Anda di halaman 1dari 10

Kepekaan Aspal terhadap temperatur (Temperature susceptibility)

Aspal semen merupakan material termoplastik, yang konsistensinya berubah bergantung


temperaturnya. Kepekaan terhadap temperatur merupakan parameter yang sangat penting untuk
diketahui, dan menunjukkan nilai perubahan konsistensi aspal dengan berubahnya temperatur.
Aspal yang memiliki kepekaan temperatur tinggi tidaklah diharapkan, mengingat (a)
viskositasnya pada suhu 135o C (275o F) dapat menjadi sangat rendah, sehingga menyebabkan
kesulitan dalam pencampuran dan pemadatan, serta (b) viskositas (kekentalannya) pada suhu
pelayanan terendah biasanya sangat tinggi, sehingga memicu timbulnya retak-retak pada suhu
rendah.
Terdapat tiga pendekatan berbeda untuk mengungkapkan kondisi kepekaan temperatur aspal
semen yang digunakan saat ini, yaitu: Penetration Index (PI), Penetration Viscosity Number
(PVN), dan Viscosity Temperature Susceptibility (VTS). Salah satu dari ketiga cara tersebut
akan diterangkan lebih lanjut, yaitu Indeks Penetrasi (PI).
Penentuan nilai PI disarankan oleh Pfeiffer dan van Doormaal (1936), dan ditentukan
berdasarkan titik lembek aspal semen (pengujian menggunakan ring and ball), angka penetrasi
pada suhu 25o C (77o F), dan asumsi bahwa saat titik lembek tercapai, penetrasi aspal semen
mencapai angka 800. PI semacam ini dinamakan sebagai PI (pen/R&B). Namun berbagai
penelitian menunjukkan bahwa saat titik lembek tercapai penetrasi berbagai jenis aspal semen
dapat bernilai jauh dari 800. Oleh karenanya, daripada mengandalkan asumsi tersebut lebih
bijaksana jika dilakukan uji penetrasi pada dua suhu berbeda, salah satunya pada suhu standar
25o C (77o F). Logaritma dari penetrasi kemudian diplot terhadap temperatur dalam oC yang
biasanya menghasilkan garis lurus. Kemiringan garis ini, A, dapat dihitung sebagai:

A=

log Pen pada T1 log Pen pada T2


T1 T2

Persamaan empiris berikut ini kemudian digunakan untuk menghitung Indeks Penetrasi dalam PI
(pen/pen):
IP =

20 500 A
1 + 50 A

Semakin rendah nilai PI, semakin peka suatu aspal terhadap temperatur. Pada umumnya aspal
untuk perkerasan memiliki nilai PI antara +1 dan 1. Aspal-aspal jenis airblown yang telah
dikurangi sifat kepekaan temperaturnya dapat memiliki PI cukup tinggi. Aspal semen yang
memiliki PI kurang dari 2 sangat peka terhadap temperatur dan biasanya menampakkan sifat
getas (brittle) pada suhu rendah, serta mudah meneruskan retak pada musim-musim dingin.
Disamping itu berdasar Brown (1990) nilai PI ini dapat dihitung dengan persamaan dibawah ini,
yang mendasarkan penentuan PI dengan angka penetrasi dan titik lembek aspal.
PI
dengan :
PI
= penetration index
pen
= nilai penetrasi aspal

1952 500 log pen 20SP


50 log pen SP 120

SP

= titik lembek aspal

Modulus Kekakuan (Stiffness Modulus) Aspal


Karena sifat rheologinya, kekakuan aspal merupakan hubungan antara tegangan dan regangan
sebagai suatu fungsi lama pembebanan dan temperatur. Van der Poel (1954) memberi istilah
Stiffness of bitumen (Sb) sebagai perbandingan antara tegangan-regangan pada aspal, yang
merupakan fungsi dari lamanya pembebanan (frekuensi) yang diterapkan, perbedaan temperatur
dengan T800 dan Penetration Index. T800 adalah temperature pada saat penetrasi mencapai 800.
Kekakuan aspal perlu diketahui untuk menjaga dari retak pada suhu rendah.
Gambar 1. berikut ini memberikan ilustrasi secara sederhana hubungan antara kekakuan aspal
terhadap lama pembebanan pada temperatur tetap. Pada pembebanan yang sangat singkat
kekakuan aspal tidak bergantung pada waktu, dan menunjukkan perilaku seperti modulus
elastisitas. Kekakuan menunjukkan penurunan dalam rentang lama waktu pembebanan
berikutnya. Jika lama pembebanan semakin panjang, maka kekakuan semakin menurun dengan
laju tetap dan menunjukkan perilaku viskos murni. Kekakuan pada kondisi ini merupakan ukuran
flow characteristic campuran.
Respon tiga dimensi dari sifat rheologi ini (kekakuan suhu lama pembebanan) cukup
kompleks untuk digambarkan. Pada tahun 1954, Van der Poel mengusulkan agar perhitungan
kekakuan cukup dikonsentrasikan pada tegangan tunggal dan regangan yang ditimbulkannya,
dan hal ini dirasa cukup memadai untuk berbagai keperluan. Kekakuan (S), menurut Van der
Poel didefinisikan dalam parameter tunggal:
S (t,T) = /
Dengan

