Anda di halaman 1dari 15

SKRIPSI

KARAKTERISTIK MINUMAN PROBIOTIK NON DAIRY


DARI SARI BUAH APEL (Malus Sylvestris Mill ) DENGAN
VARIASI JENIS STARTER BAKTERI ASAM LAKTAT YANG
BERBEDA

OLEH :

FIKAR FIROMDON PRIAMBUDI NIM. 201310220311142

JURUSAN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN


FAKULTAS PERTANIAN PETERNAKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2017
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penganekaragaman pangan (diversifikasi pangan) sangat penting untuk
terus digiatkan di Indonesia, mengingat potensi sumber daya alamnya yang
memadai. Diversifikasi pangan merupakan langkah yang tepat untuk
memecahkan pemenuhan kebutuhan pangan khususnya makanan pokok
sumber karbohidrat. Pengembangan peluang diversifikasi pangan menjadi
penting karena jawa timur khususnya termasuk penghasil umbi-umbian yang
besar Menurut Badan Pusat Statistik (2003), kapasitas produksi rata-rata umbi
garut di Indonesia sebesar 8 ton/hektar atau sekitar 3.080 ton setiap kali
panen. Dengan demikian perlu adanya upaya pemanfaatan umbi-umbian
secara optimal baik sebagai makanan pokok maupun makanan ringan.
Pola konsumsi masyarakat saat ini mengarah pada produk pangan yang
praktis dalam penyajian, seperti produk mi, roti, dan makanan ringan lainnya.
Pola konsumsi ini, berakibat pada peningkatan kebutuhan bahan pangan
berbasis tepung tepungan (Subagio, 2006). Tepung terigu sebagai bahan
baku utama dalam pembuatan roti pada umumnya, memiliki kendala yaitu
tingginya tingkat harga (Eddy et al., 2007; Damanik, 2006; Balagopalan,
2002; dan Bokanga, 1995); terlebih akibat maraknya terigu impor yang
masuk ke Indonesia pada tahun 2005, dan semakin melemahnya nilai rupiah
(Damanik, 2006). Bahkan, harga tepung terigu terus melonjak naik saat ini,
setelah ketersediannya berkurang akibat pemanfaatannya sebagai biofuel di
negara penanam gandum. Oleh karena itu diperlukan kajian rekayasa
pengolahan pangan untuk mengurangi ketergantungan terhadap tepung terigu,
khususnya dalam pengolahan produk bakery yaitu roti. Salah satu upaya yang
dapat dilakukan adalah dengan memanfaatkan umbi garut.

