Anda di halaman 1dari 11

Askep Difteri

KONSEP DASAR PENYAKIT


DIFTERI
A. PENGERTIAN
Difteria adalah suatu infeksi akut yang mudah menular dan yang diserang terutama
saluran pernapasan bagian atas dengan tanda khas timbulnya pseudomembran
(Ngastiyah, 2005).
Difteri adalah infeksi akut yang disebabkan oleh corynebacterium diphteriae
(Rampengan, 1993).
Difteri adalah infeksi saluran pernapasan yang disebabkan oleh corynebacterium
diphteriae dengan bentuk basil gram positif (WHO).
Difteri adalah suatu infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri penghasil racun
(Detik Health).
Difteri adalah suatu infeksi yang akut yang disebabkan oleh bakteri penghasil
toksik corynebacterium diphteriae (Medicas).
B. ETIOLOGI
Disebabkan oleh corynebacterium diphteriae, bakteri gram positif yang bersifat
polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk spora. Pewarna sediaan langsung
dengan biru metilen atau biru toluidin. Basil ini dapat ditemukan dengan sediaan
langsung dari lesi.
Sifat basil polimorf, gram positif, tidak bergerak dan tidak membentuk spora, mati
pada pemanasan 60C selama 10 menit, tahan sampai beberapa minggu dalam es,
air susu, dan lendir yang telah menngering.
Terdapat 3 jenis basil yaitu bentuk gravis mitis dan intermedius atas dasar
perbedaan bentuk koleni dalam biakan agar darah yang mengandung kalium
terlarut.
Basil dapat membentuk :
Pseudomembran yang sukar diangkat, mudah berdarah dan berwarna putih keabuabuan yang terkena terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan nekrotik dan basil.
Eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah bebrapa jam
diabsorbsi dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas terutama pada
otot jantung, ginjal dan jaringan saraf. Satu perlima puluh ml toksin dapat
membunuh marmut dan kurang lebih 1/50 dosis ini dipakai untuk uji Schick.
C. PATOFISIOLOGI

Corynebacterium diphteriae masuk kehidung atau mulut dimana basil akan


menempel di mukosa saluran nafas bagian atas, kadang-kadang kulit, mata atau
mukosa genital. Setelah 2-4 jam hari masa inkubasi kuman dengan corynephage
menghasilkan toksik yang mula-mula diabsorbsi oleh membran sel, kemudian
penetrasi dan interferensi dengan sintesa protein bersama-sama dengan sel kuman
mengeluarkan suatu enzim penghancur terhadap Nicotinamide Adenine
Dinucleotide (NAD). Sehingga sintesa protein terputus karena enzim dibutuhkan
untuk memindahkan asam amino dan RNA dengan memperpanjang rantai
polipeptida akibatnya terjadi nekrose sel yang menyatu dengan nekrosis jaringan
dan membentuk eksudat yang mula-mula dapat diangkat, produksi toksin kian
meningkat dan daerah infeksi makin meluas akhirnya terjadi eksudat fibrin,
perlengketan dan membentuk membran yang berwarna dari abu-abu sampai hitam
tergantung jumlah darah yang tercampur dari pembentukan membran tersebut
apabila diangkat maka akan terjadi perdarahan dan akhirnya menimbulkan difteri.
Hal tersebut dapat menimbulkan beberapa dampak antara lain sesak nafas sehingga
menyebabkan pola nafas tidak efektif, anoreksia sehingga penderita tampak lemah
sehingga terjadi intoleransi aktifitas.
D. MANIFESTASI KLINIS
Gejala umum yang timbul berupa:
Demam tidak terlalu tinggi
Lesu dan lemah
Pucat
Anoreksia
Gejala khas yang menyertai:
Nyeri menelan
Sesak nafas
Serak
- Gejala local : nyeri menelan, bengkak pada leher karena pembengakakan pada
kelenjar regional, sesak napas, serak sampai stridor jika penyakit sudah pada
stadium lanjut.Gejala akibat eksitoksin tergantung bagian yang terkene, misalnya
mengenai otot jantung terjadi miokarditis dan bila mengenai saraf terjadi
kelumpuhan. Bila difteria mengenai hidung (hanya 2% dari jumlah pasien difteria)
gejala yang timbul berupa pilek, sekret yang keluar bercampur darah yang berasal
dari pseudomembran dalam hidung. Biasanya penyakit ini akan meluas ke bagian
tenggorak pada tonsil, faring dan laring.
E. PATHWAY
F. KLASIFIKASI
Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu :
- Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung dengan

gejala hanya nyeri menelan.


- Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyerang sampai faring (dinding
belakang rongga mulut) sampai menimbulkan pembengkakan pada laring.
- Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan gejala
komplikasi seperti miokarditis (radang otot jantung), paralisis (kelemahan anggota
gerak) dan nefritis (radang ginjal).
Menurut lokasi gejala yang dirasakan pasien :
Difteri hidung bila penderita menderita pilek dengan ingus yang bercampur
darah. Difteri hidung biasanya ringan dan kronis dengan salah satu rongga hidung
tersumbat dan terjadi ekskorisasi (ledes). Infeksi subklinis (atau kolonisasi)
merupakan kasus terbanyak. Toksin dapat menyebabkan myocarditis dengan heart
block dan kegagalan jantung kongestif yang progresif, timbul satu minggu setelah
gejala klinis difteri. Gejala lain yang muncul belakangan antara lain neuropati yang
mirip dengan Guillain Barre Syndrome. Tingkat kematian kasus mencapai 5-10%
untuk difteri noncutaneus, angka ini tidak banyak berubah selama 50 tahun. Bentuk
lesi pada difteria kulit bermacam-macam dan tidak dapat dibedakan dari lesi
penyakit kulit yang lain, bisa seperti atau merupakan bagian dari impetigo.
Difteri faring dan tonsil dengan gejala radang akut tenggorokan, demam sampai
dengan 38,5 derajat celsius, nadi yang cepat, tampak lemah, nafas berbau, timbul
pembengkakan kelenjar leher. Pada difteri jenis ini juga akan tampak membran
berwarna putih keabu abuan kotor di daerah rongga mulut sampai dengan dinding
belakang mulut (faring).
Difteri laring dengan gejala tidak bisa bersuara, sesak, nafas berbunyi, demam
sangat tinggi sampai 40 derajat celsius, sangat lemah, kulit tampak kebiruan,
pembengkakan kelenjar leher. Difteri jenis ini merupakan difteri paling berat
karena bisa mengancam nyawa penderita akibat gagal nafas.
Difteri kutaneus dan vaginal dengan gejala berupa luka mirip sariawan pada kulit
dan vagina dengan pembentukan membran diatasnya. Namun tidak seperti
sariawan yang sangat nyeri, pada difteri, luka yang terjadi cenderung tidak terasa
apa apa.
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Schick test
Tes kulit ini digunakan untuk menentukan status imunitas penderita. Tes ini tidak
berguna untuk diagnosis dini karena baru dapat dibaca beberapa hari kemudian.
Untuk pemeriksaan ini digunakan dosis 1/50 MED. Yang diberikan intrakutan
dalam bentuk larutan yang telah diencerkan sebanyak 0,1 ml bila orang tersebut
tidak mengandung antitoksin akan timbul vesikel pada bekas suntikan akan hilang
setelah beberapa minggu. Pada orang yang mengandung titer antitoksin yang
rendah uji schick dapat positif, pada bekas suntikan akan timbul warna merah
kecoklatan dalam 24 jam. Uji schick dikatakan negatif bila tidak didapatkan reaksi

