasih, lho...sudah
nemenin aku di sini...
Wah, ojo gitu, Mbak. Aku jadi ndak enak, aku ndak bisa nemenin Mbak terus.

Aku berpamitan pada semua orang yang ada di sana. Salam buat Bude Inggit ya,
Ning, ujarku ketika hendak naik becak.
Akhirnya aku pulang. Sebenarnya tidak enak juga sama Mbah, tapi aku hanya ingin
pulang. Agak menyesal juga, aku. Tapi sudahlah. di dalam suratku buat Mbah, aku sudah
menjelaskan semuanya. Aku minta maaf karena pulang tanpa menunggu Mbah dulu. Aku
minta maaf kalau aku menyinggung perasaan Mbah soal kebaya waktu itu. Dan, aku juga
minta maaf perkara 12 tahun lalu...12 tahun! Haruskah membutuhkan waktu selama itu
untuk meminta maaf? Kemana saja aku selama 12 tahun? Kenapa tak pernah terucap
maaf? Begitu sombongkah aku? Begitu angkuhkah?
Setitik air menetes, jatuh tepat di atas sebuah kain.
***
Sebuah telegram dari Solo: Segera ke solo koma mbah sakit titik.
Mbah terbaring lemah di atas tempat tidur. Ia belum sadar sejak di bawa ke rumah
sakit seminggu yang lalu. Gagal ginjal. Seharusnya Mbah sudah harus cuci darah, tapi
tubuhnya masih terlalu lemah untuk cuci darah. Ningsih, aku dan Bude Inggit bergantian
menjaga. Malam kedelapan, Mbah terbangun. Suaranya lemah memanggil Ningsih,
Ning... Ningsih...
Mbah mencari Ningsih, bukan aku.
Sebentar, Mbah. Aku panggilkan Ningsih.
Selama Mbah berbicara dengan Ningsih, aku keluar. Tidak lama kemudian, Ningsih
keluar kamar. Mbak Ima... Mbak Ima... Mbah Batik!
Kenapa. Ning?!
Aku masuk ke kamar, nafas Mbah tersengal-sengal.
Panggilkan dokter, Ning...! tukasku. Tapi Ningsih telah tergeletak di sampingku. Ia
pingsan.
Sekali lagi, Allah telah menunjukkan kuasa-Nya. Malam ini Mbah telah pulang, juga
tanpa sempat pamit padaku. Aku pulang bersama Ningsih yang terus menangis.
Kepergian Mbah cukup mengguncangnya. Sejak kecil ia tinggal bersama Mbah. Selama
perjalanan ia terus menangis. Sampai ia tertidur kelelahan.
Besok Mbah akan dimakamkan. Beberapa pegawai Mbah datang ke rumah, membantu
mengurusi persiapan untuk pemakaman besok. Aku di kamar, shalat Isya, lalu tilawah.
Kutumpahkan semua tangis yang tak sempat tercurah pada-Nya.

Mbak Ima...? suara Ningsih terdengar dari balik tirai.


Ya, Ning. Masuk, jawabku. Ada apa, Ning?
Iki. surat, dari Mbah Batik. Mbah Batik titip ke aku, suruh dikirim ke Jakarta. Tapi
belum sempat aku kirim, karena Mbah Batik keburu sakit. Aku jadi lupa. Maaf ya,
Mbak?
Nggak apa-apa, Ning. terima kasih, ya?
Kemudian Ningsih pergi.
Aku membuka amplop itu berisi surat itu. Ini tulisan tangan Mbah sendiri. Kapan
Mbah menulisnya?
Iqlima cucuku.
Kenapa pulang to, Nduk? kenapa ndak tunggu aku dulu?
Nduk, aku sudah baca suratmu. Oalah, Nduk... Mbahmu ini ndak pernah marah sama
kamu. Aku sudah lupa. Aku bahkan ndak ingat kejadian 12 tahun lalu itu. Waktu itu
Mbah harus cepat-cepat pulang ke Solo karena ada urusan penting. Itu saja. Bukan karena
marah sama kamu, Nduk. Malah aku heran. Kenapa setiap bapakmu pulang ke Solo,
kamu ndak pernah ikut. Kukira kamu yang benci sama Mbah. Kukira kamu ndak suka
sama Mbah. Apalagi kamu ndak pernah mau Mbah peluk. Ndak mau Mbah cium.
Iqlima cucuku. Mbah rindu. Rindu sekali padamu. Itulah alasan kenapa aku
memintamu datang ke Solo. Mbah minta maaf ya, Nduk. Waktu kamu ke Solo aku malah
pergi.
Nduk, ada satu alasan lagi kenapa aku memintamu datang ke Solo. Mbah ingin belajar
ngaji. Aku ingin kamu mengajari Mbahmu ini mengaji. Alhamdulillah, Mbah mendapat
hidayah dari Gusti Allah. Mbah sudah masuk Islam, Nduk. Waktu kamu di sini dan Mbah
pergi, sebenarnya Mbah pergi ngurusi surat-surat. Karena surat-surat akte kelahiranku,
kartu keluarga, semuanya ada di rumah pakdeku, di Yogya.
Nduk, kalau kamu ndak ada urusan di Jakarta, segera balik ke Solo, ya? Aku rindu.
Aku rindu.
Gelisah. Penat. Sesak menyeruak. Ya Allah... ampunilah aku. Tak sempat aku
mengajar Mbah mengaji. Aku terisak.
Dan aku semakin terisak ketika kulihat selembar kain tersembul dari balik tumpukan
pakaian. Onengan. Kerinduan.
=============================
Malam Hujan Dua Oktober
Ragdi F. Daye

Pikiran saya sedang di pantai. Rozar mau bunuh diri.


