Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Sejalan dengan semakin pesatnya pembangunan dan dimulainya era perbaikan
di segala bidang baik industri, perdagangan maupun pariwisata tentunya akan disertai
dengan pembangunan infrastruktur-infrastruktur seperti jalan, jembatan, perkantoran
dan sebagainya. Pembangunan sarana akses transportasi yang menghubungkan
kabupaten sambas dengan daerah lainnya merupakan suatu usaha untuk memberikan
akses informasi, ekonomi, sosial dan budaya yang lancar, cepat dan aman.
Untuk menunjang pembangunan tersebut, diperlukan berbagai data dan
informasi, salah satunya adalah data tentang jenis batuan yang dapat digunakan
sebagai bahan penunjang pembangunan terutama untuk pembangunan jalan yang
sangat memerlukan kekuatan batuan sebagai pondasinya. Dari jenis batuan yang ada,
Kabupaten Sambas dibentuk oleh endapan Alluvium, Litoral, dan endapan limpah
banjir dan pada daerah yang lebih tinggi dibentuk oleh pelapukan satuan batuan
formasi Seminis. Batuan endapan alluvium tersusun dari sedimen klastik dan
alluvium dan merupakan hasil dari endapan terrestrial alluvium. Sedangkan batuan
endapan litoral tersusun dari sedimen klastik dan fine dan merupakan hasil dari
endapan litoral dan estuary (Badan Pusat Statistik Kab.sambas).
Batuan dapat diketahui dengan mengetahui nilai tahanan jenisnya terlebih
dahulu. Dalam hal ini, dapat diaplikasikan metode geofisika. Salah satu metode
geofisika yang dapat digunakan dalam identifikasi batuan bawah permukaan adalah
metode geolistrik resistivitas. Metode geolistrik merupakan metode geofisika yang
dapat digunakan untuk mengetahui kondisi batuan dibawah permukaan melalui
analisis resistivitas atau kemampuan menghantarkan aliran listrik dari material dalam
bumi. Pada penelitian ini, metode geofisika akan digunakan untuk mengidentifikasi
sebaran batuan beku yang yang ada di bukit koci kecamatan Sebawi kabupaten
Sambas Kalimantan barat.
1.2 Perumusan masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam


penelitian ini adalah bagaimana pola sebaran, jenis dan volume batuan yang ada di
bukit Koci Kecamatan Sebawi Kabupaten Sambas Kalimantan Barat, dengan
menggunakan aplikasi metode geolistrik resistivitas?
1.3 Batasan masalah
Adapun batasan masalah pada penelitian ini adalah:
a. Menggunakan metode geolistrik konfigurasi Wenner-Schlumberger
b. Pengolahan data menggunakan perangkat lunak Res2Dinv 3.58 dan perangkat
lunak Res3Dinv 2.21
1.4 Tujuan
Berdasarkan masalah yang dirumuskan di atas, maka tujuan penelitian yang
hendak dicapai adalah untuk mendapatkan distribusi nilai resistivitas batuan dan
mengetahui jenis, sebaran dan volume batuan yang ada di bukit Koci Kecamatan
Sebawi Kabupaten Sambas Kalimantan Barat.
1.5 Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada
masyarakat sekitar tempat penelitian akan potensi batuan dari daerah tersebut, dan
dapat memberikan gambaran mengenai jenis, sebaran dan volume batuan yang
mampu dijadikan rujukan dalam perencanaan pembangunan di daerah tersebut.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Metode Geolistrik Tahanan Jenis (Resistivitas)
Metode geolistrik merupakan salah satu metode geofisika yang mempelajari
sifat aliran listrik di dalam bumi dan bagaimana cara mendeteksinya di permukaan
bumi. Dalam hal ini meliputi pengukuran potensial dan pengukuran arus yang terjadi
baik secara alamiah maupun akibat injeksi arus kedalam bumi. Oleh karena itu
metode geolistrik mempunyai banyak macam, salah satunya adalah metode geolistrik
tahanan jenis (resistivitas) (Hendrajaya dan Arif, 1990).
Tujuan dari survei geolistrik adalah untuk

menentukan

distribusi

resistivitas dibawah permukaan dengan membuat pengukuran di permukaan tanah.