Garut (Maranta arundinaceae L.) merupakan salah satu jenis umbi-


umbian yang cukup banyak tersedia di Indonesia dan mulai banyak
dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan pangan.. Umbi garut memiliki
kandungan karbohidrat yang tinggi sehingga dapat digunakan sebagai bahan
baku pengganti pangan sumber karbohidrat seperti beras dan gandum. Umbi
garut juga memiliki indeks glikemik yang rendah yaitu sebesar 14, sehingga
dapat dimanfaatkan sebagai pangan bagi penderita diabetes (Marsono, 2002).
Pati garut adalah olahan umbi garut yang mengandung karbohidrat dan
memiliki tingkat kekentalan yang tinggi. Meskipun pati garut memiliki
kandungan lemak dan protein yang rendah, namun kandungan fosfor dan zat
besi lebih tinggi dibandingkan dengan tepung terigu (Jyothi et al., 2009).
Dengan karakteristik tersebut pati garut yang masih terbatas penggunaannya,
dapat diaplikasikan dalam pembuatan roti. Akan tetapi, lemahnya struktur
jaringan dalam adonan (uric, 2007 dan Subagio, 2006) dan struktur adonan
yang kurang seragam mengakibatkan kekuatan adonan yang kurang optimal,
sehingga menghasilkan roti yang kurang mengembang, sifat crumb yang
keras, dan pori pori yang tidak seragam pada roti berbasis tepung ubi kayu
(non terigu) (Lpez et al.,2004). Alternatif yang dapat dilakukan adalah
pemberian bahan tambahan pada adonan yaitu senyawa hidrokoloid dan
enzim serta penentuan kondisi proses proofing untuk menghasilkan kualitas
roti yang optimal.
Senyawa hidrokoid merupakan komponen yang dapat membentuk koloid
dalam air. Penambahan senyawa hidrokoid pada adonan roti bebas gluten
(non terigu) ditujukan untuk menghasilkan sifat viskoelastis dan
meningkatkan struktur dan pengembangan adonan dengan pengikatan air dan
pemerangkapan gas yang optimal. Xanthan gum dan gum arab dapat
digunakan sebagai hidrokoloid (uric, 2007 dan Matz, 1992).
Enzim diperlukan agar menghasilkan produk roti yang lebih konsisten.
Suplemen enzim ini dapat mempermudah pembuatan adonan, mengontrol
karakteristik produk akhir seperti rasa, volume pengembangan, tekstur remah,
dan sifat anti-staling. Jenis enzim yang biasa digunakan sebagai suplemen
dalam pembuatan roti adalah xylanase, -amilase, protease, glukoseoksidase
dan lipase (Si dan Lustenberger, 2002).Penentuan jenis dan konsentrasi
hidrokoloid serta enzym diperlukan untuk menghasilkan roti dengan kualitas
yang optimal.
Kondisi proofing berperan dalam mengoptimalkan pengembangan roti.
Proofing adalah proses fermentasi adonan untuk mendapatkan adonan yang
mengembang sebelum dilakukan baking. Proofing dapat dilakukan pada suhu
27oC sampai 60oC. Temperatur proofing yang rendah berpengaruh pada
lambatnya proses fermentasi, yang ditunjukkan dari rendahnya produksi gas.
Peningkatan temperatur akan menurunkan RH (relative humidity), yang akan
menyebabkan tekstur permukaan roti (crust) lebih keras (Therdthai, et al,
2007). Oleh karena itu diperlukan penentuan kondisi proses proofing yang
tepat dalam pembentukan roti dengan kualitas yang optimal.
1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh perbedaan


penambahan senyawa hidrokoloid dan enzim terhadap kualitas fisik dan
kimiawi Roti manis.

1.3 Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini diduga terdapat pengaruh perbedaan penambahan
senyawa hidrokoloid dan enzim terhadap kualitas fisik dan kimiawi Roti
manis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Umbi Garut
Umbi garut (Maranta arundinacea Linn.) merupakan jenis tanaman
tahunan yang berasal dari Amerika tropis dan sudah tersebar ke negara-
negara sepert India, Srilanka, Filipina, dan Indonesia (Sastrapraja et al.,
1977). Umbi garut yang sudah dikenal di Indonesia sejak tahun 1936 ini
memiliki nama yang berbeda-beda di Indonesia. Di daerah Karo, umbi
garut dikenal dengan nama sagu banban, di Jawa dikenal dengan nama
irut atau larut, di Minangkabau disebut sagu rare, di Palembang disebut
sagu dan di Nias disebut sagu andrawa. Nama lain garut di daerah
Ternate adalah huda sula, sedangkan di daerah Gorontalo dikenal dengan
nama labia walanta (Heyne, 1987).

