Anda di halaman 1dari 7

SIFAT FISIKA, KIMIA, DAN TEKSTURAL BEBERAPA TEPUNG NONKONVENSIONAL DAN KARAKTERISTIK ROTI TAWAR YANG DIHASILKAN

Umi Purwandari*, Supriyanto, Burhan


Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, PO Box 2 Kamal, Madura
*Email : umipurwandari@trunojoyo.ac.id

ABSTRAK
Salah satu bagian dalam ketahanan pangan Indonesia adalah penggunaan tepung-tepung
lokal. Penelitian ini bertujuan mempelajari sifat-sifat fisik, kimia dan tekstural beberapa tepung non
konvensional yaitu tepung uwi ungu (Dioscorea alata), talas (Colocasia esculenta), garut (Maranta
arundinaceae), ganyong (Canna edulis), sorgum (Sorghum bicolor), dan labu kuning (Cucurbita
moschata), dan penggunaannya dalam pembuatan roti tawar. Dikaji bentuk, ukuran dan distribusi
granula pati menggunakan teknik mikroskopi. Sifat gel dianalisis menggunakan LFRA dan texture
analyser (TAXT-Plus). Dikaji juga beberapa parameter fisik, yaitu: water solubility index dan water
absorption index. Analisis kimia ditujukan untuk mengetahui kadar amilosa, amilopektin, protein,
lemak, fosfor, kalium, dan kalsium. Roti tawar hasil substitusi 20% tepung konvensional diuji dalam
hal mikroskopi pori roti tawar, porositas, densitas roti tawar, dan sifat teksturalnya yang meliputi
firmness, hardness, fracturability, dan springiness. Granula pati erut paling besar (~140-180 m),
sedangkan pati sorghum dan uwi ungu paling kecil (~17-88 m). Kadar protein (12,62%) dan lemak
(3,56%) paling tinggi pada tepung sorghum, sedangkan protein paling rendah pada tepung labu
kuning (1,28%), lemak terendah pada tepung tepung garut (0,25%). Kadar amilosa terendah pada
tepung labu kuning (9,86%), sedang tepung lain mengandung amilosa lebih dari 60%. Kadar
amilopektin berkisar dari 1,22% (labu kuning), hingga 3,65% pada sorghum. Gel tepung uwi ungu
paling kuat (594,067 g/cm2), sedangkan gel tepung labu kuning dan sorghum sangat lemah. Gel
tepung talas, erut, dan ganyong relatif tidak mudah pecah, sedangkan tepung uwi ungu lebih mudah
pecah. Meskipun demikian, tepung uwi ungu paling rigid, tidak mudah berubah bentuk saat ada
tekanan. Tepung erut lebih mudah pecah dan membentuk gel selama proses gelatinisasi. Tepung
sorghum paling stabil selama pemanasan. Tepung sorghum memiliki kemampuan absorpsi air
(0,5946) dan tingkat kelarutan dalam air (23,79) yang lebih tinggi dibandingkan tepung lain. Roti
tawar yang mengandung tepung uwi ungu bersifat lebih lunak (hardness 2813,731), lebih springy
(springiness 2,1095) dan porositas lebih tinggi (2,24706) dibanding roti yang disubstitusi oleh tepung
lain. Perlu dikaji hubungan antara sifat tepung dengan penggunaannya dalam roti tawar, untuk
memprediksi karakteristik yang dominan.
Kata kunci: tepung non-konvensional, tekstur, roti tawar.
PENDAHULUAN
Beberapa tahun terakhir ini, banyak penelitian memfokukan pada pengurangan penggunaan
terigu dalam berbagai produk. Salah satu alasannya adalah alasan ekonomi bagi negara-negara
berkembang yang bukan penghasil terigu. Dalam hal ini, dilakukan usaha-usaha substitusi terigu
dengan tepung-tepng lokal yang lebih murah harganya. Pensubstitusian terigu lebih dari 10% biasanya
menurunkan kelunakan roti tawar dan bisa mempengaruhi sifat sensoris lain. Sehingga pencarian
jenis-jenis tepung baru untuk menggantikan terigu akan dapat memperbaiki kondisi perekonomian
negara-negara dunia ketiga tersebut. Selain itu, ada alasan lain untuk menghindari penggunaan teigu
secara total, yaitu untu menyediakan diet bagi orang-orang dengan penyakit tertentu misalnya penyakit
celiac. Konsumsi makanan yang terbuat dari terigu akan membuat sel-sel dinding usus mengkerut.
Oleh karena itu, beberapa campuran tepung non-terigu telah dibuat untuk berbagai produk, misalnya
biskuit roti tawar (Lazaridou et al. 2007, Schober et al. 2008).
Beberapa jenis tepung yang digunakan dalam pembuatan produk bakery tanpa gluten adalah
antara lain tepung campuran jagung dan beras (Lazaridou et al. 2007), tepung jagung dan zein (protein
jagung) (Schober et al. 2008), serta tepung beras dan buckwheat (Torbica et al. 2010). Beberapa jenis
tepung yang pernah digunakan dalam substitusi rot tawar antara lain tepung cempedak (Zabidi and