apapun pada tempat suntikan dan ini terdapat pada orang dengan imunitas atau
mengandung antitoksin yang tinggi. Positif palsu dapat terjadi akibat reaksi alergi
terhadap protwin antitoksin yang akan menghilang dalam 72 jam.
Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan leukositosis
polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit, dan kadar albumin. Pada urin
terdapat albumin ringan.
Pemeriksaan Diagnostik
Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan leukositosis,
penurunan jumlah eritrosit dan kadar albumin.
Pada urine terdapat albuminuria ringan.
H. PENULARAN
Difteri merupakan penyakit menular yang sangat berbahaya pada anak anak.
Penyakit ini mudah menular dan menyerang terutama daerah saluran pernafasan
bagian atas. Penularan biasanya terjadi melalui percikan ludah dari orang yang
membawa kuman ke orang lain yang sehat. Selain itu penyakit ini bisa juga
ditularkan melalui benda atau makanan yang terkontaminasi.
Cara penularan adalah melalui kontak dengan penderita atau carrier; jarang sekali
penularan melalui peralatan yang tercemar oleh discharge dari lesi penderita
difteri. Susu yang tidak dipasteurisasi dapat berperan sebagai media penularan.
I. PENCEGAHAN
1. Isolasi penderita
Penderita harus diisolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan kuman
difteri dua kali berturut-turut negatif.
2. Pencegahan terhadap kontak
Terhadap anak yang kontak dengan difteri harus diisolasi selama 7 hari. Bila dalam
pengamatan terdapat gejala-gejala maka penderita tersebut harus diobati. Bila tidak
ada gejala klinis, maka diberi imunisasi terhadap difteri.
3. Imunisasi
Penurunan drastis morbiditas diftery sejak dilakukan pemberian imunisasi.
Imunisasi DPT diberikan pada usia 2, 4 dan 6 bulan. Sedangkan boster dilakukan
pada usia 1 tahun dan 4 sampai 6 tahun. Di indonesia imunisasi sesuai PPI
dilakukan pada usaia 2, 3 dan 4 bulan dan boster dilakukan pada usia 1 2 tahun
dan menjelang 5 tahun. Setelah vaksinasi I pada usia 2 bulan harus dilakukan
vaksinasi ulang pada bulan berikutnya karena imunisasi yang didapat dengan satu
kali vaksinasi tidak mempunyai kekebalan yang cukup proyektif. Dosis yang
diberikan adalah 0,5 ml tiap kali pemberian.

Cara Pencegahan
1) Kegiatan penyuluhan sangatlah penting: beri penyuluhan kepada masyarakat
terutama kepada para orang tua tentang bahaya dari difteria dan perlunya imunisasi
aktif diberikan kepada bayi dan anak-anak.
2) Tindakan pemberantasan yang efektif adalah dengan melakukan imunisasi aktif
secara luas (missal) dengan Diphtheria Toxoid (DT). Imunisasi dilakukan pada
waktu bayi dengan vaksin yang mengandung diphtheria toxoid, tetanus toxoid,
antigen acellular pertussis: (DtaP, yang digunakan di Amerika Serikat) atau vaksin
yang mengandung whole cell pertusis (DTP). Vaksin yang mengandung
kombinasi diphtheria dan tetanus toxoid antigen whole cell pertussis, dan tipe b
haemophillus influenzae (DTP-Hib) saat ini juga telah tersedia.
3) Jadwal imunisasi berikut ini adalah yang direkomendasikan di Amerika Serikat
(Negara lain mungkin menggunakan jadwal lain dan tidak memberikan 4 dosis
sebagai imunisasi dasar).
a) Untuk anak-anak berusia kurang dari 7 tahun.
Imunisasi dasar untuk vaksin DtaP atau DTP-Hib, 3 dosis pertama diberikan
dengan interval 4-8 minggu. Dosis pertama diberikan saat bayi berusia 6-8
minggu; dosis ke-4 diberikan 6-12 bulan setelah dosis ke-3 diberikan. Jadwal ini
tidak perlu diulang kembali walaupun terjadi keterlambatan dalam pelaksanaan
jadwal tersebut.
Dosis ke-5 diberikan pada saat usia 4-6 tahun (usia masuk sekolah); dosis ke-5 ini
tidak perlu diberikan jika sudah mendapat dosis ke-4 pada usia 4 tahun. Bila
komponen pertusis dari DTP merupakan kontraindikasi, sebagai pengganti dapat
diberikan vaksin DT.
b) Untuk usia 7 tahun ke atas:
Mengingat efek samping pemberian imunisasi meningkat dengan bertambahnya
usia maka dosis booster untuk anak usia di atas 7 tahun, vaksin yang dipakai
adalah vaksin dengan konsentrasi / kadar diphtheria toxoid (dewasa) yang rendah.
Sedangkan untuk mereka yang sebelumnya belum pernah diimunisasi maka
diberikan imunisasi dasar berupa 3 dosis vaksin serap tetanus dan diphtheria toxoid
(Td).
Dua dosis pertama diberikan dengan interval 4-6 minggu dan dosis ke-3 diberikan
6 bulan hingga 1 tahun setelah dosis ke-2. data yang terbatas dari Swedia
menunjukkan bahwa jadwal pemberian imunisasi ini mungkin tidak memberikan
tingkat perlindungan yang memadai pada kebanyakan remaja, oleh karena itu perlu
diberikan dosis tambahan.
Untuk mempertahankan tingkat perlindungan maka perlu dilakukan pemberian
dosis Td setiap 10 tahun kemudian.
4) Upaya khusus perlu dilakukan terhadap mereka yang terpajan dengan penderita
seperti kepada para petugas kesehatan dengan cara memberikan imunisasi dasar