Gambar 1. Umbi Garut


Umbi garut merupakan rhizoma dari tanaman garut yang berwarna
putih dan dibungkus dengan sisik-sisik secara teratur. Sisik dari umbi
garut berwarna putih sampai coklat pucat. Umbi garut mempunyai
panjang yang berkisar antara 20-45 cm dengan diameter sekitar 2,5 cm
(Muchtadi dan Sugiyono, 1992). Bentuk ujung umbi dapat menunjukkan
tingkat kematangan umbi tersebut. Umbi yang memiliki ujung lancip
menandakan umbi garut masih muda, sedangkan umbi dengan ujung
tumpul membulat menandakan umbi tersebut sudah tua. Selain ujung
umbi, warna umbi garut juga dapat digunakan untuk mengetahui
kematangan umbi. Umbi muda memiliki sisik berwarna putih, sedangkan
umbi yang sudah tua memiliki sisik yang berwarna coklat (Suranto,
1989). Umbi garut dapat dipanen sekitar 10-12 bulan setelah ditanam,
pada saat daun-daunnya telah layu dan mati (Kay, 1973).
Umbi garut berpotensi sebaga pangan alternatif sumber karbohidrat
dan memberikan manfaat bagi kesehatan, terutama bagi penderita
diabetes karena memiliki nilai indeks glikemik yang rendah yaitu sebesar
14 (Marsono, 2002). Umbi garut muda memiliki rasa manis yang dapat
dimakan dengan cara dikukus, direbus, atau dibakar. Sedangkan umbi
garut yang sudah tua diolah menjadi tepung atau diambil patinya
(Rukmana, 2000). Pemanfaatan umbi garut dapat berupa bentuk olahan
tepung atau pati garut. Tepung garut memiliki karakteristik yang serupa
dengan tepung terigu (Giantine, 2007). Pati yang dihasilkan dari umbi
garut dapat dijadikan sebagai bahan makanan bagi orang sakit dan bayi
(Kay, 1973).
2.2 pati Garut

Pati garut merupakan salah satu bentuk karbohidrat alami yang


memiliki kekentalan tinggi. Kekentalan ini sangat dipengaruhi oleh
keasaman air yang digunakan dalam proses pengolahannya (Kay, 1973).
Rendemen pati yang didapatkan dari umbi garut sebesar 16-18%
(Villamayor dan Jukema, 1996).
Menurut Pudjiono (1998), pati garut mempunyai beberapa sifat
sebagai berikut :
1. Mudah larut dan mudah dicerna sehingga cocok sebagai makanan bayi.
2. Memiliki granula berbentuk oval dengan ukuran 15-70 mikron.
3. Pati garut dari kultivar banana memiliki lebih banyak butiran yang
berukuran besar dibandingkan dengan pati dari kultivar creole.
4. Suhu awal gelatinisasi sebesar 70C.
5. Apabila terkena air panas maka akan mudah mengembang dengan daya
kembang 54%.
6. Pati garut yang digunakan untuk keperluan komersil harus memenuhi
syarat kadar air yang tidak boleh lebih dari 18%, kandungan abu dan
serat rendah, pH berkisar antara 4,5-7, kekentalan 512-640 BU.
Pengolahan pati garut adalah proses yang dilakukan untuk memisahkan
granula-granula pati dari umbinya. Granula-granula pati berikatan dengan
bahan lain seperti protein, karbohidrat terlarut, lemak, dan lainnya di dalam
sel sehingga diperlukan pemisahan melalui proses pemurnian atau
pencucian menggunakan air. Pengolahan yang dilakukan meliputi beberapa
tahapan yaitu persiapan dan ekstraksi, pemurnian, pemisahan air,
pengeringan, dan finishing. Pada tahap persiapan dan ekstraksi terjadi
penghancuran dinding seldan pemisahan granula-granula pati dari bahan
terlarut seperti kotoran. Selanjutnya, di tahap pencucian dilakukan substitusi
air terhadap cairan yang mengelilingi granula-granula pati sehingga
mempermudah pemisahannya. Tahap pemisahan air dan pengeringan
dilakukan untuk membuang air hingga kering dan didapatkan kadar air
tertentu. Tahap finishing merupakan tahap penghancuran gumpalan pati dan
pengayakan (Grace, 1997).

