Anda di halaman 1dari 22

ALIRAN AHMADIYAH

Dosen pengampu : Dani Darul Harbi, S.Pd.I, MA.Pd

Heri Herdiana
12519.0033
Pendidikan Agama Islam
STAI Sabili Bandung
2021/2022
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyanyang, kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat – Nya yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah – Nya kepada kita semua khusunya saya selaku penulis, sehingga saya bisa
menyelesaikan makalah ini dengan beberapa faktor pendukung.

Adapun penyusunan makalah ini telah kami upayakan dengan semaksimal mungkin dan
tentunya dengan bantuan beberapa pihak ataupun beberapa referensi. Namun , tidak lepas dari
semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa ada kekurangan dari penyusunan bahasanya
ataupun dari beberapa hal lainnya. Semua itu bukan kesengajaan tapi dikarenakan kurangnya
ilmu dan pengetahuan saya dalam ilmu ini.

Oleh karena itu, dengan lapang dada dan tangan terbuka, saya membuka selebar-lebarnya
bagi pembaca ataupun pendengar yang ingin memberi saya saran ataupun kritik baik secara lisan
atau tulisan kepada saya pribadi, sehingga saya dapat memperbaiki kesalahan dalam pembuatan
makalah ini kedepannya agar lebih baik lagi.

Bandung, Maret 2021

Penyusun
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………………...

KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………………

BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………………………………

1.1 LATAR BELAKANG ………………………………………………………………………..

1.2 RUMUSAN MASALAH ……………………………………………………………………..

1.3 TUJUAN ………………………………………………………………………………………

BAB II PEMBAHASAN …………………………………………………………………………

2.1 LATAR BELAKANG MUNCULNYA ALIRAN AHMADIYAH ………………………..

2.2 TOKOH ALIRAN AHMADIYAH …………………………………………………………

2.3 AHMADIYAH DALAM SOROTAN NASIONALISME KETUHANAN INDONESIA .

2.4 AJARAN YANG ADA DALAM ALIRAN AHMADIYAH ………………………………

BAB III PENUTUPAN ………………………………………………………………………….

3.1 SIMPULAN ………………………………………………………………………………….

3.2 SARAN ………………………………………………………………………………………

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………………..


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Berbagai macam aliran muncul satelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, faktor utama
yang melatarbelakangi adalah kekosongan otoritas agama. Nabi Muhammad yang menjadi
otoritas dalam memutuskan problem sosial-agama, menjadi rujukan dalam setiap perselisihan
atau problem yang menimpa masyarakat. Tetapi setelah nabi meninggal, perpecahan mulai
tampak. Para sahabat mulai berselisih pendapat dan mempertanyakan siapa yang pantas
menggantikan peran nabi dalam mengambil dan merespon permasalahan sosial-agama.

Setelah tiga puluh tahun nabi meninggal, perpecahan dan ketegangan sosial menemui
puncaknya. Namun pada masa tersebut yang menjadi motif bukan hanya kekosongan otoritas
agama, melainkan factor sosial-politik mendominasi perpecahan kelompok dalam islam.1
Perselisihan antara Ali yang berseteru dengan Muawiyyah menjadi contoh lahirnya Syiah. Sekte
tersebut menyebutkan bahwa Ali adalah orang yang pantas menjadi khalifah setelah Utsman.
Pertempuran kedua faksi tersebut melahirkan sekte baru dalam tubuh islam yang disebut dengan
Khawarij. Lahirnya faksi-faksi tersebut menjadi awal munculnya sekte dalam islam, gejala
politik yang dilegimitasi dengan pesan agama menjadi awal dari perpecahan sosial-keagamaan
dan melahirkan aliran.

Kemunculan beberapa sekte tersebut adalah bagian dari respon pemeluknya selama
berinteraksi dengan ajaran agama, dan menjadi dasar dalam jawaban gejala sosial-agama. Dalam
hal ini, latarbelakang keilmuan seseorang akan mempengaruhi hasil dari pembacaan. 2 Oleh
karena itu, lahirnya Ahmadiyah khazanah pemikiran teologi islam adalah sebuah keniscayaan,
dan tidak mustahil jika suatu saat nanti juga akan muncul sekte-sekte baru, dengan karakter dan
ajaran yang berbeda.

1.2 RUMUSAN MASALAH

1). Apa yang melatarbelakangi munculnya aliran ahmadiyah?

2). Siapakah tokoh aliran ahmadiyah?

3) Pandangan nasionalisme ketuhanan Indonesia terhadap aliran ahmadiyah?

4). Apa saja ajaran - ajaran yang ada dalam aliran ahmadiyah?

1
Abdullah Saeed, Pemikiran Islam Sebuah Pengantar, ed. Oleh Sahiron Syamsuddin (Yogyakarta: Baitul Hikmah, 2014), h. 9.
2
Hans-Georg Gadamer, Truth and method (London: Continuum, 1989), h. 303.
1.3 TUJUAN

1). Mengetahui alasan munculnya aliran ahmadiyah

2). Mengetahui tokoh aliran ahmadiyah

3) Mengetahui pandangan nasionalisme ketuhanan Indonesia terhadap aliran ahmadiyah

4). Ajaran apa saja yang ada dalama aliran ahmadiyah


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 LATAR BELAKANG MUNCULNYA ALIRAN AHMADIYAH

Ahmadiyah merupakan gerakan keagamaan dalam islam yang didirikan oleh Mirza
Ghulam Ahmad. Pendiri Jemaat Ahmadiyah ini berasal dari keluarga terhormat, ia dilahirkan
pada tanggal 13 Februari 1835, atau 14 Syawal 1250 H pada hari jumat di dusun Qadian yang
terletak 24 Km dari kota Amritsar, Punjab, India. Mirza sendiri adalah pemberian gelar yang
biasa diberikan kepada kaum ningrat keturunan raja-raja Islam dinasti Moghul yang berasal dari
Persia. Sebutan Hadhrat biasa diberikan orang kepada wujud-wujud suci, atau pada ‘alim
rabbani; sebutan Ghulam merupakan nama famili. Jadi, nama asli Mirza Ghulam Ahmad adalah
Ahmad. 3

Nama Ahmadiyah tidak dimbil dari nama Mirza Ghulam Ahmad, melaikan diambil dari
nama Rasulullah yaitu Ahmad yang disebutkan dalam Al-Quran surat Ash Shaff ayat 6 :