lengkap dan setiap sepuluh tahun sekali diberikan dosis booster Td kepada mereka.
5) Bagi anak-anak dan orang dewasa yang mempunyai masalah dengan sistem
kekebalan mereka (immunocompromised) atau mereka yang terinfeksi HIV
diberikan imunisasi dengan vaksin diphtheria dengan jadwal yang sama bagi orang
normal walaupun ada risiko pada orang-orang ini tidak memberikan respon
kekebalan yang optimal.
Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar
1) Isolasi: Isolasi ketat dilakukan terhadap penderita difteria faringeal, isolasi untuk
difteria kulit dilakukan terhadap kontak hingga 2 kultur dari sampel tenggorokan
dan hidung (dan sampel dari lesi kulit pada difteria kulit hasilnya negatif tidak
ditemukan baksil. Jarak 2 kultur ini harus dibuat tidak kurang dari 24 jam dan tidak
kurang dari 24 jam setelah penghentian pemberian antibiotika. Jika kultur tidak
mungkin dilakukan maka tindakan isolasi dapat diakhiri 14 hari setelah pemberian
antibiotika yang tepat (lihat 9B7 di bawah).
2) Desinfeksi serentak: Dilakukan terhadap semua barang yang dipakai oleh/untuk
penderita dan terhadap barang yang tercemar dengan discharge penderita.
Dilakukan pencucihamaan menyeluruh.
3) Karantina: Karantina dilakukan terhadap dewasa yang pekerjaannya
berhubungan dengan pengolahan makanan (khususnya susu) atau terhadap mereka
yang dekat dengan anak-anak yang belum diimunisasi. Mareka harus diistirahatkan
sementara dari pekerjaannya sampai mereka telah diobati dengan cara seperti yang
diuraikan di bawah dan pemeriksaan bakteriologis menyatakan bahwa mereka
bukan carrier.
4) Manajemen Kontak: Semua kontak dengan penderita harus dilakukan kultur dari
sample hidung dan tenggorokan, diawasi selama 7 hari. Dosis tunggal Benzathine
Penicillin (IM: lihat uraian dibawah untuk dosis pemberian) atau dengan
Erythromycin selama 7-10 hari direkomendasikan untuk diberikan kepada semua
orang yang tinggal serumah dengan penderita difteria tanpa melihat status
imunisasi mereka. Kontak yang menangani makanan atau menangani anak-anak
sekolah harus dibebaskan untuk sementara dari pekerjaan tersebut hingga hasil
pemeriksaan bakteriologis menyatakan mereka bukan carrier. Kontak yang
sebelumnya sudah mendapatkan imunisasi dasar lengkap perlu diberikan dosis
booster apabila dosis imunisasi terakhir yang mereka terima sudah lebih dari lima
tahun. Sedangkan bagi kontak yang sebelumnya belum pernah diimunisasi, berikan
mereka imunisasi dasar dengan vaksinasi: Td, DT, DTP, DtaP atau DTP-Hib
tergantung dari usia mereka.
5) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Pencarian carrier dengan menggunakan
kultur dari sampel yang diambil dari hidung dan tenggorokan tidak
bermanfaat.Pencarian carrier dengan kultur hanya bermanfaat jika dilakukan
terhadap kontak yang sangat dekat.