Aziz 2009), tepung kedelai dan barley (Dhringa and Jood 2001), tepung beras yang difermentasi
(Veluppillai et al. 2010), campuran jagung, isolat buncis, dan tepung Psyllium serta amaranth
(Mariotti et al. 2009), dan tepung oat (Huttner et al. 2010). Tidak ada atau sedikitnya jumlah gluten
dalam adonan memberi konsekuensi pada munculnya masalah pengembangan roti tawar. Namun hal
ini biasanya dikurang atau diatasi dengan penambahan hidrokoloid seperti hidroksipropil metilselulosa
(Schober et al. 2008), atau pektin, karboksimetilselulosa, atau agarose (Lazaridou et al. 2007),
meskipun beberapa jenis hidrokoloid seperti -glukan dan gum xanthan justru memperparah masalah
tidak mengembangnya adonan roti (Lazaridou et al. 2007). Hidrokoloid dalam campuran adonan roti,
dapat memperbaiki warna roti, namun juga dapat menurunkan tingkat kesukaan (Shittu et al. 2009).
Roti tawar merupakan produk sumber karbohidrat yang telah diterima secara luas di
kebanakan negara, termasuk negara bukan penghasil terigu seperti Indonesia. Beberapa sifat fisik dan
tekstural yang mempengaruhi mutu roti tawar adalah struktur roti termasuk di dalamnya adalah
ukuran, bentuk dan distribusi pori-pori, serta ketebalan dinding pori (Mondal and Datta 2008). Selain
itu, penting pula karakteristik kulit roti, yang meliputi antara lain warna dan kekerasan (Mondal and
Datta 2008).
Hal ini menunjukkan bahwa pembuatan produk roti atau jenis produk bakery lain dapat
digunakan tanpa menggunakan terigu, namun memerlukan pemilihan jenis tepung yang tepat dan
penambahan bahan lain seperti hidrokoloid untuk membantu pengembangan adonan. Sumber tepung
di Indonesia sangat banyak, karena sebagai negara tropis yang subur, negara ini memiliki status negara
dengan mega keanekaragaman hayati kedua di dunia. Misalnya, ada 200 varietas uwi (Dioscorea spp.)
di Indonesia (Anon. 2008). Beberapa jenis tepung bukan terigu memiliki aroma yang baik misalnya
tepung garut, yang sudah biasa digunakan sebagai tepung untuk biskuit.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari karakteristik fisik, kimia, tekstural, beberapa
jenis tepung dari bahan lokal Indonesia yang tersedia di pasar tradisional, dan karakteristik tekstural
roti tawar yang disubstitusinya.
METODE PENELITIAN
Bahan dibersihkan, diiris tipis (0,5 mm), dijemur hingga kering (terdengar bunyi nyaring jika
dipatahkan), kemudian dikecilkan ukurannya dengan grinder dan diayak dengan ayakan 80 mesh.
Untuk beberapa jenis bahan, diperlukan perendaman dalam larutan natrium metabisulfit 0.1% selama
5 menit untuk mencegah browning.
Pengamatan mikroskopi terhadap granula pati dilakukan menggunakan suspensi pati dalam
air 20%, diberi pewarnaan dengan larutan I2 1%, dan dilihat menggunakan mikroskop dengan
perbesaran 400x.
Analisis proksimat kandungan gizi yang dikaji meliputi kadar amilosa, amilopektin, protein,
lemak, kalium, fosfor, dan kalsium. Analisis ini dilakukan sesuai prosedur standar menurut AOAC
(1980). Hasil analisis dinyatakan dalam tiap 100 g tepung.
Sifat tekstural tepung dianalisis berdasarkan sifat gelatinisasi, menggunakan amylograph
(Brabender Amylograph) Kajian sifat gelatinisasi dilakukan dengan pertama-tama pembuatan
suspensi tepung dengan konsentrasi 14% dalam akuades, yang kemudian diletakkan di dalam tabung
sampel. Suhu dinaikkan dari 30C menjadi 50C dengan kecepatan kenaikan suhu 1C/menit.
Kemudian suhu dinaikkan lagi dari 50C menjadi 95C dengan kecepatan kenaikan suhu 1,5C/menit.
Suhu kemudian dipertahankan pada 95C selama 10 menit, sebelum kemudian diturunkan menjadi
50C dengan kecepatan penurunan suhu 1C/menit. Perubahan viskositas dicatat secara otomatis.
Kekuatan, rigiditas dan kekerasan gel dianalisis dengan texture analyser (Stevens-LFRA
Texture Analyser, Mechtric-Srevens, probe silinder diameter 0,1923 inch, kecepatan 2 mm/detik, dan
kedalaman penetrasi 15 mm). Mula-mula, tepung dibuat suspensi 7% dalam akuades. Suspensi
tersebut diletakkan dalam wadah tabung berdiameter 3 cm dan tinggi 6 cm, lalu dipanaskan dalam
water bath bersuhu 90C, selama 15-20 menit sehingga terbentuk gel yang sempurna dan merata. Gel
berserta wadah yang tertutup disimpan di dalam lemari pendingin (suhu 4-8C), selama 12-24 jam.
Kemudian gel dan wadahnya ditempatkan di bawah probe. Gel tepung labu kuning dan sorghum
dianalisis dengan kadar lebih tinggi dua kali lipat, karena lemahnya gel. Kelarutan dan daya pegang air
serta kekuatan pengembangan gel tepung Dioscorea sp. dilakukan menurut prosedur Hsu et al. (2003).

