Perjalanan berangkat dari rumah berawal dari sekitar jam setengah tiga sore.dalam perjalanan kami
berdua mengalami berbagai halangan dan rintangan, diantaranya runtuhnya tanah pegunungan akibat
debit air yang tinggi, sehingga banyak warga berkerumun bergotong royong menyingkirkan sisa-sisa
reruntuhan, berikut ini gambarnya.
Jalan naik ke atas gunung yang terjal dan mendaki aspal kasar maupun halus hingga jalan-jalan
bebatuan yang telah terlewati ahirnya kami sampai di depan pintu masuk menuju makam Kedono
Kedini tersebut.
Dari lokasi pintu masuk ini, kami berdua masih harus menaiki tangga yang tinggi, licin dan penuh di
tumbuhi tanaman-tanaman liar.
Sesampainya di depan pintu pagar yang mengelilingi makam, Aku pun mengucapkan uluk salam
sebisaku, "Assalamualaikum Yaa Ahli Qubuur"... kemudian teman saya yang bernama Angga
Prayudha Sakti membuka pintu kecil yang terbuat dari besi tersebut dan mulai mengambil obyek-
obyek di sekitar luar pagar. Sayapun juga belum tahu, adakah juru kunci disini, ya mungkin ada tetapi
kami tidak menemui seorangpun di sekitar tempat ini untuk kami bertanya dan mencari informasiinformasi lainnya.
Mulai dari sini suasana misteri sangat terasa sekali. Dingin, lembab, redup dan seolah ada yang
mengawasi gerak-gerik kami berdua. Meski mata dan kepala kami tidak melihat tetapi kami yakin, ada
yang sedang mengawasi kami.
Setelah memasuki pintu kecil yang terbuat dari besi itupun aku mulai melepas alas kakiku kemudian
di ikuti temanku. Langsung kami menuju ke sebelah kanan yang berupa bangunan berundak dengan
sebuah foto menggantung diatasnya dan makam di depan bangunan tersebut. Sayapun juga tidak tahu,
gambar siapakah gerangan yang berada di atas bangunan tersebut.
Setelah duduk beberapa menit, kameraku mulai menarik perhatian pada sebuah prasasti dengan
lambang Praja Cihna alias lambang kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. dengan makam Kedonokedini di belakangnya. Dan dalam prasasti tersebut terukir dua nama yaitu: GRM. Sumadi & GRAy.
Sudarminah.
Kami berdua mencoba duduk di sana sambil memandang area sekeliling. Sepi, sunyi tiada manusia
satu pun hanya suara-suara nyamuk yang terbang dan sesekali suara kicauan burung dari arah
kejauhan. Tapi seolah ada yang mengawasi gerak-gerik kami berdua.
Sampai disini acara memotret pun kami hentikan, karena menurut cerita teman saya, dahulu
bapaknya Angga Prayudha Sakti ini memotret makam disini maka, kameranya pun rusak. Untuk
kedua kalinya, bapak teman saya ini mencoba mengulang untuk mengambil gambar pada makam
tersebut dan lagi-lagi mengalami kerusakan pada kamera Pocket Digital-nya. Jadi ada 2 kamera yang
rusak setelah untuk memotret makam tersebut dan gambarnya pun tidak dapat terlihat sama sekali.
Bukan soal tidak percaya, tetapi sayapun merasa sayang pada kamera saya jika hal tersebut juga
menimpa saya seperti yang terjadi pada bapak teman saya tersebut. Percaya atau tidak, silahkan.
Wallahuallam Bishawab.