J. KOMPLIKASI
Komplikasi yang timbul:
1. Infeksi tumpangan oleh kuman lain
Infeksi ini dapat disebabkan oleh kuman streptokokus dan staphilokokus. Panas
tinggi terutama didapatkan pada penderita difteri dengan infeksi tumpangan
dengan kuman streptokokus.
2. Obstruksi jalan napas akibat membran atau oedem jalan nafas
Obstruksi ini dapat terjadi akibat membaran atau oedem jalan nafas. Obstruksi
jalan nafas dengan sengaja akibatnya, bronkopneumoni dan atelektasis.
3. Sistemik
Miokarditis
Sering timbul akibat komplikasi difteri berat tetapi juga dapat terjadi pada bentuk
ringan. Komplikasi terhadap jantung pada anak diperkirakan 10-20%. Faktor yang
mempengaruhi terhadap niokarditis adalah virulensi kuman. Virulensi makin tinggi
komplikasi jantung. Miokarditis dapat terjadi cepat pada minggu pertama atau
lambat pada minggu keenam.
Neuritis
Terjadi 5-10% pada penderita difteri yang biasanya merupakan komplikasi dari
difteri berat. Manifestasi klinik ditandai dengan:
Timbul setelah masa laten
Lesi biasanya bilateral dimana motorik kena lebih dominan dari pada sensorik
Biasanya sembuh sempurna.
Nefritis
4. Susunan saraf
Kira-kira 10% penderita difteri akan mengalami komplikasi yang mengenai sistem
susunan saraf terutama sistem motorik. Paralysis ini dapat berupa:
Paralysis palatum molle
Manifestasi saraf yang paling sering
Timbul pada minggu ketiga dan khas dengan adanya suara dan regurgitasi
hidung, tetapi ada yang mengatakan suara ini timbul pada minggu 1-2
Kelainan ini biasanya hilang sama sekali dalam 1-2 minggu.
Ocular palsy
Biasanya timbul pada minggu kelima atau khas ditandai oleh paralysis dari otot
akomodasi yang menyebabkan penglihatan menjadi kabur. Otot yang kena ialah m.
rectus externus.
Paralysis diafragma
Dapat terjadi pada minus 5-7

Paralisis ini disebabkan neuritis n. phrenicus dan bila tidak segera diatasi penderita
akan meninggal.
Paralysis anggota gerak
Dapat terjadi pada minggu 6-10
Pada pemeriksaan didapati lesi bilateral, refleks tendon menghilang, cairan
cerebrospinal menunjukan peningkatan protein yang mirip dengan sindrom guillian
barre.

Prognosa:
Sebelum adanya antioksitoksin dan antibiotika, angka kematian mencapai 30-50%.
Dengan adanya antibiotik dan antitoksin maka kematian menurun menjadi 5-10%.
Prognosa tergantung pada:
1. Usia
Makin rendah makin jelek prognosa.
2. Waktu pengobatan antitoksin
Sangat dipengaruhi oleh cepatnya pemberian antitoksin. Nelson (1959)
menyebutkan bahwa pemberian antitoksin pada hari pertama sakit mortalitasnya
0,3%; pada hari ketiga 4%; pada hari keempat 12%; dan hari kelima dan
seterusnya mortalitasnya 25%.
Pada saluran pernafasan
Terjadi obstruktif jalan nafas dengan segala
akibatnya,bronkopneumonia,atelektasis.
Kardiovaskuler
Miokarditis yang dapat terjadi akibat toksin yang dibentuk kuman diftera.
Kelainan pada ginjal (nefritis).
Kelainan saraf
Kira-kira 10% pasien difteri mengalami komplikasi yang mengenai susunan saraf
terutama motorik.
a. Paralisis/ paresis palatum mole sehingga terjadi rinolalia (suara sengau ),
tersedak/ sukar menelan. Dapat terjadi pada minggu I-II.
b. Paralisis/ paresis otot-otot mata dapat menyebabkan strabismus,gangguan
akomodasi, dilatasi pupil, timbul pada minggu III.
c. Paralisis umum yang dapat terjdi setelah minggu IV. Kelainan dapat mengenai
otot muka, leher, anggota gerak dan yang paling berbahaya bila mengenai otot
pernapasan.
K. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan medis