Tabel 1 komposisi pati garut


Pemanfaatan pati garut yang telah banyak dilakukan diantaranya
sebagai bahan baku industri pangan, kertas, farmasi, dan kosmetik (Erdman,
1986). Pati garut juga sudah banyak dimanfaatkan dalam bidang pangan
sebagai bahan pengganti tepung terigu, bahan baku glukosa cair (Richana et
al., 2000), dan makanan bayi yang mudah dicerna dan mudah larut
(Villamayor and Jukema, 1996).
Tabel Komposisi Kimia Pati Garut

2.3 bakery
Produk bakery terbagi atas beberapa jenis yaitu roti (bread), cake, pastri
dan cookies. Dalam pembuatannya dibutuhkan bahan baku diantaranya
adalah tepung. Penelitian tentang berbagai jenis tepung tersebut telah banyak
dilakukan. Pada penelitian oleh Ananingsih & Kartika (2006) didapatkan data
bahwa tepung tempe hasil fermentasi tempe 36 jam dengan suhu pengeringan
70C merupakan tepung tempe yang terbaik dengan kualitas tepung berwarna
cerah, kandungan asam amino lisin rendah dan kandungan gizi tinggi.
Demikian halnya dalam pembuatan roti (bread) juga telah dilakukan
penelitian seperti yang dilakukan oleh Hartayanie (2005) tentang
pemanfaatan tepung kacang merah sebagai pengganti tepung terigu dalam
pembuatan roti tawar.
Dalam pembuatan roti, agar dapat menghasilkan produk roti yang lebih
konsisten maka diperlukan penambahan suplemen enzim yaitu dengan
menambahkan improver sebagai suplemen enzim. Suplemen enzim ini dapat
mempermudah pembuatan adonan, mengontrol karakteristik produk akhir
seperti rasa, volume pengembangan, tekstur remah, dan sifat anti-staling.
Jenis enzim yang biasa digunakan sebagai suplemen dalam pembuatan roti
adalah xylanase, -amilase, protease, glukoseoksidase dan lipase (Si dan
Lustenberger, 2002). Xylanase baik dalam memperbaiki volume
pengembangan roti. Enzim protease akan mempengaruhi reologi adonan dan
kualitas roti, akan tetapi jika jumlahnya berlebih akan menyebabkan lengket
dan tebalnya adonan (Si dan Lustenberger, 2002). Amilase mempunyai
peranan penting dalam peningkatan volume pengembangan roti. Selama
pembuatan adonan amilase memecah karbohidrat menjadi gula sederhana
yang digunakan oleh yeast selama proses fermentasi, yaitu akan berubah
menjadi alkohol dan karbon dioksida yang berperan dalam pengembangan
adonan (Cauvin & Young, 2000). Amilase juga efektif menunda proses
staling roti dan dapat membantu memperpanjang kesegaran roti. Lipase dapat
menunda staling pada roti (Si dan Lustenberger, 2002; Suwarsono, 2006).
Semakin besar jumlah improver yang ditambahkan maka ukuran diameter
pori roti yang dihasilkan semakin kecil dan jumlah pori yang dihasilkan
semakin banyak. Menurut Hartayanie (2005) penggunaan improver yang
optimal untuk meningkatkan volume pengembangan roti adalah 0.5%.
2.4 Roti bebas Gluten
Struktur jaringan yang lemah dalam adonan tepung non terigu (uric,
2007 dan Subagio, 2006) dan struktur adonan yang kurang seragam
mengakibatkan kekuatan adonan dalam pembuatan roti menjadi kurang
optimal, sehingga menghasilkan roti yang kurang mengembang, sifat crumb