Pengukuran resistivitas secara normal dibuat dengan cara menginjeksikan arus ke
dalam tanah melalui dua elektroda arus, dan mengukur beda tegangan yang
dihasilkan pada dua elektroda potensial. Dari pengukuran ini resistivitas yang
sebenarnya dari bawah permukaan dapat diperkirakan. Resistivitas tanah berkaitan
dengan berbagai parameter geologi seperti mineral dan konten cairan, porositas,
derajat patahan, persentase dari patahan diisi dengan air tanah dan derajat dari
saturasi air di batuan (Singh, 2004).
Berdasarkan hukum Ohm diketahui bahwa besar tegangan V suatu material
bergantung pada kuat arus I dan hambatan listrik R yang dirumuskan sebagai
berikut:
V =IR

(1)

Studi hambatan listrik dari geofisika dapat dipahami dalam konteks dari aliran
arus melalui medium di bawah permukaan yang terdiri dari lapisan bahan dengan
resistivitas yang berbeda. Untuk sederhananya, semua lapisan diasumsikan horisontal.
Resistivitas dari bahan adalah pengukuran seberapa baik bahan menghambat aliran
arus listrik (Herman, 2001).

Gambar 1.

Arus yang dialirkan pada material konduktif berbentuk silinder

(Herman,2001)
Suatu material konduktif berbentuk silinder yang homogen memiliki
panjang sebesar L serta luas penampang A maka resistivitasnya sebesar:
=R

A
L

(2)

Dari persamaan (1) dan persamaan (2) jika disubstitusi persamaannya akan
menjadi:
=

VA
IL

= Beda potensial

= Kuat arus yang melalui bahan (Ampere)

(3)

Dimana :

Bumi diasumsikan sebagai medium yang homogen isotropis. Misalkan


elektroda arus mengalirkan arus pada medium isotropis, maka akan terbentuk
bidang ekuipotensial berbentuk setengah bola =

2 r2

medan listriknya pada arah radial (Telford dkk, 1976).

sedangkan garis aliran arus

Elektroda arus
Bidang ekipotensial

Arah aliran arus


Gambar 2.

Aliran yang berasal dari satu sumber arus dalam bumi yang

homogeny isotropic (Telford dkk, 1976)


Pada gambar 2 diatas dapat dilihat bahwa aliran arus listrik selalu tegak
lurus terhadap bidang ekuipotensial. Untuk elektroda arus yang ditempatkan di
permukaan

medium

homogen

isotropis

dan

udara

diatasnya

mempunyai

konduktifitas nol, besarnya potensial yang dapat diukur (Telford dkk, 1976)
I I

2 r

(4)

Dalam ruang tiga dimensi, permukaan ekuipotensial yang terletak


ditengah-tengah kedua sumber arus akan berupa setengah lingkaran seperti yang
ditunjukkan pada gambar di bawah ini.
A

Bidang
Ekipotensial
Arah aliran arus
Gambar 3.

Dua titik arus yang berlawanan polaritasnya di permukaan

bumi (Telford dkk, 1976)

Pengukuran di lapangan digunakan dua elektroda untuk mengalirkan arus


(C1 dan C2) dan beda potensialnya diukur antara dua titik dengan menggunakan
dua elektroda potensial (P1 dan P2).
I

R3

R1

Gambar 4.

R4

P1

P2

R2

Susunan elektroda arus dan potensial dalam pengukuran

resistivitas (Telford dkk, 1976)


Potensial di titik P1 adalah (Telford dkk, 1976) :
VP =
1

I 1 1

2 r1 r2

(5)

Dimana r1 dan r2 adalah jarak elektroda potensial P1 terhadap elektroda-elektroda


arus, sedangkan potensial di titik P2 adalah :
VP =
2

I 1 1

2 r3 r4

(6)

Dimana r3 dan r4 adalah jarak elektroda potensial P2 terhadap elektroda-elektroda


arus.
Selisih potensial antara 2 titik itu :
P=V P1V P2

(7)

