Anda di halaman 1dari 43

KASUS I

Laki-laki 17 tahun masuk ke Puskesmas dengan kesadaran menurun sekitar 1.5


jam yang lalu setelah mengalami KLL. Penderita hanya mengeluarkan suara
mendengkur, dengan rangsang nyeri mampu membuka mata dan hanya
menggerakkan tangan dan kaki setelah dirangsang nyeri. Pada pemeriksaan fisik
diperoleh tekanan darah 90/40 mmHg, Nadi 100x/ menit, Pernapasan 16 x/menit,
temperature 37C, saat evaluasi pupil diameter OS 2mm reflek cahaya + dan
diameter OD 4 mm reflek cahaya menurun. Nampak lebam pada lengan kanan
dan deformitas bagian paha kaki kanan disertai luka robek pada pelipis kanan.
Saat diantar ke Puskesmas oleh warga, penderita sempat berbicara dengan baik.

I. KATA KUNCI
1. Laki-laki 17 tahun, kesadaraan menurun setelah KLL 1,5 jam yang lalu
2. Mendengkur (2), membuka mata (2) dan mengerakan tangan bila dirangsang nyeri
(3) GCS = 7 (E2M3V2)
3. TD 90/40 mmHg = hipotensi
4. Nadi 100x/menit = takikardia
5. Pernafasaan 16x/menit = normal
6. Temperatur 370 celcius = normal
7. Pupil OS 2mm reflek cahaya + dan OD 4 mm reflek cahaya menurun = pupil
anisokhor
8. Lebam pada lengan kanan dan deformitas paha kaki kanan disertai luka di pelipis
kanan = curiga terjadinya dislokasi dan patah tulang tertutup luka dipelipis dapat
dicurigai trauma capitis
9. Saat diantar ke puskesmas sempat berbicara dengan baik = lucid interval (+)
II. PERTANYAAN
1. Macam-macam yang menyebabkan dan patomekanisme penurunan kesadaran baik
intrakranial dan ekstrakranial!
2. Diagnosis awal dari skenario ? Dan komplikasi yang dapat terjadi ?
3. Menjelaskan bagaimana penanganan awal pada skenario?
4. Bagaimana penanganan lanjutan pada pasien sesuai skenario?
5. Bagaimanakah fisiologi kesadaran manusia ?
6. Bagaimana cara pemakaian obat-obatan darurat yang diberikan? lalu mekanisme
kerjanya?
7. Menjelaskan syarat-syarat melakukan transportasi dan rujukan pada skenario?
8. Prespektif islam yang berhubungan dengan skenario?

III. JAWABAN :
1. Macam macam yang menyebabkan dan patomekanisme penurunan kesadaraan baik
intrakranial dan ekstrakranial ?
Jawab :
Penyebab dan patomekanisme penurunan kesadaran:
 Intrakranial
 trauma
- Hematoma Epidural, paling sering terjadi di daerah parietotemporal akibat
robekan arteri meningea media. Hematoma epidural di daerah frontal dan
oksipital sering tidak dicurigai dan memberi tanda-tanda setempat yang tidak
jelas. Arteri meningea media yang masuk di dalam tengkorak melalui foramen
spinosum dan jalan antara durameter dan tulang dipermukaan dan os temporale.
Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematoma epidural, desakan oleh
hematoma akan melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang kepala sehingga
hematoma bertambah besar. Hematoma yang meluas didaerah temporal
menyebabkan tertekannya lobus temporalis otak ke arah bawah dan dalam.
Tekanan ini menyebabkan bagian media lobus (unkus dan sebagian dari girus
hipokampus) mengalami herniasi dibawah tepi tentorium. Keadaan ini
menyebabkan timbulnya tanda neurologik yang dapat dikenal oleh tim medis.
Tekanan herniasi unkus pada sirkulasi arteria ke farmasio retikularis medula
oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran. Di tempat ini juga terdapat nuklei
saraf kranial III (okulomotorius). Tekanan pada saraf ini mengakibatkan dilatasi
pupil dan ptosis kelopak mata. Tekanan pada jaras kortikospinalis asendens pada
area ini menyebabkan kelemahan renspon motorik kontralateral ( berlawanan
dengan tempat hematoma), refleks hiperaktif atau sangat cepat, dan tanda
babinski positif. Dengan makin meluasnya hematoma, seluruh isi otak akan
terdorong ke arah yang berlawanan sehingga terjadi peningkatan ICP, termasuk
kekakuan deserebrasi dan gangguan tanda vital dan fungsi pernapasan. Karena
perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan terpompa terus keluar hingga
makin lama makin besar. Ketika kepala terbanting atau terbentur mungkin
penderita pingsan sebentar dan segera sadar kembali. Dalam waktu beberapa
jam, penderita akan merasakan nyeri kepala yang progresif memberat.
Kemudian kesadaran berangsur menurun.
- Pasien perdarahan subarachnoid mengeluhkan nyeri kepala yang tiba tiba,
menetap dan intensitas berat. Diikuti mual muntah, kaku leher dan penurunan
kesadaran. Penurunan kesadaran diakibatkan peningkatan tekanan intracranial
yang terjadi segera setelah darah masuk dalam ruang subarachnoid.
- Perdarahan subdural terjadi antara duramater dan araknoid. Perdarahan dapat
terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan
vena di permukaan otak dan sinus venosus di dalam duramater atau karena
robeknya araknoid. Karena otak dikelilingi cairan serebrospinal yang dapat
bergerak, sedangkan sinus venosus dalam keadaan terfiksir, berpindahnya posisi
otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek beberapa vena halus pada tempat
dimana mereka menembus duramater. Perdarahan yang besar akan menimbulkan
gejala-gejala akut menyerupai hematoma epidural.
 Non trauma
- Meningoensefalitis adalah merupakan proses inflamasi pada parenkim otak dan
selaput otak, dapat menimbulkan disfungsi neuropsikologis difus dan/atau fokal
yang menyebabkan gangguan pada ARAS sehingga mengakibatkan penurunan
kesadaran.
- Patofisiologi malaria serebral adalah penurunan kesadaran (koma) akibat infeksi
parasit malaria yang merusak sawar otak, disertai sindrom neurologis. Infeksi
yang menyebabkan malaria serebral paling berat disebabkan oleh Plasmodium
falciparum. Malaria serebral umumnya terjadi dalam waktu 2 minggu setelah
digigit nyamuk malaria atau setelah 2-7 hari demam. Mekanisme patogenesis
malaria serebral masih belum pasti diketahui karena akses penelitian terhadap
jaringan tubuh manusia terbatas. Namun diperkirakan, parasit malaria tidak
menginfiltrasi dan menginfeksi jaringan parenkim otak secara langsung.
Sebaliknya, parasit malaria merusak sawar otak (blood brain barrier) sehingga
terjadi ruptur dan perdarahan. Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan
kesadaran dan sindrom neurologis.
- Neoplasma otak, baik primer maupun metastatik, sering di jumpai di Indonesia.
Neoplasma lebih sering dijumpai pada golongan usia dewasa dan lanjut. -
Kesadaran menurun umumnya timbul berangsur-angsur namun progresif/ tidak
akut.
- Stroke hemoragic adalah disfungsi neurologis fokal yang akut dan disebabkan
oleh perdarahan primer substansi otak yang terjadi secara spontan bukan oleh
karena trauma kapitis, disebabkan oleh karena pecahnya pembuluh arteri, vena,
dan kapiler yang bisa terjadi kapan saja, kesadaran pasien umumnya menurun.

 Ekstrakranial
- Syok merupakan kondisi medis yang mengancam nyawa, yang terjadi ketika
tubuh tidak mendapat cukup aliran darah sehingga tidak tercukupinya kebutuhan
aerobik seluler atau tidak tercukupinya oksigen untuk memenuhi kebutuhan
metabolik tubuh sehinggga dapat menyebabkan hipoperfusi jarngan secara
global dan meyebabkan asidosis metabolik. Keadaan ini membutuhkan
penanganan yang cepat karena dapet berkembang / memburuk dengan
cepat.Syok dapat terjadi meskipun tekanan darah normal dan hipotensi dapat
terjadi tanpa terjadinya hipoperfusi. Tanda khas (typical sign) syok adalah
menurunnya tekanan darah, meningkatnya denyut jantung, tanda gangguan
perfusi pada organ akhir, dan dekompensasi (peripheral shut-down), seperti
menurunnya urin output, menurunnya kesadaran, dll
- Penyebab dari penurunan kesadaran pada penderita DM, antara lain
hipoglikemi, asidosis (KAD dan asidosis laktat), hiperosmolaritas (SHH), dan
uremik ensefalopati (uremia karena gagal ginjal yang disebabkan oleh
diabetik nefropati). Hipoglikemia menyebabkan edema selular, sedangkan
hiperosmolaritas menyebabkan sel mengkerut. Kedua kondisi sel ini
menyebabkan penurunan eksitabilitas sel-sel saraf yang menyebabkan
penurunan kesadaran. Selain dua kondisi tersebut, asidosis juga mempengaruhi
eksitabilitas sel yang dapat berlanjut pada penurunan kesadaran.
- Pada konsumsi dalam jumlah sedikit, alcohol memberikan sensasi yang nyaman.
Konsumsi dalam jumlah banyak , alcohol menimbulkan perilaku meledak-ledak.
Control diri menjadi hilang dan penguasaan diri menjadi berkurang. Alcohol
bekerja dengan menekan mekanisme control inhibisi dan aktivasi sistem
reticular. Jika alcohol dalam jumlah besar dikonsumsi dalam jangka waktu
pendek, akan berlanjut pada kehilangan kesadaran dan sensasi mati rasa.
Kematian dapat terjadi akibat gagal nafas dan gagal jantung.