Tekstur roti tawar dianalisis menggunakan TAXT-Plus (Stable Microsystem, Surrey, UK),
probe silinder berdiameter 35 mm, kecepatan 0,5 mm/detik. Dihitung hardness dan springiness.
Porositas roti tawar dihitung menurut metode Shittu et al. (2007).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Terdapat variasi yang cukup besar dalam hal komposisi kimia tepung-tepung yang
digunakan. Protein dan amilopektin, serta kalsium berpotensi membuat gel tepung menjadi bersifat
keras, atau mudah patah. Sebaliknya, lemak, amilosa dan fosfor cenderung menyebabkan gel tepung
menjadi lunak. Kadar protein bervariasi dari 1,28% (labu kuning) hingga 12,62% (sorgum). Kadar
lemak umumnya di bawah 1%, kecuali sorgum (3,56%). Kadar amilosa tepung umumnya di atas 60%,
terkecuali labu kuning (9,86%). Kentang hitam memiliki kadar amilopektin tertinggi (6,11%) di antara
tepung-tepung yang diuji. Tepung talas memiliki kadar kalsium tertinggi (90 mg/100 g), sedangkan
tepung kentang hitam mengandung paling sedikit kalsium (11%). Fosfor banyak terdapat di sorgum
(288 mg/100 g. Kadar kalium semua tepung berada di bawah 4 mg/100 g. Dari komposisi kimia masih
belum dapat diketahui jenis tepung yang berpotensi memiliki gel yang keras atau lunak, karena
kontribusi setiap komponen terhadap sifat tepung belum dapat diprediksi. Oleh karena itu diperlukan
analisis lain, antara lain analisis kekerasan gel.
Data mikroskopi granula tepung (Tabel 1) menunjukkan bahwa permukaan granula
bervariasi dari halus, tidak rata, bersudut, hingga memiliki belahan (seperti bentuk yoyo). Tepung
kentang hitam, labu kuning, ganyong, dan uwi ungu memiliki permukaan yang halus. Sedangkan
permukaan granula tepung sorgum sangat kasar, dan bersiku-siku. Hal ini berarti bahwa permukaan
granula tepung sorgum kemungkinan besar memiliki luas permukaan yang relatif lebih besar
dibandingkan granula berukuran sama yang permukaannya halus. Granula tepung talas nampaknya
juga halus tetapi bentuknya nampaknya sangat bersiku-siku. Granula tepung garut meskipun memiliki
permukaan yang halus, namun permukaan itu berlekuk. Bentuk granula tepung relatif seragam pada
tepung garut, kentang hitam dan labu kuning, namun ukurannya sangat bervariasi. Sedangkan bentuk
granula tepung uwi ungu sedikit bervariasi dari elips, bulat, seperti peluru pipih di satu sisinya, dengan