Sehingga :
V=

I
2

[ ( ) ( )]
1 1
1 1

r 1 r2
r3 r4

(8)

Besar tahanan jenis semunya adalah


a=

V
1 1 1 1
2
+
I
r1 r2 r3 r4

(9)

Dengan :
V

= beda

potensial antara P1 dan P2 (volt)


I

= besarnya arus yang diinjeksikan melalui elektroda C1 dan C2 (ampere)

r 1 = jarak antara C1 dan P1 (m)


r2

= jarak

antara C2 dan P1 (m)


r 3 = jarak antara C1 dan P2 (m)
r4

jarak

antara

C2

dan

P2

(m)

Nilai resistivitas semu tergantung pada tahanan jenis lapisan-lapisan


pembentuk formasi geologi (subsurface geology) dan spasi serta geometrik
elektroda. Bentuk umum resistivitas semu adalah :
a=K

V
I

(10)

Dengan mensubstitusikan persamaan (9) dengan persamaan (10) maka akan


didapatkan persamaan:
1 1 1 1
K=2 +
r1 r2 r3 r 4

(11)

Dimana K adalah besaran koreksi letak kedua elektroda potensial terhadap


letak kedua elektroda arus dan disebut dengan Faktor geometri (geometrical

factor). Letak kedua elektroda potensial terhadap letak kedua elektroda arus
mempengaruhi besarnya beda potensial diantara kedua elektroda potensial
tersebut (Hendrajaya dan Arif, 1990).
Untuk kasus tak homogen, bumi diasumsikan berlapis-lapis dengan masingmasing lapisan mempunyai harga resistivitas yang berbeda. Resistivitas semu
merupakan resistivitas dari suatu medium fiktif homogen yang ekivalen dengan
medium berlapis yang ditinjau. Sebagai contoh pada Gambar 5.

Gambar 5.

Medium Berlapis dengan Variasi Resistivitas (Zohdy.dkk,


1980)

Medium berlapis yang ditinjau terdiri dari dua lapis yang berbeda

1
resistivitasnya (

2
dan

) dianggap sebagai medium satu lapisan homogen yang

mempunyai satu harga resistivitas, yaitu resistivitas semu, dengan konduktansi

a 1 2
lapisan fiktif sama dengan jumlah konduktasi masing-masing lapisan
(Zohdy.dkk, 1980).
Dengan demikian secara otomatis nilai resistivitas semu dapat dihitung
dengan catatan disesuaikan dengan tetapan konfigurasi elektroda yang digunakan
pada saat pengukuran (Sampurno, 2007).
2.2 Sifat Kelistrikan Dalam Batuan

Aliran arus listrik dalam batuan dan mineral dapat dikelompokkan menjadi
tiga macam, diantaranya konduksi secara elektrik, konduksi secara elektrolitik dan
konduksi secara dielektrik (Diniarti, 2011).
3.2.1

Konduksi secara elektrik


Konduksi ini terjadi jika batuan atau mineral mempunyai banyak elektron

bebas sehingga arus listrik dialirkan dalam batuan atau mineral oleh elektron-elektron
bebas tersebut. Aliran listrik ini juga dipengaruhi oleh sifat atau karakteristik masingmasing batuan yang dilewatinya. Salah satu sifat atau karakteristik batuan tersebut
adalah resistivitas (tahanan jenis) yang menunjukkan kemampuan bahan tersebut
untuk menghantarkan arus listrik. Semakin besar nilai resistivitas suatu bahan maka
semakin sulit bahan tersebut menghantarkan arus listrik, begitu pula sebaliknya.
(Diniarti,2011)
3.2.2

Kondisi secara elektrolitik


Pada umumnya batuan merupakan konduktor yang buruk dan memiliki

resistivitas yang sangat tinggi. Tetapi pada kenyataannya batuan biasanya bersifat
porus dan memiliki pori-pori yang terisi oleh fluida, terutama air. Akibatnya batuanbatuan tersebut menjadi konduktor elektrolit, di mana konduksi arus listrik di bawa
oleh ion-ion elektrolit dalam air. Konduktivitas dan resistivitas batuan poros
bergantung pada volume dan susunan pori-porinya. Konduktivitas akan semakin
besar jika kandungan air dalam batuan bertambah banyak dan sebaliknya resistivitas
akan semakin besar jika kandungan air dalam batuan berkurang. Berdasarkan rumus
Archie (Diniarti,2011)
e =m Sn w