:S

t
T

= kekakuan (stiffness) dalan psi atau N/m2


= tegangan aksial
= regangan aksial
= lama pembebanan
= temperatur
Kekakuan
Perilaku elastik

Perilaku viskos

Waktu pembebanan (skala log)


Gambar 1.Idealisasi Kekakuan Aspal Semen vs Waktu Pembebanan

Pada lama pembebanan yang sangat pendek dan/atau temperatur rendah, perilaku perkerasan
dapat dianggap elastis dan kekakuannya, S, menjadi analog dengan modulus elastisitas E. Pada
lama pembebanan yang lebih panjang dan suhu yang lebih tinggi, kekakuan secara sederhana
merupakan relasi antara tegangan yang bekerja dan regangan yang dihasilkannya. Sebaliknya,
jika kekakuan pada suatu waktu pembebanan dan suhu tertentu, serta salah satu dari: tegangan
atau regangannya diketahui, maka regangan atau tegangan yang terjadi pada campuran dapat
diperkirakan.
Terdapat dua cara pendekatan untuk mengukur kekakuan aspal semen, yaitu pendekatan
langsung (direct method) dan pendekatan tak langsung (indirect method). Kekakuan yang dicari
melalui pendekatan langsung diperoleh dari pengujian langsung terhadap kekakuan aspal,
sedangkan pada pendekatan tak langsung, kekakuan diperkirakan melalui data rutin aspal
menggunakan formula maupun nomogram yang telah dikembangkan oleh Brown Brunton, Shell
maupun Van Der Poel.
Meski cepat dan mudah digunakan, metode tak langsung memiliki beberapa kelemahan yaitu: (a)
ketelitian dan kecermatan diperlukan dalam menentukan suatu titik pada skala logaritmik (b)
tidak dapat memperkirakan seberapa besar kesalahannya dalam menentukan kekakuan, dan (c)
terkesan kurang scientific bagi beberapa kalangan. Namun demikian, metode tak langsung ini
dapat memberikan perkiraan awal bagi kekakuan aspal saat metode pengujian langsung tidak
dapat dilakukan.

1. Metode Brown dan Brunton (1984)


Modulus kekakuan aspal adalah perbandingan antara tegangan dan regangan pada aspal yang
besarnya tergantung temperatur dan lama pembebanan yang diterapkan. Modulus kekakuan
bahan pengikat (aspal) sangat ditentukan olah waktu pembebanan (loading time), recovered
softening point of bitumen dan recovered penetration index of bitumen. Modulus elastik
campuran merupakan suatu nilai tegangan dibagi regangan pada temperatur dan lama
pembebanan tertentu akibat pengaruh beban dinamik kendaraan. Nilai modulus elastik bahan
pengikat (aspal, bitumen) dan karakteristik perbandingan agregat yang dinyatakan dalam nilai
VMA (Voids in mixed Agregate) akan menentukan besarnya nilai modulus kekakuan campuran.
Nilai modulus kekakuan aspal berdasar metode Brown Brunton (1984) dapat dihitung dengan
mengetahui beberapa parameter penting, yaitu :
1). temperatur udara ( 0 C)
2). recovered penetration(Pr), besarnya dapat dicari dengan persamaan berikut
Pr = 0,65 (Pi)
dengan :
Pr = recovered penetration (Pr)
Pi = penetrasi awal
3). recovered softening point ( SPr, 0 C) , besarnya dapat dicari dengan persamaan berikut :
SPr = 98,4 26,35 log (Pr)
dengan :
SPr = recovered softening point
Pr = recovered penetration (Pr )

4). recovered Penetration Index/ (PIr). Parameter ini menunjukkan sifat kepekaan aspal terhadap
perubahan temperatur, dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan berikut :
PIr

195,4 500 log pen 20SPr


50 log(Pr) SPr 120,14

dengan :
PIr
= recovered Indek Penetrasi
Pen = Penetrasi aspal pada suhu 250 C
SP = Temperatur titik lembek ( 0 C)
5).