ukuran yang cukup beragam. Granula tepung sorgum dan talas memiliki bentuk tidak beraturan
dengan ukuran yang sangat bervariasi. Secara umum, ukuran granula tepung labu kuning (25,55-78,61
m) relatif lebih kecil dibandingkan jenis tepung lain. Granula tepung lain yang ukurannya relatif
kecil adalah talas dan sorgum. Garut dan kentang hitam memiliki ukuran granula yang cukup besar,
berkisar 120-180 m.
Hasil analisis kekuatan gel menggunakan LFRA Texture Analyser (Tabel 2) menunjukkan
bahwa gel tepung uwi ungu lebih kuat (594,067 g/cm2) daripada lainnya, sedangkan kekuatan gel
tepung kentang hitam dan garut sekitar separonya (masing-masing 242,48 dan 288,60 g/cm2). Gel
tepung ganyong (86,53 cm2) dan tales (52,72 cm2) lebih rendah. Gel tepung labu kuning dan sorgum
sangat lemah, sehingga tidak membentuk gel pada konsentrasi 6,6%, oleh karena itu, untuk kedua
jenis tepung ini digunakan konsentrasi 20%. Titik pecah menunjukkan kedalaman probe saat
terjadinya retakan pada gel. Gel tepung talas (1,300 cm), garut (0,842 cm) dan ganyong (1,005 cm)
relatif lebih tahan untuk tidak pecah dibandingkan jenis tepung lain. Tepung uwi ungu, labu kuning
dan sorgum, relatif mudah pecah. Data rigiditas menunjukkan bahwa tepung uwi sangat rigid (1672,5),
sangat tahan untuk tidak berubah bentuk ketika ada tekanan. Tepung garut (171,375) dan kentang
hitam (133,965) lebih rigid dibandingkan sisa jenis tepung lainnya. Fracturability adalah tenaga yang
digunakan untuk memecah gel di permukaan. Gel tepung ganyong, garut dan kenang hitam, tidak
mudah pecah di permukaan ketika ditekan, sedangkan gel tepung uwi ungu dan gembili relatif kudah
pecah. Gel tepung lain yang diuji sangat mudah pecah. Kekerasan gel paling tinggi pada garut dan uwi
ungu, jika diukur menggunakan TAXT-Plus Texture Analyser.
Data karakteristik gelatinisasi (pasting behaviour) hasil analisis menggunakan amylograph
menunjukkan bahwa tepung garut memiliki viskositas tertinggi (4963 cP), viskositas breakdown
tertinggi (2820 cP) dan peak time terendah (6,73 menit). Hal ini menunjukkan bahwa granula tepung
garut sangat mudah pecah, dan tidak stabil, selama pemanasan, serta mudah membentuk gel dengan
viskositas yang tinggi. Tingginya viskositas sangat berkaitan dengan besarnya granula. Di antara lima
jenis tepung, granula tepung garut berukuran paling besar (diameter sekitar 120-165 m). Tepung