Dimana

(12)

adalah resistivitas batuan, adalah porositas, S adalah fraksi pori-pori

yang berisi air dan

adalah resistivitas air. Sedangkan a, m dan n adalah

konstanta, m disebut juga faktor sementasi. Untuk nilai n yang sama, schlumberger
menyarankan n = 2.
3.2.3

Kondisi secara dielektrik


Konduksi dielektrik terjadi jika batuan atau mineral bersifat dielektrik

terhadap aliran arus listrik, artinya batuan dan mineral tersebut mempunyai elektron
bebas sedikit, bahkan tidak sama sekali. Elektron dalam batuan berpindah dan
berkumpul terpisah dalam inti karena adanya pengaruh medan listrik di luar sehingga
terjadi polarisasi. Peristiwa ini tergantung pada konduksi dielektrik batuan yang
bersangkutan, contoh : mika.
2.3 Konfigurasi Elektroda dan Faktor Geometri.
Faktor geometri K merupakan besaran yang berubah terhadap jarak spasi
elektroda dan tergantug pada konfigurasi elektroda. Faktor geometri untuk masingmasing konfigurasi mempunyai nilai yang berbeda.

3.3.1

Konfigurasi elektroda dan factor Geometri schlumberger


Pada konfigurasi Schlumberger, jarak titik tengah (O) dengan elektroda arus

A, sama dengan jarak titik tengah (O) dengan elektroda arus B yakni sepanjang a,
sedangkan elektroda potrensial M, dan N terletak di dalam elektroda arus, dan
masing-masing elektroda tersebut berjarak b dari titik tengah pengukuran (O).
Susunan elektroda ini biasanya digunakan untuk menyelidiki variasi resistivitas
kearah vertikal (Sounding).

Gambar 6.

Susunan elektroda Schlumberger (Santoso.D, 2002)

Faktor geometri susunan elektroda ini adalah :


K w=

( AM1 BM1 )( AN1 BN1 )

2
1
1
1
1

( ab
)
a+b
a+ b ab )

a b
2b

(13)

Gambar 7.

Stacking chart konfigurasi Schlumberger (Loke,1999)

Pola sensitivitas untuk konfigurasi Schlumberger sedikit berbeda dengan


konfigurasi Wenner khususnya pada kurva vertikal di bawah pusat konfigurasi dan
nilai sensitivitasnya sedikit lebih rendah di dalam daerah antara elektroda A dan M
(dan juga antara elektroda B dan N). Ada suatu konsentrasi yang besar dari suatu nilai
sensistivitas yang tinggi yang berada di bawah elektroda M N. Hal ini berarti
konfigurasi ini mempunyai sensitivitas yang relatif sedang untuk struktur vertikal dan
horizontal. Dalam suatu daerah yang mempunyai tipe struktur geologi terserbut,
penggunaan konfigurasi ini merupakan pilihan yang baik. Kedalaman pertengahan
(median deph) konfigurasi kira-kira 10 % lebih besar dari pada konfigurasi Wenner
pada jarak elektroda yang sama kekuatan sinyal konfigurasi ini lebih kecil dari pada
konfigurasi Wenner tetapi lebih tinggi dari pada konfigurasi dipole-dipole
(Loke,1999).
3.3.2

Konfigurasi wenner-schlumberger
Konfigurasi Wenner-Schlumberger adalah konfigurasi dengan sistem aturan

spasi yang konstan dengan catatan faktor n untuk konfigurasi ini adalah
perbandingan jarak antara elektroda A-M (atau B-N) adalah

2 na+a . Proses

penentuan resistivitas menggunakan 4 buah elektroda yang diletakkan dalam sebuah


garis lurus (Sakka,2001).

K=n ( n+1 ) a
Gambar 8.