Mekanisme paling mungkin dapat terjadi pada skenario yang menyebabkan penurunan
kesadaraan merupakan trauma intrakranial ( epidural hematoma ) karena terdapat trias
dari epidural hematoma yaitu pasien sempat sadar lalu mengalami penurunan
kesadaraan yang disebut lucid interval dan pupil anishokor seperti dijelaskan diatas

Referensi:
1. Anderson S. McCarty L., Cedera Susunan Saraf Pusat, Patofisiologi, edisi
4,Anugrah P. EGC, Jakarta,1995, 1014-1016
2. Tunkel AR et al. 2008. The Management of Encephalitis: Clinical Practice
Guidelines by the Infectious Diseases Society of America. Clinical Infectious
Diseases 47:303–27Price S.A., Wilson L.M., 1995, Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit , Edisi 4,Buku II, EGC, Jakarta
3. Renia, L., et al., Cerebral malaria: mysteries at the blood-brain barrier.
Virulence, 2012. 3(2): p. 193-201.
4. WHO, Severe falciparum malaria. World Health Organization, Communicable
Diseases Cluster. Trans R Soc Trop Med Hyg, 2000. 94 Suppl 1: p. S1-90.
5. Caplan L.R. 2009. Stroke a clinical approach. 4th edition. Saunders
Elsevier.USA.
6. Sidharta, P. dan Mardjono, M. 2006. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian
Rakyat.
7. Silbenagl S, Lang F. Consciousness. In: Silbenagl S, Lang F. Color Atlas of
Pathophysiology. Thieme. Stuttgart, Germany. 2000: p. 342-343
2. Diagnosis awal dari skenario ? Dan komplikasi yang dapat terjadi ?
Jawab :

A. Curiga Cedera Kepala Berat


Cedera kepala sendiri merupakan perlukaan pada kepala yang mengakibatkan
terganggunya fungsi otak akibat pukulan atau sentakan keras ke kepala. Cedera kepala
juga dapat disebabkan oleh adanya objek tertentu, seperti peluru yang menekan jaringan
otak. Kondisi cedera kepala harus segera mendapatkan penanganan medis, terutama
cedera kepala berat, karena dapat menyebabkan perdarahan, robeknya jaringan, atau
bahkan kematian.
Tingkatan cedera kepala didasarkan oleh beberapa faktor, antara lain sifat cedera dan
kekuatan benturan. Beberapa kejadian umum yang menyebabkan cedera kepala berat,
pada skenario pasien mengalami KLL selama 1,5 jam yang lalu menggunakan Glasgow
Coma Scale (GCS) untuk mengidentifikasi tingkat keparahan cedera kepala.
Setiap nilai dalam kategori pemeriksaan dijumlahkan hingga menghasilkan total nilai.
Berdasarkan total nilai ini, cedera kepala diklasifikasikan menjadi 3 jenis, yaitu:

 Cedera kepala ringan – nilai 13 ke atas.


 Cedera kepala sedang – nilai 9-12.
 Cedera kepala berat – nilai 8 ke bawah.

Sedangkan pemeriksaan yang dilakukan didapatkan GCS pasien 7 (E2M3V2) yang


terkategori sebagai cedera kepala berat maka dilakukan primary survey lalu untuk
dilakukan diagnosis pemeriksaan lanjutan berupa tes pencitraan untuk memastikan
kondisi yang dialami pasien, meliputi:
 CT scan, untuk mendapatkan gambaran tulang yang patah secara cepat dan
mendeteksi kemungkinan perdarahan di otak, pembekuan darah (hematoma),
jaringan otak yang memar (kontusio), atau pembengkakan jaringan otak.
 MRI, untuk mendapatkan gambaran otak secara detail. Pemeriksaan ini biasanya
dilakukan setelah kondisi pasien stabil.

1. Pengobatan Cedera Kepala Berat

Sebagai langkah awal, dokter akan memastikan bahwa pasien dalam kondisi stabil, yang
dilihat dari pernapasan, denyut jantung, dan tekanan darah. Kemudian, dokter akan
menanyakan beberapa hal terkait gejala, kondisi, serta penyebab cedera kepala kepada
pasien jika pasien sadar, atau kepada orang yang mengantarkan pasien ke rumah sakit
lalu
Umumnya, penderita cedera kepala berat menjalani perawatan secara intensif di rumah
sakit untuk menurunkan risiko komplikasi. Beberapa tahapan pengobatan terhadap
cedera kepala berat meliputi:

a. Penanganan awal
b. Observasi

Setelah kondisi pasien stabil, dokter akan menyarankan untuk dilakukan


perawatan di ruang intensif, di mana tenaga medis akan melakukan pemeriksaan
secara berkala, pemeriksaan tersebut meliputi:

2. Komplikasi Cedera Kepala Berat


Karena itu, penderita cedera kepala berat harus menjalani perawatan intensif selama di
rumah sakit. Beberapa komplikasi cedera kepala berat yang mungkin terjadi, antara lain
adalah:

 Infeksi. Risiko infeksi semakin tinggi jika terjadi patah tulang tengkorak akibat
cedera kepala. Hal ini dikarenakan patahan tulang tengkorak dapat merobek
lapisan tipis pelindung otak. Jika ini terjadi, bakteri bisa masuk ke dalam luka
dan menyebabkan infeksi.
 Gangguan kesadaran. Beberapa penderita cedera kepala berat mungkin
mengalami gangguan kesadaran, seperti koma atau vegetative state, yaitu
kondisi ketika pasien sadar, namun tidak responsif.
 Gejala pasca gegar otak. Cedera kepala berat dapat menyebabkan gegar otak.
Beberapa orang mungkin merasakan gejala jangka panjang akibat gegar otak,
antara lain:
o Sakit kepala yang berlangsung terus-menerus.
o Gangguan tidur
o Gangguan memori
o Konsentrasi buruk
B. Curiga fraktur tertutup

Pada skenario di dapatkan deformitas bagian paha kaki kanan disertai luka
robek sehingga dicurigai mengalami fraktur femur tertutup. Fraktur femur tertutup
adalah hilangnya kesinambungan substansi tulang atau terpegeseran fragmen fraktur.

etiologinya trauma secara langsung adalah karena KLL dan trauma tidak langsung
adalah jatuh dengan ketinggian.

1. Gejala dan tanda dari fraktur lain:


a. Deformitas
Daya tarik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah dari tempatnya
perubahan keseimbangan dan kontur

b. Bengkak
Edema muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravaksasi darah dalam jaringan yang
berdekatan dengan fraktur.

c. Ekimosis dari perdarahan subculaneous


d. Spasme otot, spasme involunters dekat fraktur
e. Nyeri mungkin disebabkan oleh spame otot berpindah tulang dari tempatnya dan
kerusakan struktur di daerah yang berdekatan
f. Kehilangan sensasi (mati rasa, mungkin terjadi dari rusaknya saraf/ perdarahan)
2. Klasifikasi Fraktur Femur

a.Fraktur tertutup (closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar.
b.Fraktur terbuka (open/compound), bila terdapat hubungan antara fragemen tulang
dengan dunia luar karena adanya perlukan di kulit, fraktur terbuka dibagi menjadi

tiga derajat, yaitu :


Derajat I
- luka kurang dari 1 cm
- kerusakan jaringan lunak sedikit tidak ada tanda luka remuk
- fraktur sederhana, tranversal, obliq atau kumulatif ringan
- Kontaminasi ringan

Derajat II
- Laserasi lebih dari 1 cm
- Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, avulse
- Fraktur komuniti sedang

Derajat III
- Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas meliputi struktur kulit, otot dan
neurovaskuler serta kontaminasi derajat tinggi
o Fraktur complete adalah patah pada seluruh garis tengah tulang dan
biasanya mengalami pergerseran (bergeser dari posisi normal).
o Fraktur incomplete adalah patah yang hanya terjadi pada sebagian dari
garis tengah tulang.
3. pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan diagnostic
pada pasien fraktur adalah sebagai berikut :
- Pemeriksaan sinar-X untuk membuktikan fraktur tulang
- Scan tulang untuk membuktikan adanya fraktur stress
- Pemeriksaan neurologi untuk mengetahui adanya kerusakan saraf

3. komplikasi

a. Komplikasi segera (immediate) : Komplikasi yang terjadi segera setelah fraktur


antara lain syok neurogenik, kerusakan organ, kerusakan syaraf, injuri atau
perlukaan kulit.

b. Early Complication : Dapat terjadi seperti osteomelitis, emboli, nekrosis, dan


syndrome compartemen.

c. Late Complication : Sedangkan komplikasi lanjut yang dapat terjadi antara lain
stiffnes (kaku sendi), degenerasi sendi, penyembuhan tulang terganggu (malunion)

