Anda di halaman 1dari 24

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN TRAUMA KEPALA

Posted by perawat.anestesi on Rabu, April 20, 2011


0
A. Prinsip - Prinsip pada Trauma Kepala
Tulang tengkorak sebagai pelindung jaringan otak, mempunyai daya elastisitas
untuk mengatasi adanya pukulan.
Bila daya/toleransi elastisitas terlampau akan terjadi fraktur.
Berat/ringannya cedera tergantung pada :
1. Lokasi yang terpengaruh :
Cedera kulit.
Cedera jaringan tulang.
Cedera jaringan otak.
2. Keadaan kepala saat terjadi benturan.
Masalah utama adalah terjadinya peningkatan tekanan intrakranial (PTIK)
TIK dipertahankan oleh 3 komponen :
1. Volume darah /Pembuluh darah ( 75 - 150 ml).
2. Volume Jaringan Otak (. 1200 - 1400 ml).
3. Volume LCS ( 75 - 150 ml).

Trauma kepala

Kulit Tulang kepala Jaringan otak

Fraktur - Komusio

Fraktur linear. - Edema


Fraktur comnunited - Kontusio
Fraktur depressed - Hematom
Fraktur basis

TIK meningkat
Gangguan kesadaran
Gangguan tanda-tanda vital
Kelainan neurologis

B. Etiologi
1. Kecelakaan
2. Jatuh
3. Trauma akibat persalinan.

C. Patofisiologi

Cidera Kepala

Cidera otak primer Cidera otak sekunder

Kontosio
Laserasi Kerusakan sel otak Respon biologik

Sembuh Gangguan aliran darah otak TIK meningkat :

Edema
Hematom
Metabolisme anaerobik
Hipoximia

Respon biologik

Gejala :
1. Jika klien sadar ----- sakit kepala hebat.
2. Muntah proyektil.
3. Papil edema.
4. Kesadaran makin menurun.
5. Perubahan tipe kesadaran.
6. Tekanan darah menurun, bradikardia.
7. An isokor.
8. Suhu tubuh yang sulit dikendalikan.

Trauma Kepala

Gangguan auto regulasi

TIK meningkat Aliran darah otak menurun

Edema otak Gangguan metabolisme


O2 menurun.
CO2 meningkat.

Asam laktat meningkat

Metabolik anaerobik

Tipe Trauma kepala :


1. Trauma kepala terbuka.
2. Trauma kepala tertutup.

Trauma kepala terbuka :


Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak masuk kedalam jaringan otak
dan melukai :
Merobek duramater -----LCS merembes.
Saraf otak
Jaringan otak.

Gejala fraktur basis :


Battle sign.
Hemotympanum.
Periorbital echymosis.
Rhinorrhoe.
Orthorrhoe.
Brill hematom.

Trauma Kepala Tertutup :


1. Komosio
2. Kontosio.
3. Hematom epidural.
4. Hematom subdural.
5. Hematom intrakranial.

Komosio / gegar otak :


Cidera kepala ringan
Disfungsi neurologis sementara dan dapat pulih kembali.
Hilang kesadaran sementara , kurang dari 10 - 20 menit.
Tanpa kerusakan otak permanen.
Muncul gejala nyeri kepala, pusing, muntah.
Disorientasi sementara.
Tidak ada gejala sisa.
MRS kurang 48 jam ---- kontrol 24 jam I , observasi tanda-tanda vital.
Tidak ada terapi khusus.
Istirahat mutlak ---- setelah keluhan hilang coba mobilisasi bertahap, duduk --berdiri -- pulang.
Setelah pulang ---- kontrol, aktivitas sesuai, istirahat cukup, diet cukup.

Kontosio Cerebri / memar otak :


Ada memar otak.
Perdarahan kecil lokal/difus ---- gangguan lokal --- perdarahan.
Gejala :
- Gangguan kesadaran lebih lama.
- Kelainan neurologik positip, reflek patologik positip, lumpuh, konvulsi.
- Gejala TIK meningkat.
- Amnesia retrograd lebih nyata.

Hematom Epidural :
Perdarahan anatara tulang tengkorak dan duramater.
Lokasi tersering temporal dan frontal.
Sumber : pecahnya pembuluh darah meningen dan sinus venosus.
Katagori talk and die.

Gejala : (manifestasi adanya proses desak ruang).


- Penurunan kesadaran ringan saat kejadian ----- periode Lucid (beberapa menit beberapa jam) ---- penurunan kesadaran hebat --- koma, deserebrasi, dekortisasi,
pupil an isokor, nyeri kepala hebat, reflek patologik positip.

Hematom Subdural :
Perdarahan antara duramater dan arachnoid.
Biasanya pecah vena --- akut, sub akut, kronis.
Akut :
- Gejala 24 - 48 jam.
- Sering berhubungan dnegan cidera otak & medulla oblongata.
- PTIK meningkat.
- Sakit kepala, kantuk, reflek melambat, bingung, reflek pupil lambat.

Sub Akut :
- Berkembang 7 - 10 hari, kontosio agak berat, adanya gejal TIK meningkat --kesadaran menurun.

Kronis :
- Ringan , 2 minggu - 3 - 4 bulan.
- Perdarahan kecil-kecil terkumpul pelan dan meluas.
- Gejala sakit kepala, letargi, kacau mental, kejang, disfagia.

