Anda di halaman 1dari 20

BAB III

METODE RESISTIVITAS IMAGING (2D)

LATAR BELAKANG
Metode geolistrik merupakan salah satu metode geofisika yang mempelajari sifat
kelistrikan bumi. Dalam hal ini meliputi pengukuran potensial, arus dan medan
elektromagnetik yang terjadi baik secara alamiah ataupun akibat injeksi arus ke dalam
bumi. Metode geolistrik secara garis besar dibagi menjadi dua jenis, yaitu geolistrik
yang bersifat pasif dan geolistrik yang bersifat aktif. Pada geolistrik yang bersifat pasif,
energi yang dibutuhkan telah ada terlebih dahulu sehingga tidak diperlukan adanya
injeksi atau pemasukan arus terlebih dahulu. Geolistrik jenis ini disebut Self Potential
(SP). Pada geolistrik yang bersifat aktif, energi yang dibutuhkan ada karena
penginjeksian arus ke dalam bumi terlebih dahulu. Geolistrik jenis ini dibagi menjadi
dua metode, yaitu metode resistivitas (tahanan jenis) dan polarisasi terimbas (induced
polarization) (Saputro, 2012).

Tiap-tiap media mempunyai sifat yang berbeda terhadap aliran listrik yang melaluinya,
hal ini tergantung pada tahanan jenisnya. Pada metode geolistrik, arus listrik
diinjeksikan ke dalam bumi melalui dua buah elektroda arus. Dari hasil pengukuran
arus dan beda potensial untuk setiap jarak elektroda kemudian dapat diturunkan nilai
variasi hambatan jenis masing-masing lapisan bawah permukaan bumi, di bawah titik
ukur (sounding point). Metode geolistrik lebih efektif bila dipakai untuk eksplorasi
yang sifatnya relatif dangkal. Metode ini jarang memberikan informasi lapisan
kedalaman yang lebih dari 300 atau 450 meter. Oleh karena itu, metode ini jarang
digunakan untuk eksplorasi hidrokarbon, tetapi lebih banyak digunakan untuk bidang
engineering geology seperti penentuan kedalaman batuan dasar, pencarian reservoir air,
eksplorasi geotermal, dan juga untuk geofisika lingkungan. Metode geolistrik
dilakukan dengan cara menginjeksikan arus listrik dengan frekuensi rendah ke
permukaan bumi yang kemudian diukur beda potensial di antara dua buah elektroda
potensial. Pada keadaan tertentu, pengukuran bawah permukaan dengan arus yang tetap
akan diperoleh suatu variasi beda tegangan yang mengakibatkan variasi nilai resistansi.
Nilai resistansi akan membawa suatu informasi tentang struktur dan material yang
dilewatinya.

TUJUAN
Tujuan pada praktikum kali ini adalah :
1. Dapat memahami konsep resistivitas 2D (Imaging).
2. Dapat mengkorelasikan hasil yang didapatkan berupa lapisan bawah permukaan
dari nilai resistivitas yang didapatkan.
DASAR TEORI
Prinsip Dasar Metode Resistivitas
Konsep dasar metode geolistrik adalah Hukum Ohm yang pertama kali dicetuskan oleh
George Simon Ohm. George Simon Ohm menyatakan bahwa beda potensial yang
timbul di ujung-ujung suatu median berbanding lurus dengan arus listrik yang mengalir
pada medium tersebut, dan berbanding terbalik dengan luas penampangnya. Gambar 1
menunjukkan rangkaian listrik sederhana resistansi, dan pernyataan di atas dapat di
tuliskan dalam persamaan 1 (Lowrie, 2007).

