Anda di halaman 1dari 49

PROFIL

Daftar Isi
SALAM

SURAT PEMBACA

ABSTRAKSI

FOKUS
Memanusiakan Pekerja Rumah Tangga
(PRT)

31

PUP II Rahima:
Menuju Peran Aktif Perempuan dalam
Istimbath Al Ahkam

32

JARINGAN
PP al-Quraniyah:
Ruang Setara untuk Perempuan

OPINI
Islam Wajibkan Negara Lindungi Hak-hak
PRT

12

34

KHASANAH
Perempuan Dalam Keadilan Sosial Islam

36
Hargai Hak-hak PRT sebagai Pekerja

16

DIRASAH HADIS
IMenerjemahkan Keberpihakan terhadap
Pekerja Rumah Tangga

TAFSIR ALQURAN
Pekerja Rumah Tangga

20
40

FIKRAH
Rahmah El Yunusiah :
Mendobrak Pendidikan yang hanya untuk
Laki-laki

24

INFO
Negara Harus Serius Lindungi Pekerja
Migran

41

CERPEN
Hidupku, Hutang Ayahku

AKHWATUNA
PRT, dirindu tapi tak diaku..!

26

43

TEROPONG DUNIA
Belajarlah ke Negeri Cina Untuk
Menghargai PRT

PROFIL
Najma :
Jangan Panggil Aku Ning, jika ...

28
45

TANYA JAWAB
Kecewa kepada Orang Tua

KIPRAH
Menyemai Keluarga Sakinah

30

49

REFLEKSI
Kau yang tak mau dilihat

Salam

PROFIL

Assalamualikum Wr.Wb.
Pembaca yang dimuliakan Allah swt...
Alhamdulillah.. teriring bulan berkah Ramadhan
1430 H., terbit kembali Swara Rahima edisi ke-28
bertema Spirit Ramadhan dan Hak-hak Pekerja Rumah
Tangga (PRT).
Selama sebulan Ramadhan penuh, kita akan
menjalankan ibadah puasa bersama. Kita sepakat,
puasa bukanlah sekedar menahan haus dan lapar.
Sebab puasa memiliki spirit untuk melakukan refleksi
diri, membangun solidaritas dan kepedulian terhadap
sesama. Terutama orang-orang yang selama ini tanpa
disadari telah banyak mengerjakan pekerjaanpekerjaan kita.
PRT adalah pekerja di rumah tangga kita yang telah
banyak berjasa dalam menjaga keharmonisan setiap
keluarga. Apalagi di saat-saat Ramadhan, dengan
penuh semangat kerja mereka menyediakan makan
sahur dan buka puasa bagi putra-putri dan semua
anggota keluarga kita. Ketika lebaran tiba, kita tahan
mereka sejenak untuk segera bertemu anak-anak atau
keluarga mereka sendiri. Setelah lebaran usai, baru kita
ijinkan mereka meninggalkan pekerjaan di rumah kita.
Demi keluarga kita, mereka tak sempat merayakan hari
pertama lebaran bersama keluarganya sendiri.
Demikian besar jasa mereka kepada keluarga kita.
Sebab itu, mari sejenak berefleksi diri, apakah setelah
kerja yang kita bebankan ke PRT, kita sudah
memberikan penghargaan dan memenuhi hak-hak
dasarnya sebagai pekerja?
Lalu, apa saja sesungguhnya hak-hak dasar PRT
yang harus kita penuhi? Dalam rubrik Opini, Imam
Nakhai, aktivis muslim untuk hak-hak perempuan dari
Jawa Timur, dan Aida Milasari aktivis Rumpun Gema
Perempuan, Jakarta, keduanya mengupas hak-hak
dasar PRT dari sudut pandang agama dan juga

Swara

Rahima

konstitusi yang berlaku di Indonesia.


Pembaca yang berbahagia...
Dalam rubrik Tafsir Alquran dan Dirasah Hadis,
KH. Husein Muhammad dan Faqihuddin Abdul Kodir
juga kembali mengupas bagaimana sesungguhnya
Tafsir dan Hadis bertutur tentang hak-hak dasar PRT.
Bagaimana pula Rasulullah dan para sahabat
memperlakukan para PRT-nya? Ibrah-ibrah tersebut
kita kaji dalam rubrik ini, dan dapat kita contoh untuk
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Demikian pula, dalam rubrik Refleksi yang ditulis
Ulfah Mutiah H., Akhwatuna yang ditulis Leli
Nurohmah, dan juga Teropong Dunia yang dilansir
Nur Rofiah, di dalamnya banyak informasi yang akan
kita peroleh seputar PRT. Adapun rubrik lain seperti
Kiprah, Jaringan, Fikrah, Khazanah, Tanya Jawab,
Info, dan juga Cerpen (Cerita Pendek), akan semakin
menambah pula informasi bagi pembaca tentang tema
beragam yang diangkatnya.
Edisi ini menampilkan rubrik baru, Profil berisi
tentang aktifitas mitra-mitra Rahima dari berbagai
daerah.
Suplemen menghadirkan tulisan salah satu tokoh
ulama perempuan, Afwah Mumtazah, dari Jawa Barat.
Tulisan ini bertema Refleksi Ramadhan untuk Pekerja
Perempuan yang Termarjinalkan.
Demikianlah, semoga tema yang diusung Swara
Rahima ini selalu menguatkan langkah dan
perjuangan kita bersama. Selamat menjalankan ibadah
puasa, Ramadhan 1430 H, Selamat Idul Fitri, Mohon
Maaf Lahir-batin. Wassalam.

Re d a k

si

Jl. H. Shibi No. 70 RT 07/RW 01 Srengseng Sawah Jakarta Selatan 12640


Tlp. 021-78880568, 021-78881272 Fax. 021-7873210
E-mail : rahima2000@cbn.net.id, Website: http://www.rahima.or.id

PENANGGUNG JA
WAB Hj. Djudju Zubaidah PEMIMPIN UMUM KH. Husein Muhammad PEMIMPIN RED
AKSI AD. Eridani DEW
AN RED
AKSI
JAW
REDAKSI
DEWAN
REDAKSI
AK
TUR
Farha Ciciek, Nur Achmad, AD. Kusumaningtyas, Maman A. Rahman, Leli Nurohmah,Yohana Fijriyah, A.Dicky Sofyan, Dinah Muhidin RED
REDAK
AKTUR
AN AHLI Wahyu Budi Santoso, Syafiq Hasyim, Helmy Ali, Prof.Dr. Saparinah Sadli, KH. Muhyiddin Abdussomad,
DEWAN
PELAKSANA Hafidzoh Almawaliy DEW
Nyai. Hj. Nafisah Sahal, Prof. Dr. Azyumardi Azra, Kamala Chandra Kirana, MA, Faqihuddin Abdul Kodir ABSTRAK ARAB Dr. Muhbib Abdul Wahab, MA.
ABSTRAK INGGRIS Dewi Wijayanti KAR
TUNIS Mufidz Aziz SETTING LA
YOUT Webe es-Yoe DISAIN CO
VER Mars SEKRET
ARIS RED
AKSI Binta
KARTUNIS
LAY
COVER
SEKRETARIS
REDAKSI
UMENT
ASI Ulfah MH KEU
ANGAN M. Syafran, Shinta Rostita DISTRIBUSI Imam Siswoko, Ade Irawan.
Ratih Pelu DOK
DOKUMENT
UMENTASI
KEUANGAN
SW
ARA RAHIMA adalah majalah berkala terbitan Yayasan RAHIMA untuk memenuhi kebutuhan dialog dan informasi tentang Islam dan hak-hak
SWARA
perempuan. SWARA RAHIMA berusaha menghadirkan fakta dan analisis berita, serta wacana Islam dan hak-hak perempuan. SWARA RAHIMA mengharapkan
partisipasi pembaca melalui saran dan kritik. SWARA RAHIMA menanti kiriman tulisan pembaca sesuai dengan visi Rahima. Bagi yang tulisannya dimuat akan
diberi imbalan. Redaksi berhak mengedit semua naskah yang masuk. Semua tulisan menjadi milik redaksi, jika hendak direproduksi harus ada izin tertulis dari
redaksi.

No. 28 Th. IX, Agustus 2009

Swara Rahima -1

Surat Pembaca
a
a Y th .
K ep ad S w ar a R ah im RW 07/01
T/
R ed ak si ibi No. 70 R
Sh
.
Jl. H en g Sa w ah
Sr en gs Se la ta n
Ja ka rt a

Permohonan
Swara Rahima secara Gratis

PROFIL

Redaksi :
Terimakasih atas doa dan dukungannya. Semoga Swara Rahima
bisa lebih bermanfaat untuk masyarakat secara luas. Dan semoga
komunitas Ust. Holili semakin berkembang. Amin.

Tabarruk-an

Assalamualaikum wr.wb.
Saya mendapatkan tiap edisi
majalah Swara Rahima dari temanmitra Rahima di Garut. Saya perhatikan, pada tulisan nama-nama mazhab
di Swara Rahima tidak disertakan kata Imam jadi biar tidak terkesan suul
adab, dan bermaksud tabarruk-an
(mencari berkah), mohon ditambahkan kata Imam. Semisal Imam
Syafii, Imam Hambali, dan seterusnya.
Redaksi :
Demikian, terimakasih.
Untuk memperoleh Swara
Asep,
Rahima secara gratis ada tiga cara:
Garut-Jawa
Barat
1) Pemohon agar mengirim surat
permohonan untuk bahan bacaan
ke Redaksi Rahima. 2) Pemohon Redaksi :
diharapkan membentuk kelompok Asep yang baik, kami menyampaiLingkar Baca Swara Rahima. 3) kan apresiasi atas usulannya.
Anda bisa mengakses website kami Semoga ini jadi perbaikan Swara
untuk mendownload Swara Rahima Rahima ke depan. Terimakasih.
di www.rahima. or.id. Demikian,
Wassalam.
Sunat Perempuan
Assalamualaikum wr. wb
Sebelumnya saya minta maaf, ini
adalah permohonan dari lembaga
kami (Miftahul Ulum, Jl. KH.
Mujahidin Shadiq, Blapora Barat,
Ganding, Sumenep), untuk mendapatkan majalah Swara Rahima
secara gratis. Mohon balasannya.
Terimakasih.
Pengirim via SMS
081-803 253 XXX

Pemerhati Swara Rahima


Alhamdulillah... barokallah...
Kiriman Swara Rahima Edisi 27
sudah saya terima dengan baik di
Jember, Jawa Timur. Semoga Rahima,
mitranya, dan kami semua dapat lebih
melakukan pencerahan, dan pemberdayaan, di banyak komunitas. Selamat dan suskses untuk kantor baru
Rahima, semoga tambah maju,
mandiri dan bermanfaat. Amin
Ust. M. Holili, M.Pd.
Jember

22-Swara Rahima

Assalamualaikum wr. wb
Saudara saya seorang Ustadz di
Pekalongan. Seringkali ia dimintai
pendapat jamaahnya tentang suatu
perkara, misalnya soal sunat perempuan. Suatu saat, ia minta pendapat
saya. Karena saya seorang dokter,
saya menjawabnya dari perspektif
medis, yang intinya sunat perempuan
tidak perlu dilakukan. Jawaban saya
belum memuaskannya, karena ia
ingin jawaban dari perspektif agama
yang mendukung pendapat saya itu.

Di rumah, saya menemukan


majalah Swara Rahima edisi Sunat
Perempuan milik istri saya, (Guru
Agama Islam di salah satu SMA di
Semarang). Usai membaca, saya
segera mengontak Ustadz tadi dan
bercerita sepintas tentang isi Swara
Rahima edisi 27. Mendengar hal itu,
ia berkomentar bahwa hal seperti
itulah yang dibutuhkannya. Ia lalu
meminta majalah Swara Rahima
tersebut. Karena hanya satu, saya
lalu mengkopikan untuknya. Untuk
itu, terimakasih Rahima.
Wassalamualaikum wr.wb.
dr. M. Hatta
Semarang
Redaksi :
Dokter yang baik, kami sangat
menghargai inisiatif Anda untuk
menyebarluaskan gagasan Swara
Rahima kepada yang membutuhkan. Untuk itu, kami segenap Redaksi mengucapkan terimakasih.
Jazakumullah khairal jaza, khairan
katsira.

Kritik
dan saran
dapat disampaikan
lewat SMS ke
HP Rahima Nomor
0812 1046676
dan
E-mail :
rahima2000@cbn.net.id

No. 28 Th. IX, Agustus 2009

Abstraksi
ABSTRAKSI

amadhan adalah momen refleksi bagi tiap


muslim, karena ada perintah berpuasa di
dalamnya. Perintah itu turun melalui firman
Allah swt. dalam QS. Al-Baqarah ayat 183. Tapi
puasa bukanlah sekedar media belajar untuk menahan
haus dan lapar. Puasa sesungguhnya mengandung
ajaran berempati dan berpihak pada hak-hak sesama.
Keberpihakan itu antara lain adalah dengan
memberikan hak-hak Pekerja Rumah Tangga (PRT).
Misalnya saja, bila lebaran tiba, tradisi mudik tak
harus dinikmati para majikan atau pengguna jasa saja,
PRT juga berhak merasakannya. Sebab lebaran ibarat
cuti tahunan bagi setiap pekerja, tak terkecuali PRT.
Itu adalah salah satu hak mereka. Tapi faktanya, hakhak seperti ini bagi mereka yang bekerja di sebuah
rumah tangga atau sektor domestik seringkali
diabaikan. Kerja mereka juga tak jarang dipandang
sebagai kerja murahan. Padahal, banyak pihak
kerepotan bila PRT tidak ada.
Dalam Islam, siapapun yang bekerja dalam rangka
mencari rijeki dari Allah swt., akan dipandang mulia.
Tidak terkecuali PRT. Apalagi realitasnya, profesi ini
banyak memberi manfaat bagi orang lain. Mereka
memberi kemudahan bagi para pengguna jasa,
sehingga keberadaan mereka penting dalam
meringankan kesulitan muslim lainnya. Sebab itu,
Islam sangat menekankan pentingnya memberikan
hak-hak PRT.
Sebagaimana profesi lain, PRT berhak menerima
gaji pada waktunya dengan jumlah yang layak. Hadis
Nabi menyebutkan, Upahlah buruhmu sebelum
keringatnya kering. Selain itu, mereka juga berhak
atas batasan waktu atau jam kerja yang jelas, berhak
beristirahat, mendapatkan cuti, dan mendapat
pelatihan keterampilan sesuai minatnya. Terpenting
lagi, mereka juga berhak mendapat perlakuan yang
sama tanpa diskriminasi.
Ironisnya, di Indonesia belum ada UndangUndang (UU) yang mengatur dan melindungi hak-hak
No. 28 Th. IX, Agustus 2009

PRT secara khusus, sebagaimana profesi lainnya.


Dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, PRT tidak diakomodir dalam
pengertian pekerja atau buruh yang juga memiliki
hak-hak konkrit yang diatur dalam sebuah kontrak
kerja antara PRT dan pengguna jasa. Akibatnya, tak
ada jaminan bagi PRT untuk mendapatkan hakhaknya secara utuh. Padahal mestinya, tak berbeda
dengan pekerja di sektor formal. PRT pun berhak atas
cuti haid paling lama dua hari, misalnya, karena
sebagian besar mereka adalah perempuan. Selama
cuti mereka juga berhak mendapat upah, dan
sebagainya. Memang, beberapa hal tersebut telah
dirancang dalam rumusan draft RUU PRT. Tetapi
sampai hari ini, rumusan tersebut masih
menggantung tanpa kejelasan.
Idealnya, sebagai sesama manusia yang samasama memiliki hak asasi seperti halnya para
pengguna jasa, PRT juga harus mendapat
perlindungan hukum, memiliki perjanjian kerja yang
jelas, dan jaminan sosial serta hak berorganisasi.
Bukankah Islam telah menerangkan konsep yang
jelas tentang PRT ? Hubungan PRT dan pengguna
jasa dibahasakan sebagai aqdu al-ijarah. Di mana
al-aqdu itu sendiri berarti kontrak atau kesepakatan
antara kedua belah pihak tentang hak dan kewajiban
masing-masing. Karenanya, mestinya kontrak kerja
yang mengatur dan melindungi hak-hak PRT wajib
ada, sekalipun hal ini tidak selalu dalam bentuk
tertulis. Sebab kontrak ini bisa saja dalam bentuk
perjanjian lisan yang disaksikan oleh beberapa orang
dari kedua belah pihak.
Kini sudah saatnya, baik negara maupun
masyarakat pada umumnya, sama-sama berbuat
mengupayakan terpenuhinya hak-hak dasar bagi
PRT. Terlebih jika, bangsa ini mengaku sebagai
bangsa yang senantiasa berefleksi dan melakukan
aksi lagi atas setiap ibadah dan amalan yang
dikerjakan. Marilah, kita wujudkan hak-hak dasar bagi
sesama, agar puasa kita bermakna. Semoga.

Swara Rahima -3

Abstract
ABSTRACT

amadhan is a moment of reflection for every


Moslem, due to the command to do fasting in
that month. The commandement on doing
fasting is revealed in Surah al-Baqarah, verse 183.
But, fasting isnt just about denying foods and
drinks. The essence of fasting is about growing
emphaty and support for other peoples rights.

One of support for other peoples rights is by


fulfilling the domestic workers rights. For example,
when Lebaran Day or Idul fitri comes, the tradition
to go back to home town does not belong only to
the employers; but their domestic workers also have
the same rights to do that. The reason is because;
idul fitri is the same with annual leave for
employees, with no exception to domestic workers.
Annual leave is one of domestic workers rights. But
in reality, this right of domestic workers is often
being ignored, because their works are often seen as
easy job. While in reality, there are so many people
face problems when their domestic workers are not
around.
In Islam, whoever work to gain livelihood and
blessing from Allah, is seen as noble. This concept is
also applies to domestic workers. Moreover, in
reality, this profession provides many benefits for
other people. The domestic workers make their
employers feel easier to do their jobs, therefore the
existence of domestic workers are very important to
help other Moslems. This is why Islam emphasizes
the importance of fulfilling the rights of domestic
workers.
Just like other professions, domestic workers
have the right to receive remuneration on schedule
and in proper amount. One of Prophet Muhammads
hadith mentioned to pay your workers before their
sweat dried up. Aside from that, they are also
entitled to a clear working schedule, right to have
recess, right to have leave, right to get training
according to their

44-Swara Rahima

interest. And the most important is they are entitled


to equal treatment without discrimination.
Ironically, in Indonesia, there is no specific
legislation which regulates and protects domestic
workers rights. In constitution No.13, year 2003 on
Laborforce, domestic workers are not included in the
definition of worker or labor that have tangible rights
regulated in contract between workers and
employers. And as the consequence, there is no
guarantee for domestic workers to get their full
rights. Domestic workers are supposed to be seen as
other workers who have menstrual leave for two
days, for example, because most of them are women.
And they are also entitled to have paid leave. Of
course, these things are already designed in a draft
of special bill to accommodate domestic workers
needs. But, up till today the fate of that bill is still
unclear.
Ideally, as humans who are entitled to the same
humanrights as the employers, domestic workers
should have legal protection; have work contracts,
social security, as well as the right to organize. Isnt
Islam already elaborated a clear concept on domestic
workers ? The relationship between domestic
workers and employers is described as aqdu alijarah. Al-aqdu means contract or deal between both
parties on their rights and responsibilities.
Therefore, contract that regulate and protect rights
of domestic workers should exist, even though not in
written form. The contract can be in the form of
spoken agreement that is witnessed by several
witnesses from both parties.
Now, it is the time, for government and society in
general, to create efforts to fulfill basic rights of
domestic workers. Moreover if this country claims to
always learn from everything they have done and try
to do better. Therefore, let us fulfill other peoples
basic right, so our fasting would be more
meaningful.

No. 28 Th. IX, Agustus 2009

No. 28 Th. IX, Agustus 2009

Swara Rahima -5

Fokuokuss

FOKUS

KIPRAH

Memanusiakan
Pekerja Rumah Tangga
(PRT)

ari ini, kisah tentang rodi dan romusha seolah


sudah terpatri dalam buku sejarah.
Kenyataannya, terkadang keduanya masih
bercokol dalam kehidupan di rumah kita sendiri,
menitis dalam pekerjaan Pekerja Rumah Tangga
(PRT) kita.
Padahal di bulan Ramadhan seperti sekarang
ini, orang biasanya ramai berlomba berbuat baik
kepada siapapun. Lalu, apakah kita juga sudah
berbuat baik dan telah memenuhi hak-hak dasar
para pekerja rumah tangga kita? Bukankah PRT
selama ini adalah orang yang paling dekat dan
banyak berjasa karena menyelesaikan tugas-tugas
rumah tangga kita? Tetapi mengapa, mereka
diperlakukan tak ubahnya budak, kata Siti Musdah
Mulia, aktivis perempuan yang juga guru besar
Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, dalam
diskusi tentang PRT, setahun lalu. Tudingan Musdah
itu, bukannya tanpa dasar. Menurutnya, andai kita
merujuk aturan Organisasi Buruh Dunia (International Labour Organization atau ILO), segalanya
bakal tampak benderang. Mulai dari durasi kerja
yang tak wajar, yang mestinya hanya delapan jam
perhari, sampai jumlah dan jenis kerja yang tak
terdefinisikan banyaknya.1) Ini semua berseberangan
dengan Konvensi ILO nomor 105 yang diratifkasi
Indonesia pada 1999 tentang Penghapusan Kerja
Paksa.2) Ditambah lagi PRT tak mendapat fasilitas
apa-apa, mulai tak ada waktu libur, cuti, dan juga tak
ada jaminan sosial sama-sekali. Terang saja bila
unsur-unsur tersebut tak ada, akibatnya jadi kerja
paksa, kata Aida Milasari, Direktur
Rumpun Gema Perempuan.3)
Sudah banyak contoh kasus yang
menimpa PRT kita. Sebut saja Merry (27
tahun), adalah korban perbudakan itu.
Selama empat tahun merantau sebagai
PRT di Jakarta, tak sekalipun ia pernah
pulang ke kampungnya di Kupang, NTT.
Alasannya, ongkos pulang ke Kupang
setar dengan a upahnya sebulan. Kini,
beginilah siklus hidup Merry, harus
terjaga sebelum setengah lima subuh.
Dua tangan kurusnya kemudian harus
dikerahkan untuk segepok pekerjaan
rumah, mulai menyapu, mengepel,
mencuci, memasak hingga merawat
dua anak majikannya, hingga pukul

66-Swara Rahima

sepuluh malam. Totalnya, Merry banting tulang


kurang lebih 17 jam per hari atau dua kali standar
ILO. Tanpa hari libur.
Di negeri ini ada jutaan Merry, sekitar 2,6 juta
PRT. Kesemuanya bagai menyodorkan lehernya di
ketiak majikan atau pengguna jasa. Umi
Munawaroh (22 tahun) misalnya, sempat
merasakan pahitnya kelakuan majikan yang zalim.
Upahnya tak dibayarkan selama tiga bulan, sejak
November tahun lalu, hingga ia gagal mudik lebaran
ke Madiun.
Nasib Yati (30 tahun) lebih dramatis lagi. Menurut
catatan Dwi Cahyani dari Lembaga Bantuan Hukum
Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan
(LBH APIK), gajinya tidak dibayar selama 18 tahun.
Inilah kekerasan ekonomi terhadap PRT, kekerasan
domestik yang kerap tertutup rapat di balik tembok
rumah-rumah asri para majikan.

No. 28 Th. IX, Agustus 2009

FOKUS

KIPRAH

Kondisi PRT kita di negeri sendiri, hampir setali


tiga uang dengan kebanyakan para pekerja migran
kita di luar negeri. Hal ini karena kebanyakan
pekerja migran kita bekerja di sektor domestik
sebagai pekerja rumah tangga. Di Arab Saudi
misalnya, sebagai negara penempatan TKI terbesar
kedua setelah Malaysia, sedikitnya ada 1 juta TKI
dengan 96 persen adalah Pekerja Rumah Tangga
(PRT). Faktor lain, terkait kultur sosial yang berbeda,
kerap membuat mereka rentan mengalami
kekerasan seperti dianaya majikan maupun
dikriminalisasikan seperti kasus Yanti Iriyanti asal
Cianjur, Jawa Barat, yang dihukum tembak pada 11
Januari 2008 lalu, karena dituduh membunuh
majikannya.4)
Kasus-kasus pelanggaran hak-hak dasar yang
demikian memang tidak sedikit yang diproses oleh
pihak yang berwajib. Tapi tampaknya, di negeri
sendiri, masih belum ada aturan perlindungan yang
jelas untuk para PRT kita. Banyak PRT yang
terisolasi dari keluarga dan teman, serta tidak
memiliki jaminan hukum dalam pekerjaannya.
Mereka terancam kehilangan pekerjaan bila mereka
berani bicara. Lalu bagaimana sesungguhnya
posisi PRT dalam dunia kerja? Apa saja yang
mestinya menjadi hak-hak dasar PRT? Bagaimana
pula agama sebagai rahmat bagi semesta alam
memberikan pembelaan terhadap mereka?
Akar Historis dan Kultural PRT
Bicara sejarah, asal-muasal PRT, Yuli Eko
Nugroho dari Perhimpunan Solidaritas Buruh,
pernah menyinggung keberadaan PRT yang
bermula ketika terjadi revolusi sosial di beberapa
tempat yang meruntuhkan masa kekuasaan
kerajaan. Menurutnya, runtuhnya kekuasaan itu
membawa semangat kebebasan sehingga semua
orang punya alat yang sama untuk bekerja di sektor
jasa. Hal ini lalu memunculkan kelas-kelas baru
dan kelompok kapitalistik model masyarakat yang
bekerja di sektor penjualan jasa tersebut. Dan PRT
muncul di dalamnya, sebagai kelompok masyarakat
yang bekerja menjual kemampuan dan keahliannya
merawat rumah, membesarkan anak, atau kerjakerja domestik lainnya.5)
Lebih jelas lagi, LBH APIK Jakarta pernah
menjabarkan, sejarah PRT bermula dari adanya
praktik perdagangan budak pada awal abad ke-19.
Masa ini menjadi suatu model dan gengsi di
kalangan keluarga Eropa, terutama Belanda, di
Batavia, untuk mempunyai satu atau beberapa
orang budak. Fenomena ini lalu beralih pada
tatanan feodalistik kolonial pada akhir tahun 1812,
saat berakhirnya masa perdagangan budak. Para
budak tersebut lalu diperlakukan sebagai
pembantu sesuai hukum Belanda yang

No. 28 Th. IX, Agustus 2009

Fokuokuss

menempatkan orang Bumi Putera sebagai warga


kelas ketiga. Selanjutnya di masa awal
kemerdekaan, di Jakarta (Batavia) elit dan kelas
menengah dibangun oleh bangsa Indonesia sendiri
yang kebanyakan berasal dari pulau Jawa. Dalam
rumah tangga mereka itulah, kehadiran PRT yang
berasal dari kampung-kampung dibutuhkan untuk
menyelesaikan kerja domestik mereka. Pada masa
ini, PRT masih dipekerjakan dengan prinsip
menghamba. 6)
Berbeda sudut pandang, Prof. Dr. Damardjati
Supajar, Guru Besar Universitas Gajah Mada (UGM)
Yogyakarta, juga pernah membahas asal-usul PRT
ala pewayangan Jawa. Menurutnya, konsep PRT
sesungguhnya seperti biyung emban (pengasuh
anak) yang dalam konteks budaya Jawa, justru
sosok yang adi luhung (sosok hebat karena besar
jasanya) karena tugasnya membesarkan dan
menciptakan seorang ksatria. Sebab dalam
kesehariannya bapak-ibu si anak tidak memiliki
waktu untuk mengurusinya, karena terlalu sibuk
bekerja.
Berbekal konsep tersebut, Prof. Damardjati juga
menyeru perlunya pembekalan dalam pergeseran
pola pikir dan titik berat kesadaran masyarakat
mengenai PRT. Masyarakat yang tadinya menyebut
PRT sebagai pembantu, bedinde, enduk, tak lagi
menggunakan istilah tersebut. Melainkan,
masyarakat melihat PRT dari sisi fungsi mereka
dalam menangani wilayah kerumahtanggaan
sebagai pekerja. Sebab itu, menurutnya PRT juga
tidak perlu lagi merasa rendah diri, dan harus
membekali diri dengan kemampuan dan
keterampilan kerja sebab mereka adalah pemilik
jasa keterampilan untuk kerja-kerja wilayah
domestik. PRT harus berani membuat nilai tawar
agar majikan juga tidak hitung-hitungan soal gaji
dan hak lainnya.7)
Kehadiran PRT secara sosial sangat dibutuhkan
dan sangat dirasakan manfaatnya. Namun posisi
mereka sangat lemah akibat sistem sosial yang
timpang. Sepanjang sejarah PRT di Indonesia,
belum pernah terjadi pembentukan sebuah
asosiasi profesi yang lahir dari prakarsa dan
kesadaran mereka sendiri karena mereka telah
terlemahkan secara struktural. Ide asosiasi itu
katanya memang pernah muncul pada tahun 70-an,
namun hanya dalam film komedi oleh Zus Doris
Callebout dalam Inem Pelayan Seksi. Meski
terkesan penuh stigma, tapi dalam film ini PRT
berkesempatan untuk menggugat apa yang
mestinya menjadi haknya. Sebab pada dasarnya
PRT memiliki pengaruh sosial yang luar biasa
dalam sejarah kehidupan bangsa Indonesia,
apapun nama yang dinisbatkan pada mereka, babu,
bedinde, batur, jongos, kacung sampai pembokat.