Serbet warna putih itu bergeser di atas meja lapis kaca.
Tangan berjemari kecil-kecil mengambil. Membaca baris kata. Memandang wajah risau
di depannya seraya menghembuskan napas. Ada apa, Dik?
Hiru
Hujan teramat jahat. Saya menggigil di lobi hotel Permindo. Uni datang dari Jakarta. Tapi
saya tidak punya rasa gembira. Saya tidak menjemput ke Bandara Tabing. Ke hotel ini
pun terpaksa karena tadi Uni kirim pesan: Temui Uni malam ini pukul setengah delapan.
Penting. Tentang masa depanmu.
Bukan apa-apa.
Saya sedang tidak gembira.
Saya sedang rusuh. Rozar saya tinggalkan di Bungus. Kemah Bakti Mahasiswa. Ia
depresi. Frustasi oleh luka-luka yang disayatkan oleh orang yang dipercayanya.
Saya terpaksa meninggalkannya gara-gara Uni datang. Kenapa Uni ke Padang pada saat
saya susah untuk merasa bahagia.
Asmarani
Wajahnya basah. Aku bingung. Tak menyangka kalau orang yang disebut-sebut Pak Yak
itu ternyata hanya seorang pemurung. Ia cuma menekur atau membuang pandang ke
relung-relung berhias motif etnik.
Dia penulis biografi berbakat. Amat pandai menjalin perjalanan hidup seseorang
sehingga begitu hidup dan dramatis. Ada beberapa orang tokoh yang setuju dibuatkan
biografinya oleh Hiru.
Aku diperintahkan untuk menyempatkan diri menemuinya dalam perjalanan tugas di
kampung halaman, Sumatera Barat. Penerbit tempatku bekerja mau mengontraknya.
Bagaimana kalau kita cari tempat yang cukup nyaman untuk ngobrol?
Kami keluar dari hotel. Ia cuma mengangkat bahu ketika kuajak memasuki restoran siap
saji.
Hiru
Aku terluka, Hiru.

Pantai Bungus begitu teduh. Tapi laut di mata Rozar bergemuruh. Ia mengulangi katakatanya. Keluh kesah sebagai penyesalan tak putus-putus. Telah sejak kemarin saya
dijadikannya tong sampah. Bertambah-tambah kemarahannya dimuntahkan dari mulut.
Ia menipuku dengan baik-baik.
Tentang Serga, datang dari Jakarta bawa kabar gembira. Kita bangun dunia audio visual
di Sumbar. Memproduksi film-film dokumenter, atau apa, mari berkarya. Kita adakan
pelatihan terlebih dahulu. Workshop. Cerita Rozar. Setelah hari-hari pontang-panting
yang meletihkan itu, Serga balik ke Jakarta. Diam-diam. Setelah mengantongi selembar
surat kerja sama dengan seorang pengusaha. Akan membuat film. Tanpa bicara. Sendiri
mengemasi. Tanpa melibatkan kelompok panitia sama sekali.
Aku terlalu tolol percaya bulat-bulat pada orang kalapia itu!
Perasaan malu akibat tertipu, itu yang meninjunya.
Perlukah kita ke pengadilan? Saya ikut-ikutan gusar. Membanting buah ketaping yang
gugur muda ke laut. Terapung-apung. Ini penipuan!
Aku terlalu tolol! Bisa-bisanya dibodohi. Rozar mencengkram pasir. Meremukkan.
Aku telah mempermalukan kawan-kawan! Rozar tegak. Lalu turun ke laut. Mengaum
sambil mencabik-cabik ombak.
Rozar!
Saya terjun segera. Membetot tubuhnya yang melejang-lejang dengan kegeraman yang
sempurna.
Lokasi perkemahan gempar.
Anak-anak baru telanjur tahu.
Dikira Rozar, ketua panitia, kesurupan. Dukun kampung langsung datang. Rozar
menendang tempurung berisi kemenyan. Ia marah-marah. Aku akan ke Jakarta!
Merobek mulutnya yang pandai berjanji-janji. Atau aku mati saja di laut!
Sampai hampir Maghrib.
Sampai SMS itu nongol membuat saya mau tak mau bertolak ke Padang karena
menyangkut masa depan. Saya meninggalkan Rozar setelah menyumpal telinganya
dengan serentatan kata-kata.
Kamu jangan berbuat lebih bodoh! Apa kata anak-anak baru itu! Senior stres! Mau
ditaruh di mana muka. Tidak bisa memenej konflik. Tidak lucu bila semuanya tahu
masalah ini! Saya mau ke Padang, nanti malam balik lagi.

Hati saya berat meninggalkan Rozar.


Saya merasa ia butuh saya.
Hiru...! Hiru!
Saya gelagapan ketika sebelah tangan melambai-lambai di depan mata saya.
Bagaimana? Kamu bisa ikut ke Jakarta Rabu besok?
Apa, Ni?
Asmarani
Kalau tak mengingat rekomendasi dari Pak Yak, barangkali telah kutinggal pergi anak
itu. Sedang bicara serius bisa-bisanya melamun. Apakah baginya tawaran kontrak ini
sesuatu yang sepele? Tidak sopan sekali!
Kesempatan ini belum tentu akan datang dua kali, Hiru!
Ia menatapku. Lurus. Lama.
Aku jadi rikuh. Maaf, Uni tak mengancam.
Tapi mata itu terus menikam tajam.
Ada yang kamu keberatan? Masalah royalti? Atau akomodasimu ke kantor pusat,
tenang...
Hiru
Saya melepaskan pandang dari matanya. Ia telah menyerah. Saya pandang kaca. melihat
ke luar. Orang-orang dan kendaraan-kendaraan disiram hujan. Permindo mengabur. Saya
mungkin terlalu sensitif.
Laki-laki baik hati bernama Serga itu mengontak Rozar pertama kalinya juga dengan
begitu arif bijaksana.
Saya mau buka cabang di Padang. Sebagai langkah awal kita adakan rekrutmen,
kemudian wokshop dan pembekalan pengurus. Setelah itu mulai berproduksi. Kamu bisa
coba-coba bikin skenario. Nanti kita kerjakan bersama. Dananya ada. Oke, kan?
Rozar yang punya impian pun menggalang teman-temannya membentuk panitiasaya
kebetulan tidak terpikat pada bidang itudan menyelenggarakan acara yang lumayan
sukses dengan susah payah.

Tapi Serga pergi begitu saja. Setelah dapat order sekian juta. Buat film pesanan. Rozan
dan teman-teman gigit jari, padahal orang-orang telah (diberi) tahu bahwa mereka akan
membuat film bersama orang film ternama dari Jakarta.
Maka saya jadi meragukan mulut yang berkotek-kotek merdu di depan saya. Tidakkah
perempuan rancak ini juga seorang penipu yang pintar bersopan-santun?
Asmarani
Aku jadi jengkel.
Tatapannya kurang ajar. Seperti mencibir.
Menangkal gerah kukudap keripik pedas-manis di piring pipih.
Ada masalah?
Ia meraih serbet. Membuka lipatannya. Mengambil pena dari tas. Menoreh kertas lembut
itu dengan ujung bertinta. Lantas menggesernya ke dekat tanganku tanpa bercakap
sepotong pun.
Siapa Rozar? Aku selesai membaca.
Untuk apa kamu tahu? Kamu. Bukan 'uni' seperti sebelumnya.
Kenapa ia mau bunuh diri?
Mukanya merah. Tangannya menumbuk meja. Retak.
Pertemuan ini omong kosong saja, bukan? Apa misi kamu dengan memanfaatkan saya?
Cari uang untuk apa?!
Hiru, saya tidak mengerti!
Kamu penipu, bukan?!
Apa maksudmu?!
Sudahlah! Saya tidak punya waktu untuk melanjutkan omong kosong ini!
Hiru!
Ia berlari ke pintu. Mendorong pramusaji hingga terjuangkal. Ke luar menerobos hujan.
Murka, aku duduk terhenyak. Memencet keyboar HP keras-keras. SMS ke Pak Yak.