Gambar 1 Rangkaian listrik sederhana resistansi

𝑉 =𝐼𝑋𝑅 (2.1)
dengan V adalah beda potensial antara dua elektroda (volt), I adalah arus listrik yang
diinjeksikan (ampere). Menurut Hukum Ohm diasumsikan bahwa R tidak tergantung I,
bahwa R adalah konstan (tetap), tetapi terdapat kondisi dimana resistansi tidak konstan.
Elemen-elemen demikian dikatakan tidak linier atau non linier. Meskipun demikian,
resistansi suatu elemen non-linier masih didefinisikan oleh R=V/I, tetapi R tidak
tergantung I (Suyoso, 2003).

Jika ditinjau suatu kawat dengan panjang L (meter), luas penampang A (meter2), dan
resistivitas ρ (ohm-meter), maka resistansi R dapat dirumuskan sebagai (Lowrie, 2007):
𝐿
𝑅= 𝜌 (
𝐴

dengan R=V/I, sehingga resistivitas (Ohm-meter) adalah:


𝑉𝐴
𝜌 = 𝐼𝐿

dengan 𝜌 adalah hambatan jenis bumi (ohm-meter), 𝑉 adalah potensial (volt), I adalah
arus listrik (ampere,) L panjang lintasan (meter), A adalah luas penampang (meter 2).
Gambar 2 Kawat dengan panjang L, luas penampang A yang dialiri arus listrik I

Persamaan di atas digunakan untuk medium yang homogen sehingga akan terukur nilai
tahanan jenis yang sesungguhnya (True Resistivity) sedangkan untuk medium yang
tidak homogen akan terukur nilai tahanan jenis semu (Apparent Resistivity). Pada
pengukuran di lapangan, nilai tahanan jenis semu tergantung pada tahanan jenis
lapisan-lapisan batuan yang terukur dan metode pengukuran (konfigurasi elektroda).
Batuan penyusun di dalam bumi yang berfungsi sebagai resistor dapat diukur nilai
tahanan jenisnya secara sederhana dengan mengasumsikan bahwa mediumnya
merupakan medium yang homogen isotropis (Santoso, 2002).

Kawat yang dialiri arus kemudian diasumsikan menjadi half-space atau permukaan
medium homogen isotropis seperti pada Gambar 3.

Gambar 3 Sumber arus tunggal di permukaan medium homogen isotropis (Loke, 2004)

Sehingga persamaannya dapat diubah bentuk menjadi (Flathe 1976):


𝑉 𝐼
= 𝜌
𝐿 𝐴

Pada bagian sisi kiri muncul medan listrik E (volt/meter), sedangkan pada bagian kanan
muncul rapat arus j (ampere/m2), sehingga persamaan di atas dapat diubah dalam
bentuk persamaan :
𝐸 = 𝐽𝜌
Hubungan Resistivitas dengan Kedalaman
Resistivitas semu yang dihasilkan oleh setiap konfigurasi akan berbeda walaupun jarak
antara elektrodanya sama. Untuk medium berlapis, nilai resistivitas semu ini akan
merupakan jarak bentangan (jarak antara elektroda arus). Untuk jarak elektroda arus
kecil akan memberikan a r yang nilainya mendekati r batuan di dekat permukaan.
Sedangkan untuk jarak bentangan yang besar a r yang diperoleh akan mewakili nilai r
batuan yang lebih dalam. Gambar 4 adalah contoh grafik resistivitas semu sebagai
fungsi jarak antar elektroda arus (bentangan). (Waluyo, 2005)

Gambar 4 Resistivitas semu sebagai fungsi bentangan: a) medium homogen semi tak berhingga, b) medium 2 lapis
(ρ2>ρ1), c) medium lapis (ρ1<ρ2), dan d) medium 3 lapis (ρ2>ρ1,ρ3<ρ2) (Waluyo, 2005)