Swara Rahima -7

Fokuokuss

FOKUS

KIPRAH

Memang dalam berbagai sebutan itu, tak lepas


dari struktur priyayi dalam budaya Jawa. Tapi dalam
makna budaya Jawa, PRT atau yang mereka sebut
pembantu justru memiliki pula hak untuk
mendapatkan masa depan yang lebih baik dan
akses untuk melakukan mobilitas sosial. Dan
tanggung jawab itu secara moral dibebankan
kepada majikan. Dalam novel Para Priyayi karya
Umar Kayam, bahwa salah satu upaya untuk
mengangkat status sosial kaum papa adalah
dengan mempekerjakan mereka di sektor rumah
tangga kepada para priyayi (orang yang dianggap
lebih tinggi status sosialnya), dan sebagai gantinya
mereka akan dididik dengan baik.
Dalam budaya Jawa juga dikenal istilah
ngenger, adalah menggantungkan hidup pada suatu
rumah tangga orang yang kedudukannya jauh lebih
tinggi secara martabat, derajat dan pangkat
dibanding dirinya dan bekerja secara ikhlas, tidak
dibayar. Dalam sejarahnya, Suharto, mantan
Presiden RI disebutkan pernah merasakan budaya
ngenger ini di rumah keluarga Harjowiyono di
Wonogiri. Di sana Suharto muda bekerja
membersihkan rumah, menguras bak mandi dan
mengisi air dan kegiatan domestik lainnya.
Sementara dalam budaya Jawa-Cina Peranakan,
termasuk Sunda, PRT bukanlah pekerja yang
memiliki hak-hak pekerja dengan imbalan
kemampuan profesi. Makna PRT lebih diartikan
sebagai orang yang tidak mampu untuk hidup
sendiri dalam dunia yang keras, maka itu PRT
memerlukan perlindungan dari kekuasaan sang
majikan. Kekuasaan inilah yang dianggap membuat
PRT itu merasa nyaman dan terlindungi. Sebab itu,
PRT dianggap bagian dari keluarga bukan pekerja
asing di dalam keluarga yang punya hak dan
kewajiban sesuai dengan klaim profesi.
Untungnya, kultur yang kebanyakan masih
berlaku bagi PRT dalam masyarakat Indonesia
tersebut, tidak berlaku bagi semua PRT yang
bekerja di luar negeri, khususnya di Hongkong dan
Taiwan. Profesi PRT di sana bukan lagi berkaitan
semata-mata pada masalah kultur yang melekat
seperti di Indonesia, tapi lebih murni kepada
persoalan tenaga kerja. Para pekerja migran
Indonesia yang berprofesi sebagai PRT, memiliki
tempat dalam strata sosial dan diakui kedudukan
sosialnya yang mungkin paralel dengan kelompok
sosial pekerja asing kelas bawah.
Dalam kultur Hongkong, Taiwan, juga Singapura,
kerja PRT mutlak memerlukan keterampilan, konsep
nilai waktu yang tinggi, disiplin dan berkemampuan
tinggi. Hal positif yang diterima para PRT di sana
yang kiranya patut dicontoh Indonesia adalah, PRT
telah dianggap sebagai pekerja formal yang
profesional. Mereka dihargai sejajar dengan profesi-

88-Swara Rahima

profesi lainnya, diberi hak libur sehari dalam


seminggu, juga hak libur di hari-hari libur nasional
dan hari besar agama. Para PRT di sana juga
tergabung dalam organisasi-organisasi pekerja
migran dan menjadi subkultur dalam masyarakat di
sana. Namun belum semua PRT mendapatkan
kesempatan demikian di sana. Menurut pengakuan
salah satu mantan TKI asal Jawa Tengah, yang
pernah bekerja di Hongkong sebagai baby sitter,
beberapa majikan di sana masih ada yang tidak
membolehkan PRT-nya tergabung dalam
organisasi pekerja. Namun demikian, si majikan
tetap membolehkan PRT-nya untuk mengikuti
kursus semisal kursus bahasa Inggris, Mandarin,
atau bahkan kursus komputer sesuai minat PRT.
Mereka juga diijinkan berlibur di Taman Victoria,
Hongkong setiap Sabtu dan Minggu. Tempat inilah
yang biasa menjadi ajang kumpul mereka di sana,
ada orang Malang, Madiun, Jember, Wonogiri, atau
bahkan Lombok. Sehingga bila berkunjung ke sana
tidak berasa di Hongkong yang berbahasa Mandarin, tetapi seperti berada di Jawa dengan
bahasanya yang kita kenal akrab.8)
Lain dari negara-negara Asia Timur yang
berbasis masyarakat industri yang menganggap
PRT sebagai bagian dari pekerja formal. Di negaranegara Timur Tengah posisi PRT bukan saja tidak
mendapat perlindungan hukum, tapi tampaknya
PRT dihilangkan hak sosialnya dan hak
kemanusiaannya. Belum pasti penyebabnya,
namun ada penilaian bahwa kultur di sana masih
diwarnai pemahaman mengenai perbudakan di
mana seorang PRT masih didefinisikan sebagai
seorang taklukan, dan tidak dianggap
eksistensinya. Mati hidup mereka juga bergantung
pada pemilik atau majikan. Inilah yang kemudian
melahirkan banyak kekerasan fisik, seksual
maupun verbal bagi para PRT yang bekerja di Arab
Saudi.9)
Hak PRT dalam Hukum dan Undang-undang Kita
Layaknya pekerja lainnya, bila PRT dituntut untuk
terampil mengerjakan pekerjaan rumah tangga,
selayaknya mereka juga dipenuhi hak-haknya
sesuai tanggung jawabnya. Semisal, memperoleh
upah yang layak, jam kerja yang jelas, jaminan
sosial, perlindungan untuk tidak mendapatkan
kekerasan, ataupun hak berpartisipasi. Namun
sayang, belum ada aturan pasti di negara ini yang
melindungi hak-hak dasar tersebut.
Dalam Pasal 1 Undang-undang/UU Nomor 13
tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, belum
memasukkan PRT dalam pengertian pekerja atau
buruh dan memenuhi unsur hubungan kerja
layaknya pengusaha dengan pekerjanya, sehingga
tidak harus selalu diikat dengan perjanjian tertulis.

No. 28 Th. IX, Agustus 2009

FOKUS

KIPRAH
Padahal mestinya, negara wajib melindungi hak
PRT sebagai pekerja. Dalam praktiknya, negara
tidak pernah netral. Terkait dengan kepentingan
PRT, negara tak dengan segera mengesahkan
posisi PRT sebagai bagian dari kelas pekerja yang
seharusnya juga mendapat perlindungan hak-hak
pekerja yang mendasar, seperti pengaturan jam
kerja dan jam istirahat serta libur dan cuti, atau
pengaturan mekanisme dalam menyelesaikan
perselisihan. Melihat realita yang demikian, dapat
dikatakan kaum pekerja terutama PRT telah
mensubsidi sektor industri atau pemilik modal dan
negara dalam hal ini pemerintah yang menikmati
lepasnya tanggung jawab untuk mensejahterahkan
warga negaranya.
Memang, melahirkan sebuah undang-undang
bukanlah pekerjaan mudah, terlebih bila belum
ditemukan definisi yang tepat mengenai sesuatu
yang akan diatur. Dan PRT sendiri hingga saat ini
masih mengalami perdebatan dalam pendefinisian.
Apakah mereka masuk bagian dari pekerja sesuai
dengan undang-undang ketenagakerjaan atau
bukan?
Di tengah masyarakat kita, pihak yang tidak
sepakat PRT sebagai bagian integral dari definisi
pekerja sesuai undang-undang merupakan pihak
mayoritas. Hal inilah yang mendorong para penggiat
Hak Asasi Manusia, khususnya yang peduli pada
isu PRT, semisal Rumpun Tjoet Njak Dien (RTND)
Yogyakarta, Rumpun Gema Perempuan atau
Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga
(JALA PRT) Jakarta, untuk mengusulkan pembuatan
peraturan tentang PRT mengingat risiko pekerjaan
yang dihadapi relatif sama besar dengan profesi
lainnya. Tapi sampai saat ini, RUU PRT masih
sebatas usulan pembuatan dan penyusunan draft
akademik meski telah diusulkan sekitar sepuluh
tahun lalu. Ketidakjelasan posisi PRT dalam
pendefinisian secara materiil tidak hanya menimpa
PRT di dalam negeri, tapi juga mereka yang di luar
negeri.
Melihat permasalahan tersebut, memberikan
gambaran kepada kita betapa urusan
ketenagakerjaan di Indonesia yang berkaitan
dengan pekerja domestik dan buruh migran masih
belum selesai. Negara belum sepenuhnya memberi
perlindungan terhadap pekerja sektor domestik
(PRT).
Penyusunan dan pengesahan peraturan yang
berkaitan dengan PRT bukannya belum pernah
diupayakan. Beberapa pembuat kebijakan
khususnya di tingkat daerah, sudah ada yang
mengupayakan lahirnya produk hukum yang
melindungi PRT. Sebut saja Yogyakarta misalnya,
telah memiliki SK Gubernur yang berkaitan dengan
isu PRT.10) Atau Perda DKI Jakarta No. 6 Tahun 1993

No. 28 Th. IX, Agustus 2009

Fokuokuss

tentang Pramuwisma, juga pernah ada. Namun


dalam Perda DKI ini masih banyak permasalahan,
mulai dari penggunaan istilah pramuwisma yang
tadinya dimaksudkan memperhalus istilah PRTPembantu Rumah Tangga yang sudah populer di
masyarakat, justru berpotensi mengaburkan
permasalahan PRT. Seharusnya istilah yang
dipakai adalah Pekerja Rumah Tangga karena
istilah ini lebih tegas maknanya, bahwa PRT atau
Pekerja Rumah Tangga adalah salah satu jenis
pekerjaan yang seharusnya masuk dalam hukum
ketenagakerjaan. Dalam aturan ini belum ada
definisi tegas untuk pemakaian istilah Pekerja,
atau Pekerjaan, hubungan kerja, serta
perjanjian atau kontrak kerja, yang kesemuanya
mencerminkan hak-hak dasar PRT.11)
Bagaimana dengan bilateral agreement yang
juga diharapkan sama-sama melindungi hak-hak
PRT dan majikan? Meski Indonesia sudah
melakukan perjanjian kesepakatan dengan Malaysia, dalam praktiknya pasal-pasal dalam
kesepakatan tersebut masih banyak yang
merugikan para pekerja kita. Dalam bilateral
agreement tentang PRT tahun 1997 dan non PRT
tahun 1998, diatur kewajiban paspor TKI disimpan
oleh majikan. Artinya mobilitas PRT dan non PRT
menjadi terbatas. Hal ini menyerupai praktik
penyanderaan terhadap pekerja itu sendiri. Untuk
itu, pasal-pasal seperti inilah yang seharusnya
dihilangkan dalam bilateral agreement.12)
Faktanya, memang masih jauh panggang dari
api. Baik mereka PRT dewasa, maupun anak-anak,
tak terkecuali masih menerima perlakuan timpang
dari majikan. Padahal jelas, melanggar konvensi
ILO No. 138 tentang Usia Minimum untuk
diperbolehkan bekerja, Konvensi ILO No. 182 Tahun
2000 tentang bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk
untuk Anak, dan juga UU No. 1 Tahun 2000 tentang
Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk
untuk Anak13) yang telah diratifikasi. Sayangnya, tak
sedikit anak-anak di bawah umur yang terpaksa
harus bekerja sebagai PRT akibat tekanan
ekonomi, dirayu calo, atau sekedar ikut teman,
mencari pengalaman di kota, ataupun mencari
kepuasan untuk punya uang sendiri. Jika demikian,
mutlak dibutuhkan aturan yang ketat, agar PRT tetap
mendapatkan haknya sebagai seorang anak,
seperti hak pendidikan, dan hak pekerja seperti jam
kerja yang tidak lebih dari lima jam sehari, serta
tidak mengerjakan pekerjaan yang berbahaya bagi
anak, seperti bekerja dengan naik ke atap genting,
atau bekerja dengan bahan-bahan kimia.
Secara umum, Aida Milasari telah menjelaskan
hak-hak dasar bagi PRT. Namun pokok-pokok
pikiran tentang hak PRT dapat dilihat pada Kertas
Posisi usulan revisi Perda DKI Jakarta No. 6 Tahun

Swara Rahima -9

Fokuokuss

FOKUS

KIPRAH

1993. Hak-hak tersebut adalah sebagai berikut.14)


Pertama, PRT harus mendapatkan perlindungan
dari eksploitasi kerja yang terus-menerus dengan
adanya pembatasan waktu kerja.
Kedua, PRT berhak mendapatkan waktu istirahat
atau libur.
Ketiga, khusus bagi PRT perempuan baik
dewasa maupun remaja berhak mendapatkan
perlindungan terhadap hak-hak reproduksinya.
Keempat, PRT juga berhak mendapatkan gaji
dengan standar upah minimum tingkat daerah.
Kelima, secara ideal semua pekerja termasuk
PRT juga berhak mendapatkan jaminan atas hari
tua, jaminan sosial, bantuan sosial, dan jaminan
pemeliharaan kesehatan masyarakat.
Keenam, sebagai salah satu kebutuhan
mendasar individu, PRT memiliki hak pula untuk
berorganisasi, dan membentuk serta menjadi
anggota serikat pekerja.
Ketujuh, meski bekerja dalam lingkup kecil -rumah tangga atau sebuah keluarga--, PRT juga
berhak mendapatkan rasa aman dan keselamatan
di lingkungan kerja.
Kedelapan, sebagai individu yang seringkali
menjadi korban, PRT berhak atas bantuan hukum
baik dalam perkara pidana maupun perkara perdata.
Kesembilan, terkait kebutuhan beragama PRT
berhak menjalankan ibadah sesuai dengan agama
dan atau kepercayaannya masing-masing.
Kesepuluh, PRT berhak mendapatkan
pendidikan, pelatihan atau bimbingan sesuai
dengan pekerjaannya tanpa mengurangi hak-haknya
Kesebelas, PRT berhak mendapatkan Kartu
Tanda Penduduk atau KTP seperti halnya warga
musiman. Hal ini telah diberlakukan di kota-kota
besar seperti Jakarta.
Keduabelas, PRT berhak atas perlakuan non
diskriminasi.
Minim Perlindungan
Praktik kekerasan terhadap PRT masih sering
dijumpai, kekerasan tersebut berupa ancaman,
pembatasan ruang gerak dan pergaulan,
pembatasan bersosialisasi dan berkomunikasi,
pembatasan hak berekspresi dan mengeluarkan
pendapat. Lebih dari itu, hak berorganisasi,
berserikat, dan berkumpul bagi PRT juga sering
terabaikan. Bahkan mereka kadang mendapat
cacian, hardikan, pelecehan seksual, perkosaan,
penganiayaan, penyiksaan, sampai pembunuhan.
Selain kekerasan itu, PRT kerap mengalami pula
diskriminasi hak-hak pekerja. Hak-hak PRT yang
dipangkas itu seperti waktu istirahat yang kurang,
tidak adanya hari libur dan cuti, jam kerja yang tidak
terbatas, serta beban kerja yang berat,
sebagaimana tersebut di atas. Ironisnya, negara ini

1010-Swara Rahima

belum memiliki aturan setingkat undang-undang


yang mengatur dan melindungi profesi PRT.
Undang-undang mengenai kekerasan dalam
rumah tangga atau UU PKDRT tahun 2004 belum
cukup melindungi PRT dari tindak kekerasan.
Selain karena undang-undang tersebut belum
diimplementasikan secara keseluruhan, sosialisasi
yang baik tentang keberadaan UU ini belum ada.
Sehingga kebanyakan orang tidak menyadari bahwa
perlindungan hukum dari UU tersebut, berlaku pula
bagi para PRT. Solusinya kita perlu undang-undang
yang menjamin hak-hak PRT. Terutama, UU tentang
Ketenagakerjaan tahun 2003 yang saat ini sedang
direvisi, dan menjamin hak-hak pekerja lain seperti,
upah minimum, ketentuan jam kerja 40 jam
perminggu, serta standar mengenai waktu istirahat
rutin serta hari-hari libur. Tanpa perlindungan
hukum yang sama para PRT sangat rentan
terhadap eksploitasi.15)
Islam dan Pekerja Rumah Tangga
Jauh sebelum Rasulullah saw., kisah pekerja
rumah tangga sesungguhnya telah muncul dalam
kisah perjalanan Nabi Musa as., ketika ia
meninggalkan negeri Mesir untuk menyelamatkan
diri dari kekejaman Firaun, menuju negeri Madyan.
Dalam perjalanannya, Musa bertemu dengan dua
orang perempuan yang ternyata adalah putri Nabi
Syuaib as. yang tengah berdesakan turut antrian
panjang untuk memberi minum ternaknya. Serta
merta Nabi Musa pun menolongnya. Atas jasa Musa
itu, Nabi Syuaib lalu mengundangnya ke rumah.
Usai mereka bercerita, salah seorang putri Nabi
Syuaib mengusulkan agar Nabi Musa diterima
sebagai orang yang bekerja pada mereka. Katanya,
Ya bapakku, ambillah ia sebagai orang yang
bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang
yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja
(pada kita) adalah orang yang kuat lagi dapat
dipercaya.. (Qs. Al-Qashash: 26)
Nabi Syuaib as. menyambut baik usulan
putrinya , bahkan ia membuat kontrak perjanjian
dengan Nabi Musa, isinya apabila Nabi Musa as.
bersedia bekerja kepadanya selama delapan tahun
berturut-turut, maka Nabi Syuaib as. akan
menikahkannya dengan salah seorang putrinya.
Nabi Musa as. menyanggupi dan menambahkan
dua tahun masa kerja, Itulah perjanjian antara aku
dan kamu. Mana saja dari kedua waktu yang
ditentukan itu aku sempurnakan, maka tidak ada
tuntutan tambahan atas diriku (lagi). Dan Allah swt.
adalah Saksi atas apa yang kita ucapkan. (Qs. alQashash: 27-28)
Dalam sejarahnya, Nabi Muhammad sendiri
pernah jadi pekerja bagi saudagar kaya, Siti
Khadijah, yang kelak juga menjadi istrinya. Sebagai

No. 28 Th. IX, Agustus 2009

Fokuokuss

FOKUS

KIPRAH
pekerja, Nabi dikenal sangat amanah dan pekerja
keras. Sedang Khadijah, adalah seorang majikan
yang tidak pernah mengurangi hak-hak Muhammad
sebagai pekerjanya. Selain itu Nabi saw. pernah
pula memiliki khodim seorang pemuda beragama
Yahudi. Pemuda itu meminta Nabi agar mengijinkan
melayaninya. Lalu Nabi pun mengijinkannya meski
pemuda itu tetap dalam agamanya. Pemuda itu juga
melayani Nabi sepenuh hati, dan Nabi tak pernah
memaksanya memeluk Islam.16)
Tampaknya, hubungan yang dicontohkan
Rasulullah dengan para pekerja rumah tangganya,
adalah suatu hubungan yang saling memberikan
penghargaan atas hak-hak dasar PRT sebagai
pekerja, dan Nabi sendiri selaku pengguna jasa.
Tak hanya terhadap diri sendiri, Nabi juga menyeru
kepada setiap anggota keluarganya untuk
memperlakukan PRT-nya secara manusiawi dan
penuh kasih sayang. Hal inilah yang dilakukan Siti
Aisyah ra., terhadap PRT-nya bernama Barirah, yang
awalnya seorang hamba-sahaya. Aisyah bersama
Nabi memperlakukan Barirah dengan lemahlembut. Nabi melarang memperlakukannya secara
tidak manusiawi, menganiaya, menyakiti, atau
mendiskriminasi, karena hal itu menyerupai
perilaku jahiliyah.
Berbagai hak PRT yang dicontohkan para Nabi
tersebut sesungguhnya diatur dalam fiqh dengan
konsep kontrak kerja yang disebut aqdu al-ijarah,
yaitu kesepakatan kerja antara kedua belah pihak
tentang kewajiban dan hak masing-masing.
Sehingga keberadaan kontrak kerja ini pun
dihukumi wajib adanya untuk kemaslahatan
bersama, utamanya PRT.17) Di dalam kontrak kerja
inilah, Islam mengatur untuk mencantumkan
berbagai hak dasar PRT sebagai pekerja yang akan
mengerjakan pekerjaan domestik tertentu, dengan
jam kerja yang manusiawi, upah yang jelas
besarannya, dan waktu penggajian yang pasti.
Bahkan Islam menganjurkan agar mengupah
pekerja sebelum kering keringatnya. Artinya,
sesegera mungkin gaji itu dibayarkan sebagai hak
mereka setelah bekerja.
Tampaknya, Islam sebagai agama rahmatan lil
alamin telah banyak mencontohkan bagaimana
seharusnya memperlakukan seorang pekerja
rumah tangga. Cara bagaimana memanusiakan
PRT ini telah banyak disinggung baik dalam hadis
Rasulullah. Dalam Alquran pun dijelaskan tak ada
diskriminasi atas pekerjaan PRT. Sebab dengan
tegas Allah swt. berfirman, Apabila telah ditunaikan
shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi;
dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyakbanyak supaya kamu beruntung. (Qs. Al-Jumuah:
10)
Ayat tersebut menjelaskan, apapun pekerjaan

No. 28 Th. IX, Agustus 2009

yang dipilih seorang hamba, tidaklah dipersoalkan


Tuhan, asalkan itu pekerjaan yang baik, yang
dimulai dengan niat mencari karunia-Nya di muka
bumi. Itu berarti, pekerjaan PRT bukanlah pekerjaan
murahan yang bisa dipandang remeh, sehingga
pekerjanya pun dapat diperlakukan semena-mena,
digaji murah, dan diperlakukan bak seorang budak.
Bukankah hadis Nabi juga menjelaskan, Tidaklah
seorang di antara kamu makan suatu makanan
lebih baik daripada memakan dari hasil keringatnya
sendiri. (HR. Baihaqi) Sebab itu, tak ada yang
remeh atau pun buruk dengan pekerjaan PRT.
Mereka bekerja untuk nafkah diri dan keluarga,
dengan jerih payahnya sendiri.
Demikianlah, selayaknya kita memanusiakan
mereka sebagai Pekerja Rumah Tangga. Dan
terus memberikan hak-hak dasar mereka, sebagai
bukti refleksi atas puasa Ramadhan dan segala
amalan ibadah yang kita laksanakan. Semoga akan
ada perubahan baik ke depan. Wallahualam. Dari
Berbagai sumber, Hafidzoh Almawaliy
Endnotes

Musdah Mulia, Revolusi Pembantu Rumah Tangga, Februari 2008


dalam http://www.mail-archive.com/keluargaislam@yahoogroups.com/msg17486.html
2)
Konvensi-konvensi ILO tentang Kesetaraan Gender di Dunia
Kerja, Organisasi Perburuhan Internasional, Jakarta, 2006
3)
Baca selengkapnya di rubrik OPINI, Aida Milasari, Hargai Hakhak PRT sebagai Pekerja, Swara Rahima, edisi 28
4)
Kompas Cetak, edisi 24 Juli 2009
5)
Yuli Eko Nugroho, Gerakan Perempuan, PRT, dan Buruh Harus
Beraliansi, dalam Seminar Mau Kemana Gerakan PRT?, di
Rumpun Tjout Njak Dien (RTND), Yogyakarta, Mei 2009.
6)
http://www.lbh-apik.or.id/prt-posper.htm
7)
Prof. Dr. Damardjati Supajar, Biyung Emban, dalam Seminar
Mau Kemana Gerakan PRT?, di Rumpun Tjout Njak Dien
(RTND), Yogyakarta, Mei 2009.
8)
Hasil wawancara Redaksi dengan salah satu mantan TKI asal Pati,
Jawa Tengah yang bekerja di Hongkong sebagai baby sitter, pada
awal Agustus 2009. Baca pula rubrik Teropong Dunia, Dr. Nur
Rofiah, Belajarlah ke Negeri Cina untuk Menghargai PRT, Swara
Rahima edisi 28.
9)
http://anton-djakarta.blogspot.com 2007_11_01_archive.html
10)
Buyung Ridwan Tanjung, Menunggu Malaysia Membuat Aturan
Pekerja Informal, dalam http://rumpuntjoetnjakdien.blogspot.com
11)
Kertas Posisi Usulan Revisi Perda DKI Jakarta No. 6 Tahun 1993
Tentang Pramuwisma, selengkapnya di http://www.lbh-apik.or.id/
prt-posper.htm - _ftn1
12)
Buyung Ridwan Tanjung, Menunggu Malaysia Membuat Aturan
Pekerja Informal, dalam http://rumpuntjoetnjakdien.blogspot.com
13)
Konvensi-konvensi ILO tentang Kesetaraan Gender di Dunia
Kerja, Organisasi Perburuhan Internasional, Jakarta, 2006
14)
Kertas Posisi Usulan Revisi Perda DKI Jakrta No. 6 Tahun 1993
Tentang Pramuwisma, Tabel: Usulan-usulan Revisi atas Perda, hlm.
16-17.
15)
Eksploitasi dan Pelanggaran: Situasi Sulit PRT Perempuan,
Amnesty International, Februari 2007.
16)
Mustafa Ahmad, Hak-hak PRT dalam Islam, Lembar Jumat, No.
14, Mei 2009.
17)
Baca selengkapnya di rubrik OPINI, Imam Nakhai, Islam
Wajibkan Negara Lindungi Hak-hak PRT, Swara Rahima, edisi 28
1)

Swara Rahima -11

Opini

OPINI

ida Milasari, S.Si., perempuan kelahiran


Balikpapan, 27 Juni 1970 ini telah
memulai kiprahnya sebagai pekerja NGO
sejak usai kuliah di Fakultas Biologi, Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta, 1989-1996. Ia pernah
menjadi Direktur Program pada Yayasan Tjoet Njak
Dien, Yogyakarta, 1997-1999. Pernah menjadi
Asisten Komisioner di Komnas HAM untuk program
The National Inquiry of Human Rights Abuse di
Timor Timur, 1999 - 2000. Sejumlah pertemuan dan
seminar internasional telah sering diikuti. Selain
itu, sejumlah penelitian tentang Pekerja Domestik
dan Pekerja Domestik Anak pun kerap
dikerjakannya. Aida pernah menjadi Koordinator
Pendidikan dan Penelitian di Yayasan Puan Amal
Hayati tahun 2001. Sekarang ia merupakan
Koordinator Rumpun Gema Perempuan (RGP).
RGP adalah sebuah komunitas organizer yang
memberi advokasi untuk Pekerja Domestik
Perempuan. Dalam wawancara bersama Swara
Rahima, ibu dari lima orang putra-putri, dan istri
dari A. Haris Semendawai, SH.LLM., ini banyak
menjelaskan seputar hak-hak dasar Pekerja Rumah
Tangga (PRT). Untuk lebih jelasnya, simak petikan
wawancaranya.

doc : Rahima

Hargai Hak-hak PRT


sebagai Pekerja
Siapakah Pekerja Rumah Tangga (PRT) itu?
PRT adalah orang-orang yang bekerja di lingkup
rumah tangga, baik yang bekerja full time atau
penuh waktu maupun yang paruh waktu. Jadi,
siapapun mereka baik laki-laki, perempuan, dewasa
maupun anak-anak yang tinggal di rumah dan
bekerja, mereka termasuk kategori PRT. Mereka ada
yang PRT khusus memasak, menyetrika, menyuci
baju, mengasuh anak, ada pula yang tukang kebun.
Kalau menurut JALA PRT (Jaringan Nasional
Advokasi Pekerja Rumah Tangga) Jakarta, supir
juga termasuk kategori PRT, karena mereka digaji
oleh pemilik rumah tangga meski supir kerjanya di
luar atau mengantar pengguna jasanya. Selain itu,
PRT juga ada yang mengerjakan seluruh pekerjaan
rumah tangga, mulai dari cleaning, cooking,
laundring, sampai babysitting.
Mengapa PRT identik dengan perempuan?
PRT identik dengan perempuan, karena 99%
PRT adalah perempuan. Ini dilatarbelakangi oleh