3. Menjelaskan bagaimana penanganan awal pada skenario ?


Jawab :
Primary Survey
Penilaian keadaan pasien dan prioritas terapi didasarkan jenis perlukaan, tanda-tanda
vital, dan mekanisme trauma. Pada pasien yang terluka parah, terapi diberikan
berdasarkan prioritas. Tanda vital pasien harus dinilai secara cepat dan efisien.
Pengelolaan pasien berupa primary survey yang cepat dan kemudian resusitasi,
secondary survey, dan akhirnya terapi definitif.
Proses ini merupakan ABCDE-nya trauma, dan berusaha mengenali keadaan yang
mengancam nyawa terlebih dahulu, dengan berpatokan pada urutan berikut :
1. Airway, menjaga airway dengan control servikal (cervical spine control)
2. Breathing, menjaga pernafasan dengan ventilasi
3. Circulation dengan control perdarahan (hemorrhage control)
4. Disability : status neurologis
5. Exposure/environmental control : buka baju pasien, tetapi cegah hipotermia

a. Penilaian
Beberapa tanda objektif sumbatan airway dapat diketahui dengan langkah-langkah berikut:
1.Lihat (look) apakah pasien mengalami agitasi atau kesadaran menurun, agitasi
member kesan adanya hipoksia, dan penurunan kesadaran member kesan adanya
hiperkarbia. Sianosis menunjukkan hipoksemia yang disebabkan oleh kurangya
oksigenasi dan dapat dilihat dengan melihat pada kuku da sekitar mulut. Tidak
adanya retraksi dan penggunaan otot-otot napas tambahan yang apabila ada,
merupakan bukti tambahan adanya gangguan airway.
2.Dengar (listen) adanya suara-suara abnormal pernapasan yang berbunyi (suara, napas
bisik) adalah pernapasan yang tersumbat. Suara mendengkur (snoring), berkumur
(gurgling), dan bersiul (crowing sound, stridor) mungkin berhubungan dengan
sumbatan parsial pada faring atau laring. Suara parau (hoarseness, dysphonia)
menunjukkan sumbatan pada laring. Pasien yang melawan ddan berkata-kata kasar
(gaduh, gelisah) mungkin mengalami hipoksia dan tidak boleh dianggap karena
keracunan/mabuk.
3.Raba (feel) lokasi trakea dan dengan cepat tentukan arah trakea berada di tengah.
Gambar 8. Look, Listen and Feel
b. Permasalahan
1. Kemungkinan lidah yang jatuh ke belakang dan menyumbat orofaring dan glottis
(stridor)
2. Cairan atau benda semipadat atau benda asing yang menyumbat lumen saluran
pernapasan bagian atas.
3. Penekanan saluran pernapasan dari luar.
4. Terjadi sumbatan benda padat secara total
c. Penanganan
Bila salah satu dari hal-hal tersebut kita temukan maka segeralah lakukan
pembebasan jalan napas. Jalan napas bebas dapat dicapai dengan ekstensi kepala
sehingga lidah terletak di depan dan tidak menutup hipofaring. Hal ini dapat dicapai
dengan menarik dagu ke depan. Bila ada kecurigaan terjadi fraktur tulang leher,
tindakan membebaskan jalan napas dilakukan tanpa ekstensi berlebihan kepala dan
posisi leher harus diimobilisasi. Umumya jalan napas harus terlebih dahulu dibuka,
dibebaskan, dan dibersihkan.
Bila pasien mengalami penurunan tingkat kesadaran, maka lidah mungkin
jatuh ke belakang dan menghambat hipofaring. Bentuk sumbatan seperti ini dapat
segera diperbaiki dengan cara mengangkat dagu (chin lift maneuver) atau dengan
mendorong rahang bawah kea rah depan (jaw-thrust maneuver), airway selanjutnya
dapat dipertahankan dengan oropharyngeal airway atau nasopharyngeal airway.
Tindakan-tindakan yang digunakan untuk membuka airway dapat menyebabkan atau
memperburuk cedera spinal. Oleh karena itu, selama mengerjakan prosedur-prosedur ini
harus dilakukan imobilisasi segaris (inline immobilization).
Untuk pembebasan jalan napas teridir dari dua yaitu:
1. Tanpa Alat
a. Head tilt/chin lift maneuver
Berdasarkan AHA, head tilt/chin lift maneuver adalah teknik paling efektif
untuk membuka jalan napas korban yang tidak sadar. Teknik ini adalah satu-satunya
maneuver yang direkomendasikan untuk penolong awam dan penolong yang
berpengalaman ketika ada trauma kepala atau leher. Head tilt/chin lift maneuver
dilakukan dengan meletakkan satu tangan pada dahi pasien dan kepala dimiringkan
kebelakang. Jari pada tangan lain diletakkan dengan kuat di bawah bagian tulang yang
menonjol pada dagu, angkat dagu ke atas.

b. Jaw Trhust Manuever

Cara ini dilakukan pada korban dengan riwayat trauma servikal. Tindakan jaw-
thrust dilakukan dengan cara memegang sudut rahang bawah (angulus mandibula) kiri
dan kanan serta mendorong rahang bawah ke depan. Hal ini harus dilakukan secara
hati-hati untuk mencegah ekstensi kepala.

e. Heimlich Maneuver

Obstruksi jalan napas dapat disebabkan oleh corpus alienum misalnya karena
tersedak. Tersedak adalah respon fisiologis terhadap obstruksi saluran napas mendadak.
Benda asing obstruksi jalan napas menyebabkan asfiksia dan merupakan kondisi yang
mengkhawatirkan, yang terjadi sangat akut, pasien sering tidak dapat menjelaskan apa
yang terjadi kepada mereka. Jika parah, dapat menyebabkan hilangnya cepat kesadaran
dan kematian jika pertolongan pertama tidak dilakukan dengan cepat dan berhasil. Jika
benda asing tidak tampak di mulut dan tidak dapat ditangkap dengan jari atau alat harus
dilakukan Heimlich. Pasien dipegang dari belakang setinggi ulu hati dengan kedua
tangan : tangan yang satu memegang tangan yang lain dengan cukup kuat, tangan
ditekan sehingga diafragma naik dan terjadi tekanan tinggi di rongga dada. Posisi tangan
yang lebih dominan mengepal dan tangan yang lain diletakkan di atasnya. Gerakan ini
dapat mengeluarkan benda asing.

c. Back Blows
Back blows adalah pukulan atau tepukan pada punggung pasien sebanyak lima kali yang
dapat dilakukan pada siapapun.
d. Finger sweep
Teknik untuk membersihkan obstruksi mekanik dari saluran napas bagian atas pada
pasien yang tidak sadar. Penyelamat membuka mulut korban dengan memegang rahang
bawah dan lidah antara ibu jari dan jari-jari. Penyelamat kemudian mencoba untuk
menyapu benda asing keluar dari mulut korban dengan jari.

2. Bantuan Dengan Alat


Apabila dengan cara-cara diatas pasien belum dapat bernapas maka lakukan pertolongan
dengan menggunakan alat seperti di bawah ini :
1. Oropharingeal Airway

Airway oral disisipkan ke dalam mulut dibalik lidah. Teknik yang dipilih adalah
dengan menggunakan spatula lidah untuk menekan lidah dan menyisipkan airway
tersebut ke belakang. Alat ini tidak boleh mendorong lidah kebelakang yang justru akan
membuat airway buntu. Alat ini tidak boleh digunakan pada pasien yang sadar karena
dapat menyebabkan sumbatan, muntah dan aspirasi. Pasien yang dapat mentoleransi
airway orofaringeal kemungkinan besar membutuhkan intubasi.

(a)

2. Nasopharyngeal Airways
Airway nasofaringeal disisipkan pada salah satu lubang hidung dan
dilewatkan dengan hati-hati ke orofaring posterior dengan menggunakan jelly. Alat
tersebut sebaiknya dilumasi baik-baik kemudian disisipkan ke lubang hidung yang
tampak tidak tertutup. Bila hambatan dirasakan selama pemasangan airway, hentikan
dan coba melalui lubang hidung yang lainnya.

Pada Skenario :
Terdapat suara mendengkur, Mendengkur terjadi karena udara tidak mengalir
dengan mulus melalui saluran pernafasan atau ketika jaringan lunak atau otot di saluran
pernafasan bergetar.
Yang pertama yang harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas. Usaha untuk
membebaskan airway harus melindung vertebra servikal. Dalam hal ini dapat dimulai
dengan menggunakan chin lift atau jaw thrust. Jika tidak ada refleks bertahak dapat
dipakai oro-pharyngeal airway . Pasien dengan gangguan kesadaran (GCS<8)
memerlukan pemasangan airway definitif .
Breathing
Menjamin terbukanya airway merupakan langkah penting pertama untuk
pemberian oksigen pada pasien, tapi itu baru merupakan langkah awal. Airway yang
terbuka tidak akan berguna bagi pasien terkecuali pasien juga mempunyai adekuat
ventilasi dan mencari tanda-tanda objektif dari ventilasi yang tidak adekuat.
a. Penilaian
Beberapa tanda objektif ventilasi yang tidak adekuat dapat diketahui dengan
mengambil langka-langkah berikut :
1. Inspeksi: naik turunnya dada yang simetris dan pergerakan udara dinding dada yang
adekuat. Asimetris menunjukkan pembelatan (splinting) atau flail chest dan tiap
pernapasan yang dilakukan dengan susah (labored breathing) sebaiknya harus
dianggap sebagai ancaman terhadap ventilasi pasien.
2. Palpasi: pada pemeriksaan dapat dilakukan pemeriksaan pengembangan dinding
toraks bagian bawah dengan kedua ibu jari bertemu dengan kedua ibu jari pada garis
tengah tubuh (mid sternalis/vertebralis) dan jari yang lain mengarah sisi kanan dan
kiri dinding toraks
3. Perkusi: pada pemeriksaan perkusi pasien bias dalam keadaan posisi tidur atau bisa
dalam posisi duduk, pemeriksaan menggunakan jari tengah tangan kiri yang
menempel pada permukaan dinding toraks, dan tegak lurus dengan iga atau sejajar
dengan iga disebut sebagai flexi meter. Sementara jari tengah tangan kanan
digunakan sebagai pemukul (pengetok) disebut flexor.
4. Auskultasi: dengar adanya pergerakan udara pada kedua sisi dada. Penurunan atau
tidak terdengarnya suara napas pada satu atau kedua hemitoraks merupakan adanya
cedera dada. Hati-hati terhadap adanya laju pernapasan yang cepat, takipneu
mungkin menunjukkan adanya kekurangan oksigen (respiratoty distress)
 Tanda tanda breathing yang berhasil :
Setelah pemberian oksigen sebanyak 10 L / menit dengan face mask atau nasal
cannula maka dievaluasi kembali :