‫ص رِقاابلر شمابِش لي ْۢش بَّش شِيأب رِ ْۢش بۢلتأْل ٰرى رةب شو وبَِبش رًِّا ۢبِر شًُوْل ٍبَّأْلِر لْب رِ ل ْۢبِش لْ رِ ب‬ ٰ ٰ ٍ ‫شوۢر لذبقشا شٍب رع لي شسىبِۢل ْۢوبب شًِل َّش شمب ََّٰبشنر ْٓلْبۢر لُ شً ۤۢ رء لَّ شلبۢرنر لْب شرُوْل‬
‫وبّللاربۢرلش لي وك لمب ُِّ ش‬
‫ۢ لُ وم ْٓهبۢشحل شم ُۗ وِبفشلش أماب شج ۤا شءهو لمبِر لالَبشير ٰن ر‬
‫تبقشالوْل ۢب ٰه شذۢب رُحل ًب َُِّبر ليب ْۢب‬

"Dan (ingatlah) ketika Isa putra Maryam berkata, "Wahai Bani Israel Sesungguhnya aku utusan
Allah kepadamu , yang membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi
kabar gembira dengan seorang rasul yang akan datang setelahku, yang namanya Ahmad
(Muhammad)." Namun ketika Rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti
yang nyata, mereka berkata, "Ini adalah sihir yang nyata"

Pemberian nama Ahmadiyah ini dimaksudkan agar para pengikut gerakan ini menghayati
perjuangan Nabi Muhammad dalam membela dan menyiarkan Islam secara jamali, yakni
keindahan, keelokan dan kehalusan budi pekerti dan secara jalali, yakni keagungan dan
kebesaran pribadi Nabi Muhammad.4

3
Ilyas Supena, Respon Masyarakat terhadap Wacana Ahmadiyah Sebagai Agama Baru, (Semarang: IAIN Walisongo
Semarang, 2011). hlm. 29.
4
Simon Ali Yasir, Al-Bayyinah (Yogyakarta: Darul Kutubil Islamiyah, 2010), xii.
Tragedi di dalam intern Ahmadiyah terjadi sejak pemimpin mereka Mirza Ghulam
Ahmad meninggal pada 26 Mei 1908 di kota Lahore dan kemudian dimakamkan di kota Qadian.
Di nisan makamnya atas persetujuan masyarakat Ahmadiyah ditulis "Janab Mirza Ghulam
Ahmad Sahid Qadiani: Pemilik Qadian. Al Masih Yang Dijanjikan, Mujaddid abad keempat
belas. Hari wafatnya : 26 Mei 1908". Namun kemudian tulisan Mujaddid abad keempat belas ada
yang menghilangkanya. Hal ini diakui oleh harian Rabwah Al-Fadl di Pakistan pada 15
September 1936.

Setelah Hazrat Maulana Al Haj Hakim Nuruddin wafat yang merupakan ulama terkenal
pada masa itu dan juga penerus dakwah Mirza Ghulam Ahmad, Tanggal 14 Maret 1914
terpilihlah Hazrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad sebagai pengganti. Kemudian dia
mengeluarkan pernyataan :

1. Hazrat Mirza Ghulam Ahmad adalah Nabi

2. Hazrat Mirza Ghulam Ahmad adalah yang diramalkan dalam AlQur'an surat Ash Shaff ayat 6.

3. Semua orang Islam yang tidak berbaiat kepada beliau adalah keluar dari Islam.5

Sebelumnya Hazrat Maulana Al Haj Hakim Nuruddin juga pernah memberikan


pernyataan bahwa pendiri Ahmadiyah adalah Nabi dalam arti yang hakiki, dan barang siapa yang
tidak mengakui dia sebagai nabi dianggap keluar dari Islam.6

Ahmadiyah kemudian pecah menjadi dua golongan, yaitu Ahmadiyah Qadian yang
berpusat Rabwah Pakistan di bawah pimpinan Mirza Basyirudin Mahmud Ahmad, putera Hazrat
Mirza Ghulam Ahmad. Satunya lagi berpusat di Lahore, Pakistan di bawah pimpinan Maulana
Muhammad Ali, sekretaris almarhum Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. Kedua kelompok
Ahmadiyah tersebut, masing-masing mempunyai cabangnya di Indonesia. Ahmadiyah Qadian
bernama Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Ahmadiyah Lahore bernama Gerakan
Ahmadiyah Indonesia (GAI).7 Lahore merupakan ibukota Punjab dan kota kedua terbesar di
Pakistan. Kota ini merupakan salah satu negara bagian terpenting terpenting Kesultanan Mughal

5
Nanang RI Islkandar, Hasil Study Banding Ahmadiyah (Jakarta: Darul kutubil Islamiyah GAI, 2005), 10-11.
6
Maulana Muhammad Ali, Gerakan Ahmadiyyah (Jakarta: Darul kutubil Islamiyah GAI, 2002), xx.
7
S. Ali Yasir, Gerakan Pembaharuan Dalam Islam (Yogyakarja: Yayasan PIRI, 1976), 38.
dan dikenal sebagai Taman Mughal. Penduduk Lahore sangat padat, menjadikannya kota kelima
paling banyak penduduknya di Asia Selatan.

Perpecahan terjadi karena golongan Ahmadiyah Qadian menganggap bahwa Hazrat


Mirza ghulam Ahmad adalah Nabi, sedangkan Ahmadiyah Lahore menganggapnya hanya
seorang Mujaddid.8

Pernyataan yang menggemparkan ini menyebabkan hampir semua umat Islam terusik dan
tidak menyetujui. Dengan adanya pernyataan itu, Maulana Muhammad Ali yang menjabat
sebagai sekretaris dari Ahmadiyah tidak menyetujui dan berpindah ke Lahore. Kemudian
kelompok yang menyetujui pernyataan Hazrat Bashiruddin Mahmud Ahmad disebut kelompok
Qadiani yang pemimpinya disebut Khalifathul, sedangkan yang tidak menyetujui disebut
kelompok Lahore yang pemimpinya disebut Amir (pemimpin).9

Gerakan Ahmadiyah Lahore menganut aliran Ahlul Sunah waljama'ah dan berpegang teguh pada
Qur'an dan Hadist serta rukun iman dan Islam yang sudah baku dan berkayakinan bahwa Nabi
Muhammad SAW adalah nabi terakhir. Gerakan Ahmadiyah Lahore tidak mempunyai kitab suci
selain Al-Qur'an karena Al-Qur'an sudah sempurna dan lengkap, tidak mengenal teori nasikh-
mansukh. Siapapun yang mengucapkan dua kalimat sahadat adalah muslim dan tidak boleh
disebut kafir.10

Kerajaan Moghul yang mengalami kemunduran dan perpecahan serta diiringi dengan
bangkitnya kembali raja-raja Hindu dan Sikh, hingga akhirnya kerajaan Moghul musnah tanpa
tersisa. Mirza Ghulam Murtadha adalah ayahnya yang meminta Ahmad untuk berjuang
memulihkan kejayaan dan pamor duniawi keluarga Mirza. Akan tetapi, dia berkecenderungan
sebaliknya, bahkan ia mengatakan; “ Aku tidak menghendaki kekayaan dalam arti kata duiawi,
akan tetapi kaya dalam arti rohani….”. Pendiri Ahmadiyah itu tidak pernah menduduki bangku
sekolah, karena saat itu belum ada lembaga sekolah. Akan tetapi keluarganya selalu berusaha