Lama pembebanan (time of loading), yaitu waktu di mana ban kendaraan menyentuh
permukaan perkerasan saat lewat di atasnya, dengan demikian tergantung dari kecepatan
kendaraan yang dinyatakan sebagai kecepatan beban (V). Hubungan antara lama
pembebanan terhadap kecepatan ditunjukkan untuk tebal perkerasan 100-350 mm digunakan
persamaan
t=

1 / V det

dengan :
t = lama pembebanan (time of loading) (detik)
V = kecepatan pembebanan (km/jam)
Nilai modulus kekakuan aspal atau bitumen (Sbit) selanjutnya dapat dicari dengan
menggunakan persamaan berikut :
Sbit = 1,157 . 10 -7 . t 0,368.2,718-PIr.( SPr - T) 5
dengan :
Sbit = Modulus kekakuan bitumen, Mpa
Pir = Recovered Penetration Index
SPr = Recovered softening point , o C
T = Temperatur udara , o C

2. Metode Shell (1990)


Menurut Shell (1990) kekakuan aspal adalah perbandingan antara tegangan dan regangan pada
aspal yang besarnya tergantung temperatur dan lama pembebanan yang diterapkan. Faktor-faktor
yang mempengaruhi tingkat kekakuan aspal dapat berasal dari aspalnya dan dapat berasal dari
kondisi operasional, faktor-faktor tersebut adalah :
a. T800. Faktor ini adalah temperatur pada saat temperatur penetrasi aspal mencapai nilai
800 (0,1 mm), ekivalen dengan temperatur pada titik lembek aspal.

b. Indek penetrasi aspal (Penetration Index/PI). Pada parameter ini menunjukkan sifat
kepekaan aspal terhadap perubahan temperatur. Besarnya dapat diperoleh dengan menggunakan
persamaan berikut
PI

1952 500 log pen 20SP


50 log pen SP 120

dengan :
PI = Indek Penetrasi
Pen = Penetrasi aspal pada suhu 250 C
SP = Temperatur titik lembek ( 0 C)
Selain menggunakan persamaan di atas, nilai PI dan besarnya T800 dapat juga diukur
dengan menggunakan nomogram yang dikembangkan oleh Van der Poel seperti pada Gambar 2
berikut.

Gambar 2. Nomogram Penentuan T800 dan PI Aspal


Sumber : The Shell Bitumen Hand book , 1990

c. Temperatur perkerasan (T). Temperatur perkerasan yang ditinjau adalah suhu


permukaan lapis keras yang didapatkan dengan mengukur langsung di lapangan.
d. Lama pembebanan (time of loading). Lama pembebanan adalah waktu di mana ban
kendaraan menyantuh permukaan perkerasan saat melewati di atasnya, dengan demikian
tergantung dari kecepatan kendaraan yang dinyatakan sebagai kecepatan beban (V). Hubungan
antara lama pembebanan terhadap kecepatan beban ditunjukkan dengan persamaan berikut.

1
t=
V

detik

dengan :
t = lama pembebanan (time of loading) (detik)
V = kecepatan pembebanan (km/jam)
Dengan menggunakan keempat parameter di atas maka dapat diperoleh nilai kekakuan aspal
(Sbit) dengan menggunakan nomogram Van Der Poel seperti pada Gambar 3. T different
merupakan perbedaan antara temperatur titik lembek ( TRB) dengan temperatur perkerasan (T).

Gambar 3 Nomogram Penentuan Kekakuan Aspal ( Sbit)


Sumber : The Shell Bitumen Hand book (1990)

Modulus Kekakuan Campuran


1. Menurut Brown dan Brunton (1994)
Menurut Brown dan Brunton (1994) Modulus kekakuan campuran dipengaruhi oleh modulus
kekakuan aspal dan VMA (Voids in mineral agregate. VMA adalah rongga didalam campuran
agregat aspal yang sudah dipadatkan, termasuk diantaranya rongga yang terisi oleh aspal Pada
metode Brown dan Brunton (1984) ini VMA memiliki pengertian yang berbeda dengan Bina
Marga (1987). Campuran beton aspal sebagai bahan lapis keras jalan pada setiap unitnya

mempunyai 3 elemen penyusun yaitu batuan (agregat), aspal dan udara. Sifatsifat mekanik
campurannya tergantung pada perbandingan volume bahan penyusunnya. Apabila perbandingan
bahan dalam berat maka perlu disetarakan dalam perbandingan volume. Komposisi dari suatu
unit volume campuran seperti pada Gambar berikut.
Volume 1m3

Berat

Udara

Vv

Aspal

Vb = Mb/(Gb. w)

Mb = MB. m /100

Agregat

Va = Ma / (Ga. w)