1616-Swara Rahima

stereotip bahwa kerja-kerja domestik seperti


mencuci, memasak, menjaga anak, itu merupakan
jenis pekerjaan bagi perempuan. Sedang tukang
kebun, pengemudi, merupakan stereotip jenis
pekerjaan bagi laki-laki. Itu sebabnya, banyak
perempuan dewasa dan anak-anak menjadi PRT di
dalam maupun di luar negeri. Kalau laki-laki lebih
banyak diterima kerja di pabrik-pabrik, bengkel,
perkebunan, atau konstruksi. Sebab, tampaknya
masih ada pembagian kerja berdasarkan gender
atau jenis kelamin di masyarakat.
Apakah PRT itu Profesi?
Dari sisi profesi, PRT harusnya diakui sama
dengan kerja-kerja formal lainnya. Sebab di dalam
rumah mereka mengerjakan semua tugas-tugas. Di
sana ada perintah kerja, ada pelaksanaan kerja, dan
ada upah. Ketiga hal ini merupakan tanda adanya
relasi atau hubungan kerja antara pengguna jasa
dengan pekerja atau PRT. PRT tidak bisa lagi
dikatakan kerja secara kekeluargaan, atau tidak bisa

No. 28 Th. IX, Agustus 2009

OPINI
juga dikatakan kerja hanya membantu saja. Sebab
faktanya mereka bukan kerja membantu sebagian
urusan rumah tangga, tapi semuanya.
Jadi, secara terminologi memang sudah kabur,
ketika dikatakan mereka adalah Pembantu Rumah
Tangga. Apalagi kalau sampai menganggap atau
menyamakan mereka dengan budak. Nanti bisa jadi
perbudakan jaman modern. Sebab sudah tidak jelas
lagi di mana pembelaan atau pemenuhan hak-hak
dasarnya sebagai manusia sekaligus pekerja. Lalu
kalau bukan Pembantu apa istilahnya? Yang tepat
Pekerja Rumah Tangga atau PRT.
Apakah PRT ini bukan kerja formal?
Kategori kerja formal itu ada atasan ada
bawahan, ada gaji tetap, dan ada kontrak kerja.
Sedangkan kerja PRT ini masih dianggap sektor
informal, karena tata cara penerimaannya masih
belum diatur, dan belum ada standar gaji tetap
sebagaimana kerja di pabrik yang memiliki standar
gaji UMR yang ditetapkan pemerintah.
Lalu jenis pekerjaannya juga banyak sekali.
Lama kerjanya juga tidak dibatasi. Inilah yang
membuat sektor kerja PRT sangat eksploitatif,
karena belum ada regulasi yang mengatur. Regulasi
ini harusnya berfungsi membatasi jumlah kerja PRT,
jam kerja yang panjang, jenis kerja yang berat,
mengatur waktu libur, dan sebagainya. Karena halhal tersebut belum diatur, maka kerja-kerja PRT ini
bisa dikategorikan sebagai bagian dari kerja paksa.
Apalagi PRT yang bekerja di luar negeri, tak jarang
mereka ditahan kartu atau surat-surat identitasnya
oleh pengguna jasa; tidak boleh keluar rumah
bahkan berkomunikasi dengan keluarga sekali pun.
Mengapa belum banyak yang mengakui PRT sebagai
profesi?
Masyarakat Indonesia masih menganggap kerja
PRT itu pekerjaan yang wajar-wajar saja. Padahal
kalau diteliti, kerja PRT adalah salah satu kerja yang
dari dulu bermasalah karena ada unsur kerja paksa.
Kerja paksa itu kerja yang hanya di bawah
persetujuan majikan. Kalau majikan tidak setuju,
maka PRT akan dapat hukuman. Padahal Indonesia
sudah meratifikasi konvensi ILO, Nomor 105 tentang
Penghapusan Kerja Paksa. Tapi eksploitasi
terhadap PRT masih terus saja terjadi. Dalihnya,
kerja PRT adalah kerja dengan unsur kekeluargaan,
karena Indonesia dianggap selalu hidup dalam
kultur kekeluargaan. Mestinya kalau dianggap
sebagai keluarga, dan PRT sudah bekerja dengan
baik, mereka diperlakukan dengan baik pula.
Misalnya, makanan atau pakaian PRT tidak
dibedakan dari majikan, gaji mereka tidak sangat
rendah, dan sebagainya.

No. 28 Th. IX, Agustus 2009

Opini

Apa dampak perlakuan pembedaan itu?


Akan muncul unsur-unsur kekerasan, baik fisik,
psikis, seksual, ekonomi maupun sosial. Misalnya,
ada penahanan gaji berbulan-bulan, supaya PRT
tidak pulang kecuali akhir tahun atau lebaran tiba.
Lalu jam kerja yang panjang 14-16 jam setiap hari
dengan beban kerja yang tinggi. PRT juga harus
siap dipanggil kerja kapan pun mulai majikan
bangun tidur sampai tidur kembali, baru ia berhenti
kerja. Tapi sayangnya, setelah beban kerja tinggi
tersebut, semua hak PRT sebagi pekerja dan
perempuan tidak didapatkan.
Misalnya, rata-rata kamar tidur PRT tidak
berkunci. Kalau majikan perempuan keluar, ia rentan
dilecehkan majikan laki-lakinya. Artinya jaminan
keselamatan PRT sebagai perempuan tidak ada.
Lalu hak-hak reproduksi mereka juga diabaikan.
Seharusnya PRT berhak cuti kerja bila melahirkan
atau menstruasi, dan pembalut disediakan majikan.
Kemudian jaminan kesehatan juga tidak didapatkan.
Apalagi jika PRT itu anak-anak, yang kategorinya di
bawah usia 18 tahun, mereka banyak mengalami
kekerasan dalam kerja domestik ini.
Bagaimana dengan kondisi PRT di luar negeri?
Kondisi PRT di beberapa negara lebih
mengenaskan. Bagaimana tidak, di dalam negeri
sendiri mereka tidak mendapatkan jaminan hakhaknya, apalagi di luar negeri.
Apakah itu berarti PRT yang rentan terhadap
kekerasan hanya dialami PRT di luar negeri?
Di dalam maupun di luar negeri, PRT Indonesia
berpotensi mendapat kekerasan. Di luar negeri
risikonya lebih tinggi dan bentuk-bentuk kekerasan
yang diterima lebih kompleks. Sebab banyak pihak
yang bermain di sini. Misalnya, mula-mula ada
perekrut di tingkat daerah, yaitu para calo. Lalu calocalo itu mengirimkan mereka pada perekrut yang
ada di tingkat kota-kota besar yaitu agen-agen
tenaga kerja. Para agen ini menyalurkan lagi ke
agen-agen di negara tujuan. Baru kemudian agen di
negara tujuan menyalurkan mereka ke para
pengguna jasa atau majikan. Kompleksitasnya luar
biasa, ada penipuan, ada pemerasan, ada
penampungan di tempat-tempat agen yang
memakan waktu cukup lama, dan sebagianya.
***
Bicara hak, apa saja sesungguhnya hak-hak PRT yang
harus dilindungi?
Hak-hak PRT anak tentu berbeda dengan PRT
dewasa. Sebab pada dasarnya anak tidak boleh
bekerja, seperti bunyi konvensi ILO Nomer 182
tahun 2000, tentang Penghapusan Bentuk-bentuk

Swara Rahima -17

Opini

OPINI

Pekerjaan Terburuk untuk Anak. Tapi anak-anak yang


terpaksa bekerja, dan tidak bisa ditarik dari tempat
kerjanya, maka mereka boleh bekerja tapi dengan
aturan-aturan yang ketat. Misalnya, ia harus
mendapat pendidikan dan pelatihan dalam
pekerjaan itu. Mereka harus diajari apa yang harus
dikerjakan, dan apa yang tidak boleh dikerjakan.
Mereka juga harus dilatih bagaimana menghindari
bahaya, dengan misalnya, mereka tidak boleh kerja
dengan benda-benda tajam, atau bahan-bahan
kimia, atau tidak boleh naik ke genting, dan
sebagainya. Lalu jam kerjanya maksimal 5 jam
sehari. Ia juga diharuskan sekolah, boleh
berkomunikasi dengan orang tuanya, dan boleh
mengikuti organisasi-organisasi kerja. Mereka
berhak pula atas jaminan kesehatan, pendidikan,
perlindungan untuk tidak mendapat kekerasan, dan
hak bersosialisasi dan berpartisipasi.
Sedang bagi PRT dewasa, mereka juga
mendapat empat macam jaminan tersebut,
ditambah lagi jaminan untuk tidak dipotong gaji
apapun alasannya, bisa berorganisasi,
bersosialisasi, mendapat hari libur, jam kerja yang
jelas, jumlah gaji yang jelas, kerja yang layak tanpa
kekerasan, beban kerja dan jenis kerja yang jelas.
Mereka juga dapat istirahat sekitar dua jam sehari;
kalau malam mereka tahu kapan harus berhenti
kerja; dan di akhir pekan mereka dapat menikmati
satu hari libur. Kemudian mereka mendapatkan cuti
12 hari selama setahun. Kalau mereka haid atau
melahirkan juga berhak cuti. Sebagai warga negara,
PRT juga harus boleh ikut Pemilu, sebab kalau di
luar negeri mereka rata-rata tidak bisa mengikuti hak
politiknya karena dianggap sebagai budak.
Bagaimana dengan upaya penyusunan kontrak kerja
antara PRT dengan pengguna jasa?
Kalau yang di luar negeri kontrak kerja itu tidak
berlaku antara PRT dengan majikan, tapi berlaku
antara agen dengan agen dan pengguna jasa.
Mereka biasanya menetapkan aturan-aturan kontrak
dengan bahasa yang tidak dimengerti PRT. Dalam
kondisi di bawah tekanan PRT diharuskan
menandatanganinya tanpa tahu apa isi, arti, dan
konsekuensi hukumnya. Ditambah lagi, biasanya
penandatanganan itu terjadi sesaat PRT sebelum
berangkat ke luar negeri, ketika pesawat sudah siap,
tiba-tiba mereka dipaksa tanda tangan tanpa tahu
apa yang ditandatangani. Lalu tiba-tiba ketika
mereka hendak kembali ke Indonesia, ternyata tidak
mendapat pesangon dari majikannya, atau selama
7 bulan pertama gaji dipotong sebagai biaya
pemberangkatan mereka dahulu.
Bagaimana peluangnya bagi PRT untuk membuat

1818-Swara Rahima

surat kontrak kerja ini?


Selama kerja mereka dianggap bukan profesi,
hanya kerja kekeluargaan saja, kontrak kerja susah
terwujud. Kecuali jika ada UU yang mengatur bahwa
majikan harus mengeluarkan kontrak kerja. Sebab
kalau tidak ada, para pengguna jasa ini akan terus
bertanya, dasar hukumnya apa.
Bagi para pengguna jasa, kerja PRT masih
dianggap kerja suka-rela saja. Sebab itu, saya rasa
perlu ada UU yang mengatur dan mengikat tentang
kontrak kerja. Apalagi, PRT sendiri kadang juga takut
tanda tangan kontrak, karena mereka memang tidak
mengerti hukum. Tapi sesungguhnya, kontrak kerja
tidak harus tertulis, bisa pula secara lisan dengan
diketahui sejumlah saksi. Tapi meski selama ini
sudah ada upaya itu, praktiknya memang sangat
sulit.
Bagaimana sesungguhnya posisi PRT dalam UU
Ketenagakerjaan?
Dalam UU Ketenagakerjaan tidak ada
pembahasan tentang PRT. Mestinya hal ini
membuat Depnaker segera menginisiasi UU PRT.
Memang RUU PRT sudah ada, dan sudah dibahas
beberapa kali. Tapi masih macet karena kebijakan
politik sekarang belum menganggap hal ini sebagai
isu penting. Padahal jumlah PRT cukup besar
sekitar 2,5 juta orang, tapi tidak pernah diperhatikan,
sehingga tidak ada kebijakan, program, dan
anggaran untuk membantu mereka.
Bagaimana dengan UU PKDRT?
Yang dilindungi dalam UU PKDRT itu adalah
masalah kekerasan. PRT dilindungi dari kekerasan.
Tapi ini juga hanya terbatas pada PRT yang tinggal
dalam lingkup keluarga, sedang PRT yang tidak
tinggal atau yang kerja paruh waktu, tidak bisa
dijamin dalam UU tersebut. Dalam UU ini juga tidak
ada aturan tentang relasi dan hubungan industrial
antara majikan dan PRT. Hak dan kewajiban antara
PRT dan majikan tidak diatur dalam UU ini.
Bagaimana perkembangan RUU PRT hingga saat ini?
Masih belum apa-apa. Baru didaftarkan ke
Prolegnas (Program Legislasi Nasional). Masih
harus melalui Departemen Hukum dan HAM
(Dephukham), dari sini baru kemudian didaftarkan
untuk dibahas di parlemen. Saya kira 5 tahun ke
depan, RUU ini bisa saja belum disahkan. Apalagi
dukungan dana yang sedikit, membuat program ini
macet. Berbeda dengan trafficking, karena dunia
Internasional sudah bilang trafficking dihapuskan,
maka prosesnya cepat sekali.
Tampaknya RUU tersebut memang masih
menggantung. Tapi secara pribadi saya menghargai

No. 28 Th. IX, Agustus 2009

OPINI
upaya-upaya pemerintah untuk terus meningkatkan
kualitas perlindungan PRT melalui RUU ini. Saya
berharap Depnakertrans juga masih akan terus
menjalankan proses RUU ini.
Ke depan apa yang harus diupayakan oleh pemerintah?
Pertama, presiden harus turut mendorong isu
PRT, termasuk isu buruh migran. Kedua, RUU PRT
ini harus segera dijadikan UU, dan itu harus ada
kemauan politik dari pemerintah untuk melindungi
PRT. Ketiga, UU ini nantinya harus dijaga
implementasinya. Jadi ketika UU ini keluar, seluruh
masyarakat harus ikut terlibat dalam perlindungan
PRT ini. Keempat, keaktifan atau peran dari temanteman PRT sendiri untuk mencari informasi. Jadi
kalau ada kekerasan, mereka tahu hak-haknya dan
bisa membantu sesama teman-teman PRT sendiri.
Kelima, perlu peran serta masyarakat di sekitar
PRT berada. Sehingga, bila ada kasus kekerasan,
masyarakat berinisiatif turut melapor ke aparat,
terutama apabila korbannya adalah PRT anak.
Keenam, meningkatkan kapasitas PRT. Sebab
selama ini skill mereka kurang. Ini adalah kewajiban
pemerintah untuk memasukkan mereka dalam balai
latihan kerja, diberi pendidikan gratis baik untuk PRT
dewasa maupun PRT anak yang memiliki potensi,
guna membekali mereka memasuki sektor kerja
terburuk ini.
Adakah contoh kasus soal keterlibatan masyarakat
sekitar?
Ada contoh menarik dari masyarakat di
Jatinegara, Jakarta Timur. Masyarakat di sini pernah
marah sekali karena ada seorang majikan yang
berkali-kali melakukan kekerasan terhadap PRT-nya.
Untuk kasus yang keempat kalinya, masyarakat
akhirnya membuat petisi yang isinya jika si majikan
melakukan kekerasan lagi terhadap PRT-nya, maka
masyarakat tidak akan segan-segan mengusirnya
dari kampung itu. Hal ini efektif, sehingga keluarga
majikan itu jera.
Jadi tampaknya social punishment juga lebih
ditakuti kaum majikan ketimbang jeratan hukum
atau penjara. Cara ini efektif, karena pengawasan
dari masyarakat itu tidak hanya kalau ada kasus, tapi
juga untuk mencegah terjadinya kasus.
Apa yang dilakukan RGP?
Mengenai RGP, kami tidak punya banyak data
kasus. Untuk penanganan kasus biasanya lebih
banyak langsung diselesaikan di lapangan. Sebab
kapasitas kami sangat terbatas. Kami lebih banyak
menyediakan pelatihan mulai life skill, komputer,
kerumahtanggaan, menjahit, dan sebagainya.
Tergantung keinginan teman-teman PRT sendiri,

No. 28 Th. IX, Agustus 2009

Opini

kemudian kami fasilitasi. Semuanya bebas biaya


kecuali alat tulisnya. Kami minta alat tulis
ditanggung oleh PRT sendiri atau majikannya.
Dengan demikian mereka akan sangat senang
sekali, membawa buku ditenteng dan mereka
belajar.
Sampai saat ini, ada sekitar 300 PRT yang sudah
kami dampingi, dan sekitar 200 PRT sudah selesai
pendidikannya. Sebagian besar mereka sudah alih
profesi, dan ada yang sudah menikah, serta ada
pula yang menjadi TKW ke luar negeri. Setidaknya
mereka rata-rata sudah memiliki kesadaran akan
hak-haknya. Mereka juga ada yang memiliki cukup
informasi dan wawasan, sehingga bisa bekerja di
toko, pabrik, atau ada juga yang bekerja kantoran. Ini
bagi mereka yang lulus Kejar Paket setingkat SMA.
Bahkan beberapa dari mereka ada pula yang
melanjutkan kuliah. Di sini mereka sangat
termotivasi mengikuti pendidikan kesetaraan, Kejar
Paket A-B-C. Untuk tiap paket, mereka masuk kelas
tiga kali seminggu. Kalau mereka mau kursus
komputer atau menjahit juga bisa, tapi harus
memilih salah satu saja, agar mereka tetap punya
waktu cukup untuk bekerja. Kadang ada juga
majikan yang baik, sehingga mereka dipinjami
sepeda motor untuk pergi kursus.
Terkait tanggungjawab pemerintah, menurut Anda apa
kritik mendasar yang harus disampaikan?
Kritik yang saya sampaikan adalah pemerintah
harus membuka mata, bahwa PRT adalah kelompok
yang sangat berjasa tapi dimarjinalkan. Saya yakin
semua orang, pemerintah, anggota DPR,
pengusaha, kita sebagai masyarakat, pasti
mempekerjakan PRT, karenanya kita semua punya
kepentingan. Kita harus bisa menghargai mereka,
menaikkan harkat martabat mereka, sama seperti
kita menghargai diri sendiri dan orang lain. Sebab
PRT bukan pekerja perempuan yang subordinat.
Kalau Indonesia sepakat tidak merendahkan warga
negaranya, maka kita harus menghargai PRT,
karena mereka adalah bagian dari warga negara
juga.
Terakhir, apa harapan Anda terkait isu PRT?
Harapan saya, kalau PRT masih ada dan
bekerja, maka dia harus diperlakukan seperti
manusia. Sering kita melihat kalau majikan makan
di restoran, PRT-nya hanya menunggu di mobil, atau
hanya menjaga anaknya. Agar mereka tidak
terdiskriminasi dan bekerja dalam situasi yang
layak, marilah kita hargai hak-hak asasinya sebagai
perempuan, anak, warga negara, maupun sebagai
pekerja.
Disarikan dari hasil wawancara oleh Hafidzoh Almawaliy

Swara Rahima -19

Opini

OPINI

mam Nakhai, M.H.I., lahir 12 Februari, 1970 di Malang, Jawa Timur. Ia memulai pendidikannya di
Sekolah Dasar Negeri, lalu melanjutkan ke Tsanawiyah dan Aliyah Negeri. Menurut pengakuannya,
sejak tahun 1990 sampai sekarang, ia nyantri di Pondok Pesantren (PP) Salafiyah Syafiiyyah,
Sukorejo-Situbondo. Di sela-sela nyantrinya, ayah dari tiga orang anak ini juga nyambi kuliah S1 di
perguruan tinggi yang dimiliki pesantren tersebut. Usai S1, ia pun melanjutkan ke Pasca Sarjana
UNISMA Malang, dengan mengambil konsentrasi Hukum Islam. Rasa dahaga akan ilmu agama yang
dimilikinya, juga membawanya nyantri di Mahad Aly, Situbondo. Setelah 3 tahun pertama sebagai
santri, di tahun berikutnya ia kemudian dituntut untuk menjadi pendidik di sana, sampai sekarang.
Kiprahnya yang mendalam tentang kajian agama juga membawanya ke forum-forum kajian nasional, di
antaranya forum Pendidikan Kader Ulama Majlis Ulama Indonesia atau PKU-MUI. Dalam
wawancaranya bersama Swara Rahima ini, ia menuturkan pendapatnya tentang bagaimana
sesungguhnya Islam menempatkan profesi Pekerja Rumah Tangga (PRT), serta bagaimana kewajiban
negara dalam pemenuhan hak-hak PRT. Selengkapnya, berikut kutipan wawancaranya.

ISLAM

Wajibkan
Negara Lindungi

Hak-hak PRT

Bagaimana relasi PRT dengan pengguna jasa


dalam Islam?
Dalam Islam relasi PRT dengan pengguna jasa
adalah relasi yang seimbang dan sederajat. Artinya,
pengguna jasa membutuhkan jasa PRT dan PRT
membutuhkan pemenuhan kebutuhan hidupnya
yang dibangun atas prinsip tolong menolong (attaawun) dan kasih sayang (ar-rahmah). Sebab
itulah, dalam fiqh term yang digunakan untuk
menggambarkan relasi itu adalah al-ajir dan almustajir. Dua kata itu berasal dari akar kata yang
sama ajara yang salah satu artinya adalah saling
memberi balasan setimpal atau mukafaah.
Bagaimana menurut Anda relasi yang terbangun
antar PRT dan Pengguna Jasa, saat ini?
Islam menggambarkan relasi PRT dan
pengguna jasa sebagai alaqatun manawiyah
imaniyah, atau hubungan kemanusiaan yang
dibangun atas nilai-nilai keimanan. Relasi PRT dan
pengguna jasa bukan relasi atas-bawah yang
dibangun di atas dasar kekuasaan (siyadiyah),

1212-Swara Rahima

doc : Rahima

Siapakah PRT dalam pandangan Islam?


Pekerja Rumah Tangga atau PRT adalah
manusia seutuhnya seperti manusia pada
umumnya. Tidak ada perbedaan antara PRT dengan
Pengguna Jasa atau majikan dari sisi
kemanusiaannya. Sebab itulah PRT juga memiliki
hak-hak dasar sebagai manusia yang dijamin oleh
Agama.

materialistik (madiyah), dan eksploitatif,


sebagaimana fenomena yang terjadi saat ini. Dalam
relasi seperti ini, PRT berada pada posisi lemah
(dhaif) dan dilemahkan (mustadhafin). Itulah relasi
jahiliyah yang dibangkitkan kembali oleh sistem
perekonomian modern dan gaya hidup hedonis.
Bagaimana dengan hak-hak PRT dalam pandangan
Islam?
Dalam sejarah kemanusiaan, PRT berada dalam
pihak yang lemah dan dilemahkan. Sebab itulah
Islam hadir untuk melindungi dan sekaligus memberikan hak-haknya sebagai manusia dan secara
khusus sebagai Pekerja Rumah Tangga. Hal ini
sejalan dengan misi Islam untuk meyelamatkan
harkat dan martabat manusia dari kezaliman,

No. 28 Th. IX, Agustus 2009

OPINI
penistaan, penindasan, dan eksploitasi antar
sesama.
Apa saja hak-hak dasar PRT yang dijamin dalam Islam?
Dalam tataran praktis Islam memberikan
beberapa hak-hak khusus pada PRT. Hak-hak
tersebut antara lain, adalah hak untuk mendapatkan
informasi. Semisal informasi tentang jenis
pekerjaan, ketentuan upah dan jaminan-jaminan
sosial lainnya.
Dalam pandangan fikih, transaksi ijarah (perburuhan) menjadi batal (gugur) jika tidak terpenuhi
syarat-syarat yang melindungi kedua belah pihak.
Seperti informasi jenis pekerjaan yang harus
dikerjakan PRT, ketentuan upah dan jaminanjaminan sosial tersebut.
Bagaimana dengan hak upah bagi PRT?
PRT berhak untuk mendapatkan upah yang adil
dan segera dibayarkan. Hak inilah yang sejak dulu
seringkali dilanggar oleh pihak perusahaan atau
pengguna jasa sebagai pihak mustajir yang berada
dalam posisi kuat.
Apa dasar Hadis atau Alquran tentang hak upah ini?
Dalam sebuah hadis, Nabi bersabda, Barang
siapa yang mengupah buruh maka hendaklah
dijelaskan upahnya. Dalam teks yang lain Nabi
bersabda, Berikanlah upah buruh sebelum kering
keringatnya dan beritahukanlah ketika ia
menjalankan tugas pekerjaannya berapa jumlah
upah yang harus diterimanya.
Sekalipun hadis ini dhaif (lemah) namun banyak
memiliki syahid yang dapat menyebabkan hadis ini
naik dalam posisi hasan lighairihi. Hadis ini dengan
tegas meyatakan bahwa upah harus ditentukan
berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak
sebelum bekerja dan diberikan sebelum keringatnya
mengering.
Apa maksud memberi upah PRT sebelum kering
keringatnya?
Tentu saja hadis ini tidak dapat sepenuhnya
dipahami secara harfiyah. Yang dimaksud sebelum
kering keringatnya adalah, bahwa Nabi mewantiwanti agar jangan sampai upah PRT ditunda-tunda
pembayarannya.
Bahkan dalam hadis lain Nabi juga bersabda,
Ada tiga kelompok yang Allah menjadikan musuh
bagi-Nya, yaitu seorang yang diberi amanah kemudian ia menghianatinya; seorang yang menjual
orang merdeka kemudian ia memakan hasil
penjualannya; dan ketiga seorang yang mengupah
buruh kemudian setelah buruh menunaikan
tugasnya, ia enggan membayarkan upahnya.

No. 28 Th. IX, Agustus 2009

Opini

Bagaimana Nabi mengimplementasikan hal tersebut?