8
Muchlis M.Hanafi, Menggugat Ahmadiyah (Tanggerang : Lentera Hati, 2011), 2.
9
Nanang RI Islkandar, Hasil Study Banding Ahmadiyah. 12.
10
As'adi Alfatah, Sekilas tentang Ahmadiyah Lohare. Jombang: Media Rakyat Post, edisi 37 Maret-April 2013.
mendatangkan guru-guru pribadi yang mengajarkan Al-Qur’an dan bahasa Persia. Waktu-
waktunya sering ia habiskan dalam masjid sambil membaca dan muthalaah Al-Qur’an.11

Pada masa Mirza Ghulam Ahmad terdapat berbagai perlawanan terhadap islam, serangan
itu datang dari golongan sekte Hindu Arya Samaj yang menjelek-jelekan pribadi nabi
Muhammad saw, serta menjadikan orang islam sebagai bulan-bulanan. Dia menangkis serangan
demi serangan dengan artikel-artikel ke berbagai surat kabar. Dalam menangkis serangan itu, ia
ancapkali menerima ilham yang mengandung kabar ghaib yang kelak menjadi sempurna pada
waktunya. Ia juga menulis buku yang bernama Barahin Ahmadiyah yang terbit pada Mei
1879(Jilid pertama). Di dalam buku itu, ia mengungkapkan keluhuran dan keindahan Islam. Ia
membuat tantangan bila seseorang penganut agama lain dapat menampilkan keluhuran dan
keindahan lebih dari Islam, maka ia akan bersedia memberikan hadiah sebesar Rs. 10.000,-
(Sepuluh ribu rupees). Tidak ada satupun orang yang sanggup memenuhi tantangan itu. Pada
tanggal 23 Maret 1889, ia di bai’at oleh orang-orang di kotanya yang berjumlah kurang lebih 40
orang untuk pertama kali, diantaranya adalah Al-Haj Maulvi Hakim Nurudin, yang kelak
menjadi Khalifah Al-Masih setelah Mirza Ghulam Ahmad wafat.12 Pada saat itulah ia dinyatakan
sebagai peletak dasar berdirinya organisasi al-Jama’ah al-Islamiyah al-Ahmadiyah (Jamaah
Islam Ahmadiyah).13 Pada tahun yang sama Mirza Ghulam Ahmad mengaku menerima wahyu
(bahasa Urdu) yang menyatakan bahwa Nabi Isa bin Maryam telah wafat, sedangkan al-Masih
yang dijanjikan oleh Nabi Muhammad adalah dia orangnya.14 Ia menyatakan dirinya sebagai Al-
Masih al-mauw’ud, Allah SWT telah menjanjikan kepadanya melalui wahyu bahwa ;”Aku akan
membawa pesanmu sampai ke ujung-ujung dunia”. Ia juga menyatakan dirinya sebagai al-Masih
bagi umat Kristiani, sebagai Imam al-Mahdi bagi umat Muslim, sebagai Khrisna bagi umat
Hindu, dan lain sebagainya, serta ditugaskan untuk menyatukan umat manusia di bawah bendera
satu agama.15

Dari pernyataan tersebut, gemparlah seluruh umat beragama di India saat itu, baik
kalangan non-Muslim maupun Muslim di India. Mirza Ghulam Ahmad menyempurnakan
dakwahnya kepada pihak Kristen dengan mengajak padre-padri di Lahore supaya”meminta
keputusan Ilahi, siapa yang berdiri di pihak yang benar dan siapa yang berdiri di pihak yang
bathil”. Tetapi tantangan itu tidak terbalas. Mirza Ghulam Ahmad wafat pada tanggal 26 Mei
1908,dan dikebumikan di Qadian setelah berpesan kepada jamaahnya dalam kitab terakhir, Al-
Wasiyat, dan ia meninggalkan kurang lebih 400.000 orang pengikut. Di tahun 1908 Mirza

11
Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad,, Riwayat Hidup Mirza Ghulam Ahmad, terj. Malik Aziz Ahmad Khan, Jemaat
Ahmadiyah, Indonesia, 1995), hlm. 4.
12
Ibid, hlm. 15.
13
Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Suvenir Peringatan Seabad Gerhana Bulan dan Gerhana Matahari Ramadhan
1894-1994 (Parung : JAI, 1994), hlm. 39.
14
M. Fadhil Said an-Nadwi, Ahmadiyah Sekte atau Agama Baru, (Tuban : Pustaka Langitan, 2006), hlm. 134.
15
Ilyas Supena, Respon Masyarakat terhadap Wacana Ahmadiyah Sebagai Agama Baru, (Semarang: IAIN
Walisongo Semarang, 2011). hlm. 33.
Ghulam Ahmad juga telah mendirikan sebuah lembaga pendidikan Ta’limul Islam High School
di Qadian.

Terdapat berbagai faktor yang memicu munculnya aliran ini. Pertama, adanya
kepentingan bersama antara Mirza Ghulam Ahmad dengan imperialis Inggris. Untuk menuju
kepada gagasan kenabian yang sempurna, ia menyadari bahwa tujuannya tidak akan
terealisasikan, kecuali melalui kekuatan-kekuatan politik. Kedua, Ahmadiyah muncul dari
sebuah efek negatif dari kehidupan sufistik yang ditempuh oleh Mirza Ghulam Ahmad. Model
tasawuf saat itu menyatakan bahwa, dalam penyucian batin yang paling penting adalah sikap
berharap dari seseorang terhadap kemunculan seorang al-Maw’ud (al-Masih yang dijanjikan),
dan fakta praksisnya, gerakan ini sering memaksa seseorang untuk mematuhi ajaran-ajarannya.16.
Ketiga, teologi millenarian yang efektif. Konsep ini didasarkan pada al-Mahdawiyah atau
gerakan-gerakan Imam al-Mahdi yang telah muncul di agama-agama samawi. Agama-agama ini
menaruh harapan yang sangat besar terhadap kehadiran seorang penyelamat yang
menyelamatkan dunia dari kegelapan dan kesesatan sosial. Faktor lain yang
menumbuhkembngkn ahmadiyah adalah jatuhnya kekhalifahaan Usmaniyah yang kemudian
diikuti dengan dikuasainya Ka’bah dan Makkah oleh keluaga saud yang menginduk gerakan
Islam Wahabbi. Selain itu, terdapat gerakan pembaharuan pan-Islamisme yang dibawakan oleh
Jamaludin Al Afghani yang menegasakan bahwa islam tidak harus berbentuk kekhalifahan,
sehingga muslim di dunia berhak membangun Negara atau bangsanya sendiri. Maka dari itu,
muncullah gerakan-gerakan islam serupa yang membawa jenis pemimin rohani yang bermacam-
macam. Dalam situasai yang tidak jelas. Harus menginduk ke mana? Mengacu kepada siapa?,
Karena itulah ketika Mirza Ghulam Ahmad mengakui bahwa dirinya sebagai pembaharu Islam.
Ajarannya mendapat tempat, karena saat itu situasi umat Islam pascaruntuhnya kekhalifahan
terakhir begitu menderita ditengah kolonialisme Barat. Maka tidak heran ajaran Ahmadiyah
begitu pesat pertumbuhannya.