Ma = Ma. m /100

Gambar 1. Komponen Volume dan Berat dalam suatu Campuran


Sumber : Brown dan Brunton (1984)
dengan :
MA = Perbandingan agregat dengan berat total campuran ( %)
MB = Perbandingan aspal dengan berat total campuran ( %)
Ma = Berat agregat (kg)
Mb = Berat aspal (kg)
MA + MB = 100 %
Ga = Berat jenis campuran agregat
Gb = Berat jenis bahan ikat (aspal)
w = Berat volume air ( 1,0 kg.m3)
m = Berat volume padat campuran ( kg.m3)
Va = volume agregat (m3)
Vb = volume aspal (m3)
Vv = volume udara (m3)
VA = volume agregat (%)
VB = volume aspal (%)
VV = volume udara (%)
VA + VB+ Vv = 1 m3
Seperti diuraikan diatas, VMA adalah rongga didalam campuran agregat aspal yang sudah
dipadatkan, termasuk diantaranya rongga yang terisi oleh aspal. Besarnya VMA dapat dicari
dengan persamaan berikut.
VMA = VB+ VV

Nilai VB dan VV dapat diperoleh melalui tes Marshall dengan menganalisis parameter VITM
(voids in the mix) dan volume aspal dalam campuran agregat aspal (VB ). Hubungan antara VB
dengan kadar aspal optimum campuran bisa dilihat pada persamaan.persamaan berikut,
sedangkan hubungan antara VV dengan VITM dapat dilihat pada persamaan selanjutnya.
Dengan demikian nilai VMA dapat dihitung dengan persamaan terakhir.
VB =
VV
g
f
h

b g
=
a
g
x 100 %
Bj aspal
(100 a) Bj aspal

= VITM
=c/f
= de
=
100
% agregat / Bj Agregat + % aspal

VMA =

b g
Bj aspal

100 -

100 g
h

dengan:
a
= kadar aspal optimum terhadap batuan (%)
b
= kadar aspal optimum l terhadap campuran ( % )
c
= berat kering benda uji sebelum direndam (gram)
d
= berat basah jenuh benda uji SSD (gram)
e
= berat benda uji didalam air (gram )
f
= volume isi benda uji (gr/cc)
g
= berat Volume benda uji (gr/cc)
h
= berat jenis maksimum teoritis campuran (gr/cc)
BJ agregat = Berat jenis agregat (gr/cc)
BJ Aspal = Berat jenis aspal (gr/cc)
% agregat = Prosentase agregat dalam campuran
% aspal
= Prosentase aspal dalam campuran
Setelah nilai VMA yang menyatakan tingkat kepadatan campuran dan nilai kekakuan aspal
sebagai bahan ikat diketahui, nilai modulus elastik campuran bisa ditentukan. Nilai mobulus
elastik campuran beton aspal dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan dari Brown dan
Brunton (1984) seperti ditunjukkan pada persamaan dibawah ini.
n
257,5 2,5 VMA
Sme = Sb

1 +
n x (VMA -3 )

n = 0,83 x log(4.1010 / Sb)


dengan :
Sme = Modulus kekakuan campuran beton aspal / Mix Stiffness (MPa)

Sb = Modulus kekakuan aspal / Bitumen Stiffness (MPa

2. Menurut Shell (1990


Besarnya nilai kekakuan beton aspal dapat ditentukan dengan menggunakan nomogram Shell
seperti Gambar 4 berikut dengan memasukkan parameter yang berupa kekakuan aspal (Sb) dan
perbandingan volume dari bahan penyusun campuran beton aspal.

Gambar 4 Nomogram Penentuan Kekakuan Campuran ( Sbit)


Sumber : The Shell Bitumen Hand book , 1990

Selain dengan menggunakan nomogram, angka kekakuan beton aspal dapat ditentukan
persamaan dari Heukelomp dan Klomp yang ditunjukkan pada persamaan berikut
n
2,5 X Cv
Sm = Sb 1 +
n x (1-Cv )

dengan :
Sm = kekakuan campuran beton aspal / Mix Stiffness (N/m2)
Sb = kekakuan aspal / Bitumen Stiffness (N/m2)
n = 0,83 x log(4.1010/Sb)
Vg
Cv =
Vg + Vb
Persamaan diatas dapat digunakan jika kadar pori udara dalam campuran 3 % dan nilai Cv
berkisar 0,70 - 0,90 . Fijn von Draat dan Sommer memberikan koreksi pada keadaan dimana
campuran beton aspal mempunyai kadar pori udara lebih dari 3%, digunakan parameter Cv yang
besarnya ditentukan dengan persamaan berikut
Cv
Cv =
1+ H

dengan H adalah pori udara nyata dalam campuran dikurangi 0,03. Koreksi ini berlaku jika
campuran mempunyai faktor konsentrasi volume aspal (Cb) seperti disajikan pada persamaan
berikut
Cb > 2/3 x (1-Cv)
Adapun nilai Cb ditentukan dengan persamaan berikut
Vb
Cb =
Vg + Vb

Anda mungkin juga menyukai