Rasulullah bukan tipe orang hanya bicara saja,
tapi Nabi mencontohkannya dengan tindakan nyata.
Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Nabi tidak
pernah menzalimi seorang PRT pun yang ada di
rumahnya dengan tidak memberikan upah mereka.
Selanjutnya, apakah Islam juga mengatur hak
istirahat bagi PRT?
Islam mengatur hak bagi PRT untuk
mendapatkan kesempatan ibadah, istirahat, dan
cuti. Sebab ibadah merupakan hak manusia yang
paling mendasar. Tidak boleh pihak mana pun atas
nama apa pun mengurangi atau menghapuskan hak
ibadah orang lain. Karena Islam dengan ajaranajarannya sangat menjunjung tinggi hak beragama
dan berkeyakinan. Sebab itulah dalam berbagai
kitab fikih dikatakan waktu-waktu pelaksanaan
ibadah wajib, tidak dapat diganggu oleh pekerjaan
apapun termasuk sebagai PRT. Dalam
melaksanakan ibadah ini atau istirahat, PRT tidaklah
mengurangi kuantitas kerjanya. Sebab itu, majikan
tidak boleh mengurangi upah PRT yang telah
disepakti hanya karena alasan dipotong waktu
ibadah, istirahat, atau cuti.
Bagaimana dengan hak reproduksi PRT?
Istirahat dan cuti reproduksi juga merupakan hak
PRT yang menjadi kewajiban pungguna jasa untuk
memenuhinya. Dalam sebuah hadis dikisahkan,
Abdullah Ibnu Amr adalah seorang sahabat yang
gemar dan berlebihan dalam beribadah, puasa di
siang hari dan bangun shalat di malam hari. Ia
enggan makan bersama tamu yang dijamunya di
siang hari. Hak-hak keluarga sering terabaikan dan
kesehatan fisiknya tidak terjaga. Lalu Nabi
bersabda, Jiwamu, ragamu, keluargamu memiliki
hak atas dirimu. (HR. Bukhari).
Demikian pula dengan PRT. Mereka memiliki
jiwa yang berhak untuk mendapatkan ketenangan,
kenyamanan, dan terhindar dari tekanan-tekanan
dalam melakukan aktifitas. Raganya memiliki hak
untuk tidak dieksploitasi bahkan oleh dirinya sendiri
sekalipun. Dan keluarganya juga memiliki hak untuk
mendapatkan nafkah, perlindungan dan muasyarah
bi al-maruf. Sebab itu dalam hadis lain, Nabi
bersabda, Istirahatkan jiwa kalian, karena apabila
kelelahan hati akan menjadi tumpul. Hak untuk
mendapatkan istirahat dan perlakuan manusiawi ini
juga telah ditetapkan dalam huququ al-insan fi alislam.
Bagaimana dengan kerja PRT yang sangat banyak?
Dalam hal ini, Islam sesungguhnya melindungi
hak PRT untuk tidak dibebani pekerjaan di luar
kemampuannya. PRT adalah manusia yang

Swara Rahima -13

Opini

OPINI

memiliki keterbatasan waktu, tenaga dan


kemampuan, seperti yang lain. Islam mengajarkan
agar memperlakukan mereka secara baik dan tidak
membebani mereka di luar batas kemampuannya.
Dalam hadis Nabi diyatakan, Suatu saat
datanglah seorang majikan pada Nabi seraya
bertanya: Berapa kali kami harus memaafkan
kesalahan PRT kami?, Nabi menjawab: Dalam
setiap hari kalian harus memaafkan kesalahannya
tujuh puluh kali.
Hadis itu sangat luar biasa. Ini menunjukkan
bagaimana penghormatan Nabi kepada para PRT.
Tidak sebagaimana yang sering terjadi, hanya
dengan satu kesalahan saja, banyak penyiksaan
dilakukan terhadap mereka. Padahal Nabi
menandaskan seandainya PRT melakukan
kesalahan sebanyak tujuh puluh kali dalam sehari,
maka masih harus dimaafkan. Bahkan, dalam hadis
lain dikisahkan, makan bersama PRT dalam satu
meja merupakan simbol mukmin sejati yang
dirindukan surga.
Tentang hak pendidikan dan pelatihan bagi PRT,
bagaimana Islam mengupayakannya untuk
pengembangan diri PRT?
PRT adalah warga negara yang memiliki hak-hak
sebagai warga negara. Termasuk memperoleh
lapangan pekerjaan dan pendididikan serta
pelatihan untuk menunjang profesionalitasnya.
Namun kewajiban pemenuhannya tidak dibebankan
sepenuhnya pada majikan sebagai pengguna jasa,
melainkan kewajiban setiap PRT untuk memiliki
standar kemampuan kerja. Tetapi jika setiap individu
PRT tidak mampu memenuhi hak itu dengan
kemampuannya sendiri, maka menjadi
kewajiban pemerintah untuk melayaninya.
Dalam hal ini pemerintah melalui
pejabatnya berkewajiban mempersiapkan
tenaga-tenaga kerja yang memiliki kemampuan
cukup di bidang pekerjaannya. Ini supaya mereka
tidak mengalami penistaan dan kekerasan. Sebab
akar kekerasan antara lain disebabkan pandangan
rendah terhadap PRT dan kurangnya kemampuan
kerja.

kehilangan haknya. Pemerintah yang menelantarkan


warganya dari memperoleh hak-haknya adalah
pemerintahan yang dzalim (aniaya) dan menurut
fiqh dapat di-mazulkan (dilengserkan).
Dalam hal ini, Sayyidina Umar Ibnu Al-Khattab
telah mencontohkan sebagai kepala negara. Ia
mengatakan, Saya sangat menginginkan seluruh
kebutuhan masyarakat dapat saya penuhi, jika kami
tidak mampu maka kami akan pikul bersama-sama
kesulitan itu.
Menurut Anda, adakah keterkaitan konsep
perbudakan (terutama dalam kultur Arab Jahiliyah),
dengan kekerasan yang dialami PRT yang di
luar negeri?
Sebenarnya tidak ada, sebab kalau kita baca
dengan cermat teks-teks Alquran, hadis dan fiqh,
mungkin tidak akan kita temukan ajaran yang
menistakan atau yang memerintahkan kekerasan
terhadap hamba sahaya. Memang Islam masih
mengakui kepemilikan hamba sahaya, namun di
sisi lain Islam mengajarkan agar perbudakan yang
jadi sejarah buram kemanusiaan dihapuskan dari
muka bumi. Bukti bahwa Islam sangat berkeinginan
agar perbudakan dienyahkan adalah adanya
kewajiban memerdekaan hamba sahaya atas
seseorang yang melakukan larangan-larangan Allah
swt. Misalnya, pelanggaran senggama di siang hari
bulan Ramadhan, dhihar, membunuh tidak sengaja,
pelanggaran sumpah dan lainnya, akan dikenai
sanksi berupa memerdekakan hamba sahaya.
Sesungguhnya konsep kepemilikan hamba
sahaya bukanlah ajaran Islam, melainkan terlahir

Bagaimana sesungguhnya peran negara dalam


memberikan hak-hak PRT?
Negara adalah pelayan masyarakat. Negara
berkewajiban memenuhi seluruh hak-hak
masyarakat yang tidak dapat diraihnya sendiri.
Dalam konteks PRT, negara berkewajiban
menyediakan lapangan pekerjaan, mengatur
gaji, dan memberikan perlindungan
keamanan serta jaminan sosial lainnya.
Pemerintah tidak boleh membiarkan
warganya tidak punya pekerjaan dan

1414-Swara Rahima

No. 28 Th. IX, Agustus 2009

OPINI
dari sejarah kemanusiaan yang cukup panjang.
Islam justru datang untuk menyelamatkan
kemanusiaannya, dengan menggunakan cara-cara
Islami, yaitu tadrij fi at-tasyri (mengubah budaya
secara perlahan).
Jadi tidak ada hubungannya kekerasan terhadap
PRT dengan konsep perbudakan dalam Islam.
Bahkan, hampir seluruh kitab fikih pasti diakhiri
dengan bab Al-Itqu, yang dimaksudkan agar
pembebasan perbudakan menjadi muara dari
seluruh ketentuan fikih. Jika muncul pemahaman
bahwa konsep perbudakan dalam Islam ikut
memberi andil perilaku kekerasan terhadap PRT, itu
berarti belum tuntas pemahaman terhadap ajaran
Islam.
Upaya apa yang perlu dilakukan untuk menghadapi
konteks kultur yang berbeda?
Memang konteks fiqh ijarah dalam Islam
berbeda dengan konteks perburuhan saat ini.
Perburuhan saat ini sangat komplek, sementara
ketentuan fikih disusun sangatlah sederhana, baik
dilihat dari format kontraknya maupun wilayah
kerjanya. Fiqh ijarah klasik tidak membayangkan
terjadinya model perburuhan modern yang
melibatkan banyak pihak, bukan hanya buruh dan
pengguna jasa, melainkan melibatkan agen, calo,
PJTKI, dan negara, baik negara tempat asal maupun
negara tujuan. Dengan demikian diperlukan
menyusun fiqh ijarah baru yang relevan dengan
konteks kekinian. Karena fiqh ijarah klasik secara
tekstual tidak lagi mampu menjawab kebutuhan
buruh.
Kekurangpedulian kaum santri terhadap hak-hak
yang disuarakan buruh saat ini, sangat mungkin
dipengaruhi oleh konsep fiqh ijarah klasik yang tidak
relevan lagi dalam konteks perburuhan modern.
Rekontruksi fiqh ijarah ini harus dimulai dari penelusuran kembali terhadap prinsip-prinsip dasar
ajaran Islam. Sebab fiqh muamalah tidak terlalu
terikat dengan nash-nash tersurat yang mengatur
secara detil. Berangkat dari prinsip-prinsip dasar
syariah inilah fiqh ijarah dapat dikembangkan.
Setidaknya terdapat tiga prinsip dasar syariah
dalam fiqh muamalah, yaitu wujudu at-taradhi
(kerelaan kedua belah pihak); adamu ad-dharar
(tidak merugikan pada pihak lain); adamu al-gharar
(tidak mengandung unsur spekulasi); dan adamu
ar-riba (tidak mengandung riba). Di samping itu ada
prinsip-prinsip kasih sayang, tolong-menolong, dan
menghargai kemanusiaan.
Bagaimana menurut Anda, upaya membuat
Kontrak Kerja (tertulis) antara PRT dan Pengguna
Jasa? Apakah Kontrak Kerja juga terdapat dalam
konsep Islam?

No. 28 Th. IX, Agustus 2009

Opini

Dalam fikih relasi pengguna jasa dengan PRT


disebut aqdu al-ijarah. Al-aqdu itu artinya kontrak,
yaitu kesepakatan antara kedua belah pihak tentang
hak dan kewajiban masing-masing. Jadi dalam
pandangan fikih kontrak kerja hukumnya wajib.
Dalam kitab fikih dikatakan, setidaknya dalam
kontrak kerja dicantumkan jenis pekerjaannya apa;
berapa lama masa bekerja; berapa besaran
upahnya; waktu menjalankan ibadah wajib; dan halhal lain yang saling menguntungkan kedua belah
pihak dan tidak merugikan pihak lain. Isi kontrak
kerja sesungguhnya bisa berkembang sesuai
dengan perkembangan jaman. Dalam sebuah hadis
Nabi mengatakan, Kaum muslimin terikat dengan
syarat yang mereka sepakati selama syarat tersebut
sejalan dengan kebenaran.
Dalam terminologi fikih dikenal dua macam syarat,
yaitu syarat syari dan syarat jali. Syarat syari adalah
syarat yang ditetapkan oleh syariah. Seperti wudhu
sebagai syarat keabsahan shalat. Sedangkan syarat
jali adalah syarat yang dibuat seseorang atas dasar
kesepakatan. Jadi isi kontrak kerja harus dibuat atas
dasar kesepakatan antara PRT dan pengguna jasa.
Namun ketika posisi PRT berada dalam posisi yang
lemah, maka pemerintah wajib melakukan intervensi
untuk menciptakan keseimbangan.
Terkait tradisi Ramadhan dan lebaran, bagaimana
menurut Anda fenomena Ramadhan dan mudik lebaran
bagi PRT?
Saya kira itu tradisi yang baik. Mudik lebaran, di
samping sebagai hak menjalankan ibadah juga
sebagai hak untuk mendapatkan istirahat atau cuti
kerja, serta hak untuk berkumpul bersama keluarga.
Hak ibadah dan hak istirahat kerja merupakan
bagian dari hak asasi manusia yang tidak bisa
dikurangi oleh pihak manapun. Pengguna jasa PRT
wajib memberikan hak-hak itu. Persoalan hak itu
mau diambil oleh PRT atau tidak (at-tanazul an alhaqqi) itu persoalan lain.
Terakhir, apa harapan Anda terkait pemenuhan
hak-hak bagi PRT?
Sebagai bagian dari umat Islam, saya berharap
tidak ada lagi kekerasan terhadap PRT atas nama
apapun termasuk atas nama agama. Sebab agama
mengajarkan untuk saling menghargai, mengasihi,
dan saling membantu antar sesama. Kata Nabi,
Kasihanilah seluruh umat yang berada di muka
bumi, maka kalian akan dikasihi seluruh mahluk
yang ada di langit sana. Relasi buruh-majikan juga
harus diposisikan sebagai relasi yang adil dan
seimbang, bukan relasi atas-bawah. Tugas mulia ini
adalah tugas seluruh masyarakat dan khususnya
negara.
Disarikan dari hasil wawancara oleh Hafidzoh Almawaliy

Swara Rahima -15

Tafsir Alquran

TAFSIR AL QURAN

Pekerja Rumah Tangga


Oleh: KH. Hussein Muhammad

Para PRT adalah saudara-saudaramu. Allah menjadikan mereka di bawah


kekuasaanmu. Maka berilah mereka makan dari apa yang kamu makan, berilah
pakaian seperti apa yang kamu pakai dan janganlah membebani pekerjaan yang
tidak mampu mereka kerjakan.

ndonesia dikenal sebagai negeri subur


makmur dengan potensi sumber daya alam
yang kaya raya. Ironisnya, paling tidak
sepuluh tahun terakhir, lebih dari 40 juta rakyat
Indonesia masuk kategori miskin. Bahkan,
sebagian pengamat ekonomi menyebut angka 100
juta warga yang masuk kategori miskin.
Lebih dari 5 juta warga miskin Indonesia
terpaksa mencari makan di negeri orang. Mereka
biasa dikenal dengan istilah Tenaga Kerja Indonesia (TKI), dan bagi perempuannya disebut Tenaga
Kerja Wanita (TKW). TKI ataupun TKW pada
umumnya bekerja sebagai PRT (Pekerja Rumah
Tangga). Biasanya, tenaga mereka dibutuhkan di
beberapa Negara Asia dan Timur Tengah. Menurut
data dari Badan Nasional Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI)
pada tahun 2008 Negara memperoleh devisa
(pendapatan negara dari luar negeri) sebesar 130
triliun rupiah dari hasil kerja para TKI. Karenanya,
para TKI/TKW dijuluki sebagai Pahlawan Devisa.
PRT Mayoritas Perempuan
Warga Negara Indonesia yang bekerja sebagai
PRT sebenarnya tidak hanya terjadi di luar negeri,
melainkan juga di dalam negeri. Catatan Jurnal
Perempuan, Januari 2005 menyebutkan bahwa
saat ini di Indonesia terdapat 2,5 juta orang yang
menjadi PRT. (JP, edisi 39). Penelitian lain
menyebutkan angka lebih dari 3 juta orang
sebagai PRT. Jumlah ini diasumsikan sebagai
jumlah yang diketahui dan tercatat, di luar itu bisa
lebih banyak. Yang jelas ada sekitar 90% dari
sekian juta PRT, baik dalam negeri maupun luar
negeri, berjenis kelamin perempuan.
PRT telah menjadi isu krusial di negeri ini, baik
yang bekerja di luar maupun di dalam negeri.
Kisah-kisah memilukan yang dialami mereka lebih
dominan menghiasi media massa dibanding kisah
suksesnya. Jutaan warga Indonesia lebih sering
menyaksikan aksi kekerasan brutal dan tidak
manusiawi yang dilakukan majikan terhadap PRT.

20-Swara Rahima

Saat ini, kekerasan yang dialami mereka


sesungguhnya tidak hanya menyerang fisik,
melainkan juga mental dan ekonomi. Bagi PRT
berjenis kelamin perempuan tindak kekerasan
sudah mencapai tahap kekerasan seksual.
Kekerasan mental terjadi dalam bentuk makian
dan umpatan yang dilakukan majikan setiap hari.
Kekerasan ekonomi dilakukan dengan cara tidak
membayar gaji sesuai perjanjian atau kontrak. Hal
ini bisa terjadi dengan cara mengurangi gaji
semestinya, memberikan gaji tidak tepat waktu,
atau bahkan tidak membayarkan gaji tersebut.
Secara seksual PRT perempuan dilecehkan dan
tidak jarang diperkosa.
Secara umum, kekerasan biasanya terjadi
karena PRT dipandang sebagai orang miskin,
rendah, dan lemah di hadapan majikan. Majikan
sering merasa bahwa dirinya adalah superior,
sementara PRT diposisikan secara inferior. Teori
umum menyatakan bahwa relasi yang timpang
antara manusia, termasuk antara PRT dan
majikan, berpotensi menimbulkan kekerasan.
Domestikasi Perempuan
Sekalipun profesi PRT bisa dikerjakan oleh
laki-laki ataupun perempuan, namun
kenyataannya profesi ini identik milik perempuan.
Mengapa? Jawabnya bisa sangat kompleks.
Jawaban paling umum yang bisa diajukan adalah,
perempuan dianggap sebagai entitas paling layak
untuk bekerja pada ruang domestik, sedangkan
laki-laki merupakan entitas yang memang
seharusnya bekerja pada kehidupan di luar
rumah, publik, dan politik.
Pembagian kerja seperti ini terkait dengan
sejumlah asumsi dan dikonstruksi sebagai norma
yang baku. Seperti misalnya, anggapan bahwa
perempuan merupakan makhluk yang lemah dan
bodoh. Karenanya, sangatlah masuk akal dan adil
jika perempuan diberi pekerjaan ringan yang tidak
memerlukan kecerdasan otak. Pekerjaan
domestik dianggap pekerjaan yang relatif lebih

No. 28 Th. IX, Agustus 2009

TAFSIR AL QURAN

ringan dibanding kerja publik dan politik. Karena


itulah maka, menurut pandangan ini PRT memang
sudah menjadi kodrat bagi ruang kerja perempuan
dan bukan bagi laki-laki.
Dalam konteks lain, keberadaan perempuan di
ruang domestik selalu dikaitkan dengan norma
agama dan budaya. Fungsi perempuan dianggap
hanya untuk menjadi ibu rumah tangga yang
harus mengurus anak dan melayani suami.
Kodrat perempuan tidak lebih hanya meliputi
dapur-sumur-kasur.
Kehadiran perempuan di ruang publik juga
kerap dikaitkan dengan pemahaman keagamaan
yang melarang aktifitas perempuan. Perempuan di
ruang publik dianggap dapat menimbulkan
masalah sosial yang serius dan menimbulkan
fitnah. Untuk menjustifikasi (membenarkan)
tindakan domestifikasi perempuan ini
digunakanlah penggalan ayat Alquran, seperti
yang tertera dalam Qs. al-Ahzab 33:33.
Sayangnya, kutipan ayat maupun hadis kerap
tidak dilakukan secara kontekstual dan
kompeherensif sehingga menimbulkan
pemahaman yang keliru.
Sungguh tidak dapat dimengerti, meski konon
secara norma agama dan budaya perempuan
harus selalu berada di rumah dan tidak
diperkenankan pergi jauh meninggalkan keluarga,
namun realitas telah memperlihatkan betapa
banyak perempuan yang direlakan atau terkadang
dipaksa oleh keluarganya --termasuk suami--,
untuk bekerja ke luar negeri dengan iringan doa
berikut risiko yang amat berat. Bukankah ini
merupakan realitas pandangan yang ambigu?
Beban dan Diskriminasi Ganda
Pandangan-pandangan di atas tentu saja
merupakan hasil pemikiran yang tidak kritis.
Fakta-fakta sosial justru menunjukkan bahwa
kaum perempuan memiliki kemampuan fisik,
mental, dan kecerdasan intelektual yang relatif
sama atau bahkan melebihi laki-laki. Ketika lakilaki menyerah dan tak berdaya terhadap tekanan
ekonomi yang bertubi-tubi akibat krisis, justru
perempuan tampil bekerja untuk menolong
keluarganya dengan menanggung seluruh risiko.
Kisah kerja para PRT, misalnya, memperlihatkan
bahwa tugas dan kewajiban yang mereka emban
sesungguhnya begitu berat. Meski dalam kontrak
atau perjanjian telah ada aturan waktu, namun
pada kenyataannya mereka bekerja tanpa kenal
istirahat yang cukup. Sesungguhnya fakta ini
menunjukkan bahwa profesi sebagai PRT
bukanlah pekerjaan ringan sebagaimana
dipersepsi oleh banyak orang.

No. 28 Th. IX, Agustus 2009

Tafsir Alquran

Kehadiran perempuan di ruang publik untuk


kerja-kerja sosial, ekonomi, budaya, dan politik
telah menjadi bagian dari sejarah Islam masa
Nabi dan para sahabat. Khadijah isteri Nabi
adalah pedagang besar yang sukses. Sedangkan
Aisyah, yang juga istri beliau, dikenal sebagai
intelektual paling cerdas dan pemimpin politik
terkemuka pada masanya. Ini berarti bahwa
perempuan bukan hanya entitas reproduktif tetapi
juga produktif.
Fakta sosial lainnya juga memperlihatkan
bahwa perempuan banyak yang memiliki keahlian
relatif lebih baik dibanding laki-laki. Jika masih
ada fakta yang menunjukkan jumlah laki-laki yang
ahli lebih banyak dari perempuan, maka hal itu
bukan soal potensi inheren perempuan atau
karena kodrat perempuan, tetapi semata
merupakan konstruksi sosial yang telah
berlangsung berabad lamanya dalam bentuk
pembatasan akses pendidikan bagi perempuan.
Konstruksi sosial inilah yang kemudian melahirkan ketidakadilan dan kekerasan. Dan
tentunya, ketidakadilan dan kekerasan
merupakan pelanggaran terhadap hak-hak
manusia.
Jika PRT dianggap manusia miskin dan
berkualitas rendah, sementara perempuan juga
dipandang sebagai entitas subordinat laki-laki,
maka kekerasan terhadap PRT perempuan
menjadi berganda, sebagai PRT dan sebagai
perempuan itu sendiri. Maka kekerasan terhadap
mereka adalah pelanggaran hak-hak asasi
berganda.
Islam dan Hak-hak PRT
Dalam pandangan Islam, manusia apapun
jenis kelaminnya, adalah ciptaan Tuhan yang
paling terhormat dibanding ciptaan-Nya yang lain.
Kehormatan ini diberikan karena manusia adalah
makhluk berpikir, berkarya, dan bekerja. Tiga ciri
ini merupakan khas milik manusia, dan menjadi
cara manusia untuk mempertahankan,
meningkatkan kesejahteraan hidup, dan
menyempurnakan eksistensinya. Alquran
menyatakan:

Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah)


dan menjadikan kamu pemakmurnya. (Qs. Hud 11:
61).

Swara Rahima -21

Tafsir Alquran

TAFSIR AL QURAN

Oleh karena itu, bekerja menjadi hak asasi


manusia. Terdapat banyak ayat Alquran yang
menyeru manusia untuk bekerja di manapun,
kapanpun, dan apapun sesuai dengan
kecenderungan dan pilihan masing-masing.
Beberapa ayat Alquran menyatakan:

Dialah yang telah menjadikan untuk kalian


bumi yang mudah, maka berjalanlah di seluruh
wilayah bumi Tuhan dan makanlah dari rezeki-Nya,
dan hanya kepada-Nya kamu kembali. (Qs. al-Mulk
67: 15).

Apabila shalat telah ditunaikan, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia
Allah dan ingatlah Allah sepenuhnya agar kamu
beruntung. (Qs. al-Jumuah 62:10).

Katakanlah (hai Muhammad)! Setiap orang


bekerja menurut keadaannya masing-masing, dan
Tuhanmu paling mengetahui terhadap siapapun
yang paling benar jalannya. (Qs. al-Isra 17:84).

Dari beberapa ayat Alquran di atas bisa


dikatakan bahwa bekerja adalah bagian dari
pengabdian kepada Allah, dan karenanya bernilai
ibadah. Apapun pekerjaan tersebut, sepanjang
dimaksudkan untuk membuatnya eksis dan
dilakukan dengan cara yang baik (halalan
thayyiban), maka masuk kategori ibadah. Bahkan,
bekerja juga bisa bernilai jihad fi sabilillah
(berjuang di jalan Allah), jika dimaksudkan untuk
membantu keluarga atau orang lain. Hal ini
berlaku bagi siapapun, laki-laki atau perempuan.
Perempuan, sebagaimana laki-laki, dituntut
untuk bekerja guna memperoleh penghidupan
yang layak atau memenuhi kebutuhan keluarga.
Siapapun dapat memilih pekerjaan apapun sesuai
dengan potensi dan kapasitas yang dimiliki.
Alquran tidak menyebut pekerjaan tertentu untuk
jenis kelamin tertentu. Perempuan dan laki-laki
dapat bekerja di dalam maupun di luar rumah.
Bekerja sebagai PRT tidaklah lebih rendah

22-Swara Rahima

dibanding profesi lain selama dilakukan dengan


cara dan untuk tujuan yang baik.

Siapapun yang bekerja dengan baik, laki-laki


maupun perempuan sedangkan ia dalam keadaan
beriman, maka Kami (Tuhan) akan memberinya
kehidupan yang baik dan akan Kami beri mereka
balasan terbaik atas pekerjaan baik yang telah
mereka lakukan. (Qs. al-Nahl 16:97).

Sekalipun profesi PRT dianggap rendah,


namun dalam banyak hal peran dan jasa yang
diberikan begitu besar terutama bagi majikannya.
Jika direnungkan lebih jauh, tugas PRT di dalam
rumah turut andil dalam kesuksesan majikan di
luar rumah. Bayangkan, betapa pusingnya para
pemilik rumah besar manakala tidak ada PRT
yang menjaga dan mengurus segala keperluan
dalam rumah tangga. Para majikan tidak perlu lagi
bingung memikirkan urusan rumah tangga seperti
memasak, mencuci, atau bersih-bersih. Nabi
dengan jelas menyatakan, Innama tunsharun wa
turzaquna bi dhuafaikum, (sesungguhnya kalian
ditolong dan diberi rejeki oleh orang-orang yang
lemah di antara kalian).
Hadis ini cukup memberi petunjuk untuk
menghargai kelompok orang yang dianggap
lemah, baik atas dasar profesi maupun jenis
kelamin. Lalu, bagaimanakah Islam mengatur
relasi antara majikan dengan PRT?
Alquran memang tidak menyebut secara rinci
persoalan ini, namun begitu banyak hadis Nabi
yang menguraikannya. Beberapa hal yang dapat
diketahui dari hadis Nabi adalah sesungguhnya
para pekerja --termasuk PRT-- adalah manusia
sebagaimana manusia yang lain. Dia memiliki hak
untuk diperlakukan dengan baik, diberikan upah,
dan dicukupi kebutuhannya. Sebuah hadis Nabi
menyatakan:
Siapa saja yang mempekerjakan orang, maka
jika si pekerja tidak punya isteri, maka dia
hendaknya mencarikan isteri baginya, jika dia
tidak mempunyai pembantu, majikan hendaknya
menyediakan pembantu, jika dia tidak
mempunyai rumah majikan hendaknya
menyediakan rumah. (HR. Abu Daud).
DalamsabdanyayanglainNabisawmengatakan:Para PRT adalah saudara-saudaramu. Allah
menjadikan mereka di bawah kekuasaanmu.

No. 28 Th. IX, Agustus 2009

TAFSIR AL QURAN

Maka berilah mereka makan dari apa yang kamu


makan, berilah pakaian seperti apa yang kamu
pakai dan janganlah membebani pekerjaan yang
tidak mampu mereka kerjakan.
Ibnu Mundzir, seorang ulama dan ahli hadis
terkemuka mengatakan bahwa para ulama
sepakat atas kewajiban memberi makan dan
pakaian layak kepada pekerja rumah tangga
seperti makanan dan pakaian majikannya. Yang
lebih utama lagi adalah mengajak mereka makan
bersama.
Hak PRT dan kewajiban majikan yang lain
adalah bahwa mereka tidak boleh diperlakukan
dengan cara-cara kekerasan. Nabi bersabda:
Jangan kamu pukul hamba-hamba Allah yang
perempuan. Siti Aisyah, istrinya yang tercinta,
memberikan kesaksian dengan mengatakan,
Nabisaw., tidak pernah memukul istri maupun
pembantunya sama sekali. Dan, manakala
makanan yang dimasaknya tidak cukup sedap,
Nabi tidak pernah memarahinya.
Jika majikan melakukan kesalahan baik
disengaja atau tidak, maka etika Islam
mewajibkannya untuk meminta maaf. Meski tak
pernah melukai pembantunya Nabi adalah orang
yang paling banyak meminta maaf kepadanya.
Ketika beliau ditanya berapa kali seorang majikan
mesti meminta maaf kepada pembantunya, beliau
menjawab tujuh puluh kali dalam sehari. Nabi juga
selalu mengucapkan terima kasih atas pelayanan
mereka.
Hak-hak ekonomi PRT juga wajib dipenuhi
majikan. Dalam salah satu sabdanya Nabi
memperingatkan kepada para majikan agar
memenuhi hak-hak pekerja sebagaimana yang
sudah ditetapkan di dalam kontrak. Kelalaian
majikan memberikan upah merupakan sebuah
pengkhianatan. Tindakan majikan tidak hanya
melanggar aturan Negara dan patut dihukum
sesuai dengan undang-undang yang berlaku,
tetapi juga diancam Tuhan dengan hukuman di
akhirat.
Tiga orang yang akan menjadi musuh saya
pada hari kiamat: orang yang berjanji atas nama
saya tetapi mengkhianati; orang yang menjual
orang merdeka lalu hasil penjualannya dimakan;
dan orang yang mempekerjakan orang lain tetapi
tidak memberikan upahnya padahal dia (pekerja)
telah memenuhi pekerjaannya. (HR. Ahmad dan
Bukhari. Baca: al-Syaukani, Nail al Awthar, VI/3536).
Nabi melarang mempekerjakan orang tanpa
menjelaskan upahnya lebih dahulu. (HR. Ahmad.
Lihat: Nail al Awthar, VI/32). Dalam hadis lain
disebutkan: Siapa saja yang mempekerjakan

No. 28 Th. IX, Agustus 2009

Tafsir Alquran

orang dia wajib menyebutkan upahnya. (Nail


Awthar, VI, hlm. 33).
Upah harus dibayarkan sebelum keringatnya
kering, (tidak ditunda-tunda). Nabi saw
mengatakan: Berikan segera upah pekerja
sebelum keringatnya kering. (al-Jami al-Shaghir,
I/76).
Upah adalah hak pekerja dan kewajiban
majikan. Jika majikan tidak memberi upah, maka
pekerja berhak menuntutnya. Sebagian ahli fikih
menegaskan bahwa pekerja boleh menahan
barang milik majikan yang dihasilkan dari
kerjanya sebagai jaminan jika majikan tidak
membayarnya tanpa harus menunggu keputusan
pengadilan/pemerintah. (Al Kasani, Badai al
Shanai, IV/ 204).
PRT adalah manusia dengan seluruh kapasitas
fisiknya yang terbatas. Ia berhak untuk
mendapatkan istirahat yang cukup. Karena itu
para majikan tidak dibenarkan membebani para
pekerjanya di luar kemampuannya. Alquran
mengajarkan bahwa Tuhan pun tidak pernah

membebani makhluk-Nya dengan kewajibankewajiban yang tidak mampu ditanggungnya :


Tuhan tidak membebani orang di luar kemampuannya. (Q.S. al-Baqarah [2]: 286).