16
M.Abdul Karim, Sejarah Islam di India (Yogyakarta, Bunga Grafies, 2003),44-45.
2.2 TOKOH AHMADIYAH

Ghulam Ahmad: Sang Pendiri Gerakan Ahmadiyah

Berbicara mengenai Jemaat Ahmadiyah tidak dapat dipisahkan dari diri Mirza Ghulam
Ahmad sebagai pendiri gerakan Ahmadiyah ini, Ia dilahirkan pada 13 Februari 1835 di desa
Qadian daerah Punjab India. Ayahnya bernama Mirza Ghulam Murtada dan ibunya bernama
Ciragh Bibi, kakeknya bernama Mirza Atha’ Muhammad ibn Mirza Gul Muhammad, seorang
tokoh terkenal dari keturunan bangsawan di daerahnya. Jika dirunut dari silsilah keluarganya
bahwa kakeknya Mirza Ghulam Ahmad adalah keturunan Haji Barlas, raja Qesh.

Sebenarnya nama asli Mirza adalah Ghulam Ahmad, sementara kata Mirza
melambangkan masih keturunan Mughal dan sebutan Ghulam adalah melambangkan marga
keluarga.17 Mirza Ghulam Ahmad merupakan anak kedua dari Mirza Ghulam Murtadha,
kakaknya bernama Mirza Ghulam Qadir.

Mirza Ghulam Ahmad sejak kecil sudah dapat pendidikan secara privat dari beberapa
gurunya, antara lain : Fazal Ilahi yang mengajarkan Alquran dan beberapa kitab berbahasa Persi,
Fazal Ahmad yang mengajarkan kitab nahwu sarf, Gul Ali Shah yang mengajarkan kitab nahwu
dan mantiq, dan ilmu ketabiban ia dapat dari ayahnya sendiri yang memang seorang tabib yang
pandai.

Ia juga pernah bekerja sebagai pegawai di pemerintahan Inggris di Sialkot dengan


penghasilan yang cukup lumayan, di samping bekerja ia masih sempat membaca dan
mempelajari kitab-kitab tafsir dan hadist. Pada usia 16 tahun, ia menikah dengan seorang gadis
dari lingkungan keluarganya, gadis itu bernama Hormat Bibi pada tahun 1852 dan dari
perkawinannya ia mempunyai dua orang anak yaitu Mirza Sultan Ahmad dan Mirza Faisal
Ahmad. Pada tahun 1884 ia menikah lagi dan dikarunia dengan 10 orang anak, namun yang
hidup sampai pada usia dewasa hanyalah 5 orang anak, yaitu ; Mirza Bashiruddin Mahmud,
Mirza Basyir Ahmad, Mirza Syarif Ahmad, Nawab Mubarak Begum, Nawab Amatul Hafid.18

17
Mirza Ghulam Ahmad, Al-Wasssiyat, terjemah. Tim Ahmadiyah, (Bogor : Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 2000), 24.
18
Sinar Islam, No 9, Tahun, 1980. 22-23.
Mirza Ghulam Ahmad gemar menulis beberapa artikel untuk membela ajaran Islam dari
serangan-serangan orang-orang Nasrani dan kaum Arya Samaj, di beberapa media masa. Pada
tahun 1880 M, Ghulam Ahmad menerbitkan sebuah buku yang berjudul Barahin Ahmadiyah
buku ini berisikan tentang penjelasan keunggulan ajaran islam dan ketinggian Alquran di
bandingkan agama Nasrani, Hindu, Arya Samaj, dan agamaagama lainnya. Buku tersebut
menimbulkan pro-kontra di kalangan umat beragama di India, pihak yang pro adalah kaum
muslim India dan yang kontra adalah kalangan non-muslim yang menimbulkan polemik dan
perdebatan sengit, antara Ghulam Ahmad dengan tokoh-tokoh agama, khususnya umat Hindu
Brahma Samaj, Arya Samaj, dan Nasrani.19

Buku Barahin Ahmadiyah ini diantaranya berisi pendakwahan dan pengakuan Ghulam
Ahmad adalah mujaddid. Pada tahun 1883 Mirza Ghulam Ahmad sangat populer dari kalanggan
umat Islam, banyak umat Islam yang berkeinginan melakukan bai’at (janji setia) menjadi
muridnya, tetapi Ghulam Ahmad menolak dengan alasan belum mendapatkan ilham dari Allah
untuk menerima bai’at dari orang-orang. Selanjutnya, Ghulam Ahmad mendapatkan ilham dari
Allah untuk mengambil bai’at, maka tanggal 23 Maret 1889 sebanyak 40 orang melakukan bai’at
pertama di tangan Ghulam Ahmad di sebuah rumah Mia Ahmad Jaan, Ludiana India.20

Saat itulah ia dinyatakan sebagai peletak dasar berdirinya organisasi al-Jama’ah al-
Islamiyah al-Ahmadiyah (Jamaah Islam Ahmadiyah).21

Pada tahun yang sama Mirza Ghulam Ahmad menerima wahyu (bahasa Urdu) yang
menyatakan Nabi Isa bin Maryam telah wafat, sedangkan al-Masih yang dijanjikan kedatangan
nya di akhir zaman oleh Nabi Muhammad dialah (Ghulam Ahmad) orangnya.22 Dari pernyataan
tersebut, maka gemparlah seluruh umat beragama di India pada saat itu, baik kalangan non-
muslim maupun muslim di india. Pada tahun 1898 Ghulam Ahmad mendirikan sebuah lembaga
pendidikan Ta’limul Islam High School di Qadian.

19
Asep Burhanudin, Jihad Tanpa Kekerasan, 35.
20
Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Suvenir Peringatan Seabad Gerhana Bulan dan Gerhana Matahari Ramadhan
1894-1994 (Parung : JAI, 1994), 3.
21
Ibid., 39.
22
M. Fadlil Said an-Nadwi, Ahmadiyah sekte atau agama baru, (Tuban : Pustaka Langitan, 2006), 134.
Pada tanggal 20 Mei 1908 Mirza Ghulam Ahmad jatuh sakit. Berbagai jenis penyakit
yang bersarang ditubuhnya selama puluhan tahun telah membuat kondisi kesehatannya sangat
kritis dan sehari kemudian tepatnya pada tanggal 26 Mei 1908M, Mirza Ghulam Ahmad
menghembuskan nafas yang terakhir, dan dikebumikan di Qadian pada tanggal 27 Mei 1908
M.23

2.3 AHMADIYAH DALAM SOROTAN NASIONALISME KETUHANAN INDONESIA

Indonesia sebagai dengan penduduk mayoritas Muslim bukan sebuah negara dengan
semangat nasionalisme religius, tergambar dari sebuah konstitusi atau dasar negara yang tidak
disandarkan atas dasar suatu agama tertentu (Islam). Namun, Indonesia tidak pula lantas disebut
sebagai negara sekuler yang memisahkan agama dan negara di ruang publik. Agama masih
diurus oleh negara sebagai sebuah entitas yang tidak boleh lepas dari negara. Tetapi, agama yang
diurus oleh negara hanya melalui konsensus umum yang telah berlaku melalui undang-undang.

