Ageng Gumelem
Triarsadrana / March 29, 2014
dari lima teras berundak yang diyakini sebagai lambang dari rukun Islam, seperti yang
diceritakan Achmad Sujeri yang akrab disapa Jeri juru kunci makam. Menurutnya, meskipun
hanya keranda dan pakaiannya saja yang dimakamkan, tapi keyakinan bahwa Giri Ilangan
sebagai tempat moksa Ki Ageng Giring sudah sangat melekat, maka tidak mengherankan
kalau Giri Ilangan selalu ramai dikunjungi peziarah dari dalam dan luar kota.
Untuk memasuki area makam terlebih dahulu melewati jalan berbatu dan menanjak. Tepat
dipinggir sebelah kiri jalan terdapat sebuah lempeng batu yang dikenal sebagai batu
sajadah, batu yang kerap digunakan untuk menjalankan ibadah shalat oleh para peziarah.
Memasuki teras kedua yang ada hanya dataran pendek dengan beberapa tanaman
kembang kamboja ditiap sisinya, begitu juga pada teras ke tiga. Pada teras ke empat
terdapat sebuah bangunan pendopo yang biasanya dipergunakan sebagai tempat upacara
adat para peziarah seperti selamatan dan sebagainya. Pada teras ke lima terdapat sebuah
bangunan berbentuk gapura dari susunan batu bata yang dibentuk menyerupai bentuk
ornamen candi dengan pintu kayu jati berukir yang sudah berumur ratusan tahun.
Pintu inilah satu-satunya jalan masuk menuju makam. Seperti pada makam-makam kuno
lainnya, bentuk bangunan makam Ki Ageng Giring berupa sebuah cungkub beratap. Menurut
juru kunci, kisah perjalanan Ki Ageng Giring juga sangat kental hubungannya dengan nama
Desa Gumelem, yaitu dari kisah perjalanannya menuju Desa Giring Kabupaten Gunung
Kidul. Saat rombongan sedang menyeberang hampir saja hanyut terbawa arus sungai yang
deras, karena kejadian itulah desa yang dulunya bernama Desa Karang Tiris diganti menjadi
Desa Gumelem dari kata kelelem atau tenggelam.
Setelah Ki Ageng Giring pergi untuk selamanya, Panembahan Senopati mengutus panglima
perangnya yang bernama Wanakusuma alias Udakusuma alias Hasan Besari alias Ki Ageng
Gumelem untuk menjaga makom Ki Ageng Giring sekaligus menjadi Demang disana.
Diberinya tanah oleh Raden Sutawijaya dan Ki Ageng Gumelem menjadi Demang pertama di
Desa Gumelem. Pada saat Ki Ageng Gumelem berangkat ke Desa seluas 972.802 hektar itu,
Ki Ageng Gumelem membawa serta pengawal dan para abdi. Diantara abdi sastra,
budayawan, seniman dan lain sebagainya. Maka dari itu sampai sekarang banyak
kebudayaan Gumelem yang erat kaitannya dengan Mataram, salah satunya Batik dan Empu
pandai besi.
Setelah Ki Ageng Gumelem, Kademangan diteruskan turun temurun yaitu kepada Demang
Wiraredja, Cipta Suta I, Cipta Suta II, Mbah Sokaraja, Mbah Beji dan Nurdaiman I. Pada jaman
Nurdaiman I, yang merupakan arsitek Mesjid Agung Nursulaiman di Banyumas. Gumelem
pecah menjadi 2 bagian, yaitu Gumelem Wetan dan Gumelem Kulon. Gumelem Wetan
diwariskan kepada Nurdaiman II, Gumelem Kulon diwariskan kepada Demang Nurasma.