Pengaturan elektroda konfigurasi Wenner-Schlumberger


(Sakka,2001)

Nilai resistivitas untuk metode Wenner-Schlumberger dapat dihitung dengan


faktor geometri.
k

V
I

(14)

k n(n 1)a
dengan

(15)

Gambar 9.

Stacking Chart konfigurasi Wenner-Schlumberger


(Sakka,2001)

2.4 Batuan
Batuan adalah kumpulan-kumpulan atau agregat dari mineral-mineral yang
sudah dalam kedaan membeku/keras. Batuan adalah salah satu elemen kulit bumi
yang menyediakan mineral-mineral anorganik melalui pelapukan yang selanjutnya
menghasilkan tanah. Batuan mempunyai komposisi mineral, sifat-sifat fisik, dan
umur yang beraneka ragam. Jarang sekali batuan yang terdiri dari satu mineral,
namun umumnya merupakan gabungan dari dua mineral atau lebih. Mineral adalah
suatu substansi anorganik yang mempunyai komposisi kimia dan struktur atom
tertentu. Jumlah mineral banyak sekali macamnya ditambah dengan jenis-jenis
kombinasinya. Batuan memiliki sifat lebih massif dan mempunyai nilai resistivitas
yang tinggi, selain itu juga mempunyai sifat impermeable yaitu tidak menyerap air.
Setiap derah memiliki jenis batuan yang berbeda-beda tergantung dari sejarah geologi
tempat tersebut, jadi bias berupa batuan beku, batuan sedimen maupun batuan
metamorf.
Setiap material memiliki karakteristik daya hantar listriknya masing-masing,
batuan dalah material yang juga mempunyai daya hantar listrik dan harga tahanan
jenis tertentu. Batuan yang sama belum tentu mempunyai tahanan jenis yang sama.
Sebaliknya harga tahanan jenis yang sama biasanya dimiliki oleh batuan-batuan
berbeda, hal ini terjadi karena nilai resistivitas batuan memiliki rentang nilai yang
bisa saling tumpang tindih. Adapun aspek-aspek yang mempengaruhi tahanan jenis
batuan antara lain (Astier, 1971) :
a. Batuan sedimen yang bersifat lepas (urai) mempunyai nilai tahanan jenis lebih
rendah bila dibandingkan dengan batuan sedimen padu dan kompak.
b. Batuan beku dan batuan ubahan (batuan metamorf) mempunyai nilai tahanan
jenis yang terlalu tinggi.
c. Batuan yang basah dan mengandung air mempunyai nilai tahanan jenis yang
rendah, dan semakin rendah lagi bila air yang dikandung bersifat payau atau
asin.
Para ahli geologi mengklasifikasikan batuan dalam tiga
kelompok

dasar:

beku

(igneous),

(metamorphic).

sedimen

(sedimentary),

dan

metamorf
Batuan

merupakan campuran dari berbagai mineral dan senyawa, dan


komposisinya
sangat bervariasi.

2.5 Jenis-Jenis Batuan


3.5.1 Beku
Batuan beku atau batuan igneus (dari Bahasa Latin: ignis, "api") yaitu batuan
yang terbentuk dari magma yang mendingin dan mengeras. Pembekuan magma
menjadi batuan beku dapat terjadi pada saat sebelum magma keluar dari dapurnya,
ditengah perjalanan, dan ketika sudah berada diatas permukaan bumi. Dengan atau
tanpa proses kristalisasi, baik di bawah permukaan sebagai batuan intrusif (plutonik)
maupun di atas permukaan sebagai batuan ekstrusif (vulkanik). Lebih dari 700 tipe
batuan beku telah berhasil dideskripsikan, sebagian besar terbentuk di bawah
permukaan kerak bumi. (Bowles, 1989)
Batuan beku yang membeku sebelum magma keluar dan terjadi pada saat
lapisan dalam disebut batuan plutonik, jika membeku di tengah perjalanan disebut
batuan korok atau porforik. Adapun jika magma telah keluar dan membeku di
permukaan bumi, disebut batuan beku luar atau efusi/vulkanik. Berdasarkan
teksturnya batuan beku dibedakan menjadi 2, yaitu Batuan beku plutonik dan Batuan
beku vulkanik. (Bowles, 1989)
Perbedaan antara keduanya bisa dilihat dari besar mineral penyusun
batuannya. Batuan beku plutonik umumnya terbentuk dari pembekuan magma yang
relatif lebih lambat sehingga mineral-mineral penyusunnya relatif besar. Sedangkan
batuan beku vulkanik umumnya terbentuk dari pembekuan magma yang sangat cepat
(misalnya akibat letusan gunung api) sehingga mineral penyusunnya lebih kecil.
(Bowles, 1989)
3.5.2