Hematom Intrakranial :
Perdarahan intraserebral 25 cc atau lebih.
Selalu diikuti oleh kontosio.
Penyebab : Fraktur depresi, penetrasi peluru, gerakan akselerasi - deselerasi
mendadak.
Herniasi merupakan ancaman nyata, adanya bekuan darah, edema lokal.

Pengaruh Trauma Kepala :


Sistem pernapasan
Sistem kardiovaskuler.
Sistem Metabolisme.

Sistem Pernapasan :
TIK meningkat

Hipoksemia, hiperkapnia Meningkatkan rangsang simpatis


Peningkatan hambatan difusi O2 - Co2.
Edema paru Meningkatkan tahanan vask. sistemik dan tek darah
Meningkatkan tek, hidrostatik
Kebocoran cairan kapiler
Sistem pembuluh darah pulmonal tek. rendah.
Karena adanya kompresi langsung pada batang otak ---- gejala pernapasan
abnormal :
Chyne stokes.
Hiperventilasi.
Apneu.

Sistem Kardivaskuler :
Trauma kepala --- perubahan fungsi jantung : kontraksi, edema paru, tek.
Vaskuler.
Perubahan saraf otonoom pada fungsi ventrikel :
- Disritmia.
- Fibrilasi.

- Takikardia.
Tidak adanya stimulus endogen saraf simpatis --- terjadi penurunan kontraktilitas
ventrikel. ---- curah jantung menurun --- menigkatkan tahanan ventrikel kiri --edema paru.

Sistem Metabolisme :
Trauma kepala --- cenderung terjadi retensi Na, air, dan hilangnya sejumlah
nitrogen.
Dalam keadaan stress fisiologis.

Trauma

ADH dilepas

Retensi Na dan air

Out put urine menurun


Konsentrasi elektrolit meningkat

Normal kembali setelah 1 - 2 hari.


Pada keadaan lain :

Fraktur Tengkorak Kerusakan hipofisis


Atau hipotalamus

Penurunan ADH Diabetes Mellitus

Ginjal

Ekskresi air Dehidrasi

Hilang nitrogen meningkat ------------ respon metabolik terhadap trauma.

Trauma

Tubuh perlu energi untuk perbaikan

Nutrisi berkurang

Penghancuran protein otot sebagai sumber nitrogen utama.

]
Pengaruh Pada G.I Tract. :
3 hari pasca trauma --- respon tubuh merangsang hipotalamus dan stimulus
vagal.

Lambung hiperacidi

Hipotalamus ------ hipofisis anterior

Adrenal

Steroid

Peningkatan sekresi asam lambung

Hiperacidi
Trauma

Stress Perdarahan lambung

Katekolamin meningkat.

Pengkajian
Pengumpulan data pasien baik subyektif atau obyektif pada gangguan sistem
persyarafan sehubungan dengan trauma kepala adalah sebagi berikut :
1. Identitas pasien dan keluarga (penanggung jawab) : nama, umur, jenis
kelamin, agama/suku bangsa, status perkawinan, alamat, golongan darah,
penghasilan, hubungan pasien dengan penagnggung jawab, dll.
2. Riwayat Kesehatan :
Pada umumnya pasien dengan trauma kepala, datang ke rumah sakit dengan
penurunan tingkat kesadaran (GCS di bawah 15), bingung, muntah,
dispnea/takipnea, sakit kepala, wajah tidak simestris, lemah, paralise,
hemiparise, luka di kepala, akumulasi spuntum pada saluran nafas, adanya liquor
dari hidung dan telinga, dan adanya kejang.
Riwayat penyakit dahulu :
Haruslah diketahui baik yang berhubungan dnegan sistem persarafan maupun
penyakit sistem sistemik lainnya. Demikian pula riwayat penyakit keluarga,
terutama yang mempunyai penyakit menular. Riwayat kesehatan tersebut dapat
dikaji dari pasien atau keluarga sebagai data subyektif. Data-data ini sangat
berarti karena dapat mempengaruhi pronosa pasien.
3. Pemeriksaan Fisik :
Aspek Neurologis :
Yang dikaji adalah Tingkat kesadaran, biasanya GCS kurang dari 15, disorentasi
orang/tempat dan waktu, adanya refleks babinski yang positif, perubahan nilai
tanda-tanda vital, adanya gerakan decebrasi atau dekortikasi dan kemungkinan
didapatkan kaku kuduk dengan brudzinski positif. Adanya hemiparese.