Dari hasil pengukuran di lapangan yang diperoleh adalah nilai tahanan jenis dan jarak
antar elektroda. Jika nilai tahanan jenis diplot terhadap jarak antar elektroda dengan
menggunakan grafik semilog diperoleh kurva tahanan jenis. Dengan menggunakan
kurva standar yang diturunkan berdasarkan berbagai variasi perubahan nilai tahanan
jenis antar lapisan secara ideal dapat ditafsirkan variasi nilai tahanan jenis terhadap
kedalaman. Dengan cara ini ketebalan lapisan berdasarkan nilai tahanan jenisnya dapat
diduga, dan keadaan lapisan-lapisan batuan di bawah permukaan dapat
ditafsirkan.Contoh kurva tahanan jenis hasil pengukuran di lapangan dapat dilihat pada
Gambar 5. Pada Gambar tersebut juga ditunjukkan hasil penafsiran yang diduga
menghasilkan lengkung kurva tersebut. Dengan menyusun hasil pengukuran dari
berbagai titik lokasi dapat dibuat penampang tahanan jenis sehingga dapat digunakan
untuk keperluan eksplorasi maupun keteknikan. (Santoso, 2002)
Gambar 5 Contoh kurva Tahanan Jenis dan hasil penafsiran ketebalan lapisannya (Santoso, 2002)

Sifat Lisrik Batuan


Setiap batuan memiliki karakteristik tersendiri dalam hal sifat kelistrikannya. Salah satu
sifat batuan adalah resistivitas (tahanan jenis) yang menunjukkan kemampuan bahan
tersebut untuk menghantarkan arus listrik, baik berasal dari alam ataupun arus yang
sengaja diinjeksikan. Semakin besar nilai resistivitas suatu bahan maka semakin sulit
bahan tersebut menghantarkan arus listrik, begitu pula sebaliknya (Prameswari dkk.,
2012).

Resistivitas adalah karakteristik batuan yang menunjukkan kemampuan batuan tersebut


untuk menghantarkan arus listrik. Aliran arus listrik dalam batuan dan mineral dapat
digolongkan menjadi 3 macam, yaitu konduksi secara elektronik, konduksi secara
elektrolitik, dan konduksi secara dielektrik (Telford dkk, 1990).

a. Konduksi secara elektronik


Konduksi ini terjadi jika batuan atau mineral mempunyai banyak elektron bebas
sehingga arus listrik dialirkan dalam batuan atau mineral oleh elektron-elektron bebas
tersebut. Aliran listrik ini juga dipengaruhi oleh sifat atau karakteristik masing-masing
batuan yang dilewatinya. Salah satu sifat atau karateristik batuan tersebut adalah
resistivitas (tahanan jenis) yang menunjukkan kemampuan bahan untuk menghantarkan
arus listrik. Semakin besar nilai resistivitas suatu bahan maka semakin sulit bahan
tersebut menghantarkan arus listrik, begitu pula sebaliknya. Resistivitas mempunyai
pengertian yang berbeda dengan resistansi (hambatan), dimana resistansi tidak hanya
tergantung pada bahan tetapi juga bergantung pada faktor geometri atau bentuk bahan
tersebut. Sedangkan resistivitas hanya bergantung pada faktor geometri. Jika ditinjau
sebuah silinder dengan panjang L, luas penampang A dan resistansi R seperti Gambar
6.

Gambar 6 Silinder Konduktor (Telford dkk, 1990).

Maka dapat dirumuskan:


𝐿
𝑅= 𝜌 𝐴

Dimana ρ adalah resistivitas (Ωm), L adalah panjang silinder konduktor (m), A adalah
luas penampang silinder konduktor (m²), dan R adalah resistansi (Ω). Sedangkan
menurut hukum Ohm, resistansi R dirumuskan:
𝑉
𝑅= 𝐼

Dimana R adalah resistansi (ohm), V adalah beda potensial (volt), I adalah kuat arus
(ampere). Dari kedua rumus tersebut didapatkan nilai resistivitas (ρ) sebesar:
𝑉𝐴
𝜌= 𝐼𝐿

Banyak orang sering menggunakan sifat konduktivitas (σ) batuan yang merupakan
kebalikan dari resistivitas (ρ) dengan satuan ohm/m.
1 𝐼𝐿 𝐼 𝐿 𝐽
𝜎= = = ( )( ) =
𝜌 𝑉𝐴 𝐴 𝑉 𝐸

