Sebut saja namanya Dahlia, salah seorang mahasiswa yang baru
saja menang lomba move on dalam acara agustusan di kampung dengan hadiah 1 galon ar mineral. Jadi, gue sapa buat ngasih ucapan selamat atas kemenangannya. "Dik, selamat yah. Gimana seru kan lombanya? Coba sering kayak gini pasti kamu nggak perlu lagi beli galon buat minum sehari-hari kan? Makasih ya, Kak. By the way, Menurut kamu Merdeka itu apa sih?" tanyaku kepo. "Menurutku merdeka itu kalo jaringan internet gratis seumur hidup, Kak. Bisa sepuasnya main facebook, IG, path, coc, nonton video di youtube, bisa baca story di wattpad, dan bla bla bla... Tadi aku lagi download film tinggal dikit lagi selesai malah kuota abis. Nyebelin banget kan kak, bla bla bla..." Busett, dia malah curhat panjang banget udah kayak pasukan semut yang baris di tembok lagi nyari makan. Ampun deh remaja kekinian, gue cuma nelen ludah. Ngomongin tentang hari kemerdekaan nih. Sebenernya apakah bener negara ini telah merdeka sepenuhnya? Mari kita kupas lebih dalam. Ceileeeh.... Bukan rahasia umum lagi bahwa proyek-proyek pemerintah menjadi bancakan kaum politisi, pejabat dan konglomerat. Tak usah jauh-jauh saya mempunyai dua kawan dekat yang berada di lingkaran tersebut. Mereka adalah pengusaha pengadaan alat medis dan yang satunya penerbit buku sekolah. Mereka jujur berkata bahwa untuk memenangkan tender ada upeti yang harus dibagi. Nilainya pun fantastik. Bukan mainmain dari ratusan juta hingga milyaran rupiah. Alurnya tak jauh dari biaya politik dan menumpuk kekayaan pribadi pejabat. Ada simbiosis mutualisme yaitu saling menguntungkan. Pengusaha butuh proyek, pejabat butuh fasilitas, parpol butuh uang operasional sedangkan negara menyediakan anggaran. Solusi "mark up harga di atas harga umum adalah permainan cantik yang biasa dimainkan di belakang meja. Kadang tak masuk akal seperti kasus yang pernah terungkap tentang kursi anggota dewan yang berharga puluhan juta per-unitnya.
Saya lebih suka menyebutnya simbiosis tidak bermutualisme. Ada
pertanyaan kenapa tidak ditangkap saja mereka? Masalahnya terlalu banyak yang terlibat. Seperti pelanggar lalu lintas berjamaah saat konvoi suporter bola, iringan moge, atau pawai ormas. Bisa apa penegak hukum? Toh yang ditangkap cuma peserta paling belakang dan paling lemah. Parahnya jika penegak hukum juga terlibat, maka lingkaran setan bertambah gelap dan terselubung. Lalu siapa yang salah? Tak perlu tunjuk hidung, tunjuk saja diri sendiri. Kita juga bersalah. Pemimpin adalah cerminan rakyatnya. Memaki mereka sama dengan memaki diri sendiri. Bukankah faktanya yang memilih mereka menjadi pemimpin dan wakil rakyat adalah rakyat. Sebuah fakta di jalanan, truk yang melebihi muatan lebih suka membayar tips kepada petugas timbang dishub daripada mengikuti aturan berat muatan. Alasannya sederhana efisiensi usaha demi laba, begitu doktrin sang pemilik usaha. Jangan salahkan petugasnya saja bukankah pengguna jalan juga membutuhkan kehadiran dan permainan mereka. Contoh di atas terjadi di semua lini kehidupan di negeri ini. Intinya saling
menguntungkan,
meskipun
berakibat
bikin
jebol
jalanan.
Nasionalisme cuma menjadi slogan, endingnya adalah individualisme.
Ujung-ujungnya adalah uang alias duit. Saya mengajak anda untuk mendukung gerakan anti UUD (UjungUjungnya Duit). Memang kita memerlukan uang tetapi apakah harus mengorbankan kepentingan orang banyak dan memakan uang rakyat yang bersusah payah membayar pajak. Abaikan tulisan ini jika hanya menjadi retorika, bahkan bualan semata. Menjadi bahan tertawaan warga negara tetangga yang katanya tabu berkata moral namun tindakannya lebih bermoral. Abaikanlah! Tapi jangan abaikan negerimu. Kita ada dalam satu bahtera, jika ada seorang penumpang yang melubangi bahtera, sungguh kita akan tenggelam semuanya.