Pada pasien sadar, dia tidak dapat membedakan berbagai rangsangan/stimulus


rasa, raba, suhu dan getaran. Terjadi gerakan-gerakan involunter, kejang dan
ataksia, karena gangguan koordinasi. Pasien juga tidak dapat mengingat
kejadian sebelum dan sesuadah trauma. Gangguan keseimbangan dimana
pasien sadar, dapat terlihat limbung atau tidak dapat mempertajhankana
keseimabangan tubuh.
Nervus kranialis dapat terganggu bila trauma kepala meluas sampai batang otak
karena edema otak atau pendarahan otak. Kerusakan nervus I (Olfaktorius) :
memperlihatkan gejala penurunan daya penciuman dan anosmia bilateral.
Nervus II (Optikus), pada trauma frontalis : memperlihatkan gejala berupa
penurunan gejala penglihatan. Nervus III (Okulomotorius), Nervus IV (Trokhlearis)
dan Nervus VI (Abducens), kerusakannya akan menyebabkan penurunan lapang
pandang, refleks cahaya ,menurun, perubahan ukuran pupil, bola mata tidak
dapat mengikuti perintah, anisokor.
Nervus V (Trigeminus), gangguannya ditandai ; adanya anestesi daerah dahi.
Nervus VII (Fasialis), pada trauma kapitis yang mengenai neuron motorik atas
unilateral dapat menurunkan fungsinya, tidak adanya lipatan nasolabial,
melemahnya penutupan kelopak mata dan hilangnya rasa pada 2/3 bagian lidah
anterior lidah.
Nervus VIII (Akustikus), pada pasien sadar gejalanya berupa menurunnya daya
pendengaran dan kesimbangan tubuh. Nervus IX (Glosofaringeus). Nervus X
(Vagus), dan Nervus XI (Assesorius), gejala jarang ditemukan karena penderita
akan meninggal apabila trauma mengenai saraf tersebut. Adanya Hiccuping
(cekungan) karena kompresi pada nervus vagus, yang menyebabkan kompresi
spasmodik dan diafragma. Hal ini terjadi karena kompresi batang otak. Cekungan
yang terjadi, biasanya yang berisiko peningkatan tekanan intrakranial.
Nervus XII (hipoglosus), gejala yang biasa timbul, adalah jatuhnya lidah kesalah
satu sisi, disfagia dan disartria. Hal ini menyebabkan adanya kesulitan menelan.
Aspek Kardiovaskuler :
Didapat perubahan tekanan darah menurun, kecuali apabila terjadi peningkatan
intrakranial maka tekanan darah meningkat, denyut nadi bradikardi, kemudian
takhikardia, atau iramanya tidak teratur. Selain itu pengkajian lain yang perlu
dikumpulkan adalah adanya perdarahan atau cairan yang keluar dari mulut,
hidung, telinga, mata. Adanya hipereskresi pada rongga mulut. Adanya
perdarahan terbuka/hematoma pada bagian tubuh lainnya. Hal ini perlu
pengkajian dari kepalal hingga kaki.
Aspek sistem pernapasan :
Terjadi perubahan pola napas, baik irama, kedalaman maupun frekuensi yaitu
cepat dan dangkal, irama tidak teratur (chyne stokes, ataxia brething), bunyi
napas ronchi, wheezing atau stridor. Adanya sekret pada tracheo brokhiolus.
Peningkatan suhu tubuh dapat terjadi karena adanya infeksi atau rangsangan
terhadap hipotalamus sebagai pusat pengatur suhu tubuh.

Aspek sistem eliminasi :


Akan didapatkan retensi/inkontinen dalam hal buang air besar atau kecil.
Terdapat ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, dimana terdapat hiponatremia
atau hipokalemia. Pada sistem gastro-intestinal perlu dikaji tanda-tanda
penurunan fungsi saluran pencernaan seperti bising usus yang tidak
terdengar/lemah, aanya mual dan muntah. Hal ini menjadi dasar dalam
pemberian makanan.

Glasgow Coma Scale :


I. Reaksi Membuka Mata.
4. Buka mata spontan.
3. Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara.
2. Buka mata bila dirangsang nyeri.
1.Tidak reaksi dengan rangsangan apapun.

II. Reaksi Berbicara


4. Komunikasi verbal baik, jawaban tepat.
3. Bingung, disorentasi waktu, tempat dan person.
2. Dengan rangsangan, reaksi hanya berupa kata tidak membentuk kalimat.
1. Tidak ada reaksi dengan rangsangan apapun.

III. Reaksi Gerakan Lengan / Tungkai


6. Mengikuti perintah.
5. Dengan rangsangan nyeri dapat mengetahui tempat rangsangan.
4. Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan.
3. Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal.
2. Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi extensi abnormal.
1. Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi

4. Pengkajian Psikologis :

Dimana pasien dnegan tingkat kesadarannya menurun, maka untuk data


psikologisnya tidak dapat dinilai, sedangkan pada pasien yang tingkat
kesadarannya agak normal akan terlihat adanya gangguan emosi, perubahan
tingkah laku, emosi yang labil, iritabel, apatis, delirium, dan kebingungan
keluarga pasien karena mengalami kecemasan sehubungan dengan penyakitnya.
Data sosial yang diperlukan adalah bagaimana psien berhubungan dnegan
orang-orang terdekat dan yang lainnya, kemampuan berkomunikasi dan
peranannya dalam keluarga. Serta pandangan pasien terhadap dirinya setelah
mengalami trauma kepala dan rasa aman.

5. Data spiritual :
Diperlukan adalah ketaatan terhadap agamanya, semangat dan falsafah hidup
pasien serta ke-Tuhanan yang diyakininya. Tentu saja data yang dikumpulkan bila
tidak ada penurunan kesadaran.

6. Pemeriksaan Diagnostik :
Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan dalam menegakkan diagnosa medis
adalah :
x-Ray tengkorak.
CT-Scan.
Angiografi.

7. Penatalaksanaan Medis Pada Trauma Kepala :


Obat-obatan :
Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis
sesuai dengan berat ringanya trauma.
Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurnagi vasodilatasi.
Pengobatan anti edema dnegan larutan hipertonis yaitu manitol 20 % atau
glukosa 40 % atau gliserol 10 %.
Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisillin) atau untuk infeksi
anaerob diberikan metronidasol.
Makanan atau cairan, Pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat
diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrosa 5 %, amnifusin, aminofel (18 jam
pertama dari terjadinya kecelakaan), 2 - 3 hari kemudian diberikan makanan
lunak.