yang memiliki sifat gelatinisasi mirip dengan garut adalah ganyong. Garut dan ganyong adalah
tanaman yang memiliki ordo yang sama, yaitu Zingiberalis.
Sebaliknya, granula tepung sorgum nampak sangat stabil terhadap perlakuan pemanasan,
ditunjukkan dengan rendahnya viskositas puncak (1966 cP) dan viskositas saat pemanasan dihentikan
(1149 cP), tingginya peak time atau waktu untuk membentuk gel dengan viskositas tertinggi (8,13
menit). Hal ini kemungkinan karena kecilnya ukuran granula pati sorghun, dan mungkin karena
strukturnya yang memang tahan terhadap pemecahan granula oleh panas. Mengingat granula tepung
sorghum sangat mudah mengikat air, maka kemungkinan ada bagian pada granula yang cukup kuat
sehingga tidak memudahkan pecahnya granula ini. Tepung yang memiliki sifat mirip dengan tepung
sorgum adalah tepung talas. Talas juga memiliki ukuran granula pati yang kecil seperti granula
sorgum. Hal lain yang tercatat adalah bahwa tepung labu kuning membentuk gel paling cepat di antara
kelima jenis tepung yang diuji, namun viskositasnya tidak tinggi.
Tepung uwi ungu memiliki karakteristik yang khas, yaitu peak viscosity yang relatif redah,
viscosity at holding yang relatif tinggi, final viscosity yang tinggi dan lebih tinggi daripada peak
viscosity, set back viscosity yang sangat rendah, dan peak time serta pasting temperature yang paling
tinggi di antara jenis tepung lain yang diuji. Hal ini menunjukkan ketahanan yang tinggi terhadap
panas dan shear, dan tidak berubah selama pendinginan. Indeks kelarutan dalam air tepung sorgum
(23,79%) dan talas (11,67%) lebih tinggi dibandingkan tepung lain. Sedangkan indeks absorpsi air
tepung sorgum (0,5946%) juga lebih tinggi dibandingkan jenis tepung lainnya. Kemungkinan hal ini
disebabkan permukaan granula yang lebih luas akibat bentuk permukaan yang bersudut-sudut, serta
ukuran granula yang relatif kecil.
Tepung dengan ukuran granula yang relatif kecil akan memiliki kecenderungan pasting
temperature yang tinggi dan peak viscosity yang rendah (Zaidul et al. 2007). Hal ini nampak pada
sorghum yang memiliki ukuran granula relatif kecil. Sebaliknya, tepung dengan granula pati yang
besar mengakibatkan peak viscosity yang tinggi pula (Zaidul et al. 2007). Senyawa fosfor di tepung
berada dalam bentuk fosfolipida dan monoester fosfat yang bisa berikatan dengan amilopektin (Craig
et al. 1989). Jika monoesterfosfat berikatan dengan amilopektin, maka viscositas akan naik, sebaliknya
adanya fosfolipida menurunkan viskositas. Semakin banyak senyawa fosfor yang terikat pada
amilopektin, maka jumlah amilosa semakin sedikit, dan swelling power lebih rendah, sehingga
viskositas pun makin tinggi, dan peak time semakin lama (Zaidul et al. 2007). Tepung sorghum dan
garut memiliki kadar amilopektin yang lebih tinggi dibandingkan tepung lain. Tingginya kadar
amilopektin dan fosfor di dalam tepung sorghum mungkin yang menyebabkan tepung sorghun
memiliki viskositas yang relatif tinggi. Meskipun demikian, karena kandungan lemak tepung sorghum
juga tinggi maka viskositasnya masih lebih rendah dibandingkan viskositas tepung uwi ungu. Akan
tetapi, roti yang disubstitusi oleh tepung sorghum memiliki kekerasan paling tinggi dibandingkan
dengan roti yang disubstitusi oleh tepung lain. Sedangkan, tepung uwi ungu yang memiliki pati
dengan viskositas paling tinggi, dan paling tahan terhadap panas dan perubahan viskositas selama
pendinginan, jika disubstitusikan ke adonan roti maka menghasilkan roti yang lebih lunak, bahkan
paling lunak di antara roti lain. Dalam hal tepung uwi ini, kemungkinan adanya senyawa mucilage
yang merupakan golongan hidrokoloid yang banyak terdapat dalam tepung uwi (Aprianita et al. 2009)
berperan besar dalam membentuk tekstur lunak roti.
Tabel 1. Data mikroskopi granula pati tepung non konvensional
No.