Dimana J adalah rapat arus (ampere/m2) dan E adalah medan listrik (volt/m) (Lowrie,
2007).
b. Konduksi secara elektrolit
Sebagian besar batuan merupakan konduktor yang buruk dan memiliki resistivitas yang
sangat tinggi. Namun pada kenyataannya batuan biasanya bersifat porus dan memiliki
pori-pori yang terisi oleh fluida, terutama air. Akibatnya batuan-batuan tersebut
menjadi konduktor elektrolitik, dimana konduksi arus listrik dibawa oleh ion-ion
elektrolitik dalam air. Konduktivitas dan resistivitas batuan porus bergantung pada
volume dan susunan pori-porinya. Konduktivitas akan semakin besar jika kandungan
air dalam batuan bertambah banyak dan sebaliknya resistivitas akan semakin besar jika
kandungan air dalam batuan berkurang.
Menurut rumus Archie:
𝜌𝑒 = 𝑎∅−𝑚 𝑆 −𝑛 𝜌𝑤
Dimana ρe adalah resistivitas batuan, a ∅ adalah porositas, S adalah fraksi pori-pori
yang berisi air dan ρw adalah resistivitas air. Sedangkan a, m dan n adalah konstanta,
untuk nilai m disebut faktor sementasi. Untuk nilai n yang sama, Schlumberger
menyarankan n = 2.

c. Konduksi secara dielektrik


Konduksi ini terjadi jika batuan atau mineral bersifat dielektrik terhadap aliran arus
listrik, artinya batuan atau mineral tersebut mempunyai elektron bebas sedikit, bahkan
tidak ada sama sekali. Elektron dalam batuan berpindah dan berkumpul terpisah dalam
inti karena adanya pengaruh medan listrik di luar, sehingga terjadi polarisasi.
Tabel 1 Tabel Variasi Resistivitas Batuan (Telford dkk, 1990)

Berdasarkan harga resistivitas listriknya, batuan/mineral digolongkan menjadi tiga


yaitu:
1. Konduktor baik : 10-8 < ρ < 1 ohm meter
2. Konduktor pertengahan : 1 < ρ < 107 ohm meter
3. Isolator : ρ < 107 ohm meter
Nilai resistivitas batuan tergantung macam-macam materialnya, densitas, porositas,
ukuran dan bentuk pori-pori batuan, kandungan air, kualitas dan suhu. Akuifer yang
terdiri atas material lepas seperti pasir dan kerikil mempunyai nilai resistivitas kecil,
karena lebih mudah untuk menyerap air tanah. Nilai resistivitas batuan ditunjukkan
pada Tabel 1 dan 2.
Tabel 2 Tabel Resistivitas Batuan dan Biji Mineral (Milsom, 2003)

Aliran Listrik di Dalam Bumi


Saat arus mengalir pada kedua elektroda, potensial yang dekat pada titik permukaan
akan dipengaruhi oleh kedua arus elektroda tersebut. C1 dan C2 merupakan elektroda
arus yang akan menginjeksikan arus ke bawah permukaan bumi. Perbedaan nilai
potensial yang dihasilkan akan ditangkap oleh P1 dan P2 yang merupakan elektroda
potensial.

a. Titik Arus Tunggal di Permukaan


Metode pendekatan yang paling sederhana dalam mempelajari secara teoritis tentang
aliran arus listrik di dalam bumi adalah bumi dianggap homogen dan isotropis. Jika
sebuah elektroda tunggal yang dialiri arus listrik diinjeksikan pada permukaan bumi
yang homogen isotropis, maka akan terjadi aliran arus yang menyebar dalam tanah
secara radial. Apabila udara di atasnya memiliki konduktivitas nol, maka garis
potensialnya akan berbentuk setengah bola dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Titik Arus Tunggal di Permukaan (Telford dkk, 1990).