Pada trauma berat. Karena hari-hari pertama didapat penderita mengalami


penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit maka
hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak cairan. Dextosa 5 % 8 jam
pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua dan dextrosa 5 % 8 jam ketiga. Pada hari
selanjutnya bila kesadaran rendah makanan diberikan melalui nasogastric tube
(2500 - 3000 TKTP). Pemberian protein tergantung nilai ure nitrogennya.
Pembedahan.

Prioritas Diagnosa Keperawatan :


1. Gangguan perfusi jaringan otak berhubungan dengan gangguan peredaran
darah karena adanya penekanan dari lesi (perdarahan, hematoma).
2. Potensial atau aktual tidak efektinya pola pernapasan, berhubungan dengan
kerusakan pusat pernapasan di medulla oblongata.
3. Potensial terjadinya peningkatan tekanan intrakranial berhubungan dengan
adanya proses desak ruang akibat penumpukan cairan darah di dalam otak.
4. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dnegan
penurunan produksi anti diuretik hormon (ADH) akibat terfiksasinya hipotalamus.
5. Aktual/Potensial terjadi gangguan kebutuhannutrisi : Kurang dari kebutuhan
berhubungan dengan berkurangnya kemampuan menerima nutrisi akibat
menurunnya kesadaran.
6. Gangguan mobilisasi fisik berhubungan dengan imobilisasi, aturan terapi
untuk tirah baring.
7. Gangguan persepsi sensoris berhubungan dengan penurunan daya
penangkapan sensoris.
8. Potensial terjadinya infeksi berhubungan dnegan masuknya kuman melalui
jaringan atau kontinuitas yang rusak.
9. Gangguan rasa nyaman : Nyeri kepala berhubunagn dnegan kerusakan
jaringan otak dan perdarahan otak/peningkatan tekanan intrakranial.
10. Gangguan rasa aman : Cemas dari keluarga berhubungan dengan
ketidakpastian terhadap pengobatan dan perawatan serta adanya perubahan
situasi dan krisis.

Intervensi :
1. Kaji faktor penyebab dari situasi/keadaan individu/penyebab coma/penurunan
perfusi jaringan dan kemungkinan penyebab peningkatan TIK.

R/ Deteksi dini untuk memprioritaskan intervensi, mengkaji status


neurologi/tanda-tanda kegagalan untuk menentukan perawatan kegawatan atau
tindakan pembedahan.
2. Monitor GCS dan mencatatnya.
R/ Menganalisa tingkat kesadaran dan kemungkinan dari peningkatan TIK dan
menentukan lokasi dari lesi.
3. Memonitor tanda-tanda vital.
R/ Suatu kedaan normal bila sirkulasi serebral terpelihara dengan baik atau
fluktuasi ditandai dengan tekanan darah sistemik, penurunan dari outoregulator
kebanyakan merupakan tanda penurun difusi lokal vaskularisasi darah serebral.
Dengan peningkatan tekanan darah (diatolik) maka dibarengi dengan
peningkatan tekanan darah intra kranial. Hipovolumik/hipotensi merupakan
manifestasi dari multiple trauma yang dapat menyebabkan ischemia serebral.
HR dan disrhytmia merupakan perkembangan dari gangguan batang otak.
4. Evaluasi pupil.
R/ Reaksi pupil dan pergerakan kembali dari bola mata merupakan tanda dari
gangguan nervus/saraf jika batang otak terkoyak. Keseimbangan saraf antara
simpatik dan parasimpatik merupakan respon reflek nervus kranial.
5. Kaji penglihatan, daya ingat, pergerakan mata dan reaksi reflek babinski.
R/ Kemungkinan injuri pada otak besar atau batang otak. Penurunan reflek
penglihatan merupakan tanda dari trauma pons dan medulla. Batuk dan cekukan
merupakan reflek dari gangguan medulla.Adanya babinski reflek indikasi adanya
injuri pada otak piramidal.
6. Monitor temperatur dan pengaturan suhu lingkungan.
R/ Panas merupakan reflek dari hipotalamus. Peningkatan kebutuhan
metabolisme dan O2 akan menunjang peningkatan ICP.
7. Monitor intake, dan output : catat turgor kulit, keadaa membran mukosa.
R/ Indikasi dari gangguan perfusi jaringan trauma kepala dapat menyebabkan
diabetes insipedus atau syndroma peningkatan sekresi ADH.
8. Pertahankan kepala/leher pada posisi yang netral, usahakan dnegan sedikit
bantal. Hindari penggunaan bantal yang banyak pada kepala.
R/ Arahkan kepala ke salah datu sisi vena jugularis dan menghambat drainage
pada vena cerebral dan meningkatkan ICP.
9. Berikan periode istirahat anatara tindakan perawatan dan batasi lamanya
prosedur.