yang keras, dan pori pori yang tidak seragam pada roti berbasis tepung ubi
kayu (Lpez et al.,2004). Untuk itu diperlukan bahan tambahan yang dapat
meningkatkan viskositas dan pengembangan adonan roti non terigu, serta
menghasilkan roti dengan pori pori halus dan seragam.
2.5 Hidrokoloid
Senyawa hidrokoid merupakan komponen yang dapat membentuk
koloid dalam air. Penambahan senyawa hidrokoid pada pembuatan roti non
terigu ditujukan untuk menghasilkan sifat viskoelastis dan meningkatkan
struktur dan pengembangan adonan dengan pengikatan air dan
pemerangkapan gas yang optimal. Contoh dari hidrokoloid adalah agar,
karagenan, gum arab, guar gum, xanthan gum, dan pektin (uric, 2007;
Selomulyo & Zhou, 2006; dan Matz, 1992).
2.5.1 karagenan
Karagenan merupakan salah satu jenis kelompok gum alami yang
digunakan sebagai zat pengental yang larut air dan gelling agent karena
dapat membentuk gel dengan baik (membentuk larutan yang viskos)
dengan sifat larut dalam air panas (70oC), air dingin, susu dan larutan
gula pada karagenan sering diaplikasikan sebagai pengental atau
penstabil pada berbagai minuman atau makanan (Suptijah, 2004). Sifat
dari karagenan bergantung dari adanya kation dan anion. Apabila
karagenan mengandung kation potasium, maka karagenan ini akan
memiliki sifat dapat membentuk gel yang keras, tetapi apabila
karagenan berikatan dengan anion sodium, maka karagenan ini akan
bersifat larut dalam air dingin dan tidak memiliki kemampuan
membentuk gel (Fennema, 1976). Ananingsih & Wirawan (2006)
menemukan bahwa penggunaan KOH dan kaporit menghasilkan tepung
karagenan Processed Euchema Seawed (PES) dengan karakteristik
terbaik.
2.5.2 Gum Arabic
Gum arabic merupakan senyawa hidrokoloid yang dihasilkan
tanaman Acacia. Gum arabic bersifat sangat larut air. Pada level yang
tinggi, dapat membentuk gel yang sangat kental dan kuat. Standar
kualitas gum arabic yang baik mengandung 4% total abu, 5% asam
tidak larut, dan 1% air. Standar ini tidak jauh berbeda untuk xanthan
gum, meski standar xanthan gum sebagai prioduk fermentasi lebih
ketat. Kedua jenis hidrokoloid ini dinyatakan sebagai bahan tambahan
yang aman. Penggunaan maksimum gum arabic untuk produk bakery,
khususnya roti adalah 2,5 % dengan fungsi sebagai emulsifier,
stabilizer, dan penguat adonan (Glicksman, 1983).
BAB III
METODOLOGI
3.1 Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan
Universitas Muhammadiyah Malang pada bulan maret 2017 sampai
dengan selesai.
3.2 Alat dan Bahan
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah umbi Garut, guar
gum, xanthan gum dan HPMC (Hydroxypropyl methylcellulose), enzim
Bakerine Plus dan malt.
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah timbangan, baskom,
wadah plastik, sendok, oven,mixer,loyang, improver.
3.3 Metodologi Penelitian
Tiga jenis senyawa hidrokoloid digunakan, yaitu: guar gum,
xanthan gum dan HPMC (Hydroxypropyl methylcellulose), masing-
masing dengan konsentrasi ( 1%, 1.5%, 2%); dan enzim 0,50% (Bakerine
Plus) atau 0,75% (malt).
3.4 Pelaksanaan Penelitian
1. Pembuatan pati garut