• Respiratory rate (12-20x/ menit )

• Pergerakan dinding dada


simetris

• Pulse oximetry mencapai 97%-


100%
b. Permasalahan
Cedera intrakranial dapat menyebabkan pola pernapasan yang abnormal dan
mengganggu ventilasi. Cedera servikal dapat menyebabkan pernapasan diafragmatik
sehingga kemampuan penyesuaian untuk kebutuhan oksigen yang meningkat menjadi
terganggu. Transeksi total servikal, yang masih menyisakan nervus frenikus
menimbulkan pernapasan abdominal dan kelumpuhan otot-otot intercostal. Bantuan
ventilasi mungkin dibutuhkan.
c. Penanganan
Cara menanganinya adalah dengan melakukan ventilasi buatan dan oksigenasi
dengan inflasi tekanan positif secara intermitten dengan menggunakan udara ekshalasi
dari mulut ke mulut, mulut ke hidung atau mulut ke alat (S- tube masker atau bag valve
mask). Ventilasi buatan dengan tekanan positif jangka panjang sebainya dilakukan
melalui intubasi dengan pipa endotrakeal atau dengan trakeostomi.

Mouth to Mouth
Untuk memberikan bantuan pernapasan mulut ke mulut, jalan napas korban harus
terbuka. Tangan penolong masih tetap melakukan teknik membuka jalan napas chin lift.
Hidung korban harus ditutup bisa dengan tangan atau dengan menekan pipi penolong
pada hidung korban. Mulut penolong mencakup seluruh mulut korban. Mata penolong
melihat ke arah dada korban untuk melihat pengembangan dada. Pemberian pernapasan
buatan secara efektif dapat diketahui dengan melihat pengembangan dada
korban.Tiupkan napas dengan lambat, tiupkan setiap napas lebih dari 2 detik, pastikan
ada pengembangan dada korban. Bersiaplah untuk memberikan sekitar 10 sampai 12
napas per menit(1 nafas setiap 4 sampai 5 detik).
Mouth to Nose
Memberikan napas dari mulut ke hidung direkomendasikan jika pemberian napas
buatan melalui mulut korban tidak dapat dilakukan misalnya terdapat luka yang berat
pada mulut korban, mulut tidak dapat dibuka, korban di dalam air atau mulut penolong
tidak dapat mencakup mulut korban.

Mouth to Mask
Sebuah masker transparan dengan atau tanpa katup yang digunakan dari mulut ke
masker pernapasan. Ventilasi mulut ke masker sangat efektif karenamemungkinkan
penyelamat untuk menggunakan dua tangan untuk membuat masker terpasang erat di
daerah mulut pasien.Ada 2 teknik yang mungkin untuk menggunakanmasker mulut.
Teknik pertama posisi penyelamat di ataskepala korban (cephalic technique). Pada
teknik kedua (lateral technique), penyelamat adalahdiposisikan di samping korban dan
menggunakan head tilt– chin lift.

Bag Valve Mask


Pemberian nafas buatan dengan menggunakan alat dapat meggunakan Bag Valve
Mask (ambu bag). Ambu bag terdiri dari bag yang berfungsi untuk memompa O2 bebas,
valve atau pipa berkatup dan masker yang menutup mulut dan hidung penderita. Ambu
bag sangat efektif bila dilakukan oleh dua orang penolong yang berpengalaman. Salah
seorang penolong mebuka jalan napas dan menempelkan sungkup di wajah korban dan
penolong lain memegang bagging. Teknik ventilasi bag valve mask membutuhkan
instruksidan praktek. Penyelamat harus dapat menggunakanperalatan secara efektif
dalam berbagai situasi.

Pada Skenario :
Pada skenario terdapat pernapasan normal dan jika terdapat gangguan
ventilasi kita bisa tangani dengan cara melakukan ventilasi buatan dan oksigenasi
dengan inflasi tekanan positif secara intermitten dengan menggunakan udara ekshalasi
dari mouth to mouth, mouth to nose, bag valve mask. Ventilasi buatan dengan tekanan
positif jangka panjang sebainya dilakukan melalui intubasi dengan pipa endotrakeal atau
dengan trakeostomi.
Circulation
Istilah henti jantung adalah istilah umum yang meliputi konsekuensi hemodinamik
pada asistol, fibrilasi ventrikel, dan disosiasi elektrodinamik. Berhentinya kontraksi
jantung tidak benar-benar terjadi pada dua dari tiga keadaan ini. Bila curah jantung
sangat rendah sehingga semua tanda-tanda henti jantung muncul.
a. Penilaian
b. Permasalahan
Di skenario Terdapatnya deformitas pada femur kanan pasien dicurigai telah
mengalami fraktur tertutup yang dapat mengakibatkan perdarahan sehingga pasien
mengalami syok hipovolemik grade III dimana dengan gejala TD telah mengalami
penurunan dan heart rate dari pasien tergolong tinggi merupakan tanda tanda
adanya perdarahan yang terjadi