R. Tindakan yang terus-menerus dapat meningkatkan ICP oleh efek rangsangan


komulatif.
10. Kurangi rangsangan esktra dan berikan rasa nyaman seperti massage
punggung, lingkungan yang tenang, sentuhan yang ramah dan
suasana/pembicaraan yang tidak gaduh.
R/ Memberikan suasana yang tenag (colming efek) dapat mengurangi respon
psikologis dan memberikan istirahat untuk mempertahankan/ICP yang rendah.
11. Bantu pasien jika batuk, muntah.
R/ Aktivitas ini dapat meningkatkan intra thorak/tekanan dalam torak dan
tekanan dalam abdomen dimana akitivitas ini dapat meningkatkan tekanan ICP.
12. Kaji peningkatan istirahat dan tingkah laku pada pagi hari.
R/ Tingkah non verbal ini dpat merupakan indikasi peningkatan ICP atau
memberikan reflek nyeri dimana pasien tidak mampu mengungkapkan keluhan
secara verbal, nyeri yang tidak menurun dapat meningkatakan ICP.
13. Palpasi pada pembesaran/pelebaran blader, pertahankan drainage urin
secara paten jika digunakan dan juga monitor terdapatnya konstipasi.
R/ Dapat meningkatkan respon automatik yang potensial menaikan ICP.
Kolaborasi :
14. Naikkan kepala pada tempat tidur/bed 15 - 45 derajat sesuai dengan
tolenransi/indikasi.
R/ Peningkatan drainage/aliran vena dari kepala, mengurangi kongesti cerebral
dan edema/resiko terjadi ICP.
15. Berikan cairan intra vena sesuai dengan yang dindikasikan.
R/ Pemberian cairan mungkin diinginkan untuk menguransi edema cerebral,
peningkatan minimum pada pembuluh darah, tekanan darah dan ICP.
16. Berikan Oksigen.
R/ Mengurangi hipoxemia, dimana dapat meningkatkan vasodilatasi cerebral dan
volume darah dan menaikkan ICP.
17. Berikan obat Diuretik contohnya : mannitol, furoscide.
R/ Diuretik mungkin digunakan pada pase akut untuk mengalirkan air dari brain
cells, dan mengurangi edema cerebral dan ICP.
18. Berikan Steroid contohnya : Dextamethason, methyl prednisolone.
R/ Untuk menurunkan inflamasi (radang) dan mengurangi edema jaringan.
19. Berikan analgesik dosis tinggi contoh : Codein.

R/ Mungkin diindikasikan untuk mengurangi nyeri dan obat ini berefek negatif
pada ICP tetapi dapat digunakan dengan sebab untuk mencegah.
20. Berikan Sedatif contoh : Benadryl.
R/ Mungkin digunakan untuk mengontrol kurangnya istirahat dan agitasi.
21. Berikan antipiretik, contohnya : aseptaminophen.
R/ Mengurangi/mengontrol hari dan pada metabolisme serebral/oksigen yang
diinginkan.

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, L.P. (1999). Rencana Asuhan Dan Dokumentasi Keperawatan,


Diagnosa Keperawatan dan Masalah Kolaboratif. Ed.2. Jakarta : EGC.

Komite Keperawatan RSUD Dr. Soedono Madiun. (1999). Penatalaksanaan Pada


Kasus Trauma Kepala. Makalah Kegawat daruratan dalam bidang bedah. Tidak
dipublikasikan.

Long, B.C. (1996). Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses


Kperawatan). Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan
Bandung.

Makalah Kuliah Medikal bedah PSIK FK Unair Surabaya. Tidak Dipublikasikan

Reksoprodjo, S. dkk. (1995). Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta : Bina rupa
Aksara.

Rothrock, J.C. (1999). Perencanaan Asuhan Keperawatan Perioperatif. Jakarta :


EGC.

Tucker, S.M. (1998). Standart Perawatan Pasien : Proses Keperawatan, Diagnosis


dan Evaluasi. Ed. 1 . Jakarta : ECG

ASKEP PRE DAN POST OPERASI PADA PASIEN


DENGAN GAGAL NAFAS
Posted by perawat.anestesi on Rabu, April 20, 2011
0
BAB I
PENDAHULUAN
Keperawatan pre-operatif merupakan tahapan awal dari perioperatif. Kesuksesan tindakan
pembedahan secara keseluruhan sangat tergantung pada fase ini. Hal ini disebabkan vase ini
merupakan awalan yang menjadi landasan untuk kesuksesan tahapan-tahapan berikutnya.
Pengkajian secara integral dari fungsi pasien meliputi fungsi fisik biologis dan psikologis
sangat diperlukan untuk keberhasilan dan kesuksesan suatu operasi.
Gagal nafas adalah kegagalan sistem pernafasan untuk mempertahankan pertukaran oksigen
dankarbondioksida dalam jumlah yangdapat mengakibatkan gangguan pada kehidupan (RS
Jantung Harapan Kita, 2001)
Gagal nafas terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap karbondioksida dalam paru-paru
tidak dapat memelihara laju komsumsioksigen dan pembentukan karbon dioksida dalam selsel tubuh. Sehingga menyebabkan tegangan oksigen kurang dari 50 mmHg (Hipoksemia) dan
peningkatan tekanan karbondioksida lebih besar dari 45 mmHg (hiperkapnia). (Brunner &
Sudarth, 2001)
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
Gagal nafas adalah ketidakmampuan sistem pernafasan untuk mempertahankan oksigenasi
darah normal (PaO2), eliminasi karbon dioksida (PaCO2) dan pH yang adekuat
disebabkanoleh masalah ventilasi difusi atau perfusi (Susan Martin T, 1997).
Gagal nafas terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap karbondioksida dalam paru-paru
tidak dapat memelihara laju komsumsioksigen dan pembentukan karbon dioksida dalam selsel tubuh. Sehingga menyebabkan tegangan oksigen kurang dari 50 mmHg (Hipoksemia) dan
peningkatan tekanan karbondioksida lebih besar dari 45 mmHg (hiperkapnia). (Brunner &
Sudarth, 2001).