Nabi Muhammad saw., pernah menyatakan :


Sesungguhnya tubuhmu mempunyai hak. Hak
tubuh adalah hak untuk istirahat yang cukup, hak
untuk sehat, hak untuk berdaya, dan hak untuk
dihormati.
Hak-hak pekerja --termasuk PRT di dalamnya-harus mendapatkan perlindungan. Sebab dalam
etika Islam, seorang muslim adalah saudara bagi
muslim yang lain dan tidak dibenarkan menyakiti
atau merendahkan sesamanya. Apa yang menjadi
penderitaan seseorang seharusnya juga menjadi
derita bagi dirinya.
Terlepas dari semua itu, Negara harus menjadi
ujung tombak dalam memberikan perlindungan
dan jaminan atas hak-hak warganya apapun jenis
kelamin, profesi, termasuk PRT. Undang-undang
Dasar 1945 Pasal 28 Huruf (i) ayat 4 menyatakan,
Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan
pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung
jawab Negara, terutama pemerintah. Pada ayat
sebelumnya (ayat 2) UUD itu menegaskan,
Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang
bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan
berhak mendapat perlindungan terhadap
perlakuan yang bersifat diskriminatif.

Swara Rahima -23

Dirasah Hadis

DIRASAH HADIS

Menerjemahkan Keberpihakan
terhadap
Pekerja Rumah Tangga
oleh: Faqihuddin Abdul Kodir

anyak orang sudah menyadari pesan dan


hikmah dari Bulan Ramadhan dan
kaitannya dengan pemihakan Islam
terhadap mereka yang lemah, miskin dan papa.
Ibadah puasa dikenal sebagai upaya kontemplasi
seorang muslim untuk ikut merasakan suasana
lapar dan kekurangan, yang dibarengi dengan
perintah mengeluarkan zakat, anjuran sedekah
dan memberi makan bagi yang berbuka puasa.
Semua ini diharapkan menjadi media pendidikan
diri setiap muslim, untuk merefleksikan
sejauhmana ia sudah memberikan jaminan
kepastian perlindungan bagi mereka yang miskin,
lemah dan papa. Dalam hal ini, Pekerja Rumah
Tangga (PRT), atau kebanyakan masyarakat kita
masih menyebutnya sebagai Pembantu Rumah
Tangga, adalah termasuk kelompok masyarakat
yang lemah yang memerlukan kepastian
perlindungan hak-hak dan jaminan bebas dari
segala bentuk kekerasan. Di sini, ibadah puasa
bisa menjadi media refleksi untuk memastikan
relasi yang adil antara PRT dengan majikan yang
mempekerjakan mereka.
Beberapa pernyataan Sahabat Nabi
Muhammad saw. sudah memastikan korelasi
antara ibadah puasa dan perbaikan relasi dengan
para PRT (al-khadim). Jabir bin Abdillah ra.
misalnya, sebagaimana diriwayatkan Ibn Abi
Syaibah dalam Kitab al-Musannaf pernah
menyampaikan pesan, Jika kamu berpuasa,
maka hendaklah telingamu juga berpuasa,
pandangan matamu dan lidahmu juga berpuasa,
dari berkata bohong dan perbuatan-perbuatan
haram dan jauhkanlah dirimu dari tindakan
menyakiti PRTmu. 1) Pernyataan yang hampir
sama juga disampaikan Putra Ali bin Abi Thalib
ra., Muhammad bin al-Hanafiyyah, sebagaimana
diriwayatkan Ibn Abi Dunya (Abu Bakr Abdullah
bin Muhammad al-Baghdady, 208-281 H) dalam
kitabnya Fadhail Ramadhan. Muhammad alHanafiyyah berkata, Hendaklah (pada bulan

3636-Swara Rahima

Ramadhan) telingamu juga berpuasa, matamu,


lidahmu di samping juga tubuhmu berpuasa.
Jangan samakan hari ketika kamu tidak berpuasa
dengan hari ketika kamu berpuasa, dan
jauhkanlah dirimu dari tindakan menyakiti
PRTmu. 2)
Lebih tegas dari itu, Abdullah bin Amr bin alAsh ra., menyatakan bahwa, Menzalimi seorang
PRT adalah salah satu bentuk pengingkaran
kehormatan Kota Suci Mekah. 3) Pernyataanpernyataan seperti ini, besar kemungkinan
terinspirasi dari pengajian dan pendidikan yang
mereka peroleh dari Nabi Muhammad saw., di
samping kesan mereka yang mendalam dari
teladan baginda Nabi saw. dalam memperlakukan
para pekerja rumah tangganya.

Nabi saw. mengajarkan


para sahabat untuk tidak
memanggil hamba sahaya
yang ada dalam
kepemilikan mereka, dan
yang kebanyakan bekerja
melayani di rumah tangga,
dengan panggilan
Hambaku. Begitupun
para hamba diajarkan
untuk tidak memanggil
majikan mereka dengan
panggilan Tuanku.
Teladan Nabi saw.
Ada banyak pernyataan, sikap dan perilaku
Nabi Muhammad saw. yang mengawali titik
perubahan moral kemanusiaan, termasuk yang
secara eksplisit bagi pemihakan mereka yang

No. 28 Th. IX, Agustus 2009

DIRASAH HADIS

bekerja dalam sektor domestik sebagai PRT.


Perubahan yang paling mendasar adalah ketika
Nabi saw. mengajarkan para sahabat untuk tidak
memanggil hamba sahaya yang ada dalam
kepemilikan mereka, dan yang kebanyakan
bekerja melayani di rumah tangga, dengan
panggilan Hambaku. Begitupun para hamba
diajarkan untuk tidak memanggil majikan mereka
dengan panggilan Tuanku.
Abu Hurairah ra. meriwayatkan bahwa Nabi
Muhammad saw. bersabda, Janganlah kamu
menggunakan panggilan wahai hambaku, karena
kamu semua adalah hamba-hamba Allah. Tetapi
panggilah wahai anak kecilku (ghulamiy) atau
anak mudaku (fataya). (HR. Muslim) 4) Dalam
riwayat Imam Bukhari disebutkan, Nabi saw.
bersabda, Janganlah kamu memerintahkan
(dengan panggilan): beri makan tuanmu (rabbaka),
kucurkan air wudhu ke tuanmu atau beri minum
tuanmu, tetapi pakailah yang kuhormati (sayyidi)
atau kekasihku (mawlaya). Jangan juga

No. 28 Th. IX, Agustus 2009

Dirasah Hadis

menggunakan panggilan hambaku, tetapi


panggillah dengan anak mudaku atau anak
kecilku. (HR. Bukhari)5)
Di saat banyak peradaban dan masyarakat
dunia masih melestarikan ketimpangan relasi
antara majikan dan hamba sahaya, bahkan
mengesahkan kekerasan yang dialamatkan pada
mereka, Nabi Muhammad saw. telah meletakkan
perubahan mendasar dengan melarang panggilan
wahai hamba sahaya, atau sebaliknya hamba
pun dilarang memanggil wahai tuanku. Tentu
saja, perubahan panggilan ini tidak berhenti pada
panggilan semata. Diharapkan akan ada
perubahan cara pandang dan perilaku yang
mencerminkan panggilan tersebut. Dalam
beberapa wasiat Nabi saw., para majikan dituntut
untuk memperlakukan para pelayan dengan
baik, santun, meninggalkan praktik kekerasan
terhadap mereka, memaafkan sesering mungkin
kesalahan mereka, bahkan membiasakan diri
untuk duduk dan makan bersama mereka.
Nabi saw. sendiri telah
memberikan teladan awal,
bagaimana bersikap dan
berperilaku dengan para PRT.
Imam al-Bukhari dalam Kitab alAdab al-Mufrid, menceritakan
bahwa Nabi Muhammad saw.
ketika pertama kali datang ke
Madinah, ditawari oleh Abu
Talhah ra. untuk dilayani
seseorang dalam keseharian
hidup baginda Nabi saw. yaitu,
Anas bin Malik ra. yang saat itu
masih berusia muda. Anas bin
Malik ra., kemudian
menceritakan bagaimana masamasa pelayanannya terhadap
baginda Nabi saw., Saya
menjadi pelayan Rasulullah saw.
selama sepuluh tahun, demi
Allah, beliau tidak pernah
berkata buruk sedikitpun kepada
saya, tidak pernah mengeluhkan
tentang saya atau menyalahkan
(pelayanan) saya. 6)
Dalam kitab Sahih Ibn
Hibban, disebutkan bahwa Nabi
saw. bersabda, Setiap
keringanan yang kamu berikan
kepada PRTmu, adalah pahala
yang dicatatkan dalam amal

Swara Rahima -37

Dirasah Hadis

DIRASAH HADIS

perbuatan kamu. 7) Lebih tegas lagi, Nabi saw.


menyatakan pemihakan terhadap mereka yang
bekerja di sektor pelayanan rumah tangga,
dengan pernyataan bahwa Dosa-dosa mereka
akan diampuni oleh Allah swt, karena kerja-kerja
mereka. Dalam bahasa keagamaan, setiap
perbuatan yang positif dan baik, akan selalu
dikaitkan dengan ampunan atau pahala dari
Allah swt.
Imam ath-Thabrani dalam kitab Al-Mujam alKabir dan al-Awsath, meriwayatkan sebuah hadis
bahwa Nabi saw. bersabda, Allah akan
mengampuni dosa-dosa seorang PRT tujuh puluh
kali dalam satu hari. 8) Ini hampir mirip dengan
ungkapan, di mana Nabi Muhammad saw. sendiri
telah meminta ampun dan diampuni oleh Allah
swt. dalam satu hari, tujuh puluh kali ampunan.
Berarti, Nabi saw. telah meletakan derajat
ampunan para pelayan dengan derajat ampunan
diri Baginda Nabi saw. sendiri.
Dalam riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi,
pernyataan ampunan ini disampaikan karena ada
orang yang sepertinya kesal dengan PRT yang
ada di rumahnya. Dia datang kepada Rasulullah
saw., dan mengungkapkan kekesalannya karena
PRTnya sering berbuat salah dan dosa. Sahabat
Abdullah bin Umar ra., meriwayatkan bahwa ada
seseorang yang datang kepada Rasulullah saw.
dan berkata, Wahai Rasulullah, berapa kali saya
harus memaafkan pelayan saya? Rasulullah diam
saja mendengar pertanyaan ini. Lalu dia
mengulangi pertanyaan, Wahai Rasulullah,
berapa kali saya harus memaafkan pelayan
saya? Lalu Rasullullah menjawab. Maafkanlah
dia, dalam sehari sebanyak tujuh puluh kali. (HR.
Abu Dawud dan Tirmidzi) 9)
Teks hadis tersebut, jika dikaitkan dengan
teks ath-Thabrani, menyiratkan bahwa ampunan
Allah swt. terhadap para PRT itu, berkait erat
dengan upaya pemihakan dan penghargaan yang
harus diberikan majikan terhadap PRT mereka,
dengan cara memahami kerja keras mereka dan
memaafkan kekurangan dan kesalahan mereka.
Para majikan tidak hanya dituntut untuk
memberikan penghargaan kepada PRT mereka,
tetapi juga berempati atas kerja-kerja mereka
yang tidak kenal lelah dalam memberikan
pelayanan terhadap keluarga majikan. Dalam
beberapa teks hadis lain, Nabi Muhammad saw.
bahkan menyarankan agar para majikan membiasakan untuk makan dan duduk bersama
dengan para pelayannya. Atau setidaknya,
memberi makan dari makanan yang sama dengan

3838-Swara Rahima

makanan para majikan.


Dalam Kitab Sahih al-Bukhari, ada pernyataan
dari Nabi Muhammad saw. bahwa, Jika seorang
PRT datang membawa makanan kepada kamu,
maka ajaklah ia duduk makan bersama kamu,
atau (kalau tidak) berikanlah ia dari makanan
tersebut, paling tidak satu atau dua suapan. 10)
Imam ash-Shanani dalam kitabnya
Subulussalam, ketika memberikan komentar pada
teks hadis ini menyatakan, Ibn al-Mundzir
meriwayatkan dari ulama-ulama bahwa,
Diwajibkan untuk memberi makan dari jenis
makanan yang sama yang dimakan majikan, yang
ada di daerah tempat tinggal tersebut, begitupun
lauk pauk dan pakaian. Dianjurkan, seorang
majikan justru memberikan yang terbaik terhadap
para PRTnya, dan yang terbaik adalah yang sama
persis dengan yang dimiliki majikan. 11)

Nabi Muhammad saw.


bersabda, Janganlah
kamu menggunakan
panggilan wahai
hambaku, karena kamu
semua adalah hambahamba Allah. Tetapi
panggilah wahai anak
kecilku (ghulamiy) atau
anak mudaku (fataya)
Menerjemahkan Teladan Nabi
Pernyataan-pernyataan di atas, secara jelas
menyiratkan betapa Nabi Muhammad saw. telah
mengenalkan suatu perubahan besar pada
masyarakat Arab dalam memandang dan
memperlakukan mereka yang bekerja sebagai
PRT. Nabi telah mengubah nama panggilan,
melarang tindakan zalim kepada mereka dan
mengenalkan bagaimana seharusnya seorang
majikan bisa duduk dan makan bersama dengan
para PRT mereka. Tentu saja, ajaran ini
merupakan perubahan yang tidak mudah bisa
diterima siapapun pada saat itu.
Bagi masyarakat yang feodalistik dan
paternalistik, perubahan cara pandang dan
perilaku terhadap para PRT tentu saja tidak
mudah dan mungkin mengalami hambatan sosial
dan budaya yang cukup besar. Sebab itu, kita
bisa saksikan jikapun ajakan Nabi saw. diterima

No. 28 Th. IX, Agustus 2009

DIRASAH HADIS
masyarakat muslim, perubahan perilaku yang
terjadi masih terbatas pada kebaikan individual
sebagaimana pesan-pesan kemanusiaan yang
lain yang disampaikan Nabi Muhammad saw.
Tentu saja, kebaikan perilaku yang bersifat
individual adalah baik dan harus diapresiasi,
karena akan menjadi pilar awal dari kebaikan
sosial. Namun, ketika kontrol terhadap kebaikan
individu sangat lemah, maka kemungkinan para
PRT mengalami kekerasan masih sangat terbuka
karena mereka berada pada relasi yang sangat
rentan.
Untuk itu, kita memerlukan perubahan
kelembagaan sosial yang memberikan jaminan
dan kepastian mereka yang bekerja pada sektorsektor yang dianggap rendah oleh masyarakat
agar terlindungi hak-haknya sebagaimana
diwasiatkan Nabi Muhammad saw. Kita perlu
menerjemahkan wasiat-wasiat ini dalam sistem
pendidikan kita yang membebaskan dan
menyetarakan, sistem hukum yang memberikan
jaminan dan perlindungan, serta budaya sosial
yang memberikan penghargaan pada setiap
pekerjaan yang memberikan manfaat kepada
masyarakat, yang dilakukan siapapun untuk jenis
apapun. Termasuk dalam hal ini adalah para
Pekerja Rumah Tangga.
Kita patut bersyukur, Indonesia telah
melakukan lompatan budaya, yang mungkin
belum dilakukan negara-negara muslim yang lain,
ketika berani merubah istilah Pembantu Rumah
Tangga menjadi Pekerja Rumah Tangga. Ini
hampir mirip dengan teladan Nabi saw. ketika
melakukan perubahan panggilan hamba sahaya
menjadi anak muda. Istilah Pekerja Rumah
Tangga tidak hanya berhenti pada istilah, tetapi
juga martabat, penghargaan dan hak-haknya.
Mereka adalah pekerja sebagaimana pekerjapekerja yang lain, yang berhak atas segala yang
menjadi hak pekerja. Mereka bukanlah pembantu
yang secara gratis bisa diperlakukan sekehendak
para majikan.
Sebagai proses budaya, tentu memerlukan
waktu panjang untuk menumbuhkan kesadaran
kesetaraan relasi kerja antara PRT dengan
majikan. Kesadaran ini menjadi tumpuan utama
untuk memastikan perlindungan hak-hak mereka
yang menjadi korban ketimpangan relasi ini.
Salah satu media penumbuhan kesadaran adalah
pendidikan dan pemahaman keagamaan. Karena
itu, tokoh agama atau institusi keagamaan
dituntut untuk memainkan peran-peran signifikan
untuk mempercepat perubahan pola kesadaran

No. 28 Th. IX, Agustus 2009

Dirasah Hadis

masyarakat dalam penghormatan dan


perlindungan hak-hak para PRT. Tuntutan awal
bagi kepastian perlindungan mereka adalah
jaminan negara dengan kebijakan yang
dikeluarkan atau produk hukum yang
diundangkan.
Dalam beberapa hal, kita patut bersyukur
ketika hasil pendidikan kita sedikit banyak telah
merubah kesadaran masyarakat yang sementara
ini biasa bekerja di sektor rumah tangga. Daerah
Gunung Kidul Yogyakarta misalnya, yang dulu
dikenal sebagai pemasok PRT, saat ini cukup
sulit menemukan perempuan yang bersedia
begitu saja (tanpa syarat) bekerja sebagai PRT.
Banyak dari mereka sudah mulai menuntut dan
mengajukan pertanyaan mengenai gaji,
ketersediaan alat mesin cuci, seterika, vacuum
cleaner atau yang lain. Ini perkembangan menarik
tentu saja dari sisi kesadaran hak-hak para
pekerja atau calon pekerja rumah tangga,
sekalipun organisasi Rumpun Tjoet Njak Dien
(RTND) yang bergerak pada advokasi para PRT
masih mencatat tingginya kekerasan yang dialami
para PRT di Yogyakarta.12)
Kesadaran seperti ini juga perlu diimbangi
dengan kesadaran para majikan, atau calon
majikan untuk memandang mereka secara setara,
sebagai manusia dan pekerja yang bermartabat,
sebagaimana manusia pekerja-pekerja yang lain.
Negara dan para pengambil kebijakan menjadi
yang paling bertanggung jawab, untuk mendorong
melalui alat-alat, institusi dan infrastruktur yang
dimiliki agar terjadi percepatan sistem hukum dan
sosial bagi kepastian dan jaminan perlindungan
para PRT, serta kesetaraan relasi sebagaimana
yang diwasiatkan Nabi Muhammad saw. Wallahu
alam.

Endnotes
1). al-Musannaf, 2/422.
2). Teks ke-40 dalam Kitab Fadhail Ramadhan.
3). Mushannaf Abd Razzaq, no.9223, 5/121.
4). Riwayat Sahih Muslim, no. 6011, 15/94.
5). Riwayat al-Bukhari, no. 2552, 9/283.
6). Lihat teks hadis lengkap dlm Sahih Muslim, no. 6151,
15/259.
7). Sahih Ibn Hibban, no. Hadis: 153, 10/132.
8). al-Awsath no. 1430 al-Kabir, 20/97, dan no. 1832, 4/
292.
9). Diriwayatkan Abu Dawud dan Turmudzi, lihat dalam
Ibn al Atsir, no. Hadis: 5887.
10. Sahih Bukhari, no. 5460, 18/241.
11). Subulussalam, juz 5, halaman 349.
12). Kedaulatan Rakyat, 6/07/2009.

Swara Rahima -39

Fikrah

FIKRAH

Rahmah El Yunusiah:

Mendobrak Pendidikan
yang hanya untuk Laki-laki
Oleh :

Ahmad Dicky Sofyan

ama Rahmah El Yunusiah bagi banyak


kalangan di Indonesia barangkali masih
terkesan asing. Apalagi jika dikaitkan
dengan perjuangan dan pemikiran keislaman
terkait pendidikan bagi perempuan. Boleh jadi
nama Amina Wadud, Asghar Ali Engginer, Nawal
el Sadawi, Khaled Aboul Fadl, yang notabene
berasal dari luar Indonesia lebih akrab di telinga
para aktifis dibanding Rahmah El Yunusiah.
Paling banter ingatan kolektif bangsa Indonesia
tentang perjuangan perempuan untuk pendidikan
hanya sampai pada sosok Kartini.
Rahmah adalah putri asli Indonesia kelahiran
Padang Panjang. Lahir pada 29 Desember 1900
dan wafat pada 26 Februari 1969. Secara
geneologi (keturunan) ia berasal dari keluarga
terpandang dan religius. Ayahnya, seorang qadhi
(hakim agama) dan tercatat memiliki pertalian
darah dengan Tuanku Nan Pulang Di Rao,
seorang ulama besar pada zaman Paderi. Ia
tercatat pernah belajar pada Haji Abdul Karim
Amrullah (Ayahanda dari Buya HAMKA), seorang
ulama besar pada zamannya.
Rahmah dikenal teguh dan konsisten dalam
prinsip, termasuk penolakannya atas poligami.
Bahkan, Rahmah memilih bercerai dalam usia
yang relatif muda (22 tahun) daripada dipoligami.
Setelah perceraian itu Rahmah tidak menikah lagi
hingga akhir usia dan mewakafkan hidupnya
untuk pendidikan perempuan.
Pendidikan Perempuan
Bagi kebanyakan masyarakat Indonesia sikap
apriori terhadap perempuan yang bersekolah
masih merupakan domain utama kehidupan
sehari-hari. Lihat saja, bagaimana istilah dapursumur-kasur begitu populer di kalangan
masyarakat. Ungkapan ini ingin menegaskan

2424-Swara Rahima

bahwa sehebat dan secerdas apapun seorang


perempuan, pada akhirnya kodrat dan takdir
perempuan akan kembali pada kehidupan rumah
tangga yang hanya mengurusi urusan memasak,
mencuci dan seks.

Tahun 1956 Rahmah


diundang oleh Universitas Al-Azhar Kairo Mesir
untuk diberi gelar
kehormatan. Syaikhah,
sebuah gelar yang
sebelumnya tidak pernah
diberikan kepada
perempuan manapun
selain kepada Rahmah El
Yunusiah
Anggapan demikian sudah berlangsung sejak
ratusan tahun dan bukan merupakan hal baru.
Dalam masyarakat matrilinial sekalipun, seperti
Sumatera Barat tempat kelahiran dan perjuangan
Rahmah, asumsi bahwa perempuan tidak layak
belajar kerap diperbincangkan.
Rahmah merupakan satu dari sedikit
perempuan yang menolak stereotype demikian.
Baginya, perempuan memiliki hak belajar dan
mengajar yang sama dengan laki-laki. Bahkan,
dibanding laki-laki, perempuan juga mampu
memiliki kecerdasan yang tak kalah hebat.
Persoalan terletak pada akses pendidikan. Saat

No. 28 Th. IX, Agustus 2009

Fikrah

FIKRAH

itu, jauh sebelum Indonesia merdeka, sistem


pendidikan di Nusantara masih sangat jauh dari
yang diharapkan dan perempuan belum memiliki
akses pendidikan yang sama dengan laki-laki.
Baginya, seorang perempuan sekalipun hanya
berperan sebagai ibu rumah tangga, tetap
memiliki tanggung jawab sosial atas
kesejahteraan masyarakat, agama, dan tanah
airnya. Tanggung jawab itu dapat diberikan melalui
pendidikan, baik di lingkungan keluarga
(domestik) maupun di sekolah (publik).
Barangkali, seandainya Rahmah masih hidup
ia akan sepakat dengan gagasan masa kini yang
menyebutkan bahwa membangun masyarakat
tanpa melibatkan perempuan bagaikan seekor
burung yang terbang dengan satu sayap.
Mendidik seorang perempuan berarti mendidik
semua manusia. Karena, sebagaimana diyakini
oleh banyak orang, pendidikan dapat memberikan
sumbangan yang besar bagi upaya
memodernisasi suatu masyarakat. Dan nampaknya Rahmah telah bekerja untuk itu.
Dengan berpegang teguh pada Q.S. alMujadilah [58]: 11, ia begitu yakin bahwa
pendidikan pada akhirnya akan membawa
masyarakat pada kesejahteraan dan derajat
kehidupan yang baik. Menurutnya, perempuan
harus bisa berdiri di atas kaki sendiri (berdikari),
mandiri, dan tidak menjadi beban hidup laki-laki
(ayah atau suami). Dan semua itu hanya bisa
dicapai dengan cara belajar dan sekolah. Dengan
mengutip Q.S. al-Taubah [9]: 122, ia menegaskan
bahwa perempuan dan laki-laki mendapatkan
perintah yang sama untuk belajar.
Untuk mengimplementasikan gagasannya,
pada 1 November 1923 Rahmah mendirikan
sekolah khusus perempuan yang diberi nama
Madrasatud Diniyah lil Banat atau yang juga
dikenal dengan Diniyah School Poeteri. Sekolah
ini merupakan sekolah khusus perempuan
pertama yang ada di Sumatera Barat.
Tampaknya, Rahmah yang hidup di Sumatera
memiliki kesamaan gagasan dengan Kartini yang
hidup di Jawa. Melalui buku Habis Gelap Terbitlah
Terang Kartini menggagas tentang perempuan
sekolah dan mengimplementasikan lewat sekolah
khusus perempuan. Namun, Rahmah lebih
beruntung karena diberi umur panjang untuk
menyaksikan keberhasilan perjuangannya,
sementara Kartini harus wafat di usia muda
sebelum meyaksikan keberhasilannya.

No. 28 Th. IX, Agustus 2009

Saat itu, di Sumatera Barat terdapat sekolah


yang diberi nama Tawalib, yang menjadi kiblat
pendidikan di Sumatera. Sayangnya, dengan
berbagai alasan --termasuk alasan teologis
(keagamaan)-- Tawalib tidak menerima murid
perempuan. Lewat sekolah khusus perempuan,
sejatinya Rahmah telah melawan dominasi
pendidikan yang hanya untuk laki-laki. Inilah
sesungguhnya jasa terbesar Rahmah, ia
menyadarkan masyarakat bahwa perempuan
memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam

Lewat sekolah
khusus perempuan,
sejatinya Rahmah
telah melawan
dominasi pendidikan
yang hanya untuk
laki-laki.
memperoleh akses pendidikan tanpa ada
diskriminasi jenis kelamin.
Pendirian sekolah khusus perempuan saat itu
bukanlah hal mudah. Kendala utama yang
dihadapi adalah cemoohan dari masyarakat. Bagi
banyak kalangan saat itu, sekolah perempuan
dengan tenaga pengajar yang juga perempuan
merupakan hal aneh, tabu, dan melanggar adat.
Untuk menampik ejekan ini Rahmah membuktikan
dengan menolak bantuan dari masyarakat (yang
masih memandang miris perempuan) dan
menggunakan cara sendiri untuk membangun
sekolah. Bahkan, ia merelakan rumahnya
disulap menjadi ruang kelas.
Inilah Rahmah El Yunusiah, seorang
perempuan intelektual Indonesia asli yang
gagasan ke-islam-annya diimplementasikan lewat
kerja nyata. Bahkan, yang sangat membanggakan
dan luar biasa bagi bangsa ini, pada tahun 1956
Rahmah diundang oleh Universitas Al-Azhar Kairo
Mesir untuk diberi gelar kehormatan. Syaikhah,
sebuah gelar yang sebelumnya tidak pernah
diberikan kepada perempuan manapun selain
kepada Rahmah El Yunusiah, seorang perempuan
Indonesia asli.