ANAK ITU GILA!


Hiru
Saya berlari di Permindo yang basah.
Hati saya seperti dicucuk oleh rasa sedih dan muak yang begitu semesta. Rozar yang
dikhianati. Kenapa saya meninggalkannya. Hanya untuk obsesi saya. Apa sikap saya
tidak tolol pula?
Rozar. Rozar! Maafkan saya!
Saya berlari mencari angkutan umum biru tua 407.
Saya harus segera ke Pantai Bungus.
Swing...! Swing...!
Ya, halo!
Hiru di mana kamu?!
Azwar!
Ada apa?!
Rozar, dia...
Tubuh saya merapuh. Saya terjatuh.
2 Oktober, malam setelah hujan
Melewati Permindo yang selalu ramai, saya menyempatkan berdiri di seberang resto yang
berdampingan dengan hotel itu. Dada saya menggigil. Di tepi jalan itu setahun lalu saya
terjatuh dan menangis.
Saya remas bungkusan kenang-kenangan acara bedah buku biografi Gamawan Fauzi
yang akhirnya saya tulis juga dengan setengah hati.
Saya masih susah memaklumi tindakan saya hari itu.
Meninggalkan Rozar.
Aku terluka, Hiru.

Saya pergi
Dan Azwar menelpon saya, malam itu. Hiru, Rozar tenggelam!
Dada saya sesak.
Kembali.
Tubuh saya merapuh. Saya terjatuh.
Padang, Oktober 2004
======================
ELANG HILANG SAYAP
Muttaqwiati
Lautan putih bergerak seperti sekawanan bangau terbang berarak. Suara takbir
menggema bahkan suaranya terasa memantul-mantul. Memukul-mukul gendang telinga,
juga dadaku. Lautan putih terus bergerak, sementara aku diam tak beranjak. Menatap iri
dari kejauhan
Harusnya aku ada di antara mereka, desahku.
Arakan putih memanjang itu lama-lama memudar dan berubah menjadi lingkaranlingkaran pemuda. Duduk di bawah pohon, ada pula yang di dalam masjid. Sebagian lagi
masuk ke dalam kos-kosan. Bersalaman dan berpelukan penuh kerinduan. Mereka pun
sama, duduk melingkar. Di semua lingkaran itu selalu ada aku. Duduk di sisi papan tulis
putih. Tunduk memegang mushaf menyimak bacaan demi bacaan. Spidol yang tak
pernah absen dari dalam tas keluar dan telah berada di tangan dengan segudang catatan.
Akhi fillah, Allah telah membeli harta dan jiwa kita dengan syurga. Jadi hidup ini
sebenarnya adalah transaksi jual beli, antara kita dan Allah
Tet tet tot tet tot tet tot Suara HP telah mengubah lingkaran-lingkaran itu menjadi
arak-arakan putih kembali.
Heh, meeting! kumatikan HP-ku dengan kesal. Aku kembali pada barisan putih yang
begitu panjang. Rasanya aku ingin terbang dari lantai atas tempatku berdiri saat ini,
hinggap di antara mereka dan meneriakkan takbir. Mengeluarkan yel-yel. Turut serta
mengukir sejarah bangsa. Akulah pemuda Alkahfi itu. Saatnya kini keluar dari goa
tempat penggemblengan.

Tet tet tot


Ya, ya saya segera ke sana. Kumatikan kembali HP-ku dengan kesal. Namun apa boleh
buat, aku harus meninggalkan kawanan bangau itu. Bagaimanapun suara sekretaris di
seberang sana mengharuskanku untuk tidak boleh menunda lagi.
Aku tak mampu konsentrasi penuh dalam meeting hari itu. Bagaimanapun lautan putih
itu benar-benar menyita hati dan pikiranku. Maka seperti terlepas dari beban berat begitu
acara telah usai. Aku kembali ke tempatku berdiri, berharap lautan putih masih ada di
sana.
Ah mereka telah bergerak kian jauh, aku sudah tak lagi bisa melihatnya bahkan
mungkin mereka sudah pada naik angkot atau berjejal, bergelantung di dalam bus kota,
pulang menuju rumah atau kos-kos mereka, keluhku penuh sesal. Mataku tak henti
memandangi jalan, berharap lautan putih itu masih tersisa. Namun yang ada hanyalah
deretan mobil. Kecewa menyelusup jiwa. Namun aku tak beranjak juga, hingga jadilah
deretan mobil itu menjadi lingkaran para pemuda kembali.
Akhi, saya sudah mulai mengerjakan TA. Saya ingin benar-benar konsentrasi. Untuk itu
saya minta ijin cuti dari aktivitas kajian dan tugas-tugas dakwah.
Seperti sebuah palu besar memukul kepala dan dadaku. Kupandangi wajah binaanku
mencari kepastian dengan keterkejutan yang tak bisa kusembunyikan. Ia pun tertunduk.
Wabud robbaka hatta yatiyakal yaqiin
Pemuda binaanku itu mendongak, menatapku tak mengerti.
Ayat itu tidak menyuruh kita untuk menyembah Allah sampai mengerjakan TA, sampai
lulus kuliah, sampai menikah, sampai punya jabatan, tapi sampai waktu yang diyakini,
yakni ajal bila telah menjemput.
Binaanku nampak belum paham betul atas jawabanku.
Para generasi terdahulu paling paham bagaimana mengaplikasikannya. Ammar bin
Yasir tidak sekedar aktif berdakwah saat tulang belulang mulai rapuh dan kekuatan tubuh
tak lagi prima. Di usianya yang sembilan puluh tahun beliau masih turut berperang. Abu
Sufyan bin Harb memotivasi para sahabat untuk turun ke medan laga, di saat usianya
tujuh puluh tahun. Demikian juga..."
Kudengar suaraku dalam telingaku, dalam jiwa rapuhku, dalam ketakberdayaanku.
Kudengar semua nasihat itu, nasihat yang dulu pernah kuhunjamkan ke jiwa-jiwa yang
lelah dalam kebaikan. Aku tertunduk lemas.
Net net net net

Pasti dari bidadariku.