B. PATOFISIOLOGI
Gagal nafas ada dua macam yaitu gagal nafas akut dan gagal nafas kronik dimana masing
masing mempunyai pengertian yang berbeda. Gagal nafas akut adalah gagal nafas yang
timbul pada pasien yang parunya normal secara struktural maupun fungsional sebelum awitan
penyakit timbul. Sedangkan gagal nafas kronik adalah terjadi pada pasien dengan penyakit
paru kronik seperti bronkitis kronik, emfisema dan penyakit paru hitam (penyakit penambang
batubara). Pasien mengalalmi toleransi terhadap hipoksia dan hiperkapnia yang memburuk
secara bertahap. Setelah gagal nafas akut biasanya paru-paru kembali kekeasaan asalnya.
Pada gagal nafas kronik struktur paru alami kerusakan yang ireversibel.
Indikator gagal nafas telah frekuensi pernafasan dan kapasitas vital, frekuensi penapasan
normal ialah 16-20 x/mnt. Bila lebih dari20x/mnt tindakan yang dilakukan memberi bantuan
ventilator karena kerja pernafasan menjadi tinggi sehingga timbul kelelahan. Kapasitasvital
adalah ukuran ventilasi (normal 10-20 ml/kg).
Gagal nafas penyebab terpenting adalah ventilasi yang tidak adekuatdimana terjadi obstruksi
jalan nafas atas. Pusat pernafasan yang mengendalikan pernapasan terletak di bawah batang
otak (pons dan medulla). Pada kasus pasien dengan anestesi, cidera kepala, stroke, tumor
otak, ensefalitis, meningitis, hipoksia dan hiperkapnia mempunyai kemampuan menekan
pusat pernafasan. Sehingga pernafasan menjadi lambat dan dangkal. Pada periode
postoperatif dengan anestesi bisa terjadi pernafasan tidak adekuat karena terdapat agen
menekan pernafasan denganefek yang dikeluarkanatau dengan meningkatkan efek dari
analgetik opiood. Pnemonia atau dengan penyakit paru-paru dapat mengarah ke gagal nafas
akut.
C. ETIOLOGI
1. Depresi Sistem saraf pusat
Mengakibatkan gagal nafas karena ventilasi tidak adekuat. Pusat pernafasan yang
menngendalikan pernapasan, terletak dibawah batang otak (pons dan medulla) sehingga
pernafasan lambat dan dangkal.
2. Kelainan neurologis primer
Akan memperngaruhi fungsi pernapasan. Impuls yang timbul dalam pusat pernafasan
menjalar melalui saraf yang membentang dari batang otak terus ke saraf spinal ke reseptor
pada otot-otot pernafasan. Penyakit pada saraf seperti gangguan medulla spinalis, otot-otot
pernapasan atau pertemuan neuromuslular yang terjadi pada pernapasan akan
sangatmempengaruhiventilasi.
3. Efusi pleura, hemotoraks dan pneumothoraks
Merupakan kondisi yang mengganggu ventilasi melalui penghambatan ekspansi paru.
Kondisi ini biasanya diakibatkan penyakti paru yang mendasari, penyakit pleura atau trauma
dan cedera dan dapat menyebabkan gagal nafas.
4. Trauma
Disebabkan oleh kendaraan bermotor dapat menjadi penyebab gagal nafas. Kecelakaan yang
mengakibatkan cidera kepala, ketidaksadaran dan perdarahan dari hidung dan mulut dapat
mnegarah pada obstruksi jalan nafas atas dan depresi pernapasan. Hemothoraks,
pnemothoraks dan fraktur tulang iga dapat terjadi dan mungkin meyebabkan gagal nafas.
Flail chest dapat terjadi dan dapat mengarah pada gagal nafas. Pengobatannya adalah untuk
memperbaiki patologi yang mendasar.
5. Penyakit akut paru
Pnemonia disebabkan oleh bakteri dan virus. Pnemonia kimiawi atau pnemonia diakibatkan
oleh mengaspirasi uap yang mengritasi dan materi lambung yang bersifat asam. Asma
bronkial, atelektasis, embolisme paru dan edema paru adalah beberapa kondisi lain yang

menyababkan gagal nafas.