Pengobatan umum dengan perawatan yang baik, isolasi dan pengawasan EKG
yang dilakukan pada permulan dirawat satu minggu kemudian dan minggu
berikutnya sampai keadaan EKG 2 kali berturut-turut normal dan pengobatan
spesifik.
Pengobatan spesifik untuk difter :
- ADS (Antidifteri serum), 20.000 U/hari selama 2 hari berturut-turut dengan
sebelumnya harus dilakukan uji kulit dan mata.
- Antibiotik, diberikan penisillin prokain 5000U/kgBB/hari sampai 3 hari bebas
demam. Pada pasien yang dilakukan trakeostomi ditambahkan kloramfenikol
75mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis.
- Kortikosteroid, untuk mencegah timbulnya komplikasi miokarditis yang sangat
membahayakan, dengan memberikan predison 2mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu.
Bila terjadi sumbatan jalan nafas yang berat dipertimbangkan untuk tindakan
trakeostomi. Bila pada pasien difteri terjadi komplikasi paralisis atau paresis otot,
dapat diberikan strikin mg dan vitamin B1 100 mg tiap hari selama 10 hari.
Pengobatan spesifik: Jika diduga kuat bahwa seseorang menderita difteria
didasarkan kepada gejala klinis maka antitoksin harus diberikan setelah sampel
untuk pemeriksaan bakteriologis diambil tanpa harus menunggu hasil pemeriksaan
bakteriologis tersebut. (Saat ini yang tersedia adalah antitoksin yang berasal dari
kuda).
Diphtheria Antitoxin (DAT) tersedia di CD-Atlanta sebagai investigational
product. Program imunisasi (Amerika Serikat) melayani permintaan DAT pada
waktu jam kerja (pukul 08.00 am 04.30 pm. EST; Senin Jumat dengan
menghubungi nomor telepon 404-639-8255). Diluar jam kerja dan pada waktu hari
libur menghubungi petugas jaga CDC pada nomor 404-639-2888. DAT disimpan
di stasiun karantina yang tersebar di seluruh negara bagian di Amerika Serikat.
Sebelum diberikan lakukan terlebih dahulu skin test untuk mengetahui adanya
hypersensivitas terhadap serum kuda. Jika hasilnya negative, DAT diberikan IM
dengan dosis tunggal 20.000 100.000 unit tergantung berat ringan serta luasnya
penyakit. Untuk kasus berat pemberian IM dan IV dilakukan bersama-sama.
Pemberian antibiotika tidak dapat menggantikan pemberian antitoksin.
Procain Penicillin G (IM) diberikan sebanyak 25.000 50.000 unit/kg BB untuk
anak-anak dan 1,2 juta unit/kg BB untuk orang dewasa per hari. Dibagi dalam dua
dosis. Penderita dapat juga diberikan erythromycin 40-50 mg/kg BB per hari
maksimum 2 g per hari secara parenteral. Jika penderita sudah bisa menelan
dengan baik maka erythromycin dapat diberikan per oral dibagi dalam 4 dosis per
hari atau penicillin V per oral sebesar 125-250 mg empat kali sehari, selama 14
hari. Pernah ditemukan adanya strain yang resisten terhadap erythromycin namun
sangat jarang. Antibiotik golongan macrolide generasi baru seperti azythromycin
dan chlarithromycin juga efektif untuk strain yang sensitif terhadap erythromycin

tetapi tidak sebaik erythromycin.