Kegagalan sirkulasi yang paling sering terjadi pada korban trauma adalah syok dan
henti jantung yang antara lain terjadi karena perdarahan yang terlalu banyak atau karena
cedera jantungnya sendiri.
Tanda-tanda henti jantung adalah: tidak teraba nadi yang sebelumnya teraba atau
tidak ada denyut pembuluh darah besar karotis atau femoralis. Salah satu atau kedua
tanda utama ini berlaku pada semua situasi.
Perlu dibuat diagnosis dengan cepat dalam hitungan detik akan kejadian ini.
Dilatasi pupil terjadi pada henti sirkulasi dan merupakan tanda hipoksia. Hipoksia dapat
juga mendahului henti jantung sehingga sianosis serta midriasis telah ada walaupun
curah jantung tidak berkurang.
Tidak ada cadangan nyata oksigen di dalam tubuh tetapi pada setiap saat tersedia
kurang lebih 1000 ml oksigen. Jelas bahwa tidak semua oksigen ini tersedia sepenuhnya
untuk keperluan metabolik. Jadi jika penggunaan oksigen terus tidak berkurang,
“cadangan” akan habis terpakai (paling lama 3 menit). Secara umum, bila sirkulasi tidak
mulai kembali secara spontan, atau tidak ditambah secara buatan, dalam 3 menit sejak
saat berhenti, mungkin tidak ada gunanya kita memulai resusitasi. Oleh karena itu, henti
jantung klinis harus ditangani segera.
c. Penanganan
Syok
Perdarahan merupakan penyebab syok paling umum pada trauma dan hampir
semua pasien-pasien dengan trauma multipel terjadi hipovolemia. Sebagai tambahan,
kebanyakan pasien dengan syok nonhemoragik memberikan respon yang singkat
terhadap resusitasi cairan. Walaupun tidak lengkap (parsial).
Klasifikasi perdarahan (kehilangan darah) dibagi menjadi empat kelas
berdasarkan tanda-tanda klinis, merupakan perangkat yang penting untuk
memperkirakan presentasi hilangnya darah secara akut. Perubahan-perubahan ini dapat
menunjukkan adanya perdarahan yang sedang terjadidan sebagai pedoman terapi awal.
Penggantian volume darah hendaknya didasarkan atas respon pasien terhadap terapi
awal dan bukan klasifikasi kehilangan darah. Sistem klasifikasi perdarahan ini berguuna
untuk menetukan tanda-tanda klinis awal patofisiologi kodisi syok.
Upaya diagnostik dan penangan syok harus dilaksanakan secara simultan. Prinsip
penanganan dasar syok adalah stop perdarahan dan penggantian volume darah/cairan
yang hilang.
Pemeriksaan fisik ditujukan langsung pada diagnosis segera atas cedera yang
mengancam jiwa dan meliputi penilaian ABCDE. Pencatatan data-data awal penting
untuk memonitor respon pasien terhadap terapi. Tanda-tanda vital, produksi urin, dan
tingkat kesadaran merupakan faktor penting. Bila kondisi memungkinkan, pemeriksaan
yang lebih detil perlu dilaksanakan.
Menjamin airway yang paten dengan ventilasi dan oksigenasi yang adekuat
merupakan prioritas pertama. Pemberian oksigen tambahan untuk mempertahankan
saturasi lebih dari 95%.
Prioritas dalam sirkulasi meliputi control perdarahan yang jekas terlihat, memperoleh
akses intarvena yang cukup dan menilai perfusi jaringan. Pendarahan dari luka-luka luar
umumnya dapat dikontrol dengan bebat tekan langsung pada perdarahan.
Terapi awal cairan larutan elektrolit istonik hangat, misalnya Ringer laktat,
digunakan untuk resusitasi awal. Cairan jenis ini mengisi volume vaskuler dengan cara
menggantikan kehilangan cairan penyerta yang hilang ke dalam ruang itertisial dan
intraseluler.
Keputusan untuk memberikan transfuse darah didasarkan pada respon pasien. Tujuan
utama transfuse darah adalah untuk mengembalikan kapasitas angkut oksigen di dalam
volume intravaskuler.
Chest Compression
Jika korban juga bernapas tidak normal (terengah-engah), penolong harus
mengasumsikan korban mengalami henti jantung. Penyelamat awam harus melakukan
panggilan darurat saat penyelamat menemukan bahwa korban dalam keadaan tidak
responsif, operator harus mampu membimbing penolong awam untuk memeriksa
pernapasan pasien serta langkah-langkah CPR (cardiopulmonary resuscitation), jika
diperlukan.
Setelah melakukan panggilan darurat, semua tim penolong harus segera memulai
CPR (lihat langkah-langkah di bawah ini) untuk korban dewasa yang tidak responsif
dengan tidak bernapas atau tidak bernapas normal (terengah-engah).
Kompresi terdiri dari aplikasi irama dan tekanan yang kuat di pertengahan sternum.
Kompresi mengembalikan aliran darah dengan meningkatkan tekanan intrathoracic dan
langsung menekan jantung. ini menghasilkan aliran darah dan pengiriman oksigen ke
miokardium dan otak.
Kompresi dada yang efektif sangat penting untuk mengembalikan aliran darah
selama CPR. Untuk alasan ini semua pasien dalam. serangan jantung harus menerima
kompresi dada.
Tim penyelamat harus berusaha untuk meminimalkan frekuensi dan
durasi gangguan dalam kompresi untuk memaksimalkan jumlah kompresi per menit.
Rasio kompresi-ventilasi 30:2 direkomendasikan dengan kedalaman kompresi 5 cm.
Pedoman AHA 2010 untuk CPR dan ECC merekomendasikan inisiasi kompresi
sebelum ventilasi. Sementara tidak ada bukti manusia atau hewan yang dipublikasikan
menunjukkan bahwa CPR dimulai dengan 30 kompresi lebih dari 2 ventilasi mengarah
ke hasil yang lebih baik, jelas bahwa aliran darah bergantung pada penekanan dada.
Untuk memaksimalkan kompresi dada, tempatkan korban pada permukaan keras
bila memungkinkan, dalam terlentang posisi dengan penyelamat berlutut di samping
dada korban atau berdiri di samping tempat tidur. Karena tempat tidur rumah sakit
biasanya tidak keras. Kita merekomendasikan penggunaan papan meski tidak cukup
bukti terhadap penggunaan papan selama CPR.
Penyelamat harus menempatkan satu tangan di tengah (tengah) dari dada korban
dan tangan lainnya di atas tangan pertama sehingga tangan dapat tumpang tindih dan
paralel.
Untuk memberikan kompresi dada yang efektif, mendorong keras (push hard) dan
mendorong cepat (push fast). Hal ini wajar untuk orang awam dan kesehatan penyedia
untuk kompres dada dewasa pada tingkat minimal
100 kompresi per menit dengan kedalaman kompresi minimal 2 inci / 5 cm). Tim
penyelamat harus mengusahakan dada mengembang kembali ke posisi semula (recoil)
disetiap pemberian sati kali kompresi, untuk memungkinkan jantung untuk mengisi
sepenuhnya sebelum kompresi berikutnya.

a. Tanda- tanda Keberhasilan Resusitasi


Suatu resusitasi yang baik dinilai atas 3 dasar, yaitu :
1. Fungsi otak, pernapasan dan jantung dapat dipertahankan. Bila O2 yang dibutuhkan
oleh jaringan otak dapat mencegah terjadinya kerusakan cerebral, maka ini dapat
dinilai dari beberapa reaksi, antara lain :
a. Berdasarkan diameter pupil . Bila miosis, menunjukkan hasil yang baik dan bila
midriasis menetap, menunjukkan hasil buruk.
b. Refleks pupil
c. Reflex air mata
d. Struggling (meronta-ronta)
e. Tonus otot meningkat
1. Terjadi spontanitas respirasi
Penilaian terhadap respirasi dapat dibagi menjadi :
a. Pernapasan menjadi normal atau apneu, gasping (megap-megap) atau
pernapasan cheyne-stokes
b. Frekuensi pernapasan berkisar antara 16-20 kali/menit
c. Amplitudo pernapasan yang meninggi

3. Fungsi kardiovaskuler
Fungsi kardiovaskuler dapat diketahui dari denyut nadi yang teratur dan kuat dan juga
dari tekanan darah. Bila fungsi kardiovaskuler telah kembali normal, maka dilakukan
penilaian:
a. Monitoring dari organ-organ vital dalam, antara lain kardiovaskuler, ginjal, dan
keseimbangan asam dan basa.
b. Apakah terdapat fibrilasi ventrikuler dan takikardi ventrikuler yang berulang.

b. Tanda-tanda Kegagalan Resusitasi


Tanda- tanda dari kegagalan resusitasi dapat dibagi menjadi beberapa hal, yakni :
1. Interval waktu yang terlalu lama antara fase cardiopulmonary arrest dengan tindakan
resusitasi yang dilakukan. Bila jarak ini lebih dari 3 menit, maka kemungkinan besar
kerusakan yang cerebral yang irreversible telah terjadi, sehingga tindakan resusitasi
tidak akan berhasil.
2. Progresivitas yang pasti dari keadaan ini dapat diketahui, akan tetapi secara klinis
terdapat perburukan dari fungsi respirasi atau fungsi kardiovaskular yang
dimanifestasikan pada perburukan fungsi serebral.
3. Teknik resusitasi yang salah.
4. Kerusakan mekanikal bila terjadi kerusakan pada paru, kardiovaskuler, atau rongga
thorax maka tindakan resusitasi kardiopulmonal dapat mengalami kegagalan.
5. Resusitasi yang tidak memadai
Tindakan serta hasil restorasi pernapasan dan restorasi jantung tidak akan dapat
memenuhi titik kritis akan kebutuhan O2 dari serebral.
6. Tergantung kepada etiologi atau penyebab dari cardiopulmonary arrest.

c. Penghentian Tindakan resusitasi


1. Kematian klinis
Secara klinis tindakan resusitasi dapat dihentikan apabila setelah 1-1,5 jam jantung
berhenti dan pasien tetap tidak dapat menunjukkan kesadaran.
2. Kematian jantung
Dapat dimulai dengan tandanya monitoring EKG dalam waktu paling sedikit 30 menit
setelah tindakan resusitasi selama pemberian obat-obatan.
3. Kematian otak
Secara total bila tidak terdapat aktivitas elektroensepalografi dan secara klinis terjadi
pelebaran pupil paling sedikit selama 1-2 jam maka dapat dianggap sebagai indikasi
untuk menghentikan resusitasi.
4. Telah timbul kembali sirkulasi dan ventilasi spontan yang efektif.
5. Upaya resusitasi telah diambil alih orang yang bertanggungjawab
6. Penolong terlalu capek sehingga tak sanggup meneruskan resusitasi.
Setelah dimulai resusitasi, ternyata kemudian diketahui bahwa pasien berada dalam
stadium terminal suatu penyakit yang tak dapat disembuhkan atau hampir dapat
dipastikan bahwa fungsi serebral akan pulih.

Pada Skenario :
 evaluasi perdarahan, terdapat lebam pada lengan kanan
 deformitas sebagian paha kaki kanan disertai luka robek pada pelipis kanan.
 tekanan darah 90/40 dan nadi 100x/menit

gangguan sirkulasi harus dipasang sedikitnya 2 IV line. Pada saat memasang


kateter IV harus diambil contoh darah untuk permintaan darah dan pemeriksaan
laboratorium rutin. pasien diinfus dengan 1-2 liter cairan kristaloid, sebaiknya ringer
laktat. Bila tidak ada respon dengan dengan pemberian bolus kristaloid tadi, diberikan
transfusi darah.
D. Disability
1) Tentukan tingkat kesadaran memakai skor GCS/AVPU
2) Nilai pupil: besarnya,isokor atau tidak, refleks cahaya dan awasi tanda – tanda
lateralisasi
3) Evaluasi dan re-evaluasi airway, oksigenasi, ventilasi dan circulation

pada skenario :
1) GCS7 (E2M2V2)
2) Pupil anisokor
3) Refleks cahaya menurun
4) Pada skenario kemungkunan terjadi Interval lusid pada perdarahan epidural,
Penurunan kesadaran menuntut dilakukannya reevaluasi terhadap keadaan
oksigenasi, ventilasi, dan perfusi .