Ya, Sayang, Mas segera pulang.
Aku bergegas meninggalkan tempat yang telah membangkitkan berjuta kenang. Kenang
yang sudah sangat lama terkubur dari ingatan.
Tak butuh waktu lama, aku sudah berada dalam sejuknya Karimun.
Bayang bidadariku berkelebat. Senyum malu-malunya setiap bertemu denganku dulu,
muncul sesaat. Ketika kami berdua masih sama-sama sendiri.
Dia memang perempuan energik, cantik dan cerdas,gumanku sambil tersenyum
sendirian.
Baru sekitar lima ratus meter roda mobilku berputar, rerintikan hujan turun, semakin
lama semakin deras. Wiper bergerak, menyeka air yang mulai mengaburkan kaca. Lagilagi aku tersenyum. Entahlah, hujan selalu memberi nuansa kesejukan di hatiku. Juga
menghadirkan kenang yang amat dalam terhadap bidadariku. Hujan telah turut menjadi
saksi kesepakatan kami.
Tele let. Kuambil HP dari saku. SMS, siapa ya?
Ass. Pa kabar? Gmn 13 th menikah? Dah suksses mendidik istri? ( Kamal ).
Kenangan indah tentang bidadariku tercerabut. Kubaca sekali lagi tulisan itu, kemudian
kututup. Ingin benar aku membalasnya, atau seharusnya langsung meneleponnya. Tiga
belas tahun waktu yang cukup lama. Sejak pernikahanku dengan bidadari, kontak antara
aku dan Kamal terputus. Kesibukan telah membuat kami berada dalam urusan masingmasing. Kamal, teman sekamarku, se-halaqoh-ku. Teman yang sering berada dalam satu
kegiatan denganku. Dialah yang paling tidak setuju aku menikah dengan bidadari.
Segudang alasannya.
Kalau aku boleh memberikan saran, sebaiknya jangan, Zak. Dia memang cantik, cerdas,
supel, aktif di berbagi kegiatan. Tapi ingat, Zak, dia bukan aktivis Islam!
Apa salahnya menikah bukan dengan aktivis Islam? Toh dia muslimah?
Tidak ada yang salah secara syari, tapi apa dia akan mendukung aktivitasmu?
Aku akan mendidiknya! tandasku yakin saat itu.
Dia tipikal dominan, Zak, sedang kamu pengalah. Saya khawatir kamulah yang akan
terbawa. Kamal yang teman sekelas Bidadari terus meyakinkanku. Aku tak
menghiraukan nasihat Kamal saat itu.

Masih banyak aktivis Muslimah yang bisa kita pilih, Zak. Kenapa tidak mereka saja?
Kutarik napas panjang dan kuhembuskan dengan berat. Dialogku dengan Kamal kala itu
seolah memunculkan kerinduan yang selama tiga belas tahun ini sengaja kukubur dalam
jiwaku dan hari ini secara beruntun kerinduan yang telah terimbun manisnya pernikahan
dan jabatan menyeruak kembali. Lautan putih dan SMS Kamal telah mampu
membongkar timbunan-timbunan itu.
Kamal benar, bidadari cantikku itu tipe dominan, dan kedominannya belum ter-sibghoh
dengan sibghotullah. Maka aku yang pengalah ini benar-benar kalah dibuatnya.
Mas, sudah dua malam ini kau selalu pulang larut. Tempo hari katanya kau ngaji dengan
teman-temanmu. Malam ini kau menjadi pembimbing kajian. Kita sudah tidak berada di
kampus, Mas. Dan yang jelas kita sudah berumah tangga. Seharian kita sama-sama sudah
disibukkan dengan pekerjaan, saya juga membutuhkanmu, Mas
Ah Kubuang napas yang menggumpal.
Aku tidak bisa bertahan lama dengan semua protes istriku, aku kalah akhirnya, dan
sekarang aku hanya terbenam dalam suasana kerja, bidadari cantikku, dan satu gadis
mungilku yang sepuluh tahun kami tunggu.
Aku kalah, Mal Bagaimana pula denganmu? Apa kabarmu? Aku tak sanggup bicara
denganmu. Bahkan walau sekedar menanyakan kabar.
Tel le let SMS lagi.
Terlalu sibukkah antum, akhi, walau sekedar menjawab smsku?
Kamal, dia seperti mengejekku, dan aku semakin tak sanggup menghadapinya. Aku tak
akan bisa mejawab jika dia bertanya tentang aktivitas halaqoh-ku, tentang para binaan
yang kutelantarkan begitu saja, tentang istriku, tentang. Sungguh aku tak kan sanggup.
Karimun terus melaju, berderet bersama mobil-mobil dalam sesaknya Jakarta. Hujan tak
juga reda, gundahku pun kian menggulana.
Sesungguhnya aku rindu padamu, akhi Kamal namun aku malu.
***
Aku datang lebih awal dari istriku. Putri semata wayangku telah pulas di tempat tidur.
Aku mencium dan menyentuhnya penuh sayang tanpa dia merasakan.
Subhanallah, kau cantik sekali, Nak, mirip mamamu.

Kutinggalkan dia dalam ketenangan. Badanku yang sudah segar oleh air hangat di kamar
mandi membuatku ingin duduk-duduk santai ditemani teh hangat. Kunyalakan TV
kemudian kubiarkan tubuhku bersandar nyaman di sofa setelah seteguk teh mengalir
hangat di tenggorokan.
Wow...! mataku terbelalak melihat wajah yang sangat kukenal.
Kamal Fauzi, ketua departemen buruh, petani dan nelayan, sebuah tulisan berderet di
bawah sosoknya yang dengan cerdas menjawab pertanyaan-pertanyaan.
Gayanya masih seperti dulu. Tenang, santai, tapi sangat mengena. Aku melihat pancaran
semangat di matanya. Pancaran semangat yang tak pernah lelah.
Tahu enggak, Zak, sungguh, aku ingin mewarisi semangat burung hud-hud. Burung
kecil yang terbangnya rendah, namun ia mampu melintas gurun, menahan angin kencang,
menebas rintangan, hingga ia mampu menempuh perjalanan yang demikian jauh, dari
Yaman menuju negeri putri Saba di Palestina.
Kalau kamu burung hud-hud, aku akan menjadi burung elang bersemangat hud-hud.
Jadi lebih hebat lagi.
Kau menertawakanku saat itu.
Kalau itu nanti jadi dongeng, kawan, tak pernah ada dalam sejarah. Kau tertawa
terpingkal-pingkal. Namun sejak itu kau sering memanggilku Elang, dan aku senang
sebutan itu. Ahengkau memang burung hud-hud, Mal.
Wajah Kamal tergeser iklan hingga tak lagi tampak di layar kaca. Sementara perasaanku
mulai diaduk-aduk oleh berbagai kenangan masa lajang yang penuh hamasah, tak kenal
lelah untuk semua hal yang bertema dakwah. Ah betapa ingin aku terbang sepertimu,
Mal.
Wajah Kamal yang kembali muncul di layar kaca tak lagi mampu menyedot perhatianku.
Kenangan masa lalu lebih banyak menyitaku. Aku kalah, aku kalah, aku kalah.!
jeritku dalam hati. Aku harus memulai lagi. Sebaiknya aku menghubungi Kamal. Jika
siaran langsung itu selesai, aku janji akan meneleponmu, Mal.
Tak lama suara mobil berhenti di depan rumah. Bidadariku datang. Dengan keriangannya
yang khas, tiba-tiba bibir belah jambenya telah menyentuh pipiku.
Nih, kejutan. Aku bersih-bersih dulu ya? Ditaruhnya sebuah majalah di pangkuanku.
Kutatap wajahnya tak mengerti.
Buka aja, di dalamnya ada sahabat spesialmu yang lama tak ada kabar.