Perdebatan masalah apakah Indonesia negara religius atau sekuler dapat dilacak mundur
dalam risalah Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Risalah
BPUPKI telah menceritakan perdebatan panjang tentang asas atau dasar negara; apakah
berdasarkan agama (Islam) karena Islam merupakan agama mayoritas, ataukah berdasarkan
nasionalisme sekuler dengan kedaulatan di tangan rakyat. Berbagai suara ketika itu muncul dan
akhirnya dirumuskan bahwa dasar negara kita bukan negara agama. 24 Karena keputusan itulah,
maka tidak selayaknya negara Indonesia kita sandarkan pada satu agama ataupun pemahaman
mayoritas. Meskipun demikian, founding fathers negara Indonesia tidak serta merta melepas
agama dan Tuhan dari kehidupan masyarakatnya, hanya saja menjauhkan dari sifat “egoisme
beragama”, namun tetap masyarakat harus memiliki sendi “ke-Tuhan-an” kehidupan berbangsa
dan bernegara.25 Dengan demikian, sejak negara ini dibentuk, hak beragama dan berkeyakinan
warga negara telah disuarakan. Hal ini pun yang tertuang dalam naskah UUD 1945 (sebagai
konstitusi negara); mengenai penjaminan hak asasi manusia, salah satunya kebebasan hak untuk
beragama dan berkeyakinan. Keharusan memiliki sendi ketuhanan inilah yang dijadikan

23
Abdul Halim Mahally, Benarkah Ahmadiyah Sesat, (Jakarta: PT Cahaya Kirana Rajasa, 2006), 34.
24
Alfitri, “Religious Liberty”, h. 5.
25
Djoko Utomo, Arsip Sebagai Simpul Pemersatu Bangsa, dalam Jurnal Sekretariat Negara Republik Indonesia,
No 13 Agustus 2009, h.305.
ideologi terkait berbangsa-beragama masyarakat Indonesia. Namun pada kenyataannya,
kebebasan berkeyakinan ini harus mengalami sedikit benturan. Kasus intoleransi terhadap
jemaat Ahmadiyah adalah salah satu contoh bahwa kebebasan beragama harus berbenturan
dengan nuansa mayoritas. Pandangan Ahmadiyah yang berbeda dengan pandangan Muslim
mainstream lainnya di Indonesia menjadikan Ahmadiyah seolah-olah keluar dari konsensus
umum mengenai keberagamaan (Islam) dan bukan bagian dari Islam, hingga akhirnya solusi
prematur yang ditawarkan adalah Ahmadiyah harus membentuk agama baru.
Jeremy Menchik, seorang professor studi politik dan agama di Universitas Boston
melihat beberapa kejadian intoleransi di Indonesia adalah sebuah intoleransi produktif.
Intoleransi produktif bukan sebuah tindakan intoleransi yang sporadis, tetapi sebuah usaha
sadar yang dilakukan oleh masyarakat Muslim sipil (mainstream Muslim civil society) untuk
mewujudkan sebuah tatanan negara berketuhanan, Menchik kemudian mengembangkannya
menjadi teori “godly nationalism” atau nasionalisme orang saleh yang berketuhanan. Menchik
mencoba untuk melakukan kritik terhadap teori demokratisasi yang membukakan ruang dalam
melakukan tindakan intoleransi. Bagi Menchik, kasus Ahmadiyah cukup membuktikan bahwa
intoleransi di Indonesia tidak terlalu relevan apabila dibaca melalui teori demokratisasi.
Pembacaan dengan menggunakan nasionalisme ketuhanan ini memang terlihat unik karena
meletakkan Indonesia berada di tengah dua arus nasionalisme dunia: nasionalisme religius dan
nasionalisme sekuler. Perdebatan yang terekam ketika sidang BPUPKI cukup menggambarkan
bahwa sejak awal mula bangsa Indonesia berdiri, ia bertumpu pada dua kaki nasionalisme
tersebut yang dimediasi menjadi sebuah bangsa berketuhanan. Bangsa berketuhanan ini
kemudian menjadi ideologi yang tertuang ke dalam sila pertama Pancasila.
Menchik menggambarkan nasionalisme ketuhanan sebagai sebuah komunitas yang
dibatasi oleh konsep ortodoksi ketuhanan umum yang dijalankan oleh negara, bekerjasama
dengan organisasi keagamaan masyarakat. Jadi terdapat tiga kata kunci dalam teori ini:
ortodoksi ketuhanan umum (common orthodox theism), negara (state), dan organisasi
keagamaan (religious organization).26

26
Lihat Jeremy Menchik, “Productive Intolerance: Godly Nationalism in Indonesia”, Comparative Studies in
Society and History, Vol. 56 (2014), h. 591-621.
Sebagai organisasi Islam awal, Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama (NU) telah
menempati posisinya sebagai organisasi yang merepresentasikan model Islam yang ada di
Indonesia. Dua organisasi Islam ini tidak dapat dinegasikan oleh negara karena kelahirannya
yang lebih dahulu dari kelahiran Indonesia. Karenanya, Muhammadiyah dan NU selalu
dilibatkan oleh pemerintah dalam urusan yang berkaitan dengan hubungan agama – negara.
Secara otomatis, negara telah mengakui Muhammadiyah dan NU sebagai Islam dengan paham
ketuhanan yang umum di Indonesia. Bukan hanya Islam paham ketuhanan yang dianggap
umum di Indonesia adalah Katolik, Protesta, Hindu, Budha dan Konghucu. Ke-enam agama
inilah yang dianggap negara sebagai agama umum yang diakui sesuai konsensus umum di
Indonesia.27
Nasionalisme ketuhanan semakin terinstitusionalisasi dengan lahirnya UU PNPS (yang
sebelumnya penetapan presiden) tentang penodaan agama. Segala bentuk agama yang
menyalahi agama umum termasuk cara pandanganya terhadap pandangan agama mayoritas di
atas dianggap menodai agama, salah satu contoh nyata adalah Ahmadiyah. Hukum mengenai
identitas personal harus berdasarkan 6 agama yang diakui oleh negara selain itu bukan
dianggap agama. Nasionalisme ketuhanan menganggap bahwa meyakini Tuhan adalah nilai
kewargaan yang mempengaruhi kemanfaatan individual dan sosial. Tidak sebagaimana di
negara sekuler, yang mana perilaku warganya dinilai baik apabila tidak melanggar hukum dan
aktif membayar pajak, negara dengan nasionalisme ketuhanan cukup menilai seseorang yang
memiliki keyakinan dengan Tuhan lebih baik daripada mereka yang tidak mementingkan
Tuhan.
Nasionalisme ketuhanan ingin mengatakan bahwa nilai ukur Tuhan hanya boleh melalui
agama yang diakui oleh negara. Selain itu maka ia dianggap seorang yang melakukan
“blasphemy” terhadap agama resmi atau heterodox. Jadi apabila terjadi intoleransi karena
permasalahan agama yang dianggap menyimpang, hal itu memang sebuah konsekuensi logis
dari sebuah nasionalisme ketuhanan. Inilah yang disebut oleh Menchik sebagai intoleransi
produktif, tindakan intoleransi yang dilakukan oleh masyarakat Muslim sipil untuk memaksa
para penoda agama agar mengikuti pandangan agama yang umum di Indonesia, dan itu
dilakukan dengan payung negara. Hal ini dilakukan sebagai usaha untuk mewujudkan