Aliran arus yang keluar dari titik sumber membentuk medan potensial dengan kontur
ekuipotensial berbentuk permukaan setengah bola di bawah permukaan. Dalam hal ini,
arus mengalir melalui permukaan setengah bola maka arus yang mengalir melewati
permukaan tersebut adalah:
𝑑𝑣
𝐼 = 2𝜋𝑟 2 𝐽 = −2𝜋𝑟 2 𝜎 𝑑𝑟 = −2𝜋𝜎𝐴

Untuk konstanta integrasi A dalam setengah bola yaitu:


𝐼𝜌
𝐴 = − 2𝜋
𝐴 𝑖𝜌 1
𝑉= − = ( )
𝑟 2𝜋 𝑟
𝑉
𝜌 = 2𝜋𝑟 𝐼

Persamaan merupakan persamaan ekuipotensial permukaan setengah bola yang


tertanam di bawah permukaan tanah (Telford dkk., 1990).

b. Dua Titik Arus di Permukaan


Dua elektroda untuk mengalirkan arus C1 dan C2 kemudian beda potensial diukur pada
2 titik dengan dua elektroda potensial P1 dan P2. Apabila terdapat elektroda arus C1
yang terletak pada permukaan suatu medium homogen, terangkai dengan elektroda arus
C2 dan diantaranya ada dua elektroda potensial P1 dan P2 yang dibuat dengan jarak
tertentu, maka potensial yang berada di dekat tittik elektroda tersebut bisa dipengaruhi
oleh kedua elektroda arus.
Oleh karena itu potensial P1 yang disebabkan arus di C1 adalah:
𝐴
𝑉1 = − 𝑟1
1

𝐼𝜌
𝐴1 = − 2𝜋

Karena arus pada kedua elektroda adalah sama dan arahnya berlawanan, maka potensial
P1 yang disebabkan arus di C2 adalah:
𝐴
𝑉2 = − 𝑟2
2

𝐼𝜌
𝐴2 = −𝐴1 =
2𝜋

Karena arus pada dua elektroda besarnya sama dan berlawanan arah sehingga diperoleh
potensial total di P1:
𝐼𝜌 1 1
𝑉1 + 𝑉2 = 2𝜋 (𝑟 − 𝑟 )
1 2

Dengan cara yang sama diperoleh potensial total di P2 yaitu:


𝐼𝜌 1 1
𝑉1 + 𝑉2 = 2𝜋 (𝑟 − 𝑟 )
3 4

Sehingga dapat diperoleh beda potensial antara titik P1 dan P2 yaitu:


𝐼𝜌 1 1 1 1
∆𝑉 = 2𝜋 [(𝑟 − 𝑟 ) − (𝑟 − 𝑟 )]
1 2 3 4
Dengan:
∆𝑉 = beda potensial antara P1 dan P2
𝐼 = kuat arus (A)
𝜌 = resistivitas (Ωm)
𝑟1 = jarak C1 ke P1 (m)
𝑟2 = jarak C2 ke P1 (m)
𝑟3 = jarak C1 ke P2 (m)
𝑟4 = jarak C2 ke P2 (m)
Susunan keempat elektroda tersebut merupakan susunan elektroda yang biasanya
dalam metode geolistrik resistivitas. Pada konfigurasi ini garis-garis aliran arus dan
ekuipotensial diubah oleh jarak kedua elektroda arus. Perubahan dari garisgaris
ekuipotensial yang melingkar lebih jelas pada daearh antara dua elektroda arus
sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 8

Gambar 8 Dua Titik Arus di Permukaan (Loke dan Barker, 1996).