Bidadariku sudah pergi seperti merpati.


Penasaran, siapa sih?
Mataku terbelalak, lagi-lagi Kamal Fauzi. Duduk didampingi istri dan tujuh anaknya.
Kucermati satu per satu wajah mereka. Semua seperti memancarkan semangat yang sama
dengan ayahnya. Kembali kucermati satu per satu, dan betapa kagetnya aku menatap foto
perempuan berjilbab di sisinya.
Hai, ternyata kau menikah dengan ukhti ini?
Aku teringat sebuah biodata yang di sodorkan guru ngajiku.
Akhowat aktivis dakwah. Cerdas, supel, dan wirid yaumiyyah-nya bagus.
Tapi dia tiga tahun di atas saya, protesku waktu itu.
Guru ngajiku tersenyum. Tak ada paksaan, Zak, ini kalau ente mau. Saya mencarikan
akhowat yang terbaik untukmu, karena saya pikir, ente pun ikhwan yang sangat baik.
Kalian berdua sekufu, itu menurut pengamatan ane. Tapi ya sudah, masing-masing orang
punya kriteria, kalau ente nggak mau, ya buat ikhwan yang mau. Yang jelas, yang
mendapatkannya haruslah ikhwan yang baik.
Suara tangis anakku membuyarkan masa lalu. Aku mau beranjak ke kamar namun
bidadariku telah mendahului. Aku jadi ingat bahwa aku berjanji akan menelepon Kamal
hari ini.
Mas, sini. Telepon yang nyaris kupencet kuletakkan kembali. Kuhampiri bidadari yang
kelihatan begitu bersemangat ingin mengungkap sesuatu.
Mas, main ke rumah Kamal yuk. Tadi teman sekantorku si Asti yang bawa majalah itu
cerita banyak tentang dia dan istrinya.
Dengan menggebu-gebu, khas cara bicaranya, ia bercerita detil tentang rumah Kamal
yang sederhana, tentang aktivitasnya yang bejibun, tentang istrinya yang aktif. Juga
tentang Kamal yang lolos menjadi anggota DPR RI.
Telepon, Mas, mumpung besok libur, kita bisa ke sana.
Kusambut gembira usulan bidadariku. Maka aku segera menuju meja telepon.
Selamat, Mal Sebagai sahabat yang lama tak ketemu, obrolan pun serasa tak ada
habisnya. Bermenit-menit bicara, tak akan bisa memuaskan kecuali saling berjupa.
Gimana, Mas? tanya bidadariku begitu telepon kututup.

Besok, kita ke sana habis subuh.


Bercanda kau, mana ada tamu datang pagi-pagi sekali.
Nanti ceritanya ya? Aku berlari tak tahan dengan perut yang mulai mules minta isinya
dikeluarkan.
Hem anak-anak kreatif. Pasti anak-anaknya.
Dinding keramik WC seolah berubah menjadi dinding-dinding rumah Kamal. Aku makin
mencermati detil rumahnya. Sebuah rumah mungil bercat putih dan tertapa rapi. 150
meter persegi. Tak kulihat furniture mahal di sana. Malahan di ruang tamu tergelar karpet
biru, tanpa meja kursi.
Kita ke atas saja, Zak, biar istrimu bincang-bincang di dapur dengan istriku. Kan bisa
sambil ngapa-ngapain, ya nggak? Kuikuti langkah Kamal, menuju ruangan lantai atas.
Nuansa sejuk langsung kurasakan. Di semua dinding tertempel rak-rak buku. Gelaran
karpet hijau membuat ruangan terasa adem. Di pojok ruang sebuah meja duduk
menyangga seperangkat komputer. Luas kurasakan.
Hebat kamu, Mal. Di ruang ini pasti rapat-rapat, acara halaqoh, mabit sering kalian
lakukan.
Kamal hanya tersenyum. Ia tak mempersilakan aku duduk. Bahkan seperti membiarkan
aku mencermati seluruh isi ruangan dan mengamati jejeran buku satu per satu.
Maaf ya, Zak, kita tak punya waktu lama untuk bertemu hari ini. Jam tujuh nanti saya
harus keluar lagi. Ada jalasah ruhi di Markazuddawah. Saya terlanjur janji untuk
mengisi mereka.
Kutatap Kamal dengan rasa iri yang membuncah.
Pagi-pagi bada subuh tadi kamu sudah mengisi kuliah subuh, dhuha nanti mengisi
jalasah ruhi, Sekitar jam sepuluhan ada janjian wawancara, kapan kamu punya acara
untuk keluargamu, untuk istrimu?
Alhamdulillah, Zak, istriku berlatar belakang aktivis Islam dan sampai hari ini pun
masih aktivis Islam. Dia sangat mendukung aktivitasku, demikian pula sebaliknya. Kami
berdua komitmen menjadikan dakwah sebagai nadi hidup, dan tentunya bukan berarti
mengesampingkan keluarga. Bukankah keduanya tak ada saling kontradiksi seharusnya?
Apa tidak ada titik-titik jenuh kalau seperti itu terus?
Kami selalu mencari waktu untuk bisa berdua. Kami juga mengagendakan waktu untuk
rihlah misalnya. Tidak harus jauh, jalan-jalan cari tempat lapang sambil menggelar tikar
dan membuka bekal masakan istri, itu mengasyikkan.