Batuan Sedimen
Batuan sedimen adalah batuan yang terbentuk dari akumulasi material hasil

perombakan batuan yang sudah ada sebelumnya atau hasil aktivitas kimia maupun
organism yang kemudian mengalami pembatuan (Endarto, 2005).
Batuan sedimen biasanya didepositkan lapis-perlapis yang disebut lapisan
(strata), dan apabila dipadatkan dan tersementasi menjadi satu akan membentuk
batuan sedimen proses ini disebut pembatuan (lithification). Batuan-batuan ini, yang

paling banyak adalah serpih, batu pasir dan batu gamping merupakan 75 % dari
seluruh batuan yang tersingkap di permukaan bumi (Bowles, 1989).
Batuan sedimen ini bisa digolongkan lagi menjadi beberapa bagian
diantaranya batuan sedimen klastik, batuan sedimen kimia, dan batuan sedimen
organik. Batuan sedimen klastik terbentuk melalui proses pengendapan dari
material-material yang mengalami proses transportasi. Besar butir dari batuan
sedimen klastik bervariasi dari mulai ukuran lempung sampai ukuran bongkah.
Biasanya batuan tersebut menjadi batuan penyimpan hidrokarbon (reservoir
rocks) atau bisa juga menjadi batuan induk sebagai penghasil hidrokarbon (source
rocks). Contohnya batu konglomerat, batu pasir dan batu lempung. Batuan
sedimen kimia terbentuk melalui proses presipitasi dari larutan. Biasanya batuan
tersebut menjadi batuan pelindung (seal rocks) hidrokarbon dari migrasi.
Contohnya anhidrit dan batu garam (salt). Batuan sedimen organik terbentuk dari
gabungan sisa-sisa makhluk hidup. Batuan ini biasanya menjadi batuan induk
(source) atau batuan penyimpan (reservoir). Contohnya adalah batu gamping
terumbu.
3.5.3

Batuan Metamorf
Batuan metamorf adalah batuan yang berasal dari batuan induk yang

mengalami perubahan tekstur dan komposisi mineral sebagai akibat perubahan


kondisi fisik disebabkan oleh tekanan dan temperatur.batuan sebelumnya akan
berubah tekstur dan strukturnya sehingga membentuk batuan baru dengan tekstur dan
struktur yang baru pula. Contoh batuan tersebut adalah batu sabak atau slate yang
merupakan perubahan batu lempung. Apabila semua batuan-batuan yang sebelumnya
terpanaskan dan meleleh maka akan membentuk magma yang kemudian mengalami
proses pendinginan kembali dan menjadi batuan-batuan baru lagi. Beberapa contoh
batuan metamorf adalah Gneis, batu sabak, batu garnet, dan pualam.
Batuan metamorf menyusun sebagian besar dari kerak Bumi.Mereka
terbentuk jauh dibawah permukaan bumi oleh tegasan yang besar dari batuan
diatasnya serta tekanan dan suhu tinggi. Mereka juga terbentuk oleh intrusi batu