27
Penjelasan pasal 1 UU PNPS tentang Penodaan agama.
nasionalisme ketuhanan yang telah terinstitusikan di dalam negara.
Melihat dari pembacaan ini, Ahmadiyah berada pada tiga pusaran nasionalisme ketuhanan
yaitu ortodoksi ketuhanan umum (common orthodox theism), negara (state), dan organisasi
keagamaan (religious organization). Pemahamann agama Islam umum yang terwakili oleh MUI
dan dengan dukungan ormas Islam lainnya yang berbeda dengan pandangan Ahmadiyah (paling
tidak pandangannya mengenai Yesus, al-masih dan kenabian) membuat Ahmadiyah menjadi
organisasi yang selalu dianggap menyimpang dari pandangan Islam mayoritas. Dengan
mempertimbangkan pendapat mayoritas dan dengan klaim sepihak demi menjaga kerukunan
beragama, negara kemudian mengambil peran dalam mengatasi perbedaan tersebut, dengan kata
lain negara telah mengadili keyakinan.

2.4 AJARAN - AJARAN YANG ADA DALAM ALIRAN AHMADIYAH

Menurut pandangan orang selain Ahmadiyah, sumber ajaran Ahmadiya berasal Al-
Qur’an, Al-Tazkhirah (yaitu buku yang memuat sajak-sajak) buatan Mirza Ghulam Ahmad yang
diyakini olleh para pengikutnya sebagai kitab suci yang diterima oleh Mirza Ghulam Ahmad dari
Allah. Selain itu, ajaran Ahmadiyah juga bersumber pada Hadits buatannya. Didalamnya berisi
petunjuk-petunjuk, hukum-hukum, perintah-perintah, dan larangan-larangan, halal, haram, dan
sebagainya yang semuanya adalah perkataan dari Mirza Ghulam Ahmad, namun mereka
meyakininya sebagai hadis. Para Jemaat Ahmadiyah al-Qadiyan meyakini bahwa kitab suci yang
diturunkan Allah kepada rosulnya berjumlah lima dan yang terakhir adalah kitab At-Tazkirah
yang diturunkan kepada Mirza Ghulam Ahmad. 28

Jemaat Ahmadiyah mengajarkan suatu ajaran yang berhubungan sebagi berikut; Pertama,
paham kenabian. Kenabian dalam ajaran Ahmdaiyah terdapat tiga kategori kenabian yaitu, Nabi
Syihab Asyariah, yaitu nabi yang membawa syari’at dan hukum, dan Mustaqil, yaitu hamba
Allah yang diangkat sebagai nabi dan tidak mengikuti nabi sebelumnya, seperti Nabi Musa a.s.
akan tetapi membawa syariat baru. Kemudian Nabi Mustaqil Ghairi at-Tasyri’i, yaitu hamba
allah yang di angkat menjadi nabi oleh Allah dan diperintahkan untuk melanjutkan syari’at Nabi
sebelumnya seperti Nabi Harun, Daud, Sulaiman, Zakariya, Yahya, Isa a.s. yang secara langsung
diperintah Allah untuk menjalankan syari’at nabi Musa a.s. Selanjutnya adalah Nabi Zhili Ghair
at-Tasyri’i, yakni hamba Allah yang di angkat sebagai nabi karena hasil kepatuhannya terhadap
Nabi sebelumnya dan juga mengikuti syariatnya. Begitu juga pengakuan Mirza Ghulam Ahmad
sebagai termasuk nabi Zhili Ghair at-Tasyri’i yang mengikuti syari’at Nabi Muhammad saw.29

28
Ilyas Supena, Respon Masyarakat terhadap Wacana Ahmadiyah Sebagai Agama Baru, (Semarang: IAIN
Walisongo Semarang, 2011). hlm. 49.
29
Sinar Islam, No. 4 Tahun VI, April 1956, 13
Pandangan kenabian Ahmadiyah Qadian tersebut berbeda dengan pandangan Ahmadiyah
Lahore. Sekalipun Ahmadiyah Lahore secara implisit memandang Mirza Ghulam Ahmad
sebagai Nabi, mereka membagi kategori kenabian menjadi dua; pertama, Nabi Haqiqi, yaitu
Nabi yang ditunjuk langsung oleh Allah Swt. dan membawa syariat. Kedua, Nabi Lughawi, yaitu
seorang manusia biasa, tetapi banyak persamaan yang cukup signifikan dengan para Nabi yang
lain, dalam arti ia juga menerima wahyu. Wahyu yang diterima oleh Nabi bukanlah yang dapat
berfungsi sebagai syariat meskipun banyak mengandung pengetahuan dan berita ghaib. Nabi
dengan katagori ini sering juga disebut dengan Nabi bukan haqiqi.30

Kedua, konsep perwahyuan. Aliran Ahmadiyah tidak memiliki banyak perbedaan antara
Ahmadiyah Qadiyan dan Lahore. Definisi wahyu menurut Ahmadiyah Qadiyan yaitu lafadz
Allah yang disampaikan kepada para penerimanya dan bukan merupakan inspirasi yang
kemudian diucapkan dengan kalimat sendiri oleh para penerimanya. Sedangkan Ahmadiyah
Lahore sebagaimana yang dikemukakan oleh Maulana Muhammad Ali (seorang Amir dalam
gerakan Ahmadiyah Lahore), mendefinisikan wahyu sebagai isyarat yang cepat berupa sabda
yang masuk kedalam kalbu para nabi dan orang-orang yang tulus dan ikhlas.