Beruntung sekali kau mendapat istri yang demikian, Mal, gumanku dalam hati, menyesali
kenapa dulu aku menolaknya.
Tok tok tok Mas, lama sekali di WC, sakit perut? suara bidadari mencemaskanku.
Semua lintasan yang bergerak dalam pikiranku berhenti seketika. Cerita bidadari tentang
Kamal, profilnya dalam majalah, obrolan lewat telepon dengannya, telah dengan
sendirinya saling mengait dan membuat sebuah cerita dalam pikiranku.
Mas, sakit perut? ulang bidadari.
Enggak, Sayang Aku bersegera bersih-bersih diri, kemudian keluar. Bidadari
menungguku.
Tadi Kamal telepon, katanya besok acaranya ternyata padat sekali. Jadi kita tidak bisa
ke sana. Dia khawatir kita terlanjur ke sana tapi tidak ketemu. Rencana malam ini juga
dia akan mampir ke sini sebelum pulang. Tadi sudah saya kasih alamat.
Betapa gembiranya aku mendengar itu. Namun tiba-tiba, aku merasa sangat malu. Juga
merasa sangat iri padanya.
Ia menjadi seperti burung elang yang bulunya tercabut. Ia merasa rugi setiap melihat
burung lain terbang. Sebuah syair tiba-tiba menggema dalam hatiku. Terus menggema
dan menggema.
Bukan cuma tercabut bulunya. Bahkan sayapnya telah lepas. Akulah si elang yang
kehilangan sayap. Dan aku merasa rugi, tak mampu lagi terbang seperti sekawanan
burung bangau tadi pagi, atau burung hud-hud yang sebentar lagi terbang ke sini.
Ingin rasanya kutumpah air mataku, barangkali ia mampu menyiram api kesalahanku
kelak, namun bidadari itu seolah menyedot air mata itu.
Mas, kita jamu tamu kita malam ini, usul bidadariku riang. Aku tersenyum dalam
berjuta gelisah, menunggu hadirnya pemilik sayap yang tak pernah lelah.
Brebes, 18 Mei 2004
Untuk semua aktivis dakwah
Special aktivis beda generasi, Ichad
=============================
Perempuan Yang Memeluk Malam
Dwitra Silvana

Dia gila.
Tidak, dia hanya perempuan kesepian yang menanti suaminya pulang dari laut.
Dia gila!
Tidak, dia hanya perempuan yang selalu membawakan pelita, agar suaminya tak sesat
menghampiri pelabuhan.
Tidak, dia perempuan gila. Betul-betul gila, menunggu 22 tahun lebih untuk suami
yang tak pernah pulang. Dia gila!
***
Malam gelap mengembang kelam. Angin terpatah-patah menghembus keras menusuki
kekosongan yang pekat. Gelisirnya menyayat karang-karang diam membisu sepanjang
pantai yang berkabut. Gemetarnya menggoyahkan jajaran pohon nyiur yang tinggi
menjulang bisu di pasir-pasir yang membeku.
Dari balik jendela, kulihat lagi kerlipan pelita bergerak perlahan bagai kunang-kunang
kecil yang kelelahan. Ah, pasti perempuan itu lagi, mengangkat tinggi pelita minyaknya
berjalan terseok-seok, dengan tubuh ringkihnya menyusuri tepian pantai yang tak pernah
berubah karena waktu. Tak juga berhenti barang sejenak, walau diterpa angin malam
yang dinginnya menggeliat merembesi tulang.
Malam gulita ini, adalah malam keempat aku melihatnya melintasi jalan kecil di depan
losmen tua ini. Dari balik kaca jendela yang cat kuning lusuhnya bagai dedaunan yang
gugur terpijak, aku melihatnya berjalan tertatih-tatih dengan pelita tinggi terangkat di
tangan kanannya. Kadang tubuhnya mendoyong ke kiri ke kanan tersapu angin pantai
yang tak juga mau bersabar, sambil tangan kirinya memegangi erat-erat baju hangatnya
yang warnanya sudah pudar di makan waktu.
Seperti biasa, pelan-pelan dirambatinya jalanan kecil ini menuju tempat yang
tampaknya sudah dikenalnya betul, ujung dermaga tua tak jauh dari losmen kecil ini.
Butiran-butiran pasir tertinggal di ujung sandalnya, bekas jejaknya yang tipis
meninggalkan deretan panjang perjalanan penuh luka.
Di dermaga itu, seperti biasanya dia akan berdiam diri dengan pelita masih terangkat
tinggi, berjam-jam lamanya. Kadang di sela dengan berjalan hilir mudik, membunuh
waktu. Tapi tetap di tempat yang sama. Di ujung dermaga tua, dengan pelita minyak
berkelip-kelip dari kejauhan. Di tengah kegelapan malam pantai yang pekat, di antara
gelisir kejam hembusan angin yang tak pernah ramah. Berjam-jam, berminggu-minggu,
berbulan-bulan, bertahun-tahun. Malam gulita ini, 22 tahun sudah.
Dia gila.
Tidak, dia hanya perempuan kesepian yang menanti suaminya pulang dari laut.
***
Kecupan hangat di pipi memerah, di ujung pagi yang wanginya membangunkan
semesta, dari kekasih hati yang akan bersiap melaut. Senyuman Kang Jaka merebak
melebar memenuhi ruang. Pandangan matanya yang lembut mewarnai gubuk kami
dengan keriangan pagi yang tak pernah berhenti. Tangannya yang kokoh mengangkat
tinggi permata hati yang tak henti-hentinya berceloteh manja, di pelukan ayahnya. Kakikaki kecil mungil ananda Elang Muda menendang-nendang dada ayahnya, sambil
tertawa-tawa dengan suara bayinya. Ah, pagi, sering-seringlah berkunjung kemari dan
berhenti sejenak menikmati sedikit sarapan dari kumpulan hati yang bahagia.