E. Exposure
1) Buka pakaian penderita
2) Cegah hipotermia: beri selimut hangat dan tempatkan pada ruangan yang cukup
hangat

Referensi :
Initial Assesment dan Resusitasi dalam Advence trauma life Support (ATLS) Manual
untuk Peserta Kursus. Jakarta : American College of Surgeons. Ed-9. 2013

4. Bagaimana penanganan lanjutan pada pasien sesuai skenario?


Jawab :
Secondary survey baru dilakukan setelah primary survey selesai, resusitasi
dilakukan dan ABC-nya penderita dipastikan membaik. Survai sekunder adalah
pemeriksaan kepala-sampai-kaki (head to toe examination), termasuk re-evaluasi
pemeriksaan tanda vital. Peluang untuk membuat kesalahan dalam penilaian penderita
yang tidak sadar atau gawat cukup besar, sehingga diperlukan pemeriksaan teliti yang
menyeluruh.
Pada survey sekunder ini dilakukan pemeriksaan neurologi lengkap, termasuk mencatat
skor GCS bila belum dilakukan dalam survai primer. Pada secondary survey ini juga
dikerjakan foto ronsen yang diperlukan.
Prosedur khusus seperti lavase peritoneal, evaluasi radiologis dan pemeriksaan
laboratorium juga dikerjakan pada kesempatan ini. Evaluasi lengkap dari penderita
memerlukan evaluasi berulang-ulang.
A. Anamnesis
Setiap pemeriksaan yang lengkap memerlukan anamnesis mengenai riwayat
perlukaan. Seringkali data seperti ini tidak bisa didapat dari penderita sendiri, dan
harus didapat dari petugas lapangan atau keluarga. Riwayat "AMPLE" patut diingat:
A: Alergi
M: Medikasi (obat yang diminum saat ini)
P: Past illness (penyakit penyerta)/Pregnancy
L: Last meal
E:Event\environment (lingkungan) yang berhubungan dengan kejadian perlukaan.
Mekanisme perlukaan sangat menentukan keadaan penderita. Petugas lapangan
seharusnya melaporkan mekanisme perlukaan. Jenis perlukaan dapat diduga dari
mekanisme kejadian perlukaan itu Trauma biasanya dibagi dalam 2 jenis :
1. Trauma tumpul
Trauma tumpul dapat disebabkan kecelakaan lalu lintas (KLL), terjatuh, kegiatan
rekreasi atau pekerjaan. Keterangan penting yang dibutuhkan pada KLL mobil
adalah pemakaian sabuk pengaman, deformasi kemudi, arah tabrakan, kerusakan
kendaraan dalam bentuk kerusakan mayor pada bentuk luar, atau indentasi ke dalam
kompartemen/kabin, atau terlempar keluarnya penumpang. Terlempar keluarnya
penumpang akan sangat menambah kemungkinan parahnya perlukaan. Pola
perlukaan dapat diramalkan dari mekanisme trauma-nya. Pola perlukaan juga
sangat dipengaruhi usia dan aktivitas

2. Trauma tajam

Trauma tajam akibat pisau atau benda tajam dan senjata api semakin sering ditemukan.
Faktor yang menentukan jenis dan berat perlukaan adalah daerah tubuh yang terluka,
organ yang terkena dan velositas (kecepatan). Dengan demikian maka velositas, kaliber,
arah dan jarak dari senjata merupakan informasi yang penting diketahui.

Mekanisme perlukaan Kemungkinan pola perlukaan


Benturan frontal • fraktur servikal
• Kemudi bengkok • flail chest anterior
• Jejak lutut pada dashboard • kontusio miokard
• bull’s eye pada kaca depan • pneumothorax
• ruptur aorta
• ruptur lien/hepar
• fraktur/dislocatio coxae, lutut
Benturan samping, tabrakan mobil • Sprain servikal kontralateral
• Fraktur servikal
• Trauma kapitis
• flail chest lateral
• pneumothorax
• ruptur aorta
• ruptur diafragma
• ruptur hepar/lien/ginjal
• fraktur pelvis/asetabulum
Benturan belakang, tabrakan mobil • Cedera servikal
• Trauma Kapitis
• Kerusakan jaringan lunak leher
Kendaraan bermotor dan pejalan kaki • Trauma kapitis
• gangguan aorta traumatic
• Fraktur ekstremitas
Terlempar keluar, kendaraan • Semua jenis perlukaan
• Mortalitas jelas meningkat

B. Pemeriksaan fisik
1. Kepala

Survai sekunder mulai dengan evaluasi kepala. Seluruh kulit kepala dan kepala harus
diperiksa akan adanya luka, kontusio atau fraktur. Karena kemungkinan bengkaknya
mata yang akan mempersulit pemeriksaan kemudian, mata harus diperiksa akan adanya:
a. Acies visus
b. Ukuran pupil
c. Perdarahan konjungtiva dan fundus
d. Luka tembus pada mata
e. Lensa kontak (ambil sebelum terjadi edema)
f. Dislocatio lentis
g. Jepitan otot bola mata
Acies visus dapat diperiksa dengan membaca gambar Snellen, atau membaca huruf pada
botol infus atau bungkus perban. Gerakan bola mata harus diperiksa karena
kemungkinan terjepitnya otot mata oleh fraktur orbital).
2. Maksilo-fasial

Trauma maksilofasial dapat menganggu airway atau perdarahan yang hebat, yang harus
ditangani saat survei primer.
Trauma maksilofasial tanpa gangguan airway atau perdarahan hebat, baru dikerjakan
setelah penderita stabil sepenuhnya dan pengelolaan definitif dapat dilakukan dengan
aman. Penderita dengan fraktur tulang wajah mungkin juga ada fraktur pada lamina
cribrosa. Dalam hal ini, pemakaian kateter lambung harus melalui jalan oral.
3. Vertebra servikalis dan leher

Penderita dengan trauma kapitis atau maksilofasial dianggap ada fraktur servikal atau
kerusakan ligamentous servikal; pada leher kemudian dilakukan imobilisasi sampai
vertebra servikal telah diperiksa dengan teliti. Tidak adanya kelainan neurologis tidak
menyingkirkan kemungkinan fraktur servikal, dan tidak adanya fraktur servikal hanya
ditegakkan setelah ada foto servikal, dan foto ini telah diperiksa dokter yang
berpengalaman.
Pemeriksaan leher meliputi inspeksi, palpasi dan auskultasi.
Nyeri daerah vertebra servikalis, emfisema subkutan, deviasi trakea dan fraktur laring
dapat ditemukan pada pemeriksaan yang teliti. Dilakukan palpasi dan auskultasi pada
a.karotis. Adanya jejas daerah a.karotis harus dicatat karena kemungkinan adanya
perlukaan pada a.karotis. Penyumbatan atau diseksi a.karotis dapat terjadi secara lambat,
tanpa gejala dini. Angiografi atau Doppler Sonografi dapat menyingkirkan kelainan ini.
Kebanyakan trauma arteri besar daerah leher disebabkan trauma tajam, namun trauma
tumpul leher atau cedera karena sabuk pengaman dapat menyebabkan kerusakan intima,
diseksi dan trombosis.
Bila penderita memakai helm, dan ada kemungkinan fraktur servikal, harus berhatihati
sekali saat melepas helm tersebut.Luka daerah leher yang menembus platisma, jangan
dilakukan eksplorasi di bagian emergensi, karena unit emergensi biasanya tidak siap
menghadapi masalah ini. Perlukaan ini membutuhkan seorang ahli bedah, baik untuk
supervisi ataupun untuk tindakan operatip. Penemuan adanya perdarahan aktif,
hematoma yang ekspanding, bruit atau gangguan airway biasanya membutuhkan
tindakan operatif. Monoparesis satu lengan sering disebabkan kerusakan pada radiks
pleksus brakhialis.
4. Toraks

Inspeksi akan menunjukkan adanya flail chest atau open pneumo-thorax. Palpasi harus
dilakukan pada setiap iga dan klavikula. Penekanan pada sternum dapat nyeri bila ada
fraktur sternum atau ada costochondral separation. Kontusio dan hematoma pada
dinding dada mungkin disertai kelainan dalam rongga toraks. Kelainan pada toraks akan
disertai nyeri dan/atau dispnoe.
Evaluasi toraks dapat dilakukan dengan pemeriksaan fisik disusul foto toraks. Bising
nafas diperiksa pada bagian atas toraks untuk menentukan pneumo-toraks, dan pada
bagian posterior untuk adanya hemo-toraks. Auskultasi mungkin sulit bila lingkungan
berisik, tetapi harus tetap dilakukan. Bunyi jantung yang lemah disertai tekanan nadi
yang kecil mungkin disebabkan tamponade jantung.
Adanya tamponade jantung atau tension pneumo-thorax dapat terlihat dari adanya
distensi pada vena jugularis, walaupun adanya hipovolemia akan meniadakan tanda ini.
Melemahnya bising nafas dan hipersonor pada perkusi paru disertai syok mungkin satu-
satunya tanda akan adanya tension pneumo-toraks, yang menandakan perlunya
dekompresi segera. Foto toraks dapat menunjukkan adanya hemo atau pneumotoraks.
Mungkin ada fraktur iga yang tidak terlihat pada foto toraks. Mediastinum yang melebar
atau menyimpangnya NGT ke arah kanan dapat merupakan tanda ruptur aorta.
5. Abdomen