Menurut Lingga et al. (1986) dalam Suprihatin (1991),


pembuatan pati garut sebagai berikut : Mula-mula dilakukan
pengupasan umbi garut yang bertujuan untuk menghilangkan kulit
luar dan kotoran yang ada pada umbi. Selanjutnya dilakuka
penggilingan untuk memecah dinding sel sehingga butir-butir pati di
dalamnya terlepas. Setelah itu ditambahkan air dengan perbandingan
9:1 (v/w), kemudian dilakukan peremasan dan penyaringan untuk
memisahkan ampas umbi dan dilakukan pengendapan pati garut
selama 1-2 jam. Setelah itu, air yang berada di bagian atas endapan
dibuang sedangkan endapannya dicuci menggunakan air. Setelah
endapan dicuci, dilakukan pengeringan pada suhu 60C. Selanjutnya
digiling untuk mendapatkan pati garut yang halus. Proses pembuatan
pati garut dapat dilihat pada Gambar 3. Analisis kimia terhadap pati
garut sebagai bahan baku pembuatan flakes meliputi kadar air, kadar

abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat, kadar serat kasar,
kadar amilosa, dan kadar amilopektin.

2. Pembuatan Roti
Sampel roti disiapkan dengan menggunakan metode Straight dough
(Matz, 1992). Komposisi adonan menggunakan dasar komposisi roti
non terigu berbasis tepung beras (Therdthai et al., 2006) dengan
beberapa modifikasi.
Tabel Formulasi Roti Non Gluten
3.5 Parameter Penelitian
Parameter analisa dilakukan terhadap adonan roti yang dihasilkan dan
roti yang dihasilkan melalui proses pemanggangan. Analisa dilakukan
dengan pendekatan parameter fisik, meliputi: viskositas adonan, volume
pengembangan adonan, kekerasan bagian dalam roti (crumb), serta
ukuran keseragaman pori pori crumb. Analisa sensoris dilakukan
terhadap 30 panelis meliputi parameter kekerasan roti, dan keseragaman
ukuran pori pori crumb. Serta penerimaan secara keseluruhan terhadap
kekerasan dan pori pori crumb roti berbasis pati Garut (non terigu)
dengan pengaplikasian berbagai jenis dan konsentrasi senyawa
hidrokoloid.
3.5.1 Analisa Fisik
a. Analisa persentase volume pengembangan
Rumus volume kerucut terpancung =

b. Analisa volume pengembangan adonan spesifik


Volume pengembangan adonan diukur setelah proses
fermentasi dalam Proofing chamber pada suhu dan RH yang
telah ditentukan. Pengukuran volume menggunakan rumus
volume spesifik (cm3/gram)= volume (cm3) / adonan (gram)
(Griswold, 1972 dalam uric, 2007).
c. Analisa firmness adonan
Firmness adonan diukur dengan menggunakan Tekstur
Analyzer pada adonan yang telah homogen akibat mixing
selama 6 menit. Penyerapan air pada berbagai jenis dan
konsentrasi senyawa hidrokoloid akan mempengaruhi
firmness adonan..
d. Analisa kekerasan crust dan crumb
Analisa kekerasan crust dan crumb diukur dengan
menggunakan alat Texture Analyzer dengan menekan alat
pada sampel roti sebanyak 3 kali ulangan.
e. Analisa keseragaman pori pori crumb
Keseragaman pori pori crumb diukur dengan pengukuran
lubang yang terlihat dari hasil scanning lembaran roti
menggunakan jangka sorong.
f. Analisa intensitas warna crust
g. Intensitas warna crust roti setelah baking diukur
menggunakan alat Chromameter Minolta.
3.5.2 Analisa Kimia
Analisa proksimat roti
Analisa proksimat dilakukan terhadap roti yang dihasilkan meliputi
: kadar air, kadar protein, kadar lemak, kadar abu dan kadar
karbohidrat.
3.5.3 Analisa sensori
Analisa sensoris dilakukan terhadap parameter kekerasan crumb,
keseragaman pori-pori crumb, serta penerimaan secara
keseluruhan terhadap kekerasan dan pori pori crumb roti yang
dihasilkan dalam penelitian ini. Evaluasi sensoris dilakukan
dengan menggunakan 30 panelis yang tidak terlatih (Ressureccion,
1998).
Tabel Uji sensori

Anda mungkin juga menyukai