Sampel

Bentuk Sampel

Ukuran Diameter Granula


Panjang: 37,85-61,4 m dan lebar:
28,77-45,39 m

1.

Ganyong

Granula pati kebanyakan berbentuk


elips, sebagian kecil tak beraturan.

2.

Garut/Erut

Granula pati kebanyakan berbentuk


bulat dengan celah dan bulat yang
tidak beraturan.

Diameter: 119,91-165,25 m

3.

Labu
Kuning

Granula pati berbentuk bulat, elips,


bulat tidak beraturan.

Panjang: 25,55-78,61 m dan lebar:


37,47-70,94 m

4.

Sorgum

5.

Talas

6.

Uwi Ungu

Granula pati permukaan tidak


halus, ukuran sangat bervariasi,
berbentuk elips, bulat tidak
beraturan, ada yang bergandengan
dua granula.
Granula pati berbentuk elips, bulat
tidak beraturan yang kadang
bergandengan dengan granula pati
yang lain.
Granula pati berbentuk lonjong,
peluru, atau ellips, bentuk dan
ukuran bervariasi.

Panjang: 17,62-88,55 m, lebar:


41,51-66,88 m, diameter hingga
79,33 m
Diameter: 28,39 m - 63,47m
Panjang: 19,06-68,77 m; lebar:
23,58-38,75m

Diameter/panjang: 18-32 m.

Tabel 2. Kekuatan gel beberapa tepung non konvensional menggunakan metode LFRA
No.

Jenis Tepung*

1
2
3
4
5
6

Tales
Garut
Ganyong
Labu Kuning
Sorgum

Tepung
ungu

uwi

Kekuatan Gel
(g/cm2)
52,72
288,60
86,53
208,80
133,01
594,067

Titik Pecah
(cm)

1,300
0,842
1,005
0,829
1,535

Rigidity

Hardness (g)

20,270
171,375
43,045
125,855
43,320

0,276

8,868
22,855
7,975
38,020
20,589

1672,5

* konsentrasi suspensi sebelum membentuk gel 6,6%, kecuali tepung labu kuning dan sorgum yang
menggunakan konsentrasi 20%.