D. TANDA DAN GEJALA
Tanda:
a). Gagal nafas total
Aliran udara di mulut, hidung tidak dapat didengar/dirasakan.
Pada gerakan nafas spontan terlihat retraksi supra klavikuladan sela iga serta tidak ada
pengembangan dada pada inspirasi.
Adanya kesulitasn inflasi parudalam usaha memberikan ventilasi buatan.
b). Gagal nafas parsial
Terdenganr suara nafas tambahan gargling, snoring, Growing dan whizing.
Ada retraksi dada
Gejala:
Hiperkapnia yaitu penurunan kesadaran (PCO2).
Hipoksemia yaitu takikardia, gelisah, berkeringat atau sianosis (PO2 menurun).
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemerikasan gas-gas darah arteri
Hipoksemia
Ringan : PaO2 < 80 mmHg Sedang : PaO2 < 60 mmHg Berat : PaO2 < 40 mmHg
Pemeriksaan rontgen dada Melihat keadaan patologik dan atau kemajuan proses penyakit
yang tidak diketahui Hemodinamik Tipe I : peningkatan PCWP EKG Mungkin
memperlihatkan bukti-bukti regangan jantung di sisi kanan Disritmia. F. PENGKAJIAN 1)
Airway Peningkatan sekresi pernapasan Bunyi nafas krekels, ronki dan mengi 2)
Breathing Distress pernapasan : pernapasan cuping hidung, takipneu/bradipneu, retraksi.
Menggunakan otot aksesori pernapasan Kesulitan bernafas : lapar udara, diaforesis,
sianosis. 3). Circulation Penurunan curah jantung : gelisah, letargi, takikardia Sakit kepala
Gangguan tingkat kesadaran : ansietas, gelisah, kacau mental, mengantuk Papiledema
Penurunan haluaran urine. G. PENTALAKSANAAN MEDIS a) Terapi oksigen Pemberian
oksigen kecepatan rendah : masker Venturi atau nasal prong b) Ventilator mekanik dengan
tekanan jalan nafas positif kontinu (CPAP) atau PEEP c) Inhalasi nebuliser d) Fisioterapi
dada e) Pemantauan hemodinamik/jantung f) Pengobatan -Brokodilator -Steroid g) Dukungan
nutrisi sesuai kebutuhan. H. DIAGNOSA KEPERAWATAN 1. Pola nafas tidak efektif b.d.
penurunan ekspansi paru Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien dapat
mempertahankan pola pernapasan yang efektif. Kriteria Hasil : Frekuensi, irama dan
kedalaman pernapasan normal Adanya penurunan dispneu Gas-gas darah dalam batas
normal Intervensi : Kaji frekuensi, kedalaman dan kualitas pernapasan serta pola
pernapasan. Kaji tanda vital dan tingkat kesasdaran setaiap jam dan prn Monitor
pemberian trakeostomi bila PaCo2 50 mmHg atau PaO2< 60 mmHg. Berikan oksigen
dalam bantuan ventilasi dan humidifier sesuai dengan pesanan Pantau dan catat gas-gas
darah sesuai indikasi : kaji kecenderungan kenaikan PaCO2 atau kecendurungan penurunan
PaO2 Auskultasi dada untuk mendengarkan bunyi nafas setiap 1 jam Pertahankan tirah
baring dengan kepala tempat tidur ditinggikan 30 sampai 45 derajat untuk mengoptimalkan
pernapasan Berikan dorongan utnuk batuk dan napas dalam, bantu pasien untuk mebebat
dada selama batuk Instruksikan pasien untuk melakukan pernapasan diagpragma atau bibir
Berikan bantuan ventilasi mekanik bila PaCO > 60 mmHg. PaO2 dan PCO2 meningkat
dengan frekuensi 5 mmHg/jam. PaO2 tidak dapat dipertahankan pada 60 mmHg atau lebih,
atau pasien memperlihatkan keletihan atau depresi mental atau sekresi menjadi sulit untuk

diatasi.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan abnormalitas ventilasi-perfusi sekunder
terhadap hipoventilasi.
Tujuan : Setelah diberikan tindakan keperawatan pasien dapat mempertahankan pertukaran
gas yang adekuat.
Kriteria Hasil :
Pasien mampu menunjukkan :
Bunyi paru bersih
Warna kulit normal
Gas-gas darah dalam batas normal untuk usia yang diperkirakan.
Intervensi :
Kaji terhadap tanda dan gejala hipoksia dan hiperkapnia
Kaji TD, nadi apikal dan tingkat kesadaran setiap jam dan prn, laporkan perubahan tinmgkat
kesadaran pada dokter.
Pantau dan catat pemeriksaan gas darah, kaji adanya kecenderungan kenaikan dalam PaCO2
atau penurunan dalam PaO2
Bantu dengan pemberian ventilasi mekanik sesuai indikasi, kaji perlunya CPAP atau PEEP.
Auskultasi dada untuk mendengarkan bunyi nafas setiap jam
Tinjau kembali pemeriksaan sinar X dada harian, perhatikan peningkatan atau
penyimpangan
Pantau irama jantung
Berikan cairan parenteral sesuai pesanan
Berikan obat-obatan sesuai pesanan : bronkodilator, antibiotik, steroid.
Evaluasi AKS dalam hubungannya dengan penurunan kebutuhan oksigen.
3. Kelebihan volume cairan b.d. edema pulmo
Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan pasien tidak terjadi kelebihan volume cairan.
Kriteria Hasil :
Pasien mampu menunjukkan:
TTV normal
Balance cairan dalam batas normal
Tidak terjadi edema.
Intervensi :
Timbang BB tiap hari
Monitor input dan output pasien tiap 1 jam
Kaji tanda dan gejala penurunan curah jantung
Kaji tanda-tanda kelebihan volume : edema, BB , CVP
Monitor parameter hemodinamik
Kolaburasi untuk pemberian cairandan elektrolit
1. Gangguan perfusi jaringan b.d. penurunan curah jantung
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien mampu mempertahankan perfusi
jaringan.
Kriteria Hasil :
Pasien mampu menunjukkan
Status hemodinamik dalam bata normal
TTV normal
Intervensi :
Kaji tingkat kesadaran
Kaji penurunan perfusi jaringan
Kaji status hemodinamik
Kaji irama EKG