Kalangan jemaat Ahmadiyah, mengaku dan meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad
adalah al-Mahdi yang tidak dapat dipisahkan dengan alMasih karena al-Mahdi dan al-Masih
adalah satu tokoh dan satu pribadi. AlMasih seperti yang diberitahukan dalam hadis shahi, akan
turun kembali ke dunia dan dia adalah seorang Nabi yang ditugaskan oleh Allah untuk
membunuh Dajjal di akhir zaman. Itulah sebabnya kemahdian Ahmadiyah tidak dapat dipisahkan
dengan masalah wahyu. Wahyu yang disampaikan kepada al-Mahdi adalah untuk
menginterpretasikan Alquran sesuai dengan ide pembaharuannya.31 Proses transmisi wahyu
tersebut, menurut Maulana Muhammad Ali, tergantung kedalam konteks dimana wahyu itu
berada. Ia mengungkapkan terdapat lima macam wahyu dalam Al-Qur’an, yaitu wahyu yang
diturunkan kepada makhluk tidak bernyawa seperti bumi dan langit (Q.S. Fushilat ayat 11-12),
wahyu yang diturunkan kepada binatang (Q.S. An-Nahl ayat 68-69), wahyu yang diturunkan
kepada malaikat (Q.S. Al-Anfal ayat 12), wahyu yang diturunkan kepada manusia biasa (Q.S.
Al-Maidah ayat 11), dan wahyu yang diturunkan kepada nabi dan rasl (Q.S. Al-Anbiya ayat 107-
108). Tujuan dari kitab wahyu dan rasulullah menurut Ahmadiyah adalah untuk menyelamatkan
dunia dari dosa dan untuk membangun hubungan suci antara Allah dan dunia.32

Ketiga, tentang terminologi kafir dalam teologi kenabian Ahmadiyah. Menurut


pandangan ahmadiyah, istilah kafir ada 2 macam. Mengingkari Nabi Tasyri’ (nabi pembawa
syari’at) berbeda dengan nabi ummati (nabi pengikut syariat). Karena Rasulullah saw. adalah
nabi pembawa sayri’at, maka yang mengingkari Islam atau mengingkari Rasulullah secara
langsung dapat membuat seseorang itu menjadi kafir. Dalam kondisi dimana seseorang
30
Susmojo Djojosugito, Hazarat Mirza Ghulam Ahmad Bukan Nabi Hakiki, (Yogyakarta: PB GAI,1984), hlm.7-8.
31
Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, 113.
32
Ilyas Supena, Respon Masyarakat terhadap Wacana Ahmadiyah Sebagai Agama Baru, (Semarang: IAIN
Walisongo Semarang, 2011). hlm. 104-107.
menerima Nabi Muhammad saw. sebagai rasul dan Al-Qur’an sebagai kalamullah, namun ia
mengingkari Masih Mau’ud (Al Masih yang dijanjikan), Mirza Ghulam Ahmad, maka
keingkarannya bukanlah sebuah kekafiran yang dapat membuatnya langsung menjadi non-
Muslim. Karena Masih Mau’ud adalah nabi ummati, maka mengingkarinya berarti membuat
seseorang menjadi kafir (ingkar) terhadap nabi ummati. Sebagai anggota di dalam umat
Rasulullah saw, orang itu tetap disebut muslim, akan tetapi ia menjadi kafir dalam hal
mengingkari Masih Mau’ud.33 Mengingkari Masih Mau’ud bukanlah kekafiran secara langsung,
melainkan kekafiran tidak langsung. Sebagaimana halnya kenabian Masih Mau’ud adalah
kenabian tidak langsung.

Adapun ruh dari tulisan Pendiri Jemaat Ahmadiyah sebagai berikut: ”Poin ini perlu
diingat bahwa menyatakan orang-orang yang mengingkari dakwahnya sebagai kafir hanyalah ciri
nabi-nabi yang membawa syari’at serta hukum-hukum baru dari Allah Ta’ala. Akan tetapi,
selain daripada pembawa syari’at, segenap mulham (penerima Ilham) dan muhaddats (orang
yang bercakap-cakap dengan Allah Ta’ala) – tidak peduli betapa mulianya kedudukannya di sisi
Allah dan memperoleh anugrah bercakap-cakap langsung dengn Allah – dengan menggingkari
mereka tidak ada yang menjadi kafir.34

Selain ajaran diatas, terdapat berbagai macam ajaran-ajaran yang ada di Ahmadiyah yang
tidak dapat dituangkan sekaligus dan panjang lebar, serta pernyataan-pernyataan di atas
merupakan sebagian garis besar ajaran yang di ajarkan dalam aliran yang didirikan oleh Mirza
Ghulam Ahmad.

33
Penjelasan Jemaat Ahmadiyah,op. cit., hlm.2
34
Mirza Ghulam Ahmad, Ruhani Khazain, jld. 15 cat. Kaki hlm. 432.
BAB III

PENUTUPAN

3.1 SIMPULAN

Kemunculan aliran Ahamdiyah dilatarbelakangi oleh keadaan sosial dan politik sehingga
muncul berbagai aliran yang salah satunya ialah aliran yang dibawakan oleh Mirza Ghulam
Ahmad pada tahun 23 Maret 1889 di India untuk menghilangkan rasa kekosongan otoritas
agama, serta menginginkan masyarakat akan kehadiran sosok yang mampu mengarahkan ke
jalan yang lurus. Pendiri Jemaat ahmadiyah mengaku sebagai nabi yang diberikan wahyu oleh
Allah serta mendapatkan tugas meneruskan syari’at nabi sebelumnya.

Ajaran aliran ini antara lain ialah membahas tentang perwahyuan yang diturunkan kepada
nabi-nabi, konsep kenabian, konsep kekafiran seseorang, kekhalifahan , serta masih banyak lagi
ajaran-ajaran yang tidak dapat dijelaskan seluruhnya dalam makalah ini. Tujuan dari ajaran
Ahmadiyah menurut pendirinya ialah meremajakan moral islam dan nilai-nilai kerohanian.