lebur, disebut magma, ke dalam batuan padat dan terbentuk terutama pada kontak
antara magma dan batuan yang bersuhu tinggi. Ciri-ciri batuan ini Adanya perlapisan
dan Silang siur atau struktur gelembur gelombang klastik (Endarto, 2005).
2.6 Siklus Batuan
Siklus batuan menggambarkan seluruh proses yang dengannya batuan
dibentuk, dimodifikasi, ditransportasikan, mengalami dekomposisi, dan dibentuk
kembali sebagai hasil dari proses internal dan eksternal Bumi. Siklus batuan ini
berjalan secara kontinyu atau berulang dan tidak pernah berakhir. Siklus ini adalah
fenomena yang terjadi di kerak benua (geosfer) yang berinteraksi dengan atmosfer,
hidrosfer, dan biosfer dan digerakkan oleh energi panas internal atau energi panas dari
dalam Bumi dan energi panas yang datang dari Matahari.
Kerak bumi yang tersingkap ke udara akan mengalami pelapukan dan
mengalami transformasi menjadi regolit melalui proses yang melibatkan atmosfer,
hidrosfer dan biosfer. Selanjutnya, proses erosi mentansportasikan regolit dan
kemudian mengendapkannya sebagai sedimen. Setelah mengalami deposisi, sedimen
tertimbun dan mengalami kompaksi dan kemudian menjadi batuan sedimen.
Kemudian, proses-proses tektonik yang menggerakkan lempeng dan pengangkatan
kerak Bumi menyebabkan batuan sedimen mengalami deformasi. Penimbunan yang
lebih dalam membuat batuan sedimen menjadi batuan metamorik, dan penimbunan
yang lebih dalam lagi membuat batuan metamorfik meleleh membentuk magma yang
dari magma ini kemudian terbentuk batuan beku yang baru. Pada berbagai tahap
siklus batuan ini, tektonik dapat mengangkat kerak bumi dan menyingkapkan batuan
sehingga batuan tersebut mengalami pelapukan dan erosi. Dengan demikian, siklus
batuan ini akan terus berlanjut tanpa henti.
Dari kesimpulan diatas, jika kita hubungkan siklus batuan dengan
sedimentologi, maka batuan sedimen itu bisa berasal dari batuan apa saja, baik itu
batuan beku, batuan metamorf, atau pun batuan sedimen itu sendiri (rendy arta hanafi,
2010).

Pengendapan di lautan
dan daratan

Pengangkatan dan pelapukan

Pembekuan

Pengangkutan
dan
pelapukan

Pembatuan (Litifikasi)

Kenaikan
tekanan dan
temperatur

Pelelehan

Kenaikan tekanan dan


temperatur

Gambar 10. Siklus batuan (https://www.scribd.com/ /siklus-batuan)


Siklus batuan adalah proses dimana suatu batuan melebur, meleleh, membeku,
dan kemudian menjadi batu kembali. Pada awalnya siklus batuan terbentuk oleh
pergeseran lempengan yang ada di permukaan bumi. Lalu pergeseran ini
menghasilkan magma yang dimana magma tersebut akan mendesak keluar
permukaan bumi dan pada saat magma mencair di permukaan bumi, maka akan
menyelimuti tanah yang dilalui oleh cairan magma. Untuk beberapa waktu magma
akan membeku dan berubah menjadi batuan dingin yang dinamakan Igneous Rock
Batuan akan mengalami pelapukan yang disebabkan oleh beberapa hal diantarnya:
a. Pelapukan Secara Fisika
Pelapukan secara fisika diakibatkan oleh perubahan temperatur yang tidak
menetap. contohnya dari suhu panas yang tiba-tiba menjadi dingin bahkan terkena
hujan dan badai mengakibatkan batuan melapuk.
b. Pelapukan Secara Kimia

Pelapukan ini diakibatkan diakibatkan oleh cairan kimia HCL yang bereaksi
dengan batuan(batu gamping) mengakibatkan batuan melapuk, juga dengan
adanya hujan asam yang bereaksi dengan batuan
c. Pelapukan Secara Biologi
Pelapukan ini disebabkan oleh makhluk hidup. Salah satu contohnya adalah
pelapukan yang disebabkan oleh gangguan dari akar tanaman yang cukup besar.
Akar-akar tanaman yang besar ini mampu membuat rekahan-rekahan di batuan dan
akhirnya dapat memecah batuan menjadi bagian yang lebih kecil lagi.

Anda mungkin juga menyukai