Swara Rahima -25

Teropong dunia

TEROPONG DUNIA

Belajarlah ke NEGERI CINA


Untuk Menghargai PRT
Oleh : Dr. Nur Rofiah

No. 28 Th. IX, Agustus 2009

digaji di bawah upah minimum dapat


memperkarakannya di pengadilan. Banyak kasus
pengupahan di bawah standar (under payment)
yang sampai ke pengadilan dan dimenangkan oleh
PRT. Majikan maupun agen yang kalah di
pengadilan wajib membayar denda yang cukup
besar pada PRT.

google search

ika sedang berada di Hong Kong pada hari


Minggu, mampirlah ke Victoria Park. Di Taman
ini akan terlihat lautan Pekerja Rumah Tangga
(PRT) Indonesia yang jumlahnya ribuan memenuhi
setiap sudut taman, jembatan layang, hingga trotoar
jalanan. Mereka sedang menikmati hak libur satu
hari dalam seminggu. Ada yang berjualan aneka
makanan, pakaian, aksesoris, ada pula yang
sekedar kumpul dan makan laksana piknik.
Ketika berbicara PRT, mungkin terdengar
berlebihan mengutip hadis Rasulullah saw. yang
memerintahkan kita untuk belajar hingga ke Negeri
Cina. Namun jangan salah, dalam hal menghargai
PRT, Indonesia sebagai negara berpenduduk
mayoritas Muslim seharusnya belajar dari Hong
Kong sebagai sebuah negara bagian Cina yang
pernah dijajah Inggris dan mempunyai kehidupan
yang makmur.
Data dari Konsulat Jenderal Republik Indonesia
(KJRI) di Hong Kong mencatat per November 2008
jumlah PRT dari Indonesia di Hong Kong mencapai
122.900 orang. Sementara South China Morning
Post mencatat jumlah mereka per April 2009 telah
mencapai 125.567 orang. Jumlah ini lebih sedikit
dari PRT asal Filipina yang berjumlah 126.075,
namun jauh lebih besar daripada PRT asal
Thailand, yang hanya 3.774 orang.
Kehidupan PRT kita di Hong Kong mempunyai
nasib yang relatif lebih baik daripada mereka yang
bekerja di Malaysia, Singapura, dan negara-negara
Timur Tengah. Undang-undang Ketenagakerjaan
Hong Kong (Employment Ordinance) mempunyai
aturan yang melindungi PRT. Pertama, PRT diakui
sebagai tenaga kerja sebagaimana tenaga kerja
lain yang bekerja di pabrik, kantor, maupun sektor
lainnya. PRT dan majikan menjalankan hubungan
kerja secara profesional di mana keduanya mesti
taat pada aturan kerja yang diterapkan oleh
pemerintah. Dalam kondisi seperti ini, majikan tidak
dapat memperlakukan PRT sekehendak hatinya
walaupun mereka adalah penduduk setempat.
Sebaliknya, PRT yang mendapatkan perlakukan
sewenang-wenang dari majikan juga dapat
melaporkannya ke pangadilan.
Kedua, PRT tidak boleh digaji di bawah upah
minimum yang jumlahnya cukup fantastis. PRT yang

Dari negara Cina


ini, kita dapat
belajar banyak
bagaimana
memandang PRT
sebagai pekerja
mulia yang mesti
dihargai dan
dihormati hakhaknya.
Ketiga, PRT mempunyai hak libur satu hari
dalam seminggu. Pada umumnya mereka
mengambil Sabtu atau Minggu. Pada hari tersebut,
majikan dilarang mempekerjakan tanpa upah
tambahan. Jika tidak, mereka dapat pula
memperkarakannya secara hukum. Hari libur seperti
ini biasanya dimanfaatkan untuk berkumpul dengan
PRT sedaerah, seorganisasi, atau jalan-jalan
sesuka hati.
Keempat, PRT mempunyai hak berorganisasi.
Tidak mengherankan jika jumlah organisasi yang
dikelola oleh BMI (Buruh Migran Indonesia) yang
bekerja sebagai PRT tak kurang dari 38 organisasi,
mulai dari organisasi sosial, seni, budaya, maupun
agama. Beberapa organisasi yang secara khusus
memperjuangkan hak-hak PRT adalah ATKI
(Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia), IMWU
(Indonesian Migrant Workers Union), GAMMI
(Gerakan Aliansi Migran Muslim Indonesia),
Persatuan BMI Tolak Overcharging (Pilar), Kotkiho
(Koalisi Organisasi Tenaga Kerja Indonesia di Hong
Kong). Di samping organisasi sosial ini, ada pula
organisasi agama semacam majlis taklim seperti

Swara Rahima -43

Teropong dunia

TEROPONG DUNIA

al-Fattah, al-Fadilah, al-Istiqamah, an-Nisa, Akhwat


Gaul, al-Ukhuwah, al-Ikhlas, Nur Muslimah Satin,
Az-Zuhriyah, al-Atki, Darul Mustakim, Birrul Walidain.
Bahkan ada pula organisasi yang bertaraf
internasional seperti International Migrant Alliance
(IMA), sebuah aliansi internasional yang
beranggotakan organisasi dan serikat buruh migran
dari berbagai negara.

Hak libur satu hari dalam seminggu ini banyak


dimanfaatkan PRT yang menjadi aktifis buruh
migran untuk melakukan penyadaran-penyadaran
hak sosial maupun politik pada komunitasnya.
Misalnya melalui diskusi, seminar, training, kongres,
aksi massa, pernyataan sikap, pengiriman artikel ke
media massa, penyebaran buletin dan selebaran,
atau dengan memanfaatkan kegiatan lain mulai
peragaan busana hingga pengajian.
Keberadaan organisasi-organisasi PRT ini
menjadi penting agar perspektif mereka
dipertimbangkan pemerintah dalam mengeluarkan
regulasi. Tak jarang apa yang pemerintah katakan
sebagai upaya perlindungan, dalam perspektif
mereka justru merupakan ketidakadilan. Misalnya
pemberlakuan Terminal Khusus TKI yang oleh
pemerintah dikatakan sebagai upaya perlindungan,
ternyata dalam praktiknya, dirasakan oleh mereka
sebagai bentuk diskriminasi. Sebab itu, ketika
Pemerintah SBY-JK berencana mengamandemen
UU Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia Luar Negeri (UUPTKILN) No. 39/2004,
Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia-Hong Kong
mengeluarkan empat sikap:
1. Cabut UU PPTKILN No. 39 Tahun 2004.

4444-Swara Rahima

2. Ratifikasi Konvensi PBB tahun 1990 tentang


Perlindungan Hak Buruh Migran dan
Keluarganya sekarang juga.
3. Tetapkan biaya maksimum satu bulan gaji dan
hapus biaya training.
4. Hapuskan terminal khusus TKI.
Dalam berbagai kesempatan yang ada, tidak
sedikit di antara aktifis-aktifis BMI yang juga PRT ini
fasih berbicara bahasa Inggris dan mengerti dengan
baik aturan perundang-undangan tentang ketenagakerjaan di Indonesia, pemerintah setempat, maupun
konvensi PBB yang terkait. Jika beruntung
mempunyai majikan sesama aktifis, tak jarang
mereka diundang ke berbagai even internasional
berkaitan dengan ketenagakerjaan sebagai
pembicara.
Meskipun Hong Kong mempunyai payung hukum
yang memungkinkan PRT Indonesia berada dalam
kondisi yang jauh lebih baik, bahkan dari PRT di
tanah air, namun problem tetap saja terjadi. Menurut
catatan KJRI Hong Kong, kasus perselisihan antara
TKW dengan majikan atau agen menjadi kasus yang
paling banyak terjadi, lalu pemotongan hubungan
kerja sepihak, kriminal berat dan ringan, overstay,
gaji di bawah standar, dan tidak diberi hari libur.
Beberapa kendala yang dihadapi PRT kita di
Hong-Kong dalam memanfaatkan payung hukum
pemerintah setempat antara lain :
1. Tidak mengetahui hak-haknya dengan baik.
Terutama mereka yang baru menjalani kontrak
kerja pertama kali. Bahkan tidak sedikit mereka
yang tidak mengerti isi kontrak, siapa agennya,
dan apa tugas yang menjadi kewajibannya.
2. Tidak mengetahui bagaimana cara
memperkarakannya secara hukum.
3. Dari jumlah PRT yang ada, baru sekitar 10
persen yang aktif dalam organisasi.
Keberadaan organisasi yang banyak dari
kalangan PRT sendiri memberikan harapan akan
terjadinya proses penyadaran yang terus berjalan di
kalangan mereka sendiri. Pengaruh kesadaran ini
diharapkan bisa sampai ke tanah air. Jika sejumlah
kalangan yang menaruh perhatian terhadap
masalah BMI melihat Hong Kong sebagai
penggerak bagi lahirnya kesadaran pekerja migran,
maka kita dapat memberi harapan yang sama pada
pengaruh gerakan tersebut di tanah air terhadap
nasib PRT yang bekerja di negara sendiri.
Semestinya pemerintah memberikan perlindungan
hukum yang lebih baik kepada PRT di dalam negeri
dibanding dengan perlindungan hukum oleh negara
asing kepada PRT Indonesia di negara tersebut.
Dari negara bagian Cina ini, kita dapat belajar
banyak bagaimana memandang PRT sebagai
pekerja mulia yang mesti dihargai dan dihormati
hak-haknya.

No. 28 Th. IX, Agustus 2009

Akhwatuna

AKHWATUNA

PRT, dirindu
tapi tak diaku..!
oleh : Leli Nurohmah

anyak perempuan dan anak perempuan


dari berbagai daerah mencoba mengadu
nasib keluar dari desa tempat mereka
dibesarkan, untuk mengais sedikit rejeki dengan
tenaga dan keterampilan seadanya. Di kota-kota
besar, mereka berharap ada sebuah keluarga
yang bisa mempekerjakan mereka, mengasuh
anak, mengurus semua pekerjaan rumah tangga,
atau bahkan keduanya bila dipercaya. Gaji yang
tak seberapa, harus rela ditukar dengan kerja
sepenuh tenaga, tanpa jaminan dan jam kerja
yang jelas.
Harapan indah tidak selalu sesuai dengan
kenyataan. Beberapa berita terakhir di berbagai
media sangat mengiris hati. Saat liburan tiba, di
mana para majikan sedang berlibur ke luar kota,
sang Pekerja Rumah Tangga (PRT) dengan setia
menjaga rumah. Lalu beberapa di antara mereka
yang umumnya perempuan muda dan belia,
mendapat musibah perampokan sekaligus
pemerkosaan. Bahkan beberapa ditemui sudah
tidak lagi bernyawa.
Kasus-kasus kekerasan tersebut, baik fisik,
pelecehan, hingga pemerkosaan yang dialami
PRT yang kebanyakan dilakukan majikan mereka
sendiri, sudah tak terhitung jari lagi jumlahnya.
Sungguh tragis dan menyakitkan hati.
Sementara semua orang mengakui pentingnya
kehadiran PRT di rumah mereka. Bisa dilihat
bagaimana sibuk dan repotnya para ibu bila PRT
mereka mudik, pulang kampung di kala lebaran
tiba. Ini menunjukkan, PRT merupakan ikon
penting dalam kehidupan keluarga di berbagai
kalangan, baik kalangan bawah, menengah,
terlebih kalangan elit di manapun.
Sayangnya, PRT masih dihadapkan pada
realitas bahwa kerja dan posisi mereka masih
dipandang sebelah mata. Jumlah mereka di
Indonesia, berdasarkan data IPEC (International
Programme on the Elimination of Child Labour)
tahun 2003, mencapai 2,5 juta. Dari jumlah ini
sebaran kerja mereka meliputi DKI Jakarta

2626-Swara Rahima

dengan jumlah terbesar: 801.566; Jawa Timur:


402.762; Jawa Tengah: 399.159; Jawa Barat:
276.939; Banten: 100.352; Bali: 99.277; Sulawesi
Selatan: 62.237; Lampung: 60.461; dan DIY:
39.914. Sedang di propinsi lain seperti Sumatera
Utara, Riau, Sumatera Selatan, NTB, NTT,
Kalimantan Barat, juga Kalimantan Timur,
jumlahnya tidak terpaut jauh. Kondisi mereka
masih rentan mengalami kerja paksa, upah
rendah, dan situasi kerja yang terisolasi di dalam
rumah. Terutama perempuan dan anak
perempuan, mereka banyak yang terkunci di balik
pintu rumah majikannya, tidak pernah melihat
dunia luar karena tak ada waktu untuk sekedar
berleha.
Melihat kondisi tersebut, tak heran bila ILO
(International Labour Organization) atau lembaga
buruh internasional mencatat PRT dan pekerja
migran sebagai korban utama dalam modus kerja
paksa global. Organisasi perburuhan itu
mendefinisikan kerja paksa sebagai segala

No. 28 Th. IX, Agustus 2009

AKHWATUNA

pekerjaan atau jasa yang diperas dari seseorang


dengan ancaman hukuman tertentu dan orang
tersebut tidak menawarkan dirinya untuk
melakukan secara sukarela.1
Miris memang melihat posisi kerentanan PRT,
karena walau keberadaan mereka amat penting
dalam sistem kehidupan keluarga di berbagai
belahan dunia, tapi hingga kini tidak ada payung
hukum yang dapat melindungi mereka. Hingga
kini mereka tetap menjadi kelompok kelas
terendah dalam keluarga di berbagai dunia.
Demikian pula di Indonesia, sampai saat ini masih
belum mengakomodasi mereka sebagai kelompok
pekerja dan memasukannya dalam UndangUndang Ketenagakerjaan. Apalagi pemerintah
belum melanjutkan kembali pembahasan
Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja
Rumah Tangga sejak 2006 lalu. Harusnya kita
bisa berkaca ke negeri Hongkong yang telah
memberikan hak libur di hari minggu kepada PRT.
Selebihnya di negara lain kondisinya masih tak
jauh beda dengan Indonesia.
Memang, permintaan masyarakat terhadap
PRT sangat tinggi. Di berbagai tempat kita bisa
temui lembaga yang berkedok yayasan ataupun
perorangan sebagai penyalur PRT dan baby sitter.
Pasca lebaran biasanya mereka akan kebajiran
order karena banyaknya permintaan masyarakat.
Tak jarang mereka memasang tarif tinggi kepada
para peminat. Mereka menerapkan sistem
pemotongan gaji dari PRT yang berhasil
disalurkan. Bisa dibayangkan keuntungan yang
mereka reguk dengan mengabaikan hak PRT.
Bagaimana Menganalisa Posisi PRT?
Kita butuh menganalisa, mengapa PRT masih
berada di kelas yang paling rendah dalam sistem
sosial, bahkan menempati posisi sebagai korban
yang paling nyata mengalami berbagai
manifestasi ketidakadilan gender dalam
masyarakat. Diakui atau tidak, perspektif gender
tradisional masih menempatkan pekerjaan
domestik sebagai pekerjaan yang marginal, tidak
menghasilkan, tidak bernilai sehingga tidak
berupah. Pekerjaan ini masih dianggap sebagai
pekerjaan perempuan yang kemudian dikenakan
baju kewajiban bagi seorang ibu. Ketika sang ibu
keluar rumah untuk bekerja, dan pekerjaan
domestik ini dilimpahkan pada PRT, maka nilai
dari pekerjaannya pun masih terlihat rendah,
dihargai dengan upah yang juga murah.
Hal tersebut bersinergi dengan sistem
struktural dan kultural yang hidup dan masih
dianut oleh masyarakat Indonesia. Sistem
patriarkhis yang memposisikan kerja domestik

No. 28 Th. IX, Agustus 2009

Akhwatuna

rendah beririsan dengan sistem feodal dan juga


sistem kelas. Akibatnya, diskriminasi dan
stereotipe yang negatif terhadap peran PRT
semakin kuat. Sebagai perempuan miskin kelas
bawah, para PRT harus mengabdi kepada orang
yang mempekerjakannya, yang berada pada
posisi borjuis tanpa ruang negosiasi dan
bargaining sedikitpun.
Padahal bila merujuk ajaran Rasulullah saw.,
ia telah mengajarkan bagaimana hubungan antara
majikan dan PRT dalam hubungan kerja sama
yang saling menguntungkan kedua belah pihak.
Sehingga satu sama lain harus saling
menghormati dan menjaga hak dan kewajiban
yang harus dipenuhi keduanya. Nabi tidak
mengajarkan hubungan komersil antara majikan
dengan buruhnya dalam hubungan patron clien.
Rasulullah bersabda, Mereka (para PRT) itu
adalah saudara-saudara kalian juga yang Allah
jadikan mereka berada di bawah tanggung jawab
kalian. Maka barang siapa yang Allah jadikan
mereka bertanggung jawab atas saudaranya,
maka ia harus memberi saudaranya itu makanan
dan pakaian yang sama dengan yang ia kenakan,
dan membantunya dalam mengerjakan pekerjaanpekerjaan yang sulit.2
Dalam hadis lain Nabi saw., juga bersabda,
Pakaikanlah para pekerja rumah tangga kalian
dengan pakaian yang sama dengan yang engkau
kenakan dan beri mereka makan dengan
makanan yang sama yang engkau makan.3
Selanjutnya Nabi bersabda, Berlaku ramahlah
dan menyenangkan kepada para pekerja rumah
tangga kalian, karena dengan demikian semua
keinginan kalian dipatuhi dengan lebih sopan.4
Jelaslah, Islam sesungguhnya telah memberi
ruang aman bagi para perempuan yang menjadi
pekerja di rumah kita. Mereka seharusnya
diperlakukan layaknya manusia yang punya rasa
lelah dan hak upah yang layak pula. Mereka
sesungguhnya pekerja, bukan pembantu apalagi
budak dalam rumah tangga kita.
Pemerintah seharusnya segera membuka
mata akan realitas yang sudah begitu menusuk
hati karena beragam kasus yang menghinggapi
para PRT. Mereka harus dihargai sebagai pekerja
yang harus dilindungi agar tenaga dan nyawa
mereka tidak menguap sia-sia. Sebab hingga kini
mereka masih menjadi sosok yang dirindu namun
tak diaku. Wallahu alam bishawab.
1)
2)
3)
4)

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/05/
20/Nasional/krn.20090520.165787.id.html
Bihar al-Anwar, 15: 41.
Bihar al-Anwar, 15: 41.
Bihar al-Anwar, 15: 41.

Swara Rahima -27

Jaringan

RESENSI

PP al-Quraniyah :

Ruang Setara untuk P


erempuan
Perempuan

ada awalnya Pondok Pesantren (PP) alQuraniyah yang dimulai pada 1993, hanya
sebuah pengajian kecil berupa majlis taklim
remaja dan anak-anak. Pada tahun kedua mulai
didirikan Taman Pendidikan Alquran (TPA) sebagai
fondasi awal berdirinya lembaga pendidikan semi
formal. Majlis taklim remaja lebih berorientasi pada
pembinaan remaja pada penguasaan ilmu Alquran
baik berupa nagham maupun tahfidz. Banyak di
antara mereka yang kemudian ikut serta dalam
perlombaan-perlombaan Musabaqah Tilawatil Quran
(MTQ). Lambat laun dengan prestasi yang diperoleh
santri majlis taklim dan TPA tersebut, tuntutan
masyarakat untuk menitipkan anaknya di majlis
taklim ini semakin kuat. Pada 1998 mulailah
diterima santri secara resmi untuk mondok. Karena
belum ada bangunan khusus untuk asrama maka
beberapa kamar dipergunakan untuk asrama. Dan
bertambah tahun semakin ada peningkatan, baik
sarana bangunan, maupun peningkatan santri. Saat
ini tercatat kira-kira 162 santri dan 105 santriwati.
Karena PP al-Quraniyah ini dibangun
berdasarkan pada kebutuhan masyarakat sekitar
terutama dhuafa dan yatim maka tujuan utamanya
memberikan pelayanan pendidikan yang berkualitas
bagi kalangan duafa dan yatim secara cuma-cuma.
Pesantren beralamat di Jl. Panti Asuhan Ceger
Jurang Mangu Timur, Pondok Aren Tangerang ini
mengukuhkan dirinya sebagai PP di bawah Yayasan
Pendidikan Islam Yatim Piatu.
Secara fisik, kondisi pesantren saat ini masih
membutuhkan perbaikan meskipun pihak yayasan
terus melakukan peningkatan. Seperti banyak
pesantren lain, alasan dana adalah masalah yang
dihadapi, tetapi dalam hal non-fisik (akademis)
pesantren ini memiliki beberapa keunggulan. Nilai
keunggulan tersebut di antaranya terletak pada
semangat para guru dan staf yang ingin
mengembangkan pesantren ini menjadi salah satu
pesantren yang diperhitungkan dengan
mengintegrasikan wawasan Alquran, pendidikan
salaf dan modern. Apalagi di mata masyarakat,
pesantren ini mempunyai daya tarik yang kuat. Hal
ini dapat dilihat dari banyak prestasi yang dicapai
dalam bidang Tilawat Alquran dalam tingkat nasional
dan beberapa kali di tingkat internasional.
Memberi Ruang yang Sama untuk Berprestasi
PP al-Quraniyah sejak awalnya memang
menetapkan dirinya pada penguasaan ilmu-ilmu
Alquran, qiraat bi al-Nagham, tahfidz dan tajwid.

3232-Swara Rahima

Secara umum tujuannya adalah mencetak qari,


qariah, hafidz, hafidzah yang juga menguasai dan
memiliki pengetahuan keislaman klasik maupun
modern. Tetapi seperti mayoritas pesantren lain,
dalam pengembangan kurikulum selanjutnya juga
memberikan pengetahuan tentang kutub al-turats.
Kajian ilmu-ilmu keislaman klasik juga diberikan
dan merupakan bagian integral dari kurikulum dan
bukan suplemen. Di antaranya nahwu, sharaf,
balaghah, ushuluddin (tauhid), fiqh, ilmu ulum
Alquran, dan lain-lain.
Sebagai pesantren Alquran, disamping
pembelajaran yang terdapat dalam muatan
kurikulum pesantren, kegiatan-kegiatan
pengembangan minat dan bakat selalu dilakukan
dua kali seminggu. Misalnya bimbingan dalam
kerangka Musabaqah Tilawatil Quran, seperti tahfidz
Quran, syarhiil Quran, tajwid, cerdas cermat, pidato
bahasa Inggris, Indonesia dan Arab, nagham, hajir
marawis, hadrah serta beberapa kegiatan lain yang
berada dalam koridor ilmu-ilmu Alquran.
Meskipun kitab kuning masih dinilai sarat
dengan kultur patriarki (terutama bidang fiqh) namun
tetap digunakan. Hanya saja ustadzah yang
mengajar telah memiliki perspektif baru tentang
kesetaraan perempuan dan laki-laki. Penanaman
kesetaraan dengan wacana-wacana yang
mencerahkan dilakukan oleh pengajar yang selalu
menekankan bahwa kitab fikih ini diproduk pada
beberapa abad yang lalu. Setidaknya dengan
wawasan baru ini, mereka memahami
kontekstualisasi fikih dalam masyarakat.
Semua upaya ini diperkuat dengan keterbukaan
sikap pimpinan pesantren yang pro kepada
perubahan ke arah yang mencerahkan. Tidak
tertutup pada pendapat dan gagasan baru.
Disamping itu sebagian besar pengajar selalu
diberikan kesempatan untuk mengembangkan diri
dan memperkaya wawasan di berbagai kegiatan
dan workshop yang mencerahkan.
Biasanya di beberapa pesantren, kepada santri
perempuan diberlakukan aturan yang lebih ketat
dibanding santri laki-laki. Di pesantren ini, tidak
dibedakan perlakuan antara santri laki-laki dan
perempuan. Santri perempuan bisa beraktifitas
tanpa ada kungkungan-kungkungan dari pesantren.
Dalam berbagai kegiatan, baik dalam kepanitiaan,
atau pertunjukan-pertunjukan, laki dan perempuan
sama-sama memiliki ruang yang sama. Meskipun
organisasi kesantrian masih dibedakan, dan
masing-masing mempunyai organisasi sendiri

No. 28 Th. IX, Agustus 2009

RESENSI

kurikulum terpadu antara ilmu-ilmu umum dan


kepesantrenan. Meskipun dengan SDM yang rendah,
tetapi semangat yang dibangun berorientasi pada
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek)
secara integral dengan kultur Islam. Disusul
kemudian pada 2007 dengan pembukaan SMA Plus
al-Quraniyah serta mulai dilakukan pengembangan
bahasa Inggris dan Arab baik di sekolah maupun
pesantren. Pendidikan bahasa ini terintegrasi dalam
kurikulum pesantren. Biasanya dilakukan setelah
shalat subuh sebelum pengajian klasik.
Sementara kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler
yang juga dilakukan di sekolah seperti paskibra,
club sains, nasyid, futsal, volley dan lain-lain.
Pengembangan baik secara kelembagaan
maupun personal selalu dilakukan. Dalam konteks
kelembagaan telah beberapa kali dilakukan
pelatihan kewiraswastaan dari LSM yang
diperuntukan bagi kelas atau tingkat 5 dan 6.
Sementara pengembangan personal dilakukan di
antaranya melalui pengiriman beberapa guru dan
ustadz untuk ikut di beberapa pelatihan-pelatihan
yang diselengggarakan baik pada tingkat perguruan
tinggi maupun LSM.
Melihat PP al-Quraniyah sekarang, tentunya juga
melihat banyak energi dan perjuangan yang telah

doc. Rahima

sendiri. Selain itu juga, tidak ditemukan pemisahan


ruang belajar bagi santri laki-laki dan perempuan.
Bagi ustadz dan ustadzah diperkenankan mengajar
santri perempuan maupun laki-laki sesuai
kapasitas dan kompetensi pengajar. Begitupun
dalam hal persoalan kepemimpinan dalam
pesantren. Siapapun ustadz atau ustadzah yang
memiliki potensi maka diberikan kesempatan untuk
memimpin kegiatan, atau bahkan jabatan tertentu
dalam kepengurusan pesantren.
Santri laki-laki dan perempuan memiliki
kesempatan yang sama untuk dikader menjadi
hafidz, hafidzah atau qari dan qariah. Bahkan
dalam pemilihan utusan ke setiap MTQ atau acaraacara tertentu selalu mempertimbangkan potensi
dan kompetensi setiap santri. Sehingga sekarang
ini telah banyak tercatat santri dan santriwati yang
berprestasi baik di tingkat lokal, nasional dan
bahkan di tingkat internasional. Dan bagi mereka
yang berprestasi diberikan beasiswa kuliah dengan
aturan yang tidak ketat. Selama ini beasiswa
diberikan bagi santri dengan katagori yatim dan
dhuafa lebih-lebih yang memiliki prestasi yang baik.
Dalam rangka untuk mengembangkan diri,
pesantren juga menyelenggarakan TPA, majlis talim
kaum ibu dan bapak, pengajian remaja Irqoh,
penyiaran (radio), dan travel penyelenggaraan
Ibadah Haji dan Umroh serta klinik bagi santri dan
masyarakat.
Pada 2005, tim akademik yayasan memutuskan
membuka sekolah formal untuk para santrinya.
Selama ini para santri masih sekolah ke Madsarah
lembaga lain. Dalam pembahasan, mayoritas
pengurus yayasan memilih sekolah Formal dalam
bentuk Madrasah Tsanawiyah (MTs), tetapi ada juga
yang memilih dalam bentuk SMP. Akhirnya pengurus
sepakat untuk membuka SMP Islam Terpadu yang
mengadopsi sistim boarding school dengan

Jaringan

doc. Rahima

dilakukan. Meskipun tetap masih terus


dilakukan pengembangan dan perbaikanperbaikan. Wacana dan perspektif kesetaraan
juga masih harus diupayakan dengan caracara yang santun. Karena komposisi pengajar
sangat tidak imbang, ustadzah baru dua
orang sementara selebihnya 18 orang ustadz.
Perlu menampilkan sosok perempuan dengan
kompetensi dan kemampuan yang baik serta
selalu dibarengi dengan usaha yang sinergis
agar ada penambahan yang signifikan. Karena
ibu asuh atau ustadzah pamong masih sangat
dibutuhkan, semoga. Wallahu alam
Aan Ashariyah - Pengasuh PP al Quraniyah

No. 28 Th. IX, Agustus 2009

Swara Rahima -33

Kiprah

KIPRAH

KIPRAH

Menyemai Keluarga Sakinah

3030-Swara Rahima

doc: Rahima

ebagai upaya mempererat


silaturahmi dengan Asossiasi Guru
Pendidikan Agama Islam Indonesia
(AGPAII) DKI-Jakarta, Rahima kembali
mengadakan Kursus Keluarga Sakinah II.
Tepatnya 6 - 7 Juni 2009 lalu di Wisma
PPPPTK Bahasa, Srengseng Sawah, Jakarta
Selatan. Pesertanya adalah guru-guru PAI
dari SMA/SMK/MA se-DKI. Mereka memiliki
peran strategis dalam membangun relasi
setara antara laki-laki dan perempuan,
terutama bagi siswa-siswi di sekolah.
Caranya, dengan menyisipkan kesadaran
relasi tersebut dalam tema Munakahat pada
bahan ajar yang disampaikan pada siswasiswinya.
Acara dimulai pukul 09.00 WIB. Ada beberapa
sambutan yaitu oleh AD. Eridani (Direktur Rahima),
Misa Mahfud (Ketua AGPAII DKI-Jakarta), dan Haidlor
Ali Ahmad (wakil dari Litbang Kehidupan
Keagamaan Deprtemen Agama RI) yang sekaligus
membuka acara. Dalam pidatonya Haidlor
menyampaikan, ketika laki-laki dan perempuan
menikah, umumnya istri lalu dilarang bekerja di luar
rumah. Menurutnya, ini berarti masyarakat telah
memutus akses dan hak bagi perempuan untuk
bekerja. Akibatnya, ketika tulang punggung keluarga
meninggal, perempuan yang tidak terampil bekerja
cenderung mengambil jalan pintas. Cara pandang
seperti ini dianggap bias gender karena merugikan
perempuan. Sebab bekerja adalah hak setiap
individu. Karenanya, pendidikan Keluarga Sakinah
Rahima ini dinilai positif.
Forum dua hari ini dipandu Dr. Nur Rofiah dan
AD Kusumaningtyas. Sebelum masuk materi
Menuju Gerbang Pernikahan, mereka berdua
mengajak peserta mengidentifikasi hal-hal yang
berpotensi menghalangi terciptanya keluarga
sakinah. Dari peserta muncul persoalan-persoalan
seperti, kurangnya komunikasi, tidak peduli
terhadap masalah-masalah kecil, broken home,
suami-istri sibuk kerja, ekonomi keluarga tak stabil,
perbedaan sosial, dan poligami. Sesi selanjutnya,
peserta merasa tertantang dengan materi KH.
Husein Muhammad tentang Kesetaraan di Luar dan
di Dalam Pernikahan. Sebab dalam membahas
sakinah-mawaddah- warahmah, dikaitkan dengan
kekuasaan seseorang atas yang lain. Kyai Hussein
mengajak peserta kembali ke prinsip dasar agama

Foto bersama usai pelatihan

yaitu setara. Karena Alquran menyatakan, Wahai


manusia, Aku ciptakan kamu dari jenis laki-laki dan
perempuan, bersuku bangsa, untuk saling
mengenal (menghargai, bekerja sama memenuhi
kebutuhan keluarga). Yang paling unggul di antara
kamu adalah yang paling bertakwa (Q.s. Al Hujarad13). Inilah bukti bahwa lelaki - perempuan itu setara.
Di sesi lain, Masruchah menyampaikan Seputar
Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi. Hal ini
dinilai sebagai pilar penting mewujudkan keluarga
sakinah. Karena banyak hal yang perlu diperhatikan
terkait seksualitas dan kesehatan reproduksi
perempuan. Misalnya, berapa kali perempuan akan
hamil, melahirkan, dan menyusui, ia harus ambil
peran aktif menentukan keputusan ini. Karenanya,
diperlukan musyawarah suami-istri untuk bisa
mengaturnya.
Dalam kursus ini disampaikan pula materi
Menjalani Pernikahan (terkait KDRT) oleh Farha
Ciciek. Sedang tema Jika Sakinah Gagal Diraih,
disampaikan Nur Achmad. Kedua tema ini dibahas
mendalam dalam diskusi kelompok. Selain diskusi
kelompok, ada pula pemutaran flm, curah pendapat,
dan tanya jawab.
Di akhir acara peserta membuat Rencana Tindak
Lanjut (RTL), secara individu, sebagai Guru Agama,
dan juga rencana untuk AGPAII DKI-Jakarta. Asosiasi
ini berniat melakukan revisi bahan ajar mata
pelajaran Agama di sekolah, dengan menyisipkan
wawasan yang diperoleh dari forum ini. Mereka
berharap, ke depan kekerasan dalam rumah tangga,
penelantaran ekonomi dan sebagainya, tidak akan
terjadi lagi. Semoga. Binta Ratih P.