Sebagai sebuah teori, “godly nationalism” hanyalah sebuah pembacaan terhadap kasus
intoleransi kepada jemaat Ahmadiyah. Kasus Ahmadiyah menjadi sebuah refleksi ketika
mengkaji masalah ketuhanan dan nasionalisme kebangsaan. Godly nationalism juga
menunjukkan bahwa Indonesia masih berada di wilayah abu-abu dalam sikap
kebangsaan/nasionalisme; antara menyepakati sikap nasionalisme sekuler dan mengimani
nasionalisme religius. Selain itu, Menchik menyisipkan sebuah pesan bahwa toleransi tanpa
kokohnya bangunan falsafah liberalisme, akan menimbulkan sebuah konsep toleransi yang
sedikit membingunkan sekaligus bias dari nilai-nilai mendasar toleransi itu sendiri.
Dalam konteks kebangsaan, Jemaat Ahmadiyah memegang teguh ideologi Pancasila dan
terus mempertahankan NKRI. Dalam wilayah perjuangan, Ahmadiyah telah turut berjuang
menghapus ketidak adilan pemerintah kolonial terhadap masyarakat Indonesia. Ide-ide
Ahmadiyah banyak diadopsi oleh para aktifis kemerdekaan seperti Sukarno dan HOS Tjokro
Aminoto, bahkan pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya adalah seorang Jemaat
Ahmadiyah.20 Dalam wilayah hukum, Ahmadiyah termasuk organisasi yang taat hukum, dan
terus mendukung penegakan hukum positif yang berlaku di Indonesia. Secara legalitas,
Ahmadiyah merupakan organisasi berbadan hukum sesuai surat Depertemen Dalam Negeri
Direktorat Jenderal Sosial Politik tahun 1993 dengan no 363.4/DPM/SOS/93. Masyarakat
Indonesia harus lebih dewasa dalam menghadapi kasus-kasus perbedaan seperti Ahmadiyah,
menggunakan nalar negara-bangsa adalah cara yang lebih bijak memandang perbedaan
daripada menggunakan nalar negara-agama. Abdullahi Ahmed An-Naim mengatakan bahwa
ketika negara bangsa terbentuk, seharusnya tidak lagi memiliki pandangan bahwa terdapat
warga negara kelas utama, dan warga negara kelas dua. Seseorang dinilai karena ia seorang
warga negara berdasarkan loyalitas dan kepatuhannya terhadap negara, bukan karena suatu
agama apapun.21 Nasionalisme ketuhanan harus diinterpretasikan secara lebih bijak dan
fleksibel, bahwa selama aliran atau kepercayaan apapun itu masih memiliki pandangan tentang
ketuhanan dan mendukung jalannya pemerintahan baik yang sah (good governance) maka ia
tidak boleh dianggap sebagai warga “sub-ordinat” sebuah negara.

3.2 SARAN

Berbagai referensi telah penyusun ambil untuk menyempurnakan makalah ini, jika masih
terdapat kekurangan diharapkan bagi semua pembaca atau pendenger yang akan menyusun
makalah dengan tema ini, untuk bisa lebih mengembangkan materi ini agar para pembaca dan
pendengar selanjutnya akan merasa puas dengan hasil yang telah kita buat.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Saeed, Pemikiran Islam Sebuah Pengantar, ed. Oleh Sahiron Syamsuddin (Yogyakarta:
Baitul Hikmah, 2014), h. 9.
Hans-Georg Gadamer, Truth and method (London: Continuum, 1989), h. 303.
Ilyas Supena, Respon Masyarakat terhadap Wacana Ahmadiyah Sebagai Agama Baru,
(Semarang: IAIN Walisongo Semarang, 2011). hlm. 29.
Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad,, Riwayat Hidup Mirza Ghulam Ahmad, terj. Malik Aziz
Ahmad Khan, Jemaat Ahmadiyah, Indonesia, 1995), hlm. 4.
Ibid, hlm. 15.
Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Suvenir Peringatan Seabad Gerhana Bulan dan Gerhana Matahari
Ramadhan 1894-1994 (Parung : JAI, 1994), hlm. 39.
M. Fadhil Said an-Nadwi, Ahmadiyah Sekte atau Agama Baru, (Tuban : Pustaka Langitan,
2006), hlm. 134.
Ilyas Supena, Respon Masyarakat terhadap Wacana Ahmadiyah Sebagai Agama Baru,
(Semarang: IAIN Walisongo Semarang, 2011). hlm. 33.
M.Abdul Karim, Sejarah Islam di India (Yogyakarta, Bunga Grafies, 2003),44-45.
Ilyas Supena, Respon Masyarakat terhadap Wacana Ahmadiyah Sebagai Agama Baru,
(Semarang: IAIN Walisongo Semarang, 2011). hlm. 49.
Sinar Islam, No. 4 Tahun VI, April 1956, 13
Susmojo Djojosugito, Hazarat Mirza Ghulam Ahmad Bukan Nabi Hakiki, (Yogyakarta: PB
GAI,1984), hlm.7-8.
Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, 113.
Ilyas Supena, Respon Masyarakat terhadap Wacana Ahmadiyah Sebagai Agama Baru,
(Semarang: IAIN Walisongo Semarang, 2011). hlm. 104-107.
Penjelasan Jemaat Ahmadiyah,op. cit., hlm.2
Mirza Ghulam Ahmad, Ruhani Khazain, jld. 15 cat. Kaki hlm. 432.
Simon Ali Yasir, Al-Bayyinah (Yogyakarta: Darul Kutubil Islamiyah, 2010), xii.
Nanang RI Islkandar, Hasil Study Banding Ahmadiyah (Jakarta: Darul kutubil Islamiyah GAI,
2005), 10-11.
Maulana Muhammad Ali, Gerakan Ahmadiyyah (Jakarta: Darul kutubil Islamiyah GAI, 2002),
xx.
S. Ali Yasir, Gerakan Pembaharuan Dalam Islam (Yogyakarja: Yayasan PIRI, 1976), 38.
Muchlis M.Hanafi, Menggugat Ahmadiyah (Tanggerang : Lentera Hati, 2011), 2.
Nanang RI Islkandar, Hasil Study Banding Ahmadiyah. 12.
As'adi Alfatah, Sekilas tentang Ahmadiyah Lohare. Jombang: Media Rakyat Post, edisi 37
Maret-April 2013.
Mirza Ghulam Ahmad, Al-Wasssiyat, terjemah. Tim Ahmadiyah, (Bogor : Jemaat Ahmadiyah
Indonesia, 2000), 24.
Sinar Islam, No 9, Tahun, 1980. 22-23.
Asep Burhanudin, Jihad Tanpa Kekerasan, 35.
Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Suvenir Peringatan Seabad Gerhana Bulan dan Gerhana Matahari
Ramadhan 1894-1994 (Parung : JAI, 1994), 3.
Ibid., 39.
M. Fadlil Said an-Nadwi, Ahmadiyah sekte atau agama baru, (Tuban : Pustaka Langitan,
2006), 134.
Abdul Halim Mahally, Benarkah Ahmadiyah Sesat, (Jakarta: PT Cahaya Kirana Rajasa,
2006), 34.
Alfitri, “Religious Liberty”, h. 5.
Djoko Utomo, Arsip Sebagai Simpul Pemersatu Bangsa, dalam Jurnal Sekretariat Negara
Republik Indonesia, No 13 Agustus 2009, h.305.

Lihat Jeremy Menchik, “Productive Intolerance: Godly Nationalism in Indonesia”,


Comparative Studies in Society and History, Vol. 56 (2014), h. 591-621.

Penjelasan pasal 1 UU PNPS tentang Penodaan agama.

Anda mungkin juga menyukai