Trauma abdomen harus ditangani dengan agresif. Diagnosis yang tepat tidak terlalu
dibutuhkan, yang penting adalah adanya indikasi untuk operasi. Pada saat penderita baru
datang, pemeriksaan abdomen yang normal tidak menyingkirkan diagnosis perlukaan
intra abdomen, karena gejala mungkin timbul agak lambat. Diperlukan pemeriksaan
ulang dan observasi ketat, kalau bisa oleh petugas yang sama. Diperlukan konsultasi
ahli bedah.
Penderita dengan hipotensi yang tidak dapat diterangkan, kelainan neurologis, gangguan
kesadaran karena alkohol dan/atau obat dan penemuan pemeriksaan fisik abdomen yang
meragukan, harus dipertimbangkan diagnostik peritoneal lavage (DPL), USG abdomen,
atau bila keadaan umum memungkinkan, pemeriksaan CT Scan abdomen dengan
kontras. Fraktur iga-iga terbawah atau pelvis akan mempersulit pemeriksaan, karena
nyeri dari daerah ini akan mempersulit palpasi abdomen.
6. Perineum / rektum / vagina

Perineum diperiksa akan adanya kontusio, hematoma, laserasi dan perdarahan uretra.
Colok dubur harus dilakukan sebelum memasang kateter uretra. Harus diteliti akan
kemungkinan adanya darah dari lumen rektum, prostat letak tinggi, adanya fraktur
pelvis, utuh tidaknya dinding rektum dan tonus m.sfinkter ani. Pada wanita,
pemeriksaan colok vagina dapat menentukan adanya darah dalam vagina atau laserasi.
Juga harus dilakukan tes kehamilan pada semua wanita usia subur.
7. Muskulo-skeletal

Ekstremitas diperiksa untuk adanya luka atau deformitas. Fraktur yang kurang jelas
dapat ditegakkan dengan memeriksa adanya nyeri, krepitasi atau gerakan abnormal.
Fraktur pada pelvis dikenal dengan adanya jejas daerah ala ossis ilii, pubis, labia atau
skrotum. Nyeri pada kompresi kedua SIAS, atau adanya mobilitas pelvis dan simfisis
osis pubis membantu diagnosis. Karena manipulasi pelvis seperti ini dapat
menyebabkan perdarahan, sebaiknya tes kompresi ini hanya dilakukan satu kali, kalau
bisa oleh ahli bedah. Penilaian pulsasi dapat menentukan adanya gangguan vaskular.
Perlukaan berat pada ekstremitas dapat terjadi tanpa disertai fraktur. Kerusakan ligamen
dapat menyebabkan sendi menjadi tidak stabil, kerusakan otot-tendo akan menggangu
pergerakan. Gangguan sensasi dan/atau hilangnya kemampuan kontraksi otot dapat
disebabkan kerusakan saraf perifer atau iskemia (termasuk karena sindrom
kompartemen). Adanya fraktur torako-lumbal dapat dikenal pada pemeriksaan fisik dan
riwayat trauma. Perlukaan pada bagian lain mungkin menghilangkan gejala fraktur
torakolumbal, dan dalam keadaan ini hanya dapat di diagnosis dengan foto ronsen.
Pemeriksaan muskulo-skeletal tidak lengkap bila belum dilakukan pemeriksaan
punggung penderita.
8. Neurologis

Pemeriksaan neurologis yang teliti meliputi pemeriksaan tingkat kesadaran, ukuran dan
reaksi pupil, pemeriksaan motorik dan sensorik. Perubahan dalam status neurologis
dapat dikenal dengan pemeriksaan GCS. Bila ada cedera kepala, harus segera dilakukan
konsultasi neurologis. Harus dipantau tingkat kesadaran penderita, karena merupakan
gambaran perkembangan cedera intra-kranial. Bila terjadi penurunan status neurologis
harus diteliti ulang perfusi, oksigenasi dan ventilasi (ABCDE). Mungkin diperlukan
tindakan pembedahan atau tindakan lain untuk menurunkan peninggian tekanan
intrakranial. Perlunya tindakan bedah bila ada perdarahan epidural, subdural atau fraktur
kompresi ditentukan ahli bedah saraf.
TAMBAHAN PADA SECONDARY SURVEY
Pada scenario dicurigai terdapat trauma kapitis dan fraktur femur, pemeriksaan yang
disarankan untuk pasien yaitu foto polos femur posisi AP/Lateral dan CT-Scan Kepala,
Adapun pemeriksaan lain yang mungkin akan dilakukan yaitu pemeriksaan diagnostik
yang lebih spesifik seperti misalnya foto tambahan dari tulang belakang, CT scan
kepala, dada, abdomen dan spine, urografi dan angiografi, USG transesofageal,
bronkhoscopi, esofagoscopi dan prosedur diagnostik lain.
referensi :
Initial Assesment dan Resusitasi dalam Advence trauma life Support (ATLS) Manual
untuk Peserta Kursus. Jakarta : American College of Surgeons. Ed-9. 2013
5. Bagaimanakah fisiologi kesadaran manusia ?
Jawab :
Pusat pengaturan kesadaran pada manusia secara anatomi terletak pada serabut
transversal retikularis dari batang otak sampai thalamus dan dilanjutkan dengan formasio
activator reticularis, yang menghubungkan thalamus dengan korteks cerebri. Formasio
reticularis terletak di substansi grisea otak dari daerah medulla oblongata sampai midbrain
dan thalamus. Neuron formasio reticularis menunjukkan hubungan yang menyebar.
Perangsangan formasio reticularis midbrain membangkitkan gelombang beta, individu
menjadi dalam keadaan bangun dan terjaga. Lesi pada formasio reticularis midbrain
mengakibatkan orang dalam stadium koma, dengan gambaran EEG gelombang delta. Jadi
formasio reticularis midbrain merangsang ARAS (Ascending Reticular Activating System),
suatu proyeksi serabut difus yang menuju bagian area di forebrain. Nuklei reticular
thalamus juga masuk dalam ARAS, yang juga mengirimkan serabut difus ke semua area di
korteks.

Formasio reticularis secara difus menerima dan menyebarkan rangsang, menerima


input dari korteks cerebri, ganglia basalis, hipothalamus, sistem limbik, cerebellum, medula
spinalis dan semua sistem sensorik. Sedangkan serabut efferens formasio retikularis yaitu ke
medula spinalis, cerebellum, hipothalamus, sistem limbik dan thalamus yang lalu akan
berproyeksi ke korteks cerebri dan ganglia basalis. ARAS juga mempunyai proyeksi non
spesifik dengan depolarisasi global di korteks, sebagai kebalikan dari proyeksi sensasi
spesifik dari thalamus yang mempunyai efek eksitasi korteks secara khusus untuk tempat
tertentu. Eksitasi ARAS umum memfasilitasi respon kortikal spesifik ke sinyal sensori
spesifik dari thalamus.
Dalam keadaan normal, sewaktu perjalanan ke korteks, sinyal sensorik dari serabut
sensori aferens menstimulasi ARAS melalui cabang-cabang kolateral akson. Jika sistem
aferens terangsang seluruhnya, proyeksi ARAS memicu aktivasi kortikal umum dan terjaga.
Neurotransmitter yang berperan pada ARAS yaitu neurotransmitter kolinergik,
monoaminergik dan GABA. Korteks serebri merupakan bagian yang terbesar dari susunan
saraf pusat di mana korteks ini berperan dalam kesadaran akan diri sendiri terhadap
lingkungan atau input-input rangsang sensoris (awareness). Jadi kesadaran akan bentuk
tubuh, letak berbagai bagian tubuh, sikap tubuh dan kesadaran diri sendiri merupakan fungsi
area asosiasi somestetik (area 5 dan 7 brodmann) pada lobus parietalis superior meluas
sampai permukaan medial hemisfer.

Jaras kesadarannya: masukan impuls dari pusat sensorik pada korteks serebri menuju ARAS
→ diproyeksikan kembali ke korteks cerebri → terjadi peningkatan aktivitas korteks dan
kesadaran.

Penerimaan informasi yang luas, baik sumbernya yang berasal dari bagian sensoris
yang melalui medula spinalis dan dari seluruh bagian sensoris di batang otak, dikirim
melalui bagian tepi dari formasio retikularis.Input yang berasal dari hidung (olfactory)
melalui sistem saraf hidung masuk kebagian otak depan.

Struktur yang berasal dari hipotalamus dan sistem limbic juga memberikan input ke
formasio retikularis, beberapa bagian dari fungsi viseral dan fungsi saraf otonom, dan
serebelum juga turut memberikan input ke bagian medial formasio retikularis untuk
diaturnya.