Tabel 3. Karakteristik tekstural roti tawar tersubstitusi oleh 20% tepung non-konvensional
No
.
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Jenis
Tepung
Tales
Garut
Ganyong
Labu
Kuning
Sorgum
Uwi ungu

Hardness

Springiness

7610,454
6175,594
9469,389

2,1113
2,3462
2,3039

Crumb
density
1,14808
1,26363
1,08649

Porosity

3452,365

2,1778

1,14981

2,236451

11403,167
2813,731

2,4505
2,1095

1,26354
0,95479

2,242311
2,247061

2,181964
2,173405
2,208092

Tabel 4. Water Solubility Index dan Water absorption Index beberapa tepung non-konvensional
No
1
2
3
4
5
6
7

Jenis Tepung
Talas
Garut
Ganyong
Labu kuning
Sorgum
Kentang hitam
Uwi ungu

WAI (%)
0,2917
0,2358
0,2447
0,2280
0,5946
0,2293
0,2387

WSI (%)
11,67
9,43
9,79
9,12
23,79
9,17
9,55

Gambar 1. Perbandingan pengembangan roti tawar tersubstitusi tepung non-konvensional sebanyak


20%.
Volume roti yang tersubstitusi oleh tepung uwi sebanyak 20% lebih besar dibandingkan
volume roti yang disubstitusi oleh jenis tepung lainnya dengan tingkat substitusi yang sama (Gambar
1). Warna roti tersubstitusi dipengaruhi oleh warna tepung pensubstitusi. Roti paling keras adalah roti
yang disubstitusi oleh tepung sorgum (11403,731) dan ganyong (9469,389) (Tabel 3). Roti
tersubstitusi oleh uwi ungu memiliki kekerasan paling rendah (2813,731). Hal ini merupakan kontras
dengan kekerasan gel tepung uwi ungu. Kemungkinan, ada pengaruh mucilage yang banyak terdapat
pada uwi ungu yang berfungsi sebagai polisakarida larut air yang dapat mempengaruhi kekerasan roti.
Polisakarida seperti ini menghalangi interaksi tepung terigu dengan pensubstitusinya sehingga
menghalangi terjadinya tekstur yang keras. Roti tersubstitusi tepung uwi memiliki kemampuan
kembali ke bentuk semula dalam waktu yang paling singkat dibandingkan dengan roti jenis lain
(springiness = 2,1095). Sedangkan roti tersubtitusi oleh tepung sorgum membutuhkan waktu paling
lama untuk kembali ke bentuk semula setelah ada tekanan. Densitas roti tersubstitusi tepung uwi juga
paling rendah dibandingkan roti yang tersubstitusi jenis tepung lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa
pengembangan roti dengan uwi lebih baik daripada roti dengan tepung jenis lainnya. Porositas roti
dengan tepung uwi (0,247061) serupa dengan roti dengan tepung sorgum dan tepung labu kuning, dan
ketiganya lebih porous dibandingkan roti dengan tepung lain. Tingginya porositas menunjukkan
banyaknya pori yang terbentuk, yang mungkin berkorelasi dengan sedikitnya struktur hasil interaksi
tepung terigu dengan tepung pensubstitusi. Dalam hal ini, halangan bagi terbentuknya struktur
interaksi dua jenis tepung kemungkinan karena adanya penyerapan air yang tinggi pada tepung
sorgum, dan adanya polisakarida pada tepung uwi ungu.
Luas pori roti tawar terigu dan yang tersubstitusi oleh tepung uwi sangat mirip. Oleh karena
itu, ukuran volumenya, dan keseragaman luas porinya juga sepintas tidak nampak berbeda. Roti tawar
tersubstitusi oleh tepung sorgum memiliki luas pori yang juga besar-besar, tetapi ukurannya tidak
merata atau sangat bervariasi. Sedangkan roti tawar tersubstitusi tepung garut memiliki pori-pori yang
relatif sangat kecil dengan bentuk pori yang tidak utuh. Hal ini menyebabkan tekstur roti dengan
substitusi tepung garut memiliki tekstur yang rapuh mudah tercerai-berai. Ukuran granula tepung yang
besar mengakibatkan roti keras, dan kemungkinan menyebabkan tekstur tercerai-berai tersebut.
Bentuk, letak, distribusi pori dan tebalnya jaringan roti nampaknya menentukan tekstur roti,
kekerasan, springiness, porositas, dan densitas.
Meskipun demikian, untuk melihat seberapa jauh faktor-faktor dalam tepung nonkonvensional mempengaruhi kualitas tekturs roti tawar tersubstitusinya, akan dilakukan analisis
menggunakan metode partial least square regression. Analisis ini masih dalam penggarapan.