Selanjutnya setelah masa pemerintahan Demang II, ada Demang Mertadipa, Dipadipura,
Krama Diwirya, Iman Wiredja, Iman Subandi dan yang menjadi Demang terakhir adalah Iman
Wasisto pada kisaran tahun 1953. Krama Diwirya sebenarnya bukan Demang, karena
Demang Iman Wiredja masih terlalu kecil dan belum mampu memimpin. Maka digantikan
Krama Diwirya selama 25 tahun. Menurut keterangan kepala Desa Gumelem Wetan, Budi
Sulistyo, Demang terakhir Iman Subandi memiliki nasib paling hina ( miskin ). Karena ada
undang-undang pengalihan lahan dan pemerintahan. Dia mendaftar menjadi kepala desa,
namun tidak dipilih oleh warganya. Maka beliau menjual harta bendanya termasuk
rumahnya. Itulah sebabnya, bangunan pendopo maupun rumah demangnya sudah hilang
dan berganti menjadi bangunan rumah pribadi yang cukup modern. Yang masih tersisa dan
menjadi saksi adalah sebuah gerbang dan talud jalan menuju rumah Demang.
Sampai sekarang setiap hari Senin dan Kamis banyak orang yang berziarah ke Makam Ki
Ageng Giring ataupun Ki Ageng Gumelem. Setiap malam Kamis Wage, sekitar 200 orang
mengadakan Mujjahadah atau Doa bersama. Ketika akhir bulan Sadran, bisa berlipa-lipat
para penzirah ke Girilangan.
Berikut dibawah ini adalah kisah cerita dari versi dari salah satu blog di internet tentang Ki
Ageng Gumelem berdasarkan kisah dari kakeknya.
Jaman dahulu kala, di kerajaan Surakarta (Solo) kedatangan pasukan berandal atau penjahat
yang kejam,bengis,tidak mengenal perikemanusiaan. Pasukan berandal ini
merampok,merusak dan menyakiti rakyat di kerajaaan Surakarta. Namun pihak kerajaan
tidak mampu menumpas para penjahat ini. Hingga suatu hari Raja mendengar ada seorang
tokoh sesepuh sakti di wilayah bagian Barat, yang bernama Ki Hasan Besari. Raja mengirim
seorang utusan untuk memanggil Ki Hasan Besari. Setelah Ki Hasan Besari menghadap, Raja
berkata Ki Hasan Besari, untuk keamanan negeri ini, carilah pusaka untuk menumpas para
penjahat yang datang menyerang kerajaan ini . Ki Hasan Besari menyanggupinya.
Dia segera pergi bertapa, dan akhirnya dia mendapatkan 2 pusaka yang disebut Ganjur dan
Sodor , yang berwujud seperti bendera dan sebuah tombak. Ki Hasan Besari menyerahkan
kedua pusaka itu. Kemudian Raja berkata Kau telah mendapatkan pusaka ini, sekarang
apakah kau memiliki anak laki-laki untuk menumpas para penjahat?. Ki Hasan Basari
menjawab Baiklah paduka Raja, seorang putra hamba akan segera berangkat untuk
melawan gerombolan penjahat itu . Ki Hasan Besari segera memerintahkan putranya yang
bernama Wirakusuma untuk pergi menumpas para berandal. Wirakusuma yang sakti
akhirnya berhasil mengalahkan para berandal. Akan tetapi, pimpinan berandal yang licik itu
mencoba mempengaruhi Wirakusuma. Hai Wirakusuma, kau benar-benar hebat dapat
mengalahkanku dan pasukanku. Padahal Raja saja tidak mampu melawan kami. Berarti kau
adalah orang sakti mandra guna, kau pantas menjadi Raja disini . Ternyata Wirakusuma
terpengaruh bujukan berandal itu.
Dia berbalik, mengikuti penjahat-penjahat itu melawan kerajaan. Melihat bahwa para
berandal semakin merajalela, Raja kembali memanggil Ki Hasan Besari, dan berkata
Panggilah putramu yang lain untuk membela kerajaan ini, menumpas penjahat . Ki Hasan
Besari juga menyanggupi dan segera memerintahkan putranya yang lain yaitu Raden Jono.
Raden Jono dengan gagah berani melawan berandal-berandal itu, dan berhasil
Batu Sajadah