No. 28 Th. IX, Agustus 2009

KIPRAH

KIPRAH

Kiprah

PUP II RAHIMA :

doc: Rahima

uasana nyaman mulai terasa begitu


menginjakan kaki di Puncak Bogor, tempat
diselenggarakannya Pengkaderan Ulama
Perempuan (PUP) Rahima yang ke-3 angkatan II
tahun 2009. Rintik gerimis menyambut peserta yang
datang satu per satu. Sebagian dari mereka harus
rela mengulur waktu perjalanan akibat kemacetan
yang rutin terjadi setiap long weekend (libur akhir
pekan yang panjang) di kota wisata nan sejuk itu.
Acara yang bertemakan Kajian Tematik Wacana
Islam Perspektif Kesetaraan dibuka pada Kamis
siang 21 Mei 2009, dilanjutkan dengan materi
pertama yaitu Metodologi Istimbath al-Ahkam oleh
KH. Husein Muhammad. Pada sesi berikutnya
beliau menghadirkan sebuah Overview Berbagai
Metode Pembahasan Hukum di Ormas Islam
Indonesia (LBM NU, MT PPI Muhamadiyyah, Komisi
Fatwa MUI dan Dewan Hisbah PERSIS).
Setelah pembangunan landasan materi pada
hari pertama, di hari kedua Ikhsanuddin, M.A.
sebagai fasilitator menyuguhkan teori tentang
Prosedur dan Teknis Bahtsul Masail. Beberapa
metode Bahtsul Masail yang dipaparkan di
antaranya Bahtsul Masail Itidhadiyah, Itiradhiyah,
Maudhuiyah dan Simposium.
Peserta yang berjumlah 19 orang tampak
antusias menyimak penuturan sang fasilitator yang
lekat dengan logat Jawa nya yang medok itu. Gulagula (permen) berkafein yang sering beredar
menghampiri para peserta cukup tangguh mengusir
rasa kantuk. Selain itu, suplemen vitamin C tak lupa
disediakan oleh panitia untuk menjaga stamina
para peserta yang dari pagi hingga malam bergelut
dengan padatnya materi-materi pelatihan.
Saat coffee break adalah menit-menit yang dapat
sedikit mengendorkan syaraf, sedangkan jam
Ishoma (istirahat, sholat dan makan) adalah jam
untuk bernapas lega. Menikmati lezatnya makanan
di ruang terbuka, sehingga dapat berinteraksi
langsung dengan alam yang memamerkan
indahnya hamparan rumput hijau dan pepohonan
serta merdunya gemercik air sungai yang mengalir
di belakang tempat pelatihan adalah sebuah bonus
manis bagi para peserta, juga bagi panitia.
Setelah pembekalan teori tentang metodemetode Bahtsul Masail dirasa cukup, tibalah

No. 28 Th. IX, Agustus 2009

Salah satu Kelompok Peserta sedang presentasi


hasil Bahtsul Masail

saatnya teori itu diterapkan. Para peserta pun kini


memasuki gerbang revolusi, yang serta merta
menjalani sebuah perubahan besar. Jika
sebelumnya mereka menerima materi secara pasif,
maka pada sesi praktek yang dikemas dalam
bentuk simulasi ini harus aktif sebagai pemeran
utama dalam Bahtsul Masail, memegang semua
posisi mulai dari moderator, notulen, perumus
sampai mushahhih. Untuk itu mereka dibagi dalam
tiga kelompok.
Ada lima tema yang diangkat dalam simulasi
Bahtsul Masail ini dan semua terkait dengan isu-isu
ketidakadilan gender, yaitu KDRT (Kekerasan dalam
Rumah Tangga), Poligami, Nikah Sirri, Nikah Dini
dan Trafficking (perdagangan manusia). Khusus
untuk dua tema terakhir panitia mendatangkan dua
narasumber ahli, yaitu dr. Ramonasari untuk tema
Nikah Dini dan Drs. Agung Sabar Santoso, M.Hum.
(Kapolwil Bogor) untuk tema Trafficking.
Setelah selesai simulasi Bahtsul Masail
Itidhadiyah dan Maudhuiyah dengan berbagai likulikunya, pada hari terakhir dilaksanakan simulasi
Bahtsul Masail Simposium yang didampingi oleh
Alai Najib, M.A. sebagai fasilitator dan Dr. Nur
Rofiah Bil.Uzm. sebagai mushahhihah.
Penutupan sebagai penghujung acara pada 23
Mei 2009 malam, sebagaimana biasanya para
peserta mendapatkan oleh-oleh khas PUP untuk
dibawa pulang, yaitu Rencana Tindak Lanjut (RTL).
Peserta mendapat tugas untuk melakukan Bahtsul
Masail, mengangkat salah satu tema ketidakadilan
gender dengan metode pilihan antara waqiiyah dan
maudhuiyah. Dengan demikian diharapkan PUP II
ini bukan sekedar ajang penumpukan teori, tetapi
benar-benar mengantarkan para ulama perempuan
Indonesia pada peran ke-ulama-an yang
sesungguhnya dalam pengambilan (istimbath)
Agustriani Muzayyanah
hukum Islam.

Swara Rahima -31

doc: Rahima

Menuju Peran Aktif


Perempuan Dalam
Istimbath Al Ahkam

Info

PROFIL

Negara Harus Serius


Lindungi Pekerja Migran

enganiayaan pekerja rumah tangga di


negeri Jiran, bukanlah hal yang baru.
Fenomena yang seperti gunung es ini,
seringkali ditutup-tutupi dengan alasan menjaga
hubungan baik dengan negara tetangga
serumpun. Persis ketika jaman penjajahan,
Jepang mengaku saudara tua dari Asia.
Sebut saja kasus Nirmala Bonat yang disiksa
majikannya, Yim Pek Ha pada 2004. Lalu Ceriyati
binti Dapin, asal Brebes, Jawa Tengah, yang nekat
kabur lewat jendela lantai 15 apartemen
majikannya di Tamarind, Sentul, Kuala Lumpur,
Malaysia, Sabtu (16/6). Bahkan, jelang Pilpres
2009, Indonesia masih diwarnai tragedi yang
menimpa Siti Hajar, TKI perempuan asal Garut,
Jawa Barat. Berdasarkan rekonstruksi di rumah
bekas majikannya di Kuala Lumpur, Kepala Badan
Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI
(BNP2TKI), Jumhur Hidayat menyatakan memang
telah terjadi penganiayaan berat terhadap Siti
Hajar. Ketiga kasus tersebut hanyalah contoh
kasus dari banyaknya kekerasan yang menimpa
buruh migran kita di luar negeri.
Ironisnya, Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi (Menakertrans), Erman Suparno
justru mengeluarkan surat keputusan terkait
penghentian pengiriman TKI dari sektor informal ke
Malaysia. Upaya ini diyakini dapat menghentikan
kasus penganiayaan TKI di negara tersebut.
Fenomena ini telah menjadi keprihatinan
masyarakat di dalam negeri serta organisasi non
pemerintah (NGO) yang ditulis dalam laporan
independen NGO kepada Komite CEDAW PBB di
New York. Kondisi ini diperparah dengan adanya
Memorandum of Understanding (MoU) antara
pemerintah Indonesia dan Malaysia yang
membenarkan majikan memegang paspor TKI.
Laporan ini telah membuat Komite CEDAW
mengeluarkan pernyataan khusus dalam komentar
akhirnya (concluding observation/comments) atas
laporan pemerintah dalam Sidang ke 39 tanggal
27 Juli 2007 lalu, dalam butir 33 sebagai berikut:
Komite mendesak Negara Pihak untuk
melanjutkan pengembangan perjanjian bilateraral

4040-Swara Rahima

dan memorandum kesepahaman dengan negaranegara di mana perempuan Indonesia bermigrasi


untuk mencari kerja sambil memastikan
perjanjian-perjanjian tersebut sepenuhnya
merefleksikan hak-hak perempuan sebagai
manusia selaras dengan Konvensi. Komite
selanjutnya mendesak negara pihak untuk
memastikan dihapusnya ketentuan-ketentuan
diskriminatif dari memorandum kesepahaman
atau perjanjian bilateral termasuk ketentuan yang
membolehkan majikan menahan paspor orang
yang dipekerjakannya.
Dari sini, untuk melindungi para buruh migran
sebenarnya PBB telah memiliki konvensi khusus
mengenai Perlindungan Hak-hak Semua Buruh
Migran dan Keluarganya (1990). Sebagai sebuah
negara yang mengirimkan banyak tenaga kerja ke
luar negeri (lebih dari 600.000 orang per tahun),
mestinya pemerintah lebih serius untuk
melindungi warganya. Salah satunya adalah
dengan melaksanakan apa yang telah
dimandatkan oleh Rencana Aksi Nasional Hakhak Asasi Manusia (RAN HAM) 2004-2009 dan
pelaksanaan UU No.7 tahun 1984 tentang
Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan. Upaya
tersebut adalah dengan segera meratifikasi
Konvensi Perlindungan Buruh Migran. Kapan lagi
kalau bukan sekarang? Tak perlu menunggu lebih
banyak jatuh korban. AD. Kusumaningtyas

Sumber Tulisan :
1) http://nasional.vivanews.com/news/read/67973siti_hajar_senasib_dengan_nirmala_bonat
2) http://opini.wordpress.com/2007/06/19/pelajaran-terakhirdari-ceriyati/
3) http://www.republika.co.id/berita/56125/
Majikan_Siti_Hajar_Diancam_15_Tahun_Penjara
4) Komentar Akhir (Concluding Comments) Komite
Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (Komite
CEDAW) atas laporan ke-4 dan ke-5 Indonesia, yang
disampaikan dalam sesi ke-39 Sidang Umum CEDAW pada
27 Juli 2007, di New York, Amerika Serikat. Diterjemahkan
dan dicetak oleh CEDAW Working Group Initiative (CWGI),
UNIFEM, dan CIDA, Februari 2009.

No. 28 Th. IX, Agustus 2009

Profil

PROFIL

Najma:

Jangan panggil aku Ning, jika...


Jangan panggil aku Ning, hanya karena aku istri seorang Gus.
Buat apa dikenal sebagai Ning jika tidak melakukan perubahan yang berarti
untuk orang lain.

2828-Swara Rahima

disekolahkan ke sana, dengan


harapan dapat mengaji sambil
bersekolah. Sehingga pada TA 20092010 ini, jumlah muridnya meningkat
sebanyak 40 persen.
***
Dalam mengelola santri-santrinya,
Najma dan Gus Muhaimin saling
bahu membahu. Ketika ditanyakan
model menejemen semacam apa
yang diterapkannya, cucu buyut dari
Pendiri Pesantren Syarifudin,
Lumajang ini menyebutnya sebagai
menejemen kekeluargaan yang berkesetaraan.
Saya dan suami menerapkan pola relasi yang
setara baik di dalam pembagian kerja domestik
maupun publik. Pengambilan keputusan juga
dilandasi oleh nilai kebersamaan, saling
menghargai dan memahami, ujar alumnus
pelatihan CO (Community Organizer) Rahima
(2007) ini.
Kepada 21 orang santri, kami menerapkan
model kelas campuran baik di forum-forum
diskusi, maupun dalam kajian kitab. Kesempatan
yang sama juga kami berikan terutama dalam hal
bertanya dan memperoleh ilmu pengetahuan.
Belum lama ini, saya menyampaikan materi
tentang Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR)
kepada mereka. Atas kedekatan relasi yang

doc: Bustanul Ulum

doc : Rahima

ernyataan Najma, lengkapnya


Najmatul Millah di atas nyatanya
bukanlah sekedar pemanis bibir
belaka. Anak kedua dari tiga
bersaudara pasangan KH. Abdul Ghoni
Halim dan Nyai Hj. Ummu Hannah,
yang lahir di Lumajang 10 Maret 1983
ini, benar-benar telah berbuat sesuatu
untuk orang lain di sekitarnya. Uniknya
lagi, ia memadukan perubahan tersebut
dengan tidak meninggalkan kearifan
lokal yang telah ada.
Tahun 2006, bersama sang suami,
Gus Abdul Muhaimin, Najma membangun
Pesantren Bustanul Ulum yang baru. Disebut
baru karena sebelumnya telah ada Pesantren
Salaf Bustanul Ulum yang dikelola oleh keluarga
besar Gus Muhaimin. Sementara pesantren yang
baru, (belakangan sering disebut sebagai
Pesantren Bustanul Ulum el Jadid, red) mengombinasikan model pendidikan salaf dengan
pendidikan formal, khususnya Sekolah Menengah
Pertama (SMP). Jenjang pendidikan lanjutan yang
sebelumnya tidak pernah ada di Sumber Wringin,
Jember. Selain ingin menyukseskan program
Pemerintah melalui Wajar Dikdas (Wajib Belajar
Pendidikan Dasar) 9 tahun, perempuan yang
ketika kuliah sangat aktif di berbagai organisasi
intra dan ekstra kampus ini percaya pendidikan
formal sangatlah penting untuk membangun
generasi yang lebih baik bagi masyarakat sekitar.
SMP itu kemudian diberi nama SMP Islam
(SMPI) Bustanul Ulum. Pada Tahun Ajaran (TA)
2008-2009 lalu, muridnya berjumlah 40 siswa
dengan 10 guru bidang studi. Meski terhitung
baru, acungan dua jempol rasanya tidaklah
berlebihan ditujukan kepada Alumnus STAIN
Sunan Ampel Malang (sekarang UIN Maulana
Malik Ibrahim, red) ini. Betapa tidak, pada TA yang
baru saja usai kemarin itu, SMPI Bustanul Ulum
berhasil seratus persen mengentaskan 9 siswa
kelas tiganya (4 laki-laki dan 5 perempuan) dari
UAN (Ujian Akhir Nasional). Kesuksesan tersebut,
ternyata berhasil merubah cara pandang
masyarakat sekitar. Anak-anak mereka lalu

SMP Islam Bustanul Ulum

No. 28 Th. IX, Agustus 2009

sudah seperti keluarga besar, keterbukaan untuk


mencurahkan problem pribadi terkait isu KRR
yang lazim dialami remaja tersampaikan. Dengan
demikian kami bisa mengambil langkah yang
tepat untuk jalan keluarnya, terang perempuan
yang juga aktif di Kepengurusan Fatayat NU
Jember itu.
Menyadari latar belakang ekonomi sebagian
besar santrinya yang berasal dari kalangan
kurang mampu, tak menyurutkan langkah Asisten
Peneliti Rahima untuk isu Seksualitas dan
Kesehatan Reproduksi bagi Santri dan Majlis
Taklim di Bondowoso dan Jember (2008) ini, untuk
konsisten mendampingi santri-santrinya. Tak
sepeser pun biaya untuk operasional pesantren
dipungut dari para santri. Untuk makan, jika santri
mampu, mereka cukup membawa secangkir
beras tiap kali makan untuk ditukar dengan nasi
dan lauk pauk. Tetapi jika tak mampu, santri tetap
diperbolehkan makan, tutur Ibu dari Hilya Majda
(2 tahun) yang mewajibkan semua santrinya
bersekolah di SMPI Bustanul Ulum el Jadid.
***
Perempuan yang hidup di lingkungan yang
masih sangat kental dengan kultur salafi dan
sarat dengan pembatasan terhadap kaum
perempuan ini, nyatanya tidak juga berhenti di
situ. Najma juga merangkul ibu-ibu muda maupun
lanjut usia untuk belajar agama di majlis taklim
yang baru 5 bulan ia dirikan. Saya beranggapan,
jika kita telah diberi amanat oleh masyarakat
dengan sebutan kyai atau nyai, yang notabene
dianggap memiliki keilmuan, maka seharusnyalah
kita lebih mendekatkan diri dan berbagi

Profil

Sebagian siswa SMP Islam Bustanul Ulum

pemahaman agama juga lainnya dengan mereka,


ungkapnya tegas.
Maka, di forum-forum itulah, perempuan yang
sedang menyelesaikan S2-nya di STAIN Jember
ini berusaha mengaplikasikan semua
pengetahuan yang dimiliki. Tampaknya,
masyarakat sekitar sangat menghargai ikhtiar
yang nyata-nyata dilakukan oleh keluarga kecil
ini. Partisipasi dalam berbagai bentuk dukungan
selalu mereka lakukan ketika Pesantren Bahrul
Ulum el Jadid mengadakan kegiatan seperti
pengajian maupun ketika perayaan wisuda siswa
kelas tiga yang dirayakan secara meriah seperti
pada bulan Juli yang lalu.
Dengan demikian, panggilan Ning, ataupun
Nyai telah amat layak disandang oleh perempuan
mungil bertekad baja itu. Teruslah berjuang
sahabat, jadikan tantangan sebagai kekuatanmu.
AD Eridani

Kamus Istilah
Borjuis

: Golongon menengah yang mampu atau berpunya; golongan ini biasanya dipertentangkan
dengan golongan rakyat biasa atau kaum proletar.
Patron-Klien : Hubungan antara seorang individu dengan status sosio-ekonomi yang lebih tinggi
(patron) menggunakan pengaruh dan sumber dayanya untuk menyediakan perlindungan
serta keuntungan bagi seseorang dengan status yang dianggap lebih rendah (klien). Klien
lalu membalasnya dengan menawarkan dukungan umum dan bantuan termasuk jasa
pribadi kepada patronnya.
Feodalisme : Paham sistem sosial atau politik yang memberi kekuasaan besar sekali kepada kaum
bangsawan atau tuan tanah. Istilah ini dalam level yang lebih lokal mengarah pada
kalangan ningrat atau priyayi di Indonesia, khususnya kalangan suku Jawa yang oleh
Cliffort Geertz dibagi dalam tiga kasta priyayi, santri, dan abangan.
Ratifikasi
: Tindakan yang dilakukan negara yang memberikan persetujuan tertulis untuk menyatakan
terikat pada suatu perjanjian internasional. Bila ratifikasi sudah dilakukan maka negara
bersangkutan resmi menjadi peserta perjanjian internasional itu, biasanya disebut
Negara Peserta (Departemen Luar Negeri menggunakan istilah Negara Pihak) sebagai
States Party.
Matrilineal
: Hubungan kekeluargaan yang menurut garis kerabat perempuan
No. 28 Th. IX, Agustus 2009

Swara Rahima -29

doc: Bustanul Ulum

PROFIL

Khasanah

RESENSI

Perempuan Dalam
Keadilan Sosial Islam

oleh: Silvia Rahmah*)


Judul Buku

Judul asli
Penulis
Penerjemah
Penerbit Indonesia
Tahun Terbit
Jumlah Halaman

i hampir sepanjang sejarah kemanusiaan,


kaum perempuan telah ditindas dan selalu
dihadapkan dengan berbagai bentuk
pemikiran dan perlakuan yang tidak benar. Bahkan
pada satu tingkat, mereka tidak dipandang sebagai
manusia. Di saat lain, perempuan juga dikenal
sebagai warga negara kelas dua, lebih rendah dari
laki-laki.
Tetapi Islam, dengan sudut pandangnya yang
benar, memberi perhatian kepada berbagai
kebutuhan jasmani dan rohani bagi kaum laki-laki
maupun perempuan. Islam mendeklarasikan
perempuan sebagai manusia dan bukan sebagai
warga negara kelas dua. Islam juga mengajarkan
memberi hak-hak yang sepatutnya kepada kaum
perempuan. Bahkan Islam mengakui
keberadaannya dalam historis.
Buku ini merupakan kumpulan serangkaian
Khotbah Jumat yang disampaikan Hujjatul Islam Ali
Akbar Hashemi Rafsanjani di Teheran. Rangkaian
Khotbah Jumat ini kemudian dimuat dalam sebuah
majalah perempuan di Iran, Mahjubah, di bawah
judul Social Justice in Islam. Latar belakang
rangkaian khubah ini dibukukan, karena sedikitnya
isi dan kandungannya berkenaan dengan
kebebasan perempuan dalam sudut pandang
keadilan Islam.
Persoalan hak serta tanggung jawab laki-laki
dan perempuan menurut pandangan keadilan sosial
Islam diperhatikan dan dibahas secara seksama. Di
sepanjang peradaban manusia, sejarah perempuan
dipenuhi oleh berbagai bentuk penindasan dan
perampasan hak, baik dalam keluarga maupun
masyarakat. Berbagai persoalan mengenai hak-hak
asasi diberikan dunia Barat, namun ketika dunia
mencoba memberikan hak-hak tersebut kepada
kaum perempuan, pada saat yang bersamaan kaum
perempuan di Eropa tidak dianggap sebagai
manusia sempurna oleh para filosuf dan orangorang terpelajar. Perempuan hanya dianggap
sebagai barang/komoditi. Namun, keagungan Islam
dengan pemakaian hijab-nya, tetap memberikan

3434-Swara Rahima

: Kemerdekaan Wanita dalam Keadilan


Sosial Islam
: Social Justice
: Hujjatul Islam Hashemi Rafsanjani
: Satrio Pinandito
: CV. Firdaus Jakarta; Cetakan Pertama
: 1992
: xviii + 121 halaman

kebebasan kepada perempuan untuk dapat


berpartisipasi di bidang sosial dan secara
bersamaan ia juga dapat mendidik anak-anaknya
dan melaksanakan berbagai tugasnya di rumah.
Untuk itu, Islam telah memberi keputusan untuk
kesederhanaannya, kesuciannya, dan akhlak yang
baik, sehingga mereka tidak lagi menderita seperti
yang dialami kaum perempuan di Barat.
Ketika dunia sedang menuju industrialisasi,
dunia Barat mencari sumber daya manusia yang
murah, dan mereka menemukannya dengan
menarik kaum perempuan sebagai masyarakat
konsumen; ketika mereka bekerja, hasil kerja
mereka, berjuta-juta dolar, akan mengalir ke
kantong-kantong kapitalis. Bahkan, daya tarik kaum
perempuan dalam masyarakat telah merusak akarakarnya dalam beberapa hal, sebagaimana
beberapa politisi mencari kemenangan dalam
pemilihan dengan menggunakan cara ini.
Islam, memilih cara yang tepat bagi kaum
perempuan, memberikan tekanan kuat bahwa kaum
perempuan adalah manusia sempurna dan bukan
sebagai warga negara kelas dua. Islam
memperkenalkan status kaum perempuan sama
dengan yang diberikan kepada kaum laki-laki. Islam
memberi mereka kemerdekaan penuh sesuai
dengan hukum-hukum sosial sehingga perempuan
dapat menentukan nasibnya sendiri. Kepadanya,
Islam juga memberikan kemerdekaan ekonomi dan
hak untuk bekerja. Apa saja yang diusahakannya
adalah miliknya sendiri.
Sepanjang urusan kehidupan, Islam telah
membuat laki-laki dan perempuan mempunyai nilai
yang sama sesuai dengan kehendak dan
perbuatannya. Dengan pendidikan, perempuan bisa
menyadari bahwa peranan kaum muslimah tidak
terbatas di rumah, mengandung, dan melahirkan
anak saja. Kaum perempuan harus memainkan
peranan langsung dalam sejarah. Namun, Islam
juga tetap mengingatkan bahwa menjadi Ibu rumah
tangga, mengurus rumah, dan mendidik anak
merupakan suatu tugas yang maha besar.

No. 28 Th. IX, Agustus 2009

RESENSI
Pembahasan buku ini terdiri atas delapan pokok
bahasan utama (8 bab) plus pendahuluan. Pertama,
mengenai pijakan hukum Barat dan Islam. Diawali
dengan uraian bahwa perempuan hanya sebagai
barang/komoditi; mengenai kemuliaan Islam; pola
pikir Barat dan Islam; pemikiran yang belaku selama
masa Jahiliyah; juga keterangan bahwa Islam
menekankan kebaikan terhadap perempuan;
tentang persamaan terhadap anak, kualitas
perempuan dalam Alquran, dan pengaruh keimanan
pada hari Kebangkitan terhadap persoalan kaum
perempuan, hubungan keluarga, dan hubungan
antara kaum laki-laki dan perempuan.
Kedua, tentang Undang-undang dan
kemerdekaan perempuan. Diawali dengan uraian
bahwa laki-laki dan perempuan ibarat satu koin dua
sisi. Dalam hukum penciptaan laki-laki dan
perempuan diciptakan sebagai dua sisi yang satu
tidak lebih tinggi dari sisi yang lain. Tiap-tiap sisi
memiliki peranan masing-masing. Pembahasan
selanjutnya adalah gambaran ketertindasan
perempuan di sepanjang sejarah, prosentase anak
haram di Inggris, perempuan dan pekerjaan, Islam
dan persamaan, kemerdekaan bagi kaum
perempuan dan ditutup dengan uraian tentang hakhak perempuan dalam hukum Barat.
Ketiga, uraian peranan perempuan dalam
kehidupan sosial, termasuk warisan, mahar,
pekerjaan, dan lain sebagainya. Dalam bab ini,
Rafsanjani menguak masalah pekerjaan bagi kaum
perempuan, tugas dan tanggung jawab yang
dilarang bagi kaum perempuan, ruang lingkup
aktifitas perempuan dalam masyarakat, kondisi
keluarga di Barat, kondisi perempuan dalam
masyarakat Islam, juga sekilas kisah tentang
peranan Zainab, Cucu Nabi saw., di Karbala, serta
kata-kata yang diucapkan Zainab dalam meletakkan
pondasi bagi Tawabin.
Ke empat, Islam dan perkawinan. Rangkaian
kutbah yang ditulis adalah mengenai adat
perkawinan yang tidak Islami, perlunya
menyingkirkan adat yang kaku, pandangan Alquran
mengenai perkawinan, berbagai usaha
pembenahan masyarakat. Mahar yang mahal tidak
menjamin kelestarian perkawinan, dampak-dampak
menekan kecenderungan alami, perkawinan
sementara (nikah mutah), perlunya pembuatan
Undang-undang bagi perkawinan sementara, dan
diakhiri dengan uraian penting bahwa perkawinan
adalah sunnah Nabi saw.
Ke lima, merupakan uraian lanjutan bab
sebelumnya, yakni perintah Islam tentang
perkawinan. Menguraikan tentang hak-hak rohaniah
dalam perkawinan, tanggung jawab orang tua
tentang perkawinan anak mereka, tanggung jawab
pemerintah dalam perkawinan, teladan terbaik
sebuah perkawinan, serta digambarkan bagaimana
pakaian pengantin Fatimah az Zahra.
Bab ke enam, membahas perlindungan Islam
atas kaum perempuan. Bab ini berisi uraian

No. 28 Th. IX, Agustus 2009

Khasanah

peranan Islam dalam hal keperempuanan, ayat-ayat


hijab dalam Alquran, batas hijab bagi kaum
perempuan, serta pentingnya kebaikan dan
ketakwaan dalam menghapus perbuatan haram.
Ke tujuh, keluarga dan pengaruh pola pikir.
Diuraikan tentang AIDS di Barat, studi perbandingan
mengenai keadilan sosial dalam Islam dan
hubungan antara laki-laki dan perempuan. Makna
keluarga dari sudut pandang Islam. Makna keluarga
dari sudut pandang Marxisme. Peranan kasih
sayang dan pentingnya ASI (Air Susu Ibu).
Pada bab terakhir, dipaparkan keberadaan
perempuan dalam Alquran dengan menggambarkan
kepribadian kaum perempuan yang tidak baik,
seperti kisah istri Nabi Nuh as. dan istri Nabi Luth
as., dibandingkan dengan istri Firaun, Balqis
seorang penguasa, serta contoh teladan tentang
pribadi-pribadi besar kaum perempuan, seperti
Maryam as., puteri Syuaib as., dan lain sebagainya.