***
Dik Seruni, akang nanti melaut lagi ya. Sepertinya samudera sedang berbaik hati
berbagi isinya pada kita. Akan banyak ikan yang akan terjaring, akan banyak udang yang
berlomba masuk ke dalam kerabu. Alamat hutang-hutang kita pada Pak Gede akan lunas
sudah akhir minggu ini. Doakan saja, dan jangan lupa jemput akang dengan pelitamu dan
senyum manismu pelipur segala lelah dan lara yang terbawa dari laut.
Jangan khawatir, Kang. Ada seribu doa, seribu cinta dan seribu pelita yang telah
kusiapkan untuk menjemput Akang besok malam.
Lalu ketika sore menjelang, dan matahari mulai memejamkan mata setelah berjaga
seharian, Kang Jaka dan 2 temannya pergi melaut menyisir ombak melaju ke samudera
tak berbatas. Dari depan rumah cinta biru tua, Seruni melambaikan tangan mengiringi
kepergian kekasihnya, ayahanda dari Elang Muda pemilik segenap sanubari.
***
Ini pagi pertama setelah Kang Jaka Pergi. Tapi rupanya pagi lupa menengok kami kali
ini, lupa mengirimkan titipan semburat cahayanya seperti biasa. yang ditinggalkannya
hanya rasa sendu dan rasa menggigil yang menisik-nisik seluruh kepekaan diri.
Elang Muda badannya panas meninggi, menjejak-jejak kaki bayinya dengan marah dan
lengkingan tangis yang tak biasa. Seribu ucapan menghibur dan tepukan sayang tak juga
menenangkan tangisnya. Seruni yang kebingungan segera membawanya ke dukun bayi
Mak Lantip di depan kantor Kepala Desa. Diminumkannya satu gelas ramuan entah apa,
dan ditiupnya pelipis Elang Muda dengan doa-doa dari Al-Qur'an yang Seruni tak
mengerti artinya. Walau begitu tampaknya minuman tersebut membawa pengaruh cukup
banyak pada Elang Muda. Tak lagi kaki mungilnya menendangi udara kosong. Malah dia
mulai pelan-pelan terlelap memasuki dunia mimpi menghitung pelangi bersama bidadari.
Rasa lelah seharian menggendong belahan jiwa, dan berusaha menenangkannya dengan
runtutan cinta, membuat kantuk dengan mudah mengambil alih diri. Tanpa terasa
kegelapan yang memabukkan membawaku ke alam bawah sadar, bersanding dengan
kekasih mungil di pelukan lelap melekat di dada. Lupa Seruni dengan janji sejuta pelita
yang akan harus dibawa ke ujung dermaga, yang kelap-kelip cahayanya petunjuk tempat
berlabuh kapal para lelaki yang kelelahan. Lupa Seruni dengan janji seribu senyuman,
yang seharusnya di antaranya menjemput suami tercinta di gerbang pantai bergelombang
buih.
Di luar, malam mengharu biru, ombak menerpa dan menghanyutkan pasir pantai
dengan kasarnya, angin selatan menghempas buih-buih gelombang dengan marah. Badai
rupanya datang tanpa diundang, menyelimuti desa kecil Seruni di ujung dermaga dengan
rasa dingin mencekam. Seluruh jiwa penghuni desa sibuk merapatkan selimut
menghangatkan diri tenggelam ke dalam mimpi yang berkabung.
Jauh di tengah samudera, sepotong kapal kecil mengharu biru diayun gelombang.
Sosok-sosok penumpangnya berebutan berusaha menimba air yang dengan rakusnya
menggenangi dek kapal.
Malam begitu gelap, pekat bersemadi.
***
Ini pagi kelima aku terbangun, dalam pelukan angin laut yang menghilir masuk tanpa
permisi lewat jendela yang terbuka. Wangi pasir pantai dan ceriwis burung camar

mengiringi hari yang menggeliat menggoda mentari untuk mulai lagi berjaga. Jari-jari air
mengguyur deras dari pancuran, menelusup ke dalam seluruh pori-pori mengagetkan
seluruh urat syaraf yang basah. Kesegaran merembes masuk ke seluruh raga, mencoba
lagi membangkitkan jiwa yang lelah semalaman. Tapi rasa pedih itu tetap tertinggal,
bersembunyi di ujung sanubari, berkali-kali muncul mengingatkan rasa bersalah yang
terpendam dalam.
Ah... seharusnya aku sesegera mungkin bercerita, berbagi berita yang telah dititipkan
bunda padaku. Perempuan tua itu...dan Elang Muda.
***
Dia gila!
Tidak, dia hanya perempuan yang selalu membawakan pelita, agar suaminya tak sesat
menghampiri pelabuhan.
***
Seperti biasa di hari kelima ini sarapan pagiku dimulai dengan sepiring nasi goreng
dan 2 potong telur mata sapi. Seperti biasa, seperti 4 hari berturut-turut sebelumnya.
Dengan rasa biasa, cukup pedas tapi tak sampai membakar lidah. Di tempat biasa, di kafe
kecil yang bersuasana ramah dengan hiasan kerang-kerang laut di sepanjang dinding.
Bersama teman makan pagi yang biasa, seorang manajer hotel bintang empat yang baru
dibuka 5 bulan lalu, tak jauh dari dermaga tua.
Yang tak biasa, adalah mendengar lanjutan ceritanya yang berbeda-beda, menyambung
cerita hari-hari sebelumnya. Yang tak biasa adalah nada bicaranya yang kini berbeda
ketika kami mulai akrab dan dibaginya sebuah cerita rahasia kecil milik desa pantai itu,
cerita yang penuh dengan kesenduan, penuh kepedihan cinta seorang perempuan muda
yang terenggut paksa, hilang terkoyak laut dalam samudera gelap, di malam yang
berbadai. Cerita cinta perempuan yang sama namun kini tak lagi muda, perempuan yang
setia bertahun-tahun meniti malam dengan berbekal pelita minyak. Yang selalu sabar
menunggu di ujung dermaga tua, menanti kekasih tercinta kembali dari laut. Perempuan,
yang pernah lalai menghantarkan senyum pada malam berkabut walau telah mengucap
janji. Perempuan, yang terus-menerut menyalahkan dirinya, karena malam itu suami
terkasihnya, Kang Jaka, tak lagi menemukan pelita petunjuk jalan, dan mungkin tersesat
di pelabuhan lain. Perempuan, yang selalu percaya suatu saat nanti, Kang Jakanya akan
kembali dari laut, membawa kembali cinta yang selalu abadi dan janji-janji setia sehidup
semati. Dan kembali dengan pelukannya yang begitu damai dan tangannya yang selalu
kokoh siap mengayun manja ke udara buah hati tercinta, Elang Muda, manajer tampan
yang kini duduk di hadapanku.
Yang tak biasa, adalah binar mata Elang Muda tak lagi dingin berkabut seperti saat
kami pertama berkenalan. Tapi makin lama makin berbinar-binar bagai mata Kang Jaka
yang pendarnya mempesona setiap gadis muda. Kedalaman tatapannya masuk
menyelusup kalbuku, mengantarkan isyarat lain yang membuatku takut.
Yang tak biasa adalah senyumnya yang makin sering muncul, kadang malu-malu,
kadang begitu bercahaya, bagai rumput-rumput hijau di pinggiran taman kota. yang tak
biasa, adalah debar jantungku yang tak lagi mau diajak kompromi. Menggelitik
menggeliat masuk keseluruh ujung-ujung urat nadi. Yang tak biasa adalah perasaan
bersalah yang muncul, menarik-narik alam bawah sadarku.