Makam ini adalah aset berharga Indonesia, yang patut untuk dijaga dan di lestarikan. Sekali lagi saya
acungkan kedua jempolku untuk Yogyakarta tercinta yang ternyata memiliki budaya dan peninggalan
yang masih tersembunyi.(Koh Lee Van Djocdja)
Dalam perjuangannya, Pangeran Samber Nyawa menempati berbagai wilayah yang dijadikan
sebagai markas pertahanan. Di tempat-tempat tersebut beliau menyusun strategi perang dan
menggalang dukungan dari masyarakat setempat untuk menghancurkan Belanda. Tercatat
lokasi-lokasi tersebut antara lain : Desa Kasatriyan barat daya Ponorogo, Randulangi
(Surakarta) dan Dusun Gempol atau yang kini lebih dikenal dengan nama Dusun Gunung
Gambar atau Petilasan Gunung Gambar. Selain merupakan tempat yang memiliki nilai sejarah,
pemandangan sekitar yang terlihat juga memukau. Terlihat Gunung Merapi (Yogyakarta),
obyek wisata alam Rawa Jombor (Klaten), dan Waduk Gajah Mungkur (Wonogiri).Setiap satu
tahun sekali, bersamaan dengan Desa Wonosadi, digelar prosesi sadranan. Selain sadranan,
daerah ini juga dikenal dengan kesenian tradisional khas Ngawen yaitu rinding
gumbeng. Musik rinding gumbeng adalah sebuah kesenian yang memadukan dua alat musik
yang diberi nama rinding dan gumbeng. rinding merupakan alat musik yang terbuat dari
sebilah bambuyang ditiup. sedangkan gumbeng adalah instrumen musik yang menyerupai gitar
perkusi yang terbuat dari bambu dengan senar yang dimainkan dengan cara ditabuh.
Makam Kyai Selohening terletak di desa Mancingan, yakni sebuah desa disekitar pantai
parangtritis, letak persisnya makam Kyai Selohening berada didekat pemandian air
panas parang wedang, namun harus melewati jalan setapak bersemen dan alur sungai
kecil disampingnya dan melewati samping kebun penduduk. Penanda yang ada di dekat
Parang wedang tersebut adalah sebuah tugu rendah dengan tulisan Gusti Panembahan
Selohening.
Menurut cerita yang ada bahwa panembahan Selohening adalah kerabat raja Majapahit
yang terakhir yakni Brawijaya V yang menyingkir dari kerajaan dan mengasingkan diri
karena adanya kemelut didalam Kerjaan tersebut dan tinggal di bukit selohening.
Sehingga beliau kemudian disebut Kyai Selohening. Selohening sendiri berarti batu yang
hening yakni sebuah batu keramat yang konon jika ada hewan dan burun melintas
diatasnya maka akan jatuh dan mati dan suasana sekitar yang sunyi senyap sehingga
munculah nama selohening. Batu tersebut masih dapat dijumpai dilokasi tersebut.
Kyai Selo hening awal mulanya beragama Budha namun setelah bertemu dengan Syekh
Maulana Maghribi dan sempat beradu ilmu akhirnya Kyai selo menjadi penganut islam.
Dan saat itu dipadepokan tersebut tinggal juga putra putra Brawijaya V yakni Raden
Dhandhun dan Raden Dhandher yang juga menyingkir dari kerajaan yang akhirnya
keduanya juga masuk Islam yang kemudian dikenal dengan nama Syekh Bela Belu dan
Syekh Gagang Aking atau Kyai Dami Aking.
Untuk mencapai area makam ini juga harus menaiki tangga yang di ujung terdapat candi
bentar sebagai gerbangnya yang selalu terkunci. Dan uniknya apabila anda akan masuk
ke area makam dan belum bertemu dengan juru kuncinya maka ada sebuah alat yang bisa
digunakan untuk memanggil juru kunci tersebut. Alat tersebut merupakan alat tradisional
berupa sebuah kentongan dari bambu.
Di area makam ini terdapat tiga cungkup, yang paling depan berupa bangunan yang
kedua sisinya dindingnya terbuka kemudian yang ditengah merupakan bangunan utama
yang merupakan tempat dimana makam Kyai Selohening dan bangunan yang ketiga
merupakan bangunan yang difungsikan sebagai gudang.
Kemudian tidak jauh dari makam tersebut terdapat sendang atau tepatnya merupakan
sebuah palung kecil di aliran sungai yang ada di belakang makam tersebut. Air yang ada
cukup jernih dan terkadang tempat ini juga digunakan sebagai tujuan sebuah ritual
tertentu. Pengunjung Makam Kyai Selohening yang pernah dipugar atau diperbaiki pada
tanggal 3 Juni 2005 kebanyakan datang pada malam selasa Kliwon dan malam Jumat
Kliwon
How to get there :
1. Dengan kendaraan umum dari Yogyakarta menuju arah Pantai Parangtritis turun di dekat
Parang wedang kemudian dilanjutkan dengan jalan kaki.
2. Dengan kendaraan pribadi baik roda dua maupun roda empat bisa diparkir di sekitar parang
wedang