Konsep Resistivitas Semu


Metode ini diasumsikan bahwa bumi mempunyai sifat homogen isotropis. Dengan
asumsi ini, resistivitas yang terukur merupakan resistivitas sebenarnya dan tidak
tergantung atas spasi elektroda. Pada kenyataannya, bumi terdiri atas lapisan-lapisan
dengan ρ yang berbeda-beda sehingga potensial yang terukur merupakan pengaruh dari
lapisan-lapisan tersebut. Maka harga resistivitas yang terukur bukan merupakan harga
resistivitas untuk satu lapisan saja, hal ini terutama untuk spasi elektroda yang lebar.
𝐾∆𝑉
𝜌𝑎 = 𝐼

Dengan ρa merupakan resistivitas semu yang bergantung pada spasi elektroda. Dan
sebaliknya untuk kasus tak homogen, bumi diasumsikan berlapis-lapis dengan masing-
masing lapisan mempunyai harga resistivitas yang berbeda. Resistivitas semu
merupakan resistivitas dari suatu medium fiktif homogen yang ekivalen dengan
medium berlapis yang ditinjau. Sebagai contoh medium berlapis yang ditinjau misalnya
terdiri dari dua lapis yang mempunyai resistivitas yang berbeda (ρ1 dan ρ2) dianggap
sebagai medium satu lapis homogen yang mempunyai satu harga resistivitas yaitu
resistivitas semu ρa, dengan konduktansi lapisan fiktif sama dengan jumlah
konduktansi masing-masing lapisan σf = σ1+σ2 (Adhi, 2007 dalam Rahmawati, 2009).

Gambar 9 Medium Berlapis dengan Variasi Resistivitas


INSTRUMENTASI
Alat akuisisi data lapangan :
1. Resistivitimeter
2. Elektroda potensial
3. Elektroda arus,
4. Kabel elektroda,
5. Kabel konektor,
6. Baterai basah/kering (12 V, 15 A),
7. Palu elektroda,
8. Meteran, 2 gulung @ 50 m
9. GPS
10. Alat Tulis

DESAIN PENGUKURAN DAN LANGKAH KERJA


Desain lintasan
Pengukuran dilakukan menggunakan konfigurasi wenner seperti gambar di bawah
dengan panjang lintasan 96 m dengan jarak electroda terkecil sebesar 2 m.

Gambar 10 Pengukurang dengan menggunakan konfigurasi Wenner

Langkah Akuisisi
1. Persiapan alat :
a. Persiapkan semua alat yang dibutuhkan selama pengukuran.
b. Pasang kabel pada main unit dan sambungkan kabel daya ke power
supply.
c. Bentangkan meteran sejauh 96 m kemudian pasang tancapkan elektroda
ke tanah dan sambungkan dengan kabel penghubung elektroda pada
main unit.
d. Setelah semua elektroda dan sudah terhubungan dengan kabel, maka
siap untuk memulai tahap pengukuran.
2. Pengukuran di lapangan:
a. Cek sambungan antara kabel dan elektroda agar data yang dihasilkan lebih
akurat.
b. Mulai akuisisi dengan cara otomatis pada alat.
c. Ulangi hingga lintasan pengukuran mendapat hasil yang optimum.

PENGOLAHAN DATA (PROCESSING)


Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software RES2DINV dengan tahapan
sebagai berikut:
1. Sorting dan koreksi data lapangan
Sorting dan koreksi dilakukan untuk memudahkan dalam pengolahan data pada
software. Pada softaware RES2DINV susunan data yang dimiliki harus di susun
sesuai dengan ketentuan agar dapat dibaca oleh software. Data hasil sortingan
kemudian disimpan dalam sebuah file dengan format data.

Gambar 11 Tabel data lapangan dan hasil sorting data

2. Input Data
Untuk mengolah data hasil akuisisi dengan menggunakan software RES2DINV
langkah pertama adalah melakukan pembacaan terhadap data yang sudah di
sorting. Pembacaan dilakukan dengan menjalankan perintah read data pada
panel file.
Gambar 12 proses input data pada RES2DINV

3. Merubah Setting Pada RES2DINV


Sebelum melakukan proses inversi data terlebih dahulu dilakukan proses setting
parameter didalam software RES2DINV agar didapatkan hasil inversi yang
nilain RMS errornya bernilai minimum.