***
Tidak, dia perempuan gila. Betul-betul gila, menunggu 22 tahun lebih untuk suami
yang tak pernah pulang. Dia gila!
Kang Jaka memang tidak pernah pulang, dan tidak akan pernah pulang. Tiga bulan
lalu, hampir seluruh penduduk yang berjumlah ribuan orang di kota di seberang pulau
dermaga tua ini, menghantarkannya ke peristirahatannya yang terakhir. Kang Jaka pergi
dengan tenang, di pelukan istri yang telah dinikahinya hampir 21 tahun lamanya,
dikelilingi dengan 3 anak gadisnya. Kang Jaka pergi dengan senyum, diiringi doa
kepedihan dari seluruh warga kota, yang selama ini terpesona dengan ceramah-ceramah
agamanya setiap pagi di Masjid di pusat kota. Kang Jaka pergi dengan ikhlas, setelah
mengantar dakwah tentang keindahan batin di seluruh ucapan dan gerak lakunya di harihari hidupnya. Kang Jaka pergi dengan kesucian seorang Ustadz, yang dicintai seluruh
orang yang bernaung dalam keindahan kata-kata, yang mengingatkan kami semua akan
kebesaran-Nya. Atau paling tidak itu yang kami kira.
Sampai Ibu Nurani istrinya, menemukan sebuah buku catatan kecil usang ditumpukan
buku-buku tua di kamar kerjanya. Buku tua yang berlapis sampul kulit coklat kumuh
dimakan usia. Buku tua yang berisi tulisan rapi Kang Jaka, yang ternyata tetap diisinya
dengan catatan-catatan kecil tiap bulan selama ini. Buku tua yang ternyata berisi tulisan
cinta dan rindu penuh luka. Tulisan cinta seorang suami pada istrinya dan rindu seorang
ayah pada anaknya yang tak pernah mampu dikunjunginya. Tulisan penuh marah pada
kekerdilan kelelakiannya sendiri dan tulisan tentang maaf yang tak pernah berani
diucapkannya. Tulisan yang penuh panggilan-panggilan sayang pada Seruni, perempuan
cantik bermata rembulan dan senyuman bagai mawar yang menenangkan hati. Tentang
Elang Muda, lelaki kecil yang genggaman tangannya sudah mampu membuat dadanya
tergoyang perlahan saat tinju bayinya memukuli dada sang ayah. Tentang
kepengecutannya mengakui kelalaian untuk kembali berlayar ke desa kecil dengan
dermaga tua di seberang pulau, saat badai telah mereda. Tentang tak mampunyai hati
untuk kembali pulang setelah berpandang mata dengan gadis manis berhidung mancung,
yang suaranya mengalun merdu melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an di pengajian
malam.
Di halaman terakhir, yang ditulisnya sehari sebelum pergi, berurut beberapa kalimat,
yang menggoreskan luka baru pada Nurani istrinya dan Mawar Merah, Kenanga Jingga
dan Melati Biru anak-anak gadisnya.
Kekasihku, Nurani, perempuan-perempuan bunga setamanku Mawar Merah, Kenanga
Jingga dan Melati biru, maafkan ayahandamu ini. Lelaki yang datang dari kabut, kembali
kepada kabut. Datang berbekal segudang rahasia, pergi dengan segudang rahasia. Tapi
kusadar cinta sulit berbagi, karenanya kutanggung dosa dan pedih sendiri tanpa membuat
kalian luka tersayat pisau masa laluku.
Hanya pintaku, sampaikan sejumput berita pada Seruni dan Elang Muda, cinta
mereka kubawa ke alam kubur. Maafkan daku, maafkan lelaki kecil yang tak mampu
menjadi lelaki sebenarnya. Biarkan kabut yang selalu datang menjenguk tiap pagi di desa
kecil mereka, tetap membawa bisikan hati yang amat pedih.
***

Perlahan kuminum kopi kental pahit di hadapanku dengan sendu. Pagi masih berbau
pasir pantai dan bersuarakan ceriwis camar. Angit laut masih nakal menggoyanggoyangkan 3 kuntum mawar merah di jambangan bunga di meja sarapanku. Suara Elang
Muda yang dalam dan lembut, masih mengisi ruangan yang begitu sepi. Ceritanya
tentang ibunya, Seruni, perempuan tua yang dianggap gila oleh penduduk sedesa, masih
berturutan keluar dari bibirnya yang dibingkai rahang yang begitu kokoh. Matanya masih
dalam memandangiku lekat-lekat.
Kamu mau kan mengenal ibuku. Dia lembut dan manis, pendiam dan masih tetap
sanggup mengerjakan banyak tugas rumah tangga sehari-hari. Yang berbeda hanya sejak
ayah pergi, dia menjadi sangat tertutup. Dia tidak gila, tidak seperti yang diucapkan para
penduduk desa ini.
Kutatap lagi matanya dan senyumnya. Begitu penuh makna, penuh rasa. Perempuan
muda mana yang tak berdesir, dipandangi dan disenyumi seorang lelaki tampan dan
gagah seperti Elang Muda. Lagipula kabarnya, sejak kepulangannya dari tugasnya dari
hotel dengan jaringan yang sama di Madinah, dia makin dewasa dan makin tekun
mendalami agama, persis seperti Kang Jaka, ayahnya. Sayang dia tidak tahu itu. Sayang
dia juga tidak tahu bahwa seharusnya sejak hari-hari lalu, aku menemui ibunya, Seruni,
dan menyampaikan cerita dari pulau di seberang dermaga tua. Bahwa seharusnyalah tak
kubiarkan Elang Muda memandangi aku dengan kedalaman mata penuh makna dan
senyum begitu pekat dengan rasa.
Tapi mengapa tak mampu bibir ini berucap cerita, tak mampu hati ini menguatkan diri
berbagi kabar. Mengapa begitu lemah setiap kata kebenaran yang seharusnya keluar dari
ujung lidah. Rasa bersalah yang dalam mendengar nasib Seruni, membuat bibirku bisu,
kelu dan kaku.
Bagaimana, kamu mau menemui ibuku kan. Beliau pasti senang bertemu dengan
gadis secantik dan seramah kamu, yang begitu sabar mendengar cerita-ceritaku yang
membosankan lima hari berturut-turut. Apalagi jarang ada gadis berjilbab seanggun
kamu, berjalan-jalan sendiri di desa kecil ini. Mau ya?
Angin laut masih nakal menggoyang-goyangkan 3 kuntum mawar merah di jambangan
bunga di meja makanku ini. Bergoyang-goyang perlahan, persis seperti hatiku yang
tergoncang. Mawarnya begitu merah, seperti namaku pilihan Kang Jaka ayahku, Mawar
Merah.
Ah, Elang Muda seandainya saja kau tahu, tak akan kau pandangi aku dengan
kedalaman mata penuh makna dan senyum begitu pekat dengan rasa...
Reston, akhir Juni 2005
=============================

Anda mungkin juga menyukai