KESIMPULAN
Beberapa tepung non kovensional dapat digunakan untuk mensubstitusi tepung terigu dalam
roti tawar. Efeknya dalam menentukan karakteristik roti tawar dapat didekati dengan sifat kimia, fisik,
dan tekstural patinya.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. //www.food-infonet/ukproducts/rt/yam.htm diakses tanggal 5 Mei 2008.
AOAC. 1980. Official methods of analysis. Association of Official Analytical Chemists. Washington,
DC.
Aprianita A, U Purwandari, B Watson,T Vasiljevic. 2009. Physico-chemical properties of flours and
starches of selected commercial tubers available in Australia. International Food Research
Journal 16:507-520.
Craig SAS, CC Maningat, PA Seib, RC Hoseney. 1989. Starch paste clarity. Cereal Chemsitry 66:173182.
Dhingra S, S Jood. 2001. Organoleptic and nutritional evaluation of wheat berads supplemented with
soybean and barley flour. Food Chemistry 77:479-488.
Hsu CL, W Chen, YM Weng, CY Tseng. 2003. Chemical composition, physical properties, and
antioxidant acticities of yam flours as affected by different drying methods. Food Chemistry
83:85-92.
Huttner EK, FD Bello, EK Arendt. 2010. Rheological properties and bread maing performance of
commercial wholegrain oat flours. Journal of Cereal Science 52:65-71.
Lazaridou A, D Duta, M Papageorgieu, CG Biliaderis. 2007. Effects of hydrocolloids on dough
rheology and bread quality parameters in gluten-free formulation. Journal of Food Engineering
79:1033-1047.
Marotti M, M Lucisano, MA Pagani, KW Perry. 2009. The role of corn starch, amaranth flour, pea
isolate, and Psyllium flor on the rheological properties and the ultrastraucture of gluten-free
doughs. Food Research International 42:963-975.
Mondal A, AK Datta. 2008. Bread Baking- A review. Journal of Food Enginnering 86:465-474.
Schober T, SR Bean, DL Boyle, SH Park. 2008. Improved viscoelastic zein-starch doughs for
leavened gluten-free breads: Their rheology and microstructure. Journal of Cereal Science
48:755-767.
Shittu TA, AO Raji, LO Sanni. 2007. Bread from composite cassava-wheat flour: I. Effect of baking
time and temperature on some physical properties of bread loaf. Food Research International
40: 280-290.
Torbica A, M Hadnadev, T Dapcevic. 2010. Rheological, textural and sensory properties of gluten-fre
bread formulations based on rice and bckwheat flour. Food Hydrocolloids 24:626-632.
Veluppillai S, K Nithyanantharajah, S Vasantharuba, S Balakumar, V Arasaratnam. 2010.
Optimazation of bread preparation from wheat flour and malted rice flour. Rice Science
17(1):51-59.
Zabidi MA, Aziz NAA. 2009. In vitro starch hydrolysis and estimated glycaemic index of bread
substituted with different percentage of chempedak (Arthocarpus integer) seed flour. Food
Chemistry 117:64-68.
Zaidul ISM, H Yamauchi, SJ Kim, N Hasimoto, T Noda T. 2007. RVA study of mixtures of wheat
flour and potato starches with different phosphorus content. Food Chemistry 102:1105-1111.

Anda mungkin juga menyukai