Gambar 13 Data berhasil dibaca oleh software RESDINV

Beberapa Setting parameter yang harus di sesuaikan adalah sebagai berikut


a) Damping factor
Parameter ini digunakan untuk memberikan nilai faktor redaman pada
data yang kita miliki untuk menguragi noise yang muncul. Nilai faktor
redaman harus disesuaikan dengan keadaan data yang kita miliki dan
nilainya harus optimum. Jika pada data yang kita miliki noise yang
muncul sangat besar maka nilai dari damping factornya harus diperbesar
sebaliknya jika noise yang muncul sedikit buat nilai damping factornya
menajdi kecil.
Gambar 14 Setting parameter damping factor

b) Change damping factor with depth


Setting ini digunakan untuk mengantur besarnya damping factor di tiap
penambahan kedalaman. Tujuanya agar mendapat redaman yang sesuai
dengan peambahan kedalaman.
Gambar 15 setting parameter damping factor

c) Vertical/Horizontal flatness filter ratio


Parameter untuk memilih damping faktor secara vertical maupuh
horizontal. apabila model yang kita miliki memiliki sudut atau model
yang vertical maka dengan membuat nilai filter besar membuat model
yang kita buat akan menjadi vertical dan sebaliknya saat model kita lebih
horizontal maka kecilkan nilai filternya.
Gambar 16 Setting Vertical/Horizontal flatness filter ratio

d) Finite mesh grid


Setting untuk memilih tipe mesh grid dengan 4 elektroda atau 2
elektroda saja. Jika pada pengukuran menggunakan konsep 4 elektroda
maka gunakan mesh grid 4 elektroda untuk mendapatkan hasil kalkulasi
yang lebih akurat.

Gambar 17 Setting mesh grid

e) Mesh refinement
Setting untuk memilih kondisi dan resolusi dari mesh grid yang akan
kita gunakan. Pada setting ini kita dapat memilih kondisi mesh grid yang
kita inginkan antara finer dan finest mesh grid. Semakin baik maka akan
mendapat resolusi yang baik juga.
Gambar 18 Setting mesh refinement

f) Number of iteration
Setting yang digunakan untuk mengubah dan menentukan jumlah iterasi
dari proses pengolahan yang dilakukan oleh software. Besar iterasi data
akan makin baik namun di beberapa kondisi pemilihan iterasi yang
terlalu besar terkadang malah menjadikan rms error makin besar. Oleh
karena itu perlu dilakukan pemilihan iterasi yang mendapatkan hasil
yang optimum.
Gambar 19 Setting number of iteration

4. Inversi Data
Setelah data berhasil diinputkan dan dilakukan pengolahan dan setting
parameter data pilih menu inversi pada panel kemudia pilih least-squares
inversion untuk melakukan perintah inversi pada software. Fungsi panel inversi
pada RES2DINV adalah untuk melakukan proses inversi dari data obervasi dan
kalkulasi yang didapatkan. Pemilihan least-squares inversion pada software ini
bertujuan untuk medapatkan solusi dari permodelan pada kasus overdetermined
dengan menggunakan konsep regrsi linier.

Gambar 20 Menu inversi pada RES2DINV

Gambar 21 Hasil Least-square Inversion pada RES2DINV


5. Editing bad datum point
Tujuan dari editing data adalah untuk menghilangkan atau menghapus beberapa
datum point yang menyimpang pada data hasil pengukuran sehingga didapatkan
hasil RMS error (misfit) yang lebih rendah.

Gambar 22 Proses editing bad datum point

INTERPRETASI
A. Contoh interpretasi pada pengukuran resistivitas 2D (imaging)
B.

Gambar 23 Contoh model inversi 2D yang telah dilakukan interpretasi.

Anda mungkin juga menyukai