Kaji sistem gastrointestinal


BAB III
PEMECAHAN MASALAH
ASKEP KLIEN PRE DAN POST OPERASI GANGGUAN
PERNAFASAN
A. Askep Klien Pre Operasi
1. Pengertian
Keperawatan Pre operasi adalah dimulai ketika klien masuk/pindah kebagian bedah dan
berakhir saat klien dipindahkan keruang pemulihan. Aktivitas yang dilakukan pada tahap ini
adalah segala macam aktivitas yang dilakukan oleh perawat diruang operasi.
2. Persiapan klien Pre Operasi
a) Status kesehatan fisik secara umum
Sebelum dilakukan pembedahan, penting dilakukan pemeriksaan status kesehatan secara
umum, meliputi identitas klien, riwayat penyakit seperti kesehatan masa lalu, riwayat
penyakit keluarga, pemeriksaan fisik lengkap.
b) Status nutrisi
Kebutuhan nutrisi ditentukan dengan mengukur tinggi badan, lingkar lengan atas, kadar
protein, darah dan keseimbangan nitrogen.
c) Keseimbangan cairan dan elektrolit
Cairan perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan input dan output.
d) Kebersihan lambung dan Kolon
Lambung dan kolon harus dibersihkan terlebih dahulu. Intervensi keperawatan yang bisa
diberikan diantaranya adalah pasien dipuasakan.
e) Personal Hygine
Kebersihan tubuh pasien sangat penting untuk persiapan operasi karena tubuh yang kotor
dapat merupakan sumber kuman dan dapat mengakibatkan infeksi pada daerah yang
dioperasi.
3. Proses Keperawatan
1. Pengkajian
Pengontrolan TTV
Melakukan auskultasi dada
Pola pernafasan
2. Diagnosa
Resiko infeksi
Resiko cedera
3. Implementasi
Memberikan dukungan emosional
Mengukur posisi yang sesuai
Mempertahankan keadaan aseptis
Menjaga kestabilan temperature pasien
Memonitor hiperglikemi
Membantu penutupan luka operasi
Membantu penutupan luka operasi

Memindahkan pasien keruang pemulihan


4. Intervensi
Memperbaiki jalan nafas
Pendidikan pasien
Menghilangkan ansietas
B. Askep Klien Post-Operasi
2. Pengertian
Keperawatan Post-Operasi adalah dimulai dengan masuknya klien keruang pemulihan
(Recovery Room) dan berakhir dengan evaluasi tindak lanjut pada tatanan klinik atau
dirumah.
3. Yang harus diperhatikan pada Post-operasi
a. Pernafasan
b. Sirkulasi
c. Pengontrolan suhu
d. Fungsi Nurologis
e. Fungsi Genitrourinaria
f. Fungsi Gastroinfestinal
g. Keseimbangan cairan dan elektrolit
h. Kenyamanan
4. Proses keperawatan
a) Pengkajian
Pemeriksaan TTV
Tingkat kesadaran
Kondisi bautan dan drainase
Asupan cairan
b) Diagnosa keperawatan
Ketidakefektifan jalan nafas
Ketidakefektifan pola pernafasan
Nyeri
Resiko kekurangan volume cairan
Resiko kerusakan integritas kulit
c) Perencanaan
Menunjukkan fungsi fisiologis normal
Tidak memperlihatkan adanya infeksi bekas luka
Dapat beristirahat dan memperoleh rasa nyaman
Kembali pada status kesehatan fungsional
d) Implementasi / Penatalaksanaan
Mempertahankan fungsi pernafasan
Mencegah statis sirkulasi
Meningkatkan fungsi eleminasi
Mempercepat penyembuhan luka
Memperoleh kenyamanan dan istirahat
Mempercepat kembalinya status kesehatan fungsional
e) Evaluasi

Ukur penyimpangan dada saat bernafas dalam


Inspeksi kondisi tepi luka
Kaji suhu tubuh
Evaluasi perilaku verbal dan nonverbal
Observasi tingkat ambulasi klien
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Keperawatan pre-operatif merupakan tahapan awal dari perioperatif. Kesuksesan tindakan
pembedahan secara keseluruhan sangat tergantung pada fase ini. Hal ini disebabkan vase ini
merupakan awalan yang menjadi landasan untuk kesuksesan tahapan-tahapan berikutnya.
Keperawatan Pre operasi adalah dimulai ketika klien masuk/pindah kebagian bedah dan
berakhir saat klien dipindahkan keruang pemulihan.
Keperawatan Post-Operasi adalah dimulai dengan masuknya klien keruang pemulihan
(Recovery Room) dan berakhir dengan evaluasi tindak lanjut pada tatanan klinik atau
dirumah.
B. Saran
1. Pemeriksaan status kesehatan secara umum, meliputi identitas klien, riwayat penyakit
seperti kesehatan masa lalu, riwayat penyakit keluarga, pemeriksaan fisik lengkap.
2. Memperhatikan Kebersihan tubuh si pasien sebelum operasi dengan menyuruh pasien
berpuasa.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner dan Suddarth, (2000), Buku Ajar Keperawatn Medikal Bedah, Buku Kedokteran,
ECG, Jakarta.
www.keperawatanmedikalbedah.com
Reksoprodjo Soelarto, (1995), Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, Binarupa Aksara, Jakarta.
Suddarth Doris Smith, (1991), The lippincott Manual of Nursing Practice, fifth edition, JB
Lippincott Company, Philadelphia
\

Anda mungkin juga menyukai