Terapi profilaktik bagi carrier: untuk tujuan profilaktik dosis tunggal penicillin G
sebesar 600.000 unit untuk anak usia dibawah 6 tahun dan 1,2 juta unit untuk usia
6 tahun ke atas. Atau dapat juga diberikan erythromycin oral selama 7-10 hari
dengan dosis 40 mg/kg BB per hari untuk anak-anak dan 1 gram per hari untuk
orang dewasa.
2. Penatalaksanaan keperawatan
Pasien difteri harus dirawat di kamar isolasi yang tertutup. Petugas harus memakai
gaun khusus (celemek) dan masker yang harus diganti tiap pergantian tugas atau
sewaktu-waktu bila kotor (jangan dari pagi sampai malam hari). Sebaiknya
penunggu pasien juga harus memakai celemek tersebut untuk mencegah penularan
ke luar ruangan. Harus disediakan perlengkapan cuci tangan: desinfektan, sabun,
lap, atau handuk yang selallu kering (bila ada tisu) air bersih jika ada kran juuga
tempat untuk merendam alat makan yang diisi dengan desinfektan.
Risiko terjadi komplikasi obstruksi jalan napas, miokarditis, pneumonia.
Pasien difteri walaupun penyakitnya ringan perlu dirawat di rumah sakit karena
potensial terjadi komplikasi yang membahayakan jiwanya yang disebabkan adanya
pseudomembran dan eksotosin yang dikeluarkan oleh basil difteri tersebut.
- Sumbatan jalan napas.
Kelainan ini terjadi karena adanya edema pada laring dan trakea serta adanya
pseudomembran. Gejala sumbatan adalah suara serak dan stridor inspiratoir. Bila
makin berat terjadi sesak napas, sianosis, tampak retraksi otot, kedengaran stridor :
a. Berikan O2
b. Baringkan setengah duduk.
c. Hubungi dokter.
d. Pasang infus (bila belum dipasang).
e. Hubungi orang tua beritahu keadaan anak dan bahaya yang dapat terjadi.
- Miokarditis.
Eksotoksin yang dikeluarkan oleh basil difteri jika diserap oleh janutng akan
menyebabkan terjadinya miokarditis yang biasanya kelainan ini timbul pada
minggu kedua sampai ketiga. Untuk mencegah adanya miokarditis hanya dengan
pemberian suntikan ADS sedini mungkin. Tetapi untuk mengetahui gejala
miokarditis perlu observasi terus menerus dan pasien harus istirahat paling sedikit
3 minggu atau sampai hasil EKG 2 kali berturut-turut normal. Selama dirawat,
pengamatan nadi, pernapasan dan suhu dicatat dalam perawatan khusus. Bila tidak
ada alat EKG :
- Pemantauan nadi sangat penting dan harus dilakukan setiap jam dan dicatat
secara teratur. Bila terdapat perubahan kecepatan nadi makin menurun (bradikardi)
harus segera menghubungi dokter.

Perawatan lain selain tanda vital dan keadaan umum :


a. Pasien tidak boleh banyak bergerak, tetapi sikap berbaringnya harus sering
diubah, misalnya setiap 3 jam untuk mencegah terjadinya komplikasi
brokopneumonia (pneumonia hipostatik).
b. Jaga kulit pada bagian tubuh yang tertekan agar tidak terjadi dekubitus (ingat
pasien tirah baring selama 3 minggu, tidak boleh bangun).
- Komplikasi yang mengenai saraf.
Komplikasi yang mengenai saraf dapat terjadi pada minggu pertama dan kedua.
Jika mengenai saraf palatum mole (saraf telan) dengan gejala bila pasien minum
air/susu akan keluar melalui hidungnya. Jika terjadi demikian :
a. Cara memberikan minum harus hati-hati, pasien sambil didudukkan.
b. Bila pasien makan cair agar dibuat agak kental dan diberikan sedikit demi
sedikit.
- Komplikasi pada ginjal.
Selama pasien difteri dalam perawatan keadaan urine selain harus diperhatikan
warnanya juga banyaknya apakah normal atau tidak.
Gangguan masukan nutrisi.
Gangguan masukan nutrisi pada pasien difteri selain disebabkan karena sakit
menelan juga karena anoreksia. Jika anak masih mau menelan bujuklah agar ia
mau makan sedikit demi sedikit dan berikan makanan cair atau bubur encer dan
berikan susu lebih banyak. Jika pasien tidak amau makan sama sekali atau hanya
sedikit sekali, atau dalam keadaan sesak nafas perlu dipasang infus. Setelah 2-3
hari kemudian sesak nafas telah berkurang sebelum infus dihentikkan dicoba
makan per oral dan apabila anak telah mau makan infus dihentikan. Berikan
minum yang sering untuk memelihara kebersihan mulut dan membantu kelancaran
eliminasi

Anda mungkin juga menyukai