Ascending Reticular Activating system (ARAS) dari formasio retikularis


bertanggungjawab untuk kesadaran dan bangun. Perjalanan nya melalui nuclei tidak
spesifik dari talamus hingga ke korteks otak. Kerusakan pada bagian ini dapat menyebabkan
koma.
Formasio Retikularis mengirimkan impuls kebagian sensorik, motorik dan bagian autonom
dari sistem saraf di medula spinalis yang menerima masukan dari bagian sensoris yang ada
disana, keluar dari masing-masing preganglion saraf autonom, dan keluar dari sistem saraf
motorik bagian tepi (LMN).
Formasio Reticularis mengirimkan secara luas hubungan dengan inti yang ada
dibatang otak (seperti nucleus tractus solitarius) dan pusat regulator autonom dan nukleus
yang memodulasi fungsi viseral. Proyeksi bagian Efferen formasio retikularis ke
hipotalamus, nukleus di septum dan area limbic di otak depan membantu untuk memodulasi
fungsi autonom bagian visceral, pengeluaran sistem saraf endokrin dan bertanggungjawab
pada emosi dan perilaku.
Proyeksi Bagian efferent formasio reticularis ke serebelum bersama dengan ganglia
basalis untuk memodulasi sistem motorik bagian atas (UMN) dan sistem motorik bagian
bawah (LMN) RAS terdiri dari beberapa sirkuit saraf yang menghubungkan otak ke
korteks. Jalur ini berasal di inti batang otak reticular bagian atas dan proyeksi sirkuitnya
melalui riley sinaptik dalam rostral intralaminar dan inti talamus ke korteks serebri.
Referensi :
1. Goysal Y. Kesadaran Menurun. MedUnhas [Internet]. 2016; Available from:
http://med.unhas.ac.id/kedokteran/wp-content/uploads/2016/09/Bahan-Ajar-Kesadaran-
Menurun.pdf
2. Chokroverty S, Avidan AY. 102 - Sleep and Its Disorders [Internet]. Seventh Edition.
Bradley’s Neurology in Clinical Practice, 2-Volume Set. Elsevier Inc.; 2016. 1615-
1685.e7 p. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/B978-0-323-28783-8.00102-2

6. Bagaimana cara pemakaian obat-obatan darurat yang diberikan? lalu mekanisme


kerjanya?

Jawab :
a. Epinephrin
 Indikasi : henti jantung (VF, VT tanpa nadi, asistole, PEA), bradikardi,
reaksi atau syok anafilkatif, hipotensi.
 Dosis 1 mg iv bolus dapat diulang setiap 3-5 menit, dapat diberikan
intrakeal atau transtrakeal dengan dosis 2-2,5 kali dosis intra vena. Untuk
reaksi reaksi atau syok anafilaktik dengan dosis 0,3-0,5 mg sc dapat diulang
setiap 15-20 menit. Untuk terapi bradikardi atau hipotensi dapat diberikan
epinephrine perinfus dengan dosis 1 mg (1 mg = 1 : 1000) dilarutkan dalam
500 cc NaCl 0,9%, dosis dewasa 1 ug/mnt dititrasi sampai menimbulkan
reaksi hemodinamik, dosis dapat mencapai 2-10 ug/mnt.
 Pemberian dimaksud untuk merangsang reseptor a adrenergic dan
meningkatkan aliran darah ke otak dan jantung.
b. Lidokain
 Pemberian ini dimaksud untuk mengatasi gangguan irama antara lain VF,
VT, Ventrikel ekstra sistol yang multipel, multifokal, konsekutif/salvo dan R
on T.
 Dosis 1 – 1,5 mg/kg BB bolus iv dapat diulang dalam 3-5 menit sampai dosis
total 3 mg/kg BB dalam 1 jam pertama kemudian dosis drip 2-4 mg/menit
sampai 24 jam.
 Dapat diberikan intratrakeal atau transtrakeal dengan dosis 2-2,5 kali dosis
intra vena.
 Kontra indikasi : bradikardi dengan irama EKG AV blok derajat II tipe 2
atau derajat III.
 Dosis 1 mg iv bolus dapat diulang dalam 3-5 menit sampai dosis total 0,03-
0,04 mg/kg BB, untuk bradikardi 0,5 mg iv bolus setiap 3-5 menit maksimal
3 mg
 Dapat diberikan intratrakeal atau transtrakeal dengan dosis 2-2,5 kali dosis
intra vena diencerkan menjadi 10 cc.
c. Dopamin
 Untuk merangsang efek alfa dan beta adrenergic agar kontraktilitas miokard,
curah jantung (cardiac output) dan tekanan darah meningkat.
 Dosis 2-10 ug/kgBB/mnt dalam drip infuse. Atau untuk memudahkan 2
ampul dopamine dimasukkan ke 500 cc D5% drip 30 tetes mikro/menit
untuk orang dewasa.
d. Magnesium Sulfat
 Direkomendasikan untuk pengobatan Torsades de pointes pada ventrikel
takikardi, keracunan digitalis. Bisa juga untuk mengatasi preeklamsia.
 Dosis untuk Torsades de pointes 1-2 gr dilarutkan dengan dektrose 5 %
diberikan selama 5-60 menit. Drip 0,5-1 gr/jam iv selama 24 jam.
e. Morfin
 Sebagai analgetik kuat, dapat digunakan untuk edema paru setelah cardiac
arrest.
 Dosis 2-5 mg dapat diulang 5-30 menit.
f. Kortikosteroid
 Digunakan untuk perbaikan paru yang disebabkan gangguan inhalasi dan
untuk mengurangi edema cerebri.
g. Natrium bikarbonat
 Diberikan untuk dugaan hiperkalemia (kelas I), setelah sirkulasi spontan
yang timbul pada henti jantung lama (kelas II B), asidosis metabolik karena
hipoksia (kelas III) dan overdosis antidepresi trisiklik.
 Dosis 1 meq/kg BB bolus dapat diulang dosis setengahnya
 Jangan diberikan rutin pada pasien henti jantung
h. Kalsium glukonat/kalsium klorida
 Digunakan untuk perbaikan kontraksi otot jantung, stabilisasi membran sel
otot jantung terhadap depolarisasi. Juga digunakan untuk mencegah transfusi
masif atau efek transfusi akibat darah donor yang disimpan lama
 Diberikan secara perlahan-lahan IV selama 10-20 menit atau dengan
menggunakan drip
 Dosis 4-8 mg/kg BB untuk kalsium glukonat dan 2-4 mg/kg BB untuk
kalsium klorida. Dalam transfusi, setiap 4 kantong darah yang masuk
diberikan 1 ampul kalsium glukonat
i. Furosemide
 Digunakan untuk mengurangi edema paru dan edema otak
 Efek samping yang dapat terjadi karena diuresis yang berlebih adalah
hipotensi, dehidrasi dan hipokalemia
 Dosis 20-40 mg intra vena
j. Diazepam
 Digunakan untuk mengatasi kejang-kenag, eklamsia, gaduh gelisah dan
tetanus
 Efek samping dapat menyebabkan depresi pernafasan
 Dosis dewasa 1 amp (10 mg) intra vena dapat diulangi setiap 15 menit

Referensi :
Initial Assesment dan Resusitasi dalam Advence trauma life Support (ATLS)
Manual untuk Peserta Kursus. Jakarta : American College of Surgeons. Ed-9.
2013

7. Menjelaskan syarat-syarat melakukan transportasi dan rujukan pada skenario?


Jawab :
Rujukan
Sistem rujukan adalah suatu sistem penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang
melaksanakan pelimpahan wewenang dan tanggungjawab atas kasus penyakit atau
masalah kesehatan yang diselenggarakan secara timbal balik, baik vertical dalam arti
dari satu strata sarana pelayanan kesehatan ke strata sarana pelayanan kesehatan
lainnya, maupun horizontal dalam arti antara strata sarana pelayanan kesehatan yang
sama.
Faktor-faktor yang dapat dijadikan pegangan untuk merujuk penderita adalah kriteria
fisiologis, pola perlukaan., biomekanika trauma dan beberapa masalah khusus. Faktor-
faktor tersebut dapat membantu dalam keputusan untuk merujuk. Apabila keputusan
untuk merujuk sudah diambil, jangan menunda rujukan dengan melakukan pemeriksaan
“agar lengkap”.
Pasien yang mengalami cedera, memerlukan rujukan. Sebelum dirujuk sebaiknya :
1. Meyakinkan bahwa masalah ABCDE sudah teratasi
2. Mengurangi nyeri pasien, misalnya dengan bidai fraktur
3. Usahakan menenangkan pasien.
Perlu diketahui bahwa merujuk bukan suatu bentuk terapi. Pasien mungkin akan
ditempatkan dalam suatu keadaan yang tidak terkontrol dan diramalkan. Keadaan ini
memungkinkan penurunan keadaan pasien. Perencanaan yang baik akan dapat
mengurangi dampaknya.
Transportasi
Dalam memilih cara transportasi, prinsip “Do no further harm” harus menjadi
pertimbangan utama. Perjalanan antar rumah sakit dapat berbahaya, kecuali apabila
terhadap pasien telah dilakukan stabilisasi tenaga yang mendampingi cukup terlatih.
Tidak perduli jarak, pemindahan pasien dapat berbahaya. Perencanaan harus sangat
rinci, sama saat resusitasi. Problem yang akan timbul selama transport harus
diantisipasi. Penurunan keadaan hemodinamik atau neurologist pasien harus
diantisipasi.
Pengelolaan selama transport
Petugas pendamping harus yang terlatih, tergantung keadaan pasien, dan masalah akan
timbul.
 Monitoring tanda vital dan pulse oxymetri
 Bantuan kardiorespi dimana diperlukan
 Menjaga komunikasid dengan dokter selama transport

Referensi :

Initial Assesment dan Resusitasi dalam Advence trauma life Support (ATLS) Manual untuk
Peserta Kursus. Jakarta : American College of Surgeons. Ed-9. 2013

8. prespektif islam yang berhubungan dengan scenario ?


jawab :

Anda mungkin juga menyukai