Islam memberi mereka


kemerdekaan penuh sesuai
dengan hukum-hukum sosial
sehingga perempuan dapat
menentukan nasibnya sendiri.
Buku ini, secara umum menggambarkan
kondisi yang dilahirkan oleh Islam, selain
memperkuat fondasi keluarga, juga memberi hakhak positif kepada kaum perempuan. Hal yang
menarik dari buku ini adalah penjelasan bahwa
Islam ternyata telah berusaha keras untuk
melindungi perempuan sejak seribu empat ratus
tahun yang lalu, dan memberikan perhatian hak-hak
mereka secara benar. Di Barat, persoalan-persoalan
semacam ini tidak diindahkan. Hal ini dapat dilihat
pada keadaan saat ini, di mana banyak munculnya
para perusak etika dan sosial, keluarga, kebejadan,
pertikaian, perceraian, kelemahan keluarga, dan
sebagainya, yang merupakan akibat langsung dari
berbagai penyelewengan tersebut.
Dengan demikian, buku ini layak menjadi satu
rerefensi dan sangat diperlukan oleh kaum
Muslimin, khususnya bagi mereka yang aktif dalam
berbagai kegiatannya di luar rumah. Meski ditulis
secara singkat, namun buku ini sangat tepat untuk
advokasi pencegahan terhadap pencekalan
kemerdekaan perempuan dalam ruang lingkup
sosial dalam perspektif keadilan sosial Islam.
Selain itu, buku ini juga dapat memberi sumbangan
ilmu pengetahuan yang bermanfaat serta wawasan
yang lebih luas dalam menghadapi era global saat
ini, sekaligus juga dalam menyambut era
kebangkitan Islam, khususnya tentang peranan
perempuan dalam kehidupan sosial
kemasyarakatan. Wallahu alam bis sawab.
*)
Silvia Rahmah adalah Peserta Pengkaderan Ulama Perempuan
Rahima, berasal dari PP Al Masturiyah, Sukabumi Jawa Barat.

Swara Rahima -35

CERPEN

Cerpen

Cerpen

Hidupku,
Hutang Ayahku
oleh : Nia Ramdaniati

ku tak tahu apa kesalahanku, hingga aku


telah duduk bersamanya. Dulu, saat aku
masih mengaji di masjid As-Sajdah, aku
selalu bercengkrama dengan Kak Fera, guru
ngajiku. Waktu itu aku masih berusia 8 tahun.
Jika sedang bingung, aku segera pergi ke
rumahnya untuk bercerita. Kak Fera sangat sabar
mendengar setiap episode cerita tentang hidupku.
Tentang ayahku yang jarang pulang. Tentang
ibuku yang selalu memarahiku. Dan tentang
adikku yang selalu rewel minta ditemani terus.
Kak Fera selalu komentar, jangan
diambil pusing, jalanin saja,
toh kita tidak selamanya hidup
di dunia. Kemudian ia akan
bercerita tentang surga.
Tempat paling indah yang ia
ceritakan agar hatiku tak
bersedih lagi, agar aku
tidak mudah menyerah
menghadapi
kesulitan. Untuk
menghiburku, ia
akan memborong
semua jagung yang
sedang aku jual,
kemudian ia
bagikan jagung
itu kepada
teman-temanku.
Sekarang, siapa yang
akan mendengar
ceritaku?. Sudah 10 tahun aku meninggalkan
kampung halaman, dibawa pergi oleh orang yang
tak pernah kukenal sebelumnya. Tiba-tiba saja,
saat aku asyik bermain petak umpet di halaman
sekolah, ayah menjemputku pulang. Dia bilang
aku harus ikut pemuda kaya itu yang akan
membahagiakanku, Mas Jimi namanya. Aku tak
pernah tahu jika dia sudah menikahiku. Kata ayah

No. 28 Th. IX, Agustus 2009

aku harus ikut dia supaya masa depanku lebih


baik. Waktu itu usiaku masih 9 tahun. Aku tak
bisa menjawab apa-apa, sebab aku tak mengerti
apa-apa. Kemudian ayahku tersenyum dan
berkata pada pemuda itu, Diam berarti iya,
begitulah Nak Jimi ajaran agama kita.
Aku belum paham dengan apa yang
diungkapkan ayah. Diam berarti iya? Iya untuk
apa ? Tapi aku takut menanyakannya. Sekali
salah bicara, biasanya ayah suka menjitak
kepalaku kemudian berkata, Dasar perempuan
bodoh. Aku tak mau
ayah berkata itu lagi,
sebab aku pernah
mendengar dari Kak
Fera, jangan sekali-kali
keluar kata-kata kotor
dari mulut orang tua
kita, karena kita
berbuat salah
kepadanya. Hmm...
betapa
membingungkannya
semua itu bagiku.
Dalam kebingungan
itu, aku meninggalkan
ayah yang sedang
bercerita dengan Mas
Jimi, dan kuhampiri
ibuku yang sedang
mengemas baju.
Kuperhatikan, ada
butiran kristal mengalir di pipinya. Wajahnya
padam, seolah masalah besar sedang dihadapi.
Kuusap air matanya dan kupegang tangannya, dia
segera merangkulku dalam pelukan hangat. Dia
menangis sejadi-jadinya. Semantara, aku belum
juga paham alasan ibu menangis. Ibu hanya
berkata, Maafkan Ibu Nak, Ibu tidak bisa
mencegahnya. Kamu harus sabar ya, perempuan

Swara Rahima -41

Cerpen
memang harus begini.
Begini apa Bu? ibu harus jelasin ke Neng,
mengapa ibu menangis. Aku tahu aku harus pergi
sama Mas Jimi, tapi kata Bapak demi masa
depanku, bukannya itu lebih baik? Berarti citacitaku menjadi guru bisa tercapai kan Bu? Nanti
aku bisa sekolah tinggi, seperti kata Ibu? Sederet
pertanyaan kuberikan pada ibu yang tak hentihenti menangis. Dia tak menjawab apa-apa.
Akhirnya ia bertanya, Kamu ingat cara menanak
nasi dan air yang pernah ibu ajarkan? Aku pun
menganggguk perlahan. Kamu ingat memasak
sayur? Aku mengangguk lagi. Lalu ibu mengusap
kepalaku dan menyuruhku segera berangkat.
Di depan rumah telah siap mobil mewah Mas
Jimi. Ia segera memegang tanganku erat, lalu
berpamitan. Aku tersenyum dalam kebingungan
menatap ibu dan ayahku. Tapi aku
membayangkan kelak aku akan pulang dengan
gelar sarjana. Ini adalah mimpiku, dan kupikir
akan jadi kenyataan. Namun, penjara yang terlihat
indah di depanku telah berkata lain. Sepuluh
tahun aku di sini. Sepuluh tahun itu kenyataan
berbalik dari mimpiku. Sejak malam pertama aku
tiba di rumah ini, semua jawaban sudah aku
dapatkan. Mas Jimi adalah suamiku. Dia
mengikatku di ranjang yang sudah dihias, yang
bagiku itu hanya ranjang kematian. Ketika ia
lepas semua bajuku, rasanya aku ingin berteriak
dan memakinya, tapi aku tidak bisa karena
mulutku ditutup dengan lakban. Aku tak tahu apaapa, yang aku rasakan hanya sakit. Aku hanya
ingat, Kak Fera pernah berkata jika ada yang
membuat kita sakit berarti dia orang jahat. Orang
jahat?. Bagaimana mungkin orang yang akan
mewujudkan mimpiku menjadi sarjana adalah
orang jahat? Tapi kenyataannya aku merasakan
sakit di sekujur tubuh dan jiwaku.
Setelah beberapa hari di sini, aku tahu, Mas
Jimi pengusaha bordir. Perempuan pertama yang
dinikahinya adalah aku, begitulah pengakuannya.
Aku marah padanya, dan menagih janjinya yang
akan membuat masa depanku lebih baik. Tapi dia
malah tertawa. Dia hanya bilang, Dasar
perempuan bodoh, persis seperti yang diucapkan
ayah. Tapi, Kak Fera tidak pernah melarangku
melakukan sesuatu yang akan menyebabkan
seorang suami mengeluarkan kata-kata kotor.
Hei laki-laki jahat, mengapa kau nikahi aku?
Pernahkah aku berkata mencintaimu? Atau
pernahkah kau bertanya isi hatiku? Sedang aku

4242-Swara Rahima

mencintai Ramli teman sekolahku. Dia


menertawakanku dan menjawab, Ramli teman
sekelasmu? Dasar bodoh, mana mungkin dia bisa
menikahimu? Dia masih sekelas denganmu, dari
mana dia akan memberimu makan, hei
perempuan bodoh. Aku juga tidak cinta sama
kamu, aku hanya memenuhi permintaan ayahmu
saja. Toh, dia yang minta, dia ingin melunasi
hutangnya padaku tapi tidak bisa, dia serahkan
kamu.
Ya Tuhanku! Aku tertegun, bibirku kaku, hatiku
beku, aku tak percaya ayah setega itu padaku.
Aku ingin pulang!!! Aku memohon pada laki-laki
itu. Tapi ia tak pernah menghiraukan aku.
Heh!! perempuan bodoh, kau kira mudah
memulangkanmu? Enak saja. Kau sudah kubeli
dengan hutang ayahmu. Dia berteriak dan
kemudian tertawa. Aku menangis sejadi-jadinya.
Perutku sakit. Badanku panas dingin. Aku lemah
dan kemudian tak ingat apa-apa.
Tak terasa sudah 10 tahun aku diam di rumah
penjara ini. Berkali-kali aku mencoba kabur, tapi
dia menemukanku kembali. Aku tak tahu sedang
tinggal di kota apa. Hingga, aku tak tahu jalan
menuju pulang. Sebelum dibawa ke tempat ini,
aku hanya ingat jalan ke rumah kakek dan bibiku.
Setiap aku menangis, bayangan Kak Fera selalu
ada dalam ingatan, kata-katanya terngiang di
telingaku, walau kadang membuatku bingung. Dia
selalu berkata, Jalani saja, kita hidup di dunia
hanya sebentar, nanti akan menemukan surga.
Tapi kupikir 10 tahun ini terlalu lama, dan aku
belum menemukan surga. Kak Fera tidak
menunjukan ke mana jalan surga bisa aku temui.
Hanya satu hal yang pernah Kak Fera ceritakan
tentang jodoh, Laki-laki baik untuk perempuan
baik dan laki-laki jahat untuk perempuan jahat.
Sejahat apakah aku hingga hidup bersama lakilaki aniaya ini Kak? aku berteriak sendiri di
kamar yang penuh kehampaan. Siapakah aku?
Sekarang usiaku sudah 19 tahun, tapi aku tetap
saja disebut perempuan bodoh.
Hei perempuan bodoh, berisik!!! Kau sudah
gila? Mas Jimi menghampiri kamarku. Aku
semakin menjerit-jerit. Lalu ia ikatkan tali ke
seluruh tubuhku. Aku terbaring lunglai. Tapi tibatiba aku merasa dekat dengan Tuhan. Meski lakilaki buruk itu mengikat ragaku, tetapi rasa hati
dan jiwaku sudah menghampiri Tuhan sejak lama.
Jika begitu, rasanya menyedihkan sekali laki-laki
itu, selamanya ia tak akan bisa menguasaiku.

No. 28 Th. IX, Agustus 2009

DIRASAH HADIS

Tanya Jawab

Kecewa kepada Orang Tua


Diasuh oleh: Ust. Nur Achmad

Assalamualaikum wr. wb.


Pengasuh Tanya Jawab SR yang saya hormati.
Saya, 26 tahun, anak laki-laki tunggal dari
sebuah keluarga yang boleh dibilang broken
home. Sembilan tahun lalu, ayah dan ibuku
bercerai. Sebelumnya, kehidupan keluarga kami
memang sudah mulai tidak karuan, meski secara
ekonomi sebetulnya berkecukupan. Ayah memiliki
kebiasaan buruk sering membawa perempuan
lain ke rumah. Ketika ibu memrotesnya, ayah
marah-marah dan mencaci-maki ibu. Lama-lama
ibu tidak tahan dengan tindakan ayah dan
akhirnya bercerai.
Secara jujur, saya tidak senang dengan
kelakuan ayah, bahkan sulit untuk
memaafkannya. Saya pun memilih tetap tinggal
bersama ibu. Seiring dengan waktu berlalu,
setelah mereka bercerai, saya menyaksikan
kebiasaan buruk yang sama dilakukan oleh ibu.
Ibu yang saya cintai dan yang menjadi pegangan,
hampir tiap hari membawa pulang laki-laki
berganti-ganti ke rumah. Tiap pulang sekolah,
rasanya tidak ingin pulang ke rumah, karena saya
tidak tahan menyaksikan ibu yang minum
minuman keras, mabukan-mabukan dengan lakilaki yang jelas bukan suaminya. Saya merasa
tidak suka, bahkan jijik melihat tingkah ibu yang
aneh-aneh. Saya pun menjadi kecewa dan tidak
suka kepadanya.
Kini, setelah bertahun-tahun, saya sadari
ketidaksukaanku pada ibu membuatku tidak
tertarik pada teman-teman perempuanku.
Pengasuh yang saya hormati. Apa yang harus
saya lakukan untuk menyadarkan ibu?
Bagaimana saya harus menyelamatkan keluarga
kembali? Mohon jawaban dari pengasuh.
Demikian, terimakasih atas jawabannya.
Wassalamualaikum wr. wb.
B, di Kota J

No. 28 Th. IX, Agustus 2009

Waalaikum salam Wr.Wb.


Saudara B. yang baik.
Masalah yang saudara hadapi sungguh kompleks.
Kami ikut prihatin atas keadaan tersebut. Itulah
kenyataan hidup. Terkadang indah, namun sering pula
sebaliknya. Semua dimulai dari perselingkuhan
(bahkan, terang-terangan) ayah saudara yang
berakibat kesalnya ibu dan akhirnya cerai. Di sini, satu
nilai moral yang terabaikan adalah prinsip kejujuran.
Ketika nilai kejujuran dilanggar, cepat atau lambat akan
muncul masalah baru yang lebih besar. Karenanya
sangat wajar jika agama menekankan pentingnya
menjaga kejujuran dan kepercayaan (sidiq dan
amanah).
Patut disayangkan, langkah ibu saudara yang
melampiaskan kekesalan pada mantan suami dengan
cara meniru tindakan salahnya. Dalam agama,
kejahatan atau kejelekan tidak perlu dibalas dengan
kejelekan. Pengkhianatan tidak perlu dibalas dengan
pengkhianatan. Nabi bersabda: Wa la takhun man
khanaka (Janganlah kamu mengkhianati orang yang
telah mengkhianatimu). Bahkan agama mengajarkan
untuk memaafkan dan memberi kesempatan kepada
pelaku untuk kembali ke jalan yang benar, bertaubat.
Apa boleh buat, semua sudah terjadi di luar kendali
dan waktu pun terus berjalan tanpa dapat diputar ke
belakang. Siapa pun bisa berlaku salah atau khilaf,
tidak terkecuali orang tua. Bahkan raja, panglima,
orang besar, dan orang suci sekalipun bisa terjebak
pada kondisi yang tidak baik, salah. Pepatah
menyatakan, sepandai-pandai tupai melompat,
sesekali jatuh juga. Dalam bahasa hadis Nabi: Kullu
bani Adama khattaun wa khairul-khattain altawwabun (Semua anak cucu Adam sangat mungkin
berbuat salah. Namun, sebaik-baik orang yang berlaku
salah adalah yang mau kembali ke jalan yang benar,
bertaubat). (HR. Tirmizi, Ahmad, Ibn Majah dan Hakim;
Lihat dalam al-Manawi, Faid al-Qadir Syarh Jami alSagir, hadis no. 6292).

Swara Rahima -45

Tanya Jawab

DIRASAH HADIS

Karena semua orang berpotensi berbuat salah dan


Allah telah menyediakan ampunan bagi yang
sungguh-sungguh memohonnya, maka sebaiknya kita
pun bersedia memaafkan kesalahan orang lain,
sebagaimana Allah Yang Maha Memaafkan. Apalagi
memaafkan kesalahan orang tua, ayah maupun ibu.
Sesalah apapun, keduanya adalah jalan sehingga kita
dapat hidup dan tinggal di bumi ini. Tanpa keduanya,
kita tidak dapat ada. Nabi Ibrahim telah memberi
contoh bahwa ayahnya yang menyembah berhala
(syirik) dan telah mengusirnya sekalipun, tetap
dihormati sebagai orang tua, manusia yang telah
berjasa. Nabi Ibrahim tetap memohonkan ampunan
kepada Allah untuk ayahnya. Selanjutnya terserah
Allah yang akan memberi keputusan.
Saudara B. yang baik.
Sekarang, sikap yang bijak adalah mulailah
memaafkan kedua orang tua saudara, walaupun
mungkin saudara belum bisa melupakannya. Dengan
memaafkan, saudara akan diberi jalan oleh Allah untuk
memperbaiki keadaan dengan tenang guna mendorong
orang tua saudara untuk bangkit dalam hidupnya.
Siapa lagi yang akan melakukan upaya ini kalau bukan
saudara sebagai anaknya. Niatkan bahwa tindakan ini
merupakan upaya pembebasan orang tua saudara dari
tindakan yang tidak baik, dari jurang yang gelap.
Sebaliknya, jika saudara tidak bersedia memaafkannya
dan membiarkan keadaan demikian berlangsung terus,
apalagi ditambah dengan menghukum diri sendiri,
maka keadaan akan menjadi lebih buruk.
Di sinilah saudara ditantang untuk menjadi
penyelamat bagi orang yang paling berjasa dalam
hidup saudara yang kini dalam keadaan kritis,
menzalimi diri sendiri (zalimun li nafsihi). Saatnyalah
untuk menyalakan obor penerang sehingga menerangi
jalan orang di sekitar hidup saudara. Jika upaya ini
belum membuahkan hasil, tidak perlu berputus asa.
Coba terus dan coba lagi. Bukankah Ibunda Nabi
Ismail, Siti Hajar rela berlari kecil tujuh kali antara Bukit
Shafa dan Marwa untuk mencari air minum anaknya,
Ismail? Dan usaha maksimal itupun dikabulkan oleh
Allah. Teladan ini, patut menjadi inspirasi bagi kita
untuk bangkit.
Selanjutnya, ajaklah ibu untuk dialog atau
ngobrol-ngobrol. Dengarkan curhatnya. Petakan
masalahnya secara jelas sehingga saudara dapat
mencari dan menemukan strategi yang pas sesuai
kondisi. Ajaklah ibu untuk merenungi bahwa tindakan
beliau kuranglah bijaksana, baik bagi diri sendiri

46-Swara Rahima

maupun bagi anggota keluarga yang lain. Sudah


menjadi tugas orang yang sadar mengingatkan yang
lupa dan yang kuat (mental) menolong yang lemah. Di
sini posisi saudara sangat penting untuk bisa
mengajak ibu keluar dari hal tidak menguntungkan ini
dan kembali menjadi normal seperti dulu. Ini adalah
tugas mulia, menyelamatkan orang tercinta.
Saudara B. yang sedang berjuang.
Hidup harus terus berjalan maju, tidak mundur.
Bisa jadi masa lalu seseorang berjalan suram atau
gelap, tapi tetaplah yakin bahwa masa depan akan
datang lebih baik dan lebih terang. Keyakinan untuk
bangkit menjadi lebih baik dan lebih tercahayai oleh
iman haruslah tetap tumbuh di dalam hati. Sikap hidup
optimistis ini modal utama kebangkitan hidup. Apapun
yang terjadi, wa la taiasu min rauhillah (janganlah
kalian berputus asa dari kasih sayang Allah).
Begitulah pesan Nabi Yaqub ketika musibah datang
bertubi-tubi. Ini diabadikan Allah dalam Qs. Yusuf, 12:
87. Sebaliknya, berputus asa adalah jalan orang-orang
yang ingkar. Di ayat lain, Allah juga berpesan:

Artinya: Katakanlah (hai Muhammad), wahai


hamba-hamba-Ku yang telah bertindak melampaui
batas pada diri sendiri, janganlah kalian berputus
asa dalam meraih kasih sayang Allah (dengan
memperbaikai diri dan bangkit). Sungguh Allah
Maha Mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh
Dia Maha Pengampun dan Penyayang (53). Dan
kembalilah ke jalan Tuhanmu dan berserah dirilah
kepada-Nya sebelum (akhirnya, jika tak bertaubat)
tiba kepada kalian hukuman (atas perbuatan dosa)
kemudian kalian tidak ditolong (54). (QS. Al-Zumar,
39: 53-54).
Terkait dengan diri saudara, jangan sampai pula
ketidakbaikan apapun yang dilakukan oleh orang di
sekitar kita menyebabkan kita menghukum diri dengan
berbuat tidak baik atau tidak aman bagi diri sendiri dan
untuk masa depan kita. Alangkah indahnya, jika
masalah kedua orang tua sudara diselesaikan tanpa
menimbulkan masalah baru bagi diri anda. Bijak sekali
No. 28 Th. IX, Agustus 2009

DIRASAH HADIS

pepatah yang menyatakan, Menyelesaikan masalah


tanpa masalah yang kemudian menjadi motto
perusahan tertentu. Seandainya kita belum bisa
membantu menyelasikan masalah ibu atau ayah,
setidaknya kita tidak membuat masalah baru bagi diri
sendiri maupun orang lain. Allah berpesan:

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman,


peliharalah dirimu. Orang yang telah tersesat tidak
akan mempengaruhimu, jika kamu memegangi
petunjuk Tuhan. Kepada Allah jualah tempat
kembalimu semua dan Allah akan memberitahukan
kepadamu apa saja yang pernah kamu lakukan.
(Qs. Al-Maidah, 5: 105).

Shalawat adalah
tembang pujian
yang seringkali dinyanyikan
oleh masyarakat muslim
Indonesia dalam berbagai kesempatan.
Shalawat Kesetaraan dalam VCD ini
hadir dalam semangat untuk
membebaskan perempuan dari
belenggu budaya partiarkhi.
No. 28 Th. IX, Agustus 2009

Tanya Jawab

Ayat di atas menegaskan perlunya kita memiliki


perlindungan diri yang kuat sehingga tidak terjebak
dalam jaring-jaring kehidupan yang kadang seperti
benang kusut. Kita juga diingatkan bahwa ke manapun
kita pergi dan berpetualang (apapun ulah kita), kepada
Allah juga kita kan kembali, meninggal dunia dan
mempertanggungjawabkan semua perbuatan kita di
dunia. Selagi ajal belum tiba, masih ada waktu untuk
berbenah dan kemudian bangkit menatap masa depan
dengan semangat baru dan lembaran baru.
Terakhir, maafkanlah diri anda sendiri dan maafkan
orang-orang yang salah menurut saudara. Mulailah
dengan menerima kenyataan dan kemudian
berdamailah dengan diri sendiri. Damai adalah modal
utama untuk bergerak maju dan meraih keutamaan.
Mohonlah kepada Tuhan agar diberi kedamaian dan
dihidupkan dalam damai di dunia dan akhirat. Allah
senantiasa bersama saudara. Demikian. Wallahu alam
bish-shawab. [na]

Harga Khusus

Rp. 25.000,-

Data Teksnis
Format : DVD
Durasi : 16 Menit
Tersedia dalam dua bahasa, Indonesia dan English

Swara Rahima -47

PROFIL

Refleksi

Kau yang tak mau dilihat


Oleh : Ulfah Mutiah Hizma

?
Dik.. aku mau keluar kota seminggu,
di rumah hanya ada mamah, kamu
nginep di rumah saja ya.. bantuin
mamah.

esan di atas kerap aku


tinggalkan pada adikku, setiap aku akan
keluar kota, setahun terakhir. Ini terjadi
sejak Pekerja Rumah Tangga (PRT) kami tidak
bekerja lagi di rumah.
Dahulu tidak pernah terpikir keluarga kami
akan lepas dari menggunakan jasa PRT, selain
lebaran tiba. Karena pada saat itu banyak tenaga,
semua orang masih kumpul di rumah. Kini setelah
PRT pergi, waktu 24 jam terasa sekali tidak
cukup untuk mengerjakan antara tugas kantor dan
tugas rumah tangga yang tidak ada habisnya.
Benar kata orang ketika kau ditinggalkan baru
merasa kehilangan.
Setiap kali kita membicarakan PRT seperti
membicarakan pesuruh. Kadang kita juga biasa
memanggilnya dengan sebutan pembantu atau
pembokat, karena statusnya yang hanya
dianggap membantu pekerjaan rumah. Padahal
tugas mereka bukan pekerjaan ringan seperti title
yang disandangnya. Bahkan dapat dikatakan
mereka adalah pekerja inti yang mengerjakan
semua pekerjaan rumah tangga.
PRT harus bangun lebih pagi dari kita. Apalagi
ketika bulan Ramadhan, pekerjaan mereka
semakin bertambah, bangun sekitar jam 02.00
dini hari, memasak dengan rasa kantuk yang
masih menggelayut, dan membangunkan majikan
yang tentu saja tidaklah mudah. Semuanya
mereka lakukan dengan tujuan agar majikan
puas dengan kerja mereka.
Beban kerja PRT yang banyak, masih sering
kita memarahi hanya karena kesalahan kecil yang

No. 28 Th. IX, Agustus 2009

mereka buat. Misalnya, makanan yang


kurang rasa karena mereka tidak dapat
mencicipi selagi puasa, atau kerja
mereka yang jadi lambat karena belum
istirahat sejak mereka bangun dini hari
tadi. Lalu saat lebaran tiba, kita menahan mereka
pulang karena kita tidak ingin repot sendiri di Hari
Raya.
Memang, status atau cap majikan dan
pembantu yang populer di tengah-tengah kita
memberi strata sosial tersendiri. Ada posisi tidak
setara di sana. Sehingga kesewenangan kerap
dialami PRT, seperti kekerasan dalam rumah
tangga, gaji yang tidak dibayar, dan sebagainya.
Padahal dalam hadis Nabi jelas sekali bahwa kita
harus memperlakukan mereka layaknya saudara,
yang pantas dikasihi dan dijaga hak-haknya.
Tampaknya, di beberapa keluarga sudah mulai
memperlakukan PRT layaknya saudara. Bahkan
tak jarang menjadikan mereka sebagai kerabat.
Kita juga tidak memungkiri, mereka butuh
kebijakan-kebijakan yang memihak mereka untuk
melindungi dan menjaga hak-haknya. Tapi ini
tidak mudah, karena saat keberpihakan itu
diberikan pada mereka, muncullah nada-nada
miring, nanti mereka jadi songong, atau enak
sekali jadi mereka kalau dapat libur. Atau kalau
gaji mereka sesuai UMR lebih baik tidak usah
pakai PRT, dan sebagainya.
Jaman serba sulit saat ini. Suami-istri harus
bekerja untuk memperoleh double income
(pemasukan dari dua belah pihak), guna
memenuhi kebutuhan keluarga. Karenanya,
keberadaan PRT sangat dibutuhkan untuk
mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang juga
tidak kalah banyaknya. Sebab itu, kalau semua
orang butuh kehidupan yang lebih baik, tentram
dan nyaman, mengapa harus mengorbankan hak
dari salah satu pihak?

Swara Rahima -49

Anda mungkin juga menyukai